Anda di halaman 1dari 386

COVER

Hal. 1 « 386
Kolektor E-Book

Awie Dermawan
DJVU Ozan
PDF D.A.S

Hal. 2 « 386
Abdullah Harahap

DIBELAI KASIH SAYANGMU

Jakarta,
Apabila ada nama, tempat kejadian ataupun cerita
yang bersamaan, itu hanyalah suatu kebetulan
belaka. Cerita ini adalah fiktif.
Hal. 3 « 386
DIBELAI KASIH SAYANGMU
Karya :
Abdullah Harahap

Diterbitkan oleh :
Nur Agency, Jakarta

Cetakan pertama :
198X

Hak penerbitan ada pada Nur Agency Dilarang


mengutip. memproduksi dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit.

***

Hal. 4 « 386
1

AKU TIDAK HABIS MENGERTI mengapa aku


sampai berada dalam posisi yang demikian terjepit.
Tiba-tiba saja aku telah melayang-layang di udara.
Awan kelabu bergumpal-gumpal mengepung diriku.
Langit kelam. Tidak ada pesawat. Tidak ada
prachute yang terikat di kedua pundak. Aku ter-
umbang-ambing kian kemari. Ringan, seperti kapas.
Tetapi udara hampa tanpa angin dengan kejam
menghempaskan tubuhku jatuh kian ke bawah,
keper-mukaan bumi yang tampak berlubang-
lubang. Tidak ada laut untuk terjun. Tidak ada
lapangan untuk mendarat. Dengan mata terbelalak,
aku hanya bisa menyadari kalau tiga buah jurang
terjal menganga menanti tubuhku.
“Ya Allah!” do'aku dengan mata terpejam
dan jantung yang menciut ngeri. “Tolonglah
hambaMu yang malang ini!”
Dan … tiba-tiba aku pun terhembus.
Hal. 5 « 386
Tiada rasa sakit sama sekali. Hanya pegal-
pegal membuat sekujur tubuhku ngilu dan kebas.
Tubuhku masih utuh. Tidak hancur berkeping-
keping. Tidak berlumur darah merah, melainkan
basah oleh keringat dingin yang memancar keluar
dari seluruh pori-pori kulit.
Ta'jub, mata kubuka dengan perasaan
bimbang.
Aku tertelentang bukan di atas batu-batu
cadas yang membatasi ketiga jurang-jurang
menganga itu. Tubuhku yang lesu dan lelah,
terbaring diam di atas tempat tidur lebar, dalam
ruangan kamar yang samar-samar diterangi oleh
sebuah lampu violet bervoltase kecil dekat toilet di
pojok.
“Alhamdulillah!” aku mengucap puji dan
syukur setelah sadar dari impian buruk yang
mencemaskanj itu. Selintas terbayang apa yang
kulihat tadi siang di lapangan sempit Diponegoro,
hanya beberapa belas meter di depan Gedung Sate.
Sembilan orang calon mahasiswa Angkatan Udara
sedang melakukan demonstrasi terjun disaksikan
ribuan mata penonton. Penerjun kesepuluh, sang
instruktur, baru membuka prachute hanya kira-kira
Hal. 6 « 386
tiga ratus meter sebelum mencapai lapangan
berumput sehingga mengundang jerit dan nafas
tertahan semua penonton. Seseorang
mencengkeram lenganku kuat sekali waktu itu.
Meskipun sang instruktur selamat dan berjalan
tenang-tenang diiringi tepuk tangan yang riuh
rendah ke arah punggung, namun desis halus di
sampingku masih diliputi rasa takut:
“Hendra terlalu! Bersalto di udara, okeylah.
Tetapi baru membuka parachute setelah hampir...,”
ia geleng-geleng kepala, sehingga rambutnya yang
panjang bergerai ditiup angin. “Sudah berapa kali
kubilang agar ia senantiasa ingat pada anaknya yang
sudah setengah losin. Dasar laki-laki, keluar dari
rumah sudah tak perduli anak isteri. Hem!”
Aku tersenyum.
Menoleh ke samping. Kosong. Sprei dingin
waktu kuraba. Dahiku mengernyit. Seraya
menghela nafas, aku meluncur turun dari tempat
tidur. Letak piama kubetulkan. Lalu berjalan ke
pintu. Ku buka pelan-pelan. Dan aku melihatnya.
Anggun seperti patung. Neneng duduk di atas sofa.
Membelakangi kamar tidur darimana aku kemudian
berjingkat-jingkat keluar. Neneng tidak menoleh.
Hal. 7 « 386
Tubuhnya tidak bergerak-gerak sama sekali. Kukira
ia tidur dalam posisi duduk sedemikian rupa. Seraya
geleng-geleng kepala, pundaknya hampir kutepuk.
Tetapi tidak jadi. Aku justru tertegun sendiri melihat
bagaimana wajah Neneng terpaut lurus ke layar
televisi, sebentar-sebentar hilang, disertai suara
keresak-keresek. Jam antik di tembok menunjuk
angka dua belas. Tepat. Jadi siaran telah berakhir
semenjak hampir satu jam yang lalu.
Hati-hati, aku bergerak ke arah televisi.
Kemudian memutar stop kontak. Mati.
Hati-hati pula, aku memutar tubuh.
Menghadap neneng yang masih duduk mematung
di atas sofa. Wajahnya pucat.
Dan matanya berkaca-kaca.
Aku bersimpuh dengan hati yang luluh di
depan sofa, mengelus lututnya.
“Neng ... sayangku,” aku berbisik.
Mata itu terpejam. Dan bibir yang indah itu,
merapat tergigit. Cepat tubuhnya kupeluk. Wajah
kubenamkan di dadanya. Gelembung payudara
yang penuh itu terguncang-guncang keras.
Kemudian telingaku menangkap suara isak tangis.
Hal. 8 « 386
Tersedu-sedu. la balas memelukku. Erat. Bagai tak
akan ia lepaskan biar apapun jua yang akan terjadi.
Terharu, aku berbisik:
...” sudah waktunya tidur, sayangku.”
la menggeleng.
“Aku tak bisa. Aku tak bisa. Bonar-ku!”
“Tetapi Neng ...”
“O, Bonarku terkasih!” kedua telapak
tangannya yang hangat, menekap wajahku,
mengangkatnya sedikit sehingga aku tertengadah.
Di balik kebeningan air yang mengabuti matanya,
tampak ketakutan yang teramat sangat. “Kau
menyukai aku, bukan? Bonar, kau masih tetap
menyukai aku, bukan?”
Kucoba tersenyum. Jawabku:
“Suka? Justru aku teramat mencintaimu!”
“Jangan! Jangan ucapkan kata-kata cinta.
Perkataan itu terlalu agung. Terlalu indah. Terlalu
suci. Dan orang tidak bisa selamanya bersikap
agung, berhati dan berpikiran suci. Katakanlah,
Bonar. Kau menyukai aku seperti aku
menyukaimu.”
Hal. 9 « 386
“Aku menyukai engkau, Nenengku sayang.
Seperti kau menyukai diriku.”
“Dan ... dan kau akan pergi besok!”
“Ya,” aku menelan ludah. “Besok, aku akan pergi.”
...” meninggalkan aku, Bonar. Meninggalkanku!”
“Aku toh segera akan kembali, sayangku”
“Aku tahu. Aku tahu,” ia memelukku semakin
rapat, sehingga wajah terbenam rapat di dadanya,
dan sejenak membuatku sesak nafas. “Aku tahu kau
akan kembali, suamiku, kekasihku, pujaanku. Aku
tahu itu. Tetapi aku juga tahu, bila nanti kau
kembali, kau bukanlah lagi Bonar yang besok
kulepas pergi ...!”
“Neng, kau ...”
“Naluriku mengatakannya, Bonar!”
“Naluri, Bah. Perempuan terlalu berpegang
pada naluri, bukan pada akal sehatnya,” aku bangkit
tanpa melepaskan pelukannya. Tertatih-tatih kami
berdiri kemudian melangkah berdampingan ke
kamar tidur. “Percayalah, Nenengku. Bila Aku
kembali nanti, maka yang kembali itu adalah aku

Hal. 10 « 386
yang sekarang. Jangan lagi mengada-ada. Larut
sudah, kasihku. Kau harus tidur...”
Dan setelah berbaring di atas ranjang, aku
tertawa kecil.
“Masih ingat apa yang kita saksikan tadi siang
di Lapangan Diponegoro, Neng?” ia manggut-
manggut. Lesu.
“Kau cemas memandang kelakuan kakakmu,
Hendra. O, Nenengku,” aku tersenyum seraya
memandangi wajahnya yang mulai kemerah-
merahan kembali. “Aku juga pernah terjun. Tanpa
parachute. Neng. Dan aku ternyata lebih hebat dari
instruktur jagoanmu itu!”
Pelan-pelan, bibirnyapun tersenyum katanya, lirih:
“Masa iya!”
“Sungguh mati,” dan kutekankan: “Berani
sumpah!”
“Oh. Kapan?”
“Tadi!”
“Tadi?”
“Ya. Dalam mimpi!”
Hal. 11 « 386
la tertawa tersendat-sendat. Tawa yang tidak
ikhlas, namun bagaimanapun pelukan hangat yang
ia berikan seraya tertawa itu, teramat ikhlas,
teramat menggairahkan, sehingga mau tak mau
bibirku bergerak-gerak liar mencari bibirnya. Waktu
bertemu, pagutan dua pasang bibir itu seperti
perpaduan bensin dengan api. Membakar. Panas.
Meledak-ledak. Selimut sampai terlontar dari
tempat tidur. Menggelimpang malang di atas lantai.
Namun baik aku maupun Neneng tidak berminat
sama sekali untuk memungut nya. Karena, tidak
saja selimut, piyama di tubuhku dan kimono di
tubuh Neneng, di saat saat berikutnya ikut
melayang-layang untuk kemudian terhampar diam
di kaki tempat tidur.
Lukisan kereta kuda yang melekat di tembok
kamar, seperti hidup tiba-tiba. Roda-roda kereta
terlonjak-lonjak, dan kuda-kuda itu lari, berpacu,
dengan nafas menggebu-gebu. Demikian cepatnya,
sehingga tiba di sebuah tikungan kereta itu tidak
tertahan lagi. Terlontar ke awang-awang dengan
roda-roda yang masih berputar-putar, lemah. Dan
sang kuda, terhempas di tanah. Terbaring diam,
dengan nafas yang tersengal-sengal. Letih ...

Hal. 12 « 386
2

BEGITU taxi 4848 yang kami carter


meninggalkan pintu gerbang Bandung di
Cibeureum, Neneng jatuh tertidur di sampingku.
Pada sopir taxi di depan aku nyeletuk dengan suara
perlahan:
“Slow saja. Bung. Masih banyak waktu”
Sopir melirik ke kaca spion. Kukira ia
mengerti, karena perlahan-lahan ia mengangguk.
Lari mobil ia kurangi, namun tidak terlalu banyak.
Meskipun begitu, professinya sebagai seorang sopir
berpengalaman ternyata tidak mengecewakan, la
memanfaatkan rem dan versnelling secara halus
tiap kali berganti gigi, menyiap kendaraan-
kendaraan lain di depan kami tanpa tergesa-gesa
dan mengambil tikungan-tikungan tajam sepanjang
Citatah dengan manis sekali. Tidur Neneng yang
lelap dalam pelukanku, sama sekali tidak terusik

Hal. 13 « 386
oleh kendaraan yang toh oleh sopir dikebut juga
akhirnya.
Lewat Cianjur. Neneng tampah gelisah dalam
tidurnya.
Beberapa kali ia seperti mengerang. Halus.
Kemudian bibirnya menggerimit, mengucapkan
kata-kata yang tidak begitu jelas kudengar. Kukira ia
tengah bermimpi, biarpun udara pagi yang cerah
bersinap terang membuat sawah di kiri kanan
berwarna hijaur gemerlapan. Kubiarkan Neneng
dalam keadaan serupa itu, karena ingat tadi malam
ia sama sekali tidak bisa tertidur.
Baru setelah tiba di Cipanas, Neneng
kubangunkan.
la menggosok-gosok matanya, seperti
terheran-heran. Kemudian menatapku. Tajam. Dan
lama. Matanya memandangiku seperti memandang
seseorang yang asing dan waktu ia tiba-tiba
memelukku dengar wajah didekapkan ke dadaku,
aku menarik nafas panjang. Berat. Dan terharu. Aku
menyuruh sopir singgah di Rumah Makan “Roda.”
Kuharap udara pegunungan yang sejuk di antara

Hal. 14 « 386
gigitan matahari yang lembut bisa menggugah
Neneng untuk bersikap sedikit gembira.
Tetapi, nyatanya sia-sia.
la makan tak bernafsu. Aku sendiri, hanya
menghabiskan nasi setengah piring, sekerat ayam
panggang, sedikit sup panas dan secangkir kopi
susu. Biasanya aku makan tiga kali lipat dari jumlah
itu tiap kali kami berkesempatan singgah untuk
makan di tempat ini dalam perjalanan pulang pergi
Bandung-Jakarta. Aku masih tetap siraja makan
seperti yang sering disindirkan saudara-saudaraku
waktu aku masih di Medan, bahkan kukira setelah
beberapa tahun aku terbiasa hidup sederhana di
Bandung. Tetapi tidak hari ini!
Masuk kembali ke taxi, Neneng hanya berdiam diri.
Aku tahu apa yang ia pikirkan, dan ingin
memprotes bahwa pikirannya terlalu jauh, dan
bayangannya hanya yang bukan-bukan. Tetapi
kekakuan yang sangat terasa menggantung bagai
tabir di antara kami, membuat aku hanya bisa ikut
berdiam diri, Kualihkan perhatianku pada
panorama indah di kiri kanan jalan. Suasana alam
Puncak berlereng-lereng hijau di selang-seling villa

Hal. 15 « 386
serta bungalow-bungalow megah menjepit rumah-
rumah penduduk yang miskin dan terlantar. Kabut
baru saja pergi, dan jalan aspal di depan roda-roda
mobil tampak hitam legam. Tak ubahnya ular ganas
yang tanpa suatu sebab sekonyong-konyong
terbaring diam, pasrah tetapi gelisah.
“ ... Bonar?”
“Ngg?” aku terjengah, menoleh ke samping.
Neneng menatap lurus ke depan, tetapi aku tahu
sinar matanya teramat kosong.
...” aku tertidur barusan.”
“He-eh. Syukurlah. Tadi malam kau kan tak tidur.”
“Dan aku bermimpi.”
“Wah. Itu biasa!”
“Tetapi mimpiku, Bonar …”
“Hanya bunga-bunga tidur, sayangku,” aku
cepat-cepat menukas, melihat kulit wajahnya yang
berubah kepucat-pucatan serta sinar matanya yang
ketakutan.
“Apakah impianmu tadi malam, cuma
sekedar bunga-bunga juga Bonar?”

Hal. 16 « 386
“He-eh. Karena aku masih berada di bawah
Pengaruh tontonan yang kita saksikan siang
harinya.”
“Ya. Ya. Mudah-mudahan begitu.”
”Kenapa rupanya. Neng?” aku jadi berminat.
“Tadi... tadi juga aku bermimpi.”
“Terjun?” aku tertawa. “Tanpa parachute?”
la tertawa. Malah terbungkam. Lama
Kemudian:
...” aku tidak terjun, tetapi seperti kau, aku
juga melihat jurang. Bukan tiga. Melainkan satu.
Aku … Bonar.” suaranya tersenggap, seperti suara
orang yang hampir terbenam dalam air yang dalam,
“… aku berada di tengah-tengah jurang itu, Bonar.
Sendirian. Kesepian. Dan nun jauh di atas … aku
lihat bayangan samar-samar seorang berdiri
menghadap ke bawah. Melihatiku. Kutajamkan
pandangan mataku. Dan kulihat, kaulah orang itu.
Terpaku di bibir jurang. Diam, terpanggang
matahari. Matahari yang garang, Bonar, dan kau
kulihat terhuyung-huyung. Kukira kau akan jatuh ...
tetapi kau justru terhuyung menjauhi jurang itu.
Mengertikah kau maknanya, Bonar?”
Hal. 17 « 386
“Aku bukan seorang ahli nujum,” keluhku,
agak gugup.
“Bukan makna mimpi itu, Bonar. Tetapi
makna kau menjauhi jurang itu.”
“Tidakkah itu tindakan yang tepat?” kucoba
tersenyum. “Aku terhuyung, tetapi tidak jatuh
jurang, melainkan menjauhi ...”
“Artinya, kau menjauhi diriku juga, Bonar!
Kau meninggalkan aku sendirian terperangkap
dalam jurang yang mengerikan itu!”
Reflex, aku menoleh.
Mataku yang gugup, beradu dengan mata
Neneng yang hampa. Lama kami saling bertatapan,
sampa kemudian aku merasa sesak nafas lantas
mengeluh:
...” kau sudah dikuasai naluri
keperempuananmu kembali, Neneng. Sudah
berapa kali kubilang, aku hanya pulang untuk
menjenguk ibu yang sakit payah. O, bukankah
sudah pernah kuceritakan? Mereka di Medan,
terlalu memikirkan studi dan keselamatanku
sampai ketika suatu waktu aku akan menempuh uji
Sarjana Muda, kuterima surat yang mengatakan
Hal. 18 « 386
mereka semua baik-baik dan mereka semua berdoa
untuk kesuksesanku. Aku sukses, pulang ke Medan
dengan kebahagiaan yang meluap, dan
menemukan ayahku yang sudah terbaring di liang
lahat. la meninggal satu hari sebelum aku ujian, dan
telah menderita sakit payah sewaktu mereka
menulis surat yang mengatakan mereka semua
sehat wal'afiat...,” aku menarik nafas berulang-
ulang. Lelah, dan sakit. Lalu. “Beberapa hari yang
lalu kita terima surat mengatakan ibu sakit payah.
Mereka tak lagi berdusta, dan mereka pasti tengah
menantiku. Kuharap, ibu sembuh dan baik-baik saja
setelah aku nanti di Medan, sehingga aku bisa
kembali keharibaanmu. Sederhana bukan,
Neneng?”
la menggelengkan kepala.
“Tidak,” bisiknya, tajam. “Tak sedikit
kudengar kisah-kisah usang yang sama. Seorang
anak dipanggil pulang dengan dalih orangtua sakit.
Tiba di kampung, sang orangtua ternyata segar
bugar. Tetapi, seorang calon isteri telah siap sedia
menanti si anak pulang. Bonar!” ia mencengkeram
lenganku kuat-kuat. “Akan kawinkah kau di Medan,
Bonar? Akan menikahkah kau di sana?”

Hal. 19 « 386
“Neneng!” protesku. Keras.
Sopir Taxi menoleh ke belakang. Sekilas.
Tetapi kemudian tak acuh.
Kuturunkan Volume suaraku:
“Dengarkan, Neneng. Ibu sakit payah. Aku
harus mendampinginya, dan kau telah setuju itu
kulakukan. Jadi, diamlah sekarang. Demi Tuhan,
buang pikiran buruk jauh-jauh dari kepalamu.
Pikirkanlah hanya tentang dirimu dan diriku saja.
Do'akanlah ibuku cepat sembuh, sehingga aku
segera pulang. Itu saja!”
“Aku tak tahu, apakah aku mampu berbuat
begitu. Tetapi Bonar, setidak-tidaknya jawablah
pertanyaanku yang ini secara jujur: akankah kau
tetap setia?”
“Apaan ini?” rungutku. Marah.
“Maafkan aku sayangku,” ujarnya, lirih seraya
merebahkan wajah di lenganku. “Aku percaya kau
tetap setia dan akan kembali pada gadismu yang
malang ini. Maafkan aku Bonar. Maafkan aku,
kekasih ...!”

Hal. 20 « 386
Air mata Neneng menitik waktu taxi
meluncur memasuki pelataran airport Kemayoran.
Udara Jakarta yang panas gersang yang membuat
air mata itu bercampur dengan keringat yang
membercik di pori-pori kulit wajah Neneng yang
pucat, la berjalan seperti mengambang waktu
memasuki airport. Lengannya memagut lenganku
tanpa lepas-lepas sementara aku melapor kebagian
cheking tiket penumpang, mengurus bawaanku
yang cuma sebuah koper kecil berisi pakaian,
menerima carik bagasi kemudian berjalan ke ruang
tunggu. Di pintu, kami bertengkar sedikit dengan
penjaga karena selain penumpang tidak boleh
masuk ke dalam. Setelah menyelipkan selembar
uang kertas lima ratusan di tangan penjaga itu
waktu kami berjabatan, barulah Neneng
diperbolehkan ikut masuk ke dalam.
Kami tak berkata-kata sepatah pun juga
selama penungguan yang lima menit lebih sebelum
penumpang dipersilahkan masuk ke pesawat yang
sudah siap untuk take-off. Baru ketika kami berdua
berada di pinggir landasan, Neneng sekonyong-
konyong memelukku seraya menangis. Riuh
rendahnya mesin pesawat yang naik turun serta
menyemutnya manusia di sekeliling kami menelan
Hal. 21 « 386
suara isak tangis Neneng yang tersendat-sendat.
Aku setengah berteriak di telinganya ketika kami
berjabat tangan dibatasi oleh pagar:
“Jaga dirimu baik-baik, sayangku”
“Cepat kembali, kekasih,” balasnya.
“Aku akan ...”
“Pergilah! Pergilah! Pergilah ...!” lantas ia
membalikkan tubuh membelakangiku seraya
menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
Beberapa saat aku termangu-mangu, sampai
seorang crew menjentik bahuku seraya menunjuk
ke arah tangga pesawat yang sedang dinaiki
penumpang terakhir sebelum diriku. Seorang
stewardess menatap ke pinggir landasan, dan
dengan perasaan terpaksa aku memutar tubuh,
kemudian bergegas menuju pesawat. Diundak
tangga terakhir, aku masih sempat menoleh dan
melihat Neneng tengah berdiri seraya berpegangan
pada pagar dengan wajah yang pucat memandang
ke arahku. Aku ingin melambai, tetapi tanganku
bagai lumpuh. Dan, Neneng juga tidak melambaikan
tangan.
“Silahkan, saudara ...,” kata stewardess.
Hal. 22 « 386
Aku cepat masuk, setelah mana tangga
dinaikkan. Kebetulan nomor kursi yang kemudian
kududuki berada di samping jendela kaca kecil,
darimana aku bisa memandang ke arah ruang
tunggu. Aku tidak tertarik pada seorang pramugari
yang membacakan pengumuman lewat pengeras
suara yang halus tentang tata tertib dan
keterangan-keterangan tentang penggunaan
pelampung udara bila pesawat dalam keadaan
darurat. Perhatianku tercurah sepenuhnya ke
manusia yang menyemut di pinggir landasan, ke
arah Neneng yang berdiri paling pinggir dengan
tangan masih berpegangan pada bibir pagar, dan
aku merasa pasti dengan wajah pucat basah oleh air
mata.
Baru ketika lampu di pinggir pintu cockpit
menyala merah dan penumpang-penumpang
dipersilahkan mengenakan tali pinggang kursi, aku
menarik nafas kemudian dengan perlahan-lahan
memerintah itu. Tanganku gemetar, dan jari
jemariku seperti kaku rasanya. Uap dingin bagai
menyelinap masuk ke ulu hati waktu pesawat mulai
take-off.
Sekali lagi aku mengintai lewat jendela kaca.

Hal. 23 « 386
Di sana, kulihat Neneng, melambai. Ya, ia
melambai!
Aku membalas lambaian itu, masih dengan
tangan gemetar, menahan perasaan sedih yang
menggugah hati dengan tiba-tiba. Aku tidak tahu
apakah ia juga melihat lambaianku, tetapi aku
yakin, mata hatinya, cintanya dan jiwanya melihat
diriku sepenuhnya. Neneng tampak kecil di antara
manusia-manusia yang menyemut, dan semakin
kecil lenyap sama sekali setelah pesawat
mengapung tinggi dii udara.
Namun di antara awan putih perak yang tak
lama kemudian seperti menggantung di sayap
pesawat, titik-titik halus dari balik awan itu seperti
muncul menerawangi langit yang biru jernih. Titik-
titik yang kian membesar, di antara titik-titik lain
yang menyemut dan juga kian membesar. Di antara
rasa kehilangan sewaktu berpisah dengan Neneng,
terselip sebuah bayangan di antara banyak
bayangan-bayangan lain yang bermunculan seperti
tak mau ketinggalan. Orang-orang memang tidak
menyemut, tetapi jumlahnya cukup banyak juga
waktu berkumpul di depan fakultas. Di sana-sini
terdengar teriakan-teriakan memerintah, suara-

Hal. 24 « 386
suara mencemooh, tertawa yang berkakakan, suit
menyuit dan bisik yang riuh rendah.
Gerombolan itu kemudian terlihat berjalan di
jalan setapak, di tengah-tengah sawah,
berpancaran di kaki-kaki bukit, beriring-iringan
mendaki. Langit tengah bersenang hati, dan
matahari tengah bergembira ria. Banyak rekan-
rekan yang menyanyi-nyanyi selama cross country
yang diadakan oleh fakultas itu berjalan tertib,
lantas lama kelamaan mulai tidak teratur. Di
tengah-tengah sebuah hutan, gerombolan itu
berpecah-pecah dalam kelompok-kelompok yang
susul-menyusul. Kelompok-kelompok itu semakin
jauh semakin kecil semakin berpencar-pencar.
Teriakan marah panitia lewat speaker sia-sia saja.
Kemudian lenyap ditelan kesepian hutan yang
mencengkeram bukit landai yang tengah didaki.
Terengah-engah, aku berjalan menyusul
seorang gadis yang berlari-lari jauh di depan. Sekali
ia terbanting jatuh ke atas tanah berumput,
terpekik halus, bangkit kembali dan aku telah
berhasil menyusulnya. Namun begitu aku coba
menjangkau, ia cepat-cepat menghindar kemudian
lari lagi.

Hal. 25 « 386
“Neneng!” teriakku parau. “Kita makin jauh
meninggalkan kawan-kawan lain.”
“Biar!” sahutnya. Lantas menghilang di
sebuah kelokan yang ditumbuhi semak belukar.
“Apakah memang dari sini jalannya ke
Cisarua,” tanyaku seraya mata mencari-cari.
Dari dalam semak belukar, terdengar sahutan:
“Entahlah. Aku tak tahu!”
“Nanti kita tersesat, Neng.”
“Biarin!”
“Neng, aku sudah capek. Marilah berhenti
dulu barang sejenak dan ...,” dan aku tidak melihat
jalan menurun di bawah lindungan semak. Seketika
tubuhku terguIing-guIing, kemudian terhempas di
dekat sebatang pohon tumbang yang telah mulai
lapuk.
Mataku berkunang-kunang sesaat.
Lalu aku melihatnya. Neneng, terbaring diam
di sampingku, dengan mulut yang melepas tawa
renyai.

Hal. 26 « 386
“Seingatku,” aku berujar dengan suara
terputus-putus, menatap kilau matahari yang
mengintip dari sela rimbunan dedaunan. Pohon-
pohon yang menjulang tinggi, bagai membentuk
kerucut dengan lingkaram lembut di tengah-
tengahnya. Ada burung bernyai dan beberapa ekor
tupai berloncatan dari dahan ki dahan. Seekor kera
menyeringai ke arah kami, kemudian lari waktu
kulempar dengan sebuah batu kecil.
“Untung tak kena. Kalau tidak...” sungut
Neneng.
“Kalau tidak, mengapa rupanya?”
“Bisa celaka.”
“Eh, kok?”
“Kau dianggap melempar nenek moyangmu
sendiri!” ia tertawa.
“Apa? nenek moyangku kau bilang kera?”
“Darwin yang bilang!”
“Hih, kau!” aku mencubitnya, la mengelak
sedikit, sehingga arah tanganku melenceng ke arah
dadanya. Aku terjengah. Neneng terjengah. Tangan
tak juga kutarik dari tempatnya hinggap, lembut,
Hal. 27 « 386
hangat dan bergetar. Neneng tidak pula
menolakkannya. Matanya memandang sayu ke
mataku. Bibirnya setengah terbuka. Basah.
Menantang. Ketika aku menciumnya, tubuh
Neneng terguncang-guncang, la memagut bibirku
dengan keras, menggigitnya. Tetapi tiada rasa sakit.
Tiada, sama sekali. Yang ada ham lah…
Seekor cerpelai, rupanya jatuh dari ranting
sebua pohon, kemudian berlari terburu-buru,
menyelinap antara semak belukar. Matahari telah
condong ke barat. Langit masih membiru, tetapi
dari kerucut puncak pohon-pohon berdaun rimbun
seperti lentera yang sudah kehabisan minyak.
Bersinar lemah, kelam dan gelepar beberapa ekor
burung berpindah tempat terdengar ribut waktu
Neneng bangkit seraya mengenakan pakaiannya
kembali. Ketika kemudian ia duduk bersimpuh di
hadapanku, bibirnya tersenyum. Manis sekali.
“Aku kira tadinya kau tak lagi seorang gadis,”
bisikku, bergetar.
“Dan kau, menurutku, bukan lagi seorang
perjaka!” balasnya, bergetar.

Hal. 28 « 386
“Kau ... kau tidak menyesal. Bahkan kau ...
kau tidak menangis!”
“Menangis?” ia tersenyum. Lembut. “Apa
yang harus kutangisi? Suatu saat, seorang
perempuan toh akan kehilangan kegadisannya. Aku
baru menangis bila kau menjawab tidak atas
pertanyaanku ini...,” ia genggam kedua belah
pipiku, lalu:
“Kau suka padaku, Bonar?”
Aku mengangguk.
“Itu sudah cukup,” katanya, menarikku
berdiri. “Marilah kita pulang!”
“Pulang? Dan kawan-kawan?”
“Kalau mau pilih mereka, pergilah. Kalau mau
pilih aku…”
“Aku memilih Neneng. Dan itulah
permulaannya!”

*
* *

Hal. 29 « 386
“TALI pinggangnya, saudara?”
Aku tersentak dari lamunan yang membisu
itu. Seorang pramugari berdiri di sebelah tempat
dudukku, setengah membungkuk seraya tersenyum
manis.
“Ya?”
“Tali pinggangnya. Kita akan segera turun...!”
ulangnya tanpa melepaskan senyuman manis
dibibir.
Tidak ada yang menyambutku di airport.
Memang aku pulang tanpa memberitahu keluarga.
Karena begitu surat mereka kuterima, begitu aku
mem-booking tiket pesawat. Kalau kukirim surat,
pastilah kehadiranku akan mendahului tibanya
surat itu di alamat yang dituju. Orang setengah baya
yang gagah tadi mengajakku ikut naik Merzedez
yang menantinya di luar airport. Aku menolak
dengan halus. Tak ingin berhutang budi pada orang
yang tidak kukenali meskipun sekarang aku berada
di kampung halamanku sendiri. Aku kemudian
mencarter sebuah Foat 1100 yang sudah agak
rongsokan.

Hal. 30 « 386
“Jalan Pimpinan,” kataku pada sopir. “Cepat
sedikit!” lanjutku, ingat pengalaman dua tahun
yang lampau waktu aku pulang untuk pertama kali
ke kota ini. Waktu itu, aku tiba di rumah yang suram
oleb suasana berkabung dan ribut oleh isak tangis.
Kata mereka, ayah masih menanyakan aku sesaat
sebelum menghembuskan nafas terakhir. Kini, aku
tidak ingin ibu menanyakan diriku bahkan aku sama
sekali tidak berharap ibu dalam keadaan sakit payah
sehingga mereka begitu merasa penting untuk
menyuruhku pulang. Kerinduan pada keluarga
terasa menyentuh-nyentuh di ulu hati, menekan
dalam perasaan was-was kalau aku sampai
mengalami hal buruk yang sama sampai dua kali.
Dan, ternyata ibuku sehat wal'afiat. Tidak
kurangi suatu apa!
la duduk di kursi malas, agak gemetar setelah
mengetahui siapa yang bersimpuh kemudian
mencium punggung tangannya yang keriputan dan
tergeletak lemah di atas kedua lututnya yang kurus,
la tertawa kecil matanya yang sudah agak rabun
berusaha meneliti wajahku yang kemudian ia
pertegas dengan-meraba wajahku mempergunakan
tangan-tangannya yang tinggal kulit berbalut

Hal. 31 « 386
tulang. Tangan-tangan itu gemetar dan suara yang
keluar dari mulutnya juga gemetar:
“… kau tak bilang-bilang mau pulang,”
katanya terharu.
Rumah yang sepi itu mendadak ramai pada
sore harinya. Semua anak dan cucu-cucu ibunda
berkumpul setelah saling hubung menghubungi.
Kedua orang saudara-saudaraku, kakak perempuan
dan abang lelaki, bergantian memeluk seraya
tertawa riang gembira. Tidak ada suasana duka
yang kubayangkan, tidak ada kekhawatiran yang
kucemaskan.
“Kalian membohongiku,” aku agak menuntut
pada Tigor. “Dalam suratmu, abang berkata kalau
ibu sakit.”
Rosmala kakak perempuanku, menukas:
“Memang ibu sakit-sakitan belakangan ini.
Tak ada salahnya kita kumpul-kumpul sebelum
terjadi apa yang tidak kita sama-sama kehendaki,
bukan?”
“Ah, kalian berdua! Rupanya ingin ibu cepat-
cepat mati ya?”

Hal. 32 « 386
“Husy, apa yang kau percakapkan?” bentak Tigor.
Dan suasana riang gembira itu, atas
kehendak Tuhan, malam harinya berubah jadi
suasana kaku yang mencekam. Ruang tengah sepi
menyentak. Kemanakan-kemanakanku sudah pada
tidur. Yang tinggal hanya aku, ibu yang duduk di
kursi malas yang sama seperti tadi siang, Tigor
beserta istrinya dan Rosmala bersama suaminya.
Setelah berbasa-basi ke sana kemari, hampir-
hampir tanpa tujuan sehingga membuat aku curiga,
akhirnya ibu berkata dengan suara memalas:
“Kami tahu waktumu di kota ini tak banyak,”
katanya, disusul oleh suara batuk-batuk yang
kering. Setelah batuknya reda, ia kemudian
melanjutkan:
“itulah sebabnya, kuminta kalian semua
berkumpul malam ini. Tadinya kita tak yakin Bonar
akan pulang. Tetapi ibu sudah bilang, ia anak baik.
Si bungsu yang tahu menjaga hati orang tua ...
sekarang ia telah berada di tengah-tengah kita.
Sudah waktunya kita beritahu pada si bungsu, la kita
panggil pulang, karena keluarga calon isterinya
sudah tak sabar menunggu!”

Hal. 33 « 386
Selama beberapa detik, suara yang meluncur
deras dari sela-sela bibir ibu, tak ubahnya ribuan
tawon yang keluar berbondong-bondong dari
dalam sarangnya. Terbang di udara dengan suara
berdengung-dengung. Lama berlalu sampai suara
berdengung itu menghilang dan aku tersadar
dengan rasa sakit yang ditinggalkan oleh sengatan
tawon yang tidak mengenal belas kasihan itu.
Rosmala mendehem halus. Suaminya menarik
nafas. Tigor memandang tajam ke mataku. Dan
isterinya mengalihkan muka ke arah lain. Kawin!
Tersirap darah di sekujur tubuhku.
Kawin!
Dan Neneng di Bandung! Neneng-ku sayang!
“... bagaimana?” ibu bertanya tiba-tiba
memecah kesepian yang menganga dalam ruangan
itu. Ruang tengah yang tadinya sejuk dan kini terasa
gersang menyesakkan.
Aku terdiam. Yang lain-lain terdiam. Ruang
tengah ikut terdiam.
Ibu terbatuk-batuk. Kering, la urut dadanya.
Perlahan. Dan hatiku terenyuh. Tigor di sampingku
mengeluh.
Hal. 34 « 386
“Jawablah!” bisiknya, parau.
“Bonar?” desak ibu.
Aku memandang Tigor. Matanya mengutara
kan permintaan yang sama. Aku alihkan
pandanganku ke wajah kak Rosmala, suaminya, dan
isteri Tigor yang juga kini tengah memperhatikan
wajahku, menanti kata apa yang terucap dari
mulutku.
“Tetapi...”
Suaraku yang tersendat hampir-hampir tak
terdengar itu, dihentikan oleh sodokan yang keras
dari tangan Tigor di punggungku.
“Jangan berkata tidak,” bisiknya, tajam.
“Tetapi, bang…”
“Tak ada tetapi-tetapi!”
“Bang Tigor!”
Suara ibu yang serak bergaung di antara kami:
“Apa yang kalian pertengkarkan, anak-anakku?”
Rosmala membasahi bibirnya yang pucat, lalu
berkata dengan suara yang diramah-ramahkan:

Hal. 35 « 386
“Bonar masih malu-malu, ibu”
Ibu tertawa. Halus. Matanya yang rabun,
bersinar-sinar. Sinar yang tinggal sisa-sisa. Seakan
ingin menerangi dunianya yang semenjak ditinggal
mati oleh ayah telah berubah kelam dan gelap
gulita.
Dengan rasa sayang seorang ibu, ia berujar:
“Ah, si bungsu yang nakal. Masa sudah
seumur begini…”
“Bukan itu soalnya, bu,” cepat aku menukas.
“Ya?”
“Bukan…”
“Bonar!” Tigor menyodok punggungku lagi.
“Jangan berbelit-belit...,” dan waktu ia lihat apa
yang tersirat dibenakku, cepat-cepat ia lanjutkan:
“Dan jangan berkata tidak!”
“Ini paksaan!” aku menjerit, dalam hati tapi.
Dan di mulut: “Bu berilah anakmu ini waktu untuk
berpikir.”
Ibu manggut-manggut.

Hal. 36 « 386
“Sebenarnya itu tak perlu, anakku. Tetapi ...
ah, aku tahu perasaan hatimu. Ayahmu juga. dulu
begitu waktu ditanya oleh kakek kalian. Ayahmu
minta waktu, padahal ia sudah tak sabar untuk
menjawab menyatakan rasa senang hatinya, la
pemalu seperti kau. Baiklah, Bonar. Asal kau rasa
cukupi waktumu. Bagaimana. Boleh aku tahu kapan
kau nyatakan persetujuanmu?”
Nada pertanyaan ibu begitu pasti. Persetujuan yang
ia harapkan begitu ia yakini.
Aku bagai terlandai, terkapar diamuk badai.
Sebelum aku menjawab, ibu sudah memutuskan:
“Sudahlah. Besok malam kita berkumpul-
kumpul lagi, dan ibu harap kita sudah bisa
memberikan jawaban pada keluarga calon istrimu,
kapan waktunya yang tepat pernikahan kita
langsungkan. Ah, kudengar kau mengeluh, Bonar.
Apa yang kau keluhkan? Menyesal mengulur waktu,
padahal kau sudah setuju?” ibu tersenyum-senyum.
“Sabar, anakku. Sabar... kata sudah diucapkan,
jangan ditarik kembali. Lagipula, kau belum lihat
bagaimana keadaan Marianna sekarang... oh! la
bukan lagi anak kecil seperti waktu kau tinggalkan,

Hal. 37 « 386
la sudah berubah benar, nak. Baik perilakunya,
cantik rupanya dan ...”
Dan aku terhuyung-huyung keluar dari ruangan
yang semakin pengap itu!
Di terras, aku duduk di sebuah kursi rotan
yang sudah retas-retas. Dadaku bergemuruh.
Bergoncang. Dahsyat. Dan belakang kepalaku
berdenyut-denyut. Menyakitkan. Aku tertengadah.
Langit kelabu. Dari bulan tampak teramat pucat,
mengintai dari sela-sela gumpalan awan yang
berarak seperti sebaris pasukan yang sudah siap
untuk bertempur. Bulan mundur teratur, dan aku
tenggelam dalam kegelapan yang mengerikan, tak
kuasa untuk melarikan diri. Aku duduk di situ, tak
ubahnya seorang pengemis hina yang terlunta-
lunta, tiada yang memandang walau sebelah mata
pun jua. Udara malam kota Medan yang gersang,
menyesakkan nafasku. Keringat jatuh membanjir.
Tubuhku tenggelam dalam genangan keringat itu,
tersobek-sobek jadi gumpalan-gumpalan daging
yang siap untuk dijagal.
“Neneng, Nenengku yang malang. Nenengku
sayang...,” tak sabar, aku merintih seraya menekap
dada yang menyempit. Luka.
Hal. 38 « 386
Seorang menepuk pundakku.
Aku menoleh. Kaget.
Seperti langit, wajah Tigor yang tau-tau telah
berdiri di sampingku, tampak kelabu. Juga wajah
Rosmala yang ikut mendampinginya.
“Jadi itulah sebabnya,” cetus Tigor seraya
duduk di bibir terras. la menatap ke pekarangan
yang ditumbuhi bunga-bunga yang terawat apik di
antara kerikil-kerikil yang tersusun rapih. “Apakah
Neneng nama gadis yang kau tinggalkan di
Bandung?”
Aku terpekur.
Menyahut pelan, dengan suara yang runtuh: “Ya”
“la tentunya gadis yang beruntung.”
Terdorong oleh nada sympathi yang
tersembunyi dibalik kata-katanya, semangatku
yang sempat hilang perlahan-lahan kembali
menyelinap dalam dada.
“Akulah sebenarnya yang beruntung, bang.
Neneng bukan saja seorang gadis yang baik. la juga
seorang yang sangat pengasih, dilimpahi rasa
sayang yang seperti tak akan pernah habis, la tak
Hal. 39 « 386
pernah berpikir panjang untuk berkorban bila saja
aku menghendaki sesuatu. Dan ia ...”
“Bonar...”
“Ya, Bang?”
“Kau lihat pekarangan ini? Rapih, bukan?”
Aku mengangguk.
“Kau sudah lihat suasana perabotan di
rumah. Manis. Dapur senantiasa tampak bersih. Tak
setitik debu pun boleh menjejakkan kaki di rumah
kita. Tidak secerah warna muram boleh bertingkah
di dekat ibu. Kau pikir, siapa yang melakukan semua
itu, Bonar? Siapa kau kira?”
Aku angkat bahu. Acuh tak acuh.
Tigor tertawa kecut. Katanya:
“Marianna, Bonar. Anna-lah satu-satunya
orang yang masih memperhatikan rumah ini seperti
ia memperhatikan rumahnya sendiri. Anna jualah
orangnya yang mengurus ibu kita, seperti ia
mengurus ibunya sendiri. Adakah kau kira gadis lain
yang lebih baik, lebih pengasih dan lebih sudi
berkorban selain dari pada Marianna?”

Hal. 40 « 386
Mengertilah aku tujuan kata-katanya.
Maklumlah aku, sympathinya hanya pura-pura.
Darahku seketika naik kepala. Gemetar, aku
berkata:
“Kalian seperti menuntutku. Memojokkan
aku ke sudut, seorang diri. Kalian tonjol-tonjolkan
perilaku Anna. Tetapi sadarkah kalian, bahwa tugas-
tugas itu sebaiknya kalian sendirilah yang
melakukan? Kalian memperbabu Anna, kalian
memperbudaknya. Dan kini, kalian mau
menjejalkan budak yang kalian perbabu itu ke
dalam diriku. Aku jadi berpikir. Saudara-saudaraku
yang penuh kasih sayangkah kalian ini? Atau hanya
sekedar robot-robot yang tidak tahu harga dirinya
sendiri karena terlalu memikirkan untuk menekan
harga diri orang lain, eh?”

*
* *

Hal. 41 « 386
3

WAJAH Tigor jadi merah dadu. Rosmala


tersadar ke tembok, dengan wajah yang pucat dan
mulut ternganga.
Aku tertawa. Pahit.
“Bagus benar,” rungutku. Marah. “Bagus
benar perbuatan kalian. Selama ini aku
menganggap, kalian adalah saudara-saudaraku
yang baik hati, saudara-saudaraku yang pengabdi.
Tak taunya, kalian hanya memikirkan diri sendiri.
Ditambah isteri atau suami, dan sesusun anak-anak.
Bah!”
“Bonar. Jangan berkata begitu,” desah
Rosmala. Kelu.
“Lantas, apa yang harus kukatakan? Bahwa
kalian adalah anak-anak yang benar-benar
bertanggung jawab terhadap orangtua?”

Hal. 42 « 386
Tigor tertawa tiba-tiba. Tertawa kering.
“Hebat kau ini,” dengusnya. Tajam. “Itulah
hasil didikan yang kau peroleh di Bandung, eh?
Merendahkan martabat abang dan kakakmu. Dan ...
he, kau si bungsu yang kata ibu bisa menjaga hati
orang tua. Apa sajakah yang telah kau lakukan
untuk ibu kita yang malang dan sakit-sakitan itu.
Apa saja, he bungsu yang sangat tinggi harga diri?
Apa?”
Tanganku bergumpal-gumpal. Kebas.
Kuhantamkan ke jidat. Lalu ke paha. Keras.
Berulang-ulang. Rosmala memekik tertahan,
memburu ke depan lalu mencengkeram kedua
pergelangan tanganku, yang ia bawa ke dadanya,
yang ia ciumi dengan penuh kasih, yang ia basahi
dengan cucuran air mata.
“Sudahlah dik, sudahlah,” isaknya.
“Diam kau, Ros. Kau tahu apa! Menangis.
Bah! Biar keluar air matamu satu ember-pun, tak
akan kau bisa menyadarkan anak yang tak berguna
ini.”
“Abang!” jerit Rosmala lirih.

Hal. 43 « 386
“Kubilang, diam. Lalu masuklah kau ke dalam.
Tidur bersama suami pilihan hatimu itu. Pilihan hati.
Puih,” Tigor meludah. “Nyatanya, hanya karena ada
anak-anak yang mengikat kalian untuk tidak sampai
berpisah. Kau terlalu cengeng. Suamimu keras
kepala. Kau terlalu memikirkan anak-anak. Suami
mu, hanya memikirkan pekerjaan. Memikirkan
mencari uang sebanyak-banyaknya. Pilihan hati…
Bah! Seperti itukah contoh yang telah kau berikan,
sehingga Bonar kini berani menghinaku? Menghina
kau? Begitukah, Ros?”
Dada Rosmala tergoncang-goncang.
“Berkacalah, Tigor,” desisnya, tajam.
“Berkacalah, sehingga kau akan sadar bahwa kau
hanya si dungu yang melihat kutu di seberang
lautan tetapi tak melihat gajah nempel di kelopak
mata! Berkacalah, Tigor. Bahwa kau menerima
begitu saja pilihan ayah almarhum. Bukan karena
kau tak punya kekasih. Semata-mata karena kau tak
tahu apa artinya cinta. Kau memang tidak pernah
jatuh cinta. Tidak pernah. Baik pada isterimu.
Apalagi pada anak-anakmu. Kau sebenarnya
seorang suami yang berhati keji. Seorang ayah yang
berjantung kotor. Kau tega mendamprat isterimu.

Hal. 44 « 386
Tega memukuli anak-anakmu. Hanya karena
isterimu mencium kebiasaanmu suka main
perempuan di luaran!”
Lantas, dengan nafas tersengal-sengal
Rosmala memandangku.
“Itulah antara lain sebab mengapa ayah
menderita, la menyesal telah memaksakan
kemauannya pada abangmu, la merasa
menterlantarkan abangmu. Menterlantarkan anak
dan isteri abangmu. Lalu ia mati. Tetapi Bonar,
adikku. Sebelum ayah meninggal, ia sempat
berpesan. Kawinlah kau dengan siapa saja yang kau
anggap bisa membahagiakan dirimu. Tetapi
ingatlah. Perempuan yang kau kawini, haruslah pula
bisa membahagiakan orang tua dan keluargamu!”
Setelah berkata demikian, ia mengusap matanya.
Mengucap istigfar.
Lantas, berlari masuk ke dalam rumah.
Tubuhku tegang membatu. Tigor, terpaku di
tempatnya duduk. Wajahnya jatuh. Tangannya
yang mencengkeram bibir terras, tampak sangat
lemah, la sangat terpukul. Benar-benar terpukul.
Namun seorang laki-laki yang merasa dirinya adalah
Hal. 45 « 386
lelaki, tidak akan sudi dipukul begitu saja. Tidak, la
tak mau. Aku tahu siapa Tigor. Aku masih ingat,
bagaimana dulu ayah memarahi Tigor padahal
kesalahan bukan terletak di tangan abangku itu,
melainkan di tangan adik-adiknya. Ayah
mengumpat caci Tigor. Mengatakannya pencuri.
Mengatakannya anak haram jadah. Anak tak tau
diri.
Tigor bukannya memukul aku dan Rosmala
yang jelas-jelas bersalah. Tetapi, ia, anak yang
tertua itu, langsung memukul ayah! Sehabis
memukul, ia memeluk ayah, menangis dan
memohon maaf. Ayah memaafkannya, dan mereka
tidak pernah lagi saling menghina. Mereka telah
sama-sama tahu, bahwa mereka adalah sama-sama
lelaki. Perasaan kelelakian yang lambat laun
mengenyampingkan perasaan ayah dengan anak,
antara anak dengan ayah. Aku juga masih ingat,
bagaimana Tigor mula pertama tertarik pada
seorang perempuan, la mengirim surat kepada si
gadis. Sayang, tulisan tangannya seperti cakar
ayam, dan kalimat yang ia susun tak jauh berbeda.
Juga seperti ayam, berkotek tanpa irama, mencakar
hampir-hampir tanpa tujuan.

Hal. 46 « 386
Si perempuaan tidak membalas surat itu.
Dan sekali waktu mereka berpapasan di jalan.
Aku bersama bang Tigor. Si perempuan bersama
kekasihnya. Si perempuan tertawa melecehkan.
Dan si laki-laki meludah ke tanah. Abang
melepaskan pegangannya dari tanganku, berlari
mengejar sepasang remaja yang tertawa-tawa
senang itu. Si laki-laki ia renggut, ia tinju sekali jadi.
la hampir saja melakukan hal yangl sama pada si
perempuan, tetapi waktu menatap mata gadis itu,
tangan abang yang terkepal, terkulai jatuh di kedua
belah sisi tubuhnya.
“Sayang, aku pernah jatuh cinta padamu.
Kalau tidak…”
Perempuan itu kami tinggalkan termangu-
mangu di dekat kekasihnya yang jatuh pingsan.
Itulah satu-satunya perempuan yang Tigor cintai,
kemudian ia benci. Dan semenjak itu, ia tidak
pernah berusaha untuk mencintai gadis lain, dan
teramat susah baginya untuk tidak membenci
mereka, la memang tidak mencintai isteri yang
disodorkan ayah untuk ia kawini. Tetapi sebagai
seorang suami, ia berusaha untuk tidak membenci
nya. Dan kebencian yang terpendam itu ia
Hal. 47 « 386
lampiaskan dengan bermain perempuan di luaran.
Bila ada yang sampai jatuh cinta, ia tinggalkan
tersia-sia. Bila ada yang hanya iseng, ia caci dan
hina. Tak sedikit kali Tigor berurusan dengan polisi
karena pengaduan-pengaduan keluarga si gadis.
Tak sedikit pula uang yang dikeluarkan ayah untuk
menetralisir pengaduan-pengaduan itu, menutup
mulut perempuan-perempuan itu. Akibatnya ayah
dipecat dari kedudukannya sebagai orang yang
lumayan berpengaruh di sebuah perusahaan,
kemudian jatuh bangkrut. Konon, sampai waktu ia
meninggal, ayah tidak punya uang sepeserpun
untuk membeli peti mati.
“Si Rosmala benar,” sayup-sayup aku dengar
Tigor mengeluh.
Bulan di langit, muncul, tetapi pucat sekali.
“Aku mengakui tuduhannya. Tetapi itu dulu.
Kini aku sudah menjelang tua. Ponakan-ponakanmu
sudah besar. Yang seorang malah sudah di akademi.
Sudah tak layak aku berperilaku seperti dulu ...”
la kemudian memandangku dengan mata memelas.

Hal. 48 « 386
“Tetapi, Bonar, adikku,” suaranya berubah
lembut. “Kau tidak punya alasan untuk menolak
sebagaimana aku pernah melakukannya, bukan?”
Aku terdiam.
“Kau harus memikirkan, adik. Ibu begitu
membanggakanmu. Di samping karena kau anak
bungsu, juga karena kaulah satu-satunya di antara
kita bersaudara yang sempat mengenyam gelar
seorang Sarjana. Lagi pula, ia sakit-sakitan. Sudah
setengah pikun. Kinilah saatnya, Bonar, kau
tunjukkan pengabdianmu sebagai anak yang ia
sanjung dan puji. Lupakanlah gadismu yang
bernama Neneng itu, dan terimalah Marianna
sebagai isterimu!”
Kami berpandangan sejenak. Mata Tigor
memohon...
Lalu tanpa berkata sepatahpun lagi, ia
memutar tubuh. Masuk ke rumah dengan langkah-
langkah yang gontai. Aku terhenyak di kursi yang
kududuki. Pikiranku kacau. Tak menentu. Perasaan
pusing mulai menyentuh belakang kepala. Karena
tak tahan, aku bangkit. Berjalan masuk ke dalam.
Sepi. Masuk ke kamar tidurku, kesepian itu kian

Hal. 49 « 386
terasa. Aku duduk menjuntai di pinggir ranjang.
Kasur yang kududuki, terasa empuk dan hangat.
Spreinya bersih, baru di. licin, malah tampaknya
baru dipakai. Berwarna merah jambu, dengan
sulaman dua buah hati bergaris-garis violet
ditengah-tengahnya. Warna yang sama jugal
terdapat pada renda-renda di tepi sprei. Tak jauh di
kepala tempat tidur, tidak kulihat lagi meja belajar
yang selalu kupergunakan waktu masih sekolah di
lanjutan atas.
Di bekas tempat meja itu, kini terletak sebuah
toilet. Berkaca rangkap. Di kaca, aku melihat
wajahku sendiri. Pucat. Tidak bersemangat.
Sepasang mataku merah seperti saga. Terasa perih
waktu dikerdip-kerdipkan. Kugelengkan kepala
berulang-ulang , namun rasa pusing itu tak juga mau
hilang. Seraya menarik nafas panjang, kupandangi
lagi toilet itu. Seperangkat kosmetik mengintai diam
dari balik kaca bagian bawah. Aku tidak tahu itu
milik siapa. Baru setelah memperhatikan wajahku
lagi di kaca, pada bagian sudut atas kulihat sebuah
foto kecil terjepit oleh penjepit kaca. Seperti ditarik
magnit, aku turuni dari ranjang. Berjalan ke toilet.
Kupandangi potret itu.

Hal. 50 « 386
Dan tanpa terasa, aku tersenyum. Pahit. Di
potret aku melihat wajah seorang gadis, masih
berusia belasan tahun. Dandanan dan tatap
matanya kekanak-kanakan. Hidungnya bangir,
bibirnya merah delima, matanya bundar bercahaya-
cahaya, tanpa eye shadow pada alis dan tanpa bulu
mata palsu. Wajahnya membujur seperti telur.
Kucoba mengingat-ingat siapa gadis ini gerangan, la
bukan Rosmala, karena kakakku itu sudah berumur
hampir tiga puluh tahun sedangkan potret ini masih
baru. Lagi pula, Rosmala berwajah bundar, yang
sering kuejek waktu kecil kalau bertengkar dengan
sebutan “wajah tempayan.”
Dengan hati-hati, potret kecil itu kucabut.
Lalu kubalikkan.
Tertulis dengan tinta warna merah darah.
“Untukmu, sayangku,” di bawahnya, sebuah
nama: “Anna.”
“Kau memang cantik, Marianna,” aku
bergumam sendirian. “Sudah begitu besar kau
sekarang. Untuk siapa ucapan ini kau tujukan?
Untukku? Kalau benar, Marianna, maka yang akan

Hal. 51 « 386
kujawab padamu hanyalah: belajarlah untuk
berbuat lebih dewasa.”
Potret itu kukembalikan ke tempatnya semula.
Aku kembali ke tempat tidur. Sebelum,
berbaring, kukeluarkan sebuah potret lain dari
dalam koper. Di kertas berukuran saloon itu,
Neneng tertawa manja, matanya berkilauan manja,
anak-anak rambutnya berlari-lari di pipinya, manja.
Tetapi ia bukan seorang perempuan bersikap
kekanak-kanakan dengan menempelkan potretnya
dalam jepitan kaca. Bahkan potret inipun, baru
dengan susah payah bisa kuperoleh sehari sebelum
aku tinggalkan ia di Bandung.
“Tukar-tukaran foto hanya menimbulkan
impian kosong,” pernah ia berkata. “Bila kau
bahagia, kau pandangi potret itu seraya tertawa.
Tetapi bila kau bersedih, kau pandangi potret itu
seraya menangis. Kadang-kadang, disertai caci
maki. Bisa jadi potret itu kau sobek habis. Lalu buat
apa kuberikan padamu?”
Dan kemaren dulu, ia tak membantah lagi
waktu kubilang:

Hal. 52 « 386
“Kalau kau ingin selalu berada di hatiku, maka
di Medan, kuingin kau tidur di sampingku, meskipun
hanya berwujud selembar foto!”
Aku tidak meletakkan foto itu terbaring di
sampingku. Melainkan kulekatkan ke wajah,
kucium, di bagian bibirnya.
“Tahukah kau, sayangku,” aku berbisik. Getir.
“Kesetiaanku padamu, tengah menghadapi cobaan.
Neneng, kekasih. Apa yang kau lakukan sekarang di
rumah? Membaca? Nonton televisi? Tidur?
Nyenyakkah tidurmu? Mimpi apa kau, sayangku?
Kalau aku ... ah, Neneng, manisku. Apapun yang
terjadi aku akan kembali. Percayalah kasih, aku
akan kembali keharibaanmu!”
Potret saloon itu kurebahkan di dada.
Seakan, Neneng yang rebah di dada. Wajah
nya menggeliat di leherku. Bibirnya menggigit di
daguku. Dadanya bergelombang, tergoncang-
goncang. Di antara desah nafasnya yang panas,
Neneng akan selaliu berbisik mesra:
“Hancurkan aku, Bonar. Luluhkan tubuhku,
jadikan satu dengan dirimu!”

Hal. 53 « 386
Kemudian, tempat tidurlah yang ikut
bergoyang-goyang. Terus bergoyang demikian,
selama berbulan-bulan, bahkan sudah lebih dari
setahun. Goyang-ber-goyang itu tidak membenih
kan sesuatu yang bisa kami ajak bercanda, yang bisa
kami momong bersama. Namun meskipun tanpa
anak, benih-benih lain menjelma lebih besar.
Perasaan cinta, yang jauh lebih agung dari hanya
sekedar saling menyukai. Cinta itu terkadang
menghanyutkan aku sehingga dengan megap-
megap aku sering berkata:
“Inikah yang dinamakan Cinta, Neneng-ku?”
Dan ia akan tertawa. Katanya:
“Jangan bergurau.”
“Aku bersungguh-sungguh. Kalau tak percaya,
belahlah dadaku.”
“Kalau kubelah, kau akan mati. Tinggallah aku
menjanda, berurusan dengan polisi!”
Tawa kami bergelak. Panjang.
Kadang-kadang, aku tak tahan untuk menuntut:
“Sampai kapan kita hidup serumah seperti
ini, Neng?”
Hal. 54 « 386
“Sampai kapan? Sampai bosan!”
“Apakah cinta mencapai titik kebosanan?”
“Nah. Kau bergurau lagi. Persetan itu cinta,
tetapi yang jelas. Perasaan saling menyukai, ada
batasnya.”
“Dan bila itu terjadi?”
“Kuharap tidak?”
“Sampai kapan?”
“Sampai kita sudah tua. Kau jadi kakek-kakek
jompo, dan aku nenek-nenek pikun. Kau tanya, he
nenek pikun, mana tempat tidurku? Lalu kujawab,
he kakek jompo, tempat tidurmu terletak di sana.
Dan akan kutunjukkan di mana letaknya kamar
mandi.”
Kucubit pahanya. Keras-keras.
la memekik. Keras-keras.
Kucubit lagi. Manja.
la memekik. Manja.
Dan sambil bercubit-cubitan, kami pun tertawa-
tawa.

Hal. 55 « 386
“Andaikata kita tetap saling menyukai sampai
tua, bagaimana dengan anak-anak kita nanti?”
tanyaku di lain waktu.
“Lho. Tetap jadi anak kita dong. Emangnya,
anak siapa. Anak nenekmu!”
“Bukan begitu. Apakah suatu ketika, tidak
ada yang menuduh mereka anak… ah, katakanlah,
anak yang lahir di luar nikah.”
“Bilang pada anakmu, kakek jompo, mereka
tidak lahir di luar nikah. Mereka hanya kebetulan
lahir, di atas pernikahan tanpa surat-surat
bermaterai segel!”
“Kita kan belum pernah menikah.”
“Eh, kau ini. Lantas, bagaimana kita bisa
hidup serumah?”
“Karena kau suka aku. Dan aku suka kau.”
“Lalu, perasaan suka sama suka itu kita
padukan. Bukankah itu dinikahkan namanya? Orang
lain, hanya sekali saja menikah. Yakni pada waktu
yang tertulis dalam surat resmi itu saja. Surat resmi
yang kadang-kadang dilapisi emas, tetapi tidak
jarang pula lapuk bermulur dengan sudut yang

Hal. 56 « 386
cabik-cabik dan tulisannya sudah kabur dibasahi air
mata. Kita? Tanpa surat resmi, kita tetap menikah.
Dan selamanya, kita tetap menikah. Selamanya, kita
jadi pengantin baru ...”
Namun di balik ucapan yang tandas itu,
menari-nari bayangan saudara dan orang tuanya
yang sering kawin cerai. Sampai-sampai Neneng
bingung saudara kandungnya, saudara tirinya, ayah
tiri, ayah kandung serta ibu kandung ataupun ibu
tirinya. Semenjak kecil ia terbiasa ikut dengan yang
satu, pindah kepada yang lain. la sering sakit hati
kalau ada yang setengah berseloroh setengah
mengejek berkata: yang ini, dan yang itu, serta kau,
pernah sama-sama menetek pada perempuan yang
sama. Lantas Neneng tahu, yang ini adalah
saudaranya, yang itu ayahnya, dan yang di sebelah
sana ibunya. Lantas lagi Neneng pun membenci
pernikahan, sama seperti ia juga benci perceraian.
AKU terbangun oleh sentuhan halus di dadaku.
Waktu mata kubuka, Rosmala sudah berdiri
di samping tempat tidur, la mengalihkan matanya
dari foto yang ia pegang ke wajahku. Lalu seraya
meletakkan kembali foto itu di dadaku, ia
bergumam:
Hal. 57 « 386
“Sudah siang, Bonar”
Aku terlonjak bangun. Dan waktu
mengembalikan foto ke dalam koper, kukira aku
juga tersipu.
“Dia gadis yang bernama Neneng?” tanya
Rosmala, seolah sambil lalu ketika ia membetulkan
sprei dan melipat selimut bekas kupakai.
Aku mengangguk. Memandangnya, mencari
reaksi, sekaligus mencari dukungan.
Waktu tatapan mata kami beradu, reaksi itu
kuperoleh, tetapi tidak dukungan.
Leherku bagai patah rasanya.
“Bonar, adikku manis,” ia duduk di
sampingku. “Aku tak perduli dengan siapapun kau
akan kawin. Tetapi itu, selama ayah masih hidup
dan ibu tidak sakit-sakitan. Aku tahu, kau mencintai
gadis Bandung itu dan...”
“Aku telah hidup bersama dengannya, kak.”
Rosmala terbelalak.
Lama kemudian:

Hal. 58 « 386
“Apa? Kau sudah kawin? Mengapa tidak
bilang-bilang?” ia mengurut dadanya. Berulang-
ulang. Berucap: “Ya Tuhan!”
Kubiarkan goncangan pada diri Rosmala mereda.
Baru:
“Kami tak pernah kawin, kak.”
Sekali lagi ia mengurut dada. Sekali lagi ia
mengucap:
“Ya Tuhan!” ia tatap mataku dengan
pandangan bingung. “Aku tak mengerti. Kau bilang
kau sudah hidup bersama dengannya. Tetapi kau
bilang pula kalian belum kawin. Apakah maksudmu,
kau dan Neneng...”
“Kak. Pernah dengar samen-laven.”
“Ya Tuhan! Ya Tuhan! Ya Tuhan!” dan
Rosmala tiba-tiba berlari keluar kamar. Aku tidak
tahu. ke mana ia pergi. Waktu aku keluar dari
kamar, salah seorang ponakanku yang menyedia
kan makanan di atas meja. la juga berkata, ibu pergi
ke rumah keluarga Marianna, diantar oleh Tigor.
Mendengar itu, selera makanku terenggut hilang,
betapapun sebenarnya aku merasa lapar. Maklum,
lauk berupa daun ubi tumbuh pakai rimbang dan
Hal. 59 « 386
udang kering, sambal petai yang tak dikupas
bercampur ikan teri, adalah teman nasi yang
musykil kucicipi selama di Bandung. Belum lagi nasi
dari beras Berangan, serta terong panggang pakai
kecap, tomat dan bawang yang diiris. Namun semua
hidangan itu di mataku tak lebih dari bungkal-
bungkal kerikil bercampur tanah, yang menguapkan
bau busuk memualkan.
Kubantingkan sendok garpu ke piring.
Berdentang bunyinya. Dan keponakanku
menjadi pucat pasi.
“Ada yang salah, Uda?” tanyanya, seraya
menyidik hati-hati ke arah meja.
Tanpa menjawab, aku bergegas ke kamar
mandi. Lupa masih memakai piyama, kucemplung
kan kepala dalam bak selama beberapa detik,
kemudian kuguyurkan bergayung-gayung air ke
sekujur tubuh sampai piyama itu terasa dingin
melekat ke kulit tubuhku. Namun dadaku bagai
terbakar, tak mau padam biarpun hampir
seperempat isi bak kuhabiskan dengan sia-sia.
Merasa rumah yang kurindukan itu telah
berubah jadi neraka, sehabis mandi aku lantas
Hal. 60 « 386
berganti pakaian bermaksud pergi ke mana saja.
Tetapi baru juga kaki ini melangkah menuruni
terras, sebuah Vespa keluaran tahun enam dua
yang masih mulus meski lecet di sana sini, menderu
masuk ke pekarangan. Begitu vespa di standar,
orang yang duduk di joknya, Tigor, bergegas turun
lantas menghampiriku. Begitu kami berhadapan,
tubuhku terasa tegang, la juga menjadi kaku. Lama
kami saling berpandangan, sampai beberapa orang
tetangga menyapaku dari kejauhan. Sebelum aku
tahu apa yang akan kuperbuat dan apa yang
membuat wajah Tigor melambangkan amarah yang
sedemikian rupa, ia telah menarik tanganku
bergegas masuk ke dalam.
“Butet!” teriaknya pada ponakanku yang
keluar tergopoh-gopoh dari dapur setelah
mendengar suara ribut-ribut di depan.
“Ya ayah?” sahut si gadis kecil yang masih
pucat wajahnya.
“Keluar kau!”
Anak itu tercengang. Terpaku diam di
tempatnya berdiri.

Hal. 61 « 386
“Kubilang, keluar dari sini. Pergi ke mana saja,
asal jangan nguping!”
Bagai tersentak, si gadis kecil mundur ke
dapur, kemudian terdengar suara pintu ditutupkan,
dan gadis itu melintas di luar jendela samping.
Sekilas, ia masih menoleh ke dalam, mengintai
dengan wajah yang semakin pucat dan sinar mata
ketakutan.
Waktu aku menoleh, bermaksud mengatakan
sesuatu pada Tigor, sebuah tinju telah melayang
dengan derasnya ke daguku. Aku terhenyak ke
belakang, mundur membentur sebuah kursi jatuh
menggelimpang bersama kursi itu, kemudian
berusaha bangkit dengan susah payah.
Diperlakukan sedemikian rupa, tidak saja
keheranan tetapi juga kemarahan naik ke kepala.
Semenjak kecil, aku selalu kalah dan tidak berani
melawan Tigor. Tetapi beberapa jurus tendangan
Kung Fu yang kuperoleh selama kuliah, perlahan
lahan mengalir di sekujur persendian tubuhku yang
berdiri tegang tetapi dengan tangan-tangan dan
kaki-kaki lemas siap terayun. Kalau saja tadi aku
menduga tentu aku tak akan menerima penghinaan
itu. Sekarang ...
Hal. 62 « 386
“Ayo!” teriak Tigor. Keras. “Ayo. Balaslah.
Pukullah aku. Tendang sesuka hatimu. Kalau perlu
ambil pisau di dapur, bunuh aku, bunuh saudara-
saudaramu, bunuh pula ibumu yang kini semaput di
rumah Anna!”
Sikapku yang garang, berubah jadi sikap
seekor anak ayam kehilangan induk.
Terduduk di kursi, aku merintih:
“... Apa... apa yang terjadi, bang? Apakah ibu ...”
“Bah! Jadi kau masih inqat ke selamatan
orang tuamu. Hem. la cuma pingsan begitu
mendengar apa yang dituturkan kakakmu padaku.
Aku dan kakakmu bicara berdua, tetapi melihat
kedatangan Rosmala yang ganjil, ibu lantas nguping.
Dan ia pingsan seketika. Tahukah kau, akibat lebih
buruk bisa menimpa ibu? Masih untung, keluarga
Marianna belum tahu apa yang menyebabkan ibu
semaput. Mereka cuma menyangka collapse, tetapi
lama kelamaan mereka akan tahu juga. Ayo Bonar.
Jawablah sekarang. Benarkah kau sudah punya
isteri di Bandung?”
Lemah, aku mengangguk.

Hal. 63 « 386
Aku menduga akan menerima serangan tinju
lagi, dan aku bertekad untuk tidak membalas.
Tetapi yang terjadi justru keadaan lain. Tigor
mengerang tak menentu, terduduk doyong di
sebuah kursi, kemudian menangis tersedu-sedu.
Laki-laki yang anaknya sudah duduk di akademi itu,
menangis tersedu-sedu. Hatiku benar-benar
hancur. Abangku. Menangis tersedu-sedu. Aku
bergerak dari kursi, mendekat ke tempatnya duduk,
dan berusaha memeluk Tigor. Tetapi, tanganku ia
tepiskan dengan kasar. Sama kasarnya, ia mendesis:
“Jangan jamah diriku, anak kotor!”
Bagai dilempar sebungkal besar batu gunung,
aku terhenyak kembali di kursi semula. Mataku
berkunang-kunang kepalaku bagai terayun-ayun,
dan aku tersandar seraya bergumam. Lirih, dan
tajam:
“Kau ulangi sekali lagi ucapan itu, bang.”
“Anak kotor. Bah!”
Aku ingin bangkit. Memukul Tigor. Menghajar
Tigor. Menghancurkan Tigor. Membuka mata Tigor.
Menyadarkan Tigor. Bahwa aku juga adalah laki-laki
seperti dia. Tetapi aku tetap tersandar di kursi yang
Hal. 64 « 386
kududuki. Lesu, dengan hati yang terasa semakin
sakit. Sakit tiada kepalang.
“Bang...,” erangku. Hatiku bersih. Hati
Neneng bersih. Tidak ada yang kotor dari kehidupan
kami!”
“Bah. Bersih. Bah!” la menceracau. “Cucu
seorang haji, anak seorang ibu guru mengaji di
madrasah, berkata semacam itu. Bah!”
“Kalau aku salah, biarlah Tuhan yang
menghukum, bang!”
“Tuhan. Enaknya bicaramu. Apakah kau kira
Tuhan akan membiarkan kau menyebut-nyebut
nama-Nya bila aib sudah tercoreng di dahi keluarga
kita?”
“Bila kalian paksa, aku bisa mengajak Neneng
untuk menikah secara syah.”
“Apa? Menikah? Kau dan Neneng? Gilakah
kau?” ia mencak-mencak sendiri. “Persetan dengan
Nenengmu. Kau memang harus menikah. Tetapi
bukan dengan si Neneng itu. Kau harus menikah
dengan Anna. Titik!”
“Bang...”

Hal. 65 « 386
“Diam!” ia mengurut dadanya. Berjalan ke
jendela. Bertelekan ke bendul jendela itu, tengadah
dengan leher sedikit di panjangkan, la menghirup
udara segar dari luar berlama-lama. Waktu ia
memutar tubuh, ia tersandar lemah pada jendela
itu, namun sikapnya telah berubah sedikit lunak, la
memandangku dengan mata yang ganjil.
“Bonar,” katanya, hampir seperti pada
dirinya sendiri. “Kau tahu, suami Rosmala susah
benar naik pangkat. Di pasar, saingan dagangku
semakin banyak. Sedang di rumah, baik Rosmala
maupun aku, harus menghidupi sekian anak yang
terus bertambah. Ka-Be yang datang belakangan,
terlambat untuk bisa menolong kami dari
kehancuran. Dalam posisi sesulit itu tahukan kau
apa yang harus kami perbuat?”
Tak mengerti arah tujuannya, aku hanya
berdiam diri.
la goyang-goyangkan kepala sudah.
“Begini, Bonar,” ujarnya terpatah-patah.
“Sewaktu ayah masih hidup, studimu masih bisa
dijamin biayanya. Setelah beliau meninggal,
kamilah yang banting tulang. Aku berkongsi dengan

Hal. 66 « 386
kakakmu. Tidak saja untuk membiayai studimu,
tetapi juga untuk mengurus ibu kita. Kami lakukan
itu dengan susah payah. Untung kau katakan kau
sudah bekerja, tak usah lagi dikirimi uang ... eh,
Bonar. Bagaimana dengan pekerjaanmu di biro
bantuan hukum itu? Memuaskan? Banyak suka
duka ya? Mengurus perkara-perkara ... tetapi ah,
sudahlah. Mengapa pula hal itu kita bicarakan
sekarang. Yang penting, kau harus sadar segalanya
telah terlambat untuk ditarik kembali. Keluarga
Marianna telah siap. Kau tau, ayahnya adalah adik
kesayangan ibu. Selama ini Bonar, boleh dikatakan
keadaan kami sudah lumpuh. Untung ayah Anna
turun tangan. Sebagian dari biaya studimu -
sebelum kau minta diputuskan namun toh sekali
dua masih dikirimi juga, dan hampir seluruh resiko
dapur ibu, ditanggung oleh ayah Anna. Mereka
melakukan itu tanpa dapat kami tolak karena
mereka berpengharapan: di samping sebagai
kakaknya, ayah Anna ingin berbesan dengan ibu
kita. Bantuan mereka mungkin bisa kau nilai bila
dalam bentuk uang. Tetapi dalam nilai moriel, kau
tidak akan pernah menjumlahkan pengorbanan
mereka secara matematik!”
la berjalan mundar-mandir di ruangan itu.
Hal. 67 « 386
Kedua tangannya melipat ke belakang.
Sesekali ia tepuk-tepukkan. Melipat lagi. Mundar-
mandir lagi.
“... jadi kau tahu sekarang, kita tidak bisa
mengelak lagi.”
“Bisa,” tukasku, lebih mirip ucapan tak sadar
yang tau-tau terloncat keluar.
“Apa?”
“Katakan aku telah beristeri.”
“Mustahil!”
“Harus”
“Kau bisa buktikan?”
“Kuusahakan. Neneng pasti setuju.”
“Neneng! Neneng lagi! Kau tak punya bukti
bahwa ia adalah isterimu. Lagi pula, Tuhan jadi
saksi. Bahwa ia memang bukan isterimu.”
“Tetapi…”
“Tuhan telah membuat ketentuan
bagaimana orang hidup bersuami isteri, Bonar. Dan
apa yang kau perbuat bersama Neneng, lebih

Hal. 68 « 386
banyak melanggar dari pada memenuhi aturan itu.
0, o, jangan ribut-ribut. Tak usah bantah. Kau kawin
tanpa surat nikah. Tanpa disahkan tuan kadhi, janji-
janji hidup semati di atas kesucian Al-Qur'an. Aku
juga berpikir-pikir apa artinya hidup samen-laven
itu. Katakanlah, sebelum hidup di bawah naungan
atap sebuah rumah, kalian telah lebih dahulu
berzinah. Ah, diamlah. Aku mengatakan apa
adanya. Kalian berzinah sebelum satu rumah. Dan
biarpun kini kalian telah hidup satu rumah,
hubungan kalian tetap dianggap perzinahan!”
“Hubungan kami bersih. Tidak terdorong nafsu.”
“Zinah tidak selamanya karena dorongan
nafsu, la juga datang karena keinginan yang di luar
sadar. Mungkin karena cinta. Mungkin ... ah, ini
kukira yang benar... mungkin karena perasaan suka
sama suka. Namun bagaimanapun, nafsu tetap
memegangi peranan!” ia berdiri lagi di jendela.
Menghadap lurusi ke arahku.
“Marilah kita lihat eksesnya. Kalian berzinah!
Bukan menikah. Jadi, hubungan kalian setiap saati
bisa diputuskan.”
“Tidak!”

Hal. 69 « 386
“Tidak?”
“Kami tak pernah bicara soal cerai,”
rungutku. Marah. “Dan kami tidak berkeinginan
untuk cerai.”
“Cerai? Tidak. Karena kalian tak pernah
menikah. Aku hanya bilang, putus hubungan.
Perempuan itu harus kau tinggalkan. Lupakan dia,
terima Marianna, dan hiduplah menurut aturan-
aturan yang telah berlaku dan diterima oleh sesama
ummat.”
“Abang berbicara seperti seorang khotib,”
ujarku getir. “Tetapi perilaku abang jauh sebelum
ini, justru tidak memakai aturan pula. Jadi, jangan
abang paksakan aturan-aturan yang usang itu
terhadapku !”
“Tetapi rumah tanggaku kini sudah berangsur
tenteram Bonar,” sahutnya agak gusar. “Lagipula
jangan kau pandang aku. Pandanglah ibu. Pandang
nama baik semua keluarga kita. Semua keluarga
Marianna. Kirimlah surat ke Bandung. Katakan kau
tak mungkin kembali pada Neneng, dan katakan
agar ia melupakan dan menganggap kau tak pernah
hidup bersama dia.”

Hal. 70 « 386
“Kejam nian!”
“Apa boleh buat, Bonar.”
“Tidak!”
“Tak ada jalan lain.”
“Tak mungkin.”
“Cobalah mengerti. Kasihanilah Ibu! la sudah
tua. Perempuan lagi. la sudah terlalu lemah…”
“Neneng juga perempuan.”
“Dan Anna?”
“... percayakah abang, kalau kukatakan
berbohong dengan mengatakan dalam salah satu
surat-suratku bahwa aku sudah bekerja? Aku belum
bekerja. Aku masih terus kuliah. Karena tidak saja
kalian. Tetapi Neneng dan keluarganya ingin aku
selesaikan studiku. Pekerjaan akan mengganggu
kuliah. Kukatakan itu, karena aku tahu keadaan
ekonomi keluarga di sini sedang morat-marit.
Tetapi aku perlu hidup. Hidup perlu biaya. Dan
Neneng memberikan biaya itu. Neneng
memberikan hidup itu.”
Tigor tercengang sesaat. Kemudian:

Hal. 71 « 386
“Okey. Kau tidak bekerja. Kau bohong.
Neneng menghidupimu. Di sana. Di Bandung. Di
Medan sini? Anna menghidupi ibu, dan kau tak
mungkin membantah kehadiran seorang ibu dalam
kehidupanmu,” lalu dengan suara menang melihat
aku terenyuh, Tigor meneruskan: “Hitung jumlah
yang telah dikeluarkan Neneng untukmu. Aku dan
Rosmala, akan berdaya upaya untuk membayar
nya!”
Telingaku bagai terbakar hangus.
Dengan dada meletup-letup, aku menatap
nya. Tak percaya apa yang ia katakan. Lama, dengan
nada tersendat-sendat, aku baru bisa berkata. Sinis:
“Kau pedagang tekstiel busuk hati. Kau kira
cinta juga bisa diperjual belikan, eh?”
la terlonjak marah. Tetapi tidak berbuat
sesuatu ketika aku berdiri, kemudian bergegas
keluar dari rumah, keluar dari tempat di mana aku
lahir dan dibesarkan namun kini telah digantungi
asap neraka itu. Tidak, aku tidak sudi mati lemas di
dalamnya. Aku tak sudi. Benar-benar tak sudi!
*
* *
Hal. 72 « 386
4

SETELAH keluar dari rumah, baru ledakan-


ledakan yang hampir memecah dada, pelan-pelan
mereda. Pelan-pelan pula perasaan menyesal
menyelinap di hati. Tidak seharusnya aku bersikap
sedemikian kasar pada Tigor. Bagaimanapun, ia toh
abang kandungku sendiri. Abang yang pernah
demikian sayang dan membela adik-adiknya.
Membelaku dari kemarahan ayah. Membelaku dari
keroyokan anak-anak Gang Buntu waktu dulu
pernah mengincar salah seorang gadis anak es-em-
pe di sana. Menyelamatkanku dari mati tenggelam
karena tak bisa berenang waktu mandi-mandi di
Sungai. Aku ingin kembali. Minta maaf.
Tetapi aku sudah naik sebuah becak mesin.
Agak aneh rasanya naik kendaraan itu, setelah
terbiasa dengan becak dayung di Bandung, dengan
si pengendara berada di belakang, bukan di
samping penumpang. Dan panas matahari yang
Hal. 73 « 386
garang memaksaku untuk cepat-cepat sampai di
persimpangan jalan Serdang dan jalan Jati. Tempat
di mana dulu aku selalu memuaskan nafsu dahaga
secara tetap. Kadang-kadang juga kulakukan pada
waktu bulan puasa. Siang-siang. Tentu saja, ketika
pulang ke rumah, bibir di lap sampai kering, dan
pura-pura lemas karena lapar dan haus.
Kolak es itu masih tetap enak, meskipun
pedagangnya bukan yang dulu.
Aku melahap dua piring penuh, dan berjalan
keluar dengan perut kekenyangan. Baru saja kaki
kulangkahkan keluar warung, ketika sebuah Honda
CB-100 berhenti didekatku dengan bunyi rem ber-
decit-decit. Ban depannya hampir saja menyambar
lututku kalau aku tidak keburu mengelak. Dengan
mata melotot marah, aku memandang pengendara
nya, dan mendengar suaranya yang riang:
“He, anak Bandung sialan. Kapan tiba?”
Dari marah, aku jadi tertawa.
“Dan kau, Udin ingusan, semenjak kapan pula
kau mulai pakai celana panjang?” seruku seraya
mengulurkan tangan untuk berjabatan.

Hal. 74 « 386
“Senang bertemu kau. Dan ah, perkenalkan
Kawanku, Margono,” ia memperkenalkan kawan
nya yang duduk di boncengan, dengan siapa
kemudian aku bersalaman.
la kemudian menarikku masuk ke warung kembali.
“Mari, kutraktir minum,” katanya. “Aku
sudah. Uangnya saja,” sahutku.
“Jadah kau!”
Dan kami tertawa gelak, la bertanya banyak
tentang pengalamanku selama studi di Bandung.
Ketika kukatakan akhir tahun ini mudah-mudahan
aku sudah bisa mengambil Gelar Sarjana Hukum di
Universitas Pajajaran, Chairudin geleng kepala.
“Kau sudah jadi orang,” katanya kagum.
“Dan kau tampaknya tidak berhasil jadi
seorang Duta Besar.”
“Husy. Jangan ulang-ulangi omong kosong
itu. Kau tahu, waktu di es-em-a dulu, aku memang
tidak pernah memperoleh nilai bahasa Inggeris di
bawah angka sepuluh. Bahkan guru bahasa Inggeris
kita, kutegor karena salah menuliskan kata-kata
verbal di papan tulis. Setiap orang berhak

Hal. 75 « 386
menggantungkan cita-cita bukan? Cita-cita yang
tinggi. Setinggi langit. Kalau bisa, lebih. Ada yang
berhasil. Tapi tak kurang yang semakin tinggi cita-
citanya, semakin keras jatuhnya ke bumi,” ia
tersenyum. “Aku salah satu yang terhempas itu.”
“Kudengar, kau dapat warisan kebun kelapa
dari ayahmu.”
“He-eh. Aku mengusahakan penyulingan
minyak. Ala kampung. Masih primitip. Tetapi kau
barangkali belum tahu. Di Berayan sudah ada pabrik
minyak kelapa. Aku benar-benar tersisih. Untung
masih ada orang yang lebih menyukai minyak
kampung dari pada minyak produk pabrik ...,” ia
menghirup es campur dari gelas di tangannya,
dengan perasaan nikmat. “Eh, kalau tak salah ingat,
waktu mau berangkat ke Bandung, beberapa tahun
yang lalu, kau mau cari gadis anak induk semang di
tempat kau kost. Hasil?”
“Berkat do'amu, ya.”
“Jadah. Tak sudi aku mendo'akan kau
perawani gadis-gadis itu,” ia tertawa. “Jadi, kau
sudah kawin?”
“He-eh.”
Hal. 76 « 386
“Cantik isterimu?”
“Pokoknya, tak kalah cantik dengan si
Dameria. He, kau dengar bagaimana kabar dia
sekarang?”
“Entahlah,” sahutnya, tertawa nakal.
“Emangnya kau masih mau ngirim surat cinta
seperti dulu?” lalu ia menirukan kalimat yang
pernah kutulis sepenuh perasaan, kemudian
kutitipkan lewat Chairudin untuk disampaikan pada
Dameria. Waktu itu kami masih sama-sama baru
masuk kelas satu, dan kini aku tertawa setengah
mampus mendengar Chairudin meniru-nirukan
surat cintaku yang ditolak mentah-mentah itu:
“Oh, sayangku, buah hatiku, kasihanilah
hambamu, pungguk yang merindukan wajahmu
yang rupawan bak bulan purnama,” dan sambil
menekan perutnya dengan tangan menahan gelak
yang berderai, sehingga orang-orang lain ikut
memperhatikan, Chairudin meneruskan dengan
suara terputus-putus: “Tentu saja pernyataan
cintamu ia tolak. Wajahnya kau bilang bagai
rembulan. Padahal, bulan kan bopeng-bopeng!”

Hal. 77 « 386
la kemudian menceritakan tentang bekas-
bekas teman sekelas kami. Legiman yang sudah
bekerja dan kawin dengan Murniati, masih teman
sekelas, dan kini sudah beranak tiga. Mamontang
yang pemalu, dan kini hidup serumah dengan
seorang janda. Juga beranak tiga. Sahara sudah pula
kawin, tetapi tak seberuntung teman-teman lain.
Belum punya keturunan meski sudah empat tahun
berjalan.
“Dan kau?” desakku.
la angkat bahu. Jawabnya:
“Waktu masih di es-em-a, aku satu-satunya
yang masih bercelana pendek sampai tamat. Kini
aku tengah mencoba bagaimana enaknya bercelana
panjang, baru kemudian berpikir tentang
perempuan. He!” ia mencondongkan mukanya ke
depan, setengah berbisik: “Masih ingat kau Wak
Parto, yang buka warung kopi di belakang
sekolahan? Yang kita sering makan lima pisang
goreng tetap kita bilang dua?”
“He-eh.”
“Keluar dari sekolahan kita di jalan Ayahanda
itu, aku masih sering mengunjungi Wak Parto.
Hal. 78 « 386
Mula-mula, karena ingin menebus dosa. Aku makan
pisang goreng dua tetapi kubilang lima. Kini, Wak
Parto sudah mati. Tinggal isterinya, dan anaknya.
Kau masih ingat, Ijah, yang kudisan itu?”
“He-eh. Kenapa?”
“'la cantik benar sekarang. Kulitnya, putih
mulus seperti mentega kalengan. Pintar berdandan
di kamar, aku akan tetap menunggu. Eh, jangan kau
ketawa. Kau bisa pangling kalau kubawa ke
rumahnya. Tetapi dengan syarat.”
“Hem, apa?”
“Kita bergantian”
“Gantian? Gila!”
“Sungguh. Asal mau bayar seribu perak. All
night. Bisa pakai di tempat!”
“Sialan!” aku memaki. “Tak sudi aku dijangkiti
raja singa!”
Margono yang dari tadi berdiam diri,
sekonyong-konyong berdiri.
“Aku mau pulang,” ia bersungut-sungut.

Hal. 79 « 386
“Eh. Tunggulah. Kuantar sebentar,” nyeletuk
Chairudin.
“Aku jalan kaki saja.”
Dan tanpa ucapan terimakasih telah ditraktir
minum, bahkan tanpa ba tanpa bu padaku Margono
kemudian menghilang keluar warung. Chairudin
memandang kepergian temannya seraya geleng-
geleng kepala.
“Suka hatinyalah. Mentang-mentang rumah
nya sudah dekat. Di ujung Ngalengko sana. la, anak
santri itu memang suka ngambek kalau aku mulai
ngoceh soal gituan!”
Sebaliknya, kupandangi sahabatku itu
dengan perasaan kasihan, la tampak jauh lebih tua
dari umur yang sesungguhnya. Wajah yang dulu
klimis sehingga di cap banci oleh kawan-kawan
sekelas kini ditumbuhi jambang yang tidak teratur
serta kumis yang melele di bawah hidung yang
senantiasa berminyak. Dahinya mulai dialuri gurat-
gurat halus. Waktu ia palingkan muka kembali dan
tatapan mata kami bertemu, ia tersenyum. Getir.

Hal. 80 « 386
“Si Gono itu anak baik,” katanya, “kalau tak
ada dia, aku sudah jatuh bangkrut. Bisa jadi terkena
raja singa seperti yang kau bilang.”
“Seharusnya kau cepat-cepat kawin, sahabat.”
“Kawin?” ia tertawa. Pahit. “Lantas mau ku-
kemanakan ibu yang sudah menjanda, serta sebelas
orang adik-adikku yang masih kecil-kecil?”
la mengeluh. Dalam. Lalu:
“Inilah hidup, Bonar. Raportku yang dulu
tidak pernah merah dan tak ada yang bernilai di
bawah tujuh, nyatanya sia-sia saja. Begitu ayah mati
keinginan untuk melanjutkan studi seperti kau, ikut
pula mati. Apalagi keinginan untuk kawin. Bagiku
kawin berarti membangun sebuah rumahtangga
yang tidak boleh diganggu gugat oleh keluargaku,
dan sebaiknya isteriku tidak pula boleh menggugat
kehadiran keluargaku di tengah-tengah kami.
Lantas kutempuh jalan gampang. Tetap melajang,
mungkin sampai ubanan. Dan untuk tidak sampai
gila karena onani, aku ambil perempuan yang bisa
mengurangi ketegangan otak. Ku beli. Se jam. Dua
jam. Ambil, pakai, bayar. Habis sampai di situ. Dan
aku tak perlu mensia-siakan keluarga!”

Hal. 81 « 386
la putar-putarkan gelas es campur di atas
meja. Sekali ia remas. Kuat. Seakan mau meremas
dirinya sendiri. Mau meremas hidup yang menjauhi
dirinya. Meremas dunia yang telah mentertawakan
nya. Dan ketika sisa es campur itu ia reguk sampai
tetes terakhir, aku berpikir sahabatku telah
terserang dahaga atas kebahagiaan yang telah lama
tidak ia nikmati lagi. Lama aku kehilangan kata-kata.
Ingin menghiburnya, tetapi tak ingin kalau yang
terlontar dari mulutku hanya kata-kata kosong yang
tidak ada gunanya. Tak ubah dengan kata-kata
menyabarkan seorang dokter terhadap pasien yang
sedang mengerang-erang oleh serangan sakit gigi
yang dahsyat. Tak mau jadi dokter yang gagal
seperti itu, aku cepat-cepat berkata:
“Eh, Din. Mengapa kita tidak jalan-jalan saja?”
la mencoba tersenyum.
“Okey. Pertemuan ini memang patut kita
rayakan. Kau pilih mana? Percut? Gedung Johor?
Sembahe? Berastagi?”
“Kupilih yang terakhir...”
“Hem. Aku mengerti. Kau ingin mengingat
udara sejuk kota Bandung di kota yang gersang ini,
Hal. 82 « 386
bukan? Hayo, pantatkupun sudah semutan duduk
terus-terusan di sini!”
Keluar dari warung, ia bertanya:
“Kau di depan?”
Aku mengangguk setuju. Kunci Honda
kuambil dari tangannya. Motor kustater. la sudah
mau duduk di boncengan waktu tiba-tiba Chairudin
teringat sesuatu:
“Hai. Tunggu sebentar. Kacamataku
tertinggal di warung!”
la bergegas lagi masuk ke dalam. Sebuah
Vespa 65 mau parkir. Karena terhalang oleh
Hondaku yang memalang jalan, pengendara Vespa
memandangku dengan penuh harap. Demi
toleransi, Honda ku majukan. Tetapi karena
tergesa-gesa, ketika akan berhenti di pinggir jalan
aku bukannya menginjak rem melainkan
versnelling. Mesin mati. Tetapi sebelum mati masih
sempat melonjakkan motor kedepan, hampir saja
menyambar sebuah becak berpenumpang seorang
perempuan tua dan dua orang anak-anak kecil.
Becak buru-buru menyingkir agak ke tengah jalan.

Hal. 83 « 386
Tetapi sebuah mobil yang melaju dengan
kecepatan penuh dari arah Serdang, rupanya
menjadi gugup oleh perubahan jalur yang diambil
abang becak. Mobil banting stir untuk menghindari
tabrakan dengan becak itu, tetapi arahnya justru
tertuju tepat ke Honda yang kunaiki. Sekejap, aku
masih ingat untuk mengelak. Kedua kaki yang
menjejak tanah ku tekan kuat untuk mendorong
motor maju. Malang, aku lupa gigi masuk. Motor itu
tetap diam. Tak ayal lagi, terasa benturan yang
keras menerpa bagian belakang motor. Stang
berputar. Tanganku terlepas. Aku terlompat.
Terbang di udara. Honda terbanting ke tanah
dengan suara berderak. Tak ingin kepalaku ikut
berderak, kuusahakan koprol sebelum jatuh.
Namun tak urung lututku membentur pinggir
sebuah kios rokok.
Akibatnya, aku terbanting ke tanah dengan
kerasnya.
Sebuah hantaman menggodam wajahku.
Entah dari mana datangnya, ribuan bintang-bintang
berwarna-warni berlari-larian di sekitarku,
kemudian menari-nari mengelilingi diriku. Tarian
yang gila itu membuat kepalaku pening alang-

Hal. 84 « 386
kepalang, dan waktu ribuan bintang-bintang itu
kemudian berhenti berputar-putar, aku sudah tidak
ingat apa-apa lagi.

*
* *

NENENG menangis terisak-isak seraya


membersihkan kotoran di permukaan luka-luka
lecet sekitar tangan dan lututku. Aku meringis
menahan sakit yang tidak kepalang, berusaha
menggigit bibir keras-keras untuk tidak sampai
mengeluh. Luka-luka lecet itu kemudian ia balut
dengan yodium lantas ditutup pakai ban aid.
Kugerak-gerakkan tangan dan kakiku, kemudian
meloncat dari tempat tidur. Sekujur persendian
tubuhku terasa sakit, tetapi hatiku lebih sakit lagi:
“Cina sialan itu!” makiku dengan bernafsu.
“Sudah tahu lampu merah, masih terus nyerobot.
Babi. Jadah!” lantas aku bergegas keluar kamar.
“Mau kemana kau?” tanya Neneng dengan
tangis tersendat.

Hal. 85 « 386
“Kemana? Ke Cina itu, kemana lagi? la harus
mengganti biaya servis Vespa yang rusak. Kau kan
tahu Vespa itu punya si Dudung. Dari mana aku mau
ganti? Lagipula, hem. Luka-luka lecet dan sakit
hatiku harus dibayar mahal olehnya. Akan kuperas
habis dia. Biar tahu rasa!”
Dalam mobil yang disetiri oleh Neneng
menuju ke rumah sakit Rancabadak, gadisku masih
berusaha menahan maksudku.
“Sudahlah,” katanya. “Toh Suzuki bebek si
Cina itu ringsek.”
“Perduli!”
“Kau cuma lecet-lecet kecil. Tetapi ia?”
Di Rancabadak, Si Cina masih belum sadar.
Salah satu kakinya tergantung pada langit-langit
tempat tidur. Dokter tengah melakukan transfusi
darah, dan seorang perawat yang akan keluar dari
kamar dengan enggan menjawab pertanyaanku:
“Tulang keringnya patah.”
“Patah?”
“Tepatnya, remuk. Harus dipotong. Kalau pun
tak dipotong, ia akan pincang seumur hidupnya.”

Hal. 86 « 386
Aku terjengah. Namun belum putus harapan.
Segera kudatangi rumah keluarga Si Cina. Di sana, di
sebuah rumah kecil dan terjepit di antara dua buah,
gedung besar dan megah ... yang kuharap tadinya
salah satu tempat kediaman yang kutuju ..., aku
disambut oleh isak tangis keluarganya. Ayah
pemuda Cina yang surat-surat keterangan, SIM
serta Suzuki bebeknya masih ditahan oleh polisi itu,
mohon dengan nada menyesal:
“Anakku habis bertengkar dengan pacarnya,
la kebingungan waktu pulang. Mungkin ia tak
melihat lampu merah dan … ”
Dan tiba di rumah kembali, Neneng tersenyum.
“Bagaimana sekarang?” tanyanya.
“Apa boleh buat,” kataku getir. “Cabut saja
perkara tabrakan itu. Tapi apa si Dudung yang pelit
itu mau mencabut biaya servis dari tanganku?”
“Biar kutanggung, sayangku,” Neneng
tersenyum semakin lebar, kemudian memeluk
dengan hangat. “Tapi lain kali, ingat. Jangan sekali-
sekali ngebut!”
“Okey deh. Tak akan sekali-sekali. Aku akan
ngebut dua tiga kali!”
Hal. 87 « 386
Neneng mencubitku. Manja.

*
* *

“... bang? Bang Bonar!”


Suara yang sayup-sayup itu dekat sekali di
telinga. Waktu mata ku buka, aku merasa heran.
Bagaimana aku sampai berada dalam sebuah kamar
yang mirip dengan kamar si pemuda Cina dulu
dirawat? Dan mengapa lututku sakit sekali? Dan
wajahku! Sebagian wajahku terbalut, serta terasa
amat perih! Aku meringis. Dan seseorang terisak-
isak di samping tempat tidurku:
“Aduh, bang. Syukurlah kau telah sadar!”
Neneng tak pernah memanggilku abang.
Waktu aku menoleh, aku memang tidak melihat
Neneng. Aku melihat seorang gadis lain. Ku coba
mengingat-ingat.
“ ... kau Anna?”
Gadis itu menyeka air mata yang membasahi
pipinya. Lantas tersenyum. Manis sekali. Wajahnya
Hal. 88 « 386
bersemu merah. Lama ia tergagap, sampai akhirnya
bisa menyahut:
“Aku senang abang masih mengenalku,”
katanya. Gemetar. Dan wajahnya semakin merah.
Kutahan rasa sakit yang menyentak-nyentak di
sekujur tubuh. Kemudian bergumam seenaknya
saja:
“Aku pernah lihat kau sebelum ini.”
“Ah. Masa,” dengan susah payah ia mencoba
memandang wajahku, tetapi kemudian cepat-cepat
berpaling seraya tersenyum tersipu-sipu.”
“Sungguh!”
“Iyalah. Kan dulu abang pernah mencet hidungku.”
Ganti aku kini yang berkata: “Ah. Masa!”
“Iya. Waktu itu bang bilang: He, boru
tulangku yang jelek. Kau isi apa perutmu sampai
buncit begitu?” ia tertawa. Polos, dan suaranya
benar-benar enak di dengar. “Waktu itu aku lagi
cacingan. Selesma lagi. Sampai-sampai waktu abang
oleskan ke pipiku seraya bersungut-sungut...”
Mendengar itu, aku ikut pula tertawa.
Tarikan mulutku waktu tertawa menarik pula luka-
Hal. 89 « 386
luka di balik pembalut yang menutup sebagian
wajahku. Terasa perih tetapi tidak begitu benar lagi.
Cerita Marianna yang mengingatkan masa-masa
yang telah lama berselang, membuatku merasa
senang. Malah kuingat juga akibat perbuatanku
dulu itu. Ayah Marianna menceritakan kejadian itu
seraya tertawa-tawa dengan kakak perempuannya.
Ibuku. Lantas ibu mengusap-usap kepalaku, dan
sempat berkata:
“... Jangan gitu nak. Siapa tau, anak cacingan
itu bakal jadi isterimu.”
“Bang?”
“Ya?” aku terjengah. Memandang gadis itu,
yang juga tengah memandangiku. Tampak ia
memberani-beranikan diri untuk tidak sampai
berpaling lagi.
“Apakah perutku masih buncit?”
Lantas, ia berdiri. Memperlihatkan perutnya
yan rata di bagian pinggang yang ramping, di bawah
dada yang mulai tumbuh dengan subur. Dada itu
bergelombang. Lembut.

Hal. 90 « 386
“Eh, Abang kok lihat yang lain,” ia bersungut-
sungut seraya menutupi dadanya dengan kedua
tangan.
Aku tersenyum.
“Dan kau tentu tak ingusan lagi,” ujarku.
la mencondongkan wajah, memperlihatkan
hidung yang bangir. Hendusan nafas yang panas
terasa menyapu wajahku.
“Ada bulu di lubang hidungmu.”
la tarik wajahnya cepat-cepat. Bergumam malu.
“Oh ya? Biar nanti ku gunting di rumah.”
“Apa?” aku berlagak terkejut. “Hidungmu
mau kau gunting?”
la tertawa. Terpingkel-pingkel.
Tetapi segera menahan tawanya waktu
beberapa orang masuk ke dalam. Aku melihat ibu,
bang Tigor, kak Ros serta suaminya, lalu kedua
orangtua Marianna. Juga beberapa orang
keponakanku yang semuanya mengerubungi
sekeliling tempat tidur sehingga aku mengeluh:

Hal. 91 « 386
“Kenapa engga mengundang seluruh
penduduk Medan untuk membesuk?”
Mereka pada tertawa. Termasuk ibuku yang
begitu masuk sudah mulai berurai air mata. Seraya
mengusap kedua belah pipinya yang pucat ibu
berkata:
“Nak, tadinya dunia kukira sudah kiamat
waktu kawanmu Chairudin tergopoh-gopoh ke
rumah memberi tahu kau masuk rumahsakit.”
“Di mana dia sekarang?”
“Di bengkel,” jawab bang Tigor. “Honda-nya
sudah engga berbentuk lagi.”
“Wah…”
“Tak usah cemas. Si Udin boleh memiliki sisa-
sisa Honda itu, biarpun orang yang menabrakmu
sudah menjanjikan akan membeli sebuah Honda
baru untuknya.”
“Dan orang itu?”
“Yang menabrak?”
“He-eh.”

Hal. 92 « 386
“la baik-baik saja. Mobilnyapun cuma lecet
sedikit, la bersama keluarganya sudah datang ke
rumah untuk minta maaf.”
“Ooo…”
“Nak.”
Aku terjengah sendiri. Menoleh pada kedua
orang tua Marianna yang tersenyum ramah.
Kuulurkan tanganku yang disambut mereka dengan
jabatan erat dan hangat. Malah, bukan saja jabatan
tangan mata ayah Marianna, aku melihat tersirat
adanya jabatan hati. Sesuatu yang punya makna.
Sesuatu yang minta dimengerti. Dan minta
disetujui. Aku menghela nafas panjang,
memejamkan mata untuk menyembunyikan
perasaan tidak enak yang tergejola dalam dada.
Rupanya perbuatan itu salah ditafsirkan sehingga
kak Ros buru-buru berkata:
“Biarlah si Bonar istirahat saja dulu.”
Mereka kemudian pamit tanpa lupa
mengucapkan do'a-do'a untuk keselamatanku. Ada
dua orang yang enggan untuk meninggalkan
ruangan. Yang Pertama, Marianna. la
memandangiku dengan mata yang berkedip.
Hal. 93 « 386
Mulutnya bergemit mau mengutarakan sesuatu,
tetapi tidak jadi. Dan tangannya keburu ditarik
ayahnya keluar dari kamar. Tinggal ibu, yang
mengusap-usap tanganku dengan penuh kasih.
Tanpa suatu tekanan pada kata-katanya, ia
kemudian mengutarakan apa yang sama sekali tidak
pernah kuduga begitu aku tadi tersandar dan
melihat Marianna ada d samping tempat tidurku.
“… aku senang melihat kalian intim, anakku.
Tahukah kau, bagaimana Anna bersikeras untukl
menjagamu semenjak kemarin di kamar ini?”
“Ah!”
“Bersyukurlah, anakku. Belum juga ia jadi
isterimu, Anna sudah memperlihatkan pengabdian
seorang perempuan terhadap laki-laki yang dicintai
nya.”
Setelah berkata demikian, ibu kemudian
keluar menyusul yang lain-lain. Lama aku termangu-
mangu memikirkan kenyataan yang buat semua
keluarga kami merupakan sesuatu yang sangat
dibanggakan namun bagiku tak lain berarti
semacam kekuatan tersembunyi yang berusaha
menyudutkan diriku agar tak sempat lari dari

Hal. 94 « 386
kenyataan yang harus kuhadapi. Sampai dokter dan
seorang perawat masuk untuk memeriksa
keadaanku, menghiburku dengan kata-kata bahwa
aku akan segera diperkenankan pulang, lantas
kemudian bersama-sama memindahkan aku ke
dalam sebuah zaal yang kebetulan pasiennya tidak
begitu banyak. Waktu besuk telah lama habis,
ketika di pintu zaal muncul seorang yang masih
asing bagiku tetapi jelas menuju berjalan ke arah di
mana aku terbaring.
Langkah-langkah orang itu tampak amat
gemulai di atas sepatu berchaak tinggi yang hampir
tenggelam di ujung celana bush-jean biru tua yang
ketat di bagian pinggulnya yang padat. Pinggangnya
seperti melekuk enggan di bawah dada yang bidang
serta bagian depan tertonjol ke depan seakan-akan
mau menembus blous hijau lumut yang tipis
berleher rendah memperlihatkan lekukan manis
dari dua buah gumpalan daging yang lembut
berwarna putih ke kuningan serta terlindung oleh
sebuah liontine bermata berlian yang gemerlapan
dijilat cahaya matahari yang masih bersisa di
jendela dekat kepala tempat tidurku.

Hal. 95 « 386
la tersenyum dengan sedikit anggukan kepala
pada pasien-pasien yang ia lewati dan kebetulan
memperhatikan kehadirannya. Tiba di dekatku, ia
gerakkan kepala sedikit untuk menyingkirkan anak-
anak rambut yang menutupi salah satu bola
matanya yang bundar bersinar-sinar di atas pipi
yang penuh.
Gendewa bibirnya yang berbentuk lukisan
stiker dengan tulisan “Don't kiss” yang banyak
tertempel di buntut banyak kendaraan agak
melebar waktu ia lahirkan seulas senyum yang
membuatku benar-benar ta'jub. Senyuman khas
itu, khusus ditujukan untuk diriku. Apa artinya
segala perih dan sakit yang sedang mendera baik di
tubuh, maupun di hati?
“Hai, sapanya.”
“... hai!”
“Kau baik-baik saja?”
“Seperti Anda lihat.”
“Ah. Tak usah ber Anda-anda. Panggil saja
nama ku. Lily,” lantas ia ulurkan lengannya yang
penuh dan licin seperti lilin. Lima buah jari jemari
lentik segera tergenggam di telapak tanganku yang
Hal. 96 « 386
kasar. Ada getaran pada jabatan itu. Dan aku sendiri
sukar untuk menebak. Mana yang bergetar itu. Jari
jemarinyakah? Atau telapak tanganku?
“Nama yang indah. Seperti orangnya,”
gumamku dengan tulus.
“Pujian usang,” sambutnya. “Kau belum
mengenalkan namamu.”
“Oh...”
Tetapi belum sempat aku mengatakan sesuatu
gadis itu telah mendahului:
“Sudahlah. Aku sudah tahu namamu.
Kawanmu yang mengatakan.”
“Kawan...?”
“Chairudin nama laki-laki yang berkumis lele
itu, bukan? la mengatakan siapa kau padaku, waktu
membantu menaikkan kau ke dalam mobilku
tempat kecelakaan itu”
“Oh,” lagi.
“Apakah kau marah?”
“Marah?” aku tercengang. “Marah pada siapa?”

Hal. 97 « 386
“Aku.”
“Eh. Pasalnya?”
“Membuat lututmu bengkak dan tulang
pipimu mungkin akan cacat seumur hidup ...”
“Kau ... kau maksud ...,” aku semakin tercengang.
“Ya. Akulah orang yang menabrakmu kemarin.”
Terpana. Aku terpana. Benar-benar terpana. Lama.
“Marahilah aku!”
Kubasahi bibirku yang kering. Rungutku, pelan:
“Dulu aku pernah tabrakan juga.”
“Hem. Di mana?”
“Di Bandung.”
“0o, jadi kau sengaja pulang kampung, untuk
dihantam oleh mobilku,” ia mencoba tersenyum.
Getir.
Mendengar itu, aku tertawa kecil. “Kalau
begitu, aku benar-benar beruntung pulang tahun
ini.”
“E-eh, kok?”

Hal. 98 « 386
“Kalau tidak, mana aku bisa berkenalan
dengan gadis sejelita kau?”
“Ini orang gimana sih. Disuruh marah, malah
memuji-muji.”
“Memuji itu pahala. Marah itu berdosa.”
“Lagaknya kau!” senyumnya cerah kini.
Matanya, lebih-lebih lagi. Renyai.
“Mengapa tidak mengunjungi pada waktu bezuk?”
la duduk di atas kursi di pinggir tempat
tidurku dengan wajah yang berubah sendu.
Sahutnya:
“... Aku malu pada keluargamu. Takut
bentrok dengan mereka.”
“Keluargaku bukan tukang makan orang.”
“Tetapi mobilku telah memakan anak
tersayang mereka,”
“Aku tak ingin celaka. Kau pun tentu tidak
bermaksud mencelakai orang. Lagipula, kau dari
keluargamu kudengar telah datang ke rumah. Itu
sudah lebih dari cukup.”
la terdiam.
Hal. 99 « 386
Akupun, ikut pula diam. Karena terlalu lama
diam, aku menatap ke matanya. Enggan. Pada saaj
yang bersamaan, ia pun menatap ke mataku.
Enggan. Bersamaan pula, kami menghindari
pandangan mata itu. Enggan. Ah. Mengapa hati ini
begitu keras untuk tetap memperhatikan wajah
nya? Mengapa ada denyutan-denyutan ganjil pada
jantung? Denyutan yang memukul-mukul. Keras,
sehingga aku terengah-engah sendiri.
“... sakit?” tanyanya tiba-tiba.
“Eh, apanya?”
“Nafasmu sesak barusan.”
“Oh ya. Ya. Agak sakit.”
“Maafkan aku.”
“Eh. Apaan lagi? Maaf untuk apa?”
“Aku membuat kau sakit.”
“Sudah kubilang kau tentu tidak bermaksud ...”
“Memang tidak. Tetapi toh nyatanya maksud
mu untuk bersenang-senang, pulang kampung, jadi
terganggu ...”
“Bersenang-senang?” hatiku terenyuh.
Hal. 100 « 386
Bersenang-senang, katanya. Seraya tertawa
kecut, aku bergumam:
“Justru pikiranku sedang gundah ketika aku
keluar rumah bertemu sahabat lama dan kemudian
kau terbangkan ke udara ..
“Persoalan keluarga?”
“Ngg,… ya”
Wajahnya kian sendu. Seraya mempermain-
mainkan jari-jemarinya pada pinggir sprei tempat
tidur, ia mengeluh:
“Sebelum menabrakmu, aku juga barusan
bentrok dengan keluarga.”
“Oh ya? Boleh aku tahu?”
la memandangku. Tajam. Lantas aku sadar,
aku bukan apa-apanya sehingga berhak untuk
mengetahui. Tetapi ia kemudian tersenyum.
Katanya:
“Nanti juga kau akan tahu.”
“Nanti?”
“Emangnya, kau lebih suka kalau kita
berpisah sampai di sini saja?” sepasang bola
Hal. 101 « 386
matanya yang bundar, bersinar ganjil. “Kalau
begitu, kau memang marah dan tidak menyukai
diriku.”
Lantas ia bergegas. Bangkit.
“Hey, tunggu dulu.”
la memandangku sejurus. Matanya renyuh.
“Jadi kita akan bertemu lagi?”
Mendengar itu, aku beruntung lagi memperoleh
senyuman manis dibibirnya.
“Selama kau menerima maafku,” jawabnya.
“Berapa keranjang kau mau?”
Gadis itu tertawa. Cerah. Dan tawanya
membuat aku lupa segala-galanya. Aku bangkit
duduk, la terkejut, menoleh ke arah lututku. Cemas,
Lutut itu kugerak-gerakan. Sakit memang. Tetapi
aku laki-laki. Dan kebanyakan laki-laki memang
senang memperlihatkan gengsi.
“Kau lihat?” ujarku dengan bangga. “Lututku
tak apa-apa. Kepalaku pun ...,” dan kepala yang
berbalut kuketuk-ketuk dengan buku jari telunjuk
berkali-kali. “Tak terasa apa-apa. Kehadiranmu

Hal. 102 « 386


rupanya lebih mujarab dari segala kemampuan
medis yang telah dikerahkan dokter rumah sakit
ini!”
“Jangan jual lagak. Sakitmu bisa payah,”
katanya cepat-cepat seraya menekan dadaku
dengan jari telunjuknya, sehingga mau tak mau aku
terbaring kembali di tempat tidur. “Beristirahatlah.
Sehingga kalau nanti kita bertemu lagi, rumah sakit
tidak tertimpa rugi karena terpaksa mengganti
kasur yang sudah kempes terus-terusan kau tiduri,
Nah. Sudah ya? Aku pergi.”
Dan ketika ia pergi, benar-benar pergi, aku
tidak saja merasa kehilangan sesuatu yang teramat
berharga dalam hidupku. Tetapi aku juga merasa
kesakitan yang amat sangat di lututku yang
bengkak, serta perih yang tak tertahankan di
balutan kepala. Aku ingin menjerit. Dan ketika
seorang suster buru-buru datang setelah tombol di
kepala tempat tidur kupijit berulang-ulang, aku
benar-benar pula menjerit:
“Kalian apakan lututku, ha? Di rebus!”
*
* *

Hal. 103 « 386


5

TULANG lututku yang sambungannya agak


tergeser karena terhantam ke kios rokok telah
mulai bekerja dengan normal waktu Chairudin
membimbingku jalan-jalan di halaman samping
rumah sakit. Kami duduk di sebuah bangku kayu
yang sudah reyot, berhadapan lurus dengan jalan
Sena yang lengang. Ketika terlihat bangunan
sekolah dasar nun di kejauhan, tanpa sadar jari
telunjuk menyelinap di sela-sela bibirku yang
setengah terbuka. Menyentuh tempat kosong di
dekat rahang.
“Perlu tusuk gigi?” celetuk Chairuddin seraya
menyodorkan kotak korek api.
Aku ambil kotak korek api itu.
Menunggu.
Chairudin melongo.

Hal. 104 « 386


“Apa lagi?”
“Nenekmu,” aku memaki. “Ngasi korek api
kok tanpa rokok!”
la terbahak, lantas mengeluarkan sebungkus
“Gudang Garam” kesenanganku. Kuambil sebatang.
Lantas menyulutnya dengan nikmat. Memandang
depan lagi. Ke arah bangunan sekolah dasar di
kejauhan.
“Din”
“Hem?”
“Siapa sekarang direktur sekolah kita di sari itu?”
“Entah. Kenapa rupanya?”
“Aku ingat direkturnya dulu, adalah guru
kelas kita pula ...”
“Hem. Aku juga ingat. Malah tak akan pernah
kulupakan seumur hidup bagaimana pak Joko
pernah menempeleng aku. Rasanya seperti baru
terjadi kemarin... ia pilin ujung kumis lelenya.
Waktu itu baru habis hujan, ingat? Lapangan
rumput basah. Sehelai rumput layu dan busuk, kau
jemput dari tanah. Kau kasihkan ke tanganku, lantas
kau bisikkan di telingaku: kau tau si Nelly? Kujawab
Hal. 105 « 386
ya. Kau bisikkan lagi: ia paling takut sama lintah. Oh
ya, ya ujarku mulai mengerti. Lakukanlah sekarang,
katamu seraya tersenyum. Aku berlari ke si Nelly,
membentak seraya melemparkan rumput busuk,
licin dan basah berwarna coklat itu ke betisnya. Si
Neli menjerit, lantas jatuh pingsan. Sialnya, cuma
aku saja yang digampar pak Joko. Padahal kau yang
punya ide.”
Aku tertawa. Sahutku:
“Hukumanku toh telah kuterima, Din
seminggu setelahnya. Bukan oleh pak Joko, tetapi si
Rumonda. Yang dagunya lancip itu, ingat? Nah,
seminggu setelah kejadian yang sial bagimu itu, aku
kebagian yang lebih sial lagi. Aku berkelahi dengan
si Lumban gara-gara waktu main kelereng ia curang.
Jengkel, kelereng kulemparkan ke mukanya. Kena di
hidung. la menjerit. Lantas menangis. Kakaknya si
Rumonda yang sekelas dengan kita, balas
melemparku. Bukan dengan kelereng. Tetapi pakai
batu. Kena di sini... aku menunjuk ke arah gigiku
yang ompong dekat geraham.
Chairudin kini yang tertawa. Bergelak.

Hal. 106 « 386


“Lantas kau ngacir pulang ke rumah.
Mengadu pada ibumu. Melihat mulut berdarah dan
gigimu sebuah diambil setan, ibumu berlari-larian
ke sekolah, masuk ke kelas dan mencak-mencak di
hadapan semua murid…”
“Dan pak Joko yang galak itu, diam tak
berkutik,” sambungku. “Coba bayangkan, kalau itu
terjadi sekarang. Wah, malunya bukan main!”
“Kalau sekarang, ibumu kan tak bisa mencak-
mencak lagi. Kau pun tak pantas lagi dibela...
pantasnya di...,” ia tiba-tiba memandangku dengan
wajah penuh tanda tanya. Yang kemudian ia
lemparkan lewat mulutnya: “Benarkah kau akan
dikawinkan dengan anak dari adik laki-laki ibumu
itu?”
Ulu hatiku terasa melilit.
“Celakanya, begitulah,” keluhku. Sakit.
“Kau beruntung kalau begitu.”
“Nenekmu!”
“Eh, kau senang menyebut-nyebut nenekku,
la sudah almarhum, Bonar. Kalaupun ia masih
hidup, ia tak pantas disandingkan dengan kau.

Hal. 107 « 386


Hehe. Bonar, mengapa kau tolak kemauan
keluargamu? Waktu membezuk tadi, sempat
kuperhatikan Marianna. Menang agak kekanak-
kenakkan. Kau bilang ia baru kelas satu es-em-a
bukan? Jadi kira-kira umurnya sekarang enam belas
tahun. Dulu umur segitu masih terhitung anak
bawang. Sekarang jamannya lain. Mana Marianna
senang padamu. Cantik pula lagi.
“Dibayar berapa kau oleh keluargaku untuk
mengatakan itu?”
“Aku bersungguh-sungguh, kawan.”
“Dan aku tak bercanda mengatakan bahwa
aku telah kawin di Bandung.”
“Bonar,” ia tatap mataku. Dalam. Bersahabat.
“Di Bandung sana, samen leven yang kau lakukan
mungkin sesuatu yang tak menghebohkan lagi.
Tetapi di sini? Memang kota ini telah semakin jauh
berkembang. Tetapi adat? Adat tetap pada
bentuknya semula. Tidak berkembang sama sekali,
meskipun sudah menciut di sana sini. Sukar bagimu
untuk mengelak, kawan.”
Aku terdiam. Kusut benakku. Kemelut.

Hal. 108 « 386


“Terima saja kehadiran gadis itu, Bonar.
Setidak-tidaknya, ia telah berbuat baik cukup
banyak demi ibumu. Bahkan demi kau ...”
“Segampang itu benarkah?” rungutku.
“Orang kawin harus disertai cinta.”
“Cintakah kau pada Nenengmu yang di Bandung.”
“Kukira begitu”
“Kau kira?”
“... kami selalu menghindari persoalan cinta.
Selama kami hidup bersama, kami merasa diikat
oleh perasaan suka satu sama lain. Aku sendiripun
kadang-kadang bingung. Mana yang lebih kuat
pengaruhnya di antara cinta dengan suka. Perasaan
suka bisa melahirkan cinta. Sebaliknya, perasaan
cinta senantiasa mendatangkan kesukaan pula.
Mungkin cinta itu adalah suka. Atau suka itu adalah
cinta. Sukar membedakan keduanya. Setidak-
tidaknya, dalam persoalan yang kuhadapi bersama
Neneng. Cinta atau tidak, yang jelas kami saling
menyukai. Denga modal itu kami hidup di bawah
naungan satu atap rumah. Sepiring semangkok,
setempat tidur seselimut …”

Hal. 109 « 386


“Itu zinah namanya.”
Aku tertawa. Pahit.
“Apa yang kau lakukan, membeli perempuan
sejam dua jam, bukan zinah?”
“Jual beli itu ada transaksinya. Syah.”
“Sama seperti orang menikah, bukan? Ada
transaksi, di atas kartu nikah. Jadi, orang kawin pun
melakukan jual beli, kalau begitu. Hayo!”
“Ada bedanya, kawan.”
“Apa?”
“Yang satu terhormat. Yang lain tercela!
Mungkin itu pandangan manusia bisa berobah.
Tetapi Tuhan tidak, bila kau masih merasa dirimu
orang beragama!”
Neneng juga orang beragama. Malah ia
sering mendampratku kalau ia lihat aku lalai
mengerjakan sembahyang. Lantas aku bersujut.
Menghadap Tuhan. Bertanya dengan perasaan
gundah:
“Apakah yang kulakukan ini tidak munafik?”

Hal. 110 « 386


Dan Neneng akan memelukku. Berbisik lembut,
penuh kasih:
“Tergantung isi hatimu, sayangku!”
“Tetapi, Neng. Perkawinan serupa ini dikutuk
Tuhan.”
la tersenyum. Tabah.
Jawabnya:
“Katakanlah kita, menikah secara syah di
depan penghulu. Lantas karena macam-macam hal
yang tidak bisa kita elakkan sebagai manusia yang
lemah di depan penghulu yang sama kita bercerai,
itupun dikutuk Tuhan, sayangku. Sedang dalam
posisi kita sekarang, bila kita berpisah, kutuk itu
tidak akan terjadi...”
“Tak ada yang bisa memisahkan kita, Neneng.”
“Bonarku, kekasih. Aku sependapat dengan
kau. Tetapi jangan lupa, bila Tuhan menghendaki
sesuatu akan terjadi, maka sesuatu itu pada
waktunya bisa terjadi!”
Itukah sebabnya, mengapa perempuan yang
begitu teguh dan kukuh pendiriannya, serta tabah
hatinya toh menangis serta tidak terpejam matanya
Hal. 111 « 386
sesaatpun pada malam sebelum aku berangkat
meninggalkan Bandung? Apakah Neneng telah
merasakan, bahwa Tuhan mulai memperlihatkan
kekuasaan untuk memisahkan kami? Tidak. Itu tak
akan terjadi. Betapa aku merindukan Neneng, kini.
Tak akan terjadi. Minimal, tidak akan dari pihak
Marianna. la boleh menjadi dewi penolong bagi
keluargaku tetapi bagiku ia tidak lebih dari Supraba
yang penggoda.
Lalu bagaimana aku harus menentukan sikap
di, depan ibu, sebagai anak bungsu yang di matanya
merupakan anaknya yang paling baik?
“… Bonar.”
“Heh?” aku tersentak.
“Itu ada yang melambai.”
Aku mengikuti arah telunjuknya. Sebuah
mobi melesat dengan manis di luar pagar sepanjang
jala Thamrin. Mobil yang mengirimkan aku ke
rumah sakit selama beberapa hari. Sebuah tangan
yang mulus dan putih menghilang di balik jendela
depan mobil yang terus meluncur. Tanpa sadar aku
tertatih-tatih ke pinggir pagar, mobil tadi membelok
perempatan jalan Thamrin dan Serdang, dan aku
Hal. 112 « 386
merasa hati ini berbunga-bunga waktu melihat
kendaraan itu memasuki halaman parkir.
Chairudin melongo.
Lalu, geleng-geleng kepala. Tak mengerti.
“Heran,” katanya.” Wajahmu yang barusan
kusut, berubah cerah setelah melihat gadis tadi.
Apakah kau sadar kau berada di banyak
persimpangan jalan, kawanku?”
Pertanyaan yang menjurus itu, membuatku
terbungkam.
“Udin, kau...”
la memilin-milin ujung kumisnya
Dengan wajah muram, kemudian ia bergumam:
“Aku tidak menuduh, kawan. Aku hanya
melihat, bahwa perasaan suka yang kau sebut-
sebut tampaknya akan berjangkit ke alamat lain.”
“Eh, nanti dulu,” kataku dengan gusar.
“Bagiku Lily tak lebih dari seorang sahabat. Aku
menyukainya, seperti aku menyukai engkau ...”
“Alah, jangan berputar-putar. Kita kan sama-
sama lelaki!”
Hal. 113 « 386
Lantas, setelah berkata demikian, ia menyalamiku.
“Semoga lekas sembuh, Bonar. Sehingga
maksud kita jalan-jalan ke Berastagi yang tertunda
itu, bisa teruskan.”
“Mau ke mana kau?”
“Kemana? Menyingkir, tentu.”
“Lho!”
la berjalan menjauh.
“Kehadiranku akan mengganggu,” katanya.
“Jangan begitu. Apa kata Lily nanti?”
Chairudin tersenyum. Getir.
“Percayalah, Lily lebih senang melihat aku
tidak berada di antara kalian,”
Tetapi kawanku yang perasa itu terlambat
Lily telah muncul di korridor samping, bergegas ke
arah kami berdiri dengan wajah kemerah-merahan
di panggang matahari dan butir-butir keringat di
ujung hidung karena baru habis berlari-lari. Aku
sempat melihat hal itu lewat jendela tembus
ruangan zaal, meskipun setelah berada di dekat
kami Lily tampak berjalan melenggang.
Hal. 114 « 386
“Apa kabar bung Chairudin?” Sapanya seraya
menjabat tangan kawanku. “Senang bertemu kau di
sini.”
“Ah. Yang benar,” sambut kawanku, seraya
menatap sekujur tubuh gadis yang menjabat
tangannya. Tatapan mata lelaki, gelitik hatiku:
“Sungguh lho. Kebetulan aku baru dari toko.
Tadinya bermaksud mau terus ke rumahmu
sepulang dari sini.”
“Baru dari toko? Mau ke rumahku? Apa artinya ini?”
“Artinya, sebuah Honda CB-100 yang betul-
betul baru dan masih mulus, akan segera
berkenalan dengar pantatmu yang kempes itu,”
kata Lily seraya tertawa bergelak. “Nih kwitansinya
ambil untuk kau bawa ke toko di mana motor itu
sudah tersedia ...”
Karena kwitansi itu tak juga diterima
Chairudin, Lily ikut pula bingung.
“Ambillah,” katanya.
“Apa-apaan ini?” rungut kawanku. Gusar.
“Lho, bukankah beberapa hari yang lalu ...”

Hal. 115 « 386


“Benar, waktu itu kau kutuntut untuk
mengganl kerugianku. Tetapi tahukah kau, bahwa
waktu itu aku sedang marah besar bukan karena
Honda rusak, melainkan karena rencanaku untuk
piknik bersama Bonar ke Beraetagi jadi tertunda?”
“Sejitu?” sepasang bola mata Lily membesar.
“Segera setelah sahabatmu sembuh, kita bisa piknik
bersama ke mana kalian suka.”
“Kita?” tercengang lagi Chairudin.
“Apakah perempuan jelek dan hina dina ini
mau disingkirkan begitu saja?”
Chairudin menjadi murung.
“Mengapa dengan kau?” aku mencoba menengahi.
Sahabatku itu memandangku dengan mata
layu. “Kalau begitu, kita tak jadi piknik, kawan”
“Eh, melantur kau!”
“Tidak...”
“Sebabnya?”
la Menelan ludah. Ujung-ujung kumis lelenya;
terkulai jatuh.

Hal. 116 « 386


“Karena...,” lagi-lagi ia menelan Judah,
membasahi bibirnya yang kering. ''Kalau aku ikut,
maka... aku akan sendirian.”
“Sendiri bagaimana. Kau jangan mengada-ada ah!”
“Iya. Kan kau dengan Lily. Lantas aku dengan
siapa?”
“Oooo,” Lily menukas. “Gampang, kalau
begitu. Tipe bagaimana yang kau sukai ? akan
kucarikan seorang untuk menemanimu.”
Aku jadi menekap tangan ke mulut untuk
tidak sampai tertawa bergelak.
“Kau toh bukan makelar,” guman kawanku, gugup.
“Makelar atau tidak, kau tak usah
membayar,” aku menyeletuk.
Chairudin mendelik ke arahku.
“Sorry,” ucapku, “Sorry nenekmu.”
“Nah, kini kau yang mulai latah menyebut-
nyebut nenekku, la masih hidup, tahu? Apakah kau
ingin nenekku yang kuundang untuk ikut menemani
mu piknik?”

Hal. 117 « 386


“Apa yang kalian pertengkarkan?” tanya Lily
seraya menahan tawa. la kemudian menyelinapkan
kwitansi pembelian sepeda motor langsung ke saku
kemeja Chairudin.
Kawanku memprotes dan mau mengembalikannya.
Tetapi Lily menolak. “Kau kembalikan itu, berarti
kau dendam padaku.”
“Ah ...”
“Untuk aku saja. kalau kau tak mau,”
ancamku seraya bertindak seolah-olah mau
merampas kwitansi di tangan Chairudin. la
mendelik lagi. Aku jadi mundur. Tak ingin kena
pukul, karena aku lihat diam-diam salah satu
tangannya mengepal.
“Kalau dipaksa, apa boleh buat,” katanya
dengan suara rendah.” Tampaknya aku disogok
untuk tidak buka mulut.”
“Buka mulut tentang apa?” aku bertanya heran.
“Ah. Diamlah kau,” bentaknya seraya
tersenyum dan ekor matanya silih berganti
menatapku dan menatap Lily. Si gadis jadi tersipu
dengan wajah kemerah-merahan, kemudian

Hal. 118 « 386


melambai pada Chairudin yang berjalan meninggal
kan kami. Begitu menginjakkan kaki di korridor,
Chairudin setengah berseru:
“Harap kalian ingat. Ini di rumahsakit. Bukan
taman bunga. Dan ... persetan sama kau, Bonar!”
Lama sudah Chairudin menghilang.
Tetapi baik aku maupun Lily, belum
mengucapkan sepatah katapun jua. Saling pandang
pun tidak, la terus menekuri tanah berumput di
ujung sepatunya, sedang aku tak tahu apa yang
kucari di korridor Idi mana barusan Chairudin
menghilang. Sampai kemudian:
“ ... ia sebenarnya pemuda tampan,” gumam Lily.
“Udin?”
“Ya...”
“Kau tertarik?”
Barulah ia menatapku. Aku tidak mengelak.
Lama kedua pasang mata kami saling berpagutan,
dan teramat sukar untuk menghindarkan pagutan
yang teramat berbisa itu. Ada getaran lembut di
jantung, serta elusan hangat di dalam dada.

Hal. 119 « 386


“Sayang agak kumal, bukan?”
“Apanya?”
“Kawanmu itu.”
“Oo. la terlalu memikirkan keluarganya,
sehingga mengabaikan dirinya sendiri.”
Suara Lily terenyuh waktu berkata:
“Apakah setiap keluarga selalu ditumpuki
persoalan yang membuat dunia ini semakin sempit
untuk brang bisa bernafas?”
Aku mencoba tersenyum. Tanyaku:
“Apakah kita akan terus berdiri di sini
dipandangi orang-orang yang lewat di jalan, atau
bersediakah kau duduk di bangku reot itu?” aku
menunjuk ke bangku kayu yang tadi kududuki
dengan Chairudin sebelum Lily lewat dengan
mobilnya di jalan.
“Di mejamu tadi sempat kusimpan oleh-oleh
lewat jendela. Jeruk segar dan buah appel.
Kuambilkan?”

Hal. 120 « 386


“Ah, biarlah kita ke sana saja. Mentari tampak
tidak suka melihat semua makhluk berkeliaran
bawah kakinya.”
Kami berjalan berdampingan meninggalkan
halaman rumah sakit, melangkah tanpa tergesa-
gesa sepanjang korridor, mengangguk pada suster
yang kebetulan berpapasan, kemudian masuk ke
dalam zaal. Pasien yang mula-mula aku masuk
jumlahnya ada tujuh orang, kini tinggal empat,
termasuk aku sendiri. Zaal itu lengang, karena tiga
pasien lainnya rupanya sedang tidur.
“Di Bandung sana,” ujarku pelan setelah
duduk di pinggir tempat tidur. “Rumah sakit tak
pernah kosong. Pulang satu, datang dua. Seolah-
olah mengikuti semboyan pasukan Siliwangi. Esa
hilang, dua terbilang ...”
la memandangiku dengan mata yang bulat penuh.
“...kapan plester di tulang pipimu akan di buka?”
“Kata dokter, sore nanti.”
“Parahkah?”
“Sedikit jahitan. Tentu saja akan meninggal
kan bekas ...”

Hal. 121 « 386


“Aku menyesal!”
“Eh, Lily. Jangan ulangi kata-kata sentimentil
itu Lagipula, cacat kecil ini kan lumayan buat oleh-
oleh kubawa pulang ke Bandung.”
Ketika menyebutkan kata Bandung, hatiku
jadi tergugah. Bandung, berarti kembali
kepangkuan Neneng. Kerinduan itu tiba-tiba
datang. Kerinduan yang tidak sebesar, sebelum Lily
kini berada di sampingku. Wahai, apa yang terjadi
dengan diriku? Apakah banyak persimpangan jalan
itu telah berada di depan mataku untuk kutempuh
seperti yang tadi disindirkan Chairudin?
Persimpangan jalan? Mengapa bersimpang?
Bukankah aku akan kembali ke Neneng, tetap
memiliki dia dan ia miliki? Lily toh hanya sekedar
teman dari suatu peristiwa yang sama-sama tidak
kami kehendaki dan kemudian menimbulkan
jalinan persahabatan. Persahabatan? Apakah
perasaan yang tengah berkecamuk dalam diriku,
hanya sekedar perasaan bersahabat.
Lantas, mengapa waktu kutatap wajah Lily,
hati ini bergetar?

Hal. 122 « 386


Si gadis tidak mengelakkan tatapan mataku.
Dan mata yang indah itu, teramat sendu waktu
kuucapkan kalimat “pulang ke Bandung.”
Mengapa? Mengapa matanya jadi sendu, kalau aku
pulang ke Bandung? Apakah karena akan
kehilangan seorang sahabat? Hanya seorang
sahabat?
“... kapan kau pulang?” tanyanya sekonyong-
konyong, seolah-olah menegaskan kekacauan yang
tengah berkecamuk di benakku.
“Ke rumah? Besok pagi.”
“Maksudku, ke Bandung.”
Aku terdiam, la menanti. Sambil menanti, ia
ambilkan sebuah jeruk yang besar dan segar, la
kupas kulitnya, la beset satu persatu, ia serahkan
pula ke tanganku satu persatu, yang kemudian
kumasukkan ke mulut, satu persatu. Setengah dari
jeruk itu telah habis kumakan, waktu aku teringat
untuk memberitahunya:
“Mengapa tak kau makan?”
“Ini untukmu,” katanya, tersenyum.

Hal. 123 « 386


“Sebegini banyak? Bagaimana aku akan
menghabiskannya?”
“Terserah. Boleh kau berikan pasien-pasien
lain. Boleh dibawa pulang ponakan-ponakanmu
kalau mereka bezuk. Tetapi, semua ini kubawa
untukmu Hanya untukmu seorang.”
Aku menatap matanya.
Dan ia menerima tatapan itu, dengan kilatan
ganjil di matanya.
“Makanlah ... ,” bisikku.
“Nanti saja. Kau dulu.”
Kuulurkan irisan jeruk di tanganku, langsung
ke mulutnya, la terjengah sesaat, lalu di saat
berikutnya mulutnya yang bagus terbuka sedikit.
Irisan jeruk kuselinapkan di antara dua baris giginya
yang putih gemerlapan. Ketika meninggalkan mulut
itu, jari telunjukku sempat menyentuh tepi bibirnya.
Bibir itu tergetar, dan terasa panas bagai kobaran
api. Belum lagi tanganku menjauh, ia sudah
memegangnya. Erat Kami bertatapan lagi.
Berpagut. Seorang pasien batuk-batuk di ujung zaal.
Pasien itu menggeliat di bawah selimut. Batuk lagi,
Lantas mendengkur.
Hal. 124 « 386
Lily tersadar. Cepat-cepat ia tarik tangannya,
Wajahnya merah padam.
“Aku pulang saja,” bisiknya dengan suara berat.
Lalu berdiri.
“Lily...”
la tertegun. Memandangku. Matanya
berlinang. Ia menggigit bibir, memutar tubuh lantas
berlari-lari kecil keluar zaal.

Hal. 125 « 386


6

SAMPAI kutinggalkan rumah sakit keesokan


harinya, gadis itu tidak pernah kelihatan lagi. Aku
dijemput oleh ibu, kak Ros dan suaminya. Tidak
kulihat seorang keluarga Marianna. Tetapi kak Ros
sempat membisikkan, mobil yang di jalankan
suaminya menuju pulang ke rumah, adalah mobil
adik laki-laki ibuku itu. Pulang. Bisikan mana ia
tambahkan dengan kata-kata:
“... mereka agak tersinggung ketika akan
membayar rekening rumah sakit.”
“Kenapa?”
“Biaya perawatanmu telah dibayar orang lain
lebih dulu.”
“Siapa?” tanyaku ingin tahu, meskipun aku
sudah bisa mengira-ngira siapa orangnya gerangan
yang begitu baik hati untuk mengeluarkan jumlah
uang yang cukup banyak itu.
Hal. 126 « 386
“Lily.”
“Lily?” kutahan goncangan aneh yang terasa
menyentuh jantungku. Bukan karena ia telah bayar
rekeningku, melainkan karena kudengar namanya
disebut-sebut.
“Kau tak kenal?” tanya kakakku dengan mata
penuh selidik.
“... tidak.”
“la orang yang menabrakmu.”
“Oh!”
“Apakah ia tak pernah membezuk selama kau
dirawat?”
Hampir saja kukatakan ya, kalau tidak ingat
ibl di sampingku, dan lebih-lebih karena teringat
dibayarkan rekening rumah sakit saja keluarga
Marianna telah merasa dilampaui apalagi kalau
mengetahui betapa gadis itu menunjukkan
perasaan yaang berlebihan terhadap diriku.
Berlebihan? Mengapa aku tega mengatakan
demikian? Tidak. Tidak pasti berlebihan! Mungkin
sikapnya demikian, ia perlihatkan untuk menebus
kesalahannya telah menciderai diriku. Tetapi

Hal. 127 « 386


benarkah cuma sebegitu? Seseorang bisa berpura-
pura lewat sikap-sikapnya, tetapi tidak bisa
berdusta lewat matanya.
“Hem. Terlalu benar!” cetus kak Ros.
“Ya kak?”
“Gadis itu. Tak membezuk. Hem. Pikirnya,
dengan datang ke rumah ditemani ayah dan ibunya
sudah cukup. Ditambah dengan membayar biaya
perawatan. Betul-betul terlalu ...!”
Ibu yang dari tadi diam saja, menyela: “Ah,
nak. Tak usah diributkan. Datang pada kita sudah
bisa dianggap datang pada Bonar. Masih syukur
mereka unjuk muka. Orang lain, belum tentu.
Jangankan muka. Punggung pun kalau perlu,
disembunyikan.”
“Tetapi ibu…”
“Sudahlah, Ros,” menukas suaminya dari
depan. “Apa yang dikatakan ibu benar adanya.
Jangan pula kau mengada-ada sehingga bisa
menimbulkan kesan tak baik di mata Bonar. Yang
penting, ia sudah sembuh dan selamat sebagai
mana kita kehendaki, bukan?”

Hal. 128 « 386


Tetapi apa yang jauh lebih penting, kuhadapi
malam harinya di rumah. Di luar setahuku, hampir
semua sanak keluarga dari pihak ibu maupun
almarhum ayah, berkumpul di rumah. Umumnya
yang sudah berkeluarga, dan kebanyakan di
antaranya adalah orang-orang tua yang baik
menurut sopan santun apalagi menurut ketentuan
adat, harus kuhormati dan kalau perlu kupatuhi
kata-katanya tanpa membantah.
Setelah makan malam seadanya selesai dan
perangkat bekas hidangan telah dibersihkan
sehingga di ruang tengah yang tak begitu luas
tinggal orang-orang yang dianggap tetua keluarga,
barulah bang Tigor mengucapkan terimakasih atas
kehadiran mereka semua. Pembicara selanjutnya ia
serahkan pada suami kak Ros yang terbata-bata
ketika mengutarakan maksud berkumpul-kumpul
itu.
“Di samping silaturrachmi karena tidak selalu
kita sama-sama berkumpul seperti ini, juga
membicarakan tentang maksud keluarga di sini
untuk memperkuat tali perbesanan di antara
keluarga kita semua.”
Aku menggenggam tangan kak Ros.
Hal. 129 « 386
Digenggam erat begitu, ia memandangku,
dan serbisik dengan suara tajam:
“Jaga tingkah dan tutur katamu.”
Dan apa yang dibicarakan mereka semua,
sampai kepada keputusan bahwa paman serta
suami kak Ros merupakan utusan yang ditunjuk
untuk menghubungi secara adat keluarga Marianna
serta tugas bang Tigor mengatur peralatan
perkawinan apa adanya dan mengundang orang-
orang yang dianggap perlu, bagiku tak lebih dari
dentuman-dentuman meriam dan ledakan-ledakan
mortir yang dengan kejam menghancur luluhkan
tidak saja jasadku, tetapi juga jiwaku. Aku terduduk
dengan tubuh kaku kejang di tempat dudukku,
sampai ruangan itu kosong dan tinggal aku bertiga
dengan kak Ros dan bang Tigor saja yang masih
belum beranjak dari tempat masing-masing.
Dengan penuh perasaan kasih, kak Ros melap
keringat dingin yang membasahi wajahku dengan
saputangannya.
“… kau kegerahan,” katanya. “Udara Medan
memang jauh berbeda dengan udara Bandung,
tetapi kan kau juga orang sini dulunya.”

Hal. 130 « 386


Ucapan yang setengah bergurau itu tidak
membuat terhibur sama sekali. Malah ucapannya
mengingatkan aku tentang Bandung, dan Bandung
bagiku berarti Neneng. Lututku yang sudah
sembuh, baru saja dibuka, seperti merekah lagi.
Lebar. Menganga. Dan...
Jurang itu! Jurang itu menganga! Jurang yang
kulihat dalam impianku sebelum meninggalkan
Neneng. Jurang yang juga ia lihat dalam impiannya
waktu Neneng tertidur di mobil sementara melaju
ke Jakarta. Jurang itu sekarang terbentang di
hadapank Dalam. Gelap. Suram. Terjal. Mengerikan.
Aku kehilangan pegangan untuk terjun dengan
selamat Dengan deras aku terhempas ke bawah,
tanpa mendapat kesempatan untuk berpikir.
Akhirnya, karena aku terus-terusan
bungkam, bang Tigor buka mulut:
“Kau sudah siap, bukan?”
Aku terjengah.
Untuk pertama kali selama berjam-jam
bahkan rasanya selama berabad-abad yang lengang
dan menakutkan, aku tergagap:
“... apa, ... bang...?”
Hal. 131 « 386
“Kubilang, apakah kau sudah siap?”
“Siap? Siap untuk apa?”
“He. Kau kemanakan telingamu? Apakah
selama orang-orang tua tadi membicarakan dirimu,
kau membutakan mata dan menulikan telinga?”
“Aku ... aku …”
“Sudah! Aku tak mau dengar alasan apapun
lagi dari mulutmu!”
“Bang, pelan sedikit....”, membujuk Rosmala.
“Diam kau. Tak kau lihatkah, bagaimana anak
ini mau coba bertingkah?”
“Biarkanlah dulu ia menenangkan perasaan, bang.”
“Tak ada waktu lagi, utusan besok akan
dikirim, dan jawaban sudah bisa diduga. Dan jangan
lupa. Keluarga Marianna telah lebih dahulu
memberitahu keluarga-keluarga pihak mereka.
Bahkan gadis itu jauh-jauh telah memberitahu dan
mengundang teman-teman dekatnya…”
“Apa?” aku terjengah. “Anna telah…”
Bang Tigor tersenyum. Bangga.

Hal. 132 « 386


“la mencintaimu, Bonar. Telah lama ia
mencintaimu. Kata putus belum diambil, tetapi ia
telah yakin bahwa cintanya tidak akan kita sia-
siakan. Benar begitu, Bonar?”
“Benar ... benar apanya, bang?”
“Bodoh! Cinta Anna tak akan kau sia-siakan,
bukan?!”
“Cinta,” mulutku bergerimit. “Kalian
menjejalkan cinta seorang gadis ke mulutku,
semenara cinta gadis lainnya yang juga kucintai,
kalian abaikan begitu saja!”
“Itu kau namakan cinta, hah? Sudah berapa
kali kubilang, itu cuma Zinah? Zinah! Zinah!” bang
Tigor memukul-mukulkan tangannya ke lantai,
sampai ia meringis sendiri, kesakitan. Mukanya
yang membara, seperti mau menghanguskan diriku
dengan buasnya. “Masih untung tetua-tetua yang
hadir tadi tidak tahu apa yang kau lakukan di
Bandung sana. Kalau mereka sempat dengar...
wahai, kiamatlah dunia!”
“Bah!” aku memaki.
“Bah apanya?” teriak bang Tigor seraya
merentak berdiri. Dari kamar terdengar ibu batuk-
Hal. 133 « 386
batuk kecil. Kak Ros tergopoh-gopoh memegangi
bang Tigor, berusaha menyabarkannya.
“Jangan bikin ribut tengah malam begini. Apa
nanti kata tetangga kalau ada yang dengar?”
“Jadah!” sungut bang Tigor, duduk kembali.
“Cabut kata-katamu itu, bang,” tantangku.
“Jadah!” ulangnya.
Dan lebih keras lagi: “Jadaaaah!”
Tahu-tahu saja, sebelah kakiku telah menari
di udara. Lembut dan gemulai. Tetapi sewaktu
mendarat, tepi-tepi telapak kakiku itu telah
berubah sekeras batu. Tak sampai satu detik
berikutnya, bang Tigor terangkat dari duduknya,
kemudian terlempar jauh membentur tembok. Kak
Ros memekik tertahan.
la berlari menyongsong bang Tigor yang luruh
ke lantai. Tetapi laki-laki yang masih tetap perkasa
itu segera bangkit dengan wajah murka.
“Minggir!” teriaknya, lantas tangannya
menepiskan kak Ros sehingga tubuh perempuan itu
terlontar membentur kursi.

Hal. 134 « 386


Bang Tigor melangkah maju dengan tinju
yang aku tahu sekeras besi berada di depan
wajahnya. Dari sela-sela pergelangan tangan yang
berurat itu aku lihat sepasang mata Foreman.
Bukan Ali yang selalu berhati-hati tetapi penuh
nafsu membunuh di matanya. Melihat itu, dua
lenganku melentur lembut di depan dada,
membentuk lingkaran menyilang di udara
kemudian bersiap dengan gaya taring-taring naga
yang penuh lendir berbisa dan berbau maut. Ketika
itulah, suami kak Ros tahu-tahu telah membetot
pinggangku sekuat-kuatnya, dan kak Ros sendiri
memegangi lutut bang Tigor.
“Berhenti! Kubilang berhenti!” berteriak-
teriak suami kak Ros yang tergopoh-gopoh keluar
dari kamarnya itu.
Aku segera menemukan diriku kembali.
Telapak-telapak tanganku yang pernah
digodok dalam kuali besar berisi pasir berwarna
hitam kemerah-merahan dan panasnya melebihi
api serta pernah menumbangkan sebatang pohon
oak waktu latihan di Cijantung, terkulai lesu di
kedua sisi tubuhku. Dari mulutku lepas ucapan
lemah:
Hal. 135 « 386
“Ya Allah. Apa yang hampir kulakukan?”
Tetapi bang Tigor masih meronta-ronta dari
betotan kak Ros sambil mulutnya tak henti-
hentinya mengumpat cerca:
“Lepaskan! Lepaskan aku! Biar kuajari anjing
ini bagaimana caranya berlaku sopan pada
keluarga!”
“Tigor!”
Suara yang lengking itu membuat bang Tigor
pucat wajahnya. Aku tidak berani menoleh. Aku
kenal ibuku.
Dan perempuan tua yang setengah
terbungkuk, bungkuk itu tau-tau saja telah berada
di antara aku dan bang Tigor. la memandang kami
satu per satu, Mencoba melihat wajah kami lewat
tatap matanya yang sudah mulai rabun, dan tampak
teramat letih dan menderita itu.
Dadanya yang kempis tergoncang-goncang hebat.
“Apakah kalian mau berbunuh-bunuhan?
Begitukah kelakuan kalian, setelah ditinggal mati
oleh ayaah kalian?”
Lututku goyah.
Hal. 136 « 386
Aku jatuh berlutut.
Dan menangis tersedu-sedu.
“Maafkan aku, ibunda. Maafkan anakmu
yang tak bisa menahan diri ini!”
“Kau,” jerit ibu tertahan. “Begitu hinakah
perbuatanmu di Bandung? Inginkah kau ibumu ini
mati berdiri? Inginkah kau?”
“Ibuuuu!” jerit Rosmala, lantas berlari
memeluk beliau.
Kak Rosmala. meratap. Ibuku mengurut dada.
“Astagfirullah,” ucapnya.
Aku mengikuti:
“Astagfirullah.”
Bang Tigor mengikuti:
“...astagfirullah!”
Dadaku yang gersang dan kering, seperti di
siram air yang sejuk dan dingin selesai membaca
istigfar. Dengan mata berlinang aku lihat ibu
berjalan ke arahku, la berdiri di depanku.
Memandangku dengar mata tuanya, la tidak

Hal. 137 « 386


tersenyum, tetapi kata-kata yang keluar dari
mulutnya tidak ada lagi yang terlebih kasih di dunia
ini:
“Anakku. Kau masih tetap anakku, bukan Bonar?”
“Ya, ibuku.”
“Kau masih ingat apa yang sering dipesankan
almarhum ayahmu?”
“Ya, ibuku…”
“Katakanlah, biar kudengarkan, anakku.”
“Aku dan saudara-saudaraku tidak boleh
berselisih, biar apapun yang terjadi.”
Tetap memandang padaku, ibu berkata dengan
nada keras:
“Kau dengar itu, Tigor?!”
“… ya, bu.”
“Tahukah kau bahwa kau anak yang tertua?”
“Ya, bu.”
“Pantaskah perbuatanmu menurunkan
tangan pada adikmu?”

Hal. 138 « 386


Bang Tigor tidak menyahut. Tentu saja.
Akulah yang lebih dulu menyentuh kulitnya. Tetapi,
ia adalah tetap saudaraku, abang yang dengan setia
dan penuh tanggung jawab, senantiasa ikhlas untuk
membela kesalahan adik-adiknya. Segera kemudian
terdengar pengakuan dari mulutnya:
“Maafkan anakmu yang lancang ini, ibu.”
“Nah. Kesini kau.”
Bang Tigor maju.
“Ulurkan tanganmu!”
Bang Tigor mengulurkan tangannya.
“Kau Bonar, terima permintaan maaf dari
abangmu.”
Aku cepat mengulurkan tanganku
menyambut an tangan bang Tigor. Cepat pula aku
mengatakan apa yang pada waktu bersamaan juga
keluar dari mulut bang Tigor:
“Maafkan aku ...,” yang buntutnya terdengar
bersatu: entah “bangdik”entah “dikbang.”
Barulah setelah itu, tubuh ibu yang tegang
perlahan mengendur, la dibimbing oleh kak Ros ke

Hal. 139 « 386


sebuah kursi di mana ia kemudian duduk dengan
anggun.
“Sekarang, anakku Bonar. Aku bertanya baik-
baik padamu. Sudah siapkan kau?”
Hati-hati, aku menjawab:
“Berilah aku waktu untuk menjernihkan
pikiran yang sedang gundah, ibu.”
Beliau tersenyum.
“Itu memang hak-mu. Nah, kau Tigor.
Beritahul pamanmu, agar mengundurkan waktu
beberapa hari sampai adikmu Bonar yang
menentukannya sendiri.”
Bang Tigor mengangguk dengan patuh.
Dan ketika kami berdua sama-sama menoleh
di kursinya, kami lihat ibu menangis!

*
* *

Hal. 140 « 386


7

RUMAH Kak Rosmala di jalan Pabrik Tenun


yang dulunya hanya gang sempit dan kotor tetapi
kini beraspal licin serta lebar, terasa sangat sepi
sepeninggal kak Ros. Suaminya yang masih
tergoncang oleh peristiwa tadi malam di jalan
Pimpinan, pagi itu bangun dengan mata merah.
Setelah sarapan ia naik ke dalam bus karyawan yang
datang menjemputnya untuk bekerja hari itu di
kantor. Sebelum pergi, ia memperingatkan anak-
anaknya agar bermain-main di luar sebelum tiba
waktu berangkat ke sekolah.
Kak Ros muncul tak lama kemudian.
Ketika aku membuka pintu, ia tersenyum.
Kaku. Di belakangnya, seseorang lainnya juga
tersenyum. Sama kakunya.
“Masuklah, Anna,” aku mempersilahkan.
“Eh, kau atau aku tuan rumah?” protes kak Ros.
Hal. 141 « 386
“Biarlah, kak,” menukas Marianna seraya
masuk ke dalam kemudian duduk di sebuah kursi
plastik yang beberapa bilah disambung-sambung
bekas putus.
Sambil membawa tas belanjanya ke
belakang, kak Ros ngomel-ngomel:
“Habis, lagaknya bukan main. Coba suruh ia
membuat teh, pasti ia tak bisa.”
“Tentu saja!” aku setengah berseru
membalas. “Yang bisa membuat teh kan hanya
pekerja pabrik atau perkebunan saja!”
“Yang kakak maksud, minum teh,” tukas
Marianna lagi.
“Kau bisa?” tanyaku.
“Hai. Apa abang tak bisa minum?”
“Kau!”
la tertawa cekikikan.
Lantas masuk ke dalam. Tak lama kemudian
ia telah keluar dengan menating baki berisi dua
cangkir teh panas. Ia letakkan salah satu di depanku,
dan memegang salah satu lagi untuk dirinya sendiri.

Hal. 142 « 386


“Minumlah,” katanya.
“Panas-panas begini? Kau bisa?”
“Tidak.”
“Nah, letakkanlah cangkir di tanganmu.
Capek kau nanti memeganginya.”
Tangan yang gemetar itu, meletakkan cangkir
teh di atas meja. Tetapi karena gugup, air teh itu
tumpah sebagian, membasahi buku-buku pelajaran
nya yang tadi ia letakkan di sana. Dengan ribut
Marianna kemudian mengeringkan air teh itu dari
kulit bukunya yang mulai basah.
“Lihat ini, pekerjaan abang!” tuduhnya.
“Eh. Kok aku yang disalahkan?”
“Bukuku tak akan basah, kalau abang tak
mengundangku ke rumah ini.”
“Aku mengundang kau datang. Bukan
mengundang buku-bukumu. Eh, rupanya kau minta
diberi pelajaran apa hari ini? Aljabar?”
“Cinta!” dari dalam, terdengar kak Ros
setengah berseru.
Merah padam wajah Marianna.
Hal. 143 « 386
Dan aku, jadi mati kutu.
“Aku baru keluar rumah mau pergi sekolah,
waktu kak Ros datang,” si gadis menerangkan
dengan wajah tersipu-sipu.
“Oh.”
“Habis dari sini, aku mau terus ke sekolah.”
“Oh.”
“Aku sekolah di Simpang Limon,”
“Oh.”
“Oh?”
“Eh. Ya. Ya. Masih ingat.”
“Abang dulu pernah dikeroyok pereman-
pereman di sana.”
“Kok kau ingat.”
“Iya dong. Kan waktu itu abang terus ke
rumah. Hampir-hampir tak kami kenali karena muka
abang matang biru. Mula-mula yang berdiri di muka
pintu waktu ku buka, adalah hantu.”
“Pantas kau waktu itu lari terbirit-birit.”

Hal. 144 « 386


“He-eh,” ia tertawa. “Aku ketakutan amat
sangat, sampai menabrak kaki kursi. Aku terjatuh.
Dan ibu terpaksa merawat dua orang siang itu …” ia
tertawa lagi. Manja.
“Nantulang mau ke sini hari ini?”
“Tau. Mengapa?”
“Di bolehin?”
“Apa memangnya aku harus dipingit?”
tanyanya dengan muka polos.
“Hem. Otakmu tidak semuda usiamu.”
“Apakah aku … masih kelihatan seperti anak-
anak, bang?”
Lantas ia berdiri. Persis seperti yang ia waktu
di rumah sakit. Tegak dengan perut dikecilkan dan
dada dibusungkan. la malah berputar-putar.
Rambutnya yang panjang bergelombang, berkibar-
kibar kian kemari.
“Sayang, tak ada kaca,” la berhenti berputar.
“Buat apa kaca?”
“Kau ingat lagunya Lilis Suryani dulu?”

Hal. 145 « 386


“Yang mana?”
“Yang begini: Lalalalalala... kini hari ulang
tahunku. Sangat riang rasa hatiku. Tujuh belas
sudah umurku”
la menyambung:
“Kuberhayal, seperti putri raja. Kuberkaca
berputar-putar ...!”
Dan ia berputar lagi.
Lalu tiba-tiba berhenti. Kak Ros berdiri
dengan mulut tercengang di pintu ruang tengah.
Tergopoh-gopoh. Marianna duduk di kursinya,
meneguk teh dari cangkir tetapi kemudian cepat-
cepat menyemburkannya kembali sehingga
bukunya menjadi basah pula.
“Panas!” sungutnya seraya mengerpis-
ngerpiskan air teh dari sampul buku yang semakin
kuyup itu.
“Kalian lagi latihan untuk kontes menyanyi
dan menari?” tanya kak Ros menyindir sambil
meletakkan dua piring kueh-kueh di atas meja.
“Dia yang memulai!” tuduh Marianna seraya
menuding mukaku.
Hal. 146 « 386
“Kau yang mulai,” balasku. “Kau berputar-putar.”
“Kau menuduh aku anak-anak!”
“Aku tak bilang begitu.”
“Bilang.”
“Tidak.”
“Bilang!” dan ia mulai menghentak-
hentakkan kaki ke lantai. “Bilang! Kau bilang begitu!
Bilang!”
“Ck-ck-ck ... kalian benar-benar seperti anak-
anak betulan. Ampun. Sudah mau kawin ...”
“Kawin?” aku mendelik, lantas menuding ke
muka Marianna. “Belum apa-apa dia sudah
mengajak bertengkar.”
“Siapa yang...,” Marianna berdiri.
“Wah. Perlu kuambil peluit. Sekali-sekali,
boleh juga jadi wasit,” potong kak Ros. Tertawa
bergelak. Aku jadi ikut tersenyum sendiri. Dan
Marianna memberengut di tempat duduknya.
Kupanasi dengan kata-kata:

Hal. 147 « 386


“Sekarang, baru kakinya yang ia hentak-
hentakkan. Besok lusa, pasti piring mangkok yang ia
bikin berantakan!”
“Siapa bilang?” alisnya naik lagi.
“Hei. Sudah. Sudah. Sudah. Bagaimana ini? Di
ajak ke sini untuk bermesraan, malah…”
Kak Rosmala tiba-tiba terdiam sendiri, ketika
melihat aku berdiri.
“Mau ke mana kau?”
“Jalan-jalan.”
“Tetapi …”
“Kota ini kok makin panas saja ya,” sungutku
sambil lalu, terus berjalan ke pintu. Di belakang,
Marianna berlari-lari. la menyambar lantas
menggenggam pergelangan tanganku. Erat.
Mulutnya berkemik mau mengatakan sesuatu.
Tetapi tak jadi. Enggan, tangannya kulepaskan. Lalu
kekeluarkan sebuah potret kecil dari kantong
kemeja. Ujarku:
“Ini kudapat di jepitan kaca toilet di kamarku,
lalu potret itu kubalikkan. Untuk siapa ucapan yang
tertulis di sini?”
Hal. 148 « 386
la tertunduk malu.
“Untuk siapa?” desakku lagi.
la tak berani mengangkat muka.
“Bacalah sendiri,” gumamnya sayup sayup sampai.
“Kau mau baca apa tidak?”
Wajah Marianna berubah pucat, la
menatapku dengan sinar mata tidak percaya. Aku
tidak mengelak. Dan tidak menyembunyikan
perasaan yang bergejolak dalam dada. Sepasang
mata itu mulai berair pada sudut-sudutnya, la
terisak. Dan kemudian memutar tubuh, berlari
masuk ke dalam rumah. Ratap tangisnya segera
terdengar memenuhi ruangi tengah. Kak Rosmala
melangkah ke arahku. Panjang-panjang. Wajahnya
merah padam. Juga kedua cupil telinganya. Setelah
berada di hadapanku, tak pelak lagi. Tangannya
melayang, Tar! Wajahku tidak bergeming oleh
tamparannya. Aku siap menerima tamparan
berikutnya. Dan tak akan membalas. Tetapi ia tak
menampar. Melainkan berkacak pinggang.
Nafas kak Ros tersengal-sengal waktu berkata:
“Begitu jelekkah perangaimu sekarang?”

Hal. 149 « 386


Lesu, aku menyahut:
“Aku hanya ingin tahu, sejauh mana sifat-sifat
dirinya yang menonjol. Dan aku telah melihatnya.”
“Tadi itu ia hanya bermain-main.”
“Dan aku tidak bermain-main.”
“Kau....”
“Kak. Camkanlah ini. Marianna memang anak
yang baik. Tetapi ia memiliki sifat lekas marah, dan
ingin menang sendiri!”
“Apakah kau tak begitu juga?”
“Aku laki-laki.”
“Hemm, lantas?”
“Kalian mau aku jadi suaminya. Dan karena
aku suaminya, aku mau tahu apakah ia mau
mengalah atau tetap berkeras kepala. Itu sebabnya
kupaksa agar ia membaca ini!” kusodorkan
belakang foto bertuliskan kata-kata: “untukmu,
sayangku” itu kepadanya. Dan…
Tarrr! Tamparan kedua itu benar-benar
kuterima, tanpa kuduga.

Hal. 150 « 386


“Untuk apa pula yang barusan?” tanyaku
dengan hati mulai marah.
“Pembelaan seorang perempuan terhadap
kehormatan kaumnya!” balas kak Ros sengit.
“Aku tak menghina si Anna.”
“Tidak? Apakah menyuruh membacakan
kata-kata mesra itu dengan cara paksa bukan
merupakan penghinaan?”
“Kak...”
“Abang Tigor sudah memaafkan kelancangan
mu. Berharaplah, bahwa aku juga akan bersedia
memaafkan perangai jelekmu hari ini!” , ia menyisi,
seperti mau memberi jalan padaku. “Ayo, minta
maaflah pada Anna.”
Mataku mengecil.
Tetapi sakit hatiku, membesar.
Belum jadi suami gadis mentah itu, aku sudah
harus mengalah!
Tanpa berkata sepatahpun juga, kutinggalkan
rumah itu. Di belakangku, terdengar suara pintu
dibantingkan. Keras sekali. Kukira kak Ros tidak saja

Hal. 151 « 386


ingin membantingkan pintu itu. la juga ingin
membanting diriku. Dan kukira, ia kini tengah
membanting dirinya sendiri, di samping Marianna.
Biarlah mereka saling membantingkan diri. Apa
perduliku.
Tak usah berhari-hari seperti diminta oleh
ibu. Hari ini juga aku telah mengambil keputusan.
Malas, aku mengamit seorang abang becak yang
sedang terkantuk-kantuk di kendaraanya. la
terkejut, lantas buru-buru meluncur turun.
“Mau ke mana bang?” tanyanya seraya
menggenjot becak dayungnya.
Tadinya aku bermaksud mau ke jalan
Ayahanda! sepulang dari rumah kak Ros. Pingin
tahu bagaimana keadaan es-em-a di mana dulu aku
dijadikan orang. Ingin bertemu bekas-bekas guruku.
Ingin ke tempat wak Parto. Penasaran mau tahu
seperti apa Ijah sekarang.
Tetapi mulutku menyebut alamat lain:
“Kantor Pos!”
Pikiranku yang kusut semakin kusut sewaktu
jalan becak seringkali tersendat-sendat oleh lalu
lintas jalan Binjei yang ramai. Abang becak
Hal. 152 « 386
ngumpat-ngumpat. Aku mendukungnya dengan
bernafsu. Hampir saja kami bertengkar dengan
seorang pemilik Chevrolet usang yang mobilnya
mogok persis di tengah-tengal jalan, kalau tak urung
kami lihat seorang petugas polisi lalu lintas datang
mendekat.
Tiba di kantor pos, aku membeli beberapa
lembar kertas surat dan sebuah amplop pos kilat
khusus.
Beberapa kali kertas-kertas surat itu kusobek
dan kusobek lagi sampai akhirnya suratnya jadi.
Sebelum kumasukkan dalam amplop, kubaca isinya
sekali lagi.
Neneng, kekasihku sayang.
Baru sekarang aku menulis surat,
setelah beberapa hari berada di kota ini.
Sudikah memaafkan aku, sayangku? Aku
mengalami kecelakaan. Kecelakaan betul-
betulan, bukan bohong-bohongan. Nanti
buktinya akan kau lihat pada tulang pipiku.
Oh, tidak. Tidak. Aku tidak begitu parah.
Hanya luka-luka kecil, tetapi baru sekarang

Hal. 153 « 386


kuberi tahu, setelah aku sembuh dan aku tak
ingin kau cemas memikirkan suamimu.
Gadisku terkasih.
Pikiranku selalu tertuju kepadamu.
Sehat-sehatkah kau? Tidak menangiskah lagi
kau, seperti waktu mau mengantarku pergi?
Apakah bengkak bekas suntikan kotipa di
lenganmu sudah sembuh? Aku baru ingat, di
salah satu kantong belakang celanaku ada
surat yang harus kau antarkan ke fakultas.
Ada baiknya tak kau antarkan. Karena di
surat itu aku minta permisi satu minggu.
Ternyata lebih. Di sini kulampirkan surat
keterangan dokter. Bukan untuk membuat
kau percaya, tetapi untuk membuat pak
Tobing yang streng itu yakin bahwa aku
bukan bolos sembarangan sehingga
diperkenankan mengikuti ujian semester
tambahan
O, isteriku tercinta.
Ingat kau kereta kuda di tembok kamar
tidur kita? Rasanya aku sudah tak sabar ikut
berpacu seperti kuda-kuda itu. Tentu saja,

Hal. 154 « 386


dengan kau. O, tentu bantal guling kita sudah
makin tipis terus-terusan kau peluk
pengganti tubuhku bukan? Begitu pula di sini.
Tak saja bantal guling. Kasurpun rasanya
tipis. Dingin. Beku seperti batu. Kering
kerontang. Habis, tak ada kau. Aku
bermaksud beli tiket hari ini.
Supaya kita bisa berpacu dengan kuda-
kudaan itu. Salam untuk ayah ibumu. Dan
peluk cium dengan tangan gemetar dan lutut
goyah, khusus untuk dirimu. Ttd. Bonar, yang
tak sabar!”
Setelah memposkan surat itu di loket pos
kilat khusus aku berjalan menuju sebuah box dekat
pintu samping. Ketika pintu box kubuka, seorang
pemuda berwajah klimis meletakkan koran pagi
yang sedang ia baca. la tersenyum waktu bertanya
nomor berapa yang kukehendaki. Sebaliknya aku
bertanya pula dapatkah ia menghubungkan aku
dengan salah satu travel biro yang ia anggap
servisnya cukup baik. Operator itu mengangguk
lantas memutar beberapa nomor. Sementara itu
aku berpikir keras hari apa dan jam berapa
sebaiknya aku kabur dari kota kesayangan di mana

Hal. 155 « 386


aku lahir dan dibesarkan tetapi kini seolah-olah
telah tidak menyukai ke hadiranku lagi.
“… silahkan,” kata operator tiba-tiba.
Gagang telephone kusambut dari tangannya.
“Selamat pagi. Phoenix travel di sini ...,”
terdengar suara dari seberang sana. Lembut dan
halus. Penuh daya pikat. Petugas yang tepat dan
tentunya, berwajah teramat manis, pikirku seraya
menyahut:
“Hallo. Saya mau book ticket Merpati untuk
satu orang.”
“Nama Tuan?”
“Bonar.”
“Bonar saja?”
“… Bonar saja!”
“Nomor telhepone Tuan?”
“Tak punya. Catat alamat rumah saja,”
jawabku seraya menyebut alamat rumah.
“Tujuan?”
“Jakarta.”
Hal. 156 « 386
“Ada tempat untuk sore nanti?” tanyaku,
nekad. Persetan dengan kota ini. Persetan dengan
keluargaku. Persetan dengan heboh yang pasti
timbul akibat aku minggat.
“Wah. Sebentar ya ...,” terdengar suara
keresak-keresek. Agak lama juga, sehingga aku
mulai bimbang. Alasan apa yang akan kukemukakan
nanti di rumah? Apakah ibu tak nanti shock? Cap
apa yang nanti akan kuterima? Anak durhaka? Tak
tau membalas guna? Dimakan setanlah aku
hendaknya?
“Menyesal sekali, Tuan. Merpati sore nanti
sudah penuh, Juga Garruda. Bagaimana kalau besok
pagi?”
“Hem. Apa boleh buat.”
“Okey, jadi besok pagi, dengan Merpati.
Dalam satu jam petugas kami akan tiba di alamat
Tuan untuk…”
“Ah, ah ...,” tukasku cepat. Celaka, kalau
keluargaku tahu secepat itu. Mungkin aku bisa
kabur diam-diam. “... Begini saja. Dalam waktu yang
sama, saya akan tiba di Phoenix. Terimakasih untuk
bantuan saudari.”
Hal. 157 « 386
Setelah membayar biaya telephone pada
operator, aku cepat-cepat keluar dari kantor pos.
Secepat itu pula aku melambai sebuah becak mesin
yang kebetulan lewat. Waktu naik, terdengar
klakson mobil berbunyi nyaring. Sebuah mobil
lewat di dekat becak. Mesin becak menderum.
Serak. Di depan sana, mobil tadi berhenti dengan
bunyi rem mendecit-decit! Pintunya terbuka. Dan
seseorang berdiri di samping mobil, melihatiku.
Entah mengapa, darahku berdesir setelah
mengenalinya.
Jantung ini berdegup. Dan dadaku berbunga-bunga
“Berhenti, bang,” kataku pada abang becak
yang segera menghentikan kendaraannya tak jauh
di depan mobil. Ongkos kubayar lantas berjalan ke
depan mobil itu.
“Hai,” sapanya. Lembut. Dengan bola mata
berbinar-binar.
“Hai, Lily. Kebetulan sekali, aku sedang ngejar
waktu. Boleh numpang mobilmu?”
Setelah berada di dalam, Lily menceritakan
baru saja pulang dari les tata buku di Jl. Patria
Lumumba. la bermaksud mau terus ke rumah
Hal. 158 « 386
seorang teman “perempuan, tentu,” katanya seraya
mengerdipkan mata — waktu ia lihat aku keluar dari
kantor pos.
“Siapa yang sedang kau buru?” tanyanya
seraya menjalankan mobil dengan kecepatan yang
lumayan.
“Tak ada.”
“Tak ada? Lantas?”
“Aku mau mengambil uang ke rumah.”
“Hem. Untuk?”
“Beli ticket.”
Wajahnya berubah tiba-tiba. Lari mobil agak
menyimpang sehingga hampir saja naik ke trotoar
kalau ia tidak keburu banting setir. Setelah
kendaraan laju lagi dengan normal kulihat Lily
menggigit bibirnya keras-keras.
“... mengapa kau?” tanyaku heran.
Lama ia tak menjawab. Gigitan di bibirnya
lepas, berganti dengan helaan-helaan nafas
panjang. Lalu:

Hal. 159 « 386


“Aku lupa kau akan pulang ke Bandung,”
katanya, teramat perlahan seolah-olah ia berkata
untuk dirinya sendiri. Aku jadi terenyuh, terlebih
lebih setelah melihat warna wajahnya yang agak
kepucat-pucatan. Ia rupanya mengetahui kalau
kuperhatikan, lantas mengerling serasa tersenyum.
“Kapan kau berangkat?”
“Besok.”
la diam lagi.
Aku juga diam. Bingung. Entah mengapa, aku
menjadi ragu-ragu sendiri. Apakah aku harus
berangkat besok?
“Lily...”
“Ngg?”
“Aku sudah pesan ticket barusan.”
“Nghhh...”
“Belum kubayar”
“ Lantas?”
“Kupikir ...,” aku menatap wajahnya dari
samping. Matahari yang baru naik membiaskan

Hal. 160 « 386


silhouet di tepi-tepi wajah yang semakin lama
kupandang-tampak semakin manis dan indah.
“Ya, Bonar?” ia menatapku. Mata kami
beradu. Berpagut malah, la cepat memalingkan
muka dengan wajah yang merona merah, namun
sempat kulihat seberkas harapan yang tersembunyi
di balik sinar matanya.
“Kau pikir, apakah memang sebaiknya besok
saja aku berangkat?”
la menatapku lagi. Cahaya matanya kian
berbinar-binar.
“Mengapa kau tanya itu padaku?”
“Karena aku sendiri sedang bingung.”
“Boleh aku membantu?”
“Itulah yang kuinginkan.”
“Ada sesuatu yang penting di Bandung
sehingga kau berpikir untuk pulang saja cepat-
cepat?”
Terdiam aku mendengar pertanyaan Lily.
Apakah lagi yang terlebih penting daripada pulang
keharibaan Neneng? Bergelut di bawah lukisan

Hal. 161 « 386


kereta kuda dan kemudian berpacu sepuas hati?
Hanya itu sajakah yang kuperoleh selama ini dari
Neneng? Berpacu, dan berpacu. Terus berpacu.
Kami tak ubahnya joki-joki yang menyenangi
pekerjaan itu, hidup dengan pekerjaan itu pula
tanpa pernah memperbincangkan apakah tidak ada
hal-hal lain yang dapat kami lakukan serta yang
lebih berarti dari hanya sekedar berpacu saja.
Menikah misalnya. Lantas punya anak. Menikah dan
punya anak, berarti tanggung jawab. Dengan
kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab,
orang akan berjuang menempuh apapun dalam
hidup ini. Segalanya. Tidak hanya kesenangan
belaka. Hanya berpacu dan berpacu, yang toh akan
ada akhirnya.
“ ... seorang gadis?” bisik Lily tiba-tiba.
Aku tersentak. Kupandangi wajahnya, la
menggigit bibir, dan aku mengerti. Maka jawabku
tanpa berpikir panjang lagi:
“Aku harus mengikuti ujian semester.
Kemudian menyempurnakan thesis yang kerangka
nya telah kuajukan pada dosen-dosen penguji.
Mereka telah setuju. Dan bila ujian-ujian semester
ku sukses...”
Hal. 162 « 386
“Kapan?”
“Sebenarnya sudah dimulai hari ini. Tetapi
aku punya alasan untuk mengikuti ujian tersendiri.”
“Jadi, cepat ataupun lambat tergantung kau.”
“Ya.”
“Bagaimana dengan kota ini?”
“Semakin sempit. Dan gersang di sana sini.”
“Semuanya?”
“Terutama di lingkungan keluargaku.”
“Kalau boleh aku menebak, apakah persoalan
tentang sebuah pernikahan?”
Aku terjengah. Tak mampu untuk menjawab.
Lily tertawa kecil. Gumamnya:
“Mungkin pertanyaanku tadi bisa kupertegas.
Kau dipaksa kawin oleh keluargamu.”
Luluh, kujawab dengan suara runtuh: “Ya…”
“Dan kau tak cinta pada calon isterimu.”
Aku mengangguk.

Hal. 163 « 386


Dan mobil tiba-tiba berhenti tepat di pengkolan
jalan Pimpinan.
“Ada apa?” tanyaku heran.
Lily tidak menyahut. Dengan senyum
memekar di bibirnya yang merah basah, mobil ia
putar kemudian larikan kembali menuju ke pusat
kota. Cepat sekali, la salib kendaraan demi
kendaraan, ia ambil pengkolan demi pengkolan
dengan bunyi ban yang menjerit-jerit lengking. Baru
setelah memasuki jalan Putri Hijau, aku bertanya
hati-hati:
“Kemana kita?”
“Kemana lagi?” jawabnya seraya tertawa
manis. “Membuka matamu, tentu. Supaya kau
tahu, bahwa kota ini tidak sempit dan segersang
yang kau lihat dan rasakan.”
Mobil membelok memasuki halaman sebuah
rumah yang semi permanen.
“Rumahmu?” tanyaku ketika membuka pintu.
“Kawan yang kukatakan tadi. Ayo, ikut
sajalah. Aku ada rencana yang barusan terpikir
olehku.”

Hal. 164 « 386


Begitu bel dekat pintu ia pijit, begitu seorang
gadis bertubuh jangkung serta sedikit kurus berdiri
di hadapan kami. la berseru riang pada Lily:
“Hallo, calon direktris. Kukira kau tak jadi datang.”
Mereka berpelukan. Mesra.
“Kenalkan …” Lily menarik lenganku segera
disambut oleh gadis itu yang setelah kusebutkan
namaku lantas menyebutkan namanya:
“Saha...,” dan tiba-tiba matanya terbeliak,
justru pada saat yang sama setelah kuperhatikan
dirinya betul-betul aku sendiri juga terbeliak.
“Kau!” lanjutnya setengah berseru. Lantas
tertawa lebar. “Pantas tadi ada kupu-kupu hinggap
di jendela. Rupanya mau mengabarkan ada tamu
agung dari Bandung akan berkunjung!”
Lily tercengang.
“Kalian sudah saling mengenal?” tanyanya.
“Kenal?” geleng-geleng kepala perempuan
yang tampak lebih tua dari umurnya yang
sesungguhnya itu. “Aku kenal Bonar luar dalam.
Sampai ke bulu-bulunya yang paling kecil.”

Hal. 165 « 386


“Sahara, Sahara,” aku ikut geleng-geleng
kepala. “Kau masih suka omong sembarangan
seperti waktu kita masih sama-sama satu sekolah
dulu. Apa kabarmu, wahai gurun yang tandus?”
Kilat matanya jadi redup seketika. Tetapi
mulutnya yang tersenyum manis segera melontar
kata-kata:
“Masuklah. Masuklah. Akan banyak sekali
yang bisa kuceritakan padamu...,” dan seraya
memperhatikan aku melangkah lantas duduk di
sebuah kursi berjok tebal, ia bergumam: “Kau
semakin gagah dan tampan saja. Pantas Lily
senantiasa menceritakan tentang dirimu, tiap kali ia
punya kesempatan untuk buka mulutnya yang
nyinyir di depanku.”
“Jangan menghina kau!” rungut Lily dengan
wajah tersipu-sipu.
Seraya mengerling nakal, Sahara ngoceh semaunya:
“Ala, engga usahlah pula main kura-kura
dalam perahu. Laut kan sudah mulai tenang dan
layarpun telah pula dikembangkan!”
Lily mencubit paha Sahara keras-keras.
Sahara terpekik. Keras pula. Lantas balas mencubit
Hal. 166 « 386
lebih keras lagi. Lily yang kemudian terpekik. Sama
kerasnya.
“Hei. Kalian mau menyuguhkan acara cubit-
cubit-an saja ya?” rungutku seraya menyeringai.
“Kerongkonganku kering nih!”
Sahara dan Lily tertawa bergelak. “Mengapa
tak duduk di kursi panjang?” tanya Sahara
menyindir seraya mengerling bergantian dari
wajahku ke wajah Lily yang kian memerah dan
menjadi gugup. Lily mau mencubit pula, tetapi
Sahara keburu menjauh seraya masuk ke ruangan
dalam. Lily kemudian mengambil tempat di kursi
panjang, setelah mana ia memandangiku seraya
tersenyum lembut. Matanya mengajak. Bagai
ditarik magnit, aku pindah dari tempat dudukku,
dan duduk di sebelahnya. Tiada kata-kata yang
terucap. Yang ada, hanya tatapan mata. Dan jutaan
kata-kata di sebaliknya.

*
* *

Hal. 167 « 386


Sahara mendecip-decipkan mulut waktu
muncul kembali di ruang depan membawa tiga
gelas berkaki tinggi dan sebuah botol Martini yang
ia tuangkan isinya ke dalam tiga gelas tersebut.
Sambil menyerahkan gelas demi gelas ke tanganku
dan ke tangan Lily serta gelas ketiga untuk dirinya
sendiri, Sahara nyeletuk:
“Pasangan yang harmonis.”
“Eh, apaan kau?” memberengut Lily dengar
mata mendelik ke Sahara.
“Perahu sudah laju, Diam sajalah, jangan
berbisik. Nanti bisa oleng lagi!” balas Sahara dengan
puitis.
Lily merunduk.
Malu.
“Bawa oleh-oleh apa dari Bandung?” tanya
Sahara padaku, sengaja mengalihkan situasi yang
sudah melampaui batas itu.
“Justru sebaliknya,” jawabku tersenyum.
Kutunjuk tulang pipiku yang kanan. “Waktu datang
di kota ini, bagian yang ini bersih. Kalau aku pulang
lagi ke Bandung, maka cacat ini benar-benar

Hal. 168 « 386


merupakan oleh-oleh yang tak akan habis
dimakan.”
“Cacat yang mujarab,” Sahara mengerling.
“Mulai nakal pula kau!” aku bersungut-
sungut. “Kudengar kau sudah kawin. Mana
suamimu?”
Wajah perempuan itu berubah murung.
Tampak semakin tua.
la reguk habis isi gelasnya, mengisinya
kembali dan mau mereguknya pula waktu Lily tiba-
tiba berdiri dan berjalan ke pintu.
“He, mau ke mana?” tanya Sahara.
“Saling tukar ceritalah kalian. Aku telah
menghasilkan suprise barusan, dan aku ingin
memberikan, suprise lebih banyak lagi,” jawab Lily
dan tanpa menerangkan apa tujuan kata-katanya
tau-tau ia telah masuk ke mobil, menghidupkan
mesin, mundur ke jalan kemudian lenyap ditelan
lalu lintas yang ramai.
Aku dan Sahara berpandangan. Tak mengerti.
“Mau apa dia?” tanyaku. Bingung.

Hal. 169 « 386


“Entahlah. Lily kadang-kadang memang suka
bertingkah aneh,” jawab Sahara, seraya
mengangkat gelas di meja. Ia minum, Semula kukira
sampai habis seperti tadi. Nyatanya cuma seteguk
kecil. Setelah itu gelas di tangan ia putar-putar
pelan dengan mata redup menatap ke depan, lewat
jendela, lewat pohon pohon cemara, lewat jalan
besar, lewat lalu lintas yang ramai, lewat tepian
langit. Lewat apapun yang menghalangi
pandangannya. Kosong. Dan hampa.
Aku mencoba menebak apa yang membuat
sikapnya berubah ganjil, namun tidak berani untuk
mengutarakan. Takut terjadi akibat yang lebih fatal.
Untuk mengembalikan suasana riang tadi, pelan-
pelan aku bertanya:
“Tadi kudengar kau sebut Lily calon direktris.
Apa maksudnya?”
Sahara meneguk minumannya. Lantas
mencoba tersenyum.
Memandangku dengan manis.
“Aku tidak sekedar meledek.”
“Jadi...”

Hal. 170 « 386


“Kau belum tahu siapa ayahnya?”
“Jangankan ayah Lily. Rumahnya pun aku
belum pernah tahu.”
“Kok aneh.”
“Habis, namanya juga baru bertemu sekali dua.”
“Tapi Lily, kalau menceritakan kau seakan-
akan sudah kenal selama bertahun-tahun.”
“Ah?”
“Kau orang beruntung, Bonar.”
“Nah, apa ini?”
“Orang bercinta memang suka berpura-pura.
Aku tahu siapa dia, dan aku juga tahu siapa kau. Jadi
jangan berlagak di depanku!”
Aku kikuk jadinya.
Kehilangan kata-kata. Sampai kemudian,
kucoba memperbaiki posisiku yang salah tingkah
itu:
“Emangnya ayah Lily siapa?”
“Direktur CV. Triton.”
“Triton?”
Hal. 171 « 386
“Oh. Belum ada ketika kau tinggalkan kota ini.
Dulunya ayah Lily pedagang tekstiel biasa. Kau kan
tahu, di negeri yang kaya raya ini perdagangan
dikuasai Cina di mana-mana. Satu-satunya suku
yang bisa mengimbangi mereka, hanya orang-orang
padang.”
“Jadi ... Lily seorang gadis Minang?” aku
ta'jub. Teramat ta'jub.
“Wahai kalian. Aku khawatir, kalian baru
kenal nama saja. Ya, ia gadis Minang asli. Kelahiran
Payakumbuh. Ibunya dari sana, ayahnya dari
Padang. Datang ke Medan dengan modal dengkul,
jualan kain di pinggir jalan, beberapa tahun
kemudian punya kios yang kian bertambah dan
akhirnya mendirikan Triton. Perusahaan impor-
export, masih di bidang tekstiel. Lily itu anak
tunggal. Kesayangan. Apa yang dimaui, semua
terpenuhi. Tinggal tunjuk, maka dapat. Tinggal
sebut, maka ia peroleh, la benar-benar anak
kemanjaan. Tetapi tahu diri. Tidak takabur. Tidak
cengeng…”
“Mengapa ia harus les tata buku, tak
keperguruan tinggi saja? Mengambil fak ekonomi
misalnya.”
Hal. 172 « 386
“Tak diijinkan orang tua. Tamat es-em-a, ia
ikut les dengan rajin. Kalau tidak sedang les, praktek
dasar di kantor perusahaan ayahnya. Dengan begitu
ia bisa cepat menguasai segala sesuatu tanpa
memerlukan waktu yang terlalu lama. Ayahnya
sudah tua dan tak ingin hasil jerih payahnya jatuh ke
tangan orang lain. Tekun sekali ia membimbing Lily
sebagai calon penggantinya.”
“Hemm…”
“Mengapa wajahmu masam begitu?”
Mengapa? Karena Lily ternyata orang kaya
raya. Dan aku?
Keluhku kemudian:
“Tidak. Tidak apa-apa.”
“Aku tau. Tak usah cemas, Bonar. Lily tak picik
pandangannya dalam soal status sosial seseorang.”
“Oooo...”
“Bagaimana studimu? Sudah selesai?”
“Hampir.”
“Keluargamu baik-baik saja?”

Hal. 173 « 386


Aku terjengah. Namun kujawab juga:
“Berkat do'amu,” lantas, tanpa sadar lepas
saja dari mulutku: “Dan kau?”
la tersenyum. Getir. Aku bersyukur, ia tidak
pingsan, meskipun aku belum habis mengerti ia
harus pingsan atau shock seperti tadi. Seraya
menekuri meja di hadapan kami, Sahara
mengisahkan tentang hidupnya yang malang.
“Aku mandul,” katanya memulai, Bertahun-
tahun setelah menikah, suaminya mulai berkurang
cintanya terhadap Sahara. Suaminya dilahirkan dari
keluarga yang juga miskin anak, dan tidak mau
mengalami nasib yang sama dengan orang tuanya.
Diam-diam ia berhubungan dengan perempuan
lain, diam-diam pula menikah di luar
sepengetahuan Sahara. Rupanya suaminya tidak
ingin menyinggung perasaan Sahara. Di samping itu,
suaminya ingin tahu apakah ia bisa memperoleh
anak dari perempuan lain. Ketika ia benar-benar
memperolehnya, ia mendatangi Sahara dan berkata
dengan terus terang:
“Bukan aku tak sayang padamu, mam…”

Hal. 174 « 386


Ia memang selallu memanggil suaminya
“papa” dan sauaminya memanggil dia “mama”
sekedar untuk melipur lara karena mereka tak
beruntung memperoleh keturunan. Belum habis
ucapan sang suami, Sahara dengan tabah sudah
menukas:
“Aku tahu, pap. Aku harus pergi dari rumah
ini bukan?”
Suaminya terkejut.
“Bukan. Bukan itu maksudku.”
“Tujuanmu pasti semacam itu”
Gugup, suaminya mengangguk.
“Akulah yang akan pergi,” katanya. “Aku
sudah...”
“Ya. Ya. Desas-desus itu sudah kudengar.
Naluriku membenarkannya. Tidak mempersalahkan
kau, hakmu. Anakmu laki-laki?”
Suaminya mengangguk dengan wajah pucat.
“Tak perlu gelisah. Sudah kubilang, aku tidak
mempersalahkan kau. Dan akupun tahu, kau

Hal. 175 « 386


lakukan itu bukan semata-mata karena dorongan
nafsu.”
Meskipun suaminya bertahan dengan
pendirian untuk tidak menceraikan Sahara, namun
sang istri tidak bersedia dimadu. Bagaimanapun,
kehadiran seorang perempuan lain pelan-pelan
akan menyisihkan dirinya juga. Apalagi dari sang
isteri muda si suami telah memperoleh anak. Tidak
si istri muda, tentu si anak yang akan menyita kasih
sayang suaminya. Mereka kemudian bercerai
secara baik-baik. Rumah dan segala isinya diberikan
si suami untuk jandanya. Termasuk biaya bulanan
secara tetap, sampai Sahara memperoleh
pelindung lain. Kalau suaminya yang akan datang
tidak mampu membelanjai rumah tangga mereka,
bekas suami Sahara tetap tidak akan melepaskan
tanggung jawabnya.
“Ia suami yang baik. Benar-benar baik,” keluh
Sahara. Lirih.
Aku menelan ludah.
“Kau sudah kenal anak isterinya?”
“Mereka kadangkala suka berkunjung ke
rumah Ini. Aku tidak. Mungkin aku egois, tetapi
Hal. 176 « 386
bagaimana mungkin aku datang ke rumah mereka
untuk melihat syurga di mana orang yang kucintai
hidup dan melupakan neraka yang bergolak selama
ia berada di sampingku?”
“Sudah lama kau hidup sendirian?”
“Hampir satu tahun. Rasanya baru kemaren
terjadi Bobot tubuhku meluncur sangat cepat.
Untung ada Lily yang menghibur. Kalau tidak ...”
“Bagaimana kau bisa mengenal Lily?”
“la salah seorang keponakan bekas suamiku!''
Kerikil di depan rumah berbunyi dengan
suara berisik. Terdengar derum mobil yang
kemudian mati. Lalu suara orang melangkah di
terras. Sahara berdiri.
“Lily sudah kembali,” katanya. Dan tiba-tiba
ia tercengang. “Lihat. Siapa yang berjalan di
sampingnya itu!”
*
* *

Hal. 177 « 386


8

“CHAIRUDIN!” seruku seraya berlari-lari kecil


menyongsong sahabat kentalku itu. la tertawa
lebar, lebih-lebih lagi setelah mengenali siapa
nyonya rumah yang mempersilahkannya masuk
tanpa lupa berjabat tangan. Erat sekali. Dan melihat
pandangan mata Sahara, kukira jabatan itu tak saja
erat. Juga hangat.
“Kau makin jelek sekarang,” cemooh Sahara
pada Chairudin.
Tanpa tersinggung, sahabatku menyahut:
“Makanya, aku terus-terusan jadi bujang lapuk ...”
“Dan bisa bulukan, kalau tak cepat-cepat
ditolong!” tambahku.
“Nenekmu!” tawa Chairudin seraya memukul
bahuku.

Hal. 178 « 386


Lily ikut sumbang ketawa. Berderai-derai. Suasana
riang itu lenyap seketika Chairudin bertanya
seenaknya:
“Dan kau, nyonya besar dari gurun Sahara,
sudah punya anak belum?”
Aku dan Lily terbungkam.
Ingin kupukul sahabatku, tetapi Sahara
tertawa kecil. Pura-pura. Dan letih.
“Tak ada yang perlu disembunyikan,”
katanya. “Perempuan-perempuan kota ini suka
malu besar kalau memperoleh gelar janda. Toh ini
kenyataan, sebesar apapun kemaluanku!” lanjutnya
seraya menekankan kata yang paling akhir.
Chairudin yang melongo sesaat, kemudian tertawa.
“Omonganmu masih suka jorok seperti dulu,
Sahara.”
“Biar awet,” jawab Sahara, tersenyum senang.
“Awet bagaimana. Kerangka hidup begini!”
“Eh, jaga dong omonganmu Din,” cetusku,
memprotes.

Hal. 179 « 386


Lagi-lagi Sahara menjernihkan situasi dengan
kata-kata:
“Ketimbang tubuh seperti goni, Din, kan
kerangka lebih hebat goyangnya. Konon ditambah
pengalaman sebagai jaminan!”
“Idiiihhh!” umpat Lily, menahan tawa. la
masuk ke dalam, ganti jadi tuan rumah. Keranjang
kecil yang tadi ia bawa waktu masuk berisi buah-
buahan segar, dan bungkusan plastik berisi roti
keju. Di samping hidangan itu, waktu keluar ke
ruang depan Lily menanting juga baki berisi empat
gelas air jeruk.
“Mengapa tidak masak sekalian?” celetuk
Sahara.
“Memang akan!” jawab Lily dan masuk
kembali ke dalam.
Makan siang yang terhidang di atas meja tak
lama kemudian, ludas hanya dalam sekejap mata.
Meskipun masakan Padang sering kucicipi selama di
rantau namun toh masakan hasil tangan Lily
rasanya tidak akan terimbangi masakan Padang
manapun di seluruh dunia ini. Sampai-sampai basah
kuyup bajuku oleh teringat karena terlalu kenyang,
Hal. 180 « 386
terlalu nikmat dan terlalu pedas. Pujiku dengan
tulus:
“Sejak pulang ke kota ini, baru sekaranglah
aku menghabiskan nasi lebih dari sepiring.”
Chairudin meningkah:
“Dan sambal lado-nya, ampun!” la mendesis-
desis kepedasan sedangkan kulit mukanya merah
terbakar. “Di samping cantik, Lily ternyata pintar
juga masak. Ideal bukan, Bonar?”
“Kalau kalian memuji terus-terusan, aku akan
usir kalian mentah-mentah,” mendahului Lily
sebelum aku sempat menjawab pertanyaan
Chairudin.
“Iya dah. Aku berani bertaruh, bahwa yang
kau usir hanya aku saja. Bonar tidak. Bagaimana,
Lily?”
Gadis itu merah telinganya.
la membereskan perabotan di atas meja
dengan tangan-tangan gemetar, tidak berani
memandang ke arahku. Sebaliknya, akupun hanya
berani memandangi Chairudin sambil menginjak

Hal. 181 « 386


kakinya keras-keras. Kawanku itu menjerit
tertahan.
Lily yang sudah mau masuk ke pintu dapur,
bertanya heran:
“Ada apa?”
“Ada apa?”
“Celaka. Tikus busuk di bawah meja
menggigit isepatuku,” dan seraya tertawa lebar
Chairudin berbisik di telingaku, sangat perlahan:
“Dan kau, sobat, memang tikus terbusuk!”
Aku mengerti tujuan kata-katanya.
Dan tak bisa menjawab. Setelah berada di
ruang depan kembali, kukira yang membasahi
badanku bukan saja keringat biasa akan tetapi
sudah bercampur dengan peluh dingin. Aku meraba
saku mencari rokok dengan tangan gemetar. Tetapi
yang pertama kali tersentuh justru secarik kertas
kecil berwarna putih. Kertas nota terima surat kilat
khusus yang tadi pagi kukirimkan ke alamat Neneng
di Bandung.
Neneng, yang begitu percaya bahwa aku akan
setia. Neneng yang begitu cemas karena takut ia

Hal. 182 « 386


tersisihkan. Neneng yang bermimpi di siang bolong
melihat dirinya terjerumus ke dalam jurang yang
dalam. Dan jauh di atas tebing yang terjal, ia lihat
diriku samar-samar menjauhi, betapapun suaranya
sampai parau memanggil-manggil namaku. Neneng
yang sempat mencemoohkan impianku terjatuh
dari langit disambut oleh tiga buah jurang
menganga jauh di bawah. Kini aku mengerti, apa
makna impian itu. Aku benar-benar sedang berada
di awang-awang. Sedang diuji kemampuan dan
kesetiaanku. Ke jurang manakah aku akan jatuh.
Neneng. Marianna. Atau Lily!
“Apa yang kau lamunkan, Bonar?” tau-tau
Lily sudah duduk di sampingku.
Aku terkejut.
Lalu menyahut dengan gugup:
“Ah. Tak apa-apa.”
“Bohong.”
“Sungguh, tidak...”
“Sumpah?”
“Aaaa...apa?” aku tergagap.

Hal. 183 « 386


“Bersumpahlah, memang tak ada yang kau
lamunkan , matanya menatap tajam.
“Lily, kau toh tak bermaksud memaksaku
untuk…”
“Berbohong?” desaknya.
Sahara yang dari tadi diam mendengarkan
perdebatan itu, buru-buru menengahi:
“Hey, Lily. Sudah hampir jam tiga!”
Tubuh Lily yang tegang, perlahan
mengendur, “Ah, hampir aku lupa,” keluhnya. Lalu
berjalan masuk ke dalam. “Ayolah kita dandan
dulu.”
“Emangnya, mau ke mana?” tanya Chairudin.
Sahara menjawab:
“Kami janji tadi pagi, mau nonton sore ini.
Ada Joe Don Baker di Megaria...,” lantas seraya
berdiri untuk mengikuti Lily yang sudah duluan
menghilang, ia mengejek: “Kalau merasa kanker
alias kantong kering, silahkan piket di rumah.”
Tentu saja aku dan Chairudin tak sudi piket di
rumah janda.

Hal. 184 « 386


“Lain kalau janda-nya tinggal menemani,”
berungut Chairudin, lantas nyeletuk ke telingaku:
“Aku benar-benar lagi tongpes. Kantong Kempes,
Bonar. Kau?”
“Tenanglah, sahabatku,” sahutku, tersenyum. Pelan
tetapi pasti, Neneng menghilang dari pikiranku.
Filmnya berjudul “Kill Mr. Mitchell!”
Dan nyatanya, Sahara yang duluan buka
dompet. Namun tak lupa bersungut:
“Kamu berdua berhutang padaku!”
Filmnya tidak terlalu jelek. Sebuah film action
yang sayang Joe Don Baker sedikit over acting
dibanding film-filmnya terdahulu yang sempat
kulihat. Terasa semakin tidak berartinya jor-joran di
layar putih waktu telapak tangan Lily yang duduk di
sebelahku tak lepas-lepas dari tanganku semenjak
kami memasuki gedung bioskop. Hangat.
Terkadang gemetar, manakala kuremas dengan
lembut. Dalam remang-remang acap kali kami
saling beradu pandang. Malah sekali, tanpa sadar
kudekatkan wajahku ke wajahnya.
Tetapi sebuah dehem halus dari Chairudin
menggagalkan ciuman curi itu. Aku tersipu sendiri.
Hal. 185 « 386
Tak berani menoleh ke nomor kursi yang letaknya
agak berjauhan, di antarai oleh kursi-kursi yang
kosong. Di sana duduk Chairudin bersama Sahara,
yang waktu meminta Chairudin membeli ticket agar
nomor-nomorku yang ia ambil agak terpisah
letaknya. Sempat aku berpikir apakah tindakan
genit itu dilakukan Sahara untuk memberi
kesempatan padaku dan Lily, ataukah ia sendiri
bermaksud mencari kesempatan yang sama dengan
Chairudin?
Mataku terpaut lagi ke layar.
Martin Balsam sedang marah pada Joe Don Baker.
Di sebelahku, Lily menghela nafas. Jelas sekali
kutangkap helaan itu. Malah waktu ekor mataku
melirik, tampak gelembung payudaranya
bergelombang dengan kencang. Jantungku
berdegup. Apalagi waktu tampil Linda Evans di
layar, memerankan seorang tokoh call-girl kelas
jetset tanpa segan-segan berbugil lantas kemudian
bergelut dengan Joe Dom Baker di atas ranjang.
Helaan nafas di sampingku semakin jelas, disusul
oleh kepala yang rebah dil lenganku. Aku melirik.
Sepasang mata Lily terpejam, Bibirnya setengah
terbuka. Menantang. Aku ingini menciumnya.
Hal. 186 « 386
Tetapi tidak ingin mendapat dehem Chairudin yang
mungkin akan berubah jadi batuk- batuk yang keras.
Dan lebih dari itu, aku takut apakah perbuatan itu
tidak akan menyinggung perasaan Lily.
Keluar dari bioskop, aku mengambil setir
setelah berada di dalam mobil kembali. Tak ada di
antara kami yang bersuara selama mobil kujalankan
tanpa tergesa-gesa. Lily duduk di sampingku. Tidak
terlalu rapat, namun tak pula terlalu renggang.
Matanya menatap jauh ke depan, menembus kaca
depan, ke jalan yang bermandi cahaya senja teram
temaram. Aku menarik nafas untuk melepaskan
ganjalan yang memberati dada, dan secara tidak
sengaja melirik ke kaca spion. Di tempat duduk
belakang, Sahara bergenggaman tangan dengan
Chairudin. Mereka rupanya tau aku mengintip.
Sahara buru-buru menarik tangannya dan
membuang muka keluar jendela. Chairudin
tersenyum. Malu.
“... kemana kita sekarang?” tanyaku
memecah kesunyian yang ganjil itu.
Lily membuang nafas. Panjang. Di belakang,
Sahara nyeletuk. Suaranya terdengar sumbang:

Hal. 187 « 386


“Lupakah kau kesenangan kita dulu?”
“Lupa?” sahutku. Angkat bahu. “Tidak!”
“Kalau begitu, tunggu apa lagi?”
Mobil kemudian kularikan kencang-kencang.
Menjelang Magrib, kuparkir mobil itu tak jauh dari
bioskop Riang. Dulunya masih bernama Rio. Aku
teringat lelucon wak Gabus yang populer pernah
mengeja huruf-huruf itu dengan “er-sepuluh.” Saat
berikutnya kami telah mengisi penuh suatu bangku
panjang dalam sebuah warung penjual kerang
rebus. Seperti disengaja saja. Aku duduk paling
kanan. Di kiriku Lily. Di sebelahnya, Chairudin. Dan
paling kiri, Sahara. Seperti disengaja pula, ketika
pelayan mengantarkan empat gelas teh panas, Lily
menyodorkan salah satu untukku, satu untuknya.
Sahara mengambil satu untuknya sendiri dan
menyodorkan gelas keempat pada Chairudin.
Seperti waktu dalam mobil, ketika melahap
kacang rebus kami berempat juga tidak banya
bicara. Aku minta tambah. Lily tidak. Chairudin
minta tambah. Sahara tidak. Tak ayal lagi waktu
berjalan kembali ke mobil aku mendekati Chairudin
dan berbisik di telinganya:

Hal. 188 « 386


“Tampaknya kau mau ikuti jejak Mamonta.
Dapat janda muda.”
la mendelik.
Lily dan Sahara yang telah masuk lebih dahulu
dalam mobil tidak mendengar suara kami.
Dan Chairudin membalas:
“Kau!” bisiknya. “Kau justru akan membuat
seseorang menjanda.”
“Eh, siapa pula itu?”
“Isterimu yang di Bandung!”
Aku gemetar ketika memegang setir dan
jalankannya keluar dari tempat parkir. Melihat Lily
mengambil alih kemudi. Mobil ia larikan cang-
kencang. Karena heran, aku nyeletuk:
“Apa yang kau kejar?”
“Waktu Asyar,” jawabnya, tersenyum. Mata
berbinar-binar. Bahagia.
Tentu saja terlambat!
Kami berempat sama-sama menjamaknya
setiba rumah Sahara. Chairudin yang jadi Imam.

Hal. 189 « 386


Waktu saatnya berdo'a, kutadahkan wajah.
Tubuhku getar. Hebat. Di balik mataku yang
terpejam, aku diriku bersujut di atas sejadah
kemudian menangis seraya bertanya:
“Tidakkah perbuatanku munafik, ya Tuhanku?”
Lalu aku melihat Neneng.
la mengelus rambutku.
Penuh rasa sayang.
Ia bukan Tuhan. Yang kucari. Tetapi ia memberikan
apa yang kuingin. Lewat kata-katanya yang
menghibur:
“Tergantung isi hatimu, sayangku!”
Lily, Sahara dan Chairudin sudah pergi duduk-
duduk di ruang depan setelah selesai Magrib. Tetapi
aku masih bersidepa di atas sejadah, dengan sudut-
sudut mata yang basah. Bayangan Neneng tidak
lepas dari balik kelopak mataku. Seolah-olah ia
menggantung di sana, rapat dan kuat, tidak mau
dilepaskan. Isak tangisnya seakan-akan dekat sekali
di hati, dan jantung ini digugah oleh pertanyaannya
yang setengah ketakutan setengah menghiba:

Hal. 190 « 386


“Pulanglah, kekasih. Pulanglah, junjunganku.
Pulanglah padaku!”
Air bening di sudut-sudut mataku, tak bisa
lagi kutahan. Meleleh hangat, membasahi pipiku
yang dingin.

*
* *

“Bonar?”
Suara itu sayup-sayup sampai. Sayup-sayup
sampai...
“Bonar!”
Mataku terbuka. Ada sentuhan halus di
pundak. Waktu aku menoleh, aku melihat Lily.
Bibirnya tersenyum, tetapi matanya sendu,
digantungi seribu Btu pertanyaan yang minta
kujawab.
“... kau menangis,” bisiknya. Lemah.
“Oh ya?” sahutku, terkejut lalu buru-buru
menyeka kedua belah pipi dengan sebelah tangan.

Hal. 191 « 386


Di luar dugaanku, tangan Lily terangkat, la
memegang pergelangan tanganku, menurunkannya
perlahan-lahan lantas menggenggamnya kuat-kuat.
Bersamaan dengan itu sebelah tangannya yang lain
terangkat pula.
Tampak jari telunjuknya yang lentik gemetar,
dan jemarinya kemudian menyeka air mata di
pipiku, dan berhenti lama, waktu menyentuh bekas
luka yang baru sembuh di tulang pipi.
“Apa yang kau tangisi, Bonar?”
Aku menelan ludah. Lama baru bisa menjawab
“...diriku,”
“Ada apa dengan kau?”
“Betapa kerdilnya aku ini,” jawabku lirih, dan
dalam hati kecil aku berteriak: “Betapa kerdil dan
kotornya jiwaku!”
Kelopak mata Lily terpejam.
Waktu matanya kembali terbuka, tampak basah.
“Bangkitlah, sayangku ...” ucapnya, gemetar
Aku terpana mendengar perkataan “sayangku” itu.
Tetapi Lily seperti tidak sadar telah mengucapkan

Hal. 192 « 386


sesuatu yang membuat jantungku bagaikan putus di
rangkaiannya. Dengan suara bergetar, ia
meneruskan “Semakin seseorang merasa dirinya
kerdil, semakin orang itu membutuhkan cinta kasih
untuk membesarkan hatinya.”
Aku tidak kuasa untuk bangkit.
Karena, sebelum aku bangkit, tiba-tiba Lily
telah memelukku. Dan menangis di dadaku.
“Tuhan jadi saksi, Bonar ...,” isaknya. “Mula
pertama aku melihatmu tergeletak dengan wajah
berlumuran darah di rumah sakit, aku tidak bisa
melepaskan kau dari ingatanku. Dan ... dan ketika
kau selipkan seiris jeruk di antara bibirku, aku pun
lalu mengerti... bahwa aku ... aku telah menemukan
lelaki yang telah lama kucari-cari. Aku cinta
padamu, Bonar!”

*
* *

Hal. 193 « 386


9

SAMPAI tiba waktu pulang, tidak ada


sentuhan bibir pertanda cium cinta pertama di
antara kami berdua. Sahara mengucapkan
terimakasih untuk kencan kami hari itu. Chairudin
tidak mau di antar pulang karena katanya masih
banyak yang akan ia perbincangkan dengan Sahara.
Belangnya ketahuan meskipun ia berdalih:
“Maklum, ketemu kawan lama. Banyak yang
menarik untuk diceritakan, bukan?”
Di mobil, aku dan Lily sama-sama berdiam diri.
la merebahkan wajahnya di bahuku. Matanya
terpejam, rapat Dan dadanya bergerak dengan
teratur. Aku yakin ia tidak tertidur. Senyum bahagia
tidak lepas-lepas dari mulutnya.
Pikiranku sendiri sedang kacau.

Hal. 194 « 386


Di depanku, bermain-main tiga buah jurang
menganga di permukaan jalanan aspal yang licin
dan hitam.
“... Bonar?”
“Nggh?!” aku terkejut.
“Apa yang kau pikirkan?”
Aku gugup oleh pertanyaan itu. Namun
sebagai laki-laki, aku cepat memperoleh jawab:
“Banyak… Kau.”
“Aku?”
“Kau dan aku!”
la memelukku. Hangat. Dadanya menyapu
lenganku. Panas. “Apalagi?”
“Banyak.”
“Antaranya?”
“Kita tidak hanya berdua di dunia ini,” la
terkejut. Menatapku.
Kucoba tersenyum. Yang bermain di benakku
masih jurang-jurang menganga itu. Berlari-lari
dahulu mendahului. Sekali Neneng di depan.
Hal. 195 « 386
Tersusul Marianna. Belum lagi Marianna jauh,
Neneng sudah melesat lagi ke depan, tak ubahnya
panah yang baru saja lepas dari busurnya. Neneng
belum sempat tertawa karena menang, muncul
bayangan yang melejit bagaikan angin. Melejit
terus, meninggalkan Neneng dan Marianna. Setelah
jauh, bayangan itu berhenti. Aku melihat Lily
melambai. Neneng mengumpat. Marianna
mencaci. Mereka lalu mengejar. Lily tertawa, lantas
berlari ...
Berlawanan dengan apa yang tersirat di benak di
mulut aku berkata:
“… Chairudin misalnya.”
“Ooo.”
“Dan... Sahara!”
Lily tiba-tiba tertawa kecil.
“Kawanku itu,” katanya. “Sudah berapa kali
Kujodohkan dengan lelaki. Engga ada yang cocok.
Selalu banyak kekurangannya. Yang ini sudah
kelewat tua. Yang itu masih kekanak-kanakkan.
Yang lain, bertampang bandit. Tak sedap
dipandang. Ada yang sedap dipandang, lantas ia
bilang: kok kayak banci. Aku jadi bosan. Eh, tak
Hal. 196 « 386
tahunya, baru ketemu hari pertama, ia sudah ada
main dengan temanmu yang kucel dan berkumis
lele itu ...”
“Pertama bertemu?” cetusku, tertawa.
“Mereka sudah pernah dijodohkan.”
“Ah, masa iya!”
“Sungguh mati.”
Dahi Lily mengernyit.
“Kok Sahara kawin dengan orang lain. Ada
yang curang?”
“Bukan.”
“Lantas?”
“Jodoh main-main mereka itu.”
“Main-main bagaimana? Kok aneh.”
“Waktu di es-em-a, kawan-kawan sekelas
suka saling jodoh-menjodohkan. Tidak sungguhan.
Tetapi ada juga yang jadi benaran. Misalnya si otak
cemerlang Legiman yang menikah dengan si tukang
cerewet Murniati. Chairudin yang pemalu,
dihubung-hubungkan dengan Sahara yang galak.”
Aku geleng-geleng kepala. “Heran, Sahara telah
Hal. 197 « 386
berubah jauh. Tidak segalak dulu lagi. la pernah
menampar Legiman yang mengejeknya sebagai
pacarnya Chairudin ...”
“Mungkin rumah tangganya yang berantakan
telah mengubah dirinya,”
“Benar juga. Justru pada saat, Chairudin
sekarang galak pada perempuan.”
“Suka main pukul?”
“Bukan, la suka berganti-ganti perempuan.”
“Wah?! Laki-laki seperti dia?”
“Jangan menghina. Siapa yang tahu apa isi
seseorang?” gumamku sambil dalam hati aku,
mengeluh, Bagaimana kalau Sahara tahu bahwa si
Udin itu suka main ke tempat pelacuran? Ah,
barangkali tidak jadi persoalan betul. Kawan
Chairudin yang bernama Margono itu sedikit
banyak telah membantu sahabatku agar tidak
menjadi langganan dokter spesialis. Mudah-
mudahan ia masih utuh, sehingga Sahara yang pasti
haus belaian lelaki itu tidak sampai kecewa
dibuatnya.
“Omong-omong, apa Honda baru itu jadi ia ambil?”

Hal. 198 « 386


“Sudah. Malah ketika tadi siang aku ke
rumahnya, ia tengah mencobanya sepanjang jalan
Berayan Endreien,” Lily tertawa senang.
“Keluarganya orang baik-baik. Sayang saudara-
saudaranya teramat banyak, sehingga tampaknya
temanmu itu selalu tertekan bathin. Komplikasi
dalam dirinya sendiri. Tetapi kelihatannya ia cukup
tahu siapa dirinya dan di mana posisinya. Di
rumahku ada karangan bunga. Pengirimnya,
Chairudin.”
“... pertanda cinta?” tanyaku, kecut.
“Hmmm. Jangan lekas cemburu, Bonar.
Hanya ucapan terimakasih.”
“Syukurlah.”
Tak jauh dari rumah, mobil kuhentikan.
Lily terheran-heran.
“Kenapa tak diteruskan?”
“Jangan.”
“Lho!”

Hal. 199 « 386


“Apa kata mereka kalau tahu seorang
perempuan mengantar seorang lelaki ke
rumahnya? Malam-malam lagi…”
Lily tersenyum. Aku hampir turun, ketika ia berbisik:
“Ciumlah aku, kekasih!”
Tertegun aku mendengar permintaan Lily.
Sudah seberani itukah gadis-gadis Medan
yang terkenal fanatik sampai kutinggalkan hampir
lima tahun yang lalu?
“… Bonar?”
Aku merunduk sedikit. Mencium dahinya. Lembut.
“Mm...bukan di situ.”
Kucium pipi kanannya.
“Kekasih. Kau tega mataku tidak bisa
terpejam malam ini?”
Maka, kucium bibirnya.
Lily mengulumnya. Lama. Ketika kemudian
ciuman yang panas itu berakhir, dengan nafas
tersengal-sengal Lily tersenyum.
“Kau akan datang besok bukan?” tanyanya.
Hal. 200 « 386
“Besok?” aku tak mengerti. “Kemana?”
“Makan siang. Di rumahku.”
“Oh!”
Tangan kirinya meluncur melewati tubuhku.
Membuka pintu. Aku bergerak keluar. Enggan. “Aku
tahu kau akan datang!” katanya.
Pintu tertutup.
Dan mobil itu meiaju. Meninggalkan aku
termangu-mangu.

*
* *

BUTET yang membukakan pintu untukku.


Wajah gadis kecil itu agak pucat dan lesu. Aku
menghela nafas. Gadis seumur dia harus sudah
mendengar dan melihat apa yang suatu ketika
mungkin membuatnya takut untuk menentukan
pilihan sebagai gadis yang sudah dewasa. Kalaulah
tidak kasihan pada neneknya aku yakin Butet sudah
jauh-jauh hari pulang ke rumah orangtuanya di
Pabrik Tenun.
Hal. 201 « 386
Sambil menutupkan pintu kembali, aku lantas
teringat pada kak Ros, dan kejadian tadi pagi di
rumahnya. Dapatkah kakak memaafkan perbuatan
ku pagi ini? Tentang Marianna, aku tidak perduli.
Sejak dulu-dulu juga aku tidak berangan-angan
untuk ber-isterikan anak kaum keluarga. Terlalu
banyak aturan-aturan yang harus ditempuh. Dan
bukan pula sedikit resiko yang pasti terjadi bila ada
hal-hal yang tidak dikehendaki. Soal yang sekecil-
kecilnyapun tidak akan lepas dari telinga kaum
keluarga. Dan soal yang teramat kecil itu bisa
menjadi teramat besar serta menentukan. Orang
bersuami isteri sudah berhak untuk menentukan
diri sendiri. Tetapi di kota ini, keluargalah yang
masih harus menentukan.
Ibu sedang mengunyah tembakau di sebuah
kursi malas yang tepi-tepinya sudah retas.
“Malam benar kau pulang, anakku,” sapanya.
Malam benar. Padahal belum juga lewat jam
sembilan. Apa beliau masih menganggap aku anak
ingusan seperti waktu-waktu yang lampau?
“Ibu belum tidur?” sahutku. Kaku.
Beliau geleng-geleng kepala. Lemah, jawabnya:
Hal. 202 « 386
“Sudah beberapa hari ini aku kurang tidur, anakku”
Beberapa hari ini. Itu berarti semenjak aku
pulang di kota ini. Dan pasti, semenjak aku
memperlihatkan kartu mati, bahwa calon isteri yang
mureka sodorkan ke mukaku tampaknya harus
mereka ambil dan simpan jauh-jauh.
Seperti maklum aku berminat untuk langsung
ke kamar lalu tidur, ibu memerintah tiba-tiba
dengan suara halus:
“Duduklah dulu.”
Aku memenuhinya, betapapun aku ingin
menolaknya.
Beliau meludahkan air tembakau ke sebuah
kaleng dekat kaki kursi malas. Ibu jari dan
telunjuknya berlepotan warna merah waktu
tembakau suntil ia geser-geserkan di antara gigi-
giginya, membuangnya ke kaleng yang sama lantas
menggantinya dengan tembakau baru.
“ ... kau sudah makan?”
Pertanyaan itu lebih mirip basa-basi. Tetapi
ku-jawab juga:
“Sudah...”
Hal. 203 « 386
Diam lagi.
Beliau mengunyah-ngunyah tembakau.
Memandangku, lewat sepasang bola mata
tuanya yang sudah mulai rabun. Lalu:
“Tadi siang Tigor kemari.”
“Oh.”
“la mencari kau.”
“Mau apa dia?”
Dahi ibuku mengernyit. Aku merasa
menyesal, tetapi terlanjut sudah. Dan aku benar-
benar terpukul waktu ibu menandaskan:
“Kau belum berkunjung ke rumahnya
semenjak kau tiba!”
Lagi-lagi aku terdiam.
“Bonar...”
“Ya bu?”
“Ada yang datang sore tadi.”
“Siapa?”

Hal. 204 « 386


“Katanya, pegawai dari travel biro Apa tadi
namanya? Pelil? Puik?”
“Phoenix,” aku membetulkan, dan tiba-tiba
menyadari sesuatu. Menyadari, mengapa ibu masih
menungguku. Dudukku seketika menjadi resah.
Kureguk teh panas yang diantarkan Butet, tanpa
selera. Sebelum pergi, gadis kecil itu menatap ibu.
Lalu ganti menatapku. Aku tidak mengelak.
Matanya seperti menuduh. Tak ubahnya mata
Rosmala. Dan aku tersinggung. Untung si Butet
buru-buru menyingkir. Masuk ke kamar makan, di
mana samar-samar aku lihat beberapa buah buku
berserakan di atas meja.
“Jadi kau sudah nekad mau pulang besok,”
cetus ibu tiba-tiba.
Aku terjengah. Menyahut gagap:
“...belum, bu.”
“Syukurlah. Pada orang itupun telah
kukatakan hal yang sama. Kau belum bermaksud
pulang ...”
Kubayangkan wajah pegawai Phoenix yang
kesal. Seolah-olah ia kulihat kembali ke kantor dan
melapor seraya marah-marah pada petugas yang
Hal. 205 « 386
menerima pesananku. Gadis yang bertugas di
bagian penjualan ticket balas marah-marah. Bukan
pada petugas itu. Tetapi padaku. Ah, Benar-
benarkah kota ini telah tidak menyukai kehadiranku
lagi?
“Tahukah kau akibatnya kalau kau pulang
begitu saja?”
Aku tahu. Tetapi aku tidak menjawab. Ibu
yang menjawabkan:
“Pertalian keluarga akan putus. Dan ayahmu
bisa bangkit dari kuburnya!”
Mataku terpejam. Perih.
“Sudah ziarahkah kau ke kuburan ayahmu?”
Kugigit bibir. Perih. Lalu:
“... belum.”
“Tak baik melupakan orang yang telah
meninggal, anakku,” sungut ibu dengan nada pedih.
“Ayahmu paling sayang padamu. Setengah mati ia
banting tulang untuk menyekolahkan kalian bertiga.
Ros gagal. Tigor setengah-setengah. Ayahmu tahu
ia hampir-hampir tidak sanggup menyekolahkan
engkau. Tetapi ia nekad mengirim kau ke Bandung,
Hal. 206 « 386
la sangat merindukan kau. Waktu mau
menghembuskan nafas yang penghabisan, ia hanya
menyebut-nyebut namamu ... la mencarimu di
antara Tigor dan Ros. la tidak melihat kau. Lalu ia
menangis. Itu adalah tetesan air matanya yang
paling akhir dalam hidupnya.”
Dan, aku menangis tersendat-sendat waktu
setengah jam berikutnya aku bersimpuh di atas
sejadah, menghadapkan mukaku yang kelabu pada
Tuhan, meminta petunjuk-Nya dan memohon agar
memberikan tempat yang layak di sampingnya
untuk ayahku yang tercinta. Dengan nada
tergoncang aku memohon:
“Katakanlah, ya Tuhanku. Apakah tangis ayah
waktu itu hanya semata-mata tangis kerinduan?
Ataukah ayah menangis, karena ia sudah berfirasat
bahwa anak yang paling ia sayangi akan melakukan
perbuatan-perbuatan yang paling ia benci?

*
* *

Hal. 207 « 386


10

PAGI harinya aku terbangun dengan kepala


yang diganduli oleh batu yang beratnya berton-ton.
Matahari telah naik sepenggalah di langit waktu
jendela kamar kubuka. Kuregang-regangkan otot-
otot yang terasa kejang. Lalu berjalan ke luar,
menuju kamar mandi. Butet sudah berangkat ke
sekolah. Ibu sedang menyapu di halaman samping.
Ketika aku selesai mandi dan berganti pakaian,
beliau meletakkan secangkir teh manis panas di
meja ruang tengah.
“Minumlah dulu, sebelum kau pergi.”
Tanpa duduk, teh itu ku reguk.
“Makruh kalau minum sambil berdiri, anakku.”
Tergopoh-gopoh, aku lantas duduk.
Ibu geleng-geleng kepala. Mengeluh:
“Kau tidak sholat subuh, bukan?”
Hal. 208 « 386
Terbungkam aku mendengarnya. Ibu benar.
Dan karena ia benar, bukan saja aku tidak bisa
menjawab. Aku malah tidak berani memperhatikan
wajah beliau. Khawatir, kalau di matanya nanti aku
menemukan tuduhan berbau kemarahan bahwa
selama aku merantau di negeri orang, aku telah
mengabaikan apa-apa yang pernah mereka ajarkan
padaku, semenjak aku kecil dan mulai mengenal
huruf. Terkadang disertai ayunan sapu lidi yang
mengancam. Tetapi lebih sering diimbangi tutur
kata yang lembut penuh kasih sayang.
Suasana teduh dan kudus di bawah naungan
pohon-pohon kemboja waktu aku bersimpuh di
dekat kuburan ayah, membuat hatiku lebih
terenyuh lagi. Setiap orang akan mengakhiri
hidupnya di tempat yang serupa ini. Sebidang tanah
sempit yang ditumbuhi rumput menyemak, tinggal
tulang berkalang tanah. Apa yang dicari selama
hidup dengan susah payah, tidak akan turut dibawa
ke dalam kubur. Hanya amal yang jadi bekal. Untuk
diperlihatkan pada Tuhan yang akan tersenyum
menerimanya. Dan akan murka besar kalau yang
dibawa manusia hanyalah tumpukan dosa dan
dosa. Dosa dan dosa!

Hal. 209 « 386


“Berdosakah aku ayah...,” gumamku
setengah menangis waktu merumputi gundukan
tanah di depanku. “Telah begitu berdosakah
anakmu yang lemah iman ini, sehingga harus di
hadapkan pada persoalan-persoalan yang begini
membingungkan? Padamu, ayah...,” aku mengurut
dada yang terasa bagai ditusuk-tusuk. “Hanya
padamu kuceritakan semuanya ini. Ketika dosa yang
pertama kulakukan, aku sadar sentuhan kulit yang
dilapisi madu ciptaan setan sajalah yang
mempengaruhi nafsuku untuk... untuk... untuk
menyetubuhi Neneng. Sentuhan-sentuhan yang
terus merangsangku, dari hari ke hari. Dari bulan ke
bulan. Aku menyukainya. Neneng menyukainya.
Aku bingung, ayah. Sentuhan cintakah itu? Atau
hanya zinah?”
Hati kecilku tiba-tiba menjerit:
“Zinah! Itu jelas zinah! Zinah yang sangat
dikutuk Tuhan!”
Aku mengurut dada lagi. Terasa semakin sakit.
“Masih adakah artinya maaf, ayah? Masih
mungkinkah untuk bertobat? Katakanlah padaku.
Katakanlah, ayah. Jangan biarkan anakmu ini

Hal. 210 « 386


semakin bingung. Jalan mana yang harus
kutempuh? Aku tidak mencintai Marianna.
Memang, tanpa cinta orang bisa menikah. Toh
mungkin cinta itu akan datang belakangan, seperti
kata orang. Tetapi setidak-tidaknya, aku harus
menyukainya. Tetapi ayah. Ayah, aku tidak
menyukai Marianna. Aku tidak mencintainya. Tidak
menyukai Anna. Aku hanya menyukai... menyukai
Neneng. Meskipun aku belum yakin... apakah aku
juga mencintainya. Haruskah aku kembali padanya?
Dan meneruskan kehidupan munafik yang selama
ini kami jalani? Tidakkah itu akan menambah beban
dosa yang sudah segudang?”
Matahari memegang ubun-ubun.
Aku gemetar.
Namun tidak bergerak dari tempatku
bersimpuh. Lalu matahari itu kian garang. Garang.
Garang. Dan memanggang. Tanpa belas kasihan.
“Siang ini aku berjanji akan ke rumah Lily. Bila
kaki ini kulangkahkan ke sana, apakah kaki ini
didorong oleh langkah-langkah orang yang sedang
dimabuk cinta? Atau hanya sekedar, pelepas
gundah dan jiwa yang tengah putus asa? Padamu

Hal. 211 « 386


aku mengadu, ayah. Padamu aku memohon.
Jawablah, ayah… jawablah...,” aku menjatuhkan diri
di atas gundukan tanah berwarna coklat kehitam-
hitaman itu. Aku memeluknya. Merahup tanah
kering itu dengan kuku-kuku jariku.
Mengeluh dengan putus asa:
“Mengapa tidak kau jawab, ayah? Mengapa
tidak kau jawab? Jangan tinggalkan aku, ayah.
Jangan! Jangan! Jangan!”
Dan air mataku tumpah membasahi tanah.
Mata ini terpejam. Rapat. Terpejam. Kian
terpejam. Semakin banyak batu-batu besar
mengganduli kepala. Aku mengerang, menggeliat
dengan otot-otot yang seperti berlepasan,
menjauhi panggangan matahari yang kejam,
kemudian tergeletak di bawah naungan pepohonan
kemboja. Angin semilir bertiup sejuk. Tenang. Dan
diam-diam.
Entahlah berapa lama aku dalam keadaan demikian.
Aku baru terbangun waktu terdengar suara
ranting patah terpijak. Enggan, sepasang mata ini
terbuka. Samar-samar aku lihat daun-daun kemboja
berubah kelam. Dan warna merah lembayung dari
Hal. 212 « 386
matahari senja, menyapu wajah seseorang yang
berdiri dengan mata runtuh, melihat ke bawah. Ke
mukaku. Aku mencoba tersenyum, la juga.
Lalu sayup-sayup aku mendengar suaranya
yang ramah:
“... kalau masih mengantuk, lanjutkanlah
tidurmu di rumahku, adikku.”
Perlahan-lahan aku bangkit.
Tigor membantuku berdiri.
Setelah sama-sama memanjatkan do'a di
makam ayahanda, ia membimbingku ke luar dari
pekuburan itu. Tiba di jalanan legam Thamrin yang
bermandi matahari senja. Sebuah Honda kijang
yang sudah sangat tipis warna merahnya berdiri
diam di pinggir jalan, di atas rerumputan. Tegaknya
goyah. Salah satu kaki standar rupanya terbenam
dalam di rerumputan.
“Wah, celaka!” seru Tigor lalu berlari ke arah
kendaraan itu.
Hampir saja terjatuh.

Hal. 213 « 386


Namun tak urung ia terpeleset waktu
membetulkan tegak kendaraan. Cepat aku
membantu. Tigor berdiri seraya tertawa.
“Motor ini minta dipensiunkan rupanya,”
sungutnya setelah kami menggenjot kendaraan itu
meninggalkan pekuburan yang sepi dan
mendatangi pusat kota yang ramai. Lampu-lampu
listrik mulai menyala di sana sini. Kabel-kabel yang
berseliweran dari satu tiang ke lain tiang, tampak
menebal karena di gelantungi oleh beribu-ribu
burung gereja yang berkicau ribut. Ribuan lainnya
beterbangan di antara atap-atap toko berkepak riuh
rendah. Semenjak aku kenal kota ini, burung-
burung gereja itu telah bertahta di sana. Tak pernah
berpindah-pindah, sampai beranak pinak, bercucu-
cicit. Tak pernah pula ada yang mengganggu apa
lagi mengusirnya. Mereka adalah raja. Penguasa
kota. Dan pengindah panorama. Ciri khas Medan
yang tidak pandang musim.
Pelataran yang kering menyambut kami
setiba di rumah Tigor yang letaknya agak terpencil
di ujung jalan Puri. Segerobak anak-anak sedang
bermain-main dengan suara riuh rendah di ruang
depan. Mereka terdiam waktu melihatku, lalu ada

Hal. 214 « 386


di antaranya yang tertawa. Suasana riuh rendah
kembali ketika mereka menyapaku, satu persatu.
Ponakan-ponakanku telah semakin besar jua.
Malah ada yang tinggi dan besar badannya melebihi
tinggi dan besar badanku. Benar-benar turunan
ayahnya. Lalu seseorang yang juga bertubuh tinggi,
tetapi justru tampak bagai tiang listrik saking
kerempengnya keluar dengan suara ribut
menyuruh anak-anak bubar. Perempuan yang kurus
setenqah berlari mendapatkan lantas memakiku.
Hangat.
“Tulang-tulangmu semakin keras kak!”
ujarku, seraya tertawa bergelak.
Suasana riang itu terbawa sampai ke meja
makan. Kak Dima menghidangkan lauk pauk ikan
goreng, sambal tuktuk, daun ubi tumbuk. Tertawa,
aku berkata pada kunyahan nasi yang pertama:
“Di Bandung, lauk pauk serupa ini hanya
terhidang dalam impian, Kak.”
“Ah, menghina pula kau,” sahut istri Tigor,
tertawa. “Kami pingin masak yang enak-enak.
Tetapi maklumlah kau. Kain-kain yang dijual

Hal. 215 « 386


abangmu banyak yang ketinggalan jaman. Makin
tak laku...”
“Wah, bisa saja kakak merendah. Lantas
sawah yang berante-rante di Percut itu punya siapa,
hayo!”
“Cadangan buat masa depan anak-anak,”
menengahi Tigor. “Aku tak ingin seperti ayah,” la
memandangiku dengan tajam. Melanjutkan: “Tadi
siang kau kutunggu-tunggu. Karena kau tak datang,
aku pergi ke Pimpinan. Kau tak ada. Di Pabrik Tenun,
juga tidak. Ribut aku mencarimu. Takut kau minggat
seperti yang dikhawatirkan ibu kita. Tak ada
keluarga yang tau di mana kau berada. Sampai ibu
yang mulai cemas ingat, malam harinya ia
menyuruhmu untuk ziarah ke makam ayah...” la
menoleh pada isterinya. “Kau tau, Dima? Si Bungsu
yang olok-olok ini, hampir-hampir jadi penghuni
kuburan!”
“Aku hanya tertidur,” kataku membela diri.
“Iyalah. Tidur dengan pipi yang di selemaki air
mata mengering. Eh, kenapa kau tak bunuh diri
saja? Lumayan, peninggalan orangtua kita yang tak
seberapa jatahnya bisa dikurangi satu.”

Hal. 216 « 386


“Idih, si abang,” kak Dima tersenyum.
Selesai makan Tigor menyuruh salah seorang
anaknya membeli kelapa muda dan anak yang lain
mencari es batu. Es kelapa muda itu benar-benar
merupakan penghibur yang tepat di tengah-tengah
kegersangan kota Medan yang membuat pakaianku
basah kuyup oleh keringat.
“Aku makan terlalu nikmat,” rungutku seraya
mengipas-ngipas wajah pakai selembar majalah
bekas.
“Tentu saja. Kau pergi dari rumah tanpa
makan pagi, kata ibu. Kukira juga kau tidak makan
siang.”
Makan siang!
Aku terpana. Makan siang!
Janji dengan Lily, benar-benar telah terlupa.
Gadis yang tengah dimabuk itu tentu telah bersusah
payah memasak makanan yang enak-enak. Tentu
pula sambil bernyanyi-nyanyi di dapur, sehingga
membuat orangtuanya terheran-heran. Sudah
malam kini. Dan aku tak datang-datang. Jamuan itu
tentu telah dingin. Malah mungkin dibuang Lily ke

Hal. 217 « 386


belakang. Terus ia masuk ke kamar tidur. Menangis.
Diperhatikan ibunya, yang semakin terheran-heran.
Tigor yang memperhatikan perubahan di
wajahku, cepat-cepat menegur:
“Apa yang kau pikirkan?”
Aku terkejut.
Lantas menggeluh.
“Ah. Tidak.”
“Jangan begitu. Kau sampai lupa makan lupa
tidur tentu karena memikirkan sesuatu...,” ia
menyulut sebatang rokok, mengisapnya dengan
bernafsu.
“Apa tentang Anna?” tanyanya sekonyong-
konyong.
Aku terjengah. Memandang wajahnya di
antara rokok. Asap putih itu bergerak naik, melebar
di udara lantas pecah berantakan di langit-langit.
Langit-langit rumah itu rasanya terlampau rendah.
Rendah sekali, sehingga dekat sekali kepala. Aku
merasa terjepit, terengah-engah kehabisan nafas.
Majalah bekas di tanganku, terjatuh.

Hal. 218 « 386


Tigor memungutnya.
Menyerahkan ke tanganku. Kuambil, lalu
kuletakkan di atas meja. Uap es kelapa di pinggir
gelas membasahi permukaan meja. Lantas ikut pula
membasahi permukaan majalah. Hitam. Legam.
Dan suram. Semakin lebar, semakin suram. Lalu
suara Tigor terdengar lebih suram lagi:
“Waktu tadi aku ke Pabrik Tenun, kudengar
pengaduan Ros.”
Aku diam. Menunggu.
Tak lama:
“Jadi kau tidak ada kecocokan dengan Anna, eh?”
la memandangku, aku merunduk. Majalah itu
telah hampir basah seluruhnya. Cepat-cepat
kusingkirkan ke bawah meja. Waktu menarik
tanganku kembali dan memegangi gelas, jari
jemariku menggeletar.
“Benar bukan?” desak bang Tigor.
Aku mengangguk. Kaku.
Tigor mengeluh. Panjang. Kak Dima yang
sejak tadi diam saja, bangkit dari kursinya, la

Hal. 219 « 386


berjalan keluar rumah, meninggalkan kata-kata
sambil lalu :
“Sudah malam, mereka masih di luar juga.
Biar kusuruh anak-anak itu tidur.”
Aku dan Tigor masih berdiam diri ketika
persatu anak-anak mereka masuk digiringkan Dima.
Tak ubahnya lembu-lembu kekenyangan, jalan
malas di bawah ancaman cambuk sang gembala.
Setelah semuanya menghilang di kamar
masing-masing, bang Tigor memecah kesepian yang
mencekik itu:
“... kau tahu bukan akibatnya, dik?”
Pertanyaan itu tajam sekali. Namun sebutan
'dik’, ramah sekali. Lantas aku merasa bahwa di
antara aku dengan saudaraku yang tertua, yang
selalu siap untuk membela kepentingan adik-
adiknya biarpun ia tahu, adiknya berbuat kesalahan
yang tidak bisa diampuni, telah terjalin hubungan
bathin yang puluhan tahun terbina.
Pasrah, aku bergumam:
“Apakah ada jalan yang lebih baik lagi, abang?”

Hal. 220 « 386


Ditekannya sisa rokok yang masih panjang di
asbak. Abunya berserpihan ke sana ke mari. la
mengambil sebatang rokok baru. la sulut la isap. la
kebulkan asapnya. Bergumpal-gumpal. Dan di
wajah Tigor, tampak warna susah. Bergumpal-
gumpal.
“Itulah sukarnya, dik. Aku mengerti, kau akan
bersikeras untuk tidak memperisteri Anna. Amboi,
gemparnya nanti keluarga mereka...,” ia membuang
nafas. Berat. Berat sekali. “Tetapi yah... orang
memang tidak selamanya bisa dipaksa, bukan?
Lebih baik rusak sekarang, dari pada lebih rusak
kemudian!” la terbatuk. Pendek-pendek. Lalu
seolah-olah pada dirinya sendiri ia meneruskan:
“Walaupun sudah ada aturannya dalam agama, kau
kan tau perceraian sangat terpantang buat orang
Batak. Bisa saja kau kami paksa kawin dengan Anna.
Lantas karena memandang kami, terutama
memandang ibu kita yang sudah tua dan sakit-
sakitan saja itu, kau mengalah pada kemauan kami.
Kau boyong Anna, kau boyong dengan pendirian
bahwa gadis itu akan memaksamu jadi orang yang
kalah. Gadis itu menghancurkan masa depanmu,
menjadi penyebab ketidakbahagisanmu. Kau
kemudian tahu, setelah menikah Anna adalah
Hal. 221 « 386
hakmu. Toh isteriku telah kubeli mungkin demikian
pikirmu. Isteriku telah melepaskan marganya, dan
harus mengabdikan diri pada si pembeli. Tak
ubahnya barang dagangan, kau berhak
memperlakukan dia semena-mena. Kalau cuma itu
saja, isterimu mungkin bisa bertahan. Tetapi kalau
sempat bercerai... Amboi. Perempuan-perempuan
kalangan suku kita, paling takut disebut janda. Bagi
perempuan-perempuan kita bunuh diri adalah lebih
terhormat dari pada hidup menjanda. Tak perduli
bahwa di mata Tuhan justru jadi janda lebih
terhormat dari pada nekad bunuh diri....”
la terengah-engah sehabis berpetuah
panjang lebar itu.
Dahinya berkerut-kerut.
Banyak.
la benar-benar telah semakin tua. Dan ia
adalah pengganti ayah.
Luluh, aku bergumam:
“Itulah yang kucemaskan, bang.”
la manggut-manggut.
“Jadi, kami telah kehabisan harapan, bukan?”
Hal. 222 « 386
Aku tak menjawab. Tak kuasa menjawab.
Tigor tersenyum. Getir.
“Tadi, waktu kami kehilangan kau, ibu kita
panik, la merasa bersalah, Bonar. la takut kau nekat
dan lupa diri. la benar-benar merasa bersalah.
Sampai-sampai ia mengatakan padaku begini: He
kau Tigor. Cepatlah cari adikmu. Kalau ia masih
hidup katakan padanya. Bonar, kau punya hak
untuk membatalkan perkawinan ini!”

*
* *

HATI ini terenyuh.


Lama aku tercenung dengan perasaan
terharu biru. Di luar rumah, sayup-sayup terdengar
teriakan lemah dan berirama: “Cangeeeaaang,
puak!” dari seorang pedagang kacang goreng dan
kerupuk. Sudah bisa kutebak, pedagang itu pasti
seorang laki-laki Minang. Aku lantas teringat pada
Lily. Gadis Minang itu entah sedang apa sekarang.
Mungkin bergulung di atas ranjang, membasahi
bantal dan guling dengan air matanya.
Hal. 223 « 386
Tanpa sadar, aku bergumam:
“... jadi aku diperkenankan memilih sendiri?”
Tigor terbatuk lagi. Pendek-pendek, seperti
tadi. la sedang mengambil rokok baru. “Apa boleh
buat,” sahutnya. Patah. Dan di luar dugaanku, ia
menegaskan: “Kecuali, dengan gadis Bandung itu.”
Aku tersentak. Kupandangi abangku dengan
jantung melecut-lecut. Ingatan pada Neneng,
membuat dadaku berdebar-debar. Keras. Telinga
kiri Neneng saat ini pasti berdenging-denging, dan
dadanya juga berdebar-debar. Keras. Berdenging.
Berdebar. Berdenging...
“Mengapa kalau dengan dia?” tanyaku
dengan suara serak.
“Tidak. Tak mungkin!”
“Sebabnya?”
“Sebabnya?” mata bang Tigor mengecil.
Kejam.
“Ibu membenci dia. Membenci perempuan
itu sampai ke sumsum-nya.”
“Tetapi... Neneng tak pernah menyakiti…”

Hal. 224 « 386


“Neneng telah menyakiti hati beliau,
semenjak beliau dengar Neneng hidup satu atap
dengan anaknya, tanpa nikah. Beliau merasa ia
telah mendidiknya jadi orang baik-baik. Jadi orang
Kalau anaknya sampai berubah, tentulah setan yang
telah menggubahnya. Kau berubah, Bonar. Dan
karena kau berubah setelah kau berada di Bandung,
maka di mata ibu kita yang merubah dirimu adalah
Neneng...,” ia mengakhiri kata-katanya dengan
tajam, tanpa mengatakan apa yang pasti tersirat di
balik kata-kata itu: “Setan itu iyalah Neneng!” atau,
“Nenenglah setan itu!”
Dadaku bagai belah. Rekah-rekah.
Sakit bukan main.
Mata bagai kering. Kering-kerontang.
Perih tiada dua.
“... jadi, Bonar” desah Tigor perlahan-lahan.
“Kau boleh melepaskan Marianna. Tetapi kau tidak
boleh mengambil Neneng. Satu-satunya jalan
tengah, kau harus memilih gadis lain...!”
Neneng. Nenengku tersayang.
Apakah kau memanggilku?

Hal. 225 « 386


Apakah jurang itu, terlalu tinggi untuk kau
daki?
“Kau mau tidur di sini, atau kuantar pulang?”
Aku terjengah.
“Pulang saja,” sahutku. Lesu.
la berdiri.
“Akan kubilangin kakakmu.”
“Aku akan pulang sendiri.”
“Lalu kami cemas memikirkan apakah kau
tidak celaka di jalan?” Tigor geleng-geleng kepala.
“Tidak,” katanya. “Aku akan antar kau. Bahkan
kalau perlu, aku akan mengantarmu sampai ke
tempat tidur…” ia tersenyum, mendatangi kamar
isterinya yang tak lama kemudian keluar untuk
mengantar kami. Kak Dima memperlihatkan
kegundahan di wajahnya yang kurus. Mata yang
jauh menjorok itu, pudar alang kepalang. Waktu di
pintu, ia pegang tanganku kuat-kuat. Dari gua yang
gelap gulita di balik matanya, terpercik seberkas
sinar yang kelap kelip.
“Siapapun yang kau pilih, adikku, janganlah
perempuan itu sampai menderita. Aku pernah
Hal. 226 « 386
merasakannya...,” bang Tigor terbatuk, tapi kak
Dima tak perduli. “Rumah inipun pernah jadi kancah
neraka, dik. Hanya ketabahan hati dan kepercayaan
akan lindungan Tuhan jugalah yang membuat
rumah ini tidak sampai runtuh berkeping-keping.
Kebahagiaan itu belakangan ini telah mulai kami
cicipi lagi. Meskipun hanya sisa-sisa belaka. Tetapi
sisa-sisa adalah lebih berguna dari pada tidak ada
sama sekali. Semoga kau berbahagia, Bonar!”
Ketegangan yang mengerikan tergantung di
antara diriku dengan Tigor waktu melaju menuju
jalan Pimpinan. Tak seorangpun di antara kami
berdua yang sanggup untuk berkata sepatahpun
juga. Meskipun angin malam mulai dingin
membeku, namun toh setiba di rumah ketiakku
basah oleh peluh. Seperti biasa, Butet yang
membuka pintu, la menyapa Tigor dengan hormat,
tersenyum manis ke arahku lalu kemudian
menghilang kembali ke kamarnya. Sampai Tigor
pulang, ibu tidak keluar-keluar menyambutku.
Kucoba membaca buku komik yang kutemukan
terselip di antara buku-buku pelajaran Butet yang
terletak di atas meja.
Komik silat.

Hal. 227 « 386


Terbitan Jakarta. Sudah agak lusuh karena
sering dibaca. Baru beberapa halaman kubuka, aku
mulai tidak tertarik. Komik-komik seperti ini, hanya
menggambarkan kepahlawanan yang berlebih-
lebihan. Anak muda selalu keluar sebagai
pemenang. Kalaupun ada lawan yang tangguh
melebihi ketangguhan dirinya, maka pada saat yang
kritis akan muncul seseorang untuk menolong.
Entah laki-laki dari perguruan lain, entah gadis jelita
sebagai penghias cerita, paling tidak pasti yang
muncul itu guru besar sang pahlawan yang di puja-
puja. Aku bukan pahlawan, tetapi aku tahu ada yang
memuja-muja diriku. Tetapi aku tidak tahu, apakah
ada yang bersedia menolongku keluar dari kesulitan
yang kini tengah kuhadapi.
Kuletakkan komik murahan itu di atas meja.
Berjalan ke kamar. Tidur mungkin satu-
satunya jalan untuk melupakan kesusahan yang
mendera.
Waktu melewati kamar itu, aku dengar suara
tangis mengisak.
Sesaat, aku tertegun. Menarik nafas.

Hal. 228 « 386


Terus masuk ke kamarku sendiri.
Kulemparkan tubuh yang sakit-sakit di atas tempat
tidur.
Tetapi sampai pagi datang, kelopak mataku
enggan terpejam.
Azan yang sayup-sayup dari mesjid di
kejauhan menyadarkan diriku. Cepat-cepat aku
meluncur turun. Pergi ke kamar mandi. Tadinya
mau ambil wudhu. Tetapi karena merasa gerah,
kuguyurkan bergayung-gayung air ke sekujur tubuh.
Lupa membuka piyama. Selesai mandi, aku masuk
ke kamar kembali. Kudengar pintu kamar ibu
dibuka. Lantas langkahnya yang tertatih-tatih
menuju kamar mandi. Di selang seling oleh suara
batuk-batuk yang kering.
Sembahyangku tidak khusuk sama sekali.
Aku tidak memikirkan Tuhan. Aku justru
memikirkan diriku sendiri. Tigor benar. Semenjak
aku merantau ke negeri orang, aku telah berubah.
Kini aku telah kembali ke tempat aku lahir dan di
besarkan. Nanti, bila aku kembali ke Bandung,
apakah diriku juga akan berubah seperti yang
cemaskan Neneng? Perubahan yang dimaksud

Hal. 229 « 386


keluargaku berbeda jauh dengan perubahan yang
dimaksud Neneng. Namun betapapun, kedua-
keduanya memperlihatkan kesamaan: diriku telah
berubah.
Jendela kamar kubuka. Angin pagi bertiup
menyapu dadaku yang setengah telanjang.
Dan dada ini dipenuhi pertanyaan yang sukar
untuk dijawab:
“Sejauh manakah aku telah berubah?”
Sarapan pagi berlangsung diam-diam. Tanpa
selera sama sekali. Si Butet kemudian
membereskan perabotan di atas meja. Kemudian
pamit pada ibu, neneknya.
“Yang pintar di sekolah, cucuku,” ibu
mendo'a-kan.
Butet menyandang tas sekolahnya. Lantas
menghilang.
Ibu berdiri.
Aku memandangnya. Sepasang mata tua itu
agak bengkak. Bekas menangis. Mulutnya yang
keriput, bergemit. Mau mengatakan sesuatu. Tetapi
tak jadi. la masuk ke kamar. Waktu keluar, ibu sudah
Hal. 230 « 386
berdandan rapih. Sebuah tas tangan dari kulit
berwarna hitam dan agak lusuh, tergantung di
lengan tangan kiri.
“Kalau kau nanti pergi, tinggalkan kunci pada
tetangga sebelah,” katanya, mencoba tersenyum.
Jelas, dipaksakan.
“Mau ke mana?” tanyaku.
“Ke Pabrik Tenun. Suami si Ros harus
kuberitahu agar mempersiapkan upacara adat...”
“... upacara?”
Matanya yang bengkak, menyidik ke mataku.
Tajam.
“Bukankah kita harus membatalkan
perkawinan itu?” tanyanya. Setengah marah
setengah pasrah.
Aku terdiam. Bagaimana ibu tahu?
Seperti membaca apa yang tersirat di
benakku, ibu cepat-cepat berkata:
“Aku ibumu, nak. Aku tahu apa yang kau
pikirkan. Nah. Aku pergi dulu ya. Jangan lupa titip
kunci...”

Hal. 231 « 386


“Aku tak akan ke mana-mana, bu!”
Tetapi kunci rumah kutitipkan juga ke rumah
sebelah, waktu setengah jam kemudian sebuah
sepeda motor Honda yang mulus memasuki
halaman dengan suara mesin yang empuk.
Chairudin turun tergesa-gesa, berlari-lari masuk
dengan wajah ganjil dan setengah berseru waktu
melihatku:
“Syukur kau ada di rumah!”
“Eh, emangnya kenapa?” tanyaku heran
seraya mempersilahkan ia duduk. Timbul
keinginanku memperolok-olok dia seperti biasa.
“Janda-mu sakit keras?”
“Bukan Sahara,” jawabnya tanpa
tersinggung. “Tapi Lily!”
la tidak bersedia menyerahkan kunci sepeda
motornya ke tanganku.
“Nanti kau tabrakan lagi,” sungutnya. Dalam
situasi lain mungkin aku tertawa bergelak. Tetapi
pikiranku tertuju pada Lily. Aku duduk dengan
mulut terkunci rapat di boncengan sepeda motor
yang masih endreien itu. Sayang pada
kendaraannya, Chairudin melarikan Honda tanpa
Hal. 232 « 386
tergesa-gesa, meskipun sikapnya kelihatan sangat
ingin mengebut melampaui kecepatan angin.
“Kau benar-benar anak celaka!” makinya di
tengah perjalanan.
“Eh, Kok. marah-marah...”
“Diam kau. Sudah menghianati isteri di
Bandung, kini mau kau sia-siakan pula anak orang.
Padahal selama ini anak gadis itu begitu di manja
oleh orang tuanya, la lebih berarti dari bergudang-
gudang harta yang mereka miliki. Dan harta
kesayangan itu kini terbaring payah di rumah
Sahara…”
la kemudian menceritakan seraya tak lupa
mencaci-maki sesekali bagaimana Sahara tergopoh-
gopoh mengetuk pintu rumahnya pagi-pagi benar di
Berayan. Belum juga berkata ba atau bu Sahara
sudah menanyakan apakah aku ada di rumahnya.
Chairudin tentu saja ta'jub. Lantas Sahara
menceritakan bagaimana ia tidak panik waktu
menjelang tengah malam Lily muncul di Putri Hijau
dengan wajah pucat dan rambut yang kusut masai.
Begitu masuk ke rumah Sahara, air mata Lily pun

Hal. 233 « 386


tertumpah. Bagaikan tak habis-habis. Sahara jadi
kalang kabut.
Lama baru Lily mengutarakan mengapa
sikapnya begitu aneh.
la telah mempersiapkan makan siang di
rumah-nya. Masakan paling lezat yang pernah ia
hidangkan. Ibunya yang terheran-heran, mencicipi
makanan itu sedikit sambil bertanya apakah ada
yang berulang tahun hari itu. Lily tidak mengatakan
apa-apa. la hanya berlari ke telephone,
menghubungi ayahnya di kantor. Barulah ibunya
tahu mengapa Lily begitu riang gembira dan
wajahnya bercahaya-cahaya. Di telephone, Lily
meminta ayahnya pulang untuk makan siang di
rumah. Katanya, ia akan memperkenalkan seorang
pada mereka!
“… Sampai jauh malam, batang hidung orang
itu tidak kelihatan. Dimakan setanlah kau
hendaknya Bonar!” Chairudin mengakhiri ceritanya.
Sekeranjang sumpah serapah ia tujukan
kepadaku sampai kami tiba di rumah janda muda
itu.

Hal. 234 « 386


Mata Sahara yang selama ini bersahabat,
tampak keras waktu menyambut kemunculanku
dengan kata-kata:
“Baik benar kelakuanmu, Bonarl” la
kemudian menggiringku ke depan sebuah kamar.
Pintunya tertutup. Sahara tidak membukanya
untukku. Melainkan pergi menemui Chairudin di
ruang depan, meninggalkan aku dalam
kebingungan. Apa yang harus kulakukan?
Mengetuk lebih dulu? Langsung membukanya?
Atau mundur saja? Waktu aku menoleh ke
belakang, aku menangkap wajah Sahara yang
mengancam. Maka kubuka. Untung tak dikunci.
Dari tempatku berdiri, aku melihat sesosok tubuh
ramping berisi terbaring di atas ranjang. Dadanya
menggumpal, bergerak tak teratur. Matanya
terpejam rapat. Dan wajah yang kukenal senantiasa
bersinar-sinar itu, tampak redup dan pucat.
Goyah lututku seketika.
“... kenapa tak masuk, Sahara?” bisiknya lirih,
masih dengan mata terpejam, la masih keponakan
sahabatku itu, tetapi persahabatan yang terjalin di
antara mereka lebih menyerupai pertalian sesama
perempuan, bukan antara bibi dan keponakan.
Hal. 235 « 386
Gontai, kaki kulangkahkan ke dalam.
“Tutupkan pintunya sekalian.”
Patuh, pintu kututupkan.
“Kau bawa minyak, angin itu, Sahara?”
Aku tidak menyahut. Mulutku terjahit rapat.
Pelan-pelan aku mendekat, dan berdiri di sampi
tempat tidur dengan jantung yanq meletup-letup.
Gadis itu mengangkat kedua belah tangannya. Satu
untuk memijiti pelipis sendiri. Lemah. Sebelah
lainnya terkulai ke arahku.
“Makin pening kurasa. Ke sinikanlah…”
Karena tidak menerima minyak angin yang ia
harapkan bahkan tidak mendengar ucapan
ucapannya ada yang menyahut, perlahan-lahan
sepasang kelopak mata yang indah itu terbuka.
Manik-manik matanya yang bening berlairan ke
samping ranjang. Dan:
“Kau!” cetusnya, terkejut.
Kucoba tersenyum.

Hal. 236 « 386


Gagal, kukira, karena ia cepat-cepat
membalikkan tubuh. Menghadap tembok.
Terperangah aku dibuatnya.
“... Lily!”
Isak tangisnya menggema.
“Pergi. Pergi. Tinggalkan aku!”
“Lily, dengarkan dulu....”
“Tidak. Aku tak sudi. Cukuplah kau membuat
aku malu. Janganlah lagi kau tambah-tambah sakit
hatiku. Pergilah. Aku tak ingin kau ada di dekatku.
O, si Sahara yang konyol. Siapa yang suruh ia
menemui laki-laki yang ternyata tidak pernah
mencintai diriku? Pantas laki-laki itu menciumku di
dahi. Bukan di…, He, kau!” ia membalikkan tubuh.
Kedua belah pipinya basah oleh air mata. “Mengapa
masih berdiri di situ? Ingin mentertawakan gadis
bodoh yang cintanya bertepuk sebelah tangan ini?
Begitu? Ingin tertawa, ya? Ayo, tertawalah.
Tertawalah sepuas-puas hatimu. Lalu enyahlah dari
mukaku!”
la, membalikkan tubuh lagi. Entah apa yang ia
cari di tembok.

Hal. 237 « 386


Aku sendiri, tak tahu apa yang kutekuri di
lantai. Hanya, kulihat kemudian lantai itu berputar
waktu aku melangkah kemudian berjalan ke arah
pintu. Tangaku terangkat mau membukanya, ketika
tiba-tiba :
“Jangan tinggalkan aku, Bonar!”

*
* *

Hal. 238 « 386


11

AKU tertegun dan terperangah waktu Lily


yang meluncur turun dari tempat tidur langsung
berlari dan memeluk tubuhku kuat-kuat. Aku
tersandar di ambang pintu, dalam pelukannya yang
ketat. Dan teramat hangat.
“Kekasih!” isaknya tersendat. “Maafkan
sikapku barusan. Aku tak bermaksud mengusirmu.
Sungguh!”
Kedua belah lenganku bergerak cepat,
Wajahnya kubenamkan rapat-rapat di dadaku.
Kutekan erat-erat dengan kedua belah lenganku.
Rambutnya yang harum semerbak, kuciumi sepuas
hati. la tertengadah. Mulutnya basah. Aku
cercahkan bibirku di atasnya, la terengah.
Membalas ciuman itu, bertubi-tubi. Ada suara
orang batuk-batuk di luar. Lily tidak perduli.
Bibirnya terus mencari. Bibirku, pipiku, kedua belah
mataku silih berganti, pipiku, bibirku lagi, lama
Hal. 239 « 386
kemudian daguku, la menggigit daguku perlahan.
Manja. Dengan nafas memburu. Mesra.
Barulah kemudian ia berbisik :
“… bukalah pintu.”
“Lepaskan pelukanmu dulu, sayang.”
Matanya mengerjap. Tetapi pelukan tidak ia
lepaskan sampai kami berjalan berdampingan ke
ruang tengah di mana Chairudin tampak pura-pura
asyik melembari sebuah majalah dan Sahara yang
berwajah kemerah-merahan bangkit dari kursinya,
menyongsong Lily.
“Tak kusangka kau akan sembuh selekas itu
benar,” katanya, tertawa.
“Cinta memang obat yang paling mujarab,”
meningkah Chairudin tanpa melepaskan matanya
dari lembaran majalah.
Aku tersenyum, bersungut-sungut pada
temanku itu.
“He, Din. Di mana kau belajar dengan huruf
terbalik?”
“Ha?” ia terperanjat.

Hal. 240 « 386


Lantas dengan mula-mula ia membetulkan
letak majalah yang terbalik di tangannya.
Tawa riang berderai di ruangan itu.
Tak sampai satu jam kemudian, kami telah
meninggalkan kota Medan. Lily yang pegang setir.
Sampai Tebing Tinggi. Di Siantar kami singgah untuk
makan siang. Lalu berangkat lagi. Kuambil alih setir
dari tangan Lily. Selama perjalanan kami berdua
lebih banyak diam. Pembicaraan diborong oleh
Chairudin yang bercerita dengan gayanya yang
khas.
“... setan benar!” katanya antara lain. “Dulu
Sahara gemuk dan tambun. Aku kerempeng. Lantas
dijodohin oleh teman-teman. Bagai pinang dibelah
dua, kata mereka. Sial kagak?”
“Aku lebih sial lagi,” membalas Sahara. Sengit
“Tiap minggu aku beli baju baru. Mahal-
mahal harganya. Bagus-bagus potongannya. Selalu
up to date. Lalu si Bonar brengsek ini bilang padaku:
He. Sahara. Sisakan secarik kainmu untuk Udin.
Lantas ia menunjuk pada kau yang bercelana
pendek. Satu-satunya murid yang masih bercelana
pendek di sekolah kita. Ingat kagak, Din. Guru-guru
Hal. 241 « 386
semua kewalahan kau buat. Kalau tak ingat pada
otakmu yang cemerlang, maulah kau mereka pecat.
Bikin malu saja!”
“Malu gimana?” memberengut temanku.
“Iyalah. Habis, celanamu kadang-kadang
kelewat pendek dan agak lebar bagian bawahnya
...”
“Lantas?”
“Pernah sekali waktu, sekolah kita gempar.
Ketika volley, kau coba-coba mensmes bola.”
“Hem, lalu?” desak Chairudin seraya
tersenyum di kulum, sementara aku sendiri hampir
saja tidak bisa menahan ketawa karena siapa yang
pernah bisa melupakan kejadian yang memalukan
itu? Tepi celana Chairudin robek sedikit, tetapi
cukup lebar untuk...
“Awas. Lonceng gantung! Lonceng
gantung...!” teriak Sahara menirukan suaranya
waktu ia meneriakkan kalimat yang sama bertahun-
tahun yang lampau. Di antara tawa kami yang
bergelak, ia menoleh pada temanku dan bertanya
dengan, wajah serius: “He, kumis lele. Apa lonceng
gantung itu masih ada di tempatnya?”
Hal. 242 « 386
“Emangnya pindah ke mana. Ke pantat?”
balas Chairudin. Dongkol.
“Sudah. Sudah ah. Jorok!” nyeletuk Lily
seraya menekan perutnya yang sakit oleh ketawa.
Menjelang senja, kami memasuki daerah
Parapat. danau Toba yang cemerlang terhampar
jauh di bawah jalan. Airnya tenang. Biru jernih. Ada
riak-riak berbuih di tepian. Kehijau-hijauan. Lantas
pulau Samosi di tengah-tengah sana. Mataku
mencari-cari hutan pinus yang berbentuk huruf-
huruf “RIMBA BUATAN.” Tinggal puing-puing yang
sukar dibaca. Tak lebih dari sisa-sisa hutan yang tak
pernah dirawat. Sekitar danau penuh dengan
perumahan-perumahan serta bungalow-bungalow.
Dan aku geleng-geleng kepala, ta'jub melihat jalan-
jalan berliku dengan traffic-light khusus meliuk
semakin ke bawah dan berakhir di kompleks
peristirahatan Pertamina.
Angin sejuk dari Danau Toba menyambut
kami waktu turun dari mobil di pelataran parkir. Tak
banyak pengunjung sore hari itu. Tetapi suasana
tenang dan tenteram itu justru membuat daerah
seputar danau diliputi oleh kabut kasih dan haru.
Aku berdiri di atas sebuah batu karang di tengah-
Hal. 243 « 386
tengah air danau yang biru jernih. Di bawah kakiku
terlihat ikan-ikan kecil bermain-main dengan
riangnya dan pasir kelabu ke putih-putihan seolah-
olah ikut tertawa bersama ribuan ikan-ikan itu.
Sebuah perahu kecil lewat nun jauh di depan.
Ombak yang tenang itu beriak. Kemudian diam. Di
dalam air, aku lihat langit yang kuning kemerahan.
Nun jauh di dasar, tampak matahari senja
merangkak ke pembaringannya. Angkuh, dan
malas.
Sebuah boat kosong mendekat.
Lily memanggilku dari pinggir danau. Aku
meluncur dari batu karang.
“Mau keliling?” ajak Lily.
“Hiii,” menggigil Sahara. “Tenggelam nanti
perahunya. Aku tidak bisa berenang.”
“Kan ada Udin,” aku membujuk.
Temanku mendelik.
Tentu saja. Waktu dulu mandi-mandi di
sungai, ia terpeleset dari atas batu yang licin.
Tubuhnya lenyap dalam air. Aku dan kawan-kawan
lain terjun serempak. Waktu Chairudin akhirnya

Hal. 244 « 386


berhasil kami angkat, tubuhnya agak kembung oleh
air. la terbaring sakit satu bulan setelahnya. Begitu
sembuh, musuh yang ia benci bertambah satu: air
yang dalam.
Lily duduk di sampingku seraya lengannya tak
lepas-lepas dari pinggangku selama boat berkeliling
di danau. Semakin ke tengah, gelombang semakin
tinggi. Boat terayun-ayun, dan mesinnya tiba-tiba
mati. Lily menjadi pucat.
“Ada apa, bang?” tanyanya pada laki-laki
pemilik boat yang sibuk memperbaiki bagian-bagian
mesin Mercury-nya.
“Kerusakan kecil. Maafkanlah.”
Dan mesin menderu lagi. Boat melaju pula.
“Terus ke Samosir?” tanyaku pada Lily.
Laki-laki itu yang menjawabkan:
“Jangan sore begini.”
“Kenapa?”
“Tak baik.”
“Ooo...”

Hal. 245 « 386


Mulutku masih celengap menyebut “Ooo”
ketika tiba-tiba mesin mati lagi. Lily memeluk
tubuhku dengan cemas.
Wajah pemilik boat jadi kelabu.
“Pertanda buruk,” ia bersungut-sungut
seraya memperbaiki mesin lagi.
Aku bertukar pandang dengan Lily. Wajah
gadis itu memutih seperti kapas. Melihat itu, aku
mencoba tersenyum.
“... Tenanglah, sayangku,” aku berbisik di
telinganya.
Mesin boat di selaag lagi. Terbatuk-batuk
sebentar. Lalu mati. Perahu bergoyang ke kiri
kanan. Keras. Lily memelukku kuat-kuat. Dan aku
berpegang ke pinggir perahu. Kiri kanan. Kuat-kuat.
Menjaga keseimbangan.
“Akan tenggelamlah kita?” bisik Lily cemas.
Kuperhatikan dasar perahu. Berair memang.
Tetapi tak ada pertanda bocor. Ketika mata
kuangkat untuk memperhatikan mesin, lewat
punggung laki-laki yang berusaha tenang selama
memperbaiki mesin, di kejauhan aku melihat

Hal. 246 « 386


Chairudin dan Sahara. Mereka berdiri di tepi air.
Berpegangan tangan. Keduanya juga tengah
memperhatikan ke arah kami. Dapat kubayangkan
raut wajah mereka yang cemas.
Lily yang melihat ke arah berlawanan, tiba
bergumam:
“Bonar...”
“Mh?”
la menuju ke arah sebuah tebing batu. “Kau
lihat itu?”
“Hanya batu-batu yang hitam legam. Berlumut...”
“Perhatikan benar-benar. Bukankah ada
sebuah batu yang bergantung di sana?”
Aku lantas teringat.
“O, jadi di situ letaknya Batu Gantung yang
terkenal itu,” sahutku, tersenyum. Kuperhatikan
lagi, bidang batu di bawah tepian jalan berumput
tebal di kejauhan itu. “Kalau tak salah, Lily, salah
satu sudut batu itu memanjang ke tepi. Sebenarnya
bukan tergantung tanpa pegangan... Kau percaya
dongengan itu?”

Hal. 247 « 386


“Tentang cinta gadis yang patah?” ia
manggut-manggut.
“Ya.”
Logikaku pernah menentang dongeng itu
Tetapi kebenarannya mendarah daging di seantero
penduduk Danau Toba yang kemudian menjalar
pada penduduk-penduduk yang bersebar jauh di
sekelilingnya. Sampai ke kota-kota besar. Konon
dahulu kala entah karena ditentang orang tua entah
karena dikhianati oleh pacarnya, seorang gadis
nekad terjun dari pinggir tebing. Air danau yang
dalam, ternganga diam untuk menyambut
tubuhnya. Tetapi baru setengah jalan, tubuh si gadis
terhenti. Kaku. la telah berubah jadi batu.
Tergantung di sana. Dari tahun ke tahun. Mungkin
sepanjang manusia masih hidup di permukaan bumi
ini untuk menyadari bagaimana seharusnya mereka
menghormati apa yang dikatakan cinta. Dan batu
hitam yang bentuknya memang seperti manusia itu
tetap tergantung di sana, memperlihatkan
keajaiban dan kebesaran cintanya yang terkandas di
tengah jalan.
“... aku juga pernah hampir bunuh diri.”

Hal. 248 « 386


“Ah,” cetusku, terkejut oleh pengakuan Lily.
“Karena patah hati?”
la berusaha tersenyum. Kaku. Tanyanya:
“Kau tak akan marah kalau kuceritakan?”
“Tidak. Ceritakanlah,” jawabku, meski hati ini
agak diliputi kabut kecewa setelah menyadari
bahwa aku bukanlah lelaki pertama yang pernah
menyentuh hatinya. Apakah tidak mungkin lelaki itu
juga telah menjamah hal-hal yang lebih jauh dari
sekedar hati Lily saja?
“... hubungan kami tidak sampai melampaui
batas,” gumam Lily setengah menghibur, setengah
menyadari apa yang bermain di kepalaku.
Wajahnya sendu. Dan matanya agak pucat
memandangi batu Gantung itu. Pemilik boat
menoleh sebentar, lalu kemudian tak ambil perduli.
Sibuk dengan pekerjaannya, sementara wajahnya
sudah basah oleh peluh.
“Aku bertemu dengan laki-laki itu waktu
cocktail-party yang diadakan ayah dalam
pembukaan perusahaannya, la bekerja sebagai
sales manager perusahaan yang sejenis. Waktu

Hal. 249 « 386


mata kami bertemu, aku lantas sadar bahwa kami
saling menyukai...”
“Lantas kau jatuh cinta,” gumamku. Kecut.
“Ya...,” lantas Lily tertawa. Juga, kecut. “Aku
baru di es-em-pe ketika itu. Belum pernah aku
mengenal apa artinya lelaki selain menjadi teman
yang kadang-kadang menyebalkan. Jakub lain
orangnya ...”
“Jadi Jakub namanya....”
“Ya. la laki-laki yang baik. Lemah lembut,
seperti Nabi yang namanya ia ambil. Dari tahun ke
tahun kami berhubungan. Kebanyakan melalui
surat menyurat. Aku selalu malu kalau bertemu
muka dengannya. Dan ia selalu kelihatan kaku
dalam gerak geriknya. Ternyata ia terlahir di
tengah-tengah keluarga yang streng dalam soal
agama... Percaya tidak? Selama tiga tahun
berhubungan, tidak sekalipun kami pernah
berciuman!”
“Oh!” cetusku. Lega. “Luar biasa!”
“Memang. Lebih luar biasa lagi, apa yang
terjadi setelannya. Waktu ulang tahunku yang
keenam belas, bertepatan dengan lulusnya aku dari
Hal. 250 « 386
es-em-pe, banyak undangan datang mengucapkan
selamat. Tetapi hanya satu orang yang tak kelihatan
batang hidungnya. “
“Jakub?”
“He-eh.”
“Kenapa?”
“Waktu kutanya ke esokan harinya, ia
memohon maaf. Katanya ia sedang mengikuti
sakramen di gereja.”
“Oh!”
“Yah. Seperti kau, akupun sangat terkejut, lah
bertahun-tahun, baru ia berterus terang. Hubungan
kami agak renggang selama beberapa saat. Baru
beberapa bulan, aku telah sadar bahwa aku
merindukannya. Aku mendatangi Jakub. Persis pada
saat, ia juga bermaksud datang untuk
menjengukku, karena tidak kuat menahan rindu.
Tetapi pertemuan itu melahirkan pertengkaran
demi pertengkaran...”
“Kok aneh.”
“Habis, la bersikeras memaksaku masuk
dalam agama Katholik. Sebaliknya aku masih
Hal. 251 « 386
berharap ia berpindah masuk agama Islam.
Beberapa sahabat menyarankan agar kami tetap
pada agama masing-masing. Tetapi kalau tiba pada
persoalan anak yang akan terlahir bila kami
menikah, maka pertentangan itu muncul lagi. Makin
lama makin hebat. Akhirnya nekad, kutinggalkan
Jakub. Setelah aku sadar apa yang kulakukan itu
salah, aku bermaksud kembali padanya. Tetapi
Jakub telah berubah jadi laki-laki dingin. Teramat
dingin. Lama kemudian baru kuketahui sebabnya.
Kecewa kutinggalkan, ia melarikan dirinya ke gereja.
Minta dikukuhkan jadi pendeta. Dalam posisi itu,
tidak ada lagi tempat untuk seorang perempuan di
hatinya…”
“la masih mencintaimu?”
“Entahlah. Pernah sekali dua kami bertemu.
Karena tidak sempat mengelak, aku bisa
menangkap perubahan rona mukanya, la tampak
gugup. Lalu cepat-cepat menggerakkan tangan
dalam bentuk salib di depan dada...”
“Dan kau?”
“... ya?”
“Apakah kau masih mencintai dia?”
Hal. 252 « 386
Lily tersenyum. Manis. Keteqangan dan
kecemasan lenyap dari wajahnya.
“Usiaku semakin bertambah,” katanya.
Lembut. Dan tulus. “Aku pun semakin mengerti apa
sesungguhnya yang dinamakan cinta itu. Banyak
laki-laki datang setelah Jakub. Ada yang kubenci,
tetapi tak kurang pula yang kusukai. Beberapa di
antara mereka adalah calon-calon yang disodorkan
oleh sanak famili. Salah seorang calon yang terkuat
dan paling dibangga-banggakan ayah, baru saja
kuhentak habis-habisan setelah mana kemudian
kularikan mobil kencang-kencang tanpa tujuan, dan
Tuhan melalui jalan yang salah mengantarkan aku
ke orang yang benar.”
“Maksudmu?”
Lily tertawa. Manis. Jawabnya:
“Bukankah menabrak orang di cap jalan yang
salah? Tetapi aku tidak menyesal. Sungguh-sungguh
tidak menyesal. Orang yang benar telah
kutemukan. Mula pertama aku melihatmu terbang
di udara, hatiku bergetar. Rasanya dirikulah yang
melayang-layang, kemudian terhempas dengan
keras di tanah. Di rumah sakit, kuperhatikan

Hal. 253 « 386


wajahmu yang berlumur darah. Hatiku semakin
bergetar. Dahsyat, sampai aku terhuyung-huyung
dibantu oleh seorang suster ke sebuah kursi. Aku
tidak mengerti kenapa hatiku terkoyak melihat
tulang pipimu yang sobek…”
Tanpa sadar, tanganku terangkat. Meraba
tulang pipiku yang agak menganga oleh goresan
luka.
“Sudah menutupkah hatimu yang terkoyak
itu?” tanyaku mengajuk.
Lily tersenyum. Menjawab:
“Tidak. Selama lukamu juga tidak menutup.”
“Luka ini akan terus menganga, Lily.”
“...Maka, hati ini akan terus pula terkoyak.”
“Sakit dong.”
“Pasti. Bila kau khianati cintaku, kekasih.
Pasti akan sakit sekali, dan aku benar-benar akan
bunuh diri seperti gadis dalam dongeng itu!”
“Kau mau jadi batu?” aku tercengang.
“Tidak,” katanya, tertawa.

Hal. 254 « 386


Dan mesin boat tiba-tiba menderum. Seolah-
olah ikut tertawa bersama kami. Bahagia.
Boat melaju. Perlahan. Ombak beriak. Perlahan.
“Kita teruskan saja, bang?” tanya pemilik
boat dengan wajah semakin kuyup oleh keringat.
Aku menatap ke ufuk barat. Matahari sudah
lama bersembunyi. Dan kegelapan mulai merayapi
danau.
“Kembali saja ke tepi,” sahutku.
Chairudin dan Sahara berlari-larian
menyongsong kami waktu mendarat di tepian. Lily
memeluk Sahara seraya tertawa, sementara
Chairudin geleng-geleng kepala.
“Kukira kalian mau membangun mahligai di
tengah danau sana,” ejeknya.
“Dan kau?” balasku. “Mengapa tak
membangun rumah dengan pasir bersama Sahara?”
Chairudin angkat bahu.
“Ia lebih memikirkan keponakannya
ketimbang aku.”
Sahara mengerling.
Hal. 255 « 386
“Belum juga kawin, sudah minta
diperhatikan,” katanya tertawa.
“Apa? Si bujang lapuk ini...”
Belum habis ucapanku, Chairudin sudah
menukas:
“Kau senang aku bulukan ya? Tega benar!”
Seraya berjalan ke mobil, kupikir niat mereka
itu memang sudah pada tempatnya. Sahara tidak
bakal punya anak sehingga kehadiran Chairudin di
rumah mereka akan memeriahkan dunia si
perempuan yang selama ini sepi mencekam itu.
Chairudin tak pula harus bingung memikirkan
bagaimana caranya menghidupi dua keluarga,
karena bukankah sampai ia mampu berdiri sendiri,
Sahara tidak akan diabaikan oleh bekas suaminya?
Dalam perjalanan pulang ke Medan,
Chairudin lagi-lagi memborong pembicaraan
tentang rencana-rencananya dengan Sahara. Sekali
aku menukas:
“Rencanamu dulu jadi duta besar. Nyatanya,
kau tak lebih dari gelandangan tingkat tinggi. Jadi,
tak usahlah berencana muluk-muluk dulu sebelum
jadi!”
Hal. 256 « 386
Chairudin tampak marah.
Tetapi Sahara membujuknya dengan kata-kata:
“Dulu kan ia masih anak-anak...”
“Iya deh,” sindirku. “Tetapi aku berani
bertaruh, kau menyesal ia telah terbiasa dengan
celana panjang?”
“Apa anehnya?”
“Anehnya? Lonceng itu sudah bersembunyi
dengan aman!”
“Wah, nanti juga keluar pada waktunya!”
memberengut Sahara.
Aku tak mau kalah. Ujarku:
“Bagaimana kalau sudah bulukan?”
Lily mencubit pahaku. Keras.
Aku terpekik.
Lampu-lampu kota Medan di depan kami,
bersorak sorai. Kota bermandi cahaya warna-warni.
Dan-diam-diam aku merasa, kota ini toh masih
tetap menyukai kehadiranku.

Hal. 257 « 386


Lily memparkir mobil di sudut jalan Canton.
Dari sebuah restoran yang masih buka ia memesan
goreng burung punai, ayam panggang dengan
serbuk merica serta rebus udang galah dengan saos
tomat. Hanya dalam sekejap hidangan itu telah
tandas sehingga sehabis makan Chairudin
menepuk-nepuk perutnya seraya nyeletuk:
“Pelayan pasti menyangka kita-kita ini orang-
orang rakus yang sudah berhari-hari tidak melihat
makanan.”
Pelayan yang kemudian datang setelah
dilambai oleh Lily menunjuk ke pojok waktu gadis
itu bertanya apakah ia bisa memakai telephone. la
kemudian berdiri seraya menyeret Sahara.
“Ayah harus diyakinkan bahwa kau terus
mendampingiku,” katanya.
“Orangtuamu tak panik?” tanyaku setelah
mereka kembali.
“Wah, mereka sudah membongkar seluruh
kota karena kehilangan harta mereka yang paling
berharga,” menjawabkan Sahara seraya tertawa.
Kami kemudian berjalan ke mobil yang kami kebut
menuju Putri Hijau. Kota telah tertidur waktu kami
Hal. 258 « 386
sampai di rumah Sahara. Setelah berhela-hela
sejenak di depan televisi yang channel-nya diputar
Sahara ke studio Malaysia, Chairudin bangkit dari
tempat duduknya.
“Kau mau ngendon di sini?” sindirnya padaku.
Lily mengantar kami sampai di pintu. Tatapan
matanya yang lembut dan mesra terus menyertai
mataku selama duduk di boncengan Honda yang
dilarikan Chairudin tanpa tergesa-gesa ke jalan
Pimpinan. Cepat sekali rasanya Chairudin telah
berhenti di depan rumah. Butet membukakan pintu
untukku. Aku tidak melihat ibu. Butet menjelaskan
tanpa kuminta.
“Nenek masih di kampung Teladan.”
“Hah?”
“Tadi Uwa ke sini mencari Uda. Mungkin
nenek akan tidur di jalan Puri, begitu kata Uwa.
Beliau berpesan agar Uda tenang-tenang saja di
rumah...”
“Oh!”
Pesan itu kedengaran biasa saja. Tetapi aku
maklum makna yang tersembunyi di belakangnya.

Hal. 259 « 386


Tigor, suami kak Ros dan ibu malam ini tentu telah
menimbulkan geger besar di Kampung Teladan, di
mana Marianna dan keluarganya tinggal. Ratap
tangis pasti memenuhi rumah keluarga itu. Umpat
caci akan menyelingi kata-kata puitis yang bersifat
menyabarkan dan bertujuan mohon maaf sebesar-
besarnya. Mungkin ada yang jatuh pingsan.
Mungkin pula ada yang tidak bisa menahan darah
yang mendidih, lantas terjadi kekerasan. Bagaimana
pun, menolak keinginan berbesan di kota ini adalah
merupakan penghinaan. Ayah Ros masih adik
kandung ibu, tetapi firasatku mengatakan pertalian
yang erat itu telah diputuskan oleh irisan sembilu
yang menyakitkan hati, malam ini. Dan Tigor
berkata, agar aku tenang-tenang saja di rumah,
sementara mereka sendiri...

Hal. 260 « 386


12

PAGI-PAGI benar, Tigor muncul.


Matanya merah karena kurang tidur.
“Bagaimana...,” sapaku gugup begitu ia
duduk.
la menatapku. Tajam, dan tampak sangat
kecewa.
“Bagaimana lagi?” sahutnya, lantas angkat
bahu. “Ayah Anna ngamuk-ngamuk!”
“Oh...”
“Yah. Bagi kau cuma sampai di situ saja. Oh!
Selesailah sudah. Bah!” ia mencemooh. Lantas
meludah.
Aku terhina.
Namun sebisa-bisanya kutahan kemarahan
dalam teti. Dengan apa yang telah mereka lakukan
Hal. 261 « 386
demi untukku di Kampung Teladan, Tigor memang
berhak menghina diriku. Masih juga dadaku megap-
megap saudara tuaku itu sudah bangkit berdiri.
“Kau tak ikut ke jalan Puri?” ajaknya.
Aku terpaku diam di kursi yang kududuki.
Tigor tertawa. Mengejek.
“Hem. Sudah kuduga. Tak berani kau
memperlihatkan muka di depan ibu!” Lantas ia
berjalan keluar.
Butet yang sedang memasak di dapur buru-buru,
menyusul.
“Tak makan dulu Wak?”
Tanpa menjawab Tigor menggenjot Honda
kijangnya, meluncur ke jalan yang disiram matahari
pagi. Butet terbengong. Aku termangu. Gadis kecil
itu berjalan masuk kembali ke dalam, seraya
menatapku penuh tanda tanya. Kucoba tersenyum
untuk menghibur hatinya. Ujarku:
“Kok belum dandan, Butet?”
“Emangnya mau ke mana Uda?” balasnya
semakin dipenuhi tanda tanya.

Hal. 262 « 386


“Lho. Kau tak ke sekolah.”
Gadis kecil itu tersenyum lucu.
“Sekarang hari Minggu, Uda,” katanya, lantas
menghilang di pintu dapur. Baru saja aku mau
beranjak ke kamar mandi waktu Kak Ros tergopoh-
gopoh datang dengan naik becak mesin. Aku
tercengang.
“Kalian kompromi ya, sepagi ini gantian
mendatangiku!”
“Hem!” sungutnya, lantas berjalan terus
melewatiku seraya memanggil: “Butet? Buteeet!”
Si gadis buru-buru keluar.
“Ya mak?”
“Cepat ganti pakaian kau!”
“Mak...”
“Jangan banyak omong. Cepat ganti pakaian.
Pulang!”
Dan sementara anaknya sibuk berganti
pakaian di kamar Rosmala ngomel panjang pendek
ditujukan pada si Butet tetapi aku rasa lebih di
arahkan ke alamatku:
Hal. 263 « 386
“Cepat! Lebih baik kau ngurus adik-adikmu di
rumah daripada ngurus orang lain yang tak patut
diberi hati!”
Dari kamarnya Butet nyeletuk:
“Maksud mak, nenek tak patut...”
“Diam kau!” senggak Rosmala. “Bodoh!”
Keluar dari kamar Butet mengangguk kaku
dan mau mengatakan sesuatu padaku, tetapi
lengannya buru-buru ditarik oleh ibunya, la
terseret-seret mengikuti Ros yang naik ke dalam
becak, tanpa pamit bahkan tanpa menoleh
sedikitpun padaku. Jadi, ia benar-benar tidak
memaafkan diriku.
Bah!
Jengkel, aku bermaksud minggat dari rumah itu.
Toh mereka semua telah membenciku
sekarang. Benar-benar membenci diriku. Kalau aku
pergi, kebencian mereka mungkin berkurang.
Biarlah mereka puas. Tak perlu kutulis surat berisi
selamat tinggal Segala. Buat apa! Pasti akan mereka
sobek sebelum dibaca!
Kubereskan pakaian-pakaianku di kamar.
Hal. 264 « 386
Kumasukkan dalam koper. Kudedet. Tak
muat. Kubongkar lagi. Berkali-kali. Sekali koper itu
kubantingkan. Tak ada barang-barangku yang
bertambah, kok sekarang koper ini jadi bertingkah.
Rasanya menyempit. Setelah kususun dengan rapih
berkat menyabar-nyabarkan diri, barulah pakaian-
pakaianku bisa muat dalam koper. Namun tak
urung kemejaku basah oleh peluh. Aku terjengah
kelelahan di tempat tidur. Di luar, terdengar bunyi
klakson menyentak-nyentak. Lalu suara mesin
mobil berhenti. Mungkin punya tetangga. Mataku
liar mencari-cari kalau masih ada barang-barangku
yang tertinggal.
Sepatu cadangan, sandal, saputangan,
pomade, ball point bahkan sisir kujejelkan saja ke
dalam travelling-bag kecil Bahkan ingin rasanya
jejak-jejak kaki sampai sidik-sidik jariku yang
tertinggal —kalau bisa!— kuangkut juga. Biar tak
ada bekas-bekas aku datang ke rumah yang telah
mempersona non gratakan diriku ini. Dari toilet
kusambar blok note setengah kosong setengah
berisi dengan kertas-kertas nota-berkepala “FHPM
UNIVERSITAS PAJAJARAN,” lengkap dengan alamat:
Jl. Dipati Ukur, Bandung. Iseng-iseng kubuka
lembaran-lembarannya. Di halaman sampul
Hal. 265 « 386
belakang bagian dalam tertulis jadwal1 ujian
semester terakhir yang harus kutempuh sebelum
mempertahan thesis untuk merebut gelar Sarjana
Hukum.
Ujian-ujian itu berakhir tepat pada hari blok
note itu kubuka sekarang!
“Bah!” rungutku.
Lantas mau memasukkan bloknote ke koper
waktu pintu depan diketuk orang dari luar.
Malas, kulongokkan kepala lewat jendela.
Sebuah mobil yang asing bagiku, berhenti di
depan rumah.
Ketokan lagi di pintu. Lebih keras.
Disertai seruan:
“Assalamualaikum..,.!”
“Kum salam!” jawabku tergesa-gesa lantas
keluar, kamar untuk membuka pintu. Tamuku —
yang ketiga pagi itu, dan mudah-mudahan tidak
memperlihatkan wajah kebencian padaku— adalah
seorang laki-laki setengah baya, berwajah
menyenangkan dengan tatapan mata yang tajam

Hal. 266 « 386


dan berhati-hati. la memandangku sejurus, lalu
bertanya dengan hati-hati. “… saudara Bonar ada?”
Aku nyeletuk:
“Ya. Saya sendiri.”
“Oh. Syukurlah. Saya dipesan untuk
menyampaikan langsung ke tangan yang berhak...
Ini. Harap diterima'“
“Dari siapa?”
“Bacalah.”
Di amplop depan tertulis:
“Pro: Dear Bonar di tempat.”
Tulisan tangan yang tidak kukenal, tetapi
pasti perempuan. Amplop belakang kosong. Isinya
kukeluarkan. Secarik kertas kecil berwarna merah
muda, dengan tulisan tangan yang sama. Isinya:
“Ditunggu makan siang di rumah. Kau tak
akan mengecewakan aku untuk kedua kalinya,
bukan? Dengan segenap cinta. Kekasihmu. Ttd.
LILY.”
***

Hal. 267 « 386


Segala kejengkelan, kebencian, kemarahan
lenyaplah seketika. Tak ubahnya api yang
mendadak padam karena tiba-tiba disiram oleh
curah air hujan. Dada ini bergetar. Jantung ini
berdebar. Wajah ini memerah. nafas ini terengah.
Mata ini terpejam. Sampai:
“Saya dapat perintah untuk menunggu jawaban.”
Mataku terbuka lagi.
Orang itu tersenyum.
Dan aku malu.
“Lisan?”
“... tertulis!”
Kusobek secarik nota ber-kop “FHPM-
UNPAD” yang belum sempat kumasukkan ke dalam
koper. Ku ambil ball-point, lantas kutulis:
“Lebih baik aku mati, daripada kau kecewa.
Sayangmu. Ttd. BONAR.”
Aku ribut mencari amplop. Tak ada. Laki-laki
tadi memberi saran:
“Masukkan saja di amplop yang sama.

Hal. 268 « 386


Kukira benar juga. Di bawah tulisan di depan
amplop kububuhi kalimat:
“Kembali ke alamat pengirim.”
Sebelum surat kumasukkan, kutambah dengan:
“N B. Sorry, amplopnya dipinjam. Punyamu,
punyaku.”
Ketika mesin mobil sudah dihidupkan, aku
baru teringat mengapa tidak ikut saja sekarang.
Daripada menunggu di rumah yang... Aku mau
berseru memanggil. Tetapi aku tak tahu nama lelaki
itu. Bahkan tak tahu siapa dia. Mungkin supir. Baru
saja kuputuskan untuk memanggilnya dengan
“Hei!” mobil itu sudah melesat jauh. Aku kecewa.
Tetapi waktu kubaringkan tubuh di tempat tidur,
terasa dada ini betapa lapang. Rasanya cukup
lapang untuk tempat bermain sepakbola.
Karena lupa route kendaraan umum, aku
kesasar naik oplet jurusan Medan Baru. Tapi
kepalang sudah. Turun di terminal Medan Baru aku
tanya oplet jurusan Sisingamangaraja. Turun di
Mesjid Raya, bingung lagi. Malu bertanya sesat di
jalan kata orang. Aku tak ingin sesat di jalan, tetapi
juga tidak ingin bertanya karena aku malu pada diri
Hal. 269 « 386
sendiri tidak tahu jalan-jalan di kota di mana aku
lahir dibesarkan. Bagaimana tidak. Anak
kesayangan orang lain dilepaskan ke mana suka,
asal si anak senang. Orangtuaku lain. Dulu aku
dipingit. Tak ubahnya seorang perawan yang
dipersiapkan naik pelaminan. Mana kota ini telah
berkembang pesat, banyak terjadi perubahan.
Kalau di Bandung apalagi Jakarta, gampang.
Acungkan saja lengan. Dan sebuah taxi akan
berhenti di depanmu.
Tetapi waktu tanganku teracung, yang
berhenti di depanku adalah sebuah becak dayung!
“Daripada awak terpanggang matahari,”
pikirku lantas naik tanpa tawar-tawar lagi.
Lama juga baru becak itu memasuki jalan
yang kutuju. Waktu kutinggalkan, kawasan jalan
Bhakti merupakan sudut kota terpencil dan tidak
terpelihara. Kini termasuk daerah elite. Banyak
rumah-rumah permanen yang konstruksinya satu
dua mulai mengikuti jejak konstruksi-konstruksi
bangunan di Jakarta maupun Bandung. Halaman
yang luas, pohon-pohon cemara gundul dan cemara
jarum, patung-patung pualam, dan di bawah atap

Hal. 270 « 386


sirap, jendela-jendela yang lebar berkaca reyben
lengkap dengan kaca naco. Aku sampai agak gugup
waktu berhenti di depan rumah yang kutuju.
Kakiku gontai melangkahi jalan halaman yang
di aspal. Ada taman bunga anggrek di depan,
patung marmer menggambarkan sepasang nelayan
sedang bercengkerama, dan kolam ikan hias di
bawah patung dengan air jernih mengalir dari sela-
sela batu karang bersusun. Di depan terras berlantai
taraso, terbaring diam Mercedez 280. Mobil yang
tadi muncul di rumah. Di samping rumah terletak
sebuah garasi besar di dalam mana kulihat Copella
kesayangan Lily yang pernah menerbangkan
tubuhku ke udara tetapi kemudian dengan
bersahabat sudah beberapa kali mempersilahkan
aku duduk di atas joknya yang tebal dan empuk.
Vas bunga cactus berdiri megah di samping
pintu di mana kemudian aku berdiri bimbang. Pintu
pagar terbuka. Mobil-mobil ada di rumah. Tetapi
mengapa begini sepi benar? Enggan, bel kupijit.
Terdengar bunyi musik lembut berirama oleh pijitan
bel. Lalu langkah-langkah kaki. Halus, sedikit
tergopoh-gopoh di balik pintu jati berplitur coklat
berkilat. Kemudian lagi, pintu bergerak ke samping

Hal. 271 « 386


di atas roda-roda bersuara lembut. Terbayang
wajah seorang perempuan tua, terbungkuk-
bungkuk dengan muka keriput penuh tanda tanya
dan berbau curiga dari seorang pelayan
sebagaimana pernah kualami waktu berkunjung
pertama kalinya ke rumah keluarga neneng di
Bandung, yang tidak kalah megah dengan rumah
ini.
Ah, Neneng. Neneng. Mengapa aku ada di
sini?

*
* *

“..., kekasih,” terdengar suara berbisik. “Masuklah!”


Mata yang terpejam, kubuka. Di hadapanku
berdiri Lily dengan gown siang yang semarak, bukan
Neneng dengan pan-suit pendek ketat menantang,
memperlihatkan sepasang paha yang penuh, mulus
dan merangsang. Sepasang bola matanya
berbunga-bunga. Tangannya yang halus berjari
jemari lentik dengan sebuah cincin berlian yang
cemerlang di jari manis, gemetar ketika melebarkan
Hal. 272 « 386
daun pintu. Musik lembut menyapu telingaku.
Bukan musik bel, melainkan musik tenang dari
sebuah plat yang kemudian kulihat di ruang tengah.
Kucoba mengingat-ingat Ya. Itu adalah salah satu
plat kumpulan koleksi dari Santo & Johnny yang
manis.
la mengulurkan tangan. Tidak untuk
memeluk. Tetapi untuk berjabatan.
Terasa hangat dan bergetar di telapak tanganku.
“Selamat datang di rumahku, Bonar,”
bisiknya. Lirih.
“Apakah gelandangan ini tak akan mengotori
udara di sini, Lily?” tanyaku berseloro.
“Bukan kotor. Tetapi manjadi sesak. Teramat
sesak. Dalam dada. Aku berbahagia, sayangku.”
la membimbingku ke sebuah kursi antik
berjok tebal. “Duduklah!”
“Ah, aku kau perlakukan seperti anak kecil.”
“Aku ratu-mu.”
“Hem...”
la tertawa.
Hal. 273 « 386
“Sebentar ya?”
Lantas ia melewati sebuah rak besar yang tiap
lapis terisi barang-barang antik yang tersusun
manis. Sisa-sisa peradaban Cina dan Jawa kuno. Dari
dalam terdengar suaranya yang riang:
“Mama? Mama? Mama...?”
Sebuah lukisan dinding berpigura warna
keemas-emasan, satu-satunya pigura yang terdapat
di ruang tamu itu, membuatku terpana. Aku melihat
seorang Dewi dalam lukisan cat minyak yang
cemerlang, dengan bias matahari dari arah
belakang menimbulkan silouet tajam di anak-anak
rambut yang beterbangan ditiup angin. Dewi mungil
dengan sepasang mata bundar berkilauan
memandang dunia ini yang baginya semua serba
indah, serba cerah. Kuteliti benar-benar, maka aku
terjengah sendiri. Itu adalah potret Lily semasih
bocah. Anak manja. Harta paling berharga dari
orangtuanya. la adalah segala-galanya. Segala-
galanya!
Waktu langkah-langkah asing terdengar di
ruang dalam, aku berharap melihat seorang
perempuan setengah umur bertubuh tambun,

Hal. 274 « 386


wajah bulat berminyak, mata kecil berkilat. Tentu
saja dilengkapi dengan seprangkatan perhiasan
berlian dan gelang-gelang emas bergumpal
sebagaimana biasa dipakai oleh perempuan-
perempuan kota ini, yang semenjak dulu
berpendapat: emas adalah harga dirimu. Tetapi
yang muncul adalah seorang perempuan bertubuh
sedang, tidak terlalu kurus namun tak dapat
dikatakan gemuk, berambut panjang sampai ke
punggung dan mengenakan kebaya berpotongan
sederhana meskipun dari bahan yang mahal, tanpa
perhiasan mewah sama sekali kecuali liontin kecil di
ujung kalung serta cincin kawin di jari manis.
la ditemani oleh suaminya, seorang laki-laki
bertubuh kekar, wajah coklat kehitaman dimakan
matahari dan sepasang mata yang lembut tetapi
bersinar keras. Kujabat tangan mereka satu
persatu, dengan kikuk. Dan bimbang oleh tangan
kedua orangtua itu yang sama sekali tidak sehangat
yang kuharapkan.
“... kami menunggumu kemaren dulu,” cetus
ayah Lily. Tak berirama.
“Oh. Saya mohon maaf. Persoalan keluarga.”

Hal. 275 « 386


Laki-laki tua itu manggut-manggut. Isterinya
menatap tajam. Lantas aku merasa diriku bukan
seorang tamu untuk dilayani sebagaimana
layaknya, melainkan seorang tertuduh untuk
dihakimi. Atau barangkali seorang pencuri yang
akan diinterrogasi. Tuduhannya jelas sudah: aku ini
seorang pencuri. Pencuri hati anak-anak mereka.
Yang berarti, pencuri harta mereka yang paling
berharga.
Diam-diam aku merasa cemas telah
memasuki alamat yang keliru!
Untunglah suasana yang kaku itu terpecah
oleh kehadiran anak gadis mereka yang masuk ke
ruang tamu seraya membawa baki air jeruk dingin
dan penganan di kedua tangan serta tawa yang
riang di mulut.
“Papa gimana sih,” ia mengoceh. “Ada tamu
kok bersarung-sarung saja!”
“Kau toh tak bilang akan ada urusan biznis...,”
balas ayahnya, tertawa.
Ibunya meledek. , “Bapakmu kuno!” lantas ia
cepat-cepat berdiri. “Minumlah dulu, nak. Ibu mau

Hal. 276 « 386


menemani Lily ke dapur, la khawatir tamunya tak
datang lagi, lantas enggan-enggganan sejak tadi...”
Suasana riang itu menjadi kaku kembali
setelah di ruang tamu tinggal aku berdua saja
dengan ayah Lily. la menyodorkan bungkus Dunhill
yang kutolak dengan halus. Aku keluarkan Gudang
Garam dari kantong dan sebelum menyulutnya
lebih dulu korek api yang sudah menyala
kudekatkan ke ujung rokok yang menempel di
mulut orangtua itu. la tak jadi menghidupkan
mancisnya. Dan hatiku bersorak: modal pertamaku
telah diterima!
Asap rokok berkebul.
Lalu menggantung di udara. Diam. Seperti
mulut-mulut yang mengepulkannya. Diam.
Agak lama kemudian:
“Sudah lama di Bandung?”
Aku mengatur nafas. Baru menjawab dengan
suara ditenang-tenangkan:
“Hampir enam tahun, pak.”
“Kuliah?”

Hal. 277 « 386


“Ya.”
“Di?”
“Fakultas Hukum. Unpad.”
“Kok sudah enam. Kan biasanya lima...”
“Saya agak ketinggalan waktu di tingkat
empat. Terpaksa mengulang beberapa vak...”
“Soal keluarga pula?”
“Benar, pak. Ayah meninggal...,” dan dalam
hati kutambahkan: “Perkawinanku yang aneh
dengan Neneng, membuat studiku agak
terganggu.”
“Oh. Ibumu masih ada?”
“Masih, pak.”
“Di Medan ini juga?”
Aku terperangah. Jadi, Lily belum begitu
banyak memperkenalkan diriku pada orang tuanya.
Busyet benar, la mau membalas, karena terus
terang aku sendiri memang belum sekalipun
bercerita pada keluargaku tentang dirinya, la mau
membuat stand kami seri, dan pasti di dapur ia
sekarang sedang tertawa cekikikan. Terlalu!
Hal. 278 « 386
“Ya, pak. Di Medan ini juga,” aku membeo.
“Di jalan mana?”
Mulutku baru terbuka untuk menjawab,
waktu telephone berdering. Orang tua itu bangkit
seraya menggerutu:
“Pasti si Husin lagi!”
la minta maaf sebentar, lalu berjalan masuk
ke dalam. Aku dengar dengan jelas pembicaraannya
di telephone:
“… hallo, ya, dengan aku. Tandatangani saja
surat suratnya, lalu berikan padanya. Apa? O, bilang
agar mereka ke kantorku saja. Ini kan hari Minggu!”
Diam sebentar.
Lalu orang tua itu tertawa.
“Pardomuan kau bilang? la ada di Medan?
Kapan pulang dari Tokyo? la... Tentu. Tentu.
Katakan aku senang sekali. Mengapa ia tak
menelphone atau datang ke sini saja? Oh, begitu...,
Hem. Boleh juga. Jadi nanti sore di Tuntungan?
Okey, okey. Bilang aku akan menjemputnya!”

Hal. 279 « 386


Telephone berderak lembut waktu diletak
kan kembali di tempatnya.
Langkah-langkah kaki lagi. Dan wajah yang
lebih riang dari tadi.
“… wah. Seorang sahabat lama yang sudah
bertahun-tahun tidak bertemu, menantangku main
golf hari ini di Tuntungan. Boleh. Boleh ia coba.
Hem. la mau balas kekalahannya rupanya...”
“Bapak pernah mempecundangi beliau?”
tanyaku.
“Menpecundangi? Aku seorang ahli,” dan
orang tua itu tertawa. Bangga. Modalku yang
kedua, pikirku, ialah cepat-cepat memasukkan
versnelling kepersoalan yang paling ia gemari.
Maka, meskipun aku bukan orang yang tahu seluk
beluk olahraga kalangan atas itu, aku menukas juga:
“Saya dengar Tuntungan memiliki kondisi
lapangan yang paling ideal di Asia...”
“Benar. Benar sekali. Aku salah seorang
anggotanya. Malah di Parapat, sedang di up-grade
lapangan baru yang ...”

Hal. 280 « 386


Dan ia bercerita panjang lebar tentang
lapangan golf, tehnik-tehnik bermain yang paling
jitu —tentu menurut dia— yang kuiyakan saja
karena dalam masalah itu aku memang buta.
Fasilitas peralatan yang semakin super modern.
Pertandingan-pertandingannya melawan pegolf
luar negeri. Dan beberapa nama bintang-bintang
asing yang ia hafal riwayat hidupnya miskipun
bintang lapangan itu baru sekali berkunjung ke
Indonesia bahkan belum sempat ia coba
keampuhan stick golf orang asing itu.
Tak pelak lagi, suasana rilex itu berlanjut
sampai ke meja makan.
Lily tidak menghidangkan masakan Padang
yang khas sebagaimana kubayangkan semula.
Sebelum makan yang sesungguhnya, terlebih
dahulu kami mencicipi soup sarang burung, roti keju
pakai mentega, seladah dengan udang galah serta
kepiting yang diasap, minuman anggur sesloki kecil,
baru kemudian hidangan biasa. Tentu saja dengan
ciri khas: serba pedas, serba merah oleh cabe giling
yang lumat seperti tepung. Selesai makan, maulah
aku mendecip-decipkan mulut kepedasan kalau tak
malu pada tuan rumah. Terutama karena aku harus

Hal. 281 « 386


menghormati jari jemari kaki Lily, yang dengan
nakal menggelitiki bulu-bulu betis di balik celana
panjangku, di bawah meja. Gelitikan yang
terkadang membuat aku terbatuk dan sambal
memasuki hidung sehingga susah payah bisa juga
aku menahan agar tidak sampai bersin keras!
Lily terpingkel-pingkel melihat tampangku
yang rusak oleh kelakuannya.
Ibunya yang tampak senang, menggerutu halus:
“Sopan sedikit, anakku!”
Selesai makan siang kami duduk di terras
dalam, berhadapan dengan taman bunga di antara
batu-batu kerikil dan kulit-kulit kerang putih yang
berserakan.
Lily mengantarkan iris pepaya dan apel Korea
yang Kulitnya berwarna merah hati. Peluh
membasahi sekujur tubuhku. Sukar memang
membiasakan diri dengan udara panas kota di mana
aku pernah di lahirkan tetapi sudah diseling oleh
udara Bandung yang sejuk, merupakan thema
pembicaraan kami di terras itu.
Pelayan ribut membereskan meja di ruang makan.

Hal. 282 « 386


Lalu ayah Lily memanggil laki-laki yang tadi
pagi muncul di rumahku.
“Siapkan mobil, Parto. Kita berangkat
sebentar lagi.”
“Sudah, pak. Di luar.”
“Hah. Kenapa tak bilang-bilang dari tadi!”
“Bapak tak tanya-tanyai”
Ibu Lily tertawa.
“Kau makin pikun,” kata isterinya. Lily
membumbui:
“Malah pernah sekali terjadi, Bonar,” katanya
ditujukan padaku. “Papa sudah siap di lapangan,
baru teringat peralatannya tertinggal di rumah, la
lupa mengajak Parto!”
Tawa bergelak memecah halaman dalam itu.
Aku. Lily. Dan ibunya. Tetapi, ayahnya, tidak.
Semula kukira ia tersinggung. Baru kemudian
kuketahui sebabnya, setelah tiba-tiba ia bertanya
dengan hati-lati:
“... Bonar? Jadi namamu Bonar?”

Hal. 283 « 386


Aku ingin marah pada Lily, tetapi seraya
mengikik gadis itu kabur ke dalam rumah. Disusul
oleh ibunya seperti tadi. Seakan-akan disengaja.
Dan aku belum sempat menjawab, dan untung
tidak. Karena jawabanku memang tidak diperlukan.
Laki-laki berumur itu memandangku dengan sinar
matanya yang keras.
“Goresan di tulang pipimu. Kaukah orang
yang ditabrak Lily dulu?”
Aku terjengah, mengangguk dengan bingung.
Anggukanku disambung oleh helaan nafas ayah Lily.
Wajahnya tampak kelabu, yang segera ia tutupi
dengan kedua belah tangan. Dan tangan-tangan
keriput yang masih kukuh itu... gemetar! Sayup-
sayup kudengar keluhan dari sela jari jemarinya:
“... Lily, anakku. Mengapa...! Mengapa harus
orang Batak?”

*
* *

Hal. 284 « 386


13

PUCAT wajahku seketika.


Mengapa harus orang Batak, keluhnya. Sakit!
Aku tersandar lesu di tempat dudukku. Mengapa
harus orang Batak! Lututku gemetar. Mulut
terkunci, gagu. Dan orangtua itu berdiri. Gontai.
Kedua lengannya terkulai. Lemah. Wajahnya
kelabu. Dan sepasang mata tua yang keras itu,
berair. Memandangku seperti baru melihat suatu
benda yang teramat ganjil dan menakutkan
baginya. Aku merunduk. Tak kuat membalas
tatapan mata yang digantungi guillotine tajam yang
memenggal putus tali-tali jantungku dengan
kejamnya!
Waktu dagu kuangkat, orangtua itu sudah
tidak ada di dekatku lagi. Ada suara ribut-ribut di
dalam. Kuurut dada. Sakit sekali. Langkah-langkah
bergegas keluar. Mataku terpejam. Perih.

Hal. 285 « 386


“... Bonar?”
Sukar mata ini kubuka.
“Bonar. Apa yang terjadi?”
Aku tengadah. Dan aku lihat wajah Lily yang
pucat pasi.
Perlukah kujawab?
Tidak, aku memutuskan. Tidak. Maka aku
berdiri.
“Aku pulang saja, Lily., ..”
“Hei,” ia mencengkeram lenganku.
“Mengapa pula kau?”
“Pening.”
“Bohong!”
“Lily, demi Tuhan kuminta...”
“Dan Demi Tuhan, katakanlah apa yang
terjadi sehingga ayah tiba-tiba masuk ke kamar dan
terhempas di tempat tidur dengan mulut
menceracau seperti orang mengigau. Kalian
bertengkar?”
“Tidak.”
Hal. 286 « 386
“Lantas?”
“Biarkan aku pulang, Lily. Ini mungkin jalan
yang terbaik...”
“Tidak. Tidak. Kau tak boleh...”
“Lily!”
Perempuan setengah baya berwajah lembut
dan ke ibuan itu, berdiri di ambang pintu masuk
dengan wajah tegang. Lily menoleh.
“Ya.., mama?”
“Tak baik menghalangi keinginan orang!”
“Tetapi mama...”
Perempuan itu tersenyum padaku. Manis.
Dibuat-buat, jelas sekali. Dibuat-buat.
“Parto akan mengantarkanmu, nak.”
“Mamaaaa!” jerit Lily, berlari memeluk
ibunya. Bahu perempuan itu ia goncang-goncang
seraya terus menjerit-jerit histeri: “Mamaaa.
Mengapa. Mama. 0, mengapaaa...!”
Supir itu segera muncul. “Ya bu?”
“Antarkan tamu kita ke rumahnya.”
Hal. 287 « 386
“Jangan!” jerit Lily seraya berlari
menghalangi parto. Tetapi ibunya menghardik:
“Lily!”
Gadis itu jatuh bersimpuh.
Air matanya bercucuran, membasahi lantai.
Aku merasa hati ini hancur berkeping-keping. Ingin
memeluknya, tetapi tak kuasa melangkahkan kaki.
Bagai kerbau dicucuk hidung kuikutkan Parto yang
membetot lenganku, kuat sekali. Diriku terasa
ringan. Melayang-layang seperti kapas. Sampai
mobil telah laju menjauhi rumah kesekian yang
tidak menyukai kehadiranku itu, aku masih belum
sadar di mana sebenarnya aku berada.
“... saya lahir di sini, bung Bonar,” pelan-
pelan Parto bergumam. Berbung-bung pula
sekarang. Huh! “Ayah dan ibu saya dulunya kuli
kontrak. Dari Jawa.”
Aku tak minta ia bicara. Tak pula
bersemangat melayani. Sekujur tubuhku dingin.
Dingin. Meng-es.
“Biarpun turunan kuli,” lanjut Parto. “… aku
bersyukur terlahir sebagai orang Jawa.”

Hal. 288 « 386


Malas, aku nyeletuk:
“Apa perduliku?”
“Orang Jawa tak rasialis. Tak seperti orang
kulit putih misalnya. Mengapa Negro, tanya
mereka. Orang Jerman, bertanya: mengapa Jahudi.
Dan di rumah tadi pun begitu: mengapa Batak!”
“Kau nguping!” rungutku seraya tertawa.
Kecut “Emangnya kau tau apa sih tentang orang
Batak?”
“Tak banyak. Itupun dapat dengar sana sini.
termasuk orangtua Lily Bicaranya selalu terbuka.
Biarpun aku cuma supirnya.”
“Hem! Sejauh mana pandangan orangtua itu?”
“Konon di Tapanuli sana, kaum lelaki
menghabiskan waktu di kedai tuak. Judi. Mabuk-
mabukkan. Lha, perempuan-perempuannya
banting tulang setengah mampus di rumah.
Numbuk padi dengan alu di tangan kanan dan anak
di gendongan tangan kiri.”
“Bah. Pemeo nenek moyang. Kuno!”
“He-eh. Tapi kan bekasnya masih terasa.
Kalau kawin dengan orang Sumatera Barat, non Lily
Hal. 289 « 386
itu akan jadi ratu. Berkuasa. Menentukan. Dengan
Batak? la akan dibeli melalui apa yang dinamakan
perkawinan. Dibeli untuk kerja keras. Ngurus anak.
Melayani suami. Jadi babu mertua. Salah dikit,
dimaki. Masih untung tak disertai sepakan di
pantat. Lha, kalau si perempuan udah bangkotan,
tenaganya dianggap tak dibutuhkan lagi. la jadi
pengemis yang hanya berhak dapat belas kasihan
suami, bahkan anak-anaknya sendiri!”
“Menghina kau!” rungutku, tersinggung.
“Terserah anggapanmu. Buktinya, ayah Lily
semaput di kamarnya.”
“Bah. Lantas kalian orang Jawa...,” aku ingin
balas. “Apa tak sering bertanya: mengapa Sunda?
Hayo!”
la terdiam.
Dan aku tertawa. Memang. Lantas ngoceh,
senang campur jengkel:
“Kalian juga picik. Hanya gara-gara raja kalian
gagal mempersunting puteri Diah Pitaloka dari
Pajajaran, kalian berbunuh-bunuhan. Tambah lagi.
kalian di jajah Belanda kelewat lama. Dan pikiran

Hal. 290 « 386


picik kalian dimanfaatkan bule-bule itu. Benar
engga, Jawa Sunda bermusuh-musuhan!”
“Tak semua...,” desahnya.
“Dan tak semua orang Batak seperti yang kau
gambarkan,” rungutku.
la menoleh. Tersenyum.
Aku merasa berdekatan dengan sahabat yang
aneh dari kelas yang tersendiri. Maka tanpa segan-
segan, ketika di rumah kuminta ia menunggu. Koper
dan tas kumasukkan dalam bagasi. Kunci rumah
kuserahkan pada tetangga. Masuk lagi ke mobil dan
pada Parto yang terheran-heran aku berkata
setengah memerintah:
“Terus saja ke airport!”
Neneng, pikirku, sementara mobil melaju ke
Polonia. Hanya Neneng seorang yang akan
menerimaku dengan tangan terkembang lebar. Tak
perduli siapa aku adanya. Ya. Pada Neneng-lah aku
mesti pergi!
Parto menurunkan aku di Polonia. Sebelum
pergi ia mengucapkan:
“Selamat jalan. Semoga kita bertemu lagi.”
Hal. 291 « 386
Kujawab dengan umpatan:
“Bertemu lagi? Setanpun tak akan mampu
mengusahakannya!”
la tersenyum. Lalu menghilang ke dalam
mobil. Aku langsung menuju desk penerimaan
penumpang. Seorang petugas menyambutku
dengan tersenyum ramah. Senyum komersiel,
rungutku dalam hati. Lantas bertanya apakah ada
pesawat yang berangkat sekarang juga. Petugas itu
terheran-heran memandangiku. Lalu sejurus
kemudian berkata:
“Garuda baru saja take-off. Tetapi dalam satu
jam. Seulawah akan....”
“Ya. Seulawah saja. Tolong catatkan.”
“Tiket Tuan?”
Nah. Aku terbengong sampai di situ. Tidak
Teringat sama sekali. Kalau saja petugas Phoenix
dulu mengetahui kebingunganku sekarang, pastilah
ia tertawa puas. Sedang aku berpikir mencari jawab,
petugas tadi sudah menawarkan:
“Akan saya cek ke bagian pembukuan ticket.
Kalau ada yang masih kosong. Tuan bisa saya

Hal. 292 « 386


hubungkan dengan sebuah travel yang akan
melayani tuan dengan segera.”
la memutar telephone.
Dan setelah meletakkannya kembali, ia
mendatangiku dengan seruan riang yang ditahan:
“Tuan beruntung!”
Lantas ia menggamit salah seorang
temannya. “Antarkan Tuan ini ke Sphynk...” Salah
dengar, aku berkata dengan terperanjat:
“Apa? Phoenix?”
Petugas itu tersenyum.
“Sphynk,” ia mengulangi, agak ditekan
suaranya. “Travel-travel di sini memang senang
dengan nama yang ganjil. Tetapi percayalah,
Sphynk tidak akan mengecewakan Tuan!”
Setelah menitipkan koper dan tasku pada
petugas itu agar langsung saja ditimbang, kuikuti
temannya keluar dari airport. Ketika aku akhirnya
berhasil memperoleh ticket, tidak saja kukeluarkan
ongkos pesawat. Tetapi juga ongkos taxi pulang
pergi, serta tip yang lumayan untuk orang yang
menemaniku. Kembali ke airport, aku tidak punya

Hal. 293 « 386


uang barang sepeserpun juga. Mudah-mudahan
bagasi yang kubawa tidak dikenakan biaya extra,
aku berdo'a dalam hati. Tiba di Jakarta, tak ada
persoalan. Tinggal panggil taxi, carter lantas bayar
di Bandung. Tentu saja dengan resiko haus dan
kelaparan sepanjang jalan Jakarta Bandung yang
akan memakan waktu sekitar empat jam.
Kubayangkan Neneng yang berlari-lari
menyongsongku.
“Apa? Dari Medan ke Bandung kau tak punya
uang meskipun cuma recehan? Begitu bokekkah
kau sekarang, suamiku sayang”
Di ruang tunggu, aku tersenyum sendiri. Berbisik:
“Ini aku datang, isteriku yang manis. Sudah
kau siapkan kuda-kuda kita untuk berpacu?”
Satu jam sudah berlalu, pengeras suara
belum juga menyebut-nyebut tentang penumpang-
penumpang pesawat Seulawah. Kesal menunggu
kudatangi petugas yang tadi dan memperoleh
jawaban bernada menyesal:
“Sabarlah. Ada gangguan cuaca sehingga
pesawat terlambat mendarat.”

Hal. 294 « 386


Aku tercengang.
“Apa? Harus menunggu pesawat dari...”
Belum habis ucapanku, pengeras suara tiba-
tiba memberitahu Seulawah dari Jakarta akan
segera mendarat. Petugas itu tertawa lebar.
“Apa kubilang?” katanya.
Bersungut-sungut aku kembali ke ruang
tunggu. Meskipun ada a-se namun toh aku
berkeringat juga dan kerongkongan teramat kering
rasanya. Tanpa sadar aku berjalan ke kantin dan
hampir saja memesan minuman ketika mendadak
teringat kantongku kosong. Benar-benar kosong.
Sial benar. Belum juga apa-apa, haus sudah
menggoda. Lapar bisa ditahan. Tetapi
kerongkongan yang kering? Seraya lidah
membasahi bibir yang kering melihat orang-orang
lain tertawa-tawa senang minum di kantin, aku
kembali ke tempat duduk semula.
Kuhibur diri dengan memperhatikan pesawat
yang sudah landing.
Kini, selangkanganku yang tak sabar
menunggu. Bergegas aku ke kamar kecil. Buang air.
Karena tak tahan, tanpa malu-malu lagi air leiding
Hal. 295 « 386
yang mengucur di kamar kecil itu kutampung
dengan telapak tangan. Aku minum sepuas hati.
Lucu juga. Dari bawah keluar. Dari atas masuk. Bau
pesing menyerang hidung. Kuacuhkan saja. Terus
kencing. Terus minum. Sampai selangkanganku
terasa ringan. Dan kerongkonganku terasa lapang.
Ketika celana kukancingkan, samar-samar
aku dengar panggilan di pengeras suara:
“... tuan Bonar? Tuan Bonar yang akan
berangkat dengan pesawat Seulawah dengan
tujuan Jakarta...”
“Ha! Aku ketinggalan pesawat!” seruku
setengah berteriak di kamar kecil.
Seseorang menyahut dari luar: “Ada apa, bung?”
Bergegas aku keluar, sambil membetulkan letak ikat
pinggang. Orang yang sudah menunggu dari tadi
tanpa setahuku, menoleh dengan wajah malas. Aku
tersenyum ke arahnya. Lantas berlari-lari ke ruang
tunggu. Di sana panggilan itu terdengar lagi:
“... tuan Bonar diharap datang ke
resepsionist! Ada yang menunggu!”

Hal. 296 « 386


Seulawah masih menurunkan barang-barang
penumpang dari Jakarta. Hah! Hah! Hah!
Terangah-engah aku berjalan ke bagian
resepsionist.
Belum lagi aku sampai di sana, pintunya
sudah terbuka. Lalu seseorang yang bermuka pucat
menerobos keluar, lantas berlari-lari ke arahku
dengan kedua tangan terkembang seraya menjerit
lirih.
“Bonar, kekasihku!”
Aku terpana. Membatu bagai patung.
Mematung bagai batu. Diam. Bisu seribu kata.
Kubiarkan bibirnya dengan liar mencari-cari bibirku,
la menemukannya, dengan mata terpejam berurai
butir-butir air bening. Dan mataku yang nyalang
terbuka memperhatikan bagaimana puluhan
pasang mata melihat ke arah yang sama. Aku yang
termangu, dan Lily yang lupa diri.
Masih di bawah pandangan mata banyak
orang, Lily berjalan ke bagian penerimaan
penumpang.
“Tolong keluarkan bagasi kekasihku...”

Hal. 297 « 386


“Tetapi, nona,” petugas yang ramah itu,
terlepas dari pesona yang barusan dilihatnya.
“Sudah...”
“Keluarkanlah cepat. Kekasihku tak jadi
berangkat hari ini!”
Tak lama kemudian kami berdua telah berada
dalam Copella yang meluncur keluar dari pelataran
parkir airport. Lily tak melepaskan pelukannya di
pinggangku dengan kepala rebah di bahuku,
sehingga setir yang kupegang sesekali membuat
mobil berzig-tag. Masih untung jalanan sepi.
Barulah setelah di Usat kota yang ramai, jalan mobil
stabil kembali, telukan Lily merenggang, dan ia tidak
menangis lagi.
“... waktu kudengar Parto mengantarmu ke
airport, aku bagai gila rasanya!” ia menerangkan
dengan suara terisak-isak.
“Bagaimana kau bisa lolos dari ayahmu yang
fanatik itu?”
“Lolos?” Lily tersenyum. Bahagia. Hatiku
terenyuh. Dan semakin terenyuh waktu ia
menceritakan apa yang terjadi kemudian:
“Aku bersikeras menyusulmu. Papa marah. Ia
Hal. 298 « 386
mengambil senjata berburu dan mengancam akan
menembakku. Ibu jatuh pingsan. Aku tak perduli.
Tenang-tenang aku berjalan melewati papa, masuk
ke mobil ini, kemudian kabur dari rumah. Tak ada
suara tembakan sama sekali!” lantas ia memelukku
lagi. “Papa sebenarnya orang yang baik. la takut
kehilangan aku. Takut kehilangan generasi yang
akan meneruskan keturunannya. Fanatik memang,
namun ia tetap seorang ayah yang baik. Sudikah kau
maafkan dia, kekasih?”
Kekasih. Di hadapan semua orang: kekasihku!
Aku mengeluh. Mengangguk pelan-pelan. Lily
menciumiku, dan Neneng minggat tiba-tiba dari
dalam dada, terbang keluar lewat jendela mobil,
lenyap, dibawa angin yang menderu-deru...

*
* *

“KAU mau menolongku?” tanyaku seraya


menghentikan mobil di pinggir jalan.
“Ya?” Lily terheran-heran.

Hal. 299 « 386


Aku menelan ludah. Dan menunjuk ke sebuah
warung es campur di depan mana mobil berhenti.
“Kasihan!” Lily geleng-geleng kepala seraya
tertawa. “Ayolah!”
Tawanya semakin keras waktu kuceritakan
bagaimana aku meluluh air leiding di kamar kecil
airport saking tak kuat menahan haus. Untunglah
kebetulan hanya kami berdua saja di warung itu.
Sambil minum kami menyusun rencana. Kubilang
aku ia antarkan saja ke rumah Chairudin. la jawab
Chairudin sekarang lebih senang tinggal di rumah
Sahara!
“Okay. Kalau begitu, antarkan aku ke sana.”
“Tidak. Aku tak setuju. Benar-benar tak
setuju?”
“Sebabnya?”
la mengerdipkan mata. Lalu mengemukakan alasan.
“Pertama. Aku takut, malam nanti janda
muda itu kesasar masuk kamar tidurmu. Yang
kedua, dan ini yang lebih penting. Tak baik di mata
keluargamu!”
Dengan keputusan itu, kami naik lagi ke mobil.
Hal. 300 « 386
“Kau tak takut?” tanyaku waktu hampir
sampai di Pimpinan.
“Kau bilang rumahmu kosong.”
“Kalau ada isinya?”
“Kuharap, yang membuka pintu bukan
seekor harimau!”
Kami tertawa.
Dan yang membuka pintu, adalah Tigor!
la memandangku dengan tajam dan wajah
yang keras pertanda sangat marah. Tetapi perasaan
itu ia tekan sekuat-kuatnya setelah melihat siapa
orang terdiri di sampingku. Kaku, ia mengangguk.
“Tumben, zus Lily!”
Mereka berjabatan tangan.
“Apa kabar?” sahut Lily dengan tersenyum
riang. “Baik-baik saja keluarga abang?”
Tigor membantu memasukkan koperku
kembali ke kamar.
“Yah, beginilah,” ka bersungut-sungut.
“Waktu kami datang, pikiran ibu sudah kembali
tenang. Tetapi waktu melihat kamar anak ini kosong
Hal. 301 « 386
melompong, beliau sangat terpukul. Ibu boleh
kehilangan saudara laki-lakinya. Tetapi ia tak boleh
kehilangan anak bungsu kesayangannya…
Dari kamar ibu keluar seorang lelaki
berkacamata terseragam putih menjinjing tas kulit
yang besar diiringkan kak Dima. Sementara mata
isteri abang bertaut tajam ke mataku, telingaku
menangkap suara laki-laki berkacamata itu yang
ditujukan pada Tigor:
“... ibumu sudah tidur. Tak usah cemas, la
akan segera sembuh. Ini resep yang bisa saudara
tukar dengan obat di apotheek!”
“Terimakasih, dok!”
Sepi, setelah dokter itu pergi.
Aku memaksa mau masuk ke kamar ibu.
Tetapi dicegah oleh kak Dima.
“Kau dengar apa kata dokter? Biarkan beliau
istirahat!”
Lily yang merasa kehadirannya membuat
suasana menjadi agak kaku, cepat-cepat berdiri
betapapun kak Dima mencegah. Setelah berjabatan
tangan dengan, Tigor serta isterinya, Lily kemudian

Hal. 302 « 386


memeluk dan mencium kedua belah pipiku, lantas
bergegas masuk ke dalam mobil yang ia kebut
meninggalkan debu-debu beterbangan dan... wajah
Tigor yang pucat, serta mulut kak Dima yang
menganga!

*
* *

Hal. 303 « 386


14

“... JADI, gadis itu yang berhasil menyeretmu


lari dari Polonia!” rungut bang Tigor.
Perlahan. Dan gusar.
Aku mengangguk. Memandangi jalan di mana
mobil Lily baru menghilang. Debu-debu itu masih
beterbangan.
“Coba kutebak. Dia-kah calon pengganti Mariann?”
Sekali lagi, aku mengangguk.
Dan Tigor tiba-tiba membentak:
“Tahukah kau, perempuan itu orang Padang?!”
Kak Dima memegang lengan suaminya.
“Ssst. Jangan terlalu keras. Nanti beliau...,” ia
gelengkan kepala ke kamar tidur ibu. Tigor terduduk
di kursi.

Hal. 304 « 386


Mukanya hitam legam. Daun telinganya
merah dadu. la usap wajahnya berkali-kali. Setiap
kali, semakin hitam juga. Setiap kali, semakin keras
membatu.
Lalu terdengar keluhannya yang runtuh:
“Ditinggal mati oleh ayah, rasanya tidak
saparah didatangi oleh orang Bandung yang
mengerikan ini!”
“Bang!” protes isterinya. “Tahanlah mulutmu.”
“Diam!” bentak Tigor.
Ada suara terbatuk di kamar. Tigor menelan
ludah. Kak Dima mengintai lewat kisi-kisi kawat
ambang pintu kamar. Lantas bernafas lega. la
pandangi kami bergantian. Terus berjalan ke dapur.
Dan di sana, kudengar ia menangis terisak-isak.
Tigor tersandar di kursi.
Wajahnya tengadah. Menatap langit-langit
kamar. Kosong. Hampa.
“... kalau abang tak suka, aku tak menyesal
membawa koperku keluar dari rumah ini lagi,” aku
bergumam. Sakit hati.

Hal. 305 « 386


la tertawa. Getir.
“Lakukanlah. Dan jangan harap kami kirimi
kau kabar tentang kematian ibumu!”
Akulah yang kini tertunduk. Lemas.
Lamat-lamat kudengar gerutuan saudaraku:
“... lupakah kau pengalaman Paman
Maraiman? Bukan saja anak-anaknya tak berhak
memakai marganya, la dibeli. Dengar? Bukan kau
yang membeli isterimu. Tetapi isterimulah yang
akan membeli dirimu. Membeli garis turunanmu.
Membeli jiwamu, harta bendamu, cucuran
keringatmu. Apa yang tak dimiliki paman Maraiman
setelah menikah dengan perempuan Padang itu?
Anak, banyak. Rumah, gedong mewah. Perabotan,
kelas satu. Kendaraan, Holden produksi terbaru.
Tabungan? Berlimpah-limpah di Bank Bumi Daya.
Tetapi ketika akhirnya mereka bercerai karena yang
laki-laki ingin berkuasa dan yang perempuan ingin
lebih menentukan, apa yang dibawa pulang oleh
paman? Anak? Diambil orang. Harta? Hanya
selembar pakaian yang melekat di badan. Yang ada
di saku kemejanya, bukan lembaran uang, tetapi tak
lebih dari sehelai kartu penduduk! Puih!”

Hal. 306 « 386


“Lily bukan...”
“Yeah. Aku tau kau mau bilang Lily bukan
perempuan semacam isteri paman. Tetapi kuharap
kau tak lupa, biar bagaimanapun Lily tetap orang
Padang. Dan kau, biarpun telah sangat berubah
setelah mengenyam pendidikan di Bandung, tetapi
orang Batak!”
“Kalian terlalu egois. Terlalu sukuisme!”
“Mungkin kami egois. Tetapi bukan sukuist.
Ini fakta!”
Dengan kepala yang berdenyut-denyut aku
bangkit lalu dengan kaki yang gontai masuk ke
kamar, tidak ke kamarku sendiri. Melainkan ke
kamar ibu. Beliau masih tertidur. Pulas. Gurat-gurat
penderitaan pmpak di sudut-sudut matanya yang
sudah tua, hati-hati kuseret sebuah bangku ke
dekat beliau, hati ini menjadi teramat dingin.
Gumpalan-gumpalan batu yang mengganjal dada
itu telah terbuang habis.
Pelan-pelan, tangan ibu yang terletak di
perutnya, kusentuh.
Kemudian, aku merunduk. Kurebahkan wajah
di punggung tangan keriput itu. Hati ini semakin
Hal. 307 « 386
dingin. Dingin. Di luar kudengar Tigor menyumpah-
nyumpah. Kupejamkan mata. Berbisik dengan lirih:
“Maafkan anakmu, ibunda!”
Dan mata ini terus terpejam. Terpejam. Ada
suara otor di luar. Honda kijang melaju pergi. Lalu
suara kaki-kaki kak Dima berlari-lari dari dapur ke
halaman. Mata semakin berat juga. Kak Dima masuk
kembali. Menutupkan pintu. Aku mengharap
mendengar suara orang menangis. Tetapi yang
terdengar hanya helaan nafasku sendiri. Dan
hendusan ibu, yang teratur. Entah berapa lama aku
dalam keadaan demikian, aku tidak tahu. Waktu
aku terbangun, ibu tengah mengusap-usap
rambutku. Aku menoleh. Dan mataku bertemu
dengan matanya. Bening. Dan teduh. Bibir tipis dan
kering itu menggurat seulas senyum. Bening. Dan
teduh.
“… mengapa tidak tidur di kamarmu,
anakku?” katanya. Lembut.
Aku tegak kembali dalam dudukku.
Tersipu.
“Bagaimana perasaan ibunda?”

Hal. 308 « 386


“Obat-obat yang dibawakan Tigor tak ada
artinya dibanding dengan dirimu, anakku...” Pintu
terkuak.
Kak Dima masuk, la tersenyum pada ibu.
Memegang pergelangan tangan beliau. Dan
tersenyum lebih puas.
“Makan malam sudah dingin, Bonar,” desah
kak Dima.
“Pergilah,” bisik ibu.
“Ibu tak ikut makan?”
“… makanlah kalian.”
“Kubuatkan bubur?” tanya kak Dima.
Ibu mengangguk. Lemah.
Kuikutkan kak Dima ke kamar makan
merangkap dapur. Makan malam tampaknya masih
hangat. Tetapi wajah Tigor yang sudah menanti di
sebuah kursi, kelihatan dingin. Kami berdua makan
diam-diam sementara kak Dima sibuk membuatkan
bubur untuk ibu. Selesai makan Tigor minta
dibuatkan kopi,
“Jangan terlalu kental!” katanya.

Hal. 309 « 386


Lalu berjalan ke terras depan. Ada suatu
dorongan yang menyebabkan aku mengikuti
langkah-langkahnya. Bintang gumintang di langit
yang biru jernih menyapa kami dengan ramah. Tigor
menghela nafas. Berulang-ulang. Lama setelah kami
lagi-lagi berbungkam diri, baru ia memulai:
“... kapan ujianmu selesai?”
Basabasi. Tetapi aku menjawab juga:
“Akhirnya tahun ini, kalau tak ada halangan.”
“Jangan perdulikan halangan,” ia menoleh.
Tersenyum ke arahku. Sejuk terasa dada ini. “Kau
harus tamatkan studimu. Dari keluarga kakek,
hanya kau seorang yang beruntung menginjak
bangku perguruan tinggi. Harapan semua keluarga
tertumpah padamu.”
“Si Ucok kan sudah di akademi.”
“Ah. la dari generasi yang berikut... dan aku
khawatir anak itu tidak akan menyelesaikan
studinya, la lebih cenderung jadi pedagang. Maka
kubelikan sebuah kios. Dan eh, tahukah kau?”
Aku tak menjawab, la yang menjawabnya sendiri:
“Ternyata usaha si Ucok lebih maju dari aku!”
Hal. 310 « 386
Lantas ia tertawa.
Tak lama kemudian kak Dima keluar. “Dasar
ibumu!” ia mengoceh. “Minta dibuatkan bubur.
Setelah masak, eh, tidur pula dia!”
Tawa Tigor semakin keras.
Dan kukira, aku toh layak untuk ikut tertawa.

*
* *

Malam harinya aku bermimpi. Ada gumpalan


batu besar menggelinding dari puncak sebuah
gunung. Seorang berlari pontang panting
mengelakkan lindaian batu itu. Tetapi di pinggir
sebuah surup, besar yang sedang banjir, orang itu
tidak melihat jalan lain lagi. Batu gunung yang
mengerikan itu menggelinding semakin dekat.
Orang itu menoleh. Barulah aku kenali siapa dia. Tak
lain tak bukan, diriku sendiri. Dengan jantung didera
rasa ngeri dan wajah ditempa , warna putus asa,
kulihat bagaimana batu itu semakin dekat dan
semakin besar juga. Semakin dekat. Semakin besar.
Bunyinya seperti guruh yang mengguntur. Hancur
Hal. 311 « 386
setiap benda yang dilandanya. Aku mundur. Tetapi
terlambat. Batu besar yang dahsyat itu telah
melanda.
Lepas jeritan keras dari mulutku.
Kubuka mata lebar-lebar. Gelap gulita.
Seseorang tergopoh-gopoh masuk. Lampu ia
nyalakan. Terang benderang.
“Ada apa?” tanyanya.
“Oh...,” aku mengurut dada yang sesak.
“Kau bermimpi?”
“Ya. Buruk sekali.”
Tigor tertawa.
“Kalau kau bermimpi lagi, jangan terlalu keras
berteriak. Bangun orang sekampung nanti!”
la kemudian meninggalkan aku termangu-mangu.
Dan sampai pagi, mataku tidak bisa terpejam,
Kudengar ibu terbatuk. Keluar dari kamar. Terus kej
kamar mandi. Masuk lagi ke kamar tidur. Tentu ia
lalu sembahyang subuh. Adzan mengalun dari
mesjidj Tenang. Syahdu. Pintu kamar lain terbuka.
Juga orang itu berbatuk. Khas suara kak Dima. Aku
Hal. 312 « 386
berbaring lagi. Dan kukira aku tertidur, karena
waktu mata kubuka, lewat ventilasi jendela masuk
cahaya matahari ke dalam.
Kami baru saja selesai sarapan, waktu sebuah
mobil berhenti di depan rumah. Kak Dima keluar
menyongsong tamu yang mengetuk pintu. Waktu ia
kembali, wajahnya tampak diliputi tanda tanya.
“Ada tamu.”
Aku sudah tahu. Tetapi ucapan itu ditujukan
padaku, dan tekanannya lain. Heran, aku keluar.
Di ruang depan, aku melihat seseorang, la
berdiri dari kursinya waktu melihat aku datang.
Tidak ada senyuman di bibir orang itu. Tetapi bukan
itu yang terutama membuatku sangat terkejut. Apa
yang menyebabkan impian tadi malam bermain lagi
di depan mata, adalah kehadirannya. Orang yang
tidak pernah kubayangkan akan muncul di kota ini,
langsung pula ke rumah tanpa berkirim kabar
terlebih dahulu.
“Apakah aku kelihatan aneh, Bonar?” sapanya.
Mulutku tergagap:
“Tid... tiddd... aaakk!”

Hal. 313 « 386


“Kau sakit?” “lyy... eh, tidak.”
Bang Tigor yang segera menyusul, mengernyitkan
dahi melihat sikapku.
“Hallo,” sapa tamu itu.
“Hallo. Dari mana?”
“Bandung,” orang itu mengulurkan
tangannya. Disambut oleh Tigor yang terjengah
sesaat. “Nama saya Hendra. Kakak tertua dari
Neneng!”
Seketika Tigor terbungkam.
Hendra agak kikuk oleh sambutan yang aneh
itu. Lantas mencoba tertawa. Parau. Katanya:
“Senang berkenalan dengan kalian.”
Bang Tigor tersadar.
“Oh, ya. Ya. Ya..,” sahutnya. “Duduklah. Du-
toklah. , .”
ulah yang terlebih dahulu duduk, tfdifc menahan
lutut yang goyah. Kedua orang laki-laki yang sebaya
itu memandangiku serentak. Hendra nyeletuk:
“Kudengar yang sakit bukan Bonar, tetapi ibu kita.

Hal. 314 « 386


“Ibu kita?” cetus Tigor. “Oh, ya. Ya. Ibu...
Memang beliau sedang sakit.”
“Oh. Boleh saya menjenguk?”
Tigor menoleh padaku.
“He, kau. Coba lihat apa ibu sudah bangun.”
Aku tak mampu berdiri. Tigorlah yang berdiri,
la melongok ke dalam kamar tidur ibu sebentar, lalu
bergumam pelan:
“Masih...”
“Ah, biarlah. Jangan diganggu!” potong
Hendra, ramah, la memperhatikan kak Dima yang
keluar dengan cangkir-cangkir kopi panas. Tigor
memperkenalkan Hendra pada isterinya. Kak Dima
melongo. Lupa mengulurkan tangan. Tetapi Hendra
mengangguk ramah seraya menarik mundur
kembali tangannya yang teracung, la menyapa:
“Senang bertemu dengan kakak,” ia duduk
kembali. “Konon anak-anaknya banyak. Saya juga.
Kok tak kelihatan barang sepotong?”
“Mereka di... di... Puri?”

Hal. 315 « 386


“Puri?” dahi Hendra mengernyit. “Di kota ini
ada puri?”
Kak Dima menarik nafas. Lantas tersenyum.
“Maksud saya jalan Puri. Rumah kami di sana.”
“Ooo!” dan Hendra tertawa lagi. Ramah.
Polos. Tanpa maksud-maksud tersembunyi. Ciri
khas orang-orang di daerahnya. Sunda.
“Kapan tiba?” tanya kak Dima.
“Tadi malam. Dengan Garuda,”
“Lho. Di mana nginap?”
“Dirga Surya.”
“Oh...”
la meneguk kopi di depannya, lantas melirik
ke jam tangan. Dengan suara menyesal ia berkata
pada kak Dima dan bang Tigor:
“Wah. Waktu saya agak mendesak.”
“Eh, kok cepat amat,” desah kak Dima.
“Habis... eh. Kok saya pelupa!” lantas ia
jergegas keluar. Seorang laki-laki yang berdiri di luar
pintu mobil cepat-cepat membuka bagasi.
Hal. 316 « 386
Berkeranjang buahan, dodol garut, oncom
goreng kemudian tersusun di ruang tamu. Hendra
juga meletakkan lebuah koper kecil yang masih
baru. Ketika ia buka, isinya bermacam-macam
bahan pakaian dari harga yang mahal-mahal.
“Untuk keluarga di sini,” katanya,
mengangguk aan tersenyum ramah. Setelah itu,
barulah ia melihatku. Geleng-geleng kepala, dengan
sorot mata tajam berkilat.
“Boleh aku bicara sebentar dengan Bonar?”
Aku keluar dengan Hendra ke depan. Duduk di bibir
terras.
“Kenapa kau bungkam saja dari tadi? Kukira
tak ada hantu di sini,” katanya. Tertawa. Namun
matanya, mengejek. “Aku membawa ini untukmu,”
ia menyodorkan sepucuk surat. Baru juga kulihat
amplopnya, aku sudah mengenali tulisan Neneng.
Isinya dibuat dengan tergesa-gesa:
Suamiku.
Aku tahu keluargamu teramat membenciku.
Suratmu yang kuterima telah didahului oleh
sepucuk surat lain dari kakakmu, Rosmala.
Seharusnya aku senang menerima surat dari
Hal. 317 « 386
keluargamu. Sayang surat itu penuh dengan
kata yang tidak kumengerti. Zinah. Zinah.
Zinah! Lalu seorang gadis lain bernama Anna,
katanya harus berkorban untuk perzinahan
yang terjadi di antara kita. Kuterima semua
tuduhan itu, sayangku. Kuterima dengan hati
yang lapang dan jantung yang tenang.
Karena surat itu membuktikan satu hal yang
sangat ingin kuketahui: bahwa kau tidak
memandang sebelah matapun pada gadis
bernama Anna itu. Bonarku, kekasih. Sudah
sembuh benarkah sakitmu? Dan ibunda,
bagaimana, sudah sehatkah? Aku berdo'a
untuk kalian. Aku bermaksud menunggumu
dangan sabar. Tetapi waktu surat kak Ros-
mu datang kebetulan Hendra sedang di
rumah. Tentu saja setelah membaca isinya,
sukar bagiku untuk bersikap tenang
sebagaimana harusnya.
la sangat marah. Aku berhasil
menyabarkannya. Tetapi tidak berhasil
menahan keinginannya untuk menjemputmu
langsung ke Medan.

Hal. 318 « 386


Salamku pada keluargamu. Cium cinta dari
isterimu. Ttd.
NENENG yang rindu.
Di bawahnya tertulis nota pendek yang
kelihatannya sambil lalu:
“N.B. Kemaren aku ke dokter. Kau kan tahu,
sudah dua bulan menstruasiku terlambat.
Dokter bilang, positif. Wass.”

*
* *

Aku tersandar ke tembok.


Gigiku terhunjam dalam di bibir. Dalam.
Semakin dalam. Sama sekali tidak sakit, meskipun
aku ingin merasakan kesakitan itu. Neneng. Neneng
yang malang.
“... bagaimana?'., desak Hendra.
Apakah kukatakan saja terus terang,
kehadiran Neneng biar bagaimanapun tidak akan
diterima oleh keluargaku?

Hal. 319 « 386


“Yang kuinginkan jawabanmu. Bukan orang
lain,” ia seakan menebak jalan pikiranku.
“yah...”
“Cepatlah berganti pakaian.”
Aku terperanjat.
“Maksudmu...”
“Kita pulang bersama-sama. Bukankah begitu
dikatakan Neneng dalam suratnya?” suara Hendra
berubah tajam.
Aku terloncat. Tegak dengan tubuh tegang.
“Tidak mungkin...”
“Eh, apa pula itu?”
“Berilah aku waktu untuk...”
“Sorry, terlambat sudah!”
“Ini soal keluargaku. Kuharap padamu,
Hendra!“
“Apakah Neneng bagimu tidak termasuk
keluarga?!”
“Jangan memaksaku!”

Hal. 320 « 386


“Apa boleh buat!” tukasnya. Ketus. “Kalau
Perlu, aku bisa bertindak keras!”
“Kau... kau...”
la tertawa. Ramah, namun suara yang keluar
dari mulutnya, menusuk:
“Cobalah, bung. Aku tau kau pernah
menumbangkan pohon oak di Cijantung. Juga
menghancurkan bungkal-bungkal es dengan sekali
pukul. Tetapi semua itu hanya benda mati. Yang
tidak akan melawan biar dibagaimanakanpun juga.
Aku bukan batang kayu. Bukan balok es. Camkanlah
itu!”
Aku mencamkannya.
Mencamkan, ia adalah salah seorang guruku
di bidang tumbang menumbangkan dan hancur
menghancurkan itu. la murka. Tetapi ia tidak
menyerang, la tetap seorang guru. Yang selalu
mengingatkan pada anak didiknya:
“Tahan emosi. Pergunakan keakhlian-mu,
hanya untuk membela diri!”
Terenyuh, aku masuk ke dalam.

Hal. 321 « 386


Ibu rupanya sudah terbangun, la keluar
dibimbing kak Dima. Hendra setengah
membungkuk waktu mencium punggung tangan
ibuku. Ciri khas daerahnya lagi. Mata ibu tampak
keras. Kak Dima tentu telah menceritakan siapa
tamu kami hari itu.
Dalam mobil yang melaju dengan kecepatan
penuh meninggalkan rumah, aku menggerutu:
“Kau lihat. Ibu tak tega melepas aku pergi.
Artinya, kehadiran adikmu akan semakin tidak
disukai!” aku mengeluh. Panjang pendek. “Padahal
kau bisa bersabar, bersikap lebih bersahabat dan
memberi waktu barang sebentar.”
Hendra menyahut datar:
“Aku lebih mementingkan adikku. Lagipula
aku tak punya waktu. Besok aku harus sudah di
Jakarta lagi. Kau kan tahu aku harus siap-siap
menjalankan tugas praktek di Cape Kennedy!”
“Bah!”
la angkat bahu.
Di jalan Serdang, mataku sempat melihat
Copella meluncur ke arah yang berlawanan.

Hal. 322 « 386


Kulongokkan kepala lewat jendela. Dan mengenali
siapa yang duduk santai di belakang setir.
“Lily!” aku memanggil.
Tetapi mobil itu telah menjauh. Lalu
membelok ke jalan Sado. Jadi, ia bermaksud ke jalan
Pimpinan untuk...
“Masukkan kepalamu kembali,” rungut
Hendra. “Aku berjanji membawa kau dalam
keadaan utuh ke pangkuan Neneng. Bukan dengan
kepala yang buntung!”
“Berhentilah dulu. Putar kembali ke rumah,”
mohonku. “Aku harus...”
“Tak ada waktu. Beberapa belas menit lagi
pesawat akan take-off. Sudah ku-booking tempat
untuk dua orang.”
“Tunda saja!”
“Tidak bisa.”
“Tunda!”
la menatapku. Tajam. Lantas mendesis:
“Siapa gerangan gadis dalam Copella itu?”
Aku terhenyak.
Hal. 323 « 386
“Diakah yang bernama Anna?”
Kupejamkan mata.
“... ya,” sahutku, seenaknya.
“Barusan kau panggil dia Lily,”
“Nama lengkapnya Rosliana. Orangtuanya
memanggil dia Anna. Kupanggil dia Lily. Supaya tak
aneh di lidah orang Sunda.”
Hendra tertawa. Hambar.
Dan dalam hati, aku menangis!
Setelah membayar sewa taxi yang ia carter
selama di kota ini, Hendra setengah menyeretku
memasuki airport. Kami adalah penumpang
terakhir yang koper-kopernya belum dimasukkan ke
pesawat. Dan juga merupakan penumpang terakhir
yang masih belum ke pesawat yang kebetulan
jalurnya sedang dihalangi oleh sebuah “SAS” yang
sedang berputar menjauh, sehingga keterlambatan
kami bisa dimaafkan.
Baru saja kakiku menginjak tangga pesawat
waktu terdengar seruan sayup-sayup:
“Bonar! Bonar! Bonar, ..!”

Hal. 324 « 386


Aku menoleh.
Samar-samar kulihat seseorang dengan panik
menerobos di antara kerumunan manusia yang
memenuhi halaman depan dan sekitar ruang
tunggu.
“Cepatlah. Jangan bikin malu!” bentak Hendra.
Gadis itu berhasil lolos sampai ke pinggir
landasan. Beberapa orang petugas menahannya.
“Lily!” bisikku, setengah menangis.
Hendra menyeret masuk.
Dan petugas-petugas di pinggir landasan,
menyeret Lily ke tepi.
Pintu tertutup.
Rasanya seperti pintu guha yang terhempas.
Dan aku tidak punya jampi-jampi ajaib untuk
membukanya.
Aku tidak berani melihat keluar jendela.
Takut, air mata ini jatuh berderai.

Hal. 325 « 386


Pesawat melangit. Membawa jasadku pergi
secara paksa, meninggalkan hati dan jiwaku
terkapar di pinggir landasan.

*
* *

Hal. 326 « 386


15

IKAT pinggang di kursi pesawat kubiarkan


tergantung begitu saja ketika burung raksasa itu
naik di Medan dan turun di Jakarta. Makan siang
yang dihidangkan stewardess sama sekali tidak
kusentuh, luga masakan Padang di rumah makan
“Roda” langgananku di Cipanas, beberapa jam
kemudian. Di kelokan-kelokan tajam Citatah,
menjelang Bandung, pku muntah hebat. Hendra
acuh tak acuh. la sudah terlalu kesal melihat kekeras
kepalaanku. Dan akupun faak berharap diacuhkan
oleh Hendra. Bahkan mung-fin oleh adiknya,
Neneng.
“... kalau nanti aku sudah di Amerika,”
bersungut-sungut Hendra menjelang tiba di rumah
yang rasanya telah bertahun-tahun kutinggalkan.
“Kuharap aku tidak mendengar kabar buruk dari
Neneng!”

Hal. 327 « 386


Matahari senja yang temaran, menyapu sebuah
rumah semi permanen yang kecil mungil waktu taxi
yang membawa kami meluncur memasuki halaman.
Rasanya baru sedetik taxi yang lain meluncur
meninggalkan rumah lain yang bersiram matahari
pagi yang cerah. Di bola mata ini masih melekat
bayangan sosok tubuh seorang gadis meronta-
ronta dalam pegangan beberapa orang petugas
landasan. Dan bayangan itu terus melekat, sampai
pintu rumah terbuka dan seorang gadis lain berlari-
lari menyongsong kemudian memelukku seraya
menangis tersedu-sedu.
“Bonar-ku. Sayangku!” isaknya di dadaku.
Bayangan gadis yang meronta-ronta di bola
mataku, mengecil.
“Mengapa tulang pipimu luka, kasihku?”
Jari jemari yang lembut dan hangat menyapu
cacat di tulang pipiku.
Bayangan di bola mata itu membesar lagi.
“Bawa patung kesayanganmu itu ke dalam.
Neng. Tak malu kau dilihat tetangga?”

Hal. 328 « 386


Aku tertatih-tatih dibimbing oleh Neneng
masuk ke dalam rumah.
Di belakang, Hendra menyusul dengan koper
dan tasku serta tasnya sendiri di kedua tangannya.
“Sial. Aku jadi kuli!” umpatnya seraya
melemparkan koper itu di ruang depan.
“Kau pucat, Bonar. Tubuhmu dingin. Sakitkah kau?”
Di belakangku, Hendra mencak-mencak:
“Hei, apakah aku tidak diperhatikan? Dari
pagi aku belum mandi!”
“Pulanglah ke isterimu!” rungut Neneng,
kesal.
“Eh, apa pula ini? Bukannya ucapan
terimakasih, malah …”
“Habis, tak kau lihatkan penderitaan Bonar?
la tentu mabuk dalam perjalanan...”
“Bukan lagi mabuk. Seluruh isi perutnya la
pindahkan ke lantai mobil. Kasihan supir taxi yang
malang itu!”
Neneng membawaku ke kamar tidur.

Hal. 329 « 386


“Beristirahatlah sayangku. Akan kusediakan
air hangat untuk kau mandi, dan setelah itu... hem,”
ia kecup bibirku. Panas berapi-api. “Kusiapkan pula
kuda-kuda kita untuk berpacu. Okey?”
la melambai waktu keluar dari kamar.
Dan tersenyum, waktu masuk kembali tak
lama kemudian.
“Hendra sudah pulang. Kau mau mandi sekarang?”
Aku melihat lukisan kereta kuda di tembok
kamar. Aku tidak melihat bayangan Lily yang
meronta-ronta. Pelan-pelan, aku mengangguk.
Neneng membantuku bangun dari tempat tidur
kemudian memeluk dan menciumku tak puas-
puasnya. la terus memeluk dan menciumiku sampai
masuk ke kamar mandi, bahkan sampai tubuhku ia
ceburkan ke dalam bath-kuip. Air hangat berkecipak
tumpah ke lantai.
“... kau tega membiarkan aku mandi sendirian?”
bisikku. Lirih.
“Selalu bersama, bukan?” sahutnya, lantas
kaki-kakinya melangkah masuk ke bath-kuip. Satu
persatu. Gemulai, la kemudian membungkuk. Air
berkecipak, semakin banyak tertumpah. Tangannya
Hal. 330 « 386
melepas kancing-kancing pakaian di tubuhku. Satu
persatu. Gemulai. Belum semua kancing terbuka
lepas, Neneng sudah tak kuasa menahan diri.
“Bonar, Bonarku sayang,” erangnya lirih,
lantas menjatuhkan diri di atas tubuhku. Bibirku
habis dilumatnya.
Bak itu semakin sempit. Sempit!
Airnyapun sudah habis tertumpah.
Tergenang di lantai. Genangan itu memercik-
mercik. Memercik. Dan memercik lagi. , .!

*
* *

NENENG mendengus waktu ia letakkan


secangkir kopi susu panas di atas meja tulisku.
Dengan menggerakkan ekor mata sedikit, dapat
kutangkap warna sendu di kulit pipinya. Ada
detakan halus di dada. Tetapi terus juga aku menulis
sesuatu di catatan, sampai ia beranjak dari
sampingku dan berjalan ke sofa di bawah lukisan
dari cat minyak pemandangan nelayan-nelayan
menarik pukat yang terpaku di tembok. Tanpa
Hal. 331 « 386
menoleh aku tahu ia tercenung di sana sesaat.
Detakan di dada ini kian menjadi. Naluriku
mengatakan Neneng sedang menekan sesuatu yang
teramat mengganjal hatinya.
Kopi susu itu kureguk sedikit.
Dan mataku kembali menelan huruf-huruf
yang tertera di lembaran Het Adat-reht-nya Teer
Haar. Di belakangku, Neneng mengambil jahitanan
nya yang tadi ia letakkan di atas sice kecil dekat sofa.
Dengusan itu terdengar lagi. Lewat hidungnya.
Keras.
“... kau tak minum?” tanyaku sekedar
mengurangi kekakuan yang ganjil itu.
“Sudah!”
Padahal ia hanya sebentar di dapur. Aku tahu
ia tidak minum. Kuteruskan membaca. Lalu:
“... Bonar.”
Barulah aku menoleh. Neneng hampir
menyelesaikan popok kesekian yang telah ia buat
beberapa hari belakangan ini. Kulihat tangannya
agak gemetar.
“Nggh?” lenguhku, karena ia tak juga mulut.
Hal. 332 « 386
Dengan mata terus pada kain yang ia jahit,
Neneng bergumam:
“... aku khawatir kau telah menyimpang dari
tujuanmu, Bonar.”
“Ah?” aku tercengang. “Maksudmu?”
“Seingatku, topic thesis yang telah kau ajukan
pada dosen-dosen penguji di fakultas berjudul
SEBUAH STUDI PERBANDINGAN ANTARA HAK MILIK
ADAT DENGAN PROYEK-PROYEK PEMERINTAH &
SWASTA....”
“Kau mengingatnya dengan tepat,” pujiku.
la tersenyum. Lirih.
“Lantas?” tanyaku karena ia diam lagi.
“Yang kau pelajari akhir-akhir ini agak
menyimpang dari thesis itu. Aku senang kau jadi
kutu buku. Asal, yang kau baca dan terus telaah
sepanjang waktu adalah hal-hal yang ada sangkut
pautnya dengan masa depanmu. Tetapi, sekali lagi,
kau telah menyimpang. Yang kau pelajari akhir-
akhir ini menjurus ke soal-soal perkawinan...,” ia
memandangku. Tersenyum lagi. Lirih. “Sebagai
selingan, soal perkawinan memang menarik. Tetapi

Hal. 333 « 386


mengapa khusus tentang sistim patriarchaat di
Batak?”
“Oh!” aku menarik nafas lega. Lantas
tertawa. Semakin lega. “Aku memang orang Batak,
Neng. Tetapi aku lahir dan besar di Medan. Belum
sekalipun pulang ke kampung halamanku di
Tapanuli sana. Dan sama sekali belum pernah
kupelajari adat serta hukum-hukum yang berlaku di
kalangan suku bangsaku sendiri. Aku hanya tahu
sedikit-sedikit, lantas aku jadi berminat untuk
mempelajarinya kembali... sekedar refreshing
pelajaran hukum adat yang sama-sama kita peroleh
waktu di tingkat persiapan dulu.”
“Tetapi mengapa harus dikaitkan dengan
sistim matriarchaat di Minangkabau?”
Aku terjengah. Namun dapat juga menjawab:
“Ada dua pertentangan yang keras di antara kedua
sistim itu. Dan masih berlaku sampai sekarang.”
“Tanpa kau bilangpun aku tahu tentang itu,”
ia tertawa. Enak sekali. “Sayang tidak kulihat ada
hubungannya dengan thesis yang kau buat,” la
menunjuk ke rak di mana buku-buku literature,
ensiclopedi, diktat-diktat tersusun rapih bersama

Hal. 334 « 386


cassette stereo, amplifier, kotak penyimpanan
televisi dan seperangkatan barang pecah belah hias.
Jari telunjuknya terarah lurus ke sebuah buku kecil
tetapi sangat tebal dengan kulit sampul berwarna
hitam legam.
“Di bukunya Engelbrecht itu...,” katanya
dengan suara ditekan. “Terdapat segudang
peraturan-peraturan yang lebih tepat untuk kau
baca. Kalau mau kuingatkan, di halaman 2051
sampai 2216 terdapat segudang peraturan-
peraturan tentang Agraria, la beri bab dengan judul
Agrarische Bepaling-en...”
“Otakmu luar biasa!” pujiku sekali lagi.
la tertawa.
“Habis, waktu masih kuliah dulu, setengah
mampus menghafal pasal-pasal yang penting.
Sampai melotok isi kepala. Eh, tak tahunya ketika
tiba waktu ujian lisan, pak Sumarsono justru
menanyakan apa yang tidak kita perhatikan sama
sekali. Bab ini di halaman berapa. Pasal anu di
bagian mana. Gila beeng!”

Hal. 335 « 386


Tawa kami berderai. Namun diam-diam aku
ada sesuatu yang tersembunyi di balik tawanya
yang enak.
Dan memang aku tidak lama menunggu.
Karena ia sudah berkata lagi:
“Jadi kau memang sudah menyimpang. Mau
mengakuinya?”
“Tidak,” jawabku tegas. “Antara perkawinan
dengan tanah, selalu ada hubungannya.”
la gelengkan kepala ke kiri ke kanan. Lemah.
Dan kemudian terhenti sama sekali waktu ia
memasukkan benang ke lobang jarum. Setelah
berhasil, ia teruskan menjahit.
“Aku tidak melihat hubungan antara
perkawinan dua suku dengan kasus-kasus
mengenai tanah milik adat yang akhir-akhir ini
sering bentrok dengan usaha-usaha proyek
pemerintah untuk mengikuti laju pembangunan.
Tak ada, Bonar. Tak ada sama sekali. Alasanmu tak
usah kau kemukakan. Kau pintar bersilat lidah. Itu
baik, untuk seorang calon Sarjana Hukum. Tetapi
jangan lidah itu kau putar belit di depanku. Aku akan
segera tahu, alasanmu dicari-cari. Hayo, mengaku.”
Hal. 336 « 386
“Ah, kau!” aku mengalah. Pelan-pelan
kusingkirkan Teer Haar dan Van Vollen Hoven di
depanku. Kuambil sebuah majalah terbitan Jakarta
yang secara berturut-turut memuat kasus tentang
kericuhan soal tanah di Ujungpandang. Tetapi yang
kubaca bukan mengenai kasus itu. Melainkan
sebuah kisah bersambung. Tentang cinta, apalagi!
“Bonar?”
“Nggh?” mataku tidak beranjak dari majalah.
A Hanya telingaku yang menajam.
“… nama lengkap Anna sebenarnya
Marianna. Bukan Rosliana, toh?”
Aku menelan ludah. Tak berani mengalihkan
wajah dari majalah.
“Kenapa rupanya?” bisikku, parau.
“Sh, bukan apa-apa. Aku hanya ingin tahu,
yang bernama Anna lain dengan yang bernama
Lily.”
“Oh...!”
Diam lagi. Ada rasa cemas menyelinap di dada.
“Bonar.”

Hal. 337 « 386


“Heh?”
“Lihat dong wajahku!” rungutnya. Setengah
merajuk, setengah gusar.
Enggan, aku melihatnya. Wajah Neneng datar
waktu bertanya:
“Gadis bernama Lily itu orang Minang, bukan?”
Aku terdiam seketika. Neneng memandang
ku, menanti jawab. Karena tahu aku tidak bisa
memberikan jawaban yang masuk akal, akhirnya
aku hanya diam saja seraya mengelakkan matanya.
Huruf-huruf di lembaran majalah menari-nari di
depan mataku. Gambar-gambar sepasang kekasih
yang sedang bertengkar, seperti meletup-letupkan
suara mereka ke telinga. Apakah letupan-letupan
itu akan segera menggema dari mulut Neneng,
tidak ubahnya mitraliyur yang membantai habis
musuhnya yang sudah tidak berdaya?
Neneng tertawa.
Tak enak lagi di telingaku, mesti volume
suaranya masih seperti tadi.
“Sudah larut,” katanya. “Pagi-pagi benar aku
sudah masuk kantor.”

Hal. 338 « 386


Lantas ia berjalan melewatiku. Melenggang.
Tak acuh tampaknya.
la masuk ke kamar. Menutupkan pintu. Aku
sudah takut kalau ada suara terhempas. Tetapi
daun pintu tertutup tanpa suara. Kupandangi pintu
kayu berwarna coklat kehitam-hitaman itu. Licin
berkilat, fetapi aku tahu, wajahku kusam. Ingin
mataku menembus daun pintu itu. Melihat apa
yang tengah dilakukan Neneng. Berbaring di atas
tempat tidur, seraya menangkupkan wajah ke
bantal. Menangis. Atau tercelentang menatap
langit-langit kamar. Tertawa. Pahit.
“... darimana kau tahu?” aku berbisik
sendirian.
Buku-buku literature bahkan majalah di atas
meja tulisku, tau-tau telah berubah jadi semak
berduri yang menganga mengerikan. Mengancam
ku. Aku tidak berani menjamahnya. Aku hanya
melihatinya. Dan takut oleh ancamannya. Takut
oleh ejekannya: “Kau bodoh. Kau terlalu menyolok
membukai lembaran-lembaran ini. Padahal seharus
nya kau membuka lembaran-lembaran buku lain.
Tentang agraria. Tenang pidana. Tentang perdata.
Tentang pernotarisan. Bukan tentang perkawinan!”
Hal. 339 « 386
Kutangkupkan wajah di kedua telapak tangan.
Dingin. Dan menyakitkan.
Di balik rasa dingin itu, di balik rasa sakit itu,
di balik kehitaman kelopak mata yang terjepit itu,
aku lihat lembaran-lembaran lain. Lembaran-
lembaran surat yang sudah tidak terbilang
banyaknya selama bulan-bulan terakhir ini. Jelas
terukir tulisan tangan Lily yang indah:
“Kau kejam! Kau tinggalkan aku, tanpa kau
beritahu mengapa kau harus pergi dengan cara
begitu. Minggat diam-diam. Tanpa pesan. Bahkan
tanpa ucapan selamat tinggal. Siapa laki-laki yang
menyeretmu naik pesawat, Bonar?”
“Seorang sahabat,” kujawab surat pertama
Lily yang kuterima minggu pertama setelah aku
kembali berada di Bandung. “Kau baik-baik saja,
sayangku? Aku merindukanmu. Aku sebenarnya
kehilangan kau.”
“Aku lebih-lebih merasa kehilangan.
Sahabatmu yang bagaimanakah dia itu, sampai ia
berhak merampas engkau dari sampingku?”
“la seorang co-pilot,” aku berdusta dalam
suratku yang berikut, “la datang, ia memaksa. Kau
Hal. 340 « 386
tentu maklum, Lily, dengan dia aku tidak usah harus
membayar apa-apa. Ticket pesawat, ongkos taxi,
dan seorang teman ngobrol dalam perjalanan yang
pasti membuatku merasa sangat kesepian, karena
harus meninggalkan engkau. Aku takut untuk pamit
padamu. Takut kalau aku tak ingin pergi, takut tak
sanggup menahan air mataku... Mengapa kau susul
aku ke Polonia?”
“Mengapa? Karena aku mencintaimu. Aku
tidak mau kehilangan kau. Tahukah bahwa aku
hampir gila ketika abangmu Tigor mengatakan kau
baru saja berangkat ke airport? Tanpa menanyakan
sebabnya lagi, kukebut Copella-ku membelah jalan
raya. Tiba di airport, kuparkir kendaraan itu bukan
di tempat yang semestinya. Tetapi di depan pintu
masuk. Dan sebuah mobil patroli lalu lintas berhenti
di belakangnya. Aku tak perduli. Aku terus
menerobos masuk. Kulihat kau pergi. Lalu polisi-
polisi itu datang. Aku kena tilang...!”
Aku tertawa membaca suratnya yang itu.
“Kau sudah ke Pimpinan lagi?”
“Dua kali dalam tiga bulan ini. Aku takut
terlalu sering ke sana, seperti halnya kau pasti takut

Hal. 341 « 386


datang lagi ke rumahku di Jalan Bhakti. Apa salahku,
Bonar? Apa salahmu, kekasih? Apa salah kita?”
“Salahnya, aku orang Batak. Dan kau orang
Minang,”
“Itu picik namanya. Di kota ini dan aku yakin
begitu juga di kota-kota lain bahkan di Sumatera
Barat sendiri, sudah ada kaum lelaki yang merasa ia
juga mempunyai hak dalam rumah tangga. Tidak
saja sebagai suami. Tetapi terutama sebagai ayah.
Sayang, ninik-mamak masih mencengkeramkan jari
jemarinya kian kemari...”
“Kami juga begitu. Dulu terpantang seorang
Lubis kawin dengan Lubis, misalnya. Kini tidak. Yang
penting jangan sampai menyimpang dari garis-garis
yang sudah ditentukan oleh agama. Bukan adat
semata. Kita bisa merombaknya, tetapi tantangan
tidaklah terlalu sedikit...”
Dengan gembira suatu hari ia menulis surat:
“Orangtuaku sudah menyerah. Asal aku tidak
kawin dengan seorang Nasrani saja, begitulah
syarat mereka. Bagaimana dengan kau?”
“... oh, nasib. Aku benar-benar putus
hubungan dengan Medan. Pernah kutulis surat. Tak
Hal. 342 « 386
berjawab. Kutulis lagi. Tetap tak ada jawaban.
Lantas aku jadi kapok. Biarlah. Terserah mau dicap
apa aku oleh mereka. Tetapi bagiku, Tigor tetap
abangku. Ros tetap kakakku. Dari ibunda, tanpa dia
aku tidak akan pernah tahu dunia ini. Tanpa dia, aku
tak akan pernah bertemu denganmu. Tanpa dia,
aku tidak akan pernah mengenal arti cinta yang
sesungguh-sungguhnya cinta!” kutulis dalam kertas
surat berkembang-kembang indah.
“Tuhan jadi saksi kita, sayangku, la tahu aku
selalu berdo'a untukmu. Keselamatanmu,
ketenteraman hatimu. Bagaimana ujian-ujianmu,
sayangku. Sukses?”
“Berkat do’amu. Terimakasih.” aku berbasa-
basi.
“Kini aku sibuk dengan tentier dan kuliah-
kuliah tambahan menjelang tibanya saat aku harus
mepertahankan thesis. Ngomong-ngomong les tata
bukumu bagaimana? Dan kawan-kawan kita si Udin
yang konyol dan Sahara si janda. Baik-baik
mereka?”
“Mereka sudah kawin diam-diam, sayangku.
Aku cemburu pada Sahara. Ia janda tetapi cintanya

Hal. 343 « 386


berhasil. Ah. Les-ku sudah selesai. Malah aku sudah
mulai bekerja secara tetap di perusahaan papa.
Dengan begitu aku tidak terlalu kesepian tanpa
akau. Selamat malam, sayangku. Bulan bersinar
lewat jendela kamar waktu kutulis surat ini. Bulan
itu mencumku. Kuharap bulan tidak menciummu
pula. Kalau ia lakukan itu, si bulan akan kulempar
dengan sepatuku…!”
Suara menggelegar membuatku terkejut.
Aku berjalan ke jendela. Mengintai lewat
gordiyn tipis, ke arah kegelapan di jalan. Bayangan
sebuah beca lewat seperti siput yang merangkak
kelelahan. Ada mobil menderu di sampingnya. Air
yang tergenang di aspal berkecipak, sebagian
tersembur ke becak. Mungkin penumpangnya
memaki-maki tujuh turunan. Dan mobil itu terus
laju dengan lampu depan yang terang benderang,
menerpa butir-butir air berupa jutaan garis-garis
putih gemerlapan berjatuhan dari langit yang
kelam.
Aku kembali ke tempat dudukku.
Terhenyak di sana.

Hal. 344 « 386


Darimana Neneng tahu, Lily bukan Anna, dan
Lily adalah seorang gadis Minang? Hendra tidak
sempat bertemu dengan gadis itu waktu ia
menyeretku dari Medan. Waktu ia berangkat ke
Amerika untuK menerima tugas di Cape Kennedy ia
dibekali dengan kepercayaan bahwa Lily adalah
Anna. Dan sampai waktu itu, bagi Neneng Lily juga
adalah Anna. Lantas darimana ia tahu? Sedangkan
surat menyurat yang manis antara Lily denganku
selama berbulan-bulan ini, mempergunakan alamat
fakultas tempatku studi. Dan Neneng sudah tiga
tahun ini tidak menginjak kampus lagi. Semenjak ia
memperoleh gelar Sarjana Muda dan diterima
sebagai pegawai staff salah satu perusahaan relasi
Hendra.
Aku tersentak ketika suara menggelegar itu
meledak lagi. Guntur dan petir sahut menyahut.
Lantai bergetar lembut. Disusul oleh suara berisik
dalam kamar. Lalu jerit halus dari mulut Neneng.
Seketika, aku terlompat dari tempat duduk. Berlari
ke kamar tidur, menerjang pintu sampai terbuka.
Dalam cahaya lampu violet yang temaram, kulihat
perempuan itu tengah berjongkok memungut
sesuatu dari lantai. Tombol di tembok dekat pintu,
kutekan. Kamar itu menjadi terang benderang.
Hal. 345 « 386
Neneng memandangku dengan wajah pucat. Di
tangannya, ia memegang lukisan kereta kuda yang
kaca dan bingkainya sudah pecah berantakan...

*
* *

Hal. 346 « 386


16

PAGI harinya Neneng bangun wajah kusut


dan mata kemerah-merahan. Selesai sarapan pagi
ia berdandan di kamar. Seperempat jam kemudian
ia hembuatku heran. Di tubuhnya yang menonjol
dalam lingkaran besar pada perut tidak melekat
pakaian seragam yang biasa, la mengenakan gown
hamil yang berenda tepi-tepinya, berpoles make-up
menyolok, sandal bermanik-manik gemerlapan
serta tas bulu lemang yang belum pernah ia bawa
ke kantor tempatnya bekerja.
“Ada arisan pagi ini?” tanyaku ta'jub. la
tersenyum. Kecut.
“Aku mau ke Cipaganti...,” sahutnya.
“Ooo, aku mengerti. Rupanya kau dan isteri
Hendra belum berhenti bersaing dalam soal mode
ya? Mau apa kau ke sana?”

Hal. 347 « 386


“Ah, pelupa benar kau. Sonya minta tolong
agar kubantu pagi ini mempersiapkan segala
sesuatunya untuk penyambutan. Bukankah Hendra
nanti sudah kembali dari Amerika?”
“Kau tak ke kantor?”
Ia geleng kepala. Dari meja kepunyaannya ia
ambil sebuah map merah yang kemudian ia
serahkan padaku.
“Isinya surat-surat untuk ditandatangani.
Tolong bawakan sekalian nanti sambil kau ke
kampus. Serahkan pada Pujiastuti agar ia teruskan
pada kepala bagian. Kalau ditanya, bilang saja aku
sakit. Mau kan?”
“Asal dosanya kau yang tanggung!” rungutku.
Ia tertawa manis.
Mengecup pipiku, lantas melenggang keluar rumah.
Baru juga sampai di pintu, ia sudah memutar
tubuh dan bertanya:
“Kau tentier sampai sore hari ini?”
“He-eh.”

Hal. 348 « 386


“Pulangnya, terus saja ke Cipaganti ya?
Kutunggu!”
Sebuah potret teman-teman mahasiswa di
ruang depan kuturunkan dari tembok. Bingkai dan
kacanya kulepas. Ukurannya sama besar dengan
lukisan kereta kuda di kamar. Sementara menunggu
selesainya pesanan bingkai baru tak ada salahnya
bingkai ini kupakai. Lukisan kereta kuda itu
kupakukan kembali di tempat semula, dengan paku
yang lebih besar dan panjang agar tidak goyang atau
jatuh lagi oleh ledakan guntur yang jauh-jauh di
langit. Setelah selesai, aku memandanginya dari
arah tempat tidur. Kuda-kuda itu terus berpacu.
Aneh, tampak agak lesu. Mungkin karena
bingkainya yang lebih jelek dari yang asli.
“Sabar, sabar...,” aku membujuk. “Lari saja
terus, kuda-kudaku. Larilah, keretaku”
Sambil menyenandungkan lagu lama itu, aku
membereskan rumah yang agak berantakan di
sana-sini dan tidak sempat diurus oleh Neneng.
Setelah itu ganti pakaian. Mengambil map merah
punya Neneng, beberapa buah buku dan catatan,
lantas mengunci rumah, setelah lebih dulu
mengeluarkan Vespa yang semenjak Neneng hamil
Hal. 349 « 386
besar beruntung aku bersenang-senang
memakainya sepuas hati. Sebelum berangkat ke
Dipati Ukur, terlebih dahulu aku melarikan Vespa
tenang-tenang ke jalan Asia Afrika. Aku turun di
kantor tempat Neneng bekerja tak jauh dari
Perapatan Lima, memasuki pintu kaca dorong, naik
tangga ke lantai atas dan berjalan ke meja
Pujiastuti, rekan sejawat isteriku.
Langkahku tenang. Puji sedang tekun mengetik.
Tenang.
“Hallo,” sapaku.
“Hallo... hai, bung Bonar, tumben!” sahutnya.
“Ada titipan nih. Sayang, tanpa komisi!”
la tertawa.
Dan waktu aku mau pamit, cepat-cepat ia berkata:
“Sebentar. Aku juga ada titipan.”
Aku menunggu dengan sabar. Dan tenang, la
mencari-cari di laci meja. Lama baru ketemu.
Rupanya terselip di antara surat-surat di sebuah
map. Sebuah amplop kuterima dari tangannya.
Kubaca tulisan di sampul depan. Untuk Neneng.

Hal. 350 « 386


Dan rasanya, tulisan itu pernah kukenal. Waktu
kubalikkan, tak ada alamat si pengirim.
“Baru sampai tadi,” kata Pujiastuti. “Neneng
berhalangan?”
“Sakit!” jawabku.
Lantas bergegas turun. Di tangga, aku tak
sabar. Kuperhatikan stempel pos di amplop. Tertera
kota alamat si pengirim: Medan. Jantungku
berdetak. Tak perduli pada satu dua orang yang naik
turun tangga, amplop surat kusobek. Isinya cepat-
cepat kukeluarkan. Dan setelah memaparkannya di
depan mata dan memperhatikan tidak saja tulisan
tetapi juga cara-cara si penulis menggoreskan pena,
hati kecilku segera mengingatkan. Ini surat
Rosmala!
la bertanya apa kabar Neneng. Penuh
persahabatan. Bahkan ia menyerahkan juga
beberapa hal yang perlu diperhatikan Neneng agar
kandungannya yang pertama tidak menyusahkan,
dan kalau nanti lahir berjalan dengan lancar.
Pada baris berikutnya kubaca:
“Surat terakhir adik telah kuterima. Isinya
dapat kumengerti. Aku tak berdusta, Neneng. Buat
Hal. 351 « 386
apa? Toh kau telah kuanggap adikku sendiri. Bukan
saja karena kau isteri Bonar, tetapi terutama karena
kau juga perempuan seperti aku. Di antara sesama
perempuan yang sudah intim seperti kita, tak perlu
ada, yang disembunyikan. Asal tujuannya baik.
Sungguh lho, dik. Kuharap, agar jaga Bonar
baik-baik. Lalai sedikit, malanglah kau. Lily itu
berbahaya, la tidak saja telah berhasil menyamping
kan Anna dari hati Bonar. la juga bisa
mengenyampingkan kau. Oh ya. Anna sudah
menikah. Kepalang tanggung, perkawinan itu
diteruskan juga. Masih dengan anak famili. Kadang-
kadang mereka berkunjung juga ke rumah. Tertitip
salam pengantin baru, untukmu.
Tentang keluarga di sini…,”
Kertas surat itu terlepas dari tanganku.
Aku tersandar lemas ke tembok. Lututku
gemetar. Dan sepasang mata ini, betapa perih!
“Milik Anda-kah ini?”
Tersentak aku oleh pertanyaan itu. Seorang
lelaki berpakaian necis dengan dasi yang lebar di
depan dada, menyodorkan kertas surat yang
rupanya telah ia pungut dari lantai. Buru-buru aku
Hal. 352 « 386
menerimanya, bergegas turun ke bawah. Di sana,
baru aku ingat belum mengucapkan terimakasih.
Waktu aku menoleh, laki-laki tadi telah tidak
kelihatan lagi. Sebuah pintu baru saja tertutup. Dan
di mataku yang terpentang lebar, aku tidak melihat
anak-anak tangga. Tidak melihat ruangan-ruangan
kantor yang megah itu. Tidak melihat apapun di
sekitarku.
Kecuali ini, kebencian Rosmala terhadap
Neneng, telah berubah jadi jalinan persahabatan
yang intim antar perempuan. Semata-mata karena
seorang lelaki yang dianggap telah menghina dan
merendahkan martabat kaumnya. Karena ia benci
lelaki itu. Dan lelaki itu adalah aku. Adik kandungnya
sendiri!
“Tega nian kau kak Ros!” jerit hati kecilku,
berjalan gontai ke tempat Vespa terparkir,
menstater lantas melarikannya kencang-kencang
membelah lalu lintas yang ramai, dengan sudut-
sudut mata yang basah oleh butir-butir air bening...
Pertanyaan-pertanyaan yang mengerikan itu
berakhir juga. Kutinggalkan ruangan di mana
berderet-deret meja berlapis beledru hijau yang di
belakangnya duduk dosen-dosen penguji ber
Hal. 353 « 386
tampang seperti jaksa penuntut umum yang
bermuka kejam. Peluh membanjiri sekujur tubuhku
waktu beberapa orang rekan litang menyongsong
disertai rentetan pertanyaan:
“Bagaimana? Sukses? Apa saja yang mereka
tanya? Kudengar ada suara gebrakan tadi. Pak
Nu'man menendang meja lagi seperti biasa, kalau
sedang marah? Apakah kau...”
Kutepiskan tangan-tangan yang memegangku.
Kujauhi rekan-rekan yang mengerumuniku.
Dasi yang terasa mencikik leher kurenggut dengan
tangan yang gemetar. Suara-suara menggerutu
terdengar bergaung di belakangku. Lalu suara
seseorang yang memanggil nama temanku yang
bersamaan waktunya diuji denganku:
“Sulaiman. Silahkan masuk...!.”
Terbayang lutut Sulaiman yang goyah selagi
melangkah masuk ke dalam ruangan. Mata
setengah terpejam. Takut. Dan waktu kubuka mata,
aku tidak melihat tuan-tuan jaksa yang tidak kenal
belas kasihan itu. Aku melihat seseorang berlari dari
bangku taman dengan kedua lengan terkembang.
Berlari tersendat-sendat membawa perutnya yang
Hal. 354 « 386
berat, la kemudian memelukku dengan hangat. Dan
cukup bijaksana untuk tidak bertanya sepatahpun
juga sampai kami pulang ke rumah.
“Tidurlah sekarang, suamiku,” bisiknya
lembut seraya mengecup jidatku dengan penuh
kasih. “Sudah satu bulan lebih kau kurang istirahat
karena memikirkan ujian. Kini segalanya telah
berakhir bukan?”
“Belum, Neneng. Belum...,” keluhku.
“Ya, aku tahu. Aku tahu. Kata putus baru akan
diumumkan dua hari mendatang. Percayalah akan
dirimu. Do'aku sudah bertumpuk. Tuhan pasti
mengabulkannya. Dan suamiku dua hari lagi sudah
berhak memperoleh gelar...”
Aku tidak sabar menunggu selama itu.
Pagi-pagi benar sehari setelah ujian, aku
telah ngebut ke fakultas. Ingin mengetahui situasi.
Ingin melihat wajah dosen-dosen penguji, kalau-
kalau ada gelagat di mata mereka yang bisa kupakai
pegangan apakah kemaren aku telah
mengecewakan dosen- dosenku atau boleh terbang
ke rumah untuk berpesta pora. Tetapi di kampus
aku tidak menemukan siapa-siapa. Hari itu rupanya
Hal. 355 « 386
liburan fakultatip. Hanya segelintir mahasiswa yang
berkeliaran. Kantor tata usaha buka. Mungkin ada
yang lembur. Iseng-iseng aku melangkah ke sana.
Seorang pegawai mengangguk seraya bercanda:
“Kalau goal, jangan lupa traktir kita-kita ini
ya?”
Aku tertawa kecil sebagai jawaban.
Entah mengapa, kaki-kaki ini tertarik untuk
melangkah ke kotak surat-surat. Banyak surat-surat
lama yang belum diambil. Tidak sedikit pula yang
masih baru. Dan jantungku bagai copot rasanya,
waktu di antara surat-surat yang baru itu aku lihat
sebuah amplop yang bagian depannya ditulisi
namaku. Surat Kilat. Meskipun tanpa alamat si
pengirim, aku telah mengenal tulisannya. Dengan
kaki-kaki yang seperti mau lumpuh kuseret tubuhku
ke bawah sebatang trohon beringin berdauan
rindang di belakang kantor t ata usaha. Sepi di sana.
Hanya seekor anjing kurap sedang mendengus-
dengus dalam tong sampah.
Dengan dada hampir meledak, kuperhatikan
amplop surat itu. Ada catatan yang menunjukkan
bahwa surat itu tiba kemaren. Saking dipenuhi oleh

Hal. 356 « 386


pikiran tentang ujian saja, aku sampai lupa untuk
mencek kotak pos. Tetapi itu lebih baik. Bukankah
kemaren Neneng tidak lepas-lepas dari sampingku,
kecuali waktu aku masuk ke ruang ujian? Hem. Apa
yang mau diceritakan Lily? Apakah ia mau
mengucapkan selamat? Berdo'a untuk suksesku?
Gemetar, kertas surat kupaparkan di depan mata.
Pelan-pelan, aku baca isinya:
Sayangku, Bonar.
Aku tidak bermaksud mengganggu
waktu ujianmu. Tetapi, kekasih, ada suatu
peristiwa mengerikan telah terjadi di sini. Aku
tak kuat menanggungnya sendirian. O,
mengapa... mengapa! Bonar, Bonar-ku. Kau
cinta padaku, bukan? Kau cinta padaku?
Tidak, Bonar. Aku tidak tahan
menanggung peristiwa ini. Aku akan datang
padamu. Kau harus kawin denganku, Bonar.
Kau adalah milikku. Kau tak boleh kawin
dengan perempuan lain. Kau tak boleh
dijamahnya. Kau bukan miliknya! Kau hanya
milikku seorang! Tidak! la tidak berhak
memilikimu! Bonar, aku takut. Takut. Aku
sudah beli ticket pesawat. Jemputlah aku di
Hal. 357 « 386
Kemayoran, kekasihku. Demi Tuhan,
jemputlah aku. Jangan, biarkan aku
sendirian! Gadismu yang malang.
ttd. LILY
Di bawahnya tertulis nota tambahan:
“Aku berangkat dengan Garuda jam 11 siang
tiga hari setelah tanggal suratku ini. Sudah pasti.
Tidak akan ada yang bisa menahanku lagi. Biarpun
setan adanya. Kekasihmu...”
Mataku hampir terloncat waktu tanggal ia
menulis surat.
Dan tiba-tiba aku terhenyak.
Lily tiba di Jakarta besok siang. Dan hasil
ujianku akan diumumkan besok siang pula!
Malam harinya aku tidak bisa tertidur.
Berulang kali Neneng menghiburku agar tabah dan
tidak terpengaruh oleh hasil ujian, bagaimanapun
juga keputusan guru-guru besar itu keesokan
harinya, la malah menyuruhku ganti pakaian, jalan-
jalan keluar ke mana saja untuk menenang-
nenangkan hati dan perasaan. Nasihatnya kuturuti.
Aku berganti pakaian, terus keluar dari rumah.

Hal. 358 « 386


Tidak ke bioskop. Tidak ke rumah teman-teman.
Tidak berdiskotik di bar. Aku langsung pergi ke jalan
Sultan Agung, memesan taxi sedan 4848 yang
berangkat jam enam pagi besok.
Pulang ke jalan Pajajaran, Neneng tersenyum
heran menyambutku.
“Kok cepat benar?” tanyanya.
“Apa kau sudi aku tidur dalam kamar pelacur
di Saritem?” aku bersungut-sungut.
Neneng tertawa. Manis.
Setelah minum secangkir susu panas, aku
berterus terang:
“Kau tak usah ikut besok ke kampus, Neng”
“Hei, kenapa?” cetusnya. Polos.
“Besok kau kan harus kerja,” sahutku tanpa
memikirkan jawaban yang lebih sesuai lagi. Neneng
tertawa. Bergelak.
“Belum jadi sarjana, kau sudah pikun.
Bukankah aku telah cuti hamil selama tiga bulan?”

Hal. 359 « 386


“Oh-eh, oh...,” aku tergagap. “Maksudku, tak
baik kau hadir besok di kampus. Kalau aku lulus sih,
lain. Bagaimana kalau...”
Neneng mencium dahiku. “Baiklah...,” katanya.
“Aku percaya kau sukses, karena aku kenal akan
keuletanmu. Aku akan menunggumu di rumah. Lagi
pula besok aku harus melakukan kontrol terakhir ke
dokter... lantas ia mengusap perutnya yang sudah
menggunung. Hatiku terenyuh. Neneng bisa
kukhianati. Tetapi bisakah aku mengkhianati yang
berada dalam kandunganya?
Menjelang tidur aku bersungut lagi:
“Mungkin aku pulang jauh malam.”
“Eh, kok...”
“Kalau ujianku gagal —mudah-mudahan
tidak— kan aku harus menghibur diri agar tidak
putus asa. Kalau berhasil, teman-teman pasti
memveto minta di traktir...”
“Heheh... bawalah uang sebanyak-
banyaknya, suamiku terkasih”
la masih tertidur lelap waktu aku bangun
pagi-pagi buta. Dari lemari, kuambil segumpal uang

Hal. 360 « 386


milik Neneng. Toh ia sudah mengijinkan dan
mudah-mudahan tidak akan marah miliknya
kuambil jauh melebihi apa yang ia pikir aku
butuhkan. Berjingkat-jingkat aku keluar kamar,
berganti pakaian di ruang tengah, lantas mengunci
pintu. Anak kunci kusorongkan lewat sela-sela di
bawah daun pintu. Aku terus kabur ke Sultan Agung.
Lupa, belum mandi...!

*
* *

Hal. 361 « 386


17

UDARA mendung pertanda akan hujan


membuat landasan kelihatan suram dan agak gelap,
meskipun jam menunjukkan pukul satu siang. Hujan
renyai-renyai membasahi aspal yang hitam legam
pada saat pesawat Garuda dari Mesan mendarat.
Terlambat setengah jam dari semestinya, karena
gangguan cuaca menjelang tiba di Jakarta. Aku
berdiri di antara penyambut-penyambut yang tidak
begitu banyak di pinggir landasan. Tanpa payung,
seperti orang-orang lain, sehingga pakaianku mulai
basah. Untunglah udara Jakarta yang panas tersapu
oleh bintik-bintik gerimis yang menitik-nitik di
wajahku itu. la turun paling akhir.
Berblouse pendek merah darah, sehingga
lengan-lengannya tampak putih bersih di tengah-
tengah cuaca temaram menyelimuti landasan. Dari
bawah rok pendeknya, tersembul batang-batang
paha yang lebih putih lagi, lantas betis-betis yang
Hal. 362 « 386
indah, melangkah menuruni anak-anak tangga
pesawat dipayungi oleh seorang stewardess. Baik
penumpang-penumpang yang baru turun maupun
para penyambut sudah berlari-larian masuk ke
dalam berlindung dari curah air hujan yang mulai
menderas. Tetapi Lily berjalan tenang, lembut dan
mempesona sendirian di landasan. Diam-diam aku
berterimakasih pada stewardess yang begitu sabar
menemaninya menempuh hujan yang kian
membadai.
Aku keluar dari lindungan atap yang setengah
menaungiku. Berjalan ke tepi landasan. Ada petir
menyambar ketika kami bertatapan. Lalu
stewardess tadi menyodorkan payung ke tanganku,
setelah mana ia kemudian berlari-lari masuk ke
ruang tunggu. Tidak ada kata-kata yang terucap.
Kami hanya saling berpandangan beberapa lama
dalam curah hujan dan kilatan petir. Ketika tangan
kuulurkan, ia menyambutnya. Dingin. Dan aku
menggigil.
Setelah duduk di ruang tunggu, barulah bisa
kuperhatikan dirinya lebih jelas di bawah jilatan
lampu neon yang cemerlang, aku lihat wajah Lily
yang pucat, tubuhnya yang jauh lebih kurus

Hal. 363 « 386


semenjak kutinggalkan serta tatapan mata yang
cahayanya agak kelam. Sepasang mata yang
hampir-hampir tidak bersinar itu menatapku tanpa
berkedip. Hanya bibir pucatnya yang mengulas
senyum sajalah, pertanda ia sangat berbahagia
melihat aku telah berada di sampingnya. Tangannya
yang menggenggam telapak tanganku, tidak ia
lepas-lepaskan. Erat sekali, namun tetap dingin.
Mungkin karena udara, atau karena sesuatu yang
terjadi pada dirinya seperti yang ia katakan dalam
surat?
Di antara gaung suara orang-orang yang
memenuhi ruang tunggu, akhirnya aku memecah
kesepian.
“... kau tidak kedinginan?”
Senyumnya bertambah manis.
“Pakaianmu basah,” katanya, sebagai
jawaban. Hatiku menjadi renyai. Nyaman,
mendengar suara yang telah begitu lama
kurindukan.
“Mana kupon bagasimu? Biar kuambilkan
kopermu.”
la menggelengkan kepala. Lemah.
Hal. 364 « 386
“Apa? Kau tak bawa pakaian lain kecuali yang
melekat di badanmu?”
la mengangguk.
Dan aku tiba-tiba tertawa. Ujarku:
“... kita senasib. Ini saja yang kubawa,” lantas
kukerpis-kerpiskan kemejaku yang basah oleh air
hujan.
Tiba-tiba aku teringat bahwa sebuah taxi
yang kucarter sebelum ia tiba pasti sedang
menunggu di luar. Aku sudah rencanakan masak-
masak, ia akan kubawa ke rumah salah seorang
keluargaku yang tinggal di Jati Petamburan Jakarta.
Telah bertahun-tahun bertemu, mereka pasti
tercengang. Dan tentu surprise kalau melihat
seorang gadis cantik jelita berkenan untuk
menginjak rumah mereka. Di sana ku bisa berganti
pakaian dengan punya salah seorang bak mereka,
begitu pula Lily. Setelah itu, baru memikirkan cara
pemecahan bagaimana caranya aku keluar dari
kesulitan yang menyerang dengan mendadak ini.
“Kita pergi sekarang, Lily?” bisikku, seraya
bangkit.

Hal. 365 « 386


la menahanku. Sehingga aku terduduk
kembali di sampingnya.
“Kenapa?” tanyaku. Heran.
“Jam lima nanti ada Garuda yang ke Medan..”
Aku terperanjat.
“Kau akan…” gumamku, tak percaya.
la tersenyum. Menukas, manis:
“Aku. Dan kau!”
Terhenyak aku di jok tempat duduk.
Terhenyak! Lama aku tidak menemukan kata-kata
untuk berbicara. Bahkan hampir-hampir aku tidak
bisa memperoleh jalan nafasku kembali. Dan
selama itu, Lily hanya menatapku. Dengan bola
mata bundarnya yang kelam. Tak berkedip. Dan
bibirnya yang pucat. Tersenyum. Manis sekali. Aku
semakin kebingungan melihat sikapnya. Dudukku
resah. Baju yang melekat di tubuh semakin dingin.
Toh keringat membercik-bercik keluar dari semua
pori-pori.
“Kekasih...”
Suara itu sayup-sayup. Seperti desau angin malam.

Hal. 366 « 386


“Ya?” aku terjengah sendiri.
“Aku pesan ticket pulang pergi. Tak usah
cemas. Telah kupikirkan segala sesuatunya. Travel
yang membooking ticketku di Medan, telah
kupesan agar mentelex ke kantor pusatnya di
Jakarta. Mereka sudah mencatat nama dan kota
tujuanmu, serta…”
Semacam kekuatan gaib membuat pengeras
suara di tengah-tengah ruangan tiba-tiba bergaung
memanggil-manggil:
“... tuan Bonar dari Bandung dengan tujuan
Medan, harap segera menemui petugas
pembukuan penumpang. Tuan Bonar dari...”
“Ya Allah!” ucapku.
Sepasang mata Lily, berkilat ketika kusebut
nama Tuhan. Ada perubahan yang ganjil di
wajahnya, namun yang segera dapat ia kuasai.
Panggilan dari pengeras suara diulangi lagi.
Lily tidak memerintah lewat kata-kata, tetapi
memohon lewat tatapan mata. Aku bagai
dihipnotis, berjalan terhuyung-huyung keluar ruang
tunggu. Di bagian pembukuan penumpang,

Hal. 367 « 386


kukenalkan namaku. Petugas yang menerimaku
tersenyum ramah.
“Baru saja ticket tuan kami terima,” katanya
dengan suara cerah. “Mana koper-koper tuan?”
Termangu aku seketika. Termangu benar-benar.
“... tuan Bonar?”
“Heh…” kupandangi petugas itu. Aku tidak
sedang bermimpi. “Boleh kulihat ticketnya?”
Heran, ia serahkan apa yang kuminta.
Benar. Di situ tertulis namaku. Kota tujuanku.
Lengkap dengan nomor flight pesawat Garuda serta
jam pemberangkatannya. Ketika kusodorkan
kembali ticket itu pada petugas, la menerimanya
dengan wajah diliputi tanda tanya, dan mau
mengatakan sesuatu waktu aku cepat-cepat
memotong:
“... tanpa koper. Bahkan tanpa tas tangan!”
la manggut-manggut.
Dan aku berjalan kembali ke ruang tunggu,
Kakiku, rasanya, tersangkut-sangkut.

Hal. 368 « 386


Lily masih berada di tempatnya. Duduk
dengan pundak tegak, wajah terarah lurus ke
mataku, menembus jauh ke dasar sanubariku,
menoreh dan imenusuk-nusuk di sana, tanpa aku
kuasa jangankan untuk melawan, bergerakpun
tidak. Lily bangkit dari tempat duduk, berjalan
seperti kapas yang melayang-layang ke dekatku,
lantas bertanya dengan suara yang teramat sendu:
“Okey, kekasihku?”
Tuhan jualah yang tahu mengapa aku harus
menjawab:
“… Okey, sayangku!”
Dalam pesawat kadang-kadang tergoncang
oleh hempasan topan, mulutku terkunci rapat.
Betapa tidak. Apa yang diceritakan Lily dengan
suaranya yang sayup-sayup sampai tak ubah
dengingan pisau komando yang melesat masuk ke
anak telinga, mengiris-iris sepanjang jalan sampai di
hati, terkapar di sana, menimbulkan rasa sakit bagai
diiris sembilu. Tidak sanggup aku untuk menatap
wajah gadis itu. Dan hanya dengan ketabahan yang
luar biasa aku sanggup untuk mendengar kisah yang
ia ceritakan setengah terisak-isak.

Hal. 369 « 386


Sadar tekad anak tunggal belaian mata
sibiran tulang mereka tidak tergoyahkan lagi, ayah
Lily: memberi ijin untuk gadis itu berangkat ke
Jakarta. Di sana ia akan tinggal beberapa hari untuk
menghubungi beberapa relasi perusahaan ayahnya.
Setelah selesai bertugas, ia diperkenankan terus ke
Bandung untuk menemuiku dan memberitahu
bahwa kami boleh menikah kapan saja kami
kehendaki.
Untuk maksud baik, Lily datang ke jalan Pimpinan.
Ibu sudah sembuh, tetapi sedang pergi
berbelanja! ke pasar ditemani oleh si Butet. Yang
menerima Lily, adalah Rosmala, kakakku yang
perempuan. Mereka baru bertemu untuk pertama
kalinya semenjak Lily datang ke tempat yang sama
untuk memohon maaf atas kecelakaan yang
menimpa diriku di perempatan jalan Serdang dulu.
Setelah berbincang-bincang ke selatan ke utara
sebagai basa basi, barulah Lily, mengutarakan
maksudnya di tengah-tengah percakapan yang kaku
itu.
“... minggu depan saya bermaksud ke Jakarta
untuk uruwn perusahaan. Dari sana terus ke

Hal. 370 « 386


Bandung. Kalau-kalau keluarga di sini ada titipan ,
bisa saya bawa sekalian.”
Rosmala mengurut dada.
“... kau... kau akan menemui Bonar?”
Malu-malu, Lily mengangguk.
Rosmala mengurut dadanya lagi. Berulang-
ulang. Semakin keras. Dan wajahnya berganti-ganti
merah lalu pucat, merah, pucat, merah lagi, pucat
lagi. Lily khawatir bahwa ia akan kena damprat dan
dianggap tidak sopan, serta bertujuan menekan dan
memaksa nereka untuk menerima kehadiran Lily di
tengah-tengah keluargaku.
Pada saat gadis itu terombang-ambing
demikian, berkatalah Rosmala dengan suara
terputus-putus.
“Tahukah kau... bahwa... bahwa Bonar
sudah... maksudku, di Bandung sana Bonar sudah...
sudah punya isteri bahkan... bahkan ia akan segera
menjadi seorang ayah...?”
Dunia yang terang benderang waktu
orangtuanya menyerah berubah jadi gelap gulita
waktu Lily mendengar penjelasan Rosmala. la jatuh

Hal. 371 « 386


pingsan di tempat. Waktu ia siuman lagi dengan
bantuan kak Ros, menjelang masuk ke dalam mobil,
Lily jatuh pingsan untuk kedua kalinya. Untunglah
Parto menemaninya hari itu karena ayahnya
khawatir kegembiraan yang meluap-luap bisa
membuat Lily tidak berhati-hati di jalan. Dan justru
bukan kebahagiaanlah yang menyebabkan
kehadiran Parto benar-benar sangat diperlukan.
Parto langsung mengangkut Lily ke rumah
sakit. Sadar di sana, ia teringat pernah menikmati
apa yang dinamakan cinta di rumah sakit yang
sama. Lagi-lagi ia pingsan, la pingsan berkali-kali
setelah kembali ke rumah, Orangtuanya yang geger
memanggil dokter pribadi mereka untuk menerima
kesehatan Lily dan memperoleh jawaban yang
mengerikan:
“Syarafnya terganggu!”
Setelah kedua orangtua yang malang itu agak
reda kejutnya, dokter meneruskan:
“Anak bapak menderita mental-down yang
dahsyat. la tak mampu menahannya. Saya khawatir,
obat-obat dan perlengkapan medis apapun tidak
bisa menolongnya. Yang ia perlukan, adalah kasih

Hal. 372 « 386


sayang. Kasih sayang yang teramat luar biasa dari
seseorang yang saat ini tengah memenuhi
benaknya...”
Ayah Lily tidak berpikir panjang lagi.
Ayah Lily tidak berpikir panjang lagi.
la mendatangi keluargaku dan dengan panik
menceritakan apa yang terjadi, la juga minta alamat
rumahku di Bandung. Sebenarnya orangtua itu lebih
suka berhubungan perantara telex biar lebih cepat.
Tetapi tak ada nomor telephone yang bisa segera
kuterima di Bandung. Tigor menyarankan untuk
mengirim surat saja. Tetapi akhirnya ayah Lily
memutuskan:
“Aku akan terbang ke Bandung!”
Maksud itu diketahui oleh Lily malam
harinya, ketika ayahnya bersiap-siap untuk
berangkat. Entah mengapa, tubuhnya menjadi kuat.
Kesehatannya pulih, kelihatannya. Orangtuanya
gembira. Namun kegembiraan mereka cuma
sebentar. Karena Lily sudah menegaskan:
“Biar aku saja yang ke Bandung.”

Hal. 373 « 386


Satu malam penuh mereka berdebat. Tetapi
demi anak gadis mereka, orang tua Lily mengalah.
Parto disuruh memesan ticket, namun Lily
memaksa ikut. la —di luar dugaan semua orang—
memesan ticket pulang pergi, bahkan memesan
ticket tambahan untuk satu kali jalan, dari jurusan
yang berlawanan Jakarta - Medan atas namaku.
Namun Lily tidak ingin menang sendiri, la setuju
menunggu dua tiga hari sampai kesehatannya
benar-benar pulih dan ia boleh berangkat. Wajah
Lily yang pucat jadi bercahaya, la berkata kepada
semua orang yang ia temui dan menjenguknya, juga
pada keluargaku:
“Bonar adalah milikku. Tak ada yang berhak
menjamah dirinya. Juga tidak gadis Bandung itu!”
Aku menarik nafas. Panjang.
“Jadi itulah yang kau maksud dalam suratmu
yang kuterima kemaren pagi,” ujarku, lebih tepat
pada diriku sendiri.
Lily tertawa kecil, riang, berbahagia, dan
mendayu-dayu.

Hal. 374 « 386


“Dan itu pula sebabnya aku terus kau seret ke
Medan, tanpa kesempatan pamit pada Neneng,”
lanjutku lagi.
Mata Lily mengelam kembali.
“Jangan sebut-sebut nama perempuan
terkutuk itu di depanku, sayang!”
Aku terdiam.
Juga terlambat mendarat di Medan, karena
gangguan cuaca terjadi sepanjang perjalanan.
Hujan deras menyapu.
Pesawat tergoncang lagi. Lewat jendela kaca,
tampak gumpalan awan yang menghitam, tak
ubahnya raksasa-raksasa langit yang bermaksud
melumat tubuh pesawat. Seorang pramugari
berhenti di samping tempat duduk kami dengan
kereta dorong berisi makanan dan minuman, la
letakkan di atas meja kecil otomat yang menempel
di kursi-kursi depan kami. Waktu melihat wajah Lily
yang teramat pucat dan pandangan mata gadis itu,
yang teramat kelam, Pramugari itu bertanya padaku
dagu ke arah Lily:
“... mabuk?”

Hal. 375 « 386


Pramugari itu terkejut waktu Lily menyahut:
“Tidak. Terimakasih”
Lily tidak mau makan, la hanya meneguk
sedikit air jeruk. Seleraku ikut pula lenyap. Waktu
mengiris bistik di piring, pesawat tergoncang pula.
Piring berisi bistik jatuh dari meja. Suaranya
berdenting halus waktu menimpa lantai berkarpet.
Tetapi potongan bistik tidak ikut jatuh ke lantai.
Daging berwarna coklat kemerah-merahan itu,
menggelinding di haribaan Lily. Kuah berwarna
sama, menimbulkan bercak-bercak kehitam-
hitaman di rok Lily yang kuning bersih.
“Oh!” keluhku.
Lily tersenyum, la mendahuluiku memungut
bistik, piring dan meletakkan kembali di atas meja.
Pramugari yang segera datang, tergopoh-gopoh
membersihkan rok Lily dengan serbet. Tetapi rok
yang kuning bersih itu tetap kotor oleh bercak-
bercak kuah bistik, tidak bisa dihilangkan
bagaimanapun juga. Biarpun mungkin nanti toh
dicuci!
“Tenteramkan hatimu, kekasih,” bisik Lily
seraya tersenyum gemulai. “Ini akan merupakan
Hal. 376 « 386
kenang-kenangan indah yang paling menarik
untukku...”
Aku memandanginya, tidak mengerti makna
kata-katanya.

*
* *

TAK ADA yang menjemput waktu pesawat


mendarat di Medan.
“Memang kusengaja,” menjelaskan Lily
waktu kami telah berada dalam sebuah taxi yang
melaju meninggalkan Polonia membelah lalu lintas
kota Medan yang gemerlapan oleh lampu berwarna
warni. Jalanan tampak berkilat bekas dibasahi
hujan. Apakah seluruh negeri ini secara aneh telah
dicurahi air pada waktu yang bersamaan oleh langit
yang kini biru jernih dengan bintang gumintang
yang tampak cemerlang!
“Sengaja? Apa maksudmu, Lily?”
“Aku berangkat diam-diam. Tak seorangpun
yang tahu. Tak seorangpun...”

Hal. 377 « 386


“Aneh”
“Bagi orang lain, mungkin aneh. Bagiku,
tidak,” la menatapku. Mesra sekali. Lalu: Maukah
kau menciumku, kekasih?”
Supir taxi acuh tidak acuh saja ketika bibir
kukecup. Dingin. Dan tubuhnya yang kemudian
tenggelam dalam pelukanku, juga dingin. Teramat
dingin. Seraya memandangi bercak-bercak bekas
kuah bistik di roknya, aku merencanakan akan
meminta dokter pribadi keluarga mereka
memeriksa kesehatan Lily setelah ia selesai nanti
berganti pakaian.
Taxi membelok memasuki halaman rumah
megah di jalan Bhakti, dan aku ta'jub oleh suasana
yang ganjil di sana. Banyak sekali mobil di halaman.
Bahkan sampai berderet-deret di sepanjang kiri
kanan jalan. Lebih banyak lagi orang-orang keluar
masuk. Tidak ada yang memperhatikan waktu mobil
kami berhenti tepat di depan terras. Kubayar sewa
taxi, lalu turun diiringkan oleh Lily. Telapak
tangannya dalam genggamanku semakin dingin
juga. Dan aku menggigil meski udara kota Medan
yang gersang mulai menghangati tubuh.

Hal. 378 « 386


Kami berjalan masuk ke dalam rumah.
Barulah pada saat itu Lily melepaskan tangannya
dari genggamanku.
“... biar aku lewat dapur saja. Takut dilihat
orang-orang,” katanya.
Kemudian menghilang di halaman samping.
Aku bermaksud mengikuti dia ketika seseorang
berseru:
“Bonar! Kau di sini!”
Aku menoleh. Kulihat Chairudin bangkit di
antara lingkaran manusia yang duduk bersila
memenuhi ruang depan. Mendengar suaranya,
orang-orang lain ikut menoleh. Dan aku melihat
Tigor, suami Rosmala dan Sahara. Mereka setengah
berlari mendapatkan aku. Bahkan berebutan
memeluki tubuhku, dan yang membuatku kian
terpesona, semua orang yang memeluki aku
semenjak itu, tidak lupa untuk membasahi bajuku
dengan cucuran air mata yang seperti tidak akan
ada henti-hentinya.
Kegemparan terjadi di rumah itu setelah tahu
aku datang.

Hal. 379 « 386


Di tengah-tengah suara gempar itu, aku
bertanya. Parau:
“Apa yang...”
Dari ruangan tengah, muncul seorang laki-
laki tua bertubuh tinggi kekar, berkain sarung
seperti pernah kulihat, berwajah pucat seperti
kapas dengan rambut yang kusut masai. Sepasang
mata tuanya, bengkak biru bekas menangis. Tiba-
tiba aku merasa diriku bersalah. Paling bersalah.
Akulah penyebab semuanya. Akulah yang berdosa.
Mulutku mengerimit, ingin menerangkan pada
orang tua itu tentang segala sesuatunya mengenai
harta kesayangan mereka yang paling berharga di
dunia ini.
Kami berhadapan muka.
Tegak. Saling berpandangan. Dan semua
orang, diam. Sepi seketika. Jarum jatuhpun akan
terdengar seperti ledakan mortir.
Tersendat, aku berkata:
“... Lily ada di dapur, pak...”
Mulut keras yang pucat itu, terbuka:
“Tidak, anakku. Lily ada di kamarnya...!”
Hal. 380 « 386
Aku melongo. Apakah gadis itu masuk lewat
jendela?
Dan tiba-tiba orang tua itu berpandang-
pandangan dengan orang-orang lainnya, lantas
beralih lagi ke wajahku.
“Apa tadi kau... kau bilang? Lily ada di...”
“Benar, pak,” potongku cepat, “la takut
dilihat orang, lantas katanya ia lebih baik masuk
lewat dapur. Apakah...”
Ayah Lily mundur. Wajahnya memandangku
dengan ketakutan, la mundur terus, dan kemudian
lunglai di ruang tengah. Beberapa orang segera
menyambut tubuhnya yang hampir jatuh,
memapahnya ke sebuah kursi. Ratap tangis
memenuhi telingaku kembali. Sahara berlari masuk
ke dalam, terus ke kamar tidur Lily, seraya menjerit-
jerit histeri.
Tak tertahan lagi, aku berlari ke arah yang sama.
Dan aku melihatnya. Dikerumuni oleh
perempuan-perempuan yang bertangis-tangisan
aku melihat Lily. Terbaring diam di atas tempat tidur
dengan selimut yang indah menutupi tubuhnya
sampai batas leher. Sepasang kelopak matanya
Hal. 381 « 386
yang bagus, terpejam rapat. Pipinya putih, putih,
teramat putih. Di bibirnya yang pucat, tergores
seulas senyum. Senyum bahagia. Senyum
kedamaian.
Akan tetapi... tubuhnya tidak bergerak-gerak
sama sekali!
Terpaku di tempatku berdiri dengan
pembuluh-pembuluh darah berhenti bekerja, hati
membuka, jantung tak sudi berdenyut, kudengar
ratap tangis Sahara yang menyayat-nyayat:
“… kalau saja tak kubilang! Oh, Lily-ku manis!
Kalau saja tidak kuingatkan... bahwa aku ini seorang
janda... aku ini menjanda karena tak punya anak...
Ya Allah, ampuni aku. Ampuni hamba-Mu yang sial
ini. Aduhai, Lily-ku, kau begitu bersemangat ketika
kau bilang bahwa kau... kau akan merebut
kekasihmu dari perempuan lain. Aduhai, Lily.
Maafkan aku, sahabatku. Maafkan bibimu
yang lancang mulut ini, ponakanku. Seharusnya kau
tidak..., tidak kuingatkan, bahwa usahamu itu akan
membuat seorang perempuan lain akan menjanda
harusnya tak kuingatkan kau… seorang bayi yang
tidak berdosa akan kehilangan ayahnya!”

Hal. 382 « 386


Sehabis meratap begitu, Sahara jatuh pingsan
di lantai.
“… apa… apa maksud semua... ini?” mulutku
berdesis.
Chairudin yang berdiri di sampingku,
menyeka air matanya. Lalu, tersendat-sendat ia
menjelaskan:
“Tadi malam kami berkunjung. Lily berkata
mau ke Bandung. Dan Sahara menasihatkannya
agar berpikir dua kali. Kalau Lily jadi... jadi pergi,
maka Lily akan... akan menterlantarkan isteri dan
calon anakmu. Lily terpukul hebat. Di luar setahu
semua orang, subuh tadi ia nekad. Pil tidur yang
disediakan dokter untuk ia makan secara teratur
kalau mau tidur, rupanya ia telan seluruhnya. Satu
botol penuh, Bonar. Satu botol penuh!”
Aku tidak menerima ceritanya itu. Tidak
menerima cerita mereka.
Aku tak mau dengar. Tidak...
Tetapi Chairudin terus juga:
“... dokter datang terlambat. Lily meninggalkan kita
semua... tadi... jam sebelas siang!”

Hal. 383 « 386


Mataku terpejam: Lily benar-benar datang
memenuhi janjinya. Dengan sikap yang ganjil. Tatap
mata yang aneh. Tubuh yang dingin... Mataku
terbuka lagi. Lebar. Aku melompat ke pinggir
tempat tidur. Selimut yang menutup tubuh gadis itu
kusingkapkan. Orang-orang terpekik. Dan aku
melihatnya. Blouse pendek berwarna merah darah.
Rok kuning bersih serta…
Rok itu dinodai oleh warna kehitaman.
Gemetar, aku membaurnya.
Bau kuah bistik!
Ketika aku kembali ke Bandung, noda dan
bau yang aneh itu tetap menyertaiku. Bahkan
setelah aku terbenam dalam dekapan Neneng yang
berbahagia, pada siapa aku berjanji untuk setia
selama-lamanya.

***

TAMAT

Hal. 384 « 386


TELAH BEREDAR
NOVEL NOVEL TERLARIS
ABDULLAH HARAHAP
 DURI DURI CINTA
 RANJANG SEMUA ORANG
 TATKALA CINTA MULAI BERBUNGA
 DITINGGAL KEKASIH
 YANG TERHEMPAS KANDAS
 PEREMPUAN TANPA DOSA
 BUNGA HANYA MEKAR SATU KALI
 HANYA KAU YANG KUPUJA
 MERAJUT SEJUTA BINTANG
 TAK SEMUDAH MENCINTAI BUNGA
 DI MATAMU AKU BERTEDUH
 SEPI HATI SEORANG PERAWAN
 PELANGI DI UJUNG SENJA
 MENENTANG SEJUTA MATAHARI
 CINTAKU MAMA CINTAKU JUA
 LIKU LIKU PANASNYA CINTA
 GADIS GADIS KELABU
 MENITI BUIH
 DIANTARA POHON POHON CINTA
 HARAPAN YANG TERSISA

Hal. 385 « 386


PERNYATAAN
File ini adalah sebuah hasil dari usaha untuk
melestarikan buku novel Indonesia yang sudah sulit
didapatkan di pasaran, dari kemusnahan. Karya
tersebut di scan untuk di-alih-media-kan menjadi
file digital. Ada proses editing dan layout ulang yang
membuat nomor halaman versi digital ini berbeda
dengan aslinya, hal ini dikarenakan hasil dari proses
scan kurang jelas terbaca.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya yang dilestarikan ini.
Saya tidak bertanggung jawab atas tindakan
pihak lain yang menyalahgunakan file ini diluar dari
apa yang kami nyatakan pada paragraf diatas.
CREDIT
 Awie Dermawan
 Ozan

D.A.S
Kolektor E-Books

Hal. 386 « 386

Anda mungkin juga menyukai