Anda di halaman 1dari 8

Kenapa Kita Harus Puasa Dulu

Sebelum Operasi?

Jika Anda berencana untuk menjalani operasi, Anda mungkin telah diberi
tahu bahwa Anda tidak boleh makan sebelum operasi — biasanya selama
delapan sampai 12 jam menjelang waktu operasi.

Dokter biasanya memiliki alasan kuat untuk setiap saran yang mereka
berikan, tapi banyak pasien yang ikut bertanya-tanya mengapa mereka
harus mengosongkan perut mereka sebelum berbaring di meja operasi.
Sangat penting bagi Anda mengikuti petunjuk ini untuk menghindari
komplikasi selama dan setelah operasi Anda.

Kenapa tidak boleh makan sebelum operasi?


Puasa makan sebelum operasi umum dianjurkan oleh dokter, terutama
pada operasi besar yang melibatkan pasien berada di bawah pengaruh
anestesi umum. Anestesi umum membuat Anda tidak sadarkan diri
sehingga Anda tidak dapat merasakan apapun dan Anda juga tidak
menyadari apa saja yag tengah berlangsung selama prosedur Anda.
Biasanya, sebelum memiliki anestesi umum, Anda tidak akan diizinkan
untuk makan atau minum sesuatu.

Jika perut Anda terisi makanan selama operasi, Anda bisa muntah
sementara di bawah pengaruh obat bius. Hal ini karena ketika Anda berada
di bawah anestesi, refleks tubuh Anda dihentikan untuk sementara.
Kombinasi anestesi yang melumpuhkan tubuh dan intubasi (memasukkan
lubang atau pipa melalui mulut atau hidung untuk pertukaran udara)
memungkinkan Anda untuk menghirup muntahan dan isi perut Anda ke
dalam paru. Kondisi ini disebut dengan aspirasi paru dan dapat
menyebabkan komplikasi serius, seperti infeksi, pneumonia, dan kesulitan
bernapas, yang dapat membahayakan kondisi Anda.
BACA JUGA: Apa Sih yang Terjadi Saat Operasi Ganti Kelamin?
Makan sebelum operasi — ketika Anda telah diberi tahu untuk tidak —
juga dapat menyebabkan mual dan muntah setelah operasi. Muntah
setelah operasi bisa sangat menyakitkan, selain dari situs sayatan dan
tenggorokan Anda yang mungkin masih terasa sakit dari operasi itu sendiri.

Tak semua dokter akan menyarankan puasa sebelum


operasi
Meskipun ada potensi bahwa pasien mungkin muntah dan menghirup isi
perut mereka, praktik pantang makan sebelum operasi ini dipercaya tidak
akan lagi efektif. Dilansir dari Medical Daily, sekitar 50 persen dari ahli
anestesi mengatakan pantang makan setelah tengah malam untuk operasi
elektif tidak lagi dibutuhkan.
Peneliti juga menemukan muntah selama operasi adalah efek samping
yang cukup langka. Selanjutnya, teknik anestesi modern telah membuat
risiko aspirasi paru sangat kecil kemungkinannya. Dan ketika aspirasi benar
terjadi, itu hampir tidak pernah menyebabkan komplikasi jangka panjang
ataupun kematian. Terlebih lagi, penelitian telah menunjukkan bahwa
proses pengosongan perut kosong berjalan lebih cepat daripada yang
diyakini sebelumnya, sehingga periode puasa panjang tidak begitu
memberikan perbedaan yang berarti dalam mencegah aspirasi paru.

Tak semua pasien bisa puasa sebelum operasi


Mengikuti saran dokter adalah jalan terbaik menuju pemulihan yang
optimal, tapi tetap masuk akal untuk bertanya tentang detail peraturan
pantang makan sebelum operasi dan apakah pantangan tersebut bisa
dikendurkan dalam kasus Anda — terutama jika Anda dijadwalkan untuk
prosedur operasi sore. Dalam hal ini, Anda mungkin akan diminta untuk
mengosongkan perut selama lebih dari 12 jam. Dokter dan ahli anestesi
sering bersedia untuk mengakomodasi keinginan Anda.

Puasa sering dikaitkan dengan berbagai efek samping, seperti kelaparan


dan dehidrasi, dan juga dapat menyebabkan sakit kepala, pusing, dan mual
pada beberapa orang. Dehidrasi bisa serius dan membuat sulit bagi
perawat untuk mengambil darah untuk tes yang diperlukan. Sebuah
periode puasa yang panjang juga dapat menambah ketidaknyamanan
selama pemulihan. Dokter dan ahli anestesi pada umumnya bersedia untuk
mengakomodasi keinginan Anda.

BACA JUGA: Apa yang Terjadi Kalau Kita Mendadak Bangun Saat
Sedang Dioperasi?
Selain itu, jika Anda memiliki kondisi medis, seperti diabetes, itu berarti
Anda perlu makan dan minum secara teratur. Oleh karenanya, Anda harus
memberitahu salah satu tim dokter penanggungjawab Anda sebelum
menjalani operasi. Anda juga harus memberi tahu mereka jika Anda sedang
mengonsumsi obat-obatan (Jangan minum obat Anda jika dokter bedah
tidak menginstruksikan Anda untuk melakukannya).

Apa yang boleh Anda makan sebelum operasi?


Jumlah waktu yang diperlukan untuk berpuasa makan sebelum operasi
akan tergantung pada prosedur apa yang Anda jalani. Namun, biasanya
enam sampai delapan jam untuk makanan, dan dua jam untuk cairan.
Dalam pedoman puasa pra-operasinya, American Society of
Anesthesiologists mengatakan bahwa aman untuk orang sehat dari segala
usia yang menjalani operasi terencana untuk mengonsumsi:

 Cairan bening, termasuk air putih, teh, kopi hitam, minuman


berkarbonasi, dan jus buah tanpa ampas, hingga dua jam sebelum
operasi. Anda mungkin diwanti-wanti untuk menghindari beberapa
jenis cairan, seperti susu, atau teh/kopi yang menggunakan krimer
karena minuman ini memiliki protein dan lemak di dalamnya yang
dapat merusak paru-paru Anda.
 Makanan ringan, seperti setangkup roti dan teh, atau salad dengan
sup, sampai enam jam sebelum operasi.
 Makanan berat, termasuk gorengan atau makanan
berlemak/berdaging, hingga delapan jam sebelum operasi. Namun
begitu, orang tua masih disarankan untuk tidak memberikan anak-
anak mereka makanan padat pada tengah malam malam sebelum
operasi. Cairan bening, seperti air, jus apel, minuman olahraga,
puding atau agar, aman untuk dikonsumsi sampai empat jam
sebelum prosedur.
Durasi Protokol Puasa Sebelum Tindakan
Operasi
Oleh :

dr. Sunita
Share To Social Media:

  

Puasa sebelum operasi dilakukan untuk mencegah terjadinya aspirasi makanan ke saluran
napas. Praktik puasa berkepanjangan sejak tengah malam sudah menjadi dogma yang sulit
untuk diubah. Walau demikian, durasi ideal puasa sebelum tindakan operasi masih terus
diperdebatkan.

Rekomendasi mengenai puasa sebelum tindakan operasi mulai merupakan suatu bentuk
respons atas kekhawatiran praktisi bedah terhadap risiko aspirasi makanan ke saluran napas.
Kekhawatiran ini mulai muncul di pertengahan abad 19 ketika terdapat laporan kasus
kematian pasca operasi pada tentara di Burma yang berkaitan dengan adanya muntahan di
jalan napas. Walaupun panduan sederhana tentang puasa sebelum operasi telah diperkenalkan
sejak awal abad 20, praktik puasa berkepanjangan sejak tengah malam sebelum operasi telah
menjadi suatu dogma yang agaknya sulit untuk diubah. Bahkan, terdapat bukti yang
menunjukkan bahwa prosedur puasa preoperatif yang berkepanjangan masih tetap
dipertahankan hingga saat ini[1]. Bukti terkini menunjukkan bahwa secara fisiologis cairan
bening dikosongkan dari lambung dalam kurun waktu 2 jam sejak dikonsumsi, dan tidak
terdapat perbedaan bermakna volume cairan lambung antara individu yang terakhir minum 2
jam sebelum operasi dengan yang puasa sejak 12-16 jam sebelum operasi elektif[2]. Temuan
tersebut dan banyak bukti ilmiah lainnya mengantarkan para ahli anestesi modern pada
perubahan paradigma tentang durasi optimal puasa bagi pasien yang hendak menjalani
operasi, termasuk tipe makanan yang boleh dikonsumsi mendekati waktu operasi dan yang
perlu dihentikan sejak beberapa jam sebelumnya[3,4]. Dalam tinjauan ini, akan dibahas
aspek-aspek yang berkaitan dengan lama puasa, tipe makanan dan minuman yang boleh
dikonsumsi, serta dampaknya terhadap risiko aspirasi selama tindakan pembiusan.

Tujuan Puasa sebelum Tindakan Operasi


Secara umum, puasa sebelum tindakan operasi bertujuan untuk menurunkan risiko terjadinya
pneumonia aspirasi. Insidensi dan keparahan pneumonia aspirasi pasca operasi diduga
berkaitan dengan volume dan keasaman cairan lambung yang masuk ke jalan napas. Atas
alasan etik yang cukup jelas, sejauh ini belum ada penelitian pada manusia yang mempelajari
pengaruh berbagai volume dan tingkat keasaman cairan lambung yang masuk ke saluran
napas terhadap kejadian pneumonia aspirasi. Pada akhirnya, para ahli berpendapat bahwa
nilai kritis pH cairan lambung kurang dari 2,5 dan volume cairan lambung kurang dari 0,4
ml/kg menjadi batasan konvensional berdasarkan konsensus, alih-alih bukti eksperimental,
untuk volume dan keasaman cairan lambung yang masuk ke jalan napas yang dianggap
meningkatkan risiko pneumonia aspirasi. Untuk menurunkan volume dan keasaman cairan
lambung yang berpotensi menyebabkan aspirasi, protokol puasa preoperatif menjadi
rekomendasi rutin bagi semua pasien dari berbagai kelompok usia[5,6].

Efek Puasa Preoperatif terhadap Volume Plasma dan Status Hidrasi


Tindakan puasa terhadap pasien sebelum operasi (pra operatif) diduga dapat menyebabkan
perubahan status hidrasi (dehidrasi) dan volume plasma (kondisi hipovolemia). Pada
kenyataannya, hingga kini belum ada penelitian yang membandingkan volume darah pasien
sebelum dan setelah dilakukan tindakan puasa untuk menguji dugaan tersebut. Terdapat data
dari penelitian terhadap 53 pasien wanita yang menjalani tindakan pembiusan umum
didahului puasa preoperatif selama 10 jam. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa nilai
rerata volume plasma para partisipan dalam penelitian tersebut tidak berbeda bermakna
dengan nilai rerata individu normal yang tidak puasa (4123 ± 589 ml vs 3882 ± 366 ml; p >
0,05)[7]. Namun, hasil tersebut perlu dicermati secara hati-hati mengingat pengukuran
volume plasma sebelum puasa tidak dilakukan dan keseluruhan partisipan merupakan pasien
dengan keganasan serviks yang akan menjalani histerektomi sehingga tak representatif untuk
spektrum pasien pembedahan lainnya.

Sejalan dengan temuan tersebut, studi lain menemukan bahwa puasa 8 jam sebelum operasi
tidak berkaitan dengan perubahan hemodinamik maupun hipovolemia. Dengan menggunakan
elevasi tungkai secara pasif sebagai pengganti indikator respons hemodinamik, 100 pasien
dipuasakan 8 jam sebelum tindakan operasi untuk kemudian dinilai responsnya terhadap uji
elevasi tungkai dan pemeriksaan tekanan pengisian dan volume sekuncup jantung dengan
ekokardiografi. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa puasa 8 jam tidak
meningkatkan proporsi pasien yang menunjukkan hasil uji elevasi tungkai positif maupun
perubahan bermakna pada indikator hemodinamik saat diperiksa menggunakan
ekokardiografi. Temuan ini mendukung hasil penelitian sebelumnya bahwa belum terdapat
bukti yang tegas tentang pengaruh puasa preoperatif secara negatif terhadap perubahan
volume plasma dan status hidrasi pasien pembedahan.[7]

Bukti Ilmiah tentang Durasi Puasa Preoperatif yang Aman


Walaupun puasa hingga 8-10 jam preoperatif tidak menunjukkan efek fisiologis yang
membahayakan status volume plasma pasien, hal tersebut bukan menjadi landasan bukti
ilmiah utama dan aman untuk menyarankan pasien puasa sejak tengah malam sebelum
operasi. Bukti terkini bahkan menunjukkan bahwa konsumsi cairan bening (air, jus bening,
kopi dan teh tanpa susu) hingga 2 jam sebelum operasi dianggap aman untuk dilakukan pada
pasien yang akan menjalani operasi elektif[3,4]. Hal ini didasarkan pada temuan meta analisis
dari banyak uji klinis bahwa puasa 2-4 jam sebelum operasi, dibandingkan puasa lebih dari 4
jam sebelumnya, berkaitan dengan penurunan keluhan haus dan lapar secara subjektif dari
pasien serta penurunan volume cairan lambung < 25 ml dan pH lambung > 2,5 yang
merupakan indikator tak langsung risiko aspirasi jalan napas yang minimal[4].

Namun, untuk saat ini, belum ada bukti ilmiah untuk menegaskan batasan waktu puasa
makanan padat yang aman sebelum operasi. Sebuah studi menunjukkan bahwa makanan
ringan (roti panggang dan teh) yang dikonsumsi 2-4 jam sebelum operasi tidak meningkatkan
volume cairan lambung saat induksi anestesi dilakukan. Tapi, hubungannya dengan risiko
pneumonia aspirasi masih perlu diteliti lebih lanjut karena masih terdapat kemungkinan
adanya residu makanan padat di lambung yang belum dapat dievaluasi secara sempurna
berdasarkan metode yang ada saat ini. Atas dasar pertimbangan tersebut, para ahli
menetapkan konsensus untuk membatasi asupan makanan padat setidaknya 6 jam sebelum
tindakan operasi guna mengurangi risiko aspirasi jalan napas[3].

Sementara itu, bukti ilmiah terkini tentang batasan waktu puasa makan dan minum
preoperatif bagi anak-anak yang akan menjalani pembedahan menunjukkan bahwa konsumsi
cairan 2 jam sebelum operasi tidak berkaitan dengan penurunan volume cairan lambung saat
induksi anestesi. Lebih lanjut lagi, tidak ada perbedaan bermakna volume lambung pasca
konsumsi makanan ringan baik 4 jam maupun 6 jam sebelum operasi. Akibatnya, sebagian
ahli mempertimbangkan untuk kembali ke praktik puasa total (nil by mouth) untuk berjaga-
jaga dari risiko aspirasi. Sebagian klinisi justru berpendapat agar durasi puasa diperpendek
menjadi 2 jam saja mengingat hal tersebut tidak berkaitan dengan penurunan volume
lambung yang menjadi prediktor risiko aspirasi[8].
Anak-anak secara fisiologis memiliki laju metabolik yang lebih tinggi dan cadangan glikogen
yang lebih rendah daripada orang dewasa. Hal tersebut meningkatkan risiko populasi ini
terhadap hipoglikemia akibat puasa yang terlalu lama sebelum operasi. Bahkan, terdapat
bukti adanya insidens hipoglikemia sebesar 28% pada balita yang dipuasakan 6 jam atau
lebih sebelum operasi. Atas pertimbangan tersebut, pasien anak yang akan menjalani
tindakan pembedahan disarankan untuk puasa makanan padat (termasuk makanan semi padat
dan produk susu) sejak 6 jam dan puasa cairan bening sejak 2 jam sebelum induksi
anestesi[8]. Hal ini dianggap bermanfaat untuk memastikan agar pasien anak menjadi tenang,
tidak rewel akibat lapar maupun haus berlebihan, serta terhindar dari risiko gangguan
metabolik akibat puasa yang berkepanjangan.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada pasien dewasa dan anak-anak
disarankan untuk puasa minum cairan bening (termasuk air, teh, dan kopi tanpa susu) sejak 2
jam sebelum dilakukan induksi anestesi. Sementara itu, puasa makanan padat (termasuk
makanan semi padat dan produk susu) pada pasien dewasa dan anak-anak sebaiknya
dilakukan sejak 6 jam sebelum induksi. Namun, penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan
untuk mengevaluasi apakah durasi puasa makan dan minum pada anak-anak dapat lebih
dipersingkat serta meninjau ulang relevansi parameter tradisional volume dan keasaman
lambung yang selama ini dijadikan indikator risiko pneumonia aspirasi.

Anda mungkin juga menyukai