Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Indonesia belum memiliki pengalaman sebagai pusat peradaban islam. Selama ini, umat
islam Indonesia menjadi konsumen terhadap pemikiran-pemikiran islam produk para pemikir
islam dari mesir, iran, india-pakistan, dan barat. Mereka telah mengekspresikan pemikiran
meraka kedalam buku-buku maupun jurnal, baik berbahasa arab maupun inggris, sehingga
terdistribusi ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Indonesia. Dengan demikian, pemikiran-
pemikiran mereka bisa diserap dan diadaptasi oleh umat islam Indonesia.[1]Walaupun begitu,
ada beberapa hal yang merupakan kelebihan atau kekuatan umat islam Indonesia yang dapat
dijadikan sebuah model atau teladan bagi umat islam di Negara-negara lain, khususnya yang
berada pada Negara-negara Muslim.
Keteladanan tersebut, Prof. Dr. Mujamil Qahar menyebutkan dalam bukunya “Fajar Baru
Islam Indonesia”, yaitu :Pertama: moderasi pemikiran dan tindakan, Kedua: bersikap toleran
terhadap pemeluk agama lain, ketiga: ketahanan hidup dalam pluralism, keempat: kehidupan
demokrasi, dan kelima: pendekatan kultural dalam memahami dan menjalani agama.
Demikian merupakan keteladanan umat islam Indonesia yang bisa dicontoh umat islam
lainnya dinegeri mereka masing-masing. Betapapun, keteladanan ini mesti muncul setelah
melalui tahapan pemikiran. Maka kita perlu menelusuri karakteristik pemikiran islam Indonesia
agar pemahaman kita terhadap islam Indonesia semakin utuh, terpadu, dan komprehensif.
Istilah fundamentalis sebenarnya berasal dari barat.Penggunaan istilah ini terkait dengan
gerakan dibawah Kristen protestan di Amerika pada awal abad ke-20. Istilah fundamentalis atau
sering disebut fundamentalisme memiliki kesamaan dengan berbagai istilah, yaitu fanatisme,
islam garis keras, radikalisme, bahkan ada yang menyudutkan menjadi terorisme.[2]
Istilah Islam fundamentalis dapat dimaknai Islam yang dalam pemahaman dan prakteknya
bertumpu pada ha-hal yang bersifat asasi atau mendasar. Pemahaman secara kebahasaan yang
demikian ini mengandung pengertian, bahwa yang dimaksudkan Islam fundamentalis adalah
gerakan atau paham yang bertumpu pada ajaran mendasar dalam Islam, teutama terkait dengan
rukun Islam dan Iman. Apabila ditinjau dari segi kebahasaan ini, maka semua aliran atau paham
yang menjadikan rukun Iman dan Islam sebagai ajaran utama, maka mereka termasuk pada
kelompok ini.Bahkan tiga aliran besar di dunia, seperti Sunni, Syi’ah dan Ahmadiyah juga
menjadikan ajaran tersebut sebagai dasar pijakan dalam beragama.[3]
Untuk itu kita perlu mengenali ciri-ciri utama yang mendasari pandangan fundamentalisme
dan menganalisis implikasinya pada pendirian dan gerakan mereka. Ciri utama fundamentalisme
adalah interpretasi meraka yang rigid dan literalis terhadap doktrin agama. Ini dilatarbelakangi
oleh beberapa factor diantaranya:
1. Penafsiran seperti itu penting menurut mereka demi menjaga kemurnian doktrin dan
pelaksanaannya
2. Diyakini bahwa penerapan doktrin secara utuh merupakan satu-satunya cara dalam
menyelamatkan manusia dari kehancuran.[4]
Dalam konteks islam, gerakan fundamentalis itu berarti melawan amerika dan sekutu-
sekutunya, termasuk Negara muslim yang menjadi sekutunya. Gerakan ini melawan
kepentingan-kepentingan amerika dan sekutu-sekutunya yang tersebar dimana-mana diseluruh
dunia, termasuk kepentingan-kepentingan yang berada dinegara-negara muslim. [7]
Berbeda dengan orde baru, era reformasi merupakan era antithesis terhadap era yang
dibangun Soeharto tersebut, sehingga kran demokrasi dibuka seluas-luasnya untuk memenuhi
tuntutan-tuntutan rakyat yang disorakan mahasiswa dan para tokoh revormasi.
Bersamaan dengan kebebasan suara, berpendapat, bahkan berserikat dalam era revormasi
itulah, kelompok-kelompok islam garis keras berrmunculan. Era reformasi merupakan era yang
paling subur bagi pertumbuhan dan perkembangan islam garis keras di Indonesia. Hal ini, tidak
bisa dimaknai secara salah bahwa era reformasi menghendaki kehadiran kelompok-kelompok
tersebut. Pemahaman yang benar adalah kehadiran kelompok-kelompok tersebut sebagai
konsekuensi logis atau dampak langsung yang tidak bisa dihindarkan dari kebijakan politik
makro era reformasi.[8]
Pemikiran Islam Moderat
Sebagai istilah untuk penggolongan corak pemikiran dan gerakan istilah “Islam moderat”
diperlawankan dengan istilah lain, yaitu Islam radikal. Islam moderat, dalam pengertian yang
lazim kita kenal sekarang, adalah corak pemahaman Islam yang menolak cara-cara kekerasan
yang dilakukan oleh kalangan lain yang menganut model Islam radikal. Tawfik Hamid (2010),
seorang mantan anggota kelompok Islam radikal dari Mesir, al-Jamaah al-Islamiyyah,
mendefinisikan Islam moderat sebagai Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama
yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi
Pengertian Islam moderat juga dirumuskan oleh Dr. Moqtedar Khan , ia memperlawankan
istilah Islam moderat terhadap Islam radikal. Perbedaan antara keduanya, menurut dia, adalah
bahwa yang pertama lebih menekankan pentingnya prinsip ijtihad dalam pengertian yang lebih
luas, yaitu kebebasan berpendapat (dengan tetap bersandar pada sumber utama dalam Islam,
yaitu Quran dan Sunnah), sementara yang kedua lebih menekankan konsep jihad (perang suci).
[9] Islam Moderat, kelompok ini sebenarnya di Indonesia merupakan kelompok dominan, tetapi
oleh kelompok radikal sering dikatakan sebagai kelompok “ Islam Banci” sebab tidak memiliki
ketegasan tatkala berhadapan dengan orang yang beragama lain, terhadap sikap israil ( Yahudi)
dan nasrani atas umat Islam indonesia. Kelompok Islam moderat ini bisa dirujukan kepada dua
pengikut organisasi Islam terbesar di Indonesia Muhamadiyah dan NU, terutama pada masa
kepemimpinan Buya Syafii Ma’arif dan Abdur Rahman Wahid.
Namun demikian pada saat ini, sebagian dari para pengikut Muhamadiyah dan NU telah
terjangkit “ virus tarbiyah” dan salafi sampai wahabi sehingga gerakan militan Islam dalam
Muhamadiyah dan NU juga semakin mendapatkan tempatnya. Namun begitu, kita masih bisa
berharap pada Muhamadiyah dan NU tatkala dua ormas islam terbesar ini mampu menjadi “
payung kebangsaan” yang sering disebut sebagai payung kultural bagi bangsa indonesia. Akan
tetapi, apabila Muhamadiyah dan NU juga terjebak dalam tarikan- tarikan pragmatis – politik
maka Muhamadiyah dan NU menjadi sulit untuk diharapkan sabagai “ payung kebangsaan”
sebagaimana Buya Syafii ma’arif kehendaki ketika itu[10]
Maka untuk memajukan umat Islam itu, pada umumnya para pembaru melakukan usaha
dalam dua tahap. Tahap pertama, mereka manggagas dilakukannya ijtihad dalam menjawab
persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam di abad modern. Tahap kedua, mereka
menggagaskan peminjaman (borrowing) peradaban barat yang dipandang mendapat legilasi dari
ajaran agama yang bersifat dasar.
Definisi dari Islam Liberal sebagai kelompok yang secara kontras berbeda dengan Islam
adat dan Islam revivalis yaitu Islam Liberalis menghadirkan masa lalu dalam konteks
modernitas, dan menyatakan behwa Islam jika dipahami secara benar maka ia akan sejalan
dengan liberalism barat.Prinsip dari Islam Liberal, yakni memberikan ruang pada setiap orang
untuk mengekspresikan pikiran dan sikapnya tentang agamanya (Islamnya), tanpa harus
diuniformasikan.[12]
Pemikiran liberalisme adalah model pemikiran yang berusaha melakukan interpretasi baru
atas doktrin agama ( islam ) Al Qur’an dan sunah. Peletak dasar pemikiran liberal islam di
Indonesia adalah Nurcholis madjid , Djohan Effendy, Abdurrahman Wahid. Mereka intelektual
muda yang berlatar belakang dari NU muhammadiyah dan aktivis NGO sebagai orang yang
berada dalam posisi terdepan dalam mengembangkan pemikiran islam di Indonesia.
Berkembangnya liberal islam di indonesia memang masih “bayi”. Tetapi liberal islam indonesia
sudah berpengaruh sangat besar terutama di kalangan menengah santri, sebagai bentuk baru dari
islam populer, sebuah islam yang tidak teramat ketat dengan syariah. Dengan lain perkataan, bisa
disampikan bahwa liberal islam telah menghadirkan cara baru dalam beragama, ditengah
masyarakat yang pluralistik , semakin terbuka dan moderen.[13]
Gerakan Islam Liberal ini tentu saja banyak mendapatkan kritikan dari berbagai pihak,
teruatama bagi mereka yang ingin tetap menjaga ajaran Islam dari pengaruh paham-paham Barat
yang cenderung liberal dalam memahami teks agama. Pemikiran Islam Liberal telah dianggap
menodai ajaran islam, karena kitab suci dianggap sebagai produk budaya, sehingga sakralitasnya
pun menjadi nihil.[14]
Berkaitan dengan metodologi berpikir Islam Liberal, tampaknya mereka adalah kelompok
yang berusaha melakukan interpretasi baru atas doktrin agamanya ( Islam ) Al-Qur’an dan As-
Sunnah atau hadist, interpretasi atas sejarah sosial dan kontek sosial masyarakat Islam
berdasarkan ilmu bahasa, kritik sejarah, dan studi ilmu-ilmu sosial. Untuk mensosialisasikan
pemikirannya mereka menggunakan media massa nasional Jawa Pos, serta menrbitkan artikel
setiap minggu pada harian tersebut dan menrbitkan buku[15]
Seiring dengan era reformasi, di mana keran demokrasi terbuka seluas-luasnya untuk
menjamin kebebasan bersuara, berbicara, berpendapat, dan berserikat, maka telah muncul secara
beruntun organisasi-organisasi Islam garis keras, seperti MMI, FPI, Laskar Jihad Ahlussunnah
wal Jama’ah, dan HTI, pada gilirannya mendorong tampilnya kekuataan Islam Liberal dalam
bentuk yang lebih formal dan terorganisasi berupa Jaringan Islam Liberal (JIL) yang di
koordinasi oleh Ulil Abshar Abdalla.
Islam liberal merupakan suatu bentuk penafsiran baru, tetapi juga tidak benar-benar “baru”,
atas agama Islam dengan wacana berikut:
2. Penekanan pada semangat religio-etik, bukan pada makna liberal sebuah teks
Nama “Islam Liberal” menggambarkan prinsip yang dianut yaitu: Islam yang menekankan
“ kebebasa Pribadi” (sesuai dengan doktrin kaum mu’tazilah tentang kebebasan manusia) dan “
pembebasan” struktur sosial politik dari dominasi yang tidak sehat dan menindas. Konsep
kebebasan berkehendak (free will) dan kebebasan berbuat ( free act ) sebagai ajaran aliran
qadariyah yang kemudian diadopsi oleh mu”tazilah, secara rasional dapat menjadi lokomotif
kemajuan umat Islam dan tentu berikut peradabannya.[16]
Referensi
[1] Mujamil Qamar, Fajar Baru Islam Indonesia, ( Bandung: MIZAN, 2012). Hal.1
[4] Syahrin Harahap, Islam Dinamis; Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al-Qur’an dalam
Kehidupan Modern di Indonesia, ( Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997). Hal.234-235
[5] Qodri Azizi, dkk. Pemikiran Islam Kontenporer Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005). Hal.192
[10]Zuly Qodir, Gerakan Sosial Islam, ( Yogyakarta:, pustaka belajar, 2009), Cet. 1, hlm.
93
[12] Zuly Qodir, Islam Liberal Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 72-74
[13]Zuly Qodir. Islam Liberal : Paradigma Baru Wacana dan aksi Islam Indonesia
( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003 ) , Cet 1, hlm. 80