Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini
sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat
hidup sebaik-baiknya. Peralihan dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin memerlukan berbagai
perubahan biokimia dan faali. Namun, banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan
dengan gangguan atau kegagalan penyesuaian biokimia dan faali.
Infeksi merupakan salah satu penyebab terpenting morbiditas dan mortalitas pada bayi baru
lahir. Sepsis berhubungan dengan angka kematian 13% - 50% dan kemungkinan morbiditas yang
kuat pada bayi yang bertahan hidup. (Fanaroff & Martin, 1992). Infeksi pada neonatus di negeri
kita masih merupakan masalah yang gawat. Di Jakarta terutama di RSCM, infeksi merupakan 10
– 15% dari morbidilitas perinatal.
Infeksi pada neonatus merupakan sebab yang penting terhadap terjadinya morbiditas dan
mortalitas selama periode ini. Lebih kurang 2% janin dapat terinfeksi in utero dan 10% bayi baru
lahir terinfeksi selama persalinan atau dalam bulan pertama kehidupan. (Rachma, 2005).
Angka kejadian infeksi neonatorum masih cukup tinggi dan merupakan penyebab kematian
utama pada neonatus. Hal ini dikarenakan neonatus rentan terhadap infeksi.Kerentanan neonatus
terhadap infeksi dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain kulit dan selaput lendir yang tipis
dan mudah rusak, kemampuan fagositosis dan leukosit immunitas masih rendah.
Immunoglobulin yang kurang efisien dan luka umbilikus yang belum sembuh. Bayi dengan
BBLR lebih mudah terkena infeksi neonatorum. Tindakan invasif yang dialami neonatus juga
meningkatkan resiko terjadinya infeksi nasokomial. (Surasmi, 2003).
B. Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan infeksi pada bayi/sepsis neonatorum?
2.      Apa klasifikasi dari sepsis neonatorum?
3.      Apa penyebab terjadinya sepsis neonatorum?
C. Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui definisi sepsis neonatorum.
2.      Mengetahui klasifikasi dari sepsis neonatorum.
3.      Mengetahui etiologi sepsis neonatorum.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Sepsis merupakan respon tubuh terhadap infeksi yang menyebar melalui darah dan jaringan
lain. Sepsis terjadi pada kurang dari 1% bayi baru lahir tetapi merupakan penyebab daro 30%
kematian pada bayi baru lahir. Infeksi bakteri 5 kali lebih sering terjadi pada bayi baru lahir yang
berat badannya kurang dari 2,75 kg dan 2 kali lebih sering menyerang bayi laki-laki.
Ada juga beberapa ahli mendefinisikan sepsis, yaitu :
1. Sepsis neonatorum atau septikemia neonatal didefinisi sebagai infeksi bakteri pada aliran
darah bayi selama empat minggu pertama kehidupan. (Bobak, 2004).
2. Sepsis adalah infeksi bakteri generalisata yang biasanya terjadi pada bulan pertama
kehidupan. (Mary E. Muscari, 2005).
3. Sepsis neonatorum atau septicemia neonatorum merupakan keadaan dimana terdapat
infeksi oleh bakteri dalam darah di seluruh tubuh. (Maryunani, 2009).
4. Sepsis neonatorum adalah infeksi berat yang diderita neonatus dengan gejala sistematik
dan terdapat bakteri dalam darah. Perjalanan penyakit sepsis neonatorum dapat
berlangsung cepat sehingga sering sekali tidak terpantau,tanpa pengobatan yang memadai
bayi dapat meninggal dalam 24 sampai 48 jam. (Surasmi, 2003).

B. Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatus dapat dibagi menjadi dua bentuk (Maryunani,
2009) yaitu:
Sepsis dini/Sepsis awitan dini Merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode
setelah lahir (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau inutero.
Sepsis lanjutan/sepsis nasokomial atau sepsis awitan lambat (SAL)
Merupakan infeksi setelah lahir (lebih dari 72jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau
rumah sakit (infeksi nasokomial).

   
C. Etiologi
Penyebab neonatus sepsis/sepsis neonatorum adalah berbagai macam kuman seperti bakteri,
virus, parasit, atau jamur. Sepsis pada bayi hampir selalu disebabkan oleh bakteri.
a. Bakteri escherichia koli
b. Streptococus group B
c. Stophylococus aureus
d. Enterococus
e. Listeria monocytogenes
f. Klepsiella
g. Entererobacter sp
h. Pseudemonas aeruginosa
i. Proteus sp
j. Organisme anaerobic
k. Streptococcus grup B dapat masuk ke dalam tubuh bayi selama proses kelahiran.
Menurut Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) Amerika, paling tidak terdapat
bakteria pada vagina atau rektum pada satu dari setiap lima wanita hamil, yang dapat
mengkontaminasi bayi selama melahirkan. Bayi prematur yang menjalani perawatan intensif
rentan terhadap sepsis karena sistem imun mereka yang belum berkembang dan mereka biasanya
menjalani prosedur-prosedur invasif seperti infus jangka panjang, pemasangan sejumlah kateter,
dan bernafas melalui selang yang dihubungkan dengan ventilator. Organisme yang normalnya
hidup di permukaan kulit dapat masuk ke dalam tubuh kemudian ke dalam aliran darah melalui
alat-alat seperti yang telah disebut di atas.
Bayi berusia 3 bulan sampai 3 tahun beresiko mengalami bakteriemia tersamar, yang bila
tidak segera dirawat, kadang-kadang dapat megarah ke sepsis. Bakteriemia tersamar artinya
bahwa bakteria telah memasuki aliran darah, tapi tidak ada sumber infeksi yang jelas. Tanda
paling umum terjadinya bakteriemia tersamar adalah demam. Hampir satu per tiga dari semua
bayi pada rentang usia ini mengalami demam tanpa adanya alasan yang jelas – dan penelitian
menunjukkan bahwa 4% dari mereka akhirnya akan mengalami infeksi bakterial di dalam darah.
Streptococcus pneumoniae (pneumococcus) menyebabkan sekitar 85% dari semua kasus
bakteriemia tersamar pada bayi berusia 3 bulan sampai 3 tahun.
Faktor- faktor yang mempengaruhi kemungkinan infeksi secara umum berasal dari tiga
kelompok, yaitu :
1. Faktor Maternal
a. Status sosial-ekonomi ibu, ras, dan latar belakang. Mempengaruhi kecenderungan
terjadinya infeksi dengan alasan yang tidak diketahui sepenuhnya. Ibu yang berstatus
sosio- ekonomi rendah mungkin nutrisinya buruk dan tempat tinggalnya padat dan
tidak higienis. Bayi kulit hitam lebih banyak mengalami infeksi dari pada bayi
berkulit putih.
b. Status paritas (wanita multipara atau gravida lebih dari 3) dan umur ibu (kurang dari
20 tahun atua lebih dari 30 tahun.
c. Kurangnya perawatan prenatal.
d. Ketuban pecah dini (KPD).
e. Prosedur selama persalinan.
2. Faktor Neonatatal
a. Prematurius Berat badan bayi kurang dari 1500 gram merupakan faktor resiko utama
untuk sepsis neonatal. Umumnya imunitas bayi kurang bulan lebih rendah dari pada
bayi cukup bulan. Transpor imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi pada
paruh terakhir trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi imunoglobulin serum terus
menurun, menyebabkan hipigamaglobulinemia berat. Imaturitas kulit juga
melemahkan pertahanan kulit.
b. Defisiensi imun. Neonatus bisa mengalami kekurangan IgG spesifik, khususnya
terhadap streptokokus atau Haemophilus influenza. IgG dan IgA tidak melewati
plasenta dan hampir tidak terdeteksi dalam darah tali pusat. Dengan adanya hal
tersebut, aktifitas lintasan komplemen terlambat, dan C3 serta faktor B tidak
diproduksi sebagai respon terhadap lipopolisakarida. Kombinasi antara defisiensi imun
dan penurunan antibodi total dan spesifik, bersama dengan penurunan fibronektin,
menyebabkan sebagian besar penurunan aktivitas opsonisasi.
c. Laki-laki dan kehamilan kembar. Insidens sepsis pada bayi laki- laki empat kali lebih
besar dari pada bayi perempuan.
3. Faktor Lingkungan
a. Ada defisiensi imun bayi cenderung mudah sakit sehingga sering memerlukan
prosedur invasif, dan memerlukan waktu perawatan di rumah sakit lebih lama.
Penggunaan kateter vena/ arteri maupun kateter nutrisi parenteral merupakan tempat
masuk bagi mikroorganisme pada kulit yang luka. Bayi juga mungkin terinfeksi akibat
alat yang terkontaminasi.
b. Paparan terhadap obat-obat tertentu, seperti steroid, bis menimbulkan resiko pada
neonatus yang melebihi resiko penggunaan antibiotik spektrum luas, sehingga
menyebabkan kolonisasi spektrum luas, sehingga menyebabkan resisten berlipat
ganda.
c. Kadang- kadang di ruang perawatan terhadap epidemi penyebaran mikroorganisme
yang berasal dari petugas ( infeksi nosokomial), paling sering akibat kontak tangan.
d. Pada bayi yang minum asi, spesies lactbacillus dan e.colli ditemukan dalam tinjanya,
sedangkan bayi yang minum susu formula hanya didominasi oleh e.colli.
D. Patofisiologi
Sepsis dimulai dengan invasi bakteri dan kontaminasi sistemik. Pelepasan endotoksin oleh
bakteri menyebabkan perubahan fungsi miokardium, perubahan ambilan dan penggunaan
oksigen, terhambatnya fungsi mitokondria, dan kekacauan metabolik yang progresif. Pada sepsis
yang tiba-tiba dan berat, menimbulkan banyak kematian dan kerusakan sel. Akibatnya adalah
penurunan perfusi jaringan, asidosis metabolik, dan syok, yang mengakibatkan disseminated
intravaskuler coagulation (DIC) dan kematian. Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi
dapat mencapai neonatus melalui beberapa cara, yaitu :
a. Pada masa antenatal atau sebelum lahir,
Pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilikus masuk dalam
tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi adalah kuman yang dapat
menembus plasenta antara lain virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza,
parotitis. Bakteri yang dapat melalui jalur ini, antara lain malaria, sipilis, dan toksoplasma.
b. Pada masa intranatal atau saat persalinan.
Infeksi saat persalinan terjadi karena yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai korion
dan amnion. Akibatnya, terjadi amniotis dan korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilikus
masuk dalam tubuh bayi. Cara lain, yaitu saat persalinan, cairan amnion yang sudah terinfeksi
akan terinhalasi oleh bayi dan masuk dan masuk ke traktus digestivus dan traktus respiratorius,
kemudian menyebabkan infeksi pada lokasi tersebut. Selain cara tersebut di atas infeksi pada
janin dapat terjadi melalui kulit bayi atau port de entre lain saat bayi melewati jalan lahir yang
terkontaminasi oleh kuman. Beberapa kuman yang melalui jalan lahir ini adalah Herpes
genetalis, Candida albican,dan N.gonorrea.
c. Infeksi paska atau sesudah persalinan.
Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi nosokomial dari
lingkungan di luar rahim (misal melalui alat- alat : penghisap lendir, selang endotrakhea, infus,
selang nasogastrik, botol minuman atau dot). Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi
dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomil. Infeksi juga dapat terjadi melalui luka
umbilikus (Surasmi,2003).

E. Faktor Risiko
1. Sepsis Dini
a. Kolonisasi maternal dalam GBS, infeksi fekal
b. Malnutrisi pada ibu
c. Prematuritas, BBLR
2. Sepsis Nosokomial
a. BBLR–>berhubungan dengan pertahanan imun
b. Nutrisi Parenteral total, pemberian makanan melalui selang
c. Pemberian antibiotik (superinfeksi dan infeksi organisme resisten)
F. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala sepsis neonatorum umumnya tidak jelas dan tidak spesifik serta dapat
mengenai beberapa sistem organ. Berikut ini adalah tanda dan gejala yang dapat ditemukan dapa
neonatus yang menderita sepsis.
1. Gangguan nafas seperti serangan apnea, takipnea dengan kecepatan pernafasan
>60x/menit, cuping hidung, sianosis, mendengus, tampak merintih, retraksi dada yang
dalam: terjadi karena adanya lesi ataupun inflamasi pada paru-paru bayi akibat dari
aspirasi cairan ketuban ibu. Aspirasi ini terjadi saat intrapartum dan selain itu dapat
menyebabkan infeksidengan perubahan paru, infiltrasi, dan kerusakan jaringan
bronkopulmonalis. Kerusakan ini sebagian disebabkan oleh pelepasan granulosit dari
protaglandin dan leukotrien.
2. Penurunan kesadaran, kejang, ubun-ubun besar menonjol, keluar nanah dari telinga,
ekstensor kaku: terjadi karena sepsis sudah sampai ke dalam manifestasi umum dari
infeksi sistem saraf pusat. Keadaan akut dan kronis yang berhubungan dengan organisme
tertentu. Apabila bayi sudah mengalami infeksi pada selaput otak (meningitis) atau abses
otak menyebabkan penurunan kesadaran, hal tersebut juga menyebabkan ubun-ubun
besar menonjol (berisi cairan infeksi) dan keluarnya nanah dari telinga. Dalam hal
terganggunya sistem saraf pusat ini kemungkinan terjadi gangguan saraf yang lain seperti
ekstensor kaku.
3. Hipertermia (> 37,7oC) atau hipotermi (<35,5oC) terjadi karena respon tubuh bayi dalam
menanggapi pirogen yang disekresikan oleh organisme bakteri atau dari ketidakstabilan
sistem saraf simpatik.
4. Tidak mau menyusu dan tidak dapat minum adalah respon keadaan psikologis bayi yang
tidak menyenangkan terhadap ketidakstabilan suhu tubuhnya, serta nanah yang keluar
dari telinga.
5. Kemerahan sekitar umbilikus terjadi karena bakteri dapat bertumbuh tidak terkendali di
saluran pencernaan, apalagi jika penyebab sepsis pada bayi terjadi dimulai dari infeksi
luka umbilikus.
Berdasarkan manifestasi klinis yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa tanda
dan gejala pada bayi yang mengalami sepsis neonatorum saling berhubungan baik dari
perjalanan infeksi, proses metabolik, dan tanda neurologi bahkan psikologinya saling
berhubungan.

G. Pemeriksaan Diagnostik
Radiografi pada dada seharusnya dilakukan sebagai bagian dari evaluasi diagnostik dari bayi
yang diduga sepsis dan tanda-tanda penyakit saluran pernapasan. Dalam kasus ini, radiografi
dada dapat menunjukkan difusi atau infiltrat fokus, penebalan pleura, efusi atau mungkin
menunjukkan broncograms udara dibedakan dari yang terlihat dengan sindrom gangguan
pernapasan surfaktan-kekurangan. Studi radiografi lainnya dapat diindikasikan dengan kondisi
klinis spesifik, seperti diduga osteomyelitis atau necrotizing enterocolitis (McMillan, 2006).
Pemeriksaan labolatorium perlu dilakukan untuk menunjukan penetapan diagnosis. Selain itu,
hasil pemeriksaan tes resistensi dapat digunakan untuk menentukan pilihan antibiotik yang tepat.
Pada hasil pemeriksaan darah tepi, umumnya ditemuksan anemia, laju endap darah mikro tinggi,
dan trombositopenia. Hasil biakan darah tidak selalu positif walaupun secara klinis sepsis sudah
jelas. Selain itu, biakan perlu dilakukan terhadap darah, cairan serebrospinal, usapan umbilikus,
lubang hidung, lesi, pus dari konjungtiva, cairan drainase atau hasil isapan isapan lambung. Hasil
biakan darah memberi kepastian  adanya sepsis, setelah dua atau tiga kali biakan memberikan
hasil positif dengan kuman yang sama. Bahan biakan darah sebaiknya diambil sebelum bayi
diberi  terapi antibiotika. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan, antara lain pemeriksaan C-
Reactive protein (CRP) yang merupakan pemeriksaan protein yang disentetis di hepatosit dan
muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. (Surasmi, 2003).

H. Komplikasi
1. Hipoglikemia, hiperglikemia,  asidosis metabolik, dan jaundice.
Bayi memiliki kebutuhan glukosa meningkat sebagai akibat dari keadaan septik. Bayi
mungkin juga kurang gizi sebagai akibat dari asupanenergi yang berkurang. Asidosis
metabolik disebabkan oleh konversi ke metabolisme anaerobik dengan produksi asam
laktat, selain itu ketika bayi mengalami hipotermia atau tidak disimpan dalam lingkungan
termal netral, upaya untuk mengatur suhu tubuh dapat menyebabkan asidosis metabolik.
Jaundice terjadi dalam menanggapi terlalu banyaknya bilirubin yang dilepaskan ke
seluruh tubuh  yang disebabkan oleh organ hati sebagian bayi baru lahir belum dapat
berfungsi optimal, bahkan disfungsi hati akibat sepsis yang terjadi dan kerusakan eritrosit
yang meningkat.
2. Dehidrasi
Kekuarangan cairan terjadi dikarenakan asupan cairan pada bayi yang kurang, tidak mau
menyusu, dan terjadinya hipertermia..
3. Hiperbilirubinemia dan anemia
Hiperbilirubinemia berhubungan dengan penumpukan bilirubin yang berlebihan pada
jaringan. Bilirubin dibuat ketika tubuh melepaskan sel-sel darah merah yang sudah tua,
ini merupakan proses normal. Bilirubin merupakan zat hasil pemecahan hemoglobin
(protein sel darah merah yang memungkinkan darah mengakut oksigen). Hemoglobin
terdapat pada sel darah merah yang dalam waktu tertentu selalu mengalami destruksi
(pemecahan). Namun pada bayi yang mengalami sepsis terdapat infeksi oleh bakteri
dalam darah di seluruh tubuh, sehingga terjadi kerusakan sel darah merah bukanlah hal
yang tidak mungkin, bayi akan kekurangan darah akibat dari hal ini (anemia) yang
disertai hiperbilirubinemia karena seringnya destruksi hemoglobin sering terjadi.
4. Meningitis
Infeksi sepsis dapat menyebar ke meningies (selaput-selaput otak) melalui aliran darah.
5. Disseminated Intravaskuler Coagulation (DIC)
Kelainan perdarahan ini terjadi karena dipicu oleh bakteri gram negatif yang
mengeluarkan endotoksin ataupun bakteri gram postif yang mengeluarkan
mukopoliskarida pada sepsis. Inilah yang akan memicu pelepasan faktor pembekuan
darah dari sel-sel mononuklear dan endotel. Sel yang teraktivasi ini akan memicu
terjadinya koagulasi yang berpotensi trombi dan emboli pada mikrovaskular.

I. Pencegahan
Tindakan pencegahan mempunyai arti penting  karena dapat mencegah terjadinya kesakitan
dan kematian. Tindakan yang dapat dilakukan (Surasmi, 2003) adalah :
1. Pada masa antenatal
Pada masa antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara bekala,imunisasi,
pengobatan terhadap penyakit infeksi yang diderita ibu,asupan gizi yang memadai,
penanganan segera terhadap keadaan yang dapat menurunkan kesehatan ibu dang jani,
rujukan segera ke tempat pelayanan yang memadai bila diperlukan.
2. Pada saat persalinan
Perawatan ibu selama persdalinan dilakukan secara aseptik, dalam arti persalinan
piperlakukan sebagai tindakan operasi. Tindakan intervensi pada ibu dan bayi seminimal
mungkindilakukan (bila benar-benar diperlukan). Mengawasi keadaan ibu dan janin yang
baik selama proses persalinan,melakukan rujukan secepatnya bila diperlukan, dan
menghindari perlukaan kulit dan selaput lendir.
3. Sesudah persalinan
Perawatan sesudah lahir meliputi menerapkan rawat gabung bila bayi normal,penberiab
ASI secepatnya,mengupayakan lingkungan dan peralatan tetap persih, setiap bayi
menggunakan peralatan sendiri. Perawatan luka umbilikus  secara steril. Tindakan infasif
harus dilakukan dengan prinsip – prinsip aseptik. Menghindari perlukaan selaput lendir
dan kulit, mencuci tangan dengan menggunakan larutan desinfektan sebelum dan sesudah
memegang setiap bayi. Pemantauan keadaan bayi secara teliti disertai pendokumentasian
data-data yang benar dan baik. Semua personel yang menangani atau bertugas dikar bayi
harus sehat. Bayi yang berpenyakit menular harus diisolasi. Pemberian antibiotik secara
rasional, sedapat mungkin memalui pemantauan mikrobiologi dan tes resistensi. 

J. Penatalaksanaan
1. Perawatan suportif Perawatan suportif diberikan untuk mempertahankan suhu tubuh
normal, untuk menstabilkan status kardiopulmonary, untuk memperbaiki hipoglikemia
dan untuk mencegah kecenderungan perdarahan. Perawatan suportif neonatus septik sakit
(Datta, 2007) meliputi sebagai berikut:
a. Menjaga kehangatan untuk memastikan temperature. Agar bayi tetap normal harus
dirawat di lingkungan yang hangat. Suhu tubuh harus dipantau secara teratur.
b. Cairan intravena harus diperhatikan. Jika neonatus mengalami perfusi yang jelek,
maka saline normal dengan 10 ml / kg selama 5 sampai 10 menit. Dengan dosis yang
sama 1 sampai 2 kali selama 30 sampai 45 menit berikutnya, jika perfusi terus
menjadi buruk. Dextrose (10%) 2 ml per kg pil besar dapat diresapi untuk
memperbaiki hipoglikemia yang adalah biasanya ada dalam sepsis neonatal dan
dilanjutkan selama 2 hari atau sampai bayi dapat memiliki feed oral.
c. Terapi oksigen harus disediakan jika neonatus mengalami distres pernapasan atau
sianosis
d. Oksigen mungkin diperlukan jika bayi tersebut apnea atau napas tidak memadai
e. Vitamin K 1 mg intramuskular harus diberikan untuk mencegah gangguan perdarahan
f. Makanan secara enteral dihindari jika neonatus sangat sakit atau memiliki perut
kembung. Menjaga cairan harus dilakukan dengan infus IV.
g. Langkah-langkah pendukung lainnya termasuk stimulasi lembut fisik, aspirasi
nasigastric, pemantauan ketat dan konstan kondisi bayi dan perawatan ahli.
2. Terapi pengobatan, Prinsip pengobatan pada sepsis neonatorum adalah mempertahankan
metabolisme tubuh dan memperbaiki keadaan umum dengan pemberian cairan intravena
termasuk kebutuhan nutrisi dan monitor pemberian antibiotik hendaknya memenuhi
kriteria efektif berdasarkan pemantauan mikrobiologi, murah dan mudah diperoleh, dan
dapat diberi secara parental. Pilihan obat yang diberikan adalah ampisilin, gentasimin
atau kloramfenikol, eritromisin atau sefalosporin atau obat lain sesuai hasil tes
resistensi. (Sangayu, 2012)

K. Prognosis
Pada umumnya ngka kematian pada sepsis neonatal berkisar antara 10%  - 40 % dan pada
meningitis 15% - 50%. Angka tersebut berbeda-beda tergantung dari waktu timbulnya penyakit
penyebabnya, cara dan waktu awitan penyakit,  derajat prematuritas bayi, adanya dan keparahan
penyakit lain yang menyertai dan keadaan ruang bayi atau unit perawatan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sepsis neonatorum adalah sindrom yang dikarakteristikan oleh tanda-tanda klinis dan gejala-
gejala infeksi berat yang diderita neonatus dengan gejala sistematik dan terdapat bakteri dalam
darah yang dapat berkembang ke arah septisemia dan syok septik. Perjalanan penyakit sepsis
neonatorum dapat berlangsung cepat sehingga sering sekali tidak terpantau,tanpa pengobatan
yang memadai bayi dapat meninggal dalam 24 sampai 48 jam.
B. Saran
Dengan disusunnya makalah ini mengharapkan kepada semua pembaca agar dapat menelaah
dan memahami serta menanggapi apa yang telah penulis susun untuk kemajuan penulisan
makalah selanjutnya dan umumnya untuk lebih dalam asuhan keperawatan dalam kasus sepsis
neonatorum.
DAFTAR PUSTAKA

Arif, mansjoer (2000). Kapita selekta kedokteran. Jakarta: EGC.    


(2000). Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC.          
Bobak (2005). Buku ajar keperawatn maternitas. Jakarta: EGC. 
Datta, Parul. 2007. Pediatric Nursing. JAYPEE:New Delhi
Maryunani, Anik. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit Pada Neonatus. Penerbit
Buku Kesehatan: Jakarta
McMillan, Julia A. 2006. Oski’s Pediatrics Principles & Practice. Lippincott Williams &
Wilkins: USA

Anda mungkin juga menyukai