Anda di halaman 1dari 16

PROSES MASUK DAN PENYEBARAN DAKWAH SUNAN GUNUNG JATI BERSAMA

PUTRANYA MAULANA HASANUDDIN

NISAUL MAHMUDAH
Prodi Ilmu Hadist
Ushuluddin Dan Adab UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
ABSTRACT
The coming of Islamic scholars as Islamic spreader in Banten must deal with the condition of the
people who embarced Hinduismand this article is made to know how the process of entering and
spreading islam to Banten by Sunan Gunung Jati (Syarif Hudayatullah) and his son Sultan
Maulana Hasanuddin. And the research method of this article uses the available reference
analysis research methods from theory, books to previous research. And the conlusion various
processes, methods and efforts that have beeb initiated by Sunan Gunung Jati and his son Sultan
Maulana Hasanuddin in disseminating Islamic teachings in Banten have succesed in building
the Sultanate of Banten, which were then continued by his descendants such as his son Maulana
Yusuf.
Keywords: the process of entering islam in Banten
ABSTRAK
Kedatangan ulama sebagai penyebar islam di Banten harus berhadapan dengan kondisi
masyarakat yang menganut agama hindu dan artikel ini dibuat untuk mengetahui bagaimana
proses masuk dan penyebaran islam ke Banten ole Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) dan
juga putranya Sultan Maulana Hasanuddin. Dan metode penelitian artikel ini menggunakan
metode penelitian analisis referensi yang tersedia mulai dari teori, buku hingga penelitian
sebelumnya. Dan kesimpulannya, dari berbagai proses, cara dan upaya yang telah dilakukan
oleh Sunan Gunung Jati dan putranya Maulana Hasanuddin dalam menyebarkan ajaran islam
di Banten telah berhasil membangun kesultanan Bnaten yang kemudian dilanjutkan oleh
keturunannya seperti Maulana Yusuf.
Kata kunci: proses masuknya islam di banten

1
PENDAHULUAN

Banten sebagai nama satu wilayah yang sudah dikenal dan diperkenankan pada abad
ke-14. Mula-mula Banten merupakan pelabuhan yang sangat ramai disinggahi kapal dan
dikunjungi pedagang dari berbagai wilayah. Pada tahun 1330 orang sudah mengenal sebuah
tempat yang saat itu disebut panten yang kemudian wilayah ini dikuasai oleh Majapahit
dibawah pimpinan gajah mada dan Hayam Wuruk. Yang ada saat itu Demak dan Majapahit
menjadi dua kekuatan terbesar di Nusantara. Pada tahun 1524 sampai 1525 para pedagang
islam berdatangan ke banten dan saat itulah dimulai penyebaran Agama Islam di Banten.
Sekitar dua abad kemudian berdiri kadipaten Banten di Surosowan pada 8 oktober 1526, dan
pada tahun 1552 sampai 1570 Maulana Hasanuddin Banten pertama.

2
PEMBAHASAN

A. Sejarah Singkat Banten

Kota Banten Girang menurut hasil penelitian Arkeolog dibangun sekitar abad X
romawi. Kerajaan yang masih menganut agama Hindu-Budha itu termasuk cukup besar di
pulau jawa dengan keraton megah yang dikelilingi parit alam berupa sungai cibanten dan
perbentengan kokoh yang terbuat dari tanah. Para Arkeolog luar dan dalam negri yang
melakukan penelitian disitus purbakala itu tidak menemukan bukti-bukti kerajaan apa dan
siapa raja yang memerintah disana. Dalam penelitian Arkeologi tahun 1988 sampai 1992
disebutkan bahwa Banten sebenarnya pernah berjaya sebelum berdirinya kesultan banten.
Tetapi para ilmuwan belum mampu mengungkapakan misteri 6 abad sebelum masuknya
agama islam abad XVI.1

Berdasarkan dokumen sejarah masa itu, baik sumber setempat (sejarah banten)
maupun sumber asing, di tafsirkan telah ada bukti berdirinya kerajaan banten di Banten
Girang. Kemudian kerajaan tersebut ditaklukan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
bersama putranya Hasanuddin yang memimpin bala tentara Demak pada awal abad XVI 2.
Setelah ditaklukan pasukan islam dibawah Sunan Gunung Jati, pusat kota dipindahkan dari
Banten Girang kearah utara, sekitar 10 KM dari kota serang, disuatu tempat yang sekarang
dikenal sebagai Banten Lama3.

B. Sejarah Pengebaran Islam di Banten

Sebelum Agama Islam berkembang di Banten, masyarakat Banten masih hidup dalam
tata cara kehidupan tradisi prasejarah dan dalam abad-abad permulaan masehi ketika agama
Hindu berkembang di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan purbakala dalam
bentuk prasasti arca-arca yang bersifat Hiduistik dan banguan keagamaan lainnya. Sumber
naskah kuno dari masa pra Islam menyebutkan tentang kehidupan masyarakat yang
menganut Hindu. Sekitar permulaan abad ke 16, di daerah pesisir Banten sudah ada
sekelompok masyarakat yang menganut agama Islam. Penyebarannya dilakukan oleh salah

1
Lukman hakim fadillah, moh. Ali, banten dalam perjalanan jurnalistik, banten heritage, pandeglang, 2016, hlm.
76.
2
Ibid.
3
Supratikno Rahardjo, dkk, kota banten lama mengelola warisan untuk masa depan, WEDATAMA WIDYA SASTRA,
Banten, 2011, hlm. 35.

3
seorang pemimpin Islam yang dikenal sebagai wali berasal dari Cirebon yakni Sunan
Gunung Jati dan kemudian dilanjutkan oleh putranya Maulana Hasanudidin untuk
menyebarkan secara perlahan-lahan ajaran agama Islam daerah Banten. Sultan Maulana
Hasanuddin sangatlah berpengaruh dalam penyebaran Islam di Banten, karna beliau adalah
seorang Sultan yg pertama kali menjadi penguasa di kerajaan Islam di Banten, beliau
mendirikan Kseultanan Banten, bahkan beliau mendapatkan gelar  Pangeran Sabakingking
atau Seda Kikin, gelar tersebut di persembahkan dari kakeknya yaitu Prabu Surasowan.
Sultan Maulana Hasanuddin adalah putera dari Syaikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung
Djati) dan Nyi Kawunganten (Putri Prabu Surasowan), beliau adalah seorang sultan yang
mengerti akan ekonomi dan politik.

Prabu Surasowan wafat, namun kini pemerintahan banten di wariskan kepada


anaknya, yakni Arya Surajaya (Prabu Pucuk Umun), di mana pada masa itu Arya Surajaya
menganut Agama Hindu, pada pemerintahan Arya Surajaya, Syarif Hidayatullah kembali ke
Cirebon atas panggilan dari kepengurusan Bupati  di Cirebon, karna Pangeran Cakrabuana
wafat, Lalu Syarif Hidayatullah di angkat menjadi Bupati di Cirebon sekaligus menjadi
Susuhanan Jati. Sedangkan puteranya, Hasanuddin memilih menjadi Guru Agama Islam di
Banten, bahkan beliau di kenal memiliki banyak Santri di wilayah Banten, lalu beliau
mendapatkan gelar Syaikh menjadi Syaikh Hasanuddin.

Meskipun beliau menetap di Banten, namun beliau tetap menjenguk sang Ayah di
Cirebon untuk bersilahturahmi, setelah sering bersilahturahmi, beliau mendapatkan tugas dari
Ayahnya untuk meneruskan Tugas Sang Ayah yakni menyebarkan Agama Islam di Banten.
Setiba di Banten, Sultan Maulana Hasanuddin melanjutkan misi dakwah ayahnya. Bersama
para santrinya, beliau berkeliling dari satu daerah ke daerah lainnya, mulai dari Gunung
Pulosari, Gunung Karang atau Gunung Lor, hingga ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon.

Pada masa pemerintahan Prabu Pucuk Umun, hubungan antara Prabu Pucuk Umun
dan Sultan Maulana Hasanuddin sangatlah buruk yang tidak di pahami oleh Masyarakat,
Prabu Pucuk Umun tetap bersih Kukuh untuk mempertahankan Ajaran Sunda Wiwitan
(agama Hindu sebagai agama resmi di Pajajaran) di Banten, namun tidak sedemikian dengan
Syaikh Maulan Hasanuddin, beliau terus melanjutkan Dakwahnya dengan Lancar.

4
Namun pada masa itu Prabu Pucuk Umun menantang Syaikh Maulana Hasanuddin
untuk berperang, namun bukan berperang untuk duel, namun beradu Ayam, karna jika
berperang secara duel akan menimbulkan korban yg banyak, itulah alasan Prabu Pucuk
Umun mengapa berperang beradu ayam karna tidak ingin menimbulkan banyak korban.

Prabu Pucuk Umun memilih tempat adu kesaktian Ayam di Lereng Gunung Karang,
karna di anggap sebagai tempat yang netral, pada waktu yang di tentukan Kedua Pihak pun
beramai-ramai mendatangi lokasi, Prabu Pucuk Umun dan Syaikh Maulana Hasanuddin tidak
hanya membawa Ayam Jago saja melainkan membawa Pasukan untuk meramaikan dan
menyaksikan pertarungan tersebut, bahkan pasukan satu sama lain membawa senjata, karna
untuk menghadapi berbagai kemungkinan, Prabu Pucuk Umun membawa Golok yang
terselip di pinggangnya dan Tombak yang di genggamnya, namun Syaikh Maulana
Hasanuddin hanya membawa sebilah Keris Pusaka milik Ayahnya yakni Sunan Gunung
Djati yang di warisi kepada Syaikh Maulana Hasanuddin.

Setiba di arena pertarungan, Prabu Pucuk Umun mengambil tempat di tepi utara arena
dengan mengenakan pakaian hitam-hitam, rambut gondrong sampai leher, dan mengenakan
ikat kepala. Sementara itu, Sultan Maulana Hasanuddin tampak berdiri di sisi selatan arena
dengan mengenakan jubah dan sorban putih di kepala. Sebelum pertarungan dimulai, kedua
ayam jago dibawa ke tengah arena. Kedua ayam jago tersebut masih berada di dalam
kandang anyaman bambu. Ayam jago milik Prabu Pucuk Umun telah diberi ajian otot kawat
tulang besi dan di kedua tajinya dipasangi keris berbisa. Sementara ayam milik Maulana
Hasanuddin tidak dipasangi senjata apapun, tapi tubuhnya kebal terhadap senjata tajam.
Ayam itu telah dimandikan dengan air sumur Masjid Agung Banten. Pada saat ayam itu
dimandikan, dibacakan pula ayat-ayat suci Alquran.

Konon, ayam jago milik Maulana Hasanuddin adalah penjelmaan salah seorang
pengawal sekaligus penasehatnya yang bernama Syekh Muhammad Saleh. Ia adalah murid
Sunan Ampel dan tinggal di Gunung Santri di Bojonegara, Serang. Karena ketinggian
ilmunya dan atas kehendak Allah, ia mengubah dirinya menjadi ayam jago.

Akhirnya pertarungan tersebut di mulai, dari kedua belah pihak saling memberikan
semangat kepada jagoannya masig-masing. Tiba-tiba ayam jago Pucuk Umun jatuh terkulai

5
di tanah dan meregang nyawa. Rupanya ayam jago itu terkena tendangan keras ayam jago
Maulana Hasanuddin.  Pertaruangan itu dimenangkan oleh jago Maulana Hasanuddin.

Akhirnya, Syaikh Maulana Hasanuddin memenangkan pertandingan adu ayam itu.


Prabu Pucuk Umun pun mengaku kalah. Ia kemudian mendekati Maulana Hasanuddin untuk
memberi ucapan selamat seraya menyerahkan golok dan tombaknya sebagai tanda
pengakuan atas kekalahannya. Penyerahan kedua senjata pusaka juga berarti penyerahan
kekuasaannya kepada Maulana Hasanuddin atas Banten Girang.

Setelah itu, Prabu Pucuk Umun berpamitan. Ia bersama beberapa pengikutnya


kemudian mengungsi ke Banten Selatan, tepatnya di Ujung Kulon atau ujung barat Pulau
Jawa. Mereka bermukim di hulu Sungai Ciujung, di sekitar wilayah Gunung Kendeng. Atas
perintah Prabu Pucuk Umun, para pengikutnya diharapkan untuk menjaga dan mengelola
kawasan yang berhutan lebat itu. Konon, merekalah cikal bakal orang Kanekes yang kini
dikenal sebagai suku Baduy.

Sedangkan para pengikut Prabu Pucuk Umun yang terdiri dari pendeta dan punggawa
Kerajaan Pajajaran menyatakan masuk Islam di hadapan Syaikh Maulana Hasanuddin.
Dengan demikian, semakin muluslah jalan bagi Syaikh Maulana Hasanuddin dalam
menyebarkan dakwah Islam di Banten. Atas keberhasilan tersebut, ia kemudian diangkat oleh
Sultan Demak sebagai Bupati Kadipaten Banten. Pusat pemerintahan semula di Banten
Girang dipindahkan ke Banten Lor (Surosowan) yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa. 

Selanjutnya, karena keberhasilannya memimpin daerah itu dengan membawa


kemajuan yang pesat di berbagai bidang, Kadipaten Banten kemudian diubah menjadi negara
bagian Demak atau Kesultanan Banten dengan tetap mempertahankan Maulana Hasanuddin
sebagai sultan pertama. Pada tahun 1526 M Banten Pasisir berhasil direbut oleh Panglima
Fadillah Khan dan pasukannya, Hasanudin diangkat menjadi Bupati Banten Pasisir, pada usia
48 tahun. Konon ketika terjadi huru hara, Hasanudin dibantu oleh beberapa pasukannya dari
Banten Girang. Kelak dikemudian hari Banten Girang menggabungkan diri dengan wilayah
Banten Pesisir, sehingga praktis Hasanudin menjadi penguasa Banten Pasisir dan Banten
Girang. Hampir semua penduduk Banten beralih agama menganut Islam. Ia bernama nobat
Panembahan. Untuk memperkuat posisi pemerintahannya, Hasanudin membangun wilayah
tersebut sebagai pusat pemerintahan dan administratif. Ia pun mendirikan istana yang megah

6
yang didberi nama Keraton Surasowan, mengambil nama kakeknya (Surasowan) yang sangat
menyayanginya. Nama Keraton tersebut akhirnya berkembang menjadi nama kerajaan.
Berita ini diabadikan didalam prasasti tembaga berhuruf Arab yang dibuat oleh Sultan Abdul
Nazar (1671-1687), nama resmi kerajaan Islam di Banten adalah Negeri Surasowan.

Pada tahun 1568 M Susuhunan Jati Wafat, kemudian Penembahan Hasanuddin


memproklamirkan Surasowan sebagai Negara yang merdeka, lepas dan kekuasaan Cirebon.
Panembahan Hasanuddin menikah dengan puteri Indrapura, kemudian memperoleh putera,
bernama Maulana Yusuf. Kelak Maulana Yusuf menggantikan posisinya sebagai penguasa
Banten.

Selain Maulana Yusuf, Panembahan Hasanudin dari istrinya yang kedua, yakni Ratu
Ayu Kirana (puteri sulung Raden Patah Sultan Demak) yang juga sering disebut Ratu Mas
Purnamasidi, Panembahan Hasanudin memperoleh putera, diantaranya Ratu Winahon, kelak
menjadi isteri Tubagus Angke Bupati Jayakarta (Jakarta), dan Pangeran Arya, yang diangkat
anak oleh bibinya, Ratu Kalinyamat, kemudian ia dikenal sebagai Pangeran Jepara. Kini
Banten telah diakui di berbagai wilayah bahkan sampai ke daerah Eropa maupun Asia,
Banten juga sempat disebut sebagai Amsterdam sebab Banten merupakan pusat perdagangan
terbesar. Fase penyebaran agama islam di Banten pada abad ke-XVI waktu itu dibawah
kendali kekuasaan jawa (1525-1619). Banten pada masa penyebaran agama islam dikerajaan
sunda sesungguhnya merupakan bagian dari pendahulunya yaitu Cirebon. Dalam purwaka
caruban nagari di jelaskan bahwa Syarif Hidayat berserta 908 orang muridnya di Cirebon,
berusaha mengislamkan penduduk di Banten. Dengan kesabaran dan ketekunan, banyaklah
yang mengikuti jejak Syarif Hidayatullah ini. Bahkan akhirnya sebagian besar rakyat Banten
memeluk agama islam. Kemudian Dari pernikahan Syarif Hidayatullah dan Nyai Mas
Pakungwati di karuniai 2 anak yang diberi nama Ratu Winaon (Wulung Ayu) dan Maulana
Hasanuddin tidak lama kemudian, karena panggilan uwanya (Cakrabuana). Disana Syarif
Hidayatullah diangkat menjadi tumenggung yang memerintah daerah Cirebon,
menggantikan uwanya yang sudah tua. Sedangkan tugas penyebaran islam di Banten
diserahkan kepada putranya (Hasanuddin). Periode penting ini dapat dibagi ke dalam dua
subfase, yaitu sebelum dan sesudah tahun 1596, ketika belanda datang tak lama setelah
inggris, fase ini memperlihatkan menaklukan banten lama dan kemudian ibu kota pajajaran

7
oleh kekuatan pasukan jawa tengah yang dipimpin Sunan Gunung Jati dan putranya Maulana
Hasanuddin. Mereka memilih menyerang orang-orang sunda di Banten ketimbang sunda
kelapa itu tak lain atas penilaian adat kebiasaan dan kehidupan sehari-hari fase ini merupakan
fase penting dalam sejarah banten dan dibuktikan dalam ruang pameran museum situs
kepurbakalaan banten lama yang menyipta ruangan cukup luas. Jumlah artefak yang berasal
dari periode ini sangat terbatas, hingga Arkeolog lebih banyak menampilkan peta-peta kuno
dan di aroma suasana pada masa itu. Pada abad ke-15, disaat Sultan Maulana Hasanuddin
pertama kali masuk ke negeri Banten, dimana pada waktu itu rakyat negeri Banten masih
menganut agama kepercayaan animise dan masih dipimpin oleh kerajaan Pajajaran dan
Pakuan. Sultan Maulana Hasanuddin berhasil menkalukkan raja-raja pajajaran dan pakuan
beserta rakyat dan pengikutnya, maka Maulana Hasanuddin ditantang mengadu kekuatan
kesaktian oleh salah seorang sesepuh dinegeri banten yang bernama Pucuk Umun, ditegal
papak Waringin Kurung Banten. Maulana Hasanuddin merupakan putra pertama Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) seorang ahli yang menurunkan raja-raja di Cirebon,
Banten dan Demak. Sang ayah tinggal di Gunung Jati Cirebon yang kemudian dikenal sebagi
Sunan Gunung Jati4.

C. Perjuangan Dakwah Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati adalah seorang dari walisongo yang dilahirkan pada tahun 1448M.
dari pasangan Syarif Abdullah dan Syarifah Muda’im (Nyai Larasantang) yang merupakan
putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari kerajaan Padjajaran.

Sesudah syarif hidayatullah menjadi pemuda, dan baru berusia 20 tahun, ia bersikap
sholeh dan ingin menjadi guru agama islam, oleh karena itu ia pergi ke mekkah. Disana ia
berburu kepada syekh tajuddin al-kubri, selama dua tahun, selanjutnya ia pergi ke kota
Baghdad, disana ia belajar tasawuf Rasul dan tinggal di pesantren saudara ayahnya.
Selanjutnya ia pulang ke negeri mesir dan setelah itu ia pergi ke pulau jawa, dalam
perjalanannya ia singgah di Gujarat dan tinggal disana selama 3 bulan, ketika singgah di
Gujarat ia bertemu dengan dipati keeling beserta 98 anak buahnya dan kemudian mereka
semua masuk agama islam, dipati keling dan anak buahnya setia (mengabdi) kepada syarif
hidayatullah. Setelah itu ia singgah di negeri pasai, disana ia tinggal di pesantren saudaranya

4
Drs. Yoseph Iskandar dkk, sejarah banten,( Jakarta-Indonesia Triyana Sjam’un Corp, 2011), hlm. 143.

8
yaitu sayid ishak yang menjadi guru agama islam di negeri pasai (sumatera), disana ia tinggal
selama 2 tahun. Kemudian syarif hidayatullah bersilaturahmi dan berkenalan dengan para
wali yang berada di jawa timur, selanjutnya syarif hidayatullah bersama dipati keeling dan
anak buahnya berlayar menuju Cirebon di kerajaan islam pakungwati Cirebon. Kedatangan
Syarif Hidayatullah di Cirebon untuk menjalankan dakwah islamnya adalah hasil keputusan
yang disepakati pada dewan mubalig (kumpulan musyawarah yang dilakukan para wali).
Berdasarkan keputusan para dewan mubalig tersebut setiap wali menyebar ke berbagai
daerah untuk menjalankan misi dakwah islamiyah di berbagai pelosok jawa.

Disana ia menemui uwanya (kakak ibunya) sang tumenggung sri mangana pangeran
cakrabuana haji Abdullah iman. Kemudian syarif hidayatullah dan dipati keeling serta 98
anak buahnya ditempatkan di garis sambung Amparan jati (Gunung Jati) Syarif hidayatullah
diberi jabatan sebagai guru agama islam Diponegoro Amaparan jati sebagai pengganti syekh
datuk kahfi, kemudian disana syarif hidayatullah berjodoh dengan kakak sepupunya Nyai
Mas Pakungwati. Syarif Hidayatullah dilantik menjadi raja Cirebon oleh uwanya pangeran
cakrabuana, sebagai tumenngung kerajaan Cirebon, dengan gelar Susuhunan jati. Gelar
Sunan Gunung Jati di dapatkan karena wilayah dakwah beliau berada di Cirebon tepatnya di
daerah Gunung Jati, dakwah yang dilakukan Sunan Gunung Jati dilakukan dengan cara
menjadi guru mengaji siang dan malam di Cirebon. Selain itu, Sunan Gunung Jati juga
menjalin kekuatan dakwah dengan cara pernikahan, pencarian ilmu, perang, dan politik.
Strategi dakwah yang dilakukan adalah dengan memperkuat kedudukan dan memperluas
hubungan dengan tokoh penguasa Cirebon.

Pada saat itu, wilayah Cirebon termasuk kedalam daerah kekuasaan kerajaan
pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Siliwangi. Sunan Gunung Jati sebagai cucu pejajaran
mencoba untuk membujuk Prabu Siliwangi agar memeluk islam. Namun, beliau belum
berhasil membujuknya karena Prabu Siliwangi sudah dipengaruhi oleh Kibuyut Talibarat
untuk tidak masuk islam5. Saat kerajaan Galuh menyerang kekuatan umat islam, mereka
mengalami kekalahan karena besarnya kekuatan yang dimiliki pasukan Sunan Gunung Jati.
Akhirnya raja galuh takluk dan wilayah kekuasaannya menjadi wilayah dakwah Sunan
Gunung Jati. Selain kerajaan Galuh, kerajaan Indramayu dan Talaga juga berhasil dilakukan

5
Prof. Dr. Arif Muhammad, MA, sejarah kebudayaan islam 4, PT Grafindo Media Pratama, Bandung,1996, hlm. 101.

9
Sunan Gunung Jati dalam rangka memperluas kekuasaan dakwah islamiyah, raja Indramayu
yang bergelar Prabu Indrawijaya takluk dan menyatakan diri masuk islam. Adapun raja
Talaga yang berada di pedalaman Cirebon juga menyerah setelah pangeran Arya
Salingsingan yang merupakan putera mahkota memutuskan untuk memeluk islam. Beberapa
kerajaan di tanah sunda berhasil di taklukkan di bawah kesultanan Cirebon dan Banten. Hal
ini memudahkan Sunan Gunung Jati dalam menjalankan misi dakwah dijawa barat. Namun,
dakwah yang di jalankan Sunan Gunung Jati tetap memegang prinsip toleransi tinggi yang
tidak menghilangkan unsur Hindu dan Budha sebagai agama yang dianut masyarakat jawa
sebelum islam. Dikisahkan bahwa saat Sunan Gunung Jati berada di kesultanan Banten,
beliau menikahi seorang perempuan yang berasal dari Tiongkok. Perempuan tersebut adalah
bagian dari rombongan Tiongkok yang singgah di Banten sebelum menuju Tuban.
Rombongan terpecah menjadi dua kubu, ada yang ikut memeluk islam dan ada pula yang
tetap berpegang teguh terhadap keyakinannya. Sunan Gunung Jati tidak memaksa agar
mereka masuk islam. Beliau malah membuat bangunan Vihara untuk tempat beribadah 6.
Kemudian perluasan islam di banten diteruskan oleh putranya yaitu Maulana Hasanuddin
Dengan ketekunan dan kesungguhan serta kelembutan hatinya, usaha Hasanuddin ini
membuahkan hasil yang menakjubkan. Di ceritakan bahwa diantara yang memeluk agama
islam adalah 800 orang petapa/resi dengan sebagian besar pemeluknya pengikut Pucuk
Umun. Sehingga di banten telah terbentuk satu masyrakat islam diantara penduduk pribumi
yang masih memeluk ajaran nenek moyang 7. Kemudian wali sanga menganugerahi gelar
kekuasaan kepada susuhunan jati menjadi panetep panatagama rat sunda bumi jawa kulwan
(pantep panatagama kawasan sunda di bumi jawa barat) berkedudukan di negeri Cirebon.
Karena tanpa persetujuan pemerintahan pusat (pakuan pajajaran), Sri Baduga Maharaja
mengutus Tumenggung Jagabaya bersama pasukan pengawalnya, untuk menertibkan dan
mengatasi keadaan di Cirebon. Ketika tumenggung jagabaya beserta pasukan pengawalnya
tiba di Cirebon, mereka di sergap di gunung sembung oleh pasukan gabungan Cirebon-
Demak yang di pimpin oleh senapati demak fadhillah khan. Tumenggung jagabaya dan
pasukan pengawalnya, akhirnya masuk agama islam. Karena tumenggung jagabaya serta
pasukan pengawalnya, lama tidak kembali ke pakuan, sri baduga maharaja segera

6
Ibid.
7
Drs. H. Halwany Michrob, M.SC dan Drs. H. A. Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, Saudara, Serang,
2011, hlm.55.

10
mempersiapkan angkatan perang besar kerajaan sunda pajajaran. Akan tetapi, niatnya untuk
menyerang pakungwati Cirebon, dapat dicegah oleh penasihatnya, ki purwagalih.

Ki purwagalih mengingatkan kepada prabu siliwangi, bahwa:


1. Syarif hidayat, adalah cucunya sendiri dari larasantang
2. Syarif hidayat adalah menantu walangsungsang, atas pernikahannya dengan
pakungwati dan
3. Penobatan awal syarif hidayat atas kehendak pangeran cakrabuana, puteranya sendiri.
“Betapa tidak terpujinya sang kakek memerangi cucunya”
Itulah yang dinasehatkan oleh ki purwagalih kepada sri baduga maharaja.

 Wafatnya sunan gunung jati

Sunan gunung jati wafat pada 1570 M. Beliau dimakamkan di gunung sembung,
desa astana, kecamatan Cirebon utara, kanupaten Cirebon. Sunan gunung jati
menyerahkan kesultanan banten kepada putranya yang bernama pangeran sabakingking,
sedangkan wilayah kesultanan Cirebon diberikan kepada beberapa orang yang
merupakan sanak saudranya.

D. Perluasan Dan Perjuangan Islam Di Banten Oleh Sultan Maulana Hasanuddin


Banten

Menurut catatan sejarah menceritakan bahwa Sunan Gunung Jati dan putranya,
Hasanuddin, datang dari pakungwati (Cirebon) untuk mengislamkan masyarakat di daerah
Banten. Mula-mul a mereka datang datang di Banten Girang, lalu terus ke selatan, ke
Gunung Pulosari, tempat bersemayamnya 800 ajar (petapa) yang kemudian semuanya
menjadi pengikut Hasanuddin. Di lereng Gunung Pulosari itu, Sunan Gunung Jati
mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan keislaman pada anaknya. Setelah ilmu yang di
kuasai oleh Maulana Hasanuddin sudah di anggap cukup, Sunan Gunung Jati memerintahkan
supaya anaknya itu berkelana sambil menyebarkan agama islam kepada penduduk negeri.
Hasanuddin berkeliling sambil berdakwah dari satu daerah kedaerah lainnya. Sesekali
bertempat di Gunung Pulosari, Gunung Karang atau Gunung Lor, bahkan sampai ke pulau
panaitan di Ujung Kulon. Setelah tujuh tahun melakukan tugasnya itu, Hasanuddin bertemu
kembali dengan ayahnya, yang kemudian membawanya pergi menunaikan ibadah haji ke

11
Mekah. Dalam menyebarkan ajaran Agama Islam kepada penduduk pribumi, Hasanuddin
menggunakan cara-cara yang di kenal oleh masyarakat setempat, seperti menyambung ayam
ataupun mengadu kesaktian. Diceritakan, bahwa dalam acara menyambung ayam di gunung
lancer yang di hadiri oleh para pembesar negeri, dua orang penggawa pajajaran, yaitu Mas
Jong dan Agus Jo (disebut juga King Jo) memeluk agama islam dan bersedia menjadi
pengikut Hasanuddin. Setelah Banten di kuasai oleh pasukan Demak dan Cirebon pada tahun
1525, atas petunjuk Syarif Hidayatullah, pada tanggal 1 muharam 1526 M. atau bertepatan 8
oktober pusat pemerintahan Banten, yang tadinya berada di Banten Girang di pindahkan ke
dekat pelabuhan Banten. Dalam pemindahan pusat pemerintahan Banten ke pesisir tersebut,
Syarif Hidayatullah pulalah yang menentukan dimana tempat dalem (istana), Benteng, Pasar,
dan Alun-Alun harus dibangun. Semakin besar dan majunya daerah Banten, maka pada tahun
1552 Banten yang tadinya sebuah kadipaten di ubah menjadi Negara bagian Demak dengan
Hasanuddin sebagai rajanya, dengan gelar Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan.

Maulana Hasanuddin, dalam usahanya membangun dan mengembangkan Kota


Banten, lebih menitik beratkan pada pengembangan di sector perdagangan, di samping
memperluas daerah pertanian dan perkebunan. Ia berusaha mendorong peningkatan
pendapatan rakyatnya dengan melalui pertumbuhan pasar yang cepat. Karena Banten
menjadi tempat persinggahan perdagangan rempah-rempah dari Eropa maupun Asia dan juga
daerah-daerah di Nusantara, maka Banten pun harus mempunyai persediaan lada yang cukup,
yang pada waktu itu menjadi hasil perdagangan utama. Hasil lada ini di ambil dari daerah
Banten sendiri dan daerah lain di bawah kuasa Banten, yaitu Jayakarta, Lampung dan
Bengkulu. Perkebunan lada di daerah-daerah itu diperluas untuk memenuhi kebutuhan
perdagangan yang berkembang. Untuk menggambarkan ramainya perdagangan di Banten ini
di ceritakan oleh Willem Lodewrycks (1596) sebagai berikut:

“Di Banten ada tiga pasar yang dibuka setiap hari. Yang pertama dan terbesar terletak di
sebelah timur kota (Karangatu). Di sana banyak ditemuakn pedagang-pedagang asing dari
Portugis, Arab, Turki, China, Quilon (india), Pengu (Birma), Melayu, Benggala, Gujarat,
Malabar, Abesinia dan dari seluruh Nusantara. Mereka berdagang sampai pukul Sembilan
pagi. Pasar kedua terletak di alun-alun dekat masjid agung, yang dibuka sampai tengah hari
bahkan sampai sore. Di pasar ini diperdagangkan merica, buah-buahan, senjata keris,

12
tombak, pisau, meriam kecil, kayu cendana, tekstil, kain putih untuk bahan batik , binatang
peliharaan, kambing dan sayuran. Orang-orang China menjual benang sulam, sutra, damast,
porselen dan lain-lain. Di sini juga dijual rempah-rempah obat-obatan. Demikian besarnya
pasar kedua ini sehingga ujungnya hampir menyambung dengan pasar pertama di pelabuhan.
Pasar ketiga terletak di daerah pacinan yang di buka setiap hari sampai malam”. Cara jual-
beli Banten, pada saat itu, banyak yang masih menggunakan sistem barter; menukar barang
dengan barang yang lain, terutama di daerah pedalaman. Di antara daerah yang dibawa dari
daerah pedalaman berupa hasil bumi terutama beras dan lada, ditukar dengan kebutuhan
sehari-sehari seperti garam, pakaian, dan lain-lain. Hasil bumi diatas itulah yang kemudian
oleh pedagang di jual kembali sebagai barang eksport. Selain sistem barter, di Banten juga di
kenal adanya uang sebagai alat tukar. Tome Pires menceritakan bahwa mata uang yang biasa
di gunakan adalah real Banten dan cash china (caxa). Jumlah penduduk kota Banten pada
masa Maulana Hasanuddin belum di temukan data yang pasti; namun melihat kemampuan
banten mengirimkan 7000 tentaranya ke pasuruan tahun 1546 untuk membantu Demak
menaklukkan daerah itu. Terlihat betapa cukup padatnya kota ini. Kalau perbandingan antara
banyaknya tentara dengan penduduk biasa 1:10 saja, maka paling tidak penduduk kota
Banten saat itu ada sekitar 70.000 jiwa. Karena banyaknya pedagang muslim yang selain
aktif berniaga juga aktif menyebarkan ajaran islam kepada penduduk negeri, maka di Banten
terkumpul beberapa ulama yang mengajarkan islam kepada siapa saja. Akhirnya, Banten pun
menjadi pusat penyebaran ajaran islam untuk daerah jawa barat dan sebagian Sumatra.
Banyak santri (pelajar) dari luar daerah yang sengaja datang ke Banten untuk belajar ilmu-
ilmu agama, sehingga tumbuhlah beberapa perguruan islam, seperti di Kasunyatan. Di tempat
ini berdiri Masjid Kasunyatan yang umurnya lebih tua dari Masjid Agung Banten (Ismail,
1983:35). Di sini pulalah tempat tinggal dan mengajar kiyai Dukuh yang kemudian bergelar
Pangeran Kesunyatan, guru Pangeran Yusuf (Djajadiningrat, 1983:163). Di samping
membangun Masjid Agung di dekat alun-alun, Maulana Hasanuddin juga memperbaiki
mesjid di Pacinan dan Karangantu (Ambary, 1978:1 dan Michrob, 1984:5). Masjid Agung
dan masjid di pacinan ini mempunyai atap tumpang limas an dalam lima susunan, dan ini
menjadi model masjid-masjid kuno di jawa, seperti masjid demak, sendang duwur dan
sebagainya.

13
 Wafatnya Sultan Maulana Hasanuddin

Sultan maulana hasanuddin wafat pada tahun 1570, ketika usianya 91 tahun. Ia
diberi gelar marhum sabakinking jasadnya dimakamkan dekat masjid agung banten.
Berabagai usaha yang telah dirintis oleh sultan maulana hasanuddin dalam
menyebarluaskan ajaran agama islam dan membangun kesultanan banten kemudian
dilanjutkan oleh para keturunan nya seperti putranya maulana yusuf.

14
PENUTUP

KESIMPULAN
Sunan Gunung Jati adalah seorang dari walisongo yang dilahirkan pada tahun 1448M.
dari pasangan Syarif Abdullah dan Syarifah Muda’im (Nyai Larasantang) yang merupakan
putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari kerajaan Padjajaran. Sesudah syarif
hidayatullah menjadi pemuda, dan baru berusia 20 tahun, ia bersikap sholeh dan ingin
menjadi guru agama islam, oleh karena itu ia pergi ke mekkah. Disana ia berburu kepada
syekh tajuddin al-kubri, selama dua tahun, selanjutnya ia pergi ke kota Baghdad, disana ia
belajar tasawuf Rasul dan tinggal di pesantren saudara ayahnya. Selanjutnya ia pulang ke
negeri mesir dan setelah itu ia pergi ke pulau jawa, dalam perjalanannya ia singgah di
Gujarat dan tinggal disana selama 3 bulan, ketika singgah di Gujarat ia bertemu dengan
dipati keeling beserta 98 anak buahnya dan kemudian mereka semua masuk agama islam,
dipati keling dan anak buahnya setia (mengabdi) kepada syarif hidayatullah.
Sunan gunung jati wafat pada 1570 M. Beliau dimakamkan di gunung sembung, desa
astana, kecamatan Cirebon utara, kanupaten Cirebon. Sunan gunung jati menyerahkan
kesultanan banten kepada putranya yang bernama pangeran sabakingking, sedangkan
wilayah kesultanan Cirebon diberikan kepada beberapa orang yang merupakan sanak
saudranya.
Hasanuddin berkeliling sambil berdakwah dari satu daerah kedaerah lainnya. Sesekali
bertempat di Gunung Pulosari, Gunung Karang atau Gunung Lor, bahkan sampai ke pulau
panaitan di Ujung Kulon. Setelah tujuh tahun melakukan tugasnya itu, Hasanuddin bertemu
kembali dengan ayahnya, yang kemudian membawanya pergi menunaikan ibadah haji ke
Mekah. Jumlah penduduk kota Banten pada masa Maulana Hasanuddin belum di temukan
data yang pasti; namun melihat kemampuan banten mengirimkan 7000 tentaranya ke
pasuruan tahun 1546 untuk membantu Demak menaklukkan daerah itu. Terlihat betapa
cukup padatnya kota ini. Sultan maulana hasanuddin wafat pada tahun 1570, ketika usianya
91 tahun. Ia diberi gelar marhum sabakinking jasadnya dimakamkan dekat masjid agung
banten. Berabagai usaha yang telah dirintis oleh sultan maulana hasanuddin dalam
menyebarluaskan ajaran agama islam dan membangun kesultanan banten kemudian
dilanjutkan oleh para keturunan nya seperti putranya maulana yusuf.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Lukman hakim fadillah, moh. Ali, banten dalam perjalanan jurnalistik, banten heritage,
pandeglang, 2016,
2. Supratikno Rahardjo, dkk, kota banten lama mengelola warisan untuk masa depan,
WEDATAMA WIDYA SASTRA, Banten, 2011
3. Drs. Yoseph Iskandar dkk, sejarah banten,( Jakarta-Indonesia Triyana Sjam’un Corp, 2011),
4. Prof. Dr. Arif Muhammad, MA, sejarah kebudayaan islam 4, PT Grafindo Media Pratama,
Bandung,1996,
5. Drs. H. Halwany Michrob, M.SC dan Drs. H. A. Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu
Banten, Saudara, Serang, 2011
6. Claude Guilot , Banten Sejarah dan peradaban abad X-VII, Jakarta,perpustakaan popular
grand media, 2008

16

Anda mungkin juga menyukai