Anda di halaman 1dari 22

Liwa ‘ul Dakwah

Nilai Bimbingan Pada Seni Rupa Terapan Aceh


(Analisis Semiotika Rumoh Aceh)
Adnan
adnanyahya50@yahoo.co.id
Abstrak
Aceh merupakan satu wilayah di Indonesia yang kaya dengan khazanah
kesenian baik klasik maupun modern, berupa seni sastra, seni musik, seni
tari, dan seni rupa. Penelitian ini secara spesifik bertujuan untuk
mengungkap, mengkaji, dan menganalisa secara holistik nilai-nilai
bimbingan pada seni rupa terapan Aceh berupa analisis semiotika rumoh
Aceh. Metode penelitian ini bersifat kualitatif-deskriptif menggunakan
pendekatan etnografi dengan teknik analisis semiotika (semiotic analysis).
Data-data penelitian ini dikumpulkan melalui sumber primer (berupa
arsitektur rumoh Aceh) dan sekunder, berupa literatur yang terkait dengan
pembahasan penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan: Pertama, rumoh
Aceh merupakan satu seni rupa terapan (applied art) masyarakat Aceh yang
memiliki kegunaan praktis, estetis, dan etis. Kedua, rumoh Aceh merupakan
objek seni rupa terapan yang sarat dengan nilai-nilai bimbingan (guidance
of values) berbasis kearifan lokal (local wisdom) dalam kehidupan
masyarakat Aceh. Ketiga, nilai-nilai bimbingan yang terdapat pada rumoh
Aceh, yaitu ramah lingkungan, mitigasi bencana, ketahanan keluarga,
spiritualitas, dan guyub.

Kata Kunci: Nilai Bimbingan, Seni Rupa, Rumoh Aceh

1 Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019


Liwa ‘ul Dakwah
Abstract
Aceh is an area in Indonesia which is rich in classical and modern art
treasures, in the form of literary arts, music, dance, and fine arts. This
research specifically aims to uncover, study, and analyze holistically the
values of guidance in applied arts in Aceh in the form of Rumoh Aceh
semiotic analysis. This research method is qualitative-descriptive using an
ethnographic approach with semiotic analysis techniques. The data of this
study were collected through primary sources (in the form of rumoh Aceh
architecture) and secondary, in the form of literature related to the
discussion of this study. The results of the study show: First, rumoh Aceh is
an applied art of applied Acehnese society that has practical, aesthetic, and
ethical uses. Second, rumoh Aceh is an object of applied art that is loaded
with guidance values based on local wisdom in the life of the people of
Aceh. Third, the guidance values found in the rumoh Aceh, namely
environmentally friendly, disaster mitigation, family resilience,
spirituality, and harmony.

Keywords: Guidance Value, Fine Art, Rumoh Aceh

Pendahuluan
Kata seni merupakan padanan dari kata Inggris art. Art itu dapat
diartikan sebagai keterampilan (skill), aktivitas manusia, karya (work of art),
seni indah (fine art), dan seni rupa (visual art). Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) seni diartikan sebagai (i) halus (tentang rabaan); kecil dan
halus; tipis dan halus, (ii) lembut dan tinggi (tentang suara), (iii) mungil dan
elok (tentang badan), (iv) keahlian membuat karya seni yang bermutu (dilihat
dari segi kehalusan, keindahan, dan sebagainya), (v) karya yang diciptakan
dengan keahlian yang luarbiasa, semisal tarian, lukisan, dan ukiran (KBBI,
2005: 1037). Hal ini menunjukkan bahwa seni merupakan suatu wujud yang
terindera keberadaannya, sehingga dapat dinikmati nilai estetika dan etika
yang dikandung didalamnya.

Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019 2


Liwa ‘ul Dakwah
Seorang filsuf Amerika, Susane K Langer, menyatakan bahwa seni
merupakan ekspresi perasaan yang diketahuinya sebagai perasaan seluruh
umat manusia, bukan perasaan pribadi semata (Iswantara, 2016: 29). Dari sini
menunjukkan bahwa karya seni dapat menjadi identitas diri (self identity),
pandangan hidup (world view), nilai-nilai bimbingan (guidance of values) dan
perasaan kolektif (ekspresi) suatu kelompok masyarakat. Maka mengkaji seni
bukan sekadar akan menemukan nilai estetika dan etika semata, tapi juga
identitas diri, pandangan hidup, nilai-nilai luhur dan ekspresi kolektif suatu
kelompok masyarakat, baik dalam seni sastra, seni musik, seni tari, maupun
seni rupa. Bahkan, keberadaan seni rupa dapat dinikmati nilai estetika dan
etika dengan indera penglihatan manusia.
Rumah adat merupakan satu karya seni rupa terapan yang dimiliki
masyarakat Indonesia. Semisal, rumah Balai Batak Toba yang dimiliki Sumatera
Utara, Selaso Jatuh Kembar nama rumah adat Riau, Belah Bubung nama rumah
adat Kepulauan Riau, rumah Gadang yang dimiliki Padang, Kajang Lako nama
rumah adat Jambi, Bubungan Lima nama rumah adat Bengkulu, rumah Limas
nama rumah adat Sumatera Selatan, rumah Panggung nama rumah adat
Bangka Belitung, rumah Joglo milik suku Jawa, rumah Kebaya milik suku
Betawi, rumah Jolopong milik suku Sunda, dan rumoh Aceh nama rumah adat
Aceh. Rumah adat bukan sekadar hunian, tapi sarat nilai keindahan (estetika),
moral (etika), pandangan hidup, filosofi, serta fungsi dan tujuan yang berbasis
kearifan lokal (local wisdom).
Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang kaya khazanah
kesenian baik klasik maupun modern. Kekayaan khazanah kesenian ini
menunjukkan identitas diri, pandangan hidup, nilai-nilai bimbingan dan
ekspresi masyarakat Aceh. Maka ketika mengkaji suatu kesenian Aceh secara
holistik akan ditemukan belbagai identitas diri, pandangan hidup, nilai-nilai
bimbingan dan ekspresi masyarakat Aceh, baik yang terdapat dalam seni

3 Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019


Liwa ‘ul Dakwah
sastra (semisal, hadih madja, cae, dan hikayat), seni tari (semisal, seudati, likok
pulo, rateb meuseukat, dan saman), dan seni rupa (semisal, krong pade dan rumoh
Aceh). Khazanah budaya kesenian itu menunjukkan karakter dan identitas asli
masyarakat Aceh (Adnan, 2018: 4). Sebab itu, karya seni merupakan sebuah
benda atau artefak bernilai tinggi dalam kehidupan manusia.
Rumoh Aceh sebagai salah satu seni rupa terapan yang dimiliki
masyarakat Aceh mulai ditinggal dari realitas kehidupan masyarakat Aceh.
Kini realitas menunjukkan pembangunan infrastruktur fisik di Aceh (semisal,
perumahan dan perkantoran) terjadi kesenjangan dengan nilai filosofis rumoh
Aceh itu sendiri, baik dari aspek arsitektur, gaya dan model, nilai etika dan
estetika yang berbasis kearifan lokal. Padahal rumoh Aceh selain mengandung
nilai-nilai keindahan (estetika), etika (moral), juga nilai-nilai bimbingan yang
dapat diaplikasikan dalam kehidupan sosial modern saat ini. Maka seni bukan
semata-mata benda seni, tapi juga nilai-nilai (values) yang dikandung
didalamnya. Sebab itu, seni bukanlah yang diperlihatkan oleh benda seni,
namun apa yang seharusnya terdapat pada benda seni. Seni berada diluar
benda seni, sebab seni itu berupa nilai.
Sebab itu, rumoh Aceh menarik diteliti secara holistik karena, pertama,
rumoh Aceh merupakan salah satu seni rupa terapan milik masyarakat Aceh.
Kedua, rumoh Aceh merupakan rumah adat yang memiliki model dan gaya
arsitektur khas dibandingkan dengan rumah adat wilayah lain di Indonesa.
Ketiga, rumoh Aceh bukan sekadar hunian, tapi sarat nilai-nilai moral. Keempat,
setiap tanda, lambang atau simbol pada rumoh Aceh memiliki filosofi dan nilai
bimbingan bagi masyarakat Aceh, sehingga keberadaannya perlu dianalisa
secara semiotika.
Maka penulis mencoba mengungkap, mengkaji, dan menganalisa secara
holistik nilai-nilai bimbingan pada seni rupa terapan Aceh (analisis semiotika
rumoh Aceh). Maka tulisan ini berjudul: Nilai Bimbingan Pada Seni Rupa

Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019 4


Liwa ‘ul Dakwah
Terapan Aceh (analisis semiotika rumoh Aceh). Metode penelitian ini bersifat
kualitatif-deskriptif menggunakan pendekatan etnografi dengan teknik
analisis semiotika (semiotic analysis). Analisis semiotika berkaitan dengan
makna dari tanda atau simbol dalam bahasa (Moleong, 2007: 279). Tanda atau
simbol dalam fenomena kebudayaan memiliki cakupan luas, dimana selama
unsur-unsur kebudayaan mengandung didalam dirinya makna tertentu, maka
ia adalah tanda, dan dapat menjadi objek kajian semiotik. Apakah itu pola
tingkah laku seseorang, pola pergaulan, penggunaan tubuh, pengorganisasian
ruang, pengaturan makanan, cara berpakaian, cara berbelanja, maupun hasil
ekspresi seni atau karya seni (Walker, 2016: xxii).
Sebab itu, rumoh Aceh merupakan satu hasil ekspresi atau karya seni
masyarakat Aceh yang dapat dianalisis menggunakan teknik semiotika ini.
Maka analisis semiotika dalam tulisan ini yaitu upaya menganalisa secara
sistematis dan mendalam suatu tanda, lambang atau simbol, atau kode khas
pada rumoh Aceh, baik verbal maupun non-verbal untuk menemukan nilai-
nilai bimbingan secara filosofis. Data-data penelitian ini dikumpulkan melalui
sumber primer (berupa arsitektur rumoh Aceh) dan sekunder, berupa literatur
yang terkait dengan pembahasan penelitian ini.

Permasalahan
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: apa sajakah nilai-nilai
bimbingan pada seni rupa terapan Aceh (analisis semiotika rumoh Aceh)? .
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap, mengkaji, dan menganalisa
secara holistik tentang nilai-nilai bimbingan pada seni rupa terapan Aceh
(analisis semiotika rumoh Aceh)

Pembahasan
Nilai merupakan komponen evaluatif dari suatu kepercayaan,
mencakup kegunaan, kebaikan, estetika, dan kepuasan. Nilai bersifat normatif

5 Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019


Liwa ‘ul Dakwah
yakni memberitahu informasi tentang baik dan buruk, benar dan salah, yang
harus dibela dan tidak dibela, dan apa yang harus diperjuangkan. Nilai
lazimnya bersumber dari isu filosofis yang merupakan bagian dari lingkungan
budaya dan seni karena bersifat stabil dan dan menetap (Deddy, 2008: 215-
216). Rumoh Aceh merupakan sebuah seni rupa terapan masyarakat Aceh sarat
dengan nilai-nilai bimbingan (guidance of values) yang bersumber dari isu
filosofis lingkungan sosial budaya dan kesenian. Keberadaannya disamping
sebagai hunian juga bernilai estetika dan etika sebagai perwujudan identitas
diri (self identity), pandangan hidup (world view), keyakinan dan kepercayaan
(belief) masyarakat.
Nilai berguna sebagai rujukan, referensi, dan sumber moral serta
keyakinan dalam menentukan pilihan bagi seseorang (Rohmat, 2004: 11).
Sedangkan bimbingan merupakan proses pemberian bantuan psikis
(kejiwaan) kepada konseli oleh konselor secara kontinu untuk memaksimalkan
dan mengembangkan potensi konseli, agar konseli menjadi pribadi yang
cerdas intelektual, emosional dan spiritual (Adnan, 2019: 5). Sebab itu,
bimbingan bersifat pencegahan (preventif), pemeliharaan dan pengembangan
(development).
Maka nilai-nilai bimbingan yang terkandung dalam seni rupa terapan,
berupa rumoh Aceh, dapat menjadi rujukan, referensi, dan sumber moral bagi
masyarakat Aceh untuk menentukan sikap dan pilihan alternatif dalam setiap
pengambilan keputusan. Maka nilai-nilai bimbingan dalam seni rupa terapan,
berupa rumoh Aceh, berarti suatu nilai yang dapat menjadi rujukan, referensi,
dan sumber moral bagi masyarakat Aceh modern dalam mengharmonisasi
kehidupan dengan sang Pencipta, sesama manusia, dan alam. Sebab ketiga
unsur tersebut tidak terlepas dari kehidupan manusia.
Bahkan, setiap kebudayaan memiliki eskpresi-ekspresi artistik.
Kebutuhan akan ekspresi estetik berhubungan dengan karakteristik suatu

Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019 6


Liwa ‘ul Dakwah
masyarakat. Sebab itu, setiap suku atau bangsa memiliki ekspresi-ekspresi
estetika yang khas, sehingga menjadi distingsi dengan suku atau bangsa lain.
Melalui karya-karya seni, semisal seni sastra, seni musik, seni tari, seni lukis,
dan seni rupa, manusia mengekspresikan ide-ide, nilai-nilai, cita-cita, serta
perasaannya. Karena banyak hal yang berkaitan dengan pengalaman manusia
tidak terungkap secara rasional, dan hanya dapat diungkapkan secara
simbolik (Maran, 2007: 46). Maka seni merupakan instrumen yang digunakan
untuk mengungkap pengalaman-pengalaman yang tidak terungkap secara
rasional tersebut.
Lebih lanjut, seni merupakan media untuk menampilkan aspek estetis
dari kehidupan sosial manusia. Maka diperlukan kesadaran dan kemampuan
untuk memahami pesan atau nilai yang terkandung didalam estetika seni,
sehingga seni dapat didorong untuk mengembangkan unsur estetika dalam
diri manusia ke arah yang lebih baik (Rijal, 2011: 133). Dari sana juga dapat
dipahami bahwa, karya seni dapat menjadi media komunikasi suatu
kelompok masyarakat. Seni dapat menjadi media komunikasi dalam
menyampaikan kebenaran dan keberpihakan, pengalaman dan perasaan, dan
permasalahan hidup seseorang atau sekelompok orang kepada yang lain.
Sebab itu, lahirlah berbagai jenis kebudayaan fisik sebagai hasil karya
manusia, semisal rumah, gedung-gedung, jalan, jembatan, mesin-mesin, dan
lain sebagainya (Maran, 2007: 49). Semua kebudayaan itu menjadi indah
apabila dipadukan dengan unsur kesenian. Ketika suatu kebudayaan
dipadukan dengan unsur kesenian, maka kebudayaan itu bukan hanya
sekadar berguna sebagai infrastruktur semata, tapi juga etis dan estetis. Dari
kebudayaan fisik itulah lahir berbagai macam seni rupa yang didesain oleh
para seniman seni rupa.
Seni rupa merupakan cabang seni yang mengutamakan ekspresi atau
konsep sang seniman menjadi bentuk yang menstimulasi indra penglihatan

7 Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019


Liwa ‘ul Dakwah
(Maria dan Biarezky, 2016: 10). Seni rupa berbeda dengan seni-seni lain,
semisal seni sastra, dimana seni rupa keindahan dapat diperoleh dari
keindahan itu sendiri, sedangkan seni sastra banyak memperoleh perhatian
pada aspek bahasa (Ratna, 2015: 142). Selain itu, seni rupa dapat ditunjukkan
melalui kenyataan bahwa karya seni dapat dilihat secara langsung sebagai
objek visual, semisal lukisan, patung, taman, dan rumah. Maka secara umum
kesenian dapat dinikmati oleh manusia melalui indera penglihatan dan indera
pendengaran atau keduanya sekaligus (Rafiek, 2014: 113).
Sebab itu, rumah adat merupakan salah satu hasil dari ekspresi atau
karya seni rupa masyarakat Indonesia yang dapat dilihat secara langsung
objek visualnya. Semisal, rumah Balai Batak Toba yang dimiliki Sumatera Utara,
Selaso Jatuh Kembar nama rumah adat Riau, Belah Bubung nama rumah adat
Kepulauan Riau, rumah Gadang yang dimiliki Padang, Kajang Lako nama
rumah adat Jambi, Bubungan Lima nama rumah adat Bengkulu, rumah Limas
nama rumah adat Sumatera Selatan, rumah Panggung nama rumah adat
Bangka Belitung, rumah Joglo milik suku Jawa, rumah Kebaya milik suku
Betawi, rumah Jolopong milik suku Sunda, dan rumoh Aceh nama rumah adat
Aceh.
Lebih lanjut, secara umum seni rupa dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu seni rupa murni (fine art) dan seni rupa terapan (applied art). Seni rupa
murni ialah karya atau ekspresi seni yang diciptakan untuk dinikmati saja,
semisal grafis, lukisan, dan relief. Jadi, seni rupa murni diciptakan tanpa
adanya kaitan dengan kegunaannya. Sedangkan seni rupa terapan ialah karya
atau ekspresi seni yang indah, menarik dan menyenangkan, juga harus
memiliki kegunaan praktis, semisal anyaman, kipas, meja, dan bangunan. Jadi,
seni rupa terapan diciptakan selain dapat dinikmati mutu seninya, juga dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup (Rafiek, 2014: 114).

Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019 8


Liwa ‘ul Dakwah
Maka rumoh Aceh termasuk dalam golongan seni rupa terapan, sebab
keberadaannya disamping karya seni yang indah, menarik dan
menyenangkan, juga secara praktis berfungsi sebagai hunian atau tempat
tinggal. Keberadaan rumoh Aceh sebagai sebuah karya seni rupa masyarakat
Aceh itu sarat dengan nilai-nilai bimbingan yang berbasis kearifan lokal (local
wisdom), sehingga dapat diinternalisasikan dalam kehidupan masyarakat Aceh
modern saat ini. Lebih-lebih simbol-simbol dan nilai-nilai yang terkandung
dalam rumoh Aceh bercorak islami yang mencerminkan masyarakat Aceh yang
mayoritas beragama Islam. Disisi lain corak islami pada rumoh Aceh juga
menunjukkan karakter asli masyarakat Aceh yang menginternalisasikan nilai-
nilai islami (islamic values) dalam berbagai aktivitas dan simbol, termasuk
rumoh Aceh.
Maka seni rupa Aceh menjadi menarik, unik dan khas karena
menjadikan Islam sebagai landasan utama, sehingga menjadi pembeda
(distingsi) dengan seni rupa di wilayah bagian lain di Indonesia. Aceh sebagai
wilayah penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara memiliki identitas
seni rupa tersendiri yang menarik, unik dan khas. Kekhususan pandangan
yang bersumber dari ajaran Islam menjadi rambu-rambu dalam berperilaku
dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat Aceh (Rijal, 2011: 155). Rumoh
Aceh sebagai karya seni rupa terapan masyarakat Aceh tidak terlepas dari
ajaran Islam didalamnya, semisal posisi arah rumah menghadap kiblat agar
memudahkan anggota keluarga untuk shalat, dan keberadaan ruang atau
serambi (seuramoe) yang diibaratkan seperti dunia, sehingga anggota keluarga
diharapkan terus beribadah untuk kepentingan akhirat.
Karena itu, sebagai hasil daripada sebuah ekspresi masyarakat Aceh,
rumoh Aceh sarat dengan nilai-nilai-nilai estetika dan etis. Bahkan, lebih jauh
dari itu rumoh Aceh juga menunjukkan peradaban Aceh tempo dulu. Dimana
masyarakatnya memiliki berbagai karakter islami yang diinternalisasikan

9 Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019


Liwa ‘ul Dakwah
dalam seluruh aktivitas sehari-hari. Sehingga rumahpun didesain bukan
hanya sekadar sebagai tempat hunian, tapi indah dan menarik apabila
dipandang mata, sehingga membuat anggota keluarga betah berlama-lama di
rumah. Rumoh Aceh pun menyediakan berbagai fasilitas didalamnya yang
berfungsi untuk membangun intensitas interaksi dengan anggota keluarga,
tetangga dan masyarakat. Maka rumoh Aceh sebuah karya besar dan penuh
filosofis yang harus dijaga dan dirawat sepanjang masa oleh masyarakat Aceh,
baik struktur bangunannya maupun nilai-nilai bimbingan didalamnya.
Rumoh Aceh adalah rumah adat Aceh yang berbentuk panggung dengan
ketinggian 2,5 sampai 3 meter. Bagian bawah rumah dipakai untuk gudang
atau tempat menenun bagi para perempuan. Di dinding dalam maupun luar
rumah terdapat banyak lukisan. Ruangan rumoh Aceh terdiri atas ruang depan
untuk bersantai dan menerima tamu, ruang tengah untuk kamar-kamar, dan
ruang belakang untuk dapur dan tempat makan (Poerwaningtias dan
Suwarto, 2017: 6). Rumah adat termasuk salah satu seni rupa yang dimiliki
tiap-tiap suku yang ada di Indonesia. Kegunaan utama rumah adat adalah
sebagai tempat hunian atau tempat tinggal, namun dalam proses
pengorganisasian ruang dan arsitekturnya memiliki nilai estetika dan etika
sesuai dengan identitas diri, pandangan hidup, keyakinan dan kepercayaan
masyarakat setempat, tanpa kecuali rumoh Aceh.
Lebih lanjut, bahan-bahan yang terdapat pada rumoh Aceh, diantaranya
meliputi (1) berhubungan dengan rumah secara langsung: tameh (tiang),
rinyeun (tangga), aleue (lantai), binteh (dinding), ubong (atap), tulak angen (tolak
angin), seuramoe (serambi/ruang), rhoek (rumah), yup moh (bawah rumah),
pinto (pintu), jendela, para (loteng), anjong (dapur), sandeng dan (2) bahan yang
berhubungan dengan rumah secara tidak langsung: kroeng pade (tempat
penyimpanan), leun (halaman), jeungki (alat menumpuk padi dan beras).
Bahan-bahan yang digunakan ini merupakan simbol daripada nilai-nilai

Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019 10


Liwa ‘ul Dakwah
identitas diri, pandangan hidup, keyakinan dan kepercayaan masyarakat
Aceh. Sebab itu, rumoh Aceh bukan hanya sekadar hunian atau tempat tinggal
tanpa makna, tapi rumoh Aceh sarat dengan nilai-nilai bimbingan yang berbasis
kearifan lokal.
Nilai-nilai bimbingan yang terdapat pada rumoh Aceh yaitu, pertama
ramah lingkungan. Simbol-simbol ramah lingkungan pada rumoh Aceh dapat
dilihat dari: (1) aspek bahan material yang digunakan, berupa (a) kayu (kayu
sentang, kayu bak mane dan pohon nangka). Biasanya kayu-kayu ini
digunakan untuk konstruksi utama bangunan rumoh Aceh, semisal tiang
rumah (tameh rumoh) dan balok rumah (rhoek rumoh), bertujuan agar rumah
dapat bertahan lama. (b) papan (kayu sentang dan pohon kelapa) dan bambu.
Papan dan bambu digunakan untuk dinding rumah (binteh rumoh) dan lantai
rumah (aleu rumoh). (c) tali ijuk, berfungsi sebagai tali pengikat, baik untuk
mengikat bambu pada konstruksi dinding dan lantai, juga untuk mengikat
daun rumbia sebagai atap rumah. (d) daun rumbia (oen meuria). Daun rumbia
digunakan sebagai atap rumah, dan (e) batu kali (bate krueng), digunakan
untuk alas pondasi (keunaleung tameh) tiang rumah. Dan, (2) tipologi
konstruksi rumah. Tipologi pendirian rumoh Aceh adalah berbentuk panggung
dengan ketinggian 2,5 sampai 3 meter, sebagai wujud adaptasi dengan
lingkungan.
Jika menilik kedua aspek tersebut menunjukkan bahwa konstruksi
rumoh Aceh ramah lingkungan. Sebab, penggunaan material berasal dari
lingkungan sekitar. Hal ini menunjukkan bahwa kearifan lokal (local wisdom)
masyarakat Aceh menjaga keseimbangan mikro kosmos dan makro kosmos.
Dari sanalah muncul kebiasaan pada masyarakat Aceh agar menanam kembali
pohon yang telah dipergunakan untuk membuat rumah. Pun, proses ini secara
tidak langsung akan memaksa manusia untuk tetap menjaga dan
mengembalikan apa yang sudah diambil dari lingkungan (reboisasi), karena

11 Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019


Liwa ‘ul Dakwah
adanya kebutuhan pembangunan infrastruktur fisik lebih lanjut. Selain itu,
penggunaan bahan material dari alam juga dapat membuat kerangka rumah
bisa dipindahkan dan bongkar pasang (knock down) tanpa bekas, sehingga
lahan dapat digunakan untuk kepentingan lainnya, semisal berkebun dan
bertani. Berbeda dengan konstruksi rumah modern saat ini yang terbuat dari
beton/semen, akibatnya rumah sulit dipindahkan dan berbekas saat di
bongkar. Hal ini menunjukkan bahwa konstruksi rumah beton tidak ramah
lingkungan.
Lebih lanjut, bahan material yang digunakan pada rumoh Aceh juga cepat
terurai dan tidak menjadi tumpukan sampah yang dapat mengganggu
(pencemaran) lingkungan, semisal penggunaan daun rumbia atau daun kelapa
sebagai atap rumah. Selain itu, konstruksi rumah berbentuk panggung juga
mengandung nilai bimbingan agar dapat beradaptasi dengan lingkungan.
Sebab, lingkungan bukan hanya dihuni oleh manusia semata, tapi juga fauna
dan flora. Maka rumah berbentuk panggung dapat menjadi solusi agar lebih
aman dari gangguan binatang buas atau binatang liar, khususnya pada malam
hari. Pun, konstruksi rumah berbentuk panggung juga tidak menghambat
penyerapan air ke dalam tanah apabila hujan atau banjir. Maka alam
merupakan wahana yang harus terjaga dari berbagai perilaku merusak,
semisal penebangan liar (illegal logging) dan pengrusakan tanah. Alam akan
memberikan efek positif apabila manusia memanfaatkan alam secara positif.
Kedua, mitigasi bencana. Aceh merupakan satu wilayah di Indonesia
yang rawan gempa. Gempa dan tsunami Aceh 2004 lalu ialah puncak gempa
terdahsyat yang pernah dialami masyarakat Aceh. Dalam berbagai literatur
disebutkan bahwa Aceh sejak lama telah hidup bersama gempa dan tsunami,
semisal di Kabupaten Simeulue, yang dikenal dengan istilah Smong. Sebuah
istilah berbasis kearifan lokal yang digunakan untuk menyebutkan air laut
yang naik ke darat setelah bencana gempa terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa

Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019 12


Liwa ‘ul Dakwah
masyarakat Aceh tempo dulu peka terhadap kondisi geografis Aceh yang
rawan bencana alam, berupa gempa dan tsunami, sehingga pembangunan
rumoh Aceh dengan berbagai kelengkapan arsitekturnya didesain untuk tahan
gempa dan tsunami.
Rumoh Aceh merupakan struktur rumah yang terbuat dari kayu atau
bambu yang tidak akan mengalami kerusakan, jika dihantam oleh gucangan
gempa, karena bahan material yang digunakan bersifat lentur (elastic). Selain
itu, pondasi bangunan, ikatan tiang (tali ijuk dan bajoe) dan pasak pada kayu
yang diatur sedemikian rupa saling memperkuat bagian-bagian yang ada
pada konstruksi bangunan rumoh Aceh dan membuat bangunan semakin
lentur terhadap guncangan gempa. Rumoh Aceh pun didirikan dengan tidak
menggunakan paku besi tetapi menggunakan paku yang terbuat dari kayu
dan tali ijuk (Aswar, 2009). Artinya, tali ijuk dan paku kayu yang disebut
dengan bajoe merupakan alat yang digunakan untuk menghubungkan kayu
dengan kayu, selain itu juga rumoh Aceh menggunakan sistem bangunan
bongkar pasang, agar lebih tahan saat bencana alam terjadi.
Lebih lanjut, penelitian Hairumini dkk (2017: 37) menyebutkan bahwa
rumoh Aceh memiliki nilai-nilai bimbingan berbasis kearifan lokal dalam aspek
mitigasi bencana gempa dan tsunami. Nilai-nilai kearifan lokal yang berkaitan
dengan aspek mitigasi bencana pada rumoh Aceh terdapat pada komponen
konstruksi bangunan dan upacara adat rumoh Aceh. Selain itu, pengetahuan,
sikap dan perilaku kearifan lokal rumoh Aceh mengajarkan masyarakat
untuk beradaptasi, peduli warisan budaya, dan membentuk sistem
kekeluargaan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa rumoh Aceh memiliki nilai-
nilai bimbingan dalam mitigasi bencana. Akan tetapi, pembangunan rumoh
Aceh tidak diminati oleh masyarakat Aceh modern saat ini. Masyarakat Aceh
modern saat ini membangun perumahan modern tanpa mempertimbangkan
mitigasi bencana.

13 Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019


Liwa ‘ul Dakwah
Dampaknya ialah ketika bencana alam terjadi selalu menjatuhkan
korban jiwa dan kerugian besar terhadap kerusakan bangunan. Gempa dan
tsunami Aceh 2004 banyak membuat masyarakat meninggal dunia disebabkan
terkena runtuhan bangunan saat terjadinya gempa. Hal ini menunjukkan
bahwa konstruksi bangunan yang tidak ramah dengan alam (mitigasi
bencana) rawan menimbulkan kerusakan dan kerugiaan besar saat bencana
alam terjadi. Maka hal ini perlu dipertimbangkan agar rumah masyarakat
Aceh modern saat ini mampu beradaptasi dengan bencana alam yang
sewaktu-waktu terjadi layaknya rumoh Aceh. Sebab, rumah harusnya mampu
memberikan keamanan kepada anggota keluarga dari guncangan bencana
alam. Rumah harus menjadi tempat berlindung para anggota keluarga dari
bencana alam.
Ketiga, ketahanan keluarga. Krong pade adalah rumah kecil yang berdiri
sendiri sebagai tempat penyimpanan hasil-hasil produksi dalam bentuk padi.
Krong pade biasanya berada di belakang rumoh Aceh. Bangunannya berbentuk
panggung segi empat dengan atap seperti rumoh Aceh dan berukuran panjang.
Krong pade didirikan di atas tiang-tiang kayu dengan ukuran tiangnya lebih
kecil dari pada tiang rumoh Aceh. Krong pade merupakan simbol dari ketahanan
keluarga. Dimana bahan pokok rumah tangga, berupa padi (beras), selalu
tersedia tanpa ketergantungan kepada pasar. Hal ini menunjukkan bahwa
untuk mewujudkan ketahanan keluarga diperlukan ketersediaan sandang,
pangan, dan papan. Dari sanalah akan terwujud keluarga harmonis dan
bahagia.
Lebih lanjut, di bawah kolong rumoh Aceh juga tersedia jeungki. Jeungki
merupakan alat menumbuk padi secara tradisional di Aceh. Jeungki terbuat
dari sepotong kayu balok yang besar pada bagian kepala (ulee jeungki) dan
lebih kecil dari ekornya (iku jeungki). Agar jeungki dapat diangkat turun naik,
maka diperlukan suatu bagian lain yang disebut pha jeungki, yang digunakan

Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019 14


Liwa ‘ul Dakwah
untuk menggantung bagian tengah dari jeungki. Kegunaan jeungki semata-
mata digunakan untuk menumbuk padi (Sufi dan Wibowo, 2007: 137-139),
meski kadang digunakan untuk mengolah tepung. Padi yang berada di dalam
kroeng pade diolah pada jeungki untuk menjadi beras yang dapat dikonsumsi
oleh anggota keluarga. Maka jeungki merupakan simbol ketahanan keluarga.
Dalam penelitian Hasbi (2017: 9) disebutkan bahwa budaya menumbuk
padi kini mulai ditinggalkan oleh masyarakat Aceh. Sebab masyarakat setelah
panen padi lebih mudah membawa hasil panen padinya untuk dibersihkan di
pabrik beras yang sudah ada baik milik perseorangan atau desa. Sehingga
fungsi sebagai ruang menumbuk padi sudah tidak dipergunakan lagi. Pun,
kolong rumah juga telah yang berubah fungsi menjadi garasi mobil dan motor
karena banyaknya masyarakat yang sudah memiliki mobil dan motor. Dulu
kolong rumoh Aceh hanya digunakan untuk tempat menumbuk padi dan
tempat berinteraksi masyarakat Aceh. Maka simbol ketahanan keluarga dari
jeungki perlu dibudidayakan kembali dalam setiap keluarga.
Selain itu, ketahanan keluarga juga tergambar dari area halaman (leun)
sekitaran rumoh Aceh. Rumoh Aceh memiliki halaman yang luas, digunakan
untuk menanam tumbuh-tumbuhan, baik tanaman obat-obatan (bungong
meuh, bak kruet) maupun jenis sayur sayuran (cabe, bayam dan tomat) dan
buah-buahan (kedondong, durian, rambutan, jambu air). Tanam-tanaman
tersebut merupakan tanaman yang digunakan oleh masyarakat Aceh untuk
kebutuhan harian, agar dalam kondisi terdesakpun pangan anggota keluarga
tersedia dengan cukup. Hal ini menunjukkan bahwa area rumoh Aceh
digunakan untuk kepentingan ketahanan keluarga dalam bidang ekonomi
rumah tangga. Tentu konsep ini telah banyak ditinggalkan oleh masyakat
Aceh masa modern yang hidup era industri, dimana rumah-rumah
masyarakat Aceh jarang tersedia halaman rumah yang luas. Dampaknya ialah
muncul ketergantungan kepada pasar.

15 Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019


Liwa ‘ul Dakwah
Keempat, spiritualitas. Simbol spiritualitas pada rumoh Aceh terdapat
pada: (1) posisi pendirian rumah yang menghadap kiblat. Maka rumoh Aceh
merupakan bangunan yang didirikan di atas tiang-tiang yang membujur dari
arah timur ke barat dan selalu menghadap ke utara atau selatan. Hal ini
menunjukkan suatu kebiasaan yang ditinjau dari segi agama Islam adalah
untuk memudahkan pengenalan kiblat. Rumah yang membujur dari timur ke
barat, maka ruangan depan dan belakang dapat digunakan untuk mendirikan
shalat sebagai suatu kewajiban bagi pemilik rumah. Bahkan, penggunaan
papan dan bambu sebagai lantai rumah juga dimaksudkan untuk
memudahkan dalam memandikan jenazah bila ada anggota keluarga
meninggal dunia. Tentu sekarang lantai khusus yang disediakan untuk
memandikan jenazah jarang ditemukan di rumah-rumah masyarakat Aceh,
sehingga apabila ada anggota keluarga yang meninggal dunia kesulitan dalam
memandikannya (fardhu kifayah).
Dan, (2) simbol spiritualitas juga tergambar dari bagian tengah (donya
teungoh) rumoh Aceh. Bagian tengah rumoh Aceh terdiri dari tiga ruang yang
berfungsi berbeda, yakni ruang depan (seuramoe keue), ruang tengah (seuramoe
teungoh) dan ruang belakang (seuramoe likoet). Masing-masing ruang memiliki
fungsi dan tujuan yang berbeda-beda. Akan tetapi, secara umum ruang-ruang
tersebut memiliki filosofi laksana bumi, dimana manusia hidup saling tolong
menolong dan memperbanyak ibadah untuk bekal di akhirat nanti. Kearifan
lokal ini menunjukkan bahwa rumah juga berfungsi sebagai tempat beribadah
kepada Allah swt. Sebab itu, rumoh Aceh tidak lekang dari nilai-nilai
spiritualitas.
Spiritualitas menunjukkan karakter masyarakat Aceh yang mayoritas
beragama Islam. Bahkan, nilai-nilai spiritualitas tergambar dalam seluruh
aspek kehidupan masyarakat Aceh. Sebagaimana terungkap dalam peribahasa
Aceh (hadih madja): Hukom ngon adat lage zat ngon sifeut, tawiet han meulipat

Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019 16


Liwa ‘ul Dakwah
tatarek han meujeu euet. Adat deungon qanun lage kalam deungon daweut, na ditron
ujong rakam tapandang di dalam kheut. Qanun deungon reusam lage parang deungon
sadeub, dua-dua mata tajam han saban di dalam but (hukum dengan adat laksana
zat dengan sifat, tidak patah dan tidak lentur. Adat dan qanun laksana pena
dan dawat, ada tertulis dan dapat dilihat. Qanun dengan reusam laksana
parang dan ani-ani, dua-duanya mata tajam tapi tak serupa dalam pekerjaan).
Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai spiritualitas melekat dalam setiap jiwa
masyarakat Aceh.
Pun, keberadaan rumoh Aceh juga menunjukkan bahwa masyarakat Aceh
menginternalisasikan nilai-nilai Islam (islamic values) dalam kehidupannya.
Hal ini tergambar dari simbol-simbol arsitektur yang terdapat pada rumoh
Aceh itu sendiri. Maka rumoh Aceh menunjukkan keyakinan dan kepercayaan
penghuninya. Jadi bagi masyarakat Aceh rumah bukanlah sekadar tempat
hunian, tapi sarat nilai spiritualitas sebagai orang beragama. Di dalam rumah
seseorang dapat beribadah dengan nyaman dan tenang menghadap sang
Pencipta. Seorang tamu tidak akan kesulitan mencari arah kiblat jika hendak
menunaikan shalat, sebab posisi rumah menunjukkan arah kiblat. Kearifan
lokal masyarakat Aceh mengajarkan bahwa dari rumahlah membentuk
keluarga yang bahagia dunia dan akhirat. Sebagaimana terungkap dalam hadih
madja: cilaka rumoh hana tampong, cilaka gampong rumoh hana sapat, cilaka wareh
hana kunjong meungunjong, cilaka untong hana keurabat.
Kelima, guyub. Simbol guyup pada rumoh Aceh terdapat pada: (1) yup
moh (kolong rumah bagian bahwa). Yup moh digunakan sebagai ruang publik
(public space), dimana menjadi tempat berinteraksi dan berkumpul tetangga,
baik kepentingan untuk mengayam (manyum tika, manyum bleut), menumbuk
padi (top pade) agar menjadi beras, menumbuk beras (top tupong) untuk
membuat kue, semisal timphan, keukarah, nyam, dan lain-lain, serta maupun
mengumpulkan hasil panen kebun untuk dijual, semisal pinang, kopi, dan

17 Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019


Liwa ‘ul Dakwah
melinjo. Sehingga yup moh rumoh Aceh selalu ramai dipenuhi masyarakat
dalam berbagai jenis kepentingan.
Dan, (2) serambi/ruang rumah (seuramo rumoh). Simbol guyub juga
tergambar dari ruang-ruang yang berada dalam rumoh Aceh, yaitu pertama
seuramo keue (serambi depan) yang berfungsi sebagai tempat menerima para
tamu yang hadir baik dari keluarga jauh maupun tetangga dan masyarakat,
biasanya ruang ini tersedia anyaman untuk duduk (tika duk) sebagai tempat
duduk para tamu. Dari sinilah lahir sikap guyub dengan keluarga jauh,
tetangga dan masyarakat. Kedua, seuramo teungoh (serambi tengah/ rambat)
yakni ruang penghubung antara seuramo keue dan seuramo likot, yang berfungsi
sebagai tempat berinteraksi anggota keluarga, disinilah berbagai masalah
keluarga dipecahkan oleh kepala keluarga bersama para anggota keluarga.
Sehingga dari seuramo teungoh diharapkan lahir guyup, kasih sayang dan
tolong menolong antar sesama anggota keluarga.
Dan ketiga, seuramo likot (serambi belakang) yang digunakan sebagai
dapur untuk memasak dalam mengolah berbagai jenis makanan untuk para
anggota keluarga. Sehingga seuramo likot dilengkapi dengan berbagai macam
alat dapur dan berbagai alat masakan. Seuramo likot diharapkan juga menjadi
tempat membangun sikap guyub dalam rumoh Aceh. Sebab apabila asap dapur
tidak mengepul akan berpengaruh terhadap perselisihan (pake) antar anggota
keluarga. Fungsi dapur ialah mengolah bahan makanan untuk kepentingan
keluarga yang merupakan kebutuhan sehari-hari, juga diproses makanan yang
ada kaitannya dengan upacara adat. Makanan yang diolah untuk kepentingan
adat memiliki kualitas yang tinggi baik dari segi bentuk atau rasa (Sufi dan
Wibowo, 2007: 47). Lebih lanjut, peralatan dapur rumah tangga meliputi aweuk
(sejenis sendok) yang digunakan untuk mengaduk sayur dan gulai yang
sedang dimasak, bate neupeuh (batu giling) digunakan untuk menggiling
bumbu masakan.

Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019 18


Liwa ‘ul Dakwah
Lebih lanjut, beulangong (belanga) digunakan untuk memasak sayur dan
daging, beulangong sudu (wajan) digunakan untuk tempat penggorengan, bruek
bhoi, bruek keukarah, bruek samaloyang, digunakan untuk membuat kue, capah
digunakan untuk membuat rujak dan sejenisnya, cinu digunakan untuk
mengambil air dari dalam guci, dandang digunakan untuk memasak nasi,
geunuku digunakan untuk mengukus kelapa, guci sebagai wadah
penyimpanan air, jeuee (nira) digunakan untuk menampi beras, kanet (periuk)
digunakan untuk menanak nasi, leusong digunakan untuk menumbuk, dan
alat-alat dapur yang lain (Sufi dan Wibowo, 2017: 53-83). Seluruh perkakas
dapur tersebut digunakan untuk mengolah beragam makanan yang disajikan
kepada anggota keluarga dan kebutuhan upacara adat. Dari sanalah muncul
guyub di tengah keluarga dan masyarakat. Sebagaimana ungkapan hadih
madja: ‘ta ikat kameng ngon naleung, ta ikat ureung ngon khanduri’.
Maka rumoh Aceh memiliki nilai-nilai bimbingan yang berbasis kearifan
lokal yang harus diinternalisasikan dalam kehidupan masyarakat Aceh masa
kini. Seni rupan terapa Aceh, berupa rumoh Aceh, bukan saja untuk dinikmati
keindahannya secara kasat mata, tapi juga untuk diterjemahkan nilai-nilai
bimbingan yang terdapat di dalamnya dalam kehidupan modern saat ini yang
semakin memunculkan sikap pragmatis dan individualistik. Munculnya sikap
pragmatisme dan individualistik disebabkan oleh hilangnya sikap guyub
dalam sebuah keluarga dan masyarakat. Untuk itu perlu ditumbuhkan
kembali sikap guyub pada setiap anggota keluarga agar muncul sikap saling
tolong menolong, peka dan peduli, dan saling mengasihi antar sesama.
Simbol-simbol yang terdapat pada rumoh Aceh harus menjadi cerminan dalam
menumbuhkan sikap guyub tersebut.

19 Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019


Liwa ‘ul Dakwah
Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa, pertama, rumoh Aceh
merupakan salah satu seni rupa terapan (applied art) masyarakat Aceh yang
memiliki kegunaan praktis, estetis, dan etis. Jadi, keberadaan rumoh Aceh
disamping sebagai hunian secara praktis, juga bernilai estetis dan etis, sebagai
perwujudan identitas diri (self identity), pandangan hidup (world view),
keyakinan dan kepercayaan (belief) masyarakat. Kedua, rumoh Aceh merupakan
objek seni rupa terapan yang sarat dengan nilai-nilai bimbingan (guidance of
values) berbasis kearifan lokal (local wisdom) dalam kehidupan masyarakat
Aceh. Nilai bimbingan yang terdapat dalam rumoh Aceh harus
diinternalisasikan dalam kehidupan masyarakat Aceh, baik secara kultural
maupun struktural, sebagai wujud melestarikan peninggalan endatu (leluhur).
Ketiga, nilai-nilai bimbingan yang terdapat pada rumoh Aceh, yaitu ramah
lingkungan, mitigasi bencana, ketahanan keluarga, spiritualitas, dan guyub.

Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019 20


Liwa ‘ul Dakwah
Daftar Pustaka
Adnan. 2018. Pendidikan Politik dalam Hikayat Jampoek. Serambi Indonesia:
Opini

--------. 2019. Kuliah Bimbingan & Konseling Islam. Lhokseumawe: Sefa Bumi
Persada

Anwar, Saiful. 2016. Penggunaan Langgam Rumoh Aceh pada Bangunan


Perkantoran di Kota Banda Aceh. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI

Aminudin. 2009. Apresiasi Karya Seni Tari Daerah Nusantara. Bandung: PT Puri
Pustaka

Hadi, Amirul. 2010. Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia

Hairumini dkk. 2017. Kearifan Lokal Rumah Tradisional Aceh Sebagai Warisan
Budaya dan Mitigasi Bencana Gempa dan Tsunami. Semarang: Jurnal
Unnes

Hasbi, Rahil Muhammad. 2017. Kajian Kearifan Lokal Pada Arsitektur


Tradisional Rumoh Aceh. Jurnal Vitruvian

Ichsan, Nurdian. 2014. Mengenal Seni Keramik Modern. Bekasi: Nusa Book

Iswantara, Nur. 2016. Kritik Seni Seni Kritik. Semarang: Gigih Pustaka Mandiri

Kodir, Koko Abdul. 2014. Metodologi Studi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia

Puteh, M Jakfar. 2012. Sistem Sosial, Budaya dan Adat Masyarakat Aceh.
Yogyakarta: Grafindo Litera Media

Rafiek. 2014. Ilmu Sosial & Budaya Dasar. Yogyakarta: Aswaja Pressindo

21 Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019


Liwa ‘ul Dakwah
Ratna, Nyoman Kutha. 2015. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

Rijal, Syamsul. 2011. Dinamika Pemikiran Islam di Aceh. Aceh: Badan Arsip dan
Perpustakaan Aceh

Rohmat, Mulyana. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta

Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Sufi, Rusdi dan Wibowo, Agus Budi. 2007. Ragam Peralatan Tradisional pada
Masyarakat Aceh. Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam

Maran, Rafael Raga. 2007. Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu
Budaya Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta

Maria, Mia dan Biarezky, Belle Bintang. Seni Rupa Rumah Kita. Jakarta: Yayasan
Jakarta Biennale

Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunikasi (Suatu Pengantar). Bandung: PT Remaja


Rosdakarya Offset

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT


Remaja Rosdakarya

Poerwaningtias, Intania dan Suwarto, Nindya K. 2017. Rumah Adat Nusantara.


Jakarta Timur: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Walker, John A. 2016. Desain, Sejarah, Budaya (Sebuah Pengantar), terjemahan.


Yogyakarta: Jalasutra

Vol. IX No.2 Juli -Desember 2019 22

Anda mungkin juga menyukai