Dalam hal ini, untuk membahas dan menjelaskan kondisi perekonomian masa
pemerintahan Demokrasi Terpimpin saya membagi menjadi dua bagian. Bagian pertama saya
merasa perlu terlebih dahulu mengetahui dan memahami pemikiran-pemikiran Soekarno mengenai
ekonomi pada masa itu. Karena dari pemikiran-pemikiran Soekarno inilah yang nantinya akan sangat
mempengaruhi hal-hal yang akan dibahas pada bagian kedua seperti landasan ekonomi dan langkah-
langkah pelaksanaan sistem ekonomi beserta kebijakan
perekonomian masa Demokrasi Terpimpin. Selanjutnya, pada bagian kedua saya akan
menguraikan sistem ekonomi beserta implementasi kebijakan ekonomi tersebut.
1. Pemikiran-pemikiran Soekarno
Membahas kondisi perekonomian masa Demokrasi Terpimpin, perlu terlebih dahulu melihat
pemikiran-pemikiran ekonomi yang berkembang pada masa itu. Ini dikarenakan
pemikiran ekonomi para tokoh secara otomatis akan sangat mempengaruhi konsep serta
implementasi kebijakan ekonomi yang nantinya di diambil dan dijalankan pada masa tersebut.
Dalam kesempatan kali ini kami akan mengkaji kondisi ekonomi pada masa demokrasi terpimpin,
menurut pemikiran yang berkembang dari tokoh terkait yaitu Presiden Soekarno. Mengapa
Soekarno ? karena sebagai ‘pemimpin demokrasi’, Soekarno telah menjadi tokoh yang paling
berpengaruh pada masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin.
Pemikiran-pemikiran Soekarno mengenai ekonomi pada masa itu, tertuang dalam teks pidato
pidatonya yang kami rangkum dan akan kami uraikan sebagai berikut :
Dalam pidato yang berjudul “kembali ke Rel Revolusi” (1959).
Soekarno menyatakan bahwa tujuan jangka pendek yang ingin ditempuh pada masa
Demokrasi Terpimpin ialah: program Kabinet Kerja yang dinilai amat sederhana, meliputi fokus pada
sandang-pangan, dan keamanan, kemudian ditopang dengan melanjutkan
perjuangan anti imperialisme, ditambah dengan mempertahankan kepribadian bangsa di tengah-
tengah tarikan-menarik ke kanan dan ke kiri, (antara hagemoni sosialis-liberalis) yang sedang
berjalan dalam pergolakan dunia menuju kepada satu kekuatan baru.
Dan tujuan jangka panjang, ialah: menciptakan masyarakat yang adil dan makmur,
melenyapkan imperialisme di mana-mana, dan mencapai dasar-dasar bagi perdamaian dunia yang
kekal dan abadi. Maka untuk menanggulangi segala masalah-masalah berhubungan dengan tujuan-
tujuan jangka pendek dan jangka panjang tersebut, Soekarno menyatakan kita tidak dapat
mempergunakan sistem yang sudah-sudah dan alat-alat (tools) yang sudah-sudah. Sistem liberalisme
harus dibuang jauh-jauh, demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin harus ditempatkan sebagai
gantinya. Susunan peralatan yang dulu ternyata tak efisien, harus dibongkar, dan diganti dengan
susunan peralatan yang baru.Ordening baru dan herordening
baru harus diadakan, agar demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin dapat berjalan. Menurut
pemikiran Soekarno, inilah yang disebut retooling for the future. Dalam hal retooling di bidang
ekonomi, perlu diadakan retooling alat-alat produksi dan alat-alat distribusi.
Alat-alat produksi dan alat-alat distribusi semuanya harus di-retool dan semuanya harus
direoganisasi, harus berpedoman ke arah pelaksanaan Pasal 33 Undang-undang 1945 dengan
mempergunakan relnya demokrasi terpimpin. Selama kita mempunyai beberapa
badan yang diserahi oleh negara untuk mengurus dan mengembangkan beberapa bidang produksi
dan distribusi, tetapi bukan produksi dan distribusi itu menjadi teratur-beres dan berkembang, tetapi
badan-badan itu menjadi sarangnya orang-orang yang mamadet-madet kan isi kantungnya sendiri,
orang-orang yang menjadi kaya-raya, orang yang menjadi milyuner!
Daar moet een eind aan komen! Soekarno berpendapat keadaan yang demikian itu harus
diubah! Dan bukan saja badan-badan itu harus di-retool, tetapi juga semua alat-alat vital dalam
produksi dan semua alat-alat vital dalam distribusi harus dikuasai atau sedikitnya diawasi oleh
pemerintah. Tidak boleh lagi terjadi, alat-alat vital tidak dikuasai atau tidak diawasi Pemerintah, yang
menyebabkan beberapa gelintir spekulan atau beberapa gelintir
profiteur dapat mengguncangkan seluruh ekonomi nasional, dan mengkucar-kacirkan seluruh
kebutuhan Rakyat.
Disini terlihat jelas Soekarno menginginkan Demokrasi Terpimpinnya di iringi dengan
semangat perjuangan revolusi yang anti imperialisme dan disertai retooling alat
produksi dan alat distribusi agar pemerintah leluasa untuk menguasai dan mengawasi seluruh alat-
alat vital milik Negara demi perekonomian nasional yang st
Dalam pidato yang berjudul “Bangsa yang Dihormati dan Dikagumi” (1962).
Soekarno menyatakan, dengan selesainya soal keamanan, dan dengan selesainya soal Irian
Barat, maka modal pemerintah untuk memecahkan ekonomi akan sangat bertambah.
Dulu pernah Soekarno mengatakan, bahwa untuk menyelesaikan tugas keamanan saja, 50
persen dari seluruh kegiatan nasional dicurahkan kepada itu, dan kemudian, ditambah dengan tugas
TRIKORA, jumlah ini menjadi lebih besar lagi! Hampir-hampir tiga peremat dari kegiatan nasional
negara, digunakan untuk menyelesaikan keamanan dan menjalankan Trikora itu. Jelasnya lebih dari
70 persen dari Kegiatan Nasional negara, ditumplekkan ke arah itu! Lebih dari 70 persen!. Soekarno
mencoba meyakinkan, bahwa inilah salah satu
penyebab terbesar yang membawa kesulitan dalam kehidupan ekonomi. Dalam hal ini Soekarno
memberi penjelasan sekaligus meminta pengertian dari para hadirin pada saat itu,
bahwa dengan ditumplekkannya lebih daripada 70 persen Kegiatan Nasional itu, menyebabkan
program “Sandang-Pangan” belum sama sekali terlaksana dengan cara yang memuaskan.
Menurut Soekarno, duduk perkaranya, keamanan dan Irian Barat tidak bisa tunggu satu hari
lebih lama lagi, sedangkan soal Sandang Pangan bisa kita pecahkan sambil berjalan, dan kedepannya
akan lebih mudah, karena modal yang tadinya kita pergunakan untuk memulihkan keamanan dan
mengembalikan Irian Barat itu, dapat dipergunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan
ekonomi. Kecuali daripada itu, keadaan Sandang-Pangan toh masih boleh dikatakan lumayan,
mengingat bahwa kita melemparkan hampir tiga perempat dari Kegiatan Nasional ke arah Keamanan
dan Irian Barat itu?, mengingat bahwa kita ini setengah-setengah dalam keadaan perang?, mengingat
bahwa pembangunan pembangunan vital yang menelan ongkos milyar-milyar berjalan terus?,
mengingat bahwa kita tahun yang lalu dihamuk oleh kemarau yang maha hebat, ditambah dengan
hama baru yang bernama ganjur? Adakah orang Indonesia yang mati kelaparan? Adakah orang
Indonesia yang telanjang tidak berpakaian?.
Menurut kami, disini secara tersirat Soekarno berpandangan untuk lebih memilih
mendahulukan proses politik daripada proses ekonomi.
Dalam pidato yang berjudul “Revolusi Berjalan Terus” (1965).
Dengan semangat yang menggelora Soekarno berbicara dihadapan hadirin yang ada.
Bagaimana mengukur suatu revolusi dengan ukuran-ukuran revolusi? Segala-sesuatu hendaknya
diamati: untuk kesejahteraan umum, ya atau tidak? Pro bono publico, inilah
semboyan kita, artinya pro bono publico, untuk kesejahteraan umum! Sekalipun ada yang secara
pribadi dirugikan, sekalipun ada yang laba perusahaannya berkurang, tapi asal pro bono publico,
maka ia harus diterima. Sebaliknya, walaupun ada yang ditambah mobil, tambah bungalow, tambah
koelkast, tambah air conditioner, walaupun ada yang menyekolahkan anaknya ke Eropa atau ke
jabalkat sekalipun, tapi tidak pro bono publico, maka ia harus ditolak. Kecuali – kecuali, kataku – jika
orang sudah menjadi orang asing di tanah air sendiri, atau sudah menjadi orang pribumi di negeri
asing! Ya, kecuali jika orang sudah cidera, sudah durhaka, sudah khianat terhadap urusan revolusi!.
Selanjutnya, Soekarno berargumen kita perlu melihat kepada kaum buruh dan kaum tani,
karena mereka dapat dianggap sebagai sokoguru-sokoguru revolusi kita. Mereka memang pantas,
pantas, tepat disebut sokoguru revolusi. Mereka bekerja, mereka menghasilkan, mereka
berproduksi, tanpa mengeluh dan tanpa banyak cincong. Mereka mempunyai tuntutan-tuntutan
mereka – sudah barang tentu – tetapi tuntutan-tuntutan itu
biasanya masuk akal. Kalau kaum buruh ingin supaya upahnya bisa naik sedikit untuk
pembeli buku sekolah untuk anaknya, apakah itu tidak masuk akal? Kalau kaum tani
menghasratkan tanah, tanah “senyari bumi”, apakah itu tidak masuk akal? Soekarno teringat kepada
seniman-seniman ludruk Marhaen yang mengatakan “Ia kalau punya pacul tapi ndak
punya tanah, ke mana pacul itu mesti dipaculkan!” Tetapi ada di antara kita yang ndorondoroan,
yang main tuan besar, yang mengira dirinya eigenaar revolusi, mengira dirinya
“presdir” republik, lalu maunya bukan dia berkurban buat republik, tapi republik berkurban
buat dirinya!... orang-orang semacam ini, Pervenuparvenu, charlatan-charlatan, profitor profitor
macam ini ada baiknya kita promovir menjadi penghuni bui Nusakambangan.
Soekarno selalu mengatakan bahwa perjuangan kelas harus ditundukkan kepada
perjuangan nasional. Dan Soekarno merasa gembira bahwa jeritannya itu dipahami oleh
sebagian besar rakyat. Di sisi lain, Soekarno juga memperingatkan, kalau koruptor-koruptor dan
pencoleng-pencoleng kekayaan negara meneruskan “operasi” mereka yang sesungguhnya
antirepublik dan antirakyat itu, maka jangan kaget jika pada satu waktu perjuangan antargolongan
berkobar dan membakari kemewahan hidup kaum koruptor dan pencoleng itu.
Sekadar tambahan :
Menurut Herbert Feith dan Lance Castles dalam buku Pemikiran politik Indonesia 1945-1965,
dijelaskan bahwa dengan keberhasilan pemerintahan Presiden Sukarno membebaskan Irian Barat
pada bulan Agustus 1962, maka timbulah tekanan dari berbagai kelompok, di luar maupun di dalam
negeri, agar pemerintah memusatkan perhatiannya pada
masalah ekonomi yang sudah menjadi demikian peliknya. Akan tetapi kebijakan ekonomi yang mana
yang akan dipilih? Pemilihan kebijakan inilah yang membawa pemerintah pada semacam
persimpangan jalan. Pada bulan Mei 1963 Menteri Pertama, Djuanda, mengeluarkan serangkaian
peraturan untuk mengurangi subsidi dan memangkas pengeluaran pemerintah. Ini perlu dilihat
dalam konteks terjadinya perundingan International Monetary Fund (IMF) dan beberapa negara
Barat yang menjanjikan memberikan pinjaman pada Indonesia apabila pemerintah mengambil
langkah-langkah reformasi yang mereka anjurkan. Dikeluarkannya peraturan-peraturan Djuanda itu
memadai bahwa para pendukung kebijakan ekonomi yang berhaluan kanan dan pro-Barat mendapat
angin. Namun tantangan terhadap
peraturan Mei itu pun sangat gencar, dan Presiden Sukarno sendiri tidak pernah merestuinya
secara penuh.
Dalam waktu empat bulan sesudahnya, konflik kanan-kiri menjadi panas sekali.
Pertentangan mengenai peraturan Mei ini jalin menjalin dengan perbedaan sikap mengenai
bagaiamana Indonesia harus menanggapi usulan pembentukan negara baru Malaysia.
Presiden Sukarno pernah menyatakan sikap konfrontasi terhadap proyek yang diprakarsai Inggris ini,
yang bertujuan mempersatukan Malaya, Singapura, Serawak, Sabah dan Brunei.
Namun demikian tampaknya ia tertarik oleh sebuah gagasan Filipina yang didukung pulah oleh
Amerika Serikat, yakni MA-PHIL-INDO, suatu aliansi tiga Negara Malaysia, Filipina dan Indonesia, di
mana Indonesia akan menerima keberadaan negara baru Malayasia. Seandainya gagas itu diterima,
maka hal itu akan merupakan kemenangan kekuatan kanan di Indonesia, dan kekuatan itu mungkin
sekali akan memperoleh jalan pula bagi dilaksanakannya kebijakan di bidang ekonomi.
Namun sekali lagi, seperti halnya pada tanggal 17 Oktober 1952, Presiden Sukarno
mengambil kebutuhan penting yang menguntungkan golongan Kiri. Pada tanggal 15 September
pemerintah memutuskan bahwa ia akan “menahan diri” dalam hal pengakuan terhadap Malaysia
apabila kelahirannnya diumumkan pada esok hari. Pada tanggal 18 September kedutaan Inggris di
Jakarta dibakar oleh sekolompok pemuda, dan banyak rumahrumah orang Inggris di Jakarta
dirampok dan dibakar. Pada tanggal 21 September pemerintah mengambil keputusan untuk
memutuskan semua hubungan dengan Malaya dan Singapura. Beberapa hari kemudian IMF
menegaskan bahwa paket pinjaman yang direncanakan, tidak akan diberikan kepada Indonesia.
Pada akhir September 1963 transisi dari Demokrasi Terpimpin Awal ke Demokrasi Terpimpin
Akhir telah selesai. Selama dua tahun berikutnya proses kemerosotan ekonomi semakin lama
semakin cepat. Agitasi anti-imperialis semakin lama semakin tinggi nadanya.
Yang terpokok, masyarakat Indonesia semakin lama semakin dikuasai polarisasi kanan-kiri yang
akhirnya mencapai puncaknya pada tanggal 1 Oktober 1965.
Pemikiran – pemikiran ekonomi menurut Soekarno telah kami uraikan sebelumnya. Menurut
pendapat kami pemikiran-pemikiran itu dapat dinilai lumayan “idealis”. Tetapi perlu diketahui,
pemikiran atau konsep, yang bersifat idealistis, kadangkala atau bahkan teramat sering berbeda
dengan kenyataan praktek, dan itu terbukti !!!. Hal inilah yang menimpa
pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Pada beberapa segi memang dapat dipahami dan dimengerti,
karena suatu tindakan atau tingkah laku manusia sangat tergantung pada berbagai faktor atau
kondisi yang melingkupinya seperti juga halnya pada saat suatu konsep atau sistem dirumuskan
untuk dijalankan.
Kontribusi pemerintah dalam usaha-usaha untuk membangun perekonomian dapat
dikatakan “gagal” pada periode Demokrasi Terpimpin (1957-1965) karena semestinya
pembangunan dipahami tidak hanya sebagai pertumbuhan ekonomi atau pembangunan fisik saja,
melainkan seharusnya mewujudkan kesejahteraan yang layak, keadilan sosial dan keseimbangan
ekologis. Di sisi lain, kami melihat pemerintahan Soekarno ini lebih memilih mendahulukan proses
politik daripada proses ekonomi.
Perlu diketahui, periode Orde Lama yang dipimpin Soekarno lebih kuat nasionalismenya,
sentralisasi, komando dan kepemilikan kolektif bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub
“Laissez-Faire” dan mendekati kutub “Dirigisme/hegemoni”.
Bahan kritik yang pantas ditujukan untuk pemerintahan masa Demokrasi Terpimpin yaitu
perlu ditekankan rasionalitas dalam pengambilan dan pelaksanaan kebijakan ekonomi. Selain itu
proses perekonomian yang berjalan perlu ditopang dengan penegakkan rule of law karena dalam
masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin terjadi banyak penyelewengan terhadap UUD 1945. Hal
yang tidak kalah penting, jangan sampai nasionalisme yang terlalu
berlebihan menghalangi timbulnya modernisasi ekonomi. Khusus mengenai kemercusuaran
nyatanya saat itu anggapan yang ada bahwa Indonesia hanya sebuah mercu saja bagi dunia.
Dengan konsep Ekonomi Terpimpin mulai tahun 1957 hingga tahun 1965. Dalam
periode ini peranan negara dalam pengendalian ekonomi lebih besar dari periode sebelumnya. Tapi
pada kenyataannya sistem politik-ekonomi pada masa ini juga tidak memberikan hasil yang
didambakan masyarakat, terbukti hasilnya kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Inflasi lepas
kendali, produksi nasional merosot dan kehidupan sehari-hari pun semakin berat. Kegagalan
ekonomi inilah menjadi salah satu pemicu rezim Demokrasi Terpimpin jatuh, yang kemudian diganti
oleh rezim Orde Baru atau Orde Soeharto.
REFERENSI UTAMA :
Buku Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Herbert Feith dan Lance Castles.