Makalah Perjanjian Internasional Ratifik
Makalah Perjanjian Internasional Ratifik
RATIFIKASI
1
Mengenai ratifikasi ini suatu hal yang dapat dipersoalkan ialah, apakah
terdapat suatu kewajiban hukum antara ratifikasi setelah suatu perjanjian internasional
disepakati dan ditanda tangani.5 Ada pendapat yang mengemukakan bahwa walaupun
perjanjian internasional telah ditanda tangani, tidak terdapat kewajiban hukum untuk
melakukan ratifikasi dari perjanjian tersebut, sedangkan yang ada hanya suatu
kewajinan moral.
Pada umumnya suatu perjanjian internasional mulai berlaku pada tanggal
perjanjian tersebut memperoleh ratifikasi. Tetapi terdapat perjanjian –perjanjian
internasional sudah mulai berlaku pada tanggal perjanjian ditandatangani, tanpa
memperoleh ratifikasi misalnya Anglo Japanese Treaty 1905 dan European Peace
Treaties tahun 1947, dimana Finlandia, Bulgaria dan Italia melakukan ratifikasi,
sedangkan Hongaria dan Rumania tidak melakukan ratifikasi. Hal lain yang dapat
dipertanyakan ialah dalam berapa lama, ratifikasi harus dilakukan. Dalam hal ini
jawabannya harus dicari dalam Pasal-pasal dari perjanjian itu sendiri, yang biasanya
memuat ketentuan bahwa perjanjian akan diratifisir oleh pihak-pihak bersangkutan
dalam waktu sesingkat mungkin. Seperti yang dinyatakan dala Pasal 14 Konvensi
Wina, bahwa keinginan dari suatu negara untuk menandatangani suatu perjanjian
internasional dengan syarat ratifikasi dapat terlihat dari kuasa penuh (full powers) dari
wakil wakil resmi negara tersebutatau hal tersebut dinyatakan selama waktu
perundingan.
Seperti telah dikemukakan pada berbagai teori bahwa selain proses ratifikasi
itu rancu (bias) juga yang banyak mengalami benturan adalah kepentingan nasional
(national interst) masing-masing negara. Sekalipun dalam perjanjian antara negara ada
kerelaan melepaskan sedikit kedaulatan untuk kepentingan bersama, tetapi
kepentingan nasional tetap berada diatas segalanya. Bahkan mengikat perjanjian
adalah dalam rangka mengejar target kepentingan nasional. Dalam perjanjian
internasional manakah yang lebih utama, kepentingan nasional (National interest)
ataukah kepentingan bersama (cooperational interest)6
5
Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik
Indonesia, (Jakarta: Refika Aditama, 2014), hlm 48.
6
S.M. Noor Op Cit, hlm.64.
2
konstitusi Indonesia hanya diatur dalam Pasal 11 Undang -Undang Dasar 1945 (UUD
1945). Itupun tidak disertai dengan peraturan-peraturan pelaksanaannya selama
perjalanan panjang berlakunya UUD tersebut. Memang dengan keluarnya UURI No.
24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional telah ada pegangan yang lebih
lengkap, namun sebelum itu ratifikasi justru menjadi senjata politik penguasa, baik di
bawah rezim orde lama (Presiden Soekarno) maupun di bawah orde baru (Presiden
Soeharto).7
7
Ibid,
8
Ahmad Ubb, “Mekanisme Penelitian Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan,” Makalah Temu Konsultasi Pelaksanaan Hukum di Jajaran Departemen Hukum
dah HAM, BPHN, 2015. Hlm. 14.
3
mengesahkan suatu perjanjian internasional. Pertama, Indonesia harus
menerjemahkan atau mentransformasikan kewajiban dalam perjanjian internasional
ke dalam hukum nasional. Ini berarti berbagai produk nasional yang bertentangan
dengan ketentuan dalam perjanjian internasional wajib untuk diamendemen.9
Transformasi ini adalah untuk memastikan agar tidak ada ketentuan yang berbenturan
(conflicting) antara hukum nasional dengan perjanjian internasional yang telah
diratifikasi. Kedua, konsekuensi yang harus diperhatikan adalah kewajiban Indonesia
memberikan laporan ke suatu lembaga yang ditentukan dalam perjanjian
internasional. Dalam sejumlah perjanjian internasional yang bersifat multilateral
terdapat kewajiban negara peserta untuk melaporkan kemajuan (progress) yang telah
dilakukan. Sebelum meratifikasi perjanjian internasional perlu untuk diketahui
kapasitas aparat penegak hukum.Hal ini karena bila perjanjian internasional telah
diterjemahkan ke dalam um nasional tetapi tidak mampu ditegakkan oleh aparat, sama
saja dengan Indonesia tidak menepati komitmennya.
“The ratification of a treaty which provides for ratification, as does the Treaty
9
Damos Dumoli Agusman. Op Cit. hlm. 48
10
Pasal 2 ayat (1)b, Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969
4
of 1926, is an indispensable condition for bringing it into operation. It is
not, therefore, a mere formal act, but an act of vital importance.”11
Pada dasarnya Pasal 14 dari Konvensi Vienna tidak mengatur secara khusus
mengenai bentuk instrumen dari suatu ratifikasi. Hal tersebut diserahkan sepenuhnya
pada hukum nasional masing masing negara.12 Secara tradisional instrumen ratifikasi
ditanda tangani oleh seorang kepala negara atau kepala pemerintahan. Selain itu ada
juga dimana ratifikasi disetujui bersama oleh kepala negara dan pemerintah negara
terkait.13
11
Putusan Mahkamah Internasional terkait Ambatielos Case (Greece v United Kingdom)
(Preliminay Objections)[1952] ICJ Rep 28, 43.
12
Oliver Dörr, Kirsten Shamelenbach, Op Cit. hlm 197
13
Ibid,
14
Ibid, hlm. 187.
15
Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, (Cambrifge: Cambridge University Press,
2000)
16
Ibid, hlm. 81
5
(multilateral treaty).”17
(a) the treaty so provides. This is the norm when ratification is required,
and usually follows signature, though an express provision for signature is
not always included;19
(b) it is otherwise established that the negotiating states were agreed that
ratification should be required. This may be evidenced by a collateral
agree- ment or in the travaux. Today that would be unusual: if a treaty is
silent on the question of ratification it is presumed that it is not needed;20
17
Ibid.
18
Ibid, hlm. 190
19
Vienna Convention on the Law of Treaties, Ibid, Article 14 (1) a
20
Vienna Convention on the Law of Treaties, Ibid, Article 14 (1) b
6
(c) the representative of the state has signed the treaty 'subject to
ratification'. This is a unilateral act, and occasionally is expressly provided
for in the treaty. Where the treaty provides that it will enter into force on
signature or at a specified time, a signature expressed to be subject to
ratification amounts to a conditional signature. However, unlike a
signature ad referenduttP the consent of the state to be bound will operate
only as from the date of ratification. But in the interim the signature will
have various legal effects;or 21
(d) the intention of the state to sign subject to ratification appears from the
full powers of its representative or was expressed during the negotiations22
7
dapat diratifikasi atau diaksesi beberapa dekade setelah perjanjian itu mengikat para
pihak. Salah satu contohnya adalah Amerika Serikat tidak meratifikasi Konvensi
Genosida 1948 higga empat puluh tahun sejak perjanjian tersebut entry into force.27
Disusul dengan pecahnya Uni Soviet, maka negara negara pecahan tersebut banyak
meratifikasi perjanjian yang telah berlaku selama lima puluh tahun.28 Libya dan
Inggris baru mengaksesi The Hague Convention on the Pacific Settlement of Disputes
1907 enam puluh lima tahun dan delapan puluh tahun setelah perjanjian tersebut
berlaku.29 Beberapa contoh tersebut menunjukan bahwa untuk dapat meratifikasi
perjanjian internasional tidak ada jangka waktunya.
Instrumen ratifikasi haruslah dinanda tangani oleh perwakilan resmi dari suatu
negara peserta, dal praktik internasional hal ini dilakukan dengan adanya pemberian
Full powers (surat kuasa) yang diberikan oleh kepala pemerintah, kepala negara atau
mentri luar negari tergantung dari kondisi masing masing negara.30 Apabila piagam
ratifikasi ditanda tangani oleh salain dari kepala negara,, kepala pemerintahan atau
mentri luar negeri tersebut, maka harus ada surat kuasa untuk emnunjukan bahwa
orang tersebut memang diberi kewenangan yang sah untuk melakukan ratifikasi.
Ratifikasi yang dilakukan oleh wakil mwntri luar negeri atau organ negara lainnya
tidak dapat diterima apabila tidak disertai dengan adanya full powers. Sama halnya
dengan apabila perjanjian tersebut ditanda tangani oleh mentri lainnya, tidak dapat
diterima walaupun perjanjian internasional terseut berada dalam ruang lingkum
kewenangannya namun tidak dapat diberikan izin tanpa ia mempunyai full power.31
Pada dasarnya bentuk dan konten dari suatu instrumen ratifikasi tidak diatur
oleh Konvensi ini. Dalam Pasal 2 (1) (2)menjelaskan bahwa ratifikasi merupakan
tindakan internasional yang masing masing neara menentukan sendiri cara bagaimana
untuk emnunjukan bahwa negara tersebut tunduk pada perjanian internaional.
Instrumen tersebut harus dengan jelas dan tidak ambigu bahwa negara tersebut
27
Oliver Dörr, Op Cit, hlm 223.
28
Ibid,
29
Anthony Aust, Op Cit. hlm. 83.
30
Damos Dumoli Agusman, Op Cit. hlm 56
31
Ibid. hlm 24.
8
menyatakan terikat kepada suatu perjanjian internasional. Tidaklah cukup hanya
dengan mengatakan bahwa ratifikasi telah diilakukan. Instrumen ratifikasi haruslah:
(1) identify the treaty by its title and the date when and place where it was
concluded; (2) give the name and title of the person signing the instrument of
ratification; and (3) state when and where the instrument was issued.
Instrumen ratifikasi dapat berbentuk surat, dan harus telah ditanda tangani, apa
bila instrumen tersebut belum ditadna tangani maka tidak dapat diterima, namun
dalam praktiknya terdapat pengecualian yaitu Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-
Bangsa dapat menerima surat dari perwakilan teteap suatu negara untuk PBB yang
disertai oleh fax instrumen ratifikasi yang telah ditanda tangani yang menyatakan
bahwa instrumen yang asli sedang dalam proses pengiriman. 32 Namun instrumen
ratifikasi asli yang telah ditanda tangani tidak diterima oleh Sekjen PBB beberapa hari
setelah diterimanya fax instrumen ratifikas, maka sekjen PBB dapat tidak
menganggap negara tersebut terikat dalam suatu perjanjian internasional.
9
dengan hal yang sangat penting, maka pengiriman dapat dilakukan secara langsung
oleh mentri luar negeri.
Setelah instrumen ratifikasi tersebut diterima oleh baik itu negara depository
ataupun bagian penyimpanan di suatu Organisasi internasional, maka negara yang
memberikan instrumen ratifikasi tersebut harus di notifikasi dan diberitau bahwa
negara tersebut sudah terikat dengan suatu perjanjian internasional ia telah
diratifikasi.
BAB II
AKSESI
Kondisi yang diatur pada Pasal 15 Vienna Convention on the Law of Treaties
yang mengatur mengenai Aksesi adalah ketika naskah suatu perjanjian
internasional telah diadopsi dan batas akhir untuk penanda tanganan suatu perjanjian
10
telah terlampaui.33 Dalam kondisi ini suatu perjanjian internasinal telah berlaku dan
mengikat negara anggota yang terlebih dahulu mengikatkan diri kepada suatu
perjanjian Internasional, kemudian baru ada negara yang inigin menjadi pihak dalm
perjanjian, negara yang ingin menjadi pihak setelah berlakunya suatu perjanjian tidak
dapat masuk melalui prosedur ratifikasi melainkan harus melalui prosedur Aksesi. 34
Walaupun pada dasarnya untuk mengaksesi suatu perjanjian internasional bukanlah
merupakan hak yang diberikan dalam hukum internasional, melainkan tergantung
pada para phak dalam suatu perjanjian internasional apakah memungkinkan untuk
membuat perjanjian yang tertutup ataukan terbuka.35
Pada dasarnya pengikutsertaan (accession), seperti juga penandatanganan,
ratifikasi –kasasi, penerimaan dan permufakataan, merupakan pernyataan sepakat
untuk mengikatkan dri pada perjanjian. 36 Perbedaannya adalah bahwa pengikutsertaan
diberikan oleh suatu negara yang tidak ikut serta dalam perundingan untuk
membentuk perjanjian. Keistimewaan dari pengikutsertaan ialah bahwa hal itu hanya
dapat dilakukan pada perjanjian-perjanjian multilateral.37 Pengikutsertaan tidak selalu
memerlukan ratifikasi, kecuali apabila ditentukan demikian di dalam perjanjian. Pasal
15 menentukan bahwa pengikutsertaan hanya dapat terjadi bilamana negara negara
perundning telah sepakat untuk menerima suatu pengikutsertaan,.38 Ratifikasi tidak
sama dengan aksesi, namun setara dengan tanda tangan untuk ratifikasi. Aturan
tentang penyerahan instrumen ratifikasi (atau penerimaan atau persetujuan) berlaku
juga untuk instrumen aksesi, dan, kecuali perjanjian menyediakan sebaliknya, aksesi
memiliki efek yang sama seperti ratifikasi.Seperti hak untuk menandatangani, hak
untuk mengaksesi dapat dibatasi pada kategori tertentu atau kategori negara tertentu,
dan dapat dibuat sesuai dengan kondisi atau persetujuan.39
33
Oliver Dörr, Kirsten Shamelenbach, Op Cit. hlm 197
34
Ibid..
35
Ibid, hlm 198.
36
Budiman Kusumohamidjojjo, “Suatu Studi terhadap Aspek Oprasional: Konvensi Wina
Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional, Penerbit Binacipta, Bandung: 1985. Hlm 8.
37
Vide R.C. Hingorani, “Commencement of Treaty”, dalam S.K. Agrawala, ed “Essays on the
Law of Treaties”, Madras, 1972. Hlm 15
38
Budiman Kusumohamidjojjo, Op Cit, hlm 9.
39
Dian Utami Mas Bakar, “Pengujian Konstitusional Undang-Undang Pengesahan
Perjanjian Internasional”, Jurnal Yuridika: Vol. 29 No. 3, September-Desember 2014. Hlm 284
11
“Accession” means the international act so named whereby a State
establishes on the international plane its consent to be bound by a treaty. It
hereby resembles ratification, acceptance or approval, as it is a unilateral
act under international law”40
12
perjanjian multilateral dengan memungkinkan adanya negara ketiga untuk mengaksesi
perjanjian ter sebut apabila diatur dalam ketentuan pasalnya deminian, contohnya
adalah dalam perjanjian Franco –German Convention on the Construction and
Operation of a Very High Flux Reactor 1967 yang menjeelaskan:
..The present Convention shall be open to accession by third States,
Any Accession shall require the consent of the signatory Governments. The
conditions of accession shall be the subject of an agreement between the
signatory Governments and the Governments of the acceding States…
13
BAB III
RESERVASI
3.1 PENDAHULUAN
14
"reservasi" berarti, "sebuah pernyataan sepihak, yang dibuat oleh Negara, ketika
menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui atau mengaksesi perjanjian,
dimana memiliki tujuan untuk mengecualikan atau untuk memodifikasi efek hukum
ketentuan tertentu perjanjian dalam aplikasinya kepada Negara tersebut.” Sebelum
pengadopsian Konvensi, beberapa definisi lain telah digunakan dalam praktek dan
dibahas dalam literatur. Definisi ini, bagaimanapun, sebagian besar mirip dengan
definisi yang diberikan dalam Konvensi Wina ini.46
46
Untuk referensi, lihat RK€uhner Vorbehalte zu multilateralen v€olkerrechtlichen Vertr€agen (1986)
9 et
seq; Pasal 2 huruf (d)
47
Oliver Dorr dan Kirsten Schmalenbach, op.cit., Hal. 240.
48
Ch Tomuschat Admissibility and Legal Effects of Reservations to Multilateral Treaties (1967) 27
Za€oRV 463, 464–465.
15
oleh pihak yang lain, atau pihak lain menyatakan keberatan terhadap pensyaratan
yang diajukan, maka perjanjian tersebut akan batal. Oleh karena itu pensyaratan atau
reservasi dalam perjanjian bilateral sama sekali tidak mempunyai makna. Berbeda
halnya dengan perjanjian internasional yang bersifat multilateral, yaitu apabila suatu
negara mengajukan pensyaratan, dimana pensyaratan tersebut tidak disetujui atau
ditolak oleh satu atau beberapa negara peserta yang lain, maka akan timbul beberapa
masalah, antara lain sejauh manakah akibat hukum dari suatu pensyaratan atau
reservasi dalam hubungannya antara negara yang mengajukan pensyaratan dengan
negara yang menerima pensyaratan itu, dan dalam hubungannya antara negara yang
mengajukan pensyaratan dengan negara yang menolak pensyaratan tersebut.49
Sementara pada tahun 1899, selama The First Hague Conference, reservasi
masih suatu hal yang tidak biasa atau merupakan pengecualian, Konferensi Kedua
pada tahun 1907 menghasilkan sekitar 65 reservasi berkaitan dengan setidaknya 11
dari 14 konvensi. Pada masa ini, dikenal unanimity doctrine yang memperlihatkan
bahwa reservasi harus disetujui oleh semua pihak yang membuat perjanjian
internasional tersebut, atau jika tidak disetujui, pihak yang mengajukan reservasi
tersebut menarik diri dari perjanjian internasional yang sedang dibuat.
49
Setyo Widagdo, Akibat Hukum Sutau Persyaratan (Reservation) Dalam Perjanjian Internasional,
dalam e-journal ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/274/287 , (UMM: Malang, 2010),
Hal. 1.
50
The 1815 General Treaty of the Final Act of the Congress of Vienna, 64 CTS 454; F Horn
Reservations and Interpretative Declarations to Multilateral Treaties (1988) 7; K€uhner (n 1) 57; A
Pellet in Corten/Klein Art 19 MN 3.
16
b. Inter-war Period
Pendekatan pada periode ini dalam hal reservasi adalah bahwa suatu perjanjian
internasional mulai berlaku secara keseluruhan antar negara yang menjadi pihak
dalam suatu perjanjian internasional tanpa adanya reservasi. Pendekatan ini hampir
sama dengan periode sebelumnya, dimana kita dapat melihat contohnya pada
Konvensi Internasional tentang Opium, dimana Inggris Raya melontarkan pendapat
hukumnya bahwa Reservasi yang ingin diajukan oleh suatu negara harus disetujui
oleh semua negara yang menjadi pihak dalam perjanjian internasional. Jika tidak,
reservasi tersebut akan menjadi null and void.51 Pendekatan sedikit berbeda pada
periode yang sama pada Pan-American Union yang terdapat pada Pasal 6 Havana
Convention yang menyebutkan reservasi menjadi efektif berlaku jika pihak lain
menerima reservasi yang mereka ajukan atau pihak lain tersebut gagal untuk menolak
reservasi tersebut secara formal.52
51
(1927) 8 Official Journal of the League of Nations 881.
52
1928 Havana Convention on Treaties PAULTS 3.
53
Oliver Dorr dan Kirsten Schmalenbach, op.cit., Hal. 244
54
Ibid.
17
yang merupakan sebuah kontradiksi dengan pendekatan yang dikembangkan oleh
Amerika Serikat.
a. Suatu negara yang telah mengajukan pensyaratan dan ditolak oleh negara
peserta lain, sedangkan negara itu tetap mempertahankan pensyaratannya,
maka negara yang mengajukan pensyaratan (the reserving state) dapat
dianggap sebagai peserta konvensi apabila pensyaratan yang diajukan itu
sesuai dengan tujuan dan maksud dari konvensi, demikian juga sebaliknya.
b. Apabila salah satu pihak peserta konvensi menolak pensyaratan yang diajukan
oleh pihak peserta lain, karena dipandang tidak sesuai dengan tujuan dan
maksud konvensi, maka negara yang menolak (the objecting state) dapat
menganggap bahwa negara yang mengajukan pensyaratan (the reserving state)
bukan sebagai pihak peserta konvensi. Sebaliknya apabila pihak peserta yang
lain menerima pensyaratan tersebut, karena dipandang sesuai dengan tujuan
dan maksud konvensi, maka pihak yang menerima pensyaratan itu dapat
55
16 November 1950, UN Doc A/517.
56
L.C. Green, International Law Through the Cases, (London: 1978), Hal. 573
18
menganggap bahwa pihak yang mengajukan pensyaratan sebagai pihak peserta
konvensi.
Jika kita letakan dalam konteks perjanjian internasional hak asasi manusia, reservasi
pertama-tama mengandung makna sebagai pengecualian terhadap norma-norma hak asasi manusia
universal. Hal ini karena banyak negara pihak melakukan reservasi sedemikian rupa sehingga makna
atau tujuan dari konvensi itu sendiri menjadi kabur. Di Negara-negara demikian bisa saja jumlah
konvensi yang diratifikasi besar jumlahnya, akan tetapi tanpa kekuatan hukum. Maka, reservasi
dengan mudah dapat menjadi bentuk lain dari penolakan negara atas konvensi yang bersangkutan.
Persoalan lain yang sedikit minor akan tetapi juga dapat menyulitkan penerapan HAM secara
internasional adalah, melalui reservasi negara pihak tidak mengakui wewenang lembaga-lembaga
yang ditentukan oleh konvensi untuk melakukan fungsi pemantauan atau penafsiran atas isi
konvensi.
Problematika mengenai reservasi dibuat oleh AS terhadap Konvensi Genosida sehingga
mendesak Majelis Umum PBB pada 16 November 1950 untuk meminta pendapat hukum dari
International Court of Justice (ICJ). Ketika itu AS melakukan reservasi baik terhadap norma hak asasi
manusia maupun aturan prosedural. Pasal 18 Konvensi Wina 1980 mensyaratkan negara untuk
mencegah dari upaya-upaya yang justru dapat menghilangkan arti dan tujuan dari perjanjian yang
bersangkutan. Pasal 19, sebagaimana juga ditegaskan oleh ICJ selanjutnya mengatur bahwa reservasi
harus sejalan dengan tujuan dan maksud dari perjanjian itu. Maka, reservasi dimungkinkan hanya
untuk hal-hal kecil yang tidak menghapus tujuan dari konvensi itu sendiri. Meskipun ada pembatasan
atas reservasi, kajian Sub Komisi HAM PBB mengungkapkan bahwa reservasi terhadap perjanjian-
perjanjian internasional hak asasi manusia setidaknya membawa persoalan berkenaan dengan
19
ukuran untuk menentukan sesuai atau tidaknya reservasi itu dengan maksud perjanjian
itu sendiri - apalagi jika sejumlah negara pihak menolak reservasi yang dilakukan oleh negara lain.
Persoalan berikutnya bekenaan dengan pihak yang menentukan keabsahan reservasi. Ketiga, adalah
persoalan terkikisnya tujuan dan sasaran perjanjian internasional itu sendiri akibat
reservasi negara pihak terhadap norma-norma HAM yang diatur dalam konvensi bersangkutan.57
Jika pemerintah Indonesia merencanakan untuk melakukan reservasi terhadap pasal 9
konvensi Genosida, yaitu dengan mensyaratkan bahwa hanya akan menerima yurisdiksi ICJ setelah
mendapat persetujuan dari pihak-pihak yang bertikai, maka pendapat hukum ICJ ketika
menanggapi permintaan Majelis atas reservasi yang dilakukan oleh AS baik untuk dipetimbangkan.
Ditegaskan oleh ICJ bahwa konvensi genosida memiliki ciri khusus dan bertujuan untuk
berlaku secara universal. Dalam konvensi ini, negara pihak tidak lagi memiliki kepentingan
mereka masing-masing, akan tetapi hanya satu kepentingan untuk semua; yaitu
kepentingan bersama. Pandangan demikian sama saja mengatakan bahwa perjanjian hak asasi
manusia, yang dimaksudkan untuk kepentingan universal, tidak tunduk pada aturan resiprositas. Jika
ciri ini diterima sebagai dasar dari seluruh sistem perlindungan hak asasi manusia perjanjian
internasional, besar kemungkinan persoalan-persoalan reservasi tidak mengganggu
penerapan konvensi-konvensi hak asasi manusia. Melihat besarnya jumlah negara yang
menandatangani atau meratifikasi dan praktik- praktik hukum internasional maupun nasional
yang melarang tindak kejahatan genosida, ciri khusus Konvensi Genosida sebagaimana
diungkapkan oleh ICJ setengah abad yang lalu mendapat afirmasi. Artinya meskipun konvensi ini
memungkinkan untuk reservasi, reservasi hendaknya tidak dilakukan terhadap aturan yang sangat
substansial. Memutuskan untuk menerima yurisdiksi ICJ hanya atas dasar kesepakatan dengan
negara yang bertikai memang bisa menjadi jalan keluar, semata-mata untuk kepentingan hubungan
antar negara.
Isu mengenai reservasi ini tetap dalam agenda Majelis Umum dimana terdapat
hasil yang sengit (23 mendukung, 18 menentang dan 7 abstain) dalam mengadopsi
resolusi 598 (VI) pada 12 Januari 1952. Resolusi ini, yang telah dianggap sebagai
57
Lihat laporan Sub Komisi HAM PBB mengenai reservasi terhadap perjanjian internasional hak asasi
manusia dalam Working Paper on the Reservations to Human Rights Treaties” yang dilakukan oleh
Francois Hampson pada Sub Komisi HAM PBB, E/CN.4/Sub.2/1999/28, 28 Juni 1999
20
"salah dokumen paling mendasar dalam sejarah hukum perjanjian internasional", 58
adalah adanya urgensitas khusus untuk perkembangan selanjutnya karena - setelah
diskusi panjang di mana semuaposisi yang diambil sebelumnya telah disajikan
kembali - Majelis Umum meminta Sekretaris Jenderal untuk terus bertindak sebagai
kustodian sehubungan dengan reservasi dan keberatan, namun, tanpa menyebutkan
dirinya pada efek hokum dokumen tersebut dan menyerahkan kepada masing-masing
Negara untuk menarik konsekuensi masing-masing.
Solusi ini mengikuti garis advisory opinion tentang Konvensi Genosida dan
mengurangi peran Sekretaris Jenderal, Namun, itu juga menciptakan ketidakpastian
hukum sehubungan dengan perjanjian internasional membutuhkan jumlah tertentu
dalam hal negara yang sudah meratifikasi perjanjian internasional tersebut untuk
perjanjian tersebut mulai berlaku.59 Jika reservasi telah dibuat untuk perjanjian
tersebut, dengan tidak adanya reaksi dari negara, Sekretaris Jenderal adalah tidak
dapat memutuskan apakah jumlah tersebut telah dipenuhi atau tidak.
Sistem yang disarankan oleh resolusi 598 (VI) tetap terbatas pada konvensi
multilateral dan mulai berlaku setelah ditetapkan pada bulan Januari 1952. Untuk
konvensi sebelum tanggal tersebut ,aturan suara bulat tradisional tetap berlaku. Hal ini
mengakibatkan dalam dua rezim hukum terpisah tergantung pada tanggal berlakunya,
solusiyang hampir tidak memuaskan dalam pandangan hukum yang umum terhadap
reservasi. 60
Penyusunan suatu reservasi diatur pada Pasal 19 Vienna Convention on the Law of
Treaties tahun 1969, yang berbunyi:
58
Oliver Dorr dan Kirsten Schmalenbach, op.cit., Hal. 247
59
Ibid.
60
Ibid.
21
(a) The reservation is prohibited by the treaty;
(b) The treaty provides that only specified reservations, which do not include the
reservation in question, may be made; or
(c) In cases not falling under sub-paragraphs (a) and (b), the reservation is
incompatible with the object and purpose of the treaty.
61
Mieke Komar, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina tahun 1969 Tentang Perjanjian
Internasional, (Bandung: diktat kuliah pada Fakultas Hukum UNPAD, 1981), Hal. 35
62
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, (Bandung: Binacipta, 1978), Hal. 125
22
karena fakta jika 100 negara yang berbeda kultur, sistem ekonomi tetap
mempertahankan prinsip "kebulatan persetujuan", maka hal ini akan mengakibatkan
keseganan banyak negara untuk turut serta dalam perjanjian multilateral yang
umum.63
Dengan demikian, prinsip atau sistem "Pan American" ini merupakan suatu
sistem yang fleksibel karena memperkenankan atau memungkinkan negara yang
mengajukan pensyaratan itu menjadi pihak peserta perjanjian berhadapan dengan
negara yang menerima pensyaratan yang bersangkutan, sebagaimana dikatakan oleh
Brownlie:64
"in contrast the members of the Pan American Union, later the Organization
of American States, adopted a flexible system which permitted a reserving
state to become a party vis-a-vis non objecting state "
63
Mieke Komar, op.cit.
64
Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (London: 3rd ed, Oxford University Press,
1979), Hal. 606
23
4. In cases not falling under the preceding paragraphs and unless the treaty
otherwise provides:
(a) Acceptance by another contracting State of a reservation constitutes the reserving
State a party to the treaty in relation to that other State if or when the treaty is in
force for those States;
(b) An objection by another contracting State to a reservation does not preclude the
entry into force of the treaty as between the objecting and reserving States unless a
contrary intention is definitely expressed by the objecting State;
(c) An act expressing a State's consent to be bound by the treaty and containing a
reservation is effective as soon as at least one other contracting State has accepted
the reservation.
5. For the purposes of paragraphs 2 and 4 and unless the treaty otherwise provides, a
reservation is considered to have been accepted by a State if it shall have raised
no objection to the reservation by the end of a period of twelve months after it was
notified of the reservation or by the date on which it expressed its consent to be bound
by the treaty, whichever is later.
Selanjutnya pasal 20 ayat 4 Konvensi Wina 1969 mengatur tentang akibat hukum
dari pensyaratan, yakni sebagai berikut:
a. Suatu pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara dan diterima oleh negara
peserta lain, maka antara negara yang menyatakan pensyaratan dan
negara yang menerimanya, perjanjian itu akan berlaku di antara mereka;
b. Suatu keberatan oleh negara peserta lain terhadap suatu pensyaratan tidak
mengesampingkan berlakunya perjanjian (diantara mereka), kecuali jika
24
maksud yang bertentangan secara tegas dinyatakan oleh negara yang
berkeberatan tersebut;
c. Suatu tindakan yang menyatakan keinginan suatu negara untuk diikat dalam
suatu perjanjian dan berisikan suatu persyaratan,mulai berlaku sejak setidak-
tidaknya satu peserta lain menerima persyaratan tersebut.
25
3. When a State objecting to a reservation has not opposed the entry into force of the
treaty between itself and the reserving State, the provisions to which the reservation
relates do not apply as between the two States to the extent of the reservation.
Pada pasal 21 ayat (1) memperlihatkan bahwa akibat hukum dari suatu
reservasi adalah mengubah hubungan antara negara yang mengajukan reservasi
dengan pihak lain yang berhubungan dengan aturan yang diajukan reservasi tersebut
dan juga sebaliknya. Hal tersebut juga terlihat dalam pasal 21 ayat (2) yang
menyebutkan bahwa reservasi tersebut tidak mengubah aturan perjanjian antara pihak
lain yang tidak mengajukan reservasi. Dalam hal ini, sebenarnya kita tidak melihat hal
yang istimewa dalam hubungan antara pihak; hanya saja kita melihat sifat atau ciri
dari suatu hubungan para pihak – yaitu masing-masing terikat dengan apa yang sudah
disepakati – jadi jika satu pihak sudah membuat suatu reservasi yang efektif, maka hal
tersebut akan saling berlaku di antara pihak tersebut.66
Dalam hal penolakan atas suatu reservasi oleh satu atau beberapa peserta
konvensi, tidak secara otomatis mengakibatkan status negara yang mengajukan
reservasi sebagai pihak peserta perjanjian menjadi hilang, melainkan ia akan tetap
dianggap sebagai pihak peserta oleh yang menerima pensyaratan tersebut. Hal ini
berdampak dalam bentuk hubungan antara negara yang menolak reservasi dengan
negara yang mengajukan reservasi yang berhubungan dengan objek atau aturan yang
direservasikan, tidak berlaku di antara kedua belah pihak. Dengan kata lain, antara
pihak yang mengajukan reservasi dengan pihak yang menolak, maka perjanjian akan
tetap mengikat bagi kedua belah pihak. Apabila suatu reservasi dianggap "tidak
sesuai" dengan tujuan dan maksud perjanjian, maka akan berakibat bahwa reservasi
itu akan ditolak oleh seluruh peserta konvensi, dengan demikian pihak yang
mengajukan reservasi tidak dapat menjadi peserta perjanjian dan sebaliknya.67
66
Anthony Aust, op.cit., Hal. 116-117
67
Setya Widagdo, op.cit., Hal.9.
26
Article 22. WITHDRAWAL OF RESERVATIONS AND OF OBJECTIONS TO
RESERVATIONS
Penarikan diri terhadap reservasi mulai berlaku dalam hubungannya dengan
negara peserta yang lain apabila pemberitahuan tentang hal itu telah diterima oleh
negara yang bersangkutan, sedangkan penarikan keberatan atau penolakan terhadap
reservasi mulai berlaku apabila pemberitahuan tentang hal itu telah diterima oleh
negara yang mengajukan reservasi. (Lihat pasal 22 ayat 3 Konvensi Wina 1969)68
68
Ibid.
27
1. A reservation, an express acceptance of a reservation and an objection to
areservation must be formulated in writing and communicated to the contracting
States and other States entitled to become parties to the treaty.
2. If formulated when signing the treaty subject to ratification, acceptance or
approval, a reservation must be formally confirmed by the reserving State when
expressing its consent to be bound by the treaty. In such a case the reservation shall
be considered as having been made on the date of its confirmation.
3. An express acceptance of, or an objection to, a reservation made previously to
confirmation of the reservation does not itself require confirmation.
4. The withdrawal of a reservation or of an objection to a reservation must be
formulated in writing.
69
Ibid.
28
Pada tahun 1961 Indonesia telah ikut menandatangani Konvensi Tunggal
Narkotika 1961 dan dengan UU No 8 tahun 1976 telah pula meratifikasinya. Pada
waktu menandatangani konvensi tersebut, Indonesia mengajukan reservasi terhadap
pasal 48 ayat (2) tentang keharusan penyelesaian sengketa pada Mahkamah
Internasional. Pasal 48 ayat (2) Konvensi Tunggal Narkotika selengkapnya berbunyi
sebagai berikut:
"Any such dispute which cannot be settled in the manner precribed shall be
referred to the International Court of Justice for decision ".
Pada intinya reservasi yang diajukan Indonesia terhadap pasal 48 ayat (2) Konvensi
Tunggal Narkotika itu adalah bahwa Indonesia tidak mengakui adanya jurisdiksi
mengikat (compulsory jurisdiction) dari Mahkamah Internasional. Alasan yang
diajukan oleh Indonesia adalah bahwa sengketa yang hendak diajukan ke depan
Mahkamah Internasional harus ada persetujuan para pihak dan harus dilihat secara
kasuistis. Disamping itu, reservasi yang diajukan Indonesia tersebut berdasarkan
prinsip untuk menerima suatu kewajiban untuk mengajukan perselisihan-perselisihan
internasional, dimana Indonesia tersangkut kepada Mahkamah, terutama apabila
perselisihan demikian itu mempunyai segi politis.70
Pensyaratan terhadap pasal 48 ayat (2) tersebut juga dilakukan oleh Bulgaria, yang
isinya sama dengan reservasi yang diajukan Indonesia, yakni tidak diakuinya
jurisdiksi mengikat dari Mahkamah Internasional, dengan mengatakan :
Reservasi yang diajukan, baik oleh Indonesia maupun oleh Bulgaria tersebut tidak
banyak menimbulkan masalah, karena dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 itu
sendiri diperkenankan adanya reservasi demikian. Bahkan dalam pasal 50 ayat (2)
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 disebutkan secara tegas pasal-pasal mana saja
70
Lihat penjelasan UU No 8 Tahun 1976
71
John King Gamble. Jr., Reservation to Multilateral Treaties, A Macroscopic View of State Practice,
dalam AJIL, Vol 74, No.2, (1980), Hal. 384
29
yang boleh mendapatkan reservasi. Pasal 50 ayat (2) Konvensi Tunggal Narkotika
1961 tersebut berbunyi:
Dengan demikian, melihat ketentuan diatas, tidak ada persoalan mengenai sah
tidaknya pensyaratan yang diajukan Indonesia maupun Bulgaria. Sedangkan akibat
hukum atas pensyaratan dalam hubungannya dengan negara yang menerima maupun
yang menolak pensyaratan itu, akan berlaku ketentuan seperti yang terdapat dalam
"advisory opinion" Mahkamah Internasional mengenai pensyaratan pada tahun 1951
sebagaimana sudah diuraikan diatas. Apabila dikaitkan dengan Konvensi Wina 1969
tentang Hukum Peijanjian, maka akan berlaku ketentuan pasal 20 ayat (4).
Daftar Pustaka
Buku:
Agusman, Damos Dumoli (2004). Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan
Praktik Indonesia. Jakarta: Peneribit Rafika Aditama.
________, Damos Dumoli (2014). Treaties Uner Indonesian Law: A Comparative
Study. Jakarta: PT. Remaja Rosda Karya.
Anwar, Chairul (1988). Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa-
Bangsa.Jakarta: Penerbit Djambatan.
Aust, Anthony (2000). Modern Treaty Law and Practices. Cambridge: Cambridge
University Press.
Brownlie, Ian. (1979). Principles of Public International Law. London: Oxford
University Press.
Dörr, Oliver dan Kirsten Schmalenbach, Vienna Convention on the Law of Treaties:
A Commentary. London: Springer Heidelberg Dordrecht.
Green, L.C. (1978). International Law Through Cases. London.
Kusumaatmadja, Mochtar. (1978). Hukum Laut Internasional. Bandung: Binacipta.
30
Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agors (2003). Pengantar Hukum
Internasional .Bandung: Penerbit Alumni.
Kusumohamidjojo, Budiono.(1986). Suatu Studi terhadap Aspek Oprasional
Konvensi Wina Taun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Bandung:
Penerbit Binacipta.
Starke, J.G.Pengantar Hukum Internasional Penerjemah Bambang Iriana
Djajaatmadja. Jakarta: Sinar Grafika.
Tunggal, Hadi Setja (2005), Himpunan Undang-Undang Perjanjian Internasional
dan Undang-Undang Hubugan Luar negeri beserta peraturan Pelaksanaannya.
Jakarta: Penerbit Harvarindo.
Agusman, Damos Dumoli, Rosida, Book Review: Treaties Under Indonesian Law.
Jurrnal Juris, Direktorat Jendral Hukum dan Perjanjian Internasional
Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia. Jurnal Yudisial, Vol 6. No. 2
Agustus 2013
Bakar, Dian Utami Mas. Pengujian Konstitusional Undang-Undang Pengesahan
Perjanjian Internasional. Jurnal Fakultas Hukum universitas Hasanudin
Makasar.
Dewanto, Wisnu Aryo. Problematika Keberlakuan dan Satus Hukum Perjanjian
Internasional: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011
Gamble. Jr., John King. (1980). Reservation to Multilateral Treaties, A Macroscopic
View Of Stae Practice. AJIL, Vol. 74, No.2.
Komar, Mieke. (1981). Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969
Tentang Perjanjian Internasional. Diktat Kuliah pada Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran, Bandung.
Noor, S.M, Politik Hukum dalam Praktek Ratifikasi di Indonesia, Laporan hasil
Penelitian Disertasi Program Doktoral Studi Ilmu Hukum Pascasarjana
Universitas Hasanudin Makasar. 2006
Purwanto, Harry. Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian
Internasional. Jurnal Mimbar Hukum Vol. 21 No. 1 Februari 2009.
Sadikin, Ratifikasi Perjanjian Internasional dalam Kaitannya dengan Program
Legislasi Nasional.
31
Tomuschat, Ch. Admissibillity and Legal Effects of Reservations to Multilateral
Treaties. 1967.
Widagdo, Setyo. Akibat Hukum Suatu Persyaratan (Reservation) Dalam Perjanjian
Internasional. E-journal UMM Malang,
ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/274/287
32