Anda di halaman 1dari 1

Saudara, jika dulu kita menerima Al-Qur’an  

yang benar-benar asli (tanpa tanda dan syakal),


dijamin kita tidak akan mampu membacanya. Lihatlah gambar Al-Qur’an asli, tidak ada titik-titik
dan tidak ada syakal, apalagi penjelasan tajwid. Ketika Islam mulai berkembang dan banyak
orang memeluk Islam, maka ada kekhawatiran mereka tidak akan mampu membaca Al-Qur’an
dengan benar. Tentu akan sangat mempengaruhi pengertian-pengertian yang ada dalam Al-
Qur’an. ADVERTISEMENT Agar Al-Qur’an dapat dibaca dengan benar dan pengertian-
pengertiannya dapat dipahami dengan baik, ulama melakukan ijtihad menciptakan titik-titik,
tanda baca (syakal/harakat), ilmu nahwu, dan ilmu tajwid. Adalah Abu Aswad Ad-Duali (69 H)
yang menciptakan tanda baca (syakal/harakat). Tanda baca yang diciptakan oleh Abu Aswad
masih berupa titik-titik: titik-titik inilah yang membedakan huruf yang satu dibaca fathah,
kasrah, atau dhammah.  ADVERTISEMENT Pada fase selanjutnya ada ulama yang bernama Nasr
bin Ashim dan Yahya bin Ya’mar. Dua ulama ini berijtihad menciptakan garis-garis pendek untuk
membedakan ejaan huruf yang sama, seperti ba, ta, tsa, ha, kha, ha, sin, syin dan lain-lain.
Seorang ulama bernama Khalil bin Ahmad (170 H) kemudian membalik fungsi tanda-tanda baca
tersebut. Titik-titik yang tadinya merupakan tanda harakat diubah menjadi tanda pembeda
ejaan antara huruf-huruf yang bentuknya sama.  Pada perkembangan selanjutnya juga
diciptakan tanda hamzah yang sebelumnya ditulis dalam bentuk alif. Khalil bin Ahmad terus
berijtihad menciptakan tanda tanwin, tasydid, dan sukun. Khalil bin Ahmad memang dikenal
sebagai pakar fonologi (ilmul ashwath), morfologi  (ilmus sharf), dan sintaksis (ilmun nahwi)
bahasa Arab. Khalil bin Ahmad kemudian melahirkan seorang murid yang sangat terkenal dalam
bidang ilmu nahwu, yaitu Imam Sibawaih.  ADVERTISEMENT Selain fonologi, morfologi, dan
sintaksis, Al-Qur'an juga mengandung ilmu tajwid yang kemudian dihimpun oleh para ulama, di
antaranya adalah Al-Adzhim Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, Hafsh bin Umar Ad-Duriy, Al-Hafizh
Abu Bakar bin Mujahid Al-Baghdadi dan lain-lain. ADVERTISEMENT Karena ilmu tajwid inilah kita
bisa mengerti bacaan huruf panjang atau pendek dalam Al-Qur’an. Selain itu, kita juga dapat
membedakan suara huruf-huruf (makharijul huruf) yang ada dalam Al-Qur’an, terutama huruf-
huruf yang pelafalannya hampir sama, seperti ha, kha, dan ha.  Penjelasan singkat ini saya
tuliskan karena baru-baru ini saya bertemu dengan orang yang menyatakan bahwa memahami
Islam tidak perlu merujuk pada ijtihad para ulama. Mereka meyakini Islam itu mudah, maka
memahaminya cukup dengan kembali kepada Al-Qur’an; tidak perlu mempelajari ijtihad para
ulama yang rumit itu. Penjelasan singkat ini saya maksudkan agar orang tersebut sadar bahwa
jika tidak ada ulama, kita bahkan tidak akan mampu membaca Al-Qur’an dengan benar, apalagi
menggali hukum darinya. Yang menciptakan titik-titik, harakat, nahwu dan tajwid itu bukan
Rasulullah SAW dan bukan sahabat, tapi para ulama. Inilah yang dimaksud oleh salah satu hadis
Nabi bahwa para ulama adalah ahli waris para nabi. Ini baru soal cara membaca Al-Qur’an.
Bagaimana dengan cara memahami Al-Quran? Tentu diperlukan disiplin ilmu lainnya, di
antaranya adalah ilmu ushul fiqih yang tokoh utamanya adalah Imam Syafi’i. Orang yang
menyatakan bahwa memahami Islam cukup kembali kepada Al-Qur’an, sambil mengabaikan
peran para ulama, saya yakin orang itu tidak pernah belajar sejarah Al-Qur’an, sejarah umat
Islam, bahkan tidak pernah belajar Islam dengan sebenar-benarnya.  Jangan mudah terpukau
pada orang yang jago menyitir ayat kemudian menyimpulkan putusan hukum. Jika tidak
didasarkan pada pemikiran Islam yang panjang, ia pasti sering keliru. Wallahu a’lam.   KH
Muhammad Taufik Damas, Wakil Katib Syuriyah PWNU DKI Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai