Anda di halaman 1dari 13

Pendekatan Secara Klinis Preeklampsia pada Ibu Hamil 25 Tahun

Tasya Nadhiratul Husna


102017205
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi : Jl. Arjuna Utara No. 06, Jakarta Barat 11510, Indonesia
Email : tasya.2017fk205@civitas.ukrida.ac.id
ABSTRAK
Preeklampsia/eklampsia merupakan salah satu penyebab kematian utama pada ibu, di samping
perdarahan dan infeksi. Preeklampsia/eklampsia adalah penyakit yang unik karena hanya terjadi
pada wanita hamil. Preeklampsia/eklampsia dikenal sebagai “disease of theories” karena banyak
teori yang menjelaskan tentang penyebab preeklampsia/eklampsia dan sampai saat ini belum
diketahui secara pasti penyebabnya. Beberapa faktor risiko telah teridentifikasi dapat
meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia/eklampsia. Terdapat beberapa manifestasi klinis
dalam preeklampsia yaitu proteinuria dan hipertensi.
Kata kunci: preeclampsia, eklampsia, risiko.

ABSTRAC
Preeclampsia / eclampsia is one of the main causes of death in mothers, in addition to bleeding
and infection. Preeclampsia / eclampsia is a unique disease because it only occurs in pregnant
women. Preeclampsia / eclampsia is known as "disease of theories" because there are many
theories that explain the causes of preeclampsia / eclampsia and until now the cause is unknown.
Several risk factors have been identified that can increase the risk of preeclampsia / eclampsia.
There are several clinical manifestations in preeclampsia, namely proteinuria and hypertension
Keywords: preeclamsia, eclampsia, risk.

PENDAHULUAN
Preeklampsia adalah suatu sindrom khas kehamilan berupa penurunan perfusi organ
akibat vasospasme dan pengaktifan endotel. Terdapat beberapa manifestasi klinis dalam
preeklampsia yaitu proteinuria dan hipertensi. Proteinuria di definisikan sebagai ekskresi protein
dalam urin yang melebihi 300 mg dalam 24 jam, rasio protein : kreatinin urin ≥ 0,3, atau
terdapatnya protein sebanyak 30 mg/dL (1+ pada dipstick / carik celup 1+ ) dalam sampel acak
urin secara menetap. Preeklampsia cenderung terjadi pada trimester ketiga kehamilan atau bisa
juga muncul pada trimester kedua (di atas 20 minggu). Preeklampsia jika dijumpai trias tanda
klinik yaitu : tekanan darah ≥140/90 mmHg, proteinuria,dan edema. 1
Bila preeklampsia tidak ditangani dengan baik, maka dapat berkembang menjadi
eklampsia yang mana tidak hanya dapat membahayakan ibunya tetapi juga janin dalam rahim
ibu. Kemungkinan yang terberat adalah terjadinya kematian ibu dan janin, solusio plasenta,
hipofibrinogemia, haemolisis, perdarahan otak, kelainan mata, edema paru, nekrosis hati,
sindroma HELLP, dan kelainan hati. Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah
terjadinya preeklampsia berat atau eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin
dengan trauma sekecil-kecilnya.2
ANAMNESIS
Wawancara yang baik seringkali sudah dapat mengarahkan masalah pasien ke diagnosis
penyakit tertentu. Di dalam Ilmu Kedokteran, wawancara terhadap pasien disebut anamnesis.
Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap
keluarganya atau pengantarnya (allo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk
diwawancarai, misalnya keadaan gawat-darurat, afasia akibat strok dan lain sebagainya.
Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis susunan sistem dan
anamnesis pribadi (meliputi riwayat imunisasi, keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-
obatan, lingkungan).3
1. Identitas pasien
Perlu di tanyakan nama lengkap, tempat tanggal lahir, alamat, jenis kelamin, umur, agama,
suku bangsa, dan pendidikan.
2. Keluhan utama
3. Riwayat penyakit sekarang
4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat penyakit dalam keluarga
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Preeklamsia paling sering terjadi selama kehamilan pertama, meski dapat terjadi pada
kehamilan lainnya. Preeklampsia didiagnosis oleh tekanan darah tinggi yang berkembang untuk
pertama kalinya setelah pertengahan kehamilan atau setelah melahirkan.
Hal tersebut umumnya berhubungan dengan tingginya kadar protein dalam urien dan/atau
bertambah parahnya penurunan trombosit darah, masalah dengan ginjal atau hati, cairan di paru-
paru, atau tanda-tanda gangguan otak seperti sakit kepala parah dan/atau gangguan penglihatan.
Berikut adalah beberapa pemeriksaan untuk deteksi preeklamsia:4
1. Tekanan Darah
Salah satu pemeriksaan yang dilakukan untuk deteksi preeklamsia adalah tekanan darah.
Dokter akan mengukur tekanan darah setiap dilakukan janji temu. Tekanan dapat bervariasi pada
lengan yang berbeda, jadi mintalah pada dokter untuk menggunakan lengan yang sama setiap
kali.
Tekanan darah tinggi didefinisikan sebagai tekanan darah 140/90 atau lebih besar, diukur pada
dua kesempatan terpisah selama enam jam. Tekanan darah tinggi yang parah, yang hasilnya
mencapai atau lebih besar dari 160/110, membutuhkan perawatan segera baik selama kehamilan
dan pada minggu-minggu pertama setelah melahirkan.
2. Urinalisis
Ginjal yang sehat tidak membiarkan sejumlah besar protein masuk ke dalam urine. Jika
protein terdeteksi dalam tes skrining dipstick urine, kamu mungkin diminta untuk
mengumpulkan semua urine dalam kendi selama 12 atau 24 jam. Tujuannya adalah untuk
menentukan jumlah protein yang hilang.
Urine ini akan diuji untuk melihat kadarnya lebih dari 300 miligram protein dalam sehari.
Jumlah protein dalam urine kamu lebih dari 300 miligram dalam satu hari dapat
mengindikasikan preeklamsia. Namun, jumlah protein tidak menentukan seberapa parah
preeklamsia yang mungkin terjadi.
3. Tes Skrining Opsional
Terdapat banyak tes biomarker yang dikembangkan untuk memprediksi atau
mendiagnosis preeklamsia. Salah satu tes ini mengukur kadar protein yang disebut PAPP-A.
Tingkat PAPP-A yang rendah dikaitkan dengan komplikasi kehamilan seperti preeklampsia.
Tingkat PAPP-A yang rendah dapat menjadi penanda risiko yang lebih tinggi, tetapi itu tidak
berarti kamu pasti akan mengalami preeklampsia.
Tes skrining lain dapat memeriksa wanita hamil untuk kadar AFP janin. AFP atau alpha-
fetoprotein adalah protein plasma yang ditemukan pada janin. AFP tinggi menunjukkan cedera
plasenta dan risiko Pembatasan Pertumbuhan Intrauterin (IUGR), yang merujuk pada kondisi
ketika bayi yang belum lahir lebih kecil dibanding yang normal.
4. Memantau Perkembangan Bayi
Preeklamsia berarti bayi kamu juga harus dimonitor dengan lebih cermat. Kamu mungkin
dijadwalkan untuk pemeriksaan ultrasonografi untuk memastikan pertumbuhan bayi tidak
terpengaruh dan bahwa aliran darah melalui tali pusat dan plasenta normal. Jika gejala muncul
dengan cepat menjelang akhir kehamilan atau selama persalinan, kamu dapat menerima
pemantauan janin terus-menerus di rumah sakit
Diffrential Diagnosis5
1. HIPERTENSI GESTASIONAL
Gejala yang timbul adalah peningkatan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih
pada awal kehamilan, tidak terdapat proteinuria, tekanan darah kembali normal
kurang dari 12 minggu setelah kelahiran dan diagnosis bisa ditegakkan jika
setelah pasien melahirkan
2. KRONIK HIPERTENSI
hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang
pertama kali didiagnosis 9 setelah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi
menetap sampai 12 minggu pascapersalinan.
3. KRONIK HIPERTENSI DENGAN SUPERIMPOSED PREEKLAMSI
a (≥1 kriteria dibawah ini)
 Proteinuria onset baru pada wanita dengan hipertensi kurang dari 20 minggu
 Jika hipertensi dan proteinuria timbul < 20 minggu
 Proteinuria meningkat tiba – tiba jika hipertensi dan proteinuria timbul < 20
minggu
 Hipertensi meningkat tiba – tiba pada wanita dengan rewayat hipertensi
terkontrol
 Trombositopenia (trombosit < 100.000 /mm3)
 Peningkatan SGOT dan SGPT Gejala dengan hipertensi kronis dengan nyeri
kepala persisten, skotoma atau nyeri ulu hati juga dapat disebut dengan
superimposed preeclampsia.
Working Diagnosis
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan adanya
disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi
endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi dan
proteinuria pada usia kehamilan diatas 20 minggu. Edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria
diagnostik karena sangat banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.6
Preeklampsia adalah sindrom kehamilan spesifik yang ditandai dengan penurunan perfusi
organ secara sekunder hingga terjadinya aktivasi vasospasme dan endotel. Preeklampsia
mempunyai gambaran klinik bervariasi dan komplikasinya sangat berbahaya pada saat
kehamilan, persalinan dan masa nifas.7
Gambaran klinis yang utama dan harus terpenuhi adalah terdapatnya hipertensi dan
proteinuria, karena organ target yang utama terpengaruhi adalah ginjal (glomerular endoteliosis).
Patogenesisnya sangat kompleks, dipengaruhi oleh genetik, imunologi, dan interaksi faktor
lingkungan. 8
KLASIFIKASI 9
Preeklampsia dibagi menjadi dua yaitu preeklampsia ringan dan preeklampsia berat.
1. Preeklampsia ringan, adalah suatu sindroma spesifik kehamilan dengan menurunnya
perfusi organ yang berakibat terjadinya vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel
dan disertai keadaan seperti berikut:
a. Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolic 15 mmHg atau
lebih atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih pada usia kehamilan
diatas 20 minggu dengan riwayat tekanan darah sebelumnya normal.
b. Proteinuria kuantitatif ≥ 0,3 gr/liter, kualitatif positif 1 atau 2 pada urine
kateter atau midstream.
c. Edema lokal pada kaki, jari tangan dan muka, atau edema generalisata,
serta kenaikan berat badan > 1kg/minggu. Pada kondisi yang lebih berat
pembengkakan terjadi di seluruh tubuh. Pembengkakan ini terjadi akibat
pembuluh kapiler bocor, sehingga air yang merupakan bagian sel
merembes dan masuk ke dalam jaringan tubuh dan tertimbun di bagian
tertentu.
2. Preeklampsia berat adalah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan
tekanana darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria lebih 5 g/24 jam dan disertai
keadaan seperti berikut:
a. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110
mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun sudah dirawat di
rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring
b. Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.
c. Oligouria, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam
d. Kenaikan kadar kreatinin plasma
e. Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma
dan pandangan kabur.
f. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen. g) Edema
paru-paru dan sianosis.
g. Hemolysis mikroangiopatik.
h. Trombositopenia berat: 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit
dengan cepat.
i. Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoseluler): peningkatan kadar
alanin aspartate aminotransferase
j. Pertumbuhan janin terhambat.
DIAGNOSIS PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA10
Proses menyingkirkan diagnosis banding harus dilakukan dengan hati-hati karena gejala
klinik dan tanda yang muncul mungkin saja tidak spesifik. Prinsip yang harus ditekankan adalah
preeklampsia sangat potensial untuk menjadi fulminan, maka dari itu kecurigaan akan terjadinya
preeklampsia harus ada walaupun gejala yang muncul tidak berat. Sebanyak 40%-90% ibu
dengan preeklampsia sering mengeluh nyeri epigastrik atau nyeri pada kuadran kanan atas
abdomen, selain itu gejala klinik yang sering muncul adalah sakit kepala, penglihatan kabur, dan
mual atau muntah.10
Pada preeklampsia, kriteria diagnosis yang dibutuhkan adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg
atau lebih, atau tekanan darah diastolik 90 mmHg atau lebih pada ibu dengan umur kehamilan
lebih dari 20 minggu dan riwayat tekanan darah sebelum kehamilan ibu tersebut adalah normal.
Selain itu kriteria diagnosis yang dibutuhkan adalah adanya protenuria 0.3 gram atau lebih
protein pada urin tampung 24 jam (diindikasikan dengan uji protein carik celup+1 atau lebih). 10
Sedangkan kriteria diagnosis yang dibutuhkan untuk preeklampsia berat adalah tekanan
darah sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan darah diastolik 110 mmHg atau lebih pada dua
kali pengukuran dengan jeda antara masingmasing pengukuran adalah 6 jam dan pasien dalam
keadaan istirahat tirah baring. Kriteria proteinuria pada preeklampsia berat adalah adanya 5 gram
atau lebih protein pada urin tampung 24 jam ditunjukkan dengan hasil uji carik celup +3 atau
lebih pada uji carik celup dengan 2 kali pengujian dan jarak antara satu pengukuran dengan
pengukuran lain adalah paling tidak 4 jam. Gejala lain yang mendukung diagnosis preeklampsia
berat adalah oliguria (produksi urin dalam 24 jam tidak lebih dari 500 ml), skotoma penglihatan,
edem pulmo atau sianosis, trombositopenia (<100.000 sel/Ul), hemolysis mikroangiopati,
peningkatan SGOT/SGPT, oligohidramnion, dan intrauterine growt restriction.
Hal yang membedakan preeklamsia dengan eklamsai adalah jika muncul kreatria
diagnosis preeklamsia ringan atau preeklamsia berat yang diikuti dengan koma atau kejang tanpa
ada kemungkinan penyakit lain yang mendasari seperti epilepsy, penndarahan subaraknoid, dan
meningitis, maka pasien tersebut memenuhi kriteria diagnosis eklamsia. Hal ini juga menunjukan
bahwa tidak menutup kemungkinan ibu dengan preeklamsia ringan langsung mengalami
eklamsia datpa harus melewati fase preeklamsia berat terdahulu.
ETIOLOGI8
Terdapat beberapa teori yang diduga sebagai etiologi dari preeklampsia, meliputi:
1) Abnormalitas invasi tropoblas. Invasi tropoblas yang tidak terjadi atau kurang
sempurna, maka akan terjadi kegagalan remodeling a. spiralis. Hal ini mengakibatkan
darah menuju lakuna hemokorioendotel mengalir kurang optimal dan bila jangka
waktu lama mengakibatkan hipooksigenasi atau hipoksia plasenta. Hipoksia dalam
jangka lama menyebabkan kerusakan endotel pada plasenta yang menambah berat
hipoksia. Produk dari kerusakan vaskuler selanjutknya akan terlepas dan memasuki
darah ibu yang memicu gejala klinis preeklampsia.
2) Maladaptasi imunologi antara maternal-plasenta (paternal)-fetal. Berawal pada awal
trimester kedua pada wanita yang kemungkinan akan terjadi preeklampsia, Th1 akan
meningkat dan rasio Th1/Th2 berubah. Hal ini disebabkan karena reaksi inflamasi
yang distimulasi oleh mikropartikel plasenta dan adiposit
3) Maladaptasi kadiovaskular atau perubahan proses inflamasi dari proses kehamilan
normal.
4) Faktor genetik, termasuk faktor yang diturunkan secara mekanisme epigenetik. Dari
sudut pandang herediter, preeklampsia adalah penyakit multifaktorial dan poligenik.
Predisposisi herediter untuk preeklampsia mungkin merupakan hasil interaksi dari
ratusan gen yang diwariskan baik secara maternal ataupun paternal yang mengontrol
fungsi enzimatik dan 3 metabolism pada setiap sistem organ. Faktor plasma yang
diturunkan dapat menyebabkan preeklampsia.
5) Faktor nutrisi, kurangnya intake antioksidan. menunjukan pada populasi umumnya
konsumsi sayuran dan buah-buahan yang tinggi antioksidan dihubungkan dengan
turunnya tekanan darah.
EPIDEMIOLOGI8
Kondisi hipertensi kehamilan dapat berupa preeklampsia-eklampsia, hipertensi kronik
(hipertensi primer, maupun hipertensi sekunder yang disebabkan oleh insufisiensi renal, penyakit
endokrin, dan penyebab lain), hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia, dan
hipertensi transien. Preeklampsia yang 2 merupakan bagian dari kondisi hipertensi dalam
kehamilan adalah gangguan multiorgan pada kehamilan yang sangat berhubungan dengan
mortalitas dan morbiditas maternal dan perinatal.
Komplikasi kehamilan berupa preeklampsia di Amerika Serikat mencapai angka 6-11%,
dengan insidensi 23.6 kasus per 1000 persalinan, sementara angka preeklampsia di negara
berkembang dipastikan lebih tinggi daripada angka di Amerika Serikat. Data terbaru menyatakan
bahwa preeklampsia menyebabkan 15.9% kematian ibu di Amerikat Serikat dan merupakan
penyebab utama angka mortalitas dan morbiditas perinatal.
Insidensi preeklampsia di RSUP Dr. Kariadi mengalami peningkatan yang cukup
signifikan yang dibuktikan oleh Wahdi (2000) yang mengemukakan bahwa angka kematian ibu
akibat preeklampsia/eklampsia selama tahun 1996-1998 adalah 48% sedangkan pada tahun 2010
insidennya menjadi 76.17%15. Di sisi lain, preeklampsia juga bertanggungjawab terhadap 30-
50% kematian perinatal dan kasus bayi kecil untuk masa kehamilan
PATOFISIOLOGI
Pada awal kehamilan, sel sitotrofoblas menginvasi arterispiralis uterus, mengganti lapisan
endothelial dari arteri tersebut dengan merusak jaringan elastis medial, muskular, dan neural
secara berurutan. Sebelum trimester kedua kehamilan berakhir, arteri spiralis uteri dilapisi oleh
sitotrofoblas, dan sel endothelial tidak lagi ada pada bagian endometrium atau bagian superfisial
dari miometrium. Proses remodeling arteri spiralis uteri menghasilkan pembentukan sistem
arteriolar yang rendah tahanan serta mengalami peningkatan suplai volume darah yang signifikan
untuk kebutuhan pertumbuhan janin. Pada preeklampsia, 3 invasi arteri spiralis uteri hanya
terbatas pada bagian desidua proksimal, dengan 30% sampai dengan 50% arteri spiralis dari
placental bed luput dari proses remodeling trofoblas endovaskuler. Segmen miometrium dari
arteri tersebut secara anatomis masih intak dan tidak terdilatasi. Rerata diameter eksternal dari
arteri spiralis uteri pada ibu dengan preeklampsia adalah 1,5 kali lebih kecil dari diameter arteri
yang sama pada kehamilan tanpa komplikasi. 11
Kegagalan dalam proses remodeling vaskuler ini menghambat respon adekuat terhadap
kebutuhan suplai darah janin yang meningkat yang terjadi selama kehamilan. Ekspresi integrin
yang tidak sesuai oleh sitotrofoblas ekstravilli mungkin dapat menjelaskan tidak sempurnanya
remodeling arteri yang terjadi pada preeklampsia. Kegagalan invasi trofobas pada preeklampsia
menyebabkan penurunan perfusi uteroplasenta, sehingga menghasilkan plasenta yang mengalami
iskemi progresif selama kehamilan. Selain itu, plasenta pada ibu dengan preeklampsia
menunjukkan peningkatan frekuensi infark plasenta dan perubahan morfologi yang dibuktikan
dengan proliferasi sitotrofoblas yang tidak normal. Bukti empiris lain yang mendukung gagasan
bahwa plasenta merupakan etiologi dari preeklampsia adalah periode penyembuhan pasien yang
cepat setelah melahirkan. 11
Jaringan endotel vaskuler memiliki beberapa fungsi penting, termasuk di antaranya
adalah fungsi pengontrolan tonus otot polos melalui pelepasan substansi vasokonstriktor dan
vasodilator, serta regulasi fungsi anti koagulan, anti platelet, fibrinolisis melalui pelepasan faktor
yang berbeda. Hal ini menyebabkan munculnya gagasan bahwa pelepasan faktor dari plasenta
yang merupakan respon dari iskemi menyebabkan disfungsi endotel pada sirkulasi maternal.
Data dari 4 hasil penelitian mengenai disfungsi endotel sebagai patogenesis awal preeklampsia
menunjukkan bahwa hal tersebut kemungkinan merupakan penyebab dari preeklampsia, dan
bukan efek dari gangguan kehamilan tersebut. Selanjutnya, pada ibu dengan preeklampsia, faktor
gangguan kesehatan pada ibu yang sudah ada sebelumnya seperti hipertensi kronis, diabetes, dan
hiperlipidemia dapat menjadi faktor predisposisi atas kerusakan endotel maternal yang lebih
lanjut.11
PENATALAKSANA
Sebagai bagian dari pemeriksaan antenatal, dalam melakukan anamnesis harus
didapatkan data ibu hamil mengenai faktor risiko yang berkaitan dengan preeklampsia.
Pertanyaan tersebut meliputi riwayat obstetri, terutama riwayat 9 hipertensi atau preeklampsia
pada kehamilan sebelumnya. Penyakit lain yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
preeklampsia adalah diabetes mellitus, penyakit vaskuler dan jaringan ikat, nefropati, dan
sindrom antifosfolipid antibodi. 12
Pada setiap kunjungan ibu dalam pemeriksaan antenatal, pengukuran tekanan darah harus
selalu dilakukan dengan sebelumnya memberi waktu kepada ibu untuk beristirahat paling tidak
selama 10 menit. Tinggi fundus uteri juga diperiksa karena tinggi fundus uteri yang tidak sesuai
dengan usia kehamilan dapat mengindikasikan pertumbuhan janin yang terhambat. Edema wajah
dan peningkatan berat badan yang sangat cepat juga harus mendapatkan perhatian lebih, karena
retensi cairan berasosiasi erat dengan preeclampsia.12
Jika pada ibu ditemukan gejala preeklampsia ringan, maka manajemen yang dilakukan
adalah meminta pasien untuk istirahat yang cukup serta melakukan monitoring tekanan darah
dan protein pada urin pasien secara rutin. Pasien mendapatkan edukasi mengenai gejala
preeklampsia berat seperti nyeri epigastrik dan gangguan penglihatan, agar jika gejala tersebut
dialami oleh pasien, pasien diharapkan untuk segera melapor ke fasilitas pelayanan kesehatan
terdekat.
Obat antihipertensif tidak diberikan kecuali tekanan darah diastolik pasien mencapai 100
mmHg dan usia kehamilan ≤30 minggu. Tujuan dari manajemen preeklampsia berat adalah
(1) mencegah terjadinya kejang,
(2) mengontrol tekanan darah ibu,
(3) menginisiasi persalinan. Persalinan merupakan terapi definitif jika preeklampsia
terjadi pada usia kehamilan ≥36 minggu atau jika ditemukan bukti maturitas dari paru janin atau
10 gawat janin. Sedangkan untuk usia kehamilan < 36 minggu untuk mengantisipasi persalinan
premature, ibu harus dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki alat kesehatan yang
memadai sehingga pada saat bayi lahir, bayi tersebut dapat langsung mendapatkan perawatan
intensif dibagian neonatal intensive care unit (NICU). Untuk mencegah terjadinya keejang,
administrasi intra muscular magnesium sulfat 40% sebanyak 10gram dengan syarat :12
1. Reflek tendo lutut positif
2. Tersedia glukonas kalsikus/kalsium klorida
3. Tespiratory rate>15 kali permenit
4. Diuresis >100 cc perjam. Disisi lain, magnesium sulfat juga berguna untuk
menurunkan mortalitas serta morbiditas maternal dan perinatal pada kasus
preeklampsia
KOMPLIKASI
Bila preeklampsia tidak ditangani dengan baik, maka dapat berkembang menjadi
eklampsia yang mana tidak hanya dapat membahayakan ibunya tetapi juga janin dalam rahim
ibu. Kemungkinan yang terberat adalah terjadinya kematian ibu dan janin, solusio plasenta,
hipofibrinogemia, haemolisis, perdarahan otak, kelainan mata, edema paru, nekrosis hati,
sindroma HELLP, dan kelainan hati. Komplikasi-komplikasi potensial maternal meliputi
Eklampsia, solusio plasenta, gagal ginjal, nekrosis hepar, rupture hepar, DIC, anemia hemolitik
mikroangiopatik, perdarahan otak, edema paru dan pelepasan retina. Sedangkan komplikasi–
komplikasi pada janin meliputi prematuritas, insufisiensi utero-plasental, retardasi pertumbuhan
intrauterine, dan kematian janin intrauterine .13
PENCEGAHAN
Berbagai strategi yang digunakan untuk mencegah atau memodifikasi keparahan preeklampsia
telah dievaluasi. Mengenai pencegahan preeclampsia: 14
Manipulasi Diet:
a. Diet rendah garam: Salah satu usaha penelitian pertama untuk mencegah preeklampsia
adalah retriksi garam, tapi retriksi garam tidak efektif dalam mencegah preeclampsia.
b. Suplementasi kalsium: Pemberian kalsium: 1.500–2.000mg/hari dapat dipakai sebagai
suplemen pada risiko tinggi terjadinya preeklampsia, tetapi secara keseluruhan penelitian-
penelitian menunjukkan bahwa suplementasi kalsium tidak memiliki manfaat kecuali
perempuan tersebut memang kekurangan kalsium
c. Suplementasi minyak ikan
d. Tirah baring atau pembatasan fisik lain tidak disarankan sebagai pencegahan primer
preeklampsia dan komplikasinya.
Agen Antitrombotik: Terdapat alasan-alasan teoritis yang cukup banyak untuk menduga bahwa
agen antitrombotik dapat menurunkan preeklampsia. Karena preeklampsia ditandai oleh
vasospasme, disfungsi sel endotel, dan aktivasi trombosit serta sistem koagulasi-hemostasis.
a) Aspirin dosis rendah: Dalam dosis oral 50-150 mg/hari. Dimulai pada akhir trimester
pertama disarankan pada wanita dengan riwayat eklampsia dan kelahiran preterm kurang
dari 34 minggu atau preeklampsia pada lebih dari satu kehamilan sebelumnya. Aspirin
secara efektif menghambat biosintesis tromboksan A2 dalam trombosit dengan efek
minimal pada produksi prostasiklin vascular. Untuk wanita yang mendapatkan obat
antitrombosit, risiko relatif preeclampsia menurun secara bermakna sebesar 10% untuk
terjadinya preeclampsia.
b) Aspirin dosis rendah plus heparin: Karena tingginya prevalensi lesi trombolitik plasenta
pada preeklampsia berat, telah dilakukan beberapa penelitian observasional untuk
mengevaluasi terapi heparin untuk wanita yang mengalami preeklampsia berat. Mereka
melaporkan hasil akhir yang baik pada wanita yang mendapatkan heparin berberat
molekul rendah ditambah aspirin dosis rendah dibandingkan pada wanita yang hanya
mendapatkan aspirin dosis rendah saja
KESIMPULAN
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan adanya
disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi
endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi dan
proteinuria pada usia kehamilan diatas 20 minggu. Edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria
diagnostik karena sangat banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal. Bila
preeklampsia tidak ditangani dengan baik, maka dapat berkembang menjadi eklampsia yang
mana tidak hanya dapat membahayakan ibunya tetapi juga janin dalam rahim ibu. Kemungkinan
yang terberat adalah terjadinya kematian ibu dan janin.
DAFTAR PUSTAKA
1) Cunningham FG, et al. 2010. Williams Obstetrics 23rd ed. Jakarta: EGC. p. 741-763
2) Indriani Nanien. Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan preeclampsia /
eklampsia pada ibu bersalin di RSUD Kardina Kota Tegal
3) Abdurrahman N, dkk. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis. Jakarta : Interna Publishing
FKUI 2007
4) Nurliawati, Jurnal Hubungan antara Preeklampsia dengan Berat Bayi Lahir Rendah di
RSU DR. SOEKARDJO; 2014
5) Padmawati R, Hapitria P, Fitriani N, Jurnal Hubungan antara Preeklampsia dengan Berat
Badan Lahir Bayi; 2013
6) POGI, 2014. Pelatihan Klinik Asuhan Persalinan Normal. Jakarta: JNPK-KR DEPKES
RI.
7) Cunningham, 2014. Obstetri William. 24 ed. Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC.
8) Pribadi, A., Mose, J. & Anwar, A., 2015. Kehamilan Risiko Tinggi. Jakarta: CV Sagung
Seto
9) Prawirohardjo, S., 2011. Ilmu Kandungan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
10) Rachmawati, L. N., 2015. Faktor - faktor yang berhubungan dengan kejadian asfiksia
pada bayi baru lahir di ruang medical record RSUD Pariaman. Jurnal Ilmiah Kebidanan,
7(1), pp. 29 - 40.
11) Nugroho, P. M., Dewiyanti, L. & Rohmani, A., 2015. Tingkat Keparahan Asfiksia
Neonatorum Pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Jurnal Kedokteran Muhammadiyah,
2(1), pp. 43- 46
12) Marwiyah, N., 2016. Hubungan Penyakit Kehamilan Dan Jenis Persalinan Dengan
Kejadian Asfiksia Neonatorum Di RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang. NurseLine
Journal, 1(2), pp. 257 -266.
13) Notoadmojo,S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
14) Katiandagho, N & Kusmiyati, 2015. Faktor- faktor yang berhubungan dengan kejadian
asfiksia neonatorum. Journal Ilmiah Bidan, pp. 3(2), 28-38.

Anda mungkin juga menyukai