Anda di halaman 1dari 14

MUSYARAKAH DALAM FIKIH MUAMALAH DAN

PERBANKAN SYARIAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Fikih Muamalah

Dosen Pengampu: Drs. H. Umar Muhaimin, Lc. M.Ag

Disusun Oleh:
Kelompok 8 – ES3D

1. Intan Kirana (1820210138)


2. Itsna Nurul Mustafida (1820210139)
3. Muhimmatun hani’ah (1820210140)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PRODI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu bagian terpenting dari muamalah atau ekonomi dalam perspektif
islam adalah musyarakah. Secara sederhana, akad musyarakah digambarkan sebagai
satu proses transaksi dimana dua orang (institusi) atau lebih menyatukan modal untuk
satu usaha dengan presentasi bagi hasil yang telah disepakati.
Dalam konteks perbankan, musyarakah berarti penyatuan modal dari bank dan
nasabah untuk kepentingan usaha. Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk
pembiayaan proyek, dimana nasabah dan pihak bank sama-sama menyediakan dana
untuk membiayai proyek tersebut.setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan
dana tersebut bersama dengan bagi hasil yang telah disepakati dalam kontrak untuk
pihak bank.
Musyarakah sekilas merupakan akad yang didasarkan atas prinsip-prinsip
syariah. Tetapi tentu belum bisa dikatakan bahwa akad ini telah memenuhi kualifikasi
sebagai bagian dari akad-akad syariah. Karena, saat ini banyak sekali bermunculan
bank dengan label syariah tetapi sesungguhnya tidak menerapkan sistem tersebut.
Musyarakah dimaksudkan sebagai pembiayaan khusus untuk modal kerja, dimana
dana dari bank merupakan bagian dari modal usaha nasabah dan keuntungan dibagi
sesuai dengan nisbah yang disepakati.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian musyarakah?
2. Bagaimana dasar hukum musyarakah?
3. Apa saja rukun dan syarat musyarakah?
4. Apa saja jenis-jenis musyarakah?
5. Apa saja tujuan dan manfaat musyarakah?
6. Bagaimana hukum musyarakah?
7. Bagaimana aplikasi musyarakah dalam perbankan syariah?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian musyarakah
Secara bahasa (lughatan), kerja sama (al-syirkah) adalah “percampuran antara
sesuatu dengan yang lain sehingga sulit dibedakan”. Adapun menurut istilah kerja
sama (syirkah) adalah keikutsertaan dua orang atau lebih dalam suatu usaha tertentu
dengan sejumlah modal yang ditetapkan berdasarkan perjanjian untuk bersama-sama
menjalankan suatu usaha dan pembagian keuntungan atau kerugian dalam bagian
yang ditentukan. Atau juga dapat diartikan sebagai akad kerja sama antara dua pihak
atau lebih untuk usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan kontribusi
dana (al-mal/ expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Pendapat lain dikemukakan oleh Zuhaily (1989: 792-793), musyarakah adalah
akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu yang masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana dengan kesempatan bahwa keuntungan dan resiko
akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. 1 Jadi, Musyarakah merupakan
bentuk umum dari usaha bagi hasil yang didefinisikan sebagai akad kerja sama antara
dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana (al-mal) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan
resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Musyarakah dalam fikih, pembagian nisbah ditentukan diawal dengan melihat
presentase modal dan dalam pengelolaan usaha, sedangkan jumlah nominal uang yang
harus dibagi hasil ditentukan setelah mengetahui apakah usaha yang dilakukan
mendapat untung atau rugi. Sedangkan dalam perbankan syariah, pembagian nisbah
ditetapkan oleh pihak bank dengan kesepakatan dari nasabah, untuk presentase bagi
hasilnya sudah ditetapkan oleh pihak bank. Dalam negosiasi yang dibahas adalah
prediksi laba bersih dengan melihat pembukuan beberapa bulan sebelumnya serta
peluang bisnisnya.

B. Dasar Hukum Dalam Musyarkah


1. Al-Qur’an
1
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Ghalia Indonesia, Bogor, 2012, hal. 151
Dalam Al-qur’an Allah berfirman dalam surat Shaad ayat 24 yang artinya:
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebagian mereka berbuat dhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh736) ”

T.M Hasbi Ash Shidieqy (2000:3505) menafsirkan bahwa kebanyakan


orang yang bekerjasama itu selalu ingin merugikan mitra usahanya, kecuali
mereka yang beriman dan melakukan amalan yang sholeh karena merekalah yang
tidak mau mendhalimi orang lain. Tetapi alangkah sedikitnya jumlah orang-orang
seperti itu. Dan juga dalam surat An-nisa’ ayat 12 yang artinya:

“tetapi jika sadara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
olehnya atau sesudah dibayarakannya dengan tidak memberi madhorot (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai ) syariat yang benar-benar dari Allah,
dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Penyantun.” (Depag, 1997:117)

M. Quraish Shihab menerangkan bahwa bagian waris yang diberikan


kepada saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan yang lebih dari seorang,
maka bagiannya adalah sepertiga dari harta warisan, dan dibagi rata sesudah
wasiat dari almarhum ditunaikan tanpa memberi madhorot kepada ahli waris.
Dari kedua ayat diatas menunjukkan bahwa Allah SWT mengakui adanya
perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja surat Shaad ayat 24
menyebutkan perkongsian terjadi atas dasar akad (ikhtikar). Sedangkan surat An-
nisa’ menyebutkan bahwa perkongsian terjadi secara otomatis (jabr) karena
waris.

2. Hadits
Dalam hadits dinyatakan sebagai berikut: “Dari Abu Hurairah, ia berkata:
Rasulullah SAW bersabda : Allah SWT berfirman: Aku adalah pihak pihak ketiga
dari dua orang yang sedang berserikat selama salah satu dari keduanya tidak
khianat terhadap saudaranya (temannya). Apabila diantara mereka ada yang
berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka” ( H.R Abu Dawud),
Hadits ini menerangkan bahwa jika dua orang bekerja sama dalam satu usaha,
maka Allah ikut menemani dan memberikan berkah-Nya, selama tidak ada teman
yang mengkhianatinya. Koperasi akan jatuh nilainya jika terjadi penyelewengan
oleh pengurusnya. Inilah yang diperingatkan Allah SWT, bahwa dalam
berkoperasi masih banyak jalan dan cara yang memungkinkan untuk berkhianat
terhadap sesama anggotanya. Itulah koperasi yang dijauhi atau diangkat
berkahnya oleh Allah SWT, maka kejujuran harus diterapkan kembali. Dengan
melihat hadits tersebut diketahui bahwa masalah serikat (koperasi) sudah dikenal
sejak sebelum islam datang, dan dimuat dalam buku-buku ilmu fiqh islam.
Dimana koperasi termasuk usaha ekonomi yang diperbolehkan dan termasuk salah
satu cabang usaha. Hal ini menunjukkan bahwa Allah menyukai hamba-hambanya
yang melakukan perkongsian selama saling menjunjung tinggi amanat
kebersamaan dan menjauhi pengkhianatan.
3. Ijma’
Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni yang dikutip Muhammad Syafi’I
Antonio dalam bukunya Bank Syariah dari teori ke praktik, telah berkata: kaum
muslimin telah berkonsesus terhadap legitimasi musyarakah secara global
walaupun terdapat perbedaan dalam beberapa elemen darinya.
C. Rukun Dan Syarat Musyarakah
1. Sighat (ijab dan qabul). Syarat sahnya akad musyarakah tergantung pada sesuatu
yang ditransaksikan dan juga kalimat akad hendaknya mengandung arti izin buat
membelanjakan barang syirkah dari perseroan.
2. Al-Aqidain (subjek perikatan/ pihak yang berkontrak). Syaratnya yaitu orang yang
berakal, baligh dan merdeka. Selain itu, seorang mitra harus berkompeten dalam
memberikan kekuasaan perwakilan, dikarenakan dalam musyarakah mitra kerja
juga berarti mewakilkan harta untuk dijadikan usaha.
3. Mahallul Aqd (objek perikatan). Ini berupa modal dan kerja. Syaratnya, pertama,
modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak, atau yang nilainya sama.
Kedua, modal yang dapat terdiri dari asset perdagangan. Ketiga, modal yang
disertakan oleh masing-masing persero dijadikan satu yaitu menjadi harta
perseroan, dan tidak dipersoalkan lagi dari mana asal usul modal itu.2
D. Jenis-Jenis Musyarakah
1. Syirkah Inan

2
Mahmudatus Sa’diyah, Musyarakah Dalam fikih Dan Perbankan Syariah, diakses pada 16 Oktober 2019,
pukul: 11.13 http://jounal.stainkudus.ac.id/index.php/equilibrium/article/dwonload/727/pdf
Yaitu kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu
porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi
dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati diantara mereka.
Namun, porsi masing-masing pihak, baik dalam dana, hasil kerja, maupun bagi
hasil berbeda sesuai dengan kesepakatan mereka.
2. Syirkah Mufawadhah
Yaitu dua orang atau lebih melakukan serikat bisnis dengan syarat adanya
kesamaan dalam permodalan, pembagian keuntungan dan kerugian, kesamaan
kerja, tanggung jawab dan beban hutang. Satu pihak tidak dibenarkan memiliki
saham (modal) lebih banyak dari partnernya, apabila satu pihak memiliki saham
modal sebesar 1000 dinar, sedangkan pihak lainnya 500 dinar, maka ini bukan
syirkah mufawadhah, tapi syirkah inan. Demikian pula aspek-aspek lainnya, harus
memiliki kesamaan.
3. Syirkah Amal/Abdan
Yaitu kontrak kerja sama dua orang atau lebih untuk menerima pekerjaan
secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu, seperti tukang jahit,
tukang besi, tukang kayu, arsitek, dll. Misalnya, kerja sama dua orang arsitek
untuk menggarap sebuah proyek dan keuntungannya nanti dibagi berdua. Syirkah
ini sering disebut syirkah abdan/syirkah shana’iy.
4. Syirkah Wujuh
Yaitu kontrak bisnis antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan
prestise baik, dimana mereka dipercaya untuk mengembangkan suatu bisnis tanpa
adanya modal. Misalnya, mereka dipercaya untuk membawa barang dagangan
tanpa pembayaran cash. Artinya mereka dipercaya untuk membeli barang-barang
itu secara cicilan dan selanjutnya memperdagangkan barang tersebut untuk
mendapatkan keuntungan. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian
berdasarkan jaminan suppleyer kepada masing-masing mereka. Oleh karena bisnis
ini tidak membutuhkan modal, maka kontrak ini biasa disebut syirkah piutang.3
E. Tujuan Dan Manfaat Musyarakah
Tujuan dari musyarakah adalah memberikan keuntungan kepada
karyawannya, memberikan bantuan keuangan dari sebagian hasil usaha koperasi
untuk mendirikan ibadah, sekolah dan sebagainya.

3
Sri Sudiarti, Fikih Muamalah Kontemporer, Febi Uin-su Press, Medan, 2018 hal. 150-151
Adapun manfaat-manfaat yang muncul dari pembiayaan musyarakah meliputi:
pertama, lembaga keuangan akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada
saat keuntungan usaha nasabah meningkat. kedua, pengembalian pokok pembiayaan
disesuaikan dengan cash flow atau arus kas usaha nasabah, sehingga tidak
memberatkan nasabah. Ketiga, lembaga keuangan akan lebih selektif dan hati-hati
mencari usaha yang benar-benar halal, aman dan menguntungkan, keempat, prinsip
bagi hasil dalam musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank
akan menagih pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan
yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
Resiko yang terjadi dalam pembiayaan musyarakah relatif tinggi meliputi:
pertama, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebutkan dalam
kontrak. Kedua, nasabah sering lalai dalam usaha dan melakukan kesalahan yang
disengaja guna kepentingan diri sendiri. Ketiga, penyembunyian keuntungan oleh
nasabah, bila nasabahnya tidak jujur dan pihak lembaga keuangan sulit untuk
memperoleh data sebenarnya.
F. Hukum Musyarakah
Pelaksanaan musyarakah mengandung aspek-aspek hukum secara operasional
yang dikemukakan oleh firdaus at al,(2005:49-50) secara terperinci dijelaskan dalam
uraian-uraian di bawah ini:
1. Hukum tentang modal
a. Kekuasaan perwakilan dan pengaturan
Seorang mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam
proses bisnis normal. Musyarakah dengan pemberian modal (seperti dalam
musyarakah inan) menciptakan sebuah kesatuan dana. Lalu, setiap mitra
memberi wewenang mitra lainnya untuk mengatur aset. Seorang dinilai berhak
atas wewenang itu bila ia menggunakannya secara baik dengan memelihara
kepentingan mitra lainnya. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan
atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
b. Modal yang tidak dipinjami
Seorang mitra tidak bisa menjamin modal mitra lainnya. Karena
musyarakah berdasarkan prinsip al-ghunmu bil ghunmi hak untuk mendapat
keuntungan berhubungan dengan resiko yang diterima. Tetapi, seorang mitra
dapat meminta mitra yang lain untuk menyediakan jaminan atas kelalaian atau
kesalahan yang disengaja.
2. Hukum tentang pekerjaan
a. Perwakilan dalam kerja
Seorang mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama
pribadi dan wakil mitranya. Ini diatur oleh hukum dasar dari kontrak
perwakilan dalam fikih islam. Beberapa dari hukum ini berhubungan dengan
pimpinan, sebagian berhubungan dengan wakil, dan sebagian lainnya
berhubungan dengan hal-hal yang menjadi objek perwakilan.semua ini harus
dijelaskan dalam kontrak musyarakah.
b. Wilayah kerja
Pekerjaan ini termasuk urusan manajemen bisnis, seperti perencanaan,
pembuatan kebijakan, pengembangan program eksekutif, tindak lanjut,
supervisi, penilaian kinerja dan pembuatan keputusan. Kontrak musyarakah
seharusnya memuat pengaturan kerja bagi setiap mitra, termasuk masalah lalai
atau kesalahan yang disengaja. Seorang mitra yang melaksanakan pekerjaan di
luar wilayah tugas yang ia sepakati, berhak memperkerjakan orang lain untuk
menangani pekerjaan tersebut. Jika ia sendiri melakukan pekerjaan, ia berhak
menerima upah yang sama dengan yang dibayar untuk pekerjaan di tempat
lain. Tapi, beberapa ulama membolehkan seorang mitra mewakilkan penuh
kepada yang lain untuk melaksanakan bisnis musyarakah tersebut, jika pilihan
itu dianggap yang terbaik bagi pelaksanaan musyarakah.
c. Penunjukan pekerja
Seorang mitra dapat menunjuk pekerja untuk melaksanakan tugas di
luar wilayah kerja perorangan. Ongkos pekerjan tersebut merupakan
tangungan musyarakah. Jika seorang mitra mempekerjakan orang lain untuk
melaksanakan tugas yang menjadi bagiannya, ongkos yang timbul harus
ditanggungnya sendiri. Penunjukan pekerja sepenuhnya bergantung pada
keperluan dan mereka harus menerima upah karenanya.
d. Pinjaman, meminjamkan, hadiah dan sumbangan sosial
Mitra tidak boleh meminjamkan uang atas nama musyarakah.
Demikian juga meminjamkan uang kepada pihak ketiga dari modal
musyarakah, menyumbangkan atau menghadiahkan uang tersebut, kecuali hal
itu telah disepakati dengan mitra lainnya.
3. Hukum tentang keuntungan
Keuntungan harus dikuantifikasikan atau dinilai jumlahnya. Setiap keuntungan
mitra harus merupakan bagian proposional dari seluruh keuntungan musyarakah.
Seorang mitra tidak dibenarkan untuk menentukan bagian keuntungannya sendiri
pada awal kontrak, karena hal itu melemahkan musyarakah dan melanggar prinsip
keadilan. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi
jumlah tertentu, kelebihan atau persentase itu diberikan kepadanya. Contohnya,
bila seorang dari mereka (mitra) mengatakan, “saya akan mendapat sepuluh jika
kita mendapatkan lebih dari itu” dan mitra lainnya menyepakati, kontrak tersebut
sah. Syarat-syarat tersebut pun bersifat mengikat.
4. Hukum tentang alokasi keuntungan bagi mitra
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah alokasi keuntungan diantara para
mitra. Berikut adalah ringkasan mengenai pendapat tersebut.
a. Pembagian keuntungan proporsional sesuai modal
Keuntungan harus dibagi diantara para mitra secara proporsional sesuai
modal yang disetorkan tanpa memandang apakah jumlah pekerjaan yang
dilaksanakan oleh para mitra sama ataupun tidak sama. Ini adalah pandangan
madzhab maliki dan madzhab Syafi’i. menurut mereka, keuntungan adalah
hasil modal. Karenanya, pembagian keuntungan itu harus proporsional.
b. Pembagian keuntungan secara tidak proporsional
Madzhab hanafi dan madzhab hambali menyetujui pembagian
keuntungan yang tidak proporsional terhadap modal bila para mitra membuat
syarat-syarat tertentu dalam kontrak. Pendapat mereka didasarkan pada
pandangan bahwa keuntungan adalah bukan hasil modal, melainkan hasil
interaksi antara modal dan kerja. Bila salah satu mitra lebih berpengalaman,
ahli dan teliti dari lainnya, dibolehkan baginya untuk mensyaratkan bagi
dirinya sendiri suatu bagian tambahan dari keuntungan sebagai ganti dari
sumbangan kerja yang lebih banyak. Madzhab Hanafi dan Madzhab Hambali
mendukung argumentasi ini dengan merujuk perkataan Ali bin Abi Thalib
r.a,” keuntungan harus sesuai dengan yang mereka tentukan, sedangkan
kerugian harus proporsional dengan modal mereka”. Pendapat ini membantu
dalam mempertimbangkan peran pengalaman, keahlian, jaringan, dan efisiansi
dalam mencapai keuntungan.
Berdasarkan pendapat kedua, keuntungan bersih yang diakui dapat dibagi
sesuai masing-masing mitra dalam melakukan pekerjaannya. Keuntungan
dialokasikan menurut bagian saham setiap mitra dalam total modal.

5. Hukum tentang kerugian


Para ulama sepakat bahwa kerugian harus dibagi diantara para mitra secara
proporsional terhadap saham masing-masing modal. Mereka mendukung pendapat
ini dengan perkataan Ali bin Abi Thalib r.a “keuntungan harus sesuai dengan yang
mereka tentukan, sedangkan kerugian harus proporsional dengan modal mereka”.
Dalam hal musyarakah berkelanjutan (going concern) dibolehkan untuk menunda
alokasi kerugian supaya bisa dikompensasikan dengan keuntungan pada masa-
masa berikutnya.
6. Hukum tentang berhentinya musyarakah
a. Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan yang lainnya.
b. Salah satu pihak kehilangan kecakapan mengelola harta.
c. Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi jika anggota syirkah lebih dari dua,
yang batal hanya yang meninggal dunia.
d. Salah satu pihak berada di bawah pengampunan.
e. Jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi
saham syirkah.

Mayoritas ulama. Kecuali madzhab maliki, berpendapat bahwa musyarakah


adalah salah satu bentuk kontrak yang dibolehkan. ketika salah satu mitra
meninggal dunia, salah satu ahli warisnya yang balig dan berakal sehat dapat
menggantikan posisi mitra yang meninggal tersebut. Namun, hal ini memerlukan
persetujuan ahli waris lain dan mitra musyarakah. Hal demikian juga berlaku jika
salah satu mitra kehilangan kompetensi hukumnya. 4

G. Aplikasi Musyarakah Dalam Perbankan Syariah


Implementasi musyarakah dalam perbankan syariah dapat dijumpai pada pembiayaan-
pembiayaan seperti:
a. Pembiayaan prospek
Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah
dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut.

4
Ismail Nawawi, Op.cit hal. 155-158
Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi
hasil yang telah disepakati untuk bank.
b. Modal ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam
kepemilikan perusahaan, musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura.
Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank
melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun
bertahap.5
Pada saat bank syariah menggunakan musyarakah, aktivitas lebih beragam dan
rumit dari pada transaksi-transaksi sejenis dalam sistem bank konvensional. Karena
bank harus mengganti alat ukur kemampuan peminjam yang digunakan oleh bank
konvensional dengan alat ukur lain yaitu kelayakan proyek dan kemampuannya dalam
merealisasikan laba. Inilah yang mengharuskan bank islam untuk menetapkan frame
pendapatan baru dari berbagai aktifitas ekonomi. Sebelum itu bank harus
memprediksi laba, mengawasi dan berusaha untuk merealisasikan laba itu sesuai
dengan rencana yang sudah ditetapkan. Inilah yang menjadikan bank islam memilkul
tanggung jawab baru dan besar dalam mengukur proyek dan menetapkan standar
nisbah pembagian keuntungan dan kerugian. Sehingga akan tercipta lingkungan baru
yang mendorong untuk menguasai pelaksanaan dan pengawasan proyek-proyek yang
dibiayai. Bank juga harus mengarahkan investasi untuk menjamin keuntungan logis
yang akan diperoleh oleh bank dan para deposan. Selain itu, bank juga berupaya
untuk melindungi dananya dan dana para penabung.6
Ketentuan umum pembiayaan musyarakah sebagai berikut:
1. Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola
bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan
kebijakan usaha yangdijalankan oleh pelaksa proyek. Pemilik modal dipercaya
untuk melakukan tindakan seperti: menggabungkan dana proyek dengan dana
pribadi, menjalankan proyek dengan pihak lain tanpa izin pemilik modal lainnya,
memberi pinjaman pada pihak lain, setiap pemilik modal dapat mengalihkan
penyertaan atau digantikan oleh pihak lain, setiap pemilik modal dianggap

5
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dalam Teori Ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001, hal. 93
6
Asmuni Mth, Aplikasi Musyarakah Dalam Perbankan Islam, diakses pada 16 oktober 2019 pukul 12.16
https://media.neliti.com/media/publications/26004-EN-aplikasi-musyarakah-dalam-perbankan-islam-studi-
fiqh-terhadap-produk-perbankan-i.pdf
mengakhiri kerja sama apabila menarik dari perserikatan meninggal dunia dan
menjadi tidak cakap hukum.
2. Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus
diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai porsi kesepakatan, sedangkan
kerugian dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal.
3. Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai
nasabah harus mengembalikan dana bersama bagi hasil yang telah disepakati
untuk bank.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Musyarakah merupakan bentuk umum dari usaha bagi hasil yang didefinisikan
sebagai akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu
dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (al-mal) dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan. Secara sederhana akad ini bisa digambarkan sebagai satu proses
transaksi diman dua orang atau lebih menyatukan modal untuk satu usaha, dengan
presentase bagi hasil yang telah disepakati.
Dalam konteks perbankan, musyarakah berarti penyatuan modal dari bank dan
nasaba (mitra) untuk kepentingan usaha. Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk
pembiayaan proyek maupun diterapkan dalam skema modal ventura. Untuk
pembagian nisbah bagi hasil diperbankan syariah ditetapkan oleh pihak bank dengan
kesepakatan dari nasabah, sedangkan dalam fikih pembagian bagi hasil ditentukan
setelah mengetahui apakah usahanya mendapatkan untung atau rugi.
DAFTAR PUSTAKA

Nawawi, Ismail, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Ghalia Indonesia, Bogor, 2012
Sa’diyah, Mahmudatus, Musyarakah Dalam fikih Dan Perbankan Syariah, diakses pada 16
Oktober 2019, pukul: 11.13
http://jounal.stainkudus.ac.id/index.php/equilibrium/article/dwonload/727/pdf
Sudiarti, Sri, Fikih Muamalah Kontemporer, Febi Uin-su Press, Medan, 2018

Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syariah Dalam Teori Ke Praktik, Gema Insani, Jakarta,
2001

Mth, Asmuni, Aplikasi Musyarakah Dalam Perbankan Islam, diakses pada 16 oktober 2019
pukul 12.16 https://media.neliti.com/media/publications/26004-EN-aplikasi-musyarakah-
dalam-perbankan-islam-studi-fiqh-terhadap-produk-perbankan-i.pdf

Anda mungkin juga menyukai