Anda di halaman 1dari 79

BAB I

ILUSTRASI KASUS

1 IDENTITAS PASIEN (masuk RSF tgl: 19 Februari 2021)


Identitas Pasien
 Nama : An. AKP
 Jenis kelamin : Perempuan
 Usia : 2 tahun 11 bulan 10 hari
 Tanggal lahir : 12 Maret 2018
 Alamat : Pasar Minggu
 Pendidikan : Belum sekolah
Orang Tua
 Nama Ayah : Tn. S
 Usia : 38 tahun
 Agama                    : Islam
 Alamat                   : Pasar Minggu
 Pekerjaan               : Karyawan restoran

2 ANAMNESIS
Anamnesis nenek pasien pada tanggal 22 Februari 2021 di ruang 312 Gedung Teratai.
 Keluhan Utama
Sariawan dan luka meluas di sekitar mulut dan bibir sejak 3 bulan yang lalu
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pada pasien datang dengan keluhan sariawan dan luka pada bibir dan mulut sejak
3 bulan yang lalu. Sariawan meluas hingga ke pipi kanan pasien, disertai darah dan
nanah, pasien tampak sulit membuka mulut karena nyeri. Riwayat terbentur,
tergores, sering menggaruk bibir hingga luka, gigi patah, cabut gigi, sering makan
makanan pedas dan panas disangkal. Sariawan pertama muncul seperti bercak putih
di langit-langit mulut dan bibir atas disertai nafas berbau. Sariawan masih menetap
dan semakin meluas ke bibir dan sudut mulut. Luka mudah berdarah. Gambaran
disertai benjolan seperti bunga kol, permukaan kasar, riwayat sering terpapar
matahari, riwayat keganasan dan riwayat munculnya sariawan pasca kemoterapi
disangkal. Keluhan serupa di kulit dan tangan disangkal. Adanya didahului oleh rasa
nyeri terbakar sebelum timblulnya ulkus disangkal. Adanya riwayat penggunaan
obat- obatan jangka waktu lama, riwayat alergi kulit setempat, penggunaan obat
pencuci mulut. Adanya nyeri sendi, adanya kemerahan didaerah wajah, kulit terasa
terbakar saat dibawah matahari disangkal.
Selama 1 bulan pasien masih bisa makan dan minum. Pasien dibawa ke klinik dan
diberi obat Kandistatin (Nystatin). Selama satu minggu keluhan tidak membaik,
pasien mulai tidak mau makan. Pasien kemudian dibawa ke klinik Pasar Minggu dan
diberi antibiotik dan keluhan masih menetap kemudian pasien dibawa ke RS Setia
Mitra dan dirujuk ke RSUP Fatmawati. Pasien dipindahkan ke ruang rawat anak
pada tanggal 21 Februari 2021.
Selain sariawan, pasien juga mengeluh demam sejak 9 hari SMRS. Demam terus
menerus tidak pernah mencapai suhu normal suhu berkisar 37.8 – 38.1 derajat,
mereda jika minum obat demam. Demam tidak disertai kejang, badan kuning, atau
timbul bintil merah di kulit. Tidak ada gangguan BAB dan BAK. Tidak ada keluhan
perut sering begah. Tidak ada keluhan nyeri tulang. Tidak ada riwayat mimisan atau
perdarahan lainnya. Pasien mengeluh batuk berdahak sejak 2 minggu. Dahak
berwarna putih tidak disertai darah. Tidak ada sesak atau keringat malam hari. Ibu
pasien meninggal diketahui karena TB paru dan belum berobat TB. BB pasien turun
sebanyak 4 kg dalam 3 bulan terakhir.

 Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami keluhan sariawan yang sulit sembuh sebelumnya.
Tidak ada riwayat alergi. Pasien tidak pernah sakit hingga dirawat inap. Pasien lahir
cukup bulan 38 minggu, persalinan normal di RSdengan berat badan lahir 3500
gram, nenek pasien tidak ingat panjang bdan saat lahir, pasien lahir langsung
menangis, kulit kuning (-), kulit biru (-). Nenek pasien tidak mengetahui riwayat

2
kontrol dan sakit saat ibu pasien hamil. Nenek pasien mengatakan ibu pasien tidak
pernah sakit selama hamil.
Pasien rutin dibawa ke Posyandu setiap bulan. Tumbuh kembang sesuai anak
seusianya. Pasien mulai bisa berjalan dan aktif bicara pada usia 1 tahun.Nenek pasien
tidak ingat apa saja imunisasi yang sudah diberikan, namun pasien rutin imunisasi di
Posyandu hingga usia 2 tahun.

 Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluhan serupa di keluarga, ketiga kakak pasien tidak ada riwayat gizi
buruk.

Riwayat alergi pada keluarga disangkal, riwayat tumbuh kembang orang tua
sesuai dengan usianya. Riwayat darah tinggi, kencing manis di keluarga disangkal,
riwayat kelainan sejak lahir pada orang tua disangkal. Ibu pasien menderita TB paru dan
baru diketahui saat dirawat di RS sebelum meninggal.

 Riwayat Personal dan Sosial

Pasien tinggal di rumah padat penduduk, pasien satu rumah bersama nenek, dan
tiga kakaknya, ventilasi rumah dikatakan baik. Ayah pasien bekerja sebagai karyawan
restoran dan sekarang sudah tidak tinggal bersama pasien. Ayah pasien bekerja hingga
larut malam.Ibu pasien meninggal karena TBC. Riwayat transfusi, penggunaan jarum
suntik, pemakaian obat – obatan terlarang, konsumsi alkohol pada orang tua pasien tidak
diketahui.

 Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


KEHAMILAN Morbiditas kehamilan Tidak diketahui
Riwayat mengkonsumsi obat Tidak ada
obatan selama kehamilan
KELAHIRAN Perawatan antenatal Baik, kontrol setiap bulan
Tempat kelahiran RSUD Pasar Minggu

3
Penolong persalinan Spesialis Obsgyn
Cara persalinan Normal
Masa gestasi 38 minggu
Keadaan bayi •          Berat lahir = 3500 gram
•          Panjang = tidak ingat
•          Langsung menangis (√)
•          Kelainan bawaan (-)

 Riwayat Tumbuh Kembang


- Motorik kasar
Mengangkat kepala : Usia 3 bulan
Mulai bisa tengkurap : Usia 3 bulan
Mulai bisa duduk : Usia 10 bulan
Mulai bisa merangkak: Usia 6 bulan
Mulai bisa berdiri sendiri: Usia 12 bulan
Mulai bisa berjalan : Usia 12 bulan
Saat ini pasien dapat mengayuh sepeda roda 3, melempar bola lurus
- Bahasa
Mulai bisa berbicara : Usia 9 bulandapat memanggil “mama” “papa”
Saat ini pasien dapat berbicara dengan 2 kata, seperti minta minum, mau tidur,
mengenali binatang
- Motorik halus
Memungut benda kecil dengan ibu jari dan telunjuk : Usia 18 bulan
Saat ini pasien dapat mengenali menggambar garis, mencoret jika diberikan
pensil, menyusun 4 kubus
- Personal sosial
Tersenyum jika diberikan mainan : usia 6 bulan
Saat ini pasien dapat mengenakan sepatunya dan pakaiannya sendiri
Kesan: Perkembangan sesuai usia

 Riwayat Imunisasi

4
Imunisasi dasar hingga usia 2 tahun. Sudah diberikan hepatitis B 5x, Polio 4x, BCG 1x,
DTP 4x, HiB 4x, Campak 2x.

 Riwayat Nutrisi
Pasien minum ASI 3 hingga usia 3 bulan, lalu diganti susu formula. MPASI usia 6 bulan.
Saat ini pasien makan porsi makanan keluarga 3x/hari. Makanan tidak dihabiskan hanya
setengah porsi makan biasanya. Pasien konsumsi telur dan ikan. Konsumsi dagingayam
daging tidak setiap hari. Konsumsi sayur, buah sebagai selingan 1-2x/hari. Konsumsi
susu 200 ml/ hari dihabiskan.

3 PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pemeriksaan fisik pada tanggal 22 Februari 2021 di ruang 312 gedung teratai.
 Keadaan umum:
- Kesan : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : Compos Mentis

 Status Gizi
Berat Badan(BB): 8500 gr Panjang Badan(PB): 85 cm Usia(U): 2 tahun11 bulan
Menggunakan kurva WHO 2005
- BB/U = Z score <-3 = Berat badan sangat kurang
- TB/U = -3 < Z score <-2 = Perawakan pendek
- BB/TB = Z score <-3 = Gizi buruk
- HA = 1 tahun 10 bulan – 1 tahun 11 bulan
- BBI = 11,2 kg
Kesan : Gizi buruk, perawakan pendek, berat badan sangat kurang
Kebutuhan kalori: 11,2 x 100 = 1120 kkal
 Tanda Vital
Frekuensi nadi             : 100 kali/menit (kuat dan regular)
    Frekuensi Napas          : 26 kali/menit
 Kepala

5
- Bentuk  : Normocephali (LK= cm), deformitas (-)
- Wajah : Bentuk simetris, tidak tampak pucat.
- Rambut : Hitam, lurus, jarang
 Mata
- Cekung : (-)
- Kelopak                         : Edema (-)
- Lensa                          : Jernih
- Konjungtiva                : Anemis + /+                
- Sklera                            : Ikterik - / -                
- Pupil                             : Bulat isokor, RCL +/+ RCTL+/+
- Air mata : Ada
 Telinga
- Daun telinga : Normotia
- Liang Telinga : Serumen -/-, sekret-/-
- Membran timpani : normal

 Hidung
- Pernapasan cuping hidung (-)
- Bentuk normal, tidak ada deviasi septum
- Sekret hidung (+)
 Bibir
- Mukosa lembab
- Sianosis (-)
- Pucat (-)
 Mulut dan tenggorokan
- Pada regio labialis oris sampai buccalis dextra terdapat erosi hingga ulkus disertai
darah, pus, dan pseudomembran berwarna putih
 Leher
- KGB : Tidak teraba membesar 
- Tiroid : Tidak teraba membesar
- Trakea : Lurus di tengah

6
 Thorax
- Tampak simetris dalam keadaan statis dan dinamis.
- Retraksi suprasternal (-)
- Retraksi epigastrium (-)
- Letak areola mamae simetris
 Jantung
- Inspeksi          : Tampak pulsus iktus kordis
- Palpasi : Iktus kordis teraba.
- Perkusi            : Batas jantung melebar
- Auskultasi    : Bunyi jantung  I dan II regular, murmur (-), Gallop(-)
 Paru
- Inspeksi          : Simetris kanan kiri dalam kondisi statis dan dinamis
- Palpasi : Gerakan simetris kanan dan kiri
- Perkusi            : Sonor seluruh lapang paru
- Auskultasi       : Suara nafas vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-.

 Abdomen
- Inspeksi          : Datar, simetris
- Auskultasi     : Bising Usus (+) normal
- Palpasi           : supel,  turgor baik
 Hati     : Tidak teraba
 Limpa  : Tidak teraba
- Perkusi           : Timpani seluruh lapang abdomen
 Genitalia : Tidak tampak kelainan
 Kelenjar
- Submandibula  : Tidak teraba
- Cervical            : Tidak teraba 
- Supraklavikula : Tidak teraba  
- Ketiak             : Tidak teraba  
- Lipat paha       : Tidak teraba

7
 Ekstremitas: akral hangat, edema(-), sianosis(-), pucat(-), CRT<2detik
 Kulit
- Warna                           : sawo matang
- Pigmentasi                       : -
- Lembab / kering         : Lembab
- Suhu raba                    : Hangat                                  
- Turgor                           : Baik
- Petechiae : Tidak ada
- Ikterus                            : (-) 

 Status Lokalis
- Pada pemeriksaan status lokalis didapatkan pada regio oral, peri oral dekstra terdapat
ulkus berbatas tegas, berukuran plakat, bentuk tidak beraturan disertai krusta kuning
dan krusta kehitaman dengan dasar eritematosa.
- Pada region palatum dan lingual didapatkan psedomembran berwarna putih berbatas
tegas.

8
 Pemeriksaan Tumbuh Kembang

An. A, Perempuan, 2 tahun 11 bulan


Usia lahir : 38 minggu
 Tanggal pemeriksaan : 2021 – 03 – 03
 Tanggal Lahir Pasien : 2021 – 03 – 12
2 - 11 – 21
(2 tahun 11 bulan 21 hari)
KPSP  36 bulan
- Jika diberi pensil pasien dapat
mencoret kertas (Ya)
- Menyusun 4 kubus satu persatu tanpa
menjatuhkan (Ya)
- Berbicara 2 kata (Ya)
- Mengenali gambar binatang (Ya)
- Melempar bola lurus ke perut/ dada (Ya)
- Memberi isyarat dengan telunjuk dan mata (Ya)
- Membuat garis lurus minimal 2.5 cm (Ya)
- Meletakkan kertas dilantai, melompati kertas dengan kedua kaki mengangkat (Ya)
- Mengenakan sepatu sendiri (Ya)
- Mengayuh sepeda roda 3 minimal 3 meter (Ya)
Hasil : 10/10 untuk motoric kasar, motoric halus, bahasa, personal dan social anak
sesuai tahap perkembangannya

9
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM (19/02/21)

Pemeriksaani NilaiRujukan Hasil

Hemoglobin 10.8-15.6g/dl 5.3

Hematokrit 35-43% 21

Leukosit 6.0-17.0ribu/ul 4.2

Trombosit 229-553ribu/ul 660

Eritrosit 3.60-5.20 juta/ul 2.71

VER 73.0-101.0 fl 75.5

HER 21.0-31.0 pg 19.6

KHER 28.0-32.0 g/dL 25.9

RDW 11.5-14.5 % 19.0

Basofil 0-1 % 1

Eosinofil 1-5 % 0

Netrofil 25-60 % 65

Limfosit 25-50 % 17

Monosit 1-6 % 12

Jumlah Limfosit Absolut >1500/uL 714

Rasio Neutrofil Absolut 3.8


0 – 34 U/L
SGOT 46

10
0 – 40 U/L
SGPT 20
0 – 48 mg/dL
Ureum Darah 17
0.0 – 0.9 mg/dL
Kreatinin Darah 0.2

GDS 60 – 100 mg/dL 100

Natrium 135 – 145 mmol/L 132

Kalium 3.10 – 5.10 mmol/L 4.58

Klorida 95 – 108 mmol/L 102

CRP Kuantitatif <1.0 mg/dL 9.0

PCT Kuantitatif <0.5 mg/dL <0.07

Golongan Darah O / Rhesus (+)

Anti HIV Nonreaktif Reaktif

Anti SARS COV-2 Negatif Negatif

CD4 Absolut 700 – 2.200 sel/uL 14

CD4 % 28-47 % 4.3

CD8 Absolut 490-1300 sel/uL 202

CD8 % 16-30% 63.54

Rasio CD4: CD8 0.69-2.83 0.07

Kesan : Lymphochyte T helper rendah dan T


suppressor tinggi dengan rasio CD4 : CD8 rendah

11
FOTO TORAKS AP LATERAL (19/02/21)

- Sugestif kardiomegali
- Infiltrat di suprahiler kanan-kiri, parakardial kanan, retrosternal dd TB paru,
pneumonia
- Hilus kiri menebal dd Limfadenopati hilar

1.5 RESUME
Pasien perempuan usia 2 tahun 11 bulan dengan keluhan utama sariawan dan luka
yang meluas di mulut hingga pipi kanan sejak 3 bulan yang lalu. Pasien tampak sulit
membuka mulutnya. Pasien sudah berobat ke klinik dan RS Setia Mitra namun tidak
kunjung membaik kemudian dirujuk ke RSUP Fatmawati. Selain sariawan, pasien juga
mengeluh demam terus-menerus sejak 1 minggu. BB pasien turun sebanyak 4 kg dalam 3
bulan terakhir.Pasien lahir cukup bulan 38 minggu, persalinan normal di RSdengan berat
badan lahir 3500 gram, nenek pasien tidak ingat panjang badan saat lahir, pasien lahir
langsung menangis, kulit kuning (-), kulit biru (-). Ibu pasien meninggal diketahui karena
TB paru dan belum berobat TB.Ibu pasien menderita TB paru dan baru diketahui saat
dirawat di RS sebelum meninggal.
Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan kesan gizi buruk, terdapat erosi hingga
ulkus di sekitar mulut dan pipi kanan, dan konjungtiva anemis. Berdasarkan hasil

12
pemeriksaan laboratorium, didapatkan kesan anemia, limfositopenia, peningkatan
penanda inflamasi anti HIV reaktif dan kadar CD4 menurun

1.6 DIAGNOSIS KERJA


- Stomatitis ec candidiosis oral ec HIV dd noma disease
- HIV stadium IV
- TB Paru
- Anemia
- Gizi Buruk, Perawakan Pendek, BB sangat kurang

1.7 PEMERIKSAAN ANJURAN


- Virologis
- Pemeriksaan KOH dasar luka

1.8 PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa
 Susu Formula Fortini 8 x 100 mL (hari ke-1), 8 x 130 mL (hari ke-2), 8 x160 mL
(hari ke-3 dst)
 Pemantauan tumbuh kembang

Medikamentosa
 Cefotaxime 3 x 250 mg IV
 KDT 1 x 1 tablet
 Etambutol 1 x 170 mg
 Kotrimoksazol 1 x 40 mg
 Zinc 1 x 20 mg
 As. Folat 1 x 1 mg
 Nistatin drop 3 x 1 mL

13
 Paracetamol 3 x 5 mL
 Ambroxol 4 mg + Salbutamol 0,4 mg 3 x 1 pulv
 Mupirocin salep 3 x 1

1.9 PROGNOSIS
Ad Vitam : Bonam
Ad functionam : Bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

14
FOLLOW UP
Tanggal 22 Februari 2021 (1)

S Demam (-), mual (-), muntah (-), Batuk (+) jarang

O KU/Kesadaran= TSS/CM PF bermakna:


HR = 100x/mnt Hidung = terpasang NGT
RR = 25x/mnt Extremitas = terpasang IV line
Suhu = 36,5C Status lokalis =
a/r labialis oris hingga buccalis dextra
terdapat ulkus dengan dasar eritematosa
disertai darah, pus, dan pseudomembran
berwarna keputihan

A - Stomatitis ec candidiosis oral ec HIV


- Gizi Buruk, Perawakan pendek, BB sangat kurang
P Diet: Fortini 8 x 100 mL Nistatin drop 3 x 1 mL
Zinc 1 x 20 mg Paracetamol 3 x 5 mL
As. Folat 1 x 1 mg Ambroxol 4 mg + Salbutamol 0,4 mg 3 x
Cefotaxime 3 x 250 mg IV 1 pulv
Mupirocin salep 3 x 1

Tanggal 23 Februari 2021 (2)


S Demam (-), mual (-), muntah (-), BAB lembek warna kuning 1 kali. Batuk (-). NGT
dicabut oleh pasien saat malam hari. Sudah dipasang kembali.
O KU/Kesadaran= TSS/CM PF bermakna:
HR = 110x/mnt Hidung = terpasang NGT
RR = 27x/mnt Extremitas = terpasang IV line
Suhu = 36,5C Status lokalis =
a/r labialis oris hingga buccalis dextra
terdapat ulkus dengan dasar
eritematosa disertai darah, pus, dan
pseudomembran berwarna keputihan
A - Stomatitis ec candidiosis oral ec HIV
- TB Paru on KDT
- Gizi Buruk, Perawakan pendek, BB sangat kurang
P Diet: Fortini 8 x 130 mL Nistatin drop 3 x 1 mL
Zinc 1 x 20 mg Paracetamol 3 x 5 mL
As. Folat 1 x 5 mg Ambroxol 4 mg + Salbutamol 0,4 mg 3
Cefotaxime 3 x 250 mg IV x 1 pulv
KDT 1 x 1 tablet Mupirocin salep 3 x 1
Etambutol 1 x 170 mg Periksa Viral Load dan CD4
Kotrimoksazol 1 x 40 mg Tes Mantoux

15
Tanggal 24 Februari 2021 (3)
S Batuk (+) jarang, demam (-), mual (-), muntah (-).

O KU/Kesadaran= TSS/CM Status lokalis =


HR = 108x/mnt a/r labialis oris hingga buccalis dextra
RR = 26x/mnt terdapat ulkus dengan dasar
Suhu = 36,6C eritematosa disertai krusta dan
PF bermakna: pseudomembran berwarna keputihan
Hidung = terpasang NGT Hasil CD4 = 14 sel/ul (4.3%)
Extremitas = terpasang IV line CD8= 202 sel/ul (63.54%)

A - Stomatitis ec candidiosis oral ec HIV


- TB Paru on KDT
- Gizi Buruk, Perawakan pendek, BB sangat kurang
P Diet: Fortini 8 x 160 mL Nistatin drop 3 x 1 mL
Zinc 1 x 20 mg Paracetamol 3 x 5 mL
As. Folat 1 x 1 mg Ambroxol 4 mg + Salbutamol 0,4 mg 3
Cefotaxime 3 x 250 mg IV x 1 pulv
KDT 1 x 1 tablet Mupirocin salep 3 x 1
Etambutol 1 x 170 mg
Kotrimoksazol 1 x 40 mg

Tanggal 25 Februari 2021 (4)

S Demam sejak semalam, mual (-), muntah (-), batuk (-). BAB 1x warna kuning, lembik.
BB naik 150 gr
O KU/Kesadaran= TSS/CM Status lokalis =
HR = 125x/mnt a/r labialis oris hingga buccalis dextra
RR = 25x/mnt terdapat ulkus dengan dasar eritematosa
Suhu = 38,3 C disertai krusta dan pseudomembran berwarna
PF bermakna: keputihan
Hidung = terpasang NGT
Extremitas = terpasang IV line Hasil Tes Mantoux Negatif

A - Stomatitis ec candidiosis oral ec HIV


- Gizi Buruk, Perawakan pendek, BB sangat kurang
- TB Paru on KDT
P Diet: Fortini 8 x 160 mL Kotrimoksazol 1 x 40 mg
Zinc 1 x 20 mg Nistatin drop 3 x 1 mL
As. Folat 1 x 1 mg Paracetamol 3 x 5 mL
Cefotaxime 3 x 250 mg IV Ambroxol 4 mg + Salbutamol 0,4 mg 3 x 1
KDT 1 x 1 tablet pulv
Etambutol 1 x 170 mg Mupirocin salep 3 x 1

16
Tanggal 26 Februari 2021 (5)
S Demam (+), mual (-), muntah (+) berupa susu, batuk (-) pilek disertai sesak napas (+) BB
naik 180 gr
O KU/Kesadaran= TSS/CM Extremitas = terpasang IV line
HR = 122x/mnt Status lokalis =
RR = 30x/mnt a/r labialis oris hingga buccalis dextra
Suhu = 38 ,2 C terdapat ulkus dengan dasar eritematosa
PF bermakna: disertai krusta dan pseudomembran berwarna
Hidung = terpasang NGT keputihan

A - Stomatitis ec candidiosis oral ec HIV


- TB Paru on KDT
- Gizi kurang, Perawakan pendek, BB sangat kurang
P Diet: Fortini 8 x 160 mL Fluconazole 1 x 50 mg IV
Zinc 1 x 20 mg Nistatin drop 3 x 1 mL
As. Folat 1 x 1 mg Paracetamol 3 x 5 mL
Cefotaxime 3 x 250 mg IV Ambroxol 4 mg + Salbutamol 0,4 mg 3 x 1
KDT 1 x 1 tablet pulv
Etambutol 1 x 170 mg Mupirocin salep 3 x 1
Kotrimoksazol 1 x 40 mg

Tanggal 27 Februari 2021 (6)


S Demam (+) sudah turun setelah diberi obat, mual (+), muntah (+) setelah minum susu,
batuk (-) sesak (-).
O KU/Kesadaran= TSS/CM Status lokalis =
HR = 120x/mnt a/r labialis oris hingga buccalis dextra
RR = 25x/mnt terdapat ulkus dengan dasar eritematosa
Suhu = 38,1 C disertai krusta dan pseudomembran berwarna
PF bermakna: keputihan
Hidung = terpasang NGT
Extremitas = terpasang IV line
A - Stomatitis ec candidiosis oral ec HIV
- TB Paru on KDT
- Gizi kurang, Perawakan pendek, BB sangat kurang
P Diet: Fortini 8 x 160 mL Fluconazole 1 x 50 mg IV
Zinc 1 x 20 mg Nistatin drop 3 x 1 mL
As. Folat 1 x 1 mg Paracetamol 3 x 5 mL
Cefotaxime 3 x 250 mg IV Ambroxol 4 mg + Salbutamol 0,4 mg 3 x
KDT 1 x 1 tablet 1 pulv
Etambutol 1 x 170 mg Mupirocin salep 3 x 1
Kotrimoksazol 1 x 40 mg

Tanggal 28 Februari 2021 (7)

17
S Demam (+) semalam, turun setelah diberi obat, mual (-), muntah (-), batuk (-).
O KU/Kesadaran= TSS/CM Status lokalis =
HR = 128x/mnt a/r labialis oris hingga buccalis dextra
RR = 25x/mnt terdapat ulkus dengan dasar eritematosa
Suhu = 38,4 C disertai krusta dan pseudomembran
PF bermakna: berwarna keputihan
Hidung = terpasang NGT
Extremitas = terpasang IV line

A - Stomatitis ec candidiosis oral ec HIV


- TB Paru on KDT
- Gizi kurang, Perawakan pendek, BB sangat kurang
P Diet: Fortini 8 x 160 mL Fluconazole 1 x 50 mg IV
Zinc 1 x 20 mg Nistatin drop 3 x 1 mL
As. Folat 1 x 1 mg Paracetamol 3 x 5 mL
Cefotaxime 3 x 250 mg IV Ambroxol 4 mg + Salbutamol 0,4 mg 3 x
KDT 1 x 1 tablet 1 pulv
Etambutol 1 x 170 mg Mupirocin salep 3 x 1
Kotrimoksazol 1 x 40 mg

Tanggal 1 Maret 2021 (8)


S Demam (+), muntah (+) 50cc, batuk (+)
O KU/Kesadaran= TSS/CM Extremitas = terpasang IV line
HR = 128x/mnt Status lokalis =
RR = 25x/mnt a/r labialis oris hingga buccalis dextra
Suhu = 38 C terdapat ulkus dengan dasar eritematosa
PF bermakna: disertai krusta dan pseudomembran
Hidung = terpasang NGT berwarna keputihan

A - Noma ec candidiasis oral


- Infeksi HIV
- TB Paru on KDT
- Gizi kurang, Perawakan pendek, BB sangat kurang

P Diet: Fortini 8 x 160 mL Fluconazole 1 x 50 mg IV


Zinc 1 x 20 mg Nistatin drop 3 x 1 mL
As. Folat 1 x 1 mg Paracetamol 3 x 5 mL
Cefotaxime 3 x 250 mg IV Ambroxol 4 mg + Salbutamol 0,4 mg 3 x
KDT 1 x 1 tablet 1 pulv
Etambutol 1 x 170 mg Mupirocin salep 3 x 1
Kotrimoksazol 1 x 40 mg Kompres NaCl 0.9%

Tanggal 2 Maret 2021 (9)

18
S Demam (-), mual (-), muntah (-), batuk (-), luka dimulut mengering
O KU/Kesadaran= TSS/CM PF bermakna:
HR = 107x/mnt Hidung = terpasang NGT
RR = 25x/mnt Extremitas = terpasang IV line
Suhu = 37,4 C Status lokalis =
a/r labialis oris hingga buccalis dextra
terdapat ulkus dengan dasar eritematosa
disertai krusta dan pseudomembran
berwarna keputihan
A - Noma ec candidiasis oral
- Infeksi HIV
- TB Paru on KDT
- Gizi kurang, Perawakan pendek, BB sangat kurang
P Diet: Fortini 8 x 160 mL Fluconazole 1 x 50 mg IV
Zinc 1 x 20 mg Nistatin drop 3 x 1 mL
As. Folat 1 x 1 mg Paracetamol 3 x 5 mL
Cefotaxime 3 x 250 mg IV Ambroxol 4 mg + Salbutamol 0,4 mg 3 x 1
KDT 1 x 1 tablet pulv
Etambutol 1 x 170 mg Mupirocin salep 3 x 1
Kotrimoksazol 1 x 40 mg Kompres NaCl 0.9%

Tanggal 3 Maret 2021 (10)

S Demam (+), mual (-), muntah (-), batuk (+) pilek (+). BAB 2x/hr. Susu dihabiskan

O KU/Kesadaran= TSS/CM Extremitas = terpasang IV line


HR = 105x/mnt Status lokalis =
RR = 22x/mnt a/r labialis oris hingga buccalis dextra
Suhu = 37,6 C terdapat ulkus dengan dasar eritematosa
PF bermakna: disertai krusta dan pseudomembran
Hidung = terpasang NGT berwarna keputihan

A - Noma ec candidiasis oral


- Infeksi HIV
- TB Paru on KDT
- Gizi kurang, Perawakan pendek, BB sangat kurang
P Diet: Fortini 8 x 160 mL Fluconazole 1 x 50 mg IV
Zinc 1 x 20 mg Nistatin drop 3 x 1 mL
As. Folat 1 x 1 mg Paracetamol 3 x 5 mL
Cefotaxime 3 x 250 mg IV Ambroxol 4 mg + Salbutamol 0,4 mg 3 x 1
KDT 1 x 1 tablet pulv
Etambutol 1 x 170 mg Mupirocin salep 3 x 1
Kotrimoksazol 1 x 40 mg Kompres NaCl 0.9%
Tanggal 4 Maret 2021 (11)

19
S Demam (-), mual (-), muntah (+) 1x sebanyak ½ gelas .setelah muntah diberikan susu dan
dihabiskan, batuk (+) pilek (+). Bb turun 90 gram
O KU/Kesadaran= TSS/CM Extremitas = terpasang IV line
HR = 105x/mnt Status lokalis =
RR = 24x/mnt a/r labialis oris hingga buccalis dextra
Suhu = 36,5 C terdapat ulkus dengan dasar eritematosa
PF bermakna: disertai krusta dan pseudomembran berwarna
Hidung = terpasang NGT keputihan

A - Noma ec candidiasis oral


- Infeksi HIV
- TB Paru on KDT
- Gizi kurang, Perawakan pendek, BB sangat kurang
P Diet: Fortini 8 x 160 mL Fluconazole 1 x 50 mg IV
Zinc 1 x 20 mg Nistatin drop 3 x 1 mL
As. Folat 1 x 1 mg Paracetamol 3 x 5 mL
Cefotaxime 3 x 250 mg IV Ambroxol 4 mg + Salbutamol 0,4 mg 3 x 1
KDT 1 x 1 tablet pulv
Etambutol 1 x 170 mg Mupirocin salep 3 x 1
Kotrimoksazol 1 x 40 mg Kompres NaCl 0.9%

Tanggal 5 Maret 2021 (12)


S Demam (-), mual (-), muntah (+) 1x sebanyak ½ gelas .setelah muntah diberikan susu dan
dihabiskan, batuk (+) pilek (+). Bb turun 110 gram
O KU/Kesadaran= TSS/CM Extremitas = terpasang IV line
HR = 111x/mnt Status lokalis =
RR = 25x/mnt a/r labialis oris hingga buccalis dextra
Suhu = 36,7 C terdapat ulkus dengan dasar eritematosa
PF bermakna: disertai krusta dan pseudomembran berwarna
Hidung = terpasang NGT keputihan

A - Noma ec candidiasis oral


- Infeksi HIV
- TB Paru on KDT
- Gizi kurang, Perawakan pendek, BB sangat kurang
P Diet: Fortini 8 x 160 mL Fluconazole 1 x 50 mg IV
Zinc 1 x 20 mg Nistatin drop 3 x 1 mL
As. Folat 1 x 1 mg Paracetamol 3 x 5 mL
Cefotaxime 3 x 250 mg IV Ambroxol 4 mg + Salbutamol 0,4 mg 3 x 1
KDT 1 x 1 tablet pulv
Etambutol 1 x 170 mg Mupirocin salep 3 x 1
Kotrimoksazol 1 x 40 mg Kompres NaCl 0.9%

20
Tanggal 6 Maret 2021 (13)
S Demam (-), batuk (+), muntah (-)
O KU/Kesadaran= TSS/CM Extremitas = terpasang IV line
HR = 111x/mnt Status lokalis =
RR = 26x/mnt a/r labialis oris hingga buccalis dextra
Suhu = 37,4 C terdapat ulkus dengan dasar eritematosa
PF bermakna: disertai krusta dan pseudomembran
Hidung = terpasang NGT berwarna keputihan

A - Noma ec candidiasis oral


- Infeksi HIV
- TB Paru on KDT
- Gizi kurang, Perawakan pendek, BB sangat kurang
P Diet: Fortini 8 x 160 mL Fluconazole 1 x 50 mg IV
Zinc 1 x 20 mg Nistatin drop 3 x 1 mL
As. Folat 1 x 1 mg Paracetamol 3 x 5 mL
KDT 1 x 1 tablet Ambroxol 4 mg + Salbutamol 0,4 mg 3 x 1
Etambutol 1 x 170 mg pulv
Kotrimoksazol 1 x 40 mg Mupirocin salep 3 x 1
Kompres NaCl 0.9%

Tanggal 7 Maret 2021 (14)


S Demam (+), muntah (-), batuk (-)

O KU/Kesadaran= TSS/CM Extremitas = terpasang IV line


HR = 121x/mnt Status lokalis =
RR = 27x/mnt a/r labialis oris hingga buccalis dextra terdapat
Suhu = 37,9 C ulkus dengan dasar eritematosa disertai krusta dan
PF bermakna: pseudomembran berwarna keputihan
Hidung = terpasang NGT

A - Noma ec candidiasis oral


- Infeksi HIV
- TB Paru on KDT
- Gizi kurang, Perawakan pendek, BB kurang
P Diet: Fortini 8 x 160 mL Fluconazole 1 x 50 mg IV
Zinc 1 x 20 mg Nistatin drop 3 x 1 mL
As. Folat 1 x 1 mg Paracetamol 3 x 5 mL
KDT 1 x 1 tablet Ambroxol 4 mg + Salbutamol 0,4 mg 3 x 1 pulv
Etambutol 1 x 170 mg Mupirocin salep 3 x 1
Kotrimoksazol 1 x 40 mg Kompres NaCl 0.9%

21
Tanggal 8 Maret 2021 (15)
S Demam (-), Batuk (-), Muntah (+)

O KU/Kesadaran= TSS/CM Extremitas = terpasang IV line


HR = 110x/mnt Status lokalis =
RR = 25x/mnt a/r labialis oris hingga buccalis dextra
Suhu = 37,7 C terdapat ulkus dengan dasar eritematosa
PF bermakna: disertai krusta
Hidung = terpasang NGT

A - Noma ec candidiasis oral


- Infeksi HIV
- TB Paru on KDT
- Gizi baik, Perawakan pendek, BB kurang
P Diet: Fortini 8 x 160 mL Nistatin drop 3 x 1 mL
Zinc 1 x 20 mg Paracetamol 3 x 5 mL
As. Folat 1 x 1 mg Ambroxol 4 mg + Salbutamol 0,4 mg 3 x 1
KDT 1 x 2 tablet pulv
Etambutol 1 x 200 mg Mupirocin salep 3 x 1
Kotrimoksazol 1 x 40 mg Kompres NaCl 0.9%
Cek H2TL persiapan ARV

Tanggal 9 Maret 2021 (16)


S Muntah (-), Demam (-), Batuk (-)
O KU/Kesadaran= TSS/CM Extremitas = terpasang IV line
HR = 112x/mnt Status lokalis =
RR = 22x/mnt a/r labialis oris hingga buccalis dextra terdapat
Suhu = 36,8 C ulkus dengan dasar eritematosa disertai krusta dan
PF bermakna: pseudomembran berwarna keputihan
Hidung = terpasang NGT
Lab: Hb 6.5 g/dl
A - Noma ec candidiasis oral
- Infeksi HIV
- TB Paru on KDT
- Gizi baik, Perawakan pendek, BB kurang
P Diet: SF 8 x 150 mL (6 takar) Nistatin drop 3 x 1 mL
Zinc 1 x 20 mg Paracetamol 3 x 5 mL
As. Folat 1 x 1 mg Ambroxol 4 mg + Salbutamol 0,4 mg 3 x 1 pulv
KDT 1 x 2 tablet Mupirocin salep 3 x 1
Etambutol 1 x 200 mg Kompres NaCl 0.9%
Kotrimoksazol 1 x 40 mg
Transfusi PRC 2 x 100 ml, cek H2TL

22
Tanggal 10 Maret 2021 (17)
S Demam (-), muntah (-), sesak (+), batuk (-)

O KU/Kesadaran= TSS/CM Extremitas = terpasang IV line


HR = 120x/mnt Status lokalis =
RR = 30x/mnt a/r labialis oris hingga buccalis dextra
Suhu = 37,6 C terdapat ulkus dengan dasar eritematosa
PF bermakna: disertai krusta dan pseudomembran
Hidung = terpasang NGT berwarna keputihan

Hb= 10 g/dl
A - Noma ec candidiasis oral
- Infeksi HIV
- TB Paru on KDT
- Gizi baik, Perawakan pendek, BB kurang
P Diet: SF 8 x 150 mL (7,5 takar) Nistatin drop 3 x 1 mL
Zinc 1 x 20 mg Paracetamol 3 x 5 mL
As. Folat 1 x 1 mg Ambroxol 4 mg + Salbutamol 0,4 mg 3 x 1
KDT 1 x 2 tablet pulv
Etambutol 1 x 200 mg Mupirocin salep 3 x 1
Kotrimoksazol 1 x 40 mg Nebulisasi NaCl 0,9% + Berotec + Bisolvon
Lamivudine + Zidofudine (FDC) 2x1
Nevirapine 1 x100 mg

Tanggal 11 Maret 2021

23
S Demam (-), muntah (-), sesak (-)

O KU/Kesadaran= TSS/CM Extremitas = terpasang IV line


HR = 115x/mnt Status lokalis =
RR = 24x/mnt a/r labialis oris hingga buccalis dextra terdapat
Suhu = 36,8 C ulkus dengan dasar eritematosa disertai krusta dan
PF bermakna: pseudomembran berwarna keputihan
Hidung = terpasang NGT

A - Noma ec candidiasis oral


- Infeksi HIV
- TB Paru on KDT
- Gizi baik, Perawakan pendek, BB kurang
P Diet: SF 8 x 150 mL (7,5 takar) Nistatin drop 3 x 1 mL
KDT 1 x 1 tablet Paracetamol 3 x 5 mL
Etambutol 1 x 170 mg Ambroxol 4 mg + Salbutamol 0,4 mg 3 x 1 pulv
Kotrimoksazol 1 x 40 mg Mupirocin salep 3 x 1
Lamivudine + Zidofudine (FDC) 2x1 Kompres NaCl 0.9%
Nevirapine 1 x100 mg

24
Tanggal 12 Maret 2021
S Demam (-), muntah (-), batuk (-)

O KU/Kesadaran= TSS/CM PF bermakna:


HR = 109x/mnt Hidung = terpasang NGT
RR = 21x/mnt Extremitas = terpasang IV line
Suhu = 36,5 C Status lokalis =
a/r labialis oris hingga buccalis dextra
terdapat ulkus dengan dasar eritematosa
disertai krusta dan pseudomembran
berwarna keputihan
A - Noma ec candidiasis oral
- Infeksi HIV
- TB Paru on KDT
- Gizi baik, Perawakan pendek, BB kurang
P Diet: SF 8 x 150 mL (7,5 takar) Nistatin drop 3 x 1 mL
KDT 1 x 1 tablet Paracetamol 3 x 5 mL
Etambutol 1 x 170 mg Ambroxol 4 mg + Salbutamol 0,4 mg 3 x 1
Kotrimoksazol 1 x 40 mg pulv
Lamivudine + Zidofudine (FDC) 2x1 Ketokonazol salep 2 x 1
Nevirapine 1 x100 mg Kompres NaCl 0.9%

25
FOLLOW UP PERTUMBUHAN PASIEN
Tanggal Berat Tinggi BB/U PB/U Status Gizi
Badan (g) Badan

19 Februari 8500 85 cm BB Sangat Perawakan Gizi buruk


2021 kurang Pendek

20 Februari 8500 85 cm BB Sangat Perawakan Gizi buruk


2021 kurang Pendek

21 Februari 8500 85 cm BB Sangat Perawakan Gizi buruk


2021 kurang Pendek

22 Februari 8600 85 cm BB Sangat Perawakan Gizi buruk


2021 kurang Pendek

23 Februari 8600 85 cm BB Sangat Perawakan Gizi buruk


2021 kurang Pendek

24 Februari 8400 85 cm BB Sangat Perawakan Gizi buruk


2021 kurang Pendek

25 Februari 8550 85 cm BB Sangat Perawakan Gizi buruk


2021 kurang Pendek

26 Februari 8730 85 cm BB Sangat Perawakan Gizi kurang


2021 kurang Pendek

27 Februari 8930 85 cm BB Sangat Perawakan Gizi kurang


2021 kurang Pendek

28 Februari 8990 85 cm BB Sangat Perawakan Gizi buruk


2021 kurang Pendek

1 Maret 2021 9100 85 cm BB Sangat Perawakan Gizi buruk


kurang Pendek

2 Maret 2021 9125 85 cm BB Kurang Perawakan Gizi kurang


Pendek

3 Maret 2021 9325 85 cm BB Sangat Perawakan Gizi kurang


Kurang Pendek

4 Maret 2021 9235 85 cm BB Sangat Perawakan Gizi kurang


Kurang Pendek

26
5 Maret 2021 9125 85 cm BB Sangat Perawakan Gizi kurang
Kurang Pendek

6 Maret 2021 9390 85 cm BB Sangat Perawakan Gizi kurang


Kurang Pendek

7 Maret 2021 9500 85 cm BB Kurang Perawakan Gizi kurang


Pendek

8 Maret 2021 9645 85 cm BB Kurang Perawakan Gizi baik


Pendek

9 Maret 2021 9725 85 cm BB Kurang Perawakan Gizi baik


Pendek

10 Maret 2021 9610 85 cm BB Kurang Perawakan Gizi baik


Pendek

11 Maret 2021 9815 85 cm BB Kurang Perawakan Gizi baik


Pendek

12 Maret 2021 10070 85 cm BB Kurang Perawakan Gizi baik


Pendek

27
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV
1. Definisi
HIV adalah sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS
adalah kependekan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome.1 Acquired berarti
didapat, bukan keturunan. Immuno terkait dengan sistem kekebalan tubuh kita.
Deficiency berarti kekurangan. Syndrome atau sindrom berarti penyakit dengan
kumpulan gejala, bukan gejala tertentu. Jadi AIDS berarti kumpulan gejala akibat
kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan tubuh yang dibentuk setelah kita lahir.

2. Epidemiologi
Infeksi virus penyebab defisiensi imun terjadi melalui transfusi darah atau
komponen yang tercemar, infeksi perinatal seperti intrauterine, melalui plasenta,
infeksi pascanatal seperti pemberian ASI.2 Penularan melalui plasenta (intranatal)
pada periode kehamilan dini, dapat ditemykan antigen virus pada janin yang
berusia 13-20 minggu.2 Pada remaja lebih banyak disebabkan perilaku seksual
yang menyimpang, penyalahgunaan obat dengan suntikan, dll.2

3. Etiologi
Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama human
immune – deficiency virus (HIV) ini adalah suatu virus RNA dari family
retrovirus dan subfamily lentiviridae.1 Terdapat 2 serotipe yaitu HIV-1 dan HIV-
2. HIV-2 dikenal sebagai lymphadenophaty associated virus type 2 (LAV-2) yang
sampai sekarang hanya dijumpai pada kasus AIDS.1 Inti dari virus terdiri dari
suatu protein sedang selubungnya terdiri dari suatu glikoprotein. Protein dari inti
genom RNA dan suatu enzim yang dapat mengubah RNA menjadi DNA pada
waktu replikasi virus, yang disebut enzim reverse transcriptase.1 Genom virus
yang ada pada dasarnya terdiri dari gen, yang bertugas memberi kode unntuk
membentuk protein inti, enzim reverse transcriptase maupun glikoprotein dari

28
selubung.1 Bagian envelope yang terdiri dari glikoprotein mempunyai afinitas
yang tinggi terhadap reseptor spesifik dari sel pejamu. Berikut gambaran struktur
virus:

(Gambar: Struktur HIV)1

4. Patogenesis
HIV menginfeksi memerlukan reseptor spesifik pada sel pejamu yaitu
CD4. Molekul CD4 (paling banyak terdapat di sel limfosit T) memiliki afinitas
yang sangat besar terhadap molekul glikoprotein (g120) dari selubung virus HIV. 1
Setelah adhesi CD4 pada sel limfosit T dengan g120 pada selubung virus terjadi
diskontinuitas membrane sel limfosit T sehingga seluruh komponen virus harus
masuk melalui sitoplasma sel limfosit T, kecuali selubungnya.1 Lalu, RNA dari
virus mengalami transkripsi memnjadi seuntai DNA dengan bantuan enzim
reverse transcriptase. 1
Akibat aktivitas enzim RNA-ase, RNA asli dihancurkan dan membentuk
DNA. DNA akan mengalami polimerasi menjadi 2 untai dengan bantuan enzim
polymerase.1 DNA yang terbentuk ini kemudian pindah dari sitoplasma ke dalam
inti sel limfosit T dan menyisip ke dalam DNA sel pejamu dengan bantuan enzim
integrase, disebur sebagai provirus.1 Provirus laten atau dalam keadaan replikasi
yang lambat tergantung pada aktivitas sel pejamu (T-CD4) yang diinfeksinya,
sampai sesuatu memicu dan memacu terjadinya replikasi. 1

29
Stimulasi yang dapat memicu terjadinya replikasi adalah pembentukan
protein atau mRNA virus yang utuh yang cepat diduga karena bahan mitogen atau
antigen yang mungkin bekerja melalui sitokin, baik sebelum maupun sesudah
terjadinya infeksi HIV.1 Sitokin yang dapat memacu adalah interleukin (IL) 1,3,6,
tumor necrosis factor α dan β, interferon γ, granulocyte-machrophage colony-
stimulating factor dan macrophage colony-stimulating factor.1
Hal lain yang dapat memicu replikasi HIV adalah adanya kofaktor yang
terdiri dari infeksi oleh virus DNA seperti virus Epstein Barr, sitomegalovirus,
virus hepatitis B, HSV, dan human lymphotrophic virus tipe 1 atau mikoplasma. 1
Organ lymphoid (kelenjar limfe, adenoid, dan tonsil) merupakan tempat
berkembang biak HIV baik periode akut maupun periode laten. Setelah HIV
masuk kedalam tubuh baik melalui sirkulasi maupun mukosa, HIV akan dibawa
ke dalam kelenjar limfe regional dan terjadi replikasi virus yang kemudian
menimbulkan viremia dan infeksi jaringan limfoid yang lain yang dapat
menimbulkan limfadenopati subklinis1.
Sementara, sel limfosit B dalam limfoid mengakibatkan limfadenopati
akibat hyperplasia / proliferasi folikular yang ditandai dengan meningkatnya sel
denditik folikular didalam sentrum germinativum dan sel limfosit T-CD4. 1
Akumulasi sel limfosit T-CD4 di limfoid insitu dan migrasi sel T-CD4 dari
sirkulasi sehingga terjadi penurunan sel T-CD4 didalam sirkulasi secara tiba –
tiba menyebabkan gejala akut infeksi HIV 1. Selain itu, sel limfosit B
menghasilkan berbagai sitokin yang dapat mengaktifkan dan memudahkan infeksi
sel T-CD4.1
Pada fase awal terjadi ikatan HIV, antibody, komplemen, di dalam jarring
sel dendritic folikular, dan menyajikannya kepada sel limfosit T-CD4 yang
akhirnya mengalami infeksi dan aktivasi, setelah itu HIV tinggal laten didalam sel
T-CD4 sebelum kemudian mengalami replikasi kembali akibat berbagai
stimulasi.1 Pada fase lebih lanjut tidak lagi ditemukan HIV bebas karena
semuanya telah terdapat didalam sel.1 Dengan adanya progresivitas penyakit
menyebabkan degenerasi sel dendrit folikular sehingga hilanglah kemampuan

30
organ limfoid untuk menjerat aprtikel HIV.1 Sehingga terjadi peningkatan HIV
dalam sirkulasi terjadi viremia dan menyebar ke berbagai organ tubuh.1
Virus HIV dapat melisiskan sel limfosit T-CD4 yang matang dan sel
limfosit T-CD4 cadangan. Ikatan gp120 virus pada sel limfosit T-CD4
menyebabkan lisis sel, menyebabkan gangguan fungsi MHC II sehingga terjadi
penyajian antigen terhadap sel imun terganggu.1

(Gambar: Patogenesis HIV)

5. Manifestasi Klinis
Setelah terjadi infeksi HIV tidak segera timbul gejala, oleh karena itu
dibutuhkan waktu untuk replikasi virus kemudian memegang peran dalam
timbulnya berbagai gejala klinis dan laboratorium 1. Inkubasi HIV bergantung
dosis infeksi dan daya tahan tubuh sel inang 1. Pada infeksi vertical ≥ 50 % masa
inkubasi selama 1 tahun, 78% sekitar 2 tahun. Pada 5% kasus dijumpai masa
31
inkubasi ≥ 6-9 tahun1. Setelah masa inkubasi timbul gejala prodromal yang
bersifat non spesifik setelah siatu selang waktu yang berbeda.1

Gejala Non Spesifik Gejala Spesifik


 Demam  Gangguan tumbuh kembang dan
 Gangguan Pertumbuhan fungsi intelektual
 Kehilangan BB (≥10%)  Gangguan pertumbuhan otak
 Hepatomegali  Defisit motoric progresif dgn ≥ 2 atau
 Limfadenopati (≥0.5 cm lebih gejala berikut ; paresis, tonus
pada 2 tempat / lebih) abnormal, refleks patologis, ataksi,

 Splenomegali gangguan melangkah

 Parotitis  Lymphoid interstitial pnemunositis

 Diare (LIP)
 Infeksi sekunder : infeksi oportunistik,
infeksi sekunder, infeksi virus*
 Keganasan sekunder (limfoma SSP
primer, Hodgkin b cell, non Hodgkin
lymphoma, sarcoma Kaposi)
 Penyakit tertentu kardiomiopati
dengan gagal jantung atau aritmia,
anemia, trombositopenia, GN, eksim,
seborhoe, moluscum contangiosum
berat.
*infeksi oportunistik ; pneumonia oleh pneumocystis carinii, kandidiasis, infeksi
cryptococcus, infeksi mikrobakteria yg atipik. Infeksi sekunder oleh streptococcus
pneumoniae, haemophilus influenza, neiseiria meningitides, salmonella enteritidis
yang menimbulkan sepsis, meningitis, pneumonia, abses organ interna. Infeksi
virus yg berat dan berulang, stomatitis herpes kronik dan berulang, herpes zoster
multidermatomal atau luas.1
Kelainan imunologis pada awal infeksi HIV adalah hipo atau hiper gama
globulinemia, jumlah sel limfosit T-CD4 menurun, menurunnya rasio sel limfosit
T-CD4 (Th) : T-CD8 (Ts) dan limfopenia absolut1.

32
Sementara itu secara klinis WHO menetapkan stadium klinis untuk bayi dan anak
yang terinfeksi HIV yakni sebagai berikut 3:
a. Stadium Klinis I
- Asimtomatik
- Limfadenopati generalisata persisten
b. Stadium Klinis II
- Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan
- Erupsi pruritik papular
- Infeksi virus wart luas
- Angular cheilitis
- Moluskum kontagiosum luas
- Ulserasi oral berulang
- Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan
- Eritema ginggival lineal Herpes zoster
- Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea,
sinusitis, tonsillitis)
- Infeksi kuku oleh fungus
c. Stadium Klinis III
- Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons secara
adekuat terhadap terapi standar
- Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih )
- Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5o C
intermiten atau konstan, > 1 bulan)
- Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan)
- Oral hairy leukoplakia
- Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut
- TB kelenjar
- TB Paru
- Pneumonia bakterial yang berat dan berulang
- Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik

33
- Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk
bronkiektasis
- Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8 mg/dl), neutropenia (<500/mm3)
atau trombositopenia (<50.000/mm3)
d. Stadium Klinis IV
- Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan
tidak berespons terhadap terapi standar
- Pneumonia pneumosistis
- Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis,
infeksi tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia)
- Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan atau
viseralis di lokasi manapun)
- TB ekstrapulmonar Sarkoma Kaposi
- Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru)
- Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus)
- Ensefalopati HIV
- Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ
lain, dengan onset umur > 1bulan
- Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis
- Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
- Kriptosporidiosis kronik (dengan diarea)
- Isosporiasis kronik
- Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata
- Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang
simtomatik
- Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral
- Progressive multifocal leukoencephalopathy

34
6. Diagnosis
Diagnosis penyakit HIV ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.4

a. Anamnesis
Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV misalnya ;
- Lahir dari ibu beresiko tinggi
- Lahir dari ibu dengan pasangan beresiko tinggi
- Penerima transfusi darah atau komponennnya, berulang dan tanpa uji tapis
HIV
- Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (pecandu narkotika)
- Homoseksusal atau biseksual
- Kebiasaan seksual yang keliru

b. Pemeriksaan Fisik

Gejala klinis yangmendukung misalnya infeksi oportunistik, penyakit menular


seksual, infeksi berulang/berat, terdapat gagal tumbuh, adanya ensefalopati yang
menetap atau progresif, penyakit paru interstitial, keganasan sekunder,
kardiomiopati dll1.

c. Pemeriksaan laboratorium

Untuk diagnostic pasti dengan pemeriksaan laboratorium mulai dari yang


relative sederhana hingga relative sulit dan mahal, mulai dengan menentukan
adanya antibody anti-HIV misalnya dengan ELISA sebagai uji tapis dilanjutkan
uji yang lebih pasti uji Western blot assay karena menentukan adanya bagian
protein yang terdapat dalam virus HIV yaitu p24,gp41 dan gp120/160. Dikatakan
positif bila ditemukan 2 atau 3 protein ini.4

Bayi dan anak memerlukan tes HIV bila4:

35
1. Anak sakit (jenis penyakit yang berhubungan dengan HIV seperti TB berat
atau mendapat OAT berulang, malnutrisi, atau pneumonia berulang dan diare
kronis atau berulang)
2. Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV dan sudah mendapatkan perlakuan
pencegahan penularan dari ibu ke anak
3. Untuk mengetahui status bayi/anak kandung dari ibu yang didiagnosis
terinfeksi HIV (pada umur berapa saja)
4. Untuk mengetahui status seorang anak setelah salah satu saudara
kandungnya didiagnosis HIV; atau salah satu atau kedua orangtua meninggal
oleh sebab yang tidak diketahui tetapi masih mungkin karena HIV
5. Terpajan atau potensial terkena infeksi HIV melalui jarum suntik yang
terkontaminasi, menerima transfusi berulang dan sebab lain
6. Anak yang mengalami kekerasan seksual

Berikut skenario pemeriksaan HIV pada Anak4 :

(Gambar : Skenario Pemeriksaan HIV pada Anak)

36
- Diagnosis presumtif HIV pada anak< 18 bulan4
Bila ada anak berumur < 18 bulan dan dipikirkan terinfeksi HIV, tetapi
perangkat laboratorium untuk PCR HIV tidak tersedia, tenaga kesehatan
diharapkan mampu menegakkan diagnosis dengan cara diagnosis presumptive

Bila ada 1 kriteria berikut :


PCP, meningitis, kriptokokus, kandidiasis esophagus
Toksoplasmosis
Malnutrisi berat yg tdk membaik dgn pengobatan standar
ATAU
Minimal ada 2 gejala berikut :
Oral thrush
Penumonia Berat
Sepsis Berat
Kematian ibu yang berkaitan dengan HIV atau penyakit
HIV yang lanjut pada ibu
CD4+ <20%
Berikut alur diagnosis HIV pada bayi dan anak <18 bulan pajanan HIV
tidak diketahui:

37
(Gambar : Alur diagnosis HIV pada bayi dan anak <18 bulan pajanan HIV
tidak diketahui)4

- Diagnosis HIV pada anak > 18 bulan


Diagnosis pada anak > 18 bulan memakai cara yang sama dengan uji HIV
pada orang dewasa. Perhatian khusus untuk anak yang masih mendapat ASI
pada saat tes dilakukan, uji HIV baru dapat diinterpretasi dengan baik bila
ASI sudah dihentikan selama > 6 minggu. Pada umur > 18 bulan ASI bukan
lagi sumber nutrisi utama. Oleh karena itu cukup aman bila ibu diminta untuk
menghentikan ASI sebelum dilakukan diagnosis HIV.4

7. Diagnosis Banding
Untuk diagnosis banding HIV berat adalah severe combined immunodeficiency
disease (SCID) dan hipo-gamaglobulinemia.4 Oleh karena itu secara klinis infeksi
HIV yang berat sulit dibedakan dengan SCID, maka harus diperiksa adanya HIV.

38
Walaupun sebagian kecil infeksi HIV disertai hipo gamaglobulinemia, sebagian
infeksi HIV disertai oleh hipergama-globulinemia4.

8. Tatalaksana

Penilaian dan tatalaksana setelah diagnosis HIV ditegakkan4.

- Kaji status nutrisi dan pertumbuhan, dan kebutuhan intervensinya.


- Pemberian vitamin A berkala.
- Kaji status imunisasi.
- Kaji tanda dan gejala infeksi oportunistik dan pajanan TB.
- Bila dicurigai terdapat infeksi oportunistik (IO), lakukan diagnosis dan
pengobatan IO sebelum pemberian ART.
- Lakukan penilaian stadium penyakit HIV menggunakan kriteria klinis
(Stadium klinis WHO 1 sampai 4). Pastikan anak mendapat kotrimoksazol
(prosedur III).
- Identifikasi pemberian obat lain yang diberikan bersamaan, yang mungkin
mempunyai interaksi obat dengan ARV.
- Lakukan penilaian status imunologis (stadium WHO dari mulai tidak ada
supresi hingga supresi imunologis berat) (prosedur VI): Periksa persentase
CD4 (pada anak < 5 tahun) dan nilai absolut CD4 (pada anak ≥ 5 tahun). Dan
lalukan penilaian CD4 dan persentasenya memerlukan pemeriksaan darah tepi
lengkap.
- Kaji apakah anak sudah memenuhi kriteria pemberian ARV.
- Kaji situasi keluarga termasuk jumlah orang yang terkena atau berisiko
terinfeksi HIV dan situasi kesehatannya:
o Identifikasi orang yang mengasuh anak ini dan kesediaannya untuk
mematuhi pengobatan ARV dan pemantauannya.
o Kaji pemahaman keluarga mengenai infeksi HIV dan pengobatannya
serta informasi mengenai status infeksi HIV dalam keluarga.
o Kaji status ekonomi, termasuk kemampuan untuk membiayai
perjalanan ke klinik, kemampuan membeli atau menyediakan

39
tambahan makanan untuk anak yang sakit dan kemampuan membayar
bila ada penyakit yang lain.

Pemberian Antiretroviral

- Kriteria pemberian ARV


Segera setelah diagnosis infeksi HIV ditegakkan, dilakukan penilaian stadium
klinis4. Penilaian stadium ditetapkan menurut kondisi klinis paling berat yang
pernah dialami, dibandingkan dengan tabel.

- Penetapan Kelas Imunodefisiensi

CD4 adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefisiensi. Digunakan


bersamaan dengan penilaian klinis4. CD4 dapat menjadi petunjuk dini
progresivitas penyakit karena nilai CD4 menurun lebih dahulu dibandingkan
kondisi klinis4. Pemantauan CD4 dapat digunakan untuk memulai pemberian
ARV atau penggantian obat. Makin muda umur, makin tinggi nilai CD44.

Untuk anak < 5 tahun digunakan persentase CD4.4 Bila ≥ 5 tahun, nilai CD4
absolut dapat digunakan. Ambang batas kadar CD4 untuk imunodefisiensi berat
pada anak > 1 tahun sesuai dengan risiko mortalitas dalam 12 bulan (5%). Pada
anak < 1 tahun atau bahkan < 6 bulan, nilai CD4 tidak dapat memprediksi
mortalitas, karena risiko kematian dapat terjadi bahkan pada nilai CD4 yang
tinggi.4

40
- Indikasi terapi ARV menggunakan kombinasi kriteria klinis dan imunologis

Anak berumur < 5 tahun bila terdiagnosis infeksi HIV maka terindikasi untuk
mendapat pengobatan ARV sesegera mungkin4. Tatalaksana terhadap Infeksi
Oportunistik yang terdeteksi harus didahulukan4. Meskipun tidak menjadi dasar
untuk pemberian ARV, bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan CD4 untuk
memantau hasil pengobatan4.

- Rekomendasi Pemberian ARV


a. Tatalaksana terhadap Infeksi Oportunistik yang terdeteksi harus
didahulukan4
b. Meskipun tidak menjadi dasar untuk pemberian ARV, bila memungkinkan
dilakukan pemeriksaan CD4 untuk memantau hasil pengobatan.
Berdasarkan ketersediaan obat, terdapat 3 kombinasi paduan ARV (pilih
warna yang berbeda).4

41
Langkah 1: Gunakan 3TC sebagai NRTI pertama
Langkah 2: Pilih 1 NRTI untuk dikombinasi dengan 3TC :

42
Langkah 3: Pilih 1 NNRTI

c. Pemantauan setelah mendapatkan ARV


43
d. Pemantauan Respon Terhadap ARV
Pengamatan 6 bulan pertama pada kasus dalam terapi ARV
merupakan masa penting.4 Diharapkan terjadi perbaikan klinis dan
imunologis tetapi juga harus diwaspadai kemungkinan toksisitas obat
dan/atau Immune Reconstitution Syndrome (IRIS). Beberapa anak gagal
mencapai perbaikan dan bahkan menunjukkan tanda deteriorasi klinis4.
Komplikasi yang terjadi pada minggu-minggu pertama umumnya
lebih banyak ditemukan pada anak defisiensi imun berat. 4 Meskipun
demikian tidak selalu berarti respons yang buruk, karena untuk
mengontrol replikasi HIV dan terjadinya perbaikan sistim imun
memerlukan waktu.4 Juga diperlukan waktu untuk membalik proses
katabolisme akibat infeksi HIV yang sudah terjadi selama ini, terutama
pada anak dengan “wasting”.4

44
Selain itu ada anak yang menunjukkan eksaserbasi infeksi
subklinis yang selama ini sudah ada seperti contohnya TB, sehingga
tampak seperti ada deteriorasi klinis.4 Hal ini bukan karena kegagalan
terapi tetapi karena keberhasilan mengembalikan fungsi sistim imun
(immune reconstitution).4 Oleh karena itu penting untuk mengamati hasil
terapi lebih lama sebelum menilai efektivitas paduan pengobatan yang
dipilih dan mempertimbangkan terjadinya IRIS4. Pada waktu penting ini
yang perlu dilakukan adalah mendukung kepatuhan berobat dan bukan
mengganti obat. 4

9. Pencegahan
a. Pemberian vaksin
Belum diketahui dengan jelas peranan kekebalan humoral dan selular pada
pencegahan infeksi HIV,4 walau demikian upaya tersebut masih terus
dilakukan. Salah satunya ialah vaksin rekombinan yang dibuat dari selubung
HIV.4
b. Pencegahan penularan vertikal
Untuk pencegahan penularan vertical perlu tindakan yang bertujuan
menghindarkan ibu dari infeksi HIV, seperti pemeriksaan atau uji tapis bagi
wanita dengan risiko tinggi, penyuluhan dan bimbingan untuk mencegah
penggunaan jarum suntik bersama, untuk menggunakan pengaman saat
melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berisiko tinggi dan jika
perlu dilakukan pencegahan kehamilan.4
Penularan HIV melalui plasenta umumnya minimal menganjurkan
pembersihan jalan lahir dengan seksama dan memandikan bayi dengan segera
setelah lahir akan mengurangi risiko penularan4. Oleh karena penularan
melalui ASI sangat jarang terjadi, namun dianjurkan untuk memberhentikan
pemberian ASI. 4

c. Pencegahan penularan horizontal

45
Dilakukan penapisan uji serologic darah bagi donor dan pengawasan ketat
bahan – bahan yang berasal dari darah, terutama diberikan untuk anak yang
perlu mendapat transfusi berulang4.
Pada anak atau remaja yang memiliki aktivitas seksual berlebihan atau
penyalahgunaan obat perlu dilakukan penyuluhan mengenai cara dan risiko
penularan HIV.4

10. Prognosis
Infeksi HIV pada umumnya berjalan progresif akibat belum ditemukannya cara
efektif untuk menanggulanginya, maka pada umumnya penyakit berjalan progresif
hingga prognosisnya pada umumnya buruk.4

2.2 Gizi Buruk


1. Definisi
Menurut WHO (2013), gizi buruk dibedakan menurut umur anak5:
- Usia kurang dari 6 bulandengan BB/PB (atau BB/TB) kurang dari -3 SD, atau
edema bilateral yang bersifat pitting (tidak kembali setelah ditekan).
- usia 6-59 bulan: dengan BB/PB (atau BB/TB) kurang dari -3 SDatau LiLA < 11,5
cm, atau edema bilateral yang bersifat pitting.

2. Klasifikasi
Berdasarkan ada/tidaknya komplikasi, gizi buruk dikategorikan sebagai berikut5.
a. Gizi buruk tanpa komplikasi, yang ditandai:
- lingkar lengan atas (LiLA) < 11,5 cm untuk balita berusia 6-59 bulan;
- BB/PB (atau BB/TB) kurang dari -3 SD;
- adanya edema bilateral dengan derajat +1 atau +2

46
Gambar Klasifikasi Derajat Edema pada Balita Gizi Buruk5
b. Gizi buruk dengan komplikasi, yang ditandai oleh hal tersebut di atas dan
adanya satuatau lebih komplikasi berikut (sama dengan tanda bahaya pada
MTBS):5
- anoreksia;
- dehidrasi berat (muntah terus-menerus, diare);
- letargi atau penurunan kesadaran;
- demam tinggi;
- pneumonia berat (sulit bernafas atau bernafas cepat);
- anemia berat.

47
-
Tabel Klasifikasi Undernutrition (Nelson, 2020)6
3. Faktor Risiko
Faktor risiko gizi buruk pada bayi < 6 bulanyang sering ditemukan sebagai berikut5.
a. Bayi berat lahir rendah (BBLR), yaitu berat lahir di bawah 2500 g:5
• bayi lahir sebelum waktunya (preterm/prematur), yaitu sebelum usia kehamilan37
minggu: berat lahirnya rendah dan organ-organ tubuhnya belum
berfungsisepenuhnya. Akibatnya, risiko kegagalan fungsi tubuh meningkat, yang
antara lainmenimbulkan gangguan pernafasan dan hipotermi.5 Faktor penyebab
kelahiran prematur pada umumnya terkait dengan status kesehatan ibu, misalnya
ibu menderitapenyakit infeksi atau penyakit kronis, ibu mengalami komplikasi
kehamilan, ibumerokok/terpapar asap rokok, ibu terlalu berat beban kerja atau
mengalami stres;5
• bayi lahir cukup umur (37 minggu atau lebih), tetapi kecil untuk umur
kehamilannya, sebagai akibat dari kekurangan gizi sejak di dalam kandungan5.
Pada kelahiran cukup umur, biasanya organ-organ tubuh bayi telah matang dan
dapat berfungsi normal5..Faktor penyebabnya pada umumnya adalah masalah

48
kurang gizi pada ibu, misalnyaKEK (kurang energi kronis) dan/atau anemia pada
masa kehamilan atau bahkansebelumnya.5
b. Penyakit/kelainan bawaan: beberapa jenis kelainan bawaan berakibat pada
gangguanfungsi pencernaan, misalnya bibir dan langit-langit sumbing, kelainan
saluranpencernaan atau kelainan sistem organ lainnya, seperti kelainan sistem
kardiovaskuar,dll. Penyakit bawaan misalnya HIV, sifilis dan hepatitis B yang dapat
ditularkan dari ibuke janin.5
c. Pola asuh yang tidak menunjang proses tumbuh kembang bayi dan gangguankesehatan
ibu setelah melahirkan, misalnya bayi lahir tidak mendapat kolostrum;produksi ASI
sedikit sehingga bayi tidak mendapatkan ASI eksklusif, atau kondisi lainnyaseperti ibu
tidak mau menyusui atau berjauhan dengan bayinya5.
Berbeda dengan kekurangan gizi pada bayi 0-6 bulan yang dipengaruhi oleh
kondisikesehatan ibu sebelum dan selama kehamilan sampai setelah melahirkan,
kekurangan gizi pada balita 6-59 bulan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor luar,
misalnya5:
- Asupan makanan;
- Kekebalan tubuh terhadap infeksi, yang antara lain dipengaruhi oleh
kelengkapanpemberian imunisasi dasar;
- Terpapar sumber infeksi penyakit menular baik internal maupun eksternal;
- Ketersediaan jamban keluarga dan air bersih;
- Kondisi lingkungan, misalnya yang berkaitan dengan polusi, termasuk polusi
dari industri,kendaraan bermotor, asap rokok, asap dapur, dll.

4. Patofisiologi
Ketika asupan nutrisi tidak mampu mencukupi kebutuhan harian, akan terjadi
kompensasi berupa perubahan secara fisiologis dan metabolik yang bertujuan untuk
menyimpan cadangan energi dan memperpanjang masa usia6. Proses ini disebut
reductive adaptation. Cadangan lemak akan digunakan untuk menghasilkan energi6.
Kemudian, protein dalam otot, kulit, dan saluran gastrointestinal juga akan digunakan 6.
Energi dapat disimpan dengan mengurangi aktivitas fisik dan pertumbuhan, mengurangi
metabolisme basal dan cadangan fungsional berbagai organ, serta mengurangi respon

49
inflamasi dan respon imun. Perubahan-perubahan tersebut memiliki urutan yang
penting6:
- Penurunan fungsi sintesis glukosa hepar membuat anak akan rentan terjadi
hipoglikemia. Fungsi hepar yang menurun antara lain sintesis albumin, transferrin,
dan protein transport lainnya, serta penurunan kemampuan hepar untuk mengatasi
asupan protein yang berlebih dan mengeksresikan toksin6.
- Penurunan produksi panas, membuat anak lebih rentan untuk terkena hipotermia6.
- Ginjal tidak mampu untuk mngekskresikan kelebihan cairan dan natrium sehingga
cairan lebih banyak terakumulasi dalam sirkulasi dan meningkatkan risiko overload
cairan6.
- Jantung menjadi lebih lemah dan terjadi penurunan curah jantung, sehingga risiko
terjadi overload cairan hingga gagal jantung semakin besar6.
- Terjadinya kerusakan membran sel dan juga pompa ion natrium menyebabkan
retensi natrium dalam tubuh. Hal ini dapat menyebabkan retensi cairan dan edema6.
- Kalium secara massif dikeluarkan dari intrasel dan diekskresikan dalam urin. Hal
tersebut juga berkontribusi dalam terjadinya ketidakseimbangan elektrolit, retensi
cairan, edema, dan anoreksia6.
- Kehilangan protein otot disertai dengan kehilangan kalium, magnesium, zinc, dan
Cu (tembaga)6
- Lambung mengurangi produksi asam lambung dan enzim. Motilitas menurun
sehingga terjadi kolonisasi bakteri usus halus yang dapat merusak mukosa dan
terjadi dekonjugasi garam empedu. Terjadi kerusakan digesti dan absorpsi6.
- Kerusakan kemampuan sel untuk bereplikasi dan regenerasi sel meningkatkan
risiko translokasi bakteri melalui mukosa saluran cerna6.
- Kerusakan fungsi sistem imun, terlebih fungsi imunitas yang dimediasi oleh
selular6. Berkurangnya respon terhadap infeksi, terlebih pada sakit yang berat dapat
meningkatkan risiko infeksi yang tidak terdiagnosis.6
- Penurunan massa eritrosit, diikuti pelepasan besi yang membutuhkan glukosa dan
asam amino untuk dikonversi menjadi ferritin6. Meningkatkan risiko hipoglikemia
dan ketidakseimbangan asam amino6. Jika konversi menjadi ferritin tidak

50
sempurna, besi yang tidak berikatan tersebut dapat menyebabkan pertumbuhan
patogen serta pembetukan radikal bebas.6
- Defisiensi mikronutrien dapat membatasi kemampuan tubuh untuk menonaktifkan
radikal bebas (yang merusak sel).6 Edema dan perubahan kulit atau rambut
merupakan tanda klinis dari kerusakan sel6.
Dalam pemberian tatalaksana, perlu memperhatikan dari berbagai perubahan yang
terjadi pada anak gizi buruk agar tidak terjadi kerusakan organ lebih lanjut yang
mengarah ke mortalitas6.

5. Manifestasi Klinis
Marasmus dan kwashiorkor merupakan hasil akhir dari tingkat keparahan penderita gizi
buruk.5
- Marasmus ditandai dengan tubuh yang sangat kurusserta berbagai tanda ikutannya.
(asupan makan tidak adekuat menyebabkan defisiensi kalori dan proteinà tubuh
sangat kurus). Tanda wasting yang berat dapat ditemukan pada paha, bokong, dan
lengan atas, serta pada tulang iga dan scapula, di mana terjadi kehilangan massa otot
yang paling besar5. Wasting didahului dengan tanda tidak meningkatnya BB
kemudian diikuti dengan penurunan BB. Turgor kulit menjadi lambat dan menjadi
lebih kendur karena jaringan subkutan dipecah untuk menghasilkan energi. 5 Bentuk
wajah biasanya tidak berubah namun dapat menjadi kurus dan keriput. Mata menjadi
cekung disebabkan oleh hilangnya lemak jaringan retroorbita.5 Atrofi kelenjar saliva
dan lakrimal menyebabkan berkurangnya air mata dan mulut yang kering.5
Kelemahan otot abdomen disertai terbentuknya gas dari overgrowth bakteri di saluran
cerna atas dapat menyebabkan distensi abdomen.5 Anak yang mengalami wasting
berat biasanya lebih rewel dan irritabel5.
- Kwashiorkor ditandai dengan edema yang diawali pada punggung kaki dan dapat
menyebar ke seluruh tubuh. (defisiensi protein seluruh jaringan menyebabkan protein
plasma menurun (albumin) sehingga terjadi terubahan tekanan sistemik à edema)5.
Perubahan kulit biasanya terjadi pada tungkai yang bengkak, bentuk berupa kulit
menggelap, disertai bercak yang retak dan mudah terkelupas sehingga rentan terpapar
infeksi5. Rambut menjadi jarang, tipis, dan mudah dicabut 5. Pada anak yang

51
berambut hitam, warna rambut dapat berubah menjadi pucat atau kemerahan 5. Pada
palpasi hepar biasanya ditemukan pembesaran. Anak dengan kwashiorkor biasanya
tempak murung, lesu, dan menolak untuk makan5.

6. Dampak Gizi Buruk


Dampak kekurangan gizi pada balita sebagai berikut5:
a. Jangka pendek: meningkatkan angka kesakitan, kematian dan disabilitas.
b. Jangka panjang: dapat berpengaruh tidak tercapainya potensi yang ada ketika dewasa;
perawakan pendek, mempengaruhi sistem kekebalan tubuh, menurunkan
kecerdasan,produktivitas kerja dan fungsi reproduksi; serta meningkatkan risiko
(pada usia dewasa)untuk mengalami obesitas, menderita diabetes, hipertensi,
penyakit jantung, keganasandan penyakit generatif lainnya.

Bagan Dampak Kekurangan Gizi pada Balita5

Lebih lanjut, bagan tersebut memberikan gambaran tentang interaksi gizi pada
janin/bayi(dipengaruhi oleh status gizi ibu), faktor infeksi dan faktor lingkungan lainnya,
serta factorgenetik5. Dampaknya adalah: i) gangguan perkembangan otak yang berakibat
gangguankapasitas kognitif dan edukasi pada jangka panjang; ii) gangguan pertumbuhan
otot dantulang, serta komposisi berat dan tinggi badan yang berakibat gangguan imunitas
dan kapasitas kerja pada jangka panjangr. Selain itu terjadi gangguan metabolisme

52
karbohidrat,lemak, protein, hormon, reseptor dan gen yang berakibat gangguan penyakit
degeneratif dan kardiovaskular pada jangka panjangr.

7. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, dan
antropometri.Anak didiagnosis gizi buruk apabilar:
- BB/TB < -3 SD atau <70% dari median (marasmus)
- Edema pada kedua punggung kaki sampaiseluruh tubuh (kwashiorkor: BB/TB >-
3SD atau
- marasmik-kwashiorkor: BB/TB <-3SD
Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakantanda klinis berupa anak tampak
sangat kurus(visible severe wasting) dan tidak mempunyaijaringan lemak bawah kulit
terutama pada keduabahu, lengan, pantat dan paha; tulang iga terlihatjelas, dengan atau
tanpa adanya edema(lihat gambar).r Anak-anak dengan BB/U < 60%belum tentugizi buruk,
karena mungkin anak tersebutpendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus.Anak seperti itu
tidak membutuhkanperawatan di rumah sakit, kecuali jikaditemukan penyakit lain yang
berat.5
1. Manifestasi klinis: anamnesis (terutama anamnesis makanan, tumbuh kembang, serta
penyakit yang pernah diderita) dan pemeriksaan fisik. Manifestasi yang umumnya timbul
adalah gagal tumbuh kembang. Di samping itu terdapat pula satu atau lebih manifestasi
klinis marasmus dan kwashiorkor lainnya5
2. Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan laboratorium darah tepiyaitu Hb memperlihatkan
anemia ringan sampai sedang. Pada pemeriksaan faal hepar, kadar albumin serum sedikit
menurun.Kadar elektrolit seperti Kalium dan Magnesium rendah, bahkan K mungkin
sangat rendah, sedangkan kadar Natrium, Zinc, dan Cuprum bisa normal atau menurun 5.
Kadar glukosa darah umumnya rendah, asam lemak bebas normal atau meninggi, nilai β-
lipoprotein dapat rendah ataupun tinggi, dan kolesterol serum rendah. Kadar asam amino
esensial plasma menurun.5 Kadar hormon insulin umumnya menurun, tetapi hormon
pertumbuhan dapat normal, rendah, maupun tinggi5. Pada biopsi hati hanya tampak
perlemakan yang ringan, jarang dijumpai kasus dengan perlemakan yang berat.5 Pada

53
pemeriksaan radiologi tulang tampak pertumbuhan tulang yang terlambat dan terdapat
osteoporosis ringan.5
3. Antropometrik: ukuran yang sering dipakai adalah berat badan, panjang / tinggi badan,
lingkar kepala, lingkar lengan atas, dan lipaan kulit. 5 Diagnosis ditegakkan dengan
adanya data antropometrik untuk perbandingan seperti BB/U (berat badan menurut
umur), TB/U (tinggi badan menurut umur), LLA/U (lingkar lengan atas menurut umur),
BB/TB (berat badan menurut tinggi badan), LLA/TB (lingkar lengan atas menurut tinggi
badan)5. Dari pemeriksaan antropometrik dapat diklasifikasikan menurut Wellcome Trust
Party, klasifikasi menurut Waterlow, klasifikasi Jelliffe, dan klasifikasi berdasarkan
WHO dan Kemenkes RI.5

8. Tatalaksana

Bagan Alur Penapisan Balita Gizi Buruk5

54
Tatalaksana gizi buruk pada pasien rawat inap terdiri dari beberapa fase sebagai berikut.

Tabel Tindakan Pelayanan Rawat Inap Balita Gizi Buruk Menurut Fasenya5

a. Fase Stabilisasi
Pada fase ini diprioritaskan penanganan kegawatdaruratan yang mengancam jiwa5:
i. Hipoglikemia.
ii. Hipotermia.
iii. Dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit.
iv. Infeksi

i. Hipoglikemia
Semua balita gizi buruk berisiko mengalami hipoglikemia (kadar gula darah < 3
mmol/Latau < 54 mg/dl), sehingga setiap balita gizi buruk diberi makan atau larutan
glukosa 10%segera setelah masuk layanan rawat inap. 5 Pemberian makan yang sering
(tiap 2 jam) sangat penting dilakukan pada anak gizi buruk.5 Jika fasilitas setempat tidak
memungkinkanuntuk memeriksa kadar gula darah, maka semua anak gizi buruk
dianggap menderitahipoglikemia dan segera ditangani sebagai berikut:5

55
- Berikan 50 ml larutan glukosa 10% (1 sendok teh munjung gula pasir dalam 50 ml
air)secara oral/melalui NGT, segera dilanjutkan dengan pemberian Formula 75 (F-
75).5
- F-75 yang pertama, atau modifikasinya, diberikan 2 jam sekali dalam 24 jam
pertama,dilanjutkan setiap 2-3 jam, siang dan malam selama minimal dua hari.5
- Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal pemberian F-75.
- Jika anak tidak sadar/letargi, berikan larutan glukosa 10% secara intravena
(bolus)sebanyak 5 ml/kg BB, atau larutan glukosa/gula pasir 50 ml dengan NGT 5.
Jika glukosaIV tidak tersedia, berikan satu sendok teh gula ditambah 1 atau 2 tetes
air di bawahlidah, dan ulangi setiap 20 menit untuk mencegah terulangnya
hipoglikemi. Pantaujangan sampai balita menelan gula tersebut terlalu cepat
sehingga memperlambatproses penyerapan5
- Hipoglikemia dan hipotermia seringkali merupakan tanda adanya infeksi berat.5
Pemantauan
Bila kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukurannya setelah 30 menit5.
- Jika kadar gula darah di bawah 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi pemberian
larutanglukosa/gula 10%.
- Jika suhu aksilar < 36°C atau bila kesadaran memburuk, mungkin
hipoglikemiadisebabkan oleh hipotermia, ulangi pengukuran kadar gula darah dan
tangani sesuaikeadaan (hipotermia dan hipoglikemia).
Pencegahan
- Beri F-75 sesegera mungkin, berikan setiap 2 jam selama 24 jam pertama. Bila
adadehidrasi, lakukan rehidrasi terlebih dahulu. Pemberian makan harus teratur
setiap2-3 jam, siang dan malam.
- Minta pengasuh untuk memperhatikan setiap kondisi balita, membantu
membermakan dan menjaga balita tetap hangat.
- Periksa adanya distensi abdominal.
ii. Hipotermia
Hipotermia (suhu aksilar kurang dari 36C) sering ditemukanpada balita gizi buruk dan
jika ditemukan bersama hipoglikemia menandakan adanya infeksi berat5.

56
Cadanganenergi anak gizi buruk sangat terbatas, sehingga tidak mampu memproduksi
panas untukmempertahankan suhu tubuh5.
Tatalaksana:
 Hangatkan tubuh balita dengan menutup seluruh tubuh, termasuk kepala,
denganpakaian dan selimut.
 Juga dapat digunakan pemanas (tidak mengarah langsung kepada balita)
ataulampu di dekatnya (40 W dengan jarak 50 cm dari tubuh balita), atau letakkan
balitalangsung pada dada atau perut ibunya (dari kulit ke kulit/metode kanguru).
Pemantauan
- Ukur suhu aksila setiap 2 jam sampai suhu meningkat menjadi 36,5°C atau lebih.
Jikadigunakan pemanas, ukur suhu tiap setengah jam. Hentikan pemanasan bila
suhumencapai 36,5°C.
- Pastikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama pada
malamhari.
- Periksa kadar gula darah bila ditemukan hipotermia
Pencegahan
- Letakkan tempat tidur di area yang hangat, di bagian bangsal yang bebas angin
danpastikan anak selalu tertutup pakaian/selimut.
- Ganti pakaian dan seprei yang basah, jaga agar anak dan tempat tidur tetap kering.
- Hindarkan anak dari suasana dingin (misalnya: sewaktu/setelah mandi,
selamapemeriksaan).
- Biarkan anak tidur dipeluk orang tuanya agar tetap hangat, terutama di malam
hari.
- Beri makan F-75/modifikasinya setiap 2 jam, sesegera mungkin, sepanjang
hari/siang-malam.
- Hati-hati bila menggunakan pemanas ruangan atau lampu pijar. Hindari
penggunaanbotol air panas dan lampu neon/TL.
iii. Dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit
Diagnosis dan derajat dehidrasi pada balita gizi buruk sulit ditegakkan secara
akurat dengantanda/gejala klinis saja5. Semua balita gizi buruk dengandiare/penurunan

57
jumlah urindianggap mengalami dehidrasi ringan. Hipovolemia dapat terjadi bersamaan
denganadanya edema.5
Tatalaksana (tergantung kondisi kegawatdaruratan yang ditemukan):
- Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi berat
dengansyok.
- Beri ReSoMalsecara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat darirehidrasi
pada anak dengan gizi baik:
- beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama;
- selanjutnya, berikan ReSoMal 5-10 ml/kgBB/jam berselang-seling dengan F-
75dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 10 jam. Jumlah yang pasti
tergantungseberapa banyak anak mau, volume tinja yang keluar dan apakah anak
muntah.
- Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam.
- Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 2 tahun: 50-100
mlsetiap buang air besar, usia ≥ 2 tahun: 100-200 ml setiap buang air besar.

Tabel Cara Membuat Larutan ReSoMal5

Pemantauan
Pantau kemajuan proses rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis setiap 30 menit
selama2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam berikutnya. Waspada terhadap
gejalakelebihan cairan, yang sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan gagal jantung
dankematian. Periksalah:
• frekuensi napas dan nadi;
• frekuensi miksi dan jumlah produksi urin;
58
• frekuensi buang air besar dan muntah.
Pencegahan
Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan seperti pada anak
dengangizi baik, kecuali digunakannya cairan ReSoMal sebagai pengganti larutan oralit
standar.ReSoMal mengandung 37,5 mmol Na, 40 mmol K, dan 3 mmol Mg per liter. Bila
larutanmineral-mix tidak tersedia, dapat dibuat larutan penggantinya.
• Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI.
• Berikan F-75 sesegera mungkin.
Berikan ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap buang air besar cair.
iv. Infeksi
Balita gizi buruk seringkali menderita berbagai jenis infeksi, namun sering
tidakditemukantanda/gejala infeksi bakteri, seperti demam5. Karena itu, semua balita gizi
buruk dianggapmenderita infeksi pada saat datang ke faskes dan segera diberi antibiotik. 5
Hipoglikemiadan hipotermia seringkali merupakan tanda infeksi berat.5
Tatalaksana
- Berikan kepada semua balita gizi buruk antibiotika dengan spektrum luas.
- Imunisasi campak jika balita berusia ≥ 6 bulan dan belum pernah diimunisasi
ataumendapatkan imunisasi campak sebelum usia 9 bulan. Imunisasi ditunda bila
balitadalam keadaan syok.
Pilihan antibiotika berspektrum luas
- Bila tanpa komplikasi, beri amoksisilin (15 mg/kg per oral setiap 8 jam) selama 5 hari.
- Pada balita gizi buruk dengan komplikasi (hipoglikemia, hipotermia,
penurunankesadaran/letargi, atau terlihat sakit) atau komplikasi lainnya, maka berikan
antibiotikaparenteral (IM/IV):
- Ampisilin (50 mg/kg IM atau IV setiap 6 jam) selama 2 hari, kemudian
dilanjutkandengan Amoksisilin oral (25-40 mg/kg setiap 8 jam selama 5 hari);
ditambah
- Gentamisin (7.5 mg/kg IM atau IV) sehari sekali selama 7 hari14
- Pemilihan jenis antibiotika juga disesuaikan dengan pola resistensi kuman setempat.

59
Catatan: metronidazole 7,5 mg/kg setiap 8 jam selama 7 hari dapat diberikan
sebagaitambahan antibiotika berspektrum luas, namun efektivitasnya belum
ditegakkandengan uji klinis.
- Berikan terapi untuk penyakit infeksi sesuai dengan standar terapi yang berlaku,seperti
malaria, meningitis, TB dan HIV.
Pemantauan
- Jika terdapat anoreksia setelah pemberian antibiotika tersebut di atas, lanjutkan
terapisampai 10 hari. Jika nafsu makan belum membaik, lakukan penilaian ulang
menyeluruhpada balita.
Terapi untuk kecacingan
- Pada balita gizi buruk dengan komplikasi, pemberian obat antihelmintik diberikan
setelahbalita memasuki Fase Rehabilitasi. Berikan Pirantel Pamoat dosis
tunggal atau Albendazoledosis tunggal atau Mebendazole 100 mg per oral dua
kali sehari selama 3 hari pada balitayang terdiagnosa menderita kecacingan (hasil
pemeriksaan tinja positif). Sedangkan padabalita yang tidak terdiagnosa
kecacingan, tetap diberikan Mebendazole pada hari ke-7setelah dirawat inap.
v. Defisiensi gizi mikro
Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral.5 Meskipun
seringditemukan anemia, zat besi tidak boleh diberikan pada fase awal, dan baru
diberikan setelah anak mempunyai nafsu makan yang baik dan mulai bertambah berat
badannya(biasanya pada minggu kedua, mulai Fase Rehabilitasi) 5. Zat besi dapat
memperparah infeksi bila diberikan terlalu dini.
Jika tenaga kesehatan menggunakan F-75 dan F-100 yang dibuat sendiri,
makasuplementasi zat gizi mikro dilakukan dengan hati-hatikarena reaksi fisiologis tidak
normal, misalnya5:
- fungsi hati dan ginjal yang abnormal;
- perubahan kemampuan menghasilkan enzim untuk proses
pengolahan/pembuanganobat, penyerapan kembali yang berlebihan obat yang
dibuang ke dalam empedu;
- penurunan lemak tubuh yang mengakibatkan penumpukan obat larut dalam
lemak.Pada balita dengan kwashiorkor, mungkin juga terjadi kerusakan saraf otak.

60
Hanya sedikit obat yang sudah diuji farmakokinetika, metabolisme atau efek
samping padapenderita gizi buruk. Karena itu pemberian obat biasa kepada balita dengan
gizi burukperlu dilakukan dengan sangat hati-hati.

Pemberian makan awal pada Fase Stabilisasi


Pemberian terapi gizi harus segera diberikan pada balita gizi buruk yang tidak
memerlukantindakan kegawat-daruratan dan pada balita gizi buruk dengan dehidrasi,
hipotermi danrenjatan sepsis.5 Pemberian terapi gizi ini dilakukan secara bertahap. Pada
Fase Stabilisasi,balita gizi buruk diberi formula terapeutik F-75, yang merupakan formula
rendah protein (pada fase ini protein tinggi dapat meningkatkan risiko kematian), rendah
laktosa,mengandung zat gizi makro dan mikro seimbang untuk memastikan kondisi stabil
padabalita5.

Tabel Resep Formula F-75 F-100 WHO5

61
Tabel Formula Modifikasi5

Tatalaksana
Hal yang penting diperhatikan pada pemberian makanan pada Fase Stabilisasi
adalah:
- Makanan rendah osmolaritas, rendah laktosa, diberikan dalam jumlah sedikit
tetapisering5.
- Makanan diberikan secara oral atau melalui NGT dengan jumlah dan
frekuensisepertidijelaskan pada Tabel 17. Pemberian makanan parenteral dihindari5.
Pemberian makandengan menggunakan NGT dilakukan jika balita menghabiskan F-
75 kurang dari 80%dari jumlah yang diberikan dalam dua kali pemberian makan.

Tabel Jumlah dan Frekuensi pemberian F-75 pada balita tanpa edema5

Pemantauan
Pemantauan dilakukan dengan mencatat setiap hari:
- Jumlah makanan yang diberikan dan dihabiskan.
- Jumlah dan frekuensi muntah.

62
- Frekuensi defekasi dan konsistensi feses.
- Berat badan
b. Fase Transisi
Fase ini ditandai oleh transisi dari kondisi stabil ke kondisi yang memenuhi syarat
untukmenjalani rawat jalan.5 Fase Transisi dimulai ketika:
- Komplikasi medis teratasi;
- Tidak ada hipoglikemia;
- Nafsu makan pulih;
- Edema berkurang.
 Transisi ke layanan rawat jalan
Tujuannya adalah untuk:
- mempersiapkan rehabilitasi gizi pada balita dengan gizi buruk agar dapat
menjalanirawat jalan dan mengonsumsi RUTF atau F-100 dalam jumlah cukup
untuk meningkatkanberat badan dan kesembuhan;
- memastikan balita tersebut untuk memperoleh kebutuhan gizi yang dibutuhkan,
yangdilakukan dengan memperkenalkan dan meningkatkan proporsi harian
pemberian RUTFatau F-100 secara bertahap.
Perlu diperhatikan bahwa lingkungan RS/tempat rawat inap berisiko
mengakibatkaninfeksi nosokomial yang dapat menyebabkan kematian5. Di samping
itu, rawat inap yangterlalu lama bisa mengganggu kehidupan keluarga, terutama
keluarga yang mempunyaibanyak anak5. Meskipun pemulihan mungkin berjalan lebih
lambat pada layanan rawatjalan, namun pilihan ini lebih baik5. Dalam proses
pemulihan, balita sebaiknya dipindahkansecepatnya ke layanan rawat jalan dan mulai
diajak bermain dengan bahan-bahan yangada untuk stimulasi tumbuh kembang5.
 Transisi ke layanan rawat inap Fase Rehabilitasi
Bila tidak tersedia layanan rawat jalan, balita dirawat dan dipulihkan sepenuhnya
dilayanan rawat inap. Bila setidaknya 80% dari jatah F-100 yang diresepkan berhasil
diminumhabis lewat mulut dan tidak ada masalah lain yang ditemukan dalam
pemantauan, balitadinilai siap melanjutkan ke fase Rehabilitasi5

.
Tatalaksana

63
Transisi dilakukan secara bertahap dari F-75 ke F-100 atau RUTF selama 2-3 hari,
sesuaidengan kondisi balita5.
- Formula F-75 diganti menjadi F-100 dalam volume yang sama seperti pemberian F-
75yang terakhir selama 2 hari. Berikan formula tumbuh kejar (F-100 atau RUTF)
yangmengandung 100 kkal/100 ml dan 2,9 g protein/100 ml.
- Pada hari ke-3:
Bila menggunakan F-100, jumlah F-100 dinaikkan sebanyak 10 ml/kali
pemberiansampai balita tidak mampu menghabiskan/tersisa sedikit. Biasanya hal ini
terjadi ketikapemberian formula mencapai 200 ml/kgBB/hari. Setelah transisi
bertahap, berikan dalamfrekuensi yang sering, dengan jumlah kalori: 150-220
kkal/kgBB/hari dan protein: 4-6 g/kgBB/hari.
Bila menggunakan RUTF (lihat Kotak 3): pemberian RUTF dimulai dengan porsi
kecil tapiteratur. Balita dibujuk untuk makan RUTF lebih sering (8 kali/hari, dan
kemudian dapatmenjadi 5-6 kali/hari).
Bila balita tidak dapat menghabiskan jumlah RUTF yang dibutuhkan pada Fase
Transisiini, maka beri tambahan F-75 sehingga mencapai kebutuhan balita/hari.
Lakukan sampaibalita mampu menghabiskan RUTF yang diberikan.
Bila balita tidak dapat menghabiskan sedikitnya setengah dari jumlah RUTF yang
dibutuhkan dalam 12 jam, maka pemberian RUTF dihentikan dan kembali
diberikanF-75. Setelah itu, pemberian RUTF dicoba lagi dalam 1-2 hari sampai balita
mampumenghabiskan jumlah RUTF yang diberikan.
- Bila balita masih mendapat ASI, maka pemberian ASI dilanjutkan, dengan
memastikanbahwa balita terlebih dahulu menghabiskan F-100 atau RUTF sesuai
jumlah yang telahditentukan.
c. Fase Rehabilitasi
Setelah Fase Transisi, balita mendapatkan perawatan lanjutan ke fase Rehabilitasi
di layananrawat jalan, atau tetap di layanan rawat inap bila tidak tersedia layanan rawat
jalan5
Tatalaksana
- Kebutuhan zat gizi pada Fase Rehabilitasi adalah:
Energi : 150-220 kkal/kgBB/hari

64
Protein : 4-6 g/kgBB/hari
- Bila menggunakan RUTF: sama seperti pemberian RUTF pada layanan rawat jalan
Pemantauan
Hal yang perlu dihindari pada fase ini adalah terjadinya gagal jantung. Perlu
diamati gejaladini gagal jantung, yaitu nadi cepat dan nafas cepat. Bila keduanya
meningkat, yaitupernafasan naik 5x/menit dan nadi naik 25x/menit) yang menetap selama
2 kali pemeriksaanmasing-masing dengan jarak 4 jam berturut-turut, maka hal ini
merupakan tanda bahayayang perlu dicari penyebabnya.5
Bila terdapat gejala dini gagal jantung, langkah-langkah berikut perlu segera
dilakukan.5
- Volume makanan dikurangi, menjadi 100 ml/kgBB/hari diberikan tiap
duajam.
- Selanjutnya volume makanan ditingkatkan perlahan-lahan sebagai berikut:
115 ml/kgBB/hari selama 24 jam berikutnya;
130 ml/kgBB/hari selama 48 jam berikutnya;
selanjutnya, tingkatkan setiap kali makan dengan 10 ml.
- Penyebab ditelusuri dan kemudian diatasi.
Penilaian kemajuan
Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badan setelah Fase Transisi
danmendapat F-100 atau RUTF5.
• Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi makan. Hitung dan
catatkenaikan berat badan setiap 3 hari dalam gram/kgBB/hari.
• Bila kenaikan berat badan:
- kurang, yaitu bila kenaikan berat badan kurang dari 5 g/kg BB/hari,
balitamembutuhkan penilaian ulang lengkap;
- sedang, yaitu bila kenaikan berat badan 5-10 g/kg BB/hari), perlu diperiksa
apakahtarget asupan terpenuhi, atau mungkin ada infeksi yang tidak
terdeteksi;
- baik, yaitu bila kenaikan berat badan lebih dari 10 g/kg BB/hari.ATAU
- kurang, yaitu bila kenaikan berat badan kurang dari 50 g/kg BB/per minggu,
makabalita membutuhkan penilaian ulang lengkap;

65
- baik, yaitu bila kenaikan berat badan ≥ 50 g/kg BB/per minggu

Kriteria pulang dari layanan rawat inap dan pindah ke layanan rawat jalan:
• Tidak ada komplikasi medis, dan
• Edema berkurang, dan
• Nafsu makan baik, dan
• Secara klinis baik.
Kriteria pindah dari layanan rawat inap ke layanan rawat jalan TIDAK berdasarkan
kriteriaantropometri tapi berdasarkan kondisi klinis.
Kriteria sembuh untuk balita gizi buruk (selama 2 minggu berturut-turut):
• LiLA ≥ 12.5cm (hijau) dan/atau
• Skor-Z BB/PB (atau BB/TB) ≥ -2 SD
• Tidak ada edema, secara klinis baik

66
BAB III

ANALISIS MASALAH

 Anak perempuan (2 tahun 11 bulan) dengan sariawan dan luka pada bibir meluas
sejak 3 bulan SMRS

HIV

(Gambar : Diagnosis Klnis Ulserasi Oral)


Pada pasien datang dengan keluhan sariawan dan luka pada bibir dan mulut
sejak 3 bulan yang lalu. Sariawan meluas hingga ke pipi kanan pasien, disertai
darah dan nanah, pasien tampak sulit membuka mulut karena nyeri. Riwayat
terbentur, tergores, sering menggaruk bibir hingga luka, gigi patah, cabut gigi,
sering makan makanan pedas dan panas disangkal. Sariawan pertama muncul
seperti bercak putih di langit-langit mulut dan bibir atas disertai nafas berbau.
Sariawan masih menetap dan semakin meluas ke bibir dan sudut mulut. Luka
mudah berdarah. Gambaran disertai benjolan seperti bunga kol, permukaan kasar,
riwayat sering terpapar matahari, riwayat keganasan dan riwayat munculnya
sariawan pasca kemoterapi disangkal. Keluhan serupa di kulit dan tangan
disangkal. Adanya didahului oleh rasa nyeri terbakar sebelum timblulnya ulkus
disangkal. Adanya riwayat penggunaan obat- obatan jangka waktu lama, riwayat
67
alergi kulit setempat, penggunaan obat pencuci mulut. Adanya nyeri sendi,
adanya kemerahan didaerah wajah, kulit terasa terbakar saat dibawah matahari
disangkal.
Selama 1 bulan pasien masih bisa makan dan minum. Pasien dibawa ke
klinik dan diberi obat Kandistatin (Nystatin). Selama satu minggu keluhan tidak
membaik, pasien mulai tidak mau makan. Pasien kemudian dibawa ke klinik
Pasar Minggu dan diberi antibiotik dan keluhan masih menetap. Pada
pemeriksaan status lokalis didapatkan pada regio oral, peri oral dekstra terdapat
ulkus berbatas tegas, berukuran plakat, bentuk tidak beraturan disertai krusta
kuning dan krusta kehitaman dengan dasar eritematosa. Pada region palatum dan
lingual didapatkan psedomembran berwarna putih berbatas tegas. Pemeriksaan
anti HIV didapakan reaktif.
Berdasarkan keluhan sariawan pada pasien dipikirkan etiologi penyakit pada
pasien ini mencakup kelainan kongenital, infeksi, trauma, keganasan dan
autoimun. Pada pasien didapatkan sariawan muncul sejak 3 bulan yang lalu,
sehingga kemungkinan kelainan bawaan disingkirkan. Pada pasien tidak
dikeluhkan adanya lenting sehingga kemungkinan penyebab seperti herpes,
pemphigus vulgaris, pemfigoid mucus membrane dan eritema multiforme dapat
disingkirkan.Riwayat terbentur, tergores, sering menggaruk bibir hingga luka, gigi
patah, cabut gigi, sering makan makanan pedas dan panas disangkal sehingga
etiologi trauma disingkirkan. Ulkus traumatika biasanya mengenai lidah, bibir,
mukosa bukal, bentuk asimetris atau simetris, didahului riwayat trauma dan luka
cepat mengering.
Riwayat adanya benjolan seperti bunga kol yang mudah berdarah, permukaan
kasar, riwayat sering terpapar matahari, riwayat keganasan dan riwayat
munculnya sariawan pasca kemoterapi disangkal sehingga penyebab keganasan
dapat disingkirkan. Pertimbangan lain usia pasien, pada keganasan karsinoma sel
skuamosa oral terjadi pada laki – laki, usia tua, sering tepapar matahari dan
daerah predileksi tersering pada lateral lidah, orofaring dan dasar mulut, dapat
terjadi di bibir dengan prevalensi yang rendah.

68
Pada keganasan yang terjadi di mulut tersering adalah karsinoma sel skuamosa
oral yang biasanya didapatkan gambaran ulserasi diikuti dengan adanya gambaran
leukoplakia, eritoplakia, gambaran bunga kolatau papil yang mudah berdarah, tepi
tidak tegas diikuti dengan krusta.
Dipikirkan penyebab lain seperti adanya infeksi sifilis, tuberculosis dan
nekrotising ulcerative gingivitis. Pada sifilis biasanya menular, ulkus tunggal, disertai
lesi maculopapular, tidak nyeri, batas tegas dan ditemukan limfadenopati ipsilateral.
Ditemukan pula lesi serupa pada tangan dan kaki.
Pada tuberculosis ulser didapatkan lesi pada lidah, gigi dan dasar mulut, lesi
tunggal, batasnya tidak tegas, dan teraba saat indurasi biasanya nyeri hebat.
Mukormikosis dapat terjadi disemua usia, predileksi umumnya di palatum, lesi
ulserasi verukosa, tunggal, lesi besar dan dalam pada pasien tidak didapatkan
gambaran verukosa.
Selanjutnya dari penyakit autoimun yaitu RAS (reccurent aphtous stomatitis),
penyakit alergi seperti sindrom erupsi obat, RAS varian paling umum biasanya
pasien datang dengan multiple ulkus 1-5, diameter < 10 mm dikelilingi oleh halo
inflamasi yang berwarna merah cerah, sembuh spontan dalam 10-14 hari. Bisanya
didahului oleh rasa nyeri terbakar 1-2 hari sebelum adanya ulkus yang sangat nyeri
dan ditutupi oleh pseudomembran yang dikelilingi oleh gambaran kemerahan
disekelilingnya.
Penyakit alergi dapat didahului riwayat penggunaan obat- obatan jangka waktu
lama, riwayat alergi kulit setempat, penggunaan obat pencuci mulut.
Pada penyakit SLE gejala sariawan disertai dengan adanya nyeri sendi, adanya
kemerahan didaerah wajah, kulit terasa terbakar saat dibawah matahari sehingga SLE
dapat disingkirkan.
Sehingga pada pasien ini dicurgai infeksi kandidosis oral yang biasanya terjadi
pada bayi atau anak dengan HIV umumnya adanya pseudomembran berwarna putih
menutup lidah, palatum mole dan pipi bagian dalam rongga mulut, lesi terpisah dan
bila psedomembran terlepas tampak gambaran basah dan merah, berwarna putih
kekuningan, dapat terkelupas. Pada pemeriksaan status lokalis diapatkan
pseudomembran berwana putih dan berbatas tegas yang khas didapatkan pada pasien

69
dengan kandidosis. Perlu dilakukan pemeriksaan sediaan KOH untuk menentukan
etiologi pasti dari stiomatitis.
Selain itu dipikirkan pula adanya nekrotising ulcerative gingivitis yang biasa
disebut infeksi gingiva oportunistik biasanya terjadi anak atau dewasa muda, pada
pasien yang mengalami defisiensi imun, awalnya pasien akan mengalami nekrosis
ulserasi di bagian gusi, lalu ke bagian periodontal, stomatitis dan berakhir pada noma
disease. Gejala klinis nekrosis dan ulserasi bagian papilla gingiva intradenal, nyeri
hebat, halitosis berat, dan demam. Sehingga pada pasien ini dipikirkan adanya
stomatitis ec kandidosis HIV dd noma disease.

 Pengobatan kandidiosis oral pada HIV


Menurut Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak Kemenkes 2014 pada
kandidiasis oral perlu diberikan nystatin 400.000 – 600.0000 unit, yaitu 5x/hari,
selama 7 hari. Bila tidak ada respon selama evaluasi hari perlu diberikan flukonazol
oral 3-6 mg/kgBB/hari, dosis tunggal selama 14 hari.

 Gizi Buruk
Berdsarkan anamnesis, sejak 1 bulan sejak muncul sariawan dan luka di mulut,
nafsu makan pasien berkurang dan mulai tidak mau makan. Pasien biasanya makan 2
kali sehari dengan menu nasi, sayur, dan lauk. Pasien juga mengonsumsi susu
formula SGM 240 cc 4 kali sehari. Riwayat minum ASI. Terdapat kontak TB dengan
ibu pasien yang sudah meninggal. Nenek pasien tidak ingat apa saja imunisasi yang
sudah diberikan, namun pasien rutin imunisasi di Posyandu hingga usia 2
tahun.Berdasarkan temuan pemeriksaan fisik, tanda vital pasien dalam batas normal,
status generalis dalam batas normal, status lokalis ditemukan erosi hingga ulkus
eritematosa disertai pus, darah, dan pseudomembran yang meluas dari region labialis
oris hingga buccalis dextra. Munculnya ulkus pada region perioral ini mengganggu
fungsi oromotor pasien sehingga intake nutrisi pasien berkurang.
Berat badan pasien saat masuk ruang rawat adalah 8,5 kg. Berdasarkan
pengukuran antropometri dan status gizi menurut kurva WHO, BB/U pasien
tergolong BB sangat kurang (Z score <-3 SD), berdasarkan TB/U pasien tergolong

70
perawakan pendek (-3 SD < Z score -2 SD), dan berdasarkan BB/TB pasien
tergolong gizi buruk (Z score < -3 SD). Sedangkan LiLA pada saat masuk ruang
rawat adalah 11 cm. Pasien berusia 2 tahun 11 bulan dengan BB/TB di bawah -3 SD,
temuan tersebut sesuai dengan kriteria gizi buruk WHO 2013 yaitu anak usia 6 – 59
bulan dengan BB/TB kurang dari -3 SD atau LiLA kurang dari 11,5 cm atau edema
bilateral yang bersifat pitting. Hasil laboratorium menunjukkan adanya anemia (Hb =
5.3 g/dL). Berdasarkan alur penapisan gizi buruk dan jenis layanan yang diperlukan,
maka pasien ini termasuk dalam balita 6 – 59 bulan yang memerlukan rawat inap.
Kesimpulan tersebut didapatkan dari pemeriksaan status gizi BB/TB < -3 SD, LiLA
< 11,5 cm, dan terdapat anemia berat sesuai klasifikasi anemia WHO. Kemudian
pasien dirawat inap dan mulai menjalani tatalaksana gizi buruk

 Pasien mengalami batuk lama (3 minggu)


Pada pasien gizi buruk, perlu dicari kemungkinan sumber infeksi karena
merupakan bagian dari prioritas tatalaksana pada fase stabilisasi. Salah satu penyakit
infeksi yang perlu ditapiskan adalah TB. Pasien memiliki riwayat batuk berdahak
sejak 3 minggu disertai demam sejak 9 hari. Pasien juga memiliki riwayat kontak TB
dengan ibu pasien yang sudah meninggal. Sesuai dengan alur diagnosis TB pada
anak, jika anak memiliki gejala klinis TB maka perlu dilakukan pemeriksaan
mikrobiologis sputum. Namun apabila spesimen tidak dapat didapatkan, maka perlu
dilakukan pemeriksaan uji Tuberkulin dan foto toraks. Kemudian dilakukan skoring
TB. Pada pasien, terdapat kontak TB positif (skor 3), hasil uji tuberkulin negatif (skor
0), gambaran foto toraks sugestif TB (skor 1), terdapat keluhan batuk >2 minggu
(skor 1), demam sejak 9 hari (skor 0), status gizi buruk (skor 2), tidak ada
limfadenopati (skor 0). Hasil skoring TB pasien adalah 7 sehingga dapat dimulai
untuk terapi OAT. Regimen OAT yang diberikan adalah 2HRZ + 4HR dengan dosis
sesuai berat badan yaitu 1 tablet KDT setiap hari. Piridoksin 10 mg/hari sebaiknya
juga diberikan atas indikasi pasien dengan malnutrisi dan HIV

71
 Pasien mengalami penurunan berat badan
Pasien mengalami penurunan berat badan sebanyak 4 kg dalam waktu 3 bulan,
berat badan tidak diikuti dengan nafsu makan yang berkurang, muntah dan
mencret disangkal. Berat badan pasien sebelum sakit 13.5 kg dan saat sakit 8 kg.
berat badan pasien turun sebanyak 5.5 kg (>40 % dalam waktu 3 bulan).Ibu
pasien meninggal karena TBC. Ayah pasien bekerja hingga larut malam. Riwayat
transfusi, penggunaan jarum suntik, pemakaian obat – obatan terlarang, konsumsi
alkohol pada orang tua pasien tidak diketahui. Pasien dilahiran secara spontan dan
diberikan ASI hingga usia 3 bulan.
Pada pasien dengan penurunan berat badan. Pasien juga disertai adanya
kandidiasis oral yang sulit sembuh, disertai infeksi tuberculosis dan sudah
dilakukan pengobatan sesuai dengan pedoman nasional Tatalaksana Klinis Infeksi
HIV dan Terapi Antiretroviral Kemenkes 2011 merupakan tanda dan gejala yang
patut dicurigai adanya infeksi HIV pada pasien.

72
Sehingga dikarenakan kecurigaan tersebut pada pasien dilakukan test anti HIV dan
didapatkan hasil reaktif. Sehingga pada pasien dapat ditegakkan bahwa pasien
menderita HIV.

 Pasien diberikan kotrimoksazol


Pada pasien didapatkan stadium klinis WHO didapatkan malnutrisi, wasting dan
stunting. Penurunan berat makan yang tidak disebabkan adanya infeksi lain yang
tidak berespon terhadap terapi standar selama 2 minggu ditandai dengan BB/TB<-
3SD. Sehingga dikategorikan sebagai HIV stadium IV. Menurut Pedoman Penerapan
Terapi HIV Pada Anak Kemenkes 2014 pada anak usia 1-5 tahun dengan stadium
klinis WHO IV dan kadar CD4 pasien 4.3% (<25%) perlu diberikan profilaksis
kotrimoksazol dengan dosis 5-10 mg/kgBB/ hari. Pada pasien BB 8 kg sehingga
diberikan 40 mg/hari.

73
 Pemilihan obat ARV pada pasien dengan TB
Menurut Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak Kemenkes 2014 pada anak < 5
tahun perlu diberikan ARV tanpa terkecuali tanpa melihat stadium klinis maupun
status imunologis pasien. Paduan lini pertama yang direkomendasikan adalah 2
Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI) + 1 Non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NNRTI).

Karena pada pasien sudah ditegakkan diagnosis TB maka segera berikan terapi TB.
Terapi TB harus dimulai lebih dahulu dan ARV mulai diberikan mulai minggu ke 2-8
setelahnya. Terapi TB lebih dahulu dimaksudkan untuk menurunkan risiko sindrom
pulih imun (immune reconstitution inflammatory syndrome, IRIS). Rifampisin
menurunkan kadar EFV sebesar 25%. Pada pasien direkomendasikan untuk diberikan
terapi AZT + 3TC + EFV.

74
Obat ARV yang diberikan adalah zidovudine (AZT atau ZDV) 4 mg/kgBB
diberikan 2 kali sehari. Pasien dengan berat 8.5 kg diberikan zidovudine sebanyak 2x
14 mg. Diberikan lamivudine (3TC) dengan dosis 4 mg/kgBB diberikan 2 kali sehari.
Pasien dengan berat 8.5 kg diberikan zidovudine sebanyak 2x 14 mg dan diberikan
Nevirapine (NVP) dengan dosis 200 mg/hari 1x1.
 Dilakukan transfusi PRC pada pasien

Sebelum memulai 10 langkah tatalaksana gizi buruk, terlebih dahulu dilakukan


penanganan komplikasi pada pasien yaitu anemia berat. Hb pasien saat masuk adalah 5.3
g/dL. Kadar Hb normal untuk usia 6 – 59 bulan adalah >11 g/dL. Perhitungan kebutuhan
transfusi PRC pada pasien mengikuti rumus [(DHb) x 4 x BB) maka diperoleh persamaan
[(10-5.3) x 4 x 8.5] = 160 ml. Pasien diberikan transfusi PRC sebanyak 2 x 80 mL.
Kemudian dilakukan pemeriksaan DPL kembali setelah 3 hari dan ditemukan peningkatan
kadar Hb menjadi 8.4 g/dL.

 Tatalaksana balita gizi buruk balita usia 6 – 59 bulan pada rawat inap
Tahap pertama dalam tatalaksana gizi buruk adalah fase stabilisasi. Pada tahap ini
prioritas tatalaksana adalah untuk menangani hipoglikemia, hipothermia, dehidrasi dan
gangguan keseimbangan elektrolit, serta infeksi. Pada pasien tidak terdapat gejala
hipoglikemia dan pada saat masuk kadar GDS = 100 mg/dl, masih dalam batas normal.
Tidak ditemukan gejala hipothermia pada pasien. Saat masuk, suhu tubuh diukur per axilla
mencapai 36,6C. Pada pasien tidak ada riwayat diare atau muntah, serta tidak ditemukan
adanya tanda dehidrasi. Pemeriksaan fisik ditemukan tanda vital dalam batas normal, mata
tidak cekung, mukosa basah, turgor normal.
Kemudian pada pasien ditemukan tanda infeksi, dari anamnesis didapatkan keluhan
demam sejak 9 hari, batuk berdahak sejak 2 minggu, terdapat sariawan dan luka yang
disertai nanah dan darah di area mulut hingga pipi, serta adanya riwayat TB pada ibu pasien
yang sudah meninggal. Berdasarkan anamnesis, pasien sudah mendapatkan imunisasi hingga
usia 2 tahun sehingga tidak diberikan imunisasi campak. Dari pemeriksaan fisik, status
lokalis pada regio labialis oris hingga buccalis dextra didapatkan erosi hingga ulkus disertai
pus, pseudomembran, darah dan krusta. Hasil laboratorium menunjukkan leukopenia,
limfositopenia. Penanganan infeksi pada pasien adalah dengan pemberian antibiotik

75
spektrum luas. Pilihan antibiotik antara lain Ampisilin (50 mg/kg IM atau IV setiap 6 jam)
selama 2 hari, kemudian dilanjutkandengan Amoksisilin oral (25-40 mg/kg setiap 8 jam
selama 5 hari); ditambah Gentamisin (7.5 mg/kg IM atau IV) sehari sekali selama 7 hari.
Pada pasien ini antibiotik yang diberikan adalah cefotaxime 3 x 250 mg IV.
Kemudian memperbaiki defisiensi mikronutrien dengan cara pemberian vitamin A,
zink, dan asam folat. Vitamin A diberikan 200.000 IU satu kali karena tidak ditemukan
tanda defisiensi vitamin A (rabun senja) atau riwayat campak dalam 3 bulan terakhir. Zink
diberikan sejumlah 1 x 20 mg. Asam folat diberikan sejumlah 1 x 5 mg pada hari pertama
dan 1 x 1 mg pada hari selanjutnya.
Pemberian makanan pada pasien ini sesuai dengan petunjuk teknis tatalaksana gizi
buruk pada balita fase stabilisasi (hari ke-1 dan ke-2), yaitu makanan rendah osmolaritas dan
rendah laktosa seperti F-75. Kebutuhan kalori pada fase stabilisasi adalah 80-100
kkal/kgBB/hari. Berat badan pasien adalah 8,5 kg sehingga didapatkan kebutuhan kalori
sejumlah 680 – 850 kkal/hari. Jika pasien harus mendapatkan asupan setiap 2 jam sekali,
maka kalori setiap pemberian adalah 57-70 kkal atau jika dikonversikan menjadi ml
didapatkan 85 - 104 ml per kali. Susu diberikan setiap 2 jam selama fase stabilisasi yaitu
hari ke-1 dan ke-2 perawatan. Pada pasien pilihan susu yang diberikan adalah Fortini® dan
diberikan setiap 3 jam. Sehingga didapatkan kalori setiap pemberian adalah 85 – 106 ml dan
setelah dikonversi menjadi mililiter didapatkan volume 127 – 158 ml. pasien mendapatkan
diet Fortini 8 x 100 ml pada hari pertama dan 8 x 130 ml pada hari kedua.
Pemilihan cara pemberian nutrisi pada pasien ini dengan mempertimbangkan fungsi
dari sistem gastrointestinal. Fungsi pencernaan pasien masih baik, tidak ada keluhan diare
atau muntah terus-menerus. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan abdomen datar,
supel, bising usus positif normal, dan tidak ada nyeri tekan pada palpasi superfisial atau
profunda. Kemudian dari penilaani fungsi oromotor pasien didapatkan ulkus dan luka yang
meluas di area perioral pasien sehingga mengganggu fungsi oromotor. Pemberian nutrisi
secara peroral pada pasien ini disingkirkan dan nutrisi diberikan secara enteral dalam jangka
pendek menggunakan pipa nasogastrik (NGT).
Pemberian makanan pada fase transisi (hari ke-3 hingga hari ke-7) sesuai dengan
kebutuhan kalori yaitu 100-150 kkal/kgBB/hari. Sehingga didapatkan hasil 850 – 1275
kkal/hari. Pada fase transisi, nutrisi diberikan setiap 3 jam dengan volume yang sama seperti

76
pada fase stabilisasi terakhir selama 2 hari. Sehingga didapatkan kalori setiap pemberian
adalah 106 – 160 kkal dengan volume setiap pemberian adalah 158 – 238 ml. Mulai hari
ketiga dan seterusnya, pasien mendapatkan diet sejumlah 8 x 160 ml Fortini.
Pemberian makanan pada fase rehabilitasi (minggu ke-2 hingga ke-6) sesuai dengan
kebutuhan kalori sejumlah 150 – 220 kkal/kgBB/hari. Sehingga didapatkan hasil 1275 –
1870 kkal/hari. Pasien mendapatkan nutrisi fase rehabilitasi sejumlah 3 x 160 ml Fortini.

 Analisis peningkatan berat badan pasien


Pada saat masuk ke ruang rawat, BB pasien adalah 8500 g (21/02/2021). Pada hari ke-
7 perawatan, BB pasien meningkat menjadi 8850 g, sehingga kenaikan BB pada minggu
pertama adalah 50 g/kgBB. Status gizi pada hari ke-6 perawatan mengalami peningkatan
menjadi gizi kurang. Pada hari ke-14, BB pasien meningkat menjadi 9390 g sehingga
kenaikan BB pada minggu kedua adalah 127 g/kgBB. Status gizi hingga hari ke-14 adalah
gizi kurang. Pada hari ke-16 perawatan, pasien mengalami perbaikan status gizi menjadi
gizi baik (BB 9645 g). Selama pemantauan BB, pasien mengalami kenaikan dan penurunan
BB, penurunan BB sebanyak 3 kali. Setiap mengalami penurunan BB, diketahui pada hari
sebelumnya pasien muntah berupa susu.
Kenaikan BB pada terapi gizi buruk digolongkan menjadi 3 yaitu kurang, sedang, dan
baik.

Kenaikan Berat Badan

Kenaikan BB kurang dari 5 g/kg BB/hari atau 50 g/kg BB/minggu,


Kurang
balita membutuhkan penilaian ulang lengkap

Bila kenaikan BB 5-10 g/kg BB/hari, perlu diperiksa apakah target


Sedang
asupan terpenuhi, atau mungkin ada infeksi yang tidak terdeteksi

Kenaikan berat badan lebih dari 10 g/kg BB/hari atau ≥ 50 g/kg


Baik
BB/minggu

Berdasarkan temuan tersebut, peningkatan BB pasien tergolong baik sehingga


kemajuan terapi gizi buruk juga baik.

77
BAB III

SIMPULAN

Pasien perempuan, usia 2 tahun 11 bulan datang dengan keluhan sariawan dan luka yang
meluas di bibir sejak 3 bulan yang lalu. Keluhan dikuti dengan batuk sejak 3 minggu, dan
demam sejak 9 hari yang lalu. Pasien mengalami penrunan BB sejak muncul sariawan. Ibu
pasien meninggal satu tahun yang lalu dikatakan karena TB. Berdasarkan hasil pemeriksaan
fisik, tanda vital dalam batas normal, dan pada status lokalis regio labialis oris hingga buccalis
dextra terdapat erosi hingga ulkus disertai pus, darah, dan pseudomembran. Berdasarkan
pemeriksaan antropometri, didapatkan gizi buruk, perawakan pendek dan BB sangat kurang.
Bersarakan pemeriksaan laboratorium, didapatkan antibody Anti-HIV reaktif. Setelah dilakukan
scoring TB, pasien Hasil pemeriksaan CD4 absolut menunjukkan terdapat penurunan jumlah
CD4. Ditegakkan diagnosis Infeksi HIV, TB Paru, dan Gizi Buruk.
Terapi OAT yang diberikan berupa KDT intensif anak 1 tablet (kemudian dinaikkan 2
tablet). Terapi ARV kemudian diberikan setelah 14 hari terapi OAT. Tatalaksana gizi buruk
rawat inap pasien dimulai dengan fase stabilisasi, dengan prioritas mengobati infeksi sehingga
pasien diberikan antibiotik parenteral, juga diberikan suplementasi zat gizi mikro. Kemudian
diberikan nutrisi enteral sesuai kebutuhan kalori tiap fase dan didapatkan hasil kenaikan BB baik
serta terdapat perbaikan status gizi menjadi giiz baik. Terapi ARV kemudian diberikan regimen
Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine.

78
DAFTAR PUSTAKA

1. Hayes, Ericka V. Human Immunodeficiency Virus andAcquired Immunodeficiency


Syndrome. dalam: Kliegman, R., Stanton, B., St. Geme, J. W., Schor, N. F., & Behrman,
R. E., editors. Nelson Textbook of Pediatrics. Phialdelphia, PA: Elsevier; 2019. h. 7156-
7230
2. Global AIDS Upadate 2019: Communities at the Centre Defending Rights Breaking
Barriers Reaching People with HIV Services. Geneva: UNAIDS; 2019.
3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/90/2019
tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana HIV. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia. 2019.
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pengobatan Antiretroviral.Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014.
5. Kemenkes RI. Panduan Tatalaksana dan Pencegahan Gizi Buruk pada Balita. Jakarta:
Kemenkes RI. 2019.
6. Ashworth A. Nutrition, Food Security, and Health. dalam Nelson Textbook of Pediatric
Volume 1, 21st Edition. Editor: Kleigman, Blum, Shah, et al. Philadelphia: Elsevier.
2020. h: 336-42

79

Anda mungkin juga menyukai