TINJAUAN TEORITIS
lebih dari 38,4oC tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan
elektrolit akut pada anak berusia di atas 1 bulan tanpa riwayat kejang
sebelumnya (IDAI, 2009).
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu mencapai >380C). kejang demam dapat terjadi karena
proses intracranial maupun ekstrakranial. Kejang demam terjadi pada 2-
4% populasi anak berumur 6 bulan sampai dengan 5 tahun (Amid dan
Hardhi, NANDA NIC-NOC, 2013).
Menurut pengertian di atas dapat disimpulkan kejang demam adalah
bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu melebihi dari 38°C
yang disebabkan oleh proses ekstrakraninum atau akibat dari pembesaran
listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebal.
2. Anatomi dan Fisiologi
Penerapan dan proses keperawatan pada pasien dengan masalah
neurologi memerlukan pengetahuan tentang struktur dan fungsi sistem
persarafan. Sistem saraf bekerja sebagai konduktor sistem listrik, saraf
mengatur dan mengendalikan seluruh aktifitas tubuh. Aktifitas dapat
dikelompokkan dalam 4 fungsi berikut: menerima informasi (stimulus)
dari lingkungan internal dan eksternal melalui jalur sensori (af-ferent),
menghubungkan informasi yang diterima pada berbagai tingkat
refleks (medulla spinalis) dan mengingatkan (otak yang lebih tinggi)
untuk menentukan respon yang sesuai dengan situasi,
menghubungkan informasi antara sistem saraf perifer dan pusat,
menyalurkan informasi dengan cepat melalui berbagai jalur motorik
(efferent) ke organ tubuh. Dalam pembahasan kejang demam ini akan
diuraikan sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer.
a. Saraf Pusat
1) Otak
Otak dibagi menjadi tiga bagian: Serebrum, Batang otak dan
serebelum. Semua berada dalam satu bagian struktur tulang
yang di sebut tengkorak, yang juga melindungi otak dari cedera.
Empat tulang yang berhubungan membentuk tulang tengkorak:
tulang frontal, parietal, temporal dan oksipital. Pada dasar
tengkorak terdiri dari tiga bagian fossa-fossa anterior berisi lobus
frontal serebral bagian hemisfer: bagian tengah fosa berisi lobus
parietal, temporal dan okspital dan bagian fossa posterior berisi
batang dan medula.
2) Serebrum.
Serebrum terdiri dari dua hemisfer dan empat lobus Subtansia
grisen terdapat pada bagian luar dinding serebrum dan
Subtansia alba menutupi dinding serebrum bagian dalam. Pada
prinsipnyakomposisi subtansia gisea yang terbentuk dari badan-
badan sel saraf memenuhi korteks serebri, nukleus dan basl ganglia.
Subtansia alba terdiri dari sel-sel saraf yang menghubungkan
bagian-bagian otak dengan yang lain.
a) Frontal Lobus terbesar, terletak pada fossa anterior. Area ini
mengontrol perilaku individu, membuat keputusan, kepribadian
dan menahan diri.
b) Parietal lobus sensori. Area ini menginterpretasikan sensasi.
Sensasi rasa yang tidak berpengaruh adalah bau. Lobus parietal
mengatur individu mampu mengetahui posisi dan letak bagian
tubuhya. Kerusakan pada daerah ini menyebabkan sindrom
hemineglect.
c) Temporal berfungsi menginterpretasikan sensasi kecap, bau dan
pendengaran. Ingatan jangka pendek sangat berhubungan dengan
daerah ini.
d) Okspital terletak pada lobus posterior hemisfer serebri. Bagian
ini bertanggung jawab menginterpretasikan penglihatan.
Gambar otak terlihat dari luar yang memperlihatkan bagian penting dan lobus
3) Batang Otak
Batang otak terletak pada fossa anterior. Bagian-bagian batang otak
ini terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblongata. Otak tengah
(midbrain atau mesensefalon) menghubungkan pons dan serebelum
dengan hemisfer serebrum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan
motorik dan sebagai pusat refleks pendengaran dan penglihatan.
Pons terletak di depan serebelum antara otak tengah dan medula dan
merupakan jembatan antara dua bagian serebelum dan juga antara
medula dan serebrum. Pons berisi jaras sensorik dan motorik.
Medula oblongata meneruskan serabut-serabut motorik dari otak ke
medulla spinalis dan serabut-serabut sensorik dari medulla spinalis
ke otak. Dan serabut-serabut tersebut menyilang pada daerah ini.
Pons juga berisi pusat-pusat terpenting dalam mengontrol jantung,
pernafasan dan tekanan darah dan sebagai asal-usul saraf otak
kelima sampai kedelapan.
4) Serebelum
Serebelum terletak pada fossa posterior dan terpisah dari hemisfer
serebral, lipatan durameter, tentorium serebelum. Serebelum
mempunyai dua aksi yaitu merangsang dan menghambat dan
tanggung jawab yang luas terhadap koordinasi dan gerakkan halus.
Ditambah mengontrol gerakkan yang benar, keseimbangan, posisi
dan mengitegrasikan input sensorik.
Gambar 2.2
Diagram yang memperlihatkan talamus, hipotalamus dan hipofisis
3. Faktor resiko
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain
adalah demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin
dari mikroorganisme, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal
akibat infeksi, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit (Dewanto et
al, 2009). Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (IDAI, 2009)
Riwayat kejang demam dalam keluarga, Usia kurang dari 18 bulan,
temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin
sering berulang, lamanya demam.
4. Etiologi
Etiologi dari kejang demam masih tidak diketahui. Namun pada
sebagian besar anak dipicu oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan
cepat, yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan syaraf pusat misalnya
demam ini berbeda untuk tiap anak dan insiden kejang demam pada suhu
di bawah 39oC sebesar 6,3 % sedangkan pada suhu diatas 39˚C sebesar
19% sehingga bisa dikatakan bahwa semakin tinggi suhu semakin besar
kemungkinan untuk kejang. Akan tetapi secara fisiologis belum diketahui
dengan pasti pengaruh suhu dan faktor yang berperan dalam kejang
demam pada saat infeksi.
Kejang dapat terjadi pada setiap orang yang mengalami hipoksemia
(penurunan oksigen dalam darah) berat, hipoglikemia, asodemia,
alkalemia, dehidrasi, intoksikasi air, atau demam tinggi. Kejang yang
disebabkan oleh gangguan metabolik bersifat reversibel apabila stimulus
pencetusnya dihilangkan (Corwin, 2001).
5. Patofisiologi
Terjadinya infeksi di ekstrakranial seperti otitis media akut, tonsillitis
dan bronchitis dapat menyebabkan bakteri yang bersifat toksik tumbuh
dengan cepat, toksik yang dihasilkan dapat menyebar ke seluruh tubuh
melalui hematogen dan limfogen. Pada keadaan ini tubuh mengalami
inflamasi sistemik. Dan hipotalamus akan merespon dengan menaikkan
pengaturan suhu tubuh sebagai tanda tubuh dalam bahaya secara sistemik.
Disaat tubuh mengalami peningkatan suhu 1°C secara fisiologi tubuh
akan menaikkan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen
sebesar 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai
65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya
15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat
terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi,
dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke
seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan
yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak
mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi
rendahnya ambang kejang seeorang anak menderita kejang pada kenaikan
suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah
terjadi pada suhu 38°C sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang
tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40°C atau lebih. Dari kenyataan
inilah dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih
sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita
kejang.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang
mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan
timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.
Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat
serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” di
kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi
kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis di otak hingga terjadi epilepsi (Ilmu Kesehatan Anak FK UI,
2002).
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi
dipecah menjadi CO2dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri
dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam
keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion
kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit
lainnya, kecuali ion klorida (Cl–). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron
terdapat keadaan sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di
dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang
disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan
potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase
yang terdapat pada permukaan sel.Keseimbangan potensial membran ini
dapat diubah oleh :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
b. Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi
atau aliran listrik dari sekitarnya
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan
kenaikan metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan
meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari
seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %.
Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari
membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion
kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas
muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh
sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan
“neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung
lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya
terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang
tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin
meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak
meningkat
6. Tanda dan gejala
Ada 2 bentuk kejang demam (menurut Lwingstone), yaitu:
a. Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri
gejala klinis sebagai berikut :
1) Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
2) Kejang umum tonik dan atau klonik
3) Umumnya berhenti sendiri
4) Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
b. Kejang demam komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-
ciri gejala klinis sebagai berikut :
1) Kejang lama > 15 menit
2) Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial
3) Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
7. Klasifikasi
Menurut Price, 2006 kejang diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Kejang parsial (fokal, local)
1) Kejang parsial sederhana
a) Kesadaran tidak terganggu
b) Kedutan pada wajah, tangan atau salah satu sisi tubuh
c) Muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi pupil
2) Kejang parsial kompleks
a) Terdapat gangguan kesadaran
b) Mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, gerakan mencongkel
yang berulang-ulang pada tangan.
8. Komplikasi
Pada penderita kejang demam yang mengalami kejang lama biasanya
terjadi hemiparesis. Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang
terjadi. Mula – mula kelumpuhan bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu
timbul spastisitas.
Kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis di otak sehingga terjadi epilepsy.Ada beberapa komplikasi yang
mungkin terjadi pada klien dengan kejang demam :
a. Pneumonia aspirasi
b. Asfiksia
c. Retardasi mental
9. Tes diagnostik yang menunjang
Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis
kejang demam antara lain:
a. Anamnesis, dibutuhkan beberapa informasi yang dapat mendukung
diagnosis ke arah kejang demam, seperti: (Dewanto et al, 2009, dalam
Pohan, 2010).
1) Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang,
suhu sebelum dan saat kejang, frekuensi, interval pasca kejang,
penyebab demam diluar susunan saraf pusat.
2) Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang demam, seperti
genetik, menderita penyakit tertentu yang disertai demam tinggi,
serangan kejang pertama disertai suhu dibawah 39° C.
3) Beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya kejang demam
berulang adalah usia< 15 bulan saat kejang demam pertama, riwayat
kejang demam dalam keluarga, kejang segera setelah demam atau
saat suhu sudah relatif normal, riwayat demam yang sering, kejang
demam pertama berupa kejang demam akomlpeks.
b. Gambaran Klinis, yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam
adalah: (Dewanto et al, 2009, dalam Pohan, 2010).
c. Pengobatan profilaksis
Ada 2 cara profilaksis, yaitu (1) profilaksis intermiten saat demam
atau (2) profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan setiap hari.
Untuk profilaksis intermiten diberian diazepam secara oral dengan
dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 3 dosis saat pasien
demam. Diazepam dapat diberikan pula secara intrarektal tiap 8 jam
sebanyak 5mg (BB<10kg)>10kg) setiap pasien menunjukkan suhu
lebih dari 38,5 0 C. efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk
dan hipotonia.
Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya
kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi
tidak dapat mencegah terjadinya epilepsy dikemudian hari. Profilaksis
terus menerus setiap hari dengan fenobarbital 4-5mg.kgBB/hari dibagi
dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat
dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis selama
1-2 tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2
bulan
Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria
(termasuk poin 1 atau 2) yaitu :
1) sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan
neurologist atau perkembangan (misalnya serebral palsi atau
mikrosefal)
2) Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan
neurologist sementara dan menetap.
3) Ada riwayat kejang tanpa demma pada orang tua atau saudara
kandung.
4) bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan
atau terjadi kejang multiple dalam satu episode demam.
b. Teori kognitif
Ketika teori psikoanalisis menekankan pentingnya alam bawah sadar,
teori kognitif menekankan pikiran-pikiran sadar. Tiga teori kognitif
yang penting adalah teori perkembangan kognitif piaget, teori kognitif
social budaya Vygotsky, dan teori proses informasi.
Teori perkembangan kognitif piaget
Piaget (1896-1980) juga mengusulkan gagasan bahwa kita melalui
empat tahapan untuk memahami dunia. Setiap tahap di kaitkan pada
usia dan terdiri dari cara yang jelas untuk berfikir, cara berbeda untuk
memahami dunia. Jadi menurut piaget (1954), kognisi anak secara
kualtatif berbeda pada setiap tahapannya seperti berikut :
Tahap sensoris-motorik yang berlangsung sejak lahir hingga usia 2
tahun adalah tahap pertama piaget. Pada tahap ini, bayi membangun
pengertiannya terhadap dunia dengan mengoordinasi pengalaman
sensoris (seperti melihat dan mendengar) dengan tindakan fisik,
kegiatan motoric, diistilahkan sensoris-motorik.
5) Imunisasi
Yang perlu dikaji adalah jenis imunisasi dan umur
pemberiannya. Apakah imunisasi lengkap, jika belum apa
alasannya.
c. Riwayat penyakit sekarang
1) Awal serangan : Sejak timbul demam, apakah kejang timbul
setelah 24 jam pertama setelah demam
2) Keluhan utama : Timbul kejang (tonik, klonik, tonik klonik), suhu
badan meningkat
3) Pengobatan : Pada saat kejang segera diberi obat anti konvulsan
dan apabila pasien berada di rumah, tiindakan apa yang dilakukan
untuk mengatasi kejang.
4) Riwayat sosial ekonomi keluarga
Pendapatan keluarga setiap bulan, hubungan sosial antara anggota
keluarga dan masyarakat sekitarnya.
5) Riwayat psikologis
Reaksi pasien terhadap penyakit, kecemasan pasien dan orang tua
sehubungan dengan penyakit dan hospitalisasi.
d. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan persistem
a) Sistem persepsi sensori :
Penglihatan : air mata ada / tidak, cekung / normal
Pengecapan : rasa haus meningkat / tidak, lidah lembab / kering
b) Sistem persyarafan : kesadaran, menggigil, kejang, pusing
c) Sistem pernafasan : dispneu, kusmaul, sianosis, cuping hidung,
d) Sistem kardiovaskuler : takikardi, nadi lemah dan cepat / tak
teraba, kapilary refill lambat, akral hangat / dingin, sianosis
perifer
e) Sistem gastrointestinal :
Mulut : membran mukosa lembab / kering
Perut : turgor ?, kembung / meteorismus, distensi
Informasi tentang tinja : warna (merah, hitam), volume, bau,
konsistensi, darah, melena
f) Sistem integumen : kulit kering / lembab
g) Sistem perkemihan : bak 6 jam terakhir, oliguria / anuria
2) Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan : sanitasi ?,
b) Pola nutrisi dan metabolisme : anoreksia, mual, muntah
3) Pola eliminasi
a) Bab : frekuensi, warna (merah?, hitam?), konsistensi, bau,
darah
b) Bak : frekuensi, warna, bak 6 jam terakhir?, oliguria, anuria
2. Diagnosa keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi atau inflamasi
b. Resiko injury b.d kelemahan, perubahan kesadaran dan kehilangan
koordinasi otot
c. Jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan menumpuknya sekret
pada jalan nafas.
d. Resiko terjadi kerusaskan sel otak berhubungan dengan
kejang
e. Resiko trauma atau penghentian pernafasan atau penghentian
pernafasan berhubungan dengan kesulitan keseimbangan
perubahan kesadaran
f. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi
mengenai proses penyakitnya
g. Kecemasan berhubungan dengan dampak haspitalisasi
h. Gangguan volume ca
i. iran kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan
suhu tubuh
j. Resiko kejang berulang b.d riwayat kejang
k. Resiko kekurangan nutrisi b.d anoreksia
3. Intervensi
No. Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
D Keperawatan
K
o
1 Hipertermi Setelah dilakukan asuhan 1. Observasi suhu tubuh tiap 4 jam 1. Suhu 38,9-40 c menunjukkan adanya
berhubungan dengan
keperawatan selama 1x24 jam proses infeksi akut
proses inflamasi 2. Pertahankan suhu tubuh normal
diharapkan tidak terjadi 2. Suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat
3. Berikan kompres
hipertermi atau peningkatan suhu aktivitas, suhu, lingkungan, kelembaban
tubuh. Dengan kriteria hasil : 4. berikan pada klien baju yang tipis dan tingi akan mempengaruhi panas atau
1) Suhu tubuh dalam rentan dinginnya tubuh
terbuat dari katun serta bahan yang
normal 36,5 - 37,5 ºC 3. Dengan vasodilatasi dapat meningkatkan
menyerap keringat.
2) Nadi dalam rentan normal 80- penguapan yang mempercepat penurunan
120x/menit. 5. monitor penurunan tingkat kesadaran. suhu tubuh.
3) RR dalam rentan normal 18- 4. Proses hilangnya panas akan terhalangi
6. Kolaborasi dengan dokter dalam
24x/menit lleh pakaian tebal dan tidak dapat
pemberian obat penurun panas
4) Tidak ada perubahan warna menyerap keringat
kulit dan tidak ada pusing. 5. Menentukan intervensi selanjutnya untuk
mencegah komplikasi lebih lanjut
6. Pemberian obat penurunan panas sangat
penting bagi pasien dengan suhu tinggi
No. Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
D Keperawatan
K
2 Resiko injury b.d Setelah dilakukan asuhan 1. Sediakan lingkungan yang aman untuk 1. Tujuan melindungi klien dari trauma
kelemahan, perubahan
keperawatan selama 1x24 jam pasien. kapitis
kesadaran dan
kehilangan koordinasi diharapkan tidak masuk dalam 2. Menghindarkan lingkungan yang 2. Perabotan yang berada di sekitar klien
otot
keadaan aktual. Dengan kriteria berbahaya. yang mengalami serangan kejang, dapat
hasil : 3. Memasang side rail tempat tidur mencederai klien, seperti lampu.
1) Tidak terjadi kejang. 4. Observasi kejang berulang 3. Mencegah cidera yang dapat
2) Tidak terjadi cedera. 5. Menyediakan tempat tidur yang menyebabkan jatuh.
nyaman dan bersih & Membatasi 4. Lingkungan yang nyaman membuat klien
pengunjung. lebih rileks dan tenang
6. Menganjurkan keluarga untuk 5. Pendampingan keluarga dapat
menemani pasien. menurunkan stres yang dialami ole klien
7. Edukasi tentang penyakit kepada 6. Pengetahuan yang cukup dapat membantu
keluarga dalam mencegah kejang berulang
No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
dk Keperawatan
3. Jalan nafas tidak Setelah diberikan asuhan 1. Monitor TTV (suhu, nadi, RR, TD) 1. Tanda-tanda vital untuk mengetahui
efektif berhubungan keperawatan selama 2x24 jam 2. Auskultasi suara napas klien intervensi selanjutnya.
dengan menumpuknya diharapkan pola nafas kembali 3. Berikan posisi yang nyaman untuk 2. Mengetahui masih terdapat sekret atau
sekret pada jalan efektif dengan kriteria hasil: mengoptimalkan ventilasi tidak pada jalan napas klien
nafas. a. RR dalam batas normal 18- 4. Monitor warna kulit 3. Posisi yang nyaman bagi klien akan
24x/menit 5. Lalukan suction jika diperlukan mempermudah masuknya oksigen dan
b. Menunjukkan jalan nafas yang proses sirkulasi oksigen
Paten 4. Untuk menilai status klien apakah klien
c. Tidak ada sianosis, Tanda- mengalami sianosis atau tidak
tanda vital dalam rentan 5. Membersihkan sekret dari jalan napas.
normal
Daftar Pustaka
Nursalam, Rekawati, 2008, Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (untuk Perawat
dan Bidan) Jakarta: Salemba Medika
Marcdante, Karen J Nelson. 2011. Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Singapura ;
Elsevier
Ridha N. 2014. Buku Ajar Keperawatan Pada Anak. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Rizki, Anisa dkk, 2015, Teori & Konsep Tumbuh Kembang. Yogyakarta: Nuha
Medika
Suriadi, 2010, Asuhan Keperawatan pada Anak, Ed 2. Jakarta: CV Sagung Seto