Anda di halaman 1dari 18

STUDI LITERATUR

BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI


Septicaemia Epizootica (SE)

OLEH

NILLA NGADDI, S.K.H


2009020016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2021
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Septicaemia epizootica (SE) atau Haemorrhagic Septicaemia (HS) di Indonesia


dikenal sebagai penyakit ngorok, disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida B:2.
Penyakit ini telah lama dikenal di Indonesia sebagai penyakit yang merugikan secara
ekonomi, sehingga dimasukkan sebagai salah satu jenis penyakit hewan menular strategis
(Kementan No. 4026 Tahun 2013). Septicaemia epizootica merupakan penyakit menular
pada ruminansia terutama ternak sapi dan kerbau, yang bersifat akut dan fatal. Ternak muda
biasanya lebih peka dibandingkan dengan ternak yang dewasa (Benkirane dan Alwis, 2002).
Gejala penyakit SE yang menyolok adalah demam disertai gangguan pernapasan dan
oedema pada daerah submandibula yang meluas ke daerah leher dan dada. Bakterimia pada
kerbau terjadi setelah 12 jam hewan terinfeksi dan hewan kerbau lebih peka daripada sapi
(Priadi dan Natalia, 2000).

Teknik diagnose dapat dilakukan dengan melakukan kultur bakteri pada media
diferensial untuk dapat mengidentifikasi bakteri berdasarkan sifat dan morfologi koloni.

1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui Etiologi dan Karakteristik bakteri penyakit Septicemia Epizootica (SE),
pathogenesis, gejala klinis, teknik isolasi, kultur, dan identifikasi, teknik diagnosa,
pengobatan dan pengendalian penyakit Septicemia Epizootica (SE).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Etiologi dan Karakteristik Bakteri Penyebab SE
Septicaemia Epizootica (SE)/ Haemorraghic Septecaemia (HS) atau disebut juga
penyakit ngorok merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida
yang merupakan flora normal di nasopharynx (saluran respirasi atas) sapi sehingga dapat
diisolasi dari ternak sapi normal atau sehat (Taopan et al., 2016).
Pasteurella multocida adalah bakteri fakultatif anaerob berbentuk kokobasil bersifat
non-motil, berdiameter 0.3-1.0μm dengan panjang 1.0-2.0μm (SMIs, 2015). Bakteri ini
merupakan bakteri gram negatif yang sensitif terhadap penisilin dan dapat ditemukan
tunggal, berpasangan, maupun berbentuk rantai pendek. Pasteurella multocida tumbuh
baik pada 35-37oC dengan koloni yang terbentuk biasanya diskrit, melingkar,
cembung, tembus, dan butyraceous. Pasteurella multocida pada media agar darah
berwarna agak keabuan transparan, non-hemolisis, menghasilkan katalase dan oksidase,
reaksi positif indol, serta uji Methyl-Red dan Vogue-Proskauer negatif. Selain itu, bakteri
ini dapat memfermentasi glukosa, sukrosa dan manitol (OIE, 2015).

Tingkat mortalitas SE dapat mencapai 100%. Morbiditas dari kasus ini sangat
tergantung dari kondisi imunitas hewan serta kondisi lingkungan. Morbiditas penyakit ini
akan semakin tinggi bila hewan memiliki kondisi imunitas yang rendah serta berada pada
suatu lingkungan yang lembab (OIE, 2009). Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh SE
cukup besar karena penyakit ini dapat menyebabkan kematian pada hewan ternak.
Tingkat kematian sapi dan kerbau di daerah Asia akibat SE mencapai 100.000 ekor
pertahun (Natalia dan Priadi, 2006).

Klasifikasi bakteri Pasteurella Multocida:


Filum : Proteobacteria
Kelas : Gamma Proteobacteria
Ordo : Pasteurellales
Family : Pasteurellaceae
Genus : Pasteurella
Spesies : Pasteurella multocida
2.2 Patogenesis
Bakteri Pasteurella multocida sebagai penyebab SE akan masuk kedalam tubuh
inang melalui beberapa cara. Cairan seperti leleran hidung atau cairan mulut dari hewan
yang terinfeksi mengandung bakteri yang akan hidup pada daerah atau media yang terkena
cairan dari hewan terinfeksi tersebut. Bila kondisi tanah dalam keadaan basah maka akan
menyebabkan perkembangan dan daya tahan bakteri pasteurella multocida semakin baik.
Melalui kontak dengan hewan terinfeksi atau kontak dengan tanah, tanaman, atau media
yang terinfeksi, bakteri pasteurella multocida kemudian masuk kedalam tubuh, menempel
pada epitel saluran pernafasan atas dan menyerang saluran pernafasan (Natalia & Priadi
2006).
Terdapat tiga bentuk dari penyakit SE yaitu bentuk busung, pektoral dan intestinal.
Penyakit SE bentuk busung menunjukkan adanya bentuk busung pada bagian kepala,
tenggorokan, leher bagian bawah, gelembir dan kadang-kadang pada kaki muka. Selain itu
kadang terjadi juga bentuk busung pada bagian dubur dan alat kelamin. Tingkat mortalitas
penyakit pada bentuk ini cukup tinggi mencapai 90% dan berlangsung cepat sekitar tiga
hari sampai satu minggu. Sebelum mati akan tampak gangguan pernafasan dan suara
ngorok merintih serta suara gigi gemeretak. Pada bentuk pectoral, tanda-tanda
bronkhopneumonia akan lebih menonjol. Bentuk ini umumnya dimulai dengan adanya
batuk kering dan nyeri yang di ikuti oleh keluarnya eksudat dari hidung. Biasanya bentuk
ini berlangsung antara satu sampai tiga minggu. Pada beberapa kasus kadang penyakit ini
dapat mencapai bentuk intestina. Keadaan ini dicapai ketika penyakit sudah berjalan
kronis. Hewan akan menjadi kurus, dengan gejala batuk yang terus menerus, selain itu
nafsu makan terganggu serta terus menerus mengeluarkan air mata. Sering terjadi mencret
yang bercampur darah (Direktorat Kesehatan Hewan 1977).
Umumnya kasus SE bersifat akut dan dapat menyebabkan kematian hewan dalam
waktu singkat. Dalam pengamatan, hewan mengalami peningkatan suhu tubuh, oedema
submandibular yang dapat menyebar ke daerah dada, dan gejala pernafasan dengan suara
ngorok atau keluarnya eksudat dari hidung. Umumnya, hewan kemudian mengalami
kelesuan atau lemah dan kematian. Biasanya kerbau lebih peka terhadap penyakit SE
dibandingkan dengan sapi. Lama atau jalanya penyakit sampai pada kematian pada kerbau
lebih pendek dibandingkan dengan sapi, kisaran waktunya mulai kurang dari 24 jam,
dalam kejadian perakut sampai 2 – 5 hari. Gejala penyakit timbul setelah masa inkubasi 2 –
5 hari (Natalia dan Priadi, 2006).
2.3 Gejala Klinis

Gambaran klinis menunjukkan adanya 3 fase. Fase pertama adalah kenaikan suhu
tubuh, yang diikuti fase gangguan pernafasan dan diakhiri oleh fase terakhir yaitu kondisi
hewan melemah dan hewan berbaring di lantai (Natalia dan Priadi, 2006). Gejala yang
paling nampak adalah demam disertai gangguan pernafasan. Selain itu hewan mengalami
anorexia, hipersalivasi, kurus, adanya kebengkakan limfoglandula bagian bawah,
keluarnya leleran dari hidung, bronchopneumonia akut serta suara ngorok pada hewan.
Bakterimia pada kerbau terjadi setelah 12 jam hewan terinfeksi dan hewan kerbau lebih
peka daripada sapi (Priadi dan Natalia, 2000). Masa inkubasi dari penyakit ini adalah 10-14
hari. Kematian terjadi 24-48 jam sejak munculnya gejala klinis.
Pada kerbau yang diinfeksi secara buatan, ditemukan kenaikan suhu hingga 43oC
dapat teramati 4 jam sesudah infeksi, sedangkan pada sapi kenaikan hingga 40oC baru
teramati (Natalia dan Priadi, 2006).

2.4 Isolasi Bakteri Pasteurella multocida


Sampel untuk isolasi dan identifikasi P. multocida diambil dari organ paru-paru,
jantung, hati, limpa, limpoglandula retropharyngeal, darah, sumsum tulang, dan sebagainya
dari sapi mati yang di duga SE. Selain itu, dapat juga diambil dari limphoglandula
retropharyngeal/tonsil/tonsilar crypt atau swab nasopharyng untuk mengetahui status
carrier sapi terhadap P. multocida (Dartini dan Kencana, 2015). Sampel organ dan darah
dapat disimpan dalam keadaan beku atau dingin dan sampel swab dapat dimasukan pada
tabung berisi NaCl fisiologis, untuk dilakukan pengujian di laboratorium dengan metode
pemupukan dan uji biokimia (OIE, 2012).
Gambar 1. Flowchart Isolasi dan Identifikasi Bakteri P. multocida

2.5 Identifikasi Bakteri Pasteurella multocida

2.5.1 Penumbuhan Bakteri pada Media Blood Agar


Media Blood Agar merupakan media pertumbuhan bakteri yang dapat
membedakan bakteri patogen berdasarkan efek exotoksin hemolitik bakteri pada sel
darah merah. Agar darah termasuk dalam media enrichment (diperkaya) dan media
diferensial. Agar darah diperkaya 5% darah kuda atau domba dan merupakan media
non-selektif untuk sebagian besar bakteri Gram negatif yang mudah tumbuh dan
bakteri Gram postitif. Media ini pada dasarnya mengandung sumber protein
(misalnya: tripton), protein kedelai olahan (mengandung karbohidrat natural), NaCl,
agar, dan 5% darah (Hart and Shears, 1997).
Blood Agar membedakan bakteri hemolitik dan non-hemolitik yaitu
berdasarkan kemampuan mereka untuk melisiskan sel-sel darah merah. Terdapat tiga
jenis hemolisis yaitu beta hemolisis, alfa hemolisis, dan gamma hemolisis. Beta
hemolisis merupakan lisis lengkap sel darah merah dan hemoglobin. Alfa hemolisis
mengacu pada lisis parsial/lisis sebagian dari sel darah merah dan hemoglobin. Hal
ini menghasilkan perubahan warna disekitar menjadi abu-abu kehijauan. Gamma
hemolisis yaitu tidak terjadi hemolisis dimana tidak ada perubahan warna dalam
media (Baron, 1994).
Prosedur penanaman bakteri pada media agar darah menurut Dartini (2018),
adalah sampel yang diterima laboratorium dikultur pada media blood agar (BA)
dengan cara digoreskan dengan metode sinambung kemudian diinkubasikan pada
37oC selama 24 jam. Koloni yang menunjukan karakteristik, sifat serta morfologi
Pasteurella multocida dilakukan subkultur pada media blood agar dan MacConkey
agar (MC), inkubasikan pada 37oC selama 24 jam, ini dilakukan untuk pemurnian
koloni dan mengetahui pertumbuhannya pada media MC. Selanjutnya dapat
dilakukan konfirmasi dengan pewarnaan gram pada koloni yang menunjukan
karakteristik P. multocida. Berdasarkan Gambar 1. di atas menunjukkan bahwa
koloni bakteri Pasteurella multocida yang tumbuh pada media agar darah tidak
menghimolisis sel darah merah dan koloni berwarna putih keabu-abuan (Dartini
2018) dan berbentuk mukoid (Jabeen et al., 2013). OIE (2013) juga menyatakan
bahwa Pasteurella multocida tidak menyebabkan hemolisis.
Gambar 1. Koloni P. multocida pada media agar darah. (Dartini, 2018; Jabeen
et al., 2013).

2.5.2 Penumbuhan Bakteri pada Media MacConkey


MacConkey merupakan media selektif untuk isolasi dan identifikasi bakteri
gram negatif. Media ini digunakan untuk membedakan bakteri yang memfermentasi
laktosa dan yang tidak memfermentasi laktosa (Syrjanen et al., 2001). Media ini
mengandung laktosa, garam empedu, dan neutral red sebagai indikator warna. Media
ini akan menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dengan adanya garam
empedu yang akan membentuk kristal violet. Bakteri gram negatif yang tumbuh
dapat dibedakan dalam kemampuannya memfermentasikan laktosa. Koloni bakteri
yang memfermentasikan laktosa berwarna merah bata dan dapat dikelilingi oleh
endapan garam empedu. Endapan ini disebabkan oleh penguraian laktosa menjadi
asam yang akan bereaksi dengan garam empedu (Faden, 2001).
Bakteri yang tidak memfermentasikan laktosa biasanya bersifat patogen.
Golongan bakteri ini tidak memperlihatkan perubahan pada media. Ini berarti warna
koloninya sama dengan warna media (Syrjanen et al., 2001). Menurut Dartini (2018)
P. Multocida merupakan bakteri Gram negatif yang tidak dapat tumbuh pada media
MacConkey agar.
2.5.3 Pewarnaan Gram
Pewarnaan gram merupakan prosedur pewarnaan diferensial yang dapat
membedakan jenis bakteri berdasarkan reaksi yang timbul pada struktur dinding sel
selama prosedur pewarnaan bakteri berwarna merah muda (pink) yang menunjukkan
bakteri adalah gram negatif dan berbentuk coccobasil. Pada pewarnaan Gram, bakteri
Gram negatif terlihat berwarna pink hal ini dikarenakan bakteri Gram negatif
memiliki kandungan lipopolisakarida yang tinggi pada dinding selnya sehingga saat
dilakukan pewarnaan pada tahap decolorizing menggunakan alkohol 95% lapisan
lipopolisakarida menjadi tidak berwarna dikarenakan pewarnaan pertama dengan
larutan kristal violet melekat pada lapisan lipopolisakarida dan pada saat dilakukan
pewarnaan kedua dengan safranin menghasilkan warna merah sehingga secara
mikroskopis menandakan bakteri tersebut adalah bakteri Gram negatif (Yuswananda,
2015).

Gambar 3. Pewarnaan Gram bakteri Pasteurella multocida (Taopan et al., 2016).

2.6 Uji Biokimiawi


2.6.2 Media TSIA(Triple Sugar Iron)
Media TSIA merupakan media diferensial yang digunakan untuk identifikasi
bakteri khususnya basil-enterik dengan menggunakan prinsip fermentasi karbohidrat
dan produksi H2S. Gas dari hasil fermentasi karbohidrat juga dapat dideteksi pada
medium ini. Formulasi terbaru dari media TSI adalah digunakannya phenol red
sebagai pH indikator, tripthon diganti dengan kombinasi bacto-pepton dan proteose -
pepton, serta adanya penambahan ekstrak yeast (Brooks et al., 2007).
TSIA mengandung glukosa (0,1%), sukrosa (1%), dan laktosa (1%). Zat-zat
tersebut dituangkan ke dalam tabung reaksi sehingga menghasilkan agar miring
(slant) dan bagian pangkal (butt). Langkah-langkahnya diawali dengan
menginokulasikan bakteri ke dalam bagian pangkal dan diinkubasi pada suhu 37 ⁰C
selama 18-24 jam. Bila karbohidrat difermentasi dengan atau tanpa produksi gas, pH
akan turun dan kemudian mengakibatkan medium akan berubah warna dari merah
(warna asli) menjadi kuning. Bakteri yang tidak memfermentasi karbohidrat
memproduksi alkalinisasi karena pengeluaran amin dari degenerasi asam amino
sehingga mengakibatkan pH meningkat dan medium menjadi berwarna merah
(Brooks et al., 2007).
Media yang digunakan mempunyai dua bagian yaitu slant (miring) dan butt
(tusuk). Reaksi spesifik pada TSIA adalah pada bagian slant berwarna
merah/alkaline (reaksi basa) dan warna kuning karena reaksi asam. Warna merah
pada bagian slant dan kuning di bagian butt tabung menunjukkan terjadinya
fermentasi glukosa tetapi tidak laktosa dan sukrosa. Reaksi pada tabung pada bagian
slant berwarna kuning mengindikasikan bakteri memfermentasi laktosa dan/atau
sukrosa, sedangkan jika bagian pangkal/butt berwarna kuning mengindikasikan
terjadinya fermentasi glukosa (Brooks et al., 2007).

Gambar 4. Bagian Butt (No.1) menunjukkan perubahan warna menjadi kuning


(fermentasi glukosa); Bagian Slant (No. 2) menunjukkan perubahan warna menjadi
pink kemerahan (tidak terjadi fermentasi laktosa).
2.6.3 Uji Indol dan Motilitas pada Media SIM (Sulfide, Indole, Motility)
Media SIM adalah media yang berbentuk semi solid. Media SIM adalah media
differensial untuk uji biokimia. Kegunaan media ini adalah untuk mengetahui sifat
bakteri dalam memproduksi H2S, indol dan pergerakan bakteri (motilitas). Prinsip
kerjanya, bakteri diambil pada media koleksi menggunakan ose steril kemudian
ditusuk secara tegak lurus pada media SIM dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24
jam. Hasilnya meliputi produksi H2S ditandai dengan media berwarna hitam dan
produksi indol dapat dilihat setelah ditetesi dengan reagen Erlich/Kocak’s sebanyak
3-5 tetes kedalam media, bila indol positif maka terbentuk cincin merah pada
permukaan media, motilitas dapat dilihat apabila terjadi pergerakan bakteri pada
media ditempat tusukan ose dan bila tidak ada pergerakan bakteri (non motil) maka
yang didapatkan berupa satu garis dan tidak menghasilkan endapan berwarna hitam.
Adanya endapan hitam menunjukkan bahwa mikroorganisme dapat menghasilkan
H2S (Taopan et al., 2016).
A B

Gambar 5. Uji motilitas pada media SIM (A); Uji Indole pada media SIM (B)

Berdasarkan Gambar 5. di atas menunjukkan bahwa bakteri P. multocida yang


diinokulasikan pada media SIM tidak menyebar yang ditandai dengan satu garis
bekas tusukan/inokulasi bakteri dan tidak menghasilkan endapan berwarna hitam.
Hal ini menunjukkan bahwa P. multocida bersifat non-motil dan tidak dapat
menghasilkan H2S (Taopan et al., 2016). Standards Microbiology Investigations
(2015) juga menyatakan bahwa Pasteurella multocida bersifat non-motil dan tidak
mempunyai flagela. Selain itu, terbentunya lapisan cincin berwarna merah pada
biakan yang ditambahkan reagen Kovac’s menunjukkan bahwa P. multocida positif
terhadap tes Indole. Terbentuknya lapisan cincin berwarna merah pada permukaan
biakan menunjukan bahwa bakteri ini membentuk indol dari triptophan sebagai
sumber karbon dikarenakan mempunyai enzim triptophanase sehingga mampu
mengoksidasi asam amino triptophan (Cowan, 2004).

2.6.4 Uji Katalase


Uji katalase dilakukan dengan mengambil H2O2 sebanyak 2-3 tetes
menggunakan pipet kemudian diteteskan diatas gelas objek, kemudian ditambahkan
koloni yang diambil dari BA menggunakan ose dan dihomogenkan, setelah itu
menunggu beberapa saat untuk melihat perubahan yang terjadi. Adanya gelembung
mengindikasikan ditandai dengan pembentukkan gas Oksigen (O2) sebagai hasil
pemecahan H2O2 oleh enzim katalase yang diproduksi oleh bakteri (Taopan et al.,
2016). Katalase merupakan enzim yang mengkatalisa penguraian hidrogen peroksida
menjadi H2O dan O2.

Gambar 6. Terbentuknya gelembung udara pada Uji Katalase


Gambar 6. Menunjukkan adanya gelembung sebagai hasil pembentukkan gas
oksigen (O2) dari hasil pemecahan H2O2 oleh enzim katalase yang diproduksi oleh
bakteri. Rimler and Rhoades (1989) menyatakan bahwa P. multocida positif terhadap
uji katalase dikarenakan memiliki enzim katalase (Freney et al., 1999). Mekanisme
enzim katalase memecah H2O2 yaitu saat melakukan respirasi, bakteri menghasilkan
berbagai macam komponen salah satunya H2O2. Bakteri yang memiliki kemampuan
memecah H2O2 dengan enzim katalase maka segera membentuk suatu sistem
pertahanan dari toksik H2O2 yang dihasilkannya sendiri. Bakteri katalase positif akan
memecah H2O2 menjadi H2O dan O2 dimana parameter yang menunjukkan adanya
gelembung-gelembung oksigen (Sari, 2014).
2.6.5 Uji Oksidasi
Uji oksidase mendeteksi adanya sistem sitokrom oksidase yang akan
mengkatalisis transpor elektron antara donor elektron dalam bakteri dan zat warna
redoks-tetrametil-p-fenilena-diamin. Pewarna direduksi menjadi warna ungu tua. Tes
ini digunakan untuk membantu dalam identifikasi bakteri yang menghasilkan enzim
sitokrom oksidase.
Organisme yang mengandung sitokrom menghasilkan enzim oksidase
intraseluler. Enzim oksidase ini mengkatalisis oksidasi sitokrom c. Organisme yang
mengandung sitokrom c sebagai bagian dari rantai pernapasannya bersifat oksidase-
positif dan mengubah reagen menjadi biru/ungu. Organisme yang kekurangan
sitokrom c sebagai bagian dari rantai respirasinya tidak mengoksidasi reagen,
membuatnya tidak berwarna dalam batas pengujian, dan bersifat oksidase-negatif.
Bakteri positif oksidase memiliki sitokrom oksidase atau indofenol oksidase
(zat besi yang mengandung hemoprotein). Oksidase merupakan enzim yang sangat
berperan penting dalam proses transport elektron selama respirasi aerobik. Sitokrom
oksidase menghasilkan oksidasi sitokrom tereduksi oleh oksigen molecular
menghasilkan H2O2 atau H2O.
Sistem sitokrom biasanya hanya terdapat pada organisme aerobik yang mampu
memanfaatkan oksigen sebagai reseptor hidrogen terakhir. Produk akhir dari
metabolisme ini adalah air atau hidrogen peroksida (dipecah oleh katalase). Uji
oksidase berfungsi untuk menentukan adanya sitokrom oksidase yang dapat
ditemukan pada mikroorganisme tertentu. Uji ini memberikan hasil uji positif yang
ditunjukkan dengan perubahan warna pada strip menjadi biru violet yang artinya
bersifat oksidase positif (Markey et al.,2013). Prosedur metode swab yaitu
mencelupkan swab ke dalam reagen dan kemudian sentuh koloni suspek yang
diisolasi. Amati perubahan warna dalam 10 detik.
Gambar 7. Perubahan warna pada Uji Oksidasi (A) Positif (B) Negatif (Sandle, 2010)
2.7 Uji Biomolekuler
2.7.2 Teknik PCR
a. Persiapan Sampel (Narcana et al., 2020)
v Sampel isolat
v DNA dari masing-masing isolat diektraksi menggunakan QIAamp DNA Kits
(cat. 51304)
v Untuk ekstraksi DNA, ikuti petunjuk/prosedur alat kit DNA
b. Prosedur PCR untuk deteksi P. multocida type B penyebab SE menurut Narcana et
al., (2020) sebagai berikut:
1. Menyiapkan Primer yang digunakan yaitu KTT72 5’-AGG-CTC-GTT-TGG-
ATTATG-AAG-3’ (forward primer) dan KTSP61 5’ATC-CGC-TAA-CAC-
ACT-CTC3’ (reverse primer) (OIE, 2012).
2. Siapkan campuran reaksi PCR hingga volume akhir 40 µl per sampel yaitu 2 μl
DNA template, 34 μl PCR SuperMix 2×, dan 2 μl (200 pmol/μl) dari masing-
masing forward primer and reverse primer.
3. Proses amplifikasi berlangsung sebagai berikut.
v Denaturasi awal pada 94°C selama 7 menit; Kemudian diikuti masing-
masing 30 siklus untuk
v denaturasi 94°C selama 1 menit,
v Pengikatan 55°C selama 1 menit
v Ektension 72°C selama 2 menit,
v Reaksi PCR diakhiri dengan tahap ektensi/pemanjangan terakhir pada 72oC
selama 5 menit.
v Produk PCR dianalisis menggunakan elektroforesis pada 1.5 % agarosa
dengan ethidium bromida.
v Amplifikasi PCR menghasilkan produk sebesar 620bp.

Gambar 8. Amplifikasi PCR dari P. multocida serotype B yang menggunakan Primer KTT 72
dan KTSP 61 pada 1.5% agarosa. M: Marker 1 kb, 1: Isolat PM B1, 2: Isolat PM B2, 3: Kontrol
Positif, 4: Kontrol Negatif, 5: Kontrol Negatif. (Dartini N, 2018)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit SE disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida. Bakteri P. multocida
pada media agar darah berwarna agak keabuan dan transparan, tidak menghemolisa darah.
Bakteri ini tidak tumbuh pada media MacConkay dan pada pewarnaan termasuk bakteri
Gram negatif, berbentuk kokobasil dan bipolar. Bakteri P. multocida juga bersifat oksidase
positif, katalase positif, positif indol, non-motil, dan memfermentasikan glukosa dan
sukrosa pada media TSIA sehingga berwarna kuning pada bagian butt (dasar). Uji
Konfirmasi dengan PCR bertujuan untuk keperluan identifikasi dan yang paling utama
adalah identifikasi spesies spesifik terutama dalam kondisi infeksi campuran (mixed
infection).
DAFTAR PUSTAKA

Baron EJ, Peterson LR, Finegold SM. 1994. Bailey's & Scott's Diagnostic Microbiology, 9 ed.
St. Louis: Mosby Year Book.
Brooks GF, Butel JS, Morse SA. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick & Adelberg,
Ed, 23. Vol. 23. Jakarta: EGC.
Cowan ST. 2004. Manual for the Identification of Medical Fungi. London: Cambridge
University Press.
Dartini NL. 2018. Identifikasi P. multocida type b penyebab septicaemia epizootica dengan
polymerase chain reaction. Buletin VeterinerDenpasar, 25 (93): 1-12.
Dartini NL, Narcana IK. 2015. Surveilans Septicaemia Epizootica (Se): Evaluasi Program
Pemberantasan SE di Nusa Penida. Bulletin Veteriner BBVet Denpasar, 27(87): 1-11.
Direktorat Kesehatan Hewan. 1977. Septicaemia Epizootica (SE) dalam Pedoman Pengendalian
Penyakit Hewan Menular.
Faden, H. 2001. The Microbiologic And Immunologic Basis For Recurrent Otitis Media In
Children. Eur J Pediatr, 160(7): 407-13.
Freney J, Kioos WE, Hajek, Webster JA. 1999. Recommended mininal standard for description
of new Staphylococcal sp. Int. J. Syst. Bacterio, 49: 489-502.
Hart T, Shears P. 1997. Atlas Berwarna Mikrobiologi Kedokteran, 1 Ed. Jakarta: Hipokrates 316.
Jabeen A, Khattak M, Munir S, Jamal Q, Hussain M. 2013. Antibiotic Susceptibility and
Molecular Analysis of Bacterial Pathogen Pasteurella Multocida Isolated from Cattle.
Journal of Applied Pharmaceutical Science, 3 (04): 106-110.
OIE. 2012. Haemorrhagic Septicaemia. Terrestrial Manual.
Markey B, Finula L, Archambault M, Cullinane A, Maguire D. 2013. Clinical Veterinary
Mikrobiology Second Edition. China: Mosby Elsevier.
Natalia L, Priadi A. 2006. Penyakit Septicaemia Epizootica: Penelitian dan Usaha
Pengendalianya pada Sapi dan Kerbau di Indonesia. Dalam: Puslitbang Peternakan .
Prosiding Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit
Stategis pada Ternak Ruminansia Besar, 53-67.
Narcana IK, Suardana IW, Besung INK. 2020. Molecular characteristic of Pasteurella multocida
isolates from Sumba Island at East Nusa Tenggara Province, Indonesia. Veterinary World,
13: 104-109.
Sari Nur Indah. 2014. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Tanahdi Kecamatan
Pattallassangkabupaten Gowa. [Skripsi]. Uin Alauddin Makassar: Fakultas Sains dan
Teknologi.
[SMIs] UK Standards for Microbiology Investigation. 2015. Identification of Pasteurella spesies
and morphologically similar organism. Public Health England. 3:-28.
Rimler RB, Rhoades KR. 1988. Pasteurella multocida: Pasteurella and Pasteurellosis. London:
Academic Press.
Sandle T. 2010. Pharmaceutical Microbiology Resources. https:// www. pharmamicroresources.
com/2015/02/ oxidase-test-introduction.html
Syrjanen RK, Kilpi TM, Kaijalainen TH. 2001. Nasopharyngeal Carriage Of Streptococcus
Pneumoniae In Finnish Children Younger Than 2 Years Old. J Infect Dis, 184(4): 451-9.
Taopan HS, Sanam MUE dan Tangkonda Elisabet. 2016. Isolasi, identifikasi dan uji sensitivitas
antibiotik terhadap Pasteurella multocida asal sapi yang dipotong di rumah pemotongan
hewan oeba kupang. Jurnal Veteriner Nusantara, 1 (1): 1-9.

Anda mungkin juga menyukai