Anda di halaman 1dari 4

9.

Taxability dan Deductibility Objek PPH Pasal 21


Strategi memaksimalkan pengurangan (Maximizing Deductions). Prinsip Taxability
Deductibility adalah prinsip yang menjelaskan tentang pos-pos yang dapat/tidak dapat dikenai
pajak penghasilan (objek pajak dan bukan objek pajak penghasilan) dan pos-pos yang dapat/tidak
dapat dibiayakan (pengurangan penghasilan bruto), yang mekanismenya adalah jika pada pihak
pemberi kerja pemberian imbalan/penghasilan dapat dibiayakan (pengurang penghasilan bruto),
maka pada pihak karyawan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Sebaliknya jika pada
pihak karyawan pemberian imbalan/penghasilan tersebut bukan merupakan penghasilan, maka
pada pihak pemberi kerja tidak dapat dibiayakan (bukan pengurang penghasilan bruto).
Prinsip Taxability Deductibility merupakan prinsip dasar yang lazim ditetapkan dalam
perencanaan pajak, yang pada umumnya dilakukan dengan mengubah atau menkonversikan
penghasilan yang merupakan objek pajak menjadi penghasilan yang bukan objek pajak, atau
sebaliknya mengubah biaya yang tidak boleh dikurangkan menjadi biaya yang boleh
dikurangkan, dengan konsekuensi terjadinya perubahan pajak terutang akibat pengubahan atau
konversi tersebut. Jika kondisi perusahaan baik dan perusahaan menghasilkan laba besar, maka
salah satu alternatif yang direkomendasikan adalah mengkaji mana yang lebih menguntungkan
antara memberi kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk tunjangan (uang) atau dalam
natura (benefit in kind).

Prinsip Taxability-Deductibility Mengenai Imbalan (Natura/Uang)

Jenis Imbalan Perlakuan biaya bagi Perlakuan PPh Pasal 1 Bagi


Perusahaan/Pemberi Kerja Penerima
Imbalan dalam bentuk uang Deductible Taxable
Imbakan dalam bentuk natura Non Deductible Non Taxable

Berikut ini adalah penjabaran pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in kind)
kepada para pegawai:
dalam tahun 2010, PT Abx menyediaka dokter dan obat-obatan dengan cuma-
Cuma untuk pemeliharaan kesehatan pegawainya yang berjumlah 1.000 orang, juga ongkos
melahirkan yang jumlah totalnya Rp 360 juta setahun, atau rata-rata biaya untuk pemeliharaan
kesehatan setiap pegawai setiap bulannya berjumlah (1/12 x Rp 360 juta) : 1.000 = 30.000, atau
sama dengan Rp 1.000 per orang per hari. Upah rata-rata pegawai diasumsikan masih sebatas
UMR.

- Sebelum tax planning : berdasarkan pasal 4 ayat 3 huruf d UU Pajak Penghasilan, benefit
in kind (seperti biaya berobat ke dokter dan obat) sebesar Rp 360 juta itu bukan
merupakan objek pajak penghasilan (non taxable), sehingga tidak dikenai pajak.
Sebaliknya dari sudut pandang perusahaan yang mengeluarkan biaya, secara komersial
pengeluaran itu merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan perusahaan,
tetapi secara fiska; (pasal 9 ayat 1 huruf e UU PPh) merupakan biaya yang tidak boleh
dikurangkan (non deductible), sehingga harus dilakukan koreksi fiskal.
Konsekuensinya: karena biaya tersebut meruoakan biaya fiskal yang tidak boleh
dikurangkan, maka koreksi fiskal yang dilakukan oleh Dirjen Pajak menimbulkan
tambahan pajak (PPh Badan) tahun 2010 sebesar 25% x Rp 360 juta = Rp 90 juta.
- Sesudah tax planning: dengan mengubah pemberian dalam bentuk natura atau
kenikmatan (seperti dokter dan obat) menjadi tunjangan kesehatan (uang), maka secara
fiskal (pasal 4 ayat 1 huruf a UU PPh) tunjangan kesehatan tersebut merupakan
penghasilan yang dikenai pajak (taxable) dan dilain pihak, berdasarkan pasal 6 ayat 1
huruf a biaya tunjangan kesehatan tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
perusahaan (deductible).
Solusi yang dianjurkan: untuk menghindari koreksi fiskal tersebut PT ABx memberikan
tunjangan kesehatan (natura) sebagai pengganti, daripada menyediakan dokter dan
memberikan obat dengan cuma-cuma, yang hanya akan menambah penghasilan pegawai
yang akan dipajaki (taxable) sebesar Rp 360 juta. Dan bagi perusahaan jumlah tersebut
merupakan biaya yang boleh dikurangkan (deductible).
- Pajak penghasilan yang dapat dihemat akibat perubahan tersebut adalah sebesar 25% x
Rp 360 juta = Rp 90 juta
Sedangkan dampak pajak (pph Pasal 21) bagi pegawai yang bersangkutan, akibat
penggantian penyediaan dokter dan pemberian obat-obatan dengan tunjangan kesehatan,
yang merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan, praktis tidak ada beban
tambahan pajak, karena penghasilannya (UMR) masih dibawah Penghasilan Tidak Kena
Pajak.
Ditinjau dari segi komersial, biaya fiskal yang besar tersebut tampaknya seperti suatu
pemborosan atau inefisiensi karena adanya kebijakan pemberian tunjangan kesehatan (tunai),
namun harus pula diperhatikan bahwa kebijakan itu akan berdampak pada laba sebelum pajaknya
menjadi lebih kecil dan selanjutnya beban PPh Badan yang terutang pun akan menjadi lebih
kecil. Namun yang lebih penting untuk diperhatikan adalah bahwa strategi perpajakan bukanlah
satu-satunya alat pengambilan keputusan, jangan sampai strategi perpajakan ini menghambat
strategi komersial lainnya tetapi harus saling sinergis untuk mencapai tujuan perusahaan.
Untuk meyakinkan bahwa objek pajak penghasilan pasal 21 telah dipotong
pajaknya, berikut daftar transaksi yang berhubungan dengan prinsip taxability-deductibility,
mana yang menjadi objek pajak dan yang bukan objek pajak baik bagi karyawan maupun
perusahaan.

Tabel III-1

DAFTAR OBJEK DAN TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

NO OBJEK PAJAK TARIF SIFAT


PPh Pasal 21
1. Penghasilan yang diterima oleh Pasal 17 PKP = PB – (BJ+IP) – PTKP
pegawai tetap UU PPh
2. Uang pension bulanan yang Pasal 17 PKP = (PB-BP) – PTKP
diterima pensiunan UU PPh
3. Pegawai tidak tetap yang Pasal 17 PKP= (PB Disetahunkan –
penghasilannya dibayar secara UU PPh PTKP Setahun)
bulanan atau jumlah kumulatif
penghasilan yang diterima
dalam satu bulan kalender telah
melebihi Rp 2.025.000
4. Upah yang diterima oleh
tenaga kerja lepas berupa upah
harian/mingguan/satuan/borong
an dan uang saku harian

Anda mungkin juga menyukai