SEKSI A
Cynthia Olivia Yuslie 2018 0700 0025
Gracella St. Faustina 2018 0700 0059
John Reynard Timothy 2018 0700 0227
Qiara Annabel Arief 2018 0700 0244
Maria Ivana Agustine 2018 0700 0260
JUNI 2021
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
FAKULTAS PSIKOLOGI
LEMBAR PERNYATAAN
KEASLIAN HASIL KARYA ILMIAH
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah pada mata kuliah PDU 302 Konstruksi Tes
Psikologis Semester Genap 2020/2021 berupa Laporan Akhir Penyusunan Alat Ukur I-
NCGP beserta seluruh kelengkapannya merupakan hasil karya asli kami.
Sumber literatur digunakan sebagai acuan dan dengan mencantumkan sumbernya pada
bagian Daftar Pustaka sesuai aturan yang berlaku, dan bukan merupakan bentuk
plagiarisme . Seluruh data yang digunakan merupakan data asli yang diperoleh dari
proses uji coba alat ukur yang kami lakukan terhadap responden kami.
Demikian Surat Pernyataan ini dibuat dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab
tanpa ada unsur pemaksaan di dalam pembuatannya untuk dapat digunakan sebagaimana
mestinya.
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. LATAR BELAKANG 1
2.1.1. OLAHRAGA 6
2.1.2. OLAHRAGA DI RUMAH SELAMA COVID-19 6
2.2. MAHASISWA 6
6.3. INTERPRETASI 54
7.2. REKOMENDASI 65
DAFTAR PUSTAKA 67
DAFTAR ISI iv
BAB I
PENDAHULUAN
Pada tanggal 30 Januari 2020, WHO menyatakan bahwa pandemi COVID-19 melanda
seluruh dunia, termasuk Indonesia yang sekarang menempati posisi negara ke-20 dengan
kasus terbanyak (Worldometer, 2020). Transmisi dari COVID-19 bersifat droplet atau
percikan lendir dari dinding saluran pernafasan seseorang yang terinfeksi pada kontak
dekat dan saat orang lain yang menyentuh mata, hidung, atau mulut mereka saat baru
menyentuh permukaan benda yang terpercikan lendir seseorang yang terinfeksi COVID-
19 (Yunus & Rezki, 2020). Maka dari itu sebagai upaya untuk mengurangi persebaran
COVID-19 adalah dengan diberlakukannya peraturan oleh Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia pada tanggal 3 April 2020, yaitu social distancing yang dengan
resmi disebut sebagai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Selain itu, sebagai upaya pencegahan penularan COVID-19, masyarakat dihimbau untuk
meningkatkan imun tubuhnya dengan berpola perilaku hidup bersih dan sehat (Karo,
2020). Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa olahraga rutin dapat
meningkatkan imunitas tubuh, sehingga berperan dalam pencegahan infeksi COVID-19
(Tiksnadi et al dalam Nopiyanto, Raibowo, Sugihartono & Yarmani, 2020). Namun,
ditemukan karena perubahan yang terjadi selama masa pandemik ini terjadi penurunan
aktivitas fisik secara signifikan (Maher, Hevel, Reifsteck, & Drollette, 2021). Hal ini
disebabkan selama physical distancing, orang-orang cenderung untuk melakukan lebih
sedikit aktivitas fisik dan menghasilkan sedentary behavior. Sedentary behavior adalah
kecenderungan seseorang untuk duduk selama melakukan aktivitas lain untuk
meminimalkan pengeluaran energi (Marshall & Ramirez, 2011). Walau perilaku ini tidak
secara langsung menurunkan imun tubuh, namun olahraga dengan cukup dan keseharian
yang aktif merupakan salah satu hal yang dikaitkan dengan daya tahan tubuh yang baik
(Jiménez-Zazo, Romero-Blanco, Castro-Lemus, Dorado-Suárez & Aznar et al., 2020).
BAB 1 PENDAHULUAN 1
depresi (Maher et al., 2021). Penurunan aktivitas fisik ini juga digambarkan oleh pemuda
di Indonesia berdasarkan data Laporan Nasional Risdekas 2018 oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, bahwa kelompok 33.2% dari kelompok usia dewasa
muda (20-40 tahun) memiliki aktivitas fisik yang tergolong kurang. Perilaku
meningkatkan aktivitas sering dilupakan oleh negara dengan pendapatan menengah ke
bawah termasuk Indonesia karena adanya perkembangan ekonomi, peningkatan
penggunaan transportasi, serta pekerjaan yang membutuhkan sedit aktivitas fisik dan
mengakibatkan prevalensi ketidakaktifan tubuh dan inactive lifestyle (Bloom et al.,
dalam Andriyani et al., 2020).
Berdasarkan data yang kelompok ambil dari 45 mahasiswa Fakultas Psikologi UNIKA
Atma Jaya Angkatan 2018 untuk mengetahui fenomena penurunan aktivitas fisik pada
mahasiswa di Indonesia selama COVID-19. Hasil survei yang kelompok sebar, 82,2%
responden mengakui bahwa ada penurunan aktivitas fisik saat pandemi ini. Dari
responden tersebut, 26 memberikan alasan karena menjadi lebih sibuk, 22 orang
kelelahan sebelum menjalani aktivitas fisik, 13 orang masih beradaptasi dengan sistem
kerja atau kuliah, 7 orang tidak memiliki akses atau peralatan untuk melakukan aktivitas
fisik, 3 orang tidak mendapat dukungan dari orang terdekat, dan sisanya memilih alasan
lainnya. Dalam kurun satu bulan terakhir ini pula, sebanyak 46,7% menjawab bahwa
mereka tidak pernah melakukan olahraga, namun 10 orang dari responden menjawab
bahwa mereka melakukan olahraga pada saat liburan semester kemarin.
Berdasarkan hasil survei di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden
mengalami penurunan aktivitas fisik pada saat pandemi ini dan hampir setengah dari
responden tidak melakukan olahraga selama satu bulan terakhir ini. Dampak dari
penurunan aktivitas fisik selama pandemi dirasakan oleh responden merupakan berat
badan yang bertambah, stamina yang menurun, suasana hati yang berantakan, dan nyeri
pada otot. Padahal dalam situasi pandemi ini, gaya hidup aktif sangat diperlukan untuk
menjaga kesehatan tubuh dan olahraga dapat membantu untuk menjaga badan serta
mental (WHO, 2020). Menurut Centers for Disease Control and Prevention (dalam
Taylor, 2015), olahraga secara rutin dapat membantu untuk mengontrol berat badan,
mengurangi risiko penyakit jantung dan diabetes tipe II, mengurangi risiko kanker,
menguatkan otot dan tulang. Tidak hanya itu, olahraga juga dapat memberikan dampak
positif terhadap suasana hati, self-esteem, dan fungsi kognitif (Harman, dalam Taylor,
2015).
Frekuensi olahraga yang dilakukan oleh responden dalam survei kami juga tidak sesuai
dengan jumlah yang dianjurkan. Menurut U.S. Department of Health and Human
Services (dalam Taylor, 2015), setidaknya pada kelompok usia dewasa normal, olahraga
BAB 1 PENDAHULUAN 2
dengan intensitas rendah sebaiknya dilakukan minimal 30 menit untuk setiap harinya
atau sebagian besar hari dalam satu minggu. Untuk olahraga yang melibatkan pernapasan
(aerobic), sebaiknya dilakukan selama 20 menit atau lebih setidaknya 3 kali sehari.
Kementerian Kesehatan RI (2018) juga menganjurkan untuk melakukan olahraga
minimal 30 menit dan setidaknya dilakukan 3 kali dalam seminggu. Sedangkan dalam
kurun waktu 3 bulan ini, sebanyak 52.5% responden yang berolahraga hanya
melakukannya kurang dari 1 kali dalam seminggu.
Tidak dapat dipungkiri, dengan adanya physical distancing atau PSBB dalam situasi
pandemi ini, sulit untuk menjaga tubuh agar tetap aktif secara fisik. Hal ini disebabkan
terbatasnya akses atau tutupnya fasilitas-fasilitas olahraga seperti gym, kolam renang,
lapangan dan beberapa fasilitas lainnya (Bumi & Mahardika, 2021). Maka dari itu,
dalam keadaan seperti ini masyarakat cenderung untuk berolahraga di rumah untuk
menjaga tubuh tetap aktif. WHO (2020) menganjurkan beberapa aktivitas, salah satunya
adalah dengan melakukan penguatan otot dengan mengangkat beban atau menggunakan
berat tubuh dan melakukan gerakan press ups, sit ups, serta squats.
Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa olahraga secara rutin itu penting bagi
mahasiswa Atma Jaya untuk tetap menjaga imun tubuhnya di masa pandemi COVID-19.
Namun, berdasarkan kuesioner yang disebar kelompok, responden mengalami penurunan
aktivitas fisik dan jika berolahraga, kebanyakan responden belum berolahraga sesuai
anjuran yang ideal dari Kementerian Kesehatan RI. Maka dari itu, dibutuhkan adanya
intervensi untuk meningkatkan pola hidup yang aktif secara fisik pada mahasiswa Atma
Jaya. Intervensi ini dibutuhkan sebagai upaya agar imun tubuh mahasiswa meningkat
selama masa pandemik, dan dalam jangka panjang dapat memperkecil risiko mahasiswa
mengalami penyakit jantung dan diabetes tipe II dan risiko kanker (Taylor, 2015).
Dalam mengukur intensi mengukur intensi mahasiswa UAJ untuk berolahraga secara
rutin di rumah 1-2 bulan ke depan, kelompok menggunakan Theory of Planned
Behavior.Teori ini menyatakan bahwa perilaku individu dapat dipengaruhi oleh sebuah
konstruk yang disebut dengan intensi. Intensi tersebut dipengaruhi oleh tiga prediktor
BAB 1 PENDAHULUAN 3
yaitu Attitude Toward Behavior, Subjective Norms, dan Perceived Behavior Cntrol
(Ajzen, 1991). Selain itu, kelompok memilih Theory of Planned Behavior karena teori
ini biasanya digunakan untuk mengintervensi perilaku yang ingin diubah dan sering
digunakan dalam memprediksi perilaku yang terkait dengan kesehatan (Taylor, 2015).
Berdasarkan Marquez & MacAuley (dalam Taylor, 2015), bahwa individu yang
melakukan olahraga adalah individu yang berasal dari keluarga yang turut melakukan
olahraga (Subjective Norms), individu yang memiliki positive attitude terhadap olahraga
(Attitude Toward Behavior), dan individu yang memiliki self-efficacy yang kuat terhadap
aktivitas fisik (Perceived Behavioral Control). Pernyataan ini sesuai dengan
pengelompokan jawaban responden terkait mengapa mereka tidak melakukan atau
melakukan aktivitas fisik atau olahraga. Kelompok mengelompokkan jawaban-jawaban
tersebut menurut ketiga prediktor.
Tujuan dari alat ukur ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari masing-
masing prediktor yaitu Attitude Toward Behavior, subjective norm, dan Perceived
Behavioral Control terhadap intensi untuk melakukan olahraga secara rutin di rumah
pada 1-2 bulan mendatang. Alat ukur ini juga ingin mengidentifikasi prediktor apa yang
paling signifikan dalam memengaruhi intensi Mahasiswa UNIKA Atma Jaya untuk
melakukan olahraga secara rutin di rumah pada 1-2 mendatang.
Manfaat umum dari alat ukur ini adalah untuk menambah pengetahuan mengenai Theory
of Planned Behavior, khususnya terkait perilaku olahraga di rumah dalam 1-2 bulan
mendatang. Manfaat khusus dari alat ukur ini adalah untuk melihat faktor apa yang
paling mempengaruhi Mahasiswa UNIKA Atma Jaya untuk berolahraga secara rutin di
BAB 1 PENDAHULUAN 4
rumah selama 1-2 bulan ke depan. Dengan mengetahui hal ini, intervensi yang diberikan
pada populasi dapat dirancang dengan efektif (Fishbein & Ajzen, 2010) dengan
menyasar pada faktor apa yang paling berpengaruh pada target populasi.
BAB 1 PENDAHULUAN 5
BAB 1
LANDASAN TEORI
1.1.1. OLAHRAGA
Aktivitas olahraga merupakan suatu hal yang penting bagi manusia karena berolahraga
dapat meningkatkan kebugaran jasmani. Olahraga sendiri mempunyai definisi yaitu,
olahraga merupakan performa dalam bentuk partisipasi aktivitas fisik yang terorganisir,
bertujuan mengekspresikan diri atau meningkatkan kebugaran fisik, kesehatan mental,
membentuk hubungan sosial atau mendapatkan hasil dalam kompetisi (Jonasson, dalam
Bumi & Mahardika, 2021).
Olahraga di rumah merupakan olahraga yang cocok dilakukan saat COVID-19. Olahraga
menurut WHO (World Health Organization) dan ACSM (American College of Sports
Medicine) meliputi olahraga aerobik intensitas sedang dan olahraga anaerobik (strength
training). Bagi individu yang baru memulai olahraga di rumah biasanya melakukan
olahraga aerobik atau anaerobik dengan frekuensi mulai dari 2-3 kali setiap minggu
selama 5-10 menit, dan lama kelamaan frekuensi dan intensitasnya dapat meningkat.
Pada individu dewasa, olahraga di rumah disarankan untuk melakukan aerobik intensitas
sedak seperti stationary bikes, rowing ergometers, dan treadmill. Jika alat tidak tersedia
maka individu dapat berjalan atau berlari di halaman rumah dan naik-turun tangga.
Terdapat juga olahraga anaerobik seperti push-ups, pull-ips, squats, lunge, dan burpees
serta olahraga ketahanan dengan pita elastis untuk meningkatkan kekuatan dan massa
otot (Apituley, Pangemanan, & Saputele, 2019).
Konsep dari attitude (sikap) telah menjadi fokus untuk menjelaskan perilaku manusia,
terutama dalam bidang psikologi sosial (Ajzen, 2005). Petty dan Cacioppo (dalam Kalat,
2014) mendefinisikan attitude sebagai rasa suka atau tidak suka yang mempengaruhi
perilaku seseorang. Definisi dari attitude itu sendiri bervariasi, namun psikolog sosial
kontemporer sepakat bahwa attitude bersifat evaluatif. Plato (dalam Ajzen, 2005)
membagi attitude menjadi tiga kategori respon, yaitu kognitif, afeksi, dan konatif.
Respon kognitif merefleksikan persepsi dan pemikiran terkait suatu objek dan
merupakan pengekspresian dari kepercayaan seseorang terhadap objek tersebut. Respon
afektif melibatkan perasaan terhadap suatu objek. Kemudian respons konatif merupakan
kecenderungan berperilaku, intensi, komitmen, dan aksi terhadap suatu objek . Attitude
harus diambil dari respons manusia yang dapat diukur. Namun, Attitude merupakan
konstruk hipotesis yang tidak bisa diukur dengan evaluatif secara langsung (Ajzen,
2005).
Alih-alih membagi attitude menjadi tiga kategori respon seperti yang telah dijelaskan di
atas, Fishbein dan Ajzen membagi tiga respon attitude menjadi belief, attitude, dan
intention. Menurut Fishbein dan Ajzen (dalam Ajzen, 2005), attitudes merupakan hasil
dari keyakinan (belief) yang dipegang seseorang, kemudian intensi dan aksi merupakan
hasil dari attitude tersebut. Keyakinan yang dimiliki seseorang terhadap objek, aksi, dan
peristiwa dapat diperoleh melalui banyak sumber. Manusia bisa memegang banyak
kepercayaan mengenai suatu objek, namun untuk benar-benar meyakini kepercayaan itu
hanya sedikit. Keyakinan ini yang disebut sebagai salient beliefs. Salient beliefs sangat
Theory of Planned Behavior (TPB) berasal dari theory of Multiatribute Attitude (TMA)
dan Theory of Reasoned Action (TRA). Berdasarkan Theory of Reasoned Action, intensi
perilaku pada seorang individu ditentukan oleh dua faktor, yaitu Attitude Toward
Behavior dan Subjective Norm. Kemudian Ajzen (dalam Zhang, 2018) berpendapat
bahwa perilaku manusia tidak hanya dipengaruhi oleh intensi individu saja, namun juga
dipengaruhi faktor keadaan eksternal dan objektif (Ramdhani, 2011). Maka untuk
meningkatkan prediksi dan menjelaskan Theory of Reasoned Action (TRA), Ajzen
menambahkan prediktor Perceived Behavioral Control. Teori ini berkembang menjadi
TPB yang menyatakan bahwa perilaku individu dapat dipengaruhi oleh sebuah konstruk
yang disebut dengan intensi.
Intensi tersebut dipengaruhi oleh tiga prediktor yaitu: (a) Attitude Toward Behavior, (b)
subjective norm, dan (c) perceived behavior control (Ajzen, 1991). Kombinasi dari
ketiga konstruk tersebut akan berperan sebagai prediktor dalam mengukur intensi
seseorang untuk melakukan suatu perilaku. Ketiga faktor tersebut dapat berdiri sendiri
dalam mengubah intensi perilaku secara lansung dan dapat juga saling mempengaruhi
dalam mengubah niat perilaku (Zhang, 2018). Hal ini menunjukan bahwa kombinasi dari
ketiga faktor tersebut dapat bervariasi pada setiap individu.
TPB memiliki cakupan yang terbatas dalam pengaplikasiannya. Objek dari TPB sendiri
adalah perilaku rasional individu. Jadi perilaku individu dalam konteks kolektif
(misalnya unjuk rasa, parade dan debat komunitas), perilaku individu yang didorong
emosi (misalnya kesedihan, kemarahan, dan kegembiraan) dan perilaku yang dibuat oleh
individu untuk kolektif (pengambilan keputusan), tidak termasuk dalam objek TPB
(Bagozzi, Dholakia & Mokerjee dalam Zhang, 2018).
TPB bertujuan untuk mengidentifikasi faktor atau prediktor apa yang paling signifikan
dalam memengaruhi intensi seseorang untuk berperilaku tertentu. Informasi ini akan
sangat berguna untuk merancang behavioral intervention. Dengan kita mengetahui
prediktor apa yang paling signifikan, maka kita bisa memengaruhi intensi seseorang
dengan mengubah beliefs yang memengaruhi prediktor tersebut. TPB memiliki cakupan
yang terbatas dalam pengaplikasiannya. Objek dari TPB sendiri adalah perilaku rasional
individu. Jadi perilaku individu dalam konteks kolektif (misalnya unjuk rasa, parade dan
Maka dari itu, output dari alat ukur TPB ini merupakan variabel prediktor mana yang
paling mempengaruhi perilaku yang disasar kelompok. Skala yang mengungkap
prediktor yaitu skala attitude (sikap), Subjective Norms, perceived control, dan intensi.
Skala pengkuran berbasis TPB terdiri dari item-item yang disusun untuk merefleksikan
faktor-faktor psikologis untuk melakukan suatu perilaku.
Prediktor dapat diketahui melalui salient belief dari responden yang representatif
terhadap target populasi, dalam alat ukur ini populasinya aadalah mahasiswa UAJ.
Proses ini bisa dilakukan pada tahap pilot study, dengan mengumpulkan data-data
berikut:
Peneliti juga dapat mengidentifikasi secara rinci aspek-aspek dari ketiga prediktor
tersebut, seperti bagaimana sikap responden terhadap suatu perilaku, siapa saja orang-
orang yang dapat memengaruhi intensi responden, juga faktor apa saja yang mendukung
atau menghambat seseorang dalam melakukan suatu perilaku. Kita juga dapat mencari
hubungan antara satu prediktor dengan prediktor lainnya, apakah aspek-aspek yang
berada di satu prediktor saling berhubungan dengan prediktor lainnya.
Subjective Norm merupakan persepsi individu mengenai ekspektasi atau harapan dari
kelompok yang dianggap penting, sehingga hal ini memotivasi mereka untuk mengikuti
dan melakukan apa yang dipercayai tersebut. Terdapat dua macam norms, yaitu
injunctive dan descriptive (Fishbein & Ajzen, 2010). Injunctive norms mengacu pada
Menurut Fisbhein dan Ajzen (2010), pada mulanya Subjective Norms hanya mengacu
pada injuctive norms. Kemudian pada integrarive model dari Theory of Planned
Behavior, descriptive norms diakui juga dapat memengaruhi persepsi seseorang dalam
berperilaku. Seseorang mungkin saja untuk melakukan modelling terhadap perilaku
orang di sekitarnya. Jika sebagian besar orang-orang di sekitar kita melakukan suatu
perilaku tertentu, maka akan sangat wajar jika kita akan menganggap bahwa perilaku
tersebut memang harus dilakukan, yang kemudian mendorong kita untuk melakukan
imitasi.
Subjective norm sendiri memiliki dua dimensi, yaitu normative beliefs dan motivation to
comply. Normative beliefs merupakan kepercayaan yang dipegang seseorang bahwa
sosok yang penting baginya akan setuju atau tidak setuju terhadap perilaku tertentu, serta
apakah orang-orang yang dianggap penting tersebut melakukan atau tidak melakukan
perilaku tertentu. Kepercayaan ini juga mengacu kepada apakah seseorang mempercayai
bahwa ia mendapatkan social pressure untuk melakukan sesuatu. Normative beliefs
menentukan motivation to comply, yaitu motivasi untuk memenuhi atau menolak
pandangan dari normative beliefs.
Faktor terakhir yaitu Perceived Behavioral Control yang merupakan persepsi individu
mengenai sejauh apa mereka percaya bahwa mereka mampu untuk melakukan perilaku
tersebut. Untuk sebagian besar perilaku, pengukuran untuk actual control behavior tidak
tersedia. Maka dari itu, kita dapat mengukur Perceived Behavioral Control sebagai
proxy, selama hal tersebut mampu merefleksikan actual behavioral control secara
akurat. Terdapat dua tipe dari Perceived Behavioral Control (Fishbein & Ajzen, 2010),
yaitu capacity dan autonomy. Perceived capacity adalah sejauh mana seseorang percaya
bahwa dia bisa atau tidak bisa untuk melakukan suatu perilaku. Perceived capacity juga
mengacu pada mudah atau sulitnya seseorang dalam melakukan suatu perilaku.
Contohnya adalah “Saya yakin bahwa saya dapat berhenti merokok dengan mudah .”
Sedangkan perceived autonomy adalah sejauh mana tingkat kontrol yang mereka miliki
Perceived behavioral control ditentukan oleh dua dimensi, yaitu control beliefs dan
perceived power. Control beliefs merupakan keyakinan yang dimiliki seseorang
mengenai faktor-faktor yang dapat menjadi fasilitator atau penghambat yang
diasumsikan dapat menentukan Perceived Behavioral Control. Control belief juga
memiliki output, yaitu perceived power. Perceived power merupakan persepsi individu
mengenai seberapa kuat kontrol diri terhadap sumber-sumber untuk memunculkan
sebuah perilaku (Ajzen, 2005).
1.1.6. INTENSI
Intensi adalah kecenderungan individu dalam melakukan suatu perilaku (Zhang, 2018).
Intensi adalah sebuah niat untuk melakukan dan terus melakukan suatu perilaku
(Ramdhani, 2011). Pada umumnya semakin kuat intensi seseorang, semakin besar
kemungkinan seseorang untuk melakukan suatu perilaku. Intensi akan tetap menjadi
Dalam proses pengambilan keputusan, dengan kombinasi tiga faktor dari attitude,
subjective norm, dan Perceived Behavioral Control kita dapat memprediksi intensi
seseorang untuk melakukan perilaku (Fishbein & Ajzen, 2010). Ketiga faktor tersebut
dapat berdiri sendiri dalam mengubah intensi perilaku secara lansung dan dapat juga
saling mempengaruhi dalam mengubah niat perilaku (Zhang, 2018). Hal ini menunjukan
bahwa kombinasi dari ketiga faktor tersebut dapat bervariasi pada setiap individu.
Jadi, perubahan intensi seseorang untuk melakukan perilaku tertentu bisa saja terjadi
ketika terdapat 1 hingga 2 faktor tersebut yang tidak memberikan prediksi yang
signifikan terhadap suatu perilaku. Dengan kata lain, sebuah perilaku dapat sangat
dipengaruhi oleh faktor attitude saja, dan faktor normative dan behavioral control tidak
memberikan pengaruh signifikan atau dipengaruhi attitude dan behavioral control saja
tanpa dipengaruhi faktor normative serta kombinasi lain dari ketiga faktor tersebut.
Berdasarkan pemaparan teori sebelumnya, maka berikut adalah ringkasan konstruk alat
ukur yang mencakup definisi teoritis dan definisi operasional pada masing-masing
konstruk. Ringkasan alat ukur juga dapat dilihat pada Lampiran 1: Test Specification.
A ATTITUDE
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Fishbein & Ajzen (2010), Attitude Toward
Behavior adalah penilaian positif atau negatif yang diberikan seseorang terhadap sebuah
perilaku tertentu dengan mempertimbangkan konsekuensi dari perilaku tersebut serta
pengalamannya . Pada konstruk Attitude Toward Behavior, terdapat dua dimensi yang
membentuknya, yaitu behavioral beliefs dan outcome evaluation. Keyakinan yang
dimiliki seseorang mengenai konsekuensi suatu perilaku merupakan behavioral
beliefs. Behavior beliefs menghasilkan outcome evaluation yaitu, hasil evaluasi
positif atau negatif individu terhadap konsekuensi tersebut.
C SUBJECTIVE NORMS
E INTENSI
Intensi adalah keinginan individu dalam melakukan suatu perilaku (Zhang, 2018).
A ATTITUDE
Attitude atau sikap adalah respons Mahasiswa UNIKA Atma Jaya terhadap perilaku
olahraga di rumah pada libur semester mendatang, didapatkan dari derajat intensi
berperilaku yang dipengaruhi faktor Attitude Toward Behavior, Subjective Norms, dan
Perceived Behavioral Control.
Attitude Toward Behavior adalah tingkat penilaian positif atau negatif oleh Mahasiswa
UNIKA Atma Jaya terhadap perilaku olahraga secara rutin di rumah dalam 1-2 bulan ke
depan, yang didapatkan dari hasil penjumlahan setiap perkalian antara item behavioral
beliefs dan outcome evaluation.
C SUBJECTIVE NORMS
Subjective Norms adalah persepsi Mahasiswa UNIKA Atma Jaya terhadap perilaku
olahraga secara rutin di rumah dalam 1-2 bulan ke depan berdasarkan harapan dan
ekspektasi sosok yang penting baginya, yang didapatkan dari hasil perkalian antara item
normative beliefs dan motivation to comply.
Perceived Behavioral Control adalah persepsi Mahasiswa UNIKA Atma Jaya mengenai
kemampuan dan kapasitasnya dalam olahraga secara rutin di rumah dalam 1-2 bulan ke
depan, yang didapatkan dari hasil perkalian antara item control beliefs dan perceived
power.
E INTENSI
Keinginan Mahasiswa UNIKA Atma Jaya untuk berolahraga secara rutin di rumah dalam
1-2 bulan ke depan yang diukur dengan menjumlahkan skor individu pada setiap item
intensi skala 1-7.
Konsep attitude telah menjadi fokus untuk menjelaskan perilaku manusia oleh psikolog
sosial (Ajzen, 2005). Fishbein dan Ajzen membagi tiga respon attitude menjadi belief,
attitude dan intention. Attitudes merupakan hasil dari keyakinan (belief) yang dipegang
seseorang, kemudian intensi dan aksi merupakan hasil dari attitude tersebut. Pada
Theory of Planned Behavior, intensi seseorang untuk berperilaku dipengaruhi oleh faktor
(a) Attitude Toward Behavior, (b) Subjective Norm, dan (c) Perceived Behavior Control
(Ajzen, 1991).
Attitude merupakan konstruk hipotesis yang tidak bisa diukur secara langsung yang
bersifat evaluatif (Ajzen, 2005). Theory of Planned Behavior mampu memberikan
pemahaman lebih jauh dan banyak digunakan untuk menjelaskan perilaku manusia
melalui keempat faktor yang telah disebutkan di atas. Maka, alat ukur ini termasuk ke
dalam jenis Attitude Inventory. Attitude inventory digunakan untuk mengukur sikap
seseorang terhadap berbagai faktor perilaku yang ingin diukur (Cohen, 2018) . Respon
dalam alat ukur ini mampu dalam merefleksikan penilaian positif atau negatif seseorang
terhadap suatu perilaku tertentu.
Berikut merupakan karakteristik individu yang dapat mengerjakan alat ukur ini;
Kelompok menjadikan hal ini sebagai kriteria responden karena alat ukur ini
mengukur Intensi Mahasiswa UNIKA Atma Jaya untuk berolahraga secara rutin di
rumah pada 1-2 bulan mendatang. Jadi agar datanya mewakili populasi responden
juga diambil dari Mahasiswa UNIKA Atma Jaya.
Alalt ukur kelompok mengukur intensitas pada perilaku berolahraga secara rutin.
Jika responden memiliki kondisi medis yang menghambat aktivitas fisik, maka
respon individu pada setiap konstruk mungkin tidak menggambarkan individu. Hal
ini disebabkan, intensi individu mungkin rendah bukan karena attittude toward
behavior, subjective norms, dan perceived behavioral controlnya rendah, namun
karena individu memang terbatas fisiknya untuk berolahraga.
ALAT UKUR
Proses penyusunan item pada alat ukur kelompok dapat terbagi menjadi tahap-tahap
berikut:
A PERUMUSAN KONSTRUK
Perumusan definisi teoritis diambil berdasarkan teori Ajzen dan Fishbein mengenai
Theory of Planned Behavior Kelompok melakukan theory review terlebih dahulu untuk
mengetahui makna dari setiap konstruk, perbedaan antar konstruk, serta hubungan antar
konstruk. Setelah melakukan theory review, kelompok merumuskan definisi teoritis.
Definisi operasional diperoleh dari definisi teoritis, namun dikaitkan dengan Action,
Target, Context, dan Time serta bagaimana konstruk tersebut diukur atau didapatkan.
Perumusan dari domain behavior pada alat ukur kami berpacu pada Ajzen dan Fishbein
(2010). Pemahaman kelompok terhadap domain dari masing-masing konstruk didasari
dengan dua poin penting, yaitu belief dan outcome. Belief adalah pandangan atau
evaluasi (behavioral), persepsi terhadap orang lain (normative), serta faktor-faktor yang
berpengaruh (control). Kemudian outcome adalah sejauh mana belief yang individu
miliki memengaruhi keinginan individu untuk melakukan sesuatu. Kedua poin tersebut
membentuk konstruk ATB, SN, dan PBC sehingga belief dan outcome merupakan
domain untuk setiap konstruk.
Proses penggalian salient beliefs dilakukan dengan memberikan survei kepada target
populasi melalui pertanyaan terbuka, dengan begitu kelompok mengasumsikan apa yang
responden jawab pada survei kami merupakan beliefs yang paling sesuai dengan dirinya.
Pertanyaan tersebut mengandung ketiga beliefs dari ketiga konstruk, yaitu:
Dalam survei tersebut, kelompok secara spesifik menanyakan beliefs dari 53 responden
terhadap olahraga calisthenics exercise dengan pertimbangan jenis olahraga tersebutlah
yang dianjurkan oleh WHO (2020) sebagai salah satu upaya untuk tetap aktif di rumah
Pertanyaan dan jawaban dari salient beliefs yang telah dilakukan oleh kelompok dapat
secara lebih jelas dilihat pada Lampiran 2: Pertanyaan dan Hasil Salient Beliefs.
Kelompok juga mempertimbangkan bahwa apabila alat ukur kami hanya dikhususkan
untuk olahraga calisthenics exercise saja, maka generabilitas dari alat ukur ini akan
semakin berkurang. Salah satu manfaat dari pembuatan alat ukur ini adalah dapat
dijadikan bahan untuk pemberian intervensi. Apabila data yang didapatkan kelompok
hanya tertuju pada calisthenics exercise, maka data ini akan kurang cocok untuk jenis
olahraga lainnya yang bisa dilakukan di rumah. Padahal, jenis olahraga yang bisa
dilakukan di rumah oleh target populasi bisa bervariasi tergantung dari masing-masing
individu. Selain itu, olahraga jenis calisthenics bukan merupakan jenis olahraga satu-
satunya yang dapat memberikan dampak positif terhadap seseorang.
Setelah mendapatkan data dari survei, kelompok juga melakukan pengambilan data
melalui wawancara kepada beberapa responden survei yang ingin dihubungi lebih lanjut
untuk mendapatkan data yang lebih elaboratif. Setiap anggota kelompok kami
mewawancarai 2-3 responden. Panduan wawancara yang digunakan adalah pertanyaan
dari survei itu sendiri dan kelompok lebih banyak melakukan probing.
Sebagian besar hasil dari survei merupakan fakta terkait olahraga itu sendiri. Meskipun
memang tidak menutup kemungkinan bahwa fakta yang ada dapat menjadi beliefs
seseorang, namun kelompok ingin secara jelas membedakan manakah yang benar-benar
kepercayaan responden itu sendiri. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya social
desirability yang tinggi, terlebih lagi dengan mempertimbangkan bahwa olahraga
merupakan aktivitas yang memang bermanfaat bagi sebagian besar individu sehingga
pada umumnya seseorang akan memiliki pandangan yang cenderung positif terhadap
olahraga.
Sebagai upaya untuk memperkaya, data kelompok tidak hanya menggunakan data dari
survei maupun wawancara saja, melainkan kelompok juga melibatkan beliefs dari
anggota kelompok sendiri. Kelompok memikirkan beliefs lainnya yang mungkin dimiliki
oleh responden, namun belum tergali baik pada survei maupun wawancara. Setelah
seluruh data survei dan wawancara terkumpul, kelompok melakukan koding untuk
mengorganisir jawaban responden. Semakin tinggi kemunculan suatu beliefs, maka
E PERUMUSAN INDIKATOR
Dalam melakukan perumusan indikator, kelompok mengacu pada salient beliefs yang
telah didapatkan pada tahap sebelumnya. Namun, tidak semua beliefs yang tergali pada
responden kelompok jadikan indikator berdasarkan beberapa pertimbangan.
Pada Attitude Toward Behavior, kelompok mengeliminasi beliefs yang berkaitan dengan
kesehatan tubuh secara fisik untuk menghindari kecenderungan social desirability yang
tinggi. Sebagai penggantinya, kelompok cukup banyak menekankan pada hal-hal yang
lebih bernuansa psikologis agar hasil yang didapatkan lebih bervariatif pada masing-
masing responden. Sedangkan untuk domain outcome, kelompok mencari kata sifat yang
dapat mewakili persepsi individu terhadap manfaat atau kerugian dari domain belief
(penting, nyaman, menyenangkan, dll).
Pada Subjective Norms, significant others yang paling banyak tergali pada responden
adalah teman dan keluarga. Selain kedua sosok tersebut, responden juga menambahkan
influencer atau Key Opinion Leader (KOL) sebagai sosok yang dapat memengaruhi
intensi seseorang dalam berolahraga. Kelompok mempertimbangkan bahwa semenjak
pandemi ini, cukup banyak KOL yang identik dalam berolahraga yang banyak diikuti
oleh orang-orang, seperti Chloe Ting dan Emi Wong (Tecco, 2020; Chari, 2021;
Davidson, 2021). Kelompok juga memasukkan manfaat atau dampak yang ada pada
ATB, namun manfaat atau dampak tersebut dirasakan oleh significant others berdasarkan
persepsi individu.
Setiap indikator untuk kedua domain belief dan outcome berhubungan satu sama lain,
juga indikator pada setiap konstruk. Contohnya adalah:
Berdasarkan contoh di atas, dapat dilihat bahwa item-item pada masing-masing domain
dan konstruk memiliki akar yang sama, yaitu body image. Berdasarkan akar tersebut,
kelompok dapat mengembangkannya menjadi enam indikator perilaku. Hal ini
memudahkan kami untuk memastikan bahwa item-item dalam tingkat domain saling
berpasangan.
F PENYUSUNAN ITEM
Penyusunan item ditarik dari indikator perilaku yang telah dibuat pada tahap
sebelumnya. Untuk membantu proses penyusunan item kami, kelompok menggunakan
acuan dari Ajzen (2019) tentang bagaimana untuk membuat kuesioner dalam alat ukur
TPB. Sedangkan dalam penulisan itemnya sendiri, kelompok menggunakan pedoman
umum dari Edwards (1957), beberapa di antaranya yaitu:
• Hindari peristiwa masa lalu. Dikarenakan alat ukur TPB terikat dengan ATCT,
maka terdapat kemungkinan adanya perubahan sikap/pandangan seseorang pada
masa lalu dengan masa sekarang. Maka dari itu, kelompok menghindari penggunaan
kata keterangan masa lalu.
• Jangan menulis pernyataan yang tidak relevan dengan konstruk yang ingin
diukur.
• Pilih pernyataan yang mencakup seluruh konteks dari konstruk yang ingin
diukur. Dalam melakukan penulisan item, kelompok tidak dapat melibatkan seluruh
ATCT pada setiap item. Penambahan ATCT pada item membuat item menjadi lebih
Pada alat ukur TPB, item dibuat secara berpasangan antara domain belief dengan domain
outcome (Fishbein & Ajzen, 2010). Keduanya harus saling berhubungan satu dengan
yang lain. Apabila item domain belief berbicara tentang peralatan olahraga, maka item
domain outcome juga akan membahas hal yang serupa. Perbedaannya adalah domain
outcome merupakan respons individu terhadap domain belief. Tidak hanya antar domain,
namun item antar konstruk juga bersifat saling berhubungan. Hal ini telah dibahas di
pada Perumusan Indikator.
Seperti yang dapat dilihat pada tabel di atas, item pada domain belief dan domain
outcome merupakan pasangan item pada satu konstruk. Selain itu, mereka juga
berpasangan dengan item lainnya yang berasal dari konstruk lain. Maka perlu
diperhatikan bahwa dalam menyusun satu item, terdapat lima item lainnya yang harus
dipertimbangkan. Apabila satu item dieliminasi, maka terdapat lima item lainnya yang
juga harus dieliminasi. Hal ini membuat penyusunan item perlu dilakukan sebanyak
mungkin agar jumlah item final tidak terlalu sedikit.
A WAKTU PENGERJAAN
Waktu pengerjaan untuk menyelesaikan 56 item adalah sebanyak 15 menit. Hal ini
berdasarkan pertimbangan yang didapat dari fitur Microsoft Form pada saat penyebaran
alat ukur. Rata-rata durasi yang dibutuhkan responden untuk mengerjakan 56 item adalah
9 menit. Namun kelompok menambahkan durasi tambahan sebanyak 5 menit untuk
mempertimbangkan adanya kendala lain serta pengerjaan dalam format paper-and-
pencil yang mungkin membutuhkan waktu lebih banyak.
B SCALING APPROACH
Jenis scaling approach yang digunakan oleh kelompok adalah subject-centered method.
Jenis tersebut bertujuan untuk menentukan letak individu pada titik tertentu dalam
sebuah kontinum (Crocker & Algina, 2008). Individu yang memiliki skor lebih tinggi
akan semakin dekat pada kontinum di sisi kanan, dan individu dengan skor lebih rendah
semakin dekat di sisi kontinum sebelah kiri. Dengan kata lain, responden lah yang
menentukan posisinya sendiri terhadap suatu item. Dikarenakan alat ukur ini
menyangkut beliefs yang dipercayai oleh responden, maka responden lah yang dapat
menilainya sendiri di manakah posisi dirinya terhadap belief tersebut (sangat setuju –
sangat tidak setuju). Posisi individu pada suatu item pada masing-masing konstruk akan
menentukan seberapa besar intensinya untuk melakukan olahraga dalam 1-2 bulan ke
depan.
Bentuk stimulus yang diberikan berupa pernyataan dengan skala Likert 1-7. Masing-
masing angka pada rentang nilai skala Likert diasumsikan membentuk sebuah skala
kontinyu, dengan adanya keurutan (order) serta memiliki jarak yang sama ( equidistant)
Berdasarkan Cohen & Swerdlik (2018), skala Likert pada umumnya digunakan untuk
mengukur attitude atau sikap. Dikarenakan jenis alat ukur ini merupakan attitude
inventory, maka dari itu kelompok menggunakan skala Likert sebagai format jawaban.
Kelompok menggunakan tujuh sub skala Likert, dengan 1 sangat tidak setuju dan 7
sangat setuju. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Weijters, Cabooter, dan
Schillewaert (2010), peneliti memberikan rekomendasi untuk menggunakan skala
dengan lebih banyak kategori (secara spesifik 7 kategori) untuk populasi murid dan
populasi lainnya yang memiliki kemampuan kognitif tinggi. Dikarenakan target test
takers kami merupakan mahasiswa UNIKA Atma Jaya yang di mana adanya aktivitas
perkuliahan dengan kemampuan kognitif yang tinggi, maka kelompok menggunakan sub
skala 1-7.
Menurut Garner (dalam Revilla, Saris, dan Krosnick, 2014), skala 1-7 dapat memberikan
lebih banyak kategori dan dapat menggambarkan intensitas dari jawaban responden.
Dikarenakan alat ukur ini menyangkut belief atau kepercayaan seseorang terhadap
sebuah perilaku, maka kelompok memberikan tujuh pilihan jawaban agar responden
mendapatkan pilihan jawaban yang lebih banyak sesuai dengan intensitas dari belief dan
outcome-nya itu sendiri. Dengan pilihan kategori yang lebih banyak, kelompok dapat
mengetahui derajat attitude pada setiap responden terhadap olahraga secara lebih
variatif.
Dikarenakan jumlah pilihan jawaban bersifat ganjil, maka terdapat nilai tengah
(midpoint), atau yang biasa dilabeli dengan “netral.” Menurut Schuman & Presser
(dalam Weijters et al., 2010), dengan adanya pilihan netral, maka responden tidak perlu
dipaksa untuk memilih salah satu polar. Dengan begitu, kehadiran nilai netral akan
membuat responden merasa lebih nyaman dalam memilih jawaban (Nunnally, dalam
Weijters et al., 2010). Kelompok mempertimbangkan bahwa beliefs yang ada pada item
kami tidak seluruhnya hadir pada setiap responden. Terdapat kemungkinan bahwa beliefs
tersebut tidak pernah terpikirkan oleh responden, atau memang responden cenderung
netral terhadap beliefs tersebut. Maka, kelompok menyediakan jawaban netral.
Pada Fishbein dan Ajzen (2010) disebutkan bahwa semantic differential scale dapat
digunakan sebagai bentuk skala, namun kelompok tidak menggunakan skala tersebut.
Hal ini disebabkan karena penyusunan standar pada semantic differential scale sulit
untuk dilakukan. Dalam pembuatan semantic differential scale, kelompok harus
mengumpulkan cukup banyak pasangan kata sifat yang saling bertentangan (Fishbein &
Ajzen, 2010). Kelemahan dari skala ini adalah perspektif semiotika dalam mempelajari
Meskipun juga terdapat kemungkinan bahwa responden dapat memiliki pemaknaan yang
berbeda pada masing-masing sub skala di Likert, namun seluruh item hanya terdapat dua
pilihan kutub, yaitu sangat tidak setuju dan sangat setuju sehingga lebih terstandar jika
dibandingkan dengan semantic differential scale.
D SKORING ITEM
Item pada alat ukur ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu unfavorable dan favorable. Item
yang bersifat unfavorable akan dikonversi dengan cara yang berkebalikan dari item
favorable, yaitu 7 menjadi 1, 6 menjadi 2, dan seterusnya. Pada item favorable, semakin
besar angka yang responden pilih (sangat setuju), maka semakin besar pula skor pada
item tersebut. Begitu pula sebaliknya, semakin kecil angka yang responden pilih (sangat
tidak setuju), maka semakin kecil pula skor pada item tersebut. Berdasarkan pemaparan
di atas, maka skoring item pada alat ukur item ini termasuk ke dalam cumulative model,
yaitu sebamkin tinggi skor seseorang, semakin tinggi juga kemampuan, perilaku, atau
karakteristik lain yang diukur oleh alat tes (Cohen & Swerdlik, 2008).
Kelompok tidak menggunakan ipsative scoring, karena pada tipe scoring ini bertujuan
untuk membandingkan skor antar-domain atau konstruk pada satu individu (Cohen &
Swerdlik, 2018. Sedangkan kelompok tidak ingin berfokus pada individu tertentu,
melainkan pada keseluruhan responden untuk menentukan faktor yang paling signifikan
dalam memengaruhi intensi Mahasiswa UNIKA Atma Jaya untuk melakukan olahraga
secara rutin selama di rumah. Kelompok juga tidak menggunakan class/category karena
kelompok tidak bertujuan untuk mengklasifikasikan setiap responden pada sebuah kelas
atau kategori tertentu.
Pada uji coba 1, terdapat 60 responden yang merupakan Mahasiswa Fakultas Psikologi
UNIKA Atma Jaya Semester 6 Tahun Ajaran 2020/2021. Pada uji coba 2, terdapat 54
responden yang merupakan Mahasiswa Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya dari
Kelompok tidak mengumpulkan data demografis tertentu baik itu jenis kelamin maupun
usia karena kelompok menganggap bahwa karakteristik tersebut tidak terlalu
memengaruhi hasil dari alat ukur kami. Namun dari 54 responden tersebut pada uji coba
2, terdapat perbedaan angkatan dengan rincian sebagai berikut:
Proses penyusunan item pada alat ukur kelompok dapat terbagi menjadi tahap-tahap
berikut:
Sebelum melakukan uji coba, kelompok membuat Form Online yang berisikan 86 item
untuk diuji coba kepada responden. Setelah dimasukkan ke dalam Form, kelompok
menguji cobanya terlebih dahulu secara internal untuk memastikan tidak ada penulisan
yang salah, pembagian section yang sudah benar, jumlah item sudah sesuai, dan lain
sebagainya. Setelah proses pengecekan dan pembetulan telah selesai dilakukan,
kelompok menyebarkan link Form Online tersebut kepada responden dengan target
setidaknya 50 responden.
Secara garis besar, alur dari pengisian Form dapat dibagi menjadi berikut:
• Pembukaan
Secara garis besar bagian pembukaan berisi tentang identitas pembuat alat ukur,
kriteria responden yang diperlukan, tujuan dari pembuatan alat ukur, perkiraan
durasi, hak responden untuk mengundarkan diri, dan contact person.
• Identitas Responden
• Petunjuk Pengisian
Pada bagian ini terdapat instruksi pengerjaan secara singkat serta satu pertanyaan.
Satu pertanyaan tersebut yaitu apakah responden sudah memahami instruksi
pengerjaan yang diberikan. Kelompok menambahkan instruksi bahwa apabila
responden sudah memahami, maka ia wajib untuk mengisi pada skala 7. Hal ini
untuk memastikan apakah responden benar-benar membaca instruksi atau item pada
alat ukur kami secara sungguh-sungguh. Responden yang menjawab skala lain
selain 7 maka akan dieliminasi.
• Penutup
Berisi pertanyaan kesediaan responden untuk dihubungi kembali beserta dengan
kontak yang bisa dihubungi. Setelah melakukan submit, responden akan melihat
ucapan terima kasih beserta dengan contact person dari kelompok.
Kelompok menggunakan Google Form dikarenakan format item yang terlihat lebih jelas
apabila responden mengerjakan menggunakan ponsel. Pada setiap kutub, terdapat
keterangan sangat setuju dan sangat tidak setuju yang dapat memudahkan responden
dalam pengisian. Namun pada saat pengolahan data, Excel disusun berdasarkan urutan
Kelompok perlu melakukan uji coba sebanyak dua kali dikarenakan kami mendapatkan
hasil yang kurang memuaskan pada uji coba pertama. Banyak item yang harus
dieliminasi, terutama dikarenakan hasil corrected item-total correlation yang berada di
bawah 0.2, bahkan mencapai minus. Beberapa indikator perilaku juga nampaknya tidak
sesuai dengan belief dari target populasi. Dari total 86 item pool, kelompok hanya dapat
menerima 32 item pada uji coba pertama. Jumlah item yang terlalu sedikit dapat
menurunkan reliabilitas dari alat ukur. Maka, kelompok melakukan uji coba 2 dengan
target mampu menerima lebih banyak item agar dapat meningkatkan reliabilitas alat ukur
(Miller & Lovler, 2020).
Pada konstruk ATB, SN, dan PBC, hasil diperoleh dengan melakukan penjumlahan dari
seluruh hasil perkalian antara item berpasangan di domain belief dan domain outcome.
Berikut adalah tahapan untuk menghitung konstruk ATB, SN, dan PBC secara lebih
rinci:
Melakukan perkalian antara item n pada domain belief dengan item n pada
domain outocme yang berpasangan pada masing-masing konstruk.
Seluruh 9 hasil perkalian pasangan item pada masing-masing konstruk
dijumlahkan.
Hasil penjumlahan tersebut merupakan skor total untuk konstruk Attitude Toward
Behavior, Subjective Norms, dan Perceived Behavioral Control.
ATB ∝ ∑ bi e i SN ∝ ∑ n i mi PBC ∝ ∑ c i pi
∝ = Proporsi ∝ = Proporsi ∝ = Proporsi
AT = Attitude Toward S = Subjetive Norms PB = Perceived Pehavioral
B Behavior N C Control
b = Behavioral beliefs n = Normative beliefs c = Control beliefs
e = Outcome evaluation m = Motivation to comply p = Perceived power
i = indeks i = indeks i = index
Sedangkan intensi didapatkan dengan menjumlahkan hasil respon pada kedua item.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka hasil dari alat ukur ini terdapat 4 skor, yaitu satu
untuk masing-masing konstruk. Skor pada ATB, SN, dan PBC digunakan untuk
menentukan prediktor manakah yang paling berpengaruh dalam memengaruhi Intensi
Mahasiswa UNIKA Atma Jaya untuk berolahraga di rumah secara rutin dalam 1-2 bulan
ke depan.
Metode analisis item yang kelompok gunakan adalah corrected item-total correlation,
yang bertujuan untuk melihat kontribusi atau hubungan linear suatu item terhadap skor
total. Metode ini menggunakan teknik korelasi Pearson (Miller & Lovler, 2020). Metode
corrected item-total correlation dapat digunakan untuk melihat internal consistency dari
skor responden pada setiap item terhadap skor total dimensi dan skor total konstruk.
Korelasi antara setiap item dengan total skor dianggap memuaskan jika korelasi
menghasilkan lebih dari 0.2 (Kline, 1986).
Secara garis besar, terdapat beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk melakukan
analisis item, yaitu:
• Mencari mean dan standar deviasi dari persebaran jawaban responden. Data ini
dapat digunakan untuk melihat sekiranya item mana yang memiliki social
desirability yang tinggi, ditandai dengan nilai mean yang lebih tinggi.
• Melakukan korelasi antara hasil kali item domain terhap total konstruk.
• Melakukan kembali tahapan 9-11 hingga seluruh item memiliki hasil korelasi
yang jatuh pada batas signifikan.
Sedangkan secara kualitatif, kelompok melihat dari uji keterbacaan item. Kelompok
memastikan bahwa penulisan item telah sesuai dengan panduan dari Edward (1957),
seperti apakah bunyi item mudah dipahami, penulisan yang singkat, padat, dan jelas.
Dengan begitu, uji keterbacaan ini dapat menjadi sebuah data pendukung dari tinggi atau
rendahnya hasil korelasi. Kelompok juga secara kualitatif melakukan analisis apakah
item sudah sesuai dengan indikator atau beliefs yang telah disusun.
Keputusan untuk menolak dan menerima item mengacu pada kedua metode analisis yang
telah dipaparkan di atas, yaitu secara kuantitatif dan kualitatif.
Berdasarkan dari analisis item yang telah dilakukan, kelompok memutuskan untuk
menerima 56 item sebagai item final kami. Berikut adalah karakteristik dari item yang
kami terima:
Hasil corrected item-total correlation antara hasil kali item dengan total konstruk
dengan rentang 0.2 – 0.8.
Dari tiga tahapan korelasi yang telah lakukan, kelompok memfokuskan pada corrected
item-total correlation antara hasil perkalian antara domain belief dengan domain
outcome terhadap total skor konstruk. Total skor Attitude Toward Behavior, Subjective
Norms, dan Perceived Behavioral Control didapatkan melalui hasil penjumlahan antara
perkalian item n pada domain belief dengan item n pada domain outcome yang
berpasangan (Ajzen, 2005). Dengan kata lain, item pada domain belief tidak berdiri
sendiri, namun berpasangan dengan item pada domain outcome. Namun kelompok tetap
mempertimbangkan hasil korelasi antara masing-masing item terhadap total
domain/konstruk sebagai bentuk pertimbangan.
Tidak ada item dengan pesebaran respons yang bernilai 0% pada lebih dari dua
subskala.
Bunyi item yang singkat, padat, dan jelas serta makna item yang mudah
dimengerti.
Sebagian besar item yang kelompok terima memiliki penulisan yang cenderung singkat
yang di mana responden tidak perlu mengeluarkan waktu yang lebih lama untuk
membaca dan memahami item. Kelompok mengeliminasi beberapa item yang
penulisannya terlalu panjang dan butuh dibaca berulang kali agar dapat dimengerti.
Terdapat juga item yang di mana responden dapat menimbulkan makna yang berbeda,
seperti contoh: “Selama di rumah, saya merasa kelelahan untuk melakukan aktivitas
fisik.” Aktivitas fisik dalam item tersebut memiliki banyak makna, sedangkan yang
kelompok sasar adalah olahraga. Namun terdapat kemungkinan responden tidak
langsung mengarah kepada olahraga.
Kelompok sudah memastikan bahwa item yang telah diterima sudah mewakili
indikator/domainnya masing-masing. Hal ini perlu dilakukan karena kelompok
menemukan bahwa terdapat item yang tidak sesuai dengan makna dari domainnya,
seperti item BB504: “Dibutuhkan waktu yang lama untuk melihat hasil dari rutin
berolahraga.” Padahal, lama atau tidaknya hasil dari rutin berolahraga bukan merupakan
konsekuensi dari berolahraga (BB), namun lebih mengarah ke faktor eksternal (CB).
Konstruk ATB memiliki item dengan kecenderungan social desirability yang tinggi. Hal
ini menyebabkan hasil corrected item-total correlation memiliki rentang yang cukup
jauh, khususnya pada domain behavioral belief. Terdapat beberapa item dengan korelasi
di bawah 0.1 pada Item Disc. Hal ini disebabkan karena terdapat item lainnya di
behavioral belief memiliki hasil korelasi yang tinggi dengan total domain karena
responden cenderung menjawab pada sub skala 4 – 7. Dengan begitu, kontribusi dari
item-item lain kepada total domain akan lebih kecil. Kelompok tetap menerima item
yang berada di luar batas korelasi dengan mempertimbangkan hasil korelasi dengan total
domain, serta hasil perkalian item tersebut dengan total konstruk.
D INTENSI
Baik pada uji coba 1 maupun 2, kelompok tidak menemukan kendala pada item intensi
yang hanya terdiri dari 2. Item intensi hanya terdiri dari komponen ATCT dan mudah
dipahami oleh responden.
Validitas merupakan sebuah proses untuk mencari bukti bahwa alat ukur yang telah
disusun benar-benar mengukur apa yang ingin diukur (Cohen & Swedlik, 2018). Secara
umum, terdapat tiga macam validitas, yaitu content validity, criterion validity, dan
construct validity. Metode validitas yang kelompok gunakan adalah construct validity,
yaitu untuk menguji apakah alat ukur sudah mengukur konstruknya (Crocker & Algina,
2008). Construct validity dapat digunakan untuk memastikan apakah alat ukur I-NCGP
sudah benar-benar mengukur keempat konstruk yang ingin diukur, yaitu Attitude Toward
Behavior, Subjective Norms, Perceived Behavioral Control, dan Intensi.
Kelompok tidak menggunakan content validity karena pada umumnya content validity
digunakan untuk achievement test yang memang memiliki konten dengan objektif yang
sudah jelas untuk mengambil sample behavior (Crocker & Algina, 2008). Kelompok
tidak memiliki standar perilaku yang secara tepat dapat dijadikan sebagai objektif dalam
memprediksi intensi Mahasiswa UNIKA Atma Jaya untuk olahraga rutin dalam 1-2
bulan ke depan. Hasil dari literature review tidak akan sepenuhnya menggambarkan,
karena penelitian sebelumnya akan memiliki waktu, konteks, serta waktu yang berbeda.
Maka dari itu, content validity kurang tepat jika digunakan untuk mencari bukti validitas
dari alat ukur ini.
Kelompok juga tidak menggunakan criterion validity yang digunakan jika skor yang
didapatkan dari alat ukur dapat digunakan untuk memprediksi variabel lainnya (Miller &
Lovler, 2020). Kelompok tidak menggunakannya dikarenakan meskipun alat ukur ini
dapat memprediksi intensi seseorang, namun intensi itu sendiri diukur bersamaan dengan
ketiga konstruk lainnya (ATB, SN, dan PBC). Criterion validity juga melibatkan dua alat
pengukuran, yang di mana criterion harus sudah terbukti valid dan reliabel (Miller &
Lovler, 202). Kelompok hanya menggunakan satu alat ukur yang sudah mencakup
intensi itu sendiri.
A CONVERGENT EVIDENCE
Apabila sebuah alat ukur mengukur suatu konstruk tertentu, maka diasumsikan hasil skor
pada alat ukur tersebut memiliki korelasi yang tinggi dengan skor pada alat ukur lain
yang mengukur konstruk yang sama atau serupa (Miller & Lovler, 2020). Untuk
membuktikan bahwa alat ukur I-NCGP memiliki convergent evidence, kelompok tidak
dapat menggunakan alat ukur lain sebagai pembanding. Hal ini disebabkan karena alat
ukur TPB melibatkan perilaku yang sangat spesifik yang terikat pada Action, Target,
Context, dan Time (ATCT). Jika kelompok menggunakan alat ukur lain TPB lainnya
sebagai bukti convergent, tidak hanya alat ukur lainnya memiliki ATCT yang berbeda,
namun salient beliefs yang memengaruhi konstruk akan tetap bervariasi mengikuti
dengan target populasi. Dengan demikian, kelompok menggunakan metode lain untuk
membuktikan bahwa alat ukur I-NCGP memiliki convergent evidence, yaitu dengan
melakukan triangulasi data.
Tujuan dari triangulasi adalah untuk mendapatkan sebuah konfirmasi mengenai suatu
penemuan melalui konvergensi dari perspektif yang berbeda. Di saat perspektif yang
berbeda tersebut bertemu, data yang diperoleh dianggap sebagai sebuah realitas atau
fakta yang ada (Willig, 2013). Dengan kata lain, untuk menemukan convergent evidence
pada alat ukur I-NCGP, kelompok memerlukan sebuah cara untuk memastikan bahwa
apa yang responden isi pada alat ukur kami sudah merepresentasikan realitas mereka.
Apabila kelompok dapat mengkonfirmasi bahwa jawaban dari responden sudah benar-
benar mewakili dirinya, maka alat ukur I-NCGP memiliki convergent evidence.
Wawancara
Metode yang kelompok gunakan adalah melalui wawancara kepada responden. Dengan
wawancara, kelompok dapat mencocokkan apakah jawaban yang diberikan pada saat
wawancara sudah sesuai dengan skor pada alat ukur. Kelompok membuat panduan
wawancara terlebih dahulu yang menyasar pada masing-masing domain dan konstruk
sebelum masing-masing dari kami melakukan pengambilan data. Sampel yang diambil
untuk melakukan wawancara adalah sebanyak 20 responden yang sudah mengisi uji coba
alat ukur sebelumnya dan yang bersedia untuk dihubungi kembali.
Leveling
Dikarenakan format jawaban pada alat ukur kami menggunakan skala Likert yang
menunjukkan adanya keurutan untuk mewakili derajat tinggi rendahnya jawaban
responden (Crocker & Algina, 2008), maka hasil dari wawancara juga harus diolah
apakah jawaban responden termasuk tinggi atau rendah. Maka, perlu dilakukannya
kuantifikasi untuk mengubah data kualitatif dari wawancara agar dapat diolah secara
psikometri dengan uji statistik. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan
leveling dari jawaban responden.
Hasil dari konsensus merupakan skor final dari metode wawancara yang didapatkan
melalui leveling. Dengan begitu, kelompok memiliki dua sumber total skor, yaitu dari (1)
uji coba dan (2) wawancara/leveling.
Tahapan selanjutnya adalah melakukan uji korelasi terhadap skor dari uji coba dan
leveling. Sesuai dengan teori yang telah dipaparkan sebelumnya, apabila terdapat
korelasi yang tinggi, maka dapat diasumsikan alat ukur I-NCGP memiliki convergent
evidence. Metode korelasi yang digunakan oleh kelompok adalah Spearman-Rank, yaitu
metode korelasi untuk mengolah data ordinal dan continuous (Privitera, 2018; Gravetter
et al., 2021). Hasil leveling termasuk ke dalam skala ordinal, di mana setiap levelnya
6 ∑ D2
r s=1− r s=Spearma n' s rhoD= perbedaan rankn= jumlah pasangan
n ( n2 −1 )
Batas signifikansi dari korelasi yang kelompok gunakan adalah LOS 5%. Selain itu,
untuk melihat derajat atau effect size dari hasil korelasi, kelompok menggunakan
percentage of variance dengan batas sebagai berikut:
B CONTRASTED EVIDENCE
Contrasted evidence digunakan untuk membuktikan apakah alat ukur sudah mampu
membedakan individu high scorers dan low scorers (Crocker & Algina, 2008). Untuk
melakukan contrasted evidence, kelompok mengurutkan jawaban 20 responden dari
tertinggi hingga terendah berdasarkan dari hasil leveling (5-1). Berdasarkan urutan
tersebut, kelompok melakukan uji perbandingan mean dari total skor alat ukur yang
sudah diurutkan dari hasil leveling. Kemudian, kelompok mengambil 33% tertinggi dan
terendah. Total responden yang dilakukan uji perbandingan adalah 14, dengan 7 tertinggi
dan 7 terendah.
ni ( ni+ 1)
U i=n1 n 2+ − ∑ Ri
2
Berdasarkan hasil perhitungan Mann-Whitney, kontruk ATB, SN, dan PBC menunjukkan
hasil yang signifikan pada LOS 0.05% sehingga mampu memberikan contrasted
evidence. Sedangkan intensi tidak menunjukkan hasil yang signifikan sehingga tidak
memberikan contrasted evidence.
Saat melakukan wawancara dengan pertanyaan terbuka, sebagian besar manfaat serta
konsekuensi yang disebutkan oleh responden dicantumkan ke dalam item pada alat ukur
kami. Untuk memastikan bahwa jawaban yang diberikan responden memang
menggambarkan dirinya, kami mengacu pada pengalaman sebelumnya pada responden
yang membuat responden dapat memiliki belief tersebut. Dengan begitu, kelompok dapat
mengetahui secara pasti apakah manfaat serta konsekuensi yang disebutkan oleh
responden memang benar-benar mewakilinya.
Selain itu, adanya perbedaan yang cukup jelas antara responden yang memiliki sikap
positif terhadap olahraga serta yang menunjukkan sikap negatif, dan hal tersebut kami
konfirmasi pada saat melakukan wawancara. Responden pada alat ukur kami yang ingin
melakukan olahraga pada umumnya karena ingin mendapatkan manfaat atau adanya
target tertentu sehingga mereka cenderung mengabaikan dampak negatif yang
didapatkan dari olahraga. Sedangkan responden yang jarang atau tidak pernah
berolahraga lebih berfokus atas konsekuensi dari berolahraga, meskipun mereka tetap
mengetahui bahwa olahraga dapat memberikannya manfaat positif.
Dengan demikian, konstruk ATB memiliki convergent evidence dan contrasted evidence
sehingga memiliki indeks validitas yang tinggi.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian responden dikelilingi oleh orang yang
hanya terkadang berolahraga, namun perilaku olahraga orang-orang di sekitar responden
juga tidak begitu memberikannya banyak pengaruh terhadap intensi responden untuk
berolahraga. Terdapat juga responden yang mengatakan bahwa justru orang yang tidak
berolahraga di sekitarnya lah yang lebih memengaruhi responden untuk juga tidak
berolahraga. Hal ini sejalan dengan hasil dari skor alat ukur yang di mana konstruk SN
pada alat ukur kami menghasilkan skor yang paling rendah dibandingkan konstruk ATB
dan SN. Hasil total skor leveling juga menunjukkan bahwa SN menghasilkan angka yang
paling rendah.
Total Leveling 37 25 31 38
Total Skor Alat 7327 4948 6356 293
Ukur
Mean Skor Alat 271,37 183,26 235,4 10,85
Ukur
Meskipun begitu, terdapat juga responden yang terlihat sangat dipengaruhi oleh
lingkungan sekitarnya, di mana apabila orang-orang terdekatnya berolahraga maka ia
akan berolahraga, dan sebaliknya. Maka, terlihat cukup jelas antara responden yang
memiliki normative belief serta motivation to comply yang tinggi dan rendah.
Faktor-faktor yang disebutkan oleh responden pada saat wawancara sudah kami
cantumkan pada alat ukur kami pada saat uji coba, seperti tidak adanya waktu, akses
Responden dengan skor yang rendah akan lebih banyak menyebutkan lebih banyak
faktor penghambat dan faktor penghambat tersebut membuatnya “malas” untuk
berolahraga. Sedangkan responden dengan skor yang tinggi akan menjawab bahwa
faktor penghambat tersebut akan membuat aktivitas olahraganya menjadi “tertunda.” Hal
ini menunjukkan sejauh mana faktor tersebut memengaruhi responden dalam
berolahraga, di mana responden dengan skor rendah tidak berolahraga, sedangkan skor
tinggi akan menunda olahraganya.
Maka, PBC memiliki convergent evidence dan contrasted evidence sehingga memiliki
indeks validitas yang tinggi.
D INTENSI
Intensi memiliki korelasi yang paling rendah dibandingkan konstruk lainnya. Hal ini
disebabkan karena adanya periode antara pemberian uji coba alat ukur dengan
pengambilan data melalui wawancara. Intensi seseorang untuk berolahraga dapat
berubah dengan cukup cepat yang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor tak terduga.
Contohnya adalah salah satu responden yang tiba-tiba ingin melakukan olahraga karena
adanya mata kuliah Psikologi Kesehatan sehingga ia merasa termotivasi.
Pertanyaan intensi untuk “1-2 bulan ke depan” pada saat pengisian uji coba dengan
pengambilan wawancara pun juga memiliki pemaknaan yang berbeda pada responden.
Di mana pada saat pengisian uji coba, hal pertama yang mungkin teringat pada
responden adalah periode UAS, sedangkan pada saat pengambilan wawancara sudah
memasuki liburan.
Maka dari itu, konstruk INT dalam memberikan bukti convergent evidence dengan
pembanding melalui hasil leveling wawancara terpenuhi. Namun, konstruk INT tidak
dapat memberikan contrasted evidence. Indeks validitas pada konstruk intensi adalah
sedang.
Reliabilitas adalah sebuah uji untuk melihat konsistensi pada alat ukur yang telah
disusun (Cohen & Swerdlik, 2018). Konsistensi dari sebuah alat tes dipengaruhi oleh dua
jenis eror, yaitu random error dan systematic error. Random error adalah jenis eror yang
terjadi secara tidak terduga yang dapat memengaruhi nilai seseorang dalam suatu alat
ukur, sedangkan systematic error terjadi secara terus-menerus dan tidak memengaruhi
nilai (Miller & Lovler, 2020). Maka dari itu, random error perlu untuk diidentifikasi.
Terdapat beberapa jenis sumber error yang dapat terjadi pada alat ukur I-NCGP, yaitu
content sampling error dan content heterogeneity error.
Content sampling error merupakan sumber eror yang terjadi dikarenakan indikator
perilaku yang diambil untuk dijadikan item tidak merepresentasikan domain atau
konstruk (Cohen & Swerdlik, 2018). Penyusunan indikator perilaku pada alat ukur kami
dilakukan dengan menggali salient beliefs pada target populasi. Namun, salient beliefs
itu sendiri memiliki jumlah yang sangat banyak dan setiap orang memiliki salient
beliefs-nya masing-masing (Fishbein & Ajzen, 2010). Terdapat kemungkinan bahwa
seluruh belief dari responden tidak tertampung pada alat ukur kami. Salient beliefs
seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor latar belakang seperti kepribadian, suasana hati,
emosi, usia, kepercayaan, budaya, informasi, dan lain sebagainya (Fisbein & Ajzen,
Content heterogeneity error merupakan sumber eror ketika domain-domain yang ada
pada sebuah konstruk mengukur hal yang berbeda atau bersifat heterogen (Cohen &
Swerdlik, 2018). Kelompok perlu memastikan bahwa domain belief dan domain outcome
bersifat homogen atau mengukur hal yang tidak terlalu berbeda, karena memang pada
dasarnya kedua domain tersebut saling berhubungan satu sama lain. Namun, kombinasi
skor dari kedua domain dapat menimbulkan multi-interpretasi terhadap total konstruk itu
sendiri. Kedua responden dapat memiliki skor ATB yang sama, namun dengan intensitas
belief dan outcome yang berbeda. Perbedaan skor tersebut merupakan bentuk
heterogeneity yang perlu untuk diidentifikasi untuk memastikan bahwa Maka, perlu
dipastikan bahwa kedua domain bersifat homogen.
2
k ∑σ
α^ =
k −1(1− 2 i
σx )
α^ =Cronbac h' s alpha k = jumlah set item
σ i2= jumlah variance masing−masing item
σ 2x =variance total skor
2 ^p AB
p xx =
1+ ^p AB
p xx=Spearman−Brown correlation
^p AB=Korelasi Kelompok Split−Half 1 dan 2
Setelah Cronbach’s alpha dan Split-Half dilakukan, tahapan selanjutnya yang perlu
dilakukan adalah:
1. Mengidentifikasi koefisien reliabilitas. Sebagian besar test users mencari
koefisien reliabilitas setidaknya dalam rentang 0.8 atau lebih tinggi (Urbina,
2014). Sehingga batas signifikansi dari koefisien reliabilitas yang kelompok
gunakan adalah setidaknya mencapai 0.8.
2. Mencari error variances dari kedua sumber eror.
3. Menghitung standar deviasi.
Besar varians eror dari content heterogeneity sangat kecil dan sudah mendekati 0 (nol).
Hal ini mungkin dipengaruhi oleh jumlah domain pada masing-masing konstruk yang
tidak begitu banyak, yaitu hanya berjumlah dua ( belief dan outcome). Dalam tahap
penyusunan item, kelompok juga menyusun domain outcome sesuai dengan domain
belief-nya sehingga menghindari adanya ketidakcocokan antara kedua domain tersebut.
Sehingga, responden yang menjawab tinggi pada domain belief pada umumnya juga akan
menjawab tinggi pada domain outcome. Dengan begitu item-item pada kedua domain
bersifat homogen.
· ATB: dapat menjadi penyalur stres, membuat badan menjadi lebih bugar,
membuang waktu istirahat, membuat badan sakit-sakit.
· SN: orang tua, teman, influencer.
· TPB: tidak adanya waktu, adanya peralatan olahraga, adanya area di rumah,
badan yang kurang ideal.
Namun memang tidak memungkinkan apabila alat ukur mampu mencakup semua
indikator perilaku dari salient beliefs yang tidak terbatas. Indikator yang kelompok
masukkan ke dalam alat ukur bisa saja tidak sesuai dengan pandangan responden atau
tidak ada pada diri responden. Sehingga pada alat ukur ini masih ditemukan content
sampling error.
Intention
Konstruk Intensi memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0.963 dengan varians error
content sampling sebesar 0.037 dan icontent heterogeneity sebesar 0.001.
Intensi sendiri tidak memiliki domain sehingga memang diekspektasikan bahwa content
heterogeneity error variance mendekati angka 0. Kemudian penyusunan indikator untuk
Intensi sudah melibatkan seluruh komponen dalam ATCT yang menjadi sentral dari alat
ukur kami sehingga content sampling error memiliki varians yang sangat kecil.
Action: olahraga
Target: secara rutin
Context: di rumah
Time: dalam 1-2 bulan ke depan
Indikator: Individu memiliki keinginan untuk rutin berolahraga di rumah dalam 1-2
bulan ke depan.
Rentang true score untuk konstruk ATB, SN, dan PBC memiliki jarang yang jauh. Hal
ini disebabkan karena kelompok menggunakan 7 sub skala untuk pengisian item
sehingga hasil skor yang dihasilkan menjadi lebih besar. Total skor dari konstruk juga
merupakan hasil penjumlahan dari perkalian antara 9 domain belief dan 9 domain
outcome yang juga membuat standar deviasi skor juga menjadi lebih besar.
Tabel 14. Nilai Maksimum dan Nilai Minimum Total Skor per Konstruk
Perhitungan Total Skor
Nilai maksimum 7 (domain belief) x 7 (domain outcome) x 9 set 441
item
Catatan. Sub skala 7 merupakan angka tertinggi yang responden berikan untuk setiap item
dan sub skala 1 merupakan angka terendah. Sub skala pada domain belief dan domain
outcome dikali sesuai dengan rumus untuk mencari total konstruk (lihat Tabel 2) kemudian
dikalikan dengan jumlah item berpasangan.
Konstruk Intensi memiliki rentang true score yang paling kecil dibandingkan konstruk
lainnya, yaitu X ± 1,49. Hal ini disebabkan karena konstruk ini mengukur secara lebih
jelas/terarah terkait intensi responden itu sendiri. Sedangkan ATB, SN, dan PBC
menyangkut beliefs dari responden yang bermacam-macam dan abstrak. Intensi juga
hanya memiliki 2 item dan total skor bukan didapatkan dari hasil perkalian, namun
penjumlahan. Dengan begitu, standar deviasi juga akan menjadi lebih kecil.
Pada alat ukur TPB sendiri, rentang true score yang didapatkan tidak terlalu signifikan
dalam memengaruhi reliabilitas alat ukur. Hal ini disebabkan karena alat ukur TPB
terikat pada ATCT. Skor dari responden apabila diuji pada waktu atau konteks yang
berbeda juga akan mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar
kendali kelompok. Sikap seseorang terhadap sesuatu dapat mengelami perubahan.
Sehingga apabila responden mendapatkan nilai di luar rentang true score, bukan berarti
hal ini menandakan eror, namun memang merepresentasikan sikap responden yang telah
mengalami perubahan. Rentang true score memiliki jarak yang besar untuk
mengantisipasi perubahan tersebut, meskipun sebenarnya sikap seseorang dapat terjadi
karena berbagai macam faktor yang di luar kendali kami
Seperti yang sudah dijelaskan pada Subab 4.2: Analisis Item, skoring alat ukur ini
didapatkan melalui 2 cara. Pada konstruk ATB, SN, dan PBC, hasil diperoleh dengan
melakukan penjumlahan dari seluruh hasil perkalian antara item berpasangan di domain
belief dan domain outcome. Sedangkan intensi didapatkan dengan menjumlahkan hasil
respons pada kedua item.
Dari skor ATB, SN, dan PBC, kelompok ingin mengidentifikasi prediktor manakah yang
paling kuat dalam memengaruhi intensi Mahasiswa UNIKA Atma Jaya (Fishbein &
Ajzen, 2010) untuk melakukan olahraga secara rutin di rumah dalam 1-2 bulan ke depan.
Dengan mengidentifikasi beliefs yang dapat membedakan individu dalam melakukan
atau tidak melakukan suatu perilaku, maka informasi ini dapat digunakan untuk
merandang intervensi perubahan perilaku yang efektif (Fishbein & Ajzen, 2010).
Seperti yang telah dijelaskan di atas, tujuan dari pembuatan alat ukur I-NCGP adalah
untuk melihat prediktor manakah yang paling memengaruhi intesi Mahasiswa UNIKA
Atma Jaya untuk berolahraga. TPB sendiri melibatkan lebih dari 2 prediktor, yaitu ATB,
SN, dan PBC. Ketiga prediktor tersebut memengaruhi Intensi seseorang terhadap suatu
perilaku (Ajzen & Fishben, 2010). Maka, metode yang tepat untuk memenuhi tujuan alat
ukur adalah dengan menggunakan multiple regression.
Multiple regression adalah proses dari menggunakan beberapa variabel prediktor untuk
mendapatkan prediksi akurat terhadap variabel kriterion (Gravetter, 2017; Privitera,
2018). Dengan menggunakan multiple regression, kelompok dapat mengidentifikasi
seberapa besar pengaruh dari ketiga prediktor dalam memengaruh iintensi, sehingga
dapat menentukan prediktor manakah yang paling kuat atau signifikan (Gravetter et al.,
2021).
Metode lainnya tidak kelompok gunakan, seperti forced entry (enter), forward, dan
backward dikarenakan metode tersebut tidak langsung menghasilkan data mengenai
prediktor manakah yang terkuat yang di mana ia menguji keseluruhan variabel prediktor.
Dengan begitu, kelompok perlu melakukan perbandingan terlebih dahulu antara variabel-
variabel prediktor. Jika dibandingkan dengan metode stepwise, menurut kelompok
stepwise lebih efektif.
1.17. INTERPRETASI
Sebelum melakukan analisis multiple regression, terdapat delapan uji asumsi yang perlu
untuk dipenuhi. Berikut akan dibahas satu per satu.
Variabel Intensi memiliki format jawaban dengan skala Likert sehingga termasuk ke
dalam jenis skala interval. Interval termasuk ke dalam variabel continuous (Gravetter et
al., 2021). Maka, asumsi 1 terpenuhi.
Alat ukur TPB menggunakan tiga variabel prediktor yang semuanya termasuk ke dalam
jenis skala interval dengan skala Likert. Maka, asumsi 2 terpenuhi.
Tidak adanya residuals yang saling berhubungan. Residuals adalah perbedaan antara
nilai outcome pada model regresi dengan nilai outcome pada hasil observasi di sampel.
Uji asumsi ini dilakukan untuk memastikan bahwa residual pada satu observasi tidak
memiliki hubungan dengan hasil observasi lainnya.
Pada alat ukur kami, terdapat potensi bahwa hasil dari pengukuran disebabkan oleh
faktor lain yang dapat memengaruhi residuals. Salah satu kemungkinannya adalah target
populasi kami yang merupakan mahasiswa UNIKA Atma Jaya. Responden yang berbeda
angkatan maupun fakultas dapat memengaruhi jawaban mereka ketika mengisi alat ukur.
Bisa karena dipengaruhi pola kesibukan yang berbeda serta beban tugas masing-masing.
Hal ini dapat menimbulkan sebuah pola pada jawaban responden,
ATB
Pada ATB, data tersebar namun terlihat memiliki pola masih terlihat membentuk garis
linear. Garis linear menunjukkan hubungan korelasi yang positif yang di mana apabila
semakin tingginya ATB, maka kemungkinan Intensi juga akan semakin tinggi (Fishbein
& Ajzen, 2010).
SN
Pada SN, persebaran data lebih besar dibandingkan ketiga konstruk lain, namun masih
terlihat garis linear. Garis menunjukkan hubungan yang negatif, yaitu semakin tinggi SN
maka semakin rendah Intensi. Hal ini tidak sejalan dengan teori dari Fishbein & Ajzen
(2010).
PBC
Pada PBC, data tersebar namun memiliki residual yang lebih rapat dibandingkan kedua
konstruk lainnya dan membentuk garis linear. Sama seperti ATB, garis linear juga
menunjukan hubungan korelasi yang positif.
Hubungan linear dilihat dari scatter plot antara studentized residual dengan
unstandardized predicted value (Intensi). Scatter plot di bawah memiliki data yang
tersebar namun membentuk sebuah garis linar.
Homoscedasiticty adalah sebuah asumsi bahwa adanya residual yang konstan pada
persebaran data di garis regresi. Eror dari variabel prediktor dan variabel outcome
memiliki nilai yang sama di seluruh data variabel prediktor. Asumsi ini perlu dilakukan
untuk menghindari hasil yang biased.
Untuk menentukan apakah asumsi ini terpenuhi, maka dapat melihat scatter plot di atas
pada uji asumsi 5b. Persebaran data dikatakan memiliki homoscedasticity of residuals
apabila persebaran data tidak mengalami peningkatan maupun penurunan. Data-data
tersebut tidak membentuk suatu pola dan akan secara konstan tersebar (Laerd Statistics,
2013).
Berdasarkan scatter plot di atas, persebaran data tidak membantu pola tertentu dan
memiliki persebaran yang cukup konstan. Dengan begitu, asumsi 5 terpenuhi.
Multicollinearity terjadi ketika terdapat dua atau lebih variabel prediktor yang
berkorelasi sangat tinggi dengan satu sama lain. Hal ini dapat menyebabkan
misinterpretasi terkait konstribusi masing-masing variabel terhadap persamaan multiple
regression (Laerd Statistics, 2015).
a. Correlation Coefficients
Batas korelasi maksimal untuk multicollinearity adakah 0.8-0.9 (Field, 2009) atau 0.7
(Laerd Statistics, 2015). Variabel independen ATBxPBC dan SNxPBC memiliki korelasi
BB301: Tubuh yang saya inginkan dapat dicapai dengan rutin berolahraga.
NB301: Teman sebaya saya berhasil mendapatkan tubuh yang ia inginkan
dengan berolahraga.
Namun hasil korelasi belum melewati 0.8, sehingga asumsi 6 menggunakan correlation
coefficients terpenuhi.
b. Tolerance/VIF Values
Apabila tolerance value lebih besar dari 0.1, maka dapat diasumsikan bahwa data tidak
memiliki isu dalam collinearity (Laerd Statistics, 2015). Hasil uji statistic menunjukkan
bahwa tolerance value melebihi 0.1 (0.4 – 1.00), maka asumsi 6 menggunakan
Tolerance/VIF Values terpenuhi.
Nilai dari outliers dapat memberikan pengaruh terhadap model multiple regression,
maka perlu diuji apakah skor dari alat ukur memiliki nilai outliers. Terdapat beberapa
metode yang bisa digunakan, yaitu:
a. Casewise Diagnostic
Apabila terdapat outliers, maka SPSS akan memunculkan tabel casewise diagnostic.
Namun pada saat melakukan pengujian (Laerd Statistics, 2015), tabel tersebut tidak
muncul. Dengan begitu keempat konstruk memiliki standar deviasi di bawah 3 dan
memenuhi asumsi 7 untuk casewise diagnostic.
Nilai dari SDR memiliki rentang -3.0 – 1.65. Rentang tersebut belum melewati ± 3 SD
sehingga asumsi 7 untuk metode ini terpenuhi (Laerd Statistics, 2015).
c. Leverage Points
LEV memiliki rentang 0.02 – 0.144. Rentang tersebut tidak melewati 0.2 dan termasuk
kategori “aman” (Laerd Statistics, 2015). Maka, asumsi 7 dengan Leverage Points
terpenuhi.
Untuk mengetahui apakah residual error memiliki distribusi normal, maka dapat
dilakukan pengecekan melalui grafik di bawah berikut:
Bentuk distribusi mendekati normal. Bentuk P-P Plot mendekati garis diagonal sehingga
dapat diasumsikan bahwa persebaran data mendekati normal. Maka, asumsi 8 terpenuhi.
Persamaan Regresi
Catatan. Urutan prediktor PBC, ATB, dan SN pada persamaan regresi diurutkan
berdasarkan pengaruh prediktor dari yang terkuat hingga terlemah terhadap intensi.
Unstandarized Standardized
Model Coefficients Coeeficients t Sig.
B Std.Error Beta
Berdasarkan hasil uji regresi, faktor yang paling signifikan dalam memengaruhi
intensi seseorang dalam berolahraga adalah PBC.
Pengalaman yang cukup sering terjadi pada responden pada saat wawancara/uji validitas
adalah sebagian besar responden yang jarang/tidak pernah berolahraga mengatakan
bahwa dirinya malas karena tidak ada waktu, bukan karena pandangan negatif mereka
terhadap olahraga atau orang lain. Sedangkan untuk responden kami yang sering
melakukan olahraga, terkadang jadwal olahraga mereka menjadi tertunda dikarenakan
faktor-faktor eksternal (PBC) dan hal tersebut membuat mereka menjadi malas.
Hal ini sejalan dengan teori Fishbein & Ajzen (2010), di mana kurangnya kemampuan
atau kehadiran faktor-faktor dapat secara langsung memengaruhi seseorang untuk
menjalankan intensinya (Fishbein & Ajzen, 2010). Berdasarkan kerangka teori di bawah,
dapat dilihat bahwa PBC dapat secara langsung memengaruhi perilaku dari individu
dalam melakukan sesuatu.
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan apa yang kelompok dapatkan. Banyak responden
yang tidak dapat melakukan olahraga dikarenakan waktu responden terbatas dan
digunakan untuk mengerjakan tugas kuliah.
Sebagian besar responden sudah merasakan dampak positif dari olahraga dan hal
tersebut meningkatkan intensi mereka untuk berolahraga. Mereka memiliki keinginan
untuk terus merasakan dampak positif dari olahraga tersebut.
Namun meskipun responden memiliki pandangan yang secara umum positif terhadap
olahraga di rumah, namun intensi mereka juga secara langsung dipengaruhi oleh
ada/tidaknya faktor-faktor.
Hanya beberapa responden yang memiliki significant others yang rutin dalam
berolahraga di rumah.
Berdasarkan hasil analisis item, PBC memiliki korelasi yang paling tinggi dengan
Intensi responden untuk berolahraga di rumah. Hasil tersebut konsisten dengan hasil uji
regresi.
Sedangkan melalui uji keterbacaan, PBC memiliki persebaran jawaban yang lebih
merata. Selain itu, PBC dan ATB memiliki item yang lebih singkat dan lebih konkret.
Penulisan pada item SN cenderung lebih panjang dan terdapat beberapa responden yang
mengalami kebingungan dalam pengisian.
Berikut adalah beberapa hasil dari literature review penelitian sebelumnya yang
menggunakan TPB dengan perilaku olahraga:
1. Hagger et al. (2002) mendapatkan bahwa medium - large effect size ditemukan
pada Attitude Toward Behavior dan Perceived Behavioral Control terhadap
intensi. Kemudian Subjective Norms memiliki effect size yang lebih kecil
terhadap intensi.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa PBC dan ATB
merupakan prediktor yang paling signifikan dalam memengaruhi Intensi seseorang.
Sedangkan SN merupakan prediktor yang paling lemah. Hal ini juga sejalan dengan hasil
analisis data kami.
1.18. KESIMPULAN
Berdasarkan seluruh tahapan yang telah dilakukan untuk membuat alat ukur I-NCGP ini,
terdapat kesimpulan yang dapat ditarik pada setiap tahap pengerjaannya.
Pada tahapan analisis item, kelompok berhasil mendapatkan total sebanyak 56 item pada
uji coba kedua. Keputusan apakah item ditolak atau diterima dilihat berdasarkan hasil
korelasi corrected item-total correlation, persebaran jawaban, uji keterbacaan, serta
kesesuaian item dengan indikator/domain. Batas korelasi yang dapat diterima kelompok
adalah 0,2 – 0,8. Kelompok juga mempertimbangkan persebaran jawaban yang apabila
menunjukkan social desirability yang terlalu tinggi, maka item tersebut akan dieliminasi.
Uji keterbacaan dilakukan untuk melihat bunyi item, makna item, serta penulisan item
yang singkat, padat, dan jelas. Kelompok juga melakukan pengecekan apabila terdapat
item yang tidak sesuai dengan indikator/domain, maka kelompok mengeliminasi item
tersebut.
Uji reliabilitas digunakan untuk melihat konsistensi alat ukur I-NCGP yang berpotensi
untuk memiliki content sampling error dan content heterogeneity error. Hasil
pengolahan data menunjukkan bahwa koefisien reliabilitas 0.8 – 0.9. Varians error untuk
content sampling berkisar 0.03 – 0.2 dan untuk content heterogeneity 0.00 – 0.03. Hasil
ini menunjukkan bahwa indikator perilaku yang telah kelompok susun sudah sesuai
dengan salient beliefs dari target populasi. Selain itu, kedua domain pada masing-masing
Tujuan utama dari pembuatan alat ukur ini adalah untuk melihat prediktor manakah di
antara ATB, SN, dan PBC yang paling signifikan dalam memengaruhi Mahasiswa
UNIKA Atma Jaya untuk berolahraga rutin di rumah. Informasi tersebut didapatkan
melalui uji multiple regression. Berdasarkan hasil yang kelompok dapatkan, PBC
merupakan prediktor terkuat dalam memengaruhi Intensi, diikuti oleh ATB, kemudian
SN. Hal ini disebabkan karena faktor pendukung dan penghambat dapat secara langsung
memengaruhi perilaku olahraga responden sehingga memengaruhi Intensi mereka dalam
berolahraga, meskipun responden memiliki pandangan yang cenderung positif terhadap
olahraga. Responden juga merasa kemauannya dalam berolahraga lebih dipengaruhi oleh
dalam dirinya sendiri dibandingkan adanya pengaruh dari orang lain. Faktor yang paling
sering muncul pada responden adalah tidak adanya waktu untuk melakukan olahraga.
Mengingat bahwa pengambilan data dilakukan pada saat responden sedang berada dalam
masa kuliah, maka keterbatasan waktu memiliki dampak yang cukup kuat dalam
menghambat responden untuk berolahraga.
1.19. REKOMENDASI
Alat ukur I-NCGP masih membutuhkan beberapa perbaikan lagi dalam mengukur intensi
Mahasiswa Unika UNIKA Atma Jaya untuk berolahraga secara rutin di rumah dalam 1 –
2 bulan mendatang.
Pemilihan indikator dengan tingkat social desirability yang tinggi juga perlu
diperhatikan. Hal ini dilakukan saat penyusunan item analisis item, di mana kelompok
memastikan bahwa indikator yang dibuat khususnya pada dimensi A ttitude Toward
Behavior, bukanlah pengetahuan umum terkait olahraga dalam kesehatan. Jika
penggunaan item banyak berdasarkan pengetahuan umum, maka kemungkinan besar
respon dari item itu tidak merepresentasikan jawaban responden yang sebenarnya. Social
Penggunaan bahasa dalam menulis item harus lebih mudah untuk dimengerti, jelas, dan
sesuai dengan konteks alat ukur dalam penyusunan item. Jika terdapat misinterpretasi
oleh responden terhadap item yang diberikan, maka item tersebut tidak mengukur
sasaran konstruk yang ingin diukur kelompok dan tidak dapat merepresentasikan
populasi Mahasiswa UNIKA Atma Jaya. Hal ini akan berpengaruh kepada hasil analisis
item, uji validitas dan reliabilitas.
Dalam proses uji validitas, perlu dirancang panduan leveling yang lebih konkret untuk
setiap levelnya. Hal ini dilakukan agar pemberian koding dapat dilakukan dengan lebih
jelas dan tepat. Panduan leveling juga perlu melibatkan beberapa kemungkinan
kombinasi antara intensitas dua domain pada satu level yang sama. Perlu adanya
alternatif leveling di mana suatu skor bisa saja dihasilkan oleh domain belief tinggi
dengan domain outcome yang rendah, dan sebaliknya. Kelompok hanya menyusun dua
versi pada level 2 Subjective Norms dan tidak pada level maupun konstruk lainnya.
Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational Behavior and Human
Decision Process, 50, 179-211.
Ajzen, I. (2005). Attitudes, personality, and behavior (2nd ed.). Maidenhead, UK: Open
University Press.
Ajzen, I., Fishbein, M., Albarracin, D., Johnson, B. T., & Zanna, M. P. (2005). The
handbook of attitudes. Mahwah, NJ, US: Lawrence Erlbaum Associates
Publishers, 173-221.
Andriyani, F. D., Biddle, S. J. H., Arovah, N. I., & Cocker, K. D. (2020). Physical
activity and sedentary behavior research in Indonesian youth: A scoping review.
International Journal of Environmental Research and Public Health, 17 (20),
7665. MDPI AG. Retrieved from http://dx.doi.org/10.3390/ijerph17207665
Beltrán, M., Narváez, G., & Aros, N. (2010). The semantic differential for the discipline
of design: A tool for the product evaluation. In Proceedings from the 13th
International Congress on Project Engineering (pp. 422-433).
Bozionelos, G., & Bennett, P. (1999). The theory of planned behavior as predictor of
exercise: The moderating influence of beliefs and personality variables. Journal
of Health Psychology, 4(4), 517–529.
Calestine, J., Bopp, M., Bopp, C. M., & Papalia, Z. (2017). College student work habits
are related to physical activity and fitness. International Journal of Exercise
Science, 10(7), 1009–1017.
Centers of Disease Control and Prevention. (2019). Lack of physical activity. Diakses
dari
https://www.cdc.gov/chronicdisease/resources/publications/factsheets/physical-
activity.htm#:~:text=Not%20getting%20enough%20physical%20activity%20can
%20lead%20to%20heart%20disease,cholesterol%2C%20and%20type
%202%20diabetes
DAFTAR PUSTAKA 66
Chari, S. (2021, January 14). 5 fun and effective fitness YouTubers to follow for at home
workouts [Blog post]. Retrieved from https://gothammag.com/youtube-workout-
videos-fitness-at-home
Crocker, L. & Algina, J. (2008). Introduction to classical and modern test theory. Ohio,
USA: Cengage Learning.
Davidson, K. (2021, February 23). 28 free YouTube fitness channels to keep you moving
[Blog post]. Retrieved from https://www.healthline.com/health/fitness/free-
youtube-fitness-channels
Fishbein, M. & Ajzen, I. (2010). Predicting and changing behavior: The reasoned action
approach. New York: Psychology Press.
Gravetter, F. J. & Wallnau, L. B. (2017). Statistical for the behavioral sciences (10th
ed.). Ohio, USA: Cengage Learning.
Greaney, M. L., Less, F. D., White, A. A., Dayton, S. F., Riebe, D., Blissmer, B, … &
Greene, G. W. (2009). College students' barriers and enablers for healthful
weight management: A qualitative study. Journal of Nutrition Education &
Behavior, 41(4), 281-286. doi:10.1016/j.jneb.2008.04.354
Hagger, M. S., Chatzisarantis, N. L. D., Barkoukis, V., Wang, J. C. K., Hein, V., Pihu,
M., … Karsai, I. (2007). Cross-Cultural Generalizability of the Theory of
Planned Behavior among Young People in a Physical Activity Context. Journal
of Sport and Exercise Psychology, 29(1), 1–19. doi:10.1123/jsep.29.1.2
Hausenblas, H. A., Carron, A. V., & Mack, D. E. (1997). Application of the theories of
reasoned action and planned behavior to exercise behavior: A meta-analysis.
Journal of Sport and Exercise Psychology, 19(1), 36–51.
Jiménez-Zazo, F., Romero-Blanco, C., Castro-Lemus, N., Dorado-Suárez, A., & Aznar,
S. (2020). Transtheoretical model for physical activity in older adults:
DAFTAR PUSTAKA 67
Systematic review. International Journal of Environmental Research and Public
Health, 17(24), 9262. https://doi.org/10.3390/ijerph17249262
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Prinsip olahraga BBT. Diakses dari
http://www.p2ptm.kemkes.go.id/infographicp2ptm/obesitas/prinsip-olahraga-
bbtt
Laerd Statistics (2015). Multiple regression using SPSS Statistics. Statistical tutorials
and software guides. Retrieved from https://statistics.laerd.com/
Lartey, G. K., Mishra, S., Odonwodo, D. E., Chitalu, C., Chafatelli, A. (2009). Factors
Influencing the Health Behaviors of International Students at a University.
International Journal of Health Research, 2(2), 131-138.
Maher, J. P., Hevel, D. J., Reifsteck, E. J., & Drollette, E. S. (2021). Physical activity is
positively associated with college students' positive affect regardless of stressful
life events during the COVID-19 pandemic. Psychology of Sport and Exercise,
52, 101826. https://doi.org/10.1016/j.psychsport.2020.101826
DAFTAR PUSTAKA 68
Marshall, S. J., & Ramirez, E. (2011). Reducing Sedentary Behavior: A New Paradigm
in Physical Activity Promotion. American Journal of Lifestyle Medicine, 5(6),
518–530. https://doi.org/10.1177/1559827610395487
Nelson, M.C., Kocos, R., Lytle. L.A., & Perry C.L. (2009). Understanding the Perceived
Determinants of Weight-related Behaviors in Late Adolescence: A Qualitative
Analysis among College Youth. Journal of Nutrition Education and Behavior,
41(4), 287-292. doi: 10.1016/j.jneb.2008.05.005
Nopiyanto, Y. E., Raibowo, S., Sugihartono, & Yarmani. (2020). Pola Hidup Sehat
dengan Olahraga dan Asupan Gizi Untuk Meningkatkan Imun Tubuh Menghadapi
Covid-19. Jurnal Ilmiah Pengembangan dan Penerapan IPTEKS, 18(02), 90-100.
doi:10.33369/dr.v18i2.1300
Privitera, G. J. (2018). Statistics for the behavioral sciences. California, USA: SAGE
Publications.
Revilla, M. A., Saris, W. E., & Krosnick, J. A. (2014). Choosing the number of
categories in agree-disagree scales. Sociological Methods & Research, 43(1),
73–97. doi:10.1177/0049124113509605
Taylor, S. E. (2015). Health psychology (9th 3d.). New York, USA: McGraw-Hill
Education.
Tecco, E. (2020, April 2008). Best YouTube channels for working out at home [Blog
post]. Retrieved from http://www.valleymagazinepsu.com/best-youtube-
channels-for-working-out-at-home/
DAFTAR PUSTAKA 69
Weijters, B., Cabooter, E., & Schillewaert, N. (2010). The effect of rating scale format
on response styles: The number of response categories and response category
labels. International Journal of Research and Marketing, 27(3), 236–247.
doi:10.1016/j.ijresmar.2010.02.004
Yunus, N. R., & Rezki, A. (2020). Kebijakan Pemberlakuan Lock Down Sebagai
Antisipasi Penyebaran Corona Virus Covid-10. Jurnal Sosial Budaya dan
Budaya Syar i, 7(3), 227-238. doi:10.15408/sjsbs.v7i3.15083
Zhang (2018). Theory of Planned Behavior: Origins, Development and future direction.
International Journal of Humanities and Social Science Invention (IJHSSI), 7(4), 76-83.
DAFTAR PUSTAKA 70