DIBUAT OLEH :
NORJANNAH
NIM : 2019. A. 10. 0814
I. Konsep Dasar
1. Pengertian
Blighted ovum disebut juga kehamilan anembrionik merupakan suatu keadaan
kehamilan patologi dimana janin tidak terbentuk. Dalam kasus ini kantong
kehamilan tetap terbentuk.Selain janin tidak terbentuk kantong kuning telur juga
tidak terbentuk. Kehamilan ini akan terus dapat berkembang meskipun tanpa ada
janin di dalamnya. Blighted ovum ini biasanya pada usia kehamilan 14 – 16 minggu
akan terjadi abortus spontan ( Sarwono, 2016).
2. Penyebab
Blighted ovum terjadi saat awal kehamilan. Penyebab dari blighted ovum saat ini
belum diketahui secara pasti, namun diduga karena beberapa faktor. Faktor-faktor
blighted ovum (Dwi W., 2014)
1. Adanya kelainan kromosom dalam pertumbuhan sel sperma dan sel telur.
2. Meskipun prosentasenya tidak terlalu besar, infeksi rubella, infeksi TORCH,
kelainan imunologi, dan diabetes melitus yang tidak terkontrol.
3. Faktor usia dan paritas. Semakin tua usia istri atau suami dan semakin banyak
jumlah anak yang dimiliki juga dapat memperbesar peluang terjadinya
kehamilan kosong.
4. Kelainan genetik
5. Kebiasaan merokok dan alkohol.
4. Patofisiologi
Pada saat pembuahan, sel telur yang matang dan siap dibuahi bertemu sperma.
Namun dengan berbagai penyebab (diantaranya kualitas telur/sperma yang buruk
atau terdapat infeksi torch), maka unsur janin tidak berkembang sama sekali. Hasil
konsepsi ini akan tetap tertanam didalam rahim lalu rahim yang berisi hasil
konsepsi tersebut akan mengirimkan sinyal pada indung telur dan otak sebagai
pemberitahuan bahwa sudah terdapat hasil konsepsi didalam rahim.
Hormon yang dikirimkan oleh hasil konsepsi tersebut akan menimbulkan gejala-
gejala kehamilan seperti mual, muntah dan lainya yang lazim dialami ibu hamil
pada umumnya.Hal ini disebabkan Plasenta menghasilkan hormone HCG (human
chorionic gonadotropin) dimana hormon ini akan memberikan sinyal pada indung
telur (ovarium) dan otak sebagai pemberitahuan bahwa sudah terdapat hasil
konsepsi di dalam rahim. Hormon HCG yang menyebabkan munculnya gejala-
gejala kehamilan seperti mual, muntah, ngidam dan menyebabkan tes kehamilan
menjadi positif. Karena tes kehamilan baik test pack maupun laboratorium pada
umumnya mengukur kadar hormon CG (human chorionic gonadotropin) yang
sering disebut juga sebagai hormon kehamilan.
Pathway
Fertilisasi
Blihgted ovum
5. Komplikasi
4. Infeksi post tindakan ditandai dengan demam dan tanda infeksi lainnya
Penanganan :
Berikan profilaksis dengan pemberian uterotonika.
Profilaksis menggunakan metergin dengan dosis Oral 0,2-0,4 mg , 2-4 kali
sehari selama 2 hari dan IV / IM 0,2 mg , IM boleh diulang 2–4 jam bila
perdarahan hebat. (Manuaba, 2016).
6. Pemeriksaan penunjang
Tes kehamilan: Positif
Pemeriksaan DJJ
Pemeriksaan USG abdominal atau transvaginal akan mengungkapkan ada
tidaknya janin yang berkembang dalam Rahim
Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa blighted ovum
adalah dengan USG (Ultrasonografi) menunjukkan kantung kehamilan
kosong (Hummel, 2017).
Diagnosis pasti bisa dilakukan saat kehamilan memasuki usia 6 – 7 minggu.
Sebab saat itu diameter kantung kehamilan sudah lebih besar dari 16 mm
sehingga bisa terlihat lebih jlas. Dari situ juga akan tampak adanya kantung
kehamilan dan tidak berisi janin. Diagnosis kehamilan anembriogenik dapat
ditegakkan bila pada kantong gestasi yang berdiameter sedikitnya 30mm
tidak dijumpai struktur mudigah dan kantong telur.
7. Penatalaksanaan Medis
Jika telah didiagnosis blighted ovum, maka tindakan selanjutnya adalah
mengeluarkan hasil konsepsi dari rahim (kuretase).
Hasil kuretase akan dianalis untuk memastikan apa penyebab blighted
ovum lalu mengatasi penyebabnya.
Jika karena infeksi maka maka dapat diobati agar tidak terjadi kejadian
berulang.
Jika penyebabnya antibodi maka dapat dilakukan program imunoterapi
sehingga kelak dapat hamil sungguhan.
a. Pemeriksaan genikologi
Ada tidaknya tanda akut abdomen jika memungkinkan, cari sumber
perdarahan, apakah dari dinding vagina atau dari jaringan servik.
b. Pemeriksaan vaginal touche: bimanual tentukan besat dan letak uterus,
tentukan juga apakah satu jari pemeriksa dapat dimasukkan kedalam
ostium dengan mudah atau tidak.
2. Diagnosa Keperawatan
Perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respons
autonom (sumber seringkali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh
individu); perasaan takut yang disebabkan antisipasi terhadap bahaya.
Perasaan inimerupakan isyarat kewaspadaan yang memperingati
bahaya yang akan terjadi dan memampukan individu melakukan
tindakan untuk menghadapi ancaman.
Batasan karakteristik
Perilaku
Penurunan produktivitas
Mengekspresikan kekhawatiran akibat perubahan dalam peristiwa
hidup
Gerakan yang tidak relevan
Gelisah
Memandang sekilas
Insomnia
Kontak mata buruk
Resah
Menyelidik dan tidak waspada
Afektif
Gelisah
Kesedihan yang mendalam
Distress
Ketakutan
Perasaan tidak adekuat
Fokus pada diri sendiri
Peningkatan kekhawatiran
Iritabilitas
Gugup
Gembira berlebihan
Nyeri dan peningkatan ketidakberdayaan yang persisten
Marah
Menyesal
Perasaan takut
Ketidakpastian’
Khawatir
Fisiologis
Wajah tegang
Peningkatan keringat
Peningkatan keteganbgan
Terguncang
Gemetar/tremor
Suara bergetar
Parasimpatis
Nyeri abdomen
Penurunan TD, nadi
Diare
Pingsan
Keletihan
Mual
Gangguan tidur
Kesemutan pada ekstremitas
Sering berkemih
Simpatis
Anoreksia
Mulut kering
Wajah kemerahan
Jantung berdebar-debar
Peningkatan TD, nadi, reflek, pernapasan
Dilatasi pupil
Kesulitan bernapas
Kedutan otot
Kelemahan
Kognitif
Kesadaran terhadap gejala-gejala fisiologis
Bloking fikiran
Konfusi
Penurunan lapang pandang
Kesulitan untuk berkonsentrasi
Keterbatasan kemampuan untuk menyelesaikan masalah
Keterbatasan kemampuan untuk belajar
Takut terhadap konsekuensi yang tidak spesifik
Mudah lupa
Gangguan perhatian
Melamun
Kecenderungan untuk menyalahkan orang lain
3. Intervensi Keperawatan
Penurunan kecemasan :
a. Identifikasi tingkat kecemasan
b. Bantu mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
c. Instruksikan menggunakan teknik relaksasi
d. Berikan obat untuk mengurangi kecemasan
1. Implementasi keperawatan
2. Evaluasi Keperawatan
Hanifa W. (2015). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
DIBUAT OLEH :
NORJANNAH
NIM : 2019. A. 10. 0814
2. Penyebab
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017), faktor penyebab terjadinya gangguan
mobilitas fisik, antara lain kerusakan integritas struktur tulang, perubahan metabolisme,
ketidakbugaran fisik, penurunan kendali otot, penurunan massa otot, penurunan kekuatan otot,
keterlambatan perkembangan, kekakuan sendi, kontraktur, malnutrisi, gangguan
muskuloskeletal, gangguan neuromuskular, indeks masa tubuh di atas persentil ke-75 usia, efek
agen farmakologi, program pembatasan gerak, nyeri, kurang terpapar informasi tentang aktivitas
fisik, kecemasan, gangguan kognitif, keengganan melakukan pergerakan, dan gangguan
sensoripersepsi. NANDA-I (2018) juga berpendapat mengenai etiologi gangguan mobilitas fisik,
yaitu intoleransi aktivitas, kepercayaan budaya tentang aktivitas yang tepat, penurunan ketahanan
tubuh, depresi, disuse, kurang dukungan lingkungan, fisik tidak bugar, serta gaya hidup kurang
gerak. Pendapat lain menurut Setiati, Harimurti, dan Roosheroe (dalam Setiati, Alwi, Sudoyo,
Stiyohadi, dan Syam, 2014) mengenai penyebab gangguan mobilitas fisik adalah adanya rasa
nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, masalah psikologis, kelainan postur, gangguan
perkembangan otot, kerusakan sistem saraf pusat, atau trauma langsuung dari sistem
musculoskeletal dan neuromuskular.
4. Patofisiologi
Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem otot,
skeletal,sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot Skeletal mengatur gerakan
tulangkarena adanya kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang bekerja sebagai sistem
pengungkit. Ada dua tipe kontraksi otot: isotonik dan isometrik. Pada kontraksi isotonik,
peningkatan tekanan otot menyebabkan otot memendek. Kontraksi isometrikmenyebabkan
peningkatan tekanan otot atau kerja otot tetapi tidak ada pemendekanatau gerakan aktif dari otot,
misalnya, menganjurkan klien untuk latihan kuadrisep.Gerakan volunter adalah kombinasi dari
kontraksi isotonik dan isometrik. Meskipunkontraksi isometrik tidak menyebabkan otot
memendek, namun pemakaian energimeningkat. Perawat harus mengenal adanya peningkatan
energi (peningkatan kecepatan pernafasan, fluktuasi irama jantung, tekanan darah) karena latihan
isometrik. Hal inimenjadi kontra indikasi pada klien yang sakit (infark miokard atau penyakit
obstruksi paru kronik). Postur dan Gerakan Otot merefleksikan kepribadian dan suasana
hatiseseorang dan tergantung pada ukuran skeletal dan perkembangan otot skeletal.Koordinasi
dan pengaturan dari kelompok otot tergantung dari tonus otot dan aktifitasdari otot yang
berlawanan, sinergis, dan otot yang melawan gravitasi.
Pathway
Mobilisasi
Tidak mampu
Beraktifitas
Tirah baring yang lama
Kemunduran
Kerusakan integritas infekdetekasi
kulit
Dekubitus konstifasi
5. Komplikasi
Pada gangguan mobilitas fisik jika tidak ditangani dapat menyebabkan masalah,
diantaranya: a. Pembekuan darah Mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh menyebabkan
penimbunan cairan, pembengkaan selain itu juga menyebabkan embolisme paru yaitu sebuah
bekuan yang terbentuk dalam satu arteri yang mengalir ke paru. 17 b. Dekubitus Bagian yang
biasa mengalami memar adalah pinggul, pantat, sendi kaki dan tumit bila memar ini tidak
dirawat akan menjadi infeksi. c. Pneumonia Pasien stroke non hemoragik tidak bisa batuk dan
menelan dengan sempurna, hal ini menyebabkan cairan berkumpul di paru-paru dan selanjutnya
menimbulkan pneumonia. d. Atrofi dan kekakuan sendi Hal ini disebabkan karena kurang gerak
dan mobilisasi Komplikasi lainnya yaitu: a) Disritmia b) Peningkatan tekanan intra cranial c)
Kontraktur d) Gagal nafas e) Kematian (saferi wijaya, 2013).
6. Pemeriksaan Penunjang
1. X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, dan perubahanhubungan tulang.
2. CT scan (Computed Tomography)
3. MRI (Magnetik Resonance Imaging) adalah tehnik pencitraan khusus,
noninvasive,yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan computer
untukmemperlihatkan abnormalitas.
4. Pemeriksaan Laboratorium,Hb ↓pada trauma, Ca↓ pada imobilisasi lama, Alkali Fospat
↑, kreatinin dan SGOT↑ pada kerusakan otot.
7. Penatalaksanaan Medis
1.Membantu pasien duduk di tempat tidur
Tindakan ini merupakan salah satu cara mempertahankan kemampuan mobilitas pasien.
Tujuan :
a.Mempertahankan kenyamanan
b.Mempertahankan toleransi terhadap aktifitasc.
c.Mempertahankan kenyamanan
2.Mengatur posisi pasien di tempat tidur
a.Posisi fowler adalah posisi pasien setengah duduk/ duduk
Tujuan :
1.Mempertahankan kenyamanan|
2.Menfasilitasi fungsi pernafasan
b.Posisi sim adalah pasien terbaring miring baik ke kanan atau ke kiri
Tujuan :
1)Melancarkan peredaran darah ke otak
2)Memberikan kenyamanan
3)Melakukan huknah
4)Memberikan obat peranus (inposutoria)
5)Melakukan pemeriksaan daerah anus
c.Posisi trelendang adalah menempatkan pasien di tempat tidur dengan bagiankepala
lebih rendah dari bagian kaki
Tujuan : untuk melancarkan peredaran darah
d.Posisi genu pectorat adalah posisi nungging dengan kedua kaki ditekuk dandada
menempel pada bagian atas tempat tidur.
3.Memindahkan pasien ke tempat tdiur/ ke kursi roda
Tujuan :
a.Melakukan otot skeletal untuk mencegah kontraktur
b.Mempertahankan kenyamanan pasienc.
c.Mempertahankan kontrol diri pasien
d.Memindahkan pasien untuk pemeriksaan
4.Membantu pasien berjalan
Tujuan :
a.Toleransi aktifitas
b.Mencegah terjadinya kontraktur sendi”
7.Mengkajifungsional klien
-Kategori tingkat kemampuan aktivitas
-Rentang gerak (range of motion-ROM
Skala ADL (Acthyfiti Dayli Living)
0 : Pasien mampu berdiri
1 : Pasien memerlukan bantuan/ peralatan minimal
2 : Pasien memerlukan bantuan sedang/ dengan pengawasan
3 : Pasien memerlukan bantuan khusus dan memerlukan alat
4 : Tergantung secara total pada pemberian asuhan
2. Diagnosa Keperawatan
- Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) diagnosa yang mungkin muncul pada pasien
dengan masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik yaitu :
- Risiko jatuh berhubungan dengan kekuatan otot menurun (Tim Pokja SDKI DPP
PPNI,2017).
- Risiko gangguan integritas kulit atau jaringan berhubungan denganpenurunan mobilitas(Tim
Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).
- Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan hipertensi (Tim Pokja SDKI
DPPPPNI, 2017)
3. Intervensi
4.Implementasi Keperawatan
Keperawatan Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Kegiatan dalam implementasi juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan,
mengobservasi respon klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang
baru. Pada proses keperawatan, implementasi adalah fase ketika perawat mengimplementasikan
intervensi keperawatan. Berdasarkan terminology NIC, implementasi terdiri atas melakukan dan
mendokumentasikan tindakan yang merupakan tindakan keperawatan khusus yang diperlukan
untuk melaksanakan intervensi (atau program keperawatan). Perawat melaksanakan atau
mendelegasikan tindakan keperawatan untuk intervensi yang disusun dalam tahap perencanaan
dan kemudian mengakhiri tahap implementasi dengan mencatat tindakan keperawatan dan
respons klien terhadap tindakan tersebut (Kozier, 2010).
5.Evaluasi Keperawatan
Evaluasi yang dilakukan pada masalah keperawatan gangguan mobilitas fiisk mengacu
pada tujuan, yaitu mobilitas fisik meningkat dengan kriteria pergerakan ekstremitas meningkat,
kekuatan otot cukup meningkat, rentang gerak (ROM) meningkat, nyeri menurun, kekakuan
sendi cukup menurun, kelemahan fisik cukup menurun, kecemasan menurun gerakan terbatas
cukup menurun, serta gerakan tidak terkoordinasi cukup menurun (SLKI, 2019) dan pergerakan
pasien dapat meningkat (NOC, 2016) dengan kriteria gerakan sendi sedikit tergang, gugerakan
otot sedikit terganggu, koordinasi sedikit terganggu, serta keseimbangan sedikit terganggu.
Kemudian, evaluasi pada masalah keperawatan risiko jatuh melihat pada tujuannya, yaitu tingkat
jatuh pasien menurun (SLKI, 2019 dan NOC, 2016). Selanjutnya, pada masalah keperawatan
gangguan integritas kulit atau jaringan dengan tujuan integritas kulit dan jaringan meningkat
(SLKI, 2019 dan NOC, 2016). Evaluasi yang terakhir yaitu pada masalah keperawatan kesiapan
peningkatan pengetahuan dengan tujuannya, yaitu tingkat pengetahuan membaik (SLKI, 2019)
dan pengetahuan perilaku kesehatan meningkat (NOC, 2016).
Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan :
Mengekspresikan perasaan
Memilih alternatif pemecah masalah
Meningkatkan komunikasi
Mengalami ketidaknyamanan minimal selama aktivitas kehidupan sehari-hari