Istilah vernakular berasal dari kata vernaculus di Bahasa Latin, yang berarti "domestik, asli,
pribumi", dan dari Verna, yang berarti "budak pribumi" atau "budak rumah-lahir". Dalam
linguistik, vernakular mengacu pada penggunakan bahasa tertentu pada suatu tempat, waktu, atau
kelompok. Dalam arsitektur, vernakular mengacu pada jenis arsitektur yang asli pada waktu atau
tempat tertentu (tidak diimpor atau disalin dari tempat lain). Arsitektur vernakular ini paling
sering digunakan untuk bangunan tempat tinggal.
2. Pengunaan desain lokal juga terbilang murah dikarenakan tidak perlu mengambilnya dari luar
negri (import) dan juga menghemat waktu pengambilan / pengiriman.
Material Bangunan :
Tiga jenis kayu yang boleh digunakan adalah kayu ndrasi yang diyakini mampu menjauhkan
penghuni rumah dari penyakit, kayu ambartuah yang bertujuan untuk mendapatkan tuah atau
kesejahteraan, dan kayu sebernaik yang diharapkan mampu memudahkan rezeki.
1. Bagian Atap
Atap rumah adat Batak terbuat dari ijuk. Di daerah Batak, ijuk ini adalah bahan yang sangat
mudah untuk didapatkan, sehingga orang Batak memanfaatkannya sebagai bahan atap rumah.
Suku Batak juga memiliki anggapan bahwa atap adalah bagian yang suci, oleh karena itu mereka
memanfaatkan atap sebagai tempat penyimpanan benda-benda keramat atau pusaka yang
dimiliki.
Bagian atap rumah ini terinspirasi dari punggung kerbau yang memiliki bentuk melengkung.
Konsep arsitektur ini, membuat rumah adat Batak bersifat sangat aerodinamis untuk melawan
angin kencang yang berasal dari danau.
2. Badan Tengah
Masyarakat Batak juga menyebutnya bagian ini dengan nama dunia tengah. Dunia tengah ini
memiliki fungsi sebagai tempat berbagai aktivitas manusia seperti, tidur, masak, dan
semacamnya. Bagian tengah rumah ini dilengkapi dengan hiasan berupa ipon-ipon yang
dipercaya dapat menolak bala.
3. Dinding Rumah
Dinding rumah adat Batak berbentuk miring. Pembuatan dinding yang miring ini dimaksudkan
agar angin dari luar bisa dengan mudah masuk ke dalam. Tali yang digunakan sebagai pengikat
dinding disebut dengan ret-ret dan terbuat dari campuran bahan ijuk juga rotan. Tali pengikat ini
berbentuk menyerupai pola seperti cicak yang memiliki dua kepada atau ujung dan saling
bertolak belakang.
Pola yang berbentuk cicak ini memiliki makna yang dikiaskan sebagai penjaga rumah.
Sedangkan dua kepala yang saling bertolak belakang memiliki makna bahwa semua penghuni
rumah mempunyai peran yang sama dan harus saling menghormati.
4. Pondasi Rumah
Pondasi tipe cincin adalah jenis pondasi yang digunakan pada rumah adat Batak ini. Pondasi ini
terdiri dari batu sebagai tumpuan dari kolom kayu yang ada di atasnya dan tiang dengan diameter
sekitar 42-50 cm yang berdiri diatas batu ojahan yang fleksibel. Pondasi ini memungkinkan
rumah adat batak untuk dapat tahan terhadap guncangan gempa.Tiangnya tadi berjumlah 18 yang
memiliki filosofi sebagai lambang kebersamaan dan kekokohan.
Selain untuk menahan gempa, pemilihan pondasi tipe umpak yang digunakan Suku Batak
juga karena pada saat itu masih banyak ditemukan batu ojahan dan kayu gelonggong dalam skala
besar. Belum ditemukannya bahan perekat seperti semen juga menjadi alasan lain digunakannya
pondasi jenis ini.
5. Pintu Masuk Rumah
Pintu utama rumah adat Batak ini berukuran lebar 80 cm dan tinggi kurang lebih 1,5 m yang
menjorok ke dalam dengan. Suku Batak membuat pintu ini lebih menarik dengan dihiasi berbagi
macam ukiran, lukisan hingga tulisan.
Salah satu ciri khas rumah adat Batak adalah memiliki bentuk seperti rumah panggung dengan
kolong bawah rumah yang biasanya digunakan sebagai kandang untuk binatang peliharaan.
Dari segi ukuran, rumah adat Batak Toba relatif besar sehingga memungkinkan untuk ditinggali
3-4 kepala keluarga dalam satu rumah. Dengan catatan masih memiliki hubungan darah antara
satu keluarga dengan keluarga yang lain.
Berdasarkan ukurannya, rumah adat Batak masih dibagi lagi menjadi beberapa jenis yaitu:
1. Ruma Bolon
Jenis rumah ini sudah sangat populer dan dikenal sebagai salah satu rumah adat di Sumatera
Utara yang begitu ikonik karena memiliki ukuran paling besar dibandingkan rumah adat Batak
lainnya. Biasanya satu huta atau kampung hanya memiliki satu Ruma Bolon karena dalam
pembangunannya pun membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
2. Jabu Parbale-balean
Jenis rumah ini memiliki ukuran yang kecil dan paling banyak jumlahnya karena dalam
pembangunannya membutuhkan biaya yang relatif sedikit dan waktu yang lebih cepat.
Berdasarkan Gorga (ada tidaknya ukiran khas Batak), rumah adat Batak Toba dibagi menjadi dua
bagian yaitu:
2. Jabu Ereng
Sering disebut sebagai Jabu Batara Siang, rumah adat ini minim gorga sehingga sangat cocok
untuk mereka yang ingin mendiami rumah secepatnya.
Rumah adat Batak Toba juga memiliki ciri khas tanpa dinding pembatas atau sekat sehingga
ruangan atau jabu hanya dipisahkan oleh batas imajiner. Dimana fungsi dan kegunaannya telah
diatur dalam adat. Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut:
• Jabu Bona
Letaknya di sudut kanan belakang pintu masuk rumah, biasanya digunakan sebagai tempat tidur,
ruang tamu maupun upacara adat.
• Jabu Soding
Letaknya di sudut kiri belakang pintu rumah dan difungsikan sebagai ruangan untuk anak
perempuan pemilik rumah. Biasanya juga menjadi tempat bagi istri para tamu untuk
melaksanakan upacara adat.
• Jabu Suhat
Letaknya di sudut kiri berdekatan dengan pintu masuk dan diperuntukkan bagi keluarga dari
anak sulung atau keluarga dari anak bungsu. Jika anak sulung merantau maka ruangan ini
digunakan oleh anak bungsu.
• Jabu Tonga-Tonga
Letaknya berada di antara Jabu Bona dan Jabu Tampar Piring, biasanya difungsikan sebagai
tempat berkumpul seluruh keluarga dan juga dapur.
Rumah adat ini juga cukup populer dan sering dikenal dengan sebutan rumah adat Siwaluh Jabu,
yang bermakna bahwa rumah ini bisa ditempati oleh delapan keluarga. Biasanya masing-masing
keluarga sudah memiliki perannya masing-masing.
Berbeda dari rumah adat lainnya, bentuk rumah adat Batak Karo terbilang megah dengan
penambahan tanduk kerbau. Atap dari rumah adat ini menggambarkan status sosial dengan
ukuran yang lebih besar dan susunan atap yang lebih rumit.
Proses pembangunan rumah adat harus melalui ritual yang cukup panjang, salah satunya adalah
pemilihan kayu yang dido’akan terlebih dahulu. Tiga jenis kayu yang boleh digunakan adalah
kayu ndrasi yang diyakini mampu menjauhkan penghuni rumah dari penyakit, kayu ambartuah
yang bertujuan untuk mendapatkan tuah atau kesejahteraan, dan kayu sebernaik yang diharapkan
mampu memudahkan rezeki.
Konsep rumah adat pun sangat lengkap termasuk memikirkan kekuatan bangunan apabila terjadi
bencana gempa bumi. Salah satunya adalah dengan menggunakan batang ijuk untuk melapisi
palas (antara batu pondasi dan tiang kayu penyangga rumah). Batang ijuk ini berfungsi sebagai
peredam getaran sehingga bangunan rumah bisa mengikuti arah getaran gempa dan tetap berdiri
kokoh setelahnya.
Rumah adat Batak Karo mampu menampung 8-12 keluarga yang berbaris pada lorong utama,
dimana pembagian ruangan untuk setiap keluarga telah diatur menurut adat dengan perapian
untuk dua keluarga.
Secara garis besar, rumah adat ini memiliki jabu jahe atau hilir dan jabu julu atau hulu. Jabu jahe
sendiri masih terbagi menjadi dua, yaitu jabu rumah sendipar ujung kayu dan jabu ujung kayu.
B. Bentuk ukiran :
-Dalam masyarakat minangkabau dikenal 3 macam jenis ukiran. Ketiga ukiran tersebut
terinspirasi dari alam. Perbedaannya didasarkan pada sumber inspirasinya, yaitu:
1.Ukiran yang terinspirasi dari tumbuhan (contoh: Aka Duo Gagang, Aka Barayun, Kaluak
Paku jo Kacang Balimbiang, Pucu Rebung, Siriah Gadang).
2.Ukiran yang terinspirasi dari hewan (contoh: Itiak Pulang Patang, Ruso Balari dalam
Ransang, Tupai Managun).
3.Ukiran yang terinspirasi dari benda dalam kehidupan sehari-hari (contoh: Ampiang
Taserak, Limpapeh, Ambun Dewi)
Langgam bangunan :
Langgam Uraian Gambar Tipologi Arsitektur Melayu Riau
a. Rumah panggung Museum ini bukan merupakan rumah panggung tetapi ketinggian bangunan
hanya 1 m di atas tanahdengan material beton dan terdapat ragam hias daun dan akar, sehingga
terdapat citra seperti rumah panggung.
b. Tangga Tangga pada musem Sultan Syarif Kasim ini merupakan tangga segi empat setinggi 1
M dengan 5 anak tangga dengan material beton, sedangkan pada arsitektur tradisional Melayu
Riau menggunakan tangga segi empat 5 anak tangga dengan material kayu.
c. Lubang angin atau ventilasi dan Jendela Terdapat jendela persegi panjang dengan ventilasi
juga berbentuk segi empat setinggi 30 cm, sedangkan pada arsitektur tradisional Melayu Riau
menggunakan ventilasi segi enam dengan ragam hias setinggi 30 cm. Atap Atap yang digunakan
pada musem Sultan Syarif Kasim merupakan atap lipat kajang.
d. Atap lipat kajang merupakan atap khas arsitektur Riau dengan sudut kemiringan 45°. Pada
umumnya arsitektur tradisional Melayu Riau menggunakan atap lipat kajang
e. Selembayung
Selembayung pada museum Sultan Syarif Kasim menggunakan motif tumbuh-tumbuhan di
padupadankan dengan motif burung). Pada museum ini motif burung sangat menonjol yang
merupakan motif burung balam atau balam dua selenggek. Warna pada selembayung yaitu
coklat yang mempunyai makna lambang kekuasaan.Pada arsitektur tradisional Melayu Riau
menggunakan selembayung dengan motif yang sama dengan warna merah yang melambangkan
persaudaraan.
f. Ragam hias/Ornamen Ragam hias atau ornamen yang diaplikasikan pada musem Sultan Syarif
Kasim terletakdari bagian museum atap. Ornamen ini bermotif flora pucuk rebung yang
berbentuk segitiga dengan garis-garis lengkung pada polanya . Pucuk rebung ini mempunyai
makna yang melambangkan kesuburan dan kebahagiaan dalam kehidupan.