Anda di halaman 1dari 8

Sejarah singkat perlawanan rakyat sulawesi selatan

demi mendapatkan kemerdekaan

Perlawanan rakyat sulawesi terjadi pada tahun 1829-1907. Perjuangan itu melawan
Pemerintahan Hindia Belanda dengan Kerajaan Gowa yang hanya mengakui kekuasaan
Belanda.

Pada tahun 1811-1816, Belanda kembali ke Sulawesi Selatan setelah berakhirnya


pemerintahan Inggris . Kemudian Belanda mengundang raja-raja Sulawesi Selatan untuk
meninjau kembali Perjanjian Bongaya yang dibuat pada tahun 1667. Pada tahun 1824,
Belanda menyerang kerajaan Tanette dan kerajaan Suppa. Belanda menang setelah dua
kali perang dengan kerajaan Suppa.

Pada bulan Oktober 1824, pasukan Bone dapat merebut kembali wilayah kerajaan
Tanette. Lalu, Tanette pun bergabung dengan pasukan Bone. Kekuatan Bone pun semakin
besar dan daerah kekuasaannya makin luas.

Nama-nama organisasi/laskar pejuang dari beberapa daerah yaitu antara lain :

1). Organisasi perjuangan Gerakan Muda Bajeng

Organisasi perjuangan Gerakan Muda Bajeng ini dibentuk pada tanggal 16 Oktober 1945.
Pada mulanya Ranggong Daeng Romo hanya diangkat sebagai komandan barisan
penerjang/pertahanan untuk wilayah Moncokomba dan merangkap sebagai Kepala
Wilayah (Bate) Ko’ Mara.

Karena keberhasilannya dalam mengemban tugas tersebut, maka pada tanggal 27


Februari 1946. Ranggong Daeng Romo diangkat menjadi komandan barisan penerjang
Gerakan Muda Bajeng.

Ranggong Daeng Romo selama kariernya memimpin kelaskaran perjuangan dalam


menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia, telah memimpin pertempuran atau
memerintahkan penyerangan kurang lebih lima puluh kali dari enam puluh kali bentrokan
bersenjata antara pasukan kelaskaran dengan KNIL.

Ranggong Daeng Romo dilahirkan pada tahun 1915, di suatu tempat yang dikenal oleh
masyarakat dengan nama kampung Bone-Bone. Bate Moncokomba, Distrik
Polombangkeng, Takalar.
la adalah putra sulung dari enam bersaudara dari pasangan suami istri Gallarang
Moncokomba. Mangngulabbe Daeng Makkiyo dengan Bati Daeng Jimo.

Mereka adalah keturunan keluarga bangsawan kaya yang dermawan di Polombangkeng


yang mempunyai tradisi kepahlawanan dalam membela dan mempertahankan
kehormatan bangsa dan tanah air.

2). Laskar Lipan Bajeng

Pidris menceritakan, masyarakat Bajeng memiliki semangat perjuanganan. Mereka


menolak tunduk kepada penjajah.

Menurut Pidris, spirit perjuangan itu diawali ketika kelompok Muhammadiyah masuk ke
Bajeng pada tahun 1930.

Tiga pemuda kemudian menggagas membentuk kelompok perjuangan.

Namanya "Pemuda Muhammadiyah Bajeng". Kelompok ini bergerak apabila Belanda


mencoba masuk ke Bajeng.

Satu dari tiga pemuda yang mengagas organisasi ini adalah Muhammad Zain Daeng Beta
yang tak lain adalah ayah kandung Pidris (1909-1997).

Kemudian, pada tahun 1936, Daeng Beta mengusulkan perubahan nama menjadi
"Gerakan Muda Bajeng."

Organisasi ini bergerak masih dalam pemberontakan kepada penjajah Belanda.

"Jadi peran organisasi ini menghadang dan bergerilya dengan Belanda, melalui operasi
senyap," kisah Pidris.

Pada tahun 1938, jumlah anggota kelompok ini kian bertambah yang ditandai
bergabungnya pemuda Takalar dan Bantaeng.

Menurutnya, ada puluhan pemuda ketika itu yang dipimpin oleh tujuh pemuda. Kelompok
ini kemudian berubah nama menjadi "Laskar Lipan Bajeng".

"Jadi laskar ini melakukan perlawan kepada Belanda sampai masuk Jepang, atau pada
tahun 1938 hingga 1942," bebernya.

Hingga akhirnya, ketika Jepang menyerah kepada sekutu, masyarakat Tu Bajeng


memprakarsai peperangan. Laskar Lipan Bajeng bersiap siaga apabila Belanda mencoba
masuk kembali ke Bajeng. Laskar Lipan Bajeng ini hanya memakai peralatan perang
tradisional, yakni Badik, tombak, dan parang.
3). “Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS)”

Untuk mewujudkan rencana penyatuan kelaskaran-kelaskaran yang tersebar di setiap


daerah dalam satu wadah, maka pada tanggal 17 Juli 1946, terbentuklah secara resmi
organisasi gabungan kelaskaran yang dikenal dengan nama “Laskar Pemberontak Rakyat
Indonesia Sulawesi (LAPRIS)” yang terdiri dari gabungan 19 organisasi laskar perjuangan
dan Ranggong Daeng Romo diangkat sebagai Panglima LAPRIS (Ketua Bidang
Ketentaraan/Kemiliteran).

Tanggal 21 Februari 1946 untuk pertama kalinya, Ranggong Daeng Romo memimpin
langsung pertempuran dengan kekuatan kurang lebih 100 orang anggota pasukan
menyerang kubu pertahanan musuh (Belanda) di daerah Takalar

Pada tanggal 28 Februari 1947 merupakan pertempuran terakhir yang dipimpin langsung
oleh Ranggong Daeng Romo di bukit Lengkese, dimana ia sendiri gugur sebagai ksatria
dalam pertempuran tersebut.

4). Laskar Pemberontak Bulukumba Angkatan Rakyat (PBAR)

Beberapa hari setelah kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, tentara sekutu mendarat di


Indonesia termasuk di Bulukumba. Kehadiran tentara sekutu, diboncengi tentara Belanda
lengkap dengan pemerintahan sipil yang disebut Nederlands Indisch Civil Administration
(NICA). Kehadiran NICA sama halnya kehadiran tentara Jepang, ingin menjajah Indonesia.

Sepak terjang Andi Sultan Daeng Radja sebelum kemerdekaan RI dan sesudah
kemerdekaan dalam memperjuangkan kemerdekaan RI, ternyata membuat khawatir
NICA. Apalagi, Sultan

Daeng Radja menyatakan tidak bersedia bekerjasama dengan NICA. Tanggal 2 Desember
1945 NICA menangkap Andi Sultan Daeng Radja di kediamannya, Kampung Kasuara,
Gantarang.

Andi Sultan Daeng Radja kemudian dibawa ke Makassar untuk ditahan. Pemerintah
kolonial berharap, penangkapan Sultan Daeng Radja akan mematikan perlawanan rakyat
Bulukumba. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Penangkapan dia semakin
membangkitkan perlawanan rakyat Bulukumba terhadap NICA.

Para pejuang Bulukumba, kemudian membentuk organisasi perlawanan bersenjata yang


dinamakan Laskar Pemberontak Bulukumba Angkatan Rakyat (PBAR) yang dipimpin Andi
Syamsuddin. Dalam organisasi PBAR, Andi Sultan Daeng Radja didudukkan sebagai Bapak
Agung. Meski dipenjara, seluruh kegiatan PBAR dipantau oleh Sultan Daeng Radja.
Melalui keluarga yang menjenguknya, Sultan Daeng Radja memberi perintah kepada
Laskar PBAR.
Setelah lima tahun di penjara di Makassar, pada tanggal 17 Maret 1949, pengadilan
kolonial kemudian mengadili dan memvonis Sultan Daeng Radja dengan hukuman
pengasingan ke Menado, Sulawesi Utara hingga 8 Januari 1950.

Perjuangan Andi Sultan Daeng Radja dalam melawan penjajahan di Indonesia, akhirnya
mendapat penghargaan tinggi dari Pemerintah Indonesia. Berdasarkan Keputusan
Presiden RI No. 085/TK/Tahun 2006 tertanggal 3 November 2006, Presiden SBY
menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera
Adipradana kepada Andi Sultan Daeng Radja, di Istana Negara pada tanggal 9 November
2006.

5). Laskar perjuangan harimau indonesia

Emmy adalah salah satu pejuang muda lulusan sekolah SMP Nasional di Kota Makasar.
Didirikan tahun 1945 oleh tokoh-tokoh pejuang di Makassar yang tidak bersepakat
dengan rencana dibukanya sekolah NICA. Guru-guru yang mengajar di kala itu adalah para
tokoh republik. Sekolah ini hingga sekarang masih berdiri di Jl. Dr. Sam Ratulangi Makasar.
Sekolah ini sendiri telah banyak melahirkan tokoh pejuang republik yang terletak di
sekitar belakang stadion Mattoanging.

Di saat agresi militer ke dua Belanda terjadi, para pelahar sekolah tersebut membentuk
laskar perjuangan dan bergerilya. Laskar perjuangan tersebut diberi nama Harimau

Indonesia. Laskar pejuang tersebut dikepalai oleh Robert Wolter Monginsidi dengan
anggota Emmy Saelan, dan Maulwi Saelan yang adalah adik Emmy Saelan. Maulwi Saelan
inilah yang kemudian dikenal sebagai pengawal pribadi Bung Karno dan mantan kiper
SPSI. Adik Emmy Saelan yang lain, yaitu Elly Saelan yang kemudian dikenal dengan nama
Elly Yusuf, istri Jendral M. Yusuf, mantan Menhankam Pangab. Aksi laskar perjuangan
Harimau Indonesia tidak main-main, dari menembak hingga melempar granat ke rumah-
rumah pembesar Belanda. Karena gerah dengan aksi-aksi laskar pejuang ini, Belanda pun
mendatangkan Kapten Weterling yang terkenal kejam.

Kedatangan Kapten Wasterling ke Makasar memmpersempit ruang gerak kaum muda


pejuang di SMP Nasional. Penangkapan pun dilakukan secara besar-besaran. Sebelum
kehadiran Westerling, proses belajar mengajar berlangsung dengan baik namun
kedatangan Westerling membuat sekolah itu terpaksa ditutup.

6). laskar perempuan

Emmy berperan memimpin laskar perempuan yang sekaligus juga bertugas di palang
merah. Kulitnya yang putih membuat dia mendapat nama sandi "Daéng Kébo’. Daeng
adalah panggilan sapaan di Makasar yang berarti “Kak”. Emmy lah yang menentukan
aturan penggunaan sandi untuk mengenal sesama pejuang. Misal, bila ia memegang
rambut dan orang yang dijumpai juga memegang rambut, maka berarti orang itu adalah
sesama teman pejuang. Mantan komandan pasukan perempuan Makasar, Sri Mulyati juga
mengisahkan bahwa Emmy Saelan adalah seorang yang hali menggunakan sandi.

Menjadi laskar pejuang di usia teramat muda benar-benar membutuhkan keberanian


besar. Mana kala di usia remaja kita lebih senang berjalan-jalan dan bersenda gurau.
Sosok Emmy Saelan justru bergabung dengan perjuangan yang penuh mara bahaya.
Berterimakasihlah kita kepada para pejuang yang mengorbankan masa mudanya untuk
kemerdekaan dari penjajah yang kini bisa kita rasai.

7). Laskar pimpinan Sose

Selama revolusi fisik, Andi Sose sempat bergabung dengan pasukan pimpinan Kahar
Muzakkar. Laskar pimpinan Sose turut turun gunung dari medan gerilya dan disambut riuh
oleh masyarakat di Maros. “Dia [Kahar Muzakkar] bersama prajurit-prajuritnya [termasuk
laskar pimpinan Andi Sose] memasuki kota pukul 7 malam hari,”

Tanggal 24 Maret 1951 di Makassar, Andi Sose dan para pejuang gerilya lainnya dilantik,
serta ditetapkan sebagai Corps Cadangan Nasional yang nantinya menjadi bagian dari
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Namun, Kahar Muzakkar, kemudian mengumpulkan
para bekas gerilyawan dan mendirikan TII (Tentara Islam Indonesia) yang lantas
bergabung dengan Darul Islam (DI). Semula, Andi Sose turut bergabung karena ia belum
paham apa maksud dan tujuan Kahar Muzakkar yang sebenarnya. Semua terkuak setelah
Sose tahu ada surat-menyurat dengan Maridjan Kartosoewirjo, pimpinan DI/TII di Jawa
Barat. Salah satu surat itu berisi pengangkatan Kahar Muzakkar sebagai Panglima Divisi VII
TII dan pernyataan setianya kepada TII. Kahar menyangkal, tapi Sose yakin bahwa tanda
tangan yang tercantum di surat itu memang milik komandannya. 8). Laskar Pemberontak
Bulukumba Angkatan Rakyat (PBAR)

Sepak terjang Andi Sultan Daeng Radja sebelum kemerdekaan RI dan sesudah
kemerdekaan

RI, membuat NICA khawatir. Sultan Daeng Radja kemudian ditangkap dan dipenjara di
Makassar. Penangkapan Andi Sultan Daeng Radja itu membuat para pejuang Bulukumba
marah lalu membentuk organisasi perlawanan bersenjata yang dinamakan Laskar
Pemberontak Bulukumba Angkatan Rakyat (PBAR) yang dipimpin Andi Syamsuddin. Andi
Sultan Daeng Radja didudukkan sebagai Bapak Agung. Meski dipenjara, seluruh kegiatan
PBAR terus diikuti oleh Andi Sultan Daeng Radja.

Setelah lima tahun di penjara, pada 17 Maret 1949, pengadilan kolonial kemudian
mengadili dan memvonis Andi Sultan Daeng Radja dengan hukuman pengasingan ke
Menado, Sulawesi Utara hingga 8 Januari 1950.

Begitu dibebaskan, Andi Sultan Daeng Radja kembali ke Bulukumba. Pada 1 Juli 1950,
Andi Sultan Daeng Radja mundur dari jabatannya sebagai Kepala Adat Gantarang dan
digantikan oleh putranya Andi Sappewali Andi Sultan.

Setelah menjalani masa pengasingan, sejumlah jabatan penting masih dipercayakan


padanya. Pada 4 April 1955, dia ditugaskan sebagai Bupati Daerah Bantaeng dan diangkat
menjadi pegawai negeri tetap. Tahun 1956, Andi Sultan Daeng Radja diangkat menjadi
residen diperbantukan pada Gubernur Sulsel sesuai keputusan presiden. Setahun
kemudian dia diangkat menjadi Anggota Konstituante.

Andi Sultan Daeng Radja dipanggil yang Maha Kuasa pada 17 Mei 1963. Jenazahnya
dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Bulukumba. Semasa hidupnya, Andi Sultan
Daeng Radja memiliki empat istri dan 13 anak. Atas jasa-jasanya kepada negara, Haji Andi
Sultan Daeng Radja dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang
Mahaputera Adipradana

8. Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS).

Anhar Gonggong dalam Abdul Qahhar Mudzakkar, dari Patriot hingga Pemberontak (2004)
menyebut bahwa di Sulawesi Selatan, "hubungan antara puang (bangsawan) dan joa
(pengikutnya) tak bisa dilepaskan dari pengertian siri' na pesse dalam kehidupan masyarakat
Bugis-Makassar.”
Mereka adalah pemimpin pasukan gerilya yang cukup disegani dan punya bawahan loyal
sedari zaman revolusi. Biasanya, si komandan adalah sang bangsawan dan kuasa kultural ini
menarik banyak pengikut dari rakyat jelata nan setia.
Kahar Muzakkar dan para pejuang laskar memilih melawan pemerintah karena menolak
keputusan Alex Kawilarang, panglima tentara Indonesia Timur saat itu, yang membubarkan
Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). "Usaha Kahar Muzakar untuk menginsyafkan
kesatuan-kesatuan gerilya kembali ke masyarakat tidak mendapat hasil, malahan sebaliknya
ia menjadi penyokong tuntutan KGSS pada pemerintah,”

9). Laskar Gerakan Muda Bajoang

Pada Oktober 1945, Pajongga Daeng Ngalle bersama bangsawan lainnya (Andi
Mappayuki) dari Bone, Andi Jemma dari Lawu, Andi Bau Massape dari Pare-pare, Andi
Pangeran Pellarani mengikuti konferensi Raja-raja Se-Sulawesi Selatan di Yogyakarta.

Mereka sepakat untuk merumuskan satu resolusi sebagai bentuk dukungan kepada
Pemerintah Republik Indonesia di Sulawesi yang saat itu dipimpin oleh Gubernur
Ratulangi. Dalam perjuangannya, Pajongga Daeng Ngalle mendirikan Laskar Gerakan
Muda Bajoang sebagai wadah bagi para pemuda pejuang bersenjata. Laskar Gerakan
Muda Bajoang adalah organisasi yang berada langsung di bawah komandonya. Pajonga
Daeng Ngalle kemudian mengumumkan daerah Polombangkeng sebagai wilayah de facto
Negara RI. Pajonga Daeng Ngalle memiliki tekad untuk mematahkan keinginan
pemerintahan Belanda di Indonesia mengembalikan pemerintahannya di tanah Sulawesi.
Di medan pertempuran, Pajonga Daeng Ngalle mempunyai banyak pendukung yang
melawan dan memperkuat kedaulatan Sulawesi Selatan.

Selama menjadi ketua dari Laskar Gerakan Muda Bajoang, Pajonga Daeng Ngalle tercatat
tidak pernah memberi celah pada serdadu Belanda, bahkan untuk sekedar berkompromi.
Pada saat menghadapi serdadu Belanda, Pajonga Daeng Ngalle menjadikan daerah
Polombangkeng sebagai pusat gerakan menggantikan Makassar yang saat itu sudah tidak
aman dan strategis untuk pertempuran.

10).Laskar Perjuangan Gerakan Pemuda Tanete ( GBT)

Sesaat setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, maka tak lama berselang


kemudian tersiarlah kabar proklamasi itu ke berbagai pelosok Nusantara, berbagai reaksi
yang muncul di berbagai wilayah, dibentuklah badan-badan perjuangan untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru saja dicapainya itu, tidak terkecuali
di Sulawesi Selatan, berbagai laskar-laskar dibentuk sebagai wadah perjuangan,
diantaranya ada Laskar Ganggawa, Laskar Lipang Bajeng, Laskar Harimau Indonesia,
Laskar Gerakan Pemuda Tanete, serta masih banyak lagi laskar perjuangan yang dibentuk
di berbagai pelosok sulawesi.

Salah satu laskar perjuangan yang menarik untuk kita simak kisah perjuangannya adalah
Laskar Gerakan Pemuada Tanete yang dibentuk di wilayah Tanete yang sekarang telah
menjadi bagian dari Kabupaten Barru. Gerakan Pemuda Tanete (GPT) dibentuk pada
tanggal 15 September 1945 atas kerja sama Andi Abd. Muis, Abd. Karim, dan tokoh
masyarakat serta pemuda di Tanete-Barru. Pada awal pembentukannya, Abd. Karim
ditunjuk sebagai pimpinan utama. Pembentukannya dimulai dengan suatu rapat umum di
Padaelo, sekitar galangan kapal milik Jepang.

Ada sekitar 300 pemuda yang hadir dan kesemuanya itu dinyatakan sebagai anggota.
Setelah selesainya rapat itu para pemuda yang telah dinyatakan sebagai anggota GPT
langsung menyerang komplek galangan kapal, mereka berhasil mengambil sebuah kapal
kayu, sebuah truk, beberapa bilah pedang dan geranat tangan.

Pada tanggal 17 September 1945 kembali lagi dilakukan perampasan geranat tangan dan
seragam militer Jepang di Pacciro. Pada waktu yang bersamaan, beberapa pemuda tanete
yang berada di Makassar menyatakan diri sebagai anggota tersiar GPT.
Upaya untuk memperkuat perjuangan Laskar GPT dilakukan terus menerus, tiga tokoh
penting GPT masing-masing Andi Abd. Muis, Abd. Kadir Jaelani dan diantar oleh Muh.
Nawing berangkat ke Parepare, di kota itu diadakan pertemuan para pejuangdi rumah
kediaman Andi Makkasau Datu Suppa.

Pembahasan pada rapat tersebut untuk memebentuk koordinasi perjuangan di wilayah


Afdeling Parepare. Kemudian pada tanggal 5 Oktober 1945 datang utusan dari Parepare
ke Tanete, masingmasing Makkarumpa dan Bakkay, mereka berharap agar antara pemuda
Parepare dan Pemuda Tanete dijalin kerja sama untuk menghadapi musuh Belanda
(NICA).

Anda mungkin juga menyukai