Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOUS (SLE) PADA ANAK

OLEH :
DWI SETIAWATI
071201020

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
2020
1
LAPORAN PENDAHULUAN
SISTEMIK LUPUS ERYTHEMSTOSUS (SLE)

A. Definisi

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang


disebabkan oleh penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem
pertahanan tubuh yang tidak normal melawan jaringan tubuh sendiri. Antara
jaringan tubuh dan organ yang dapat terkena adalah seperti kulit, jantung,
paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf.
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan suatu penyakit
atuoimun yang kronik dan menyerang berbagai system dalam tubuh. ( Silvia
& Lorraine, 2006 )
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit radang yang
menyerang banyak sistem dalam tubuh, dengan perjalanan penyakit bisa akut
atau kronis, dan disertai adanya antibodi yang menyerang tubuhnya sendiri
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun
multisystem dengan manifestasi dan sifat yang sangat berubah – ubah,
penuakit ini terutama menyerang kulitr, ginjal, membrane serosa, sendi, dan
jantung.(Robins, 2007)
B. Epidemiologi

Penyakit lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE)


prevalensinya dalam populasi tertentu kira – kira satu kasus per 2500 orang,
penyakit ini cenderung terjadi pada perempuan (kira – kira 9:1), yang
menyerang satu diantara 700 perempuan usia subur. systemic lupus
erythematosus (SLE) lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti ras
kulit hitam, Cina, dan Filipina. Penyakit ini terutama diderita oleh wanita
muda dengan puncak kejadian pada usia 15-40 tahun (selama masa
reproduktif) dengan perbandingan wanita dan laki-laki 5:1)
Di Indonesia, data unutk kasus SLE masih belum ada yang mencakup
semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002, berdasarkan data pasien yang
datang ke poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam di RSUP Cipto
Mangunkosumo Jakarta, terdapat 1,4% kasusu dari total seluruh kunjungan
pasien. Sedangkan unutuk RS Hasan Sadikin Bandung, terdapat 10,5%

2
(291pasien) dari total pasien yang berkunjung ke poliklinik reumatologi pada
tahun 2010.

C. Penyebab/factor predisposisi

- Factor genetic

- Factor Humoral

- Factor lingkungan

- Kontak dengan sinar matahari

- Infeksi virus/bakteri

- Obat golongan sulva

- Penghentian lehamilan

- Trauma psikis

Faktor Resiko terjadinya SLE


1. Faktor Genetik
- Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria
dewasa
- Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
- Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga
yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut
2. Faktor Resiko Hormon
Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko
ini.
3. Sinar UV
Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi
kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini
disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga
terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui
peredaran pebuluh darah
4. Imunitas
Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap
sel T

3
5. Obat
Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan
diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat
(Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE).
Jenis obat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah :
a) Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid
b) Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin, penisilamin, dan
kuinidin
c) Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis antibiotic dan
griseofurvin
6. Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang
penyakit ini kambuh setelah infeksi
7. Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecendrungan akan penyakit ini.  

D. Manifestasi Klinis
1) Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan
menderita artritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada
jari tangan, tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada
tulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerah
tersebut.
2) Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal
hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari.
Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar
matahari.
3) Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam sel-
sel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang

4
menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu
menjalani dialisa atau pencangkokkan ginjal.
4) Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling sering
ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan
bisa terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis maupun sistem
saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organik dan sakit kepala
merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi.
5) Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan
darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli
paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan
faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti.
Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.
6) Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis
maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari
keadaan tersebut.
7) Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan
tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.
E. Patogenesis

Lupus ditandai oleh peradangan kronis atau berulang mempengaruhi


satu atau lebih jaringan dalam hubungan dengan beberapa autoantibodi.
Beberapa, seperti anti - sel merah dan antibodi antiplatelet, jelas patogen,
sedangkan yang lain mungkin hanya penanda kerusakan toleransi. Etiologi
tetap misteri, tetapi seperti dalam banyak penyakit kronis, tampaknya
mungkin bahwa penyakit ini dipicu oleh agen lingkungan dalam
kecenderungan tiap individu (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
Faktor Endogen

Banyak autoantibodi (terutama ANAs) diarahkan terhadap antigen


intraseluler biasanya 'tak terlihat' untuk sistem kekebalan tubuh. Hal ini

5
menunjukkan autoimunitas yang berkembang, setidaknya dalam beberapa
kasus, sebagai konsekuensi dari kematian sel yang tidak normal atau
disregulasi termasuk kematian sel terprogram (apoptosis). Dalam mendukung
Konsep ini telah menjadi pengakuan bahwa model hewan lupus di MLR / lpr
mencit karena mutasi genetik FAS. Aktivasi FAS menyebabkan apoptosis,
kelainan FAS mencegah apoptosis yang normal menyebabkan proliferasi
limfositik tidak terkendali dan produksi autoantibodi. Sebuah homolog
manusia model hewan adalah sindrom limfoproliferatif autoimun (ALPS),
karena mutasi dari FAS, anak-anak mengembangkan limfadenopati besar dan
splenomegali dengan produksi autoantibody(Malleson, Pete; Tekano, Jenny.
2007).
Faktor Eksogen

Bahkan sedikit yang diketahui tentang pemicu yang bertanggung jawab untuk
sebagian besar bentuk lupus. Obat seperti antikonvulsan dan antibiotik
(khususnya minocycline) dapat menyebabkan lupus. Sinar matahari dapat
memicu kedua manifestasi kulit dan sistemik lupus (dan neonatal lupus).
Menelan jumlah yang sangat besar kecambah alfalfa juga dapat menyebabkan
lupus, pemicu aktif muncul menjadi L-canvanine. Peran, jika ada, dari virus
dan bakteri dalam memicu lupus tetap jelas meskipun perlu penelitian yang
cukup besar. Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa infeksi tertentu adalah
penting dalam menyebabkan lupus. Menariknya, ada peningkatan penyakit
rematik pada orang dengan infeksi HIV, dan penyakit autoimun termasuk
lupus tampaknya menjadi lebih umum ketika ada restorasi kompetensi
kekebalan dengan penggunaan obat anti retro virus yang sangat aktif
(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).

6
(King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. 2007)

F. Klasifikasi

Ada tiga jenis type lupus :


1. Cutaneous Lupus
Tipe ini juga dikenal sebagai Discoid Lupus Tipe lupus ini hanya terbatas
pada kulit dan ditampilkan dalam bentuk ruam yang muncul pada muka,
leher, atau kulit kepala. Ruam ini dapat menjadi lebih jelas terlihat pada
daerah kulit yang terkena sinar ultraviolet (seperti sinar matahari, sinar
fluorescent). Meski terdapat beberapa macam tipe ruam pada lupus, tetapi

7
yang umum terdapat adalah ruam yang timbul, bersisik dan merah, tetapi
tidak gatal.
2. Discoid Lupus

Tipe lupus ini dapatmenyebabkan inflamasi pada beberapa macam organ.


Untuk beberapa orang mungkin saja hal ini hanya terbatas pada gangguan
kulit dan sendi. Tetapi pada orang yang lain, sendi, paru-paru, ginjal,
darah ataupun organ dan/atau jaringan lain yang mungkin terkena. SLE
pada sebagian orang dapat memasuki masa dimana gejalanya tidak
muncul (remisi) dan pada saat yang lain penyakit ini dapat menjadi aktif
(flare).
3. Drug-induced lupus

Tipe lupus ini sangat jarang menyerang ginjal atau sistem syaraf. Obat
yang umumnya dapat menyebabkan druginduced lupus adalah jenis
hidralazin (untuk penanganan tekanan darah tinggi) dan pro-kainamid
(untuk penanganan detak jantung yang tidak teratur/tidak normal). Tidak
semua orang yang memakan obat ini akan terkena drug-induced lupus.
Hanya 4 persen dari orang yang mengkonsumsi obat itu yang bakal
membentuk antibodi penyebab lupus. Dari 4 persen itu, sedikit sekali
yang kemudian menderita lupus. Bila pengobatan dihentikan, maka gejala
lupus ini biasanya akan hilang dengan sendirinya
Dari ketiganya, Discoid Lupus paling sering menyerang. Namun,
Systemic Lupus selalu lebih berat dibandingkan dengan Discoid Lupus,
dan dapat menyerang organ atau sistem tubuh. Pada beberapa orang,
cuma kulit dan persendian yang diserang. Meski begitu, pada orang lain
bisa merusak persendian, paru-paru, ginjal, darah, organ atau jaringan
lain.
Terdapat perbedaan antara klasifikasi dan diagnosis SLE.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kombinasi gambaran klinis dan temuan
laboratorium dan mungkin tidak memenuhi kriteria klasifikasi American
College of Rheumatology (ACR) (Tabel 1), yang didefinisikan dan
divalidasi untuk keperluan uji klinis. Penggunaan tabel ini ketat daripada
yang dibutuhkan untuk mendiagnosa lupus. Hal ini penting karena
kadang-kadang pengobatan akan tidak tepat akan tertunda menunggu

8
kriteria klasifikasi yang harus dipenuhi (Malleson, Pete; Tekano, Jenny.
2007).
Diagnosa medis definitif didasarkan pada adanya empat atau lebih
gejala tersebut. Laboratorium tes ini termasuk jumlah sel darah lengkap
dengan diferensial, Panel kimia metabolisme, urinalisis, antinuclear
antibodi, anti-DNA antibodi, komplemen 3 (C3), komplemen 4 (C4),
imunoglobulin kuantitatif, plasma reagen cepat (RPR), lupus
anticoagulant, dan antiphospholipid antibodi (Lehman, 2002 dalam
(Ward, Susan L and Hisley, Shelton M. 2009).

G. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini
ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana
terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti
hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan
di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE-
akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat
fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun
dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya
merangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

9
H. Pemeriksaan Fisik

• Inspeksi : inspeksi kulit dilakukan untuk menemukan ruam eritematous.


Plak eritematous pada kulit dengan skuama yang melekat dapat terlihat
pada kulit kepala, muka atau leher. Inspeksi kulit kepala dilakukan untuk
menemukan gejala alopesia, dan inspeksi mulut serta tenggorok untuk
ulserasi yang mencerminkan gangguan gastrointestinal. Selain itu juga
untuk melihat pembengkakan sendi.
• Auskultasi : dilakukan pada kardiovaskuler untuk mendengar friction rub
perikardium yang dapat menyertai miokarditis dan efusi pleura. Efusi
pleura serta infiltrasi mencerminkan insufisiensi respiratorius dan
diperlihatkan oleh suara paru yang abnormal.
• Palpasi : dilakukan palpasi untuk mengetahui adanya nyeri tekan, dan
sendi yang terasa hangat.

I. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan lab:
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear,
yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga
bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi
antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap
DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir
spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi
ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang
berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya,
mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya
penyakit.
b. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein.
Radiology :

Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.

Pemeriksaan Autoantibodi

10
Antibody Prevalensi Antigen yang Clinical Utility
% Dikenali
Antinuclear 98 Multiple nuclear Pemeriksaan skrining terbaik; hasil
antibodies negative berulang menyingkirkan
(ANA) SLE
Anti-dsDNA 70 DNA (double- Jumlah yang tinggi spesifik untuk
stranded) SLE dan pada beberapa pasien
berhubungan dengan aktivitas
penyakit, nephritis, dan vasculitis.
Anti-Sm 25 Kompleks protein Spesifik untuk SLE; tidak ada
pada 6 jenis U1 korelasi klinis; kebanyakan pasien
RNA juga memiliki RNP; umum pada
African Aerican dan Asia dibanding
Kaukasi
Anti-RNP 40 Kompleks protein Tidak spesifik untuk SLE; jumlah
pada U1 RNAγ besar berkaitan dengan gejala yang
overlap dengan gejala rematik
termasuk SLE.
Anti-Ro (SS-A) 30 Kompleks Protein Tidak spesifik SLE; berkaitan
pada hY RNA, dengan sindrom Sicca,
terutama 60 kDa subcutaneous lupus subakut, dan
dan 52 kDa lupus neonatus disertai blok jantung
congenital; berkaitan dengan
penurunan resiko nephritis.
Anti-La (SS-B) 10 47-kDa protein Biasanya terkait dengan anti-Ro;
pada hY RNA berkaitan dengan menurunnya
resiko nephritis
Antihistone 70 Histones terkait Lebih sering pada lupus akibat obat
dengan DNA (pada daripada SLE.
nucleosome,
chromatin)
Antiphospholipid 50 Phospholipids,β2 Tiga tes tersedia –ELISA untuk
glycoprotein 1 cardiolipin dan β2G1, sensitive
cofactor, prothrombin time (DRVVT);
prothrombin merupakan predisposisi
pembekuan, kematian janin, dan

11
trombositopenia.

Antierythrocyte 60 Membran eritrosit Diukur sebagai tes Coombs’


langsung; terbentuk pada
hemolysis.
Antiplatelet 30 Permukaan dan Terkait dengan trombositopenia
perubahan antigen namun sensitivitas dan spesifitas
sitoplasmik pada kurang baik; secara klinis tidak
platelet. terlalu berarti untuk SLE
Antineuronal 60 Neuronal dan Pada beberapa hasil positif terkait
(termasuk anti- permukaan antigen dengan lupus CNS aktif.
glutamate limfosit
receptor)
Antiribosomal P 20 Protein pada Pada beberapa hasil positif terkait
ribosome dengan depresi atau psikosis akibat
lupus CNS

Catatan: CNS = central nervous system,


CSF= cerebrospinal fluid,
DRVVT = dilute Russell viper venom time,
ELISA= enzyme-linked immunosorbent assay.

Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah


ANA karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset
gejala. Pada beberapa pasien ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset
gejala; sehingga pemeriksaan berulang sangat berguna. Lupus dengan ANA
negative dapat terjadi namun keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa
dan biasanya terkait dengan kemunculan dari autoantibody lainnya (anti-Ro
atau anti-DNA). Tidak ada pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA;
variabilitas antara pemeriksaan yang berbeda antara laboratorium sangat
tinggi.
Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA)
spesifik untuk SLE. ELISA dan reaksi immunofluorosensi pada sel dengan
dsDNA pada flagel Crithidia luciliae memiliki sekitar 60% sensitivitas untuk

12
SLE; identifikasi dari aviditas tinggi untuk anti-dsDNA pada emeriksaan Farr
tidak sensitive namun terhubung lebih baik dengan nephritis

J. Diagnosis/kriteria diagnosis

Berdasarkan kriteria American College of Rheumatology (ACR) 1982,


diagnosis SLE dapat ditegakkan secara pasti jika dijumpai empat kriteria atau
lebih dari 11 kriteria, yaitu:
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan cenderung tidak melibatkan lipat nasilabial
Ruam discoid Plak eritema menonjol dengan kerato• k dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap
sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang
dilihat oleh dokter pemeriksa
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnta tidak terasa nyeri
dan dapat terlihat oleh pemeriksa
Artritis Atritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia
Serosis

- Pleuritis a. riwayat penyakit pleuritik berdasarkan anamnesa atau

- perikarditis terdapat efusi pleura


b. dapat dilihat pada rekaman EKG atau pericardial
friction rub atau terdapat efusi pleura
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0,5 gram/hari atau >3+ bila tidak
dilakukan pemeriksaan kuantitatif
b. Silinder seluler: dapat berupa silinder
eritrosit, hemoglobin, granular, tubular, atau
campuran

13
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis,
atau ketidakseimbangan elektrolit)
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis,
atau ketidakseimbangan elektrolit)
Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulus

b. Lekopenia <4000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau


lebih, atau
c. Limfopenia <1500/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih, atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan
obat-obatan
Gangguan imunologik a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer
yang abnormal, atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen
nukluear Sm, atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan atas:
- Kadar serum antibodi antikordiolipin abnormal baik
IgG atau IgM
- Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metode
standar, atau
- Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absropsi antibodi
treponema
Antibodi Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan
antinuklear positif pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat
(ANA) pada kurun waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan
obat yang diketahui berhubungan dnegan sindrom lupus
yang diinduksi obat

14
K. Therapy/tindakan penanganan

Pilar pengobatan yang untuk penderita SLE sebaiknya dilakukan secara


berkesinambungan. Pilar pengobatan yang bisa dilakukan:

a. Edukasi dan konseling

Pasien dan keluarga penderita SLE memerlukan informasi yang benar dan
dukungan dari seluruh keluarga dan lingkungannya. Pasien memerlukan
informasi tentang aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan
misalnya dengan cara melindungi kulit dari sinar matahari dengan
menggunakan tabir surya atau pakaian yang melindungi kulit, serta
melakukan latihan secara teratur. Pasien juga memerlukan informasi
tentang pengaturan diet agar tidak mengalami kelebihan berat badan,
osteoporosis, atau dislipidemia. Informasi yang bisa diperlukan kepada
pasein adalah:
- Penjelasan tentang penyakit lupus dan penyebabnya

- Tipe dari penyakit SLE dan karakteristik dari tipe-tipe penyalit SLE

- Masalah terkait dengan fisik, kegunaan istirahta latihan terutama yang


terkait dengan pengobatan steroid seperti osteoporosis, kebutuhan
istirahat, pemakaian alat bantu, pengaturan diet, serta cara mengatasi
infeksi
- Masalah psikologis yaitucara pemahaman diri pasien SLE, mengatasi
rasa leleah, stres, emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan
hubungan dengan keluarga, serta cara mengatasi nyeri.
- Pemakaian obat mencakup jenis obat, dosis, lama pemberian, dan
yang lainnya. Kebutuahn pemberian vitamin dan mineral.
- Kelompok pendukung bagi penderita SLE

Edukasi juga perlu diberikan untuk mengurangi stigma psikologis akibat


adanya anggota keluarga yang menderita SLE
b. Program rehabilitasi

Pasien SLE memerlukan berbagai latihan untuk mempertahankan


kestabilan sendi karena jika pasien SLE diberikan dalam kondisi

15
immobilitas selama lebih dari 2 minggu dapat mengakibatkan penurunan
massa otot hingga 30%. Tujuan, indikasi, dan teknis pelaksanaan program
rehabilirasi melibatkan beberapa hal, yaitu:
- Istirahat

- Terapi fisik

- Terapi dengan modalitas

- Ortotik, dan yang lainnya.

c. Pengobatan medikamentosa

Jenis obat yang dapat digunakan pada pasein SLE adalah:

- OAINS

- Kortikosteroid

- Klorokuin

- Hidroksiklorokuin (saat ini belum tersedia di Indonesia)

- Azatioprin

- Siklofosfamid

- Metotreksat

- Siklosporin A

- Mikofenolat mofetil

Jenis obat yang paling umum digunakan adalah kortikosteroid yang


dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Namun, penggunaan
kortikosteroid menimbulkan efek samping. Cara mengurangi efek
samping dari penggunaan kortikosteroid adalah dengan mengurangi dosis
obatnya segera setelah penyakit terkontrol. Penurunan dosis harus
dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari aktivitas penyakit muncul
kembali dan terjadinya defisiensi kortikol yang muncul akibat penekanan
aksis hipotalamus-pituitari-adrenal kronis. Penurunan dosis yang
dilakuakn secara bertahap akan memberikan pemulihan terhadap fungsi
adrenal. Penggunaan sparing agen kortikosteroid dapat diberikan untuk
memudahkan menurunkan dosis kaortokosteroid dan mengobtrol penyakit

16
dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing agen
kortokosteroid adalah azatioprin, mikofenolat mofenil, siklofosfamid,
danmetotrexate.

L. Penatalaksanaan Keperawatan

Manajemen Keperawatan

Asuhan keperawatan didasarkan pada pengelolaan rasa sakit dan peradangan,


mengatasi gejala, dan mencegah komplikasi. Pengobatan rasa sakit dan
peradangan pada SLE ringan umumnya dicapai dengan nonsteroidal obat anti
inflamasi (NSAID). Obat antimalaria juga digunakan dalam SLE ringan
untuk mengontrol gejala radang sendi, ruam kulit, sariawan, demam, dan
kelelahan. Perawat perlu memberitahu orang tua yang kadang-kadang
memakan waktu lama sebelum terapi efek obat antimalaria yang jelas.
Perawatan SLE membutuhkan penambahan kortikosteroid. Kortikosteroid
diberikan kepada anak ketika anak tidak merespon NSAID atau obat
antimalaria. Kortikosteroid sangat efektif dalam mengurangi peradangan dan
gejala, meskipun mereka juga memiliki efek samping yang serius dari
imunosupresi. Selama periode eksaserbasi, kortikosteroid dapat dimulai
dalam dosis tinggi. Setelah gejala di bawah kontrol, dosisnya adalah
meruncing ke terendah tingkat terapeutik. Hal ini penting untuk memberitahu
orang tua bahwa steroid harus perlahan meruncing ketika saatnya untuk
menghentikan obat.
Jenis obat yang paling ampuh yang digunakan untuk mengobati SLE parah
termasuk agen imunosupresif. obat-obat ini digunakan ketika penyakitnya
sudah mencapai keadaan yang serius di mana tanda-tanda parah dan gejala
yang hadir. Agen Imunosupresif juga dapat ditentukan jika ada kebutuhan
untuk menghindari kortikosteroid. Keputusan untuk menggunakan
immunosuppressives membutuhkan pertimbangan serius karena efek
samping signifikan, terutama yang berkaitan dengan imunosupresi umum.
Contoh agen imunosupresif digunakan dalam pengobatan SLE termasuk
azathioprine (Imuran), siklofosfamid (Cytoxan), dan methotrexate
(Rheumatrex). Setiap obat memiliki risiko yang unik dan serius seperti
depresi sumsum tulang dan hepatotoksisitas. Perawat harus memperkuat

17
informasi tentang aksi obat sebagai serta efek samping dengan orangtua
sebelum pemberian obat ini
Selain obat-obatan , asuhan keperawatan juga berfokus pada perawatan
paliatif dan memberikan dukungan psikososial . Sekarang penting bahwa
mempertahankan gizi anak yang baik , istirahat dan berolahraga ,
menghindari matahari , dan mendorong ekspresi perasaan tentang kondisi
tersebut. Meskipun tidak ada yang spesifik, Diet untuk SLE adalah diet
rendah garam.

Istirahat dan latihan termasuk periode di mana anak aktif selama remisi dan
beristirahat selama eksaserbasi . Penghindaran dari paparan sinar matahari
ditekankan karena fotosensitif ruam yang terjadi dengan SLE . Penggunaan
tabir surya kegiatan di luar ruangan yang penting , dan perencanaan di bawah
naungan atau tinggal di dalam rumah mungkin diperlukan . Karena kondisi
ini mungkin terjadi kesulitan bagi anak dan keluarga untuk mengatasi dan
mengerti, mendorong ekspresi perasaan atau bergabung dengan kelompok
pendukung didorong . orangtua harus memberitahu guru, pelatih , dan orang
lain tentang anak mereka kondisi sehingga mereka dapat membantu
memantau anak dan memperoleh pengobatan yang diperlukan jika diperlukan
Merupakan perawat tanggung jawab untuk membantu anak dan keluarga
mengidentifikasi kemungkinan pemicu , seperti sinar matahari dan stres
emosional, dan membantu keluarga untuk menemukan cara untuk
menghindarinya. (Ward, Susan
L and Hisley, Shelton M. 2009)

Paparan sinar Matahari

Paparan sinar ultraviolet (UV) dapat menyebabkan eksaserbasi ruam lupus


dan juga gejala-gejala sistemik seperti nyeri sendi dan kelelahan. Ada laporan
bahwa pasien yang secara teratur menggunakan tabir surya (SPF 15 atau
lebih) telah secara signifikan lebih rendah keterlibatan ginjal,
trombositopenia dan rawat inap, dan membutuhkan treatment siklofosfamid
yang menurun. Semua anak dengan SLE harus disarankan untuk memakai
tabir surya setiap hari untuk semua kulit yang terbuka (termasuk telinga),
tidak hanya pada hari-hari cerah karena awan tidak menghilangkan paparan
sinar UV (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).

18
Diit dan Latihan

Tidak ada persyaratan khusus diet tetapi karena kortikosteroid- diinduksi


berat badan, makanan tinggi kalori dan garam harus dihindari. Latihan harus
didorong. Cukup banyak anak berpartisipasi di sekolah penuh waktu, kecuali
selama periode penyakit aktif berat. Kegagalan untuk menghadiri sekolah
harus diwaspadai tim kesehatan untuk kemungkinan masalah psikososial.
Komunikasi dengan guru sekolah diserahkan kepada kebijaksanaan keluarga,
dengan keterlibatan tim klinis jika diminta (Malleson, Pete; Tekano, Jenny.
2007).
Fatique dan Tidur

Kelelahan adalah salah satu gejala yang paling umum. Hal ini biasanya akan
membaik sebagaimana perbaikan penyakit. Beberapa orang tua merasa sulit
selama ini untuk memungkinkan anak-anak mereka untuk berpartisipasi
dalam kegiatan. Terapis okupasi dan fisik dapat sangat membantu dalam
membantu untuk mengembangkan kegiatan yang lebih baik dan perilaku
tidur. Beberapa pola tidur anak-anak bisa berubah pada awal SLE. Hal ini
biasanya berhubungan dengan kortikosteroid. Beberapa anak menjadi
hiperaktif dan murung, dan mengalami kesulitan tidur. Hal ini dapat
ditingkatkan dengan mengambil dosis kortikosteroid sore hari lebih awal.
Beberapa anak pada kortikosteroid dosis tinggi perlu buang air kecil beberapa
kali di malam hari dan bisa sulit untuk jatuh kembali untuk tidur. Keterkaitan
dosis dan kortikosteroid sekali memunculkan sedikit masalah (Malleson,
Pete; Tekano, Jenny.
2007).

Dampak SLE untuk anak dan Keluarga

Ketika diagnosis ditegakkan, kemampuan sumber daya keluarga dan dukungan


sangat diperlukan. Pendidikan sering merupakan langkah pertama dalam
membantu keluarga merasa bahwa mereka memiliki kontrol. Hal ini penting
untuk diingat untuk tidak terlalu membebani keluarga pada beberapa kunjungan
pertama setelah diagnosis. Perawat dapat memainkan peran kunci dalam
membantu mereka dengan belajar tentang penyakit dengan sering telepon tindak
lanjut dan kunjungan. Informasi tertulis dan review dari penyakit dan

19
efek samping pengobatan yang sering diperlukan(Malleson, Pete;
Tekano, Jenny. 2007).
Remaja sering memberikan tantangan yang unik karena mereka dapat
menggunakan penyangkalan sebagai mekanisme koping. Hal ini tidak selalu
mekanisme buruk, tetapi bisa membuat frustasi bagi anggota keluarga.
Sbagian besar anak mampu bersekolah penuh waktu. Banyak yang memilih
untuk tidak memberitahu temanteman atau guru tentang penyakit mereka.
Seringkali remaja akan melanjutkan semua kegiatan mereka sebelumnya
karena mereka tidak ingin berbeda dari yang lain(Malleson, Pete; Tekano,
Jenny. 2007).
Seringkali kronisitas SLE tidak sepenuhnya dipahami oleh keluarga atau anak
hingga memasuki tahun kedua atau ketiga setelah diagnosis. Saat ini,
meskipun penyakit ini mungkin terkontrol baik dengan obat dan hanya
sedikit obat yang diperlukan, dukungan dan pendidikan yang lebih lanjut
diperlukan. Ketidakpastian SLE, di mana seorang anak dapat berjalan dengan
baik selama beberapa tahun dan kemudian memiliki flare dari penyakit
mereka, sangat menegangkan. Hal ini kembali memperkuat kronisitas SLE
dan keluarga mungkin memiliki waktu yang lebih sulit menghadapi flare
penyakit daripada di diagnosis asli. Sebuah hubungan saling percaya dengan
tim perawatan medis sangat penting dengan komunikasi terbuka dan jujur
dengan baik anak dan orang tua(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007). Anak-
anak dengan SLE dan keluarga mereka memerlukan tim kesehatan
profesional untuk membantu mereka melalui sampai dewasa. Sebagai anak-
anak bertambah tua adalah penting bahwa tim kesehatan mendorong keluarga
untuk memberikan peningkatan kontrol manajemen penyakit pada anak. Ini
transisi dari manajemen penyakit dari orang tua kepada anak dapat dibantu
dengan memiliki transisi yang klinik remaja spesifik dijalankan bersama oleh
anak dewasa dan dokter. Ketidakpastian lupus dengan flare dan remisi berarti
bahwa pemantauan ketat akan selalu dibutuhkan, tetapi banyak anak
beradaptasi dengan tantangan ini dan tidak membiarkan Penyakit mereka
mengganggu berlebihan dengan kehidupan mereka. Hal ini dapat sangat
diperlukan penghargaan untuk mmembantu tumbuh menjadi orangorang
dewasa yang sehat sukses (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).

20
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian :

a. anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada


gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah,
nyeri, kaku, demam, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta
citra diri pasien.

b. kulit, ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.

c. kardiovaskuler

friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi
eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan.

d. Sistem muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari
e.Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum
durum
f. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura
g. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau
sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
h. Sistem renal
Edema dan hematuria
i. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang

Data subyektif :

21
- Pasien mengeluh terdapat ruam-ruam merah pada wajah yang
menyerupai bentuk kupu-kupu.
- Pasien mengeluh rambut rontok.

- Pasien mengeluh lemas

- Pasien mengeluh bengkak dan nyeri pada sendi.

- Pasien mengeluh sendi merasa kaku pada pagi hari.

- Pasien mengeluh nyeri


Data obyektif :
- Terdapat ruam – ruam merah pada wajah yang menyerupai bentuk
kupu-kupu.

- Nyeri tekan pada sendi.

- Rambut pasien terlihat rontok.

- Terdapat luka pada langit-langit mulut pasien.

- Pembengkakan pada sendi.

- Pemeriksaan darah menunjukkan adanya antibodi antinuclear.

2. Diagnosa Keperawatan

1) nyeri akut

2) gangguan citra tubuh

22
N SDKI SLKI SIKI
O
1 D.0077 Nyeri akut Setelah dilakukan I.08238 Manajemen
Definisi: pengalaman tindakan keperawatan nyeri
sensorik atau 3x24 jam, diharapkan Tindakan
emosional yang L.08066 tingkat nyeri Observasi:
berkaitan dengan Ekspektasi : menurun - Identifikasi lokasi,
kerusakan jaringan Kriteria hasil: karakteristik, durasi,
aktual atau fungsional, - Keluhan nyeri, frekuensi, kualitas,
dengan onset diturunkan dari intensitas nyeri
mendadak atau lambat skala 3 ke - Identifikasi skala
dan berintensitas skala 4 nyeri
ringan hingga berat - Meringis, - Identifikasi respon
yang berlangsung diturunkan dari nyeri non verbal
kurang dari 3 bulan. skala 3 ke - Identifikasi faktor
Penyebab: skala 4 yang memperberat
- Agen - Sikap dan memperingan
pencedera protektif, nyeri
fisiologis diturunkan dari Terapeutik:
- Agen skala 3 ke - Berikan teknik
pencedera skala 4 nonfarmakalogis
kimiawi - Gelisah, untuk mengurangi
- Agen diturunkan dari rasa nyeri
pencedera fisik skala 3 ke - Kontrol lingkungan
Gejala dan tanda skala 4 yang memperberat
mayor rasa nyeri
Subjektif: Edukasi:
- Mengeluh - Jelaskan penyebab,
nyeri periode, dan pemicu
Objektif: nyeri
- Tampak - Jelaskan strategi
meringis meredakan nyeri
- Gelisah - Anjurkan memonitor
- Bersikap
23
protektif nyeri secara mandiri
Gejala dan tanda Kolaborasi:
minor - Kolaborasi pemberian
Objektif: analgetik, jika perlu
- Berfokus pada
diri sendiri
Kondisi klinis terkait
- Infeksi
2 D.0083 Gangguan Setelah dilakukan I.09305 Promosi
citra tubuh tindakan keperawatan citra tubuh
Definisi: perubahan selama 3x24 jam, Tindakan
persepsi tentang diharapkan Observasi:
penampilan, struktur L.09067 Citra tubuh - Identifikasi harapan
dan fungsi fisik Ekspektasi: citra tubuh
individu. meningkat berdasarkan tahap
Penyebab: Kriteria hasil: perkembangan
- Perubahan - Melihat bagian - Identifikasi perubahan
struktur/bentu tubuh citra tubuh yang
k tubuh - Menyentuh mengakibatkan isolali
- Perubahan bagian tubuh sosial
fungsi tubuh - Verbalisasi Terapeutik:
Gejala dan tanda perasaan - Diskusikan perubahan
mayor negatif tentang tubuh dan fungsinya
Subjektif: perubahan - Diskusikan kondisi
- Mengungkapk tubuh stres yang
an - Verbalisasi mempengaruhi citra
kecacatan/kehi kekhawatiran tubuh
langan bagian pada Edukasi:
tubuh penolakan/reak - Jelaskan kepada
Objektif: si orang lain keluarga tentang
- Fungsi/struktu - Menyembunyi perawatan perubahan
r tubuh kan bagian citra tubuh
berubah tubuh - Anjurkan
Gejala dan tanda berlebihan
24
minor mengungkapkan
Subjektif: gambaran diri
- Mengungkapk terhadap citra tubuh
an
kekhawatiran
pada
penolakan/rea
ksi orang lain
Objektif:
- Menghindari
melihat
dan/atau
menyentuh
bagian tubuh
- Respon
nonverbal
pada
perubahan dan
persepsi tubuh
Kondisi klinis terkait:
- Mastektomi
- Parut atau luka
bakar yang
terlihat

DAFTAR PUSTAKA

Bulechek G.M., Howard B.K, Dochterman J.M. (2008). Nursing Interventions


Classifivation (NIC) fifth edition. St. Louis: Mosby Elseiver.
Burn, Catherine E, et all. (2004). Pediatric Primary Care : A Handbook for Nurse
Practitioner. USA : Saunders

25
Kasjmir, Yoga dkk. (2011). Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk
Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia
King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. (2007). Systemic lupus erythematosus: modern
strategies for management – a moving target. Best Practice & Research
Clinical Rheumatology Vol. 21, No. 6, pp. 971–987, 2007
doi:10.1016/j.berh.2007.09.002 available online at
http://www.sciencedirect.com
Malleson, Pete; Tekano, Jenny. (2007). Diagnosis And Management Of Systemic
Lupus Erythematosus In Children. Paediatrics And Child Health 18:2.
Published By Elsevier Ltd. Symposium: Bone & Connective Tissue.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, ML., Swansosn, E. (2008). Nursing Outcomes
Classification (NOC) Fourth edition. St. Louis: Mosby Elseiver.
Sutarna, Agus, dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong (Wong’s Essentials of
Pediatric Nursing). ED.6. Jakarta: EGC
Ward, Susan L and Hisley, Shelton M. (2009). Maternal-child nursing care:
optimizing outcomes for mothers, children, and Families. United States of
America : F.A. Davis Company

26

Anda mungkin juga menyukai