Anda di halaman 1dari 15

KANDAI

Volume 11 No. 2, November 2015 Halaman 266—280

HASRAT NANO RIANTIARNO DALAM CERMIN MERAH:


KAJIAN PSIKOANALISIS LACANIAN
(Nano Riatno’s Desire in “Cermin Merah”: Lacanian Psychoanalysis Study)

Ricky Aptifive Manik


Kantor Bahasa Provinsi jambi
Jalan Arif Rahman Hakim No. 101, Telanaipura, Jambi
Pos-el: rickymanik@gmail.com
(Diterima 24 November 2014; Direvisi 9 April 2015; Disetujui 28 April 2015)
Abstract
Literary work is a manifestation of the writer’s desire. In its story, a desire is created from
the lack of subject and the curiosity of it . Writing a literary work is an effort to cover this
insufficiency. This effort can be noticed in the writer’s view about his ego in his works. A novel
entitled “Cermin Merah” is a sample to notice what and how Nano Riatno’s desires. The
purpose was to find the background of his ideal ego. This study used Lacanian Psychoanalysis
study. Through this analysis, metaphor and metonymy methods were used to find the signs of
Nano’s desires in the novel. This study found that Nano’s desires for an honest, a brave, a
responsible, a loyal, a nimble, a hard working, and a democratic figure was identified as his
father’s character. Meanwhile, his view on stigmatization of PKI and LGBT was his desire
about people who respect other’s existence. Being an artist and a writer are Nano’s anchoring
points to stop his ambiguity and instability.
Keywords: desire, stigmatization, psychoanalysis, Lacan, Nano Riantiarno

Abstrak
Karya sastra merupakan manifestasi hasrat pengarang. Dalam sejarahnya, hasrat
terbentuk dari rasa kekurangan subjek. Menulis karya sastra merupakan upaya untuk
menutupi kekurangan tersebut. Upaya itu dapat dilihat dalam pandangan pengarang akan
ego-ego ideal di dalam karya-karyanya. Novel Cermin Merah adalah sample untuk melihat
apa dan bagaimana hasrat Nano Riantiarno. Tujuannya adalah menemukan apa yang menjadi
pembayangan ego-ego ideal bagi Nano. Telisik hasrat ini akan menggunakan kajian
Psikoanalisis Lacanian (PL). Melalui PL ini akan digunakan metode metafora dan metonimia
dalam melihat penanda-penanda hasrat Nano dalam Cermin Merah. Kajian ini menemukan
bahwa hasrat Nano akan seorang yang jujur, berani, bertanggung jawab, loyal, ulet,
konsisten, pekerja keras, setia, dan demokratis diidentifikasi dari citraan ayahnya. Sedangkan
pandangannya tentang stigmatisasi PKI dan LGBT merupakan hasratnya akan orang yang
menghargai keberadaan orang lain. Menjadi seniman dan penulis merupakan anchoring point
Nano dalam menyudahi keambiguitasan dan ketidakmenentuan dirinya.
Kata-kata kunci: hasrat, stigmatisasi, psikoanalisis, Lacan, Nano Riantiarno

PENDAHULUAN oleh para rasionalis sejak Yunani Kuno.


Diri dipercayai dikonstruksi oleh
Penemuan Freud akan hasrat rasio/akal, kehendak/hasrat, dan
(ketidaksadaran) meruntuhkan ruh/jiwa. Akan tetapi para kaum
pandangan rasionalisme Barat yang rasionalisme Barat lebih mengagung-
gagal mendefenisikan ketaksadaran agungkan rasio/akal sebagai konstruksi
(Bracher, 2009, hlm. ix). Hal ini diri dan hasrat cenderung diabaikan
dikarenakan sikap tidak peduli serupa anak tiri. Hasrat hanya sebagai
(indifferent) atas hasrat yang diidap

266
Ricky Aptifive Manik: Hasrat Nano Riantiarno dalam…

entitas “pelengkap” bagi keutuhan pada citraannya yang ada di cermin.


rasio. Dorongan anak mempersepsikan
Freud menggeledah hasrat pada citraan di cermin sebagai dirinya
wilayah ketidaksadaran dan merupakan hasratnya untuk memiliki
menemukan hasrat primordial yang liar, identitas. Momen ini akan senantiasa
disruptif, instingtual, dan irasional. bekerja dalam rentang hidup manusia.
Penemuan Freud ini, di satu sisi, bisa Manusia memiliki dimensi imajiner
dilihat sebagai usaha yang sangat dalam hidup psikis-nya, yaitu
eksploratif dan revolusioner, tetapi di kecenderungan untuk
sisi lain bersifat reduktif. Freud mengidentifikasikan diri dengan diri-
menyempitkan hasrat hanya sebagai diri ideal.
energi libidinal atau seksual. Sifat liar Lacan mengatakan bahwa apa
dari hasrat ini dilihat sebagai yang menggerakan kehidupan manusia
kandungan ketidaksadaran yang mesti adalah hasrat. Manusia sejak dilahirkan
“dipotong” arus pertumbuhannya hingga melepaskan diri dari kesatuan-
karena dianggap bisa membahayakan kesatuan eksistensial dalam dunia Real
otoritas Ego (Hartono, 2007, hlm. 33). selalu mengalami kekurangan-
Dari asumsinya ini maka Freud kekurangan (lack), manusia dianggap
menganggap bahwa manusia harus selamanya berlubang. Rasa kekurangan
mengebiri hasratnya agar dapat masuk selamanya mengikuti—seperti hantu
dalam wilayah sosial. Manusia yang yang menggentayangi—kehidupan
tidak dapat memfilterisasi hasratnya yg manusia. Padahal kesatuan eksistensial
liar, irasional, adalah manusia yang (dalam dunia Real) itu tidak akan
neorosis atau psikosis pernah didapati kembali. Perasaan yang
(http://id.wikipedia/wiki/neurosis). mendekam di alam ketidaksadaran ini
Psikoanalisis Freud adalah tempat melahirkan hasrat yang tak pernah
rehabilitasi bagi manusia-manusia habis terpuaskan. Ada dua bentuk
neorosis atau psikosis. hasrat yang terus-menerus mengalami
Masuknya subjek ke dalam ketegangan dari rasa kekurangan
wilayah sosial ini dengan pengebirian eksistensial tersebut, yaitu hasrat ingin
hasrat dalam konsep pembentukan Ego memiliki (identitas) dan hasrat ingin
Freud inilah yang pada akhirnya menjadi. Hasrat ingin memiliki bekerja
membuat Freud juga mengagung- pada ranah pengalaman Imajiner dan
agungkan rasio/kesadaran dan terjebak Simbolik. ranah pengalaman yang
dalam subjek Cartesian dengan memberi rasa keutuhan pada
adigiumnya Cogito Ergo Sum. kekurangan primordial yang selalu
Salah seorang neofreudian membayangi subjek. Hasrat untuk
Prancis yakni Lacan menolak ego menjadi bekerja pada ranah
sebagai sumber kekuatan psikologis. pengalaman Yang Real, praideologis
Ego menurutnya tidak mampu dan non makna. Ia adalah potensi
membedakan hasratnya dan hasrat resistensi yang selalu mengganjal hasrat
orang lain serta cenderung kehilangan untuk memiliki dalam menunaikan
dirinya dalam samudra objek-objek hajatnya.
(manusia dan citraan) (Adian, 2009, Lalu, bagaimana melihat hasrat
hlm. xxxvi). Bagi Lacan, pembentukan ini terhadap sastra? Jika dikatakan
ego yang pertama atau ego primordial segala tindakan manusia itu merupakan
adalah terjadi pada tahap cermin. Pada hasil/produksi dari hasrat, maka dapat
tahap ini anak mengidentifikasi diri dipastikan bahwa tindakan

267
Kandai Vol. 11, No. 2, November 2015; 266—280

menghasilkan karya sastra oleh struktur ketidaksadaran pengarang itu


pengarang tersebut merupakan bekerja yang kemudian disebut sebagai
manifestasi dari hasratnya. Pengarang hasratnya.
dalam pengertian Lacanian akan Dalam penelitian ini penulis ingin
dikatakan sebagai subjek yang mengambil sosok Nano Riantiarno
berkekurangan. Teori Lacan tentang yang penulis nilai sangat produktif
subjek adalah bahwa manusia itu dalam menghasilkan karya-karyanya.
diwakili oleh bahasa, oleh objek-objek Artikel ini sendiri merupakan hasil
khusus yang disebut “kata-kata”. Istilah penelitian penulis yang telah penulis
teknis Lacan untuk “kata” adalah lakukan dalam bentuk tesis S2 di
“penanda”. Bilamana seseorang jurusan Ilmu Sastra Fakultas Ilmu
berbicara atau menulis, ia selalu Budaya, Universitas Gadjah Mada
mewujudkan diri dengan bahasa, dengan judul “Hasrat N. Riantiarno
dengan penanda-penanda. Penanda- dalam Trilogi Cermin Kajian
penanda adalah satu-satunya cara Psikoanalisis Lacanian”. Kebenaran
subjek itu dapat mewujudkan dirinya tentang hipotesis Lacan mengenai
(Hill, 2002, hlm. 29-30). Begitu pula hasrat subjek yang selalu
dengan sastra yang merupakan penanda berkekurangan akan penulis uji pada
sebagai perwujudan diri si sosok Nano dalam novel Cermin Merah
pengarangnya. (CM)-nya. Novel CM pernah masuk
Dalam hal ini, slogan Lacan dalam 5 nominasi Khatulistiwa Literary
adalah “penanda mewakili subjek bagi Award tahun 2005
penanda lainnya”. Bila karya sastra (http://khatulistiwaliteraryaward.wordp
dianggap sebagai penanda (bahasa) ress.com). Penulis menganggap bahwa
perwakilan subjek pengarang, maka ada novel ini dapat mewakili dari karya-
penanda lainnya yang berbeda dari karya Nano yang lain dalam
subjek pengarang. Bahasa (penanda) menemukan hasratnya. Diskriminasi
menjadi tujuan penting dalam kajian yang terjadi terhadap kaum-kaum yang
psikoanalisis Lacanian karena dipinggirkan, yang tergambar dalam
ketidaksadaran terstruktur seperti karya-karyanya, telah membawa
bahasa yang memainkan peranannya di dampak akan hilangnya harmonisasi di
dalam metafora dan metonimia. Dalam dalam kehidupan manusia tersebut.
perspektif lacanian, Seperti yang Kehilangan harmonisasi inilah yang
dikemukan oleh Faruk, memahami penulis asumsikan telah menjadi
karya sastra adalah usaha untuk keresahan/kegelisahan Nano.
menemukan ketidaksadaran subjek Asumsi lainnya adalah adanya
dalam mencari keutuhan/kepenuhan satu perasaan persamaan identitas yang
dirinya. Oleh karena kondisi tertindas dalam sebuah wacana sosial
ketidaksadaran itu tidak mungkin untuk bagi Nano sendiri. Itulah mengapa
diakses sepenuhnya, maka untuk dapat Lacan mengatakan (dalam Sarup,
memahami karya sastra tersebut adalah 2011) individu tidak terpisah dari
dengan cara melihat bahasa karya sastra masyarakat. Nano tidak bisa dipisahkan
tersebut, yaitu melalui fenomena dari masyarakatnya. Masyarakat ada
metafora dan metonimia (Faruk, 2012, dalam diri setiap individu. Maka,
hlm. 197). Melalui metafora dan jawaban atas kedua pertanyaan tersebut
metonimia yang digunakan sebagai alat ada pada prinsip kekurangan (lack)
atau media karya sastra oleh pengarang Lacanian. Dalam bahasa Lacanian
ini akan dapat ditemukan bagaimana dikatakan sebagai subjek-subjek yang

268
Ricky Aptifive Manik: Hasrat Nano Riantiarno dalam…

terbelah ($). Wacana ini cenderung dua bentuk hasrat, yaitu hasrat ingin
mengkonstruksi dalam bentuk menjadi (narsisistic desire) dan hasrat
perbedaan, seperti perempuan/laki-laki, ingin memiliki (anaklitic desire).
yang baik/tidak baik, benar/tidak Karya sastra dapat dijadikan
benar, normal/tidak normal dan lain media bagi pengarang dalam
sebagainya oleh sebuah tatanan memanifestasikan hasrat ingin menjadi
simbolik, seperti agama, masyarakat dan hasrat ingin memilikinya, yaitu
(adat), dan negara. Wacana ini terjadi dengan menghadirkan baik secara
pada diri subjek pada fase yang disebut eksplisit maupun implisit tokoh-tokoh
sebagai fase cermin, dimana seseorang ideal dan dunia-dunia ideal di dalam
akan melihat diri-diri yang ideal dalam karyanya, di mana subjek-subjek yang
konstruksi Yang Simbolik. Fase cermin ada di dalamnya digambarkan atau
ini ditafsirkan oleh Althusser sebagai dibayangkan memiliki keutuhan akan
Ideological State Apparatus (ISA). identitasnya. Jika secara eksplisit yang
Ideologi Aparatus Negara (ISA) dihadirkan adalah tokoh-tokoh ironi
menurut Althusser berbeda dari atau dunia-dunia ironi, maka secara
aparatus negara (State Apparatus, SA). implisit atau yang tidak tampak adalah
SA memuat: pemerintah, administrasi, gambaran tentang yang ideal tersebut.
angkatan bersenjata, polisi, pengadilan, Hal mengenai yang ideal ini muncul
penjara, dsb yang kemudian disebutnya sejak pengenalan diri pada cermin dan
sebagai aparatus Negara Represif. selalu menyertai dalam kehidupan
Sedangkan ISA memuat: agama, manusia (baca: pengarang) itu.
pendidikan, keluarga, hukum, politik, Oleh karena itu, menulis karya
serikat buruh, komunikasi, dan budaya. sastra adalah sebagai kanal tempat
Perbedaan keduanya terletak pada mengalirnya hasrat Nano selaku
praktiknya. Bila SA pada praktiknya pengarang. Maka dari itu, menelisik
lebih menonjol lewat represif, ISA lebih aspek intrinsik yang ada di dalam karya
menonjol lewat ideologi. (Althusser, tersebut menjadi hal penting, sebab
2010, hlm. 19-21). bahasa yang menjadi media dalam
ISA inilah yang justru membuat karya tersebut merupakan alat penting
diri subjek/manusia/Nano itu terpenjara dalam telisik psikoanalisis Lacanian.
secara simbolik yang kemudian Menelisik aspek intrinsik ini menjadi
membuat dirinya menjadi split jendela dalam melihat persoalan
(terbelah), yakni diantara keinginan wacana sosial yang disampaikan oleh
asali dan keinginan ISA (Yang pengarang melalui karyanya yang
Simbolik). Namun senyatanya, merupakan metafora-metafora hasrat
keinginan asali cenderung disimpan pengarang yang termanifestasikan.
rapat-rapat agar tak mencuat keluar, Berdasarkan pemaparan di atas,
yang dimunculkan hanya apa yang maka masalah yang ingin penulis
menjadi keinginan Yang Simbolik. rumuskan dalam penelitian ini hanya
Itulah sebabnya mengapa Lacan satu hal pokok saja, yaitu: apa dan
mengatakan bahwa ego itu ilusif. bagaimana hasrat Nano sebagai hasrat
Ketegangan-ketegangan akan subjek yang berkekurangan (lack) di
kekurangan eksistensial ini yang secara dalam Cermin Merah. Tujuan dari hasil
terus-menerus berlangsung sepanjang penelitian ini adalah mengidentifikasi
hidup subjek/Nano. Dari kekurangan hasrat Nano dan mendeskripsikan
eksistensial ini memunculkan hasrat bagaimana hasrat itu terbentuk yang
pada diri subjek yang terbagi menjadi

269
Kandai Vol. 11, No. 2, November 2015; 266—280

dimanifestasikannya di dalam Cermin atau tatanan dalam psikis manusia.


Merah. Yang pertama dinamakan fase pra-
Nano lebih dikenal sebagai odipal pada tatanan Real (the Real), fase
seorang dramawan atau teaterawan. cermin pada tatanan Imajiner (the
Tidaklah mengherankan bila penelitian Imaginary), dan fase odipal pada
terhadap karya-karya Nano lebih tatanan Simbolik (the Symbolic).
banyak dilakukan pada naskah-naskah Pada fase pra-odipal, seperti
dramanya. Dari sekian banyak halnya Freud, Lacan juga mengatakan
penelitan yang dilakukan terhadap pada fase ini bayi belum mengenali
karya-karya Nano, belum ada yang dirinya dan batasan egonya. Diri bayi
melihat dan menemukan apa yang merasa satu dengan diri ibunya bahkan
membuat Nano sebegitu produktifnya. juga dengan diri yang lain, tak ada yang
Syaiful Anwar dalam tesis S2 (UGM) membedakan. Bayi dan ibu masih
yang kemudian dibukukan dengan judul merupakan kesatuan. Dalam fase
N. RIANTIARNO: Dari Rumah Kertas cermin, terjadi tiga hal penting. Pertama
Ke Pentas Dunia (2005) hanya adalah pada saat bayi menyadari
menuliskan mengenai siapa Nano dan keterpisahannya dengan ibunya. Hal ini
kehidupannya dalam menghasilkan membuat sang bayi merasa kehilangan,
karya-karya, serta faktor-faktor yang kekurangan, dan ingin menyatu
menyebabkannya menjadi seniman kembali dengan ibu. Akan tetapi, bayi
teater Indonesia. Penelitian ini belum masih belum mengetahui konsep “diri”-
sampai pada hal yang substansi nya. Hal ini membawa bayi pada hal
mengenai apa yang menjadi keinginan penting berikutnya, yaitu dari
Nano yang sebenarnya. kebutuhan menjadi permintaan. Kedua,
Novel CM sendiri pernah diulas dikarenakan kebutuhannya tak lagi
oleh Maman S. Mahayana dalam secara otomatis terpenuhi, maka sang
bukunya yang berjudul Ekstrinsikalitas bayi harus memintanya. Akan tetapi,
Sastra Indonesia (2007). Dari ulasan bayi tak dapat mengartikulasikan
tersebut, Maman lebih melihat aspek permintaannya dengan tepat.
ekstrinsikalitas dalam karya tersebut. Akibatnya, sang ibu atau siapa pun
Akan tetapi, ia juga mengatakan bahwa tidak dapat memenuhi permintaannya.
masalah psikologis memberi peranan Disini, bayi hanya bisa menangis
penting dalam membangun karakter karena bayi belum memiliki bahasa.
tokoh (Mahayana, 2007). Pembicaraan Hal ketiga yang terpenting
lebih jauh mengenai masalah psikologis lainnya adalah di mana terjadi proses
dalam ulasannya tidak dibicarakan. identifikasi pada bayi. Imajiner adalah
Jadi, di dalam ulasannya tersebut tidak istilah yang dipakai Lacan untuk
dapat dikatakan sebagai ulasan menyebut proses pembentukan subjek
mengenai psikologi dan tidak sama yang didominasi oleh identifikasi dan
sekali menggunakan pendekatan atau dualitas, sebelum pengenalan pada
metode psikologi. bahasa (Hartono, 2007, hlm. 23).
Identifikasi menurut Lacan adalah suatu
LANDASAN TEORI transformasi yang terjadi pada benak
subjek saat ia membayangkan suatu
Untuk mendapatkan konsep diri, citra, seperti yang ditulisnya dalam
Lacan membagi proses pembentukan artikel panjangnya, Ecrits: “the
subjek itu ke dalam tiga fase yang transformation that takes place in the
memiliki hubungan dengan tiga ranah subject when he assumes an image”

270
Ricky Aptifive Manik: Hasrat Nano Riantiarno dalam…

(Lacan, 1977, hlm. 2). Identifikasi berkaitan dengan yang lain.


pertama kali yang dilakukan oleh bayi Mengakuisisi akan objek ini dapat
pada saat dirinya melihat cermin adalah memberikan suatu jouissance. Arti
mencampuradukkan bayangannya jouissance disini tidak dapat diartikan
dengan bayangan orang lain. Di sinilah sebagai “kenikmatan” saja, karena
bayi mengalami kesalahmengertian dalam konteks Lacanian, jouissance
(misrecognition) terhadap dirinya seperti kenikmatan yang paradoksal:
sendiri. Namun, pada saat itulah bayi disatu sisi membawa nikmat, tetapi di
mulai belajar untuk menciptakan sisi lain membawa derita.
konstruksi suatu pusat atau yang Lacan Untuk dapat memahami
sebut sebagai ‘ego ideal’. Kemudian, bagaimana subjek terus menerus
ketika si anak tumbuh dewasa, ia akan mencari objek a yang senyatanya tidak
terus membuat identifikasi imajiner akan pernah ia dapatkan adalah dengan
dengan objek-objek yang ditemuinya. memahami tentang fase cermin kedua
Fase ketiga adalah fase odipal Lacanian: Kompleks Odipus dan
atau tatanan Simbolik. Pada fase inilah Bahasa.
anak harus mengalami kastrasi, di mana Pada fase cermin yang kedua ini,
anak harus berpisah dari ibunya. Ibu anak belajar konsep citra. Fungsi
dipandang sebagai Liyan sebab ibu tak cermin, pada tahap Kompleks Odipus
lagi dilihat sebagai satu-kesatuan pada dipresentasikan oleh orang tua. Artinya,
diri sang anak. Kemunculan ayah orang lain pertama yang memberi
memperparah hubungan antara ibu dan identitas pada diri subjek adalah orang
anak. Kehadiran ‘ayah simbolik’ tua, khususnya ibu. Triangulasi Freud
menyebabkan anak kehilangan obyek dalam menjelaskan relasi antara anak-
hasratnya, yakni ibu (liyan). Konsep ibu-ayah ditransformasikan oleh Lacan.
liyan (‘l’ kecil) merujuk pada objek Ayah biologis Freud diterjemahkan
hasrat yang disebut Lacan sebagai Lacan sebagai ayah simbolis dengan
objek a. Sedangkan Liyan (‘L’ kapital) konsep “atas-nama-ayah”. Konsep
merupakan pusat otoritas kultural “atas-nama-ayah” adalah representasi
Simbolik. Oleh Freud dinamakan dari semua bentuk jejaring kultural
sebagai Phallus (Lacan, 1988, hlm. 243- yang menentukan identitas anak.
247). Kompleks Odipus dilihat sebagai
Konsep hasrat ini juga berangkat momen di mana anak menyadari diri,
dari suatu kegelisahan (anxiety). orang lain, dan dunia.
Gagasan kegelisahan adalah selalu Bahasa merupakan representasi
merupakan reaksi akan suatu jejaring kultural yang paling dominan
kehilangan. Kehilangan merupakan dalam mendefinisikan subjek. Menurut
gagasan yang fundamental dalam Lacan, subjek ditentukan oleh bahasa,
konsepsi subjek dalam psikoanalisis malahan subjek tidak mungkin ada
Lacanian. Namun, kehilangan di sini tanpa bahasa. Dengan kata lain, tidak
merupakan suatu persepsi atau ada subjek yang bebas dari bahasa.
kesalahmengiraan tentang adanya yang Semua subjek tenggelam dalam bahasa
hilang. Apa yang hilang itu? Tidak lain dan tidak pernah lepas dari bahasa
adalah objek-penyebab-hasrat, atau sehari-hari. Semua manusia
yang disebut Lacan sebagai objek a mempresentasikan diri melalui bahasa
(objek petit a). Huruf “a” merupakan dan bahasa adalah jalan menuju domain
singkatan bahasa Perancis ‘autre’ sosial (Hartono, 2007, hlm. 26-27).
(other). Hasrat Lacanian selalu

271
Kandai Vol. 11, No. 2, November 2015; 266—280

Dengan tenggelam ke dalam METODE PENELITIAN


bahasa, manusia masuk ke dalam
“permainan bahasa” dengan segala Penelitian terhadap CM ini
atribut linguistiknya. Permainan atribut menerapkan metode Psikoanalisis
bahasa inilah yang kemudian Lacanian. Metode ini berangkat dari
menentukan identitas subjek: asumsi teoretik bahwa identitas
menentukan wilayah sadar (Ego) manusia (subjek) atau masyarakat
subjek. Ada dua cara kerja bahasa terbentuk dari hasratnya yang
dalam memengaruhi identifikasi merupakan produk ketidaksadaran. Apa
subjek. Pertama, bahasa yang bekerja yang membentuk diri (ego) berasal dari
dengan hukum pembedaan ketidaksadaran. Faruk mengemukakan
(metonimia). Kedua, adalah fungsi bahwa teori psikoanalisis Lacan
metaforisitas penanda. menganggap alam bawah sadar
Metafora dan metonimia manusia selalu dalam keadaan
merupakan dua jenis negosiasi utama “kurang”, merasa ada yang hilang
yang berlangsung pada penanda- sehingga tumbuh hasrat dan usaha yang
penanda. Dalam pemikiran Lacan, terus-menerus untuk menutupi
metonimia terkait dengan cara penanda- kekurangan itu, menemukan kembali
penanda itu terhubung dengan penanda apa yang hilang, membuat manusia
lain dalam sebuah rantai dan akhirnya kembali lengkap, sempurna, utuh,
dengan seluruh jaringan memberikan menemukan identitasnya, menjadi
jalur tempat bekerjanya identifikasi dan dirinya kembali (Faruk, 2012, hlm.
hasrat. Bracher (2009) mengatakan 196).
bahwa metonimia adalah sebuah fungsi
yang dengannya diskursus membentuk PEMBAHASAN
persekutuan dan pertentangan pada
penanda-penanda ini. Karya sastra yang diproduksi
Menurut konsep bahasa pengarang juga merupakan produk
Lacanian, suatu penanda selalu hasrat pengarang/manusia sebagai
menandakan penanda lain; tidak ada subjek. Untuk mendapatkan konsep diri
kata yang bebas dari metaforisitas manusia (subjek) dari lahir menuju
(metafora adalah penanda yang dewasa yang dinamakan sebagai
menandakan penanda lain). Lacan Kompleks Oedipus, manusia harus
bicara tentang glissement menempuh tiga fase yang berhubungan
(keterpelesetan, ketergelinciran) dalam dengan tiga ranah (register) atau
mata rantai penandaan, dari penanda tatanan (order) psikisnya, yaitu: fase
yang satu ke penanda yang lain. Karena pra-oedipal pada tatanan Real (the
setiap penanda dapat menerima Real), fase cermin pada tatanan
pemaknaan, maka tidak pernah ada Imajiner (the Imaginary), dan fase
makna yang tertutup, makna yang odipal pada tatanan Simbolik (the
memuaskan (Sarup, 2009, hlm. 10). Simbolic). Ketiga tatanan ini senantiasa
Metafora merepresentasikan salah satu mengiringi setiap langkah hidup
cara yang digunakan untuk menstruktur manusia itu. Dikatakan bahwa, subjek
pelbagai macam wacana. Lacanian adalah subjek yang terbelah
(split), kekurangan, dan tidak utuh.
Dalam konsep kekurangan ini, Lacan
melihatnya ada determinasi antara
Yang Real dan Yang Simbolik. Oleh

272
Ricky Aptifive Manik: Hasrat Nano Riantiarno dalam…

karena itu, subjek ini terus mencari sayembara novel Majalah Femina dan
kepastian diri, yang seringkali mengacu Kartini (Anwar, 2005, hlm. 61). Untuk
pada Yang Lain. Dalam usaha menjaga produktivitasnya dalam
pencarian inilah subjek mengkonstruksi menulis, dapat dipastikan, bahwa selain
dirinya terhadap realitas. membaca, Nano juga menyerap banyak
Pengkonstruksian diri ini mengandung hal untuk dipelajari sebagai sumber
hasrat (desire) pada diri subjek. inspirasi yang kemudian menjadi ide
Faruk mengatakan bahwa bahasa dalam tulisannya. Lingkungan sosial di
merupakan sebuah tatanan kultural sekitarnya, yaitu Jakarta, merupakan
yang menanamkan subjektivitas bagi hal-hal yang sering muncul sebagai ide-
manusia, membuat manusia ide kreatif menulisnya, di samping
menemukan identitas atau dirinya. pengetahuannya tentang sejarah, seni,
Namun, apa yang dilakukan bahasa budaya, psikologi, sosial, dan lain
pada subjek itu bersifat mendua: di satu sebagainya. Kritik-kritik sosial yang
pihak memberikan rasa subjektivitas, di acap hadir dalam naskah-naskah drama
lain pihak menjauhkan sang subjek dari dan pentas Teater Komanya seringkali
diri asalinya. Bahasa, dengan demikian, membuat marah para penguasa Orde
justru memperkuat rasa kurang dan rasa Baru. Oleh karenanya, Nano dan
kehilangan di atas (Faruk, 2012, hlm. kelompok teaternya tak luput dari
196). pencekalan-pencekalan yang berupa
Dengan menemukan dan pelarangan pentas (Anwar, 2005, hlm.
mengidentifikasi hasrat yang ada dalam 70-72).
CM ini, maka melalui metode subjek Pencekalan yang dialami Nano
Lacanian ini pula akan ditemukan apa tidak menyurutkan produktivitasnya.
yang menjadi hasrat Nano sebagai Karya-karyanya yang lahir justru
subjek yang berkekurangan. Hal ini banyak yang memperjuangkan identitas
penting karena hasrat akan menentukan kaum pinggiran (orang-orang miskin di
arah ‘menjadi’ seseorang dan apa yang Jakarta, orang-orang yang dianggap
ingin ‘dimiliki’. ‘abnormal’ seperti kaum Lesbian, Gay,
Biseksual, dan Transeksual, atau yang
Tentang Nano Riantiarno dan disingkat dengan LGBT) dan orang-
Karyanya orang terkena dampak politik
stigmatisasi seperti etnis Tionghoa dan
Nano adalah seorang sastrawan keluarga PKI, seperti yang bisa dilihat
yang lebih di kenal lewat naskah- dari naskah-naskah dramanya, yaitu
naskah dramanya. Ia juga dikenal trilogi Kecoa dan naskah-naskah yang
sebagai sutradara sekaligus pendiri disadur dari cerita negeri Cina (Sampek
Teater Koma (Anwar, 2005, hlm. 61). Engtay dan Sie Jin Kwie). Hal ini
Selain menulis naskah drama untuk menjadi bukti bahwa, keberadaan
pentas teater Koma, ia juga menulis identitas kaum yang terpinggirkan atau
puisi, cerpen, skenario film dan novel. bahkan diabsensi ini membawa
Meskipun tidak seproduktif menulis kegelisahan pada diri Nano. Penulis
naskah drama, skenario filmnya yang menduga ada pertanyaan yang implisit
berjudul Jakarta-Jakarta pernah pada diri Nano yang termanifestasi
memenangi Piala Citra pada Festival dalam karya-karyanya perihal identitas-
Film Indonesia tahun 1978. Dua identitas yang terpinggirkan ini.
novelnya yang berjudul Ranjang Bayi Misalnya, mengapa keberadaan kaum
dan Percintaan Senja, meraih hadiah LGBT ini cenderung dianggap

273
Kandai Vol. 11, No. 2, November 2015; 266—280

‘abnormal’, ‘perilaku menyimpang’, “Bagi Ayah, pekerjaan


dan ‘sakit’ di dalam lingkungan adalah segala-galanya...”
sosialnya. Pertanyaan ini tentu saja “Ayah sangat patuh kepada
berlaku untuk identitas-identitas lain aturan jawatan. Tak pernah
yang juga mendapatkan perlakuan yang mangkir kerja hanya karena
sama: stigmatisasi. Diskriminasi yang malas. Sakit pun kalau Cuma
terjadi terhadap kaum-kaum yang pilek, bukan halangan. Dia
dipinggirkan ini menyebabkan tetap berangkat kerja. Sungguh
hilangnya harmonisasi di dalam pegawai teladan. Rajin dan
kehidupan manusia tersebut dan jujur. Bertanggung jawab dan
muncul sebagai kegelisahan Nano. tak pernah ngomel soal gaji
yang kecil. Sifatnya seperti
Sudut Pandang “Aku” terhadap satria wayang, jarang ditemui
Citra Liyan pada zaman sesusah waktu
itu.” (Riantiarno, 2004, hlm. 9)
Kakak dan Ayah adalah citra
pertama si Aku dalam pembentukan diri Penanda-penanda identitas yang
atau proses identifikasi identitasnya. melekat pada sosok Ayah merupakan
Pemerolehan identitas bagi subjek citra ego ideal bagi subjek, seperti
dalam konsep Lacan dimulai pada tahap ‘pekerjaan adalah segala-galanya’
cermin atau dalam tatanan Imajiner. Ibu adalah metafora bagi ‘kehidupan’,
adalah cermin pertama yang dijadikan bahwa hidup itu harus bekerja. Dengan
objek identifikasi identitas anak. Hasrat bekerja, manusia akan mendapatkan
ibu adalah hasrat pertama bayi yang sumber kehidupannya. Secara
diidentifikasikannya. Momen ini metonimia, penanda tersebut dapat
berlangsung terus menerus dalam menjadi pengganti penanda
kehidupan manusia. Objek-objek, liyan, ‘komitmen’, ‘loyal’, ‘setia’, ‘sabar’,
penanda-penanda merupakan citraan- ‘taat’, ‘patuh’, ‘teladan’, ‘rajin’, jujur’,
citraan yang diidentifikasi untuk ‘bertanggung jawab’, dan sebagainya.
membentuk ego subjek sekaligus Pada Herman, kakaknya si Aku,
identitasnya. Keberlangsungan momen beberapa penanda yang menjadi
ini secara terus-menerus adalah adanya identitas Herman tersebut juga menjadi
keinginan untuk kembali pada Yang citraan ego ideal untuk
Real, di mana yang ada hanya keutuhan, ditransformasikan ke dalam diri subjek.
kepenuhan, bukan kekosongan, Herman adalah seorang mahasiswa
kekurangan dan kehilangan. fakultas hukum, aktif dalam seni teater
Dalam pembentukan ego, subjek di kota C, suka membaca buku, pintar
mengambil citraan-citraan yang ada di dalam membaca puisi, suka melukis,
sekitarnya. Pada awalnya, citraan yang jago dalam bermain sepak bola, dan
menjadi proses identifikasi adalah gemar mendaki gunung. Selain pintar,
keluarga. Dalam CM ini, Kakak dan Herman adalah seorang yang
Ayah merupakan citraan pembentuk bertanggung jawab terhadap dirinya,
ego bagi si Aku. Hal ini dapat dilihat punya keyakinan yang kuat, optimisme
dari sudut pandang Aku dalam terhadap pilihannya. Hal tersebut
mengidentifikasi identitas yang terlihat pada pilihan hobinya, yaitu
terdapat pada diri liyan, yaitu Ayah dan mendaki gunung dan mencintai
Kakak. kesenian. Dari karakter inilah membuat
kedua orang tua si Aku sangat

274
Ricky Aptifive Manik: Hasrat Nano Riantiarno dalam…

menyukai kakaknya dan manaruh menyubjeksikan manusia. Penanda-


harapan keluarga. Apa yang menjadi penanda tersebut menjadi sesuatu yang
penanda identitas pada Herman juga umumnya dihasrati orang, utamanya
menjadi citra ego ideal bagi diri subjek. sebagai seorang laki-laki. Dengan
Sudut pandang ini dapat dilihat dari menginternalisasi penanda-penanda
kutipan-kutipan berikut. identitas tersebut, orang merasa akan
mendapat keutuhan pada penanda
“Semangat hidup Kakak identitas itu, yaitu disukai, dicintai,
luar biasa. Gairah meluap- disanjung, dipuja, dan sebagainya.
luap. Seluruh waktu dia Penanda-penanda identitas itu menjadi
manfaatkan untuk hal-hal yang metafora bagi kesempurnaan diri. Diri
berguna bagi dirinya. Dia cinta yang perfeksionis, yang selalu dihasrati
kesenian, bahkan karena seolah memberikan keutuhan
berkecimpung di dalamnya, identitas diri.
tapi tidak anti sport. Dia jago
deklamasi, suka menulis puisi, Sudut Pandang tentang
mempelajari seni drama dan “Homoseksual”
menggemari senilukis, tapi di
tim sepak bola kota, dia Di dalam novel CM pengarang
bintang lapangan. Waktu juga menghadirkan persoalan tentang
luang baginya hanya ketika homoseksual. Persoalan ini sampai
tidur.” (Riantiarno, 2004, hlm. sekarang masih mengalami perdebatan
33) antara menerima dan tidak menerima
keberadaan identitas tersebut, terutama
“Herman pandai di Indonesia yang secara sosiologis
memelihara badan. Lihat saja! memiliki perbedaan mitos dan
Tubuhnya begitu ideal bagi kepercayaan masyarakatnya. Mengenai
lelaki muda seusianya. persoalan ini, Nano memiliki
Tampan. Dada bidang, bahu pandangan terhadap wacana
kekar dengan otot-otot yang homoseksual dan pandangan tersebut
kukuh. Tangannya halus secara metafora dihadirkan melalui
seperti tangan perawan.” tokoh-tokoh di novel CM.
(Riantiarno, 2004, hlm. 71) Nano menggambarkan dalam CM
bahwa munculnya atau salah satu
Penanda-penanda identitas seperti penyebab seseorang menjadi
‘semangat’, ‘bergairah’, ‘jago’, ‘penulis homoseksual bukan karena kurangnya
puisi’, ‘pemain drama’, ‘bintang mendapat perhatian dari keluarga atau
lapangan’, ‘tubuh ideal’, ‘tampan’, dan trauma masa lalu seperti umumnya
lainnya adalah citraan-citraan ideal yang disimpulkan oleh ahli psikologis.
yang juga menjadi hasrat akan identitas Ada tiga tokoh yang digambarkan
subjek. Secara tidak langsung, sebagai homoseksual dalam CM, yakni
identifikasi citraan identitas itu telah tokoh Aku (Arsena), Anto, dan Edu.
tertransformasi dalam benak subjek. Munculnya orientasi seksual tokoh Aku
Seperti yang dikatakan oleh Lacan, “the pertama kali digambarkan pada saat
transformation that takes place in the bersama dengan Anto. Nano seperti
subjek when he assumes an image” menjelaskan bahwa apa yang menjadi
(Lacan, 1977, hlm. 2). Di dalam tatanan penyebab munculnya homoseksual bagi
Simbolik, yaitu bahasa akan selalu si Aku adalah secara tiba-tiba, sesuatu

275
Kandai Vol. 11, No. 2, November 2015; 266—280

yang muncul dari ketidaksadaran. mencari kesenangan seksual dalam


Dalam Lacan, sesuatu yang mencuat gejala-gejala mereka, biasanya secara
keluar dari ketidaksadaran adalah sembunyi-sembunyi (Hill, 2002, hlm.
keinginan (Yang Real) yang terepresi. 54). Jouissance (penikmatan) kerap
Dalam hal ini, kemunculan hasrat kali merupakan kesenangan yang tak
seksual digambarkan bahwa adanya disadari Jouissance sendiri di dalam
keinginan akan kesatuan diri. Lacan merujuk kepada segala hal yang
Perhatikan kutipan ini. dicari dan harus dipenuhi sebagai
semacam substitusi akibat kehilangan
“Waktu itu aku merasa seperti kesatuan ‘ibu-anak’, Jouissance adalah
pria sejati dan Anto gadis yang produk dari trauma terlemparnya anak
mendambakan cinta. Aku tak tahu ke dalam Yang Simbolik yang
dari mana sumber perasaan liar mengakibatkan fantasi nostalgis untuk
macam itu. Tapi memang mencari dan menemukan kembali
mendadak muncul begitu saja. kesatuan primordial dengan tubuh ibu
Dan dada rasanya mau meledak. itu sepanjang hayat (rasa aman,
Nafasku berat, beberapa kenyang, lengkap).
menyangkut di tenggorokan.
Getaran aneh berhasil “Tampaknya begitu pula
membukakan katup gairah hubunganku dengan dia. Mulanya
kejantanan. Seharusnya aku malu. asing dan bikin jengah.
Tapi memang, kemaluanku Kemudian, ketika keintiman
berdiri. Harus kuakui. Wajah itu? terjalin, semua tindakan
Lalu bagaimana? Kuterima penyatuan tubuh jadi wajar lalu
cintanya? Kemudian kami aku ketagihan. Memang
berpelukan. Disusul sebuah memalukan tapi kenyataan.”
ciuman? Apa wajar? Anto bukan (Riantiarno, 2004, hlm. 53)
seorang gadis.” (Riantiarno,
2004, hlm. 94) Sesuatu yang “aneh” inilah yang
menjadi resistensi hasrat akan identitas
Kutipan di atas menggambarkan bentukan Yang Simbolik yang akhirnya
adanya kemunculan determinasi antara membawa subjek pada keambiguan
keinginan Yang Real dan tuntutan Yang diri. Maka muncul pertanyaan, ‘Lalu
Simbolik. Di saat manusia diatributi bagaimana?’, ‘Kuterima cintanya?’,
oleh sebuah identitas pada dirinya, ‘Apa wajar?’. Sampai pada pandangan
seperti ‘laki-laki’, maka manusia itu ini, Nano seolah masih
harus tunduk pada kendali sistem tanda. mempertanyakan ‘orientasi seks yang
Menjadi ‘laki-laki’ dalam konteks seperti apa yang dianggap wajar itu?’
sosiokultur akan diikuti oleh penanda
‘menyukai perempuan’, ‘kuat’, “Boleh heran. Tapi kenapa
‘jantan’, dan sebagainya. Akan tetapi, harus memandang dengan mata
Nano seolah menggambarkan adanya menyelidik? Bukankah kami juga
kemunculan sesuatu yang ‘aneh’ (Yang tak peduli siapa dan mau apa
Real) yang justru menghadirkan mereka di sini? Seharusnya
kenikmatan (jouissance). Hill mereka bersikap seperti kami.
mengatakan bahwa Lacan Tak peduli.” (Riantiarno, 2004,
menggunakan kata Jouissance karena hlm, 52)
menurut hematnya orang-orang

276
Ricky Aptifive Manik: Hasrat Nano Riantiarno dalam…

“Anto tidak pernah peduli. Dia jawab. Lalu kehidupan berjalan.


diam seakan pasrah. Justru aku Apa salah?” (Riantiarno, 2004,
yang merasa kasihan. hlm. 358)
Ketidakwajaran apa yang ada
pada Anto? Bagiku, dia wajar dan Pandangan ini bukan berarti
biasa. Hanya, memang, agak mengindikasikan hasrat Nano akan
seperti perempuan. Lalu orientasi seksualnya, tapi bukan berarti
mengapa? Biasa ‘kan? Pernah tidak mungkin pula. Secara metaforik,
kutanyakan perihal ‘keunikan’ tokoh Aku dan Anto ibarat atau
Anto kepada Ayah dan Ayah representasi dari orang-orang yang
berusaha menjelaskan. terpinggirkan, orang-orang yang
keberadaannya cenderung tidak
“Di dunia, ada lelaki dan mendapat pengakuan. Tindakan
perempuan. Yang lelaki akan menerima hasrat Anto dan juga
merasa kelelakiannya, begitu juga menikmatinya adalah metafora dari
yang perempuan. Jika seorang tindakan menghargai keberadaan orang
lelaki merasa dia itu perempuan, lain. Dengan menghargai orang lain,
mungkin ada yang salah dalam maka akan menerima ‘kenikmatan’
tubuh dan jiwanya. Tidak perlu (cinta) Liyan. Dari identifikasi
dimusuhi. Kalau bisa, malah penanda-penanda ini maka dari sudut
harus disembuhkan. Entah pandang Aku pengarang, penulis
bagaimana caranya.” Penjelasan melihat pandangan ini sebagai hasrat
Ayah sederhana, tapi aku masih pengarang ingin menjadi ‘orang yang
belum mampu memahami. memahami perbedaan’, ‘menghargai
perbedaan’, atau lebih tepatnya menjadi
“Di dalam pewayangan,” kata ‘orang baik’ dan ‘bijaksana’.
Ayah lagi. “Ada yang disebut
kenya wandu. Kenya itu gadis, Sudut Pandang Stigma PKI
wandu artinya banci. Bukan lelaki
juga bukan perempuan. Jadi Di dalam CM, Nano
memang sudah ada sejak zaman menggambarkan manusia yang kurang
pewayangan. Alam memberi (lack) akibat politik stigmatisasi
lengkap. Ada kiri, kanan, dan sebagai keluarga tapol. Stigmatisasi ini
tengah. Itu yang disebut menyebabkan tokoh Aku mengalami
keseimbangan. Harmoni. Sebagai keterbatasan ruang sosialnya. Untuk
sesama makhluk Tuhan, tidak mendapatkan pekerjaan seperti orang
baik memusuhi mereka yang lain lazimnya, ia harus mengantongi
tidak sama dengan kita.” surat bebas G-30-S/PKI.
(Riantiarno, 2004, hlm. 66-67)
“Setiap kantor menanyakan
“Aku sudah menapaki jalan surat atau kartu bebas G-30-
hidup dengan sadar. Hidup S/PKI. Semula aku tidak
bersama adalah hidup bersama, menyangka kartu itu begitu
dengan seorang perempuan atau penting. Tapi, memang sangat
lelaki, sama saja. Semua terjadi penting dan jadi prasyaratan
karena komitmen. Dua orang mutlak bagi semua kegiatan,
yang berikrar, dua pihak yang terutama yang berhubungan
menjalaninya dengan tanggung dengan lembaga pemerintah.

277
Kandai Vol. 11, No. 2, November 2015; 266—280

Bukan hanya untuk memperoleh demikian, aku, anak ayahku, juga


pekerjaan atau melanjutkan dianggap terlibat. Kartu Tanda
sekolah, bahkan untuk Penduduk diberi cap perihal
memperoleh surat kelakuan baik keterlibatanku dengan partai
pun harus dengan syarat kartu terlarang itu. Padahal aku sama
bebas G-30-S/PKI. (Riantiarno, sekali tak pernah punya urusan
2004, hlm. 29) dengan partai politik mana pun.
Aku bahkan tidak pernah
“...Tapi kini kenyataan, siapa mempelajari komunisme.”
pun aku, surat bebas G-30-S/PKI (Riantiarno, 2004, hlm. 29-30)
tak akan mungkin bisa diperoleh.
Sebuah surat, sebuah kartu, ibarat Pandangan ini seperti mewakili
kunci pintu. Tanpa kartu itu tak penanda identitas orang-orang yang
akan ada satu pintu pun yang mengalami stigmatisasi. Nano hendak
membuka. (Riantiarno, 2004, mengkomunikasikan bahwa orang-
hlm. 30) orang yang distigmatisasi kemungkinan
tidak pernah terlibat pada partai
Untuk dapat masuk dalam ruang komunis atau mempelajari idiologi
sosial, subjek harus mengakuisisi tersebut. Bahwasanya mereka juga
penanda identitas yang diakui, diterima, memiliki keyakinan dan melakukan
bahkan dicintai oleh Liyan yang perbuatan baik agar dicintai Liyan yang
Simbolik. Kartu bebas G-30-S/PKI Simbolik. Akan tetapi tetap saja Yang
dapat dianggap sebagai metafora bagi Simbolik membawa pada
penanda identitas yang diakui. ketidakjelasan identitas diri. Sekalipun
Seseorang akan diakui dan diterima telah mengidentifikasi diri pada hal
keberadaannya jika memiliki ‘kartu yang dicintai oleh Liyan, orang-orang
bebas’ tersebut, sebuah ‘surat’, ‘kunci masih saja mengalami stigmatisasi.
pintu’. Stigmatisasi yang digambarkan
Penangkapan besar-besaran dan oleh Nano dalam CM ini baik perihal
pelenyapan terhadap orang-orang yang homoseksual atau komunis adalah
memiliki identitas Komunis di metafora dari ketidakjelasan identitas
Indonesia sejak G-30-S/PKI merupakan diri atau sebuah diri yang ambigu.
penghancuran sistem makna terhadap Stigmatisasi adalah ancaman kastrasi
identitas tersebut. Penghancuran sistem bagi diri subjek. Hal inilah yang
makna yang dilakukan oleh politik menyebabkan subjek menjadi terbelah
Orde Baru membawa pengalaman yang ($), selalu berkekurangan, dan tidak
menyakitkan bagi eksistensi orang- utuh. Stigmatisasi menjadi suatu
orang yang diberi label komunis. kehilangan bagi diri subjek. Dalam hal
Melalui pelabelan ini, baik bagi mereka ini yang dikira hilang adalah
yang memiliki keterlibatan atau ‘kebebasan’, seperti yang telah dibahas
tuduhan hingga ke keluarga telah sebelumnya. Stigmatisasi adalah
membawa dampak pada ketidakpastian ancaman hilangnya ‘kebebasan’ subjek
jati diri mereka. dalam menentukan keinginannya. Yang
Simbolik hadir dalam rupa konkretnya:
“Aku tidak mungkin bisa stigmatisasi.
memiliki surat bebas G-30-S/PKI
sebab ayahku ditahan karena
dianggap terlibat PKI. Dengan

278
Ricky Aptifive Manik: Hasrat Nano Riantiarno dalam…

PENUTUP psikoanalisis, cultural studies,


(Olsy Vinoli Arnof, Penerjemah).
Dari pembahasan yang telah Yogyakarta: Jalasutra
dilakukan terhadap novel CM, maka
dapat disimpulkan bahwa hasrat Nano Anwar, S. (2005). N. Riantiarno: Dari
dengan penanda ‘komitmen’, ‘loyal’, rumah kertas ke pentas dunia.
‘setia’, ‘sabar’, ‘taat’, ‘patuh’, Jakarta: FFTV-IKJ Press.
‘teladan’, ‘rajin’, jujur’, ‘bertanggung
jawab’, dan sebagainya Bracher, M. (2009). Jacques Lacan,
diidentifikasinya melalui citra Ayah. diskursus dan perubahan sosial:
Sedangkan hasrat akan penanda pengantar kritik-budaya
identitas seniman dan penulis ia psikoanalisis, (Gunawan
dapatkan dari citra Kakak (ego ideal Admiranto, Penerjemah).
seniman). Adapun sudut pandangnya Yogyakarta: Jalasutra.
tentang stigmatisasi PKI dan kaum
LGBT merupakan hasratnya akan Faruk. (2012). Metode penelitian
menjadi orang yang menghargai sastra: sebuah penjelajahan
keberadaan orang lain. Tujuan dari awal. Yogyakarta: Pustaka
hasrat ini adalah narsisistik. Selain itu, Pelajar.
hasrat pengakuan akan keberadaan
kaum LGBT dan PKI adalah hasratnya Hartono, A. (2007). Skizoanalisis
akan ‘kebebasan’. Akan tetapi, hasrat- Deleuze + Guattari: Sebuah
hasrat ini tetap membuat diri Nano pengantar genealogi hasrat.
berkekurangan. Itulah sebabnya ia terus Yogyakarta: Jalasutra.
menerus mencari keutuhan dengan
jalan terus menerus menulis. Ia Hill, P. (2002). Lacan untuk pemula.
(salah)mengira dengan berkarya dan Yogyakarta: Kanisius.
berproduksi akan menemukan objek a.
konsistensinya menjadi penulis dan Khatulistiwa Literary Award. (2014).
sutradara teater adalah anchoring point Asal Usul Anugerah Sastra
dari keambiguan dan ketidakmenentuan Khatulistiwa. Diperoleh dari
diri. http://khatulistiwaliteraryaward.
wordpress.com.
DAFTAR PUSTAKA
Lacan, J. (1977). Ecrits: A selection,
Adian, D. G. (2009). Pesona hasrat (Alan Sheridan, Penerjemah).
dalam psikoanalisis-struktural London: Tavistock.
Jacques Lacan: Refleksi atas
ketegangan antara hasrat ____. (1988). The Seminar of Jacques
memiliki dan hasrat menjadi. Lacan, Book II. The Ego in
Dalam Bracher, M., Jacques Freud’s Theory and in the
Lacan, diskursus dan perubahan Technique of Psycoanalysis,
sosial: Pengantar kritik-budaya 1954-1955, (J-A. Miller, Editor;
psikoanalisis (Kata Pengantar). S. Tomaselli, Penerjemah). NY,
Yogyakarta: Jalasutra. London: W.W. Norton &
Company.
Althusser, L. (2010). Tentang ideologi:
Marxisme strukturalis,

279
Kandai Vol. 11, No. 2, November 2015; 266—280

Mahayana, M. S. (2007). Hidayat, Penerjemah).


Ekstrinsikalitas sastra Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada. Wikipedia. (2014). Neurosis. Diperoleh
dari
Sarup, M. (2011). Panduan pengantar http://id.wikipedia.org/wiki/neur
untuk memahami osis.
postrukturalisme dan
posmodernisme (Medhy Aginta

280

Anda mungkin juga menyukai