Anda di halaman 1dari 14

IJCLS II (1) (2017)

INDONESIAN JOURNAL OF CRIMINAL


LAW STUDIES (IJCLS)

KEBIJAKAN APLIKATIF PEMBERATAN PIDANA BAGI


PELAKU PENGULANGAN TINDAK PIDANA

Rahmi Dwi Sutanti *


* Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Info Artikel Abstrak
________________ ___________________________________________________________
Sejarah Artikel: Penelitian ini bertujuan untuk melihat ketentuan sistem pemidanaan bagi pelaku pengulangan
Diterima Maret 2017 tindak pidana; dan kebijakan aplikatif pemberatan pidana bagi pelaku pengulangan tindak
Disetujui April 2017 pidana. Metode penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif. Hasil penelitian
Dipublikasikan Mei menunjukkan ketentuan sistem pemidanaan bagi pelaku pengulangan tindak pidana
2017 dirumuskan tidak hanya dalam KUHP tetapi juga undang-undang di luar KUHP. Hal ini juga
________________ merupakan konsekuensi karena dalam sistem pemidanaan pengaturan recidive tidak masuk
Keywords: dalam ketentuan umum. Meskipun sudah diatur dalam undang-undang tersendiri, dalam
Applicative Policy, beberapa undang-undang di luar KUHP rumusan ketentuan recidive ditemukan masih multi
Criminal Penalties, tafsir dan berpotensi menimbulkan masalah yuridis. Sedangkan kebijakan aplikatif pemberatan
Recidive. pidana bagi pelaku pengulangan tindak pidana dapat dilihat dari analisis beberapa putusan
___________________ hakim berkaitan dengan recidive. Untuk dapat disimpulkan bahwa pelaku memang benar
_ melakukan recidive maka diperlukan bukti-bukti yang jelas, tidak hanya mengandalkan
keterangan pelaku. Hal ini berkaitan dengan penambahan ancaman maksimum pidana sesuai
dengan yang diamanatkan oleh undang-undang. Oleh karena itu dalam penerapannya
dibutuhkan kecermatan dan ketepatan dari para aparat penegak hukum.

Abstract
___________________________________________________________
The aims of this research is to look at the provisions of the punishment system for perpetrators of
repetition of criminal acts; And applicable criminal levying policies for perpetrators of repeat
offenses. The research method used is Juridical Normative. The results of the study show that the
provision of punishment system for perpetrators of repetition of crime is formulated not only in
the Criminal Code but also laws outside the Criminal Code. This is also a consequence because
in the system of punishment the recidive arrangements are not included in the general provisions.
Although it is set out in a separate law, in some laws outside the Criminal Code the formulation
of recidive provisions is found to be multi-interpretive and potentially lead to juridical issues.
While applicable criminal levy policies for perpetrators of repetition of crime can be seen from the
analysis of some judge decisions related to recidive. To be concluded that the perpetrator is indeed
doing recidive then required clear evidence, not just rely on the perpetrator's description. This
relates to the addition of the maximum criminal threat as mandated by law. Therefore, in its
application requires the precision and accuracy of law enforcement officers.

© 2017 Universitas Negeri Semarang


Jalan Prof. H. Soedarto, SH Tembalang Semarang
rahmi_dwi_s@yahoo.co.id

40
Rahmi Dwi Sutanti / Indonesian Journal of Criminal Law Studies II (1) (2017)

PENDAHULUAN sistem antar badan-badan tersebut, yang


dapat disebut dengan sistem peradilan
Indonesia sebagai negara yang telah pidana.
merdeka, memiliki Konstitusinya yaitu Sistem peradilan pidana, sebagai
Undang-undang Dasar Negara Republik bagian dari Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia Tahun 1945. Alinea IV Indonesia, memiliki fungsi untuk
Konstitusi menyebut adanya tujuan negara, menegakkan aturan-aturan dalam hukum
salah satunya adalah mencapai keadilan. pidana materiil. Sehingga, dalam
Terkait dengan tujuannya untuk mencapai menjalankan fungsinya, pedoman-pedoman
keadilan, maka Konstitusi mengamanatkan dalam ketentuan hukum pidana materiil
adanya Kekuasaan Kehakiman. harus diterapkan. Salah satu kaidah yang
Kekuasaan Kehakiman harus diterapkan adalah berkaitan dengan
sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi pengulangan tindak pidana (recidive).
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung Pengulangan tindak pidana (Recidive) terjadi
dan badan peradilan yang berada di dalam hal seseorang yang melakukan suatu
bawahnya dalam lingkungan peradilan tindak pidana dan telah dijatuhi pidana
umum, lingkungan peradilan agama, dengan suatu putusan hakim yang tetap
lingkungan peradilan militer, lingkungan (inkracht van gewijsde), kemudian melakukan
peradilan tata usaha negara, dan oleh suatu tindak pidana lagi.1 Dengan
sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 terjadinya recidive, ada pendapat yang
Ayat 2). Selain itu, di dalam Ayat 3 mengatakan bahwa hal tersebut merupakan
disebutkan bahwa terdapat badan-badan kegagalan dari sistem lembaga
2
lain yang fungsinya terkait dengan pemasyarakatan. Pengulangan tindak
kekuasaan kehakiman, yang keberadaannya pidana (Recidive) yang dilakukan di dalam
diatur dalam undang-undang. Amanat KUHP adalah jenis Recidive Khusus.
konstitusi tersebut kemudian ditindaklanjuti Recidive khusus merupakan pengulangan
dengan pembentukan Undang-undang No. terhadap jenis tindak pidana tertentu dan
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan- dalam jangka waktu yang tertentu pula.
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Selain itu, terdapat pula jenis Recidive
yang dalam perkembangannya telah umum, yang tidak ditentukan jenis tindak
digantikan dengan UU No. 4 Tahun 2004 pidana pengulangannya dan tenggang
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang waktunya.
kemudian diganti dengan Undang-undang Pengaturan pengulangan tindak
No. 48 Tahun 2009. Dalam Pasal 38 Ayat pidana yang ada pada induk peraturan
(2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang hukum pidana (KUHP) bukan merupakan
Kekuasaan Kehakiman, disebutkan badan- aturan umum, karena letak pengaturan
badan yang memiliki fungsi terkait dengan
kekuasaan kehakiman adalah badan-badan
yang memiliki fungsi : penyelidikan dan 1
Barda Nawawi Arief. 2008. Sari Kuliah Hukum
penyidikan; penuntutan; pelaksanaan Pidana Lanjut. Semarang : Badan Penyediaan Bahan
Kuliah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
putusan; pemberian jasa hukum; dan Hlm. 83
2
penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Marcus Priyo Gunarto. 2009. Sikap Memidana
yang Berorientasi pada Tujuan Pemidanaan. Jurnal
Dengan demikian, terbentuklah suatu Mimbar Hukum, Vol. 21 (1). Hlm. 94

41
Rahmi Dwi Sutanti / Indonesian Journal of Criminal Law Studies II (1) (2017)

tersebut tersebar dalam Buku II dan Buku METODE PENELITIAN


III, sehingga muncul istilah Pengulangan
Kejahatan dan Pengulangan Pelanggaran. Metode pendekatan masalah yang
Konsekuensi dari tidak diaturnya digunakan adalah Yuridis Normatif.
pemidanaan terhadap pelaku pengulangan Spesifikasi penelitian deskriptif analitis.
di dalam Buku I adalah ketentuan pidana di Jenis data yang digunakan adalah data
luar KUHP harus membuat pengaturan sekunder, baik berasal dari undang-undang
masing-masing, agar tidak menimbulkan maupun putusan hakim. Teknik
masalah juridis. pengumpulan data ditempuh dengan
Perumusan ketentuan mengenai melakukan studi pustaka dan studi
pengulangan tindak pidana yang dilakukan dokumenter.
pada undang-undang di luar KUHP, salah
satunya terlihat pada UU No. 35 Tahun HASIL PENELITIAN DAN
2009 tentang Narkotika. Pemberatan pidana PEMBAHASAN
sebagai konsekuensi melakukan
pengulangan tindak pidana terlihat pada Ketentuan Sistem Pemidanaan Bagi
ketentuan Pasal 144. Pemberatan yang Pelaku Pengulangan Tindak Pidana
dilakukan bagi pelaku pengulangan adalah Pengulangan tindak pidana
berupa pidana maksimum ditambah (Recidive) yang dilakukan di dalam KUHP
sepertiga. adalah jenis Recidive Khusus. Recidive
Menarik untuk diperhatikan khusus merupakan pengulangan terhadap
mengenai pemidanaan yang dilakukan pada jenis tindak pidana tertentu dan dalam
perkara pengulangan tindak pidana, apakah jangka waktu yang tertentu pula. Selain itu,
telah sesuai dengan kaidah-kaidah terdapat pula jenis Recidive umum, yang
pemidanaan. Misalkan, apakah pidana yang tidak ditentukan jenis tindak pidana
dijatuhkan telah sesuai dengan aturan pengulangannya dan tenggang waktunya.
pemberatan pidana yang ada dalam UU; Pengaturan mengenai pengulangan
dan, apakah aturan pemberatan pidana tindak pidana pidana dalam KUHP bukan
yang ada pada UU tersebut telah sesuai merupakan suatu Aturan Umum, karena
dengan kaidah pencantuman pidana tidak terletak pada Buku I KUHP. KUHP
minimum khusus dan maksimum khusus. memberi pengaturan mengenai
Beberapa hal tersebut yang mendorong pengulangan secara tersebar pada Buku II
dilakukannya penelitian yang berjudul dan Buku III. Oleh karena itu, muncul
“Kebijakan Aplikatif Pemberatan Pidana istilah Recidive Kejahatan dan Recidive
Bagi Pelaku Pengulangan Tindak Pidana”. Pelanggaran.
Agar mencapai tujuannya, maka penulisan Ketentuan mengenai Recidive
ini akan berfokus pada permasalahan: 1) Kejahatan dalam KUHP, dibedakan
bagaimanakah ketentuan sistem menjadi kelompok “kejahatan tertentu yang
pemidanaan bagi pelaku pengulangan sejenis” dan kelompok “kejahatan
tindak pidana? dan 2) bagaimanakah kelompok jenis”. Pada kelompok
kebijakan aplikatif ketentuan pemberatan “kejahatan tertentu yang sejenis”, kejahatan
pidana bagi pelaku pengulangan tindak yang diulangi harus sama dengan kejahatan
pidana? yang dilakukan sebelumnya. Kejahatan
tersebut oleh KUHP diatur pada 11 pasal,

42
Rahmi Dwi Sutanti / Indonesian Journal of Criminal Law Studies II (1) (2017)

yaitu Pasal 137 ayat (2), 144 ayat (2), 155 yang sama dengan tindak pidana yang
ayat (2), 157 ayat (2), 161 ayat (2), 163 ayat pertama kali dilakukan. Pengelompokkan
(2), 208 ayat (2), 216 ayat (3), 321 ayat (2), jenis tindak pidana tersebut didasarkan pada
393 ayat (2) dan 303 bis ayat (2) KUHP. Bab XXXI Buku II KUHP tentang aturan
Dalam ketentuan pengulangan penguangan kejahatan yang bersangkutan
kejahatan tertentu sejenis yang ada dalam dengan berbagai-bagai bab, yaitu meliputi
11 pasal tersebut, dapat disimpulkan : Pasal 486, Pasal 487, dan Pasal 488 KUHP.
a. Kejahatan yang diulangi harus sama Dalam pengulangan kejahatan
atau sejenis dengan kejahatan kelompok jenis, dapat ditarik kesimpulan
terdahulu; beberapa hal sebagai berikut :
b. Harus sudah ada keutusan hakim a. Tindak pidana pengulangannya tidak
berupa pemidanaan yang telah harus sama dengan perbuatan
mempunyai kekuatan hukum tetap terdahulu, yang penting berada dalam
terkait dengan kejahata terdahulu; satu kelompok yang sama;
c. Dalam beberapa pasal ditentukan b. Harus sudah ada putusan hakim
bahwa si pelaku melakukan kejahatan berupa pemidananaan yang
yang bersangkutan pada waktu berkekuatan hukum tetap atas
menjalankan pencahariannya ; kejahatan terdahulu;
d. Jangka waktu untuk pengulangan ini c. Pemidanaan atas kejahatan terdahulu
adalah ditentukan pada pasal itu harus berupa pidana penjara;
sendiri, secara umum dapat d. Jangka waktu pengulangan tiga
dikelompokkan dalam tenggang waktu kelompok tindak pidana ini
2 tahun sejak adanya keputusan Hakim ditentukan pada pasal-pasal tersebut,
yang berkekuatan hukum tetap (mis: yaitu belum lewat 5 tahun sejak
Pasal 144 ayat (2), 208 ayat (2)) dan 5 menjalani seluruh atau sebagian
tahun sejak adanya keputusan Hakim pidana penjara yang dijatuhkan; atau
yang berkekuatan hukum tetap (mis: belum lewat 5 tahun sejak pidana
Pasal 155 ayat (2), 157 ayat (2)). penjara tersebut sama sekali telah
e. Pemidanaan yang dilakukan untuk dihapuskan; atau belum lewat
recidive jenis ini berbeda-beda pada tenggang waktu daluwarsa
masing-masing pasal. Pemberatan kewenangan menjalankan pidana
pidana dapat berwujud Ditambah penjara yang terdahulu;
pidana tambahan berupa “pencabutan e. Pemidanaan bagi pelaku pengulangan
hak-hak tertentu”, mis Pasal 144 ayat kejahatan kelompok jenis adalah
(2) KUHP; Ditambah 1/3 (sepertiga), ditambah sepertiga.
mis Pasal 216 ayat (3); atau, Dilipat Selain mengatur mengenai
gandakan sebesar 2 kali, mis Pasal pengulangan melakukan kejahatan, KUHP
393. WvS juga mengatur mengenai pengulangan
Jenis pengulangan kejahatan yang (recidive) Pelanggaran. Pengulangan tindak
kedua yang dikenal dalam KUHP adalah pidana berupa Pelanggaran dilakukan
Pengulangan (Recidive) Kelompok Jenis. secara tersebar dalam Buku III KUHP
Recidive kejahatan kelompok jenis dalam 14 pasal, meliputi : Pasal 489, 492,
mengharuskan pengulangan tindak pidana 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541,
yang dilakukan ada dalam satu kelompok 544, 545, dan 549. Berdasarkan ketentuan

43
Rahmi Dwi Sutanti / Indonesian Journal of Criminal Law Studies II (1) (2017)

pengulangan dalam pasal-pasal tersebut, yang memuat 38 pasal, yaitu mulai dari
dapat diketahui : Pasal 111 sampai dengan Pasal 148.
1. Antara tindak pidana yang terdahulu Termasuk ketentuan mengenai pengulangan
dan yang diulangi harus ada keputusan tindak pidana juga diatur di dalam bab ini,
hakim yang berupa pemidanaan dan yaitu dalam Pasal 144, yang selengkapnya
memiliki kekuatan hukum tetap berbunyi sebagai berikut :
(inkracht van gewisjde).
2. Jangka waktu recidive adalah 1 atau 2
tahun, tergantung pada setiap pasal.
3. Sistem pemberatan pemidanaan recidive Pasal 144
pelanggaran diatur masing-masing (1) Setiap orang yang dalam jangka
dalam pasal yang bersangkutan. waktu 3 (tiga) tahun melakukan
pengulangan tindak pidana
Namun, ada pola umum dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal
pemberatan pidana bagi recidive 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114,
pelanggaran, yaitu: Pidana denda Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117,
diganti kurungan; atau Pidana Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120,
Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123,
(denda/kurungan) dilipatkan 2 kali
Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126,
lipat. Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat
Perumusan pengulangan tindak (1), dan Pasal 129 pidana
pidana dalam KUHP tidak dilakukan di maksimumnya ditambah dengan
dalam Buku I KUHP, sehingga bukan 1/3 (sepertiga).
(2) Ancaman dengan tambahan 1/3
merupakan aturan umum yang bisa
(sepertiga) sebagaimana dimaksud
diterapkan pada semua lapangan hukum pada ayat (1) tidak berlaku bagi
pidana. Hal ini memiliki konsekuensi pelaku tindak pidana yang dijatuhi
peraturan di luar KUHP harus membuat dengan pidana mati, pidana penjara
aturannya sendiri terkait dengan seumur hidup, atau pidana penjara
20 (dua puluh) tahun.
pengulangan tindak pidana. Sebagaimana
Ketentuan pengulangan tindak
diketahui, dalam sistem pemidanaan
pidana narkotika yang dirumuskan dalam
berlaku subsistem Bagian Umum dan
Pasal 144 tersebut menunjukkan bahwa UU
Bagian Khusus. Bagian umum merupakan
Narkotika telah dengan baik memberi
ketentuan-ketentuan hukum pidana yang
batasan, kapan suatu perbuatan dikatakan
bersifat umum yang berlaku untuk seluruh
sebagai pengulangan tindak pidana
lapangan hukum pidana. Sedangkan bagian
penyalahgunaan narkotika, yaitu berkaitan
khusus merupakan ketentuan-ketentuan
dengan perbuatan kedua/ulangannya
yang menyebutkan perbuatan mana yang
haruslah perbuatan dalam Pasal 111, Pasal
dapat dipidana serta ancaman pidananya.3
112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal
Sebagai undang-undang hukum
116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal
administrasi yang di dalamnya mengatur
120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal
mengenai sanksi pidana (administrative penal
124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat
law), ketentuan pidana dalam UU
(1), Pasal 128 ayat (1), atau Pasal 129.
Narkotika dicantumkan dalam Bab XV
Syarat kedua adalah berkaitan
dengan tenggang waktu pengulangannya
3
Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang: adalah dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun
Yayasan Sudarto. Hlm. 19-20

44
Rahmi Dwi Sutanti / Indonesian Journal of Criminal Law Studies II (1) (2017)

setelah perbuatan pertama. Menjadi Selengkapnya ketentuan Pasal 2 UU


menarik disini, karena pengaturan ini TPK adalah sebagai berikut :
berbeda dibandingkan pengaturan dalam Pasal 2
KUHP (pengulangan kejahatan kelompok (1) Setiap orang yang secara melawan
jenis). Bukan hanya lama tenggang hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang
waktunya, tetapi juga dalam UU Narkotika lain atau suatu korporasi yang dapat
tenggang waktu pengulangan tidak dihitung merugikan keuangan negara atau
sejak telah dijalaninya putusan, tetapi hanya perekonomian negara, dipidana
disebutkan “3 tahun setelah”, artinya hanya penjara dengan penjara seumur
dihitung sejak adanya putusan yang hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling
berkekuatan hukum tetap. lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
Sebagai undang-undang yang murni paling sedikit Rp. 200.000.000,00
mengatur mengenai hukum pidana, UU (dua ratus juta rupiah) dan paling
No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi
diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 sebagaimana dimaksud dalam ayat
tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun (1) dilakukan dalam keadaan
1999 Tentang Pemberantasan Korupsi (UU tertentu, pidana mati dapat
TPK), meletakkan ketentuan pidana dijatuhkan.
langsung pada Bab II setelah Ketentuan Ketentuan mengenai keadaan
Umum pada Bab I. Secara umum, UU TPK tertentu, sebagai dasar penjatuhan pidana
mengelompokkan tindak pidana ke dalam mati tertuang pada Penjelasan undang-
dua jenis kelompok tindak pidana, yaitu undang tersebut (UU No. 31 Tahun 1999),
Tindak Pidana Korupsi (Bab II) dan Tindak yaitu “Yang dimaksud dengan “keadaan
Pidana yang Berkaitan dengan TPK (Bab tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan
III). Tiga puluh pasal tindak pidana korupsi sebagai pemberatan bagi pelaku tindak
dalam Bab II (Pasal 2 – Pasal 13), secara pidana korupsi apabila tindak pidana
umum dapat dikelompokkan menjadi 7 tersebut dilakukan pada waktu negara
jenis kelompok tindak pidana korupsi, dalam keadaan bahaya sesuai dengan
meliputi : Kerugian keuangan negara, Suap- undang-undang yang berlaku, pada waktu
menyuap, Penggelapan dalam jabatan, terjadi bencana alam nasional, sebagai
Pemerasan, Perbuatan Curang, Benturan pengulangan tindak pidana korupsi, atau
Kepentingan dalam Pengadaan, dan pada waktu negara dalam keadaan krisis
Gratifikasi. ekonomi dan moneter.”
Berkaitan dengan pengaturan Penjelasan tersebut mengalami
mengenai pengulangan tindak pidana, sedikit perubahan pada UU No. 20 Tahun
sebenarnya UU TPK tidak memiliki pasal 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31
khusus terkait hal tersebut. Masalah Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
pengulangan justru muncul dalam Pidana Korupsi, menjadi : “Yang dimaksud
Penjelasan Pasal 2, sebagai salah satu hal dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan
yang disebut sebagai “keadaan tertentu”, ini adalah keadaan yang dapat dijadikan
yang menjadi syarat untuk adanya pidana alasan pemberatan pidana bagi pelaku
mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak
pidana tersebut dilakukan terhadap dana-

45
Rahmi Dwi Sutanti / Indonesian Journal of Criminal Law Studies II (1) (2017)

dana yang diperuntukkan bagi oleh pegawai negeri/ penyelenggara negara,


penanggulangan keadaan bahaya, bencana hakim dan advokat).4
alam nasional, penanggulangan akibat Perumusan ketentuan mengenai
kerusuhan sosial yang meluas, pengulangan tindak pidana dalam UU TPK
penanggulangan krisis ekonomi dan dinilai memiliki permasalahan yuridis yang
moneter, dan pengulangan tindak pidana sangat fatal. Sebagai suatu istilah teknis
korupsi.” yuridis, keberadaan pengulangan tindak
Meskipun mengalami perubahan, pidana dalam UU TPK tidak disertai
akan tetapi frasa “Pengulangan” dalam pengertian/batasan yuridisnya. Hal ini
Penjelasan kedua undang-undang tersebut tentunya menjadi sangat disayangkan
masih tetap sama. Pengulangan tindak mengingat ketentuan pengulangan dalam
pidana dalam rumusan pasal 2 dikatakan UU di luar KUHP sudah tidak ada
sebagai alasan untuk dapat memidana mati hubungannya sama sekali dengan KUHP
pelaku tindak pidana korupsi. Akan tetapi karena KUHP memuat ketentuan
karena diletakkan sebagai penjelasan bagi pengulangan tidak dalam Bab I Ketentuan
Pasal 2, maka praktis pengaturan mengenai Umum.
pengulangan dalam UU TPK hanya Suatu undang-undang di luar
diperuntukkan bagi Pasal 2, bukan untuk KUHP yang hendak mengatur pengulangan
keseluruhan tindak pidana dalam UU tindak pidana perlu merumuskan juga
tersebut. syarat-syarat khusus adanya pengulangan
Pengaturan tersebut tentunya sangat (recidive), yaitu :
disayangkan karena tidak bersesuaian 1) Syarat perbuatan/tindak pidana
dengan tujuan dibentuknya undang-undang yang diulangi, dan
ini yaitu untuk memberantas setiap bentuk 2) Syarat tenggang waktu
tindak pidana korupsi. Maka harusnya pengulangannya.
ketentuan yang sifatnya pemberatan pidana Berkaitan dengan syarat pertama,
tidak diberlakukan untuk satu pasal tertentu yaitu syarat perbuatan/tindak pidana yang
saja. Kelemahan lainnya muncul ketika diulangi memang tidak secara langsung
melihat ancaman pidana bagi Pasal 2 Ayat disebutkan. Akan tetapi melihat
(1) yaitu pidana penjara seumur hidup atau pengaturannya yang ada pada penjelasan
selama 20 tahun, kemudian dapat Pasal 2, maka bisa disimpulkan bahwa yang
diperberat dengan pidana mati berdasarkan dimaksud pengulangan dalam UU TPK
Ayat (2). Hal ini juga disayangkan karena hanya khusus untuk perbuatan dalam Pasal
dalam UU TPK pencantuman pidana 2 Ayat (1). Artinya, apabila si pelaku
penjara seumur hidup atau selama 20 tahun melakukan perbuatan korupsi kali keduanya
tidak hanya muncul pada Pasal 2 Ayat (1), adalah delik Pasal 3 (penyalahgunaan
tetapi juga terdapat dalam Pasal 3 wewenang jabatan) atau delik Pasal 8
(penyalahgunaan kewenangan/ (melakukan penggelapan uang/surat
kesempatan/sarana karena jabatan atau berharga karena jabatan), atau delik Pasal
kedudukan); dan Pasal 12 (penerimaan suap

4
Barda Nawawi Arief. 2012. Pidana Mati
Perspektif Global, Pembaharuan Hukum Pidana dan
Alternatif Pidana untuk Koruptor. Semarang:
Penerbit Pustaka Magister. Hlm. 57-60

46
Rahmi Dwi Sutanti / Indonesian Journal of Criminal Law Studies II (1) (2017)

10 (pejabat yang menggelapkan barang 39 Ayat (2) memuat ketentuan tentang


bukti), atau delik Pasal 11 (menerima Pengulangan tindak pidana perpajakan.
hadiah atau janji padahal diketahui atau UU APL ini termasuk sangat baik
patut diduga, bahwa hadiah atau janji dalam merumuskan ketentuan pengulangan
tersebut diberikan karena kekuasaan atau tindak pidana, karena menyebutkan tindak
kewenangan yang berhubungan dengan pidana yang diulangi dan tenggang waktu
jabatannya), atau delik Pasal 12 (pejabat pengulangannya, yang mana kedua hal
yang menerima suap, melakukan tersebut adalah syarat mutlak ketentuan
pemerasan, dsb), tidak dapat dikatakan mengenai pengulangan.
sebagai pengulangan melakukan tindak Bunyi ketentuan ini ikut berubah
pidana korupsi.5 dalam undang-undang yang lebih muda,
Syarat yang kedua, berkaitan apabila disandingkan maka sebagai berikut :
dengan tenggang waktu pengulangan, lebih
fatal lagi. Sama sekali tidak ada ketentuan
berkaitan dengan tenggang waktu Pasal 39 Ayat Pasal 39 Ayat
pengulangan, baik batas waktunya (2) UU Perpajakan (2) UU Perpajakan
(daluwarsa), maupun kapan mulai dihitung. tahun 1983 tahun 2007
Hal ini tentunya dapat menimbulkan Ancaman pidana Pidana sebagaimana
masalah dalam menetapkan apakah sebagaimana dimaksud pada ayat
perbuatan kedua kalinya dapat dimaksud dalam (1) ditambahkan 1
dikategorikan pengulangan ataukah tidak. ayat (1) dilipatkan (satu) kali menjadi 2
Memang secara teoritik dikenal Recidive dua apabila (dua) kali sanksi
Umum, yang tidak mengenal batasan waktu seseorang pidana apabila
maupun jenis perbuatan yang diulangi. melakukan lagi seseorang
Akan tetapi sistem hukum pidana Indonesia tindak pidana di melakukan lagi
menganut sistem Recidive Khusus, yang bidang perpajakan tindak pidana di
sangat mensyaratkan tenggang waktu dan sebelum lewat satu bidang perpajakan
jenis perbuatan yang dilakukan. Artinya, tahun, terhitung sebelum lewat 1
apabila kedua hal tersebut tidak diatur sejak selesainya (satu) tahun,
tentunya tidak dapat dilaksanakan. menjalani sebagian terhitung sejak
Demikian pula berarti pengaturan atau seluruh pidana selesainya
pengulangan tindak pidana korupsi tidak penjara yang menjalani pidana
mungkin dapat diterapkan, yang juga berarti dijatuhkan penjara yang
pidana mati bagi pelaku tindak pidana dijatuhkan
korupsi tidak dapat dijatuhkan.
Sebagai undang-undang hukum Secara umum sebenarnya tidak ada
pidana administrasi (administrative penal perubahan yang menonjol pada dua aturan
law), UU Perpajakan tahun 1983 memuat tersebut. Keduanya tetap mensyaratkan
ketentuan pidana pada Bab VIII (Pasal 38 – adanya pemberatan pidana dua kali lebih
Pasal 43). Salah satu pasalnya, yaitu Pasal berat apabila seseorang melakukan lagi
tindak pidana di bidang perpajakan.
Perubahan yang paling terlihat adalah
mengenai penghitungan tenggang waktu
5
Ibid. Hlm. 65-67

47
Rahmi Dwi Sutanti / Indonesian Journal of Criminal Law Studies II (1) (2017)

satu tahun antara perbuatan terdahulu diadakannya UU No. 35 Tahun 2014


dengan perbuatan kemudian. Pada UU tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun
Perpajakan tahun 1983 tenggang waktu satu 2002 tentang Perlindungan Anak.
tahun dihitung sejak selesainya menjalani Perubahan UU PA ini juga mempertegas
sebagian atau seluruh pidana penjara yang tentang perlunya pemberatan sanksi pidana
dijatuhkan; sedangkan, pada UU dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap
Perpajakan tahun 2007 tenggang waktu satu Anak, untuk memberikan efek jera, serta
tahun dihitung sejak selesainya menjalani mendorong adanya langkah konkret untuk
pidana penjara yang dijatuhkan. memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial
Perumusan tersebut memang Anak korban dan/atau Anak pelaku
terkesan sama, akan tetapi apabila dicermati kejahatan.
lebih dalam, perumusan yang dilakukan Meskipun telah mengatur sanksi
UU 2007 dapat berpotensi menimbulkan pidana bagi pelaku kejahatan terhadap
kerancuan. UU 1983 telah dengan jelas anak, namun ternyata sanksi tersebut belum
menyebutkan tenggang waktunya dihitung dirasa memberi efek jera bagi pelakunya.
satu tahun sejak selesainya menjalani Terutama dalam hal kejahatan seksual
sebagian atau seluruh pidana penjara yang terhadap anak. Semakin hari justru
dijatuhkan. Hal ini tentunya berkaitan jumlahnya semakin bertambah. Pesatnya
dengan dua hal, terpidana selesai menjalani arus globalisasi dan dampak negatif dari
seluruh masa pidananya; maupun si perkembangan di bidang teknologi
terpidana tidak menyelesaikan keseluruhan informasi dan komunikasi, memunculkan
masa pidananya baik karena mendapat grasi fenomena baru kekerasan seksual terhadap
ataupun mendapat pelepasan bersyarat. anak. Kekerasan seksual terhadap anak
Perumusan ini juga terlihat pada KUHP merupakan kejahatan serius (serious crimes)
WvS. Akan tetapi, UU 2007 malah hanya yang semakin meningkat dari waktu ke
merumuskan “sejak selesainya menjalani waktu dan secara signifikan mengancam
pidana penjara yang dijatuhkan”. Hal ini dan membahayakan jiwa anak, merusak
bisa menimbulkan salah tafsir, apakah kehidupan pribadi dan tumbuh kembang
berlaku hanya ketika terpidana selesai anak, serta mengganggu rasa kenyamanan,
menjalani keseluruhan masa pidana, yang ketentraman, keamanan, dan ketertiban
berarti tidak dihitung adanya grasi maupun masyarakat. Untuk mengatasi fenomena
pelepasan bersyarat; ataukah selesai kekerasan seksual terhadap anak, memberi
menjani pidana penjara juga termasuk efek jera terhadap pelaku, dan mencegah
dihitung adanya grasi dan pelepasan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak,
bersyarat. Oleh karena dapat menimbulkan Pemerintah akhirnya menetapkan Peraturan
banyak tafsiran, maka sebaiknya perumusan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
ketentuan tersebut diubah sehingga bisa tentang Perubahan Kedua atas Undang-
diartikan sama oleh banyak pihak. Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Meskipun Indonesia telah memiliki Perlindungan Anak. Perppu ini
undang-undang perlindungan anak, akan menambahkan sanksi pidana dalam UU
tetapi ternyata fenomena kejahatan PA, yaitu penambahan pidana pokok
terhadap anak, utamanya kejahatan seksual, berupa pidana mati dan pidana seumur
semakin hari semakin marak. Hal ini hidup, serta pidana tambahan berupa
kemudian menjadi salah satu pendorong pengumuman identitas pelaku. Selain itu,

48
Rahmi Dwi Sutanti / Indonesian Journal of Criminal Law Studies II (1) (2017)

ditambahkan pula ketentuan mengenai tersebut. Terdakwa mengakui bahwa


tindakan berupa kebiri kimia, pemasangan narkoba tersebut adalah miliknya yang dia
alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi. dapatkan dari orang lain.
Perppu inilah yang mengakomodir Berdasarkan surat dari Lembaga
ketentuan mengenai pengulangan tindak Pemasyarakatan Klas II B Sungailiat
pidana dalam UU PA. Terdapat dua pasal Nomor : W.7.PAS.3-PK.04.01.01-591
dalam perppu ini yang berkaitan dengan Tanggal 06 Desember 2014 diketahui
pengulangan, yaitu dalam Pasal 81 dan bahwa sebelumnya Eddy sudah pernah
Pasal 82, yang pada undang-undang asalnya melakukan tindak pidana penyalahgunaan
belum ada ketentuan tersebut. narkotika berdasarkan nomor petikan
Berdasarkan ketentuan Pasal 81 tanggal : 08/Pid.B/2010/PN.SGT Tanggal
Ayat (4) dan Pasal 82 Ayat (3), maka saat 08 Maret 2010 dengan pidana 5 (lima)
ini dalam UU PA telah dianut adanya tahun sub 2 (dua) bulan dan mulai ditahan
pemberatan pidana bagi pelaku sejak tanggal 26 Oktober 2009 bebas tanggal
pengulangan tindak pidana terhadap anak, 18 Agustus 2012, yang mana belum sampai
yaitu kekerasan seksual persetubuhan dan jangka waktu tiga tahun Eddy sudah
perbuatan cabul terhadap anak. Akan tetapi kembali melakukan tindak pidana
pengaturan tersebut dirasa belum sempurna, penyalahgunaan narkotika.
karena baru merumuskan mengenai Pasal 112 UU Narkotika
pemberatan pidana dan jenis tindak pidana memberikan ancaman pidana penjara
ulangannya. Sedangkan mengenai jangka paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
waktu pengulangan tidak disebutkan. lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda
Hanya disebutkan “pernah melakukan”. paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan
Tentunya hal ini akan menimbulkan multi ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
tafsir, karena dalam sistem recidive khusus 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
mengenai tenggang waktu adalah mutlak Apabila dijunctokan dengan ketentuan
diatur; dapat juga ditafsirkan tidak terbatas pengulangan (Pasal 144) maka ancaman
waktu, meskipun hal tersebut tidak sesuai pidananya maksimum ditambah sepertiga.
dengan sistem recidive khusus yang dianut Artinya, range pemidanaan pelaku
sistem hukum pidana Indonesia. pengulangan tindap pidana narkotika Pasal
Terdakwa dalam perkara ini 112 menjadi pidana penjara paling singkat 4
dituntut dengan menggunakan Pasal 112 (empat) tahun dan paling lama 16 (enam
Ayat (1) jo. Pasal 144 Ayat (1) UU No. 35 belas) tahun dan pidana denda paling
Tahun 2009 tentang Narkotika. Perbuatan sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus
yang dilakukan bermula dari laporan juta rupiah) dan paling banyak Rp.
masyarakat mengenai seringnya terjadi 10.600.000.000,00-an (sepuluh miliar enam
transaksi narkoba. Kemudian setelah ratus juta-an rupiah). Dengan range yang
dilakukan pelacakan dan penggeledahan di cukup besar ini, memang hakim memiliki
rumah kontrakan milik teman Terdakwa, kebebasan untuk bergerak dalam penentuan
ditemukan barang bukti berupa 1 (satu) pemidanaannya. Maka, apabila dalam
bungkus plastik bening berisi kristal putih kasus ini hakim menjatuhkan pidana selama
jenis sabu yang berada di didalam bungkus 7 (tujuh) tahun dan denda sebesar Rp.
kotak rokok yang disimpan oleh Terdakwa 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)
diselokan belakang rumah kontrakan dengan ketentuan apabila denda tersebut

49
Rahmi Dwi Sutanti / Indonesian Journal of Criminal Law Studies II (1) (2017)

tidak dibayar diganti dengan pidana Penjara c. Dengan maksud untuk memiliki
selama 6 (enam) bulan, adalah sudah tepat. barang itu secara melawan hukum;
Apalagi apabila dibandingkan dengan d. Pengulangan tindak pidana yang
putusan pertama yang berupa pidana dilakukan belum lewat 5 (lima) tahun.
penjara 5 (lima) tahun sub 2 (dua) bulan, Sebelum akhirnya menjatuhkan
maka terlihat bahwa putusan vonis selama satu tahun penjara, majelis
pengulangannya ini sudah lebih berat. hakim juga mempertimbangkan adanya hal
Dapat disimpulkan bahwa prinsip yang memberatkan dan hal yang
pemberatan pidana dalam kasus ini meringankan. Salah satu hal yang
terpenuhi. memberatkan adalah karena perbuatan ini
Studi Kasus Putusan Nomor merupakan pengulangan pencurian. Selain
306/Pid.B/2014/PN.Kis. Terdakwa dalam karena terdawa mengaku bahwa
kasus ini melakukan perbuatan mengambil perbuatannya ini adalah perbuatan
40 tandan buah kelapa sawit milik sebuah pengulangan, pengulangan perbuatan yang
perusahaan, degan tujuan buah kelapa sawit dilakukan terdakwa terlihat jelas dengan
tersebut akan dijual dan keuntungannya tenggang waktu yang belum lewat lima
berupa uang dapat ia miliki. Kerugian yang tahun, karena putusan No.
dialami perusahaan tersebut adalah sebesar 991/Pid.B/2011/PN-Kis menunjukkan
Rp. 684.000 (enam ratus delapan puluh tanggal diputusnya perbuatan yang pertama
empat ribu rupiah). Perbuatan Terdakwa ini yaitu 16 Februari 2012, sedangkan
bukan yang pertama kali, karena ternyata perbuatan keduanya adalah di tahun 2014.
berdasarkan putusan No. Dengan demikian, sudah ada lebih dari satu
991/Pid.B/2011/PN- Kis tanggal 16 alat bukti untuk menetapkan bahwa pelaku
Februari 2012, Terdakwa pernah dihukum merupakan pelaku pengulangan tindak
atas perkara pencurian Getah Lump milik pidana.
sebuah perusahaan dan menjalani hukuman Oleh karena melakukan
Penjara selama 7 (tujuh) bulan di Lembaga pengulangan, maka ancaman pidana yang
Pemasyarakatan Labuhan Ruku pada tahun ada di pasal 362 harus ditambah dengan
2012. sepertiga. Ancaman pidana penjara paling
Setelah dilakukan pembuktian lama lima tahun, apabila ditambah
dengan pemeriksaan alat bukti, maka sepertiga, maka ancaman maksimal pidana
majelis hakim lebih condong pada dakwaan penjaranya menjadi 6 tahun 8 bulan
pertama yaitu melakukan perbuatan dalam penjara. Sedangkan dendanya menjadi
Pasal 362 jo. Pasal 486 KUHP. Pada paling banyak 80 rupiah.
pertimbangan yang pertama, berkaitan Ancaman pidana penjara maksimal
dengan unsur-unsur perbuatan, Majelis 6 tahun 8 bulan, memiliki arti majelis hakim
hakim berpendapat bahwa perbuatan dapat bergerak dalam range satu hari sampai
terdakwa telah memenuhi unsur-unsur pasal 6 tahun 8 bulan. Maka, vonis satu tahun
yang didakwakan, yang meliputi : penjara yang dijatuhkan majelis hakim bisa
a. Barang siapa; dikatakan sudah tepat. Apalagi apabila
b. Mengambil sesuatu barang yang dibandingkan dengan vonis pertamanya
seluruhnya atau sebagian milik orang yaitu selama tujuh bulan penjara, maka
lain; vonis kedua ini sudah dapat dikatakan
wujud pemberatan pidana.

50
Rahmi Dwi Sutanti / Indonesian Journal of Criminal Law Studies II (1) (2017)

Studi Kasus Putusan Nomor sejenis. Keterangan ini didengar oleh


01/Pid.Sus.Anak/2016/PN Wng. Kasus ini Hakim, dan muncul pada pertimbangan
melibatkan Terdakwa yang masih dalam “hal yang memberatkan”, yaitu sebagai
kategori Anak. Terdakwa dalam kasus ini berikut :
melakukan perbuatan mengambil barang a. Anak meresahkan masyarakat ;
milik orang lain dalam suatu gudang kayu b. Anak sudah menikmati sebagian
tempat ia bekerja. Selain mengambil hasil perbuatannya ;
barang, Terdakwa juga melakaukan c. Anak pernah dihukum dan tindak
pencongkelan dan perusakan pintu. Setelah pidana yang dilakukan oleh Anak
itu, Terdakwa juga menjual barang hasil adalah pengulangan tindak pidana ;
curiannya. d. Anak pernah melakukan 2 (dua) kali
Terdakwa dalam perkara tersebut pencurian lainnya, namun dapat
didakwa dengan dakwaan tunggal dengan diselesaikan secara kekeluargaan.
Pasal Pasal 363 ayat (2) KUHP jo UU No. Dalam pertimbangan hal yang
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan memberatkan tersebut, Hakim menilai
Pidana Anak. Ancaman pidana untuk bahwa perbuatan pelaku adalah
ketentuan ini adalah pidana penjara paling pengulangan tindak pidana. Akan tetapi
lama sembilan tahun. Akan tetapi karena dalam vonisnya Hakim tidak memasukkan
pelaku masih dalam kategori Anak, maka pasal pengulangan pencurian (Pasal 486
menurut Pasal 81 UU No. 11 Tahun 2012 KUHP), melainkan hanya memperhatikan
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 363 Ayat (2) KUHP dan UU No. 11
maka ancaman pidana dalam kasus ini Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
paling lama adalah 4 tahun 6 bulan penjara. Pidana Anak.
Setelah dilakukan pembuktian Hal ini menarik untuk dibahas,
terhadap alat-alat bukti yang diajukan, karena penetapan pelaku tindak pidana
hakim mulai mengambil pertimbangan sebagai pelaku pengulangan memang harus
hukum dalam kasus tersebut. Pertimbangan dibuktikan. Apabila hanya didasarkan pada
hakim terkait keseuaian perbuatan dengan keterangan dirinya sendiri, maka hal
pasal yang didakwakan (dakwaan tunggal), tersebut dapat dinilai satu bukti. Sedangkan
bahwa perbuatan Asep dinilai telah terbukti untuk pembuktian diperlukan lebih dari satu
secara sah dan meyakinkan bersalah alat bukti. Pada dua putusan yang telah
melakukan tindak pidana sebagaimana dibahas sebelumnya, penetapan pelaku
didakwakan dalam dakwaan tunggal, yaitu sebagai pelaku pengulangan tindak pidana
“Pencurian Dalam Keadaan didasarkan pada dua alat bukti, yaitu
Memberatkan”. pengakuan pelaku itu sendiri dan ada bukti
Terdapat suatu hal yang menarik surat, baik itu berupa surat keterangan dari
dalam putusan ini. Berdasarkan rangkaian Lapas maupun surat putusan atas perkara
kronologi kasus yang dijabarkan jaksa terdahulunya. Sedangkan yang terjadi
penuntut umum dalam dakwaannya, tidak dalam kasus ini bukti surat tersebut tidak
ada satu pun keterangan bahwa pelaku muncul. Maka bisa disimpulkan bahwa
sudah pernah dihukum atas perbuatan yang kasus yang terjadi ini bukan suatu
sama. Akan tetapi, pada saat pelaku pengulangan tindak pidana (recidive) yang
diperiksa, pelaku mengaku bahwa ia pernah sesuai dengan kaidah-kaidah pemidanaan
dihukum dalam perkara tindak pidana bagi pelaku recidive.

51
Rahmi Dwi Sutanti / Indonesian Journal of Criminal Law Studies II (1) (2017)

Adapun hakim yang memasukkan Nomor 55_Pid.B_2015_PN.Sgl dalam


pertimbangan “sudah pernah dihukum atas perkara Narkotika; Putusan Nomor
perbuatan serupa” dalam pertimbangan hal 306_PID.B_2014_PN.Kis dalam perkara
yang memberatkan, hal ini tidak bisa dinilai Pencurian; dan Putusan Nomor 1_Pid.Sus-
sebagai bentuk recidive. Melainkan hanya Anak_2016_PN_Wng dalam perkara Anak
sebatas pertimbangan hakim dalam pencurian dengan pemberatan. Berdasarkan
menjatuhkan vonis. Melihat vonis yang hasil analisis disimpulkan bahwa untuk
dijatuhkan yaitu pidana penjara selama tiga menetapkan perbuatan pelaku adalah
bulan, dapat dikatakan bahwa vonis ini juga pengulangan, maka dibutuhkan setidaknya
mengandung unsur pemberatan pidana. pengakuan pelaku dan keterangan lain yang
Bagi anak yang melakukan tindak pidana, menguatkan, misalnya surat dari Lapas atau
maka ancaman pidana penjara adalah putusan atas perbuatan terdahulu. Bukti ini
ancaman terberat (Pasal 71 UU SPPA). juga akan menunjukkan tenggang waktu
Bahkan ditegaskan dalam Pasal 81 UU antara perbuatan terdahulu dengan yang
SPPA bahwa Anak dijatuhi pidana penjara baru dilakukan. Akan tetapi, dalam
di LPKA apabila keadaan dan perbuatan putusan-putusan tersebut tidak ada yang
Anak akan membahayakan masyarakat. secara terang dapat melampaui batas
Hal-hal inilah yang semakin menguatkan ancaman pidana sebelum diperberat dengan
Hakim untuk memberi efek jera, tidak setelah diperberat. Karena meskipun batas
hanya bagi pelaku tetapi juga masyarakat maksimalnya berubah, batas minimalnya
luas, sehingga pemidanaan dalam kasus ini, tetap. Berat ringannya perbuatan juga ikut
meski tidak dapat dikatakan Pengulangan, mempengaruhi besaran vonis yang
tetapi mengandung unsur Pemberatan dijatuhkan.
pidana.
UCAPAN TERIMAKASIH
SIMPULAN
Penulis menyampaikan terimakasih
Ketentuan sistem pemidanaan bagi atas semua pihak yang terkait, khususnya
pelaku pengulangan tindak pidana (recidive) pimpinan Fakultas Hukum Universitas
dapat dikelompokkan berdasar sumber Diponegoro, yang telah memberikan waktu
aturannya, yaitu KUHP dan di luar KUHP. dan kemudahan terkait penulisan penelitian
Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitian, ini.
ternyata tidak semua undang-undang
pidana di luar KUHP mengatur mengenai
Recidive. Dalam beberapa undang-undang DAFTAR PUSTAKA
yang memuat pengaturan mengenai
recidive, muncul beberapa masalah yuridis, Gunarto, Marcus Priyo. 2009. Sikap Memidana
sehingga dikhawatirkan dalam penerapan yang Berorientasi pada Tujuan
dan pencapaian fungsinya dalam Pemidanaan. Jurnal Mimbar Hukum Vol.
21 (1).
memberikan efek jera bagi pelaku.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Kebijakan aplikatif pemberatan pidana bagi
terjemahan Moeljatno. 1978.
pelaku pengulangan tindak pidana terlihat Nawawi Arief, Barda. 2008. Sari Kuliah Hukum
dari analisis yang telah dilakukan terhadap Pidana Lanjut. Semarang: Badan
beberapa putusan hakim, yaitu Putusan

52
Rahmi Dwi Sutanti / Indonesian Journal of Criminal Law Studies II (1) (2017)

Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan


Hukum Universitas Diponegoro. Umum dan Tata Cara Perpajakan
_________. 2012. Pidana Mati Perspektif Global, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Pembaharuan Hukum Pidana dan Alternatif tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Pidana untuk Koruptor. Semarang: Korupsi sebagaimana telah diubah
Penerbit Pustaka Magister. dengan Undang-undang Nomor 20
Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang: Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Yayasan Sudarto. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
Undang-Undang Dasar Negara Republik tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Indonesia Tahun 1945. Korupsi
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perlindungan Anak sebagaimana telah
Perpajakan sebagaimana telah diubah diubah terakhir kali dengan Perppu No. 1
terakhir kali dengan Undang-undang Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun
Perppu No. 5 Tahun 2008 tentang 2002 tentang Perlindungan Anak
Perubahan Keempat Undang-undang Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika

53

Anda mungkin juga menyukai