Catatan penerapan: Sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) PMK No. 252/PMK.03/2008,
Tarif pasal 17 diterapkan atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak yang
diterima atau diperoleh bukan pegawai, yang dihitung setiap bulan.
Catatan:
1. Batasan penghasilan yang dikecualikan dari pemotongan sesuai Pasal 21
(4) adalah Rp 150 ribu sehari.
2. Jika jumlah kumulatif dalam sebulan sudah melebihi Rp 1.320.000, maka
pengurangannya adalah PTKP sebenarnya.
Tarif Pajak
1. Tarif pasal 17 UU No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai 1 Januari 2009 :
Catatan: Mulai 1 Januari 2009, sesuai dengan Pasal 21 ayat (5a) UU PPh 2008, wajib pajak
orang pribadi yang tidak mempunyai NPWP akan dikenai tarif pajak lebih tinggi sebesar 20%
dari tarif normal yang berlaku.
2. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon sesuai
Per-Menkeu No. 16/PMK.03/2010 ditentukan sebagai berikut:
a) sebesar 0% atas penghasilan bruto sampai dengan Rp. 50.000.000,00;
b) sebesar 5% atas penghasilan bruto di atas Rp. 50.000.000,00 sampai dengan
Rp. 100.000.000,00;
c) sebesar 15% atas penghasilan bruto di atas Rp. 100.000.000,00 sampai dengan
Rp. 500.000.000,00;
d) sebesar 25% atas penghasilan bruto di atas Rp. 500.000.000,00.
3. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun,
Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:
a) sebesar 0% atas penghasilan bruto sampai dengan Rp. 50.000.000,00;
b) sebesar 5% atas penghasilan bruto di atas Rp. 50.000.000,00.
c) Honorarium dan imbalan lain, dengan nama apa pun yang diterima oleh
Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/Polri, yang sumber dananya berasal dari
keuangan negara atau keuangan daerah, kecuali yang dibayarkan kepada PNS
golongan II d ke bawah dan anggota TNI/Polri berpangkat Pembantu Letnan
Satu ke bawah atau Ajun Inspektur Tingkat Satu ke bawah.
Catatan:
Ketentuan lebih lanjut yang mengatur pengenaan PPh Pasal 21 Final atas uang
pesangon dan honorarium untuk PNS masih menunggu PP dan PMK-nya.
Penghasilan yang diterima oleh orang pribadi WP Luar negeri
Dikenai PPh Pasal 26 dengan tarif 20% x penghasilan bruto, kecuali bila ada
tax treaty dari negara yang bersangkutan, maka tarif berdasarkan tax treaty
itulah yang jadi pedoman.
Berikut ini adalah penjabaran pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in
kind) kepada para pegawai:
dalam tahun 2010, PT Abx menyediaka dokter dan obat-obatan dengan
cuma-Cuma untuk pemeliharaan kesehatan pegawainya yang berjumlah 1.000 orang, juga
ongkos melahirkan yang jumlah totalnya Rp 360 juta setahun, atau rata-rata biaya untuk
pemeliharaan kesehatan setiap pegawai setiap bulannya berjumlah (1/12 x Rp 360 juta) :
1.000 = 30.000, atau sama dengan Rp 1.000 per orang per hari. Upah rata-rata pegawai
diasumsikan masih sebatas UMR.
- Sebelum tax planning : berdasarkan pasal 4 ayat 3 huruf d UU Pajak Penghasilan,
benefit in kind (seperti biaya berobat ke dokter dan obat) sebesar Rp 360 juta itu
bukan merupakan objek pajak penghasilan (non taxable), sehingga tidak dikenai
pajak. Sebaliknya dari sudut pandang perusahaan yang mengeluarkan biaya, secara
komersial pengeluaran itu merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan
perusahaan, tetapi secara fiska; (pasal 9 ayat 1 huruf e UU PPh) merupakan biaya
yang tidak boleh dikurangkan (non deductible), sehingga harus dilakukan koreksi
fiskal.
Konsekuensinya: karena biaya tersebut meruoakan biaya fiskal yang tidak boleh
dikurangkan, maka koreksi fiskal yang dilakukan oleh Dirjen Pajak menimbulkan
tambahan pajak (PPh Badan) tahun 2010 sebesar 25% x Rp 360 juta = Rp 90 juta.
- Sesudah tax planning: dengan mengubah pemberian dalam bentuk natura atau
kenikmatan (seperti dokter dan obat) menjadi tunjangan kesehatan (uang), maka
secara fiskal (pasal 4 ayat 1 huruf a UU PPh) tunjangan kesehatan tersebut merupakan
penghasilan yang dikenai pajak (taxable) dan dilain pihak, berdasarkan pasal 6 ayat 1
huruf a biaya tunjangan kesehatan tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
perusahaan (deductible).
Solusi yang dianjurkan: untuk menghindari koreksi fiskal tersebut PT ABx
memberikan tunjangan kesehatan (natura) sebagai pengganti, daripada menyediakan
dokter dan memberikan obat dengan cuma-cuma, yang hanya akan menambah
penghasilan pegawai yang akan dipajaki (taxable) sebesar Rp 360 juta. Dan bagi
perusahaan jumlah tersebut merupakan biaya yang boleh dikurangkan (deductible).
- Pajak penghasilan yang dapat dihemat akibat perubahan tersebut adalah sebesar 25%
x Rp 360 juta = Rp 90 juta
Sedangkan dampak pajak (pph Pasal 21) bagi pegawai yang bersangkutan, akibat
penggantian penyediaan dokter dan pemberian obat-obatan dengan tunjangan
kesehatan, yang merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan, praktis tidak ada
beban tambahan pajak, karena penghasilannya (UMR) masih dibawah Penghasilan
Tidak Kena Pajak.
Ditinjau dari segi komersial, biaya fiskal yang besar tersebut tampaknya seperti suatu
pemborosan atau inefisiensi karena adanya kebijakan pemberian tunjangan kesehatan (tunai),
namun harus pula diperhatikan bahwa kebijakan itu akan berdampak pada laba sebelum
pajaknya menjadi lebih kecil dan selanjutnya beban PPh Badan yang terutang pun akan
menjadi lebih kecil. Namun yang lebih penting untuk diperhatikan adalah bahwa strategi
perpajakan bukanlah satu-satunya alat pengambilan keputusan, jangan sampai strategi
perpajakan ini menghambat strategi komersial lainnya tetapi harus saling sinergis untuk
mencapai tujuan perusahaan. Untuk meyakinkan bahwa objek pajak
penghasilan pasal 21 telah dipotong pajaknya, berikut daftar transaksi yang berhubungan
dengan prinsip taxability-deductibility, mana yang menjadi objek pajak dan yang bukan objek
pajak baik bagi karyawan maupun perusahaan.
Tabel III-1
DAFTAR OBJEK DAN TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
NO OBJEK PAJAK TARIF SIFAT
PPh Pasal 21
1. Penghasilan yang diterima oleh Pasal 17 PKP = PB – (BJ+IP) – PTKP
pegawai tetap UU PPh
2. Uang pension bulanan yang Pasal 17 PKP = (PB-BP) – PTKP
diterima pensiunan UU PPh
3. Pegawai tidak tetap yang Pasal 17 PKP= (PB Disetahunkan –
penghasilannya dibayar secara UU PPh PTKP Setahun)
bulanan atau jumlah kumulatif
penghasilan yang diterima
dalam satu bulan kalender telah
melebihi Rp 2.025.000
4. Upah yang diterima oleh
tenaga kerja lepas berupa upah
harian/mingguan/satuan/borong
an dan uang saku harian