Anda di halaman 1dari 19

PARADIGMA PEMIKIRAN FILSAFAT ILMU

DALAM FIQIH : AHMAD BIN HANBAL

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Filsafat Ilmu Keislaman
Dosen pengampu : Dr. KH. Ahmad Ismail, M.Ag., M.Hum.

Oleh :
Fikri Gopari 1903018113

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2020

1
A. Pendahuluan
Hukum-hukum yang lebih sering disebut dengan fiqh
dalam sejarah intelektual Islam dibedakan dengan
“Syari‟ah”. Syari‟ah adalah ajaran dasar, bersifat universal
dan permanen, sedangkan fiqh adalah penafsiran kultural
terhadap Syari‟ah yang dikembangkan oleh ulama-ulama
fiqh semenjak abad kedua Hijriyyah.1 Di antara para ulama
fiqh tersebut ialah Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin
Anas, Imam Syafi‟ie dan Imam Hanbal yang dikenal dengan
Aimmat al-arba’ah dan dipandang sebagai Imamimam
mazhab.
Sosok Imam Ahmad dalam sejarah perkembangan
fikih Islam menempati tempat tersendiri. Setidaknya ada tiga
hal yang menarik dalam membahas pendiri mazhab Hanbal
ini. Pertama, kontroversi dalam menempatkan posisinya
dalam pembidangan ilmu. Apakah dia seorang muhaddis
saja, atau juga seorang fakih; kedua, pengaruh hadis yang
demikian besar dalam pemikiran fikih dan ushul fikihnya,
sehingga mazhabnya dijuluki dengan mazhab fikih al-
sunnah; ketiga, kebijakannya melarang pencatatan fatwa-

1
Muhammad Yasir, “Kitab Musnan Ahmad Ibn Hanbal” Jurnal Menara,
Vol. 12 No. 2 Juli – Desember 2013. hlm 165

2
fatwanya, yang pada tingkat tertentu mengakibatkan kurang
berkembangya mazhab fikihnya.2
Dalam tulisan ini penulis menekankan pembahasan
kepada paradigma pemikiran filsafat ilmu dalam fiqih
Ahmad bin Hanbal. Perbahasan tersebut dinilai untuk
menjawab kontroversi Ahmad bin Hambal bukan hanya
muhadis namun juga seorang faqih. Ada berapa masalah
yang dirusmuskan yaitu : bagaimana biografi Ahmad bin
Hanbal, bagaimana kedudukan fiqih dalam pemikiran Islam,
bagaimana latar belakang metode dan istinbath hukum
Ahmad bin Hanbal, bagaimana pemikiran filsafat ilmu dalam
fiqih Ahmad bin Hanbal.
A. Biografi Ahmad bin Hanbal
Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn
Hanbal ibn Hilal ibn Asad ibn Idris ibn „Abdillah ‟ibn ibn
Hayyan ibn Abdillah ibn Anas ibn „Auf ibn Qasit ibn
Mukhazin ibn Syaiban ibn Zahl ibn Sa‟labah ibn „Ukabah
ibn Sa‟b ibn „Ali ibn Bakr ibn Wa‟il ibn Qasit ibn Hanb ibn
Aqsa ibn Du‟ma ibn Jadilah ibn Asad ibn Rabi‟ah ibn Nizar
ibn Ma‟ad ibn „Adnan ibn „Udban ibn al-Hamaisa‟ ibn Haml

2
Marzuki, “Ahmad Bin Hanbal (Pemikiran Fikih dan Ushul Fikihnya)”,
Jurnal Hunafa Vol. 2 No. 2 Agustus 2005: 107.

3
ibn an-Nabt ibn Qaizar ibn Isma‟il ibn Ibrahim asy-Syaibani
al Marwazi.3 Dengan kata alin, beliau keturunan Arab dari
suklu banu Syaiban, sehingga diberi Laqab al-Syaibany.
Diberi julukan Abu Abdillah. Kakeknya, Hanbal ibn Hilal
adalah Gubernur Sarakhs yang bersama dinasty Abbasiyyah
aktif menentang dinasti Umayyah di Khurasan.4
Imam Ahmad ibn Hanbal lahir di Baghdad pada masa
pemerintahan „Abbasiyyah dipegang oleh al-Mahdi, yaitu
pada bulan Rabi‟ al-Awwal tahun 164 H bertepatan dengan
tahun 780 M.5 Sejak kecil beliau memang menunjukkan
minat yang mendalam terhadap ilmu pengetahuan, hal ini
dapat terlihat dari kebiasaan beliau yakni selalu membawa
tinta dan kertas kemana saja beliau pergi, untuk menulis
sesuatu yang dirasakan bermanfaat baginya. Pada saat itu,
Baghdad merupakan kota pusat ilmu pengetahuan, sehingga
beliau tidak melewatkan kesempatan tersebut dengan
memperdalam ilmu pengetahuan, beliau memulai dengan

3
Kamil Muhammad „Uwaidah, Ahmad ibn Hanbal Imam Ahl as-Sunnah
wa al- Jama’ah,(Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1992), hlm. 3.
4
Muhammad Yasir, “Kitab Musnan Ahmad Ibn Hanbal” Menara, Vol.
12 No. 2 Juli – Desember 2013. hlm 165.
5
M. Abu Zahrah, Ibn Hanbal Hayatuhu wa Ashruhu Arauhu Wafiqhuhu,
(Mesir: Dar al- Fiqr, 1981), hlm 15.

4
belajar menghafal al-Quran, kemudian belajar bahasa Arab,
dan hadis.6
Imam Ahmad bin Hanbal meninggal setelah menderita
sakit selama sembilan hari dengan meninggalkan berbagai
karya tulis antara lain; Kitab al-Musnad sebuah karya yang
menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh
tujuh ribu hadis. Kitab al-Tafsir, namun al-Zahabi
mengatakan bahwa kitab ini telah hilang. Kitab al-nasikh wa
al-mansukh. Kitab al-tarikh, Kitab hadis Syu’bah. Kitab
Muqaddam wa Muakhhar fi al-Quran. Kitab Jawaban al-
Quran. Kitab Manasik al-Kabir dan Kitab Manasik as-
Shagir, dan masih banyak kitab lainnya. Dibandingkan
dengan mazhab fiqh lainnya, perkembangan pengikut
mazhab Hanbali agar tersendat hal ini disebabkan karena
rata-rata ulama Mazhab Hanbali enggan duduk dalam
pemerintahan seperti menempati jabatan qadi atau mufti,
sehingga Mazhab Hanbali tidak pernah menjadi mazhab
resmi negara.7

6
Husnul Khatimah, “Sejarah Pemikiran Hukum Ahmad Bin Hanbal”.
Jurnal Lisan Al-Hal : Volume 11, No. 1, Juni 2017. hlm 161.
7
H. M. Mawardi Djalaluddin, “ Unsur Kemoderenan Dalam Mazhab
Inbu Hanbal”, Al-Daulah : Vol. 6 / No. 1 / Juni 2017, Hal 21.

5
B. Kedudukan Fiqih dalam Pemikiran Islam
Ilmu-ilmu keislaman termasuk ilmu fiqih dan ushul
fiqih, dianggap oleh banyak umat Islam yang bersumber
pada premis keyakinan. Umat Islam sering terjebak dengan
istilah ilmu-ilmu keislaman yang identik dengan wahyu. Fiqh
diidentikkan dengan wahyu, ilmu kalam identik dengan
wahyu, ilmu tasawwuf identik dengan wahyu, dan
seterusnya. Akibatnya, pembicaraan akademik sering macet
lantaran sudah dipatoki dengan wahyu. Suatu teori baru tidak
dapat lahir karena teori lama dianggap identik dengan
wahyu.8
Kata fikih berasal dari bahasa Arab faqiha-yafqahu-
fiqh yang memiliki arti mengerti, memahami. Dalam banyak
tempat, al-Qur‟an menggunakan kata fiqh dalam pengertian
umum, yaitu “pemahaman”. Ekspresi al-Qur‟an
liyatafaqqahu fi ad-din (untuk memahami masalah agama)
memperlihatkan bahwa pada masa Nabi Saw. Istilah fiqih
sebagai pengertian hukum Islam secara khusus belum
digunakan. Pada masa itu fiqih memiliki pengertian yang

8
Ahmad Ghozali Ihsan, “Pengembangan Ilmu Ushul Al Fiqh”, Al-
Ahkam : Jurnal Ilmu Syari'ah Dan Hukum, Vol. 2, Nomor 2, 2017. hal 106.

6
luas yang mencakup semua dimensi agama, seperti teologi,
politik ekonomi dan hukum.
Ketika studi-studi masalah agama telah meluas, secara
bertahap fikih akhirnya dibatasi pada masalah-masalah
hukum. al-Amidi, seorang ulama fikih bermadzhab Syafi‟i
mendefinisikan fiqih sebagai ilmu tentang kumpulan hukum-
hukum syara‟ furu’iyah dengan cara mencurahkan pemikiran
dan istidlal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa produk
fiqih adalah kumpulan hukum syara‟ karena fiqih adalah
ilmu atau pengetahuan tentang hukum suatu perbuatan (baik
wajib, haram, sunnah, mubah dan makruh) yang dikerjakan
oleh manusia dimana hukum-hukum itu diketahui dengan
cara mengeluarkannya dari dalil-dalil yang ada dalam nash
al-Qur‟an maupun Hadits.9
Fiqih menempati posisi penting dalam dalam peta
pemikiran Islam. Tidak berlebihan ketika Schacht
mengatakan bahwa hukum Islam menempati posisi yang
sangat sentral dalam rasa keagamaan kaum muslimin. Begitu
penting dan menonjolnya Fiqih ini, maka tidak heran jika ada

9
Lina Kushidayati, Agus Fakhrina, Iman Fadhilah, “Pengembangan
Ilmu Fikih Dalam Perspektif Filsafat Ilmu”, Yudisia : Jurnal Pemikiran Hukum
Dan Hukum Islam, Vol. 5, No. 2, Desember 2014, hal 381.

7
yang mengatakan andaikan saja peradaban Islam bisa
diungkapkan dengan salah satu produknya, maka kita akan
menamakannya sebagai “Peradaban Fiqih”, sebagaimana
Yunani diidentikkan dengan “Peradaban Filsafat”.
Snouck Hurgronje mengatakan, “Islam is a religion of
law in full meaning of the world.” Joseph Schacht
menyatakan adalah sebuah truism untuk mengatakan Islam
sebagai agama hukum. Menurut H. A. R. Gibb, hukum Islam
(Fiqih) adalah “the epitome of the true Islamic spirit, the
most desicive expression of Islamic thought, the essential
kernel of Islam.8 Oleh karena itu, banyak peneliti Islam yang
berkesimpulan tidak mungkin untuk memahami Islam
dengan baik tanpa pengetahuan komprehensif tentang
Fiqih.10
C. Latar Belakang Metode dan Istinbath Hukum Fiqih Ahmad
bin Hanbal
Pada tahun 195 H Ahmad belajar fiqh dan ushul fiqh
pada Imam Syafi‟i yang pada waktu itu berada di Hijaz.13
Di Hijaz pula beliau belajar pada Imam Malik dan Imam al-
Laits ibn Sa‟ad al-Misri. Dalam pencarian hadith beliau juga

10
Ridwan Hamidi, “Epistemologi Islam: Telaah Bidang Fiqih dan Ushūl
Fiqih”, Prosiding Seminar Nasional, ISBN 978-602-72446-0-3, hlm 447.

8
pergi ke Yaman, kepada Abdurraziq bin Hammam dan ke
daerah-daerah lain seperti Khurasan dan Persia.
Ahmad menganggap Imam Syafi‟i sebagai guru
besarnya, oleh karena itu dalam pemikiran beliau banyak
dipengaruhi oleh Imam Syafi‟i. Hal ini dapat diketahui dari
kata-kata Ahmad ibn Hanbal ketika beliau sudah menjadi
Imam yang besar, beliau berkata ”Apabila saya ditanya
tentang sesuatu yang tidak saya jumpai kabar (yakni hadis
dan atsar para sahabat) yang menjelaskannya, maka saya
berpegang kepada pendapat Imam Syafi‟i.”11
Meskipun pemikiran dan metode Ahmad banyak
dipengaruhi oleh Imam Syafi‟i, akan tetapi warna fiqh yang
dihasilkannya kadang berbeda dengan Imam Syafi‟i, hal
tersebut sangat mungkin karena beliau lebih menguasai
hadith daripada Imam Syafi‟i. Dalam masalah yang sama
Ahmad bisa berbeda pendapat dengan Imam Syafi‟i, karena
beliau mempunyai hadith tentang masalah tersebut,
sementara Imam Syafi‟i tidak.
Pemikiran fikih Imam Ahmad sangat dipengaruhi oleh
kedalaman pengetahuannya tentang hadis. Hadis menempati

11
Husnul Khatimah, “Sejarah Pemikiran Hukum Ahmad Bin Hanbal”...,
hlm 163.

9
posisi sentral, di samping Al-Qur‟an dalam mazhab fikihnya.
Dia menentang keras pendapat yang berdasarkan kepada al-
Qur‟an semata dengan mengabaikan hadis. Tetapi bukan
berarti Imam Ahmad bersikap pesimis dalam menerima
hadis. Hadis-hadis diseleksinya dengan ketat, terutama hadis-
hadis hukum. Hadis-hadis yang tidak berkaitan langsung
dengan masalah hukum, dia memperlonggar seleksi
penerimaannya. Imam Ahmad dapat menerima hadis dha‟if
sebagai hujjah dalam masalah fadha'il al-'amal, selama
kedhaifannya bukan karena perawinya pembohong.
Abdul Wahab, salah seorang murid Imam Ahmad,
menggambarkan keluasan pengetahuan Ahmad tentang hadis
dan intensitas penggunaan hadis dalam fatwa-fatwa Imam
Ahmad dengan berkata: "Saya belum pernah melihat orang
seperti Ahmad. Dia ditanya mengenai 60.000 masalah, lalu
dia jawab dengan haddatsana … ahkbarana…." Maksudnya
Ahmad menjawab semua masalah tersebut dengan memakai
hadis.12
Ahmad ibn Hambal hidup pada periode pertengahan
kekhalifahan „Abbasiyah, ketika unsur Persia mendominasi

12
Marzuki, “Ahmad Bin Hanbal (Pemikiran Fikih dan Ushul
Fikihnya)”..., hal 111.

10
unsur Arab. Pada periode ini sering kali timbul pergolakan,
konflik, dan pertentangan yang berkisar pada soal kedudukan
putra mahkota dan khilafat antara anak-anak khalifah dan
saudara-saudaranya. Saat itu, aliran Mu‟tazilah berkembang
bahkan menjadi mazhab resmi negara pada pemerintahan al-
Ma‟mun, al Mu‟tashim, dan al-Watsiq.13
Langkah-lankah ijtihad yang dilakukan oleh Ahmad
ibn Hambal sebagai berikut :
1) Menurut Ahmad ibn Hambal, sumber hukum pertama
dalah al-nushush, yaitu al-Qur‟an dan hadis yang marfu’.
2) Fatwa sahabat. Apabila imam Ahmad mendapat fatwa
sahabat dan tidak menemukan pendapat yang berbeda
dengannya, maka ia tidak berpaling ke rasio dan kias.
3) Apabila terjadi perbedaan pendapat para sahabat, maka
imam Ahmad memilih pendapat yang sangat dekat kepada
al-Qur‟an dan sunah.
4) Mengambil hadis mursal dan dha‘if sekiranya tidak ada
yang menghalanginya.
5) Qias digunakan apabila dalam keadaan darurat.

13
M. Ali Rusdi Bedong, “Metodologi Ijtihad Imam Mujtahidin (Corak
Pemikiran Dan Aliran)”, Jurnal Al-‘Adl : Vol. 11 No. 2, Juli 2018, hlm 142.

11
Metode ijtihad yang dikembangkan imam Ahmad ibn
Hambal menunjukkan bahwa pola pemikiran literalis.14
D. Pemikiran Filsafat Ilmu dalam Fiqh Ahmad bin Hanbal
Ahmad bin Hanbal memberikan kontribusi yang sangat
besar terhadap umat Islam, diantara adalah imam Ahmad
mengumpulkan dan menyusun hadith secara rapi dan
sempurna mengikutkan nama-nama sahabat Nabi
Muhammad SAW yang meriwayatkannya satu persatu dalam
kitab Musnadnya. Sifat ketelitian dan kesungguhan Imam
Ahmad bin Hanbal menyelidiki hadith-hadith Nabi
Muhammad SAW dapat membersihkan hadith-hadith dari
pemalsuan. Usaha ini juga menjadikan hadith dan sunah
Rasulullah terpelihara dan terhimpun dengan sempurna.
Dalam bidang fiqh, beliau mengemukakan hujjah
menolak pendapat yang berdasarkan pemikiran sendiri dan
yang tidak sesuai dengan al-Qur‟an dan as sunnah. Aliran ini
dikenali dengan nama Madzhab Hambali. Imam Hanbali pun
menekankan semangat anti ar ra‟yu (pemikiran atau filsafat

14
M. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintas Sejarah, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1996), h. 132-134.

12
dengan landasan logik).15 Besarnya pengaruh pemikiran
ijtihad sahabat terhadap Ahmad bin Hanbal dapat dilihat dari
dua aspek, yaitu metode istinbath dan dalil hukum yang
digunakannya di mana agak berbeda dengan pendahulunya,
baik Imam Malik maupun Imam al-Syafi‟i. Ahmad bin
Hanbal tidak begitu banyak dipengaruhi keduanya dalam
melakukan istinbat hukum terutama dalam mengambil
sumber rujukannya terhadap mazhab sahabat.16 Hal ini di
karenakan imam Ahmad bin Hambal terkenal sangat berhati
hati dalam intinbath hukum.
Berkenaan dengan sumber dan metode memperoleh
hukum Islam, ada permasalahan mendasar yang perlu
dijawab, yaitu bagaimana peran akal dalam menggali hukum
Islam?. Pandangan Ahmad bin Hanbal tentang akal ini bisa
dilihat dari penggunaan beliau tentang qiyas bila sudah
dalam keadaan terpaksa karena tidak didapatkan dalam
hadith mursal ataupun do‟if dan juga fatwa para sahabat.
Terkadang Imam Ahmad menggunakan al Mashalih al
Mursalah terutama dalam bidang siyasah. Sebagai contoh

15
Husnul Khatimah, “Sejarah Pemikiran Hukum Ahmad Bin Hanbal”...,
hlm 164.
16
H. M. Mawardi Djalaluddin, “ Unsur Kemoderenan Dalam Mazhab
Ibnu Hanbal”..., Hal 22.

13
Imam Ahmad pernah menetapkan hukum ta’zir terhadap
orang yang selalu berbuat kerusakan dan menetapkan hukum
had yang lebih berat terhadap orang yang minum khamr
pada siang hari di bulan Ramadlan.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa sebenarnya pada
permulaan perkembangan Islam, peranan akal di kalangan
kaum muslimin relatif lebih besar daripada dalam
perkembangan kemudian. Hal ini dapat dilihat pada beberapa
hasil ijtihad Umar ibn Khaththab misalkan yang secara
tekstual mungkin dianggap bertentangan dengan nash baik
al-Qur‟an maupun Hadits seperti pada masalah harta
rampasan perang dan zakat. Umar pernah tidak membagikan
harta rampasan perang yang berupa tanah pertanian di
Damaskus kepada para tentara yang maju perang, namun
membiarkannya dikuasai oleh penduduk setempat untuk
dikelola dan hasilnya sebagian diserah kepada khalifah
sebagai kharaj untuk digunakan menggaji para tentara.
Keputsannya secara kasat mata terlihat bertentangan
dengan ayat al-Qur‟an surat al-Anfal ayat 41. Namun Umar
memiliki pandangan lain. Menurutnya apabila harta
rampasan perang itu dibagikan kepada para tentara maka
tidak memberikan manfaat apa-apa atau hanya memberika

14
sedikit manfaat, karena cenderung tanah pertanian tersebut
akan terbengkalai. Sementara wilayah Islam semakin luas
yang membutuhkan lebih banyak tentara untuk menjaganya
dan tentunya membutuhkan lebih banyak gaji untuk mereka.
Oleh karena itu, penduduk setempat dibiarkan tetap
menguasainya untuk dikelola dan hasilnya sebagian diserah
kepada khalifah sebagai kharaj untuk digunakan menggaji
para tentara.17
Pesatnya perkembangan zaman tidak membuat Imam
Ahmad ibn Hambal (164-241 H.) berpikir rasional, bahkan
hasil rumusannya sangat ketat dan kaku dibanding Imam
Maliki yang tradisional. Sekurang-kurangnya, ada dua faktor
yang menjadikan AHmad ibn Hambal berpikir seperti itu,
yaitu faktor munculnya berbagai aliran. Pada masa itu, aliran
Syi‟ah, Khawarij, Qadariyah, Jahmiyah, dan Murjiah yang
kesemua aliran tersebut telah banyak keluar atau
menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya.
Semisal Mu‟tazilah berpendapat bahwa al-Qur‟an
adalah makhluk, suatu pendapat yang melanggar konsensus
ulama pada saat itu. Faktor inilah yang menyebabkan Imam

17
Lina Kushidayati, Agus Fakhrina, Iman Fadhilah, “Pengembangan
Ilmu Fikih Dalam Perspektif Filsafat Ilmu”..., hal 386.

15
AHmad ibn Hambal mengajak kepada masyarakat untuk
berpegang teguh kepada hadis dan sunah. Sikap ini berbeda
dengan Imam al-Syafi‟i yang melawan ijtihad rasional pada
saat itu dengan memadukan hadis dan rasio. Sebaliknya,
Imam Ahmad ibn Hambal justru berpendapat bahwa ijtihad
itu sendiri harus dilawan dengan kembali berpegang teguh
kepada hadis atau sunah.18 Dengan demikian sebenarnya
dapat di ambil penjelasan bahwa corak pemikiran hukum
Ahmad bin Hanbal adalah Tradisional (fundamental).
Sehingga sangat berpegang teguh terhadap al-Qur‟an dan
sunnah.
E. Penutup
1. Kesimpulan
Imam Ahmad ibn Hanbal lahir di Baghdad pada
masa pemerintahan „Abbasiyyah dipegang oleh al-Mahdi,
yaitu pada bulan Rabi‟ al-Awwal tahun 164 H bertepatan
dengan tahun 780 M. Fiqih menempati posisi penting
dalam dalam peta pemikiran Islam. Tidak berlebihan
ketika Schacht mengatakan bahwa hukum Islam
menempati posisi yang sangat sentral dalam rasa

18
M. Ali Rusdi Bedong, “Metodologi Ijtihad Imam Mujtahidin (Corak
Pemikiran Dan Aliran)”..., hlm 141.

16
keagamaan kaum muslimin. Pemikiran fikih Imam
Ahmad sangat dipengaruhi oleh kedalaman
pengetahuannya tentang hadis. Hadis menempati posisi
sentral, di samping Al-Qur‟an dalam mazhab fikihnya.
Adapun corak pemikiran hukum beliau adalah
Tradisional (fundamental), dan dasar pemikiran
hukumnya yaitu : 1. Al-Qur'an secara zhahir dan Sunah 2.
Fatwa sahabat 3. Jika ada perbedaan fatwa sahabat,
digunakan yang lebih dekat dengan al-Qur‟an 4. Hadis
mursal dan dha„if 5. Qias. Dalam bidang fiqh, beliau
mengemukakan hujjah menolak pendapat yang
berdasarkan pemikiran sendiri dan yang tidak sesuai
dengan al-Qur‟an dan as sunnah. Hal ini di karenakan
Ahmad bin Hambal terkenal sangat berhati hati dalam
intinbath hukum.
2. Saran
Demikian makalah ini, tentunya masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharap kritik dan
saran dari pembaca sekalian. Semoga makalah ini
bermanfaat dan bisa menambah wawasan kita semua.
Aamiin.

17
DAFTAR PUSTAKA

„Uwaidah, Kamil Muhammad. Ahmad ibn Hanbal Imam Ahl as-


Sunnah wa al- Jama’a. Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah,
1992.

Bedong, M. Ali Rusdi. “Metodologi Ijtihad Imam Mujtahidin


(Corak Pemikiran Dan Aliran)”. Jurnal Al-‘Adl : Vol. 11 No.
2. Juli 2018.

Djalaludin, H. M. Mawardi. “ Unsur Kemoderenan Dalam Mazhab


Inbu Hanbal”. Al-Daulah : Vol. 6 / No. 1 / Juni 2017.

Fadillah, Lina Kushidayati. Agus Fakhrina. Iman. “Pengembangan


Ilmu Fikih Dalam Perspektif Filsafat Ilmu”. Yudisia : Jurnal
Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam. Vol. 5, No. 2.
Desember 2014.

Hamidi, Ridwan. “Epistemologi Islam: Telaah Bidang Fiqih dan


Ushūl Fiqih”. Prosiding Seminar Nasional. ISBN 978-602-
72446-0-3.

Ihsan, Ahmad Ghozali. “Pengembangan Ilmu Ushul Al Fiqh”. Al-


Ahkam : Jurnal Ilmu Syari'ah Dan Hukum. Vol. 2. Nomor 2,
2017.

Khatimah, Husnul. “Sejarah Pemikiran Hukum Ahmad Bin


Hanbal”. Jurnal Lisan Al-Hal : Volume 11, No. 1, Juni
2017.

18
Marzuki, “Ahmad Bin Hanbal (Pemikiran Fikih dan Ushul
Fikihnya)”, Jurnal Hunafa Vol. 2 No. 2 Agustus 2005.

Yasir, Muhammad. “Kitab Musnan Ahmad Ibn Hanbal” Jurnal


Menara, Vol. 12 No. 2 Juli – Desember 2013.

Zahra, M. Abu. Ibn Hanbal Hayatuhu wa Ashruhu Arauhu


Wafiqhuhu. Mesir: Dar al- Fiqr, 1981.

Zuhri, M. Hukum Islam dalam Lintas Sejarah. Jakarta: PT.


RajaGrafindo Persada, 199.

19

Anda mungkin juga menyukai