Anda di halaman 1dari 10

Efektivitas Fototerapi Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin

pada Hiperbilirubinemia Neonatal di RSUD CIANJUR

Novianti ( 1911E2120 )
Prodi D-III Analis Kesehatan Non Reguler , Sekolah Tinggi Bhakti Asih Bandung
Alamat email : nanti7118@gmail.com

ABSTRAK
Enam puluh persen bayi lahir normal berkembang menjadi kuning dalam satu minggu pertama
kehidupan. Fototerapi merupakan salah satu tatalaksana mengurangi hiperbilirubinemia melalui
proses fotoisomerisasi dan isomerisasi struktural. Tujuannya untuk mengetahui jumlah penurunan
kadar serum bilirubin total pada bayi hiperbilirubinemia usia ≥ 35 minggu setelah dilakukan
fototerapi selama 24 jam, agar dapat memprediksi lama perawatan fototerapi . Penelitian cohort
dengan melibatkan 44 bayi hiperbilirubinemia usia kehamilan ≥ 35 minggu, melihat kadar bilirubin
sebelum dan setelah dilakukan fototerapi. Analisis data dan statistik digunakan SPSS 22 dan uji
berpasangan dengan nilai ≤ 0,05 dan koefisien interval 95% dianggap signifikan. Hasil data usia
kuning 4,2 ± 0,88 hari dengan rata-rata berat badan 2784 ± 643 gram. Rata-rata kadar bilirubin
sebelum dilakukan fototerapi 15,3 ± 1,94 mg/dl, dan setelah dilakukan fototerapi 24 jam 12,8 ± 1,88
mg/dl dengan p= 0,001. Penurunan kadar bilirubin 2,5 ± 0,8mg/dl dalam 24 jam (turun 16,3% dalam
24 jam). Komplikasi fototerapi yaitu hipertermi (2,3%) dan eritema (27,3%). Penurunan kadar
bilirubin setelah dilakukan fototerapi selama 24 jam 2,5±0,8mg/dl (turun 16,3%).

kata kunci: Hiperbilirubinemia, Bayi baru lahir, Fototerapi

PENDAHULUAN
Kuning merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada neonatus. Salah satu penyebab mortalitas
pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin yang merupakan komplikasi ikterus neonatorum
yang paling berat. 1 ikterus merupakan gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan
mukosa karena unconjugated bilirubin yang tinggi.1,2 di amerika serikat, sekitar 65% bayi
mengalami ikterus. Penelitian yang dilakukan Chime Dkk di nigeria tahun 2011 didapatkan
prevalensi ikterus neonatorum 33% dengan 21% lelaki dan 12% perempuan. di indonesia, insiden
ikterus pada bayi cukup bulan di beberapa rumah sakit (RS) pendidikan, antara lain, RSCM, RS. dr
Sardjito, Rs dr. Soetomo, Rs. dr. Kariadi bervariasi antara 13,7 hingga 85%. 1 berdasarkan data
registrasi neonatologi bulan desember 2014 sampai november 2015, di antara 1093 kasus neonatus
yang dirawat, didapatkan 165 (15,09%) kasus dengan ikterus neonatorum. Tata laksana
hiperbilirubinemia bertujuan untuk mencegah agar kadar bilirubin indirek dalam darah tidak mencapai
kadar yang neurotoksik. Tata laksana terkini, meliputi pemberian air susu ibu (ASI), fototerapi, dan
tranfusi darah . Penggunaan fototerapi sebagai salah satu terapi hiperbilirubinemia telah dimulai sejak
tahun 1950 dan efektif dalam menurunkan insiden kerusakan otak (kern ikterus) akibat
hiperbilirubinemia. 4-6 keuntungan fototerapi, antara lain, tidak invasif, efektif, tidak mahal, dan
mudah digunakan. 2,7 fototerapi mengurangi hiperbilirubinemia melalui proses fotoisomerisasi dan
isomerisasi struktural. efektivitas fototerapi tergantung pada kualitas cahaya yang dipancarkan lampu
(panjang gelombang), intensitas cahaya (iradiasi), luas permukaan tubuh, jarak lampu fototerapi .
Penelitian Seidman Dkk, tentang konsentrasi penurunan bilirubin setelah dilakukan fototerapi dengan
light emiting devices (led) blue, blue-green, dan konvensional tidak ada perbedaan yang signifikan.
Fototerapi yang intensif seharusnya dapat menurunkan kadar bilirubin total serum 1-2 mg/dl dalam
4-6 jam. 12 penelitian Brandao dkk, mendapatkan penurunan kadar bilirubin total setelah fototerapi
0,16 ±0,08 mg/dl/jam atau turun 3,84±1,92 mg/dl dalam 24 jam. Perlu diperhatikan efek samping
fototerapi, antara lain, dapat timbul eritema, dehidrasi, hipertermi, diare, dan kerusakan tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui penurunan kadar serum bilirubin total pada bayi
hiperbilirubinemia usia gestasi ≥35 minggu setelah dilakukan Fototerapi Selama 24 Jam. Hal Ini

1
diperlukan untuk memprediksi lama perawatan bayi dengan hiperbilirubinemia yang memerlukan
fototerapi di rumah sakit.

Pengertian Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen yang ditemukan dalam darah, empedu, hingga tinja. Pigmen berwarna kuning
kecoklatan ini diproduksi ketika protein hemoglobin yang ada pada sel darah merah yang telah tua
dipecah. Bilirubin akan dikeluarkan dari tubuh melewati hati. Jika kadar bilirubin tinggi, kulit dan
bagain putih mata dapat berubah menguning. Kondisi ini biasa disebut penyakit kuning. Penyebab
kadar bilirubin tinggi adalah karena hati tidak dapat memproses bilirubin. Kondisi ini dapat
disebabkan karena terjadi penyumbatan di hati, peradangan di hati, atau karena produksi bilirubin
yang berlebihan.

Kadar Normal Bilirubin


Kadar bilirubin dinyatakan dalam satuan milligram per desiliter (mg/dL). Bilirubin dibagi menjadi
dua yaitu bilirubin terkonjugasi atau direct bilirubin dan tak terkonjugasi atau indirect bilirubin.
Bilirubin terkonjugasi adalah bilirubin yang ada pada hati dan bergabung dengan gula tertentu.
Sebelum masuk sampai ke hati dan setelah keluar darri hati, biliburin menjaid bilirubin tak
terkonjugasi. Kadang bilirubin total normal adalah 0.2-1 mg/dL, sedangkan untuk kadar bilirubin
terkonjugasi adalah tidak lebih dari 0,3 md/dL. Jumlah bilirubin total adalah gabungan dari bilirubin
terkonjugasi dan tak terkonjugasi.
 

Macam-macam Bilirubin

a. Bilirubin terkonjugasi /direk


Bilirubin terkonjugasi /direk adalah bilirubin bebas yang bersifat larut dalam air sehingga dalam
pemeriksaan mudah bereaksi. Bilirubin terkonjugasi (bilirubin glukoronida atau hepatobilirubin )
masuk ke saluran empedu dan diekskresikan ke usus. Selanjutnya flora usus akan mengubahnya
menjadi urobilinogen. Bilirubin terkonjugasi bereaksi cepat dengan asam sulfanilat yang terdiazotasi
membentuk azobilirubin. Peningkatan kadar bilirubin direk atau bilirubin terkonjugasi dapat
disebabkan oleh gangguan ekskresi bilirubin intrahepatik antara lain Sindroma Dubin Johson dan
Rotor, Recurrent (benign) intrahepatic cholestasis, Nekrosis hepatoseluler, Obstruksi saluran
empedu. Diagnosis tersebut diperkuat dengan pemeriksaan urobilin dalam tinja dan urin dengan hasil
negatif.

b. Bilirubin tak terkonjugasi/ indirek


Bilirubin tak terkonjugasi (hematobilirubin) merupakan bilirubin bebas yang terikat albumin, bilirubin
yang sukar larut dalam air sehingga untuk memudahkan bereaksi dalam pemeriksaan harus lebih dulu
dicampur dengan alkohol, kafein atau pelarut lain sebelum dapat bereaksi, karena itu dinamakan
bilirubin indirek.

Metabolisme Bilirubin di Hati

1. Pembentukan bilirubin
Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme
oksigenase yaitu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Biliverdin yang
larut dalam air kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Bilirubin
bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut.
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi
yang akan berikatan dengan albumin. Bilirubin yang terikat dengan albumin serum ini tidak larut
dalam air dan kemudian akan ditransportasikan ke sel hepar. Bilirubin yang terikat pada albumin
bersifat nontoksik

2
2. Transportasi bilirubin
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin akan terikat ke
reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, ditransfer melalui sel membran yang berikatan dengan
ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitotoksik lainnya. Berkurangnya kapasitas
pengambilan hepatik bilirubin yang tak terkonjugasi akan berpengaruh terhadap pembentukan ikterus
fisiologis

3. Konjugasi bilirubin
Bilirubin yang tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam air di
retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucoronosyl transferase (UDPG-
T). Bilirubin ini kemudian diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu molekul
bilirubin yang tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya.

4. Sekresi Bilirubin
Sekresi bilirubin diglukuronida ke dalam empedu melalui transportasi aktif. Sistem transpor ini juga
dapat dipicu oleh obat yang menginduksi konjugasi bilirubin. Normalnya, bilirubin diglukuronida saja
yg disekresikan ke dalam empedu

5. Ekskresi bilirubin
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan disekresikan ke dalam kandung empedu,
kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feces. Setelah berada dalam usus halus,
bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali dikonversikan kembali menjadi
bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase yang terdapat dalam usus. Setelah mencapai
ileum terminalis dan usus besar bilirubin terkonjugasi akan dilepaskan glukoronidanya oleh enzim
bakteri yang spesifik (b-glukoronidase). Dengan bantuan flora usus bilirubin selanjutnya dirubah
menjadi urobilinogen. Urobilinogen tidak berwarna, sebagian kecil akan diabsorpsi dan diekskresikan
kembali lewat hati, mengalami siklus urobilinogen enterohepatik. Sebagian besar urobilinogen
dirubah oleh flora normal colon menjadi urobilin atau sterkobilin yang berwarna kuning dan
diekskresikan melalui feces. Warna feces yang berubah menjaadi lebih gelap ketika dibiarkan udara
disebabkan oksidasi urobilinogen yang tersisa menjadi urobilin.

Tujuan tes bilirubin


Tes bilirubin dapat dilakukan dengan berbagai tujuan. Dilansir dari Mayo Clinic, berikut adalah
beberapa kondisi yang umumnya menjadi alasan dilakukannya tes bilirubin:
 Menyelidiki penyakit kuning. Sudah disebutkan sebelumnya bahwa kadar bilirubin tinggi
dapat menyebabkan penyakit kuning. Tes ini juga umum dilakukan untuk mengukur kadar
bilirubin pada bayi yang baru lahir.
 Menentukan apakah terdapat penyumbatan pada sarluran empedu.
 Membantu mendeteksi dan memantau perkembangan penyakit hati seperti hepatitis.
 Membantu mendeteksi peningkatan kerusakan sel darah merah.
 Membantu mengikuti apakah penngobatan tertentu bekerja atau tidak.
 Membantu mengevaluasi dugaan keracunan obat.

Faktor Penyebab Bayi Kuning


Penyebab bayi kuning adalah peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Bilirubin merupakan zat yang
dihasilkan dari pemecahan heme, yaitu salah satu komponen dalam sel darah merah. Ketika bayi
lahir, umumnya akan terjadi pemecahan sel darah merah. Hal ini merupakan salah satu adaptasi yang
dilakukan oleh bayi. Karena jumlah sel darah merah yang lebih banyak dan masa hidupnya yang lebih
pendek, bayi baru lahir memproduksi bilirubin dalam jumlah dua kali lipat dari orang dewasa.
Kondisi inilah yang menjadi penyebab bayi kuning. Peningkatan produksi atau penurunan
pembuangan bilirubin bisa meningkatkan risiko bayi mengalami peningkatan kadar bilirubin yang
ekstrem sehingga menyebabkan kernikterus. Faktor yang mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin,
antara lain:

3
1. Suku, ras, dan jenis kelamin
Bayi yang keturunan Asia Timur ataupun Mediterania memiliki tingkat produksi bilirubin yang lebih
tinggi dibandingkan bayi kulit putih. Hal yang sama berlaku pada ras kulit gelap dibandingkan kulit
putih. Selain itu, jenis kelamin laki-laki diketahui memiliki kadar bilirubin yang lebih tinggi
dibandingkan perempuan.

2. Faktor keturunan
Seorang ibu yang pernah melahirkan anak dengan riwayat kuning memiliki kemungkinan lebih besar
terjadinya kasus yang sama pada anak berikutnya. Penyebab pasti dari faktor keturunan ibu belum
diketahui. Faktor genetik seseorang diduga memengaruhi peningkatkan kadar enzim beta
glukoronidase pada bayi dan ASI. Enzim ini berperan dalam usus dengan mengubah struktur bilirubin
sehingga bilirubin yang seharusnya dibuang kembali diserap dalam tubuh.

3. Polisitemia
Polisitemia adalah kondisi di mana jumlah sel darah merah lebih banyak dibandingkan normal.
Kondisi-kondisi seperti perokok, penyakit pada ibu saat hamil, kurangnya plasenta, dan ibu hamil
yang tinggal di dataran tinggi bisa menyebabkan kondisi polisitemia saat bayi lahir. Dalam kondisi
ini, kadar bilirubin darah akan mengalami peningkatan akibat semakin banyak sel darah merah yang
dipecah oleh tubuh.

4. Hemolisis (Pecahnya sel darah)


Perbedaan golongan darah pada ibu dan bayi bisa menyebabkan reaksi imunitas tubuh sehingga
terjadi pemecahan sel darah. Kondisi ini berlangsung pada penyakit eritroblastosis fetalis, di mana ibu
memiliki darah dengan rhesus negatif dan janin memiliki rhesus positif. Pembentukan antibodi akibat
darah janin dianggap sebagai benda asing akan terjadi pada ibu. Antibodi dapat melewati plasenta dan
menyerang sel darah merah janin sehingga terjadi pemecahan berlebih. Kondisi ini biasanya terjadi
pada kehamilan kedua. Kelainan pada bentuk sel darah merah juga membuat bayi rentan mengalami
hemolisis sehingga menyebabkan bayi kuning. Salah satu contohnya pada anak dengan thalasemia
atau kekurangan enzim glukosa 6-fosfat dehidrogenase.

5. Bayi prematur
Bayi yang lahir kurang bulan atau prematur lebih rentan untuk mengalami kuning. Hal ini
dikarenakan protein albumin dalam darah memiliki daya tarik (afinitas) yang kurang terhadap
bilirubin. Padahal, protein albumin berperan penting dalam mengikat bilirubin agar tidak masuk ke
dalam otak. Penurunan kemampuan protein albumin menyebabkan kadar bilirubin bebas dalam darah
lebih tinggi. Bilirubin bebas rentan masuk ke dalam otak dan menyebabkan terjadinya kernikterus.
Selain kelima hal di atas, trauma saat lahir, galaktosemia, gangguan pada hati, dan sepsis juga dapat
menyebabkan bayi kuning dan berisiko mengalami kernikterus.

Penyebab Jumlah Bilirubin Meningkat


Jumlah bilirubin yang meningkat di dalam darah bisa terjadi karena banyak sebab, antara lain:

1. Gangguan hati
Jumlah bilirubin bisa meningkat akibat kerusakan pada organ hati atau liver. Di dalam tubuh, bilirubin
akan diolah dan disimpan di dalam empedu. Ketika terjadi kerusakan pada hati, misalnya pada
penyakit hepatitis dan sirosis maka kadar bilirubin bisa meningkat.

2. Penyakit pada empedu


Kandung empedu merupakan organ yang berfungsi menampung cairan empedu. Di empedu inilah
bilirubin akan tersimpan. Karena itu, jika empedu terserang penyakit, seperti batu
empedu, penyempitan saluran empedu, radang atau infeksi kandung empedu (dan tumor empedu,
maka bilirubin bisa meningkat jumlahnya. Selain itu, kerusakan pada organ lain di sekitar empedu,
misalnya pada penyakit kanker pankreas dan radang pankreas, juga bisa menyebabkan bilirubin
meningkat.

4
3. Kerusakan sel darah merah
Kondisi yang membuat sel darah merah rusak lebih cepat, seperti anemia sel sabit dan anemia
hemolitik, bisa menyebabkan jumlah bilirubin meningkat drastis.
Pada bayi dan janin di dalam kandungan, kadar bilirubin bisa meningkat akibat kondisi yang disebut
eritroblastosis fetalis. Penyakit ini menyebabkan sel darah bayi hancur karena dirusak oleh sistem
kekebalan tubuh ibunya.
Selain itu, pada orang yang baru mendapatkan transfusi darah, kadar bilirubin bisa meningkat apabila
darah yang diterima tidak cocok dengan tubuhnya.

4. Efek samping obat-obatan


Ada beberapa jenis obat-obatan yang dapat menimbulkan efek samping berupa peningkatan kadar
bilirubin. Obat-obatan ini termasuk antibiotik, kortikosteroid, pil KB, indomethacin, dan obat
antikejang, seperti diazepam, flurazepam, dan phenytoin. Pada kasus tertentu, suplemen atau obat
herba tertentu juga dapat menyebabkan kadar bilirubin meningkat. Selain beberapa kondisi medis di
atas, kadar bilirubin dalam darah juga bisa meningkat akibat infeksi berat, gangguan tiroid, dan
kelainan genetik, misalnya sindrom Gilbert, hemokromatosis herediter, sindrom Rotor, dan sindrom
Criggler-Najjar.

Dampak Bilirubin Tinggi


Jika kadar bilirubin tinggi dalam darah, maka tubuh akan mengalami penyakit kuning (jaundice). 
Penyakit kuning ditandai dengan mata dan kulit yang menguning disertai gatal-gatal. Tidak hanya
pada orang dewasa, jumlah bilirubin yang terlalu banyak pada bayi yang baru lahir ternyata juga
berbahaya. Kadar bilirubin yang tinggi pada bayi baru lahir biasanya ditandai dengan kulit menguning
yang muncul pada wajah dan dahi terlebih dahulu, kemudian menyebar ke dada dan bagian tubuh lain.
Selain itu, bayi juga mungkin akan mengalami lesu, menangis terus-menerus, atau bahkan kejang.
Bila tidak segera ditangani, kadar bilirubin yang tinggi pada bayi dapat menyebabkan kerusakan otak
(kernikterus), masalah saraf, hingga kematian. Oleh karena itu, bayi yang mengalami penyakit kuning
memerlukan perawatan khusus untuk menurunkan kadar bilirubin dalam darahnya. Salah satu
perawatannya adalah dengan fototerapi. Dari informasi di atas bisa disimpulkan bahwa meningkatnya
kadar bilirubin, terutama yang sudah menimbulkan gejala penyakit kuning, adalah kondisi yang perlu
segera diperiksakan ke dokter. Dalam menentukan diagnosis, dokter akan melakukan pemeriksaan
fisik dan penunjang, seperti tes darah untuk menilai kadar bilirubin dan USG hati dan empedu.
Setelah kadar bilirubin dipastikan meningkat, maka dokter dapat mengupayakan pengobatan sesuai
dengan faktor penyebabnya

METODE
Desain penelitian kohort dilakukan di sub-bagian neonatologi / smf ilmu kesehatan anak fk unud/ rsup
sanglah pada bulan februari sampai dengan oktober 2015. Kriteria inklusi adalah pasien rawat inap di
ruang perawatan neonatus RSUD , bayi dengan usia kehamilan ≥35 minggu, berat badan lahir ≥
2200 gram , mengalami hiperbilirubinemia yang memerlukan fototerapi, hiperbilirubinemia terjadi
pada hari ke 2 hingga hari ke-5 setelah lahir, dan orang tua setuju ikut serta dalam penelitian. Kriteria
eksklusi adalah bayi dengan kadar hiperbilirubinemia yang memerlukan tindakan tranfusi darah ,
bayi dengan kelainan kongenital mayor, riwayat asfiksia saat lahir, bayi dengan sepsis neonatorum,
bayi dengan penyakit hemolitik (diagnosis inkomptabilitas abo, rhesus). Sampel dipilih secara
consecutive sampling, rumus untuk penelitian perhitungan besar sampel digunakan rumus besar
sampel untuk uji hipotesis terhadap dua rerata kelompok berpasangan pasangan dengan derivat baku
alfa untuk α = 0,05 dengan tingkat kepercayaan 95%, besar sampel minimal adalah 44 subjek. Data
dasar subjek penelitian, yaitu diagnosis, usia, jenis kelamin, usia kehamilan, berat badan lahir, kadar
bilirubin sebelum dan sesudah fototerapi, dan komplikasi fototerapi diperoleh dari rekam medis dan
anamnesis langsung dari keluarga subjek, disesuaikan dengan kuesioner yang terlampir. Definisi
operasional variabel hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2
standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil
90 dan dilakukan dengan metode spektrofotometri. kelainan kongenital mayor adalah kelainan yang
sudah ada sejak lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik yang

5
memerlukan tindakan medis segera untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Sepsis neonatorum
adalah infeksi aliran darah neonatus yang bersifat invasif dan ditandai dengan hasil kultur atau biakan
darah positif kadar bilirubin adalah kadar bilirubin total darah, yaitu bilirubin terkonjugasi dan
bilirubin tidak terkonjugasi. metode pengukuran yang digunakan adalah fotometri atau
spektrofotometri yang mengukur intensitas warna azobilirubin. Satuan yang digunakan mg/dl (skala
ratio). Fototerapi adalah terapi sinar yang dilakukan untuk mengubah bentuk isomer bilirubin
sehingga dapat larut dalam air (skala nominal). Usia pascanatal adalah usia dari bayi dilahirkan
hingga mengalami kuning, dinyatakan dalam satuan hari (skala ordinal). Analisis data diolah dengan
SPSS 22, karakteristik subjek disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel dan narasi. Uji
komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata kadar bilirubin antar kelompok sebelum dan
sesudah fototerapi dengan uji ‘T’ berpasangan. Kuning yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
diambil darah 2 ml untuk pemeriksaan kadar bilirubin total. Setelah hasil pemeriksaan kadar bilirubin
total keluar kemudian diplot ke kurva buthani. Apabila hasil plot yang dilakukan menyatakan perlu
dilakukan fototerapi, bayi tersebut akan digunakan sebagai sampel penelitian. Orang tua bayi diminta
menandatangani formulir informed consent yang telah disediakan. Fototerapi yang diberikan adalah
fototerapi konvensional. Sumber sinar yang digunakan memiliki spesifikasi, lampu fluorescent 4 buah
merk phillips dengan kekuatan masing-masing 20 watt, panjang gelombang yang digunakan 420–470
um, intensitas cahaya 10 μw/cm2/nm, jarak antara bayi dan sumber sinar 30 cm, dan digunakan alas
linen putih pada basinet atau inkubator dan tirai putih di sekitar daerah unit terapi sinar untuk
memantulkan cahaya sebanyak mungkin kepada bayi.

Prinsip Pemeriksaan Bilirubin :


Bilirubin bereaksi dengan diazotized sulphanitic acid (DSA) untuk membentuk larutan azo merah.
Absorbsi dari larutan pada 546 nm sesuai dengan kadar bilirubin dalam sampel. Bilirubin glucoronida
yang larut dalam air bereaksi langsung (direct) dengan DSA sedangkan bilirubin yang terikat pada
albumin bereaksi tak langsung (indirect) dengan DSA dengan adanya acellerator. Total bilirubin =
bilirubin direct + bilirubin indirect.

Reaksi Pemeriksaan Bilirubin


Sulphanilic acid +sodium nitrit → DSA Bilirubin + DSA → direct azobilirubin Bilirubin + DSA +
acellerator → total azobilirubin

Alat dan Bahan

1. Tabung reaksi
2. Mikropipet
3. Blue tip dan yellow tip
4. Tisu
5. Reagen pereaksi
6. Fotometer
7. Parafilm
8. Sampel Serum
Prosedur Pemeriksaan Bilirubin
A. Total Bilirubin

1. Persiapan Sampel
Blanko Sampel
Reagen total nitrit – 40 μl
Reagen total bilirubin 1000 μl 1000 μl
Campur dan inkubasi selama 5 menit.
Blanko Sampel
Sampel serum 100 μl 100 μl
Campur dan inkubasi selama 10-30 menit pada suhu kamar.

6
2. Pengaturan Fotometer Panjang gelombang : 546 nm Faktor : 13,0 Program : c/f

B. Direct Bilirubin

1. Persiapan Sampel
Blanko Sampel
Reagen total nitrit – 40 μl
Reagen direct bilirubin 1000 μl 1000 μl
Campur dan inkubasi selama 5 menit.
Blanko Sampel
Sampel serum 100 μl 100 μl
Campur dan inkubasi pada suhu ruang tepat 5 menit.

2. Pengaturan Fotometer Panjang gelombang : 546 nm Faktor : 13,0 Program : c/f

Nilai Normal
Bilirubin Total
 Bilirubin Pada saat lahir : s.d. 5 mg/dl atau 85,5 mmol/liter
 Umur 5 hari : s.d. 12 mg/dl atau 205,0 mmol/liter
 Umur s.d. 1 bulan : s.d. 1,5 mg/dl atau 25,6 mmol/liter
 Dewasa : s.d. 1,1 mg/dl atau 18,8 mmol/liter Direct Bilirubin Dewasa : s.d. 0,25 mg/dl atau 4,3
mmol/liter

HASIL
Di antara 44 subjek didapatkan 28 (63,6%) lelaki dan 16 (36,4%) perempuan. Tigabelas (29,5%)
pasien dengan usia kehamilan ≥35 sampai <37 minggu dan 31 (70,5%) dengan usia ≥37 sampai ≤42
minggu. Rerata usia saat kuning 4,2 hari dan rerata berat badan 2784±643 gram. Karakteristik subjek
penelitian tertera pada Tabel 1.Rerata kadar bilirubin total sebelum dilakukan fototerapi 15,3±1,94
mg/dL dan setelah dilakukan fototerapi 24 jam 12,8±1,88 mg/dL/hari. Penurunan kadar bilirubin
2,5±0,8 mg/dL dalam 24 jam (turun 16,3% dalam 24 jam) dengan p=0,001.

Tabel 1. Karakteristik subjek (n=44)


Variabel N =44
Usia saat kuning, rerata, SB (hari) 4,2 ± 0,88
Berat badan, rerata, SB (gram) 2784 ± 643
Jenis kelamin
Laki-laki,n (%) 28 (63,6%)
Perempuan,n (%) 16 (36,4%)
Usia kehamilan (minggu)
35 - < 37 13 (29,5%)
37- 42 31 (70,5%)

Tabel 2. Kadar bilirubin pre dan pasca fototerapi berdasarkan usia kehamilan
Usia kehamilan (minggu) Pre Pasca Penurunan IK95% p
fototerapi fototerapi bilirubin
35- <37, rerata ± 14,71± 2,05 12,45± 1,92 2,25± 0,69 1,83- 2,6 0,001
(SB),mg/dL/hari
37-42, rerata ± 15,63±1,87 12,99± 1,87 2,6±0,86 2,32-2,95 0,001
(SB),mg/dL/hari

7
Kadar bilirubin pada usia kehamilan 35 sampai <37 minggu dengan rerata penurunan kadar bilirubin
2,25 mg/dL/24 jam, dan pada usia 37-42 minggu dengan kadar 2,6 mg/dL/24 jam (Tabel 2).
Komplikasi jangka pendek fototerapi, yaitu hipertermi 1 (2,3%) dan eritema 12 (27,3%) pasien.

PEMBAHASAN
Ikterus merupakan gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena kadar
unconjugated bilirubin meningkat.1,2 Sejak diperkenalkan pada tahun 1958, fototerapi merupakan
salah satu terapi untuk hiperbilirubinemia neonatal.15 Enampuluh persen bayi yang lahir normal
berkembang menjadi kuning dalam satu minggu pertama kehidupan. Mekanisme ikterus melalui
peningkatan produksi bilirubin karena jumlah sel darah merah yang lebih tinggi, umur sel darah
merah lebih singkat sehingga pemecahan sel lebih cepat. Mekanisme lainnya karena penurunan
ekskresi bilirubin melalui penurunan uptake dalam hati, penurunan konjugasi oleh hati, peningkatan
sirkulasi enterohepatik. Ekskresi bilirubin membaik setelah usia 1 minggu dan 1%-2% bayi dengan
usia kehamilan 35 minggu dengan kadar bilirubin 20 mg/dL.Tujuan fototerapi adalah mengonversi
bilirubin menjadi photoisomers kuning dan produk oksidasi tidak berwarna yang kurang lipofilik dari
bilirubin dan tidak memerlukan konjugasi hepar untuk ekskresi. Photoisomers diekskresikan terutama
dalam empedu dan produk oksidasi terutama di urin. Data dasar subjek penelitian mendapatkan 28
(63,6%) lelaki dan 16 (36,4%) perempuan. Penelitian kami sesuai dengan penelitian Najib dkk19
yang melaporkan jenis kelamin lelaki 58,2%, tetapi belum diketahui hubungan antara jenis kelamin
dengan risiko ikterus. Tigabelas (29,5%) pasien dengan usia kehamilan <37 minggu dan 31 (70,5%)
dengan usia ≥37 sampai <42 minggu dengan rerata berat badan 2784±643 gram. Sebagian besar
subjek merupakan bayi cukup bulan dengan berat sesuai usia kehamilan.Kami mendapatkan
penurunan kadar bilirubin total setelah dilakukan fototerapi 2,5±0,8mg/dL /24 jam (turun 16,3%
dalam 24 jam). Brandao dkk. melaporkan penurunan bilirubin 0,16± 0,08 mg/dL/ jam (3,84±1,92)
mg/dL dalam 24 jam. Silva dkk20 melaporkan penuruan kadar bilirubin dalam 24 jam. pada double
fototerapy vs single fototerapy (5,1±2,2 vs 4,3±2,1) mg/dL. Penelitian Brandao dkk,10 penurunan
bilirubin total 3,84 ±1,92/mg/dL dalam 24 jam, lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian kami
karena jarak antara sinar fototerapi dengan bayi 12 cm, sedangkan pada penelitian kami dengan jarak
30 cm. Semakin dekat paparan sinar fototerapi dengan bayi, semakin efektif untuk menurunkan kadar
bilirubin. Silva dkk20 melaporkan penurunan kadar bilirubin total setelah fototerapi 24 jam pada
single fototerapi 4,3±2,1 mg/dL. Penurunan kadar bilirubin ini lebih tinggi dibandingkan dengan
penelitian kami karena usia inklusi lebih lebar, yaitu usia lebih dari 1 hari dan kurang dari 7 hari.
Berdasarkan kurva buthani, kadar bilirubin saat usia ≥5 hari bilirubin cenderung mengalami
penurunan.17 Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan dan melaksanakan fototerapi
adalah berbagai emisi dari sumber cahaya, intensitas cahaya (iradiance), luas permukaan tubuh yang
difototerapi. Panjang gelombang cahaya yang efektif pada region biru-hijau 460-490 nm. Semakin
dekat jarak fototerapi dengan tubuh bayi maka semakin efektif. Bethanabotla melaporkan hasil tidak
ada perbedaan signifikan posisi saat difototerapi baik posisi supinasi atau berganti posisi karena
jumlah area yang difototerapi sama meskipun berubah posisi. Penurunan kadar bilirubin total terjadi
pada bayi usia kehamilan 35-<37 minggu dengan rerata penurunan kadar bilirubin 2,25±0,69
mg/dL/24 jam, dan pada usia 37-42 minggu dengan kadar 2,6±0,86 mg/dL/24 jam. Penurunan kadar
bilirubin pada bayi kurang bulan lebih sedikit karena hiperbilirubinemia pada bayi prematur lebih
sering, lebih berat, dan lebih lama karena jumlah eritrosit lebih banyak, usia eritrosit lebih singkat, sel
hati yang masih imatur, uptake dan konjugasi lebih lambat dan sirkulasi enterohepatik meningkat
(masukan oral yang tertunda dan kolonisasi bakteri yang terhambat). Efek samping jangka pendek
pemberian fototerapi (hipokalsemi), diare, dan eritema pada kulit.13 Pada penelitian kami, komplikasi
hipertermi 1 (2,3%) dan eritema 12 (27,3%) pasien. Komplikasi hipertermi rendah karena jarak
fototerapi dengan bayi yang berjarak 30 cm, sedangkan penelitian lain dengan jarak 12 cm. Paparan
panas sinar fototerapi dan kurangnya asupan air susu ibu (ASI) yang menyebabkan pasien hipertermi
dan eritema disebabkan karena paparan sinar dari fototerapi pada bayi yang fotosensitif. Penelitian
kami memiliki beberapa kelemahan, yaitu paparan fototerapi ke bayi yang berjarak 30 cm karena
pengaturan alat fototerapi tidak bisa diturunkan lagi ketinggiannya. Buthani menyarankan semakin
dekat jarak dengan paparan fototerapi semakin efektif penurunan bilirubin dan juga memastikan status
pasien selama fototerapi, yaitu status hidrasi yang adekuat, status nutrisi, dan kontrol temperatur.

8
KESIMPULAN
Penurunan kadar bilirubin total setelah dilakukan fototerapi dalam 24 jam sebesar 2,5±0,8 mg/dL,
mengalami penurunan sebesar 16,3% dalam 24 jam. Disarankan, fototerapi diberikan dengan jarak
10-20 cm, semakin dekat jarak bayi dengan sinar fototerapi semakin efektif dalam menurunkan kadar
bilirubin total. Pengaturan ketinggian alat fototerapi yang sudah maksimal dan tidak bisa diturunkan
kembali, dengan permasalahan ini diharapkan disediakan box bayi khusus yang cukup tinggi agar
jarak bayi dengan alat fototerapi semakin dekat.

9
DAFTAR PUSTAKA
1. Health Technology Assestment. Tatalaksana ikterus neonatorum. HTA Indonesia. Unit pengkajian
teknologi kesehatan direktorat jenderal pelayanan medik departemen kesehatan RI. Jakarta; HTA
Indonesia; 2004.
2. Gomella TL. Hyperbilirubinemia indirect (unconjugated hyperbilirubinemia). Dalam: Management,
procedure, on-call, disease and drug. Seventh edition. Lange; 2009.h.498-510.
3. Chime G, Egenede J, Arute J. Prevalence of Neonatal Jaundice on Central Hospital, Warri, Delta
State, Nigeria. Int J Health Res 2011;4:123-6.
4. Hammerman C, Kaplan M. Recent developments in the management of neonatal
hyperbilirubinemia. Neoreviews 2000;1:19-23.
5. Philip A. The rise an fall of exchange transfusion. Neoreviews 2000;4:169-74.
6. Ahmed NA, Hamdoon GW. A Prospective randomized controlled study of phototherapy using blue
LED and conventional phototherapy in neonatal hyperbilirubinemia bilirubinemia. Iraqi Postgrad Med
J 2013;12:668-74.
7. Kappas A. A method for interdicting the development of severe jaundice in newborn by inhibiting
the production of bilirubin. Pediatrics 2004;11:119-22.
8. Deorari A, Agarwal R. Unconjugated hyperbilirubinemia in newborns: current perspective. Indian
Pediatrics 2002;39:30-42.
9. AAP. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation.
Pediatrics. 2004;114:297-316.
10. Brandao D, Draque C, Sanudo A, Filho G, Almeida M. LED versus daylight phototherapy at low
irradiance in newborns ≥ 35 weeks of gestation : randomized controlled trial. J Matern Fetal Neonatal
Med 2015;28:1725- 30.
11. Seidman DS, Moise J, Ergaz Z, Laor A, Vreeman H, Stevenson D, dkk. A prospective
Randomized controlled study of phototherapy using blue and blue-green lightemitting devices, and
conventional halogen-quartz phototherapy. J Perinatol 2003;23:123-7.
12. Martin C, Cloherry J. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty J, Eichenwald E, Stark A,
penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-5. USA. Lippincot Wiliams & Walkins;
2004.h.185 221.
13. Xiaong T, Cambier S, Mu D. The side effects of phototherapy for neonatal jaundice : what do we
know ? What should we do ?. Eur J Pediatr 2011;170:1247-55.
14. Sastroasmoro S. Madiyono B. Perkiraan besar sampel. Dalam: Dasar-dasar metodologi penelitian
klinis. Edisi ke-4. Jakarta: Sagung Seto; 2011.h.348-81.
15. Tridente A, De Luca D. Efficacy of light emitting diode versus other light sources for treatment of
neonatal hyperbilirubinemia : a systematic review and meta analysis. Acta Paediatrica
2011;110:458 65.
16. Porter ML, Dennis BL. Hyperbilirubinemia in the newborn. Am Fam Physician 2002;65:599-606.
17. Maisels MJ, McDonagh A. Phototherapy for neonatal jaundice. N Engl J Med 2008;358:920-8.
18. American Academic of Pediatrics. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or
more weeks of gestation. Clinical Practice Guideline 2004;114:297-316.
19. Najib KS, Saki F, Hemmati F, Inaloo S. Incidence, risk factors and cause of severe neonatal
hyperbilirubinemia in the south of Iran (Fars province). Iran Red Crecent Med J 2013;15:260-3.
20. Silva I, Luco M, Tapia J, Perez M, Salinas J, Flores J, Villaroel L. Single vs double phototherapy
in the treatment of full-term newborns with nonhemolytic hyperbilirubinemia.
J Pediatr 2009;85:455 8.
21. Buthani VK and the committee on fetus and newborn. Phototherapy to prevent severe neonatal
hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation.
Pediatrics 2011;128:1046-52.
22. Bethanabotla S, Thukral A, Sankar MJ, Paul VK, Deorari AK. Effect of position of infant during
phototherapy in management of hyperbilirubinemia in late preterm and term neonates : a randomized
controlled trial. J Perinatol 2013;10:195-9.

10

Anda mungkin juga menyukai