Hal. 1 « 386
Kolektor E-Book
Awie Dermawan
DJVU Ozan
PDF D.A.S
Hal. 2 « 386
Abdullah Harahap
Jakarta,
Apabila ada nama, tempat kejadian ataupun cerita
yang bersamaan, itu hanyalah suatu kebetulan
belaka. Cerita ini adalah fiktif.
Hal. 3 « 386
DIBELAI KASIH SAYANGMU
Karya :
Abdullah Harahap
Diterbitkan oleh :
Nur Agency, Jakarta
Cetakan pertama :
198X
***
Hal. 4 « 386
1
Hal. 10 « 386
yang sekarang. Jangan lagi mengada-ada. Larut
sudah, kasihku. Kau harus tidur...”
Dan setelah berbaring di atas ranjang, aku
tertawa kecil.
“Masih ingat apa yang kita saksikan tadi siang
di Lapangan Diponegoro, Neng?” ia manggut-
manggut. Lesu.
“Kau cemas memandang kelakuan kakakmu,
Hendra. O, Nenengku,” aku tersenyum seraya
memandangi wajahnya yang mulai kemerah-
merahan kembali. “Aku juga pernah terjun. Tanpa
parachute. Neng. Dan aku ternyata lebih hebat dari
instruktur jagoanmu itu!”
Pelan-pelan, bibirnyapun tersenyum katanya, lirih:
“Masa iya!”
“Sungguh mati,” dan kutekankan: “Berani
sumpah!”
“Oh. Kapan?”
“Tadi!”
“Tadi?”
“Ya. Dalam mimpi!”
Hal. 11 « 386
la tertawa tersendat-sendat. Tawa yang tidak
ikhlas, namun bagaimanapun pelukan hangat yang
ia berikan seraya tertawa itu, teramat ikhlas,
teramat menggairahkan, sehingga mau tak mau
bibirku bergerak-gerak liar mencari bibirnya. Waktu
bertemu, pagutan dua pasang bibir itu seperti
perpaduan bensin dengan api. Membakar. Panas.
Meledak-ledak. Selimut sampai terlontar dari
tempat tidur. Menggelimpang malang di atas lantai.
Namun baik aku maupun Neneng tidak berminat
sama sekali untuk memungut nya. Karena, tidak
saja selimut, piyama di tubuhku dan kimono di
tubuh Neneng, di saat saat berikutnya ikut
melayang-layang untuk kemudian terhampar diam
di kaki tempat tidur.
Lukisan kereta kuda yang melekat di tembok
kamar, seperti hidup tiba-tiba. Roda-roda kereta
terlonjak-lonjak, dan kuda-kuda itu lari, berpacu,
dengan nafas menggebu-gebu. Demikian cepatnya,
sehingga tiba di sebuah tikungan kereta itu tidak
tertahan lagi. Terlontar ke awang-awang dengan
roda-roda yang masih berputar-putar, lemah. Dan
sang kuda, terhempas di tanah. Terbaring diam,
dengan nafas yang tersengal-sengal. Letih ...
Hal. 12 « 386
2
Hal. 13 « 386
oleh kendaraan yang toh oleh sopir dikebut juga
akhirnya.
Lewat Cianjur. Neneng tampah gelisah dalam
tidurnya.
Beberapa kali ia seperti mengerang. Halus.
Kemudian bibirnya menggerimit, mengucapkan
kata-kata yang tidak begitu jelas kudengar. Kukira ia
tengah bermimpi, biarpun udara pagi yang cerah
bersinap terang membuat sawah di kiri kanan
berwarna hijaur gemerlapan. Kubiarkan Neneng
dalam keadaan serupa itu, karena ingat tadi malam
ia sama sekali tidak bisa tertidur.
Baru setelah tiba di Cipanas, Neneng
kubangunkan.
la menggosok-gosok matanya, seperti
terheran-heran. Kemudian menatapku. Tajam. Dan
lama. Matanya memandangiku seperti memandang
seseorang yang asing dan waktu ia tiba-tiba
memelukku dengar wajah didekapkan ke dadaku,
aku menarik nafas panjang. Berat. Dan terharu. Aku
menyuruh sopir singgah di Rumah Makan “Roda.”
Kuharap udara pegunungan yang sejuk di antara
Hal. 14 « 386
gigitan matahari yang lembut bisa menggugah
Neneng untuk bersikap sedikit gembira.
Tetapi, nyatanya sia-sia.
la makan tak bernafsu. Aku sendiri, hanya
menghabiskan nasi setengah piring, sekerat ayam
panggang, sedikit sup panas dan secangkir kopi
susu. Biasanya aku makan tiga kali lipat dari jumlah
itu tiap kali kami berkesempatan singgah untuk
makan di tempat ini dalam perjalanan pulang pergi
Bandung-Jakarta. Aku masih tetap siraja makan
seperti yang sering disindirkan saudara-saudaraku
waktu aku masih di Medan, bahkan kukira setelah
beberapa tahun aku terbiasa hidup sederhana di
Bandung. Tetapi tidak hari ini!
Masuk kembali ke taxi, Neneng hanya berdiam diri.
Aku tahu apa yang ia pikirkan, dan ingin
memprotes bahwa pikirannya terlalu jauh, dan
bayangannya hanya yang bukan-bukan. Tetapi
kekakuan yang sangat terasa menggantung bagai
tabir di antara kami, membuat aku hanya bisa ikut
berdiam diri, Kualihkan perhatianku pada
panorama indah di kiri kanan jalan. Suasana alam
Puncak berlereng-lereng hijau di selang-seling villa
Hal. 15 « 386
serta bungalow-bungalow megah menjepit rumah-
rumah penduduk yang miskin dan terlantar. Kabut
baru saja pergi, dan jalan aspal di depan roda-roda
mobil tampak hitam legam. Tak ubahnya ular ganas
yang tanpa suatu sebab sekonyong-konyong
terbaring diam, pasrah tetapi gelisah.
“ ... Bonar?”
“Ngg?” aku terjengah, menoleh ke samping.
Neneng menatap lurus ke depan, tetapi aku tahu
sinar matanya teramat kosong.
...” aku tertidur barusan.”
“He-eh. Syukurlah. Tadi malam kau kan tak tidur.”
“Dan aku bermimpi.”
“Wah. Itu biasa!”
“Tetapi mimpiku, Bonar …”
“Hanya bunga-bunga tidur, sayangku,” aku
cepat-cepat menukas, melihat kulit wajahnya yang
berubah kepucat-pucatan serta sinar matanya yang
ketakutan.
“Apakah impianmu tadi malam, cuma
sekedar bunga-bunga juga Bonar?”
Hal. 16 « 386
“He-eh. Karena aku masih berada di bawah
Pengaruh tontonan yang kita saksikan siang
harinya.”
“Ya. Ya. Mudah-mudahan begitu.”
”Kenapa rupanya. Neng?” aku jadi berminat.
“Tadi... tadi juga aku bermimpi.”
“Terjun?” aku tertawa. “Tanpa parachute?”
la tertawa. Malah terbungkam. Lama
Kemudian:
...” aku tidak terjun, tetapi seperti kau, aku
juga melihat jurang. Bukan tiga. Melainkan satu.
Aku … Bonar.” suaranya tersenggap, seperti suara
orang yang hampir terbenam dalam air yang dalam,
“… aku berada di tengah-tengah jurang itu, Bonar.
Sendirian. Kesepian. Dan nun jauh di atas … aku
lihat bayangan samar-samar seorang berdiri
menghadap ke bawah. Melihatiku. Kutajamkan
pandangan mataku. Dan kulihat, kaulah orang itu.
Terpaku di bibir jurang. Diam, terpanggang
matahari. Matahari yang garang, Bonar, dan kau
kulihat terhuyung-huyung. Kukira kau akan jatuh ...
tetapi kau justru terhuyung menjauhi jurang itu.
Mengertikah kau maknanya, Bonar?”
Hal. 17 « 386
“Aku bukan seorang ahli nujum,” keluhku,
agak gugup.
“Bukan makna mimpi itu, Bonar. Tetapi
makna kau menjauhi jurang itu.”
“Tidakkah itu tindakan yang tepat?” kucoba
tersenyum. “Aku terhuyung, tetapi tidak jatuh
jurang, melainkan menjauhi ...”
“Artinya, kau menjauhi diriku juga, Bonar!
Kau meninggalkan aku sendirian terperangkap
dalam jurang yang mengerikan itu!”
Reflex, aku menoleh.
Mataku yang gugup, beradu dengan mata
Neneng yang hampa. Lama kami saling bertatapan,
sampa kemudian aku merasa sesak nafas lantas
mengeluh:
...” kau sudah dikuasai naluri
keperempuananmu kembali, Neneng. Sudah
berapa kali kubilang, aku hanya pulang untuk
menjenguk ibu yang sakit payah. O, bukankah
sudah pernah kuceritakan? Mereka di Medan,
terlalu memikirkan studi dan keselamatanku
sampai ketika suatu waktu aku akan menempuh uji
Sarjana Muda, kuterima surat yang mengatakan
Hal. 18 « 386
mereka semua baik-baik dan mereka semua berdoa
untuk kesuksesanku. Aku sukses, pulang ke Medan
dengan kebahagiaan yang meluap, dan
menemukan ayahku yang sudah terbaring di liang
lahat. la meninggal satu hari sebelum aku ujian, dan
telah menderita sakit payah sewaktu mereka
menulis surat yang mengatakan mereka semua
sehat wal'afiat...,” aku menarik nafas berulang-
ulang. Lelah, dan sakit. Lalu. “Beberapa hari yang
lalu kita terima surat mengatakan ibu sakit payah.
Mereka tak lagi berdusta, dan mereka pasti tengah
menantiku. Kuharap, ibu sembuh dan baik-baik saja
setelah aku nanti di Medan, sehingga aku bisa
kembali keharibaanmu. Sederhana bukan,
Neneng?”
la menggelengkan kepala.
“Tidak,” bisiknya, tajam. “Tak sedikit
kudengar kisah-kisah usang yang sama. Seorang
anak dipanggil pulang dengan dalih orangtua sakit.
Tiba di kampung, sang orangtua ternyata segar
bugar. Tetapi, seorang calon isteri telah siap sedia
menanti si anak pulang. Bonar!” ia mencengkeram
lenganku kuat-kuat. “Akan kawinkah kau di Medan,
Bonar? Akan menikahkah kau di sana?”
Hal. 19 « 386
“Neneng!” protesku. Keras.
Sopir Taxi menoleh ke belakang. Sekilas.
Tetapi kemudian tak acuh.
Kuturunkan Volume suaraku:
“Dengarkan, Neneng. Ibu sakit payah. Aku
harus mendampinginya, dan kau telah setuju itu
kulakukan. Jadi, diamlah sekarang. Demi Tuhan,
buang pikiran buruk jauh-jauh dari kepalamu.
Pikirkanlah hanya tentang dirimu dan diriku saja.
Do'akanlah ibuku cepat sembuh, sehingga aku
segera pulang. Itu saja!”
“Aku tak tahu, apakah aku mampu berbuat
begitu. Tetapi Bonar, setidak-tidaknya jawablah
pertanyaanku yang ini secara jujur: akankah kau
tetap setia?”
“Apaan ini?” rungutku. Marah.
“Maafkan aku sayangku,” ujarnya, lirih seraya
merebahkan wajah di lenganku. “Aku percaya kau
tetap setia dan akan kembali pada gadismu yang
malang ini. Maafkan aku Bonar. Maafkan aku,
kekasih ...!”
Hal. 20 « 386
Air mata Neneng menitik waktu taxi
meluncur memasuki pelataran airport Kemayoran.
Udara Jakarta yang panas gersang yang membuat
air mata itu bercampur dengan keringat yang
membercik di pori-pori kulit wajah Neneng yang
pucat, la berjalan seperti mengambang waktu
memasuki airport. Lengannya memagut lenganku
tanpa lepas-lepas sementara aku melapor kebagian
cheking tiket penumpang, mengurus bawaanku
yang cuma sebuah koper kecil berisi pakaian,
menerima carik bagasi kemudian berjalan ke ruang
tunggu. Di pintu, kami bertengkar sedikit dengan
penjaga karena selain penumpang tidak boleh
masuk ke dalam. Setelah menyelipkan selembar
uang kertas lima ratusan di tangan penjaga itu
waktu kami berjabatan, barulah Neneng
diperbolehkan ikut masuk ke dalam.
Kami tak berkata-kata sepatah pun juga
selama penungguan yang lima menit lebih sebelum
penumpang dipersilahkan masuk ke pesawat yang
sudah siap untuk take-off. Baru ketika kami berdua
berada di pinggir landasan, Neneng sekonyong-
konyong memelukku seraya menangis. Riuh
rendahnya mesin pesawat yang naik turun serta
menyemutnya manusia di sekeliling kami menelan
Hal. 21 « 386
suara isak tangis Neneng yang tersendat-sendat.
Aku setengah berteriak di telinganya ketika kami
berjabat tangan dibatasi oleh pagar:
“Jaga dirimu baik-baik, sayangku”
“Cepat kembali, kekasih,” balasnya.
“Aku akan ...”
“Pergilah! Pergilah! Pergilah ...!” lantas ia
membalikkan tubuh membelakangiku seraya
menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
Beberapa saat aku termangu-mangu, sampai
seorang crew menjentik bahuku seraya menunjuk
ke arah tangga pesawat yang sedang dinaiki
penumpang terakhir sebelum diriku. Seorang
stewardess menatap ke pinggir landasan, dan
dengan perasaan terpaksa aku memutar tubuh,
kemudian bergegas menuju pesawat. Diundak
tangga terakhir, aku masih sempat menoleh dan
melihat Neneng tengah berdiri seraya berpegangan
pada pagar dengan wajah yang pucat memandang
ke arahku. Aku ingin melambai, tetapi tanganku
bagai lumpuh. Dan, Neneng juga tidak melambaikan
tangan.
“Silahkan, saudara ...,” kata stewardess.
Hal. 22 « 386
Aku cepat masuk, setelah mana tangga
dinaikkan. Kebetulan nomor kursi yang kemudian
kududuki berada di samping jendela kaca kecil,
darimana aku bisa memandang ke arah ruang
tunggu. Aku tidak tertarik pada seorang pramugari
yang membacakan pengumuman lewat pengeras
suara yang halus tentang tata tertib dan
keterangan-keterangan tentang penggunaan
pelampung udara bila pesawat dalam keadaan
darurat. Perhatianku tercurah sepenuhnya ke
manusia yang menyemut di pinggir landasan, ke
arah Neneng yang berdiri paling pinggir dengan
tangan masih berpegangan pada bibir pagar, dan
aku merasa pasti dengan wajah pucat basah oleh air
mata.
Baru ketika lampu di pinggir pintu cockpit
menyala merah dan penumpang-penumpang
dipersilahkan mengenakan tali pinggang kursi, aku
menarik nafas kemudian dengan perlahan-lahan
memerintah itu. Tanganku gemetar, dan jari
jemariku seperti kaku rasanya. Uap dingin bagai
menyelinap masuk ke ulu hati waktu pesawat mulai
take-off.
Sekali lagi aku mengintai lewat jendela kaca.
Hal. 23 « 386
Di sana, kulihat Neneng, melambai. Ya, ia
melambai!
Aku membalas lambaian itu, masih dengan
tangan gemetar, menahan perasaan sedih yang
menggugah hati dengan tiba-tiba. Aku tidak tahu
apakah ia juga melihat lambaianku, tetapi aku
yakin, mata hatinya, cintanya dan jiwanya melihat
diriku sepenuhnya. Neneng tampak kecil di antara
manusia-manusia yang menyemut, dan semakin
kecil lenyap sama sekali setelah pesawat
mengapung tinggi dii udara.
Namun di antara awan putih perak yang tak
lama kemudian seperti menggantung di sayap
pesawat, titik-titik halus dari balik awan itu seperti
muncul menerawangi langit yang biru jernih. Titik-
titik yang kian membesar, di antara titik-titik lain
yang menyemut dan juga kian membesar. Di antara
rasa kehilangan sewaktu berpisah dengan Neneng,
terselip sebuah bayangan di antara banyak
bayangan-bayangan lain yang bermunculan seperti
tak mau ketinggalan. Orang-orang memang tidak
menyemut, tetapi jumlahnya cukup banyak juga
waktu berkumpul di depan fakultas. Di sana-sini
terdengar teriakan-teriakan memerintah, suara-
Hal. 24 « 386
suara mencemooh, tertawa yang berkakakan, suit
menyuit dan bisik yang riuh rendah.
Gerombolan itu kemudian terlihat berjalan di
jalan setapak, di tengah-tengah sawah,
berpancaran di kaki-kaki bukit, beriring-iringan
mendaki. Langit tengah bersenang hati, dan
matahari tengah bergembira ria. Banyak rekan-
rekan yang menyanyi-nyanyi selama cross country
yang diadakan oleh fakultas itu berjalan tertib,
lantas lama kelamaan mulai tidak teratur. Di
tengah-tengah sebuah hutan, gerombolan itu
berpecah-pecah dalam kelompok-kelompok yang
susul-menyusul. Kelompok-kelompok itu semakin
jauh semakin kecil semakin berpencar-pencar.
Teriakan marah panitia lewat speaker sia-sia saja.
Kemudian lenyap ditelan kesepian hutan yang
mencengkeram bukit landai yang tengah didaki.
Terengah-engah, aku berjalan menyusul
seorang gadis yang berlari-lari jauh di depan. Sekali
ia terbanting jatuh ke atas tanah berumput,
terpekik halus, bangkit kembali dan aku telah
berhasil menyusulnya. Namun begitu aku coba
menjangkau, ia cepat-cepat menghindar kemudian
lari lagi.
Hal. 25 « 386
“Neneng!” teriakku parau. “Kita makin jauh
meninggalkan kawan-kawan lain.”
“Biar!” sahutnya. Lantas menghilang di
sebuah kelokan yang ditumbuhi semak belukar.
“Apakah memang dari sini jalannya ke
Cisarua,” tanyaku seraya mata mencari-cari.
Dari dalam semak belukar, terdengar sahutan:
“Entahlah. Aku tak tahu!”
“Nanti kita tersesat, Neng.”
“Biarin!”
“Neng, aku sudah capek. Marilah berhenti
dulu barang sejenak dan ...,” dan aku tidak melihat
jalan menurun di bawah lindungan semak. Seketika
tubuhku terguIing-guIing, kemudian terhempas di
dekat sebatang pohon tumbang yang telah mulai
lapuk.
Mataku berkunang-kunang sesaat.
Lalu aku melihatnya. Neneng, terbaring diam
di sampingku, dengan mulut yang melepas tawa
renyai.
Hal. 26 « 386
“Seingatku,” aku berujar dengan suara
terputus-putus, menatap kilau matahari yang
mengintip dari sela rimbunan dedaunan. Pohon-
pohon yang menjulang tinggi, bagai membentuk
kerucut dengan lingkaram lembut di tengah-
tengahnya. Ada burung bernyai dan beberapa ekor
tupai berloncatan dari dahan ki dahan. Seekor kera
menyeringai ke arah kami, kemudian lari waktu
kulempar dengan sebuah batu kecil.
“Untung tak kena. Kalau tidak...” sungut
Neneng.
“Kalau tidak, mengapa rupanya?”
“Bisa celaka.”
“Eh, kok?”
“Kau dianggap melempar nenek moyangmu
sendiri!” ia tertawa.
“Apa? nenek moyangku kau bilang kera?”
“Darwin yang bilang!”
“Hih, kau!” aku mencubitnya, la mengelak
sedikit, sehingga arah tanganku melenceng ke arah
dadanya. Aku terjengah. Neneng terjengah. Tangan
tak juga kutarik dari tempatnya hinggap, lembut,
Hal. 27 « 386
hangat dan bergetar. Neneng tidak pula
menolakkannya. Matanya memandang sayu ke
mataku. Bibirnya setengah terbuka. Basah.
Menantang. Ketika aku menciumnya, tubuh
Neneng terguncang-guncang, la memagut bibirku
dengan keras, menggigitnya. Tetapi tiada rasa sakit.
Tiada, sama sekali. Yang ada ham lah…
Seekor cerpelai, rupanya jatuh dari ranting
sebua pohon, kemudian berlari terburu-buru,
menyelinap antara semak belukar. Matahari telah
condong ke barat. Langit masih membiru, tetapi
dari kerucut puncak pohon-pohon berdaun rimbun
seperti lentera yang sudah kehabisan minyak.
Bersinar lemah, kelam dan gelepar beberapa ekor
burung berpindah tempat terdengar ribut waktu
Neneng bangkit seraya mengenakan pakaiannya
kembali. Ketika kemudian ia duduk bersimpuh di
hadapanku, bibirnya tersenyum. Manis sekali.
“Aku kira tadinya kau tak lagi seorang gadis,”
bisikku, bergetar.
“Dan kau, menurutku, bukan lagi seorang
perjaka!” balasnya, bergetar.
Hal. 28 « 386
“Kau ... kau tidak menyesal. Bahkan kau ...
kau tidak menangis!”
“Menangis?” ia tersenyum. Lembut. “Apa
yang harus kutangisi? Suatu saat, seorang
perempuan toh akan kehilangan kegadisannya. Aku
baru menangis bila kau menjawab tidak atas
pertanyaanku ini...,” ia genggam kedua belah
pipiku, lalu:
“Kau suka padaku, Bonar?”
Aku mengangguk.
“Itu sudah cukup,” katanya, menarikku
berdiri. “Marilah kita pulang!”
“Pulang? Dan kawan-kawan?”
“Kalau mau pilih mereka, pergilah. Kalau mau
pilih aku…”
“Aku memilih Neneng. Dan itulah
permulaannya!”
*
* *
Hal. 29 « 386
“TALI pinggangnya, saudara?”
Aku tersentak dari lamunan yang membisu
itu. Seorang pramugari berdiri di sebelah tempat
dudukku, setengah membungkuk seraya tersenyum
manis.
“Ya?”
“Tali pinggangnya. Kita akan segera turun...!”
ulangnya tanpa melepaskan senyuman manis
dibibir.
Tidak ada yang menyambutku di airport.
Memang aku pulang tanpa memberitahu keluarga.
Karena begitu surat mereka kuterima, begitu aku
mem-booking tiket pesawat. Kalau kukirim surat,
pastilah kehadiranku akan mendahului tibanya
surat itu di alamat yang dituju. Orang setengah baya
yang gagah tadi mengajakku ikut naik Merzedez
yang menantinya di luar airport. Aku menolak
dengan halus. Tak ingin berhutang budi pada orang
yang tidak kukenali meskipun sekarang aku berada
di kampung halamanku sendiri. Aku kemudian
mencarter sebuah Foat 1100 yang sudah agak
rongsokan.
Hal. 30 « 386
“Jalan Pimpinan,” kataku pada sopir. “Cepat
sedikit!” lanjutku, ingat pengalaman dua tahun
yang lampau waktu aku pulang untuk pertama kali
ke kota ini. Waktu itu, aku tiba di rumah yang suram
oleb suasana berkabung dan ribut oleh isak tangis.
Kata mereka, ayah masih menanyakan aku sesaat
sebelum menghembuskan nafas terakhir. Kini, aku
tidak ingin ibu menanyakan diriku bahkan aku sama
sekali tidak berharap ibu dalam keadaan sakit payah
sehingga mereka begitu merasa penting untuk
menyuruhku pulang. Kerinduan pada keluarga
terasa menyentuh-nyentuh di ulu hati, menekan
dalam perasaan was-was kalau aku sampai
mengalami hal buruk yang sama sampai dua kali.
Dan, ternyata ibuku sehat wal'afiat. Tidak
kurangi suatu apa!
la duduk di kursi malas, agak gemetar setelah
mengetahui siapa yang bersimpuh kemudian
mencium punggung tangannya yang keriputan dan
tergeletak lemah di atas kedua lututnya yang kurus,
la tertawa kecil matanya yang sudah agak rabun
berusaha meneliti wajahku yang kemudian ia
pertegas dengan-meraba wajahku mempergunakan
tangan-tangannya yang tinggal kulit berbalut
Hal. 31 « 386
tulang. Tangan-tangan itu gemetar dan suara yang
keluar dari mulutnya juga gemetar:
“… kau tak bilang-bilang mau pulang,”
katanya terharu.
Rumah yang sepi itu mendadak ramai pada
sore harinya. Semua anak dan cucu-cucu ibunda
berkumpul setelah saling hubung menghubungi.
Kedua orang saudara-saudaraku, kakak perempuan
dan abang lelaki, bergantian memeluk seraya
tertawa riang gembira. Tidak ada suasana duka
yang kubayangkan, tidak ada kekhawatiran yang
kucemaskan.
“Kalian membohongiku,” aku agak menuntut
pada Tigor. “Dalam suratmu, abang berkata kalau
ibu sakit.”
Rosmala kakak perempuanku, menukas:
“Memang ibu sakit-sakitan belakangan ini.
Tak ada salahnya kita kumpul-kumpul sebelum
terjadi apa yang tidak kita sama-sama kehendaki,
bukan?”
“Ah, kalian berdua! Rupanya ingin ibu cepat-
cepat mati ya?”
Hal. 32 « 386
“Husy, apa yang kau percakapkan?” bentak Tigor.
Dan suasana riang gembira itu, atas
kehendak Tuhan, malam harinya berubah jadi
suasana kaku yang mencekam. Ruang tengah sepi
menyentak. Kemanakan-kemanakanku sudah pada
tidur. Yang tinggal hanya aku, ibu yang duduk di
kursi malas yang sama seperti tadi siang, Tigor
beserta istrinya dan Rosmala bersama suaminya.
Setelah berbasa-basi ke sana kemari, hampir-
hampir tanpa tujuan sehingga membuat aku curiga,
akhirnya ibu berkata dengan suara memalas:
“Kami tahu waktumu di kota ini tak banyak,”
katanya, disusul oleh suara batuk-batuk yang
kering. Setelah batuknya reda, ia kemudian
melanjutkan:
“itulah sebabnya, kuminta kalian semua
berkumpul malam ini. Tadinya kita tak yakin Bonar
akan pulang. Tetapi ibu sudah bilang, ia anak baik.
Si bungsu yang tahu menjaga hati orang tua ...
sekarang ia telah berada di tengah-tengah kita.
Sudah waktunya kita beritahu pada si bungsu, la kita
panggil pulang, karena keluarga calon isterinya
sudah tak sabar menunggu!”
Hal. 33 « 386
Selama beberapa detik, suara yang meluncur
deras dari sela-sela bibir ibu, tak ubahnya ribuan
tawon yang keluar berbondong-bondong dari
dalam sarangnya. Terbang di udara dengan suara
berdengung-dengung. Lama berlalu sampai suara
berdengung itu menghilang dan aku tersadar
dengan rasa sakit yang ditinggalkan oleh sengatan
tawon yang tidak mengenal belas kasihan itu.
Rosmala mendehem halus. Suaminya menarik
nafas. Tigor memandang tajam ke mataku. Dan
isterinya mengalihkan muka ke arah lain. Kawin!
Tersirap darah di sekujur tubuhku.
Kawin!
Dan Neneng di Bandung! Neneng-ku sayang!
“... bagaimana?” ibu bertanya tiba-tiba
memecah kesepian yang menganga dalam ruangan
itu. Ruang tengah yang tadinya sejuk dan kini terasa
gersang menyesakkan.
Aku terdiam. Yang lain-lain terdiam. Ruang
tengah ikut terdiam.
Ibu terbatuk-batuk. Kering, la urut dadanya.
Perlahan. Dan hatiku terenyuh. Tigor di sampingku
mengeluh.
Hal. 34 « 386
“Jawablah!” bisiknya, parau.
“Bonar?” desak ibu.
Aku memandang Tigor. Matanya mengutara
kan permintaan yang sama. Aku alihkan
pandanganku ke wajah kak Rosmala, suaminya, dan
isteri Tigor yang juga kini tengah memperhatikan
wajahku, menanti kata apa yang terucap dari
mulutku.
“Tetapi...”
Suaraku yang tersendat hampir-hampir tak
terdengar itu, dihentikan oleh sodokan yang keras
dari tangan Tigor di punggungku.
“Jangan berkata tidak,” bisiknya, tajam.
“Tetapi, bang…”
“Tak ada tetapi-tetapi!”
“Bang Tigor!”
Suara ibu yang serak bergaung di antara kami:
“Apa yang kalian pertengkarkan, anak-anakku?”
Rosmala membasahi bibirnya yang pucat, lalu
berkata dengan suara yang diramah-ramahkan:
Hal. 35 « 386
“Bonar masih malu-malu, ibu”
Ibu tertawa. Halus. Matanya yang rabun,
bersinar-sinar. Sinar yang tinggal sisa-sisa. Seakan
ingin menerangi dunianya yang semenjak ditinggal
mati oleh ayah telah berubah kelam dan gelap
gulita.
Dengan rasa sayang seorang ibu, ia berujar:
“Ah, si bungsu yang nakal. Masa sudah
seumur begini…”
“Bukan itu soalnya, bu,” cepat aku menukas.
“Ya?”
“Bukan…”
“Bonar!” Tigor menyodok punggungku lagi.
“Jangan berbelit-belit...,” dan waktu ia lihat apa
yang tersirat dibenakku, cepat-cepat ia lanjutkan:
“Dan jangan berkata tidak!”
“Ini paksaan!” aku menjerit, dalam hati tapi.
Dan di mulut: “Bu berilah anakmu ini waktu untuk
berpikir.”
Ibu manggut-manggut.
Hal. 36 « 386
“Sebenarnya itu tak perlu, anakku. Tetapi ...
ah, aku tahu perasaan hatimu. Ayahmu juga. dulu
begitu waktu ditanya oleh kakek kalian. Ayahmu
minta waktu, padahal ia sudah tak sabar untuk
menjawab menyatakan rasa senang hatinya, la
pemalu seperti kau. Baiklah, Bonar. Asal kau rasa
cukupi waktumu. Bagaimana. Boleh aku tahu kapan
kau nyatakan persetujuanmu?”
Nada pertanyaan ibu begitu pasti. Persetujuan yang
ia harapkan begitu ia yakini.
Aku bagai terlandai, terkapar diamuk badai.
Sebelum aku menjawab, ibu sudah memutuskan:
“Sudahlah. Besok malam kita berkumpul-
kumpul lagi, dan ibu harap kita sudah bisa
memberikan jawaban pada keluarga calon istrimu,
kapan waktunya yang tepat pernikahan kita
langsungkan. Ah, kudengar kau mengeluh, Bonar.
Apa yang kau keluhkan? Menyesal mengulur waktu,
padahal kau sudah setuju?” ibu tersenyum-senyum.
“Sabar, anakku. Sabar... kata sudah diucapkan,
jangan ditarik kembali. Lagipula, kau belum lihat
bagaimana keadaan Marianna sekarang... oh! la
bukan lagi anak kecil seperti waktu kau tinggalkan,
Hal. 37 « 386
la sudah berubah benar, nak. Baik perilakunya,
cantik rupanya dan ...”
Dan aku terhuyung-huyung keluar dari ruangan
yang semakin pengap itu!
Di terras, aku duduk di sebuah kursi rotan
yang sudah retas-retas. Dadaku bergemuruh.
Bergoncang. Dahsyat. Dan belakang kepalaku
berdenyut-denyut. Menyakitkan. Aku tertengadah.
Langit kelabu. Dari bulan tampak teramat pucat,
mengintai dari sela-sela gumpalan awan yang
berarak seperti sebaris pasukan yang sudah siap
untuk bertempur. Bulan mundur teratur, dan aku
tenggelam dalam kegelapan yang mengerikan, tak
kuasa untuk melarikan diri. Aku duduk di situ, tak
ubahnya seorang pengemis hina yang terlunta-
lunta, tiada yang memandang walau sebelah mata
pun jua. Udara malam kota Medan yang gersang,
menyesakkan nafasku. Keringat jatuh membanjir.
Tubuhku tenggelam dalam genangan keringat itu,
tersobek-sobek jadi gumpalan-gumpalan daging
yang siap untuk dijagal.
“Neneng, Nenengku yang malang. Nenengku
sayang...,” tak sabar, aku merintih seraya menekap
dada yang menyempit. Luka.
Hal. 38 « 386
Seorang menepuk pundakku.
Aku menoleh. Kaget.
Seperti langit, wajah Tigor yang tau-tau telah
berdiri di sampingku, tampak kelabu. Juga wajah
Rosmala yang ikut mendampinginya.
“Jadi itulah sebabnya,” cetus Tigor seraya
duduk di bibir terras. la menatap ke pekarangan
yang ditumbuhi bunga-bunga yang terawat apik di
antara kerikil-kerikil yang tersusun rapih. “Apakah
Neneng nama gadis yang kau tinggalkan di
Bandung?”
Aku terpekur.
Menyahut pelan, dengan suara yang runtuh: “Ya”
“la tentunya gadis yang beruntung.”
Terdorong oleh nada sympathi yang
tersembunyi dibalik kata-katanya, semangatku
yang sempat hilang perlahan-lahan kembali
menyelinap dalam dada.
“Akulah sebenarnya yang beruntung, bang.
Neneng bukan saja seorang gadis yang baik. la juga
seorang yang sangat pengasih, dilimpahi rasa
sayang yang seperti tak akan pernah habis, la tak
Hal. 39 « 386
pernah berpikir panjang untuk berkorban bila saja
aku menghendaki sesuatu. Dan ia ...”
“Bonar...”
“Ya, Bang?”
“Kau lihat pekarangan ini? Rapih, bukan?”
Aku mengangguk.
“Kau sudah lihat suasana perabotan di
rumah. Manis. Dapur senantiasa tampak bersih. Tak
setitik debu pun boleh menjejakkan kaki di rumah
kita. Tidak secerah warna muram boleh bertingkah
di dekat ibu. Kau pikir, siapa yang melakukan semua
itu, Bonar? Siapa kau kira?”
Aku angkat bahu. Acuh tak acuh.
Tigor tertawa kecut. Katanya:
“Marianna, Bonar. Anna-lah satu-satunya
orang yang masih memperhatikan rumah ini seperti
ia memperhatikan rumahnya sendiri. Anna jualah
orangnya yang mengurus ibu kita, seperti ia
mengurus ibunya sendiri. Adakah kau kira gadis lain
yang lebih baik, lebih pengasih dan lebih sudi
berkorban selain dari pada Marianna?”
Hal. 40 « 386
Mengertilah aku tujuan kata-katanya.
Maklumlah aku, sympathinya hanya pura-pura.
Darahku seketika naik kepala. Gemetar, aku
berkata:
“Kalian seperti menuntutku. Memojokkan
aku ke sudut, seorang diri. Kalian tonjol-tonjolkan
perilaku Anna. Tetapi sadarkah kalian, bahwa tugas-
tugas itu sebaiknya kalian sendirilah yang
melakukan? Kalian memperbabu Anna, kalian
memperbudaknya. Dan kini, kalian mau
menjejalkan budak yang kalian perbabu itu ke
dalam diriku. Aku jadi berpikir. Saudara-saudaraku
yang penuh kasih sayangkah kalian ini? Atau hanya
sekedar robot-robot yang tidak tahu harga dirinya
sendiri karena terlalu memikirkan untuk menekan
harga diri orang lain, eh?”
*
* *
Hal. 41 « 386
3
Hal. 42 « 386
Tigor tertawa tiba-tiba. Tertawa kering.
“Hebat kau ini,” dengusnya. Tajam. “Itulah
hasil didikan yang kau peroleh di Bandung, eh?
Merendahkan martabat abang dan kakakmu. Dan ...
he, kau si bungsu yang kata ibu bisa menjaga hati
orang tua. Apa sajakah yang telah kau lakukan
untuk ibu kita yang malang dan sakit-sakitan itu.
Apa saja, he bungsu yang sangat tinggi harga diri?
Apa?”
Tanganku bergumpal-gumpal. Kebas.
Kuhantamkan ke jidat. Lalu ke paha. Keras.
Berulang-ulang. Rosmala memekik tertahan,
memburu ke depan lalu mencengkeram kedua
pergelangan tanganku, yang ia bawa ke dadanya,
yang ia ciumi dengan penuh kasih, yang ia basahi
dengan cucuran air mata.
“Sudahlah dik, sudahlah,” isaknya.
“Diam kau, Ros. Kau tahu apa! Menangis.
Bah! Biar keluar air matamu satu ember-pun, tak
akan kau bisa menyadarkan anak yang tak berguna
ini.”
“Abang!” jerit Rosmala lirih.
Hal. 43 « 386
“Kubilang, diam. Lalu masuklah kau ke dalam.
Tidur bersama suami pilihan hatimu itu. Pilihan hati.
Puih,” Tigor meludah. “Nyatanya, hanya karena ada
anak-anak yang mengikat kalian untuk tidak sampai
berpisah. Kau terlalu cengeng. Suamimu keras
kepala. Kau terlalu memikirkan anak-anak. Suami
mu, hanya memikirkan pekerjaan. Memikirkan
mencari uang sebanyak-banyaknya. Pilihan hati…
Bah! Seperti itukah contoh yang telah kau berikan,
sehingga Bonar kini berani menghinaku? Menghina
kau? Begitukah, Ros?”
Dada Rosmala tergoncang-goncang.
“Berkacalah, Tigor,” desisnya, tajam.
“Berkacalah, sehingga kau akan sadar bahwa kau
hanya si dungu yang melihat kutu di seberang
lautan tetapi tak melihat gajah nempel di kelopak
mata! Berkacalah, Tigor. Bahwa kau menerima
begitu saja pilihan ayah almarhum. Bukan karena
kau tak punya kekasih. Semata-mata karena kau tak
tahu apa artinya cinta. Kau memang tidak pernah
jatuh cinta. Tidak pernah. Baik pada isterimu.
Apalagi pada anak-anakmu. Kau sebenarnya
seorang suami yang berhati keji. Seorang ayah yang
berjantung kotor. Kau tega mendamprat isterimu.
Hal. 44 « 386
Tega memukuli anak-anakmu. Hanya karena
isterimu mencium kebiasaanmu suka main
perempuan di luaran!”
Lantas, dengan nafas tersengal-sengal
Rosmala memandangku.
“Itulah antara lain sebab mengapa ayah
menderita, la menyesal telah memaksakan
kemauannya pada abangmu, la merasa
menterlantarkan abangmu. Menterlantarkan anak
dan isteri abangmu. Lalu ia mati. Tetapi Bonar,
adikku. Sebelum ayah meninggal, ia sempat
berpesan. Kawinlah kau dengan siapa saja yang kau
anggap bisa membahagiakan dirimu. Tetapi
ingatlah. Perempuan yang kau kawini, haruslah pula
bisa membahagiakan orang tua dan keluargamu!”
Setelah berkata demikian, ia mengusap matanya.
Mengucap istigfar.
Lantas, berlari masuk ke dalam rumah.
Tubuhku tegang membatu. Tigor, terpaku di
tempatnya duduk. Wajahnya jatuh. Tangannya
yang mencengkeram bibir terras, tampak sangat
lemah, la sangat terpukul. Benar-benar terpukul.
Namun seorang laki-laki yang merasa dirinya adalah
Hal. 45 « 386
lelaki, tidak akan sudi dipukul begitu saja. Tidak, la
tak mau. Aku tahu siapa Tigor. Aku masih ingat,
bagaimana dulu ayah memarahi Tigor padahal
kesalahan bukan terletak di tangan abangku itu,
melainkan di tangan adik-adiknya. Ayah
mengumpat caci Tigor. Mengatakannya pencuri.
Mengatakannya anak haram jadah. Anak tak tau
diri.
Tigor bukannya memukul aku dan Rosmala
yang jelas-jelas bersalah. Tetapi, ia, anak yang
tertua itu, langsung memukul ayah! Sehabis
memukul, ia memeluk ayah, menangis dan
memohon maaf. Ayah memaafkannya, dan mereka
tidak pernah lagi saling menghina. Mereka telah
sama-sama tahu, bahwa mereka adalah sama-sama
lelaki. Perasaan kelelakian yang lambat laun
mengenyampingkan perasaan ayah dengan anak,
antara anak dengan ayah. Aku juga masih ingat,
bagaimana Tigor mula pertama tertarik pada
seorang perempuan, la mengirim surat kepada si
gadis. Sayang, tulisan tangannya seperti cakar
ayam, dan kalimat yang ia susun tak jauh berbeda.
Juga seperti ayam, berkotek tanpa irama, mencakar
hampir-hampir tanpa tujuan.
Hal. 46 « 386
Si perempuaan tidak membalas surat itu.
Dan sekali waktu mereka berpapasan di jalan.
Aku bersama bang Tigor. Si perempuan bersama
kekasihnya. Si perempuan tertawa melecehkan.
Dan si laki-laki meludah ke tanah. Abang
melepaskan pegangannya dari tanganku, berlari
mengejar sepasang remaja yang tertawa-tawa
senang itu. Si laki-laki ia renggut, ia tinju sekali jadi.
la hampir saja melakukan hal yangl sama pada si
perempuan, tetapi waktu menatap mata gadis itu,
tangan abang yang terkepal, terkulai jatuh di kedua
belah sisi tubuhnya.
“Sayang, aku pernah jatuh cinta padamu.
Kalau tidak…”
Perempuan itu kami tinggalkan termangu-
mangu di dekat kekasihnya yang jatuh pingsan.
Itulah satu-satunya perempuan yang Tigor cintai,
kemudian ia benci. Dan semenjak itu, ia tidak
pernah berusaha untuk mencintai gadis lain, dan
teramat susah baginya untuk tidak membenci
mereka, la memang tidak mencintai isteri yang
disodorkan ayah untuk ia kawini. Tetapi sebagai
seorang suami, ia berusaha untuk tidak membenci
nya. Dan kebencian yang terpendam itu ia
Hal. 47 « 386
lampiaskan dengan bermain perempuan di luaran.
Bila ada yang sampai jatuh cinta, ia tinggalkan
tersia-sia. Bila ada yang hanya iseng, ia caci dan
hina. Tak sedikit kali Tigor berurusan dengan polisi
karena pengaduan-pengaduan keluarga si gadis.
Tak sedikit pula uang yang dikeluarkan ayah untuk
menetralisir pengaduan-pengaduan itu, menutup
mulut perempuan-perempuan itu. Akibatnya ayah
dipecat dari kedudukannya sebagai orang yang
lumayan berpengaruh di sebuah perusahaan,
kemudian jatuh bangkrut. Konon, sampai waktu ia
meninggal, ayah tidak punya uang sepeserpun
untuk membeli peti mati.
“Si Rosmala benar,” sayup-sayup aku dengar
Tigor mengeluh.
Bulan di langit, muncul, tetapi pucat sekali.
“Aku mengakui tuduhannya. Tetapi itu dulu.
Kini aku sudah menjelang tua. Ponakan-ponakanmu
sudah besar. Yang seorang malah sudah di akademi.
Sudah tak layak aku berperilaku seperti dulu ...”
la kemudian memandangku dengan mata memelas.
Hal. 48 « 386
“Tetapi, Bonar, adikku,” suaranya berubah
lembut. “Kau tidak punya alasan untuk menolak
sebagaimana aku pernah melakukannya, bukan?”
Aku terdiam.
“Kau harus memikirkan, adik. Ibu begitu
membanggakanmu. Di samping karena kau anak
bungsu, juga karena kaulah satu-satunya di antara
kita bersaudara yang sempat mengenyam gelar
seorang Sarjana. Lagi pula, ia sakit-sakitan. Sudah
setengah pikun. Kinilah saatnya, Bonar, kau
tunjukkan pengabdianmu sebagai anak yang ia
sanjung dan puji. Lupakanlah gadismu yang
bernama Neneng itu, dan terimalah Marianna
sebagai isterimu!”
Kami berpandangan sejenak. Mata Tigor
memohon...
Lalu tanpa berkata sepatahpun lagi, ia
memutar tubuh. Masuk ke rumah dengan langkah-
langkah yang gontai. Aku terhenyak di kursi yang
kududuki. Pikiranku kacau. Tak menentu. Perasaan
pusing mulai menyentuh belakang kepala. Karena
tak tahan, aku bangkit. Berjalan masuk ke dalam.
Sepi. Masuk ke kamar tidurku, kesepian itu kian
Hal. 49 « 386
terasa. Aku duduk menjuntai di pinggir ranjang.
Kasur yang kududuki, terasa empuk dan hangat.
Spreinya bersih, baru di. licin, malah tampaknya
baru dipakai. Berwarna merah jambu, dengan
sulaman dua buah hati bergaris-garis violet
ditengah-tengahnya. Warna yang sama jugal
terdapat pada renda-renda di tepi sprei. Tak jauh di
kepala tempat tidur, tidak kulihat lagi meja belajar
yang selalu kupergunakan waktu masih sekolah di
lanjutan atas.
Di bekas tempat meja itu, kini terletak sebuah
toilet. Berkaca rangkap. Di kaca, aku melihat
wajahku sendiri. Pucat. Tidak bersemangat.
Sepasang mataku merah seperti saga. Terasa perih
waktu dikerdip-kerdipkan. Kugelengkan kepala
berulang-ulang , namun rasa pusing itu tak juga mau
hilang. Seraya menarik nafas panjang, kupandangi
lagi toilet itu. Seperangkat kosmetik mengintai diam
dari balik kaca bagian bawah. Aku tidak tahu itu
milik siapa. Baru setelah memperhatikan wajahku
lagi di kaca, pada bagian sudut atas kulihat sebuah
foto kecil terjepit oleh penjepit kaca. Seperti ditarik
magnit, aku turuni dari ranjang. Berjalan ke toilet.
Kupandangi potret itu.
Hal. 50 « 386
Dan tanpa terasa, aku tersenyum. Pahit. Di
potret aku melihat wajah seorang gadis, masih
berusia belasan tahun. Dandanan dan tatap
matanya kekanak-kanakan. Hidungnya bangir,
bibirnya merah delima, matanya bundar bercahaya-
cahaya, tanpa eye shadow pada alis dan tanpa bulu
mata palsu. Wajahnya membujur seperti telur.
Kucoba mengingat-ingat siapa gadis ini gerangan, la
bukan Rosmala, karena kakakku itu sudah berumur
hampir tiga puluh tahun sedangkan potret ini masih
baru. Lagi pula, Rosmala berwajah bundar, yang
sering kuejek waktu kecil kalau bertengkar dengan
sebutan “wajah tempayan.”
Dengan hati-hati, potret kecil itu kucabut.
Lalu kubalikkan.
Tertulis dengan tinta warna merah darah.
“Untukmu, sayangku,” di bawahnya, sebuah
nama: “Anna.”
“Kau memang cantik, Marianna,” aku
bergumam sendirian. “Sudah begitu besar kau
sekarang. Untuk siapa ucapan ini kau tujukan?
Untukku? Kalau benar, Marianna, maka yang akan
Hal. 51 « 386
kujawab padamu hanyalah: belajarlah untuk
berbuat lebih dewasa.”
Potret itu kukembalikan ke tempatnya semula.
Aku kembali ke tempat tidur. Sebelum,
berbaring, kukeluarkan sebuah potret lain dari
dalam koper. Di kertas berukuran saloon itu,
Neneng tertawa manja, matanya berkilauan manja,
anak-anak rambutnya berlari-lari di pipinya, manja.
Tetapi ia bukan seorang perempuan bersikap
kekanak-kanakan dengan menempelkan potretnya
dalam jepitan kaca. Bahkan potret inipun, baru
dengan susah payah bisa kuperoleh sehari sebelum
aku tinggalkan ia di Bandung.
“Tukar-tukaran foto hanya menimbulkan
impian kosong,” pernah ia berkata. “Bila kau
bahagia, kau pandangi potret itu seraya tertawa.
Tetapi bila kau bersedih, kau pandangi potret itu
seraya menangis. Kadang-kadang, disertai caci
maki. Bisa jadi potret itu kau sobek habis. Lalu buat
apa kuberikan padamu?”
Dan kemaren dulu, ia tak membantah lagi
waktu kubilang:
Hal. 52 « 386
“Kalau kau ingin selalu berada di hatiku, maka
di Medan, kuingin kau tidur di sampingku, meskipun
hanya berwujud selembar foto!”
Aku tidak meletakkan foto itu terbaring di
sampingku. Melainkan kulekatkan ke wajah,
kucium, di bagian bibirnya.
“Tahukah kau, sayangku,” aku berbisik. Getir.
“Kesetiaanku padamu, tengah menghadapi cobaan.
Neneng, kekasih. Apa yang kau lakukan sekarang di
rumah? Membaca? Nonton televisi? Tidur?
Nyenyakkah tidurmu? Mimpi apa kau, sayangku?
Kalau aku ... ah, Neneng, manisku. Apapun yang
terjadi aku akan kembali. Percayalah kasih, aku
akan kembali keharibaanmu!”
Potret saloon itu kurebahkan di dada.
Seakan, Neneng yang rebah di dada. Wajah
nya menggeliat di leherku. Bibirnya menggigit di
daguku. Dadanya bergelombang, tergoncang-
goncang. Di antara desah nafasnya yang panas,
Neneng akan selaliu berbisik mesra:
“Hancurkan aku, Bonar. Luluhkan tubuhku,
jadikan satu dengan dirimu!”
Hal. 53 « 386
Kemudian, tempat tidurlah yang ikut
bergoyang-goyang. Terus bergoyang demikian,
selama berbulan-bulan, bahkan sudah lebih dari
setahun. Goyang-ber-goyang itu tidak membenih
kan sesuatu yang bisa kami ajak bercanda, yang bisa
kami momong bersama. Namun meskipun tanpa
anak, benih-benih lain menjelma lebih besar.
Perasaan cinta, yang jauh lebih agung dari hanya
sekedar saling menyukai. Cinta itu terkadang
menghanyutkan aku sehingga dengan megap-
megap aku sering berkata:
“Inikah yang dinamakan Cinta, Neneng-ku?”
Dan ia akan tertawa. Katanya:
“Jangan bergurau.”
“Aku bersungguh-sungguh. Kalau tak percaya,
belahlah dadaku.”
“Kalau kubelah, kau akan mati. Tinggallah aku
menjanda, berurusan dengan polisi!”
Tawa kami bergelak. Panjang.
Kadang-kadang, aku tak tahan untuk menuntut:
“Sampai kapan kita hidup serumah seperti
ini, Neng?”
Hal. 54 « 386
“Sampai kapan? Sampai bosan!”
“Apakah cinta mencapai titik kebosanan?”
“Nah. Kau bergurau lagi. Persetan itu cinta,
tetapi yang jelas. Perasaan saling menyukai, ada
batasnya.”
“Dan bila itu terjadi?”
“Kuharap tidak?”
“Sampai kapan?”
“Sampai kita sudah tua. Kau jadi kakek-kakek
jompo, dan aku nenek-nenek pikun. Kau tanya, he
nenek pikun, mana tempat tidurku? Lalu kujawab,
he kakek jompo, tempat tidurmu terletak di sana.
Dan akan kutunjukkan di mana letaknya kamar
mandi.”
Kucubit pahanya. Keras-keras.
la memekik. Keras-keras.
Kucubit lagi. Manja.
la memekik. Manja.
Dan sambil bercubit-cubitan, kami pun tertawa-
tawa.
Hal. 55 « 386
“Andaikata kita tetap saling menyukai sampai
tua, bagaimana dengan anak-anak kita nanti?”
tanyaku di lain waktu.
“Lho. Tetap jadi anak kita dong. Emangnya,
anak siapa. Anak nenekmu!”
“Bukan begitu. Apakah suatu ketika, tidak
ada yang menuduh mereka anak… ah, katakanlah,
anak yang lahir di luar nikah.”
“Bilang pada anakmu, kakek jompo, mereka
tidak lahir di luar nikah. Mereka hanya kebetulan
lahir, di atas pernikahan tanpa surat-surat
bermaterai segel!”
“Kita kan belum pernah menikah.”
“Eh, kau ini. Lantas, bagaimana kita bisa
hidup serumah?”
“Karena kau suka aku. Dan aku suka kau.”
“Lalu, perasaan suka sama suka itu kita
padukan. Bukankah itu dinikahkan namanya? Orang
lain, hanya sekali saja menikah. Yakni pada waktu
yang tertulis dalam surat resmi itu saja. Surat resmi
yang kadang-kadang dilapisi emas, tetapi tidak
jarang pula lapuk bermulur dengan sudut yang
Hal. 56 « 386
cabik-cabik dan tulisannya sudah kabur dibasahi air
mata. Kita? Tanpa surat resmi, kita tetap menikah.
Dan selamanya, kita tetap menikah. Selamanya, kita
jadi pengantin baru ...”
Namun di balik ucapan yang tandas itu,
menari-nari bayangan saudara dan orang tuanya
yang sering kawin cerai. Sampai-sampai Neneng
bingung saudara kandungnya, saudara tirinya, ayah
tiri, ayah kandung serta ibu kandung ataupun ibu
tirinya. Semenjak kecil ia terbiasa ikut dengan yang
satu, pindah kepada yang lain. la sering sakit hati
kalau ada yang setengah berseloroh setengah
mengejek berkata: yang ini, dan yang itu, serta kau,
pernah sama-sama menetek pada perempuan yang
sama. Lantas Neneng tahu, yang ini adalah
saudaranya, yang itu ayahnya, dan yang di sebelah
sana ibunya. Lantas lagi Neneng pun membenci
pernikahan, sama seperti ia juga benci perceraian.
AKU terbangun oleh sentuhan halus di dadaku.
Waktu mata kubuka, Rosmala sudah berdiri
di samping tempat tidur, la mengalihkan matanya
dari foto yang ia pegang ke wajahku. Lalu seraya
meletakkan kembali foto itu di dadaku, ia
bergumam:
Hal. 57 « 386
“Sudah siang, Bonar”
Aku terlonjak bangun. Dan waktu
mengembalikan foto ke dalam koper, kukira aku
juga tersipu.
“Dia gadis yang bernama Neneng?” tanya
Rosmala, seolah sambil lalu ketika ia membetulkan
sprei dan melipat selimut bekas kupakai.
Aku mengangguk. Memandangnya, mencari
reaksi, sekaligus mencari dukungan.
Waktu tatapan mata kami beradu, reaksi itu
kuperoleh, tetapi tidak dukungan.
Leherku bagai patah rasanya.
“Bonar, adikku manis,” ia duduk di
sampingku. “Aku tak perduli dengan siapapun kau
akan kawin. Tetapi itu, selama ayah masih hidup
dan ibu tidak sakit-sakitan. Aku tahu, kau mencintai
gadis Bandung itu dan...”
“Aku telah hidup bersama dengannya, kak.”
Rosmala terbelalak.
Lama kemudian:
Hal. 58 « 386
“Apa? Kau sudah kawin? Mengapa tidak
bilang-bilang?” ia mengurut dadanya. Berulang-
ulang. Berucap: “Ya Tuhan!”
Kubiarkan goncangan pada diri Rosmala mereda.
Baru:
“Kami tak pernah kawin, kak.”
Sekali lagi ia mengurut dada. Sekali lagi ia
mengucap:
“Ya Tuhan!” ia tatap mataku dengan
pandangan bingung. “Aku tak mengerti. Kau bilang
kau sudah hidup bersama dengannya. Tetapi kau
bilang pula kalian belum kawin. Apakah maksudmu,
kau dan Neneng...”
“Kak. Pernah dengar samen-laven.”
“Ya Tuhan! Ya Tuhan! Ya Tuhan!” dan
Rosmala tiba-tiba berlari keluar kamar. Aku tidak
tahu. ke mana ia pergi. Waktu aku keluar dari
kamar, salah seorang ponakanku yang menyedia
kan makanan di atas meja. la juga berkata, ibu pergi
ke rumah keluarga Marianna, diantar oleh Tigor.
Mendengar itu, selera makanku terenggut hilang,
betapapun sebenarnya aku merasa lapar. Maklum,
lauk berupa daun ubi tumbuh pakai rimbang dan
Hal. 59 « 386
udang kering, sambal petai yang tak dikupas
bercampur ikan teri, adalah teman nasi yang
musykil kucicipi selama di Bandung. Belum lagi nasi
dari beras Berangan, serta terong panggang pakai
kecap, tomat dan bawang yang diiris. Namun semua
hidangan itu di mataku tak lebih dari bungkal-
bungkal kerikil bercampur tanah, yang menguapkan
bau busuk memualkan.
Kubantingkan sendok garpu ke piring.
Berdentang bunyinya. Dan keponakanku
menjadi pucat pasi.
“Ada yang salah, Uda?” tanyanya, seraya
menyidik hati-hati ke arah meja.
Tanpa menjawab, aku bergegas ke kamar
mandi. Lupa masih memakai piyama, kucemplung
kan kepala dalam bak selama beberapa detik,
kemudian kuguyurkan bergayung-gayung air ke
sekujur tubuh sampai piyama itu terasa dingin
melekat ke kulit tubuhku. Namun dadaku bagai
terbakar, tak mau padam biarpun hampir
seperempat isi bak kuhabiskan dengan sia-sia.
Merasa rumah yang kurindukan itu telah
berubah jadi neraka, sehabis mandi aku lantas
Hal. 60 « 386
berganti pakaian bermaksud pergi ke mana saja.
Tetapi baru juga kaki ini melangkah menuruni
terras, sebuah Vespa keluaran tahun enam dua
yang masih mulus meski lecet di sana sini, menderu
masuk ke pekarangan. Begitu vespa di standar,
orang yang duduk di joknya, Tigor, bergegas turun
lantas menghampiriku. Begitu kami berhadapan,
tubuhku terasa tegang, la juga menjadi kaku. Lama
kami saling berpandangan, sampai beberapa orang
tetangga menyapaku dari kejauhan. Sebelum aku
tahu apa yang akan kuperbuat dan apa yang
membuat wajah Tigor melambangkan amarah yang
sedemikian rupa, ia telah menarik tanganku
bergegas masuk ke dalam.
“Butet!” teriaknya pada ponakanku yang
keluar tergopoh-gopoh dari dapur setelah
mendengar suara ribut-ribut di depan.
“Ya ayah?” sahut si gadis kecil yang masih
pucat wajahnya.
“Keluar kau!”
Anak itu tercengang. Terpaku diam di
tempatnya berdiri.
Hal. 61 « 386
“Kubilang, keluar dari sini. Pergi ke mana saja,
asal jangan nguping!”
Bagai tersentak, si gadis kecil mundur ke
dapur, kemudian terdengar suara pintu ditutupkan,
dan gadis itu melintas di luar jendela samping.
Sekilas, ia masih menoleh ke dalam, mengintai
dengan wajah yang semakin pucat dan sinar mata
ketakutan.
Waktu aku menoleh, bermaksud mengatakan
sesuatu pada Tigor, sebuah tinju telah melayang
dengan derasnya ke daguku. Aku terhenyak ke
belakang, mundur membentur sebuah kursi jatuh
menggelimpang bersama kursi itu, kemudian
berusaha bangkit dengan susah payah.
Diperlakukan sedemikian rupa, tidak saja
keheranan tetapi juga kemarahan naik ke kepala.
Semenjak kecil, aku selalu kalah dan tidak berani
melawan Tigor. Tetapi beberapa jurus tendangan
Kung Fu yang kuperoleh selama kuliah, perlahan
lahan mengalir di sekujur persendian tubuhku yang
berdiri tegang tetapi dengan tangan-tangan dan
kaki-kaki lemas siap terayun. Kalau saja tadi aku
menduga tentu aku tak akan menerima penghinaan
itu. Sekarang ...
Hal. 62 « 386
“Ayo!” teriak Tigor. Keras. “Ayo. Balaslah.
Pukullah aku. Tendang sesuka hatimu. Kalau perlu
ambil pisau di dapur, bunuh aku, bunuh saudara-
saudaramu, bunuh pula ibumu yang kini semaput di
rumah Anna!”
Sikapku yang garang, berubah jadi sikap
seekor anak ayam kehilangan induk.
Terduduk di kursi, aku merintih:
“... Apa... apa yang terjadi, bang? Apakah ibu ...”
“Bah! Jadi kau masih inqat ke selamatan
orang tuamu. Hem. la cuma pingsan begitu
mendengar apa yang dituturkan kakakmu padaku.
Aku dan kakakmu bicara berdua, tetapi melihat
kedatangan Rosmala yang ganjil, ibu lantas nguping.
Dan ia pingsan seketika. Tahukah kau, akibat lebih
buruk bisa menimpa ibu? Masih untung, keluarga
Marianna belum tahu apa yang menyebabkan ibu
semaput. Mereka cuma menyangka collapse, tetapi
lama kelamaan mereka akan tahu juga. Ayo Bonar.
Jawablah sekarang. Benarkah kau sudah punya
isteri di Bandung?”
Lemah, aku mengangguk.
Hal. 63 « 386
Aku menduga akan menerima serangan tinju
lagi, dan aku bertekad untuk tidak membalas.
Tetapi yang terjadi justru keadaan lain. Tigor
mengerang tak menentu, terduduk doyong di
sebuah kursi, kemudian menangis tersedu-sedu.
Laki-laki yang anaknya sudah duduk di akademi itu,
menangis tersedu-sedu. Hatiku benar-benar
hancur. Abangku. Menangis tersedu-sedu. Aku
bergerak dari kursi, mendekat ke tempatnya duduk,
dan berusaha memeluk Tigor. Tetapi, tanganku ia
tepiskan dengan kasar. Sama kasarnya, ia mendesis:
“Jangan jamah diriku, anak kotor!”
Bagai dilempar sebungkal besar batu gunung,
aku terhenyak kembali di kursi semula. Mataku
berkunang-kunang kepalaku bagai terayun-ayun,
dan aku tersandar seraya bergumam. Lirih, dan
tajam:
“Kau ulangi sekali lagi ucapan itu, bang.”
“Anak kotor. Bah!”
Aku ingin bangkit. Memukul Tigor. Menghajar
Tigor. Menghancurkan Tigor. Membuka mata Tigor.
Menyadarkan Tigor. Bahwa aku juga adalah laki-laki
seperti dia. Tetapi aku tetap tersandar di kursi yang
Hal. 64 « 386
kududuki. Lesu, dengan hati yang terasa semakin
sakit. Sakit tiada kepalang.
“Bang...,” erangku. Hatiku bersih. Hati
Neneng bersih. Tidak ada yang kotor dari kehidupan
kami!”
“Bah. Bersih. Bah!” la menceracau. “Cucu
seorang haji, anak seorang ibu guru mengaji di
madrasah, berkata semacam itu. Bah!”
“Kalau aku salah, biarlah Tuhan yang
menghukum, bang!”
“Tuhan. Enaknya bicaramu. Apakah kau kira
Tuhan akan membiarkan kau menyebut-nyebut
nama-Nya bila aib sudah tercoreng di dahi keluarga
kita?”
“Bila kalian paksa, aku bisa mengajak Neneng
untuk menikah secara syah.”
“Apa? Menikah? Kau dan Neneng? Gilakah
kau?” ia mencak-mencak sendiri. “Persetan dengan
Nenengmu. Kau memang harus menikah. Tetapi
bukan dengan si Neneng itu. Kau harus menikah
dengan Anna. Titik!”
“Bang...”
Hal. 65 « 386
“Diam!” ia mengurut dadanya. Berjalan ke
jendela. Bertelekan ke bendul jendela itu, tengadah
dengan leher sedikit di panjangkan, la menghirup
udara segar dari luar berlama-lama. Waktu ia
memutar tubuh, ia tersandar lemah pada jendela
itu, namun sikapnya telah berubah sedikit lunak, la
memandangku dengan mata yang ganjil.
“Bonar,” katanya, hampir seperti pada
dirinya sendiri. “Kau tahu, suami Rosmala susah
benar naik pangkat. Di pasar, saingan dagangku
semakin banyak. Sedang di rumah, baik Rosmala
maupun aku, harus menghidupi sekian anak yang
terus bertambah. Ka-Be yang datang belakangan,
terlambat untuk bisa menolong kami dari
kehancuran. Dalam posisi sesulit itu tahukan kau
apa yang harus kami perbuat?”
Tak mengerti arah tujuannya, aku hanya
berdiam diri.
la goyang-goyangkan kepala sudah.
“Begini, Bonar,” ujarnya terpatah-patah.
“Sewaktu ayah masih hidup, studimu masih bisa
dijamin biayanya. Setelah beliau meninggal,
kamilah yang banting tulang. Aku berkongsi dengan
Hal. 66 « 386
kakakmu. Tidak saja untuk membiayai studimu,
tetapi juga untuk mengurus ibu kita. Kami lakukan
itu dengan susah payah. Untung kau katakan kau
sudah bekerja, tak usah lagi dikirimi uang ... eh,
Bonar. Bagaimana dengan pekerjaanmu di biro
bantuan hukum itu? Memuaskan? Banyak suka
duka ya? Mengurus perkara-perkara ... tetapi ah,
sudahlah. Mengapa pula hal itu kita bicarakan
sekarang. Yang penting, kau harus sadar segalanya
telah terlambat untuk ditarik kembali. Keluarga
Marianna telah siap. Kau tau, ayahnya adalah adik
kesayangan ibu. Selama ini Bonar, boleh dikatakan
keadaan kami sudah lumpuh. Untung ayah Anna
turun tangan. Sebagian dari biaya studimu -
sebelum kau minta diputuskan namun toh sekali
dua masih dikirimi juga, dan hampir seluruh resiko
dapur ibu, ditanggung oleh ayah Anna. Mereka
melakukan itu tanpa dapat kami tolak karena
mereka berpengharapan: di samping sebagai
kakaknya, ayah Anna ingin berbesan dengan ibu
kita. Bantuan mereka mungkin bisa kau nilai bila
dalam bentuk uang. Tetapi dalam nilai moriel, kau
tidak akan pernah menjumlahkan pengorbanan
mereka secara matematik!”
la berjalan mundar-mandir di ruangan itu.
Hal. 67 « 386
Kedua tangannya melipat ke belakang.
Sesekali ia tepuk-tepukkan. Melipat lagi. Mundar-
mandir lagi.
“... jadi kau tahu sekarang, kita tidak bisa
mengelak lagi.”
“Bisa,” tukasku, lebih mirip ucapan tak sadar
yang tau-tau terloncat keluar.
“Apa?”
“Katakan aku telah beristeri.”
“Mustahil!”
“Harus”
“Kau bisa buktikan?”
“Kuusahakan. Neneng pasti setuju.”
“Neneng! Neneng lagi! Kau tak punya bukti
bahwa ia adalah isterimu. Lagi pula, Tuhan jadi
saksi. Bahwa ia memang bukan isterimu.”
“Tetapi…”
“Tuhan telah membuat ketentuan
bagaimana orang hidup bersuami isteri, Bonar. Dan
apa yang kau perbuat bersama Neneng, lebih
Hal. 68 « 386
banyak melanggar dari pada memenuhi aturan itu.
0, o, jangan ribut-ribut. Tak usah bantah. Kau kawin
tanpa surat nikah. Tanpa disahkan tuan kadhi, janji-
janji hidup semati di atas kesucian Al-Qur'an. Aku
juga berpikir-pikir apa artinya hidup samen-laven
itu. Katakanlah, sebelum hidup di bawah naungan
atap sebuah rumah, kalian telah lebih dahulu
berzinah. Ah, diamlah. Aku mengatakan apa
adanya. Kalian berzinah sebelum satu rumah. Dan
biarpun kini kalian telah hidup satu rumah,
hubungan kalian tetap dianggap perzinahan!”
“Hubungan kami bersih. Tidak terdorong nafsu.”
“Zinah tidak selamanya karena dorongan
nafsu, la juga datang karena keinginan yang di luar
sadar. Mungkin karena cinta. Mungkin ... ah, ini
kukira yang benar... mungkin karena perasaan suka
sama suka. Namun bagaimanapun, nafsu tetap
memegangi peranan!” ia berdiri lagi di jendela.
Menghadap lurusi ke arahku.
“Marilah kita lihat eksesnya. Kalian berzinah!
Bukan menikah. Jadi, hubungan kalian setiap saati
bisa diputuskan.”
“Tidak!”
Hal. 69 « 386
“Tidak?”
“Kami tak pernah bicara soal cerai,”
rungutku. Marah. “Dan kami tidak berkeinginan
untuk cerai.”
“Cerai? Tidak. Karena kalian tak pernah
menikah. Aku hanya bilang, putus hubungan.
Perempuan itu harus kau tinggalkan. Lupakan dia,
terima Marianna, dan hiduplah menurut aturan-
aturan yang telah berlaku dan diterima oleh sesama
ummat.”
“Abang berbicara seperti seorang khotib,”
ujarku getir. “Tetapi perilaku abang jauh sebelum
ini, justru tidak memakai aturan pula. Jadi, jangan
abang paksakan aturan-aturan yang usang itu
terhadapku !”
“Tetapi rumah tanggaku kini sudah berangsur
tenteram Bonar,” sahutnya agak gusar. “Lagipula
jangan kau pandang aku. Pandanglah ibu. Pandang
nama baik semua keluarga kita. Semua keluarga
Marianna. Kirimlah surat ke Bandung. Katakan kau
tak mungkin kembali pada Neneng, dan katakan
agar ia melupakan dan menganggap kau tak pernah
hidup bersama dia.”
Hal. 70 « 386
“Kejam nian!”
“Apa boleh buat, Bonar.”
“Tidak!”
“Tak ada jalan lain.”
“Tak mungkin.”
“Cobalah mengerti. Kasihanilah Ibu! la sudah
tua. Perempuan lagi. la sudah terlalu lemah…”
“Neneng juga perempuan.”
“Dan Anna?”
“... percayakah abang, kalau kukatakan
berbohong dengan mengatakan dalam salah satu
surat-suratku bahwa aku sudah bekerja? Aku belum
bekerja. Aku masih terus kuliah. Karena tidak saja
kalian. Tetapi Neneng dan keluarganya ingin aku
selesaikan studiku. Pekerjaan akan mengganggu
kuliah. Kukatakan itu, karena aku tahu keadaan
ekonomi keluarga di sini sedang morat-marit.
Tetapi aku perlu hidup. Hidup perlu biaya. Dan
Neneng memberikan biaya itu. Neneng
memberikan hidup itu.”
Tigor tercengang sesaat. Kemudian:
Hal. 71 « 386
“Okey. Kau tidak bekerja. Kau bohong.
Neneng menghidupimu. Di sana. Di Bandung. Di
Medan sini? Anna menghidupi ibu, dan kau tak
mungkin membantah kehadiran seorang ibu dalam
kehidupanmu,” lalu dengan suara menang melihat
aku terenyuh, Tigor meneruskan: “Hitung jumlah
yang telah dikeluarkan Neneng untukmu. Aku dan
Rosmala, akan berdaya upaya untuk membayar
nya!”
Telingaku bagai terbakar hangus.
Dengan dada meletup-letup, aku menatap
nya. Tak percaya apa yang ia katakan. Lama, dengan
nada tersendat-sendat, aku baru bisa berkata. Sinis:
“Kau pedagang tekstiel busuk hati. Kau kira
cinta juga bisa diperjual belikan, eh?”
la terlonjak marah. Tetapi tidak berbuat
sesuatu ketika aku berdiri, kemudian bergegas
keluar dari rumah, keluar dari tempat di mana aku
lahir dan dibesarkan namun kini telah digantungi
asap neraka itu. Tidak, aku tidak sudi mati lemas di
dalamnya. Aku tak sudi. Benar-benar tak sudi!
*
* *
Hal. 72 « 386
4
Hal. 74 « 386
“Senang bertemu kau. Dan ah, perkenalkan
Kawanku, Margono,” ia memperkenalkan kawan
nya yang duduk di boncengan, dengan siapa
kemudian aku bersalaman.
la kemudian menarikku masuk ke warung kembali.
“Mari, kutraktir minum,” katanya. “Aku
sudah. Uangnya saja,” sahutku.
“Jadah kau!”
Dan kami tertawa gelak, la bertanya banyak
tentang pengalamanku selama studi di Bandung.
Ketika kukatakan akhir tahun ini mudah-mudahan
aku sudah bisa mengambil Gelar Sarjana Hukum di
Universitas Pajajaran, Chairudin geleng kepala.
“Kau sudah jadi orang,” katanya kagum.
“Dan kau tampaknya tidak berhasil jadi
seorang Duta Besar.”
“Husy. Jangan ulang-ulangi omong kosong
itu. Kau tahu, waktu di es-em-a dulu, aku memang
tidak pernah memperoleh nilai bahasa Inggeris di
bawah angka sepuluh. Bahkan guru bahasa Inggeris
kita, kutegor karena salah menuliskan kata-kata
verbal di papan tulis. Setiap orang berhak
Hal. 75 « 386
menggantungkan cita-cita bukan? Cita-cita yang
tinggi. Setinggi langit. Kalau bisa, lebih. Ada yang
berhasil. Tapi tak kurang yang semakin tinggi cita-
citanya, semakin keras jatuhnya ke bumi,” ia
tersenyum. “Aku salah satu yang terhempas itu.”
“Kudengar, kau dapat warisan kebun kelapa
dari ayahmu.”
“He-eh. Aku mengusahakan penyulingan
minyak. Ala kampung. Masih primitip. Tetapi kau
barangkali belum tahu. Di Berayan sudah ada pabrik
minyak kelapa. Aku benar-benar tersisih. Untung
masih ada orang yang lebih menyukai minyak
kampung dari pada minyak produk pabrik ...,” ia
menghirup es campur dari gelas di tangannya,
dengan perasaan nikmat. “Eh, kalau tak salah ingat,
waktu mau berangkat ke Bandung, beberapa tahun
yang lalu, kau mau cari gadis anak induk semang di
tempat kau kost. Hasil?”
“Berkat do'amu, ya.”
“Jadah. Tak sudi aku mendo'akan kau
perawani gadis-gadis itu,” ia tertawa. “Jadi, kau
sudah kawin?”
“He-eh.”
Hal. 76 « 386
“Cantik isterimu?”
“Pokoknya, tak kalah cantik dengan si
Dameria. He, kau dengar bagaimana kabar dia
sekarang?”
“Entahlah,” sahutnya, tertawa nakal.
“Emangnya kau masih mau ngirim surat cinta
seperti dulu?” lalu ia menirukan kalimat yang
pernah kutulis sepenuh perasaan, kemudian
kutitipkan lewat Chairudin untuk disampaikan pada
Dameria. Waktu itu kami masih sama-sama baru
masuk kelas satu, dan kini aku tertawa setengah
mampus mendengar Chairudin meniru-nirukan
surat cintaku yang ditolak mentah-mentah itu:
“Oh, sayangku, buah hatiku, kasihanilah
hambamu, pungguk yang merindukan wajahmu
yang rupawan bak bulan purnama,” dan sambil
menekan perutnya dengan tangan menahan gelak
yang berderai, sehingga orang-orang lain ikut
memperhatikan, Chairudin meneruskan dengan
suara terputus-putus: “Tentu saja pernyataan
cintamu ia tolak. Wajahnya kau bilang bagai
rembulan. Padahal, bulan kan bopeng-bopeng!”
Hal. 77 « 386
la kemudian menceritakan tentang bekas-
bekas teman sekelas kami. Legiman yang sudah
bekerja dan kawin dengan Murniati, masih teman
sekelas, dan kini sudah beranak tiga. Mamontang
yang pemalu, dan kini hidup serumah dengan
seorang janda. Juga beranak tiga. Sahara sudah pula
kawin, tetapi tak seberuntung teman-teman lain.
Belum punya keturunan meski sudah empat tahun
berjalan.
“Dan kau?” desakku.
la angkat bahu. Jawabnya:
“Waktu masih di es-em-a, aku satu-satunya
yang masih bercelana pendek sampai tamat. Kini
aku tengah mencoba bagaimana enaknya bercelana
panjang, baru kemudian berpikir tentang
perempuan. He!” ia mencondongkan mukanya ke
depan, setengah berbisik: “Masih ingat kau Wak
Parto, yang buka warung kopi di belakang
sekolahan? Yang kita sering makan lima pisang
goreng tetap kita bilang dua?”
“He-eh.”
“Keluar dari sekolahan kita di jalan Ayahanda
itu, aku masih sering mengunjungi Wak Parto.
Hal. 78 « 386
Mula-mula, karena ingin menebus dosa. Aku makan
pisang goreng dua tetapi kubilang lima. Kini, Wak
Parto sudah mati. Tinggal isterinya, dan anaknya.
Kau masih ingat, Ijah, yang kudisan itu?”
“He-eh. Kenapa?”
“'la cantik benar sekarang. Kulitnya, putih
mulus seperti mentega kalengan. Pintar berdandan
di kamar, aku akan tetap menunggu. Eh, jangan kau
ketawa. Kau bisa pangling kalau kubawa ke
rumahnya. Tetapi dengan syarat.”
“Hem, apa?”
“Kita bergantian”
“Gantian? Gila!”
“Sungguh. Asal mau bayar seribu perak. All
night. Bisa pakai di tempat!”
“Sialan!” aku memaki. “Tak sudi aku dijangkiti
raja singa!”
Margono yang dari tadi berdiam diri,
sekonyong-konyong berdiri.
“Aku mau pulang,” ia bersungut-sungut.
Hal. 79 « 386
“Eh. Tunggulah. Kuantar sebentar,” nyeletuk
Chairudin.
“Aku jalan kaki saja.”
Dan tanpa ucapan terimakasih telah ditraktir
minum, bahkan tanpa ba tanpa bu padaku Margono
kemudian menghilang keluar warung. Chairudin
memandang kepergian temannya seraya geleng-
geleng kepala.
“Suka hatinyalah. Mentang-mentang rumah
nya sudah dekat. Di ujung Ngalengko sana. la, anak
santri itu memang suka ngambek kalau aku mulai
ngoceh soal gituan!”
Sebaliknya, kupandangi sahabatku itu
dengan perasaan kasihan, la tampak jauh lebih tua
dari umur yang sesungguhnya. Wajah yang dulu
klimis sehingga di cap banci oleh kawan-kawan
sekelas kini ditumbuhi jambang yang tidak teratur
serta kumis yang melele di bawah hidung yang
senantiasa berminyak. Dahinya mulai dialuri gurat-
gurat halus. Waktu ia palingkan muka kembali dan
tatapan mata kami bertemu, ia tersenyum. Getir.
Hal. 80 « 386
“Si Gono itu anak baik,” katanya, “kalau tak
ada dia, aku sudah jatuh bangkrut. Bisa jadi terkena
raja singa seperti yang kau bilang.”
“Seharusnya kau cepat-cepat kawin, sahabat.”
“Kawin?” ia tertawa. Pahit. “Lantas mau ku-
kemanakan ibu yang sudah menjanda, serta sebelas
orang adik-adikku yang masih kecil-kecil?”
la mengeluh. Dalam. Lalu:
“Inilah hidup, Bonar. Raportku yang dulu
tidak pernah merah dan tak ada yang bernilai di
bawah tujuh, nyatanya sia-sia saja. Begitu ayah mati
keinginan untuk melanjutkan studi seperti kau, ikut
pula mati. Apalagi keinginan untuk kawin. Bagiku
kawin berarti membangun sebuah rumahtangga
yang tidak boleh diganggu gugat oleh keluargaku,
dan sebaiknya isteriku tidak pula boleh menggugat
kehadiran keluargaku di tengah-tengah kami.
Lantas kutempuh jalan gampang. Tetap melajang,
mungkin sampai ubanan. Dan untuk tidak sampai
gila karena onani, aku ambil perempuan yang bisa
mengurangi ketegangan otak. Ku beli. Se jam. Dua
jam. Ambil, pakai, bayar. Habis sampai di situ. Dan
aku tak perlu mensia-siakan keluarga!”
Hal. 81 « 386
la putar-putarkan gelas es campur di atas
meja. Sekali ia remas. Kuat. Seakan mau meremas
dirinya sendiri. Mau meremas hidup yang menjauhi
dirinya. Meremas dunia yang telah mentertawakan
nya. Dan ketika sisa es campur itu ia reguk sampai
tetes terakhir, aku berpikir sahabatku telah
terserang dahaga atas kebahagiaan yang telah lama
tidak ia nikmati lagi. Lama aku kehilangan kata-kata.
Ingin menghiburnya, tetapi tak ingin kalau yang
terlontar dari mulutku hanya kata-kata kosong yang
tidak ada gunanya. Tak ubah dengan kata-kata
menyabarkan seorang dokter terhadap pasien yang
sedang mengerang-erang oleh serangan sakit gigi
yang dahsyat. Tak mau jadi dokter yang gagal
seperti itu, aku cepat-cepat berkata:
“Eh, Din. Mengapa kita tidak jalan-jalan saja?”
la mencoba tersenyum.
“Okey. Pertemuan ini memang patut kita
rayakan. Kau pilih mana? Percut? Gedung Johor?
Sembahe? Berastagi?”
“Kupilih yang terakhir...”
“Hem. Aku mengerti. Kau ingin mengingat
udara sejuk kota Bandung di kota yang gersang ini,
Hal. 82 « 386
bukan? Hayo, pantatkupun sudah semutan duduk
terus-terusan di sini!”
Keluar dari warung, ia bertanya:
“Kau di depan?”
Aku mengangguk setuju. Kunci Honda
kuambil dari tangannya. Motor kustater. la sudah
mau duduk di boncengan waktu tiba-tiba Chairudin
teringat sesuatu:
“Hai. Tunggu sebentar. Kacamataku
tertinggal di warung!”
la bergegas lagi masuk ke dalam. Sebuah
Vespa 65 mau parkir. Karena terhalang oleh
Hondaku yang memalang jalan, pengendara Vespa
memandangku dengan penuh harap. Demi
toleransi, Honda ku majukan. Tetapi karena
tergesa-gesa, ketika akan berhenti di pinggir jalan
aku bukannya menginjak rem melainkan
versnelling. Mesin mati. Tetapi sebelum mati masih
sempat melonjakkan motor kedepan, hampir saja
menyambar sebuah becak berpenumpang seorang
perempuan tua dan dua orang anak-anak kecil.
Becak buru-buru menyingkir agak ke tengah jalan.
Hal. 83 « 386
Tetapi sebuah mobil yang melaju dengan
kecepatan penuh dari arah Serdang, rupanya
menjadi gugup oleh perubahan jalur yang diambil
abang becak. Mobil banting stir untuk menghindari
tabrakan dengan becak itu, tetapi arahnya justru
tertuju tepat ke Honda yang kunaiki. Sekejap, aku
masih ingat untuk mengelak. Kedua kaki yang
menjejak tanah ku tekan kuat untuk mendorong
motor maju. Malang, aku lupa gigi masuk. Motor itu
tetap diam. Tak ayal lagi, terasa benturan yang
keras menerpa bagian belakang motor. Stang
berputar. Tanganku terlepas. Aku terlompat.
Terbang di udara. Honda terbanting ke tanah
dengan suara berderak. Tak ingin kepalaku ikut
berderak, kuusahakan koprol sebelum jatuh.
Namun tak urung lututku membentur pinggir
sebuah kios rokok.
Akibatnya, aku terbanting ke tanah dengan
kerasnya.
Sebuah hantaman menggodam wajahku.
Entah dari mana datangnya, ribuan bintang-bintang
berwarna-warni berlari-larian di sekitarku,
kemudian menari-nari mengelilingi diriku. Tarian
yang gila itu membuat kepalaku pening alang-
Hal. 84 « 386
kepalang, dan waktu ribuan bintang-bintang itu
kemudian berhenti berputar-putar, aku sudah tidak
ingat apa-apa lagi.
*
* *
Hal. 85 « 386
“Kemana? Ke Cina itu, kemana lagi? la harus
mengganti biaya servis Vespa yang rusak. Kau kan
tahu Vespa itu punya si Dudung. Dari mana aku mau
ganti? Lagipula, hem. Luka-luka lecet dan sakit
hatiku harus dibayar mahal olehnya. Akan kuperas
habis dia. Biar tahu rasa!”
Dalam mobil yang disetiri oleh Neneng
menuju ke rumah sakit Rancabadak, gadisku masih
berusaha menahan maksudku.
“Sudahlah,” katanya. “Toh Suzuki bebek si
Cina itu ringsek.”
“Perduli!”
“Kau cuma lecet-lecet kecil. Tetapi ia?”
Di Rancabadak, Si Cina masih belum sadar.
Salah satu kakinya tergantung pada langit-langit
tempat tidur. Dokter tengah melakukan transfusi
darah, dan seorang perawat yang akan keluar dari
kamar dengan enggan menjawab pertanyaanku:
“Tulang keringnya patah.”
“Patah?”
“Tepatnya, remuk. Harus dipotong. Kalau pun
tak dipotong, ia akan pincang seumur hidupnya.”
Hal. 86 « 386
Aku terjengah. Namun belum putus harapan.
Segera kudatangi rumah keluarga Si Cina. Di sana, di
sebuah rumah kecil dan terjepit di antara dua buah,
gedung besar dan megah ... yang kuharap tadinya
salah satu tempat kediaman yang kutuju ..., aku
disambut oleh isak tangis keluarganya. Ayah
pemuda Cina yang surat-surat keterangan, SIM
serta Suzuki bebeknya masih ditahan oleh polisi itu,
mohon dengan nada menyesal:
“Anakku habis bertengkar dengan pacarnya,
la kebingungan waktu pulang. Mungkin ia tak
melihat lampu merah dan … ”
Dan tiba di rumah kembali, Neneng tersenyum.
“Bagaimana sekarang?” tanyanya.
“Apa boleh buat,” kataku getir. “Cabut saja
perkara tabrakan itu. Tapi apa si Dudung yang pelit
itu mau mencabut biaya servis dari tanganku?”
“Biar kutanggung, sayangku,” Neneng
tersenyum semakin lebar, kemudian memeluk
dengan hangat. “Tapi lain kali, ingat. Jangan sekali-
sekali ngebut!”
“Okey deh. Tak akan sekali-sekali. Aku akan
ngebut dua tiga kali!”
Hal. 87 « 386
Neneng mencubitku. Manja.
*
* *
Hal. 90 « 386
“Eh, Abang kok lihat yang lain,” ia bersungut-
sungut seraya menutupi dadanya dengan kedua
tangan.
Aku tersenyum.
“Dan kau tentu tak ingusan lagi,” ujarku.
la mencondongkan wajah, memperlihatkan
hidung yang bangir. Hendusan nafas yang panas
terasa menyapu wajahku.
“Ada bulu di lubang hidungmu.”
la tarik wajahnya cepat-cepat. Bergumam malu.
“Oh ya? Biar nanti ku gunting di rumah.”
“Apa?” aku berlagak terkejut. “Hidungmu
mau kau gunting?”
la tertawa. Terpingkel-pingkel.
Tetapi segera menahan tawanya waktu
beberapa orang masuk ke dalam. Aku melihat ibu,
bang Tigor, kak Ros serta suaminya, lalu kedua
orangtua Marianna. Juga beberapa orang
keponakanku yang semuanya mengerubungi
sekeliling tempat tidur sehingga aku mengeluh:
Hal. 91 « 386
“Kenapa engga mengundang seluruh
penduduk Medan untuk membesuk?”
Mereka pada tertawa. Termasuk ibuku yang
begitu masuk sudah mulai berurai air mata. Seraya
mengusap kedua belah pipinya yang pucat ibu
berkata:
“Nak, tadinya dunia kukira sudah kiamat
waktu kawanmu Chairudin tergopoh-gopoh ke
rumah memberi tahu kau masuk rumahsakit.”
“Di mana dia sekarang?”
“Di bengkel,” jawab bang Tigor. “Honda-nya
sudah engga berbentuk lagi.”
“Wah…”
“Tak usah cemas. Si Udin boleh memiliki sisa-
sisa Honda itu, biarpun orang yang menabrakmu
sudah menjanjikan akan membeli sebuah Honda
baru untuknya.”
“Dan orang itu?”
“Yang menabrak?”
“He-eh.”
Hal. 92 « 386
“la baik-baik saja. Mobilnyapun cuma lecet
sedikit, la bersama keluarganya sudah datang ke
rumah untuk minta maaf.”
“Ooo…”
“Nak.”
Aku terjengah sendiri. Menoleh pada kedua
orang tua Marianna yang tersenyum ramah.
Kuulurkan tanganku yang disambut mereka dengan
jabatan erat dan hangat. Malah, bukan saja jabatan
tangan mata ayah Marianna, aku melihat tersirat
adanya jabatan hati. Sesuatu yang punya makna.
Sesuatu yang minta dimengerti. Dan minta
disetujui. Aku menghela nafas panjang,
memejamkan mata untuk menyembunyikan
perasaan tidak enak yang tergejola dalam dada.
Rupanya perbuatan itu salah ditafsirkan sehingga
kak Ros buru-buru berkata:
“Biarlah si Bonar istirahat saja dulu.”
Mereka kemudian pamit tanpa lupa
mengucapkan do'a-do'a untuk keselamatanku. Ada
dua orang yang enggan untuk meninggalkan
ruangan. Yang Pertama, Marianna. la
memandangiku dengan mata yang berkedip.
Hal. 93 « 386
Mulutnya bergemit mau mengutarakan sesuatu,
tetapi tidak jadi. Dan tangannya keburu ditarik
ayahnya keluar dari kamar. Tinggal ibu, yang
mengusap-usap tanganku dengan penuh kasih.
Tanpa suatu tekanan pada kata-katanya, ia
kemudian mengutarakan apa yang sama sekali tidak
pernah kuduga begitu aku tadi tersandar dan
melihat Marianna ada d samping tempat tidurku.
“… aku senang melihat kalian intim, anakku.
Tahukah kau, bagaimana Anna bersikeras untukl
menjagamu semenjak kemarin di kamar ini?”
“Ah!”
“Bersyukurlah, anakku. Belum juga ia jadi
isterimu, Anna sudah memperlihatkan pengabdian
seorang perempuan terhadap laki-laki yang dicintai
nya.”
Setelah berkata demikian, ibu kemudian
keluar menyusul yang lain-lain. Lama aku termangu-
mangu memikirkan kenyataan yang buat semua
keluarga kami merupakan sesuatu yang sangat
dibanggakan namun bagiku tak lain berarti
semacam kekuatan tersembunyi yang berusaha
menyudutkan diriku agar tak sempat lari dari
Hal. 94 « 386
kenyataan yang harus kuhadapi. Sampai dokter dan
seorang perawat masuk untuk memeriksa
keadaanku, menghiburku dengan kata-kata bahwa
aku akan segera diperkenankan pulang, lantas
kemudian bersama-sama memindahkan aku ke
dalam sebuah zaal yang kebetulan pasiennya tidak
begitu banyak. Waktu besuk telah lama habis,
ketika di pintu zaal muncul seorang yang masih
asing bagiku tetapi jelas menuju berjalan ke arah di
mana aku terbaring.
Langkah-langkah orang itu tampak amat
gemulai di atas sepatu berchaak tinggi yang hampir
tenggelam di ujung celana bush-jean biru tua yang
ketat di bagian pinggulnya yang padat. Pinggangnya
seperti melekuk enggan di bawah dada yang bidang
serta bagian depan tertonjol ke depan seakan-akan
mau menembus blous hijau lumut yang tipis
berleher rendah memperlihatkan lekukan manis
dari dua buah gumpalan daging yang lembut
berwarna putih ke kuningan serta terlindung oleh
sebuah liontine bermata berlian yang gemerlapan
dijilat cahaya matahari yang masih bersisa di
jendela dekat kepala tempat tidurku.
Hal. 95 « 386
la tersenyum dengan sedikit anggukan kepala
pada pasien-pasien yang ia lewati dan kebetulan
memperhatikan kehadirannya. Tiba di dekatku, ia
gerakkan kepala sedikit untuk menyingkirkan anak-
anak rambut yang menutupi salah satu bola
matanya yang bundar bersinar-sinar di atas pipi
yang penuh.
Gendewa bibirnya yang berbentuk lukisan
stiker dengan tulisan “Don't kiss” yang banyak
tertempel di buntut banyak kendaraan agak
melebar waktu ia lahirkan seulas senyum yang
membuatku benar-benar ta'jub. Senyuman khas
itu, khusus ditujukan untuk diriku. Apa artinya
segala perih dan sakit yang sedang mendera baik di
tubuh, maupun di hati?
“Hai, sapanya.”
“... hai!”
“Kau baik-baik saja?”
“Seperti Anda lihat.”
“Ah. Tak usah ber Anda-anda. Panggil saja
nama ku. Lily,” lantas ia ulurkan lengannya yang
penuh dan licin seperti lilin. Lima buah jari jemari
lentik segera tergenggam di telapak tanganku yang
Hal. 96 « 386
kasar. Ada getaran pada jabatan itu. Dan aku sendiri
sukar untuk menebak. Mana yang bergetar itu. Jari
jemarinyakah? Atau telapak tanganku?
“Nama yang indah. Seperti orangnya,”
gumamku dengan tulus.
“Pujian usang,” sambutnya. “Kau belum
mengenalkan namamu.”
“Oh...”
Tetapi belum sempat aku mengatakan sesuatu
gadis itu telah mendahului:
“Sudahlah. Aku sudah tahu namamu.
Kawanmu yang mengatakan.”
“Kawan...?”
“Chairudin nama laki-laki yang berkumis lele
itu, bukan? la mengatakan siapa kau padaku, waktu
membantu menaikkan kau ke dalam mobilku
tempat kecelakaan itu”
“Oh,” lagi.
“Apakah kau marah?”
“Marah?” aku tercengang. “Marah pada siapa?”
Hal. 97 « 386
“Aku.”
“Eh. Pasalnya?”
“Membuat lututmu bengkak dan tulang
pipimu mungkin akan cacat seumur hidup ...”
“Kau ... kau maksud ...,” aku semakin tercengang.
“Ya. Akulah orang yang menabrakmu kemarin.”
Terpana. Aku terpana. Benar-benar terpana. Lama.
“Marahilah aku!”
Kubasahi bibirku yang kering. Rungutku, pelan:
“Dulu aku pernah tabrakan juga.”
“Hem. Di mana?”
“Di Bandung.”
“0o, jadi kau sengaja pulang kampung, untuk
dihantam oleh mobilku,” ia mencoba tersenyum.
Getir.
Mendengar itu, aku tertawa kecil. “Kalau
begitu, aku benar-benar beruntung pulang tahun
ini.”
“E-eh, kok?”
Hal. 98 « 386
“Kalau tidak, mana aku bisa berkenalan
dengan gadis sejelita kau?”
“Ini orang gimana sih. Disuruh marah, malah
memuji-muji.”
“Memuji itu pahala. Marah itu berdosa.”
“Lagaknya kau!” senyumnya cerah kini.
Matanya, lebih-lebih lagi. Renyai.
“Mengapa tidak mengunjungi pada waktu bezuk?”
la duduk di atas kursi di pinggir tempat
tidurku dengan wajah yang berubah sendu.
Sahutnya:
“... Aku malu pada keluargamu. Takut
bentrok dengan mereka.”
“Keluargaku bukan tukang makan orang.”
“Tetapi mobilku telah memakan anak
tersayang mereka,”
“Aku tak ingin celaka. Kau pun tentu tidak
bermaksud mencelakai orang. Lagipula, kau dari
keluargamu kudengar telah datang ke rumah. Itu
sudah lebih dari cukup.”
la terdiam.
Hal. 99 « 386
Akupun, ikut pula diam. Karena terlalu lama
diam, aku menatap ke matanya. Enggan. Pada saaj
yang bersamaan, ia pun menatap ke mataku.
Enggan. Bersamaan pula, kami menghindari
pandangan mata itu. Enggan. Ah. Mengapa hati ini
begitu keras untuk tetap memperhatikan wajah
nya? Mengapa ada denyutan-denyutan ganjil pada
jantung? Denyutan yang memukul-mukul. Keras,
sehingga aku terengah-engah sendiri.
“... sakit?” tanyanya tiba-tiba.
“Eh, apanya?”
“Nafasmu sesak barusan.”
“Oh ya. Ya. Agak sakit.”
“Maafkan aku.”
“Eh. Apaan lagi? Maaf untuk apa?”
“Aku membuat kau sakit.”
“Sudah kubilang kau tentu tidak bermaksud ...”
“Memang tidak. Tetapi toh nyatanya maksud
mu untuk bersenang-senang, pulang kampung, jadi
terganggu ...”
“Bersenang-senang?” hatiku terenyuh.
Hal. 100 « 386
Bersenang-senang, katanya. Seraya tertawa
kecut, aku bergumam:
“Justru pikiranku sedang gundah ketika aku
keluar rumah bertemu sahabat lama dan kemudian
kau terbangkan ke udara ..
“Persoalan keluarga?”
“Ngg,… ya”
Wajahnya kian sendu. Seraya mempermain-
mainkan jari-jemarinya pada pinggir sprei tempat
tidur, ia mengeluh:
“Sebelum menabrakmu, aku juga barusan
bentrok dengan keluarga.”
“Oh ya? Boleh aku tahu?”
la memandangku. Tajam. Lantas aku sadar,
aku bukan apa-apanya sehingga berhak untuk
mengetahui. Tetapi ia kemudian tersenyum.
Katanya:
“Nanti juga kau akan tahu.”
“Nanti?”
“Emangnya, kau lebih suka kalau kita
berpisah sampai di sini saja?” sepasang bola
Hal. 101 « 386
matanya yang bundar, bersinar ganjil. “Kalau
begitu, kau memang marah dan tidak menyukai
diriku.”
Lantas ia bergegas. Bangkit.
“Hey, tunggu dulu.”
la memandangku sejurus. Matanya renyuh.
“Jadi kita akan bertemu lagi?”
Mendengar itu, aku beruntung lagi memperoleh
senyuman manis dibibirnya.
“Selama kau menerima maafku,” jawabnya.
“Berapa keranjang kau mau?”
Gadis itu tertawa. Cerah. Dan tawanya
membuat aku lupa segala-galanya. Aku bangkit
duduk, la terkejut, menoleh ke arah lututku. Cemas,
Lutut itu kugerak-gerakan. Sakit memang. Tetapi
aku laki-laki. Dan kebanyakan laki-laki memang
senang memperlihatkan gengsi.
“Kau lihat?” ujarku dengan bangga. “Lututku
tak apa-apa. Kepalaku pun ...,” dan kepala yang
berbalut kuketuk-ketuk dengan buku jari telunjuk
berkali-kali. “Tak terasa apa-apa. Kehadiranmu
*
* *
*
* *
*
* *
“Bonar?”
Suara itu sayup-sayup sampai. Sayup-sayup
sampai...
“Bonar!”
Mataku terbuka. Ada sentuhan halus di
pundak. Waktu aku menoleh, aku melihat Lily.
Bibirnya tersenyum, tetapi matanya sendu,
digantungi seribu Btu pertanyaan yang minta
kujawab.
“... kau menangis,” bisiknya. Lemah.
“Oh ya?” sahutku, terkejut lalu buru-buru
menyeka kedua belah pipi dengan sebelah tangan.
*
* *
*
* *
*
* *
*
* *
*
* *
*
* *
*
* *
*
* *
*
* *
*
* *
*
* *
*
* *
*
* *
*
* *
*
* *
*
* *
***
TAMAT
D.A.S
Kolektor E-Books