Anda di halaman 1dari 7

6.

Kebijakan/Metode Pemotongan PPh Pasal 21


Dilihat dari siapa yang menanggung beban, maka kebijakan atau metode pemotongan PPh
Pasal 21 yang data dipilih oleh Wajib Pajak, adalah sebagai berikut:
1. PPh Pasal 21 ditanggung oleh karyawan (potong gaji)
Metode ini lazim disebut Metode Gross. Dalam hal ini jumlah PPh Pasal 21 yang
terutang akan ditanggung oleh karyawan itu sendiri, sehingga benar-benar
mengurangi penghasilan. Isitilah yang sering digunakan adalah bahwa PPh Pasal 21
dipotong oleh perusahaan.
2. PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan (ditanggung)
Metode ini lazim disebut Metode Net. Dalam hal ini, jumlah PPh Pasal 21 yang
terutang akan ditanggung oleh perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian, gaji
yang diterima oleh karyawan tersebut tidak dikurangi dengan PPh Pasal 21 karena
perusahaanlah yang menanggung biaja/beban PPh Pasal 21. Penghitungan pasal 21
yang ditanggung perusahaan tersebut tidk dengan cara gross up. PPh Pasal 21 yang
ditanggung perusahaan tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
perusahaan, karena tidak dimasukkan sebagai faktor penambahan pendapatan dalam
SPT PPh Pasal 21.
3. PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan (ditunjang)
Metode ini lazim disebut Metode Gross Up. Jika PPh Pasal 21 diberikan dalam
bentuk tunjangan, maka jumlah tunjangan tersebut akan menambah penghasilan
karyawan dan dikenai PPh Pasal 21. Dalam hal ini penghitungan PPh dilakukan
dengan cara gross up dimana besarnya tunjangan pajak sama dengan jumlah PPh
Pasal 21 terutang untuk masing-masing karyawan. Sepintas kebijakan ini terlihat
memberatkan perusahaan, akan tetapi beban perusahaan tersebut akan tereliminasi,
karena PPh Pasal 21-nya dapat dibiayakan.
Selain memberikan tunjangan PPh Pasal 21 yang besarnya sama dengan PPh
terutang untuk masing-masing karyawan (metode gross up), perusahaan juga dapat
memberikan tunjangan PPh Pasal 21 yang besarnya berbeda dengan PPh terutang.
Dalam hal besarnya PPh Pasal 21 yang terutang lebih besar daripada tunjangan PPh
Pasal 21, maka kekurangannya bisa ditanggung karyawan (dipotong) atau ditanggung
perusahaan. Apabila kekurangannya ditanggung perusahaan, maka perlakukan
perpajakannya menjadi non deductible expenses.

7. Tata Cara Penghitungan PPh Pasal 21


1. Dasar Pengenaan Pajak (DPP):

a. Penghasilan Kena Pajak berlaku bagi:


1. Pegawai Tetap

Pengh. Kena Pajak = Pengh. Bruto - Biaya Jabatan – PTKP

2. Penerima Pensiun Berkala

Pengh. Kena Pajak = Pengh. Bruto - Biaya Pensiun - PTKP

3. Pegawai Tidak Tetap


Penghasilan pegawai tidak tetap yang dibayarkan bulanan atau pegawai tidak tetap
lainnya yang jumlah kumulatif penghasilan yang diterima sebulan melebihi PTKP
sebulan untuk diri wajib pajak sendiri/TKO (dalam hal ini sesuai UU PPh adalah
Rp 1.320.000).

Pengh. Kena Pajak = Pengh. Bruto - PTKP

4. Bukan Pegawai, meliputi:


 Distributor MLM atau direct selling.
 Petugas dinas luar asuransi yang tidak berstatus pegawai,
 Penjaja barang dagangan yang tidak berstatus pegawai.
 Penerima penghasilan bukan pegawai lainnya yang menerima penghasilan
dari Pemotong PPh Pasal 21 secara berkesinambungan dalam 1 (satu)
tahun kalender.

Pengh. Kena Pajak = Pengh. Bruto - PTKP yang dihitung bulanan

Catatan penerapan: Sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) PMK No. 252/PMK.03/2008,
Tarif pasal 17 diterapkan atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak yang
diterima atau diperoleh bukan pegawai, yang dihitung setiap bulan.

b. Jumlah penghasilan yang melebihi bagian penghasilan yang tidak dikenai


pemotongan PPh Pasal 21, sesuai Pasal 21 ayat (4) UU PPh, yang berlaku bagi:
 Pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, mingguan, upain satuan atau
upah borongan sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam satu
bulan belum melebihi PTKP sebulan untuk diri WP sendiri atau TKO (dalam
hal ini sesuai UU PPh adalah Rp 1.320.000).

Pengh. Kena Pajak = Pengh. Bruto - Batasan Pasal 21 ayat (4)

Catatan:
1. Batasan penghasilan yang dikecualikan dari pemotongan sesuai Pasal 21
(4) adalah Rp 150 ribu sehari.
2. Jika jumlah kumulatif dalam sebulan sudah melebihi Rp 1.320.000, maka
pengurangannya adalah PTKP sebenarnya.

c. Jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi penerima penghasilan lainnya.


2. Pengurangan yang Diperbolehkan
a. Biaya Jabatan
Pengurangan ini diperbolehkan tanpa memandang apakah yang bersangkutan
memiliki jabatan atau tidak. Hanya boleh dikurangkan dari penghasilan bruto pegawai
tetap karena dianggap sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan dari pekerjaan/jabatannya.
Berdasarkan PerMenkeu No. 252/PMK/2009, besarnya biaya jabatan yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak
Penghasilan bagi pegawai tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) UU
PPh Nomor 7 Tahun 1983, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UU No. 36 Tahun 2008, ditetapkan sebesar 5% dari penghasilan bruto, dan setinggi-
tingginya Rp 6.000.000 setahun atau Rp 500.000 sebulan. Penerapan biaya jabatan
maksimal dalam penghitunyan PPh Pasal 21 didasarkan atas jumlah bulan kerja atau
perolehan yang sebenarnya dari pegawai yang bersangkutan.
b. Biaya Pensiun
Hanya boleh dikurangkan dari penghasilan bruto seorang pensiunan yang berupa uang
pensiun yang dibayarkan secara berkala karena dianggap sebagai biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara uang pensiun. Berdasarkan PerMenkeu No.
252/PMK/2009, besarnya biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi pensiunan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) UU PPh Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008,
ditetapkan sebesar 5% dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 2.400.000
setahun atau Rp 200.000 sebulan. Biaya pensiun yang boleh diperhitungkan dalam
perhitungan PPh Pasal 21 pensiunan adalah berdasarkan bulan perolehan yang
sebenarnya. Artinya, batas maksimal biaya pensiun dihitung berdasarkan bulan
perolehan pensiun pada tahun pajak yang bersangkutan.
c. luran yang terkait dengan gaji
Yaitu iuran yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangun hari tua atau
jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan.
Catatan: Pengurangan penghasilan bruto berupa iuran pensiun dan iuran JHT yang
ditanggung atau dibayar sendiri oleh karyawan biasanya hanya diperuntukkan bagi
pegawai tetap, dengan ketentuan:
1) Iuran pensiun yang terikat gaji dan dibayarkan kepada dana pen- siun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan,
2) Iuran THT kepada badan penyelenggara Taspen dan Jamsostek. Iuran pensiun
atau THT/JHT, sebagian ditanggung oleh pemberi kerja, dan sebagian lagi
dibayar sendiri oleh karyawan. Yang diper- hitungkan sebagai pengurang
penghasilan bruto karyawan dalam perhitungan PPh Pasal 21 hanya bagian
yang dibayar sendiri oleh karyawan.
d. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dalam
penghitungan PPh Pasal 21 merupakan batasan penghasilan yang tidak dikenai pajak
bagi orang pribadi yang berstatus sebagai pegawai, baik pegawai tetap, termasuk
pensiunan; pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon pe- gawai; termasuk juga
pegawai harian lepas, dan distributor multilevel marketing atau direct selling maupun
kegiatan sejenisnya, dengan ke- tentuan yang berbeda-beda.
Besaran PTKP Untuk Tahun Pajak 2013

Penerima PTKP Setahun Sebulan


- Untuk pegawai yang bersangkutan Rp 24.300.000 Rp 2.025.000
- Tambahan untuk pegawai yang kawin Rp 2.025.000 Rp 168.750
- Tambahan untuk setiap anggota keluarga Rp 2.025.000 Rp 168.750
sedarah dan semenda dalam garis keturunan
lurus, serta anak angkat yang menjadi
tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3
orang

Tarif Pajak
1. Tarif pasal 17 UU No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai 1 Januari 2009 :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Tarif Non NPWP


- Sampai dengan Rp 50.000.000 5% 120% x 5% = 6%
- Di atas Rp 50.000.000 s/d Rp 250.000.000 15% 120% x 15% = 18%
- Di atas Rp 250.000.000 s/d Rp 25% 120% x 25% = 30%
500.000.000
- Di atas Rp 500.0000 30% 120% x 30% = 36%

Catatan: Mulai 1 Januari 2009, sesuai dengan Pasal 21 ayat (5a) UU PPh 2008, wajib pajak
orang pribadi yang tidak mempunyai NPWP akan dikenai tarif pajak lebih tinggi sebesar 20%
dari tarif normal yang berlaku.

2. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon sesuai
Per-Menkeu No. 16/PMK.03/2010 ditentukan sebagai berikut:
a) sebesar 0% atas penghasilan bruto sampai dengan Rp. 50.000.000,00;
b) sebesar 5% atas penghasilan bruto di atas Rp. 50.000.000,00 sampai dengan
Rp. 100.000.000,00;
c) sebesar 15% atas penghasilan bruto di atas Rp. 100.000.000,00 sampai dengan
Rp. 500.000.000,00;
d) sebesar 25% atas penghasilan bruto di atas Rp. 500.000.000,00.
3. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun,
Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:
a) sebesar 0% atas penghasilan bruto sampai dengan Rp. 50.000.000,00;
b) sebesar 5% atas penghasilan bruto di atas Rp. 50.000.000,00.
c) Honorarium dan imbalan lain, dengan nama apa pun yang diterima oleh
Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/Polri, yang sumber dananya berasal dari
keuangan negara atau keuangan daerah, kecuali yang dibayarkan kepada PNS
golongan II d ke bawah dan anggota TNI/Polri berpangkat Pembantu Letnan
Satu ke bawah atau Ajun Inspektur Tingkat Satu ke bawah.

Penghitungannya dilakukan dengan menerapkan tarif 15% × penghasilan bruto.

Catatan:
Ketentuan lebih lanjut yang mengatur pengenaan PPh Pasal 21 Final atas uang
pesangon dan honorarium untuk PNS masih menunggu PP dan PMK-nya.
Penghasilan yang diterima oleh orang pribadi WP Luar negeri
 Dikenai PPh Pasal 26 dengan tarif 20% x penghasilan bruto, kecuali bila ada
tax treaty dari negara yang bersangkutan, maka tarif berdasarkan tax treaty
itulah yang jadi pedoman.

9. Taxability dan Deductibility Objek PPH Pasal 21


Strategi memaksimalkan pengurangan (Maximizing Deductions). Prinsip Taxability
Deductibility adalah prinsip yang menjelaskan tentang pos-pos yang dapat/tidak dapat
dikenai pajak penghasilan (objek pajak dan bukan objek pajak penghasilan) dan pos-pos yang
dapat/tidak dapat dibiayakan (pengurangan penghasilan bruto), yang mekanismenya adalah
jika pada pihak pemberi kerja pemberian imbalan/penghasilan dapat dibiayakan (pengurang
penghasilan bruto), maka pada pihak karyawan merupakan penghasilan yang dikenakan
pajak. Sebaliknya jika pada pihak karyawan pemberian imbalan/penghasilan tersebut bukan
merupakan penghasilan, maka pada pihak pemberi kerja tidak dapat dibiayakan (bukan
pengurang penghasilan bruto). Prinsip Taxability Deductibility merupakan
prinsip dasar yang lazim ditetapkan dalam perencanaan pajak, yang pada umumnya dilakukan
dengan mengubah atau menkonversikan penghasilan yang merupakan objek pajak menjadi
penghasilan yang bukan objek pajak, atau sebaliknya mengubah biaya yang tidak boleh
dikurangkan menjadi biaya yang boleh dikurangkan, dengan konsekuensi terjadinya
perubahan pajak terutang akibat pengubahan atau konversi tersebut. Jika kondisi perusahaan
baik dan perusahaan menghasilkan laba besar, maka salah satu alternatif yang
direkomendasikan adalah mengkaji mana yang lebih menguntungkan antara memberi
kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk tunjangan (uang) atau dalam natura (benefit in
kind).
Prinsip Taxability-Deductibility Mengenai Imbalan (Natura/Uang)
Jenis Imbalan Perlakuan biaya bagi Perlakuan PPh Pasal 1 Bagi
Perusahaan/Pemberi Kerja Penerima
Imbalan dalam bentuk uang Deductible Taxable
Imbakan dalam bentuk Non Deductible Non Taxable
natura

Berikut ini adalah penjabaran pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in
kind) kepada para pegawai:
dalam tahun 2010, PT Abx menyediaka dokter dan obat-obatan dengan
cuma-Cuma untuk pemeliharaan kesehatan pegawainya yang berjumlah 1.000 orang, juga
ongkos melahirkan yang jumlah totalnya Rp 360 juta setahun, atau rata-rata biaya untuk
pemeliharaan kesehatan setiap pegawai setiap bulannya berjumlah (1/12 x Rp 360 juta) :
1.000 = 30.000, atau sama dengan Rp 1.000 per orang per hari. Upah rata-rata pegawai
diasumsikan masih sebatas UMR.
- Sebelum tax planning : berdasarkan pasal 4 ayat 3 huruf d UU Pajak Penghasilan,
benefit in kind (seperti biaya berobat ke dokter dan obat) sebesar Rp 360 juta itu
bukan merupakan objek pajak penghasilan (non taxable), sehingga tidak dikenai
pajak. Sebaliknya dari sudut pandang perusahaan yang mengeluarkan biaya, secara
komersial pengeluaran itu merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan
perusahaan, tetapi secara fiska; (pasal 9 ayat 1 huruf e UU PPh) merupakan biaya
yang tidak boleh dikurangkan (non deductible), sehingga harus dilakukan koreksi
fiskal.
Konsekuensinya: karena biaya tersebut meruoakan biaya fiskal yang tidak boleh
dikurangkan, maka koreksi fiskal yang dilakukan oleh Dirjen Pajak menimbulkan
tambahan pajak (PPh Badan) tahun 2010 sebesar 25% x Rp 360 juta = Rp 90 juta.
- Sesudah tax planning: dengan mengubah pemberian dalam bentuk natura atau
kenikmatan (seperti dokter dan obat) menjadi tunjangan kesehatan (uang), maka
secara fiskal (pasal 4 ayat 1 huruf a UU PPh) tunjangan kesehatan tersebut merupakan
penghasilan yang dikenai pajak (taxable) dan dilain pihak, berdasarkan pasal 6 ayat 1
huruf a biaya tunjangan kesehatan tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
perusahaan (deductible).
Solusi yang dianjurkan: untuk menghindari koreksi fiskal tersebut PT ABx
memberikan tunjangan kesehatan (natura) sebagai pengganti, daripada menyediakan
dokter dan memberikan obat dengan cuma-cuma, yang hanya akan menambah
penghasilan pegawai yang akan dipajaki (taxable) sebesar Rp 360 juta. Dan bagi
perusahaan jumlah tersebut merupakan biaya yang boleh dikurangkan (deductible).
- Pajak penghasilan yang dapat dihemat akibat perubahan tersebut adalah sebesar 25%
x Rp 360 juta = Rp 90 juta
Sedangkan dampak pajak (pph Pasal 21) bagi pegawai yang bersangkutan, akibat
penggantian penyediaan dokter dan pemberian obat-obatan dengan tunjangan
kesehatan, yang merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan, praktis tidak ada
beban tambahan pajak, karena penghasilannya (UMR) masih dibawah Penghasilan
Tidak Kena Pajak.
Ditinjau dari segi komersial, biaya fiskal yang besar tersebut tampaknya seperti suatu
pemborosan atau inefisiensi karena adanya kebijakan pemberian tunjangan kesehatan (tunai),
namun harus pula diperhatikan bahwa kebijakan itu akan berdampak pada laba sebelum
pajaknya menjadi lebih kecil dan selanjutnya beban PPh Badan yang terutang pun akan
menjadi lebih kecil. Namun yang lebih penting untuk diperhatikan adalah bahwa strategi
perpajakan bukanlah satu-satunya alat pengambilan keputusan, jangan sampai strategi
perpajakan ini menghambat strategi komersial lainnya tetapi harus saling sinergis untuk
mencapai tujuan perusahaan. Untuk meyakinkan bahwa objek pajak
penghasilan pasal 21 telah dipotong pajaknya, berikut daftar transaksi yang berhubungan
dengan prinsip taxability-deductibility, mana yang menjadi objek pajak dan yang bukan objek
pajak baik bagi karyawan maupun perusahaan.
Tabel III-1
DAFTAR OBJEK DAN TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
NO OBJEK PAJAK TARIF SIFAT
PPh Pasal 21
1. Penghasilan yang diterima oleh Pasal 17 PKP = PB – (BJ+IP) – PTKP
pegawai tetap UU PPh
2. Uang pension bulanan yang Pasal 17 PKP = (PB-BP) – PTKP
diterima pensiunan UU PPh
3. Pegawai tidak tetap yang Pasal 17 PKP= (PB Disetahunkan –
penghasilannya dibayar secara UU PPh PTKP Setahun)
bulanan atau jumlah kumulatif
penghasilan yang diterima
dalam satu bulan kalender telah
melebihi Rp 2.025.000
4. Upah yang diterima oleh
tenaga kerja lepas berupa upah
harian/mingguan/satuan/borong
an dan uang saku harian

Anda mungkin juga menyukai