Anda di halaman 1dari 32

BAB I

RATIFIKASI

1.1 Pengantar Ratifikasi

Pada dasarnya kata ratifikasi tidak sesederhana mengartikannya sebagai


sekedar pengesahan atau penandatanganan oleh kepala negara setelah persetujuan
parlemen. Secara umum pengertian perjanjian internasional yang diterjemahkan
secara berbeda-beda maka ratifikasipun mengalami hal yang berbeda dan berbagai
versi. Titik berat dari pengertian ratifikasi yang dikemukakan di atas adalah
pengesahan akhir dari amar perjanjian yang diberikan oleh masing- masing pihak
pada draf perjanjian yang telah mereka sepakati dibabak- babak kesimpulan bersama
beberapa catatan komentar yang diperlukan termasuk didalamnya pertukaran
dokumen dari draf yang telah disahkan. Dalam rumusan Oppenheim Lauterpacht ini
hanya menyangkut tiga poin penting yaitu; pengesahan terakhir, komentar yang
diperlukan serta pergantian dokumen. Pada hal ratifikasi tidak hanya menyangkut hal-
hal tersebut, tetapi lebih jauh dari itu adalah pengaruh dari perjanjian itu sendiri.1

1.2 Ratifikasi dalam konteks Hukum Nasional

Ratifikasi ialah pengesahan suatu perjanjian internasional oleh negara yang


menandatangani perjanjian tersebut, sesuai menurut ketentuan –ketentuan konstitusi
negara yang bersangkutan2 sehingga seringkali konteks ratifikasi di berbagai negara
mempunyai mekanisme yang berbeda-beda, di Inggris misalnya ratifikasi dilakukan
dengan perbuatan pengesahan oleh Takhta Inggris (Ratu, Raja) sedangkan menurut
konstitusi Amerika Serikat Ratifikasi dilakukan oleh presiden. 3 Dengan demikian
jelas terlihat bahwa proses ratifikasi adalah sepenuhnya dari hukum nasional masing-
masing negara menurut ketentuan-ketentuan konstitusi masing-masing. Untuk negara
yang memerlukan ratifikasi guna pengesahan suatu perjanjian internasional dapatlah
dikatakan bahwa ratifikasi diperlukan untuk mempertimbangkan lebih jauh apakah
perjanjian internasional tersebut benar-benar diperlukankah, sebelum negara
bersangkutan terikat kepada perjanjian tersebut.4
1
F.O. Wilcox, Harvard Law School, AJIL- Annual Journal of International Law, Vol. 29, 1935
2
Oliver Dörr, Kirsten Shamelenbach, “Vienna Convention on the Law of Treaties: A
Commentary”, (Jerman:Springer,2012) Hlm 197
3
Ibid. hlm 187.
4
Chairul Anwah, Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, (Jakarta:Penerbiit
Djambatan, 1988), hlm. 75.

1
Mengenai ratifikasi ini suatu hal yang dapat dipersoalkan ialah, apakah
terdapat suatu kewajiban hukum antara ratifikasi setelah suatu perjanjian internasional
disepakati dan ditanda tangani.5 Ada pendapat yang mengemukakan bahwa walaupun
perjanjian internasional telah ditanda tangani, tidak terdapat kewajiban hukum untuk
melakukan ratifikasi dari perjanjian tersebut, sedangkan yang ada hanya suatu
kewajinan moral.
Pada umumnya suatu perjanjian internasional mulai berlaku pada tanggal
perjanjian tersebut memperoleh ratifikasi. Tetapi terdapat perjanjian –perjanjian
internasional sudah mulai berlaku pada tanggal perjanjian ditandatangani, tanpa
memperoleh ratifikasi misalnya Anglo Japanese Treaty 1905 dan European Peace
Treaties tahun 1947, dimana Finlandia, Bulgaria dan Italia melakukan ratifikasi,
sedangkan Hongaria dan Rumania tidak melakukan ratifikasi. Hal lain yang dapat
dipertanyakan ialah dalam berapa lama, ratifikasi harus dilakukan. Dalam hal ini
jawabannya harus dicari dalam Pasal-pasal dari perjanjian itu sendiri, yang biasanya
memuat ketentuan bahwa perjanjian akan diratifisir oleh pihak-pihak bersangkutan
dalam waktu sesingkat mungkin. Seperti yang dinyatakan dala Pasal 14 Konvensi
Wina, bahwa keinginan dari suatu negara untuk menandatangani suatu perjanjian
internasional dengan syarat ratifikasi dapat terlihat dari kuasa penuh (full powers) dari
wakil wakil resmi negara tersebutatau hal tersebut dinyatakan selama waktu
perundingan.
Seperti telah dikemukakan pada berbagai teori bahwa selain proses ratifikasi
itu rancu (bias) juga yang banyak mengalami benturan adalah kepentingan nasional
(national interst) masing-masing negara. Sekalipun dalam perjanjian antara negara ada
kerelaan melepaskan sedikit kedaulatan untuk kepentingan bersama, tetapi
kepentingan nasional tetap berada diatas segalanya. Bahkan mengikat perjanjian
adalah dalam rangka mengejar target kepentingan nasional. Dalam perjanjian
internasional manakah yang lebih utama, kepentingan nasional (National interest)
ataukah kepentingan bersama (cooperational interest)6

Jika dilihat dari perspektif konstitusi maka Sejarah perkembangan ratifikasi


dalam konstitusi di Indonesia cukup unik dan menarik. Arti harfiah ratifikasi dalam

5
Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik
Indonesia, (Jakarta: Refika Aditama, 2014), hlm 48.

6
S.M. Noor Op Cit, hlm.64.

2
konstitusi Indonesia hanya diatur dalam Pasal 11 Undang -Undang Dasar 1945 (UUD
1945). Itupun tidak disertai dengan peraturan-peraturan pelaksanaannya selama
perjalanan panjang berlakunya UUD tersebut. Memang dengan keluarnya UURI No.
24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional telah ada pegangan yang lebih
lengkap, namun sebelum itu ratifikasi justru menjadi senjata politik penguasa, baik di
bawah rezim orde lama (Presiden Soekarno) maupun di bawah orde baru (Presiden
Soeharto).7

Menurut Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 Tentang Perjanjian


lnternasional, ratifikasi atau pengesahan suatu perjanjian internasional dapat
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.Pengesahan perjanjian
internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:

1. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara


2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia
3. Kedaulatan atau hak berdaulat negara
4. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup
5. Pembentukan kaidah hukum baru
6. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri

Secara umum proses penyusunan peraturan perundang-undangan, khususnya


undang-undang dalam pelaksanaannya terbagi dalam 3 (tiga) tahap yaitu tahap Pra-
Legislasi, tahap Legislasi, dan tahap Pasca Legislasi8 Pada tahap Pra- Legislasi dilalui
proses : (i) Perencariaan Pembentukan UU (RUU), (ii) Persiapan penyusunan RUU
yang terdiri dari pengkajian, penelitian dan penyusunan naskah akademik, (iii) teknik
dan mekanisme penyusunan RUU, (iv) Penyusunan RUU. Tahap Legislasi akan
melalui proses (i) Pembahasan RUU oleh DPR dan Pemerintah, (ii) Pengesahan,
penetapan serta pengundangannya. Sedangkan Tahap Pasca Legislasi akan melalui
proses (i) Pendokumentasian UU, (ii) Penyebarluasan UU, (iii) Penyuluhan, (iv)
Penerapan UU.

Paling tidak ada 2 konsekuensi penting yang harus dicermati sebelum

7
Ibid,
8
Ahmad Ubb, “Mekanisme Penelitian Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan,” Makalah Temu Konsultasi Pelaksanaan Hukum di Jajaran Departemen Hukum
dah HAM, BPHN, 2015. Hlm. 14.

3
mengesahkan suatu perjanjian internasional. Pertama, Indonesia harus
menerjemahkan atau mentransformasikan kewajiban dalam perjanjian internasional
ke dalam hukum nasional. Ini berarti berbagai produk nasional yang bertentangan
dengan ketentuan dalam perjanjian internasional wajib untuk diamendemen.9
Transformasi ini adalah untuk memastikan agar tidak ada ketentuan yang berbenturan
(conflicting) antara hukum nasional dengan perjanjian internasional yang telah
diratifikasi. Kedua, konsekuensi yang harus diperhatikan adalah kewajiban Indonesia
memberikan laporan ke suatu lembaga yang ditentukan dalam perjanjian
internasional. Dalam sejumlah perjanjian internasional yang bersifat multilateral
terdapat kewajiban negara peserta untuk melaporkan kemajuan (progress) yang telah
dilakukan. Sebelum meratifikasi perjanjian internasional perlu untuk diketahui
kapasitas aparat penegak hukum.Hal ini karena bila perjanjian internasional telah
diterjemahkan ke dalam um nasional tetapi tidak mampu ditegakkan oleh aparat, sama
saja dengan Indonesia tidak menepati komitmennya.

Masalah implementasi perjanjian internasional juga terkait dengan apakah


setelah suatu negara meratifikasi perjanjian internasional harus dibuat peraturan
pelaksana (implementing legislation) untuk melaksanakan kewajiban internasional
yang melekat dalam perjanjian internasional tersebut, atau proses ratifikasi sudah
memiliki akibat hukum bahwa kewajiban internasional harus sudah dapat
dilaksanakan tanpa atau adanya peraturan pelaksana (implementing legislation).

1.3 Ratifikasi dalam Vienna Convention on the Law of Treaties


Dalam pasal 2 ayat (1) b ratifikasi diartikan sebagai:
“the international act so named 9 whereby a State establishes on the
international plane its consent to be bound bya treaty”10

Ratifikasi adalah suatu pernyataan unilateral dari suatu negara untuk


menyatakan diri ia teritat pada suatu perjanjian internasinal, yang dilakukan dengan
menggunakan instrumen ratifikasi suatu negara. Mahkamah Internasional atau
International Court of Justice dalam kasus Ambatielos secara tidak langsung
menjelaskan konsep ratifikasi sebagai berikut:

“The ratification of a treaty which provides for ratification, as does the Treaty
9
Damos Dumoli Agusman. Op Cit. hlm. 48

10
Pasal 2 ayat (1)b, Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969

4
of 1926, is an indispensable condition for bringing it into operation. It is
not, therefore, a mere formal act, but an act of vital importance.”11

Pada dasarnya Pasal 14 dari Konvensi Vienna tidak mengatur secara khusus
mengenai bentuk instrumen dari suatu ratifikasi. Hal tersebut diserahkan sepenuhnya
pada hukum nasional masing masing negara.12 Secara tradisional instrumen ratifikasi
ditanda tangani oleh seorang kepala negara atau kepala pemerintahan. Selain itu ada
juga dimana ratifikasi disetujui bersama oleh kepala negara dan pemerintah negara
terkait.13

Dalam praktiknya di berbagai negara, terdapat dua praktik besar mengenai


ratifikasi oleh berbagai negara, praktik pertama sering dikenal sebagai “Westminister
Practice” (Inggris, Australia, Kanada, Israel) dimana proses ratifikasi menjadi
prerogratif dari pihak kerajaan dan parlemen tidak terlalu berperan dalam proses
ratifikasi. Dalam praktik ini eksekutif mempunyai peran dalam konsultasi dan
pengambilan keputusan.14 Sedangkan praktik yang kedua berakar pada golongan
Eropa Kontinental dan Amerika Serikat dimana persetujuan dari parlemen sangatlah
berperan dalam proses ratifikasi suatu perjanian internasional. Selain itu di beberapa
negara di Eropa bahkan menggunakan sistem referendum untuk beberapa perjanjian
internasional yang akan diratifikasi.15

Ratifikasi yang dalam konvensi dijelaskan sebagai tindakan internasional dari


suatu negara untuk menyatakan terikat pada suatu perjanjian internasional. 16
Walaupun sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, masih sering terjadi
adanya miskonsepsi terhadap proses ratifikasi dan proses konstitusional dari masing-
masing negara. Anthony Aust dalam bukunya menjelaskan bahwa pada dasarnya
ratifikasi terdiri dari dua elemen:

“Ratification consists of (1) the execution of an instrument of ratification by


the executive and (2) either its exchange for the instrument of ratification
of the other state (bilateral treaty) or its lodging with the depositary

11
Putusan Mahkamah Internasional terkait Ambatielos Case (Greece v United Kingdom)
(Preliminay Objections)[1952] ICJ Rep 28, 43.
12
Oliver Dörr, Kirsten Shamelenbach, Op Cit. hlm 197
13
Ibid,
14
Ibid, hlm. 187.
15
Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, (Cambrifge: Cambridge University Press,
2000)
16
Ibid, hlm. 81

5
(multilateral treaty).”17

Berdasarkan penjelasan Aust tersebut maka Ratifikasi tidak hanya dapat


dilihat sebagi satu tindakan saja melainkan terdiri atas eksekusi instrumen ratifikasi
dari eksekutif, dalam hal ini adalah berupa persetujuan untuk mengikat pada suatu
perjanjian internasional, dalam pembahasan sebelumnya mekanisme ratifikasi internal
telah dijelaskan dapat disetujui oleh raja ataupun parlemen, tergantung dari Hukum
Tata Negara di masing masing negara. Sedangkan elemen yang kedua adalah degan
bertukar instrumen ratifikasi antar kedua negara apabila perjanjian internasional
tersebut adalah perjanjian bilateral, atau memasukan instrumen ratifikasi ke
depositary apabila perjanjian internasional tersebut adalah perjanjian dimana
pihaknya adalah multilateral. Alasn utama dari disyaratkannya ratifikasi setelah
dilakukanya adopsi dan penanda tanganan dalam proses pembuatan perjanjian
internasional sebelum perjanjian internasional tersebut mengikat suatu negara. Ada
beberapa alasan, yang pertama adalah suatu perjanjian internasional mungkin
membutuhkan legislasi nasional dimana hal ini harus dilakukan sebelum perjanian
internasional tersebut mengikat negara, karena jika tidak maka hal tersebut
memungkinkan untuk terjadinay pelanggaran terhadap perjanjian internasional.

1.4 Persyaratan Ratifikasi

Pasal 14 ayat (1) b , menjelaskan situasi dimana suatu perjanjian internasional


harus meratifikasi suatu perjanjian (atau aaseptasi atau approval) atau dapat diatur
lain. Selain itu intensi untuk diperlukannya suatu ratifikasi dalam sebuah perjanjian
internasional juga bisa dikemukakan oleh pihak negara dalam proses negosiasi. 18
Dalam praktik konstitusional suatu negarapihak dalam suatu perjanjian internasional.

(a)  the treaty so provides. This is the norm when ratification is required,
and usually follows signature, though an express provision for signature is
not always included;19

(b)  it is otherwise established that the negotiating states were agreed that
ratification should be required. This may be evidenced by a collateral
agree- ment or in the travaux. Today that would be unusual: if a treaty is
silent on the question of ratification it is presumed that it is not needed;20

17
Ibid.
18
Ibid, hlm. 190
19
Vienna Convention on the Law of Treaties, Ibid, Article 14 (1) a
20
Vienna Convention on the Law of Treaties, Ibid, Article 14 (1) b

6
(c)  the representative of the state has signed the treaty 'subject to
ratification'. This is a unilateral act, and occasionally is expressly provided
for in the treaty. Where the treaty provides that it will enter into force on
signature or at a specified time, a signature expressed to be subject to
ratification amounts to a conditional signature. However, unlike a
signature ad referenduttP the consent of the state to be bound will operate
only as from the date of ratification. But in the interim the signature will
have various legal effects;or 21

(d)  the intention of the state to sign subject to ratification appears from the
full powers of its representative or was expressed during the negotiations22

Apabila dalam perjanjian dinyatakan secara jelas bahwa penandatanganan


harus disusul dengan adanya suatu ratifikasi, maka delegasi dalam perjanjian tidak
perlu menjelaskan lebih lanjut mengenai perjanjian tersebut adalah subjek dari
ratifikasi.23 Selain itu hal yang sering membuat terjadinya suatu miskonsepsi adalah
ketika suatu perjanjian internasional telah diratifikasi maka perjanjian tersebut
langsung serta merta mengikat negara yang telah meratifikasi perjanjian tersebut. 24
25
Situasi ini berbeda dengan ketika dimana suatu perjanjian internasional mengikat
negara. Dengan suatu negara menyatakan akan terikat kepada suatu perjanjian
internasional tidak serta merta membuat perjanjian internasional tersebut mengikat
suatu negara. Suatu perjanjian internasional akan berlaku mengikat suatu negara
apabila negara tersebut telah menjadi pihak dalam perjanjian tersbut. 26 Apakah kapan
ratifikasi akan mengakibatkan negara terikat pada suatu perjanjian internasional
tergantung dari klausla pengaturan pada setiap perjanjian.

Pada dasarnya penanda tanganan suatu perjanjian internasional tidak


memberikan kewajiban suatu negara untuk meratifikasi, namun sebisa mungkin
negara yang telah menanda tangani suatu perjanjian internasional untuk
meratifikasinya sebagai pertanggung jawaban dari perbuatan yang sudah dilakukan.

1.5 Periode Ratifikasi

Dalam kebanyakan perjanjian internasional umumnya tidak mencantumkan


batas akhir waktu untuk meratifikasi. Bahkan dalam beberapa perjanjian multilateral
21
Vienna Convention on the Law of Treaties, Ibid, Article 14 (1) c
22
Vienna Convention on the Law of Treaties, Ibid, Article 14 (1) d
23
Anthony Aust, Op Cit. hlm. 82.
24
Damos Dumoli Agusman, Op Cit. hlm. 48.
25
Ibid, hlm. 83
26
Vienna Convention on the Law of Treaties, Ibid, Article 2 (1) (g).

7
dapat diratifikasi atau diaksesi beberapa dekade setelah perjanjian itu mengikat para
pihak. Salah satu contohnya adalah Amerika Serikat tidak meratifikasi Konvensi
Genosida 1948 higga empat puluh tahun sejak perjanjian tersebut entry into force.27
Disusul dengan pecahnya Uni Soviet, maka negara negara pecahan tersebut banyak
meratifikasi perjanjian yang telah berlaku selama lima puluh tahun.28 Libya dan
Inggris baru mengaksesi The Hague Convention on the Pacific Settlement of Disputes
1907 enam puluh lima tahun dan delapan puluh tahun setelah perjanjian tersebut
berlaku.29 Beberapa contoh tersebut menunjukan bahwa untuk dapat meratifikasi
perjanjian internasional tidak ada jangka waktunya.

1.6 Instrumen Ratifikasi

Instrumen ratifikasi haruslah dinanda tangani oleh perwakilan resmi dari suatu
negara peserta, dal praktik internasional hal ini dilakukan dengan adanya pemberian
Full powers (surat kuasa) yang diberikan oleh kepala pemerintah, kepala negara atau
mentri luar negari tergantung dari kondisi masing masing negara.30 Apabila piagam
ratifikasi ditanda tangani oleh salain dari kepala negara,, kepala pemerintahan atau
mentri luar negeri tersebut, maka harus ada surat kuasa untuk emnunjukan bahwa
orang tersebut memang diberi kewenangan yang sah untuk melakukan ratifikasi.
Ratifikasi yang dilakukan oleh wakil mwntri luar negeri atau organ negara lainnya
tidak dapat diterima apabila tidak disertai dengan adanya full powers. Sama halnya
dengan apabila perjanjian tersebut ditanda tangani oleh mentri lainnya, tidak dapat
diterima walaupun perjanjian internasional terseut berada dalam ruang lingkum
kewenangannya namun tidak dapat diberikan izin tanpa ia mempunyai full power.31

1.7 Bentuk dan Konten dari Instrumen Ratifikasi

Pada dasarnya bentuk dan konten dari suatu instrumen ratifikasi tidak diatur
oleh Konvensi ini. Dalam Pasal 2 (1) (2)menjelaskan bahwa ratifikasi merupakan
tindakan internasional yang masing masing neara menentukan sendiri cara bagaimana
untuk emnunjukan bahwa negara tersebut tunduk pada perjanian internaional.
Instrumen tersebut harus dengan jelas dan tidak ambigu bahwa negara tersebut
27
Oliver Dörr, Op Cit, hlm 223.
28
Ibid,
29
Anthony Aust, Op Cit. hlm. 83.
30
Damos Dumoli Agusman, Op Cit. hlm 56
31
Ibid. hlm 24.

8
menyatakan terikat kepada suatu perjanjian internasional. Tidaklah cukup hanya
dengan mengatakan bahwa ratifikasi telah diilakukan. Instrumen ratifikasi haruslah:

(1) identify the treaty by its title and the date when and place where it was
concluded; (2) give the name and title of the person signing the instrument of
ratification; and (3) state when and where the instrument was issued.

Instrumen ratifikasi dapat berbentuk surat, dan harus telah ditanda tangani, apa
bila instrumen tersebut belum ditadna tangani maka tidak dapat diterima, namun
dalam praktiknya terdapat pengecualian yaitu Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-
Bangsa dapat menerima surat dari perwakilan teteap suatu negara untuk PBB yang
disertai oleh fax instrumen ratifikasi yang telah ditanda tangani yang menyatakan
bahwa instrumen yang asli sedang dalam proses pengiriman. 32 Namun instrumen
ratifikasi asli yang telah ditanda tangani tidak diterima oleh Sekjen PBB beberapa hari
setelah diterimanya fax instrumen ratifikas, maka sekjen PBB dapat tidak
menganggap negara tersebut terikat dalam suatu perjanjian internasional.

Pada dasarnya tidak terdapat persyaratan mengenai bahasa khusus yang


diunakan untuk suatu instrumen ratifikasi, namun dalam praktiknya untuk
mempermudah maka bahasa yang digunakan adalah bahasa resmi yang digunakan
dalam depositary, namun tetap apabila instrumen ratifikasi tersebut tidak dalam
bahasa resmi yang digunakan dalam depositary instrumen ratifikasi tersebut tetaplah
dapat diterima. Namun depositary tidak dapat mengeluarkan bukti penerimaan sampai
piagam ratifikasi tersebut diterjemahkan, hal tersebut untuk mengetahui apa yang ada
dalam isi piagam ratifikasi.

1.8 Penyimpanan Instrumen Ratifikasi

Instrumen Ratifikasi harus disimpan di negara yang mempunyai depositary,


atau jiga perjanjian tersebut dibuat oleh suatu organisasi internasional, maka
instrumen ratifikasi tersebut disimpan di kantor pusat dari organisasi internasional.
Upacara akan dibuat apabila perjanjian tersebut sangat penting dari aspek politik, jika
tidak memiliki dampak yang signifikan dari aspek politik , maka perjanjian tersebut
dapat langsung dikirimkan ke depositary. Pengiriman Instrumen ratifikasi dapat
dikirimkan melalui pos, namun apabila instrumen ratifikasi tersebut dinilai berkaitan
32
Rosda, “Book:Treaties Under Indonesian Law an executive Summary by Damos Dumoli
agusman”, Jurnal Opinio Juris, Vol. 17 Januari-April, Direktorat Jendral Hukum dan Perjanjian
Internasional Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, 2015.

9
dengan hal yang sangat penting, maka pengiriman dapat dilakukan secara langsung
oleh mentri luar negeri.

Setelah instrumen ratifikasi tersebut diterima oleh baik itu negara depository
ataupun bagian penyimpanan di suatu Organisasi internasional, maka negara yang
memberikan instrumen ratifikasi tersebut harus di notifikasi dan diberitau bahwa
negara tersebut sudah terikat dengan suatu perjanjian internasional ia telah
diratifikasi.

BAB II
AKSESI

2.1 Fungsi dan Tujuan Aksesi

Kondisi yang diatur pada Pasal 15 Vienna Convention on the Law of Treaties
yang mengatur mengenai Aksesi adalah ketika naskah suatu perjanjian
internasional telah diadopsi dan batas akhir untuk penanda tanganan suatu perjanjian

10
telah terlampaui.33 Dalam kondisi ini suatu perjanjian internasinal telah berlaku dan
mengikat negara anggota yang terlebih dahulu mengikatkan diri kepada suatu
perjanjian Internasional, kemudian baru ada negara yang inigin menjadi pihak dalm
perjanjian, negara yang ingin menjadi pihak setelah berlakunya suatu perjanjian tidak
dapat masuk melalui prosedur ratifikasi melainkan harus melalui prosedur Aksesi. 34
Walaupun pada dasarnya untuk mengaksesi suatu perjanjian internasional bukanlah
merupakan hak yang diberikan dalam hukum internasional, melainkan tergantung
pada para phak dalam suatu perjanjian internasional apakah memungkinkan untuk
membuat perjanjian yang tertutup ataukan terbuka.35
Pada dasarnya pengikutsertaan (accession), seperti juga penandatanganan,
ratifikasi –kasasi, penerimaan dan permufakataan, merupakan pernyataan sepakat
untuk mengikatkan dri pada perjanjian. 36 Perbedaannya adalah bahwa pengikutsertaan
diberikan oleh suatu negara yang tidak ikut serta dalam perundingan untuk
membentuk perjanjian. Keistimewaan dari pengikutsertaan ialah bahwa hal itu hanya
dapat dilakukan pada perjanjian-perjanjian multilateral.37 Pengikutsertaan tidak selalu
memerlukan ratifikasi, kecuali apabila ditentukan demikian di dalam perjanjian. Pasal
15 menentukan bahwa pengikutsertaan hanya dapat terjadi bilamana negara negara
perundning telah sepakat untuk menerima suatu pengikutsertaan,.38 Ratifikasi tidak
sama dengan aksesi, namun setara dengan tanda tangan untuk ratifikasi. Aturan
tentang penyerahan instrumen ratifikasi (atau penerimaan atau persetujuan) berlaku
juga untuk instrumen aksesi, dan, kecuali perjanjian menyediakan sebaliknya, aksesi
memiliki efek yang sama seperti ratifikasi.Seperti hak untuk menandatangani, hak
untuk mengaksesi dapat dibatasi pada kategori tertentu atau kategori negara tertentu,
dan dapat dibuat sesuai dengan kondisi atau persetujuan.39

2.2 Pengaturan Pasal 15 Vienna Convention


Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) b, aksesi dijelaskan sebagai berikut:

33
Oliver Dörr, Kirsten Shamelenbach, Op Cit. hlm 197
34
Ibid..
35
Ibid, hlm 198.
36
Budiman Kusumohamidjojjo, “Suatu Studi terhadap Aspek Oprasional: Konvensi Wina
Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional, Penerbit Binacipta, Bandung: 1985. Hlm 8.
37
Vide R.C. Hingorani, “Commencement of Treaty”, dalam S.K. Agrawala, ed “Essays on the
Law of Treaties”, Madras, 1972. Hlm 15
38
Budiman Kusumohamidjojjo, Op Cit, hlm 9.
39
Dian Utami Mas Bakar, “Pengujian Konstitusional Undang-Undang Pengesahan
Perjanjian Internasional”, Jurnal Yuridika: Vol. 29 No. 3, September-Desember 2014. Hlm 284

11
“Accession” means the international act so named whereby a State
establishes on the international plane its consent to be bound by a treaty. It
hereby resembles ratification, acceptance or approval, as it is a unilateral
act under international law”40

Berdasarkan penjelasan pasal tersebut maka Aksesi merupakan suatu tindakan


unilateral dari suatu negara untuk mengikatkan dari pada suatu perjanjian
Internasional. Dalam praktiknya instrumen aksesi dapat dalam bentuk yang berbeda-
beda.41 Instrumen yang umum digunakan adalah dokumen yang di tanda tangani dari
perwakilan tinggi negara, atau dengan penggunaan emblem negara.42 Aksesi dapat
dikatakan telah terjadi apabila instrumen aksesi telah ditukar diantara negara yang
ingin melakukan aksesi, di depositkan atau atau dinotifikasi oleh negara peserta
apabila telah disetujui bersama.43 Pada dasarnya tidak ada negara yang dapat
melakukan Aksesi apabila negara laind alam perjanjian internasional tersebut tidak
menyetujuinya atau perjanjian internasional tersebut memungkinkan untuk
dilakukannya aksesi.44 Dalam perkembangannya saat ini hampir semua perjanjian
multilateral mencantumkan pasal bahwa perjanjian tersebut dapat dilakukan aksesi.
Hal ini biasanya dijelaskan dengan kondisi berlakunya suatu perjanjian internasinal
seperti yang dijelaskan dalam Pasal 83:
…Shall enter into force on the thirtieth day following the date of deposit of the
thiry-fifth instrument of ratification or accession…45
Berdasarkan penjelasan tersebut maka menunjukan bahwa aksesi dapat menjadi salah
satu cara negara dapat mengikatkan diri dengan suatu perjanjia internasional.

2.3 Pemberlakuan Aksesi


Dalam suatu perjanjian internasioal aksesi dapat dilarang apabila diatur dalam
klausula suatu perjanjian internasional, seperti contohnya adalah pada Pasal 22 dari
Envoironmental Protocol to the Antarctic Treaty, mengatur bahwa setelah batas akhir
dari penandatanganan, protokol ini hanya terbuka untuk negara yang telah menjadi
pihakn dalam Antartic Treaty. Suatu perjanjian blilateral dapat juga menjadi
40
Pasal 2 ayat (1)b, Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969
41
Oliver Dörr, Kirsten Shamelenbach, Op Cit. hlm 200
42
Ibid, hlm. 203
43
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16, Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969
44
Anthony Aust, “Modern Treaty Law and Practice”, Op Cit. hlm 89
45
Pasal 83, Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969

12
perjanjian multilateral dengan memungkinkan adanya negara ketiga untuk mengaksesi
perjanjian ter sebut apabila diatur dalam ketentuan pasalnya deminian, contohnya
adalah dalam perjanjian Franco –German Convention on the Construction and
Operation of a Very High Flux Reactor 1967 yang menjeelaskan:
..The present Convention shall be open to accession by third States,
Any Accession shall require the consent of the signatory Governments. The
conditions of accession shall be the subject of an agreement between the
signatory Governments and the Governments of the acceding States…

Pada dasarnya aksesi sama atau setingkat dengan penandatanganan suatu


instrumen ratifikasi, saat ini banyak terjadi miskonsepsi dari aksesi itu sendiri.
Pengaturan mengenai penyimnpanan piagam ratifikasi (atau akseptasi atau approval)
berlaku juga untuk penyimpanan piagam aksesi, kecuali apabila secara spesifik suatu
perjanjian internasional mengatur lain, secara kedudukan aksesi memiliki dampak
yang sama dengan ratifikasi, dimana apabila suatu negara mengikatkan melalui
aksesi, setelah iya dinyatakan terikan pada suatu perjanjian internasional, baik itu
melalui aksesi ataupun ratifikasi keduanya mempunnyai hak dan kewajiban yang
sama sebagai negara peserta dalam suatu perjanjian internasional. Dan seluruh
ketentuan yang ada dalam perjanjiann internasional tersebut mulai dari substansi
ketentuan pasal hingga pengakhiran keterikatan pada suatu perjanjian internasional.

2.4 Aksesi Terhadap Organsasi Internasional


Aksesi terhadap Organisasi Internasional dapat sedikit berbeda dari aksesi
dalam hal perjanjian multilateral biasa yang diatur pada pasal 15 Konvensi Vienna.
Dalam praktiknya banyak Organisasi Internasional tidak diperbolehkan melakukan
aksesi hanya dengan mendeposit instrmen aksesi kepada organisasi internasional yg
menjadi induk utama dari suatu perjanjian internasional. Pada dasarnya
memungkinkan untuk suatu perjanjian internasional mengaksesi suatu perjanjian
internasional, salah satu contohnya adalah European Community yang dapat menjadi
pihak dalam perjanjian internasional, kemungkinan juga dicari suatu pihat dari
organisasiinternasional yang yang memiliki bidang kekhususan tertentu.

13
BAB III

RESERVASI

3.1 PENDAHULUAN

Gagasan mengenai Reservasi didefinisikan dalam Pasal 2 ayat 1 huruf d dalam


Vienna Convention on the Law of Treaties tahun 1969 Menurut definisi ini,

14
"reservasi" berarti, "sebuah pernyataan sepihak, yang dibuat oleh Negara, ketika
menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui atau mengaksesi perjanjian,
dimana memiliki tujuan untuk mengecualikan atau untuk memodifikasi efek hukum
ketentuan tertentu perjanjian dalam aplikasinya kepada Negara tersebut.” Sebelum
pengadopsian Konvensi, beberapa definisi lain telah digunakan dalam praktek dan
dibahas dalam literatur. Definisi ini, bagaimanapun, sebagian besar mirip dengan
definisi yang diberikan dalam Konvensi Wina ini.46

Tujuan dari Reservasi adalah untuk menciptakan fleksibilitas dalam hal


kewajiban dalam sistem perjanjian internasional, dalam rangka untuk memungkinkan
masuknya negara, yang tidak mampu atau tidak ingin menerima semua kewajiban
yang terkandung dalam perjanjian. Reservasi dalam hal ini, dimaksudkan untuk
memecahkan dilema tertentu banyak perjanjian multilateral. Di satu sisi, cukup
sering, adanya keinginan untuk memasukkan sebanyak mungkin negara dalam
perjanjian internasional. Di sisi lain, pendekatan semacam itu cenderung
mempermudah kewajiban, yang dapat dimasukkan dalam perjanjian internasional,
konsekuensi dimana hal tersebut tidak diinginkan dalam kasus rezim objektif, paling
jelas dilihat pada saat membuat kewajiban hak asasi manusia. Dilema tersebut dapat
dijelaskan secara singkat sebagai suatu perbenturan antara universalitas (dari pihak)
dan integritas (kewajiban yang harus dipenuhi).47

Reservasi harus dibedakan “interpretative declarations” dimana negara dapat


membuat hal tersebut pada saat menandatangani atau meratifikasi perjanjian
internasional. “Interpretative Declarations” ini tidak dengan sendirinya mengikat,
tetapi dapat dipergunakan ketika menafsirkan sebuah perjanjian internasional. 48
Kriteria khas reservasi dibandingkan tindakan negara secara unilateral (satu pihak)
lainnya, yang negara tersebut adopsi saat menandatangani atau meratifikasi perjanjian
internasional adalah adanya pengaruh hukum dan secara formal memodifikasi
kewajiban perjanjian internasional tersebut.

Dalam perjanjian internasional yang bersifat bilateral,  apabila terdapat salah


satu pihak mengajukan suatu pensyaratan, yang mana pensyaratan tersebut ditolak

46
Untuk referensi, lihat RK€uhner Vorbehalte zu multilateralen v€olkerrechtlichen Vertr€agen (1986)
9 et
seq;  Pasal 2 huruf (d)
47
Oliver Dorr dan Kirsten Schmalenbach, op.cit., Hal. 240.
48
Ch Tomuschat Admissibility and Legal Effects of Reservations to Multilateral Treaties (1967) 27
Za€oRV 463, 464–465.

15
oleh pihak yang lain, atau pihak lain menyatakan keberatan terhadap pensyaratan
yang diajukan, maka perjanjian tersebut akan batal. Oleh karena itu pensyaratan atau
reservasi dalam perjanjian bilateral sama sekali tidak mempunyai makna. Berbeda
halnya dengan perjanjian internasional yang bersifat multilateral, yaitu apabila suatu
negara mengajukan pensyaratan, dimana pensyaratan tersebut tidak disetujui atau
ditolak oleh satu atau beberapa negara peserta yang lain, maka akan timbul beberapa
masalah, antara lain sejauh manakah akibat hukum dari suatu pensyaratan atau
reservasi dalam hubungannya antara negara yang mengajukan pensyaratan dengan
negara yang menerima pensyaratan itu, dan dalam hubungannya antara negara yang
mengajukan pensyaratan dengan negara yang menolak pensyaratan tersebut.49

3.2 LATAR BELAKANG HISTORIS

a. Abad Sembilan Belas sampai Perang Dunia I

Reservasi pertama yang diketahui adalah Reservasi yang dilakukan oleh


Kerajaan Swedia danKerajaan Norwegia ke Final Act of the Vienna Congress tahun
1815.50 Selama abad kesembilan belas, praktek reservasi lebih bersifat sporadis;
Namun, beberapa contoh menjadi cukup terkenal.

Sementara pada tahun 1899, selama The First Hague Conference, reservasi
masih suatu hal yang tidak biasa atau merupakan pengecualian, Konferensi Kedua
pada tahun 1907 menghasilkan sekitar 65 reservasi berkaitan dengan setidaknya 11
dari 14 konvensi. Pada masa ini, dikenal unanimity doctrine yang memperlihatkan
bahwa reservasi harus disetujui oleh semua pihak yang membuat perjanjian
internasional tersebut, atau jika tidak disetujui, pihak yang mengajukan reservasi
tersebut menarik diri dari perjanjian internasional yang sedang dibuat.

49
Setyo Widagdo, Akibat Hukum Sutau Persyaratan (Reservation) Dalam Perjanjian Internasional,
dalam e-journal ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/274/287 , (UMM: Malang, 2010),
Hal. 1.
50
The 1815 General Treaty of the Final Act of the Congress of Vienna, 64 CTS 454; F Horn
Reservations and Interpretative Declarations to Multilateral Treaties (1988) 7; K€uhner (n 1) 57; A
Pellet in Corten/Klein Art 19 MN 3.

16
b. Inter-war Period

Pendekatan pada periode ini dalam hal reservasi adalah bahwa suatu perjanjian
internasional mulai berlaku secara keseluruhan antar negara yang menjadi pihak
dalam suatu perjanjian internasional tanpa adanya reservasi. Pendekatan ini hampir
sama dengan periode sebelumnya, dimana kita dapat melihat contohnya pada
Konvensi Internasional tentang Opium, dimana Inggris Raya melontarkan pendapat
hukumnya bahwa Reservasi yang ingin diajukan oleh suatu negara harus disetujui
oleh semua negara yang menjadi pihak dalam perjanjian internasional. Jika tidak,
reservasi tersebut akan menjadi null and void.51 Pendekatan sedikit berbeda pada
periode yang sama pada Pan-American Union yang terdapat pada Pasal 6 Havana
Convention yang menyebutkan reservasi menjadi efektif berlaku jika pihak lain
menerima reservasi yang mereka ajukan atau pihak lain tersebut gagal untuk menolak
reservasi tersebut secara formal.52

c. Praktek PBB sebelum Advisory Opinion dari ICJ

Praktek reservasi pada masa ini ditandai dengan pandangan-pandangan yang


beragam dari berbagai pihak. Pandangan-pandangan ini mencerminkan perbedaan-
perbedaan yang mendasar dari phak-pihak tersebut dalam pandangannya terkait
hukum internasional. Untuk beberapa hal, hal-hal tersebut masih terlihat hari ini.53

Sekretaris Jenderal PBB meneruskan posisi yang telah dikembangkan


dalam Liga Bangsa-Bangsa, sementara pada saat yang sama memperkenalkan
beberapa
fleksibilitas ke dalam sistem yang agak kaku, dimana reservasi harus disetujui oleh
seluruh pihak yang membuat perjanjian.54 Amerika Serikat bertahan dalam posisi
yang berkembang pada konteks Uni Pan-Amerika. Uni Soviet mengikuti hal tersebut
dengan pendekatan yang memerlukan hubungan ketat dengan prinsip kedaulatan,

51
(1927) 8 Official Journal of the League of Nations 881.
52
1928 Havana Convention on Treaties PAULTS 3.
53
Oliver Dorr dan Kirsten Schmalenbach, op.cit., Hal. 244
54
Ibid.

17
yang merupakan sebuah kontradiksi dengan pendekatan yang dikembangkan oleh
Amerika Serikat.

Mengingat semakin pentingnya perjanjian multilateral, isu mengenai reservasi


menjadi lebih dan lebih penting. The Genocide Convention mengahasilkan sejumlah
reservasi dan keberatan dengan hal tersebut yang menyebabkan Sekretaris Jenderal
untuk mengirimkan laporan tentang masalah ini kepada Komite Keenam Majelis
Umum PBB. Di sana, posisi-posisi yang berbeda terkait reservasi secara resmi terlihat
dan tersajikan. Perdebatan dan diskusi ini menghasilkan Resolusi UNGA 478 (V), 55
yang menangani masalah ini dalam tiga langkah: ICJ diminta untuk membuat suatu
Advisory opinion pada the Legality of Reservations to the Genocide Convention.

d. Advisory Opinion yang dikeluarkan oleh ICJ terkait Reservasi pada


Konvensi Genosida

    Dengan perbandingan suara 7:5 Mahkamah mengeluarkan Advisory Opinion nya


sebagai berikut:56

a. Suatu negara yang telah mengajukan pensyaratan dan ditolak oleh negara
peserta lain, sedangkan negara itu tetap mempertahankan pensyaratannya,
maka negara yang mengajukan pensyaratan (the reserving state) dapat
dianggap sebagai peserta konvensi apabila pensyaratan yang diajukan itu
sesuai dengan tujuan dan maksud dari konvensi, demikian juga sebaliknya.

b. Apabila salah satu pihak peserta konvensi menolak pensyaratan yang diajukan
oleh pihak peserta lain, karena dipandang tidak sesuai dengan tujuan dan
maksud konvensi, maka negara yang menolak (the objecting state) dapat
menganggap bahwa negara yang mengajukan pensyaratan (the reserving state)
bukan sebagai pihak peserta konvensi. Sebaliknya apabila pihak peserta yang
lain menerima pensyaratan tersebut, karena dipandang sesuai dengan tujuan
dan maksud konvensi, maka pihak yang menerima pensyaratan itu dapat

55
16 November 1950, UN Doc A/517.
56
L.C. Green, International Law Through the Cases, (London: 1978), Hal. 573

18
menganggap bahwa pihak yang mengajukan pensyaratan sebagai pihak peserta
konvensi.

c. Penolakan terhadap  pensyaratan yang  dilakukan oleh negara penandatangan


(signatory state), yang belum meratifisir konvensi, dapat mempunyai akibat
hukum, seperti pada huruf (a) diatas, hanya apabila negara itu mengadakan
ratifikasi. (Sri Suwardi,  1979 : 360)    Disamping itu, penolakan terhadap
pensyaratan yang dilakukan oleh negara yang berhak menandatangani atau
menyatakan ikut serta tetapi belum melakukannya, tidak mempunyai akibat
hukum.

Jika kita letakan dalam konteks perjanjian internasional hak asasi manusia, reservasi
pertama-tama mengandung makna sebagai pengecualian terhadap norma-norma hak asasi manusia
universal. Hal ini karena banyak negara pihak melakukan reservasi sedemikian rupa sehingga makna
atau tujuan dari konvensi itu sendiri menjadi kabur. Di Negara-negara demikian bisa saja jumlah
konvensi yang diratifikasi besar jumlahnya, akan tetapi tanpa kekuatan hukum. Maka, reservasi
dengan mudah dapat menjadi bentuk lain dari penolakan negara atas konvensi yang bersangkutan.
Persoalan lain yang sedikit minor akan tetapi juga dapat menyulitkan penerapan HAM secara
internasional adalah, melalui reservasi negara pihak tidak mengakui wewenang lembaga-lembaga
yang ditentukan oleh konvensi untuk melakukan fungsi pemantauan atau penafsiran atas isi
konvensi.
Problematika mengenai reservasi dibuat oleh AS terhadap Konvensi Genosida sehingga
mendesak Majelis Umum PBB pada 16 November 1950 untuk meminta pendapat hukum dari
International Court of Justice (ICJ). Ketika itu AS melakukan reservasi baik terhadap norma hak asasi
manusia maupun aturan prosedural. Pasal 18 Konvensi Wina 1980 mensyaratkan negara untuk
mencegah dari upaya-upaya yang justru dapat menghilangkan arti dan tujuan dari perjanjian yang
bersangkutan. Pasal 19, sebagaimana juga ditegaskan oleh ICJ selanjutnya mengatur bahwa reservasi
harus sejalan dengan tujuan dan maksud dari perjanjian itu. Maka, reservasi dimungkinkan hanya
untuk hal-hal kecil yang tidak menghapus tujuan dari konvensi itu sendiri. Meskipun ada pembatasan
atas reservasi, kajian Sub Komisi HAM PBB mengungkapkan bahwa reservasi terhadap perjanjian-
perjanjian internasional hak asasi manusia setidaknya membawa persoalan  berkenaan dengan

19
ukuran untuk menentukan sesuai atau tidaknya reservasi itu dengan maksud perjanjian
itu sendiri - apalagi jika sejumlah negara pihak menolak reservasi yang dilakukan oleh negara lain.
Persoalan berikutnya bekenaan dengan pihak yang menentukan keabsahan reservasi. Ketiga, adalah
persoalan terkikisnya tujuan dan sasaran perjanjian internasional itu sendiri akibat
reservasi negara pihak terhadap norma-norma HAM yang diatur dalam konvensi bersangkutan.57
Jika pemerintah Indonesia merencanakan untuk melakukan reservasi terhadap pasal 9
konvensi Genosida, yaitu dengan mensyaratkan bahwa hanya akan menerima yurisdiksi ICJ setelah
mendapat persetujuan dari  pihak-pihak yang bertikai, maka pendapat hukum ICJ ketika
menanggapi permintaan Majelis atas reservasi yang dilakukan oleh AS baik untuk dipetimbangkan.
Ditegaskan oleh ICJ bahwa konvensi genosida memiliki ciri khusus dan bertujuan untuk
berlaku secara universal. Dalam konvensi ini, negara  pihak tidak lagi memiliki kepentingan
mereka masing-masing, akan tetapi hanya satu kepentingan untuk semua; yaitu
kepentingan bersama. Pandangan demikian sama saja mengatakan bahwa perjanjian hak asasi
manusia, yang dimaksudkan untuk kepentingan universal, tidak tunduk pada aturan resiprositas. Jika
ciri ini diterima sebagai dasar dari seluruh sistem perlindungan hak asasi manusia perjanjian
internasional,  besar kemungkinan persoalan-persoalan reservasi tidak mengganggu
penerapan konvensi-konvensi hak asasi manusia. Melihat besarnya jumlah negara yang
menandatangani atau meratifikasi dan praktik- praktik hukum internasional maupun nasional
yang melarang tindak kejahatan genosida, ciri khusus Konvensi Genosida sebagaimana
diungkapkan oleh ICJ setengah abad yang lalu mendapat afirmasi. Artinya meskipun konvensi ini
memungkinkan untuk reservasi, reservasi hendaknya tidak dilakukan terhadap aturan yang sangat
substansial. Memutuskan untuk menerima yurisdiksi ICJ hanya atas dasar kesepakatan dengan
negara yang bertikai memang bisa menjadi jalan keluar, semata-mata untuk kepentingan hubungan
antar negara.

e. Perkembangan Lebih Lanjut dalam Majelis Umum PBB

Isu mengenai reservasi ini tetap dalam agenda Majelis Umum dimana terdapat
hasil yang sengit (23 mendukung, 18 menentang dan 7 abstain) dalam mengadopsi
resolusi 598 (VI) pada 12 Januari 1952. Resolusi ini, yang telah dianggap sebagai

57
Lihat laporan Sub Komisi HAM PBB mengenai reservasi terhadap perjanjian internasional hak asasi
manusia dalam Working  Paper on the Reservations to Human Rights Treaties” yang dilakukan oleh
Francois Hampson pada Sub Komisi HAM PBB, E/CN.4/Sub.2/1999/28, 28 Juni 1999

20
"salah dokumen paling mendasar dalam sejarah hukum perjanjian internasional", 58
adalah adanya urgensitas khusus untuk perkembangan selanjutnya karena - setelah
diskusi panjang di mana semuaposisi yang diambil sebelumnya telah disajikan
kembali - Majelis Umum meminta Sekretaris Jenderal untuk terus bertindak sebagai
kustodian sehubungan dengan reservasi dan keberatan, namun, tanpa menyebutkan
dirinya pada efek hokum dokumen tersebut dan menyerahkan kepada masing-masing
Negara untuk menarik konsekuensi masing-masing.

Solusi ini mengikuti garis advisory opinion tentang Konvensi Genosida dan
mengurangi peran Sekretaris Jenderal, Namun, itu juga menciptakan ketidakpastian
hukum sehubungan dengan perjanjian internasional membutuhkan jumlah tertentu
dalam hal negara yang sudah meratifikasi perjanjian internasional tersebut untuk
perjanjian tersebut mulai berlaku.59 Jika reservasi telah dibuat untuk perjanjian
tersebut, dengan tidak adanya reaksi dari negara, Sekretaris Jenderal adalah tidak
dapat memutuskan apakah jumlah tersebut telah dipenuhi atau tidak.

Sistem yang disarankan oleh resolusi 598 (VI) tetap terbatas pada konvensi
multilateral dan mulai berlaku setelah ditetapkan pada bulan Januari 1952. Untuk
konvensi sebelum tanggal tersebut ,aturan suara bulat tradisional tetap berlaku. Hal ini
mengakibatkan dalam dua rezim hukum terpisah tergantung pada tanggal berlakunya,
solusiyang hampir tidak memuaskan dalam pandangan hukum yang umum terhadap
reservasi. 60

3.3 PENYUSUNAN SUATU RESERVASI

Penyusunan suatu reservasi diatur pada Pasal 19 Vienna Convention on the Law of
Treaties tahun 1969, yang berbunyi:

Article 19. FORMULATION OF RESERVATIONS

A State may, when signing, ratifying, accepting, approving or acceding to a treaty,


formulate a reservation unless:

58
Oliver Dorr dan Kirsten Schmalenbach, op.cit., Hal. 247
59
Ibid.
60
Ibid.

21
(a) The reservation is prohibited by the treaty;
(b) The treaty provides that only specified reservations, which do not include the
reservation in question, may be made; or
(c) In cases not falling under sub-paragraphs (a) and (b), the reservation is
incompatible with the object and purpose of the treaty.

Dengan adanya ketentuan mengenai pensyaratan dalam Konvensi Wina 1969


mi, maka dapat dikatakan bahwa Konvensi Wina 1969 ini dinilai mengandung unsur-
unsur "progressive development" seperti dikatakan oleh Mieke Komar : " Masalah
lain yang dinilai mengandung unsur progressive development adalah mengenai
reservation to treaty".61Penilaian  atas  adanya  unsur  "progressive  development" 
tersebut  karena Konvensi Wina 1969 memakai "Pan American Doctrine" dalam
kaitannya dengan penerimaan dan penolakan terhadap pensyaratan, dan bukan
memakai prinsip lama yaitu prinsip kebulatan persetujuan (unanimity principe) yang
pernah dipakai oleh Liga Bangsa-Bangsa. 

Menurut prinsip atau doktrin "Pan American" tersebut tidak diperlukan


persetujuan (consent) yang bulat daripada para peserta konvensi atas pensyaratan
yang diadakan oleh negara yang hendak turut serta dalam konvensi, melainkan
konvensi itu dianggap berlaku dengan pensyaratan yang diajukan antara yang
mengajukan pensyaratan dengan yang menerima pensyaratan. Sedangkan diantara
negara-negara yang menolak pensyaratan dengan negara yang mengajukan
pensyaratan, konvensi itu dianggap tidak berlaku.

Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa pada sistem "Pan American" ini


suatu perjanjian multilateral mungkin merupakan kumpulan dari perjanjian-perjanjian
multilateral yang masing-masing kecil jumlahnya negara pesertanya atau sekumpulan
perjanjian bilateral.62

Oleh karena itu, setelah adanya Advisory Opinion dari Mahkamah


Internasional mengenai "Reservation to the Genocide Convention" ini suatu
pendekatan yang lebih praktis dan flexibel telah diterima dalam praktek negara-negara

61
Mieke Komar, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina tahun 1969 Tentang Perjanjian
Internasional, (Bandung: diktat kuliah pada Fakultas Hukum UNPAD, 1981), Hal. 35
62
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, (Bandung: Binacipta, 1978), Hal. 125

22
karena fakta jika 100 negara yang berbeda kultur, sistem ekonomi tetap
mempertahankan prinsip "kebulatan persetujuan", maka hal ini akan mengakibatkan
keseganan banyak negara untuk turut serta dalam perjanjian multilateral yang
umum.63

     Dengan demikian, prinsip atau sistem "Pan American"   ini merupakan suatu
sistem yang fleksibel karena memperkenankan atau memungkinkan negara yang
mengajukan pensyaratan itu menjadi pihak peserta perjanjian berhadapan dengan
negara yang menerima pensyaratan yang bersangkutan, sebagaimana dikatakan oleh
Brownlie:64

"in contrast the members of the Pan American Union, later the Organization
of American States, adopted a flexible system which permitted a reserving
state to become a party vis-a-vis non objecting state "  

3.4 PENERIMAAN DAN PENOLAKAN RESERVASI

Article 20. ACCEPTANCE OF AND OBJECTION TO RESERVATIONS

1. A reservation expressly authorized by a treaty does not require any subsequent


acceptance by the other contracting States unless the treaty so provides.
2. When it appears from the limited number of the negotiating States and the object
and purpose of a treaty that the application of the treaty in its entirety between all the
parties is an essential condition of the consent of each one to be bound by the treaty,
a reservation requires acceptance by all the parties.
3. When a treaty is a constituent instrument of an international organization and
unless it otherwise provides, a reservation requires the acceptance of the competent
organ of that organization.

63
Mieke Komar, op.cit.
64
Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (London: 3rd ed, Oxford University Press,
1979), Hal. 606

23
4. In cases not falling under the preceding paragraphs and unless the treaty
otherwise provides:
(a) Acceptance by another contracting State of a reservation constitutes the reserving
State a party to the treaty in relation to that other State if or when the treaty is in
force for those States;
(b) An objection by another contracting State to a reservation does not preclude the
entry into force of the treaty as between the objecting and reserving States unless a
contrary intention is definitely expressed by the objecting State;
(c) An act expressing a State's consent to be bound by the treaty and containing a
reservation is effective as soon as at least one other contracting State has accepted
the reservation.
5. For the purposes of paragraphs 2 and 4 and unless the treaty otherwise provides, a
reservation is considered to have been accepted by a State if it shall have raised
no objection to the reservation by the end of a period of twelve months after it was
notified of the reservation or by the date on which it expressed its consent to be bound
by the treaty, whichever is later.

Pasal 20 ayat 1 Konvensi Wina 1969 menyebutkan bahwa bila reservasi


diijinkan oleh perjanjian, maka tidak perlu meminta suatu pernyataan diterima oleh
negara lain, kecuali jika hal demikian itu disebutkan dalam perjanjian itu. Sedangkan
pasal 20 ayat 2 menghendaki bahwa dalam keadaan khusus, yakni jika perjanjian
tersebut harus berlaku secara keseluruhan (seutuhnya), maka persetujuan dari setiap
negara peserta perjanjian disyaratkan. Kemudian pasal 20 ayat 3 menjanjikan bahwa
jika perjanjian dimaksud merupakan suatu Anggaran Dasar suatu organisasi
internasional, misalnya PBB, kecuali ditentukan lain, maka pensyaratan memerlukan
persetujuan dari lembaga yang berwenang dari organisasi internasional itu.

    Selanjutnya pasal 20 ayat 4 Konvensi Wina 1969 mengatur tentang akibat hukum
dari pensyaratan, yakni sebagai berikut:

a. Suatu pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara dan diterima oleh negara
peserta lain,   maka   antara   negara   yang   menyatakan   pensyaratan   dan  
negara   yang menerimanya, perjanjian itu akan berlaku di antara mereka;
b. Suatu  keberatan  oleh  negara  peserta  lain terhadap  suatu  pensyaratan  tidak
mengesampingkan berlakunya perjanjian (diantara mereka), kecuali jika

24
maksud yang bertentangan secara tegas dinyatakan oleh negara yang
berkeberatan tersebut;
c. Suatu tindakan yang menyatakan keinginan suatu negara untuk diikat dalam
suatu perjanjian dan berisikan suatu persyaratan,mulai berlaku sejak setidak-
tidaknya satu peserta lain menerima persyaratan tersebut.

    Sedangkan pasal 20 ayat 5 Konvensi Wina 1969 menegaskan bahwa kecuali


dinyatakan lain, suatu pensyaratan dianggap diterima oleh suatu negara, jika tidak
menimbulkan suatu keberatan terhadap pensyaratan tersebut dan pada akhir 12 bulan
setelah pensyaratan itu diajukan, atau pada saat dijelaskan keinginannya untuk
mengikatkan diri pada perjanjian.65

3.5 AKIBAT HUKUM DARI PENERIMAAN DAN PENOLAKAN


RESERVASI

Article 21. LEGAL EFFECTS OF RESERVATIONS AND OF OBJECTIONS TO


RESERVATIONS

1. A reservation established with regard to another party in accordance with articles


19, 20 and 23:
{a) Modifies for the reserving State in its relations with that other party the
provisions of the treaty to which the reservation relates to the extent of the
reservation; and
(b) Modifies those provisions to the same extent for that other party in its relations
with the reserving State.
2. The reservation does not modify the provisions of the treaty for the other parties to
the treaty inter se.
65
Setyo Widagdo, op.cit., Hal. 3

25
3. When a State objecting to a reservation has not opposed the entry into force of the
treaty between itself and the reserving State, the provisions to which the reservation
relates do not apply as between the two States to the extent of the reservation.

Pada pasal 21 ayat (1) memperlihatkan bahwa akibat hukum dari suatu
reservasi adalah mengubah hubungan antara negara yang mengajukan reservasi
dengan pihak lain yang berhubungan dengan aturan yang diajukan reservasi tersebut
dan juga sebaliknya. Hal tersebut juga terlihat dalam pasal 21 ayat (2) yang
menyebutkan bahwa reservasi tersebut tidak mengubah aturan perjanjian antara pihak
lain yang tidak mengajukan reservasi. Dalam hal ini, sebenarnya kita tidak melihat hal
yang istimewa dalam hubungan antara pihak; hanya saja kita melihat sifat atau ciri
dari suatu hubungan para pihak – yaitu masing-masing terikat dengan apa yang sudah
disepakati – jadi jika satu pihak sudah membuat suatu reservasi yang efektif, maka hal
tersebut akan saling berlaku di antara pihak tersebut.66
Dalam hal penolakan atas suatu reservasi oleh satu atau beberapa peserta
konvensi, tidak secara otomatis mengakibatkan status negara yang mengajukan
reservasi sebagai pihak peserta perjanjian menjadi hilang, melainkan ia akan tetap
dianggap sebagai pihak peserta oleh yang menerima pensyaratan tersebut. Hal ini
berdampak dalam bentuk hubungan antara negara yang menolak reservasi dengan
negara yang mengajukan reservasi yang berhubungan dengan objek atau aturan yang
direservasikan, tidak berlaku di antara kedua belah pihak. Dengan kata lain, antara
pihak yang mengajukan reservasi dengan pihak yang menolak, maka perjanjian akan
tetap mengikat bagi kedua belah pihak. Apabila suatu reservasi dianggap "tidak
sesuai" dengan tujuan dan maksud perjanjian, maka akan berakibat bahwa reservasi
itu akan ditolak oleh seluruh peserta konvensi, dengan demikian pihak yang
mengajukan reservasi tidak dapat menjadi peserta perjanjian dan sebaliknya.67

3.6 PENARIKAN KEMBALI DARI RESERVASI DAM DARI


PENOLAKAN RESERVASI

66
Anthony Aust, op.cit., Hal. 116-117
67
Setya Widagdo, op.cit., Hal.9.

26
Article 22. WITHDRAWAL OF RESERVATIONS AND OF OBJECTIONS TO
RESERVATIONS

1. Unless the treaty otherwise provides, a reservation may be withdrawn at anytime


and the consent of a State which has accepted the reservation is not required fo its
withdrawal.
2. Unless the treaty otherwise provides, an objection to a reservation may be
withdrawn at any time.
3. Unless the treaty otherwise provides, or it is otherwise agreed:
(a) The withdrawal of a reservation becomes operative in relation to another
contracting State only when notice of it has been received by that State;
(b) The withdrawal of an objection to a reservation becomes operative only when
notice of it has been received by the State which formulated the reservation.

Tentang penarikan (withdrawal) terhadap suatu reservasi, dapat dilakukan


setiap waktu dan dalam hal ini persetujuan suatu negara yang telah menerima
reservasi itu tidak diwajibkan. (Lihat pasal 22 ayat 1 Konvensi Wina 1969) Ketentuan
yang demikian itu berlaku pula bagi penolakan terhadap reservasi. (Lihat pasal 22
ayat 2 Konvensi Wina 1969)

     Penarikan diri terhadap reservasi mulai berlaku dalam hubungannya dengan
negara peserta yang lain apabila pemberitahuan tentang hal itu telah diterima oleh
negara yang bersangkutan, sedangkan penarikan keberatan atau penolakan terhadap
reservasi mulai berlaku apabila pemberitahuan tentang hal itu telah diterima oleh
negara yang mengajukan reservasi. (Lihat pasal 22 ayat 3 Konvensi Wina 1969)68

3.7 PROSEDUR MENGENAI RESERVASI

Article 23. PROCEDURE REGARDING RESERVATIONS

68
Ibid.

27
1. A reservation, an express acceptance of a reservation and an objection to
areservation must be formulated in writing and communicated to the contracting
States and other States entitled to become parties to the treaty.
2. If formulated when signing the treaty subject to ratification, acceptance or
approval, a reservation must be formally confirmed by the reserving State when
expressing its consent to be bound by the treaty. In such a case the reservation shall
be considered as having been made on the date of its confirmation.
3. An express acceptance of, or an objection to, a reservation made previously to
confirmation of the reservation does not itself require confirmation.
4. The withdrawal of a reservation or of an objection to a reservation must be
formulated in writing.

Prosedur mengenai reservasi diatur dalam pasal 23 Konvensi Wina 1969,


yang  antara  lain   disebutkan  bahwa  pernyataan  menerima  atau  menolak  suatu
reservasi haruslah diformulasikan secara tertulis dan harus diberitahukan kepada
negara peserta (contracting state) dan negara-negara lain yang berhak menjadi pihak
perjanjian. Demikian pula penarikan terhadap reservasi dan penarikan terhadap
reservasi (objecting) suatu reservasi juga harus dinyatakan secara tertulis. Namun
dalam praktek seringkali pernyataan menerima atau menolak suatu reservasi tidak
dilakukan secara tertulis.69

Apabila reservasi dirumuskan pada waktu menandatangani perjanjian,


berkenaan dengan ratifikasi, penerimaan atau persetujuan, maka haruslah dikuatkan
secara formal oleh negara yang mengajukan reservasi (reserving state) pada waktu
menyatakan persetujuannya untuk mengikatkan diri pada perjanjian tersebut. Dengan
demikian pensyaratan dianggap telah dibuat pada saat penguatannya. (Lihat pasal 23
ayat 2 Konvensi Wina 1969). Kemudian suatu pernyataan menerima atau menolak
pensyaratan yang dilakukan sebelum penguatan (confirmation), maka reservasi
tersebut tidak memerlukan penguatan lagi.

3.8 CONTOH RESERVASI

69
Ibid.

28
Pada tahun 1961 Indonesia telah ikut menandatangani Konvensi Tunggal
Narkotika 1961 dan dengan UU No 8 tahun 1976 telah pula meratifikasinya. Pada
waktu menandatangani konvensi  tersebut, Indonesia mengajukan reservasi terhadap
pasal 48 ayat (2) tentang keharusan penyelesaian sengketa pada Mahkamah
Internasional. Pasal 48 ayat (2) Konvensi Tunggal Narkotika selengkapnya berbunyi
sebagai berikut:

"Any such dispute which cannot be settled in the manner precribed shall be
referred to the International Court of Justice for decision ". 

    Pada intinya reservasi yang diajukan Indonesia terhadap pasal 48 ayat (2) Konvensi
Tunggal Narkotika itu adalah bahwa Indonesia tidak mengakui adanya jurisdiksi
mengikat (compulsory jurisdiction) dari Mahkamah Internasional. Alasan yang
diajukan oleh Indonesia adalah bahwa sengketa yang hendak diajukan ke depan
Mahkamah Internasional harus ada persetujuan para pihak dan harus dilihat secara
kasuistis. Disamping itu, reservasi yang diajukan Indonesia tersebut berdasarkan
prinsip untuk menerima suatu kewajiban untuk mengajukan perselisihan-perselisihan
internasional,  dimana Indonesia tersangkut kepada Mahkamah, terutama apabila
perselisihan demikian itu mempunyai segi politis.70

    Pensyaratan terhadap pasal 48 ayat (2) tersebut juga dilakukan oleh Bulgaria, yang
isinya sama dengan reservasi yang diajukan Indonesia, yakni tidak diakuinya
jurisdiksi mengikat dari Mahkamah Internasional, dengan mengatakan :

"The people's Republic of Bulgaria does not consider herself bound to


implement the provisions of article 48, paragraph 2, concerning the
obligatory jurisdiction of International Court".71

    Reservasi yang diajukan, baik oleh Indonesia maupun oleh Bulgaria tersebut tidak
banyak menimbulkan masalah, karena dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 itu
sendiri diperkenankan adanya reservasi demikian. Bahkan dalam pasal 50 ayat (2)
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 disebutkan secara tegas pasal-pasal mana saja

70
Lihat penjelasan UU No 8 Tahun 1976
71
John King Gamble. Jr., Reservation to Multilateral Treaties, A Macroscopic View of State Practice,
dalam AJIL, Vol 74, No.2, (1980), Hal. 384

29
yang boleh mendapatkan reservasi. Pasal 50 ayat (2) Konvensi Tunggal Narkotika
1961 tersebut berbunyi:

"Any State may at the time of signature, ratification, or accession make


reservations in respect of the following provisions of this Convention : article
12, paragraphs 2 and 3; article 13 paragraph 2; arty id e 14 paragraphs 1
and 2; article 31 paragraphs 1 (b); and article 48" 

    Dengan demikian, melihat ketentuan diatas, tidak ada persoalan mengenai sah
tidaknya pensyaratan yang diajukan Indonesia maupun Bulgaria. Sedangkan akibat
hukum atas pensyaratan dalam hubungannya dengan negara yang menerima maupun
yang menolak pensyaratan itu, akan berlaku ketentuan seperti yang terdapat dalam
"advisory opinion"  Mahkamah Internasional mengenai pensyaratan pada tahun 1951
sebagaimana sudah diuraikan diatas. Apabila dikaitkan dengan Konvensi Wina 1969
tentang Hukum Peijanjian, maka akan berlaku ketentuan pasal 20 ayat (4).

Daftar Pustaka

Buku:
Agusman, Damos Dumoli (2004). Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan
Praktik Indonesia. Jakarta: Peneribit Rafika Aditama.
________, Damos Dumoli (2014). Treaties Uner Indonesian Law: A Comparative
Study. Jakarta: PT. Remaja Rosda Karya.
Anwar, Chairul (1988). Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa-
Bangsa.Jakarta: Penerbit Djambatan.
Aust, Anthony (2000). Modern Treaty Law and Practices. Cambridge: Cambridge
University Press.
Brownlie, Ian. (1979). Principles of Public International Law. London: Oxford
University Press.
Dörr, Oliver dan Kirsten Schmalenbach, Vienna Convention on the Law of Treaties:
A Commentary. London: Springer Heidelberg Dordrecht.
Green, L.C. (1978). International Law Through Cases. London.
Kusumaatmadja, Mochtar. (1978). Hukum Laut Internasional. Bandung: Binacipta.

30
Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agors (2003). Pengantar Hukum
Internasional .Bandung: Penerbit Alumni.
Kusumohamidjojo, Budiono.(1986). Suatu Studi terhadap Aspek Oprasional
Konvensi Wina Taun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Bandung:
Penerbit Binacipta.
Starke, J.G.Pengantar Hukum Internasional Penerjemah Bambang Iriana
Djajaatmadja. Jakarta: Sinar Grafika.
Tunggal, Hadi Setja (2005), Himpunan Undang-Undang Perjanjian Internasional
dan Undang-Undang Hubugan Luar negeri beserta peraturan Pelaksanaannya.
Jakarta: Penerbit Harvarindo.

Artikel dan Jurnal Ilmiah:

Agusman, Damos Dumoli, Rosida, Book Review: Treaties Under Indonesian Law.
Jurrnal Juris, Direktorat Jendral Hukum dan Perjanjian Internasional
Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia. Jurnal Yudisial, Vol 6. No. 2
Agustus 2013
Bakar, Dian Utami Mas. Pengujian Konstitusional Undang-Undang Pengesahan
Perjanjian Internasional. Jurnal Fakultas Hukum universitas Hasanudin
Makasar.
Dewanto, Wisnu Aryo. Problematika Keberlakuan dan Satus Hukum Perjanjian
Internasional: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011
Gamble. Jr., John King. (1980). Reservation to Multilateral Treaties, A Macroscopic
View Of Stae Practice. AJIL, Vol. 74, No.2.
Komar, Mieke. (1981). Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969
Tentang Perjanjian Internasional. Diktat Kuliah pada Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran, Bandung.
Noor, S.M, Politik Hukum dalam Praktek Ratifikasi di Indonesia, Laporan hasil
Penelitian Disertasi Program Doktoral Studi Ilmu Hukum Pascasarjana
Universitas Hasanudin Makasar. 2006
Purwanto, Harry. Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian
Internasional. Jurnal Mimbar Hukum Vol. 21 No. 1 Februari 2009.
Sadikin, Ratifikasi Perjanjian Internasional dalam Kaitannya dengan Program
Legislasi Nasional.

31
Tomuschat, Ch. Admissibillity and Legal Effects of Reservations to Multilateral
Treaties. 1967.
Widagdo, Setyo. Akibat Hukum Suatu Persyaratan (Reservation) Dalam Perjanjian
Internasional. E-journal UMM Malang,
ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/274/287

32

Anda mungkin juga menyukai