ISBN: 978-623-96759-0-5
Editor:
Wiwandari Handayani
Rukuh Setiadi
Raka Suryandaru
Tia Dianing Insani
Desain Sampul:
tujusemesta
Tata Letak:
Tia Dianing Insani
Penerbit:
Yayasan Inisiatif Perubahan Iklim dan
Lingkungan Perkotaan
Sumurboto Baru, Banyumanik
Semarang, Indonesia
ikupi.org
ii |
KATA PENGANTAR
WALIKOTA SEMARANG
Assalamualaikum Wr.Wb.
Salam damai, salam sejahtera buat kita
semuanya.
Kota metropolitan pada dewasa ini
dihadapkan dengan tantangan adaptasi akan
perubahan iklim. Tak terkecuali Kota
Semarang, karakteristik kota yang komplit di
mana memiliki dataran rendah dengan
kemiringan berkisar 0-10 dpl dan dataran tinggi dengan kemiringan
mencapai 45 derajat serta elevasi 350-450 mdpl, menyimpan beragam
potensi problem sebagai akibat perubahan iklim. Kita sudah
merasakan bagaimana pembangunan dan pemanasan global
membawa dampak banjir rob serta penurunan muka tanah 7-15 cm
per tahun di wilayah pesisir. Bahkan frasa lagu ‘Semarang Kaline
Banjir’ begitu melekat dengan kondisi Kota Semarang, mengalahkan
popularitas judul lagu itu sendiri 'Jangkrik Genggong'.
| iii
Perkotaan: Konsep, Praktik, Instrumen, dan Tata Kelola” yang
bermanfaat dalam praktik perencanaan kota yang berketahanan
iklim, khususnya bagi Kota Semarang. Pada akhirnya, dengan
adanya buku ini, Kota Semarang dengan segala tantangan iklim yang
dihadapinya dapat memetik pembelajaran untuk menjadi lebih
tangguh dan berkembang menjadi kota tangguh iklim yang
berkelanjutan.
iv |
KATA PENGANTAR
PRESIDEN INSTITUTE OF GLOBAL FOR
ENVIRONMENTAL STRATEGIES (IGES)
|v
pembahasan di buku ini diharapkan dapat meningkatkan ketelitian
metodologis untuk mereplikasi logika berpikir dan ide-ide ke dalam
praktik.
vi |
KATA PENGANTAR
KETUA ASOSIASI SEKOLAH
PERENCANAAN INDONESIA (ASPI)
| vii
dilaksanakan dalam berbagai bidang di beberapa wilayah perkotaan
di Indonesia. Yang tidak kalah penting, pengenalan instrumen
pengukuran yang vital penggunaannya dalam penelitian serta
proses tata kelola yang berimplikasi pada keberhasilan perencanaan
kota yang tahan terhadap perubahan iklim juga dibahas dalam buku
ini.
viii |
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
Walikota Semarang ................................................................ iii
Presiden Institute of Global for Environmental Strategies
(IGES) ......................................................................................... v
Ketua Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia
(ASPI) ...................................................................................... vii
PEMBUKA
BAB 1. Urgensi dan Relevansi Perencanaan Kota yang
Memiliki Ketahanan Iklim ................................................... 3
Wiwandari Handayani
KONSEP
BAB 2. Ketahanan Kota: Diskursus dan Relevansinya dalam
Perspektif Perubahan Iklim ......................................................11
Wiwandari Handayani dan Intan Hapsari Surya Putri
PRAKTIK
BAB 5. Kiprah Kota Semarang dalam Jejaring Kota yang
Memiliki Ketahanan Terhadap Perubahan Iklim
| ix
di Asia (ACCCRN – Asian Cities Climate Change
Resilience Network) .............................................................. 87
Bintang Septiarani
INSTRUMEN
BAB 11. Perhitungan Emisi Karbon dan Rencana Aksi
Mitigasi Perubahan Iklim ................................................. 229
Ratna Budiarti
x|
BAB 13. Planning Charrette: Alternatif Metode Partisipatif
dalam Proses Perencanaan ................................................ 275
Raka Suryandaru dan Devisari Tunas
TATA KELOLA
BAB 14. Tata Kelola Multilevel dalam Penanganan Perubahan
Iklim ...................................................................................... 301
Rukuh Setiadi
PENUTUP
BAB 16. Tantangan Praktis Perencanaan Kota yang Memiliki
Ketahanan Iklim ................................................................. 341
Agung Pangarso
| xi
BAB 1
URGENSI DAN RELEVANSI PERENCANAAN KOTA
YANG MEMILIKI KETAHANAN IKLIM
WIWANDARI HANDAYANI
|3
terkonversi menjadi wilayah permukiman, drainase perkotaan tidak
terkelola maksimal, kesadaran masyarakat juga masih rendah karena
masih saja ditemukan sampah dengan jumlah yang cukup besar di
sungai dan selokan.
4 | PEMBUKA
Buku ini mengelaborasi konsep, praktik, dan instrumen yang dapat
digunakan untuk mendorong proses perencanaan dan
pembangunan perkotaan yang dapat lebih mengakomodir isu-isu
perubahan iklim. Setiap bab nya ditulis oleh para ahli dan atau
praktisi yang telah terlibat langsung dalam berbagai inisiatif yang
terkait dengan penataan kota dan penanganan isu-isu perubahan
iklim. Pada tataran konsep, buku ini mengulas beberapa fondasi teori
yang terkait dengan upaya merencanakan kota yang memiliki
ketahanan iklim. Pertama adalah ulasan mengenai konsep
ketahanan, dikursus, dan relevansinya dalam perspektif perubahan
iklim. Kedua adalah konsep co-benefits dalam mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim untuk menjembatani realita adanya tuntutan
pelaksanaan pembangunan ekonomi yang dapat tetap
mengakomodir kepentingan-kepentingan pengelolaan lingkungan.
Ketiga adalah konsep low carbon city yang mulai diperkenalkan agar
kota-kota dapat menginventarisasi dan memproyeksikan emisi yang
dihasilkan untuk dapat kemudian mengambil kebijakan
pembangunan yang dapat mengurangi emisi GRK yang dihasilkan.
|5
keterlibatannya di jejaring Asian Cities Climate Change Resilience
Network (ACCCRN) tahun 2009. Di antaranya adalah pengalaman
Kota Semarang dalam berbagai proyek-poyek pilot dalam Program
ACCCRN yang kemudian berlanjut dengan 100 Resilient Cities,
program Water as Leverage, Low Carbon Cities, Program Zurich dan
Transform untuk pengelolaan banjir, serta program terkait
pengelolaan sampah perkotaan. Kehadiran mitra-mitra global dari
berbagai negara antara lain Rockefeller Foundation, Institute for Global
Environmental Strategies – Japan, dan Netherlands Enterprise Agency
(RVO) – the Netherlands telah dan terus memberikan warna dalam
upaya mendorong perencanaan kota yang memiliki ketahanan iklim,
khususnya di Kota Semarang. Sebagai sebuah isu yang kompleks
dan multidimensi, dukungan yang berkelanjutan dari berbagai pihak
sangat dibutuhkan mengingat terbatasnya kapasitas kota untuk
mengatasai berbagai isu pembangunan khususnya terkait perubahan
iklim ini.
6 | PEMBUKA
praktisi, sektor usaha, dan komunitas perkotaan untuk bergerak
bersama dalam menghadapi berbagai gangguan akibat perubahan
iklim yang timbul. Pada bagian ke empat buku ini terdapat dua bab
terkait dengan aspek tata kelola dalam penanganan perubahan iklim,
yaitu bab yang menjelaskan konsep dan urgensi multilevel governance
dalam penanganan isu perubahan iklim, dan praktik advokasi
kebijakan perubahan iklim yang dilakukan oleh Kota Semarang.
|7
BAB 2
KETAHANAN KOTA: DISKURSUS DAN
RELEVANSINYA DALAM PERSPEKTIF
PERUBAHAN IKLIM
WIWANDARI HANDAYANI DAN INTAN HAPSARI SURYA PUTRI
Pendahuluan
Diskursus ketahanan (resilience) terus berkembang di berbagai
disiplin ilmu. Dalam konteks perencanaan kota, istilah ketahanan
identik dengan kondisi yang dialami sebagai respon atas terjadinya
gangguan terhadap lingkungan. Gangguan ini dapat diiindikasikan
dari kejadian bencana, termasuk di dalamnya bencana yang terjadi
sebagai dampak dari perubahan iklim. Konsep ketahanan ini
menjadi semakin relevan dan perlu diakomodasi dengan baik dalam
dokumen-dokumen perencanaan kota seiring dengan jumlah
kejadian bencana khususnya bencana yang terjadi karena perubahan
iklim cenderung terus bertambah setiap tahunnya.
| 11
Urbanisasi (proses pertumbuhan dan perkembangan kota) adalah
fenomena yang sangat erat kaitanya dengan bencana dan isu
perubahan iklim perkotaan. United Nation (2018) menyatakan bahwa
68% penduduk dunia akan tinggal di perkotaan pada tahun 2050. Di
Indonesia, jumlah penduduk perkotaan mencapai 150 juta jiwa (BPS,
2019), dan 70% di antaranya terkonsentrasi hanya di Pulau Jawa yang
luasnya hanya 6,7% dari total luas daratan di Indonesia (Handayani
& Waskitaningsih, 2019). Ketidakseimbangan distribusi penduduk
yang terjadi akibat dari tidak meratanya persebaran berbagai
aktifitas pembangunan berimplikasi secara nyata pada munculnya
berbagai dampak perubahan iklim di perkotaan. Penduduk yang
cenderung terkonsentrasi dalam jumlah yang besar melebihi daya
tampung dan daya dukungnya (carrying capacity), mengakibatkan
munculnya berbagai tekanan (disturbance) terhadap lingkungan.
12 | KONSEP
langsung terkait dengan fenomena perubahan iklim. Data
Intergovernmental Panel on Climate Change - IPCC (2014) menunjukkan
bahwa 60% emisi transportasi didominasi oleh penggunaan
kendaraan bermotor. Dengan demikian, emisi kendaraan bermotor
merupakan salah satu sumber pencemaran udara khususnya di kota-
kota besar. Dalam kerangka inilah kemudian berkembang diskursus
pentingya konsep ketahahanan dalam konteks perkotaan. Perencana
kota dan berbagai pemangku kepentingan yang terlibat dalam
prosesnya perlu memiliki pemahaman yang cukup mengenai
dampak perubahan iklim dan konsep ketahanan sehingga produk
perencanaan yang dihasilkan dapat lebih mengakomodir
pembangunan berkelanjutan.
| 13
Davoudi et al. (2012), mengacu pada teori ketahanan yang
dikembangkan oleh Holling (1973), mengembangkan dua konsepsi
dalam memahami ketahanan, yaitu engineering resilience (ketahanan
teknis) dan socio-ecological resilience (ketahanan sosio-ekologi).
Engineering resilience adalah suatu kondisi ketahanan yang terfokus
hanya kepada satu kondisi keseimbangan baru (equilibrium) yang
bersifat statis sebagai respon atas terjadinya satu gangguan.
Sementara socio-ecological resilience memahami keseimbangan baru
yang terjadi bersifat dinamis sebagai respon terhadap gangguan
yang terjadi secara kompleks pada suatu sistem sosio-ekologi.
14 | KONSEP
mengenai sejarah istilah ketahanan dalam artikelnya ‘Resilience and
disaster risk reduction: an etymological journey’. Gambar 1 secara
ringkas menjelaskan beberapa milestone perkembangan diskursus
ketahanan dari awal hingga sekarang.
| 15
Konsep ketahanan semakin banyak dikenal semenjak istilah
ketahanan secara lebih mendalam dikemukakan oleh Holling (1973)
dalam artikelnya yang menjelaskan engineering resilience (ketahanan
teknis) dan socio-ecological resilience (ketahanan sosio-ekologi). Tahun
1973 menjadi tahun awal di mana istilah ketahanan dipertimbangkan
dalam konteks lingkungan secara lebih luas. Terminologi tentang
ketahanan kemudian telah berpengaruh dalam berbagai disiplin
ilmu sosial, studi bencana, geografi, ekonomi dan ilmu lingkungan.
Semenjak itu, konsep ketahanan terus dikembangkan dan dikaitkan
ke dalam sistem sosio-ekologi di berbagai disiplin ilmu dan
dibicarakan dalam banyak pertemuan ilmiah. Secara konsep,
ketahanan dalam sistem ekologi adalah tentang bagaimana suatu
sistem dapat menjaga lingkungan sekitarnya, sedangkan dalam
sistem sosial konsep ketahanan lebih kompleks karena menyangkut
beberapa hal seperti budaya dan karakter sosial.
16 | KONSEP
Konsep ketahanan masih terus mengemuka terutama dalam
kaitannya dengan ilmu keberlanjutan (sustainaibility) dan adaptasi
perubahan iklim. Tahun 2010 merupakan salah satu tonggak di mana
konsep ketahanan semakin dipertimbangkan dalam konteks
perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut juga
diperkuat dengan kondisi di mana terdapat pergeseran penekanan
dari tren yang berfokus pada kerentanan menuju ke ketahanan. Pada
tahun yang sama juga, kerangka ketahanan mulai dibentuk dan
diperkenalkan oleh Africa Climate Change Resilience Alliance (ACCRA)
dan Asian Cities Climate Resilience Network (ACCCRN). Semenjak itu,
beberapa inisiasi lainnya telah dibentuk dari berbagai institusi global
yang terkait dengan ketahanan, adaptasi perubahan iklim dan
pembangunan berkelanjutan. Beberapa di antaranya adalah 100
Resilient Cities (100RC), Zurich Flood Resilience Alliance, Global
Resilience Partnership (GRP), dan Green Climate Fund (GCF). Hal
tersebut menunjukkan bahwa konsep ketahanan mulai semakin
diperhatikan lebih serius oleh berbagai pihak. Tidak hanya itu,
kerangka ketahanan dan adaptasi juga terus mengalami
perkembangan model seperti contoh City Resilience Framework (CRF)
dan City Resilience Index (CRI) yang dikembangkan oleh ARUP serta
Resilience, Adaptation Pathways and Transformation Assessment
(RAPTA) yang dikembangkan oleh CSIRO.
| 17
dengan biaya tinggi dan kadang-kadang tidak mungkin terjadi
(Holling, 1973).
18 | KONSEP
Gunderson & Holling (2002) mendeskripsikan ketahanan sebagai
kapasitas sistem dalam mengalami gangguan dengan tetap
mempertahankan fungsi dan kontrolnya. Walker et al. (2004) melihat
konsep ketahanan sebagai kapasitas suatu sistem untuk menyerap
gangguan dan mengatur kembali saat mengalami perubahan
sehingga sistem dapat tetap mempertahankan fungsi, struktur, dan
identitasnya. Dari beberapa definisi tentang ketahanan tersebut, hal
yang paling ditekankan ialah konsep ketahanan menitikberatkan
pada pengurangan kerusakan jangka pendek dan untuk
membangun kapasitas adaptasi secara jangka panjang. Sejalan
dengan definisi tersebut, maka konsep ketahanan secara lebih
spesifik berkembang dari berbagai perspektif seperti contoh dalam
perspektif ekonomi, sosial dan bencana. Beberapa pengertian
ketahanan dari berbagai perspektif tersebut secara lebih rinci
dijelaskan pada Tabel 1.
Jenis
Definisi
Ketahanan
Ketahanan teknik berfokus pada efisiensi, keteguhan,
dan prediktabilitas. Konsep ini menggambarkan sifat
fisik dari ketahanan dalam menghadapi dampak
guncangan dan pemulihan ke kondisi semula. Pada
Ketahanan konsep ketahanan yang dimaksud lebih melihat pada
Teknis hard system, dengan kata lain ketahanan teknik hanya
bekerja secara liner yaitu hanya menyelesaikan masalah
saat itu saja (short term) namun tidak menyelesaikan
permasalahan pada jangka panjang. Peningkatan
ketahanan teknik salah satunya melalui program
peningkatan infrastruktur (Holling, 1973).
Ketahanan ekologis mengacu pada kemampuan suatu
ekosistem untuk mempertahankan fungsi dan proses
utama dalam menghadapi tekanan atau tekanan,
dengan melawan dan kemudian beradaptasi dengan
Ketahanan
perubahan. Pada dasarnya sistem memiliki
Ekologi
kemampuan untuk dapat kembali pada kondisi normal
tanpa banyak merubah fungsi aslinya, sedangkan
ketahanan multi dominan lebih menekankan pada
kemampuan ekosistem secara konsisten
memperbaharui, menstrukturisasi dan terus
| 19
Jenis
Definisi
Ketahanan
mengembangkan fungsinya untuk dapat bertahan dan
meningkatkan kecepatan pemulihan dan guncangan
(Holling, 1973).
Ketahanan sosial sebagai kemampuan kelompok atau
komunitas untuk mengatasi tekanan dan gangguan
eksternal sebagai akibat dari perubahan sosial, politik
dan lingkungan (Adger, 2000).
Ketahanan
Ketahanan sosial juga menyangkut entitas sosial baik
Sosial
individu, organisasi atau komunitas dan kemampuan
atau kapasitas mereka untuk mentolerir, menyerap,
mengatasi dan menyesuaikan diri dengan berbagai
jenis ancaman lingkungan dan sosial (Keck &
Sakdapolrak, 2013).
Ketahanan ekonomi didefinisikan sebagai kemampuan
suatu sistem perekonomian untuk meminimalkan
kerugian akibat bencana. Konsep ketahanan ekonomi
Ketahanan regional mulai muncul pada pasca krisis ekonomi dan
Ekonomi erat kaitannya dengan kebijakan regional, manajemen,
perencanaan. Ketahanan ekonomi ini kemudian
dibedakan menjadi dua yaitu instantaneous resilience
dan dynamic resilience (Hallegate, 2014; Peng et al., 2017).
Ketahanan terhadap bencana didefinisikan sebagai
kemampuan komunitas atau masyarakat yang terpapar
bahaya untuk melawan, menyerap, menampung, dan
pulih dari bahaya dengan cepat dan efisien dan
Ketahanan ketahanan bangunan semakin diadopsi sebagai tujuan
Bencana akhir pengurangan risiko bencana (UNISDR, 2009).
Ketahanan terhadap bencana mampu mendorong
adaptasi terhadap bahaya baru dan yang muncul,
untuk mengurangi risiko keterpaparan, dan untuk
dapat pulih dari bencana secara efektif (Forino et al.,
2017).
Ketahanan kota adalah kota dengan kapasitas individu,
masyarakat, institusi, bisnis dan sistem dari sebuah kota
yang dapat beratahan, beradaptasi, dan tumbuh,
terhadap tekanan yang terus menerus dan guncangan
besar yang dihadapi (ARUP, 2014).
Ketahanan
Kota Ketahanan perkotaan berkaitan dengan kemampuan
sistem perkotaan dalam semua dinamikanya untuk
mendukung dalam menghadapi bahaya atau tekanan,
penyediaan dan aksesibilitas layanan dan fungsi yang
penting bagi kesejahteraan semua penduduk (Dickson
et al., 2012).
20 | KONSEP
Kerangka Konseptual dan Karakteristik Ketahanan
Selama beberapa dekade terakhir, konsep ketahanan telah
berkembang dari konstruksi teoretis ke arah praktis antar-disiplin
ilmu yang semakin beragam. Proses perkembangan ini tentunya
dipengaruhi oleh para ahli yang berusaha untuk
mengoperasionalisasikan konsep sistem ketahanan yang kompleks.
Davoudi et al. (2012) dan Folke (2006) mengintepretasikan ketahanan
ke dalam dua definisi yaitu engineering resilience dan socio-ecological
resilience. Engineering resilience dicirikan dengan adanya kestabilan
equilibrium tunggal dan bersifat konstan, sedangkan Socio-ecological
Resilience ditandai dengan adanya interaksi yang dinamis lintas skala
dan memiliki kemampuan beradaptasi dan bertransformasi. White &
O’Hare (2014) mencoba untuk membedakan konsep ketahanan
menjadi ketahanan equilibrist dan ketahanan evolusioner, di mana
gagasan equilibrist lebih mengedepankan pada pendekatan yang
lebih konservatif dan stabil, sedangkan ketahanan evolusioner lebih
mendorong adanya sistem yang fleksibel dan adaptif. Pada
dasarnya, ketahanan evolusioner yang dimaksudkan bertujuan untuk
membentuk sistem yang memiliki normalitas baru yang proaktif
serta berfokus pada pencapaian jangka menengah hingga panjang.
| 21
sama dengan kondisi awal suatu sistem. Aksi yang dilakukan dalam
tahapan ini pada umumnya merupakan bentuk dari engineering
resilience yang bersifat fisik sebagai contoh pembangunan tanggul
setelah terjadi banjir.
Fase selanjutnya ialah adaptasi yang jika dilihat dari segi waktu
merupakan upaya penyelesaian dalam jangka waktu menengah
hingga jangka panjang. Hal ini bergantung pada kondisi yang
dihadapi sistem aksi yang telah dilakukan. Pada fase adaptasi, upaya
ketahanan telah mulai menaikkan batas ambang yang dimiliki oleh
sistem. Adaptasi dipahami sebagai proses penyesuaian pada
perubahan-perubahan yang telah diprediksi atau terjadi. Proses
adaptasi sering kali tumpang tindih dengan proses transformatif
dalam jangka waktu yang lama. Fase transformasi merupakan
tahapan yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Proses ini
melibatkan banyak perubahan baik dari sistem sosial, pemerintahan
22 | KONSEP
dan masyarakat yang terjadi secara lambat. Ilustrasi ball-in-basin
dalam fase transformasi menunjukkan bola yang berpindah ke
dalam cekungan lain. Hal ini merupakan gambaran upaya ketahanan
yang dilakukan telah merubah sistem lama menjadi sebuah sistem
yang bertransformasi, berubah menjadi sesuatu yang berbeda.
| 23
dan memanfaatkan peluang untuk dapat lebih berkembang dan
beradaptasi.
24 | KONSEP
dapat mewujudkan konsep ketahanan yang evolusioner,
tranformatif, dan proaktif, secara riil diperlukan adanya orientasi
baru dalam penyusunan rencana pembangunan dan tata ruang.
Dengan demikian, adanya integrasi rencana pembangunan akan
lebih banyak inisiatif yang dapat menciptakan suatu kondisi normal
baru yang lebih transformatif dan berorientasi jangka panjang.
| 25
Siklus panarchy meliputi empat fase yang menjelaskan tiap kondisi
sistem saat menghadapi guncangan hingga kemudian sistem
tersebut dapat beradaptasi dengan baik. Gunderson & Holling (2002)
menjelaskan bahwa siklus tersebut melibatkan perubahan dalam tiga
variabel utama: ketahanan, potensi berupa akumulasi sumber daya,
dan keterhubungan. Gambar 3 mengilustrasikan siklus panarchy
dengan sumbu utama keterhubungan (X) dan potensi/modal (Y).
26 | KONSEP
fase konservasi/conservation phase (K), fase pelepasan/creative
destruction phase (Ω), dan fase reorganisasi/reorganisation phase (α).
| 27
sedang menghadapi gangguan dan berada pada kondisi
terlemahnya.
28 | KONSEP
mitigasi perubahan iklim. Mitigasi perubahan iklim identik dengan
berbagai upaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi emisi yang
bersumber dari gas antropogenik dengan kontributor terbesar yaitu
gas CO2 dari kendaraan bermotor. Terkait dengan hal ini, gangguan
yang timbul di wilayah perkotaan terkait perubahan iklim tidak
hanya terbatas pada bencana perubahan iklim namun juga gangguan
lingkungan yang terjadi secara massif sebagai akibat dari emisi gas
rumah kaca khususnya yang berasal dari gas buang kendaraan
bermotor.
| 29
keterkaitan empat aspek tersebut sebagai adaptasi perubahan iklim,
pengurangan risiko bencana, ilmu keberlanjutan, serta berbagai
bahaya dan risiko lainnya. Ketahanan adalah inti/core yang memiliki
posisi sentral yang dapat mengakomodir nilai penting dari setiap
aspek/bidang untuk memastikan bahwa suatu sistem dapat
bertahan atau bahkan bertransformasi menjadi suatu sistem baru
yang lebih baik.
30 | KONSEP
Penutup
Kota cenderung terus tumbuh dan berkembang, banyak di antaranya
yang melebihi daya dukung dan daya tampungnya, mempercepat
dan memperparah berbagai dampak perubahan iklim. Seiring
dengan hal tersebut, setidaknya terdapat tiga hal pokok yang perlu
menjadi perhatian penting: 1) Kota harus memiliki ketahanan yang
cukup untuk menghadapai berbagai gangguan (guncangan dan
tekanan) yang terjadi sebagai akibat dari perubahan iklim, 2)
Berbagai upaya untuk mencapai ketahanan harus seiring dan
terpadu dengan proses pembangunan kota yang mengedepankan
prinsip-prinsip keberlanjutan, dan 3) Pertumbuhan dan
perkembangan kota harus dapat dikendalikan agar kompleksitas
gangguan yang mucul dapat berkurang.
Daftar Pustaka
Abdrabo, M.A. & A.Hassaan, M. (2015), “An integrated framework
for urban resilience to climate change – Case study: Sea level
rise impacts on the Nile Delta coastal urban areas”, Urban
Climate, Vol. 14 No. 4, pp. 554–565.
Adger, W.N. (2000), “Social and ecological resilience: are they
related?”, Progress in Human Geography, Vol. 24 No. 3, pp.
347–364.
Alexander, D.E. (2013), “Resilience and disaster risk reduction: An
etymological journey”, Natural Hazards and Earth System
Sciences, Vol. 13 No. 11, pp. 2707–2716.
ARUP. (2014), City Resilience Framework, diambil dari
https://www.rockefellerfoundation.org/wp-
content/uploads/City-Resilience-Framework-2015.pdf.
BNPB. (2020), “Data dan informasi bencana Indonesia”, BNPB,
tersedia di https://dibi.bnpb.go.id/.
BPS. (2019), Statistik Indonesia 2019, Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Chelleri, L., Kunath, A., Guido, M., Marta, O., James, J.W. & Lilla, Y.
(2012), Multidisciplinary Perspectives on Urban Resilience: A
Workshop Report, tersedia di
https://www.ufz.de/export/data/1/44827_Multidisciplinary
perspectives on Urban Resilience_small.pdf#page=61.
Davoudi, S., Shaw, K., Haider, L.J., Quinlan, A.E., Peterson, G.D.,
Wilkinson, C., Fünfgeld, H., McEvoy, D. & Porter, L. (2012),
| 31
“Resilience: A bridging concept or a dead end? ‘Reframing’
resilience: Challenges for planning theory and practice
interacting traps: Resilience assessment of a pasture
management system in Northern Afghanistan Urban
Resilience: What Does it Mean in Planni”, Planning Theory and
Practice Practice, Vol. 13 No. 2, pp. 299–333.
Dickson, E., Baker, J.L., Hoornweg, D. & Asmita, T. (2012), Urban
Risk Assessments, World Bank, tersedia di
https://doi.org/10.1596/978-0-8213-8962-1.
Folke, C. (2006), “Resilience: The emergence of a perspective for
social–ecological systems analyses”, Global Environmental
Change, Vol. 16 No. 3, pp. 253–267.
Folke, C., Colding, J. & Berkes, F. (2003), “Synthesis: building
resilience and adaptive capacity in social–ecological systems”,
in Berkes, F., Colding, J. and Folke, C. (Eds.), Navigating
Social-Ecological Systems Building Resilience for Complexity
and Change, Cambridge University Press, Cambridge, UK, pp.
352–387.
Forino, G., von Meding, J., Brewer, G. & van Niekerk, D. (2017),
“Climate change adaptation and disaster risk reduction
integration: Strategies, policies, and plans in three Australian
local governments”, International Journal of Disaster Risk
Reduction, Vol. 24 No. July 2016, pp. 100–108.
Gimenez, R., Labaka, L. & Hernantes, J. (2017), “A maturity model
for the involvement of stakeholders in the city resilience
building process”, Technological Forecasting and Social
Change, Vol. 121, pp. 7–16.
Gunderson, L.H. (2000), “Ecological Resilience—In Theory and
Application”, Annual Review of Ecology and Systematics, Vol.
31 No. 1, pp. 425–439.
Gunderson, L.H. & Holling, C.S. (2002), Panarchy: Understanding
Transformation in Human and Natural Systems, Vol 7., Island
Press.
Hallegatte, S. (2014), Economic Resilience: Definition and
Measurement, tersedia di https://doi.org/10.1016/b978-0-08-
033902-3.50013-x.
Handayani, W., Fisher, M.R., Rudiarto, I., Setyono, J.S. & Foley, D.
(2019), “Operationalizing resilience: A content analysis of flood
disaster planning in two coastal cities in Central Java,
Indonesia”, International Journal of Disaster Risk Reduction,
Vol. 35, p. 101073.
Handayani, W. & Waskitaningsih, N. (2019), Kependudukan Dalam
Perencanaan Wilayah Dan Kota, Teknosain, Yogyakarta.
Hegger, D.L.T., Driessen, P.P.J., Wiering, M., van Rijswick,
32 | KONSEP
H.F.M.W., Kundzewicz, Z.W., Matczak, P., Crabbé, A.,
Raadgever, G.T., Bakker, M.H.N., Priest, S.J., Larrue, C. & Ek,
K. (2016), “Toward more flood resilience: Is a diversification of
flood risk management strategies the way forward?”, Ecology
and Society, Vol. 21 No. 4, tersedia di
https://doi.org/10.5751/ES-08854-210452.
Holling, C.S. (1973), “Resilience and stability of ecological systems”,
Annual Review of Ecology and Systematics, Vol. 4 No. 1, pp. 1–
23.
IPCC. (2014), Transport, Climate Change 2014: Mitigation of
Climate Change. Contribution of Working Group III to the
Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change, tersedia di https://doi.org/10.1007/978-3-
319-12457-5_15.
Jabareen, Y. (2013), “Planning the resilient city: Concepts and
strategies for coping with climate change and environmental
risk”, Cities, Vol. 31, pp. 220–229.
Keck, M. & Sakdapolrak, P. (2013), “What is social resilience?
Lessons learned and ways forward”, Erdkunde, Vol. 67 No. 1,
pp. 5–19.
Lance, H., Gunderson, L.H. & Holling, C.S. (2002), “Panarchy:
Understanding transformations in human and natural
systems”, Panarchy: Understanding Transformations in
Human and Natural System, pp. 3–24.
Marfai, M.A. (2014), “Impact of sea level rise to coastal ecology: A
case study on the Northern part of Java Island, Indonesia”,
Quaestiones Geographicae, Vol. 33 No. 1, pp. 107–114.
Peng, C., Yuan, M., Gu, C., Peng, Z. & Ming, T. (2017), “A review of
the theory and practice of regional resilience”, Sustainable
Cities and Society, Vol. 29, pp. 86–96.
Sejati, A.W., Buchori, I. & Rudiarto, I. (2019), “The spatio-temporal
trends of urban growth and surface urban heat islands over
two decades in the Semarang Metropolitan Region”,
Sustainable Cities and Society, Vol. 46 No. July 2018, p. 101432.
Shaw, R., Atta-ur-Rahman, Surjan, A. & Parvin, G.A. (2016), Urban
Disasters and Resilience in Asia, Elsevier Inc., tersedia di
https://doi.org/10.1016/C2014-0-01952-1.
UNISDR. (2009), “UNISDR terminology on disaster risk reduction”,
International Strategy for Disaster Reduction, tersedia di
https://doi.org/10.1021/cen-v064n005.p003.
United Nation. (2018), “World urbanization prospects”,
Demographic Research, p. Vol 12.
Walker, B., Holling, C.S., Carpenter, S.R. & Kinzig, A. (2004),
“Resilience, adaptability and transformability in social –
| 33
ecological systems”, Ecology and Society, Vol. 9 No. 2, p. 5.
White, I. & O’Hare, P. (2014), “From rhetoric to reality: Which
resilience, why resilience, and whose resilience in spatial
planning?”, Environment and Planning C: Government and
Policy, Vol. 32 No. 5, pp. 934–950.
34 | KONSEP
BAB 3
Pendahuluan
Co-benefits menjadi sebuah istilah baru yang menjadi popular ketika
wacana mengenai pentingnya respon terhadap perubahan iklim
mulai diwujudkan dalam praktik nyata di lapangan. Pernyataan
yang selalu digarisbawahi oleh berbagai lembaga dan pakar
perubahan iklim yaitu bahwa kegiatan mitigasi perubahan iklim
tidak hanya memberikan manfaat pada penurunan emisi Gas Rumah
Kaca (GRK), tetapi juga menghasilkan co-benefits. Begitu pula dengan
kegiatan adaptasi yang tidak hanya menghasilkan sistem atau
masyarakat yang semakin memiliki ketahanan, tetapi juga co-benefits
pada sistem yang lebih luas. Jadi apa yang dimaksud dengan co-
benefits? Di antara berbagai definisi, co-benefits secara umum dapat
dikatakan sebagai manfaat tidak langsung atau manfaat sekunder
yang dihasilkan dari sebuah kebijakan, program atau kegiatan yang
telah direncanakan. Bab ini bertujuan membahas “co-benefits” dari
suatu kebijakan, program, dan aksi adaptasi serta mitigasi
perubahan iklim yang seringkali juga beririsan dengan intervensi
penguatan ketahanan dalam konteks pembangunan perkotaan.
Definisi Co-benefits
Co-benefits memiliki berbagai istilah yang biasa digunakan dalam
berbagai literatur. Floater et al. (2016) mengkompilasi lebih dari dua
puluh istilah yang terasosiasi dengan co-benefits, beberapa di
antaranya yaitu win-win situations, life-cycle benefits, co-control, side
benefits, triple-win scenarios, dan consequential benefits. Namun, di
| 35
antara berbagai istilah tersebut co-benefits tetap menjadi satu yang
paling populer dan relatif praktis. Di samping popularitas dan
kepraktisannya, sejumlah pihak mendefinisikan co-benefits melalui
sudut pandang dan konteks yang berbeda-beda.
United Nations Institute of Advanced Studies (UN IAS) dan The Asian
Co-benefits Partnership (ACP) dalam Floater et al. (2016) memberikan
36 | KONSEP
konsep yang sedikit berbeda. UN IAS menyebutkan bahwa co-
benefits merujuk pada pengembangan dan penerapan kebijakan
beserta strategi yang secara simultan berkontribusi dalam mengatasi
perubahan iklim dan sekaligus turut menyelesaikan permasalahan
lingkungan dan masalah pembangunan lainnya. Sementara itu, ACP
(2014) menyatakan bahwa co-benefits merepresentasikan manfaat
sekunder dari suatu tujuan pembangunan yang terintegrasi ke dalam
proses pembuatan kebijakan. Apabila kita cermati, keduanya
mengedepankan bahwa co-benefits adalah hasil dari adanya
kebijakan yang integratif, mengandung lebih dari satu tujuan
(multiple goals), dan komprehensif. Sampai di sini mulai terlihat
perbedaan cara pandang dari sejumlah lembaga yang mencoba
mendefinisikan co-benefits. Sementara US EPA dan OECD cenderung
melihat co-benefits sebagai manfaat yang tidak disengaja (unintended);
UN IAS dan ACP melihatnya sebagai manfaat yang telah
direncanakan (intended), sebagai hasil kebijakan yang integratif dan
komprehensif.
| 37
tujuan. Dalam kategori ini, co-benefits dapat dilihat sebagai manfaat
sekunder atau manfaat yang dihasilkan di luar tujuan utama dari
suatu kebijakan. Definisi ini menggolongkan manfaat yang sudah
ada sebelumnya dan/atau yang muncul tanpa kesengajaan tidak
tergolong sebagai co-benefits. Intinya co-benefits harus dengan sengaja
diartikulasikan sejak awal perumusan tujuan program atau kegiatan.
Sebagai contoh pembanguan danau buatan sebagai pengendali
banjir dan ruang sosial untuk masyarakat. Maka dalam konteks ini
pengendali banjir adalah manfaat utama dari pembangunan danau,
sedangkan terciptanya ruang sosial bagi masyarakat adalah manfaat
sekunder. Kedua, definisi berbasis motivasi. Co-benefits didefinisikan
sebagai manfaat yang muncul dari tindakan yang disengaja. Maka
ketika pengendalian banjir dirancang secara alami dengan tidak
membangun danau buatan, tetapi selanjutnya muncul ruang sosial
aktivitas masyarakat disana dengan sendirinya maka kemunculan
ruang sosial tidak bisa dianggap sebagai co-benefits karena tidak ada
motivasi sebelumnya. Ketiga, definisi berbasis eksternalitas. Co-
benefit didefinisikan sebagai eksternalitas positif yang diperoleh oleh
berbagai pihak di luar target suatu program atau kegiatan. Dengan
kata lain, co-benefits menjadi manfaat yang lebih luas atau berbentuk
efek limpahan yang positif dari tujuan utama.
38 | KONSEP
istilah co-benefits (Karim, 2019; Mayrhofer & Gupta, 2016). Dari sini
terlihat bahwa definisi IPCC juga inklusif, di mana co-benefits
mencakup manfaat yang dihasilkan dari berbagai penerapan
kebijakan, baik yang secara khusus ditujukan untuk pengelolaan
risiko iklim dan kebijakan non-iklim.
| 39
Mengapa Co-benefits?
Memahami co-benefits menjadi hal yang strategis terutama untuk
mendorong kebijakan-kebijakan yang kurang populer dan relatif
kontroversial seperti perubahan iklim. Bagi sejumlah pihak,
terutama yang anti terhadap agenda perubahan iklim, perubahan
iklim dipandang bukan sebagai kebijakan yang perlu mendapat
prioritas dibandingkan dengan agenda pembangunan yang lain
karena perubahan iklim terlalu berorientasi jangka panjang sehingga
ancamannya dianggap ‘tidak nyata’. Pandangan ‘development first’
juga banyak ditemui, terutama di negara-negara berkembang
(Mayrhofer & Gupta, 2016).
40 | KONSEP
Di luar peran strategisnya untuk mengubah konstelasi pengambilan
keputusan, co-benefits juga memiliki peran strategis bagi pencapaian
target pengurangan emisi. Floater et al. (2016) menyebutkan bahwa
secara empiris banyak kebijakan-kebijakan pembangunan yang
ditujukan untuk mendorong inovasi, memberikan manfaat ekonomi
dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat dapat berpotensi
menghasilkan co-benefits berupa pengurangan emisi gas rumah kaca.
Mengakumulasikan co-benefits akan berdampak positif bagi
penanganan perubahan iklim, sekaligus mengurangi resistensi atau
penolakan daripada ketika kebijakan penanganan perubahan iklim
yang ditempatkan sebagai tujuan utama kebijakan pembangunan.
Area Co-benefits
Upaya untuk menjelaskan area-area spesifik, di mana saja co-benefits
sering dijumpai adalah tugas yang tidak sulit. Mengapa? Karena co-
benefits ada di mana-mana. Terlebih jika kita mengadaposi definisi co-
benefits yang bersifat akomodatif (mencakup co-benefits yang
terencana dan yang tidak disengaja; co-benefits iklim dan non-
iklim/pembangunan). Kajian literatur sistematis yang dilakukan
oleh Mayrhofer & Gupta (2016) mengkonfirmasi hal ini. Mereka
menunjukkan bahwa terminologi co-benefits atau ‘manfaat sekunder’
telah digunakan dalam berbagai cara. Hal tersebut terjadi karena
tidak ada definisi yang tunggal tentang apa sebenarnya arti co-
benefits dan para ilmuwan atau pakar seringkali gagal memberikan
definisi eksplisit. Mayrhofer & Gupta (2016) mengidentifikasi
| 41
contoh-contoh co-benefits dari berbagai bidang, yang dapat
dirangkum pada Tabel 2.
42 | KONSEP
pemetaan yang membantu menjelaskan area-area co-benefits dari
kegiatan adaptasi dan/atau mitigasi perubahan iklim yang tersebar
di tiga belas sektor ke dalam tiga klaster.
| 43
Selanjutnya, dengan mengambil satu atau dua ilustrasi kebijakan
atau program, kita akan melakukan elaborasi untuk mendapatkan
gambaran yang lebih detail area-area co-benefits tersebut pada setiap
klaster.
44 | KONSEP
benefits dari kegiatan tersebut ada di sektor persampahan, energi, dan
lingkungan apabila spesifikasi berikut mengikuti:
| 45
dapat ditemui di sektor transportasi dan kesehatan, dengan
spesifikasi sebagai berikut:
46 | KONSEP
3. Terciptanya ruang publik di sekitar lokasi pembangunan
infrastruktur
| 47
2. Terpeliharanya sumber mata air di area dan sekitar program
48 | KONSEP
1. Peningkatan nilai aset yang merata di seluruh zona-zona
perkotaan dengan adanya layanan dasar perkotaan yang
terintegrasi
| 49
Menghitung Co-benefits: Prinsip dan Tantangan
Pengukuran co-benefits relevan baik untuk kota di negara maju dan
berkembang. Terdapat sejumlah alasan mengapa co-benefits perlu
diukur atau dihitung. Alasan pertama, untuk memastikan bahwa
informasi yang dimiliki oleh pengambil kebijakan menjadi semakin
luas dan akurat. Semakin luas dan akurat informasi, semakin mudah
pula bagi pengambil kebijakan untuk mengetahui kelebihan dan
kekurangan dari suatu kebijakan, program atau opsi-opsi intervensi
yang ada.
50 | KONSEP
survey dan pengukuran harus dilakukan yang memerlukan waktu
dan biaya yang tidak sedikit. Di samping itu, beberapa aspek
memiliki co-benefits yang sulit untuk diukur seperti kemiskinan dan
kesehatan karena manfaat tersebut hanya akan terlihat dalam
rentang waktu yang panjang (Mayrhofer & Gupta, 2016).
| 51
dengan pendekatan co-benefits yang bisa mendorong integrasi isu
membutuhkan kerjasama antar lembaga dan individu yang terlibat
dalam proses pengambilan kebijakan (Mayrhofer & Gupta, 2016).
Kesimpulan
Sebelum terdapat konsep co-benefits, studi mengenai iklim pada
awalnya cenderung memberikan perhatian pada bagaimana tujuan
sektor-sektor pembangunan (seperti transportasi, industri, energi,
dan lain sebagainya) memberikan dampak atau pengaruh pada
tujuan perubahan iklim, terutama pengelolaan risiko akibat
peningkatan emisi gas rumah kaca. Dikenalkannya konsep co-benefits
mengubah konsetelasi tersebut. Konsep co-benefits mengeksplorasi
bagaimana tujuan-tujuan atau agenda dalam pengelolaan risiko
iklim memberikan manfaat atau keuntungan pada berbagai sektor
pembangunan yang lain. Sebagai penutup, sebagaimana
diindikasikan Floater et al. (2016) dan Mayrhofer & Gupta (2016),
mempromosikan penerapan co-benefits adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim penting untuk: (1) secara efektif memberikan
pemahaman kepada internal pengambil keputusan mengenai
konsep co-benefits perubahan iklim; (2) upaya pemenuhan data
dalam skala kota perlu untuk dimulai; (3) mengoptimalkan
pengolahan dan pemanfaatan data menjadi skenario atas berbagai
pilihan kebijakan, program atau kegiatan dengan menggunakan
metode yang sesuai untuk memberikan input proses kebijakan; (4)
pelibatan berbagai pemangku kepentingan dan berbagai sektor
dalam proses penerapan co-benefits terkait perubahan iklim dalam
setiap pengambilan keputusan.
Daftar Pustaka
Alexander, H. B. (2021), “Menengok TPA Supit Urang Kota Malang
yang Didanai Jerman”, diambil dari
https://www.kompas.com/properti/read/2021/04/09/06000
0321/menengok-tpa-supit-urang-kota-malang-yang-didanai-
jerman?page=all#page2
Daly, H.E. & Farley, J. (2011), Ecological Economics: Principles and
52 | KONSEP
Applications, Second Edi., Island Press, Washington.
Floater, G., Heeckt, C., Ulterino, M., Mackie, L., Rode, P., Bhardwaj,
A., Carvalho, M., Gill, D., Bailey, T. & Huxley, R. (2016), Co-
Benefits of Urban Climate Action: A Framework for Cities.
Fung, J. & Helgeson, J. (2017), Defining the Resilience Dividend:
Accounting for Co-Benefits of Resilience Planning, tersedia di
https://doi.org/10.6028/NIST.TN.1959.
Howden-Chapman, P.., Keall, M., Conlon, F. & Chapman, R. (2015),
“Urban interventions: understanding health co-benefits”,
Urban Design and Planning, Vol. 168, pp. 196–203.
IGES & ACP. (2014), Asian Co-benefits Partnership (ACP) White
Paper 2014: Bringing Development and Climate Together in
Asia, ACP, tersedia di
https://www.ccacoalition.org/en/resources/asian-co-
benefits-partnership-acp-white-paper-2014-bringing-
development-and-climate
IKUPI. (2016), “Ketahanan masyarakat pesisir melalui peningkatan
jasa ekosistem mangrove”, IKUPI, diambil dari
http://ikupi.org/ketahanan-masyarakat-pesisir-melalu-
peningkatan-jasa-ekosistem-mangrove/.
IPCC. (2014), 5th Assessment Report of Working Group II
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), No.
Chapter 17.
Jacob, M. (1991), The Green Economy: Environment, Sustainable
Development and the Politics of the Future, Pluto Press,
London.
Karim, S. (2019), Co-Benefits of Low-Carbon Policies in the Built
Environment: An Australian Investigation into Local
Government Co-Benefits Policies, The University of New South
Wales, Sydney, Australia.
Mayrhofer, J. & Gupta, J. (2016), “The science and politics of co-
benefits in climate policy”, Environmental Science & Policy,
Vol. 57, pp. 22–30.
Nugraha, I., Arumingtyas, L. & Tamimi, M. (2020), “Presiden
Jokowi Tekankan Pencegahan Bencana secara Menyeluruh”,
Mongabay, diambil dari
https://www.mongabay.co.id/2020/02/05/presiden-jokowi-
tekankan-pencegahan-bencana-secara-menyeluruh/.
Purnomo, H. & Siregar, E. (2019), “Terungkap! Seperti Ini Desain
Ibu Kota Baru RI di Kalimantan”, diambil dari
https://www.cnbcindonesia.com/news/20190819210426-4-
93161/terungkap-seperti-ini-desain-ibu-kota-baru-ri-di-
kalimantan.
| 53
54 | KONSEP
BAB 4
PEMBANGUNAN RENDAH KARBON
DI KOTA-KOTA INDONESIA
Faktor Pendukung, Peluang, dan Tantangannya
SUDARMANTO BUDI NUGROHO, JUNICHI FUJINO, DAN
TOMOKO ISHIKAWA
Pendahuluan
Sejak tahun 2015, berbagai perjanjian kerjasama multilateral antar
negara mulai efektif berlaku. Di antara berbagai perjanjian kerjasama
tersebut adalah Perjanjian Paris untuk memperkuat perjanjian di
bidang perubahan iklim yang sudah ada sejak tahun 1992 serta
perjanjian lain di bawah kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
untuk manajemen risiko bencana (Sendai Framework) dan pendanaan
untuk pembangunan (Addis Ababa Convention) hingga puncaknya
yaitu kesepakatan global mengenai Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (TPB/SDGs) yang disahkan pada bulan September
2015 oleh PBB menjadi Agenda 2030 untuk pembangunan
berkelanjutan. Terdapat 17 TPB yang tidak mengikat secara hukum
dan kemudian dielaborasi dalam 169 target untuk mendukung
masyarakat, kemakmuran, kemitraan, dan dunia (Biermann et al.,
2017).
Perubahan iklim secara eksplisit tertuang sebagai TPB no. 13, namun
juga terkait dengan tujuan lainnya seperti no. 7 tentang energi bersih
untuk semua; no. 9 tentang industri berkelanjutan; no. 11 tentang
kota berkelanjutan serta berkaitan dengan tujuan no. 14 tentang
kehidupan di darat dan tujuan no. 15 tentang kehidupan di bawah
air. Kegiatan mitigasi perubahan iklim memiliki banyak sinergi dan
hubungan imbal balik dengan seluruh TPB (Prajal et al., 2017) dan
dampak nyatanya bergantung pada kecepatan dan besaran
| 55
perubahan, komposisi portofolio mitigasi dan manajemen
perubahan. Ini menunjukkan bahwa mitigasi harus diupayakan
dalam konteks pembangunan berkelanjutan yang lebih luas.
Perjanjian Paris mengikat komitmen para pihak yang
menandatangani untuk berusaha menahan kenaikan suhu rata-rata
global di bawah 2°C dibandingkan dengan kondisi pada saat pra-
industri dan mengupayakan upaya untuk membatasi kenaikan suhu
hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri (UNFCCC, 2015). Perjanjian
ini dianggap sebagai konferensi perubahan iklim paling berhasil dari
yang pernah ada terutama dalam merumuskan delapan langkah
spesifik ke depan (Kinley, 2017). Konferensi Paris bertujuan untuk
memperkuat respons global terhadap ancaman perubahan iklim,
dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan upaya untuk
memberantas kemiskinan. Perjanjian Paris juga menggarisbawahi
prinsip tanggung jawab bersama tetapi dibedakan berdasarkan
kemampuan masing-masing yang memiliki keadaan nasional yang
berbeda-beda (Perjanjian Paris, Pasal 2 ayat 2).
56 | KONSEP
yang bersumber dari sektor bangunan sekitar 7 GtCO2e (atau sekitar
70%) dan 3 GtCO2e berasal dari sektor transportasi perkotaan)
(Creutzig et al., 2015). Untuk mencapai target penurunan emisi di
bawah 2oC, perlu penurunan emisi secara signifikan dari perkotaan
terutama dari tata guna lahan, lingkungan terbangun dan sektor
transportasi. Perkotaan di masa yang akan datang juga berperan
penting sebagai alat untuk menurunkan emisi terutama dari
bangunan atau gedung dan prasarana perkotaan yang lain.
| 57
pemangku kebijakan yang bermacam-macam juga memiliki
perbedaan tujuan dan harapan karena di satu sisi, upaya mitigasi
GRK sebagai bagian dari pembangunan rendah karbon berpotensi
menimbulkan dampak negatif terhadap sektor lain, komunitas lain,
atau belahan dunia lainnya. Selain itu, peluang dan tantangan juga
terkait dengan siklus politik atau kepemimpinan setempat serta
keterkaitannya terhadap rencana pembangunan rendah karbon dan
transformasi jangka panjang di perkotaan Indonesia (Friend et al.,
2014).
58 | KONSEP
atau netral, dan penting untuk menganggapnya sebagai rencana
terintegrasi (Landauer et al., 2015; Ürge-Vorsatz et al., 2018).
Pendekatan sistem dalam mitigasi perubahan iklim perkotaan
meskipun dianggap penting dan diharapkan untuk dipraktikkan
secara luas, pada kenyataannya belum menjadi arus utama
pembangunan di perkotaan.
| 59
rendah karbon di suatu perkotaan bisa secara paralel berkontribusi
melalui sintesis ilmu pengetahuan perkotaan yang bisa dibagikan ke
komunitas global (Lamb et al., 2019). Lamb et al. (2019) melakukan
kajian sekitar 4.051 studi kasus mengenai upaya-upaya mitigasi
perubahan iklim perkotaan terkait dengan topik bentuk perkotaan,
penggunaan energi dan sistem, termasuk pemanasan, pendinginan,
dan energi terbarukan, transportasi, pengelolaan limbah, dan
konsumsi air.
60 | KONSEP
dibandingkan dengan usaha-usaha yang dilakukan secara sektoral.
Namun demikian, hingga saat ini masih banyak dijumpai kajian-
kajian penurunan emisi dari perkotaan secara sektoral, misalnya di
bidang penggunaan energi didalam bangunan atau gedung, sektor
transportasi perkotaan, dan lain-lain. Sehingga diharapkan akan
muncul kajian-kajian yang komprehensif tentang perkotaan yang
mencakup beberapa sektor secara terintegrasi. Sektor-sektor yang
terkait seperti sektor energi, transportasi, perumahan dan
permukiman, ekonomi, tata guna lahan, dan prasarana perkotaan
yang bisa digunakan sebagai titik masuk/awalan untuk
mempercepat pembangunan rendah karbon.
| 61
Inisiatif transformasi perkotaan berkelanjutan termasuk dapat
dilakukan melalui proses inovasi pelibatan masyarakat melalui
jejaring, kolaborasi dan membentuk kerjasama. Faktor-faktor yang
diperlukan untuk menunjang perencanaan pembangunan rendah
karbon jangka panjang di perkotaan seperti: (a) Visi dan wawasan ke
depan; (b) Partisipasi publik dan pemangku kepentingan yang lebih
luas; (c) Usaha-usaha bersama serta bekerjasama; (d) Kepemimpinan
lokal; dan (e) Pendekatan sistematis. Pembangunan rendah karbon
memerlukan pandangan atau visi jangka panjang yang perlu
dirumuskan dalam langkah aksi nyata, baik jangka pendek maupun
jangka panjang. Ada arah yang jelas bahwa strategi multisektor dan
pendekatan holistik yang terfokus pada keterkaitan sistem perkotaan
berdasarkan interaksi jangka panjang dari berbagai lapisan
penggunaan lahan (Delmastro et al., 2016) diperlukan untuk
mempercepat periode puncak emisi (Lin et al., 2018; Zhou et al., 2018)
dan mengarahkan kota-kota lebih dekat ke pembangunan rendah
karbon (Hölscher et al., 2019) dan masa depan pascakarbon
(Delmastro et al., 2016). Kota-kota dapat mengadopsi lebih awal
mengenai cetak biru perencanaan yang melibatkan ahli tata kota,
tokoh-tokoh lokal, dan warga dalam memperbaiki pengelolaan
transportasi, penggunaan lahan, kualitas udara, perumahan, dan
aspek lain dari perencanaan kota (Niemeier et al., 2015).
62 | KONSEP
energi, pemulihan unsur hara dari limbah organik, energi terbarukan
untuk konsumsi di perumahan, industri dan komersial, elektrifikasi
transportasi, penghijauan perkotaan, yang semuanya dapat memiliki
dampak jangka panjang terhadap emisi.
| 63
kedua tahun 2015 hingga 2019 (Nishida et al., 2016). Selain itu,
diperlukan untuk melihat kembali ke masa lalu (backcasting) dan
analisis kebijakan digunakan untuk menentukan prasyarat transisi
energi terbarukan, termasuk integrasi kebijakan energi dan
transportasi (Olsson et al., 2015). Prioritas yang tumpang tindih dan
pergeseran tujuan suatu kebijakan yang terkotak-kotak,
bagaimanapun dapat memberikan sinyal adanya hambatan
potensial yang memerlukan desain kebijakan yang selaras dan
strategi implementasi kebijakan di perkotaan (Fenton & Kanda,
2017). Beberapa kota telah melakukan transformasi dengan cara
mengubah infrastruktur perkotaan yang berkontribusi pada emisi
seperti jalan raya di pusat kota diganti dengan jalur trem (Fenton,
2017).
64 | KONSEP
diperlukan informasi yang akurat, handal, dan terpercaya untuk
menentukan data dasar emisi suatu kota pada tahun yang dijadikan
referensi (IGES, 2017). Kajian kebijakan lokal, rencana dan program
baik ditingkat nasional, provinsi maupun kota yang selaras dengan
tujuan pembangunan rendah karbon beserta penjadwalan, cakupan,
dan batasan menjadi masukan penting dalam membuat kerangka
kerja pembangunan rendah karbon di perkotaan. Pergeseran
kebijakan dapat mengubah nilai sosial yang dikaitkan dengan
sumber daya sekaligus meningkatkan efisiensi dan konservasi
sumber daya (Schindler & Kanai, 2018).
| 65
Inisiatif di tingkat akar rumput menjadi semakin penting dalam tata
kelola transisi energi lokal (Blanchet, 2015) dan tata kelola iklim
perkotaan semakin membutuhkan pengumpulan, penyelarasan, dan
pemeliharaan hubungan antara aktor dan elemen (McGuirk et al.,
2016). Keberhasilan untuk meningkatkan eksperimen lokal
berdasarkan perluasan program, difusi, dan transformasi dapat
semakin bergantung pada jaringan polisentrik yang lebih padat dan
lebih intens (Kern, 2019). Struktur terkait yang didukung oleh
kebijakan top-down dan bottom-up efektif untuk meningkatkan
keselarasan kebijakan menuju pembangunan perkotaan rendah
karbon, terutama berdasarkan hasil kajian perbandingan 186
kebijakan di 13 sub-kategori di kota-kota metropolitan berdasarkan
perspektif tata kelola multilevel (Peng & Bai, 2018).
66 | KONSEP
masalah perubahan iklim yang masih terus berkembang, dinamis
dan membutuhkan pemahaman serta reaksi yang komprehensif
walaupun perubahan iklim terkadang belum menjadi arus utama
pembangunan suatu kota (Bai et al., 2018; Friend et al., 2014; Jarvie et
al., 2015). Lebih lanjut, sasaran iklim regional, nasional, dan
internasional paling efektif ketika pemerintah kota turut serta
menjadikan daerah perkotaan fokus utama tata kelola iklim di semua
tingkat (Kern, 2019). Diskusi tata kelola iklim perkotaan mencakup
interaksi para aktor yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
aksi-aksi perubahan iklim yang ditunjang dengan motivasi dan
langkah nyata para pelaku kebijakan tersebut hingga keputusan
akhir dibuat dan dilaksanakan. Ini mencakup berbagai tingkat
otoritas dari lokal hingga global, serta aktor di tingkat provinsi dan
para pelaku lain yang bukan dari bagian pemerintah (non-state actor)
(Castán Broto, 2017; Fuhr et al., 2018).
| 67
(c) Menjadi bagian dari jejaring internasional dan keanggotaan
pada LSM lintas kota dalam negara dan jaringan untuk
memenuhi tujuan mitigasinya.
68 | KONSEP
lokal dan regional, seperti pemerintah daerah yang membentuk
perjanjian dengan pemasok energi regional, seperti halnya dengan
beberapa otoritas lokal Inggris yang terlibat dalam kemitraan publik-
swasta dengan Perusahaan Jasa Energi swasta (ESCo) (Hannon &
Bolton, 2015 ).
| 69
perubahan iklim dan pembangunan rendah karbon telah
dilembagakan melalui mekanisme yang beragam mulai dari aksi
nyata pada skala yang berbeda hingga kombinasi dari semua usaha
dalam kerangka tata kelola multilevel (Broto, 2015) dan proyek-
proyek percontohan yang dapat terlaksana karena adanya
pendanaan internasional (Beermann et al., 2016; Jörgensen et al.,
2015).
70 | KONSEP
proses multilapis dan multiaktor di mana aksi mitigasi dimasukkan
ke dalam aksi pembangunan lokal dan difasilitasi oleh koordinasi
yang efektif antara pemerintah nasional dan lokal (Peng & Bai, 2018).
Kesimpulan
Membangun kota-kota rendah karbon di Indonesia memerlukan
dukungan tiga faktor utama: membangun kapasitas, melibatkan
pemangku kepentingan, dan memobilisasi sumber daya (Tabel 2).
Ketiga faktor ini saling memperkuat satu sama lain. Sebagai ilustrasi,
peningkatan kapasitas sering kali berfungsi sebagai perekat yang
| 71
mempertemukan berbagai pemangku kepentingan di suatu
perkotaan; mampu mengalokasikan sumber daya secara tepat yang
menawarkan alasan kuat bagi pemangku kepentingan untuk terus
berpartisipasi, dan melanjutkan keterlibatan mereka dalam
membangun kota rendah karbon.
Komponen Keterangan
72 | KONSEP
terkait upaya adaptasi perubahan iklim kemudian melanjutkan
dengan langkah-langkah di bidang mitigasi perubahan iklim.
Kondisi ini menunjukkan bahwa benih awal perubahan menuju kota
rendah karbon sebenarnya mungkin memiliki sasaran yang berbeda
namun terkait pada tujuan yang sama.
| 73
kebutuhan sumber daya lain dari luar yang diperlukan. Mekanisme
pendanaan dan sumber daya perlu diperhatikan dengan seksama
terutama pada saat memadukan berbagai sumber daya baik dari
dalam maupun luar kota dan sumber daya internasional. Perlu
diperhatikan bagaimana proses memadukan sumber daya tersebut
tidak hanya secara teoritis tetapi bisa diimplementasikan secara
nyata di lapangan. Sehingga, perhatian pada ketersediaan sumber
daya manusia dan perangkat pendukung lainnya selain pendanaan
serta kemauan untuk bergerak bersama dan memahami hubungan
antar pemangku kepentingan.
Daftar Pustaka
Bačeković, I. & Østergaard, P.A. (2018), “A smart energy system
approach vs a non-integrated renewable energy system
approach to designing a future energy system in Zagreb”,
Energy, Vol. 155, pp. 824–837.
Bai, X. (2016), “Eight energy and material flow characteristics of
urban ecosystems”, Ambio, Vol. 45, pp. 819–830.
74 | KONSEP
Bai, X., Dawson, R.J., Ürge-Vorsatz, D., Delgado, G.C., Salisu Barau,
A., Dhakal, S., Dodman, D., Leonardsen, L., Masson-Delmotte,
V., Roberts, D.C. & Schultz, S. (2018), “Six research priorities
for cities and climate change”, Nature, England, March.
Beermann, J., Damodaran, A., Jörgensen, K. & Schreurs, M.A.
(2016), “Climate action in Indian cities: an emerging new
research area”, Journal of Integrative Environmental Sciences,
Taylor & Francis, Vol. 13 No. 1, pp. 55–66.
Betsill, M.M. (2001), “Mitigating climate change in US Cities:
Opportunities and obstacles”, Local Environment: The
International Journal of Justice and Sustainability, Vol. 6, pp.
393–406.
Biermann, F., Kanie, N. & Kim, R.E. (2017), “Global governance by
goal-setting: the novel approach of the UN Sustainable
Development Goals”, Current Opinion in Environmental
Sustainability, Vol. 26–27, pp. 26–31.
Blanchet, T. (2015), “Struggle over energy transition in Berlin: How
do grassroots initiatives affect local energy policy-making?”,
Energy Policy, Vol. 78, pp. 246–254.
Bodansky, D. (2016), “The Paris climate change agreement: A new
hope?”, The American Journal of International Law, Vol. 110
No. 2, pp. 288–319.
Broto, V.C. (2015), “Contradiction, intervention, and urban low
carbon transitions”, Environment and Planning D: Society and
Space, SAGE Publications Ltd STM, Vol. 33 No. 3, pp. 460–476.
Bugge, M.M., Fevolden, A.M. & Klitkou, A. (2019), “Governance for
system optimization and system change: The case of urban
waste”, Research Policy, Vol. 48 No. 4, pp. 1076–1090.
Bulkeley, H. (2015), “Can cities realise their climate potential?
Reflections on COP21 Paris and beyond”, Local Environment,
Routledge, Vol. 20 No. 11, pp. 1405–1409.
Bulkeley, H. & Castan Broto, V. (2013), “Government by
experiment? Global cities and the governing of climate
change”, Transactions of the Institute of British Geographers,
Vol. 38, pp. 361–375.
van Buuren, A. & Loorbach, D. (2009), “Policy innovation in
isolation? Conditions for policy renewal by transition arenas
and pilot projects”, Public Management Review, Vol. 11 No. 3,
pp. 375–392.
Castán Broto, V. (2017), “Urban governance and the politics of
climate change”, World Development, Vol. 93, pp. 1–15.
Chen, G., Wiedmann, T., Wang, Y. & Hadjikakou, M. (2016),
“Transnational city carbon footprint networks – Exploring
carbon links between Australian and Chinese cities”, Applied
| 75
Energy, Vol. 184, pp. 1082–1092.
Chu, E. (2015), “The political economy of urban climate adaptation
and development planning in Surat, India”, Environment and
Planning C: Government and Policy, SAGE Publications Ltd
STM, Vol. 34 No. 2, pp. 281–298.
Clémençon, R. (2016), “The two sides of the Paris climate
agreement: dismal failure or historic breakthrough?”, The
Journal of Environment & Development, Vol. 25 No. 1, pp. 3–
24.
Corbett, J. & Mellouli, S. (2017), “Winning the SDG battle in cities:
how an integrated information ecosystem can contribute to the
achievement of the 2030 sustainable development goals”,
Information Systems Journal, Vol. 27, pp. 427–461.
Corfee-Morlot, J., L., Kamal-Chaoui, M., Donovan, I.M., Cochran,
A.R. & Teasdale, P.J. (2009), Cities, Climate Change and
Multilevel Governance.
Creutzig, F., Baiocchi, G., Bierkandt, R., Pichler, P.-P. & Seto, K.C.
(2015), “Global typology of urban energy use and potentials for
an urbanization mitigation wedge”, Proceedings of the
National Academy of Sciences of the United States of America,
Vol. 112 No. 20, pp. 6283–6288.
Creutzig, F., Fernandez, B., Haberl, H., Khosla, R., Mulugetta, Y. &
Seto, K.C. (2016), “Beyond technology: Demand-side solutions
for climate change mitigation”, Annual Review of Environment
and Resources, Vol. 41 No. 1, pp. 173–198.
Delmastro, C., Lavagno, E. & Schranz, L. (2016), “Underground
urbanism: Master plans and sectorial plans”, Tunnelling and
Underground Space Technology, Vol. 55, pp. 103–111.
Dienst, C., Xia, C., Schneider, C., Vallentin, D., Venjakob, J. &
Hongyan, R. (2015), “Wuxi – a Chinese city on its way to a low
carbon future”, Journal of Sustainable Development of Energy,
Water and Environment Systems, Vol. 3 No. 1, pp. 12–25.
Van den Dobbelsteen, A., Martin, C.L., Keeffe, G., Pulselli, R.M. &
Vandevyvere, H. (2018), “From problems to potentials—The
urban energy transition of Gruž, Dubrovnik”, Energies,
tersedia di https://doi.org/10.3390/en11040922.
Dong, L. & Fujita, T. (2015), “Promotion of Low-Carbon City
Through Industrial and Urban System Innovation: Japanese
Experience and China’s Practice”, in Whalley, J., Agarwal, M.
and Pan, J. (Eds.), World Scientific Reference on Asia and the
World Economy, World Scientific, pp. 257–279.
Dong, L., Gu, F., Fujita, T., Hayashi, Y. & Gao, J. (2014),
“Uncovering opportunity of low-carbon city promotion with
industrial system innovation: Case study on industrial
76 | KONSEP
symbiosis projects in China”, Energy Policy, Vol. 65, pp. 388–
397.
Engels, A. & Walz, K. (2018), “Dealing with multi-perspectivity in
real-world laboratories: Experiences from the transdisciplinary
research project urban transformation laboratories”, GAIA -
Ecological Perspectives for Science and Society, Vol. 27, pp. 39–
45.
Falkner, R. (2016), “The Paris agreement and the new logic of
international climate politics”, International Affairs, Vol. 92,
pp. 1107–1125.
Fastenrath, S. & Braun, B. (2018), “Ambivalent urban sustainability
transitions: Insights from Brisbane’s building sector”, Journal
of Cleaner Production, Vol. 176, pp. 581–589.
Fenton, P. (2017), “Sustainable mobility in the low carbon city:
Digging up the highway in Odense, Denmark”, Sustainable
Cities and Society, Vol. 29, pp. 203–210.
Fenton, P. & Kanda, W. (2017), “Barriers to the diffusion of
renewable energy: Studies of biogas for transport in two
European cities”, Journal of Environmental Planning and
Management, Routledge, Vol. 60 No. 4, pp. 725–742.
Flacke, J. & De Boer, C. (2017), “An interactive planning support
tool for addressing social acceptance of renewable energy
projects in The Netherlands”, ISPRS International Journal of
Geo-Information.
Frantzeskaki, N., Broto, V.C., Coenen, L. & Loorbach, D. (2017),
Urban Sustainability Transition, edited by Frantzeskaki, N.,
Broto, V.C., Coenen, L. and Loorbach, D., First Edit.,
Routledge, London.
Friend, R., Jarvie, J., Reed, S.O., Sutarto, R., Thinphanga, P. & Toan,
V.C. (2014), “Mainstreaming urban climate resilience into
policy and planning; reflections from Asia”, Urban Climate,
Elsevier, Vol. 7, pp. 6–19.
Fuhr, H., Hickmann, T. & Kern, K. (2018), “The role of cities in
multi-level climate governance: local climate policies and the
1.5°C target”, Current Opinion in Environmental
Sustainability, Vol. 30, pp. 1–6.
Giest, S. (2017), “Big data analytics for mitigating carbon emissions
in smart cities: opportunities and challenges”, European
Planning Studies, Routledge, Vol. 25 No. 6, pp. 941–957.
Göpfert, C., Wamsler, C. & Lang, W. (2019), “A framework for the
joint institutionalization of climate change mitigation and
adaptation in city administrations”, Mitigation and Adaptation
Strategies for Global Change, Vol. 24 No. 1, pp. 1–21.
Gorissen, L., Spira, F., Meynaerts, E., Valkering, P. & Frantzeskaki,
| 77
N. (2018), “Moving towards systemic change? Investigating
acceleration dynamics of urban sustainability transitions in the
Belgian City of Genk”, Journal of Cleaner Production, Vol. 173,
pp. 171–185.
Gouldson, A., Colenbrander, S., Sudmant, A., McAnulla, F., Kerr,
N., Sakai, P., Hall, S., Papargyropoulou, E. & Kuylenstierna, J.
(2015), “Exploring the economic case for climate action in
cities”, Global Environmental Change, Vol. 35, pp. 93–105.
Green, J.F. (2017), “The strength of weakness: pseudo-clubs in the
climate regime”, Climatic Change, Vol. 144 No. 1, pp. 41–52.
Große, J., Fertner, C. & Groth, N.B. (2016), “Urban structure, energy
and planning: Findings from three cities in Sweden, Finland
and Estonia”, Urban Planning, Vol. 1 No. 1, pp. 24–40.
Hannon, M.J. & Bolton, R. (2015), “UK Local Authority engagement
with the Energy Service Company (ESCo) model: Key
characteristics, benefits, limitations and considerations”,
Energy Policy, Vol. 78, pp. 198–212.
den Hartog, H., Sengers, F., Xu, Y., Xie, L., Jiang, P. & de Jong, M.
(2018), “Low-carbon promises and realities: Lessons from three
socio-technical experiments in Shanghai”, Journal of Cleaner
Production, Vol. 181, pp. 692–702.
He, X., Shen, S., Miao, S., Dou, J. & Zhang, Y. (2015), “Quantitative
detection of urban climate resources and the establishment of
an urban climate map (UCMap) system in Beijing”, Building
and Environment, Vol. 92, pp. 668–678.
Hickmann, T., Fuhr, H., Höhne, C., Lederer, M. & Stehle, F. (2017),
“Carbon governance arrangements and the Nation-State: The
reconfiguration of public authority in developing countries”,
Public Administration and Development, John Wiley & Sons,
Ltd, Vol. 37 No. 5, pp. 331–343.
Ho, C.S., Chau, L.W., Teh, B.T., Matsuoka, Y. & Gomi, K. (2016),
“‘Science to Action’ of the sustainable low carbon city-region:
Lessons learnt from Iskandar Malaysia”, in Nishioka, S. (Ed.),
Enabling Asia to Stabilise the Climate, Springer Singapore,
Singapore, pp. 119–150.
Ho, C.S., Matsuoka, Y., Chau, L.W., Teh, B.T., Simson, J.J. & Gomi,
K. (2013), “Blueprint for the development of low carbon society
scenarios for Asian regions- case study of Iskandar Malaysia”,
IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, IOP
Publishing, Vol. 16, p. 12125.
Hölscher, K., Frantzeskaki, N. & Loorbach, D. (2019), “Steering
transformations under climate change: capacities for
transformative climate governance and the case of Rotterdam,
the Netherlands”, Regional Environmental Change, Vol. 19 No.
78 | KONSEP
3, pp. 791–805.
Hu, J., Liu, G. & Meng, F. (2018), “Estimates of the effectiveness for
urban energy conservation and carbon Abate-ment Policies:
The case of Beijing City, China”, Journal of Environmental
Accounting and Management, Vol. 6, pp. 207–222.
IGES. (2017), Low Carbon Society Scenario Semarang 2030.
Jaeger, A., Nugroho, S.B., Zusman, E., Nakano, R. & Daggy, R.
(2015), “Governing sustainable low-carbon transport in
Indonesia: An assessment of provincial transport plans”,
Natural Resources Forum, John Wiley & Sons, Ltd, Vol. 39 No.
1, pp. 27–40.
Jarvie, J., Sutarto, R., Syam, D. & Jeffery, P. (2015), “Lessons for
Africa from urban climate change resilience building in
Indonesia”, Current Opinion in Environmental Sustainability,
Vol. 13, pp. 19–24.
Jogesh, A. & Dubash, N.K. (2015), “State-led experimentation or
centrally-motivated replication? A study of state action plans
on climate change in India”, Journal of Integrative
Environmental Sciences, Taylor & Francis, Vol. 12 No. 4, pp.
247–266.
Jörgensen, K., Jogesh, A. & Mishra, A. (2015), “Multi-level climate
governance and the role of the subnational level”, Journal of
Integrative Environmental Sciences, Taylor & Francis, Vol. 12
No. 4, pp. 235–245.
Karvonen, A. & Van Heur, B. (2014), “Urban laboratories:
experiments in reworking cities”, International Journal of
Urban and Regional Research, Vol. 38 No. 2, pp. 379–392.
Kemp, R., Schot, J. & Hoogma, R. (1998), “Regime shifts to
sustainability through processes of niche formation: The
approach of strategic niche management”, Technology
Analysis & Strategic Management, Vol. 10 No. 2, pp. 175–198.
Kern, K. (2019), “Cities as leaders in EU multilevel climate
governance: embedded upscaling of local experiments in
Europe”, Environmental Politics, Routledge, Vol. 28 No. 1, pp.
125–145.
Kinley, R. (2017), “Climate change after Paris: from turning point to
transformation”, Climate Policy, Vol. 17 No. 1, pp. 9–15.
Kona, A., Bertoldi, P. & Kılkış, Ş. (2019), “Covenant of Mayors:
Local energy generation, methodology, policies and good
practice examples”, Energies.
Lamb, W.F., Creutzig, F., Callaghan, M.W. & Minx, J.C. (2019),
“Learning about urban climate solutions from case studies”,
Nature Climate Change, Vol. 9, pp. 279–287.
Landauer, M., Juhola, S. & Söderholm, M. (2015), “Inter-
| 79
relationships between adaptation and mitigation: a systematic
literature review”, Climatic Change Volume, Vol. 131, pp. 505–
517.
Larondelle, N., Frantzeskaki, N. & Haase, D. (2016), “Mapping
transition potential with stakeholder- and policy-driven
scenarios in Rotterdam City”, Ecological Indicators, Vol. 70, pp.
630–643.
Lee, T. & Painter, M. (2015), “Comprehensive local climate policy:
The role of urban governance”, Urban Climate, Vol. 14, pp.
566–577.
Lin, G.C.S. & Kao, S. (2019), “Contesting eco‐urbanism from below:
The construction of ‘zero‐waste neighborhoods’ in Chinese
cities”, International Journal of Urban and Regional Research,
Vol. 44 No. 1, pp. 72–89.
Luria, D., Baum, A. & Sharpe, B. (2018), “Automobile production in
Canada and implications for Canada’s 2025 passenger vehicle
greenhouse gas standards”, The International Council on Clean
Transportation, tersedia di
https://theicct.org/publications/canada-automobile-
production-and-implications-2025-vehicle-stds.
Lwasa, S. (2017), “Options for reduction of greenhouse gas
emissions in the low-emitting city and metropolitan region of
Kampala”, Carbon Management, Taylor & Francis, Vol. 8 No.
3, pp. 263–276.
Macias, T. & Williams, K. (2016), “Know Your Neighbors, Save the
Planet: Social Capital and the Widening Wedge of Pro-
Environmental Outcomes”, Environment and Behavior, SAGE
Publications Inc, Vol. 48 No. 3, pp. 391–420.
Märker, C., Venghaus, S. & Hake, J.-F. (2018), “Integrated
governance for the food–energy–water nexus – The scope of
action for institutional change”, Renewable and Sustainable
Energy Reviews, Vol. 97, pp. 290–300.
Matschoss, K. & Heiskanen, E. (2017), “Making it experimental in
several ways: The work of intermediaries in raising the
ambition level in local climate initiatives”, Journal of Cleaner
Production, Vol. 169, pp. 85–93.
McGuirk, P.M., Bulkeley, H. & Dowling, R. (2016), “Configuring
urban carbon governance: Insights from Sydney, Australia”,
Annals of the American Association of Geographers, Taylor &
Francis, Vol. 106 No. 1, pp. 145–166.
McLean, A., Bulkeley, H. & Crang, M. (2015), “Negotiating the
urban smart grid: Socio-technical experimentation in the city of
Austin”, Urban Studies, SAGE Publications Ltd, Vol. 53 No. 15,
pp. 3246–3263.
80 | KONSEP
Mehta, L., Srivastava, S., Adam, H.N., Alankar, Bose, S., Ghosh, U.
& Kumar, V.V. (2019), “Climate change and uncertainty from
‘above’ and ‘below’: perspectives from India”, Regional
Environmental Change, Vol. 19 No. 6, pp. 1533–1547.
Miao, L. (2017), “Examining the impact factors of urban residential
energy consumption and CO2 emissions in China – Evidence
from city-level data”, Ecological Indicators, Vol. 73, pp. 29–37.
Michaelowa, K. & Michaelowa, A. (2017), “Transnational climate
governance initiatives: Designed for effective climate change
mitigation?”, International Interactions, Routledge, Vol. 43 No.
1, pp. 129–155.
Neuvonen, A. & Ache, P. (2017), “Metropolitan vision making –
using backcasting as a strategic learning process to shape
metropolitan futures”, Futures, Vol. 86, pp. 73–83.
Nevens, F., Frantzeskaki, N., Gorissen, L. & Loorbach, D. (2013),
“Urban Transition Labs: co-creating transformative action for
sustainable cities”, Journal of Cleaner Production, Vol. 50, pp.
111–122.
Niemeier, D., Grattet, R. & Beamish, T. (2015), “‘Blueprinting’ and
climate change: Regional governance and civic participation in
land use and transportation planning”, Environment and
Planning C: Government and Policy, SAGE Publications Ltd
STM, Vol. 33 No. 6, pp. 1600–1617.
Nilsson, M., Griggs, D. & Visbeck, M. (2016), “Policy: Map the
interactions between Sustainable Development Goals”, Nature,
Vol. 534 No. 7607, pp. 320–322.
Nishida, Y., Hua, Y. & Okamoto, N. (2016), “Alternative building
emission-reduction measure: outcomes from the Tokyo Cap-
and-Trade Program”, Building Research & Information,
Routledge, Vol. 44 No. 5–6, pp. 644–659.
Nugroho, S.B. & Zusman, E. (2015), “Governing public transport
improvement program in Indonesia”, Journal of the Eastern
Asia Society for Transportation Studies, Vol. 11, pp. 2528–2542.
Olsson, L., Hjalmarsson, L., Wikström, M. & Larsson, M. (2015),
“Bridging the implementation gap: Combining backcasting
and policy analysis to study renewable energy in urban road
transport”, Transport Policy, Vol. 37, pp. 72–82.
Peng, Y. & Bai, X. (2018), “Experimenting towards a low-carbon
city: Policy evolution and nested structure of innovation”,
Journal of Cleaner Production, Vol. 174, pp. 201–212.
Pradhan, P., Costa, L., Rybski, D., Lucht, W. & Kropp, J.P. (2017), “A
systematic study of Sustainable Development Goal (SDG)
interactions”, Earth’s Future, Vol. 5 No. 11, pp. 1169–1179.
Rajamani, L. (2016), “The 2015 Paris Agreement: Interplay between
| 81
hard, soft and non-obligations”, Journal of Environmental Law,
Vol. 28 No. 2, pp. 337–358.
Raven, R.P. (2005), Strategic Niche Management for Biomass,
Eindhoven University of Technology, Eindhoven.
Reckien, D., Salvia, M., Heidrich, O., Church, J.M., Pietrapertosa, F.,
De Gregorio-Hurtado, S., D’Alonzo, V., Foley, A., Simoes, S.G.,
Krkoška, E., Lorencová, Orru, H., Orru, K., Wejs, A., Flacke, J.,
Olazabal, M., Geneletti, D., Feliu, E., Vasilie, S., Nador, C.,
Krook-Riekkola, A., Matosović, M., Fokaides, P.A., Ioannou,
B.I., Flamos, A., Spyridaki, N.-A., Balzan, M. V., Fülöp, O.,
Paspaldzhiev, I., Grafakos, S. & Dawson, R. (2018), “How are
cities planning to respond to climate change? Assessment of
local climate plans from 885 cities in the EU-28”, Jurnal of
Cleaner Production, Vol. 191, pp. 207–219.
Roger, C., Hale, T. & Andonova, L. (2017), “The comparative
politics of transnational climate governance”, International
Interactions, Routledge, Vol. 43 No. 1, pp. 1–25.
Roppongi, H., Suwa, A. & Puppim de Oliveira, J.A. (2017),
“Innovating in sub-national climate policy: the mandatory
emissions reduction scheme in Tokyo”, Climate Policy, Taylor
& Francis, Vol. 17 No. 4, pp. 516–532.
Schindler, S. & Kanai, J.M. (2018), “Producing localized commodity
frontiers at the end of cheap nature: An analysis of eco-scalar
carbon fixes and their consequences”, International Journal of
Urban and Regional Research, John Wiley & Sons, Ltd, Vol. 42
No. 5, pp. 828–844.
Sharifi, A., Chelleri, L., Fox-Lent, C., Grafakos, S., Pathak, M.,
Olazabal, M., Moloney, S., Yumagulova, L. & Yamagata, Y.
(2017), “Conceptualizing dimensions and characteristics of
urban resilience: Insights from a co-design process”,
Sustainability.
Sharp, D. & Salter, R. (2017), “Direct impacts of an urban living lab
from the participants’ perspective: Livewell Yarra”,
Sustainability, tersedia di https://doi.org/10.3390/su9101699.
Shaw, A., Burch, S., Kristensen, F., Robinson, J. & Dale, A. (2014),
“Accelerating the sustainability transition: Exploring synergies
between adaptation and mitigation in British Columbian
communities”, Global Environmental Change, Vol. 25, pp. 41–
51.
Sperling, D. & Eggert, A. (2014), “California’s climate and energy
policy for transportation”, Energy Strategy Reviews, Vol. 5, pp.
88–94.
Terrapon-Pfaff, J., Ortiz, W., Dienst, C. & Gröne, M.-C. (2018),
“Energising the WEF nexus to enhance sustainable
82 | KONSEP
development at local level”, Journal of Environmental
Management, Vol. 223, pp. 409–416.
Tyfield, D. (2014), “Putting the power in ‘Socio-Technical Regimes’
– E-mobility transition in China as political process”,
Mobilities, Routledge, Vol. 9 No. 4, pp. 585–603.
UNFCCC. (2015), “Report of the Conference of the Parties on its
Twenty-First Session, Held in Paris from 30 November to 13
December 2015 and Action Taken by the Conference of the
Parties at its Twenty-First Session”.
Ürge-Vorsatz, D., Rosenzweig, C., Dawson, R.J., Rodriguez, R.S.,
Bai, X., Barau, A.S., Seto, K.C. & Dhakal, S. (2018), “Locking in
positive climate responses in cities”, Nature Climate Change,
Vol. 8, pp. 174–177.
Valente de Macedo, L., Setzer, J. & Rei, F. (2016), “Transnational
action fostering climate protection in the city of São Paulo and
Beyond”, DisP - The Planning Review, Routledge, Vol. 52 No.
2, pp. 35–44.
Weikle, B. (2019), “Canada and California sign deal to cut vehicle
emissions”, CBC News.
Widerberg, O. & Pattberg, P. (2015), “International cooperative
initiatives in global climate governance: Raising the ambition
level or delegitimizing the UNFCCC?”, Global Policy, John
Wiley & Sons, Ltd, Vol. 6 No. 1, pp. 45–56.
Wolfram, M. & Frantzeskaki, N. (2016), “Cities and systemic change
for sustainability: Prevailing epistemologies and an emerging
research agenda”, Sustainability, Vol. 8 No. 2, p. 144.
Zhang, J. & Li, F. (2017), “Energy consumption and low carbon
development strategies of three global cities in Asian
developing countries”, Journal of Renewable and Sustainable
Energy, American Institute of Physics, Vol. 9 No. 2, p. 21402.
Zhao, G., Guerrero, J.M., Jiang, K. & Chen, S. (2017), “Energy
modelling towards low carbon development of Beijing in
2030”, Energy, Vol. 121, pp. 107–113.
Zhou, D., Xiao, J., Bonafoni, S., Berger, C., Deilami, K., Zhou, Y.,
Frolking, S., Yao, R., Qiao, Z. & Sobrino, J. (2018), “Satellite
remote sensing of surface urban heat islands: Progress,
challenges, and perspectives”, Remote Sensing,
Multidisciplinary Digital Publishing Institute, Vol. 11 No. 1, p.
48.
| 83
BAB 5
KIPRAH KOTA SEMARANG DALAM JEJARING KOTA
YANG MEMILIKI KETAHANAN TERHADAP
PERUBAHAN IKLIM DI ASIA (ACCCRN – ASIAN CITIES
CLIMATE CHANGE RESILIENCE NETWORK)
BINTANG SEPTIARANI
Pendahuluan
Perubahan iklim merupakan fenomena yang ditandai dengan
terjadinya kenaikkan suhu global, pola cuaca yang berubah-ubah,
cuaca ekstrim, dan perubahan intensitas curah hujan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa perubahan iklim telah membawa masalah baru
bagi banyak kota di dunia, termasuk Kota Semarang. Salah satu
fenomena perubahan iklim di Kota Semarang adalah meningkatnya
intensitas curah hujan. Sebagai salah satu kota pesisir terbesar di
sepanjang pantai utara Pulau Jawa, Kota Semarang menghadapi
ancaman dampak perubahan iklim seperti bencana banjir dan tanah
longsor.
| 87
pembangunan seiring dengan fenomena perubahan iklim yang
terjadi (Handayani et al., 2020).
88 | PRAKTIK
Pelaksanaan Program ACCCRN di Kota Semarang
(a) Fase 1: Pemilihan kota dan ruang lingkup. Dalam fase ini, Kota
Semarang dipilih karena lokasinya yang strategis dan rentan
terhadap ancaman perubahan iklim.
| 89
Dengan terpilihnya Kota Semarang dalam program ACCCRN pada
tahun 2009, kajian penilaian kerentanan kota terhadap perubahan
iklim (Vulnerability Assessment – VA) dan penilaian indeks ketahanan
kota (IKK) dilakukan pada tahun 2010. Kehadiran dokumen VA dan
IKK menjadi titik awal Kota Semarang untuk dapat berkontribusi
dalam penanganan isu-isu perubahan iklim. Dalam VA dan IKK
disebutkan bahwa risiko terbesar Kota Semarang terhadap
perubahan iklim adalah banjir dan kekeringan (ISET et al., 2010). Dari
kajian tersebut, muncul dokumen City Resilience Strategy (CRS) atau
strategi ketahanan kota sebagai dasar munculnya beberapa program
lanjutan terkait adaptasi perubahan iklim di Kota Semarang hingga
tahun 2016. Secara praktis, dokumen CRS juga dapat dilihat sebagai
peta jalan untuk mempersiapkan kota dalam menghadapi skenario
terburuk yang mungkin timbul akibat perubahan iklim.
90 | PRAKTIK
dini banjir (Flood Early Warning System - FEWS), program restorasi
pesisir (Mangrove), dan program peringatan dini demam berdarah
(Actions Changing the Incidence of Vector-Borne Endemic Diseases -
ACTIVED).
| 91
2) Program Peringatan Dini Banjir (FEWS)
Program peringatan dini banjir atau yang sering disebut dengan
FEWS di Kota Semarang berlangsung selama tahun 2012 – 2014.
Tujuan utama dari proyek ini adalah untuk mengurangi kerentanan,
cedera dan atau korban jiwa akibat bencana banjir dengan
memperkuat respon dan kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah
daerah melalui pengembangan sistem informasi banjir, sistem
peringatan dini, strategi evakuasi, dan identifikasi tempat
penampungan sementara untuk mereka yang paling terkena
dampak (masyarakat miskin dan rentan) dengan pertimbangan
skenario iklim di masa depan dan perubahan penggunaan lahan.
92 | PRAKTIK
jiwa diharapkan menjadi lebih tangguh dan siap menghadapi
bencana banjir bandang dengan memiliki sistem peringatan dini,
strategi evakuasi, dan hunian sementara. Selain tangguh dan siap
menghadapi banjir bandang, dua KSB di wilayah pesisir yang
mencakup 3.316 KK atau 11.757 jiwa juga bersiap menghadapi banjir
rob.
| 93
sebagai pilot program untuk kegiatan ini. Dalam program ini,
kelompok masyarakat pesisir diajarkan untuk mengembangakan
mata pencaharian alternatif di wilayah pesisir sehingga masyarakat
dapat lebih memiliki ketahanan apabila terjadi dampak perubahan
iklim seperti kenaikan muka air laut yang mengancam penghidupan
nelayan dan petani tambak di kawasan pesisir. Kelompok
masyarakat diberikan pelatihan ketrampilan serta pengolahan hasil
pesisir untuk meningkatkan nilai produk kawasan pesisir.
94 | PRAKTIK
melaporkannya ke Dinas Kesehatan melalui Sistem Informasi dan
Peringatan Dini Kesehatan pada Dengue (HIS-HEWS). Masyarakat
diberikan pelatihan dalam pemantauan jentik di wilayahnya masing-
masing serta melakukan sosialisasi tentang bahaya DBD di Kota
Semarang. HIS-HEWS ini dikembangkan melalui program
ACTIVED yang kemudian ditindaklanjuti oleh Dinas Kesehatan kota
untuk memantau kasus DBD yang terjadi di Kota Semarang (IKUPI,
2016).
| 95
dari non-government organization (NGO) serta akademisi. Tim Kota
kemudian bertanggungjawab terhadap berjalannya program
ACCCRN berdasarkan hasil CRS yang telah disusun. Untuk
pelaksanaan program, masing-masing program dalam ACCCRN
dilaksanakan oleh Project Implementation Unit (PIU). Biasanya suatu
program hanya ditangani oleh satu lembaga saja, tetapi dalam
program-program ACCCRN, banyak tahapan dan lembaga
pelaksana dengan keahlian yang berbeda-beda tergabung dan
dikelola di bawah PIU.
96 | PRAKTIK
berbagai pemangku kepentingan dalam satu tim, namun hal tersebut
juga menjadi pelajaran berharga bagi masing-masing instansi
pelaksana dalam PIU. Konsep pembentukan Tim Kota yang muncul
pada era ACCCRN tersebut menjadi cikal bakal munculnya Chief
Resilience Officer (CRO) yang dibentuk melalui program 100RC (100
Resilient Cities). Individu yang berada dalam Tim Kota, kemudian
menjadi bagian dalam kelompok kerja ketahanan kota yang
bekerjasama sebagai Tim CRO untuk melaksanakan program-
program terkait peningkatan ketahanan Kota Semarang bukan
hanya di perubahan iklim namun ketahanan kota secara
keseluruhan.
| 97
pembelajaran dari program-program ACCCRN pun juga
mendorong munculnya beberapa program lanjutan terkait
peningkatan ketahanan Kota Semarang. Terdapat beberapa
pembelajaran kunci terkait pelaksanaan program ACCCRN di Kota
Semarang, yaitu promosi pendekatan preventif, Kelembagaan dalam
ketahanan perubahan iklim, serta peluang munculnya program lain
untuk peningkatan ketahanan.
98 | PRAKTIK
pekerjaan rumah besar sehingga keberlanjutan dari pengelolaan
proyek percontohan tersebut masih bergantung pada Tim Kota dan
kepedulian masyarakat. Sebagai contoh keberlanjutan pengelolaan
alat dalam program FEWS. Meskipun peralatan tersebut telah
diserahterimakan ke Kota Semarang, hal tersebut belum bisa
menjamin keberlajutan perawatan alat tersebut di masa yang akan
datang.
| 99
peningkatan kapasitas kelembagaan secara berkelanjutan di instansi
pemerintah daerah yang bertanggung jawab dalam menangani isu
ketahanan. Bukan hanya individu yang tergabung dalam Tim Kota
melainkan kapasitas institusi sehingga pergantian personel tidak
akan banyak berpengaruh.
Penutup
Tidak dapat dipungkiri bahwa dampak perubahan iklim memang
nyata terjadi di Kota Semarang dan memengaruhi aktivitas
masyarakat. Sebagai sebuah kota dengan aktivitas masyarakat yang
beragam, tentunya Kota Semarang membutuhkan upaya nyata agar
dampak tersebut tidak banyak berpengaruh pada sistem perkotaan.
Upaya ACCCRN dalam menjebatani perubahan paradigma bencana
dalam lensa perubahan iklim serta pendekatan piloting yang
dilakukan telah mengantarkan Kota Semarang menjadi salah satu
kota di Indonesia yang terus bergerak meningkatkan ketahanan
kotanya.
100 | PRAKTIK
Perlu digarisbawahi, bahwa upaya-upaya yang dilakukan dalam
program ACCCRN bukanlah yang terbaik dari semua program
peningkatan ketahanan kota. Namun program tersebut telah mampu
memantik munculnya pendekatan berbasis peningkatan ketahanan.
Proyek percontohan yang ditinggalkan oleh program ini menjadi
milik masyarakat dan Kota Semarang. Selain itu, program ACCCRN
juga telah berhasil membuka akses pendanaan terhadap program
lain yang serupa (Setiadi, 2016). Langkah-langkah adaptasi
perubahan iklim yang dilakukan dalam program ACCCRN di Kota
Semarang telah membuat kota ini menjadi lebih mengenal dan
dikenal dalam konteks peningkatan ketahanan di Indonesia salah
satunya terkait perubahan iklim.
Daftar Pustaka
ACCCRN. (2010), City Resilience Strategy: Semarang Adaptation
Plan in Responding to Climate Change, diambil dari
https://www.acccrn.net/resources/city-resilience-strategy-
semarangs-adaptation-plan-responding-climate-change
Handayani, W., Setiadi, R., Septiarani, B., & Lewis, L. (2020),
Metropolitan Semarang: Clustering and Connecting Locally
Championed Metropolitan Solutions. Greater Than Parts Case
Study; No. 8. World Bank, Washington, DC, diambil dari
https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/34828
IKUPI. (2016), Dokumen ACTIVED (Action Changing the Incidence
of Vector-Borne Endemic Disease), diambil dari
http://ikupi.org/1869-2/
ISET, ACCCRN, Mercy Corps, Urban and Regional Development
Institute, & CCROM Southeast Asia and Pacific. (2010),
Vulnerability and adaptation assessment to climate change in
Semarang City: Final report, diambil dari
http://www.acccrn.org/sites/default/files/documents/ACC
CRN_smrg_ENG_26APRIL2010_0.pdf
P5 Universitas Diponegoro. (2012), Final Report Rainwater Harvesting
Semarang. pp. 1–45. Universitas Diponegoro. Semarang.
Septiarani, B., & Handayani, W. (2020), Community Group
Networking on the Community-based Adaptation Measure in
Tapak Village, Semarang Coastal Area. Indonesian Journal of
Geography, Vol. 52 No. 2, pp. 181–189.
| 101
Setiadi, R. (2016), Tata Kelola Perubahan Iklim Di Kota Semarang :
Dulu, Sekarang, dan Ke Depan. Riptek, Vol. 10 No. 1, pp. 33–42,
diambil dari
https://bappeda.semarangkota.go.id/packages/upload/kcfin
der/upload/files/3. Tata Kelola Perubahan Iklim_Rukuh.pdf
102 | PRAKTIK
BAB 6
PERAN INSTITUSI NON-PEMERINTAH DALAM
PENINGKATAN KETAHANAN BANJIR
Refleksi IKUPI dalam Program Zurich dan TRANSFORM di Kota
dan Kabupaten Semarang
MEGA ANGGRAENI DAN RIZKIANA SIDQIYATUL HANDANI
Pendahuluan
Ketahanan masyarakat Kota Semarang terhadap banjir menjadi
sebuah keharusan. Beberapa wilayah di Ibukota Provinsi Jawa
Tengah ini masih menjadi daerah rawan banjir, baik tidal1 maupun
fluvial2. Di satu sisi, pemerintah berkewajiban untuk memberikan
ketenteraman dan keamanan bagi warganya atas keterpaparan
terhadap bencana. Di sisi lain, masyarakat juga memiliki potensi
untuk menjadi berdaya menghadapi ancaman bencana. Aksi dan
proses kolaboratif dengan pelibatan lebih banyak stakeholder non-
pemerintah terus didorong guna mengoptimalkan upaya
membangun ketahanan masyarakat terhadap bencana. Upaya-upaya
dari bawah, grass root, dalam menciptakan ketahanan kota tidak
dapat dipandang sebelah mata. Partisipasi grass root membuat upaya
membangun ketahanan menjadi lebih efektif seiring dengan proses
perencanaan yang partisipatif dan lebih kontekstual dengan kondisi
empiris yang terjadi di lapangan.
| 103
yang pada tahun 2016- 2017 bersama dengan masyarakat berupaya
untuk membangun ketahanannya terhadap banjir melalui Zurich
Flood Resilience Program (selanjutnya disebut Program Zurich). Bukan
berjalan sendiri, upaya ini dilakukan melalui kolaborasi oleh
berbagai pihak. Selain mendapatkan dukungan dari Zurich
Foundation, IKUPI juga bekerja sama dengan Mercy Corps Indonesia,
Initiative for Regional Development and Environmental Management
(IRDEM), serta Kolektif Hysteria dalam mengimplementasikan
Program Zurich. Program ini mengambil fokus di wilayah hilir
Daerah Aliran Sungai (DAS) Garang yakni di sepanjang Kanal Banjir
Barat Kota Semarang. Upaya untuk membangun ketahanan bencana
di wilayah hilir DAS Garang di Kota Semarang tidak dapat terlepas
dari pegelolaan di daerah hulu yakni Kabupaten Semarang.
Tingginya debit air sungai terutama pada musim penghujan yang
diperparah dengan penyempitan jalan air dan sedimentasi
mengakibatkan berkurangnya kapasitas daya tampung DAS Garang.
Hingga pada akhir tahun 2017-2018, IKUPI kembali berkolaboarsi
dengan Mercy Corps Indonesia, Ecometrix Solutions Group (ESG),
AtmaConnect, dan IRDEM di dalam program TRANSFORM
(Manajemen Risiko Banjir Antar Wilayah Melalui Tata Kelola dan
Inovasi Teknologi Informasi). Program TRANSFORM dilaksanakan
di wilayah Sungai Garang, yang berada dalam wilayah administratif
Kota dan Kabupaten Semarang yang bertujuan untuk mengurangi
kerugian serta kerusakan yang disebabkan oleh banjir.
104 | PRAKTIK
harus bisa memposisikan diri pada titik terbaik antara spektrum top-
down dan bottom-up. Pada Program Zurich dan TRANSFORM, IKUPI
sebagai sebuah organisasi tidak terlepas dari upaya pengembangan
kolaborasi dengan pemerintah lokal yang cenderung menganut
kebijakan dari atas ke bawah. Sedangkan bergerak bersama
masyarakat berarti dapat menjadi bagian dari mereka, merasakan
dengan betul permasalahan yang dihadapi, dan mampu
membentuknya sebagai alat advokasi untuk disampaikan kepada
pemangku kepentingan, pendekatan yang sangat bottom up.
Kombinasi antar kedua pendekatan ini secara teoritik
direkomendasikan oleh Drosou et al. (2019) karena manfaat yang
didapatkan tidak hanya untuk lingkungan perkotaan yang lebih
tangguh, tapi juga memberikan kesempatan kepada penduduk
untuk bertumbuh, beradaptasi, dan menjadi lebih siap dalam
menghadapi ketidakpastian lingkungan.
| 105
pemangku kepentingan dari level masyarakat, kelurahan, hingga
pemerintah daerah di Kota, Kabupaten Semarang dan Provinsi Jawa
Tengah. Sebagai upaya untuk mendukung program yang
dilaksanakan pemerintah, IKUPI dalam Program Zurich (tahun
2016-2017) dan TRANSFORM (akhir 2017-2018) bergerak di ranah
pemberdayaan dan optimalisasi peran masyarakat.
106 | PRAKTIK
yang dilaksanakan di dalam program Zurich selanjutnya adalah
pembentukan Kelompok Siaga Bencana (KSB) dan Forum
Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Kelurahan, penyusunan
rencana kontijensi banjir, pelatihan kesiapsiagaan bencana, dan
peningkatan layanan persampahan.
| 107
lokakarya di dalam Program Zurich, sistem pelatihan dalam
program TRANSFORM dilaksanakan dengan menggandeng BPBD
Provinsi Jawa Tengah serta melibatkan unit Layanan Inklusif
Disabilitas (LIDI) sebagai narasumber. Lebih jauh lagi, diharapkan
upaya pengurangan risiko bencana juga mulai mempertimbangkan
aspek-aspek inklusivitas. Gambar 1 menunjukkan kegiatan yang
dilaksanakan oleh IKUPI di dalam Program Zurich dan
TRANSFORM.
108 | PRAKTIK
aksi berbasis masyarakat untuk mewujudkan ketahanan terhadap
banjir. Lebih lanjut, berikut merupakan gambaran mengenai masing-
masing kegiatan yang dilaksanakan oleh IKUPI di Program Zurich
dan TRANSFORM:
| 109
Sumber: Dokumentasi IKUPI, 2017
Gambar 2. Proses Partisipatif dalam Perumusan Dokumen CBDRM
110 | PRAKTIK
meningkatkan kerjasama berbagai pemangku kepentingan dalam
keberlanjutan kegiatan-kegiatan manajemen risiko bencana melalui
proses yang konsultatif dan partisipatif (BNPB, 2012). KSB
didefinisikan sebagai kelompok yang menjadi pelopor atau
penggerak dalam kegiatan manajemen risiko bencana serta tim
reaksi cepat saat keadaan tanggap darurat.
| 111
Kegiatan pelatihan kesiapsiagaan banjir diikuti oleh delapan KSB
(Kelurahan Kalipancur, Kelurahan Manyaran, Kelurahan Cabean,
Kelurahan Petompon, Kelurahan Bulustalan, Kelurahan Bulu Lor,
Kelurahan Panggung Lor, dan Kelurahan Krobokan) dan Kelompok
Perahu Wisata Sidomakmur. Pelatihan kesiapsiagaan bencana
penting sebagai bekal KSB untuk dapat melasanakan kegiatan
kesiapsiagaan awal sebelum bantuan dari stakeholder terkait tiba di
lokasi saat ada kejadian darurat. Program Zurich juga memfasilitasi
penyediaan peralatan dasar kesiapsiagaan bencana banjir berupa
jaket pelampung, senter, kotak P3K, peluit, serta rambu tanda jalur
evakuasi sebagai bagian dari upaya pertolongan pertama saat
keadaan darurat.
112 | PRAKTIK
Pada tahap awal dari Program Zurich dan TRANSFORM,
masyarakat diajak untuk menemukenali faktor yang dapat memicu
terjadinya banjir di wilayah mereka. Hasilnya, mayoritas masyarakat
menilai bahwa salah satu penyebab terjadinya banjir adalah sampah.
Terutama pembuangan sampah ilegal yang ada di saluran dan
sungai. Menindaklanjuti hasil pemetaan tersebut, program ini
kemudian memfasilitasi beberapa inisiatif terkait upaya peningkatan
layanan persampahan.
Pengelolaan persampahan
menjadi bagian penting dalam
upaya mitigasi banjir. Kegiatan
yang dilaksanakan antara lain
pelatihan pengelolaan sampah
kepada ibu-ibu PKK serta upaya
edukasi kepada siswa SD. Edukasi
siswa SD dikemas melalui
kegiatan sosialisasi dan
perlombaan yang menarik.
Kesadaran masyarakat akan
pentingnya menjaga kualitas
lingkungan perlu ditanamkan
sejak dini.
| 113
Pada prinsipnya, inisiatif yang dibangun bertujuan untuk
mengurangi pembuangan sampah di saluran air, termasuk di
dalamnya upaya pengelolaannya yang berbasis pada peberdayaan
masyarakat. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain: (1) sosialisasi
pengelolaan sampah kepada ibu-ibu PKK dan siswa SD; (2) pelatihan
pengelolaan sampah oganik dan anorganik; (3) penyediaan papan
larangan pembuangan sampah sembarangan; serta (4) mendorong
kelompok pengelola sampah seperti bank sampah dan kelompok
peduli lingkungan.
114 | PRAKTIK
untuk meningkatkan pemahaman peserta terhadap manajemen
risiko bencana termasuk mandat inklusi.
| 115
Refleksi dari Program Zurich dan TRANSFORM
Bagian ini mendiskusikan refleksi yang dapat diambil dari
implementasi dari Program Zurich dan TRANSFORM. Pembelajaran
yang dilaksanakan selama proses implementasi program dapat
dimanfaatkan sebagai upaya untuk mengoptimalkan program
pengurangan risiko bencana di daerah rawan bencana, terutama
banjir.
116 | PRAKTIK
pedoman dari BNPB, pemerintah mendorong penguatan kapasitas
dan perencanaan upaya manajemen risiko bencana secara lebih
komprehensif sejak tahap sebelum atau pra hingga pasca bencana.
Destana/Katana menempatkan masyarakat sebagai subjek dalam
pengurangan risiko bencana. Masyarakat diajak untuk
menemukenali, merumuskan, dan mengimplementasikan upaya-
upaya mitigasi bencana dengan dukungan pembiayaan dari
berbagai pihak.
| 117
mendorong pastisipasi dari siswa untuk mewujudkan
Sekolah/Madrasah Aman Bencana. Pendidikan bencana kepada
anak usia sekolah juga mendesak untuk dilaksananakan karena
bencana bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan menimpa siapa
saja.
118 | PRAKTIK
Upaya yang dilakukan adalah mengintegrasikan proses penilaian
potensi risiko dan kesiapan dalam menghadapinya ke dalam level
lokal (KLHK et al., 2017). Pendekatan partisipatif ini disebut
kemudian sebagai manajemen bencana berbasis komunitas
(community-based disaster management). Hal ini yang kemudian
dikembangkan dalam program-program yang dilakukan IKUPI,
seperti perumusan dokumen CBDRM, rencana kontijensi, serta
inisiatif mitigasi bencana seperti pengelolaan sampah dan
pengembangan sistem peringatan dini.
| 119
Prinsip demokrasi yang ada dalam proses partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan di bidang lingkungan antara lain:
keterbukaan, partisipasi langsung, dan akuntabilitas (Cox, 2010).
Prinsip yang kedua, partisipasi langsung, berkaitan dengan tingkat
tertinggi dari tangga partisipasi yang digaungkan oleh Arnstein
(1969), yakni partisipasi penuh. Apa yang kemudian dipelajari dari
dua program yang dilakukan IKUPI adalah mengupayakan
partisipasi langsung dari masyarakat dalam penentuan strategi
manajemen bencana, merupakan hal yang sangat mungkin untuk
dilakukan. Melalui strategi pendampingan, IKUPI memainkan peran
untuk mendorong masyarakat agar mampu memahami kondisi
risiko kebencanaan di sekitarnya, sekaligus juga menjadi tempat
berdiskusi dan berbagi ilmu agar konsep-konsep kebencanaan yang
terkesan “asing” dapat kemudian diturunkan dan dapat dipahami
dengan lebih mudah oleh masyarakat.
120 | PRAKTIK
mengakomodasi berbagai sumber daya di lingkup masyarakat
maupun lintas wilayah.
| 121
pembentukan FPRB dan KSB yang beranggotakan perwakilan
organisasi. Keterwakilan gender juga harus dipertimbangkan, mulai
dari kelompok usia, jenis kelamin, serta kelompok disabilitas.
Partisipasi aktif dari seluruh elemen ini berkontribusi di dalam
optimalisasi upaya pengurangan risiko bencana yang efektif dan
tepat sasaran. Seluruh elemen dapat secara pro-aktif melaksanakan
upaya mitigasi bencana. Unsur pemerintah dan non-pemerintah
dapat saling berkolaborasi untuk optimalisasi upaya pengurangan
risiko bencana.
122 | PRAKTIK
komplementer ditemukan pada institusi non-pemerintah yang
memiliki tujuan yang sama dengan kebijakan pemerintahan yang
berlaku, namun cenderung memiliki perbedaan pada strategi yang
digunakan. Hal ini dikarenakan menciptakan ketangguhan kota
adalah salah satu tujuan Pemerintah Kota Semarang sejak bergabung
pada jaringan kota tangguh global, Asian Cities Climate Change
Resilience Network (ACCCRN) pada tahun 2009 (Jarvie et al., 2015).
| 123
untuk peningkatan ketangguhan, sedangkan intervensi secara sosial
menjadi ruang berkarya untuk lembaga-lembaga sosial yang lebih
luas agar tidak hanya fisik kotanya yang mampu bertahan di tengah
gempuran bencana, masyarakatnya juga mampu menjadi tangguh
(Drosou et al., 2019). Proses komplementer ini juga memberikan
manfaat kepada pemangku kepentingan secara lebih luas, di mana
hasil dari proses sosio-spasial ini dapat turut menjadi nilai tambah
bagi siapapun yang terlibat di dalamnya, untuk kemudian
diterapkan dan direplikasi di wilayah-wilayah lain. Hal tersebut juga
digaungkan dalam dokumen berjudul “Building Safer Cities” dari The
World Bank. Bahwa meskipun manajemen bencana berkaitan erat
dengan pengambilan keputusan –yang berarti adalah optimalisasi
otoritas pemerintahan– namun keberhasilannya tidak akan dapat
tercapai jika tidak diakukan secara kolaboratif, partisipatif, dari
berbagai pihak (Kreimer et al., 2003).
124 | PRAKTIK
perubahan iklim. Faktor-faktor tersebut berkontribusi pada
berkurangnya daya tampung sungai yang menuju ke wilayah hilir
yakni Kota Semarang. Kolaborasi hubungan bottom-up dan top-down
menjadi aspek penting guna mewujudkan ketangguhkan bencana
lintas wilayah. Sebelumnya, di sepanjang DAS Garang, pemerintah
melalui BPDAS Pemali Jratun telah membentuk Forum DAS Garang
dan BBWS Pemali Juwana yang telah menginisiasi kelompok-
kelompok peduli sungai khususnya di sepanjang Kanal Banjir Barat
Kota Semarang. Kelompok-kelompok tersebut diharapkan dapat
menggerakkan upaya-upaya dan komunikasi manajemen risiko
bencana di tingkat masyarakat. Forum komunikasi melalui
pembentukan FPRB juga dikembangkan untuk meningkatkan
kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana melalui proses berbagi
informasi terutama terkait peringatan dini bencana.
| 125
limbah dan sampahnya. Perbedaan pendekatan ini tidak kemudian
menghilangkan hakikat yang cukup penting dalam proses
partisipasi ini, yakni prinsip kesesuaian. Merujuk kembali pada
Gambar 6, prinsip tersebut adalah bagian dari pendekatan
pengelolaan risiko banjir berbasis komunitas. Betapapun rumitnya
tantangan yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah rawan
bencana, konsep-konsep ketangguhan bencana dan ide perubahan
perilaku yang dimasukkan ke dalamnya perlu mengedepankan
prinsip tersebut. Kerangka yang dapat menyaringnya adalah
konteks lokalitas, penyesuaian dengan prinsip dan nilai yang dianut
oleh masyarakat. Drosou et al., (2019) mengaitkan prinsip kesesuaian
dengan prinsip proaktif, bahwa tidak seluruh proses partisipasi
dimulai dari inisiasi masyarakat (Gambar 10).
126 | PRAKTIK
dapat berjalan lama jika apa yang diangkat kemudian tidak dibuat
beresonansi dengan keseharian masyarakat (kembali ke prinsip
kesesuaian). Langkah ini kemudian dibarengi dengan upaya
pendekatan di tingkat pemerintah. Melalui proses pelibatan institusi
terkait yaitu BPBD Kota dan Kabupaten Semarang sejak awal
program, diharapkan apa yang telah diinisiasi melalui program
Zurich dan TRANSFORM dapat menjadi pemantik awal serta terus
berlanjut ketika program telah berakhir.
Pada akhirnya apa yang menjadi kunci untuk mencapai tujuan besar
itu adalah semua pihak yang mau bersama mengubah pola pikir,
untuk terus mau belajar dan memperbaiki diri, dan terbuka pula
dengan berbagai kerjasama baik antar instansi maupun hierarki.
Ketangguhan adalah konsep yang datang bukan dari internal
masyarakat, namun bukan berarti tidak bisa melahirkan semangat
dari dalam hati mereka. Tinggal bagaimana masing-masing
pemangku kepentingan memaksimalkan peran yang bisa dilakukan.
Penutup
Ketahanan berkaitan erat dengan kapasitas institusi dan sumber
daya manusia. Pergeseran paradigma dari reaktif menjadi proaktif
membutuhkan kolaborasi dan partisipasi dari berbagai pihak.
| 127
Kolaborasi inklusif dilakukan guna mengupayakan aksi-aksi
komplementari. IKUPI, selama dua tahun sudah mengupayakannya
melalui Program Zurich dan TRANSFORM.
128 | PRAKTIK
Daftar Pustaka
Arnstein, S. R. (1969), A Ladder Of Citizen Participation. Journal of
the American Planning Association, Vol. 35 No. 4, pp. 216–224.
Baas, S., Ramasamy, S., de Pryck, J. D., & Battista, F. (2008), Disaster
risk management systems analysis: A guide book. FAO
Environment and Natural Resources Service Series, Vol. 13.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2012),
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, diambil dari
https://www.gitews.org/tsunami-
kit/en/E6/further_resources/national_level/peraturan_kepal
a_BNPB/Perka%20BNPB%201-
2012_Pedoman%20Umum%20Desa%20Kelurahan%20Tangguh
%20Bencana.pdf
Buchori, I., Pramitasari, A., Sugiri, A., Maryono, M., Basuki, Y., &
Sejati, A. W. (2018), Adaptation to coastal flooding and
inundation: Mitigations and migration pattern in Semarang
City, Indonesia. Ocean & Coastal Management, Vol. 163
(August), pp. 445–455.
Cox, R. (2010), Environmental and the Public Sphere, 2 ed, United
States of America: SAGE Publications, Inc.
Drosou, N., Soetanto, R., Hermawan, F., Chmutina, K., Bosher, L., &
Hatmoko, J. U. D. (2019), Key factors influencing wider
adoption of blue-green infrastructure in developing cities.
Water (Switzerland), Vol. 11 No. 6. doi:10.3390/w11061234
Handayani, W., Hapsari, S. P. I., Mega, A., & Sih, S. J. (2019),
Community-based disaster management: Assessing local
preparedness groups (LPGs) to build a resilient community in
Semarang City, Indonesia. Disaster Advances, Vol. 12 No. 5,
pp. 23–36.
Hassenforder, E., Smajgl, A., & Ward, J. (2015), Towards
understanding participatory processes: Framework,
application and results. Journal of Environmental
Management, Vol. 157, pp. 84–95.
Jarvie, J., Sutarto, R., Syam, D., & Jeffery, P. (2015), Lessons for
Africa from urban climate change resilience building in
Indonesia. Current Opinion in Environmental Sustainability,
Vol. 13, pp. 19–24.
KLHK, BNPB, & UNDP. (2017), Konvergensi Adaptasi Perubahan
Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.
Jakarta.
| 129
Klijn, F., Van Buuren, M., & Van Rooij, S. A. M. (2004), Flood-risk
management strategies for an uncertain future: Living with
rhine river floods in the Netherlands? Ambio, Vol. 33 No. 3, pp.
141–147.
Kreimer, A., Arnold, M., & Carlin, A. (Ed.). (2003), Building Safer
Cities: The Future of Disaster Risk. Disaster Risk Management
Series, Washington DC: The International Bank for
Reconstruction and Development/The World Bank.
Najam, A. (2000), The four C’s of government third sector-
government relations. Nonprofit Management and Leadership,
Vol. 10 No. 4, pp. 375–396.
Natarajan, L. (2017), Socio-spatial learning: A case study of
community knowledge in participatory spatial planning.
Progress in Planning, Vol. 111, pp. 1–23.
Ruslanjari et.al., (2020), Kondisi Kerentanan dan Ketahanan
Masyarakat Terhadap Bencana Tanah Longsor di Desa
Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo,
Yogyakarta, Vol. 26, pp. 23-29.
UNDRR. (2020), Disaster Risk Management, diakses pada 10
Februari 2021 dari
https://www.undrr.org/terminology/disaster-risk-
management
Ungarannews.com (2020, 1 Februari 2020), Pemkab Semarang
Siapkan Sepuluh Desa Tangguh Bencana, diakses pada 17
Oktober 2020 dari
https://ungarannews.com/2020/02/01/pemkab-semarang-
siapkan-sepuluh-desa-tangguh-bencana/
United Nations. (2005), International Strategy for Disaster
Reduction Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building
the Resilience of Nations. World Conference on Disaster
Reduction (A/CONF.206/6).
130 | PRAKTIK
BAB 7
REFLEKSI PERJALANAN KOTA SEMARANG DALAM
JEJARING 100 RESILIENT CITIES
NINI PURWAJATI
Pendahuluan
Pada akhir 2013, the Rockefeller Foundation mengumumkan 33 kota
pertama di dunia yang tergabung dalam inisiatif 100 Resilient Cities
(100RC). Kota Semarang termasuk dalam daftar kota-kota tersebut.
Bergabungnya Kota Semarang dalam jaringan 100RC ini menjadi
salah satu momen penanda perjalanan Kota Semarang terkait
membangun ketangguhan secara holistik. 100RC muncul sebagai
sebuah inisiatif dari The Rockefeller Foundation pada 2013 dan
berangkat dari tiga tren global yaitu perubahan iklim, globalisasi dan
migrasi (Urban Institute, 2018). Pada Juli 2019, The Rockefeller
Foundation menutup program 100RC namun terus berkomitmen
mendukung jejaring kota-kota yang telah terbentuk melalui program
100RC lewat bantuan hibah ke organisasi baru yang lebih ramping
yaitu Resilient Cities Network (The Rockefeller Foundation, 2020).
| 131
holistik, memperluas lingkup ketahanan yang sering dimaknai
dalam konteks bencana atau perubahan iklim saja.
132 | PRAKTIK
aplikasinya, Semarang menekankan pada tantangan berupa banjir
baik banjir rob maupun banjir bandang sebagai motivasi untuk
bergabung dalam jaringan 100RC. Semarang juga mulai
menyebutkan kekhawatiran mengenai tantangan lain seperti
kenaikan permukaan laut dan penurunan muka tanah yang dapat
mengakibatkan kenaikan intensitas banjir di Semarang.
| 133
Sumber: 100 Resilient Cities dalam Jakarta Berketahanan, 2018
Gambar 4. Kerangka Ketahanan Kota
134 | PRAKTIK
Sumber; Pemerintah Kota Semarang, 2016
Gambar 5. Lini Masa Penyusunan Strategi Ketahanan Kota
| 135
dari 100RC, CRO di Semarang kemudian diterjemahkan menjadi
kelompok kerja (pokja) ketahanan kota bersifat ad-hoc dan paruh
waktu. Tim CRO ini dikoordinasi oleh Bappeda dan juga melibatkan
perwakilan universitas dan LSM, sebagaimana pokja-pokja
koordinasi yang umum diterapkan oleh pemerintah kota. Proses
pembentukan pokja ini memerlukan waktu dan menjadi salah satu
faktor mengapa proses penyusunan strategi baru mulai aktif pada
tahun 2015. Melalui format pokja, tim CRO di Semarang terlibat
dalam proses penyusunan secara paruh waktu. Komunikasi dengan
jejaring 10 0RC dilakukan oleh perwakilan Bappeda sebagai CRO di
level internasional namun pada praktiknya, CRO di Semarang
berupa tim.
2. Analisis Komprehensif
Definisi holistik dalam 100RC menuntut kota Semarang untuk
melihat berbagai guncangan dan tekanan, dan bagaimana
guncangan-guncangan dan tekanan-tekanan tersebut saling
berkaitan. Untuk proses kajian dan penyusunan strategi, 100RC
mengenalkan beberapa tools atau perangkat antara lain seperti Assets
and Risk Tool dan Resilience Perspective Assessment untuk proses
analisis yang komprehensif dan holistik. Pendekatan holistik ini
semestinya bukan hal yang baru namun proses ini mampu memicu
diskusi-diskusi lintas sektor selama proses penyusunan strategi.
136 | PRAKTIK
Sumber; Pemerintah Kota Semarang, 2016
Gambar 6. Pemetaan Guncangan dan Tekanan Kota Semarang
| 137
kebutuhan dasar, hal ini selaras dengan identifikasi guncangan dan
tekanan di Kota Semarang. Namun, dengan adanya kerangka
holistik ini, proses ini mampu menemukenali aspek-aspek terkait
tata kelola dan kaitannya dengan usaha perbaikan infrastruktur dan
pemenuhan kebutuhan dasar. Sebagai contoh, proses survei persepsi
ini menemukenali isu-isu seperti minimnya koordinasi antar satuan
kerja perangkat daerah (SKPD) maupun koordinasi regional,
minimnya penyampaian informasi publik dan rendahnya kapasitas
SDM (Pemerintah Kota Semarang, 2016).
3. Pendekatan Inklusif
Istilah “silos breaking” atau memutus pendekatan sektoral menjadi
mantra dari proses 100RC. Proses penyusunan strategi menuntut
adanya tim kerja lintas sektor maupun dewan pengarah lintas sektor.
Di awal proses penyusunan strategi, terdapat proses stakeholder
engagement plan atau strategi pelibatan untuk menentukan strategi
pelibatan berbagai pemangku kepentingan. Sebagai contoh, terdapat
pembentukan pokja-pokja tematik di mana setiap pokja harus
mewakili perwakilan baik dari dinas-dinas di Pemerintah Kota
Semarang, akademisi, kelompok masyarakat atau unsur swasta.
Proses penyusunan strategi yang inklusif ini tidak hanya ditargetkan
berujung pada dokumen namun juga bertujuan untuk peningkatan
kapasitas dan perhatian pada isu-isu ketahanan kota untuk
pemangku kepentingan yang terlibat.
138 | PRAKTIK
masukan terutama masukan dari segi teknis. DP2K terdiri dari
akademisi-akademisi dari berbagai universitas di Semarang. Meski
demikian, masih terdapat beberapa ruang untuk perbaikan terkait
proses pelibatan supaya lebih mencerminkan prinsip inklusivitas
dan partisipatif. Keterlibatan langsung masyarakat cenderung
terbatas dalam bentuk keterlibatan LSM dan kelompok masyarakat.
Terkait unsur swasta, sektor swasta diharapkan untuk dapat
menginternalisasikan ketahanan kota dalam praktik bisnisnya.
Meski demikian, sektor swasta yang terlibat cenderung berupa
asosiasi (KADIN) dan BUMD/BUMN (Bank Jateng, PLN) serta
peran mereka cenderung sebagai sumber data.
| 139
Di sisi lain, proses yang cepat ini membuat proses pelibatan
pemangku kepentingan dan pembangunan kapasitas belum optimal.
5. Platform Partner
Salah satu elemen dukungan 100RC kepada kota anggota adalah
melalui platform partner. Platform partner merupakan daftar berbagai
organisasi internasional baik dari sektor swasta, akademisi maupun
non pemerintah dari berbagai latar belakang dan keahlian yang
berkomitmen untuk membantu kota anggota secara pro-bono. Pada
praktiknya, platform partner didominasi oleh sektor swasta. Adanya
platform partner ini merupakan bagian dari theory of change dari
100RC. 100RC memiliki asumsi bahwa ketika berbagai institusi
berkolaborasi dengan kota, institusi-institusi tersebut akan
menginternalisasikan pendekatan ketahanan dalam praktik maupun
produk dan layanan yang diberikan dan akan berkontribusi
terhadap ketahanan kota (Urban Institute, 2018).
140 | PRAKTIK
Menjelang peluncuran strategi, terdapat beberapa platform partners
yang diidentifikasi untuk menjadi mitra implementasi strategi,
antara lain Institute for Global Environmental Strategies (IGES) yang
berpusat di Jepang dan Future Cities Laboratory (FCL) yang berpusat
di Singapura. Di luar dua organisasi ini juga terdapat berbagai
platform partners lain yang telah diidentifikasi namun kerjasamanya
tidak berlanjut. IGES dan FCL mendedikasikan staf atau sumber
daya khusus untuk mendukung Semarang melalui berbagai kegiatan
termasuk lokakarya, pelatihan dan riset bersama dengan organisasi
dan universitas lokal.
| 141
Setelah strategi resmi diluncurkan, dukungan berupa
pendampingan Mercy Corps Indonesia dari 100RC juga berakhir. Ini
merupakan transisi yang drastis untuk tim CRO Kota Semarang yang
mendadak menjadi kehilangan dukungan sumber daya yang
substansial. Transisi ini juga menyadarkan bahwa proses
implementasi strategi belum disiapkan secara matang. Semarang
juga menjadi kota pertama di regional Asia yang meluncurkan
strategi sehingga untuk 100RC, ini juga merupakan salah satu
transisi pertama dari proses penyusunan strategi ke implementasi.
100RC kemudian memberikan dukungan lanjutan melalui Mercy
Corps Indonesia untuk menyusun roadmap atau peta jalan
implementasi yang kemudian menjadi referensi untuk berbagai
proses penyusunan kebijakan di Semarang seperti penyusunan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
142 | PRAKTIK
dua kota ini merupakan yang pertama di Indonesia (100 Resilient
Cities, 2019). Berdasarkan temuan dari studi ini, pada Januari 2019,
Semarang meresmikan 72 bus BRT Semarang dengan teknologi
diesel hybrid dan LNG (Institute for Global Environmental Strategies,
2019). Ini dimungkinkan melalui investasi bersama antara MOEJ dan
Pemerintah Kota Semarang sebesar US $ 710.000. Penghematan
bahan bakar yang dihasilkan akan mengurangi emisi CO2 sebesar
sekitar 819 ton per tahun sekaligus berkontribusi terhadap
pengurangan pencemaran udara.
| 143
lain dalam Pemerintah Kota Semarang secara lebih intensif. Pada
praktiknya, transisi ini lebih sesuai untuk proses implementasi dan
memiliki potensi internalisasi konsep ketahanan kota yang lebih luas
di kalangan Pemerintah Kota Semarang. Terkait pelibatan mitra
lokal, jika sebelumnya 100RC menjalin kemitraan dengan organisasi
seperti Mercy Corps Indonesia yang berpusat di Jakarta, kemitraan
yang dibangun setelah proses penyusunan strategi cenderung lebih
melibatkan LSM dan universitas lokal di Semarang secara lebih
intensif.
144 | PRAKTIK
drainase terbatas sementara intensitas air semakin meningkat.
Jika dilihat dari proses penyusunan strategi, Semarang
mendaftar 100RC dengan mengangkat isu banjir namun
rencana strategi mencakup isu dan menelurkan inisiatif-inisiatif
yang lebih luas dan lintas sektor. Sebagai contoh, dalam pilar
Peluang Ekonomi Baru terdapat inisiatif terkait pertanian
perkotaan yang menyasar isu lingkungan, mata pencaharian
dan kohesi sosial.
| 145
terpapar pengetahuan terbaru mengenai ketahanan kota.
Sebagai contoh, 100RC dan kini Resilient Cities Network memiliki
berbagai kegiatan pelatihan atau lokakarya. Jika sebelumnya,
partisipasi cenderung diwakili hanya oleh Bappeda, Pemerintah
Kota Semarang kini mengirim perwakilan lain seperti dari
Kantor Ketahanan Pangan, Kantor Kecamatan, Kantor
Kelurahan, atau Dinas Lingkungan Hidup untuk kegiatan-
kegiatan pembangunan kapasitas yang diadakan oleh 100RC
dan Resilient Cities Network. Praktik ini baik untuk terus
ditingkatkan.
146 | PRAKTIK
dapat berperan untuk mengarusutamakan ketahanan kota di
ranah nasional. Pemerintah Kota Semarang dapat lebih aktif
membagikan pengalaman dan interaksi Semarang dengan kota-
kota di jejaring 100RC ke kota-kota lain di Indonesia dan
pemerintah pusat.
Daftar Pustaka
100 Resilient Cities. (2019), Resilient Cities, Resilient Lives:
Learnings from 100RC, diambil dari
https://resilientcitiesnetwork.org/downloadable_resources/U
R/Resilient-Cities-Resilient-Lives-Learning-from-the-100RC-
Network.pdf
| 147
100 Resilient Cities. (2019), What is Urban Resilient Cities, diambil
dari 100 Resilient Cities (Archive): https://wayback.archive-
it.org/12847/20190925170458/http://www.100resilientcities.o
rg/resources/#section-1
ARUP & The Rockefeller Foundation. (2014), City Resilience Index.
Cascading Semarang. (2019). Presentation of WaL Semarang at
WaL Regional Workshop.
Institute for Global Environmental Strategies. (2019), Grand
Launching Program Converter Gas, Bus Rapid Transit (BRT)
Semarang & National Conference on “Transportation to
Develop Country”, diambil dari
https://archive.iges.or.jp/en/cty/20190109.html
Jakarta Berketahanan. (2018), Status Ketahanan Kota Jakarta,
diambil dari http://jakberketahanan.org/2018/08/23/sesi-
kerja-tahap-ii-program-jakarta-berketahanan-status-ketahanan-
kota-jakarta-resilience-statement-2/
Latief. (2019), Walikota Semarang Libatkan Penasihat Obama untuk
Tuntaskan Banjir, diambil dari
https://semarang.kompas.com/read/2019/03/13/20552521/
walikota-semarang-libatkan-penasihat-obama-untuk-
tuntaskan-banjir
Pemerintah Kota Semarang. (2016), Strategi Ketahanan Kota
Semarang. Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.
Pemerintah Kota Semarang. (2019), Water as Leverage Report.
Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.
Resilient Cities Network. (2020), Communities, diambil dari
https://resilientcitiesnetwork.org/communities/
Sutarto, R., & Jarvie, J. (2012), Integrating Climate Resilience
Strategy into City Planning in Semarang, Indonesia.
The Rockefeller Foundation. (2020), 100 Resilient Cities, diambil
dari https://www.rockefellerfoundation.org/100-resilient-
cities/
Urban Institute. (2018), Institutionalizing Urban Resilience, diambil
dari
https://www.urban.org/research/publication/institutionalizi
ng-urban-resilience
148 | PRAKTIK
BAB 8
SKENARIO PEMBANGUNAN KOTA RENDAH
KARBON DI INDONESIA: STUDI KASUS
JAKARTA DAN SEMARANG
SUDARMANTO BUDI NUGROHO, JUNICHI FUJINO, DAN
TOMOKO ISHIKAWA
Pendahuluan
Di bawah kerangka kerjasama multilateral melalui Perjanjian Paris,
pemerintah Indonesia mulai mempersiapkan strategi jangka panjang
untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada tahun 2050.
Agar dapat berkontribusi terhadap penurunan emisi GRK sebesar
29% (target tanpa syarat) dan 41% (target bersyarat) di bawah
kondisi acuan (baseline), sektor energi harus menurunkan tingkat
emisi GRK pada tahun 2030 sebesar 314 Mton CO2e dan 398 Mton
CO2e di tahun 2050 (Indonesia NDC, 2016). Untuk mencapai tingkat
tersebut, emisi GRK diperkirakan mencapai 5,63 ton CO2e per kapita
pada tahun 2030 atau hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan
emisi per kapita pada tahun 2010. Dalam jangka panjang, Indonesia
sangat berpotensi menurunkan emisi GRK dari sektor energi
menjadi sekitar 1,31 ton CO2e per kapita pada tahun 2050, setara
dengan 0,69 dari tingkat emisi per kapita pada tahun 2010 (Siagian et
al., 2017).
| 149
2015). Pemerintah Indonesia telah menyusun strategi implementasi
Nationally Determined Contribution (NDC) pada tahun 2018
(Masripatin et al., 2017). Beberapa pemerintah daerah, secara aktif
mengembangkan skenario aksi lokal dalam upaya menurunkan
emisi GRK dan berkontribusi pada NDC.
150 | PRAKTIK
ambisius menurunkan emisi GRK sebesar 30% pada tahun 2030
menggunakan baseline 2010 (Dewi, 2012).
| 151
tersebut. Keduanya bekerja sama atau bersinergi dengan pemerintah
pusat dan inisiatif kerjasama internasional lainnya untuk mencapai
target penurunan emisi.
152 | PRAKTIK
dan menjembatani hasil perhitungan dengn kondisi rill. Keseluruhan
alur proses tersebut diilustrasikan pada Gambar 1.
| 153
pemerintahan, akademisi, pegiat di masyarakat, serta anggota
masyarakat yang lain. Untuk dapat melaksanakan tugasnya,
diperlukan dukungan sumber daya manusia dan sumber dana untuk
melakukan kajian dan pertemuan rutin membahas hasil kajian.
Penyusunan jadwal berdasarkan kebutuhan dan kondisi
pemerintahan setempat sangat diperlukan agar proses penyusunan
bisa berlangsung secara efisien dan efektif.
154 | PRAKTIK
untuk tahun acuan dan skenario kondisi bisnis seperti biasa di masa
yang akan datang. Permodelan ini adalah pemograman non-linier
menggunakan GAMS versi 23.3 yang dikembangkan oleh
Universitas Kyoto dan didukung oleh beberapa parameter teknis,
ekonomi, dan sosial (IGES, 2020). Pendekatan dari bawah (berbasis
proyek atau program) dan pendekatan dari atas (berbasis pada
cakupan makro skala kota/wilayah yang merupakan gabungan dari
beberapa sektor dan kegiatan/program) dapat digunakan untuk
mengembangkan skenario intervensi kebijakan untuk mendukung
pembangunan kota rendah karbon di masa yang akan datang.
| 155
kondisi di lapangan. Langkah pertama adalah membuat daftar
priroitas rencana aksi dan program berdasarkan kondisi kota.
Langkah ini perlu ditunjang dengan informasi mengenai kebijakan
penunjang yang diperlukan untuk mendukung pelaksananaan
pembangunan kota rendah karbon di masa yang akan datang.
Langkah selanjutnya adalah membuat ringkasan eksekutif untuk
membantu mempermudah para pengambil kebijakan untuk
mengambil keputusan mengenai rencana aksi pembangunan kota
rendah karbon.
PDRB Kota Semarang pada tahun 2030 masih akan didominasi oleh
sektor sekunder terutama industri konstruksi, disusul oleh sektor
156 | PRAKTIK
tersier, dan terakhir adalah sektor primer. Namun demikian,
peningkatan PDRB sektor sekunder tidak lebih besar dari pada
sektor tersier. Laju pertumbuhan sektor primer, sekunder dan tersier
antara tahun 2015 dan 2030 adalah secara beruruta 2,61 kali; 6,01 kali;
dan 6,55 kali. Kondisi ini diperkirakan sesuai dengan yang tertulis
dalam rencana induk penyumbang PDRB terbesar di Kota Semarang
adalah sektor sekunder. PDRB per kapita pada tahun 2015 adalah 84
juta rupiah dan akan meningkat mencapai 405 juta rupiah pada
tahun 2030 atau meningkat 4,81 kali lipat dibandingkan dengan
tahun 2015.
| 157
lipat dari tahun 2015. Diproyeksikan ada keterkaitan antara
pengeluaran konsumsi dan PDRB, terutama pada peningkatan yang
cukup tinggi pada sektor tersier seperti transportasi dan
telekomunikasi; energi listrik, gas, air dan limbah; perdagangan
grosir dan eceran; dan keuangan, real estat, dan layanan perusahaan.
Dengan demikian akan terjadi peningkatan aspek sosial ekonomi
permintaan angkutan Kota Semarang pada tahun 2030. Volume
angkutan barang akan meningkat sebesar 5,99 kali lipat dari tahun
2015, sedangkan laju pertumbuhan volume angkutan penumpang
sebesar 1,55. Permintaan angkutan barang akan berubah dengan
cepat yang dipicu oleh output manufaktur yang meningkat. Dalam
skenario BaU, porsi moda diasumsikan tidak berubah dari tahun
2015. Di sisi lain, perpindahan moda dari sepeda motor dan mobil
pribadi ke angkutan umum seperti bus, bus rapid transit (BRT), dan
rel kereta api diharapkan terjadi dalam skenario CM. Pangsa moda
angkutan umum akan meningkat mencapai 25% pada tahun 2030
dalam skenario CM. Berdasarkan skenario BaU, konsumsi energi
final akan meningkat sebesar 2,22 kali lipat pada tahun 2030.
Sehingga jumlah energi yang dikonsumsi sebesar 1.682,8 ktoe pada
tahun 2015 akan meningkat menjadi 6.149,6 ktoe pada tahun 2030.
158 | PRAKTIK
matahari (panel surya) diperkirakan akan meningkat terutama untuk
pemanas air di sektor perumahan dan komersial meskipun pangsa
dalam permintaan energi total masih kecil dalam skenario CM.
Terkait bauran energi dalam pembangkit listrik, pangsa sumber
terbarukan seperti energi surya, angin, panas bumi, dan biomassa
akan meningkat menjadi 17% dalam skenario CM seiring dengan
diterapkannya rencana pengembangan tenaga listrik nasional.
Faktor emisi CO2 juga akan berubah dari 10,07 tCO2/toe pada tahun
2015 menjadi 7,74 tCO2/toe pada skenario 2030 CM.
| 159
penurunan cukup besar juga diprediksikan berasal dari sektor
komersial yaitu sebesar 34% dibandingkan kondisi bisnis normal.
Detail informasi mengenai kegiatan atau proyek dan program terkait
pembangunan rendah karbon yang berkontribusi pada penurunan
GRK akan dibahas lebih lanjut pada bagian selanjutnya.
160 | PRAKTIK
Studi Kasus di Kota Jakarta
| 161
Tabel 3. Indikator Sosial-Ekonomi pada Permodelan ExSS di Jakarta
162 | PRAKTIK
pada tahun 2050, di mana permintaan energi dari kegiatan komersial
akan sebanding dengan pangsa permintaan energi dari sub-sektor
transportasi. Dengan menggunakan skenario CM, kebutuhan energi
diperkirakan meningkat 2,43 kali lipat di tahun 2030 dan 3,85 kali
lipat pada tahun 2050. Sehingga akan terjadi kenaikan permintaan
energi menjadi 13,927 Mtoe (2030) dan 22,107 Mtoe (2050). Hasil ini
menunjukkan bahwa implementasi proyek kota rendah karbon
seperti pada skenario CM memberikan potensi penghematan energi
masing-masing sebesar 18,02% dan 31,57% dibandingkan dengan
skenario BaU sektor energi pada tahun 2030 dan 2050 (Gambar 2).
| 163
2010. Dalam skenario BaU, situasi ini diproyeksikan akan berubah
pada tahun 2030 di mana pangsa listrik dan gas bumi akan sebanding
dengan pangsa minyak bumi. Kemudian, pangsa listrik akan
meningkat secara signifikan dibandingkan dengan yang lain pada
tahun 2050. Hal ini terjadi karena pertumbuhan kebutuhan listrik
lebih tinggi dari pertumbuhan permintaan angkutan (sebagian besar
dipasok oleh minyak).
164 | PRAKTIK
83.237 Mton CO2e (2030) dan 165.274 Mton CO2e (2050). Sedangkan
pada skenario CM, tingkat emisi GRK akan diturunkan menjadi
61.548 Mton CO2e (2030) dan 121.804 Mton CO2e (2050), yang setara
dengan penurunan 21.689 Mton CO2e (20.37%) dan 43.470 Mton
CO2e (22,95%). Pengurangan tersebut dicapai melalui langkah-
langkah peningkatan efisiensi pengguna akhir, penggantian bahan
bakar, perubahan moda transportasi, penerapan teknologi canggih
seperti kendaraan listrik berbahan bakar menggunakan sumber
terbarukan, dan promosi sistem PV surya.
Tingkat emisi GRK relatif sama untuk semua subsektor pada tahun
2010. Berdasarkan skenario BaU untuk tahun 2030 dan 2050, sub-
sektor komersial merupakan penyumbang GRK terbesar diikuti oleh
industri, perumahan, dan transportasi. Oleh karena itu, dalam
skenario CM tahun 2030, penurunan emisi GRK paling signifikan
dicapai oleh transportasi (46,36%) diikuti oleh komersial (24,76%),
industri (16,1%), dan sisanya 12,78% dari pemukiman. Kondisi ini
diperkirakan akan berubah pada tahun 2050, di mana subsektor
komersial dan industri akan secara signifikan menurunkan emisi
GRK masing-masing hingga 35,1% dan 27,8%.
Pada skenario CM, tingkat emisi GRK akan mampu turun masing-
masing sebesar 9.185 Mton CO2e (8,62%) dan 9,212 Mton CO2e
| 165
(4,86%) pada tahun 2030 dan 2050 dibandingkan dengan skenario
BaU DKI Jakarta. Tingkat emisi GRK di sektor limbah ditentukan
oleh jumlah limbah yang diolah dan jenis teknologi yang digunakan.
Dengan menggunakan skenario BaU, emisi GRK diperkirakan
meningkat 1,73 kali lipat dari 2.447 Mton CO2e menjadi 4.233 Mton
CO2e (2030) dan 2,14 kali menjadi 5,241 Mton CO2e (2050). Upaya
mitigasi yang dilaksanakan dalam skenario CM akan menghasilkan
penurunan emisi GRK sebesar 1.429 Mton CO2e (2030) dan 2.724
Mton CO2e (2050) yang setara dengan penurunan 1,34% dan 1,44%
dibandingkan dengan skenario BaU DKI Jakarta.
166 | PRAKTIK
Pembahasan Proyek Pembangunan Kota Rendah Karbon
| 167
andalan. Penggunaan pemanas air tenaga surya di rumah-rumah
dan bangunan dapat menurunkan emisi CO2 sebesar 76,2 ktCO2e.
Perangkat cerdas merupakan program pembangunan rendah karbon
yang terfokus pada mempromosikan perangkat dan peralatan hemat
energi yang digunakan di rumah dan kantor. Total pengurangan
emisi GRK oleh aksi ini adalah 434,1 ktCO2e.
168 | PRAKTIK
energi bersih, pergantian bahan bakar, perpindahan moda
transportasi, dan penerangan jalan umum menggunakan lampu LED
dan tenaga surya. Sedangkan dari sektor pembangkit listrik, potensi
penurunan emisi dihasilkan dari usaha-usaha efisiensi pembangkit
listrik, pergantian bahan bakar, dan pengoperasian pembangkit
listrik berbasis energi terbarukan.
a.
b.
| 169
Analisis
Sektor energi yang berasal dari pemakaian energi untuk industri,
bangunan gedung dan komersil, transportasi dan penggunaan
energi di rumah tangga merupakan penyumbang emisi karbon yang
utama di kota-kota besar Indonesia. Seiring dengan pertumbuhan
penduduk dan perkembangan pembangunan ekonomi di Indonesia,
kebutuhan energi akan meningkat pesat dalam jangka menengah
(2030) dan jangka panjang (2050). Hasil kajian menunjukkan
proyeksi kenaikan konsumsi energi sebesar 2,22 kali lipat di Kota
Semarang di tahun 2030 dibandingkan konsumsi energi di tahun
2015. Sedangkan di Kota Jakarta akan terjadi peningkatan konsumsi
energi sebesar 2,43 kali lipat di tahun 2030 dan 3,85 kali lipat di tahun
2050 dibandingkan konsumsi energi di tahun 2010. Peningkatan
konsumsi energi di masa yang akan datang bervariasi antar kota,
tergantung beberapa faktor internal di kota tersebut seperti
pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan jumlah rumah tangga,
dan kondisi perkembangan sosial-ekonomi yang dipengaruhi oleh
perkembangan ekonomi, pertumbuhan sektor industri dan jasa di
kota tersebut. Kondisi ini akan menyebabkan peningkatan emisi CO 2
di masa yang akan datang apabila tidak diikuti dengan intervensi
kebijakan pembangunan rendah karbon yang berpotensi
menurunkan emisi GRK.
170 | PRAKTIK
dampak lebih besar pada penurunan emisi GRK sektor perkotaan,
jika dibandingkan dengan upaya penurunan dari pengelolaan
limbah dan pemanfaatan hutan/taman kota yang sangat terbatas
dan sulit dikembangkan secara luas di kota-kota besar Indonesia.
Secara umum, rangkuman rencana aksi yang dapat dilakukan di
perkotaan di Indonesia dalam jangka menengah dan jangka panjang
terutama berbasis pada Perpindahan (Shift) dan Perbaikan (Improve)
seperti disajikan pada Tabel 4.
| 171
harus diimbangi dengan upaya-upaya konservasi energi yang
berbasis pada perbaikan teknologi, penggunaan material, peralatan
cerdas, pergantian bahan bakar, dan diikuti dengan insentif ekonomi
yang mendorong langkah-langkah konservasi energi. Kedua, sektor
transportasi berkontribusi cukup besar dan juga berpeluang besar
untuk menurunkan emisi GRK. Pembangunan sarana transportasi
publik bersifat massal dan sarana transportasi non-motorized (jalur
pejalan kaki dan sepeda) akan efektif untuk mendorong perpindahan
moda transportasi yang akan membantu menurunkan emisi dari
sektor transportasi. Perbaikan efisiensi yang berbasis pada teknologi
serta penggantian bahan bakar yang lebih ramah lingkungan (Bahan
Bakar Nabati (BBN), Bahan Bakar Gas (BBG), maupun kendaraan
listrik) akan membantu menurunkan emisi dari sektor transportasi.
Program konversi BBM lebih mudah dilaksanakan dan dapat
diimplementasikan. Kebijakan konversi BBM memberikan efek
berbeda dalam jangka menengah maupun jangka panjang seperti
contoh implementasi penggunaan biodiesel untuk transportasi dan
industri di Jakarta yang memberikan dampak cukup besar di tahun
2030.
172 | PRAKTIK
dapat diterapkan untuk sarana transportasi publik maupun
kendaraan pribadi.
| 173
kendala utama dikarenakan keterbatasan lahan di kota-kota besar di
Indonesia.
Kesimpulan
Pengembangan skenario pembangunan rendah karbon dapat
digunakan dalam perencanaan jangka menengah dan jangka
panjang sehingga membantu para pengambil kebijakan kota-kota
besar agar dapat mengadopsi cetak biru perencanaan lebih awal.
Proses perencanaan skenario pengurangan emisi di masa yang akan
datang untuk skala kota perlu didukung analisis secara kuantitatif
yang berbasis pada informasi yang akurat, handal dan terpercaya
untuk menentukan data dasar emisi suatu kota pada tahun
referensi/acuan dasar pehitungan. Pemerintah Kota Jakarta dan
Kota Semarang berupaya menyusun strategi jangka menengah dan
jangka panjang di tingkat kota melalui pengembangan Strategi
Pembangunan Rendah Karbon (LCDS) untuk mencapai target
penurunan emisi jangka menengah (2030) dan jangka panjang (2050).
Kajian dilakukan secara kuantitatif dengan mengunakan
permodelan pengkajian terintegrasi (Integrated Assessment Model)
dengan pendekatan melihat kembali ke masa lalu (backcasting) dan
serta analisis kebijakan digunakan untuk menentukan prasyarat
transisi energi terbarukan, termasuk integrasi kebijakan energi dan
transportasi.
174 | PRAKTIK
Peraturan Gubernur DKI Jakarta no. 131/2012 tentang Rencana Aksi
Daerah Aksi Mitigasi GRK (RAD GRK) yang telah menetapkan
strategi ambisius perubahan iklim melalui penurunan emisi GRK
sebesar 30% pada tahun 2030 menggunakan baseline 2010.
Berdasarkan evaluasi hasil pencapaian yang sudah dilaksanakan
melalui inventarisasi emisi pada tahun 2018, kajian pengembangan
skenario pembangunan rendah karbon di Kota Jakarta fokus pada
program-program yang berpotensi cukup besar untuk mengejar
pencapaian target di tahun 2030. Semua hal tersebut menjadi
masukan penting dalam membuat kerangka kerja pembangunan
rendah karbon di perkotaan.
| 175
dan penyerapan karbon melalui pengembangan hutan dan taman
kota memiliki dampak lebih kecil dikarenakan keterbatasan lahan
pengembangan hutan dan taman kota di kota-kota besar Indonesia.
Daftar Pustaka
IEA. (2017), Key World Energy Statistics 2017. Key world energy
statistics, Tersedia di DOI: 10.1787/key_energ_stat-2017-en
Diyarni, I. P. (2018), Low carbon development in DKI Jakarta.
Seminar on city to city collaboration for low carbon city
development in Asia. Tokyo, 30th January, 2018.
IGES. (2017), Low Carbon Society Scenario Semarang 2030, Institute
for Global Environmental Strategies. Japan.
IGES. (2020), Long-term Strategy to Achieve DKI Jakarta's Low
Carbon Society 2050. Institute for Global Environmental
Strategies. Japan.
Heidrich, O., Reckien, D., Olazabal, M., Foley, A., Salvia, M., de
Gregorio Hurtado, S. (2016), National climate policies across
176 | PRAKTIK
Europe and their impacts on cities strategies. Journal of
Environmental Management, Vol. 168, 36-45.
Masripatin, N., Rachmawaty, E., Suryanti, Y., Setyawan, H., Farid,
M., & Iskandar, N. (2017), Strategi Implementasi NDC
(Nationally Determined Contribution). Direktorat Jenderal
Pengendalian Perubahan Iklim, Kementrian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan. Jakarta.
Nationally Determined Contribution (NDC) Pertama Republik
Indonesia, 2016. Tersedia di
https://www4.unfccc.int/sites/ndcstaging/PublishedDocume
nts/Indonesia%20First/First%20NDC%20Indonesia_submitted
%20to%20UNFCCC%20Set_November%20%202016.pdf
Niemeier, D., Grattet, R., & Beamish, T. (2015), “Blueprinting” and
climate change: Regional governance and civic participation in
land use and transportation planning. Environ. Plan. C Gov.
Policy, Vol. 33, 1600–1617, tersedia di
https://doi.org/10.1177/0263774X15614181
Olsson, L., Hjalmarsson, L., Wikström, M., & Larsson, M. (2015),
Bridging the implementation gap: Combining backcasting and
policy analysis to study renewable energy in urban road
transport. Transp. Policy, Vol. 37, 72–82, tersedia di
https://doi.org/10.1016/j.tranpol.2014.10.014
Pemerintah Kota Semarang. (2012), Profil emisi GRK Kota
Semarang Tahun 2010 – 2020. Pemerintah Kota Semarang.
Indonesia.
Reckien, D., Flake, J., Olazabal, M., & Heidrich, O. (2015), The
influence of drivers and barriers on urban adaptation and
mitigation plans- an empirical analysis of European cities.
PLoS ONE, Vol. 10:e0135597, tersedia di
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0135597
Dewi, R. G. (2012), Estimating GHG emissions from energy sector.
Reference & sectoral approach. Borobudur Hotel-Jakarta,
March 2nd, 2012.
Siagian, U. W. R., Yuwono, B. B., Fujimori, S., & Masui, T. (2017),
Low-carbon energy development in Indonesia in Alignment
with Intended Nationally Determined Contribution (INDC) by
2030. Energies, Vol. 10 No. 1, pp 52, tersedia di
https://doi.org/10.3390/en10010052
| 177
178 | PRAKTIK
BAB 9
PENGELOLAAN AIR TERPADU UNTUK
MEWUJUDKAN KETAHANAN KOTA
Pembelajaran dari Program Water As Leverage
SANTY PAULLA DEWI
Pendahuluan
Air menjadi isu global yang mengemuka sejak tahun 1970an hingga
hari ini, mulai dari krisis air bersih, sanitasi, polusi, hingga bencana
alam seperti banjir, rob, dan kekeringan (Guppy & Anderson, 2020).
Perubahan iklim menjadikan persoalan air semakin kompleks seperti
peningkatan muka air laut yang berkontribusi terhadap erosi dan
intrusi air laut, banjir, rob, dan kekeringan yang semakin meluas.
Pada akhirnya, isu air mempengaruhi semua aspek dalam
pembangunan kota mulai dari pembangunan ekonomi, kualitas
lingkungan, dan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, penting
kiranya untuk melihat air sebagai bagian intrinsik dari
pembangunan kota (Tortajada, 2010). Pengelolaan air yang baik akan
menjadi salah satu pengungkit perkembangan kota sehingga mampu
mewujudkan kota yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan
sesuai dengan tujuan SDGs ke-11.
| 179
ketahanan terhadap perubahan iklim adalah pengelolaan air yang
terpadu (Muller, 2007). Menurut definisi dari Global Water
Partnership, pengelolaan air terpadu merupakan suatu proses yang
terkoordinasi untuk mendorong pengembangan dan pengelolaan
air, tanah, dan sumber daya terkait dalam rangka memaksimalkan
kesejahteraan ekonomi dan sosial yang dihasilkan dengan cara yang
adil tanpa mengorbankan kelestarian ekosistem penting (Fritsch &
Benson, 2013). Pada implementasinya, diperlukan partisipasi dari
semua stakeholder agar dapat mengakomodasi semua kebutuhan
serta untuk menghindari konflik kepentingan.
180 | PRAKTIK
output dari program WaL adalah sebuah konsep pembangunan yang
bisa diimplementasikan dan bahkan nantinya bisa direplikasi di
lokasi lain yang memiliki entitas yang sama melalui pendekatan
kolaboratif dan penyusunan desain yang inklusif. Konsep yang
dihasilkan merupakan pendekatan yang inovatif untuk menghadapi
berbagai persoalan terkait perubahan iklim dan menyediakan
pembiayaan untuk mengatasinya. Untuk bisa diimplementasikan,
maka perlu kerjasama dengan berbagai pihak mulai dari pemerintah
lokal, pemerintah provinsi, hingga pemerintah pusat, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) baik lokal maupun internasional,
akademisi, serta lembaga keuangan (pembiayaan) nasional maupun
internasional. Dengan kerjasama yang baik dari semua aktor tersebut
akan menciptakan lingkungan yang saling mendukung dan
menguatkan.
Inisiasi awal dari WaL mengambil lokasi di tiga kota Asia yaitu
Semarang, Chennai (India), dan Khulna (Bangladesh). Secara lebih
spesifik, justifikasi pemilihan Kota Kota Semarang menjadi salah
satu kota yang dipilih karena kota ini termasuk salah satu dari 100
Kota Berketahanan. Selain itu, Kota Semarang juga menghadapi
persoalan terkait dengan air seperti banjir dan rob, penurunan tanah,
longsor, kekeringan, dan penyediaan air bersih. Harapan dari
program WaL tidak hanya berupa solusi teknis (konsep) yang
inovatif terkait masalah air, tetapi juga desain yang implementatif,
serta kemungkinan pendanaan dan kelembagaannya.
| 181
kekeringan (Debele et al., 2019). Faktor penyebab lainnya adalah
terjadinya urbanisasi yang diindikasikan dari peningkatan jumlah
penduduk dan meningkatnya konversi lahan menjadi permukiman.
Secara umum, banjir dapat dikategorikan menjadi dua; pertama,
banjir pluvial yaitu banjir yang disebabkan karena curah hujan yang
tinggi sehingga tidak bisa tertampung ke saluran drainase, dan banjir
fluvial, yaitu banjir kiriman dari kawasan hulu ke hilir sehingga
sungai menjadi meluap (Muthusamy et al., 2019). Berdasarkan kajian
dari tim WaL, di Kota Semarang lebih banyak terjadi banjir fluvial
karena konversi lahan dan kerusakan lingkungan di kawasan hulu
sehingga penyerapan air berkurang dan run-off menjadi lebih besar.
Kondisi ini diperburuk dengan adanya curah hujan yang tinggi dan
terjadinya sedimentasi. Seperti banjir rob yang terjadi di kawasan
pesisir Semarang di mana adanya sedimentasi dan kenaikan muka
air laut membuat kawasan hulu seringkali tergenang.
Secara topografi, Kota Semarang terdiri dari kota atas dan kota
bawah. Jika kawasan kota bawah rentan terhadap banjir dan rob,
maka kawasan Semarang atas rentan terhadap longsor. Handayani,
et al. (2019) menyebutkan banjir dan tanah longsor menjadi bencana
yang paling sering terjadi di Kota Semarang pada kurun waktu
tahun 2010-2017. Hal ini dikarenakan resapan air yang semakin
berkurang dan curah hujan yang tinggi saat musim penghujan. Di
sisi lain, saat musim kemarau, masalah kekeringan juga dialami
masyarakat di beberapa lokasi. Kekeringan disebabkan karena
penyimpanan air rendah di mana eksploitasi air tanah yang
berlebihan oleh industri dan sumur-sumur rumah tangga. Selama ini
penanganan kekeringan yang dilakukan oleh Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang adalah
dengan memberikan bantuan air bersih melalui truk-truk tangki
pengangkut air. Namun demikian, upaya tersebut bersifat sementara
dan tidak bisa menjangkau seluruh lokasi yang rawan kekeringan3.
Kekeringan terjadi di kawasan yang belum terlayani jaringan
3
Sesuai data dalam http://bpbd.semarangkota.go.id/
182 | PRAKTIK
perpipaan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), di mana
cakupan pelayanan PDAM4 saat ini mencapai 60% dari seluruh area
di Kota Semarang. Kondisi ini memicu pertambahan jumlah sumur
bor yang dimiliki rumah tangga dan eksploitasi air tanah.
4
Sesuai keterangan dalam https://www.pdamkotasmg.co.id/page/cakupan_pelayanan
| 183
Isu air di Kota Semarang cukup kompleks, di mana di kawasan
Semarang atas (hulu) mengalami ancaman kekeringan, longsor,
bahkan juga banjir. Sedangkan di kawasan hilir menghadapi
persoalan banjir dan rob, intrusi air laut yang berakibat pada
peningkatan kebutuhan air bersih yang sesuai standar, peningkatan
muka air laut, dan penurunan muka tanah. Selain itu, pengelolaan
jaringan drainase perkotaan juga tidak terkoneksi dengan baik antara
satu dengan lainnya sehingga tidak mampu menampung dan
mengalirkan air dengan maksimal.
184 | PRAKTIK
Sumber: Netherlands Enterprise Agency, 2019
Gambar 2. Tahapan Kegiatan WaL
| 185
dengan tujuan SDGs. Selanjutnya terpilih dua tim untuk masing-
masing kota, di mana untuk Kota Semarang tim yang terpilih adalah
'One Resilient Semarang' dengan komposisi tim yaitu One Architecture
& Urbanism, Deltares, Wetlands International, Kota Kita, Sherwood
Design Engineers, Hysteria Grobak, Iqbal Reza, dan UNDIP, dan tim
kedua yaitu 'Cascading Semarang' dengan anggota tim MLA+,
Deltares, FABRICations, PT Witteveen + Bos Indonesia, UNDIP,
UNISSULA dan IDN Liveable Cities (Netherlands Enterprise Agency,
2019). Pada pelaksanaannya, masing-masing tim menyusun konsep
desain yang berbeda, namun pada proses pengumpulan data
seringkali bersamaan, khususnya yang melibatkan banyak
stakeholder dalam kegiatan workshop bersama.
186 | PRAKTIK
pemerintah lokal kepada beberapa lembaga keuangan seperti the
Dutch Development Bank FMO, the Asian Infrastructure Investment Bank,
the World Bank, the Asian Development Bank, the Islamic Development
Bank, dan the Green Climate Fund. Pada tahap ini, masing-masing tim
memaparkan desain yang telah dibuat untuk nantinya dikritisi oleh
lembaga keuangan diatas mengenai kemungkinan pendanaan dan
peluang investasi. Workshop yang dilakukan tidak hanya
melibatkan lembaga keuangan internasional tetapi juga lembaga
nasional seperti PT. PII dan PT. SMI yang memang kompeten dalam
hal pembiayaan infrastruktur.
| 187
adanya pemahaman bahwa investasi pada bidang ketahanan iklim
menjadi sebuah peluang yang mungkin untuk dilakukan.
188 | PRAKTIK
WaL, dihasilkan lima usulan strategi penanganan permasalahan air
yang inovatif di mana mencakup intervensi terhadap kawasan hulu
ke hilir dan mengacu pada prinsip pengelolaan air yang
berkelanjutan. Program yang dihasilkan ini disesuaikan dengan
program pemerintah yang sudah maupun sedang berjalan.
| 189
2. Kampung Tangguh
Tujuan dari program ini adalah intervensi skala kecil di mana
masyarakat diedukasi dan didorong agar mampu memanfaatkan
potensi kampung yang ada sehingga tidak hanya dapat
meningkatkan pendapatan tetapi juga berdampak positif terhadap
lingkungan. Secara lebih nyata, inisiasi dilakukan dengan mendaur
ulang sampah, memfasilitasi pemanfaatan air hujan melalui kegiatan
pemanenan air hujan yang digunakan untuk aktivitas mencuci dan
menyiram tanaman, dan penyediaan air minum berbasis komunitas.
Program ini menekankan pada peningkatan kapasitas masyarakat
untuk berkontribusi pada inisiasi lokal yang sudah ada sebelumnya.
Selain itu, program ini juga selaras dengan program kampung
tematik yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Semarang.
Program kampung tematik pada dasarnya dimaksudkan untuk
meningkatkan perekonomian masyarakat, mengatasi kemiskinan,
dan memberdayakan masyarakat. Lebih jauh lagi, pada program
kampung tangguh koma, masyarakat tidak hanya tangguh dari sisi
sosial ekonomi, tetapi juga tangguh terhadap kemungkinan tekanan
akibat adanya perubahan iklim sehingga memiliki kesadaran akan
isu lingkungan dan berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan.
190 | PRAKTIK
ini sejalan dengan program yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah
Kota Semarang seperti pembangunan Waduk Jatibarang yang
dimaksudkan sebagai tangkapan dan penampungan air sehingga
dapat mensuplai air untuk masyarakat sekitarnya dan mengurangi
air limpasan. Waduk Jatibarang juga didesain sebagai sebuah ruang
publik yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Pembangunan
embung-embung di kawasan Semarang atas juga selaras dengan
konsep ini yang bertujuan untuk menampung air, menjadi cadangan
air, dan mengurangi limpasan.
| 191
disesuaikan dengan rencana program Pemerintah Kota Semarang
yaitu pembangunan jalan tol dan tanggul laut. Dengan demikian
tanggul laut ini tidak hanya difungsikan sebagai mencegah banjir di
kawasan pesisir, tetapi juga penampungan air yang kemudian
diberikan teknologi pengolahan air sehingga dapat dimanfaatkan
oleh industri. Program ini tidak hanya dimaksudkan mengatasi
banjir dan penurunan muka tanah, tetapi juga secara finansial bisa
menjadi sumber pendapatan bagi pemerintah dengan mensuplai air
ke industri. Dengan menurangi risiko banjir diharapkan dapat
meningkatkan nilai ekonomi kawasan pesisir sehingga lebih atraktif
bagi investor.
192 | PRAKTIK
stakeholder lintas departemen dan lintas wilayah. Terlebih kebijakan
terkait dengan pengelolaan air tidak hanya melibatkan instansi yang
bersinggungan dengan air saja, tetapi juga instansi “non-air” seperti
Dinas Tata Ruang, Bappeda, dan PLN. Hal ini selaras dengan konsep
Integrated Water Resources Management (IWRM), di mana dalam
implementasinya membutuhkan kebijakan yang mendukung,
partisipasi dari institusi terkait, pengelolaan yang baik, serta
pembiayaan yang kuat (Pahl-Wostl et al., 2020).
| 193
hal yang telah dilakukan seperti keberadaan 5 polder (Tawang,
Banger, Kali Semarang, Muktiharjo Kidul, dan Kaligawe),
penyediaan 49 rumah pompa yang tersebar di Kota Semarang,
normalisasi Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur, normalisasi
Kali Tenggang dan Kali Sringin, pembangunan kolam retensi, dan
penyediaan fasilitas pendukung lainnya seperti truk penyedot air
portabel. Semua upaya yang telah dilakukan diharapkan mampu
mengatasi permasalahan banjir baik yang merupakan limpasan dari
daerah hulu maupun banjir yang disebabkan oleh tingginya curah
hujan.
194 | PRAKTIK
Pemanfaatan air hujan atau limpasan untuk kebutuhan lain seperti
pertanian, perkebunan, hingga aktivitas pengolahan industri
diharapkan juga mampu mengurangi eksploitasi air tanah. Pada
akhirnya pengurangan pemanfaatan air tanah juga dapat
mengurangi laju penurunan muka tanah di Kota Semarang.
Keberadaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Semarang Barat
merupakan salah satu solusi yang telah dilakukan oleh Pemerintah
Kota Semarang untuk melayani kebutuhan air bersih bagi
masyarakat dan industri memiliki efek ganda; tidak hanya
memenuhi kebutuhan air bersih, tetapi juga mengurangi
penggunaan air tanah, serta meningkatkan pendapatan pemerintah.
Selama ini upaya penanganan penurunan muka tanah antara lain
melalui pembatasan pemanfaatan air tanah, pencegahan erosi dan
abrasi, serta peningkatan penyediaan air untuk industri. Namun
demikian, peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan
aktivitas ekonomi menjadi tantangan dalam penyediaan air bersih
dan penurunan muka tanah.
| 195
yang lebih baik dan juga sebagai usaha untuk menyediakan ruang
publik untuk masyarakat.
196 | PRAKTIK
dimaksudkan sebagai bentuk keterlibatan instansi pemerintah,
institusi non pemerintah, maupun masyarakat dalam pengambilan
keputusan. Adanya partisipasi yang baik maka akan meningkatkan
akuntabilitas, kepercayaan, serta dukungan masyarakat terhadap
kebijakan dan proram yang dilaksanakan serta mengurangi
munculnya risiko dan masalah dalam implementasi (Ruiz-Villaverde
& García-Rubio, 2017). Pada akhirnya, akan muncul kesadaran
masyarakat dan adanya proses pembelajaran yang akan
meningkatkan kerjasama dan kolaborasi antar stakeholder (Horlitz,
2007).
Persoalan lain yang muncul dalam aspek tata kelola ini adalah
kurangnya pelibatan stakeholder “non-air” (institusi terkait dengan
aspek sosial dan ekonomi) dalam perumusan kebijakan maupun
penentuan program terkait air (Pahl-Wostl, 2020). Faktanya,
stakeholder “non-air” memiliki pengaruh dan kepentingan dalam
pengembangan sumber daya air (Tortajada, 2010). Beberapa
stakeholder “non-air” antara lain NGO, universitas, maupun
kelompok masyarakat. Universitas baik di tingkal lokal maupun
internasional memiliki banyak penelitian terkini atau pusat-pusat
riset yang mengamati persoalan air di mana hasil dari riset ini dapat
dimanfaatkan pada proses monitoring maupun evaluasi berbagai
| 197
kebijakan air. Hal ini penting karena dalam pengelolaan sumber
daya air diperlukan data yang akurat dan terkini di mana hal ini
tidak mudah diperoleh khususnya di negara-negara berkembang
karena adanya hambatan teknologi (Zogheib et al., 2018).
198 | PRAKTIK
sektor swasta (industri, developer, dan lainnya), serta lembaga
keuangan baik nasional maupun internasional.
| 199
tahun 2020-2024 atau 429,7 M dalam APBN 20205. Oleh karena itu,
diperlukan sumber pembiayaan alternatif non APBN/APBD untuk
pembangunan infrastruktur yaitu dengan melibatkan pihak ketiga.
Di sisi lain, jika ditinjau dari dana penanangan bencana, maka secara
umum bersumber dari APBN atau pinjaman. Sumber pembiayaan
dalam penanganan bencana ditentukan berdasarkan tingkatan
bencana (dampak kerugian atau kerusakan yang ditimbulkan)
apakah termasuk rendah (banjir lokal dan tanah longsor), sedang
(erupsi gunung berapi, banjir bandang), atau tinggi (bencana
katastropik). Dana terkait bencana diperuntukkan pra bencana dan
pasca bencana; artinya bukan dalam konteks mitigasi bencana
(Wibowo, 2017).
5
Sesuai yang diterbitkan Kementerian Keuangan
200 | PRAKTIK
dalam hal penyediaan air minum, pengelolaan air limbah dan
sanitasi di mana tidak hanya dikarenakan alasan keterbatasan
finansial pemerintah, tetapi juga karena alasan efisiensi (Ruiters,
2013). Pemerintah Kota Semarang juga telah menggunakan skema
KPBU6 pada proyek SPAM Semarang Barat dengan jangka waktu
kerjasama selama 25 tahun untuk masa operasi dan 2 tahun untuk
masa konstruksi. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan air
menjadi salah satu bidang kerjasama yang juga menarik bagi badan
usaha (swasta).
6
Informasi lebih lanjut pada laman http://kpbu.djppr.kemenkeu.go.id/
| 201
penting dalam mengatasi persoalan air. Sustainable water financing
adalah pembiayaan dalam pengelolaan air yang berkelanjutan dan
tidak menimbulkan sunk cost (Hilbig & Rudolph, 2019). Mekanisme
pembiayaan ini sangat menentukan bagaimana pembangunan
infrastruktur air, pengoperasian, dan pengelolaannya. Tahap
pengelolaan (O&M) seringkali diabaikan dan dilewatkan pada
proyek pembangunan infrastruktur yang pada akhirnya justru
mempengaruhi kinerja dan fungsi dari infrastruktur tersebut.
Sustainable water financing juga merupakan implementasi dari konsep
IWRM di mana tidak hanya fokus pada aspek teknis penyelesaian
persoalan air, tetapi juga dampak atau outcome dari persoalan air
terhadap aspek lain, seperti aspek sosial dan ekonomi.
202 | PRAKTIK
untuk masyarakat maupun industri, penanganan kekeringan dan
penurunan muka tanah sifatnya masih insidentil. Oleh karena itu,
peluang kerjasama dengan pihak ketiga baik badan usaha melaui
KBPU maupun lembaga keuangan internasional (baik skema CSR,
hibah, maupun pinjaman) perlu untuk terus dikembangkan. Hal ini
dapat dilakukan dengan mengubah pola pikir bahwa air tidak hanya
menjadi sebuah masalah tetapi juga bisa menjadi sebuah peluang
yang mendatangkan keuntungan. Seperti halnya solusi penyediaan
air bagi industri (feeding the industry) dari WaL yang tidak hanya
bertujuan untuk mengurangi run-off, tetapi juga menampung air
yang selanjutnya diolah dan dapat dijual kembali pada industri.
Kesimpulan
Mewujudkan kota yang memiliki ketahanan membutuhkan proses
dan menghadapi banyak tantangan, salah satunya adalah
| 203
pengelolaan air yang inklusif. Kerjasama lintas sektor dan lintas level
bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan
masing-masing institusi dan aktor memiliki peran dan fungsi yang
berbeda sehingga tujuan yang ingin dicapai juga berbeda. Meskipun
pada proses pelaksanaan WaL, institusi yang dilibatkan sejak
workshop pertama hingga akhir relatif sama, namun perwakilan dari
masing-masing institusi seringkali berbeda. Oleh karena itu, sulit
untuk memperoleh informasi yang utuh mengenai kebijakan atau
program terkait. Selain itu, kontribusi dari masing-masing institusi
ini menjadi kurang maksimal karena perlu mengulang informasi
atau proses yang sudah berjalan sebelumnya.
Disisi lain, solusi pemerintah terkait persoalan air selama ini lebih
bersifat reaktif yaitu bagaimana mengatasi gejala yang muncul serta
cara mengatasinya. Namun demikian upaya ini belum cukup ,
mengingat persoalan air di Kota Semarang cukup kompleks dan
terjadi mulai dari kawasan hulu hingga ke hilir. Oleh karena itu
diperlukan strategi yang sistematik di mana tidak hanya mengatasi
gejala tetapi juga ada upaya mitigasi dan berorientasi ke masa yang
akan datang. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan tata kelola
air yang inklusif di mana melibatkan stakeholder air dan “non-air”
didalamnya sehingga tercipta sebuah interaksi, kolaborasi,
pertukaran informasi dan pengetahuan, juga kemungkinan
kerjasama pembiayaan infrastruktur.
204 | PRAKTIK
Daftar Pustaka
Pemerintah Kota Semarang. (2016), Semarang City Resilience
Strategy (CRS). Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.
Biswas, A.K. (2008), “Integrated water resources management: Is it
working?”, International Journal of Water Resources
Development, Vol. 24 No. 1, pp. 5–22.
Chou, J.-S. & Leatemia, G.T. (2016), “Critical Process and Factors for
Ex-Post Evaluation of Public-Private Partnership Infrastructure
Projects in Indonesia”, Journal of Management in Engineering,
Vol. 32 No. 5, p. 05016011.
Debele, S.E., Kumar, P., Sahani, J., Marti-Cardona, B., Mickovski,
S.B., Leo, L.S., Porcù, F., Bertini, F., Montesi, D., Vojinovic, Z. &
Di Sabatino, S. (2019), “Nature-based solutions for hydro-
meteorological hazards: Revised concepts, classification
schemes and databases”, Environmental Research, Elsevier
Inc., Vol. 179 No. June, p. 108799.
Dore, J., Lebel, L. & Molle, F. (2012), “A framework for analysing
transboundary water governance complexes, illustrated in the
Mekong Region”, Journal of Hydrology, Elsevier B.V., Vol.
466–467, pp. 23–36.
Felsinger, K., Miranda, J., Skilling, H., Booth, K., Areneta, E., Birken,
M.A., Pedersen, S., Edwards, S., Woodward, I., Herrera, V.,
Canzon, M., Sutarez, A. & Mannapbekov, N. (2008), “Public-
Private Partnership Handbook Acknowledgments”, Asian
Development Bank, p. 100.
Fritsch, O. & Benson, D. (2013), “Integrating the Principles of
Integrated Water Resources Management ? River Basin
Planning in England and Wales”, Vol. 1, pp. 265–284.
Fulazzaky, M.A. (2014), “Challenges of integrated water resources
management in Indonesia”, Water (Switzerland), tersedia di
https://doi.org/10.3390/w6072000.
Guppy & Anderson. (2020), “Water Crisis Report”, United Nations
University Institute for Water, Environment and Health,
Hamilton, Canada.
Handayani, W., Hapsari, S.P.I., Mega, A. & Sih, S.J. (2019),
“Community-based disaster management: Assessing local
preparedness groups (LPGs) to build a resilient community in
Semarang City, Indonesia”, Disaster Advances, Vol. 12 No. 5,
pp. 23–36.
Hilbig, J. & Rudolph, K.U. (2019), “Sustainable water financing and
lean cost approaches as essentials for integrated water
resources management and water governance: Lessons learnt
| 205
from the Southern African context”, Water Science and
Technology: Water Supply, Vol. 19 No. 2, pp. 536–544.
Horlitz, T. (2007), “The role of model interfaces for participation in
water management”, Water Resources Management, Vol. 21
No. 7, pp. 1091–1102.
van Koppen, B. & Schreiner, B. (2014), “Moving beyond integrated
water resource management: developmental water
management in South Africa”, International Journal of Water
Resources Development, Vol. 30 No. 3, pp. 543–558.
Laeni, N., van den Brink, M., Busscher, T., Ovink, H. & Arts, J.
(2020), “Building local institutional capacities for urban flood
adaptation: Lessons from the water as leverage program in
Semarang, Indonesia”, Sustainability (Switzerland), Vol. 12 No.
23, pp. 1–22.
Laeni, N., Ovink, H., Busscher, T., Handayani, W. & van den Brink,
M. (2021), “A Transformative Process for Urban Climate
Resilience: The Case of Water as Leverage Resilient Cities Asia
in Semarang, Indonesia”, in Rutger de Graaf-van Dinther (Ed.),
Climate Resilient Urban Areas, Governance, Design and
Development in Coastal Delta Cities, Palgrave, Macmillan, pp.
155–173.
Meerow, S., Newell, J.P. & Stults, M. (2016), “Defining urban
resilience: A review”, Landscape and Urban Planning, Elsevier
B.V., Vol. 147, pp. 38–49.
Muller, M. (2007), “Adapting to climate change: Water management
for urban resilience”, Environment and Urbanization, Vol. 19
No. 1, pp. 99–113.
Muthusamy, M., Casado, M.R., Salmoral, G., Irvine, T. & Leinster, P.
(2019), “A remote sensing based integrated approach to
quantify the impact of fluvial and pluvial flooding in an urban
catchment”, Remote Sensing, Vol. 11 No. 5, tersedia di
https://doi.org/10.3390/rs11050577.
Netherlands Enterprise Agency. (2019), Water as Leverage for
Resilient Cities Asia, diambil dari
https://english.rvo.nl/subsidies-programmes/water-leverage
Pahl-Wostl, C., Knieper, C., Lukat, E., Meergans, F., Schoderer, M.,
Schütze, N., Schweigatz, D., Dombrowsky, I., Lenschow, A.,
Stein, U., Thiel, A., Tröltzsch, J. & Vidaurre, R. (2020),
“Enhancing the capacity of water governance to deal with
complex management challenges: A framework of analysis”,
Environmental Science and Policy, Elsevier, Vol. 107 No.
February, pp. 23–35.
Ribeiro, P.J.G. & Pena Jardim Gonçalves, L.A. (2019), “Urban
resilience: A conceptual framework”, Sustainable Cities and
206 | PRAKTIK
Society, Vol. 50 No. May, tersedia di
https://doi.org/10.1016/j.scs.2019.101625.
Ruiters, C. (2013), “Funding models for financing water
infrastructure in South Africa : Framework and critical analysis
of alternatives”, Vol. 39 No. 2, pp. 313–326.
Ruiz-Villaverde, A. & García-Rubio, M.A. (2017), “Public
Participation in European Water Management: from Theory to
Practice”, Water Resources Management, Water Resources
Management, Vol. 31 No. 8, pp. 2479–2495.
Tortajada, C. (2010), “Water governance: Some critical issues”,
International Journal of Water Resources Development, Vol. 26
No. 2, pp. 297–307.
Usace, I.W.R. (2016), “What is Public Participation in Water
Resources Management and Why is it Important ?”, No. June
2004, tersedia di https://doi.org/10.1080/02508060408691771.
Pemerintah Kota Semarang. (2019), Water as Leverage Report,
Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.
Wibowo, F.A. (2017), “Meningkatkan Kualitas APBN dengan Skema
KPBU”, Info RIsiko Fiskal, Vol. 2, pp. 4–9.
Yasmin, T., Farrelly, M.A. & Rogers, B.C. (2018), “Evolution of
water governance in Bangladesh: An urban perspective”,
World Development, Elsevier Ltd, Vol. 109, pp. 386–400.
Zogheib, C., Ochoa-Tocachi, B.F., Paul, J.D., Hannah, D.M., Clark, J.
& Buytaert, W. (2018), “Exploring a water data, evidence, and
governance theory”, Water Security, Elsevier, Vol. 4–5 No.
May, pp. 19–25.
| 207
208 | PRAKTIK
BAB 10
MENUJU SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH YANG
MEMILIKI KETAHANAN IKLIM DI KOTA SEMARANG:
ANTARA DAUR ULANG ATAU WASTE-TO-ENERGY
M. NURHADI
Pendahuluan
Pengelolaan sampah perkotaan menjadi tantangan besar bagi banyak
kota di negara berkembang (Mani & Singh, 2016). Jutaan sampah
dihasilkan setiap hari membutuhkan pengumpulan, pemilahan,
pengolahan dan pembuangan akhir. Sebagian besar sampah yang
dihasilkan dibuang di lahan terbuka, yang merupakan daerah-
daerah dataran rendah diluar kota, tanpa tindakan teknis tertentu
sebagaimana yang disyaratkan sehingga menyebabkan masalah
kesehatan dan pencemaran lingkungan (Lino & Ismail, 2013; Mani &
Singh, 2016; Sudibyo et al., 2017). Sistem pengelolaan konvensional
ini tidak dapat menyelesaikan masalah pengelolaan sampah karena
terbentur ketersediaan ruang, keterbatasan peraturan, anggaran, dan
infrastruktur (Ibrahim & Mohammed, 2016; Narayana, 2019).
| 209
Energy (WtE) sehingga membantu pemerintah dan masyarakat dan
investor memperbaiki kesehatan dan menurunkan emisi GRK
(Fetanat et al., 2019).
210 | PRAKTIK
pengelolaan sampah selama ini banyak difokuskan pada aspek
mitigasi. Penelitian tentang kaitan pengelolaan sampah dengan
mitigasi emisi GRK telah banyak dilakukan di Indonesia di
antaranya di Palembang (Fatimah et al., 2020), Depok (Kristanto &
Koven, 2019), dan Semarang (Fikri et al., 2015). Kajian ini bertujuan
untuk mengevaluasi sistem pengelolaan sampah di Kota Semarang
yang lebih tahan iklim dengan mengusulkan kriteria (1) distribusi
risiko untuk meminimalkan kegagalan pelayanan, (2) pencegahan
pencemaran dan emisi, (3) efisiensi sumberdaya atau optimalisasi
manfaat, dan (4) pelibatan serta integrasi stakeholder yang lebih luas
sebagaimana diusulkan di beberapa penelitian (Meerow et al., 2016;
Salimi & Al-Ghamdi, 2020).
| 211
1) Sistem Pengelolaan Sampah Saat Ini
Sistem pengelolaan sampah saat ini bertumpu pada pengumpulan,
pengangkutan dan pembuang (Kumpul-Angkut-Buang) meskipun
telah ada upaya pemilahan dan daur ulang secara terbatas. Perkiraan
timbulan sampah di Kota Semarang pada tahun 2016 diperkirakan
mencapai lebih dari 1.200 ton per hari. Sebanyak 800-900 ton sampah
diangkut dan ditimbun di TPA Jatibarang sebagai tempat
pemrosesan akhir (COWI, 2018). Pengumpulan sampah pada
Kawasan perumahan dilakukan oleh masyarakat sampah dengan
TPS, TPS 3R, atau kontainer kemudian diangkut oleh layanan
pemerintah kota (Pemerintah Kota Semarang, 2012). Layanan ini
mencakup 24 kelurahan dari jumlah seluruhnya mencapai 177
kelurahan (COWI, 2018). Pada ruang terbuka dan Kawasan lainnya,
pengumpulan dilakukan oleh layanan kota secara langsung atau
oleh pengelola kawasan (Pemerintah Kota Semarang, 2012).
212 | PRAKTIK
gas TPA menjadi energi listrik berjalan. namun dua metode
pemrosesan ini tidak dapat menurunkan volume sampah secara
signifikan (Nurhadi et al., 2020). Volume sampah yang tetap tinggi
mendorong pemerintah kota mencari alternatif lain untuk
menghemat lahan karena mencari lahan TPA baru yang memenuhi
syarat sangat sulit.
| 213
Secara umum, sampah jenis plastik, kertas, logam dan kaca dapat
didaur ulang dengan jumlah akumulatif mencapai 31,76%. Namun
terdapat beberapa jenis sampah yang harganya sangat rendah dan
fluktuatif sehingga tidak menarik untuk dikumpulkan seperti plastik
bungkus dan karet alas kaki. Dengan pengecualian dua jenis tersebut
maka potensi pengambilan bahan daur ulang dapat mencapai
27,15% (Bintari, 2020c). Tingkat pengurangan ini dapat dicapai jika
pelaku daur ulang dapat mengumpulkan seluruh potensi jenis
sampah yang potensial.
214 | PRAKTIK
Untuk mendorong pengumpulan plastik, Dinas Lingkungan Hidup
Kota Semarang membeli plastik bernilai rendah dengan harga lebih
tinggi dari harga pasar. Pembelian ini diharapkan memotivasi bank
sampah dan TPS 3R, yang pada akhirnya meningkatkan tingkat
pengumpulan plastik (Bintari, 2020a). Diluar pengumpulan bahan
daur oleh bank sampah dan TPS 3R, kegiatan pengumpulan bahan
daur ulang juga dilakukan oleh sektor informal terutama pemulung
dan pelapak. Sampai saat ini sektor informal belum terintegrasi
dengan sistem pelayanan sampah formal sehingga tingkat
pengumpulannya belum dapat diperhitungkan.
| 215
salah satu sasaran di antara 12 kota-kota lainnya di Indonesia
(Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017). Sistem ini secara sederhana
melakukan pengelolaan sampah dengan mengumpulkan,
mengangkut ke TPA, dan membakar sampah (Kumpul-Angkut-
Bakar) untuk memperoleh energinya.
216 | PRAKTIK
sistem dan infrastruktur hendaknya terdistribusi secara geografis
sehingga ketika terjadi guncangan, layanan tidak gagal (Meerow et
al., 2016). Kriteria kedua adalah meminimalkan pencemaran,
mengurangi volume sampah (Peraturan Presiden No. 35 Tahun
2018), dan emisi GRK. Pengurangan volume sampah sangat krusial
karena penyedian tanah untuk TPA baru sangat terbatas. Ketiga,
efisiensi sumberdaya dan optimalisasi manfaat di mana kemampuan
pembiayaan operasionalakan menjamin keberlanjutan layanan, dan
terakhir pelibatan serta integrasi stakeholder yang lebih luas (Salimi
& Al-Ghamdi, 2020). Dengan kriteria ini, setiap pilihan sistem
pengelolaan sampah yang tersedia saat ini akan dievaluasi untuk
memformulasikan sistem yang memiliki ketahanan iklim.
| 217
miskin mendapat keuntungan secara sosial ekonomi dari kelemahan
sistem ini. Pemulung dan kelompok miskin perkotaan dapat dengan
mudah dikenali di TPS dan TPA Jatibarang. Dengan demikian,
sistem ini juga melibatkan stakeholder yang luas karena kegiatan
pemulungan sampah. Optimalisasi Daur Ulang atau Sistem Pilah-
Daur Ulang-Buang didorong untuk mengurangi beban TPA. Beban
pemrosesan akhir di TPA dikendalikan untuk mengelola paling
banyak 70% dari jumlah timbulan sampah (Peraturan Presiden No.
97 Tahun 2017). Dari sisi kegagalan layanan, kegagalan akibat
pemrosesan akhir di TPA menurun sehingga umur operasi TPA
sedikit lebih panjang daripada Sistem Kumpul-Angkut-Buang.
Kebutuhan lahan untuk TPA baru juga lebih panjang. Pencemaran
lingkungan akibat operasional TPA dapat dikurangi dari penurunan
laju ekspansi TPA baru. Namun karena fraksi organik yang tidak
tertangani melalui daur ulang maka potensi air lindi, kesehatan dan
emisi GRK tidak berbeda dengan sistem pertama. Dari sisi efisiensi
sumberdaya dan optimalisasi manfaat, sistem ini memberi peluang
pemanfaatan ekonomi dari pengumpulan bahan daur ulang.
218 | PRAKTIK
lama dibanding dua sistem sebelumnya. Pencemaran lingkungan
yang dipicu oleh air lindi, serangga dan bau akan hilang karena
sampah akan musnah. Sistem ini juga menjadi alternatif mitigasi
emisi GRK namun juga banyak menciptakan kekhawatiran dari
timbulnya gas-gas yang berbahaya bagi kesehatan seperti dioksin
dan furan. Gas-gas ini dapat timbul dari pembakaran sampah yang
mengandung klor seperti PVC (Nurhadi et al., 2020).
| 219
Kumpul- Pilah-Daur Kumpul-
Kriteria
Angkut-Buang Ulang-Buang Angkut-Bakar
peluang gagal Umur TPA lebih namun reduksi
tinggi. panjang dan volume sangat
membutuhkan tinggi.
Membutuhkan
lahan baru
lahan TPA baru Umur TPA jauh
dalam periode
secara periodik lebih panjang
lebih panjang.
yang sulit karena volume
diperoleh. sisa pengolahan
hanya 5%.
220 | PRAKTIK
Kumpul- Pilah-Daur Kumpul-
Kriteria
Angkut-Buang Ulang-Buang Angkut-Bakar
ulang secara umur operasi dan sektor
terbatas. TPA. informal.
| 221
Sistem Kumpul-Angkut-Bakar di lain pihak memiliki kelemahan
dari sisi efisiensi sumberdaya dan optimalisasi manfaat serta
pelibatan masyarakat. Sistem ini mengharuskan investasi yang
tinggi, biaya operasional tinggi, tipping fee yang tinggi dan partisipasi
masyarakat yang kecil karena pembatasan kegiatan ekonomi
pemulungan sampah. Biaya investasi dan tipping fee yang besar akan
membebani keuangan publik demikian pula subsidi untuk
pembelian listrik. Kelebihan sistem ini adalah pengurangan sampah
yang sangat signifikan sehingga umur TPA akan jauh lebih Panjang.
Pencemaran lingkungan dari air lindi, serangga, dan bau akan
hilang. Emisi GRK jauh menurun meskipun emisi gas berbahaya
dapat timbul. Secara keseluruhan sistem ini juga gagal memenuhi
kriteria pengelolaan sampah yang tahan iklim.
222 | PRAKTIK
Kesimpulan
Sistem pengelolaan sampah yang tahan iklim setidaknya memiliki
kriteria yang meminimalkan kegagalan layanan (Meerow et al., 2016)
meminimalkan pencemaran, mengurangi volume sampah
(Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018), dan emisi GRK, efisiensi
sumberdaya dan optimalisasi manfaat. dan melibatkan stakeholder
yang luas (Salimi & Al-Ghamdi, 2020). Evaluasi terhadap tiga sistem
pengelolaan sampah di Kota Semarang menunjukkan tidak ada
sistem yang memenuhi kriteria ketahanan iklim. Namun demikian,
kombinasi pengelolaan sampah di hulu dengan pemilahan dan daur
ulang serta pengelolaan di hilir dengan produksi RDF dapat
memenuhi kriteria pengelolaan sampah tahan iklim. Untuk
menunjang kesimpulan ini, perlu dilakukan kajian lanjutan berupa
pemanfaatan sampah menjadi RDF untuk cofiring PLTU berbahan
bakar batubara. Kajian ini belum pernah dilakukan karena upaya
cofiring oleh PLN baru diperkenalkan pada awal 2020.
Daftar Pustaka
Bintari. (2017), Kajian Potensi Dair Ulang Sampah di Kota
Semarang. Bintari. Semarang.
Bintari. (2020a), Improving Recycle Capacity of Waste Management
Stakeholder Through Integration of Extended Stakeholder
Responsibility (ESR), 8th Quarterlty Report. Bintari: Semarang.
Bintari. (2020b), Improving Recycle Capacity of Waste Management
Stakeholder Through Integration of Extended Stakeholder
Responsibility (ESR), 2nd Quarterlty Report. Bintari. Semarang.
Bintari. (2020c), Improving Recycle Capacity of Waste Management
Stakeholder Through Integration of Extended Stakeholder
Responsibility (ESR), Deliverable 6. Bintari: Semarang.
Bintari. (2020d), Improving Recycle Capacity of Waste Management
Stakeholder Through Integration of Extended Stakeholder
Responsibility (ESR), Deliverable 7. Bintari: Semarang.
Byun, Y., Cho, M., Chung, J., Namkung, W., Lee, H., Jang, S., &
Hwang, S. (2011), Hydrogen recovery from the thermal plasma
gasification of solid waste. Hazard Matter, Vol. 190, pp. 317-
323.
| 223
COWI. (2018), Revisi Masterplan Pengelolaan Sampah Kota
Semarang tahun 2020-2040. Environmental Support Program
Phase III: Semarang.
Fatimah, Y.A.,Govindan, K., Murniningsih, R., & Setyawan, A.
(2020), Industry 4.0 based sustainable circular economy
approach for smart waste management system to achieve
sustainable development goals: A case study of Indonesia.
Journal of Cleaner Production, Vol. 269, tersedia di
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2020.122263
Fetanat, A., Mofid, H., Mehrannia, M., & Shafipour, G. (2019),
Informing energy Justice based Decision-making Framework
for Waste-to-Energy Technologies Selection in Sustainable
Waste Management: A Case of Iran. Journal of Cleaner
Production, Vol. 228. Pp. 1377-1390.
Fikri, E., Purwanto, P., & Sunoko, R.H. (2015), Modelling of
Household Hazardous Waste (HHW) Management in
Semarang City (Indonesia) by Using Life Cycle Assessment
(LCA) Approach to Reduce Greenhouse Gas (GHG) Emissions.
International Conference on Tropical and Coastal Region Eco-
Development 2014(ICTCRED 2014). Procedia Environmental
Sciences, Vol. 23, pp. 123 – 129.
Garg, A., Smith, R., Hill, D., Simms, N., & Pollard, S. (2007), Wastes
as Co-Fuels: The Policy Framework for Solid Recovered Fuel
(SRF) in Europe, with UK Implications. Environmental Sciente
& teccnology, Vol. 41, pp. 4868–4874.
Hartmann, C. (2018), Waste PickerLivelihoods and Inclusive
Neoliberal Municipal Solid Waste Management Policies:the
Case of the La Chureca Garbage Dump SIte in Managua,
Nicaragua. Waste Management, Vol. 71, pp. 565-577.
Ibrahim, M., & Mohammed, N. (2016), Towards Sustainable
Management of Solid Waste in Egypt. Improving Sustainability
Concept in Developing Countries. Procedia Environmental
Sciences, Vol. 34, pp. 336–347.
Kemitraan Indonesia Australia untuk Infrastruktur (KIAT). (2019),
Pre-Feasibility Study Report (Outline Business Case) Ver.2
(FINAL) Technical Assistance for the Semarang Waste to
Energy (WtE) Project. KIAT: Jakarta.
Kristanto, G.A. & Koven, W. (2019), Estimating greenhouse gas
emissions from municipal solid waste management in Depok,
Indonesia. City and Environment Interactions, Vol. 4, p.
100027.
Leme, M., Rocha, M., Lora, E., Venturini, O., Lopes, B., & Ferreira,
C. (2014), Techno-economic analysis and environmental impact
assessment of energy recovery from Municipal Solid Waste
224 | PRAKTIK
(MSW) in Brazil. Resource Conservation and Recycle, Vol. 87,
pp. 8-20.
Lino, F., & Ismail, K. (2013), Alternative treatments for the
municipal solid waste and domestic sewage in Campinas.
Resource Conservation & Recycle, Vol. 81, pp. 24–30.
Lokahita, B., Samudro, G., Huboyo, H., Aziz, M., & Takahashi, F.
(2018), Energy Recovery Potential from Excavating Municipal
Waste Dump Site in Indonesia. 10th International Conference
on Applied Energy (ICAE2018), Hong Kong: Energy Procedia,
Vol. 158. pp. 243-248.
Mani, S., & Singh, S. (2016), Sustainable Municipal Solid Waste
Management in India: A Policy Agenda. International
Conference on Solid Waste Management. Procedia
Environmental Sciences, Vol. 35, pp. 150 - 157.
Meerow, S., Newell, J. P., & Stults, M. (2016), Defining urban
resilience: A review. Landscape and Urban Planning, Vol. 147,
pp. 38–49.
Narayana, T. (2009), Municipal solid waste management in India:
From waste disposal to recovery of resources. Waste
Management, Vol. 29, pp. 1163-1166.
Nurhadi, M., Windarta, J., Ginting, D., Enda W.S., & Gregorius,
(2020), Evaluasi Pemanfaatan Gas TPA Menjadi Listrik, Studi
Kasus TPA Jatibarang Kota Semarang. Jurnal Energi Baru dan
Terbarukan Vol. 1.
Pemerintah Kota Semarang, 2012. Peraturan Daerah Nomor 6
Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah. Pemerintah Kota
Semarang: Semarang.
Pemerintah Kota Semarang, 2019. Peraturan Walikota Nomor 27
Tahun 2019 tentang Pengendalian Penggunaan Plastik.
Pemerintah Kota Semarang: Semarang.
Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Jakarta.
Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Jakarta.
PLN, 2020. Peraturan Direksi PLN Nomor 001.P/DIR/2020 tentang
Pedoman Pelaksanaan CofiringPembangkit Listrik Tenaga Uap
Berbahan Bakar Batubara dengan Bahan Bakar Biomassa. PLN:
Jakarta.
Pohl, M., Gebauer, K., & Beckmann, M. (2008), Characterisation of
Refuse Derived Fuels in view of the Fuel Technical Properties.
8th European Conference on Industrial Furnaces and Boilers.
VilaMoura-Algarve, Portugal.
| 225
Salimi, M., & Al-Ghamdi, S.G. (2020), Climate change impacts on
critical urban infrastructure and urban resiliency strategies for
the Middle East. Sustainable Cities and Society, Vol. 54.
Sudibyo, H., Majid, A. I., Pradana, Y. S., Budhijanto, W.,
Deendarlianto, & Budiman, A. (2017), Technological
Evaluation of Municipal Solid Waste Management System in
Indonesia. The 8th International Conference on Applied
Energy. Energy Procedia. pp. 263–269.
Wang, Y., He, Y., Yan, B., Ma, W., & Han, M. (2015), Collaborative
emission reduction of greenhouse gas emissions and municipal
solid waste (MSW) management - case study of Tianjin.
Procedia Environ. Sci. Vol. 16, pp. 75–84.
226 | PRAKTIK
BAB 11
PERHITUNGAN EMISI KARBON DAN RENCANA AKSI
MITIGASI PERUBAHAN IKLIM
Studi Kasus Kota Semarang
RATNA BUDIARTI
Pendahuluan
Berdasarkan laporan resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2019), hasil perhitungan
inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional menunjukkan tingkat
emisi sebesar 1.150.772 Gg CO2e di tahun 2017, atau meningkat
sebesar 124.879 Gg CO2e dibanding tingkat emisi tahun 2000.
Sedangkan kontribusi penurunan emisi secara nasional pada tahun
2017 terhadap target yang ditetapkan dalam Nationally Determined
Contribution (NDC) tahun 2030 adalah sebesar 24,7% dari target
penurunan emisi sebesar 834 Juta Ton CO2e atau 29% dari BaU.
Kontribusi yang dimaksud berasal dari sektor energi sebesar 7,30%,
sektor industrial process and product uses (IPPU) sebesar 0,02%, sektor
kehutanan sebesar 17,54%, sektor pertanian -0,25%, dan sektor
limbah sebesar 0,03%. Pada tahun 2020, Indonesia merupakan
penghasil emisi ke 10 di dunia yaitu 0,61 GT (Union of Concerned
Scientists, 2020). Climate Transparency (2018) melaporkan bahwa
rerata peningkatan emisi GRK di Indonesia adalah 18% per tahun.
Jika tren ini dibiarkan berlanjut, maka 2.000 dari 17.000 pulau di
Indonesia dikhawatirkan akan hilang akibat pemanasan global dan
perubahan iklim yang dipicu oleh meningkatnya konsentrasi emisi
CO2 di atmosfer (Lean & Smyth, 2010).
| 229
mengesahkan Paris Agreement to the United Nation Framework
Convention on Climate Change (Perjanjian Paris) melalui Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2016 pada tanggal 24 Oktober 2016.
Melalui kesepakatan tersebut, Indonesia bersama dengan negara-
negara di dunia berkomitmen untuk menahan laju peningkatan suhu
global di bawah 2°C dan melanjutkan upaya untuk menekan
kenaikan suhu global ke 1,5°C di atas tingkat pra–industrialisasi
(KLHK, 2019). Untuk mempertegas komitmen Indonesia, Indonesia
telah meluncurkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024 ‘hijau’ pertama yang memasukkan
Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim sebagai salah
satu Prioritas Nasional (Elena, 2020). Setiap daerah kabupaten/kota
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia didorong untuk
dapat menterjemahkan agenda pembangunan nasional tersebut,
masuk dalam kebijakan di daerah.
230 | INSTRUMEN
(RAD GRK), review terhadap dokumen RAD GRK, integrasi RAD
dalam dokumen perencanaan Kota Semarang serta melaksanakan
monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan RAD GRK.
Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan
RAD GRK tahun 2010-2020 (Bappeda Kota Semarang, 2018), capaian
terhadap target penurunan baru 1,3% dari target 4% terhadap BaU
ditahun 2020. Melalui review RAD GRK 2010-2020, kota semarang
juga melakukan perubahan terhadap target penurunan emisi dari 4%
terhadap BaU tahun 2020 menjadi 26,9% terhadap BaU 2030. Apa
instrumen dan metodologi yang digunakan oleh Kota Semarang
dalam merespon isu perubahan iklim serta bagaimana inisiatif
tersebut mampu menjadikan Kota Semarang memiliki ketahanan
iklim?
| 231
menghasilkan data dan informasi dasar terkait emisi/serapan GRK
serta bagaimana memanfaatkan data dasar tersebut menjadi rencana
aksi daerah gas rumah kaca (RAD GRK) atau Perencanaan
Pembangunan Rendah Kabron Daerah (PPRKD) untuk mewujudkan
perencanaan kota yang memiliki ketahanan iklim.
7
Informasi lebih lanjut mengenai signsmart pada http://signsmart.menlhk.go.id/v2.1/app/
232 | INSTRUMEN
pembangunannya untuk mengurangi GRK dan meningkatkan
ketahanan iklim. Sebuah rencana aksi iklim dibangun
berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari inventarisasi
emisi GRK dan penilaian kerentanan iklim perkotaan untuk
mengidentifikasi tindakan prioritas yang dapat membantu kota
beradaptasi dengan dampak perubahan iklim, sekaligus secara
signifikan mengurangi emisi GRK dari kegiatan kota. Kota
Semarang menyusun RAD GRK sesuai dengan Pedoman
Penyusunan RAD GRK yang dikembangkan oleh Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS8.
Berdasarkan hasil IGRK, Kota Semarang melakukan
penyusunan RAD GRK serta menentukan komitmen
penurunan emisi GRK.
8
Informasi lebih lanjut mengenai Penyusunan RAD GRK dapat diakses di
http://ranradgrk.bappenas.go.id/rangrk/admincms/downloads/publications/Pedoman_pela
ksanaan_rencana_aksi_penurunan_emisi_GRK.pdf
| 233
berbagai aksi mitigasi emisi GRK secara berkelanjutan (Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional, 2013).
9 Informasi lebih lanjut mengenai prinsip TACCC terdapat dalam Pedoman Penyelenggaraan
Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional Buku I Pedoman Umum Kementerian Lingkungan
Hidup
234 | INSTRUMEN
Inventarisasi GRK Kota Semarang
Inventarisasi GRK menjadi dasar bagi kota untuk memahami
kontribusi emisi dari berbagai kegiatan di masyarakat. Kemampuan
sebuah kota dalam menyediakan data emisi GRK yang berkualitas
baik akan menentukan kemampuan kota untuk mengambil tindakan
efektif dalam mitigasi perubahan iklim, menyusun strategi untuk
mengurangi emisi GRK, monitoring serta evaluasi terhadap capaian
target mitigasi. Menurut (Qi, et al., 2018), sebagian besar studi emisi
GRK skala perkotaan didasarkan pada batas administrasi kota
meliputi ruang lingkup 1 yang merupakan emisi GRK langsung dari
pembakaran bahan bakar fosil, IPPU, Agriculture, Forestry, and Other
Land Use (AFOLU), dan pembuangan limbah. Ruang lingkup 2 yang
merupakan emisi tidak langsung misalnya dari penggunaan listrik
juga telah dipelajari secara ekstensif. Terakhir, ruang lingkup 3 yang
merupakan GRK lainnya yang terjadi di luar administrasi wilayah
namun berasal dari aktivitas kota. Ruang lingkup inventarisasi GRK
yang dilakukan Kota Semarang menghitung emisi langsung dari
ruang lingkup 1 (sektor energi, AFOLU, serta limbah) dan emisi
tidak langsung ruang lingkup 2 (missal: penggunaan listrik) tanpa
memperhitungkan emisi tidak langsung dari ruang lingkup 3.
Perkembangan ruang lingkup perhitungan emisi GRK Kota
Semarang disajikan pada Tabel 1.
IGRK IGRK
Sektor dan Sub-sektor Pertama Terbaru
(2013) (2019)
Lingkup 1
Energi
1A1 Industri Energi NE ✓
1A2 Industri Pengolahan ✓ ✓
1A3 Transportasi ✓ ✓
1A4 lainnya ✓ ✓
Produk dan proses industri
| 235
IGRK IGRK
Sektor dan Sub-sektor Pertama Terbaru
(2013) (2019)
2A Industri Mineral NA NA
2B Industri Kimia NA NA
2C Industri Logam NA NA
2D Produk Non-Energi dan Pelarut NE ✓
2E Industri Elektronik NA NA
2F Penggunaan Bahan Pengganti BPO NE NE
Pertanian, Kehutanan & Penggunaan Lahan
3A Ternak NE ✓
3B Lahan NE ✓
3C Sumber Emisi Agregat
3C1 Pembakaran Biomasa NE ✓
3C2 Aplikasi Kapur NA NA
3C3 Aplikasi Urea NE ✓
3C4 N2O Langsung dari Pengolahan Tanah NE ✓
3C5 N2O Tak Langsung dari Pengolahan Tanah NE ✓
3C6 Pengolahan Sawah - ✓
Pengelolaan Limbah
4A Limbah Padat ✓ ✓
4B Pengolahan Biologi ✓ ✓
4C Insinerasi Dan Pembakaran Terbuka ✓ ✓
4D Pengolahan Limbah Cair ✓ ✓
Lingkup 2
Emisi Tidak Langsung dari penggunaan listrik ✓ ✓
Lingkup 3 NE NE
Sumber: Hasil Analisis, 2020
Keterangan:
Not Applicable (NA): menerangkan bahwa kategori emisi tertentu tidak tersedia
atau tidak ada kegiatan
Not Estimated (NE): kategori emisi tertentu ada kegiatannya, namun tidak
dilakukan pendugaan. Tidak dilakukan pendugaan dapat disebabkan karena
sulitnya data diperoleh, kegiatan terlalu kecil, atau membutuhkan biaya banyak
dalam investigasinya
236 | INSTRUMEN
harus dipenuhi ialah prinsip transparansi (Transparency), akurasi
(Accuracy), konsistensi (Consistency), komparabel atau dapat
diperbandingkan (Comparability), dan kelengkapan (Completeness)
atau sering disingkat dengan TACCC. Berdasarkan Tabel 1,
menunjukan bahwa Kota semarang berupaya meningkatkan kualitas
inventarisasi GRK dengan meningkatkan TACCC. Ruang lingkup
perhitungan IGRK Kota Semarang pada tahun 2019 mengalami
peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2013 (kelengkapan),
dari sisi metodologi sudah mengikuti pedoman IPCC sehingga hasil
perhitungan dapat dibandingkan.
| 237
1. Data Aktivitas (AD)
Penyelenggara Inventarisasi GRK di Kota Semarang dilakuakan
dengan mekanisme kelembagaan dalam pengumpulan data aktivitas
yang diperlukan pada perhitungan sebagaimana rumus di atas.
Pengumpulan dan pemutakhiran data dilakukan secara kontinu
dengan melibatkan OPD terkait.
238 | INSTRUMEN
Hasil Inventarisasi GRK Kota Semarang Tahun 2014-2018
Berdasarkan hasil emisi GRK Kota Semarang tahun 2014-2018
fluktuatif dimana besarnya emisi tahun 2014 adalah 2.250.358,70
CO2e dan emisi tersebut naik menjadi 4.127.286,89 CO2e pada tahun
2018. Dalam persentase, besaran emisi tahun 2018 di Kota Semarang
adalah 82,07% untuk sektor energi, sektor limbah sebesar 16,64%,
sektor AFOLU 1,28% dan sektor IPPU sebesar 0,01%. Kontribusi
emisi terbesar dari sektor energi adalah penggunaan energi pada
industri energi sebesar 2.086.081,85 ton CO2e diikuti sub-sektor
transportasi sebesar 824.129,37 ton CO2e dan industri manufaktur
sebesar 238.523,18ton CO2e.
1. Sektor Energi
Sektor pengadaan dan penggunaan energi terdiri dari tiga kategori
yaitu kegiatan pembakaran bahan bakar, emisi fugitif, dan
transportasi dan penyimpanan CO2. Kategori transportasi dan
penyimpanan CO2 secara umum tidak terdapat di Indonesia.
Kategori emisi fugitif bersumber dari penambangan bahan bakar
padat, minyak dan gas bumi serta emisi lainnya dari pengadaan
| 239
energi10. Kategori pembakaran bahan bakar merupakan kategori
yang menghasilkan emisi signifikan dari sektor pengadaan dan
penggunaan energi di Kota Semarang. Sumber emisi GRK sektor
energi di Kota Semarang berasal dari 1A1 Industri Energi, 1A2
Industri Pengolahan, 1A3 Transportasi dan 1A4 lainnya. Emisi dari
industri energi berasal dari penggunaan MFO, HSD dan Gas Alam
(Mscf) untuk kegiatan pembangkit berupa unit pembangkit (UP)
Semarang yang mengoperasikan Pusat Listrik Tenaga Gas (PLTG),
Pusat Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU), dan Pusat Listrik
Tenaga Uap (PLTU).
Total emisi GRK sektor energi pada tahun 2014 di Kota Semarang
mencapai 1.658.440 ton dan naik menjadi 3.387.385 Ton pada tahun
2018. Kenaikan signifikan tersebut utamanya dipicu oleh
peningkatan penggunaan bahan bakar pada industri energi serta
peningkatan konsumsi bahan bakar untuk transportasi. Besaran
emisi untuk tahun 2018 industri energi berkontribusi sebesar
2.086.081,85 ton CO2e (62%). Sementara sub-sektor transportasi
memberikan emisi sebesar 824.129,37 ton CO2e (24%). Sedangkan
sub-sektor industri manufaktur sebesar 238.523,18 ton CO2e (7%)
dan sub-sektor lainnya sebesar 238.650 CO2e (7%).
10Informasi lebih lanjut mengenai sumber dan perhitungan emisi sektor energi terdapat
pada Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional Buku II – Volume 1
Metodologi Penghitungan Tingkat Emisi Gas Rumah Kaca, Kegiatan Pengadaan dan
Penggunaan Energi, KLHK (2012)
240 | INSTRUMEN
2. Sektor IPPU (Proses Industri dan Penggunaan Produk)
Berdasarkan (KLHK, 2012a), emisi yang dimaksud adalah yang
bersumber dari (i) emisi GRK yang terjadi selama proses/reaksi
kimiawi industri, (ii) penggunaan gas-gas kategori GRK di dalam
produk, dan (iii) penggunaan karbon bahan bakar fosil untuk
kegiatan non-energi melainkan untuk kegiatan produksi. Sumber-
sumber utama emisi GRK dari sektor ini dikelompokkan dalam tujuh
kategori meliputi industri mineral, kimia, logam, emisi dari
penggunaan produk non energi bentukan bahan bakar dan pelarut,
elektronik, penggunaan produk sebagai pengganti bahan perusak
ozon, serta produksi dan penggunaan produk lainnya 11. Pada sektor
ini, tidak banyak kegiatan di Kota Semarang yang berkontribusi
terhadap sektor IPPU. Emisi dari sektor IPPU di Kota Semarang
dihitung dari aktivitas penggunaan produk non energi dan pelarut
seperti penggunaan pelumas untuk trasportasi dan industri. Emisi
sektor IPPU tahun 2014 sebesar 944,39 ton CO2e dan naik menjadi
11.192,27 ton CO2e pada tahun 2019. Peningkatan ini dipicu oleh
peningkatan penggunaan produk non energi dan pelarut berupa
pelumas pada kegiatan transportasi dan perindustrian.
11Informasi lebih lanjut mengenai sumber dan metodologi perhitungan Emisi GRK Sektor
IPPU dapat dilihat pada Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional
Buku II – Volume 2 Metodologi Penghitungan Tingkat Emisi Gas Rumah Kaca Proses Industri
Dan Penggunaan Produk (IPPU), KLHK (2012)
| 241
dihasilkan dari penafsiran citra satelit. Kelas penutupan lahan
disesuaikan SNI 7465.
4. Sektor Limbah
Sumber emisi dari sektor limbah terdiri dari limbah padat domestic
dan industri serta limbah cair domestik dan industri. Sumber emisi
limbah padat domestik terdiri dari (1) pembuangan akhir sampah
yang menyebabkan emisi GRK dari proses dekomposisi material
12Informasi lebih lanjut mengenai sumber dan metodologi perhitungan Emisi GRK Sektor
AFOLU dapat dilihat pada Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional
Buku II – Volume 3 Metodologi Penghitungan Tingkat Emisi Dan Penyerapan Gas Rumah
Kaca Kegiatan Pertanian, Kehutanan, Dan Penggunaan Lahan Lainnya
242 | INSTRUMEN
organik secara anaerob, (2) pengolahan sampah secara biologi
berupa kegiatan pengomposan maupun pengolahan secara
anaerobic, (3) Kegiatan pembakaran sampah yaitu pertama
pembakaran terbuka dan pembakaran yang berlangsung secara
tertutup (insenerasi). Sedangkan sumber emisi dari limbah cari
domestic berasal dari sistem pengelolaan limbah cair domestic yang
diolah setempat (uncollected) atau dialirkan menuju pusat
pengolahan limbah cair (collected) atau dibuang tanpa pengolahan
melalui saluran pembuangan dan menuju ke sungai 13.
13Informasi lebih lanjut mengenai sumber dan metodologi perhitungan Emisi GRK Sektor
Limbah Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional Buku II – Volume
4 Metodologi Penghitungan Tingkat Emisi Gas Rumah Kaca Kegiatan Pengelolaan Limbah,
KLHK (2012)
| 243
Sumber: Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang, 2019
Gambar 3. Tren emisi GRK Kota Semarang tahun 2014-2018
pada Lingkup 1 dan 2
244 | INSTRUMEN
Kategori kunci emisi GRK yang disebutkan pada Gambar 4 dijadikan
dasar bagi Kota Semarang di dalam menyusun rencana aksi pada
review dokumen RAD GRK tahun 2018-2030. Agar upaya
penurunan emisi GRK dapat dilakukan secara efektif, maka kegiatan
rencana aksi daerah (RAD GRK) dapat difokuskan pada subsektor
yang masuk dalam kategori kunci yaitu subsektor transportasi,
limbah padat, lainnya, industry pengolahan dan pengolahan limbah
cair. Industri energi meskipun berkontribusi sebesar 51%, namun
dari sisi kewenangan berada di pemerintah pusat.
Total emisi Kota Semarang akan meningkat dari 1.864.897 Ton CO2e
pada tahun 2010 menjadi 3.130.845 Ton CO2e pada tahun 2020.
Untuk mencapai tujuan dan komitmen menghadapi perubahan
iklim, dalam dokumen strategi perubahan iklim Kota Semarang
tahun 2010-2020 ditetapkan tujuh strategi. Ketujuh strategi tersebut
dijelaskan sebagai berikut:
| 245
1) Peningkatan Efisiensi Energi
2) Pengembangan Sistem Pengelolaan Limbah Terpadu
3) Pengendalian Penyakit Menular terkait Dampak Perubahan
Iklim
4) Peningkatan Penyediaan dan Pelayanan Air Bersih
5) Peningkatan Kapasitas Kesiapsiagaan Bencana Terkait
Perubahan Iklim
6) Pengendalian Dampak Banjir dan Rob
7) Pengendalian Bangunan dan Pemanfaatan Ruang
246 | INSTRUMEN
“Kota semarang berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah
Kaca (GRK) sebesar 3.681.763 Ton CO2eq terhadap BaU pada tahun
2030 sebesar 13.842.511,12 TonCO2eq atau setara dengan 26,60%
terhadap BaU tahunan pada Tahun 2030”.
| 247
Sumber: Diadopsi dari Bappeda Kota Semarang, 2018
Gambar 5. Capaian Pelaksanaan RAD GRK tahun 2010-2020
Kesimpulan
Dalam perencanaan kota yang memiliki ketahanan iklim, kualitas
IGRK yang baik, memberikan informasi sumber emisi yang tepat
sebagai dasar kota dalam menyusun RAD GRK mitigasi perubahan
iklim. Maka, penting bagi kota untuk dapat mengidentifikasi sumber
dan tren emisi/serapan secara tepat serta memenuhi prinsip
TACCC. Untuk menghasilkan IGRK yang tepat dan informatif
diperlukan instrumen dan metodologi yang mampu memenuhi
prinsip TACCC. Kota dapat mengadopsi instrumen pemerintah
pusat yaitu Sistem Inventori GRK Nasional (SIGN-SMART) yang
telah mengintegrasikan metodologi IPCC.
248 | INSTRUMEN
‘hijau’ pertama yang memasukkan pembangunan rendah karbon
dan ketahanan iklim sebagai salah satu prioritas nasional. Terakhir,
monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan RAD GRK perlu
dilakukan secara berkala oleh kota untuk memastikan bahwa
rencana aksi telah diimplementasikan serta mengidentifikasi
kendala yang menhampat upaya penurunan emisi oleh Kota.
Daftar Pustaka
Bappeda Kota Semarang. (2013), Strategi Perubahan Iklim Terpadu
Kota Semarang Tahun 2010-2020. Bappeda Kota Semarang.
Indonesia.
Bappeda Kota Semarang. (2018), Rencana Aksi Daerah Mitigasi
Perubahan Iklim. Bappeda Kota Semarang. Indonesia.
Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang. (2018), Inventarisasi Gas
Rumah Kaca Tahun 2014-2018. Dinas Lingkungan Hidup
Kota Semarang. Indonesia.
Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang. (2019), Inventarisasi Gas
Rumah Kaca. DLH Kota Semarang. Indonesia.
Elena, M. (2020), Indonesia Tegaskan Komitmen Mitigasi
Perubahan Iklim Lewat RPJMN 'Hijau' 2020-2024, diambil
dari
https://ekonomi.bisnis.com/read/20201024/9/1309413/ind
onesia-tegaskan-komitmen-mitigasi-perubahan-iklim-lewat-
rpjmn-hijau-2020-2024
ICLEI - Local Governments for Sustainability, South Asia. (2017),
City Climate Action Plan. New Delhi: ICLEI.
IPCC. (2006), IPCC National Greenhouse Gas Inventories
Programme: Volume 1 General Guidance and Reporting. The
Institute for Global Environmental Strategies (IGES).
Hayama, Japan.
IPCC. (2014), Climate Change 2014 Impacts, Adaptation, and
Vulnerability Part A: Global and Sectoral Aspects. IPCC. New
York.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2019),
Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring, Pelaporan,
Verifikasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Direktorat
Inventarisasi Gas Rumah Kaca, Monitoring, Pelaporan dan
Verifikasi. Jakarta.
| 249
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. (2013), Petunjuk
Teknis Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan. Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta.
KLHK. (2012a), Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas
Rumah Kaca Nasional Buku II – Volume 2 Metodologi
Penghitungan Tingkat Emisi Gas Rumah Kaca Proses
Industri Dan Penggunaan Produk (IPPU). KLHK. Jakarta.
KLHK. (2012b), Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas
Rumah Kaca Nasional Buku II – Volume 3 Metodologi
Penghitungan Tingkat Emisi Dan Penyerapan Gas Rumah
Kaca Kegiatan Pertanian, Kehutanan, dan Penggunaan Lahan
Lainnya. KLHK. Jakarta.
KLHK. (2019), Laporan Inventarisasi GRK dan Monitoring,
Pelaporan dan Verifikasi (MPV). KLHK. Jakarta.
Liu, Z., SaiLiang, Geng, Y., BingXue, Xi, F., Pan, Y., Zhang, T., &
Fujita, T. (2012), Features, trajectories and driving forces for
energy-related GHG emissions from Chinese mega cites: The
case of Beijing, Tianjin, Shanghai and Chongqing. Energy,
Vol. 37 No. 1, pp. 245-254.
Qi, C., Wang, Q., Ma, X., Ye, L., Yang, D., & Hong, J. (2018),
Inventory, environmental impact, and economic burden of
GHG emission at the city level: Case study of Jinan, China.
Journal of Cleaner Production, Vol. 192, pp. 236-243.
Union of Concerned Scientists. (2020), Each Country's Share of CO2
Emissions, diambil dari
https://www.ucsusa.org/resources/each-countrys-share-
co2-emissions
World Resources Institutes. (2015), Global Protocol for Community-
Scale Greenhouse Gas Emission Inventories. World Resources
Institutes. USA.
250 | INSTRUMEN
BAB 12
PENGGUNAAN INDEKS DALAM PENGUKURAN
KETAHANAN KOTA
TIA DIANING INSANI DAN MEGA FEBRIANA KUSUMO
Pendahuluan
Diskursus mengenai ketahanan (resilient) memiliki sejarah yang
panjang, mengakar pada ilmu ekologi, teknik, dan psikologi
(Romero, 2016). Konsep ketahanan mengarah pada tema-tema
perencanaan kota setelah Holling (1973) mendefinisikan ketahanan
dalam dua pandangan, yaitu ketahanan teknis (engineering resilience)
dan ketahanan ekologis (ecological resilience). Ketahanan ekologis
kemudian berkembang lebih kompleks dan melibatkan berbagai
macam dimensi sosial dan lingkungan di dalamnya (socio-ecological
resilience) (Carpenter et al., 2005). Dalam konteks perkotaan,
kompleksitas sistem perkotaan melibatkan banyak dimensi dalam
mengelaborasi ketahanan, seperti dimensi infrastruktur, sosial
masyarakat, ekonomi, lingkungan dan dimensi lainnya (Füssel,
2007).
| 251
agregat untuk menggambarkan kinerja kota secara keseluruhan
(Todaro, 1989 dalam Foa et al., 2015).
252 | INSTRUMEN
UCRA, maka pembahasan menyeluruh terkait keduanya coba
dijabarkan dalam tulisan ini.
1) Pengenalan Indeks
Indeks merupakan istilah yang sering muncul pada berbagai bidang
ilmu, untuk mendefinisikan sesuatu yang berhubungan dengan
daftar, angka serta sekelompok data (Kemendikbud, 2016). Dalam
prespektif ilmu statistik dan penelitian, indeks adalah sebuah
metode pengukuran dengan menggabungkan beberapa kelompok
aset atau indikator (composite) menjadi satu kesatuan informasi.
Pengukuran indeks terhadap variable bersifat ordinal. Artinya
variable-variable di dalam indeks memiliki informasi yang
berjenjang sesuai urutan rangking, derajat atau tingkatan tertentu.
| 253
Sedangkan indeks menilai variable sebagai atribut dari satu kesatuan
indikator. Sebagai contoh, untuk menilai tingkat keterpaparan
wilayah terhadap banjir rob, maka variable-variable yang perlu
dinilai adalah frekuensi kejadian rob setiap satu tahun, jumlah
masyarakat yang ter dampak, serta kerusakan yang terjadi karena
banjir rob. Pengukuran indeks terdiri dari pemilihan indikator,
penskalaan, pembobotan, dan agregasi serta validasi (Babble, 2016),
yang dijelaskan sebagai berikut:
254 | INSTRUMEN
menggabungkan skor komponen menjadi satu indeks
komposit. Artinya, bobot komponen atau indeks merupakan
skor rata-rata dari variabel yang membentuknya. Pembobotan
sebenarnya telah ada secara implisit selama melakukan
penskalaan. Misalnya jika berlaku skala 0 sampai 100, maka
bobot variabel juga menggunakan angka yang sama. Sementara
secara eksplisit, pembobotan berfungsi untuk mencerminkan
kepentingan relatif dari masing-masing variabel atau
komponen (Drewnowski, 1974 dalam Babble, 2016).
Pembobotan secara eksplisit perlu melibatkan pakar maupun
pembuat kebijakan dalam menentukan bobot pada setiap
variabel. Setelah melakukan pembobotan, maka langkah
selanjutnya adalah menghitung skor agregat (agregasi), yaitu
dengan menggabungkan bobot pada masing-masing variabel.
Menurut Ginsberg et al. (1986) dalam Babble (2016), pilihan
metode yang digunakan dalam pembobotan dan agregasi pada
akhirnya bergantung pada sifat dan ruang lingkup studi
tertentu. Studi yang bertujuan mengeksplorasi aspek teoritis
dari pengindeksan komposit biasanya menggunakan teknik
yang agak rumit. Sementara studi yang bertujuan menyajikan
pandangan sederhana dan informatif tentang kesejahteraan
umum atau untuk memberi tahu pejabat mengenai masalah
tertentu cenderung memilih metode yang relatif lebih
sederhana sehingga mudah dipahami dan dihitung.
| 255
Dibandingkan dengan metode kualitatif, pengukuran indeks lebih
terukur karena menggunakan analisis statistik untuk menyoroti
temuan serta menarik kesimpulan. Indeks juga dapat mengakomodir
sample yang lebih banyak, sehingga skala pengukuran lebih luas
serta dapat menyatukan ilmu-ilmu yang kompleks. Sementara
sample pada metode kualitatif cenderung lebih sedikit karena fokus
penelitian lebih mikro dan lebih detail. Akan tetapi, indeks memiliki
kelemahan seperti metode kuantitatif pada umumnya. Pengukuran
indeks cenderung tidak mendetail serta kurang dapat menjawab
pertanyaan ‘mengapa?’ dan ‘bagaimana?’ (Rahman, 2016; Creswell,
2014). Dalam prosesnya, metode indeks juga harus terus di pantau
untuk menjaga konsistensi dan homogenitas data, termasuk
kesamaan indikator yang digunakan, metodologi, serta kesamaan
waktu pengumpulan data pada satu pengukuran indeks (Booysen,
2002).
256 | INSTRUMEN
berfokus pada hasil skor komposit sehingga lebih sulit untuk
menghubungkan hasil dengan relevansi kebijakan yang diperlukan.
Akan tetapi, Venhoveen (1996) menyebutkan bahwa pengukuran
indeks secara langsung berkaitan dengan tujuan kebijakan karena
pembentukan indikator bertujuan untuk mengawasi target
intervensi dengan isu-isu yang spesifik seperti kesehatan,
transportasi, maupun kriminal (Booysen, 2002).
| 257
52 indikator) dan sistem yang umum bagi kota-kota di dunia untuk
bisa bertahan menghadapi tantangan (Rockefeller Foundation &
ARUP, 2015a).
258 | INSTRUMEN
Dimensi Tujuan Indikator
Kerja yang Pengembangan dan inovasi bisnis
Beragam lokal
Mekanisme pembiayaan yang
mendukung
Perlindungan mata pencaharian
yang beragam setelah guncangan
Sistem kesehatan masyarakat yang
Perjaminan kuat
yang Efektif Akses yang memadai ke
terhadap perawatan kesehatan berkualitas
Kesehatan dan
Perawatan medis darurat
Kehidupan
Manusia Layanan tanggap darurat yang
efektif
Dukungan komunitas lokal
Dukungan
Komunitas yang erat
Masyarakat
dan Identitas Identitas dan budaya seluruh kota
Bersama yang kuat
Warga yang terlibat secara aktif
Sistem yang efektif untuk
mencegah kejahatan
Keamanan dan Pencegahan korupsi secara
Supremasi proaktif
Hukum yang
Ekonomi dan Kepolisian yang kompeten
Komprehensif
Masyarakat Keadilan pidana dan perdata yang
mudah diakses
Keuangan publik yang terkelola
dengan baik
Perencanaan keberlangsungan
Ekonomi bisnis yang komprehensif
Berkelanjutan Basis ekonomi yang beragam
Lingkungan bisnis yang menarik
Integrasi yang kuat dengan
ekonomi regional dan global
Pemetaan bahaya dan eksposur
yang komprehensif
Mengurangi Kode, standar, dan penegakan
Keterpaparan yang sesuai
Infrastruktur dan
Ekosistem pelindung yang dikelola
dan Ekosistem Kerentanan
secara efektif
Infrastruktur pelindung yang kuat
Pengelolaan ekosistem yang efektif
Infrastruktur yang fleksibel
| 259
Dimensi Tujuan Indikator
260 | INSTRUMEN
dirancang sebagai bentuk penilaian diri, diawali dengan proses
pengumpulan data hingga menghasilkan profil yang menunjukkan
tingkat ketahanan kota, baik profil ketahanan kualitatif maupun
profil ketahanan kuantitatif. Contoh penerapan pengukuran
indikator dalam CRI secara kualitatif dan kuantitatif dapat dilihat
pada Gambar 1.
| 261
a.
b.
262 | INSTRUMEN
Hasil kualitatif membantu mengetahui kinerja dan tingkat ketahanan
kota di masa depan sedangkan hasil kuantitatif dapat digunakan
untuk mengukur kinerja kota di masa lalu dan saat ini (Rockefeller
Foundation & ARUP, 2015b). Contoh dari profil ketahanan kualitatif
berupa pemetaan jenis dan potensi bencana pada suatu daerah
sedangkan profil ketahanan kuantitatif berupa persentase yang
menunjukkan berapa banyak bangunan dengan perlindungan
asuransi terhadap risiko bencana tersebut. Hasil dari CRI dapat
digunakan oleh pemerintah kota sebagai bahan pertimbangan dalam
perumusan program prioritas. Sementara itu, indikator CRI dapat
dimanfaatkan sebagai masukan dalam penyusunan indikator
capaian keberhasilan program pembangunan seperti dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) maupun rencana
strategis lainnya.
| 263
Penilaian ketahanan di tingkat komunitas ini meliputi empat
kategori dan 18 indikator ketahanan.
264 | INSTRUMEN
Dimensi Aspek Indikator
| 265
Sebagai tindak lanjut dari realisasi strategi dalam Semarang City
Resilience Stragy yang diterbitkan pada tahun 2016, Pemerintah Kota
Semarang melakukan studi UCRA bekerjasama dengan WRI dan
Initiative for Urban Climate Change and Environment (IUCCE) pada
tahun 2017-2018. Lokasi studi UCRA didasarkan pada tiga
pertimbangan, yaitu keberadaan pemukiman kumuh di mana
masyarakatnya cenderung lebih rentan terhadap berbagai tekanan
yang ada di perkotaan, pertimbangan sebaran letak geografis yang
mengakomodasi elevasi rendah hingga tinggi, serta keberagaman
jenis bencana khususnya yang dipicu oleh perubahan iklim seperti
banjir rob, banjir bandang, dan tanah longsor. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, lokasi-lokasi yang terpilih adalah Kelurahan
Kaligawe, Kelurahan Sukorejo (Kawasan Deliksari), dan Kelurahan
Tanjungmas (Kawasan Tambaklorok). Tabel 3 menjabarkan hasil
skoring dari penilaian tiga aspek yang tercakup dalam UCRA dan
menunjukkan bahwa secara agregat, tingkat ketahanan Kota
Semarang berada pada tingkat sedang.
266 | INSTRUMEN
Indikator dalam tiga aspek penilaian UCRA Kota Semarang
ditentukan melalui konsultasi dengan tim ahli dan diskusi tim
internal guna menyesuaikan dengan karakteristik geografi, budaya,
dan infrastruktur wilayah. Indikator ketahanan di Kota Semarang
dibentuk melalui dua formulasi, yaitu konsultasi terhadap tim
ekspert serta diskusi internal tim (WRI et al., 2018). Penilaian yang
dihasilkan melalui studi UCRA diharapkan dapat membantu
masyarakat khususnya di Kota Semarang untuk mengidentifikasi
dan mengambil tindakan adaptasi yang tepat, dan memberikan
masukan kepada pembuat kebijakan dalam perencanaan untuk
mewujudkan ketahanan kota.
| 267
Komponen CRI UCRA
mengukur kinerja relatif untuk menginformasikan
dari waktu ke waktu. investasi, memanfaatkan
sumber daya masyarakat,
dan membangun kohesi
sosial dan kapasitas
individu sebagai
pelengkap perencanaan
infrastruktur fisik yang
tahan iklim.
Skala Fokus penilaian skala Penilaian berdasarkan
kota karakteristik komunitas
di wilayah tertentu di
suatu kota
Indikator Dasar penilaian dan Tiga aspek penilaian
Penilaian pengukuran dalam CRI UCRA untuk mengukur
terdiri dari 4 dimensi, 12 ketahanan komunitas
tujuan, 52 indikator, dan adalah konteks
156 pertanyaan, kerentanan perkotaan,
mencakup data kualitatif aspek ketahanan
dan kuantitatif dengan masyarakat, dan
rata-rata 3 pertanyaan kapasitas individu.
per sub-indikator Namun, indikator dalam
tiga aspek penilaian
UCRA ditentukan
melalui konsultasi
dengan tim ahli dan
diskusi tim internal.
Untuk Kota Semarang
terdapat 22 indikator
dalam konteks
kerentanan, 18 indikator
dalam ketahanan
masyarakat, dan 15
indikator dalam
kapasitas individu.
Langkah Metode kualitatif Empat tahapan utama
Penilaian membantu mengetahui UCRA adalah persiapan,
kinerja dan tingkat pengembangan
ketahanan kota di masa metodologi survei,
depan. Sedangkan, data pengumpulan dan
kuantitatif dapat analisis data, dan
digunakan untuk terakhir, perencanaan
mengukur kinerja kota di program.
masa lalu dan saat ini.
Meskipun data yang
dihitung dapat
268 | INSTRUMEN
Komponen CRI UCRA
digunakan untuk
mengukur kinerja kota di
masa lalu dan saat ini,
data tersebut juga
menggunakan unit
tertentu sebagai metrik
ketahanan yang dapat
diterapkan secara global.
Karakteristik Indikator mencakup Indikator-indikator yang
Indikator semua aspek kota ada di dalam UCRA
sehingga dapat menawarkan tindakan
membantu pemerintah nyata yang diperlukan
lokal untuk menentukan untuk meningkatkan
kelemahan dan kekuatan ketahanan masyarakat.
kota secara agregat
| 269
Refleksi: Indeks Ketahanan Kota dalam Penyusunan Kebijakan
Penggunaan indeks untuk mengukur tingkat ketahanan memiliki
tantangan dalam proses dan praktik pembangunan ketahanan kota.
Indeks ketahanan yang berfungsi sebagai salah satu alat membangun
kebijakan justru seringkali diberlakukan sebagai tujuan akhir
diambilnya suatu kebijakan. Skor indeks rawan diposisikan sebagai
nilai absolut yang merefleksikan kondisi ketahanan di lapangan
meski sifat dari kondisi indikator-indikator yang membangunnya
sangatlah dinamis dan relatif terhadap waktu dan lokasi tertentu.
Oleh sebab itu, meskipun metode yang sama digunakan, hasil
pengukuran indeks ketahanan suatu kota dalam kurun waktu
tertentu tidak selalu dapat diperbandingkan dengan hasil
pengukuran pada kurun waktu yang berbeda.
270 | INSTRUMEN
mereka. Realisasi dalam komunitas memberikan pengaruh besar
pada tercapainya penerapan ketahanan yang lebih cepat dalam
kebijakan perencanaan pembangunan.
Daftar Pustaka
ARUP. (2014), City Resilience Index. Research Report Volume 3
Urban Measurement Report, diambil dari
http://publications.arup.com/Publications/C/City_Resilien
ce_Framework.aspx
Babble, E. (2016), The Practice of Social Research. Teaching
Sociology, Ed. 17, tersedia di
https://doi.org/10.2307/1318433
Booysen, F. (2002), An Overview and Evaluation of Composite
Indices of Development. Social Indicators Research, Vol. 59,
pp. 115–151.
Carpenter, S. R., Westley, F., & Turner, M. G. (2005), Surrogates for
resilience of social-ecological systems. Ecosystems, Vol. 8 No.
8, pp. 941–944.
| 271
Cresswell, J. (2014), Research design: qualitative, quantitative, and
mixed methods approaches (4th Edition). Sage Publications,
Thousand Oaks, California.
Davoudi, S., Shaw, K., Haider, L. J., Quinlan, A. E., Peterson, G. D.,
Wilkinson, C., Fünfgeld, H., McEvoy, D., & Porter, L. (2012),
Resilience: A Bridging Concept or a Dead End? “Reframing”
Resilience: Challenges for Planning Theory and Practice
Interacting Traps: Resilience Assessment of a Pasture
Management System in Northern Afghanistan Urban
Resilience: What Does it Mean in Planni. Planning Theory
and Practice, Vol. 13 No. 2, pp. 299–333, tersedia di
https://doi.org/10.1080/14649357.2012.677124
Foa, R., de Haan, A., van Staveren, I., Webbink, E., & Hardenbol, H.
(2015), Indices of Social Development. Handbook. ISS The
Hague, diambil dari https://www.iss.nl/en/engagement-
impact/hosted-iss/indices-social-development
Füssel, H.M. (2007), Vulnerability: a generally applicable conceptual
framework for climate change research. Global
Environmental Change, Vol. 17 No. 2, pp. 155–167, tersedia di
https://doi.org/10.1016/j.gloenvcha.2006.05.002
Holling, C. S. (1973), Resilience and Stability of Ecological Systems.
Annual Review of Ecology and Systematics, Vol. 4 No. 1, pp.
1–23, tersedia di
https://doi.org/10.1146/annurev.es.04.110173.000245
Kemendikbud (2016), Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring
diambil pada 31 Oktober 2020 dari
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/indeks
Pemerintah Kota Semarang. (2017), Indeks Ketahanan Kota
Semarang. Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.
Rahman, M. S. (2016), The advantages and disadvantages of using
qualitative and quantitative approaches and methods in
language “testing and assessment” research: A literature
review. Journal of Education and Learning, Vol. 6 No. 1, pp.
102-112.
Rangwala, L. Burke, L., Wihanesta, R., Elias-Trostmann, K., &
Chandra, M. (2018), Prepared Communities; Implementing
the Urban Community Resilience Assessment in Vulnerable
Neighborhoods of Three Cities, diambil dari
https://www.preventionweb.net/publications/view/62720
The Rockefeller Foundation & ARUP (2015a) City Resilience
Framework. ARUP. London, United Kingdom.
The Rockefeller Foundation and ARUP (2015b) City Resilience
Index. ARUP. London, United Kingdom.
272 | INSTRUMEN
Romero-Lankao, P., Gnatz, D. M., Wilhelmi, O., & Hayden, M.
(2016), Urban sustainability and resilience: From theory to
practice. Sustainability, Vol. 8 No. 12, pp. 1–19, tersedia di
https://doi.org/10.3390/su8121224
Wikibooks. (2020), Social Research Methods/Indexes, Scales,
Typologies. Wikibooks The Free Textbook Project, diambil
pada 17 February 2021 dari
https://en.wikibooks.org/w/index.php?title=Social_Researc
h_Methods/Indexes,_Scales,_Typologies&oldid=3655144.
World Resources Institute. (2017), New Partnership to Address
Resilience Data Gaps in Asian and Latin American Cities,
diambil dari http://www.wri.org/news/2017/01/release-
new-partnership-address-resilience-data-gaps-asian-and-
latin-american-cities
World Resources Institute, IUCCE, & Pemerintah Kota Semarang
(2018), Urban Community Resilience Assessment in
Semarang. Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.
| 273
274 | INSTRUMEN
BAB 13
PLANNING CHARRETTE: ALTERNATIF METODE
PARTISIPATIF DALAM PROSES PERENCANAAN
RAKA SURYANDARU DAN DEVISARI TUNAS
Pendahuluan
Planning charrette adalah metode perencanaan intensif dan
eksperimental yang melibatkan para pemangku pementingan dalam
tenggang waktu yang singkat. Metode charrette kerap digunakan
dalam proses perencanaan wilayah di berbagai negara, terutama
dalam konteks perencanaan ruang yang kompleks yang melibatkan
kepentingan masyarakat banyak. Metode charrette sendiri berasal
dari tradisi École des Beaux-Arts atau Sekolah Tinggi Seni Rupa di
Prancis pada abad ke-19 di Paris. Kata Charrette berarti gerobak yang
kerap digunakan mahasiswa sekolah tinggi tersebut untuk
membawa hasil karya mereka ke sekolah untuk dikumpulkan dan
dipamerkan. Karena kekurangan waktu, mahasiswa kerap harus
menyelesaikan pekerjaan mereka secara cepat dalam perjalanan
menuju sekolah di atas gerobak tersebut menggunakan alat-alat apa
saja yang tersedia di gerobak itu. Dari kebiasan ini, lahirlah istilah
Charrette yang sekarang digunakan dalam konteks yang lebih luas,
dimulai dari proses desain produk sampai perencanaan wilayah.
Walaupun metode charrette beragam tergantung dari tujuannya, jenis
permasalahan, profil peserta, charrette biasanya didasarkan pada
konsep singkat waktu (intensif), kolaboratif, inklusif, partisipatif,
lintas-disiplin dan eksperimental.
| 275
Planning Charrette di Singapura, Young Planning Workshop on
Sustainable Tourism di Ubud, dan Strategi Spasial Kawasan Perkotaan
Gondangrejo di Karanganyar.
276 | INSTRUMEN
dan komunitas untuk ikut serta membuat rencana yang bisa
diterapkan (Lennertz & Lutzenhiser, 2003).
a. Persiapan
Langkah persiapan pertama adalah pembentukan tim. Langkah
lainnya dapat berupa kunjungan lapangan ke kawasan perencanaan
(jika memungkinkan), audiensi dengan pengambil kebijakan utama,
penyiapan tempat workshop yang representatif dan penyediaan
perlengkapan diskusi, seperti peta kawasan perencanaan ukuran A0,
sticky notes, spidol, dan kertas roti. Pada tahap awal setiap peserta
diberi kesempatan untuk mengenali kawasan perencanaan.
Pengumpulan informasi yang menyeluruh ini berguna untuk
memahami konteks lokal kondisi eksisting kawasan perencanaan
berbasis data.
Sumber data dapat berupa data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data yang diperoleh dari hasil pertemuan atau
wawancara dengan kepala daerah beserta jajarannya, perangkat
desa/kelurahan dan tokoh masyarakat maupun dari observasi atau
survei langsung di lokasi kawasan perencanaan. Data sekunder
adalah data yang diperoleh dari telaah literatur, dokumen
perencanaan dan peraturan perundang-undangan maupun data
| 277
statistik regional. Informasi spasial yang dikumpulkan biasanya
memuat:
278 | INSTRUMEN
Pada tahap ini fasilitator mempunyai peran sentral dalam
mengkondisikan semua peserta agar fokus khususnya dalam
investigasi masalah dan pencarian solusi. Di sisi lain, fasilitator dapat
mendorong anggota tim untuk melakukan investigasi secara
menyeluruh dan mendalam. Dalam mengelompokkan potensi dan
permasalahan, terdapat beberapa prosedur atau teknik yang dapat
dipilih sesuai dengan tujuan yang ingin dihasilkan. Prosedur atau
tekniknya antara lain:
| 279
b) Bagi tabel tersebut ke dalam tiga kolom waktu yaitu jangka
waktu pendek (0-5 tahun mendatang), menengah (5-15 tahun
mendatang), dan panjang (15-20 tahun mendatang)
3) Mengembangkan Skenario
Planning charrette didesain untuk mengembangkan visi dan
prakiraan situasi masa depan secara kolektif, daripada menentukan
rencana yang konkrit dan pasti yang lazim ditemui pada kegiatan
penyusunan masterplan. Pada tahap pengembangan skenario ini,
peserta mendiskusikan sekumpulan sasaran atau turunan dari
sasaran yang relevan dengan tujuan masa depan yang hendak
280 | INSTRUMEN
dicapai dan diperkirakan dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu
(Lindgren & Bandhold, 2009).
| 281
mendudukkan dan menerjemahkan peta jalan pada skala besar.
Dengan cara ini peserta dapat melihat apakah proposal peta jalan
yang diusulkan dapat memberikan hasil yang diharapkan atau tidak.
Pulau Jawa, dihuni oleh 152 juta jiwa, adalah salah satu pulau
dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Mewadahi pusat
perekonomian, budaya dan kekuasaan Indonesia, pulau Jawa
menjadi magnet yang menarik orang untuk datang dan
mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Dengan tren pertumbuhan
penduduk yang diprediksi akan terus berlangsung, Jawa akan
tumbuh menjadi sebuah pulau yang mengkota, berikut dengan
282 | INSTRUMEN
dinamika peluang dan permasalahan dalam skala yang tak
terbayangkan sebelumnya.
| 283
Selanjutnya, peserta merumuskan skenario kondisi yang paling tepat
mendeskripsikan visi Java Eco Nation. Tim penulis menetapkan
skenario bahwa Jawa akan berkembang sesuai dengan telapak
ekologis yang kompatibel dengan daya dukung bumi. dimana sistem
politik di Indonesia, dan di Jawa, saat itu pro terhadap politik
ekologis. Dalam skenario lini masa yang dibayangkan, akan ada
pasang surut dukungan terhadap kepentingan ekologi didalam
kehidupan demokrasi masyarakat Indonesia. Narasi dibawakan
dengan sudut pandang seorang aktivis lingkungan selama 50 tahun
perjalanan hidupnya.
284 | INSTRUMEN
Sumber: Dokumentasi Future Cities Laboratory, 2019
Gambar 2. Kegiatan selama Java Archipelago City Planning Charrette
| 285
2) Young Planning Workshop on Sustainable Tourism di Ubud
Kegiatan Young Planning Workshop dengan tema Sustainable Tourism
in Ubud diadakan pada awal tahun 2020 lalu. Acara ini merupakan
kerjasama antara Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Jawa
Tengah dan Bali serta Universitas Mahasaraswati Bali. Diikuti oleh
kurang lebih 30 peserta dari beberapa multidisiplin ilmu, meliputi
seperti perencana wilayah dan kota, ahli geografi, ahli lingkungan,
perancang kota, dan ahli infrastruktur. Even kolaboratif ini bertujuan
untuk mengenalkan charrette sebagai salah satu alat bantu
perencanaan, dengan studi kasus pengembangan pariwisata
berkelanjutan di Kawasan Ubud, Bali.
286 | INSTRUMEN
Sesi pertama yaitu identifikasi potensi dan permasalahan. Pada
tahap ini peserta merumuskan apa saja potensi dan permasalahan
yang ada pada Kawasan Pariwisata Ubud. Hasilnya, diperoleh
beberapa permasalahan utama meliputi kemacetan, alih fungsi lahan
dan infrastruktur. Acara diselingi dengan pengayaan materi dari
narasumber tentang kondisi kawasan pariwisata Ubud pada jeda
kegiatan. Sesi kedua yaitu skenario pembangunan, yaitu menyusun
sebuah skenario kondisi Ubud selama 20 tahun ke depan. Berbeda
dengan Java Archipelago City Planning Charrette, pada kegiatan ini
trajektori lima tahunan (2025, 2030, 2035 dan 2040) dibuat sekaligus
untuk kondisi ada dan tidak ada intervensi dari pihak luar. Dalam
kondisi tanpa intervensi, pariwisata Ubud diperkirakan akan terus
meningkat, namun dibarengi dengan timbulnya masalah lingkungan
dan sosial. Sedangkan dalam kondisi dengan intervensi, Ubud akan
tumbuh menjadi destinasi premium yang selaras dengan nilai
budaya lokal dan lingkungan.
| 287
mencapai tujuan. Dari hasil diskusi di sesi pertama dan kedua,
peserta merumuskan kondisi pariwisata Ubud yang berkelanjutan
dengan mengimplementasikan konsep ekowisata. Dengan visi ini,
Ubud diskenariokan sebagai destinasi kelas dunia yang ramai
dikunjungi oleh wisatawan dengan minat spesifik, yaitu alam dan
budaya. Dalam skenario ini wisatawan akan memperoleh
pengalaman yang berkesan setelah bersentuhan dan berinteraksi
dengan masyarakat setempat, dan juga sebaliknya masyarakat
memperoleh kesempatan untuk mendapatkan tambahan
penghasilan dan melestarikan budaya.
288 | INSTRUMEN
3) Strategi Spasial Kawasan Perkotaan Gondangrejo
Karanganyar
Planning charrette merupakan salah satu metode yang dipakai dalam
perumusan konsep Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan
Perkotaan Gondangrejo. Acara ini merupakan prakarsa dari PT.
Krida Karya Advisory, biro perencanaan yang mendampingi
Pemerintah Kabupaten Karanganyar menyusun rencana rinci.
Diikuti oleh 15 peserta dari berbagai latar belakang keilmuan,
planning charrette ini mempraktekkan proses perencanaan partisipatif
dengan kolaborasi multidisiplin dalam sebuah penyusunan rencana
tata ruang. Kecamatan Gondangrejo merupakan salah satu
kecamatan di Kabupaten Karanganyar dengan potensi guna lahan
industri, pertanian dan cagar budaya Sangiran yang menyatu dalam
satu wilayah. Dilihat dari potensinya Gondangrejo dapat menjadi
daya tarik investasi sektor industri, pertanian, dan budaya. Dengan
jumlah penduduk sekitar 81.000 jiwa, dan tren pertumbuhan
penduduk yang akan terus meningkat, Gondangrejo akan tumbuh
menjadi kawasan perkotaan baru di Karanganyar.
| 289
mapping, para peserta saling membagi perspektif mengenai Kawasan
Gondangrejo di atas peta kerja. Mereka mengidentifikasi
permasalahan pembangunan dan faktor penyebabnya hingga
diperoleh tiga isu utama, yaitu pertumbuhan industri, pertumbuhan
hunian dan alih fungsi guna lahan di kawasan cagar budaya
Sangiran. Sesi kedua yaitu scenario planning, dimana peserta
merumuskan skenario kondisi di Kecamatan Gondangrejo dalam
jangka waktu 20 tahun ke depan dengan dan tanpa intervensi
pembangunan. Sebelum sesi ini dimulai terdapat materi pengayaan
mengenai Urban Design for Sustainable Mobility. Pada sesi ini peserta
memperkirakan kondisi Gondangrejo yang terjadi melalui dua
skenario yang bertentangan per lima tahunan dari tahun 2020 hingga
2040. Terdapat dampak positif dan dampak negatif dari masing-
masing kondisi skenario yang mempengaruhi tindakan dalam
menjawab lima isu utama yang telah diidentifikasi sebelumnya.
290 | INSTRUMEN
mengambil manfaat dari kebutuhan lahan untuk industri dan
hunian, dan mengembangkannya dengan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan serta dapat menjaga kawasan cagar
budaya Sangiran sebagai aset penting kawasan yang harus
dilestarikan. Berdasarkan tujuan dan skenario tersebut diambil
langkah yang dianggap paling tepat untuk menuju The Future We
Want, meliputi:
| 291
Sebagai test bed, rekomendasi peta jalan tersebut selanjutnya
dituangkan secara spasial pada peta kerja (Gambar 4) untuk
membentuk satu rencana pola ruang sebagai representasi visi Kota
Pusaka Berkelanjutan. Dalam hal ini, peserta mengalokasikan lahan
bagi sektor industri, pertanian dan perumahan yang diharapkan
dapat mendukung perwujudan pembangunan berkelanjutan di
kawasan Gondangrejo.
292 | INSTRUMEN
Tabel 1. Strategi Adaptasi Perubahan Iklim dalam Revisi RTRW Provinsi
Kalimantan Selatan
Fenomena
Strategi Adaptasi
Perubahan Iklim
Sea Level Rise/ Kenaikan Peningkatan penerapan sistem proteksi yang
muka air laut adaptif terhadap kenaikan muka air laut
Peningkatan pengelolaan air yang
berkelanjutan
Peningkatan temperatur
Penerapan pendekatan adaptasi berbasis
ekosistem laut
Penerapan Climate Smart Agriculture
Peningkatan curah hujan
Perbaikan infrastruktur pengendali banjir
| 293
Sebagai ilustrasi, seringkali kajian dampak perubahan iklim masih
terfokus pada dampak yang berupa bencana yang memang diakrabi
oleh planner dan ahli lingkungan. Bergabungnya pakar lain seperti
ahli ekonomi wilayah atau ahli kelautan akan memberikan
keuntungan berupa diketahuinya dampak perubahan iklim pada
sistem pembangunan nasional yang lebih luas, seperti ekonomi,
mata pencaharian (livelihood), ekosistem serta wilayah khusus.
2) Mengembangkan Skenario
Kegiatan perencanaan adaptasi perubahan iklim Kalimantan Selatan
belum menggunakan pendekatan skenario dalam perumusannya.
Setelah tujuan tersusun, tim langsung merumuskan strategi tanpa
membuat narasi penjabaran tujuan yang memuat gambaran kondisi
yang diinginkan di masa mendatang. Tanpa mempertimbangkan
berbagai kemungkinan kondisi yang mungkin terjadi nanti dan
memilih skenario terbaik, tim menetapkan strategi yang dianggap
jitu untuk mewujudkan tujuan perencanaan. Pengayaan yang dapat
dilakukan pada tahap scenario planning ini adalah dengan
menghasilkan daftar panjang berbagai alternatif kondisi masa depan
294 | INSTRUMEN
yang lebih komprehensif, sebagai kebalikan dari penetapan skenario
tunggal yang seringkali ditemui pada pekerjaan perencanaan. Daftar
panjang skenario tersebut selanjutnya dibahas dan dipilih yang
paling relevan sesuai dengan konteks kegiatan perencanaan yang
sedang dilakukan. Pemilihan juga dapat mengacu kepada tingkat
probabilitas kejadian paling tinggi yang dinilai dengan teknik
analisis tertentu. Dengan cara ini, kualitas rencana diharapkan akan
meningkat karena telah mempertimbangkan berbagai kemungkinan
dalam situasi yang sulit.
| 295
multidisiplin untuk memecahkan suatu permasalahan dan
menghasilkan visi, skenario, dan peta jalan yang lebih komprehensif.
Kunci dari planning charrette adalah kompresi waktu baik dari sisi
jadwal kegiatan maupun pembagian kelompok dibandingkan
metode perencanaan lainnya. Keuntungan lainnya yaitu
meningkatnya kreativitas karena setiap peserta dapat mengamati
suatu permasalahan berdasarkan sudut pandang masing-masing
kemudian diintegrasikan menjadi pengetahuan bersama. Sebagai
contoh, dalam konteks perencanaan adaptasi, penggunaan planning
charrette dapat memperluas peluang daerah dalam peningkatan
resiliensi untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
296 | INSTRUMEN
jalannya diskusi tanpa mengintervensi terlalu dalam akan
meningkatkan produktivitas dan kualitas diskusi.
Daftar Pustaka
Fatimah, F. (2020), Teknik Analisis SWOT: Pedoman Menyusun
Strategi yang Efektif dan Efisien sert Cata Mengelola
Kekuatan dan Ancaman. Anak Hebat Indonesia. Yogyakarta.
Future Cities Laboratory. (2019), Java Archipelago City Planning
Charette: Pathways for Sustainable Settlement Systems in
Java 2070. Future Cities Laboratory. Singapura.
van Gundy, B. (1984), Brain Writing for New Product Ideas: An
Alternative to Brainstorming. Journal of Consumer
Marketing, Vol. 1 No. 2, pp. 67-74.
Lennertz, B. &Lutzenhiser, A. (2003), Charrettes 101: Dynamic
Planning for Community Change. Fannie Mae Foundation.
Washington DC.
Lindgren, M. & Bandhold, H. (2009), Scenario Planning: The link
between future and strategy. London: Palgrave Macmillan
MacLeod, L. (2012), Making SMART Goals Smarter. Physician
Executive, Vol. 72, pp. 68-70.
Parikh, N. D. (2016), Effectiveness of Teaching through Mind
Mapping Technique. The International Journal of Indian
Psychology, Vol. 3 No. 3, pp. 148-156.
Srdjevic, Z., Bajcetic, R., & Srdjevic, B. (2012), Identifying the
Criteria Set for Multicriteria Decision Making Based on
| 297
SWOT/PESTLE Analysis: A Case Study of Reconstructing A
Water Intake Structure. Water Resour Manage, Vol. 26, pp.
3379–3393
298 | INSTRUMEN
BAB 14
TATA KELOLA MULTILEVEL DALAM PENANGANAN
PERUBAHAN IKLIM
RUKUH SETIADI
Pendahuluan
Literatur tata kelola secara konsisten menunjukkan bahwa tata kelola
multilevel yang efektif sangat penting untuk meningkatkan
implementasi kebijakan perubahan iklim di tingkat kota. Sementara
banyak studi telah mengeksplorasi karakteristik dan efektivitas tata
kelola multilevel, studi empiris yang berfokus pada formasi struktural
tata kelola multilevel masih sangat kurang. Ini juga berarti bahwa
kerangka deskriptif untuk mengamati dan menganalisis dinamika
tata kelola multilevel dalam praktik belum tersedia. Disamping untuk
menjelaskan konsep tata kelola multilevel, bab ini juga bermaksud
untuk memperkenalkan kerangka observasi untuk menganalisis
struktur tata kelola multilevel, khususnya dalam domain perubahan
iklim.
| 301
satunya dari aspek tata Kelola. Atas dasar tersebut, pernyataan Smith
et al. (2009) yang menyebutkan bahwa “sebagian besar pemerintah
sudah terlibat dalam adaptasi melalui struktur pemerintahan dan
mekanisme kelembagaan (tata kelola) ‘yang ada saat ini’” menjadi
penting untuk dibahas. Kata tata kelola ‘yang ada saat ini’ bisa
menjadi faktor berpengaruh antara sukses atau tidaknya respon
perubahan iklim di tingkat kota.
| 303
multilevel, membaginya ke dalam dua kelompok besar: tata kelola
multilevel Tipe I dan Tipe II. Tata kelola multilevel Tipe I hanya
menggambarkan kolaborasi aktor negara atau pemerintah di
berbagai tingkat untuk mencapai tujuan yang telah didefinisikan
dengan jelas dengan melibatkan distribusi tanggung jawab yang luas
di setiap tingkat. Sedangkantata kelola multilevel Tipe II
menggambarkan kolaborasi yang lebih inklusif di antara berbagai
aktor pemerintahan – baik aktor pemerintah maupun non-
pemerintah – di berbagai tingkat untuk mencapai tujuan bersama
yang melibatkan distribusi tanggung jawab yang tumpang tindih di
setiap tingkat.
| 305
Karakteristik Tipe I Tipe II
Eksternalitas lintas antar tingkat
yurisdiksi sangat kepemerintahan.
tinggi.
Eksternalitas antar
yurisdiksi dapat
diminimalkan.
Tugas dan Tugas dengan Tugas yang terbatas dan
Struktur spektrum yang luas jelas untuk merespon isu-
Kepemerintahan yang ditangani/dibagi isu yang spesifik ditangani
secara rapi (neatly) secara logis oleh banyak
antar level. pihak yang menghasilkan
pola struktur
kepemerintahan yang
berantakan/rumit (messy).
Asumsi atas Berasumsi bahwa Berasumsi bahwa para
Para Aktor kapasitas para aktor di aktor memiliki kapasitas
Kepemerintahan setiap level untuk dan ketrampilan yang
menjalankan tugas berbeda.
tersedia.
Sumber: Hooghe & Marks, 2003
Gambar 1: Aktor dan Konsep Yuridikasi dalam Keragaman Model Tata Kelola Multilevel
Tata Kelola Multilevel Tipe I Tata Kelola Multilevel Tipe II Tata Kelola Multilevel Tipe II-b
Nasional
G G G I
Regional
G G G T
Lokal
G G G G
Kerangka
Hubungan Hirarkis Kolaborasi
G Lembaga Pemerintah I
Internasional
| 307
Dengan melihat perkembangan yang ada, struktur tata kelola
multilevel semakin kompleks. Tulisan ini tidak mengajukan tipe tata
kelola yang baru karena tulisan ini hanya bertujuan untuk
memperjelas salah satu variasi yang berkembang dari Tipe II. Untuk
alasan praktis kami menyebutnya tata kelola multilevel Tipe II-b, di
mana perbedaannya dibanding pola multilevel lainnya disajikan pada
Gambar 1.
| 309
4) pengaturan (misal: penetapan undang-undang, regulasi,
pedoman, pembentukan badan/lembaga, dan sebagainya).
| 311
yang menunjukkan pengalaman Indonesia selama dua dekade
(periode 2002-2013) dalam merespon perubahan iklim dalam
perspekti tata kelola multilevel dengan studi kasus di Kota Semarang.
| 313
2. Fase Peralihan: 2000-2006
Fase ini berlangsung selama periode tujuh tahun setelah komunikasi
nasional (NC) pertama tentang perubahan iklim. Selama fase ini,
Indonesia mengalami dua putaran desentralisasi sistemik dalam
pemerintahan. Pada awal tahun 2000, kewenangan untuk mengatur
dan mengontrol pengembangan lahan didesentralisasikan,
diserahkan kepada hampir 500 pemerintah kota dan kabupaten.
Namun, pada tahun 2004 terjadi reformasi besar-besaran, yang
mengembalikan kewenangan yang cukup kepada pemerintah
provinsi. Ini berusaha untuk menghasilkan distribusi kekuasaan
yang lebih seimbang di antara tingkat pemerintah daerah.
| 315
Selain mendanai program dan aksi perubahan iklim melalui
mekanisme perencanaan pembangunan formal, pada tahun 2008
pemerintah Indonesia melalui BAPPENAS juga membentuk
Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) untuk menarik dana
internasional bagi program-program perubahan iklim di negara
berkembang. Pembentukan ICCTF merupakan upaya untuk
menanggapi tuntutan koordinasi yang lebih besar dan harmonisasi
pendanaan perubahan iklim. Namun, sebagian besar pemerintah
daerah di Indonesia tidak mengetahui keberadaan dan peluang
pendanaan yang disediakan oleh ICCTF. Pada masa tersebut, ICCTF
telah mendanai sejumlah kecil proyek perubahan iklim dan
semuanya diusulkan dan dilaksanakan kementerian dan lembaga di
tingkat nasional (Gruning et al., 2012), dari pada lembaga pemerintah
atau aktor non-negara di provinsi atau tingkat kota.
| 317
Penutup
Tata kelola multilevel jelas merupakan konteks di mana berbagai
kebijakan perubahan iklim beroperasi di Indonesia. Sejak
kemunculannya lebih dari dua setengah dekade yang lampau, tata
kelola perubahan iklim di Indonesia telah berkembang dan
mengalami transformasi. Lansekap tata kelola perubahan iklim
menjadi semakin kompleks. Seiring dengan berjalannya waktu,
semakin banyak program dan para aktor dan lembaga yang
berkecimpung dalam domain perubahan iklim. Desentralisasi dan
reformasi di Indonesia yang terjadi di akhir fase awal dan fase
peralihan, memungkinkan tata kelola multilevel berkembang. Tanpa
itu semua, partisipasi yang signifikan dari pemerintah kota akan
terhambat dan aktor non-pemerintah menghadapi halangan dalam
menjalin kolaborasi dengan pemerintah kota untuk program dan
respon perubahan iklim di tingkat lokal.
Daftar Pustaka
Alm, J., Aten, R.H. & Bahl, R. (2001), “Can Indonesia decentralise
successfully? Plans, problems and prospects”, Bulletin of
Indonesian Economic Studies, Vol. 37 No. 1, pp. 83–102.
Amundsen, H., Berglund, F. & Berglund, F. (2010), “Overcoming
barriers to climate change adaptation—A question of
multilevel governance?”, Environment and Planning C:
Politics and Space, Vol. 28 No. 2, pp. 276–289.
Betsill, M.M. & Bulkeley, H. (2006), “Cities and the multilevel
governance of global climate change”, Global Governance,
Vol. 12 No. 2, pp. 141–159.
Bevir, M. (2008), Key Concepts in Governance, Sage Publications,
London.
Bulkeley, H. (2010), “Cities and the governing of climate change”,
Annual Review of Environment and Resources, Vol. 35, pp.
229–253.
Corfee-Morlot, J., Cochran, I., Hallegatte, S. & Teasdale, P.-J. (2011),
“Multilevel risk governance and urban adaptation policy”,
Climatic Change, Vol. 104, pp. 169–197.
Crespy, C., Heraud, J.-A. & Perry, B. (2007), “Multi-level
governance, regions and science in France: Between
competition and equality”, Regional Studies, Vol. 41 No. 8,
pp. 1069–1084.
| 319
Daniell, K.A., Costa, M.A.M., Ferrand, N., Kingsborough, A.B.,
Coad, P. & Ribarova, I.S. (2011), “Aiding multi-level decision-
making processes for climate change mitigation and
adaptation”, Regional Environmental Change, Vol. 11, pp.
243–258.
Firman, T. (2002), “Urban development in Indonesia, 1990–2001:
from the boom to the early reform era through the crisis”,
Habitat International, Vol. 26 No. 2, pp. 229–249.
Firman, T. (2009), “Decentralization reform and local-government
proliferation in Indonesia: Towards a fragmentation of
regional development”, Review of Urban and Regional
Development Studies, Vol. 21 No. 2–3, pp. 143–157.
Fünfgeld, H. (2010), “Institutional challenges to climate risk
management in cities”, Current Opinion in Environmental
Sustainability, Vol. 2 No. 3, pp. 156–160.
Galarraga, I., Gonzalez‐Eguino, M. & Markandya, A. (2011), “The
role of regional governments in climate change policy”,
Environmental Policy and Governance, Vol. 21 No. 3, pp.
164–182.
Gremillion, T.M. (2011), “Setting the foundation: Climate change
adaptation at the local level”, Environmental Law, Vol. 41
No. 4, pp. 1221–1254.
Gruning, C., Menzel, C., Shuford, L.S. & O’Brien, V.S. (2012),
National Climate Finance Institutions Case Study: The
Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF).
Hooghe, L. & Marks, G. (2003), “Unraveling the central state, but
how? types of multi-level governance”, American Political
Science Review, Vol. 97 No. 2, pp. 233–243.
IPCC. (2014), 5th Assessment Report of Working Group II
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), No.
Chapter 17.
ISET. (2010), “The shared learning dialogue: building stakeholder
capacity and engagement for resilience action”, Boulder,
Colorado.
Kern, K. & Bulkeley, H. (2009), “Cities, Europeanization and multi‐
level governance: Governing climate change through
transnational municipal networks”, Journal of Common
Market Studies, Vol. 47 No. 2, pp. 309–332.
Lee, T. & van de Meene, S. (2012), “Who teaches and who learns?
Policy learning through the C40 cities climate network”,
Policy Sciences, Vol. 45, pp. 199–220.
Monni, S. & Raes, F. (2008), “Multilevel climate policy: the case of
the European Union, Finland and Helsinki”, Environmental
Science & Policy, Vol. 11 No. 8, pp. 743–755.
| 321
322 | TATA KELOLA
BAB 15
ADVOKASI KEBIJAKAN PERENCANAAN KOTA YANG
BERORIENTASI KETAHANAN IKLIM
M. LUTHFI EKO NUGROHO
Pendahuluan
Setiap daerah pasti mempunyai tujuan untuk memastikan
penduduknya dapat hidup sejahtera. Sesuai yang diamanatkan
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 pemerintah harus hadir untuk memastikan
kemajuan kesejahteraan umum. Dalam rangka memastikan
kesejahteraan masyarakat, maka dilakukanlah sebuah proses
pembangunan. Tjokroamidjojo (1971) menyatakan bahwa
pembangunan merupakan suatu proses perubahan sosial berencana,
karena meliputi berbagai dimensi untuk mengusahakan kemajuan
dalam kesejahteraan ekonomi, modernisasi, pembangunan bangsa,
wawasan lingkungan dan bahkan peningkatan kualitas manusia
untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Sedangkan Kartasasmita
(1997) menyatakan bahwa pembangunan itu dilakukan sebagai
upaya untuk mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik
melalui upaya yang dilakukan secara terencana.
| 323
dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Perlu digarisbawahi di
sini kalimat “memperhitungkan sumber daya yang tersedia”, yang
mengandung makna bahwa seluruh potensi dan permasalahan
dalam sebuah daerah harus dipertimbangkan ketika akan
melakukan perencanaan pembangunan.
| 325
tidak bisa terlepas dari peran pengambil kebijakan di daerah, yang
dalam hal ini adalah kepala daerah, yang dihasilkan dari proses
politik dan memiliki masa waktu selama lima tahun untuk setiap
periode kepemimpinan. Imbasnya kebijakan yang dirumuskan
secara hitung-hitungan harus mampu menimbulkan dampak politis
yang baik bagi kepala daerah. Sementara kebijakan yang
dilaksanakan oleh pemerintah daerah harus mempertimbangkan
sumber daya yang dimiliki, sehingga harus disusun secara cermat
prioritas mana yang harus diutamakan terlebih dahulu.
| 327
dokumen teknis pendukung aksi perubahan iklim, jika ingin
dirumuskan menjadi kebijakan pemerintah daerah harus
diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan, dan
harus selaras dengan prioritas kebijakan pemerintah.
| 329
a) Digitalisasi pelayanan publik, untuk mempermudah akses
pelayanan kepada masyarakat
| 331
Sumber: Perubahan RPJMD Kota Semarang Tahun 2016-2021
Gambar 4. Kerangka Logis Pencapaian Visi
| 333
Integrasi Rencana Aksi Daerah Mitigasi dan Adaptasi Perubahan
Iklim di Kota Semarang
Pemerintah Kota Semarang telah melakukan inisiasi untuk
menyusun strategi ketahanan kota dalam menghadapi perubahan
iklim, baik dari sisi mitigasi maupun adaptasi. Pertama kali yang
disusun pada tahun 2011 adalah strategi ketahanan kota untuk
adaptasi difasilitasi oleh program Asian Cities Climate Change
Resilience Network (ACCCRN), dan tahun 2013 menyusun strategi
ketahanan kota untuk mitigasi perubahan iklim yang difasilitasi oleh
GIZ. Kedua dokumen tersebut disempurnakan pada tahun 2016
dengan disusunnya dokumen strategi ketahanan kota yang
mencakup seluruh aspek perkotaan, mulai dari infrastruktur,
lingkungan hidup, ekonomi, sosial-budaya, dan tata kelola, yang
difasilitasi oleh Program 100 Resilient Cities dari The Rockefeller
Foundation. Tahun 2018 dilakukan penyempurnaan Rencana Aksi
Daerah Mitigasi Perubahan Iklim yang dilanjutkan dengan
penyempurnaan Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim di
tahun 2019.
| 335
Rencana teknokratik tersebut nantinya akan dilanjutkan menjadi
Rancangan Awal RPJMD Kota Semarang Tahun 2021-2026, posisinya
adalah menjadi bagian dari bab 1 sampai dengan bab 5 dari dokumen
RPJMD. Jika aksi perubahan iklim sudah menjadi bagian di
rancangan teknokratik, maka pada dokumen rancangan awal sampai
dengan rancangan akhir RPJMD juga sudah pasti
mempertimbangkan dan terintegrasi dengan aksi perubahan iklim
sampai kepada program-program yang nantinya akan dirumuskan
pada bagian akhir RPJMD. Jika sudah tertuang menjadi sebuah
program-program di RPJMD, maka di tingkat OPD dalam proses
penyusunan rencana strategis OPD, selama lima tahun sesuai
dengan periode RPJMD, juga akan “terinfeksi” dengan aksi-aksi
perubahan iklim, dan akan terus mengalir sampai dengan rencana
tahunan di Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan rencana
kerja OPD yang disusun setiap tahun, serta menjadi pedoman dalam
penyusunan Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran
Sementara (KUA PPAS) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) setiap tahunnya.
Kesimpulan
Aksi perubahan iklim yang dilakukan sebisa mungkin dijabarkan
seluruh dampaknya baik yang didapatkan secara langsung maupun
tidak langsung. Semakin besar dampak yang ditimbulkan, akan
semakin mudah diintegrasikan dengan kebijakan pembangunan
kota. Langkah yang paling strategis adalah dengan
mengintegrasikan perubahan iklim ke dalam setiap program
pembangunan, melalui integrasi ke dokumen perencanaan
pembangunan kota beserta seluruh turunannya. Hal tersebut
dilakukan secara paralel dengan peningkatan pengetahuan
(knowledge) dari sumber daya manusia yang ada di pemerintah
daerah mengenai semua hal yang berkaitan dengan isu perubahan
iklim.
Daftar Pustaka
Davidson, F. (1996), Planning for Performance: Requirements for
Sustainable Development. Habitat International Vol. 20 No. 3.
Pp. 445-462.
Kartasasmita, G. (1997), Administrasi Pembangunan:
Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di
Indonesia. LP3ES. Jakarta.
Pemerintah Kota Semarang. (2010), Kajian Kerentanan Terhadap
Perubahan Iklim Kota Semarang, diambil dari
https://bappeda.semarangkota.go.id/packages/upload/kcfi
nder/upload/files/3.%20SEMARANG%20%20KAJIAN%20K
| 337
ERENTANAN%20-
%20VULNERABILITY%20ASSESSMENT%20%5BIndonesian
%5D.pdf
Pemerintah Kota Semarang. (2016), Strategi Ketahanan Kota:
Semarang Tangguh. Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 6 Tahun 2010 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota
Semarang Tahun 2005-2025. Pemerintah Kota Semarang.
Indonesia.
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 6 Tahun 2016 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Kota Semarang Tahun 2016-2021 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 11 Tahun
2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota
Semarang Nomor 6 Tahun 2016 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota
Semarang Tahun 2016-2021
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).
Jakarta.
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-
2024, Lampiran I Narasi RPJMN 2020-2024. Jakarta.
Rancangan Teknokratik RPJMD Kota Semarang Tahun 2021-2025.
Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.
Rencana Aksi Daerah Mitigasi Perubahan Iklim Kota Semarang
Tahun 2018. Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.
Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim Kota Semarang
Tahun 2019. Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.
Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API)
Tahun 2014. Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.
Tjokroamidjojo, B. (1971), Administrasi Pembangunan. Departemen
Dalam Negeri RI. Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah
U.S. Climate Change Science Program. (2009), Synthesis and
Assessment Product 5.2: Best Practice Approaches for
Characterizing, Communicating, and Incorporating Scientific
Uncertainty in Climate Decision Making, diambil dari
https://www.globalchange.gov/sites/globalchange/files/sa
p5-2-final-report-all.pdf
Pendahuluan
Buku berjudul “Ketahanan Iklim Perkotaan: Konsep, Praktik,
Instrumen, dan Tata Kelola” ini mengelaborasi konsep, praktek, dan
instrumen yang dapat digunakan untuk mendorong perencanaan
dan pembangunan perkotaan yang lebih mengakomodir isu-isu
perubahan iklim. Bagian pertama buku ini membahas tentang
konsep kota yang memiliki ketahanan iklim seperti konsep
ketahanan, dikursus, dan relevansinya dalam perspektif perubahan
iklim. Diuraikan pula konsep co-benefits dalam mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim serta konsep low carbon city yang mulai
diperkenalkan agar kota-kota dapat menginventarisasi emisi Gas
Rumah Kaca (GRK), memproyeksikan emisi dan mengambil
kebijakan pembangunan yang dapat mengurangi emisi GRK yang
dihasilkan.
| 341
dalam berbagai inisiatif global terkait perubahan iklim dan
ketahanan kota.
342 | PENUTUP
demikian wilayah perkotaan pesisir perlu menjadi fokus atau
perhatian terkait isu perubahan iklim, termasuk menyiapkan
kebijakannya yang mengarah pada perwujudan kota yang tahan
perubahan iklim.
| 343
ekonomi, sosial dan kelembagaan (Intergovernmental Panel on
Climate Change, 2015). Jika adaptasi perubahan iklim cenderung
beririsan dengan upaya-upaya penaggulangan bencana atau
pengurangan risiko bencana sebagai dampak perubahan iklim,
mitigasi perubahan iklim identik upaya mengurangi emisi GRK.
344 | PENUTUP
ke-13 yaitu membuat langkah segera untuk mengatasi perubahan
iklim dan dampaknya. Kedua tujuan di atas mempunyai keterkaitan
erat karena kota-kota dan kawasan permukiman mengalami
ancaman bencana terkait perubahan iklim, dalam hal ini bencana
hidrometeorologi yang kecenderungannya meningkat seiring waktu.
Agenda perkotaan baru atau new urban agenda (United Nations, 2017)
menjabarkan salah satu visi kota dan lingkungan binaan untuk
semua (a city for all), di mana semua orang dapat menikmati hak dan
kesempatan yang setara dalam semua bidang kehidupan. Salah satu
prinsip dalam agenda ini adalah menjamin keberlanjutan
lingkungan (environmental sustainability) melalui: (1)
mempromosikan energi bersih serta penggunaan lahan dan
sumberdaya dalam pengembangan kota; (2) melindungai ekosistem
dan keanekaragaman hayati termasuk menerapkan gaya hidup sehat
dan selaras dengan alam; (3) mempromosikan pola produksi dan
konsumsi berkelanjutan; dan (4) membangun kota yang memiliki
ketahanan melalui pengurangan risiko bencana serta mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim. Dalam prinsip tersebut membangun kota
yang memiliki ketahanan tidak dapat dipisahkan dengan upaya
menjamin keberlanjutan lingkungan di wilayah perkotaan.
| 345
berbagai bencana seperti di Jakarta, Semarang, Pekalongan, dan
lainnya.
346 | PENUTUP
dan infrastruktur perlu dilakukan. Kejadian bencana yang pernah
melanda suatu kota juga menjadi pelajaran berharga sehingga dapat
membangun kembali lebih baik (build back better) kota yang yang
memiliki ketahanan di masa mendatang.
| 347
memiliki ketahanan; (5) Safeguard lingkungan dengan perlindungan
jasa ekosistem; (6) Memperkuat kapasitas kelembagaan untuk
memiliki ketahanan; (7) Memperkuat kapasitas masyarakat untuk
memiliki ketahanan; (8) Meningkatkan ketahanan infrastruktur.
Sementara itu Essentials 9-10 menyangkut respon dan pemulihan
pasca bencana (disaster response itself and post-event recovery), meliputi:
(9) Memastikan respon bencana yang efektif; dan (10) Mempercepat
pemulihan dan membangun kembali lebih baik.
348 | PENUTUP
Sementara itu, aspek keamanan mencakup penyediaan ruang untuk
ruang perlindungan dan evakuasi, serta jalur evakuasi. Aspek
lingkungan atau ekosistem mencakup keanekaragaman hayati,
hidrologi, pelestarian kawasan lindung dan habitat, perlindungan
erosi. Aspek ekonomi mencakup pertanian di perkotaan, pendanaan
dan finansial, asuransi dan jaminan sosial, perpajakan, lapangan
kerja, dan pariwisata. Aspek kelembagaan meliputi perencanaan
(Peraturan Zonasi atau PZ, pertimbangan risiko dan kerentanan,
kawasan lindung, peta rawan bencana, perencanaan berbasis
skenario, perencanaan kolaboratif, memori kolektif, perencanaan
proaktif, tata guna lahan) dan tatakelola (carbon pricing, akuntabilitas,
otonomi daerah, kerjasama, trust, stabilitas politik, kepemimpinan,
dan transparansi). Sementara itu aspek sosial dan kependudukan
mencakup budaya, distribusi penduduk, kohesi sosial, tingkat
pendidikan, kemiskinan, tingkat pendapatan, penduduk lansia,
agama, dan kesehatan (Sharifi & Yamagata, 2014).
| 349
lainnya. Partisipasi publik dan kerjasama dengan bebagai pihak
sangat penting dalam mendukung berbagai upaya PRB.
350 | PENUTUP
4. Pengembangan kota, tata guna lahan dan rancang kota yang
rendah risiko (low risk city). Tahap ini dilakukan pada peta
risiko bencana dan skenario risiko yang telah disusun
sebelumnya. Pengembangan kota dan tata guna lahan fungsi
budidaya perlu diarahkan pada ruang atau kawasan yang
rendah risiko terhadap bencana. Atau dengan kata lain perlu
perhatian aspek risiko dalam perencanaan dan perancangan
kota (risk-aware planning and design). Kaidah rancang kota dan
tata bangunan juga perlu diarahkan rendah risiko, termasuk
pemanfaatan teknologi yang tepat. Kawasan permukiman
padat, informal atau kawasan kumuh perlu menjadi perhatian
tersendiri. Perencanaan dan rancang kota perlu
memperhatikan keberadaan daerah peresapan air, Ruang
Terbuka Hijau (RTH), daerah penampungan air, ventilasi
koridor, perlindungan lahan basah (wetland), kota yang
kompak (compact city) dan guna lahan campuran (mixed-use),
serta tata letak dan oreintasi bangunan. Selain itu diperlukan
instrumen pengendalian pemanfaatan ruang dan Peraturan
Zonasi (PZ), misalnya pengaturan Koefisien Dasar Bangunan
(KDB) dan Koefisien Dasar Hijau (KDH) yang mendukung
pencapaian pemanfaatan ruang dan pembangunan yang
rendah risiko.
| 351
kota perlu selaras dengan lingkungan alami di wilayah
perdesaan sekitar (hinterland) dan daerah tangkapan air atau
DAS terutama keselarasan dalam tata guna lahan. Dalam
konteks ini diperlukan penanganan isu lingkungan dan
kebencanaan yang lintas batas administrasi.
352 | PENUTUP
dalam peningkatan kapasitas kelembagaan dapat berupa
pelatihan, pengembangan data dan informasi kebencaaan,
media dan teknologi informasi dan komunikasi sampai
dengan membangun komitmen dan pengorganisasian untuk
aksi kolaboratif.
Aspek Muatan
| 353
Aspek Muatan
354 | PENUTUP
Mitigasi Perubahan Iklim melalui Kerangka Perencanaan Kota
Rendah Karbon
Mitigasi perubahan iklim dilakukan untuk mengurangi emisi GRK
melalui berbagai pendekatan baik teknologi, ekonomi, sosial dan
kelembagaan. Lebih dari 70% emisi GRK di dunia dilepaskan melalui
berbagai aktifitas antropogenik di wilayah perkotaan (Institute for
Global Environmental Strategies, 2018). Proporsi ini akan semakin
meningkat seiring laju urbanisasi kota-kota di negara berkembang
termasuk Indonesia. Oleh karena itu intervensi pengurangan emisi
GRK di sektor-sektor perkotaan penting untuk dilaksanakan dalam
kerangka konsep kota rendah karbon (low carbon city).
Pada bagian kedua buku ini, kajian Sudarmanto Budi Nugroho et al.
menunjukkan bahwa sektor energi yang berasal dari pemakaian
energi untuk industri, bangunan gedung dan komersil, transportasi
dan penggunaan energi di rumah tangga merupakan penyumbang
emisi karbon yang utama di kota-kota besar di Indonesia. Mereka
menyampaikan beberapa intervensi kebijakan yang dapat
diterapkan untuk mengurangi laju pemakaian energi per kapita yang
pada gilirannya akan menurunkan emisi GRK dari perkotaan di
Indonesia. Secara umum, upaya-upaya penurunan emisi GRK dari
perkotaan di Indonesia dapat dilakukan dengan (a) melakukan
konservasi energi dari sisi penguna; (b) memperbaiki kondisi suplai
energi; (c) membangun transportasi berkelanjutan; (d) mengurangi
emisi melalui pengelolaan limbah padat dan cair dengan baik dan (e)
berupaya melakukan penyerapan karbon melalui hutan/taman kota.
Upaya-upaya aksi dari sisi energi (pengguna maupun suplai) dan
pembangunan transportasi berkelanjutan akan memberikan dampak
lebih besar pada penurunan emisi GRK sektor perkotaan
dibandingkan dengan upaya penurunan dari pengelolaan limbah
dan pemanfaatan hutan kota /taman kota yang sangat terbatas dan
sulit dikembangkan secara luas di kota-kota besar di Indonesia.
| 355
Sementara itu pada bagian pertama buku ini, Rukuh Setiadi dan
Salma Zulfa Nadhiroh menggarisbawahi tentang co-benefits dalam
mitigasi perubahan iklim, yaitu pentingnya memberikan manfaat
lain disamping penurunan emisi GRK. Mayrhofer & Gupta (2016)
mengidentifikasi contoh-contoh co-benefits dari berbagai bidang,
yaitu: (1) manfaat iklim meliputi pengurangan emisi GRK dan
meningkatnya ketahanan terhadap perubahan iklim; (2) manfaat
ekonomi seperti meningkatnya ketahanan energi, investasi swasta,
kinerja ekonomi, lapangan kerja, perubahan teknologi dan
kontribusi fiscal; (3) manfaat lingkungan seperti perlindungan SDA,
keanekaragaman hayati, jasa lingkungan, perbaikan kualitas air,
tanah dan udara; (4) manfaat sosial seperti akses energi,
pengurangan kemiskinan dan kesenjangan, ketahanan dan
keamanan pangan, peningkatan kesehatan dan pengurangan
tekanan social; dan (5) manfaat politis dan kelembagaan yaitu
stabilitas politik, demokratisasi dan kolaborasi lintaswilayah.
356 | PENUTUP
1-Sektor persampahan. Pada sektor persampahan, pengurangan
emisi GRK dapat dilakukan dengan beberapa pilihan teknologi,
misalnya penangkapan gas methane dari kegiatan Tempat
Pemrosesan Akhir (TPA) yang dikombinasikan dengan mengakhiri
pengelolaan sampah dari sistem open dumping dengan sanitary
landfill. Perbaikan pengelolaan persampahan ini secara langsung
akan mengurangi produksi GRK dengan mencegah gas methane yang
ditimbulkan dari kegiatan TPA masuk ke atmosfer. Sedangkan co-
benefits dari kegiatan tersebut ada di sektor persampahan, energi, dan
lingkungan seperti: terkelolanya sampah dengan lebih baik akan
memperpanjang usia teknis TPA; potensi energi alternatif dari hasil
tangkapan gas methane (waste-to-energy); dan berkurangnya polusi
udara dengan peralihan ke sistem sanitary landfill.
| 357
matahari/surya, angin, panas bumi (geothermal) dan sampah (waste-
to-energy). Intervensi pada sektor energi lainnya adalah dengan
efisiensi energi, misalnya penggunaan peralatan listrik hemat energi
di perkotaan. Kebijakan efisiensi energi dapat diintegrasikan dengan
pengelolaan bangunan gedung yang berkonsep bangunan hijau atau
green building11.
358 | PENUTUP
pembangunan berorientasi transit (Transit Oreinted Development atau
TOD), dan tata guna lahan. Contoh kebijakan ini adalah penerapan
Trans Jakarta, Mass Rapid Transit (MRT), dan Light Rapid Transit
(LRT) di Jakarta. Contoh lain adalah Trans Semarang, Solo Batik
Trans dan Trans Jateng di Jawa Tengah. Selain manfaat pengurangan
emisi GRK kebijakan tersebut, beberapa co-benefits dari kegiatan
tersebut dapat ditemui di sektor transportasi dan kesehatan seperti
berkurangnya kemacetan, kecelakaan lalu lintas, meningkatnya
kualitas udara, dan perbaikan kesehatan masyarakat.
What’s Next?
Meningkatnya bencana terkait perubahan iklim pada kota-kota di
Indonesia menunjukkan adanya permasalahan daya dukung dan
daya tampung kota, sementara pada satu sisi kota terus tumbuh dan
berkembang. Kota harus mempunyai ketahanan yang cukup untuk
menghadapi dampak dan risiko perubahan iklim yang semakin
meningkat. Perencanaan kota yang memiliki ketahanan iklim
menghadapi tantangan baik jangka pendek, menengah dan panjang.
Dalam jangka pendek-menengah (1-5 tahun), perencanaan kota
dituntut untuk menyiapkan langkah-langkah dan instrumen
adaptasi perubahan iklim yang dapat mengurangi risiko bencana
iklim. Pemerintah daerah (terutama kota dan kabupaten) diharapkan
mulai mengorganisasikan berbagai sumberdaya dan meningkatkan
kapasitas. Sementara itu perencana kota dituntut mampu melakukan
analisis prediktif (ex-ante) dalam perencanaan ruang dan
infrastruktur meliputi analisis kerawanan-kerentanan-risiko
bencana secara tepat, analisis tata guna lahan, rancang kota hingga
tata bangunan rendah risiko, analisis jasa ekosistem hingga
perencanaan infrastruktur hijau dan biru. Sementara itu dalam
jangka menengah-panjang (5-10 tahun), perencanaan kota-kota di
Indonesia perlu mengintroduksi kebijakan kota rendah karbon
seperti pada sektor-sektor perkotaan potensial seperti energi,
transportasi dan persampahan.
| 359
Daftar Pustaka
Floater, G., Heeckt, C., Ulterino, M., Mackie, L., Rode, P., Bhardwaj,
A., Carvalno, M., Gill, D., Bailey, T., & Huxley, R. (2016), Co-
benefits of urban climate action: a framework for cities.
Economics of Green Cities Programme Working Paper, LSE
Cities, London School of Economics and Political Science,
diambil dari https://www.c40.org/researches/c40-lse-
cobenefits
Institute for Global Environmental Strategies. (2018), Low-carbon
City Profile - Climate Change Actions by Asian Cities in the
City-to-City Collaboration Programme, diambil dari
https://www.iges.or.jp/en/pub/low-carbon-city-profile-
climate-change-0/en
Intergovernmental Panel on Climate Change. (2015), Climate
Change 2014 - Synthesis Report, diambil dari
https://www.ipcc.ch/site/assets/uploads/2018/05/SYR_A
R5_FINAL_full_wcover.pdf
Mayrhofer, J.P. & Gupta, J. (2016), The science and politics of co-
benefits in climate policy. Environmental Science & Policy, Vol.
57, pp. 22–30, diambil dari
https://sciencepolicy.colorado.edu/students/envs-
geog_3022/mayrhofer_2016.pdf
Sharifi, A. & Yamagata, Y. (2014), Resilient urban planning: Major
principles and criteria. The 6th International Conference on
Applied Energy – ICAE2014. Energy Procedia. Vol. 61, pp.
1491 – 1495, diambil dari
https://core.ac.uk/download/pdf/82709331.pdf
United Nations. (2017), New Urban Agenda, diambil dari
https://uploads.habitat3.org/hb3/NUA-English.pdf
United Nations Office for Disaster Risk Reduction. (2017), Disaster
Resilience Scorecard for Cities - Preliminary level assessment,
diambil dari https://www.undrr.org/publication/disaster-
resilience-scorecard-cities
360 | PENUTUP
AGUNG PANGARSO menempuh pendidikan sarjana dan magister di
bidang Perencanaan Wilayah dan Kota, UNDIP dan doktoral Ilmu
Geografi di Universitas Gadjah Mada. Ia berpengalaman hampir 20 tahun
dalam bidang perencanaan wilayah dan kota, pengelolaan lingkungan,
dan pembangunan daerah. Saat ini aktif sebagai Ketua Ikatan Ahli
Perencanaan (IAP) Jawa Tengah.
| 363
MEGA ANGGRAENI memiliki latar belakang pendidikan di bidang
lingkungan. Sejak tahun 2014 bekerja sebagai manajer di Inisiatif Kota
untuk Perubahan Iklim (IKUPI), sebuah institusi non-pemerintah di Kota
Semarang yang berfokus pada isu perubahan iklim dan lingkungan. Ia
pernah terlibat sebagai manajer program Zurich dan TRANSFORM serta
menjadi fasilitator pemebentukan Kelurahan Tangguh Bencana (Katana)
di Kota Semarang.
| 365
SANTY PAULLA DEWI adalah dosen di Departemen Perencanaan
Wilayah dan Kota, UNDIP dan tergabung di Laboratorium Perancangan
Ruang Fisik Kota dan Wilayah. Ia mendapatkan gelar Dr.-Ing dari
Department Urban Planning Technische Universitat Darmstadt, Jerman.
Ia terlibat sebagai anggota team peneliti dalam program Water as Leverage
dan saat ini meneliti mengenai water sensitive urban design (perancangan
kota yang terkait dengan isu air).