Anda di halaman 1dari 381

KETAHANAN IKLIM PERKOTAAN

Konsep, Praktik, Instrumen, dan Tata Kelola

Yayasan Inisiatif Perubahan Iklim dan Lingkungan Perkotaan


KETAHANAN IKLIM PERKOTAAN
Konsep, Praktik, Instrumen, dan Tata Kelola

ISBN: 978-623-96759-0-5

Editor:
Wiwandari Handayani
Rukuh Setiadi
Raka Suryandaru
Tia Dianing Insani

Desain Sampul:
tujusemesta

Tata Letak:
Tia Dianing Insani

Penerbit:
Yayasan Inisiatif Perubahan Iklim dan
Lingkungan Perkotaan
Sumurboto Baru, Banyumanik
Semarang, Indonesia
ikupi.org

Cetakan pertama, Mei 2021

Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang memperbanyak karya tulis dalam buku ini
dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin dari penerbit.

ii |
KATA PENGANTAR
WALIKOTA SEMARANG

Assalamualaikum Wr.Wb.
Salam damai, salam sejahtera buat kita
semuanya.
Kota metropolitan pada dewasa ini
dihadapkan dengan tantangan adaptasi akan
perubahan iklim. Tak terkecuali Kota
Semarang, karakteristik kota yang komplit di
mana memiliki dataran rendah dengan
kemiringan berkisar 0-10 dpl dan dataran tinggi dengan kemiringan
mencapai 45 derajat serta elevasi 350-450 mdpl, menyimpan beragam
potensi problem sebagai akibat perubahan iklim. Kita sudah
merasakan bagaimana pembangunan dan pemanasan global
membawa dampak banjir rob serta penurunan muka tanah 7-15 cm
per tahun di wilayah pesisir. Bahkan frasa lagu ‘Semarang Kaline
Banjir’ begitu melekat dengan kondisi Kota Semarang, mengalahkan
popularitas judul lagu itu sendiri 'Jangkrik Genggong'.

Sejatinya Pemerintah Kota telah berupaya merespon dan membuat


kebijakan yang berorientasi ketahanan perubahan lingkungan,
seperti Semarang Water Front City, Water as Laverage, Asian Cities
Climate Change Resilience Network (ACCCRN), hingga 100 Resilient
Cities. Pada problem banjir, secara statistik capaian wilayah rawan
banjir di Kota Semarang mengalami penurunan dari mulanya tahun
2011 sebesar 41,02%, kini tahun 2019 turun menjadi 13,71%.

Kota Semarang pun juga terus melakukan pembelajaran dari kota-


kota lain, baik di tingkat nasional maupun internasional. Proses
pembelajaran terus dilakukan, salah satunya dapat dilakukan
melalui diskursus pembelajaran di dalam buku “Ketahanan Iklim

| iii
Perkotaan: Konsep, Praktik, Instrumen, dan Tata Kelola” yang
bermanfaat dalam praktik perencanaan kota yang berketahanan
iklim, khususnya bagi Kota Semarang. Pada akhirnya, dengan
adanya buku ini, Kota Semarang dengan segala tantangan iklim yang
dihadapinya dapat memetik pembelajaran untuk menjadi lebih
tangguh dan berkembang menjadi kota tangguh iklim yang
berkelanjutan.

Untuk itu, atas nama Pemerintah Kota Semarang, Saya


mengucapkan terima kasih kepada Ikatan Ahli Perencanaan (IAP)
Jawa Tengah, Center for Urban and Regional Resilience Research (CURE)
Universitas Diponegoro dan Inisiatif Kota untuk Perubahan Iklim
(IKUPI) yang telah menerbitkan buku “Ketahanan Iklim Perkotaan:
Konsep, Praktik, Instrumen, dan Tata Kelola”.

Saya berharap buku ini dapat menjadi cakrawala baru bagi


pengambil kebijakan beserta pengelola tata ruang di Kota Semarang
agar dapat mengelaborasi problem, konsep, dan praktik guna
mendorong proses perencanaan dan pembangunan. Elaborasi
tersebut menjadi urgent agar pembangunan kota mengakomodasi isu
perubahan iklim, faktor kebencanaan alam dengan pelibatan
akademisi dan praktisi pembangunan kota. Muaranya Kota
Semarang menjadi kota yang lebih tangguh dan berkembang
menjadi Kota tangguh iklim yang berkelanjutan.

Terima kasih. Matur nuwun.


Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

iv |
KATA PENGANTAR
PRESIDEN INSTITUTE OF GLOBAL FOR
ENVIRONMENTAL STRATEGIES (IGES)

Isu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim


memposisikan wilayah perkotaan sebagai
bidang penting dalam pembahasan isu-isu
keberlanjutan guna mempercepat perubahan
transformatif di tingkat lokal. Eksperimen ini
menyediakan sarana untuk menerjemahkan
visi jangka panjang dan langkah sosio-teknis
ke dalam aksi dan praktik jangka pendek yang
konkret selama proses transisi menuju keberlanjutan. Eksperimen
ketahanan iklim perkotaan berlangsung dalam konteks nyata dan
berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat yang
kompleks, berlatar belakang plural, dan melibatkan kepentingan
multidimensi dari banyak aktor di berbagai skala dan birokrasi,
termasuk juga proses pemantauan dan evaluasinya. Tindakan
transformatif di tingkat kota dimungkinkan jika kota dan negara
yang terlibat mampu menciptakan basis tata kelola yang mendukung
dan memungkinkan tercipta dan terlaksananya kemitraan untuk
memobilisasi sumber daya dalam mendukung implementasi ide,
program, dan aksi.

Buku berjudul “Ketahanan Iklim Perkotaan: Konsep, Praktik,


Instrumen, dan Tata Kelola” memuat teori untuk menganalisis
sistem sosio-teknis dan mengeksplorasi praktik terbaik untuk
mengatasi dinamika, tantangan, dan terobosan yang berbeda dalam
mempercepat transisi dan proses transformatif menuju kota-kota di
Indonesia yang memiliki ketahanan iklim. Sistem sosio-teknis
mencakup teknologi, regulasi, praktik dan pasar pengguna, makna
budaya, infrastruktur, jaringan pemeliharaan, dan jaringan
penyediaan. Beberapa pengalaman kasus yang dipilih dalam

|v
pembahasan di buku ini diharapkan dapat meningkatkan ketelitian
metodologis untuk mereplikasi logika berpikir dan ide-ide ke dalam
praktik.

Institute of Global for Environmental Strategies (IGES), Jepang


memiliki sejarah panjang dalam kegiatan-kegiatan transformative di
beberapa perkotaan di Asia-Pasifik dan Indonesia. Kami senang
sekali dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan sebagai bentuk
kontribusi pada teori dan praktik transisi perkotaan di Indonesia
dalam buku ini. Kota-kota yang sedang berkembang di Indonesia
berupaya melaju menuju masa depan melalui pendekatan
lingkungan dan regional serta pemahaman sosio-teknis yang bersifat
multidimensi. Hal tersebut membantu menemukenali tantangan
pengurangan polusi karbon dan pembangunan ketahanan iklim
yang erat hubungannya dengan evolusi teknologi dan kompleksitas
peradaban sistem perkotaan.

Profesor Kazuhiko Takeuchi

vi |
KATA PENGANTAR
KETUA ASOSIASI SEKOLAH
PERENCANAAN INDONESIA (ASPI)

Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia


(ASPI) sebagai asosiasi sekolah di bidang
perencanaan wilayah dan kota merupakan
forum yang memiliki peran dan juga
tanggung jawab pada masyarakat dalam
mengawal kualitas pendidikan yang diterima
mahasiswa serta lulusan yang dihasilkannya.
Melalui Tri Dharma Pendidikan Tinggi, ASPI
juga berupaya memastikan bahwa pengembangan ilmu
pengetahuan melalui penelitian dan karya ilmiah dilaksanakan
dengan menjaga relevansinya terhadap dinamika kehidupan
masyarakat, begitu pula dengan pengabdian masyarakat yang
menjembatani pemahaman akademis dan praktik di lapangan. Latar
belakang tersebut memposisikan ASPI sebagai wadah yang selalu
terbuka memberikan dukungan terhadap inisiatif-inisiatif akademis
dan praktis yang berkaitan dengan isu-isu terkini yang berkembang
dalam dunia perencanaan, di mana isu iklim dan ketahanan kota
termasuk di antaranya.

ASPI menyambut baik kehadiran buku “Ketahanan Iklim Perkotaan:


Konsep, Praktik, Instrumen, dan Tata Kelola” yang berhasil disusun
oleh Center for Urban and Regional Resilience Research (CURE)
Universitas Diponegoro bersama Inisiatif Kota untuk Perubahan
Iklim (IKUPI) dan Ikatan Ahli Perencana (IAP) Provinsi Jawa
Tengah. Konten yang disajikan dalam buku ini secara lengkap
menjelaskan teori-teori serta pendekatan yang banyak ditemui
dalam pembahasan isu ketahanan iklim di perkotaan. Penjabaran
tersebut kemudian dilengkapi dengan contoh penerapannya dalam
praktik dan aktivitas dalam membangun ketahanan kota yang telah

| vii
dilaksanakan dalam berbagai bidang di beberapa wilayah perkotaan
di Indonesia. Yang tidak kalah penting, pengenalan instrumen
pengukuran yang vital penggunaannya dalam penelitian serta
proses tata kelola yang berimplikasi pada keberhasilan perencanaan
kota yang tahan terhadap perubahan iklim juga dibahas dalam buku
ini.

Pemikiran dan pengalaman dalam buku ini dapat memperkaya


pengetahuan mahasiswa di bidang perencanaan untuk lebih
memahami konteks ketahanan perkotaan terhadap perubahan iklim.
Terlebih lagi kepekaan terhadap perubahan iklim merupakan faktor
penting yang harus diakomodasi dalam proses perencanaan. Semoga
buku ini bisa menjadi media pembelajaran strategis yang bermanfaat
bagi mahasiswa yang berada di berbagai jenjang sekolah
perencanaan wilayah dan kota. Semakin dini mahasiswa memahami
isu iklim dan ketahanan secara menyeluruh, maka pengarusutamaan
dan aplikasi kedua isu tersebut akan semakin cepat tercapai.

Dr.sc.agr. Iwan Rudiarto, ST., MSc.

viii |
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................i

KATA PENGANTAR
Walikota Semarang ................................................................ iii
Presiden Institute of Global for Environmental Strategies
(IGES) ......................................................................................... v
Ketua Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia
(ASPI) ...................................................................................... vii

DAFTAR ISI ........................................................................................... xi

PEMBUKA
BAB 1. Urgensi dan Relevansi Perencanaan Kota yang
Memiliki Ketahanan Iklim ................................................... 3
Wiwandari Handayani

KONSEP
BAB 2. Ketahanan Kota: Diskursus dan Relevansinya dalam
Perspektif Perubahan Iklim ......................................................11
Wiwandari Handayani dan Intan Hapsari Surya Putri

BAB 3. Co-Benefits dalam Mitigasi dan Adaptasi Perubahan


Iklim ........................................................................................ 35
Rukuh Setiadi dan Salma Zulfa Nadhiroh

BAB 4. Pembangunan Rendah Karbon di Kota-Kota


Indonesia - Faktor Pendukung, Peluang, dan
Tantangannya ........................................................................ 55
Sudarmanto Budi Nugroho, Junichi Fujino, dan
Tomoko Ishikawa

PRAKTIK
BAB 5. Kiprah Kota Semarang dalam Jejaring Kota yang
Memiliki Ketahanan Terhadap Perubahan Iklim

| ix
di Asia (ACCCRN – Asian Cities Climate Change
Resilience Network) .............................................................. 87
Bintang Septiarani

BAB 6. Peran Institusi Non-Pemerintah dalam Peningkatan


Ketahanan Banjir - Refleksi IKUPI dalam Program
Zurich dan TRANSFORM di Kota dan Kabupaten
Semarang .............................................................................. 103
Mega Anggraeni dan Rizkiana Sidqiyatul Handani

BAB 7. Refleksi Perjalanan Kota Semarang dalam Jejaring


100 Resilient Cities .............................................................. 131
Nini Purwajati

BAB 8. Skenario Pembangunan Kota Rendah Karbon di


Indonesia: Studi Kasus Jakarta dan Semarang .............. 149
Sudarmanto Budi Nugroho, Junichi Fujino, dan
Tomoko Ishikawa

BAB 9. Pengelolaan Air Terpadu untuk Mewujudkan


Ketahanan Kota - Pembelajaran dari Program
Water as Leverage................................................................ 179
Santy Paulla Dewi

BAB 10. Menuju Sistem Pengelolaan Sampah yang Memiliki


Ketahanan Iklim di Kota Semarang: Antara Daur
Ulang atau Waste-to-Energy ............................................. 209
M. Nurhadi

INSTRUMEN
BAB 11. Perhitungan Emisi Karbon dan Rencana Aksi
Mitigasi Perubahan Iklim ................................................. 229
Ratna Budiarti

BAB 12. Penggunaan Indeks dalam Pengukuran Ketahanan


Kota........................................................................................ 251
Tia Dianing Insani dan Mega Febriana Kusumo

x|
BAB 13. Planning Charrette: Alternatif Metode Partisipatif
dalam Proses Perencanaan ................................................ 275
Raka Suryandaru dan Devisari Tunas

TATA KELOLA
BAB 14. Tata Kelola Multilevel dalam Penanganan Perubahan
Iklim ...................................................................................... 301
Rukuh Setiadi

BAB 15. Advokasi Kebijakan Perencanaan Kota yang


Berorientasi Ketahanan Iklim .......................................... 323
M. Luthfi Eko Nugroho

PENUTUP
BAB 16. Tantangan Praktis Perencanaan Kota yang Memiliki
Ketahanan Iklim ................................................................. 341
Agung Pangarso

TENTANG PENULIS ......................................................................... 361

| xi
BAB 1
URGENSI DAN RELEVANSI PERENCANAAN KOTA
YANG MEMILIKI KETAHANAN IKLIM
WIWANDARI HANDAYANI

Pada tataran global maupun nasional, isu perubahan iklim


berkembang dan mengemuka seiring dengan kecenderungan
meningkatnya kejadian bencana akibat perubahan iklim. Urbanisasi
yang relatif pesat menambah tingkat risiko banyak wilayah yang
secara signifikan terdampak sebagai akibat dari perubahan iklim
tersebut. Kepadatan penduduk dan bangunan yang tinggi, serta
besarnya jumlah penduduk rentan (anak-anak, penduduk lanjut
usia, penduduk terkategori miskin) pada wilayah-wilayah perkotaan
yang berisiko tinggi mengalami bencana sebagai dampak perubahan
iklim memerlukan inisiatif langkah-langkah yang terencana, dapat
diimplementasikan, dan terkelola dengan baik. Di sisi lain, upaya
mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), juga diperlukan untuk
memastikan perkembangan perkotaan yang memberikan
kenyamanan dan berkelanjutan.

Dalam perspektif adaptasi, bencana hidrometeorologi berkaitan erat


dengan perubahan iklim. Di Asia termasuk Indonesia, bencana
hidrometeorologi yang paling banyak terjadi adalah bencana banjir.
Air adalah kebutuhan dasar yang dibutuhkan untuk
keberlangsungan hidup manusia dan keseimbangan alam yang
berkelanjutan. Sebagai sumber penghidupan, air perlu dijaga
keseimbangannya agar dapat terkendali, not too much yang
mengakibatkan bencana banjir dan juga not too little yang
mengakibatkan bencana kekeringan. Keseimbangan ini semakin sulit
diciptakan seiring dengan pesatnya pembangungan di wilayah
perkotaan yang cenderung tidak terkendali. Wilayah resapan air

|3
terkonversi menjadi wilayah permukiman, drainase perkotaan tidak
terkelola maksimal, kesadaran masyarakat juga masih rendah karena
masih saja ditemukan sampah dengan jumlah yang cukup besar di
sungai dan selokan.

Jika adaptasi perubahan iklim cenderung beririsan dengan upaya-


upaya penaggulangan bencana sebagai dampak perubahan iklim,
mitigasi perubahan iklim identik upaya mengurangi emisi GRK.
Kontributor emisi terbesar di wilayah perkotaan pada umumnya
adalah gas CO2 yang dihasilkan kendaraan bermotor. Oleh karena
itu, berbagai upaya pengurangan emisi di wilayah perkotaan yang
dianggap cukup efektif adalah dengan mengalihkan penggunaan
kendaraan bermotor pribadi pada penggunaan transportasi publik,
dan menciptakan pola-pola pemanfaatan ruang perkotaan
berprinsip mixed-use (penggunaaan lahan campuran) yang
diharapkan dapat mengurangi mobilitas masyarakat yang
menggunakan kendaraan bermotor, beralih karena pemenuhan
aktifitasnya dapat dilakukan dengan berjalan kaki dan atau
bersepeda.

Seiring dengan perkembangan wacana atau diskursus adaptasi dan


mitigasi perubahan iklim, konsep ketahanan ditawarkan sebagai
solusi adaptasi transformatif dalam menghadapi berbagai gangguan
(bencana) akibat perubahan iklim dan memberikan perspektif baru
dalam mendorong pembangunan kota yang berkelanjutan.
Ketahanan Kota atau city resilience adalah suatu kondisi di mana kota
sudah memiliki kapasitas yang cukup untuk menghadapi berbagai
gangguan yang dialaminya, salah satunya adalah gangguan
(bencana) akibat perubahan iklim. Pemahaman multidimensi atau
multisektor serta keterlibatan berbagai pemangku kepentingan
sangat diperlukan untuk mewujudkan ketahanan kota. Tidak hanya
itu, terwujudnya ketahanan kota juga dipengaruhi oleh bagaimana
pemahaman multidimensi atau multisektor tersebut diakomodasi
dalam setiap tahapan perencanaan dan pembangunan kota.

4 | PEMBUKA
Buku ini mengelaborasi konsep, praktik, dan instrumen yang dapat
digunakan untuk mendorong proses perencanaan dan
pembangunan perkotaan yang dapat lebih mengakomodir isu-isu
perubahan iklim. Setiap bab nya ditulis oleh para ahli dan atau
praktisi yang telah terlibat langsung dalam berbagai inisiatif yang
terkait dengan penataan kota dan penanganan isu-isu perubahan
iklim. Pada tataran konsep, buku ini mengulas beberapa fondasi teori
yang terkait dengan upaya merencanakan kota yang memiliki
ketahanan iklim. Pertama adalah ulasan mengenai konsep
ketahanan, dikursus, dan relevansinya dalam perspektif perubahan
iklim. Kedua adalah konsep co-benefits dalam mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim untuk menjembatani realita adanya tuntutan
pelaksanaan pembangunan ekonomi yang dapat tetap
mengakomodir kepentingan-kepentingan pengelolaan lingkungan.
Ketiga adalah konsep low carbon city yang mulai diperkenalkan agar
kota-kota dapat menginventarisasi dan memproyeksikan emisi yang
dihasilkan untuk dapat kemudian mengambil kebijakan
pembangunan yang dapat mengurangi emisi GRK yang dihasilkan.

Beberapa inisiatif terkait penanganan isu perubahan iklim pada


bagian kedua di dalam buku ini mengelaborasi praktik-praktik baik
maupun pembelajaran yang dapat diambil untuk merencanakan
kota yang sensitif terhadapa isu-isu perubahan iklim. Telah banyak
inisiatif-inisiatif pembangunan dilakukan bersama oleh akademisi
dan praktisi sebagai bentuk dukungan terhadap proses formulasi
dan eksekusi kebijakan terkait ketahanan kota dan perubahan iklim.
Akan tetapi, banyak dari inisiatif-inisiatif tersebut belum
terdokumentasi dengan baik dan aksesnya masih terbatas bahkan
bagi kalangan perencana dan pemangku kebijakan. Hal tersebut
sangat disayangkan mengingat potensi pembelajaran yang dapat
bermanfaat bagi perkembangan ilmu dan praktik perencanaan kota
yang berorientasi ketahanan iklim. Sebagian besar inisiatif-inisiatif
yang dijelaskan di buku ini dilaksanakan di Kota Semarang, seiring
dengan komitmen Kota Semarang dalam berbagai inisiatif global
terkait perubahan iklim dan ketahanan setidaknya sejak

|5
keterlibatannya di jejaring Asian Cities Climate Change Resilience
Network (ACCCRN) tahun 2009. Di antaranya adalah pengalaman
Kota Semarang dalam berbagai proyek-poyek pilot dalam Program
ACCCRN yang kemudian berlanjut dengan 100 Resilient Cities,
program Water as Leverage, Low Carbon Cities, Program Zurich dan
Transform untuk pengelolaan banjir, serta program terkait
pengelolaan sampah perkotaan. Kehadiran mitra-mitra global dari
berbagai negara antara lain Rockefeller Foundation, Institute for Global
Environmental Strategies – Japan, dan Netherlands Enterprise Agency
(RVO) – the Netherlands telah dan terus memberikan warna dalam
upaya mendorong perencanaan kota yang memiliki ketahanan iklim,
khususnya di Kota Semarang. Sebagai sebuah isu yang kompleks
dan multidimensi, dukungan yang berkelanjutan dari berbagai pihak
sangat dibutuhkan mengingat terbatasnya kapasitas kota untuk
mengatasai berbagai isu pembangunan khususnya terkait perubahan
iklim ini.

Pada bagian ketiga, buku ini mengkontribusikan tiga bab yang


terkait dengan pilihan instrumen yang dapat digunakan dalam
upaya merencanakan kota yang memiliki ketahanan iklim.
Instrumen-instrumen tersebut adalah pengukuran indeks ketahanan
kota, perhitungan emisi GRK, dan planning charrettes sebagai
instrumen yang dapat digunakan untuk proses perencanaan yang
lebih partisipastif. Kehadiran berbagai instrumen perencanaan
diharapkan dapat menambah pilihan bagi para perencana dan
pengambil kebijakan untuk mengolah data menjadi informasi yang
tepat yang dapat digunakan sebagai dasar perumusan kebijakan
pembangunan dan pengambilan keputusan.

Konsep, praktik, dan instrumen ini tidak dapat berperan maksimal


tanpa dukungan tata kelola yang baik. Membangun ketahanan kota
yang dapat merespon isu-isu perubahan iklim dengan tepat sasaran
membutuhkan keterlibatan seluruh elemen masyarakat kota dan
pemangku kepentingan: pemerintah daerah, akademisi, ahli dan

6 | PEMBUKA
praktisi, sektor usaha, dan komunitas perkotaan untuk bergerak
bersama dalam menghadapi berbagai gangguan akibat perubahan
iklim yang timbul. Pada bagian ke empat buku ini terdapat dua bab
terkait dengan aspek tata kelola dalam penanganan perubahan iklim,
yaitu bab yang menjelaskan konsep dan urgensi multilevel governance
dalam penanganan isu perubahan iklim, dan praktik advokasi
kebijakan perubahan iklim yang dilakukan oleh Kota Semarang.

Center for Urban and Regional Resilience Research (CURE), Fakultas


Teknik - Universitas Diponegoro yang terlibat dalam berbagai
penelitian serta inisiatif terkait perubahan iklim dan ketahanan kota,
berkolaborasi menyusun buku ini bersama Inisiatif Kota untuk
Perubahan Iklim (IKUPI), yang juga dikenal sebagai Yayasan Inisiatif
Perubahan Iklim dan Lingkungan Perkotaan (Initiative for Urban
Climate Change and Environment - IUCCE), dan Ikatan Ahli Perencana
(IAP) Provinsi Jawa Tengah yang mewadahi ahli serta praktisi
lingkungan dan perencana. Diharapkan, kontribusi kecil ini dapat
meningkatkan literasi dan menginspirasi berbagai aktor yang terlibat
dalam penanganan isu-isu perencanaan kota yang muncul
dari fenomena perubahan iklim. Buku ini juga merupakan upaya
CURE UNDIP, IKUPI, dan IAP Jawa Tengah untuk memberikan
sudut pandang keilmuan dan praktis terhadap pentingnya
peningkatan ketahanan kota dalam menghadapi perubahan iklim.

|7
BAB 2
KETAHANAN KOTA: DISKURSUS DAN
RELEVANSINYA DALAM PERSPEKTIF
PERUBAHAN IKLIM
WIWANDARI HANDAYANI DAN INTAN HAPSARI SURYA PUTRI

Pendahuluan
Diskursus ketahanan (resilience) terus berkembang di berbagai
disiplin ilmu. Dalam konteks perencanaan kota, istilah ketahanan
identik dengan kondisi yang dialami sebagai respon atas terjadinya
gangguan terhadap lingkungan. Gangguan ini dapat diiindikasikan
dari kejadian bencana, termasuk di dalamnya bencana yang terjadi
sebagai dampak dari perubahan iklim. Konsep ketahanan ini
menjadi semakin relevan dan perlu diakomodasi dengan baik dalam
dokumen-dokumen perencanaan kota seiring dengan jumlah
kejadian bencana khususnya bencana yang terjadi karena perubahan
iklim cenderung terus bertambah setiap tahunnya.

Banjir, tanah longsor, dan kekeringan adalah bencana yang banyak


terjadi di berbagai wilayah di Indonesia yang terjadi karena faktor
iklim yang kemudian diperparah oleh aktifitas manusia. Data Badan
Nasional Penanggulangan Bencana - BNPB (2020) menunjukkan
jumlah kejadian bencana di kota-kota di Indonesia cenderung terus
meningkat setiap tahunnya. Secara nasional, jika dibandingkan
dengan tahun 2018, jumlah kejadian bencana di Indonesia pada
tahun 2019 mengalami peningkatan sebesar 11% yang didominasi
oleh bencana banjir. Sementara itu, jumlah kejadian banjir di
Indonesia pada tahun 2020 sampai dengan bulan Oktober tercatat
sebanyak 791 kejadian, menunjukkan peningkatan dari tahun
sebelumnya.

| 11
Urbanisasi (proses pertumbuhan dan perkembangan kota) adalah
fenomena yang sangat erat kaitanya dengan bencana dan isu
perubahan iklim perkotaan. United Nation (2018) menyatakan bahwa
68% penduduk dunia akan tinggal di perkotaan pada tahun 2050. Di
Indonesia, jumlah penduduk perkotaan mencapai 150 juta jiwa (BPS,
2019), dan 70% di antaranya terkonsentrasi hanya di Pulau Jawa yang
luasnya hanya 6,7% dari total luas daratan di Indonesia (Handayani
& Waskitaningsih, 2019). Ketidakseimbangan distribusi penduduk
yang terjadi akibat dari tidak meratanya persebaran berbagai
aktifitas pembangunan berimplikasi secara nyata pada munculnya
berbagai dampak perubahan iklim di perkotaan. Penduduk yang
cenderung terkonsentrasi dalam jumlah yang besar melebihi daya
tampung dan daya dukungnya (carrying capacity), mengakibatkan
munculnya berbagai tekanan (disturbance) terhadap lingkungan.

Dampak perubahan iklim semakin dirasakan masyarakat yang


tinggal di perkotaan. Sejati et al. (2019) mengemukakan bahwa Kota
Semarang mengalami kenaikan suhu permukaan sampai dengan
30°C pada 2018. Peningkatan lahan terbangun yang diikuti dengan
penurunan jumlah vegetasi di Kota Semarang kemudian
menyebabkan naiknya rata-rata suhu permukaan sebesar 2-5°C.
Selain itu, dampak perubahan iklim berupa kenaikan muka air laut
juga terjadi di wilayah pesisir. Marfai (2014) dalam penelitiannya di
wilayah perkotaan Jakarta dan Semarang, menjelaskan kenaikan
muka air laut pada dua wilayah perkotaan tersebut mempengaruhi
peningkatan kejadian banjir, kerusakan permukiman dan
infrastruktur.

Dalam perspektif mitigasi perubahan iklim, kota-kota yang


berkembang pesat ini juga menimbulkan potensi penambahan emisi
terutama yang disebabkan oleh penggunaan kendaraan bermotor
yang tidak terkendali. Kemacetan lalu lintas dan tingginya
pengunaan kendaraan mobil/motor pribadi dapat dikategorikan
sebagai gangguan yang secara langsung maupun tidak tidak

12 | KONSEP
langsung terkait dengan fenomena perubahan iklim. Data
Intergovernmental Panel on Climate Change - IPCC (2014) menunjukkan
bahwa 60% emisi transportasi didominasi oleh penggunaan
kendaraan bermotor. Dengan demikian, emisi kendaraan bermotor
merupakan salah satu sumber pencemaran udara khususnya di kota-
kota besar. Dalam kerangka inilah kemudian berkembang diskursus
pentingya konsep ketahahanan dalam konteks perkotaan. Perencana
kota dan berbagai pemangku kepentingan yang terlibat dalam
prosesnya perlu memiliki pemahaman yang cukup mengenai
dampak perubahan iklim dan konsep ketahanan sehingga produk
perencanaan yang dihasilkan dapat lebih mengakomodir
pembangunan berkelanjutan.

Secara umum, dalam diskursus ketahanan kota, gangguan


lingkungan yang terjadi sebagai akibat dari perubahan iklim dapat
dikategorikan sebagai guncangan (shocks) dan tekanan (stresses).
Guncangan adalah gangguan yang merujuk pada bencana sebagai
dampak perubahan iklim) yang terjadi secara tiba-tiba dan
menimbulkan kerusakan yang luar biasa. Banjir bandang akibat
cuaca ekstrem yang tiba-tiba terjadi adalah salah satu bencana yang
terjadi di kota-kota di Indonesia yang kemudian banyak
menimbulkan kerugian dan kerusakan.

Berbeda dengan guncangan, tekanan adalah gangguan (bencana


perubahan iklim) yang cenderung lebih sering terjadi sehingga
masyarakat merasa telah terbiasa dengan bencana tersebut dan
kemudian dengan secara baik beradaptasi. Proses adaptasi ini
dijelaskan dalam teori panarchy yang dikembangkan oleh Gunderson
& Holling (2002) yang meyakini adaptasi sebagai sebuah siklus yang
terjadi pada sebuah sistem ketika terjadi gangguan. Teori ini yang
secara erat kemudian mengkaitkan diskursus ketahanan dalam
perubahan iklim dengan kapasitas adaptasi yang harus dimiliki
sebuah sistem pada level (individu, komunitas, ataupun lingkungan)
untuk menghadapi dampak perubahan iklim.

| 13
Davoudi et al. (2012), mengacu pada teori ketahanan yang
dikembangkan oleh Holling (1973), mengembangkan dua konsepsi
dalam memahami ketahanan, yaitu engineering resilience (ketahanan
teknis) dan socio-ecological resilience (ketahanan sosio-ekologi).
Engineering resilience adalah suatu kondisi ketahanan yang terfokus
hanya kepada satu kondisi keseimbangan baru (equilibrium) yang
bersifat statis sebagai respon atas terjadinya satu gangguan.
Sementara socio-ecological resilience memahami keseimbangan baru
yang terjadi bersifat dinamis sebagai respon terhadap gangguan
yang terjadi secara kompleks pada suatu sistem sosio-ekologi.

Tulisan ini bertujuan untuk mengulas konsep ketahanan yang terus


berkembang secara dinamis. Bagian awal pembahasan bersifat
umum, yang kemudian di tutup dengan dua bagian akhir yang
membahas secara khusus ketahanan kota dalam perspektif
perubahan iklim. Bagian kedua dalam tulisan ini menjelaskan
perkembangan diskursus ketahanan dari masa ke masa untuk
mengantarkan relevansi konsep ini dalam perspektif perubahan
iklim khususnya di lingkungan perkotaan. Bagian ketiga
mengelebarosi ketahanan dalam beberapa definisi yang dilanjutkan
dengan penjelasan kerangka kontekstual dan kerangka ketahanan di
bagian keempat. Bagian kelima mendeskripsikan siklus adaptasi dan
prinsip ketahanan menurut teori panarchy. Mengacu pada
pembahasan konsep ketahanan secara umum di bagian-bagian
sebelumnya, bagian ke enam mendiskusikan konsep ketahanan
secara khusus dalam konteks perubahan iklim. Tulisan ini akan
ditutup dengan beberapa catatan mengenai pentingnya konsep
ketahanan dalam perencanaan kota yang sensitif terhadap isu-isu
perubahan iklim.

Perkembangan Diskursus Ketahanan


Diskursus ketahanan atau resilience memiliki sejarah yang panjang
dan beragam. Alexander (2013) telah menjelaskan secara rinci

14 | KONSEP
mengenai sejarah istilah ketahanan dalam artikelnya ‘Resilience and
disaster risk reduction: an etymological journey’. Gambar 1 secara
ringkas menjelaskan beberapa milestone perkembangan diskursus
ketahanan dari awal hingga sekarang.

Gambar 1. Evolusi Pemahaman Mengenai Ketahanan

Terminologi resilience atau ketahanan dari waktu ke waktu


mengalami perluasan dalam hal pemaknaan. Diawali dari abad ke-
15 hingga ke-19, istilah ketahanan digunakan dalam ranah ilmu
hukum, kebijakan publik dan sastra. Dalam ranah sastra, ketahanan
diartikan sebagai konsep yang bebas dengan banyak makna.
Kemudian, pada akhir abad ke-19 hingga tahun 1930-an, ketahanan
banyak dikaitkan dengan sektor mekanik dan manufaktur. Dalam
hal ini, Alexander (2013) menyebutkan bahwa konsep ketahanan
digunakan untuk menggambarkan karakteristik baja yang dilihat
dari stabilitas bahan dan ketahanannya terhadap guncangan
eksternal. Kemudian sekitar tahun 1950-an diskursus ketahanan
sudah mulai merambah kearah riset sosial yang bermula dari bidang
psikologi dan akhirnya menjadi populer sekitar tahun 1980-an.

| 15
Konsep ketahanan semakin banyak dikenal semenjak istilah
ketahanan secara lebih mendalam dikemukakan oleh Holling (1973)
dalam artikelnya yang menjelaskan engineering resilience (ketahanan
teknis) dan socio-ecological resilience (ketahanan sosio-ekologi). Tahun
1973 menjadi tahun awal di mana istilah ketahanan dipertimbangkan
dalam konteks lingkungan secara lebih luas. Terminologi tentang
ketahanan kemudian telah berpengaruh dalam berbagai disiplin
ilmu sosial, studi bencana, geografi, ekonomi dan ilmu lingkungan.
Semenjak itu, konsep ketahanan terus dikembangkan dan dikaitkan
ke dalam sistem sosio-ekologi di berbagai disiplin ilmu dan
dibicarakan dalam banyak pertemuan ilmiah. Secara konsep,
ketahanan dalam sistem ekologi adalah tentang bagaimana suatu
sistem dapat menjaga lingkungan sekitarnya, sedangkan dalam
sistem sosial konsep ketahanan lebih kompleks karena menyangkut
beberapa hal seperti budaya dan karakter sosial.

Selama tiga dekade terakhir, ketahanan semakin diakui sebagai


konsep yang memungkinkan sistem menjadi lebih baik dalam
menanggapi perubahan. Pada tahun 2000, istilah ketahanan mulai
populer terutama dalam konteks ketangguhan (robustness) suatu
sistem, dan semakin dipertimbangkan untuk menguatkan konsep
keberlanjutan (sustainability). Konsep risiko bencana (disaster risk)
kemudian menjadi acuan kerangka ketahanan dengan
memprioritaskan pendekatan pada aspek pencegahan, tanggapan
dan pemulihan yang cepat. Keseriusan dalam mengaplikasikan
konsep ketahanan ke dalam aspek pengurangan risiko bencana
selanjutnya semakin diperkuat dengan adanya Hyogo Framework
yang diinisiasi oleh United Nations International Strategy for Disaster
Reduction (UNISDR). Semenjak itu, pengukuran dan analisis indeks
ketahanan mulai banyak digunakan dalam beberapa studi, salah
satunya yang terkait dengan kebencanaan. Di samping itu, mulai
tahun 2000, istilah ketahanan juga semakin banyak dikaitkan dengan
konteks infrastruktur, di mana ketahanan sebagian besar lebih
difokuskan pada ketahanan aset fisik dan kapasitas fisik.

16 | KONSEP
Konsep ketahanan masih terus mengemuka terutama dalam
kaitannya dengan ilmu keberlanjutan (sustainaibility) dan adaptasi
perubahan iklim. Tahun 2010 merupakan salah satu tonggak di mana
konsep ketahanan semakin dipertimbangkan dalam konteks
perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut juga
diperkuat dengan kondisi di mana terdapat pergeseran penekanan
dari tren yang berfokus pada kerentanan menuju ke ketahanan. Pada
tahun yang sama juga, kerangka ketahanan mulai dibentuk dan
diperkenalkan oleh Africa Climate Change Resilience Alliance (ACCRA)
dan Asian Cities Climate Resilience Network (ACCCRN). Semenjak itu,
beberapa inisiasi lainnya telah dibentuk dari berbagai institusi global
yang terkait dengan ketahanan, adaptasi perubahan iklim dan
pembangunan berkelanjutan. Beberapa di antaranya adalah 100
Resilient Cities (100RC), Zurich Flood Resilience Alliance, Global
Resilience Partnership (GRP), dan Green Climate Fund (GCF). Hal
tersebut menunjukkan bahwa konsep ketahanan mulai semakin
diperhatikan lebih serius oleh berbagai pihak. Tidak hanya itu,
kerangka ketahanan dan adaptasi juga terus mengalami
perkembangan model seperti contoh City Resilience Framework (CRF)
dan City Resilience Index (CRI) yang dikembangkan oleh ARUP serta
Resilience, Adaptation Pathways and Transformation Assessment
(RAPTA) yang dikembangkan oleh CSIRO.

Pengertian Ketahanan dari Beberapa Persepektif


Beberapa pemahaman dalam ketahanan pada tiap aspek atau bidang
pada dasarnya sama karena bermula dari konsep yang sama.
Pemahaman mengenai ketahanan menjadi penting karena beberapa
hal antara lain: 1) ketahanan dapat meningkatkan keanekaragaman,
2) meningkatkan ketahanan dari sistem untuk memperkecil
gangguan sebagai cara untuk menanggulangi, 3) ketika ketahanan
hilang atau berkurang, sebuah sistem pada tingkat risiko yang
tingggi dapat berubah menjadi kondisi yang berbeda yang mungkin
tidak diharapkan, 4) yang berbeda yang mungkin tidak diharapkan
perbaikan sistem pada kondisi sebelumnya dapat menjadi kompleks,

| 17
dengan biaya tinggi dan kadang-kadang tidak mungkin terjadi
(Holling, 1973).

Holling (1973) mendefinisikan ketahanan sebagai kemampuan


sistem baik secara teknis maupun sosio-ekologis untuk dapat
melanjutkan fungsi, beradaptasi, dan bahkan menjadi lebih baik
melalui daya lentingnya ketika terjadi suatu gangguan/perubahan.
Holling (1973) lebih lanjut menjelaskan elemen-elemen sifat
ketahanan yaitu banyak pilihan (redundant/decentralized), memiliki
banyak sumberdaya (resourceful), efektif (effective), mencukupi
(adequate), kecepatan pulih (time to recover), pembelajaran (learning),
dan tangguh (robust). Sementara itu, ketahanan juga dianggap
sebagai suatu sistem yang dinamis dan kompleks, yang dicirikan
oleh berbagai opsi alur perkembangan, interaksi perubahan yang
bertahap dan cepat, memiliki titik kritis, dan dinamika spasial (Folke
et al., 2003). UNISDR (2009) menekankan konsep ketahanan sebagai
hak milik dari suatu sistem, yang mampu menyesuaikan dan me-
reorganisasi dengan lebih baik berbagai risiko di masa depan.

Ketahanan ditentukan oleh derajat tingkat di mana suatu sistem


sosial mampu mengorganisir dirinya sendiri untuk meningkatkan
kapasitasnya untuk belajar dari bencana/gangguan yang lalu untuk
perlindungan masa depan yang lebih baik, dan untuk meningkatkan
berbagai upaya pengurangan risiko. Selanjutnya bila sebuah sistem
dapat mereorganisasi dirinya yaitu merubah keadaan dari satu
keseimbangan ke keseimbangan lainnya, maka ukuran dinamika
ekosistem yang lebih relevan digunakan adalah ketahanan sosio-
ekologi, yaitu ukuran jumlah perubahan atau gangguan yang
diperlukan untuk merubah sistem. Perubahan ini dipengaruhi oleh
seperangkat proses dan struktur yang saling menguatkan dari satu
keadaan ke keadaan yang lain. Definisi ini berfokus pada persintensi,
kemampuan adaptif, variabilitas dan ketidakpastian yang
kesemuanya merupakan atribut dari perspektif evolusi dan
pembangunan, yang juga sejalan dengan sifat keberlanjutan.

18 | KONSEP
Gunderson & Holling (2002) mendeskripsikan ketahanan sebagai
kapasitas sistem dalam mengalami gangguan dengan tetap
mempertahankan fungsi dan kontrolnya. Walker et al. (2004) melihat
konsep ketahanan sebagai kapasitas suatu sistem untuk menyerap
gangguan dan mengatur kembali saat mengalami perubahan
sehingga sistem dapat tetap mempertahankan fungsi, struktur, dan
identitasnya. Dari beberapa definisi tentang ketahanan tersebut, hal
yang paling ditekankan ialah konsep ketahanan menitikberatkan
pada pengurangan kerusakan jangka pendek dan untuk
membangun kapasitas adaptasi secara jangka panjang. Sejalan
dengan definisi tersebut, maka konsep ketahanan secara lebih
spesifik berkembang dari berbagai perspektif seperti contoh dalam
perspektif ekonomi, sosial dan bencana. Beberapa pengertian
ketahanan dari berbagai perspektif tersebut secara lebih rinci
dijelaskan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengertian Ketahanan dari Beberapa Perspektif

Jenis
Definisi
Ketahanan
Ketahanan teknik berfokus pada efisiensi, keteguhan,
dan prediktabilitas. Konsep ini menggambarkan sifat
fisik dari ketahanan dalam menghadapi dampak
guncangan dan pemulihan ke kondisi semula. Pada
Ketahanan konsep ketahanan yang dimaksud lebih melihat pada
Teknis hard system, dengan kata lain ketahanan teknik hanya
bekerja secara liner yaitu hanya menyelesaikan masalah
saat itu saja (short term) namun tidak menyelesaikan
permasalahan pada jangka panjang. Peningkatan
ketahanan teknik salah satunya melalui program
peningkatan infrastruktur (Holling, 1973).
Ketahanan ekologis mengacu pada kemampuan suatu
ekosistem untuk mempertahankan fungsi dan proses
utama dalam menghadapi tekanan atau tekanan,
dengan melawan dan kemudian beradaptasi dengan
Ketahanan
perubahan. Pada dasarnya sistem memiliki
Ekologi
kemampuan untuk dapat kembali pada kondisi normal
tanpa banyak merubah fungsi aslinya, sedangkan
ketahanan multi dominan lebih menekankan pada
kemampuan ekosistem secara konsisten
memperbaharui, menstrukturisasi dan terus

| 19
Jenis
Definisi
Ketahanan
mengembangkan fungsinya untuk dapat bertahan dan
meningkatkan kecepatan pemulihan dan guncangan
(Holling, 1973).
Ketahanan sosial sebagai kemampuan kelompok atau
komunitas untuk mengatasi tekanan dan gangguan
eksternal sebagai akibat dari perubahan sosial, politik
dan lingkungan (Adger, 2000).
Ketahanan
Ketahanan sosial juga menyangkut entitas sosial baik
Sosial
individu, organisasi atau komunitas dan kemampuan
atau kapasitas mereka untuk mentolerir, menyerap,
mengatasi dan menyesuaikan diri dengan berbagai
jenis ancaman lingkungan dan sosial (Keck &
Sakdapolrak, 2013).
Ketahanan ekonomi didefinisikan sebagai kemampuan
suatu sistem perekonomian untuk meminimalkan
kerugian akibat bencana. Konsep ketahanan ekonomi
Ketahanan regional mulai muncul pada pasca krisis ekonomi dan
Ekonomi erat kaitannya dengan kebijakan regional, manajemen,
perencanaan. Ketahanan ekonomi ini kemudian
dibedakan menjadi dua yaitu instantaneous resilience
dan dynamic resilience (Hallegate, 2014; Peng et al., 2017).
Ketahanan terhadap bencana didefinisikan sebagai
kemampuan komunitas atau masyarakat yang terpapar
bahaya untuk melawan, menyerap, menampung, dan
pulih dari bahaya dengan cepat dan efisien dan
Ketahanan ketahanan bangunan semakin diadopsi sebagai tujuan
Bencana akhir pengurangan risiko bencana (UNISDR, 2009).
Ketahanan terhadap bencana mampu mendorong
adaptasi terhadap bahaya baru dan yang muncul,
untuk mengurangi risiko keterpaparan, dan untuk
dapat pulih dari bencana secara efektif (Forino et al.,
2017).
Ketahanan kota adalah kota dengan kapasitas individu,
masyarakat, institusi, bisnis dan sistem dari sebuah kota
yang dapat beratahan, beradaptasi, dan tumbuh,
terhadap tekanan yang terus menerus dan guncangan
besar yang dihadapi (ARUP, 2014).
Ketahanan
Kota Ketahanan perkotaan berkaitan dengan kemampuan
sistem perkotaan dalam semua dinamikanya untuk
mendukung dalam menghadapi bahaya atau tekanan,
penyediaan dan aksesibilitas layanan dan fungsi yang
penting bagi kesejahteraan semua penduduk (Dickson
et al., 2012).

20 | KONSEP
Kerangka Konseptual dan Karakteristik Ketahanan
Selama beberapa dekade terakhir, konsep ketahanan telah
berkembang dari konstruksi teoretis ke arah praktis antar-disiplin
ilmu yang semakin beragam. Proses perkembangan ini tentunya
dipengaruhi oleh para ahli yang berusaha untuk
mengoperasionalisasikan konsep sistem ketahanan yang kompleks.
Davoudi et al. (2012) dan Folke (2006) mengintepretasikan ketahanan
ke dalam dua definisi yaitu engineering resilience dan socio-ecological
resilience. Engineering resilience dicirikan dengan adanya kestabilan
equilibrium tunggal dan bersifat konstan, sedangkan Socio-ecological
Resilience ditandai dengan adanya interaksi yang dinamis lintas skala
dan memiliki kemampuan beradaptasi dan bertransformasi. White &
O’Hare (2014) mencoba untuk membedakan konsep ketahanan
menjadi ketahanan equilibrist dan ketahanan evolusioner, di mana
gagasan equilibrist lebih mengedepankan pada pendekatan yang
lebih konservatif dan stabil, sedangkan ketahanan evolusioner lebih
mendorong adanya sistem yang fleksibel dan adaptif. Pada
dasarnya, ketahanan evolusioner yang dimaksudkan bertujuan untuk
membentuk sistem yang memiliki normalitas baru yang proaktif
serta berfokus pada pencapaian jangka menengah hingga panjang.

Chelleri et al. (2012) juga memberikan ilustrasi mengenai tahapan


ketahanan dalam suatu sistem yang mencoba menjelaskan konsep
ketahanan secara lebih praktis. Terdapat tiga tahapan pada siklus
ketahanan tersebut yaitu tahap pemulihan (recovery), adaptasi
(adaptation) dan transformasi (transformation). Tahap ketahanan yang
disampaikan oleh Chelleri merupakan tahapan ketahanan dari
perspektif jangka waktu. Ilustrasi ball-in-basin atau bola dalam
baskom digunakan untuk memudahkan pemahaman dari penjelasan
tahap ketahanan ini (Gambar 2). Fase pemulihan merupakan aksi
atau respon yang bersifat jangka pendek, hanya fokus pada
mengembalikan kerusakan-kerusakan yang dialami oleh suatu
sistem setelah mengalami guncangan. Dalam fase ini, upaya-upaya
yang dilakukan masih berada dalam rentang batas ketahanan yang

| 21
sama dengan kondisi awal suatu sistem. Aksi yang dilakukan dalam
tahapan ini pada umumnya merupakan bentuk dari engineering
resilience yang bersifat fisik sebagai contoh pembangunan tanggul
setelah terjadi banjir.

Sumber: Diadopsi dari Handayani et al., 2019


Gambar 2. Kerangka Konseptual dan Karakteristik Ketahanan

Fase selanjutnya ialah adaptasi yang jika dilihat dari segi waktu
merupakan upaya penyelesaian dalam jangka waktu menengah
hingga jangka panjang. Hal ini bergantung pada kondisi yang
dihadapi sistem aksi yang telah dilakukan. Pada fase adaptasi, upaya
ketahanan telah mulai menaikkan batas ambang yang dimiliki oleh
sistem. Adaptasi dipahami sebagai proses penyesuaian pada
perubahan-perubahan yang telah diprediksi atau terjadi. Proses
adaptasi sering kali tumpang tindih dengan proses transformatif
dalam jangka waktu yang lama. Fase transformasi merupakan
tahapan yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Proses ini
melibatkan banyak perubahan baik dari sistem sosial, pemerintahan

22 | KONSEP
dan masyarakat yang terjadi secara lambat. Ilustrasi ball-in-basin
dalam fase transformasi menunjukkan bola yang berpindah ke
dalam cekungan lain. Hal ini merupakan gambaran upaya ketahanan
yang dilakukan telah merubah sistem lama menjadi sebuah sistem
yang bertransformasi, berubah menjadi sesuatu yang berbeda.

Sementara itu, beberapa ahli lain juga melakukan eksplorasi konsep


ketahanan yang berorientasi pada pendekatan adaptasi. Forino et al.
(2017) mencoba untuk membedakan tiga pendekatan dalam sistem
ketahanan yaitu pendekatan coping, pendekatan surviving/protecting,
dan pendekatan transformative dan pro-aktif. Secara lebih aplikatif,
Hegger et al. (2016) mencoba untuk menerjemahkan ketahanan banjir
ke dalam tiga jenis kapasitas yaitu kapasitas untuk bertahan (capacity
to resist), kapasitas untuk menyerap dan memulihkan (capacity to
adsorb and recover); dan kapasitas untuk mengubah dan beradaptasi
(capacity to transform and adapt). Capacity to resist dalam hal ini
digambarkan dengan kemampuan untuk bertahan dari suatu
gangguan yang juga diiringi dengan peningkatan ambang batas
kapasitas suatu sistem dari besarnya gangguan.

Pada ranah ketahanan banjir, upaya penanganan banjir berupa


pembangunan tanggul, bendungan, kolam retensi sangat terkait erat
dengan gagasan capacity to resist. Capacity to adsorb and recover
selanjutnya, dalam konteks ketahanan banjir, didefinisikan sebagai
kemampuan sistem yang terkena dampak banjir untuk tetap
berfungsi dalam merespons banjir, dan mampu memulihkan (tanpa
beralih ke status sistem yang berbeda). Makna kapasitas untuk
menyerap dan memulihkan ini sangat erat kaitannya dengan konsep
ketahanan sosio-ekologi. Sementara, capacity to transform and adapt
diartikan sebagai kemampuan sistem untuk dapat menyesuaikan
diri dengan faktor pendorong eksternal yang mempengaruhi
keterpaparan masyarakat dan aset ekonomi terhadap banjir (seperti
perubahan iklim, variabilitas iklim, perubahan demografis, dan
perubahan pola urbanisasi) untuk mengurangi potensi kerusakan

| 23
dan memanfaatkan peluang untuk dapat lebih berkembang dan
beradaptasi.

Untuk memudahkan pemahaman mengenai konsep ketahanan,


seperti diilustrasikan dalam Gambar 2, secara praktis Handayani et
al. (2019) membagi empat aspek untuk membedakan karakteristik
utama ketahanan yang dibedakan atas aspek jangka waktu, fokus,
respon, dan jenis inisiatif. Jika dilihat dari aspek kerangka waktu,
terdapat inisiatif ketahanan yang bersifat jangka pendek dan dan
jangka panjang. Sejalan dengan itu, respon terhadap inisiatif jangka
pendek ini sangat terfokus pada menjaga situasi normal saat ini dan
status quo, yang selanjutnya mengarah pada ketahanan ekuilibrium
tunggal. Karakteristik ketahanan secara jangka pendek ini
menitikberatkan pada respon reaktif. Sebaliknya, inisiatif yang
berfokus pada perspektif jangka panjang memiliki tujuan untuk
mencapai kondisi normal baru. Perspektif ini juga bersifat proaktif
sehingga mampu mendorong terciptanya multi-ekuilibrium. Dari
karakteristik tersebut, maka penerapan konsep ketahanan memiliki
banyak variasi dan opsi, beberapa yang membedakan seperti usulan
inisiasi dan perspektif adaptasi yang diadopsi.

Sebagai gambaran, salah satu contoh inisiatif dalam penanganan


banjir yang menggambarkan karakteristik ketahanan yang bersifat
jangka pendek ialah berupa pembangunan fisik seperti tanggul,
jalan, normalisasi sungai. Penanganan banjir dengan pembangunan
fisik tersebut merupakan salah satu bentuk engineering Resilience di
mana terfokus pada perbaikan fasilitas/sistem yang mengalami
kerusakan atau guncangan. Namun demikian, penanganan banjir
juga tidak hanya fokus pada pembangunan fisik saja, upaya lain
seperti pengembangan sistem peringatan dini banjir dan
pembentukan kelompok masyarakat siaga bencana merupakan salah
satu bentuk dari aksi untuk jangka waktu menengah. Aksi tersebut
menitikberatkan pada peningkatan kemampuan adaptasi dan
kapasitas sistem untuk pulih. Pada akhirnya, untuk benar-benar

24 | KONSEP
dapat mewujudkan konsep ketahanan yang evolusioner,
tranformatif, dan proaktif, secara riil diperlukan adanya orientasi
baru dalam penyusunan rencana pembangunan dan tata ruang.
Dengan demikian, adanya integrasi rencana pembangunan akan
lebih banyak inisiatif yang dapat menciptakan suatu kondisi normal
baru yang lebih transformatif dan berorientasi jangka panjang.

Ketahanan dan Siklus Adaptasi


Pada dasarnya proses menuju ketahanan adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari suatu siklus adaptasi. Dalam hal ini, ketahanan
diterjemahkan sebagai suatu siklus bagaimana sistem
mengembangkan kapasitasnya sehingga dapat beradaptasi terhadap
gangguan. Pemahaman mengenai konsep ketahanan digambarkan
oleh Holling melalui siklus panarchy atau siklus adaptif. Teori
panarchy menawarkan suatu kerangka kerja yang menggambarkan
kompleksitas sistem yang terdiri atas manusia dan alam sebagai
suatu entitas yang terorganisasi dan terstruktur secara dinamis
dalam dan lintas skala ruang dan waktu (Lance et al., 2002). Teori
panarchy mencoba menggambarkan sifat tak terbatas dari perubahan
konstan yang terjadi di alam.

Sebuah "perubahan" dalam siklus alam dapat memulihkan keadaan


ekologis sebelumnya, atau mungkin tiba-tiba mengubahnya.
Penggambaran fenomena dengan siklus adaptif, merupakan salah
satu antisipasi dan intervensi dalam rangka untuk mencapai tujuan-
tujuan sosial, termasuk dalam upaya mengidenfikasi keberlanjutan
suatu sistem. Gunderson (2000) menjelaskan bahwa siklus adaptif
bukanlah suatu siklus yang kaku, cukup fleksibel, dan tergantung
pada besar guncangan yang dihadapi dan kapasitasnya menghadapi
guncangan. Urutan fase yang terjadi antara satu sistem dengan
sistem yang lainnya juga berbeda, hal ini juga berlaku pada lamanya
waktu yang digunakan sistem untuk dapat melewati tiap-tiap fase.

| 25
Siklus panarchy meliputi empat fase yang menjelaskan tiap kondisi
sistem saat menghadapi guncangan hingga kemudian sistem
tersebut dapat beradaptasi dengan baik. Gunderson & Holling (2002)
menjelaskan bahwa siklus tersebut melibatkan perubahan dalam tiga
variabel utama: ketahanan, potensi berupa akumulasi sumber daya,
dan keterhubungan. Gambar 3 mengilustrasikan siklus panarchy
dengan sumbu utama keterhubungan (X) dan potensi/modal (Y).

Sumber: Holling, 1973


Gambar 3. Siklus Adaptasi

Sumbu X menandakan keterhubungan (connectedness) pada suatu


sistem, dalam hal ini menunjukkan sejauh mana sistem dapat
dikontrol melalui pengendalian internal, yang berbeda dari yang
dipengaruhi oleh variabel eksternal. Keterhubungan ini ditunjukkan
dengan kuat atau lemahnya sistem dalam suatu proses adaptasi.
Sementara itu, pada sumbu Y menandakan potensi atau modal yang
menujukkan kondisi jumlah dan jenis pilihan yang tersedia. Empat
tahapan siklus panarchy yaitu fase eksploitasi/exploitation phase (r),

26 | KONSEP
fase konservasi/conservation phase (K), fase pelepasan/creative
destruction phase (Ω), dan fase reorganisasi/reorganisation phase (α).

1. Fase Eksploitasi (r)


Tahap r atau fase eksploitasi dan penyitaan sumber daya. Tahap ini
ditandai ketika suatu sistem membentuk koneksi baru, yang
kemudian membangun berbagai jenis modal sosial dan mengalami
pertumbuhan yang cukup masif. Fase ini dicirikan dengan
akumulasi cepat pada sumber daya (modal), persaingan yang kuat,
perebutan peluang, peningkatan keragaman. Selain itu, terdapat
hubungan yang lemah antara komponen-komponen sistem dan
regulasi yang relatif sedikit di sektor-sektor pertumbuhan.

2. Fase Konservasi (K)


Fase konservasi ditandai dengan pertumbuhan yang melambat
karena sumber daya (modal) disimpan dan digunakan sebagian
besar untuk pemeliharaan sistem. Fase ini dicirikan dengan kapasitas
stabilitas, fleksibilitas dan ketahanan yang rendah. Durasi pada fase
konservasi cenderung lebih lama dibandingkan dengan pada fase r.
Adanya akumulasi modal (komponen atau energi sistem) pada
akhirnya dapat menyebabkan hilangnya ketahanan dan runtuhnya
sistem karena sistem menjadi lebih kaku. Selain itu, dalam fase ini,
hubungan antar aktor dalam suatu sektor meningkat dan menjadi
lebih mapan dan teratur. Sumber daya digunakan lebih efisien, dan
spesialisasi serta stabilitas meningkat. Akan tetapi, justru stabilitas
ini yang membuat sistem lebih rentan terhadap berbagai gangguan
dari luar.

3. Fase Pelepasan (Ω)


Fase pelepasan menunjukkan kondisi ketika sebuah sistem terpapar
oleh gangguan. Fase ini adalah waktu di mana terdapat
ketidakpastian terbesar, sistem memiliki ketahanan rendah namun
mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena pada saat suatu
sistem jatuh, maka muncul kesempatan-kesempatan untuk
berkembang seperti sebelum adanya gangguan maupun jauh lebih
baik dari kondisi sebelumnya. Fase ini menunjukkan ketika sistem

| 27
sedang menghadapi gangguan dan berada pada kondisi
terlemahnya.

4. Fase Reorganisasi (α)


Fase ini menunjukkan kondisi di mana sistem kembali dan bangkit
dari keterpurukan. Hal ini dicirikan dengan adanya inovasi yang
tinggi, restrukturisasi dan ketidakpastian yang besar, namun dengan
ketahanan yang tinggi. Fase ini juga ditandai dengan upaya sebuah
sistem untuk melakukan inovasi dan transformasi, di mana
memanfaatkan masa krisis untuk dapat menjadi sebuah peluang.
Setelah pada fase sebelumnya suatu sistem mengalami gangguan
dan berada pada titik terlemah, maka akhirnya pada fase ini
ketahanan dan potensi suatu sistem dapat tumbuh kembali dan
sistem baru dapat terbangun.

Memahami Ketahanan dalam Konteks Perubahan Iklim


Dalam konteks perubahan iklim, ketahanan berkaitan dengan fungsi
suatu sistem yang terganggu sebagai dampak perubahan iklim.
Gangguan yang timbul sebagai akibat dari perubahan iklim pada
umumnya identik dengan berbagai bencana hidrometeorologi atau
bencana yang cenderung terjadi karena faktor cuaca seperti banjir,
tanah longsor, kekeringan, puting beliung, dan abrasi. Pada
umumnya, wilayah-wilayah pesisir memiliki tingkat risiko dan
kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah-wilayah
pedalaman yang tidak memiliki garis pantai. Namun demikian,
karena lokasi yang lebih strategis dan akses transportasi darat,
udara, dan laut yang lebih baik, kota-kota besar di dunia termasuk
di Indonesia pada umumnya berada di wilayah pesisir. Kota yang
identik dengan konsentrasi penduduk yang lebih besar menjadikan
wilayah-wilayah yang memiliki nilai ekonomi strategis ini menjadi
lebih rentan terhadap berbagai gangguan iklim.

Selain melihat iklim dari perspektif dampak dan terkait dengan


adaptasi, gangguan yang timbul juga perlu di lihat dari perspektif

28 | KONSEP
mitigasi perubahan iklim. Mitigasi perubahan iklim identik dengan
berbagai upaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi emisi yang
bersumber dari gas antropogenik dengan kontributor terbesar yaitu
gas CO2 dari kendaraan bermotor. Terkait dengan hal ini, gangguan
yang timbul di wilayah perkotaan terkait perubahan iklim tidak
hanya terbatas pada bencana perubahan iklim namun juga gangguan
lingkungan yang terjadi secara massif sebagai akibat dari emisi gas
rumah kaca khususnya yang berasal dari gas buang kendaraan
bermotor.

Sumber: Alexander, 2013


Gambar 4. Posisi Studi Ketahanan terhadap Ilmu Lainnya

Gambar 4 mengilustrasikan konsep ketahanan yang dikembangkan


oleh Alexander (2013) yang menjelaskan bagaimana suatu sistem
lingkungan melakukan penyesuaian untuk menghadapi berbagai
gangguan yang dialaminya. Gangguan-gangguan yang kemudian
dapat di sebut sebagai bencana ini terkategori sebagai gangguan
alami, sosial, teknologikal, campuran di antara ketiganya, maupun
gangguan lain yang terkait dengan ke tiga hal tersebut. Ketahanan
adalah konsep multidimensi yang terkait dengan aspek sosial,
psikologis, teknis, dan fisik yang saling terkait yang dapat
menunjukkan kemampuan suatu sistem menghadapi berbagai
gangguan yang muncul. Alexander (2013) lebih jauh menjelaskan

| 29
keterkaitan empat aspek tersebut sebagai adaptasi perubahan iklim,
pengurangan risiko bencana, ilmu keberlanjutan, serta berbagai
bahaya dan risiko lainnya. Ketahanan adalah inti/core yang memiliki
posisi sentral yang dapat mengakomodir nilai penting dari setiap
aspek/bidang untuk memastikan bahwa suatu sistem dapat
bertahan atau bahkan bertransformasi menjadi suatu sistem baru
yang lebih baik.

Konsep ketahanan kota yang berketahaan iklim menjadi semakin


relevan seiring dengan semakin masifnya berbagai gangguan yang
terjadi. Dalam perspektif keruangan, konsep kota yang berketahanan
diusung sebagai upaya untuk memastikan kesiapan kota dalam
menghadapi berbagai gangguan tersebut. Sebagai sebuah sistem
yang kompleks (dibandingkan dengan wilayah pedesaan dengan
jumlah penduduk yang lebih sedikit), kota cenderung memiliki
tingkat risiko dan kerentanan yang lebih tinggi. Sebuah kota
dikatakan berketahanan apabila kapasitas individu, komunitas,
institusi, dan sistem di dalam kota tersebut mampu untuk bertahan
hidup, beradaptasi, dan tumbuh dengan lebih baik, apapun jenis
gangguan yang dialaminya (Gimenez et al., 2017; Jabareen, 2013;
Shaw et al., 2016).

Ketahanan kota juga berkaitan dengan kemampuan sistem


perkotaan dalam semua dinamikanya untuk bertahan dalam
menghadapi bahaya atau tekanan, penyediaan, dan aksesibilitas ke
layanan dan fungsi yang penting untuk kesejahteraan semua
penduduk, terutama mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk
bertahan dalam tekanan. Ketahanan dalam konteks ruang perkotaan
juga berarti kapasitas perkotaan untuk mengidentifikasi,
menetapkan prioritas, dan memobilisasi sumber daya dan untuk
menyerap guncangan dan/atau efek kumulatif dari guncangan
tersebut (Abdrabo & A.Hassaan, 2015).

30 | KONSEP
Penutup
Kota cenderung terus tumbuh dan berkembang, banyak di antaranya
yang melebihi daya dukung dan daya tampungnya, mempercepat
dan memperparah berbagai dampak perubahan iklim. Seiring
dengan hal tersebut, setidaknya terdapat tiga hal pokok yang perlu
menjadi perhatian penting: 1) Kota harus memiliki ketahanan yang
cukup untuk menghadapai berbagai gangguan (guncangan dan
tekanan) yang terjadi sebagai akibat dari perubahan iklim, 2)
Berbagai upaya untuk mencapai ketahanan harus seiring dan
terpadu dengan proses pembangunan kota yang mengedepankan
prinsip-prinsip keberlanjutan, dan 3) Pertumbuhan dan
perkembangan kota harus dapat dikendalikan agar kompleksitas
gangguan yang mucul dapat berkurang.

Daftar Pustaka
Abdrabo, M.A. & A.Hassaan, M. (2015), “An integrated framework
for urban resilience to climate change – Case study: Sea level
rise impacts on the Nile Delta coastal urban areas”, Urban
Climate, Vol. 14 No. 4, pp. 554–565.
Adger, W.N. (2000), “Social and ecological resilience: are they
related?”, Progress in Human Geography, Vol. 24 No. 3, pp.
347–364.
Alexander, D.E. (2013), “Resilience and disaster risk reduction: An
etymological journey”, Natural Hazards and Earth System
Sciences, Vol. 13 No. 11, pp. 2707–2716.
ARUP. (2014), City Resilience Framework, diambil dari
https://www.rockefellerfoundation.org/wp-
content/uploads/City-Resilience-Framework-2015.pdf.
BNPB. (2020), “Data dan informasi bencana Indonesia”, BNPB,
tersedia di https://dibi.bnpb.go.id/.
BPS. (2019), Statistik Indonesia 2019, Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Chelleri, L., Kunath, A., Guido, M., Marta, O., James, J.W. & Lilla, Y.
(2012), Multidisciplinary Perspectives on Urban Resilience: A
Workshop Report, tersedia di
https://www.ufz.de/export/data/1/44827_Multidisciplinary
perspectives on Urban Resilience_small.pdf#page=61.
Davoudi, S., Shaw, K., Haider, L.J., Quinlan, A.E., Peterson, G.D.,
Wilkinson, C., Fünfgeld, H., McEvoy, D. & Porter, L. (2012),

| 31
“Resilience: A bridging concept or a dead end? ‘Reframing’
resilience: Challenges for planning theory and practice
interacting traps: Resilience assessment of a pasture
management system in Northern Afghanistan Urban
Resilience: What Does it Mean in Planni”, Planning Theory and
Practice Practice, Vol. 13 No. 2, pp. 299–333.
Dickson, E., Baker, J.L., Hoornweg, D. & Asmita, T. (2012), Urban
Risk Assessments, World Bank, tersedia di
https://doi.org/10.1596/978-0-8213-8962-1.
Folke, C. (2006), “Resilience: The emergence of a perspective for
social–ecological systems analyses”, Global Environmental
Change, Vol. 16 No. 3, pp. 253–267.
Folke, C., Colding, J. & Berkes, F. (2003), “Synthesis: building
resilience and adaptive capacity in social–ecological systems”,
in Berkes, F., Colding, J. and Folke, C. (Eds.), Navigating
Social-Ecological Systems Building Resilience for Complexity
and Change, Cambridge University Press, Cambridge, UK, pp.
352–387.
Forino, G., von Meding, J., Brewer, G. & van Niekerk, D. (2017),
“Climate change adaptation and disaster risk reduction
integration: Strategies, policies, and plans in three Australian
local governments”, International Journal of Disaster Risk
Reduction, Vol. 24 No. July 2016, pp. 100–108.
Gimenez, R., Labaka, L. & Hernantes, J. (2017), “A maturity model
for the involvement of stakeholders in the city resilience
building process”, Technological Forecasting and Social
Change, Vol. 121, pp. 7–16.
Gunderson, L.H. (2000), “Ecological Resilience—In Theory and
Application”, Annual Review of Ecology and Systematics, Vol.
31 No. 1, pp. 425–439.
Gunderson, L.H. & Holling, C.S. (2002), Panarchy: Understanding
Transformation in Human and Natural Systems, Vol 7., Island
Press.
Hallegatte, S. (2014), Economic Resilience: Definition and
Measurement, tersedia di https://doi.org/10.1016/b978-0-08-
033902-3.50013-x.
Handayani, W., Fisher, M.R., Rudiarto, I., Setyono, J.S. & Foley, D.
(2019), “Operationalizing resilience: A content analysis of flood
disaster planning in two coastal cities in Central Java,
Indonesia”, International Journal of Disaster Risk Reduction,
Vol. 35, p. 101073.
Handayani, W. & Waskitaningsih, N. (2019), Kependudukan Dalam
Perencanaan Wilayah Dan Kota, Teknosain, Yogyakarta.
Hegger, D.L.T., Driessen, P.P.J., Wiering, M., van Rijswick,

32 | KONSEP
H.F.M.W., Kundzewicz, Z.W., Matczak, P., Crabbé, A.,
Raadgever, G.T., Bakker, M.H.N., Priest, S.J., Larrue, C. & Ek,
K. (2016), “Toward more flood resilience: Is a diversification of
flood risk management strategies the way forward?”, Ecology
and Society, Vol. 21 No. 4, tersedia di
https://doi.org/10.5751/ES-08854-210452.
Holling, C.S. (1973), “Resilience and stability of ecological systems”,
Annual Review of Ecology and Systematics, Vol. 4 No. 1, pp. 1–
23.
IPCC. (2014), Transport, Climate Change 2014: Mitigation of
Climate Change. Contribution of Working Group III to the
Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change, tersedia di https://doi.org/10.1007/978-3-
319-12457-5_15.
Jabareen, Y. (2013), “Planning the resilient city: Concepts and
strategies for coping with climate change and environmental
risk”, Cities, Vol. 31, pp. 220–229.
Keck, M. & Sakdapolrak, P. (2013), “What is social resilience?
Lessons learned and ways forward”, Erdkunde, Vol. 67 No. 1,
pp. 5–19.
Lance, H., Gunderson, L.H. & Holling, C.S. (2002), “Panarchy:
Understanding transformations in human and natural
systems”, Panarchy: Understanding Transformations in
Human and Natural System, pp. 3–24.
Marfai, M.A. (2014), “Impact of sea level rise to coastal ecology: A
case study on the Northern part of Java Island, Indonesia”,
Quaestiones Geographicae, Vol. 33 No. 1, pp. 107–114.
Peng, C., Yuan, M., Gu, C., Peng, Z. & Ming, T. (2017), “A review of
the theory and practice of regional resilience”, Sustainable
Cities and Society, Vol. 29, pp. 86–96.
Sejati, A.W., Buchori, I. & Rudiarto, I. (2019), “The spatio-temporal
trends of urban growth and surface urban heat islands over
two decades in the Semarang Metropolitan Region”,
Sustainable Cities and Society, Vol. 46 No. July 2018, p. 101432.
Shaw, R., Atta-ur-Rahman, Surjan, A. & Parvin, G.A. (2016), Urban
Disasters and Resilience in Asia, Elsevier Inc., tersedia di
https://doi.org/10.1016/C2014-0-01952-1.
UNISDR. (2009), “UNISDR terminology on disaster risk reduction”,
International Strategy for Disaster Reduction, tersedia di
https://doi.org/10.1021/cen-v064n005.p003.
United Nation. (2018), “World urbanization prospects”,
Demographic Research, p. Vol 12.
Walker, B., Holling, C.S., Carpenter, S.R. & Kinzig, A. (2004),
“Resilience, adaptability and transformability in social –

| 33
ecological systems”, Ecology and Society, Vol. 9 No. 2, p. 5.
White, I. & O’Hare, P. (2014), “From rhetoric to reality: Which
resilience, why resilience, and whose resilience in spatial
planning?”, Environment and Planning C: Government and
Policy, Vol. 32 No. 5, pp. 934–950.

34 | KONSEP
BAB 3

CO-BENEFITS DALAM MITIGASI DAN ADAPTASI


PERUBAHAN IKLIM
RUKUH SETIADI DAN SALMA ZULFA NADHIROH

Pendahuluan
Co-benefits menjadi sebuah istilah baru yang menjadi popular ketika
wacana mengenai pentingnya respon terhadap perubahan iklim
mulai diwujudkan dalam praktik nyata di lapangan. Pernyataan
yang selalu digarisbawahi oleh berbagai lembaga dan pakar
perubahan iklim yaitu bahwa kegiatan mitigasi perubahan iklim
tidak hanya memberikan manfaat pada penurunan emisi Gas Rumah
Kaca (GRK), tetapi juga menghasilkan co-benefits. Begitu pula dengan
kegiatan adaptasi yang tidak hanya menghasilkan sistem atau
masyarakat yang semakin memiliki ketahanan, tetapi juga co-benefits
pada sistem yang lebih luas. Jadi apa yang dimaksud dengan co-
benefits? Di antara berbagai definisi, co-benefits secara umum dapat
dikatakan sebagai manfaat tidak langsung atau manfaat sekunder
yang dihasilkan dari sebuah kebijakan, program atau kegiatan yang
telah direncanakan. Bab ini bertujuan membahas “co-benefits” dari
suatu kebijakan, program, dan aksi adaptasi serta mitigasi
perubahan iklim yang seringkali juga beririsan dengan intervensi
penguatan ketahanan dalam konteks pembangunan perkotaan.

Definisi Co-benefits
Co-benefits memiliki berbagai istilah yang biasa digunakan dalam
berbagai literatur. Floater et al. (2016) mengkompilasi lebih dari dua
puluh istilah yang terasosiasi dengan co-benefits, beberapa di
antaranya yaitu win-win situations, life-cycle benefits, co-control, side
benefits, triple-win scenarios, dan consequential benefits. Namun, di

| 35
antara berbagai istilah tersebut co-benefits tetap menjadi satu yang
paling populer dan relatif praktis. Di samping popularitas dan
kepraktisannya, sejumlah pihak mendefinisikan co-benefits melalui
sudut pandang dan konteks yang berbeda-beda.

Lembaga Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US EPA) dan


Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD),
misalnya, melakukan konseptualisasi co-benefits dalam konteks
kualitas udara (Floater et al., 2016). Co-benefits berkaitan dengan
pengurangan emisi gas rumah kaca bersamaan dengan manfaat
kesehatan dan ekonomi yang diperoleh melalui penanganan polusi
udara. Atas dasar ini, US EPA menjelaskan bahwa co-benefits adalah
manfaat yang didapat secara tidak sengaja ketika melakukan
pengambilan kebijakan tertentu (misalnya penanganan polusi
udara), dan menemukan co-benefits dalam penerapannya.
Pemahaman semacam ini tidak keliru, tetapi secara konteks yang
diambil (peningkatan kualitas udara) menimbulkan kontroversi.

Konsepsi di atas dapat difahami karena secara historis co-benefits


memang berkaitan dengan peningkatan kualitas udara. Karim (2019)
menyebutkan bahwa studi co-benefits bermula dari eksplorasi
metodologis untuk memeriksa langkah-langkah pengurangan polusi
terkait konsumsi bahan bakar fosil. Pengukuran eksternal mengenai
kebijakan yang dirancang untuk mengendalikan polusi dengan cost-
benefits analysis (CBA) menghadapi keterbatasan karena penilaian
yang hanya mempertimbangkan biaya dan manfaat langsung dari
tindakan, dan efek dari tujuan utama kebijakan. Dari keterbatasan
tersebut lahir inisiatif pengembangan metodologi khusus guna
memeriksa efek kebijakan pengendalian pencemaran udara, dan
selanjutnya menjadi studi awal mengenai co-benefits.

United Nations Institute of Advanced Studies (UN IAS) dan The Asian
Co-benefits Partnership (ACP) dalam Floater et al. (2016) memberikan

36 | KONSEP
konsep yang sedikit berbeda. UN IAS menyebutkan bahwa co-
benefits merujuk pada pengembangan dan penerapan kebijakan
beserta strategi yang secara simultan berkontribusi dalam mengatasi
perubahan iklim dan sekaligus turut menyelesaikan permasalahan
lingkungan dan masalah pembangunan lainnya. Sementara itu, ACP
(2014) menyatakan bahwa co-benefits merepresentasikan manfaat
sekunder dari suatu tujuan pembangunan yang terintegrasi ke dalam
proses pembuatan kebijakan. Apabila kita cermati, keduanya
mengedepankan bahwa co-benefits adalah hasil dari adanya
kebijakan yang integratif, mengandung lebih dari satu tujuan
(multiple goals), dan komprehensif. Sampai di sini mulai terlihat
perbedaan cara pandang dari sejumlah lembaga yang mencoba
mendefinisikan co-benefits. Sementara US EPA dan OECD cenderung
melihat co-benefits sebagai manfaat yang tidak disengaja (unintended);
UN IAS dan ACP melihatnya sebagai manfaat yang telah
direncanakan (intended), sebagai hasil kebijakan yang integratif dan
komprehensif.

World Bank mengajukan definisi co-benefits yang cukup berbeda


dengan empat lembaga sebelumnya. Dalam latar belakang paper-nya
pada 2010, World Bank dalam Floater et al. (2016) mendefinisikan
bahwa co-benefits adalah manfaat bagi lingkungan setempat – atau
lokal – sebagai hasil dari suatu aksi mitigasi dan adaptasi yang
ditargetkan secara khusus untuk mengatasi perubahan iklim global.
Apabila dicermati, frase “aksi yang ditargetkan secara khusus untuk
mengatasi perubahan iklim” menjadi penting dan sekaligus
pembeda dari definisi-definisi yang lain. Perbedaan cara pandang
dalam melihat co-benefits sampai di sini makin berkembang, tidak
hanya pada motivasinya (manfaat yang direncanakan vs.
ketidaksengajaan), tetapi juga pada sekupnya (manfaat dari kegiatan
iklim vs. kegiatan non-iklim).

Sementara itu, Fung & Jennifer (2017) mencoba menggolongkan


definisi co-benefits dalam tiga kategori. Pertama, definisi berbasis

| 37
tujuan. Dalam kategori ini, co-benefits dapat dilihat sebagai manfaat
sekunder atau manfaat yang dihasilkan di luar tujuan utama dari
suatu kebijakan. Definisi ini menggolongkan manfaat yang sudah
ada sebelumnya dan/atau yang muncul tanpa kesengajaan tidak
tergolong sebagai co-benefits. Intinya co-benefits harus dengan sengaja
diartikulasikan sejak awal perumusan tujuan program atau kegiatan.
Sebagai contoh pembanguan danau buatan sebagai pengendali
banjir dan ruang sosial untuk masyarakat. Maka dalam konteks ini
pengendali banjir adalah manfaat utama dari pembangunan danau,
sedangkan terciptanya ruang sosial bagi masyarakat adalah manfaat
sekunder. Kedua, definisi berbasis motivasi. Co-benefits didefinisikan
sebagai manfaat yang muncul dari tindakan yang disengaja. Maka
ketika pengendalian banjir dirancang secara alami dengan tidak
membangun danau buatan, tetapi selanjutnya muncul ruang sosial
aktivitas masyarakat disana dengan sendirinya maka kemunculan
ruang sosial tidak bisa dianggap sebagai co-benefits karena tidak ada
motivasi sebelumnya. Ketiga, definisi berbasis eksternalitas. Co-
benefit didefinisikan sebagai eksternalitas positif yang diperoleh oleh
berbagai pihak di luar target suatu program atau kegiatan. Dengan
kata lain, co-benefits menjadi manfaat yang lebih luas atau berbentuk
efek limpahan yang positif dari tujuan utama.

Selanjutnya, tidak lengkap rasanya jika pandangan Intergovernmental


Panel for Climate Change (IPCC) tidak dibahas. IPCC secara berkala
mengeluarkan assessment report (AR) untuk memberikan
perkembangan mutakhir terkait keilmuan perubahan iklim, mitigasi
dan adaptasi. Konsep co-benefits mulai muncul dalam assessment
report kedua (AR2) walaupun pada saat itu masih disebut dengan
ancillary benefits (Mayrhofer & Gupta, 2016). Selanjutnya, istilah co-
benefits secara literal mulai muncul pada assessment report ketiga
(AR3). Pada laporan tersebut, IPCC mengakomodasi semua konsep
co-benefits yang ada dengan mengklasifikasikan dua jenis
terminologi, yaitu manfaat sekunder yang dihasilkan dari kebijakan
yang spesifik terkait perubahan iklim dengan istilah ancillary benefits
dan manfaat sekunder yang dihasilkan dari kebijakan lain dengan

38 | KONSEP
istilah co-benefits (Karim, 2019; Mayrhofer & Gupta, 2016). Dari sini
terlihat bahwa definisi IPCC juga inklusif, di mana co-benefits
mencakup manfaat yang dihasilkan dari berbagai penerapan
kebijakan, baik yang secara khusus ditujukan untuk pengelolaan
risiko iklim dan kebijakan non-iklim.

IPCC juga mengindikasikan bahwa co-benefits mencakup manfaat


sekunder yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, maupun manfaat
sekunder yang tidak dengan sengaja diperoleh dari penerapan suatu
kebijakan. Sejak assessment report keempat (AR4), IPCC
menggabungkan kedua terminologi tersebut sebagai co-benefits dan
IPCC (2014) masih secara konsisten menggunakan terminologi co-
benefits pada assessment report kelima (AR5). Satu yang perlu
digarisbawahi menurut IPCC, bahwa co-benefits adalah dampak
bernilai positif, bukan negatif. Sampai dengan saat ditulisnya buku
ini, IPCC sedang mempersiapkan assessment report keenam (AR6)
yang ditargetkan terbit pada 2022. Apakah co-benefits akan
diartikulasikan secara berbeda pada laporan tersebut akan menarik
untuk dikupas pada kesempatan yang lain. Untuk mengakhiri
pembahasan mengenai definisi co-benefits ini, kami menstrukturkan
berbagai definisi dan pemahaman atas co-benefits yang telah
diuraikan di atas ke dalam Tabel 1. Pemahaman atas co-benefits yang
kami bangun berangkat dari domain dan desain program atau
kegiatan yang menentukan karakter dan tipe target co-benefits.

Tabel 1. Pendekatan Terstruktur untuk Memahami Co-benefits


Domain Program/ Desain Program Karakter Co-benefits Tipe Target Co-benefits
Kegiatan
Iklim
Co-benefits
(Mitigasi & Adaptasi)
pembangunan
Bertujuan
Tunggal Tidak Disengaja
Non-Iklim Co-benefits Iklim
(Pembangunan) (Reduksi GRK)
Iklim
Co-benefits
(Mitigasi & Adaptasi)
Bertujuan Terencana + pembangunan
Ganda Tidak Disengaja
Non-Iklim (Integratif) Co-benefits Iklim
(Pembangunan) (Reduksi GRK)

| 39
Mengapa Co-benefits?
Memahami co-benefits menjadi hal yang strategis terutama untuk
mendorong kebijakan-kebijakan yang kurang populer dan relatif
kontroversial seperti perubahan iklim. Bagi sejumlah pihak,
terutama yang anti terhadap agenda perubahan iklim, perubahan
iklim dipandang bukan sebagai kebijakan yang perlu mendapat
prioritas dibandingkan dengan agenda pembangunan yang lain
karena perubahan iklim terlalu berorientasi jangka panjang sehingga
ancamannya dianggap ‘tidak nyata’. Pandangan ‘development first’
juga banyak ditemui, terutama di negara-negara berkembang
(Mayrhofer & Gupta, 2016).

Kebijakan yang lebih nyata dalam jangka pendek dianggap lebih


prioritas karena dianggap lebih mendesak dan memberikan manfaat.
Dalam situasi tersebut, co-benefits bisa berperan mengubah konstelasi
suatu program atau aktivitas karena dua alasan utama. Pertama, co-
benefist adalah ‘variable baru’ yang bisa memperjelas pengambilan
keputusan. Co-benefits memperjelas manfaat kebijakan baik yang
langsung dan tidak langsung. Dengan co-benefits, manfaat sekunder
dari sebuah program atau kegiatan bisa tersajikan dengan informasi
yang lebih nyata. Begitu pula dengan munculnya gambaran
penyelesaian terkait masalah-masalah di masyarakat bisa menjadi
penggerak perubahan kebijakan penanganan mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim.

Kedua, sejumlah bukti menunjukkan bahwa pengambil kebijakan


tertarik untuk mengambil keputusan terhadap perubahan iklim,
ketika manfaat tambahan yang lebih luas dari kebijakan tersebut
lebih terukur. Begitu pula dari sisi masyarakat. Masyarakat tertarik
mengambil tindakan dan lebih mendukung kebijakan pemerintah
terkait perubahan iklim ketika manfaat tambahan yang lebih luas
dari tindakan tersebut lebih nyata, dan menyentuh kehidupannya
sehari-hari (Floater et al., 2016).

40 | KONSEP
Di luar peran strategisnya untuk mengubah konstelasi pengambilan
keputusan, co-benefits juga memiliki peran strategis bagi pencapaian
target pengurangan emisi. Floater et al. (2016) menyebutkan bahwa
secara empiris banyak kebijakan-kebijakan pembangunan yang
ditujukan untuk mendorong inovasi, memberikan manfaat ekonomi
dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat dapat berpotensi
menghasilkan co-benefits berupa pengurangan emisi gas rumah kaca.
Mengakumulasikan co-benefits akan berdampak positif bagi
penanganan perubahan iklim, sekaligus mengurangi resistensi atau
penolakan daripada ketika kebijakan penanganan perubahan iklim
yang ditempatkan sebagai tujuan utama kebijakan pembangunan.

Terakhir, tanpa mengabaikan kompleksitas dalam proses


pengembangan kebijakan dan program, wacana dan pemahaman co-
benefits yang ada di tengah-tengah para aktor yang terlibat dalam
desain kebijakan dan program mungkin bisa menjadi pemicu sinergi
dalam menghasilkan kebijakan atau desain program yang lebih
integratif. Dengan kata lain, co-benefits bisa membuka apa yang
disebut oleh Mayrhofer & Gupta (2016) sebagai jendela integrasi
(integration window).

Area Co-benefits
Upaya untuk menjelaskan area-area spesifik, di mana saja co-benefits
sering dijumpai adalah tugas yang tidak sulit. Mengapa? Karena co-
benefits ada di mana-mana. Terlebih jika kita mengadaposi definisi co-
benefits yang bersifat akomodatif (mencakup co-benefits yang
terencana dan yang tidak disengaja; co-benefits iklim dan non-
iklim/pembangunan). Kajian literatur sistematis yang dilakukan
oleh Mayrhofer & Gupta (2016) mengkonfirmasi hal ini. Mereka
menunjukkan bahwa terminologi co-benefits atau ‘manfaat sekunder’
telah digunakan dalam berbagai cara. Hal tersebut terjadi karena
tidak ada definisi yang tunggal tentang apa sebenarnya arti co-
benefits dan para ilmuwan atau pakar seringkali gagal memberikan
definisi eksplisit. Mayrhofer & Gupta (2016) mengidentifikasi

| 41
contoh-contoh co-benefits dari berbagai bidang, yang dapat
dirangkum pada Tabel 2.

Tabel 2. Bidang/Area dan Contoh Co-benefits

Bidang Contoh-contoh Co-benefits


• Pengurangan Emisi GRK
Iklim
• Peningkatan ketahanan terhadap perubahan iklim
• Peningkatan ketahanan energi
• Pemicu investasi swasta
• Peningkatan kinerja ekonomi
Ekonomi
• Penciptaan lapangan kerja
• Menstimulasi perubahan teknologi
• Kontribusi dalam keberlanjutan fiskal
• Perlindungan sumberdaya lingkungan
• Perlindungan keragamanhayati
Lingkungan • Pelestarian jasa lingkungan
• Perbaikan kualitas tanah
• Pengurangan polusi udara/air
• Peningkatan akses energi
• Pengurangan kemiskinan dan kesenjangan
• Kontribusi bagi keamanan pangan dan air
Sosial
• Peningkatan kesehatan
• Pengurangan tekanan sosial (kebisingan,
kemacetan, dll)
• Kontribusi dalam stabilitas politik
Politik dan • Peningkatan kualitas kepemerintahan yang
Kelembagaan demokratis
• Kontribusi dalam kolaborasi antar wilayah
Sumber: Mayrhofer & Gupta, 2016

Selanjutnya, sub-bab ini akan memberikan fokus pada co-benefits


yang bersumber dari kebijakan dan program perubahan iklim. Salah
satu studi co-benefits pada domain ini yang relatif lengkap telah
dilakukan oleh C40 Cities dan LSE Cities, London School of Economics
and Political Science (Floater et al., 2016). Studi tersebut menghasilkan

42 | KONSEP
pemetaan yang membantu menjelaskan area-area co-benefits dari
kegiatan adaptasi dan/atau mitigasi perubahan iklim yang tersebar
di tiga belas sektor ke dalam tiga klaster.

Co-benefits dari adaptasi perubahan iklim banyak dijumpai pada


sektor (1) kebencanaan, (2) pangan, dan (3) pariwisata, budaya dan
olahraga (lihat Gambar 1). Sedangkan co-benefits dari mitigasi
perubahan iklim banyak dijumpai pada sektor (1) persampahan, (2)
energi, (3) transportasi, (4) lingkungan (kualitas udara), (5)
bangunan, dan (6) digital. Adapun sektor guna lahan, kesehatan, air
dan pendidikan adalah sektor di mana co-benefits dari kebijakan baik
adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim dijumpai. Apabila kita
cermati lebih lanjut, yang menarik adalah hampir semua sektor-
sektor tersebut ada di dalam dan membentuk sebuah kota atau
wilayah. Dari sini jelas, co-benefits memiliki potensi sebagai variabel
yang perlu dipertimbangkan dalam kegiatan perencanaan wilayah
dan kota.

Sumber: Floater et al., 2016


Gambar 1. Pemetaan Berbasis Sektor atas Area Co-benefits Adaptasi dan
Mitigasi Perubahan Iklim

| 43
Selanjutnya, dengan mengambil satu atau dua ilustrasi kebijakan
atau program, kita akan melakukan elaborasi untuk mendapatkan
gambaran yang lebih detail area-area co-benefits tersebut pada setiap
klaster.

Contoh ilustratif 1 (Mitigasi): Penangkapan gas metana dari


kegiatan tempat pembuangan akhir (TPA) yang dikombinasikan
dengan mengakhiri pengelolaan sampah dari sistem open dumping
dengan sanitary landfill. Kebijakan tersebut adalah contoh yang
umum dipakai sekaligus merepresentasikan kegiatan mitigasi
perubahan iklim karena secara langsung akan mengurangi
konsentrasi GRK dengan mencegah gas metana yang ditimbulkan
dari kegiatan TPA masuk ke atmosfer.

Sumber: Kementerian PUPR dalam Kompas.com, 2021


Gambar 4. Sanitary Lanfill di TPA Supit Urang Kota Malang

Dengan asumsi bahwa kebijakan tersebut secara formal dibingkai


dalam kerangka mitigasi perubahan iklim, maka pengurangan emisi
GRK adalah manfaat utama dari kebijakan tersebut. Sedangkan co-

44 | KONSEP
benefits dari kegiatan tersebut ada di sektor persampahan, energi, dan
lingkungan apabila spesifikasi berikut mengikuti:

1. Terkelolanya sampah dengan lebih baik yang mampu


memperpanjang usia TPA

2. Dihasilkannya energi alternatif dari hasil tangkapan gas metana

3. Berkurangnya polusi udara dengan peralihan ke sistem sanitary


landfill

Contoh ilustratif 2 (Mitigasi): Peningkatan kuantitas dan kualitas


sarana transportasi publik yang dikombinasikan dengan manajemen
perparkiran. Kebijakan ini populer terutama di sejumlah kota besar,
seperti melalui penerapan Trans Jakarta di DKI Jakarta dan Trans
Semarang di Kota Semarang.

Sumber: Dokumentasi Pemerintah Kota Semarang, 2018


Gambar 5. Armada BRT Trans Semarang

Dengan asumsi bahwa penerapan kebijakan ini menjadi bagian dari


respon untuk perubahan iklim sesuai dengan Rencana Adaptasi
Daerah (RAD), maka pengurangan emisi GRK adalah manfaat utama
dari kebijakan tersebut. Sementara co-benefits dari kegiatan tersebut

| 45
dapat ditemui di sektor transportasi dan kesehatan, dengan
spesifikasi sebagai berikut:

1. Berkurangnya angka kecelakaan lalu lintas

2. Perbaikan kesehatan mental yang timbul akibat kemacetan

3. Berkurangnya ancaman kesehatan pernafasan akibat


berkurangnya polusi udara

Contoh ilustratif 2 lainnya yang serupa di antaranya adalah


kebijakan peralihan penggunaan bahan bakar gas yang ramah
lingkungan untuk menggantikan penggunaan minyak tanah.
Kebijakan tersebut tidak hanya mampu mengurangi tingkat emisi,
tetapi menciptakan co-benefit berupa pengurangan biaya energi oleh
rumah tangga. Sementara itu juga kebijakan peningkatan jumlah
kendaraan listrik tidak hanya mampu mengurangi tingkat emisi dari
sektor transportasi, tetapi juga menghasilkan co-benefit di sektor
lingkungan, ekonomi, dan kesehatan. Howden-Chapman et al. (2015)
memberikan contoh yang lebih banyak lagi mengenai berbagai
intervensi perkotaan melalui retrofitting kota pada sektor kesehatan.

Contoh ilustratif 3 (Adaptasi): Pembangunan infrastruktur


pelindung pantai dan revisi aturan pembangunan di wilayah pesisir.
Kebijakan ini merupakan bentuk kegiatan adaptasi yang biasa
dilakukan di wilayah pesisir untuk mengantisipasi peningkatan
paras muka air laut. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah
pengendalian dampak kenaikan air muka laut sehingga
terhindarinya wilayah pesisir dari ancaman kenaikan muka air laut
dan. Kebijakan tersebut memberikan co-benefits pada sektor ekonomi,
ketahanan pangan, pariwisata dan budaya, dengan spesifikasi
sebagai berikut:

1. Peningkatan nilai asset yang ada di wilayah pesisir

2. Peningkatan area yang bisa dibudidayakan untuk pertanian

46 | KONSEP
3. Terciptanya ruang publik di sekitar lokasi pembangunan
infrastruktur

Sumber: IKUPI, 2016


Gambar 6. Hasil Restorasi Mangrove di Desa Tapak, Tugu, Semarang

Contoh ilustratif 4 (Adaptasi dan Mitigasi): Program rehabilitasi


hutan dan lahan kritis. Program ini telah menjadi program dan
gerakan nasional dalam rangka pemulihan fungsi ekologis hutan dan
lahan yang terdegradasi karena eksploitasi maupun secara alami
(seperti kebakaran hutan). Program ini dapat digolongkan berada
pada domain sektor lahan atau kehutanan. Program ini dalam
perspektif perubahan iklim tergolong sebagai kegiatan adaptasi
sekaligus mitigasi. Apabila program ini dibingkai dalam konteks
respon perubahan iklim, maka peningkatan luas carbon-sink adalah
manfaat utama. Sedangkan co-benefits dari program ini dapat ditemui
pada sektor lingkungan, air, dan pendidikan apabila spesifikasi
berikut mengikuti:

1. Terciptanya habitat yang memberikan perlindungan


keanekaragaman hayati

| 47
2. Terpeliharanya sumber mata air di area dan sekitar program

3. Terciptanya aktivitas pendidikan lingkungan di area program

Sumber: BNPB dalam Mongabay, 2020


Gambar 7. Rehabilitasi Lahan Kritis di Kabupaten Bogor Melalui
Penanaman Kembali

Contoh ilustratif 5 (Adaptasi dan Mitigasi): Kebijakan


pengembangan konsep kota kompak (compact city). Dalam perspektif
perubahan iklim, penerapan konsep kota kompak merupakan
kebijakan yang mengintegrasikan mitigasi dan adaptasi. Manfaat
utama penerapan konsep ini adalah reduksi emisi GRK dengan
semakin berkurangnya pergerakan antar zona di dalam kota karena
mix-used zoning menjadi elemen utama dalam konsep kota kompak.
Dari sudut pandang adaptasi, manfaat utama yang dituju adalah
peningkatan kapasitas adaptasi melalui peningkatan serta efisiensi
penyediaan layanan dasar perkotaan (ruang terbuka hijau, air,
limbah, energi) yang terintegrasi. Kebijakan tersebut memberikan co-
benefits pada sektor ekonomi, kesehatan dan guna lahan dengan
spesifikasi sebagai berikut:

48 | KONSEP
1. Peningkatan nilai aset yang merata di seluruh zona-zona
perkotaan dengan adanya layanan dasar perkotaan yang
terintegrasi

2. Berkurangnya kasus obesitas akibat mobilitas secara aktif pada


zona-zona mix-used

3. Peningkatan kesehatan mental masyarakat dengan ruang sosial


dan terbuka hijau yang mudah diakses

4. Berkurangnya jumlah masyarakat yang terpapar oleh risiko


banjir

Sumber: Kementerian PUPR dalam CNBC Indonesia, 2019


Gambar 8. Konsep Ibu Kota Baru Mengadopsi Green City yang Kompak

Setelah kita berhasil mengidentifikasi co-benefits, menghitung co-


benefits menjadi tahapan selanjutnya yang penting. Sub-bab
selanjutnya akan menguraikan secara singkat urgensi, prinsip, dan
tantangan dalam proses perhitungan co-benefits dalam mendukung
terciptanya ketahanan, khususnya di wilayah perkotaan.

| 49
Menghitung Co-benefits: Prinsip dan Tantangan
Pengukuran co-benefits relevan baik untuk kota di negara maju dan
berkembang. Terdapat sejumlah alasan mengapa co-benefits perlu
diukur atau dihitung. Alasan pertama, untuk memastikan bahwa
informasi yang dimiliki oleh pengambil kebijakan menjadi semakin
luas dan akurat. Semakin luas dan akurat informasi, semakin mudah
pula bagi pengambil kebijakan untuk mengetahui kelebihan dan
kekurangan dari suatu kebijakan, program atau opsi-opsi intervensi
yang ada.

Prinsip yang digunakan dalam pengukuran co-benefits tidak jauh


berbeda dengan valuasi ekonomi, yang merujuk pada upaya
memberikan nilai (value) moneter berupa harga (price) baik pada
market goods (misalnya kesehatan) dan non-market goods (misalnya
udara yang bersih) manfaat sebagai sekunder yang dihasilkan dari
suatu program atau kegiatan (Daly & Farley, 2011). Memang,
pengukuran co-benefits dari satu program atau kegiatan tentu lebih
sederhana daripada pengukuran dalam skala kota. Dalam konteks
kota, Floater et al. (2016) menyarankan bahwa pengukuran dapat
dikonsentrasikan pada perhitungan di lima sektor strategis yaitu
kesehatan, mobilitas, bangunan, sumberdaya dan ekonomi karena
kelimanya mencakup elemen penting bagi masyarakat yaitu
peningkatan kualitas hidup dengan manfaat yang dapat dirasakan
secara langsung oleh masyarakat.

Penghitungan co-benefits tidak terlepas dari sejumlah tantangan,


sebagaimana kompleksitas valuasi ekonomi pada umumnya,
beberapa di antaranya terkait dengan: data dan indikator,
metodologi, dan paradigma pengambilan keputusan. Pertama, data
terkait indikator yang umumnya digunakan untuk menghitung co-
benefits tidak tersedia dan apabila tersedia kadang kala tidak dapat
digunakan karena keterbatasan pengetahuan tentang co-benefits
(Floater et al., 2016). Namun demikian ketidaktersediaan data
menjadi masalah yang utama, sehingga upaya tambahan seperti

50 | KONSEP
survey dan pengukuran harus dilakukan yang memerlukan waktu
dan biaya yang tidak sedikit. Di samping itu, beberapa aspek
memiliki co-benefits yang sulit untuk diukur seperti kemiskinan dan
kesehatan karena manfaat tersebut hanya akan terlihat dalam
rentang waktu yang panjang (Mayrhofer & Gupta, 2016).

Kedua, kerumitan metodologi yang muncul akibat pemberian nilai


moneter. Pemberian nilai dapat menjadi proses yang subyektif,
tergantung pada perspektif penilai. Ahli ekonomi lingkungan, Jacob
(1991) menyampaikan bahwa mengukur biaya yang diperlukan
untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan adalah suatu
yang jelas dan mudah, tetapi mengukur manfaat dari perlindungan
lingkungan jauh lebih sulit. Faktor eksternal masing-masing wilayah
yang dapat mempengaruhi nilai ukuran dari co-benefits dan
metodologi yang digunakan dalam penentuannya (Karim, 2019).
Efek distribusi dari kebijakan dan tindakan perlu dipertimbangkan
sebab kebijakan, khususnya intervensi respon perubahan iklim
memiliki dampak yang berbeda pada setiap pemangku kepentingan
(Karim, 2019). Namun demikian, perkembangan metode-metode
untuk valuasi ekonomi saat ini sudah semakin cermat untuk
mempertimbangkan penerima manfaat dan menghindari
perhitungan ganda (Mayrhofer & Gupta, 2016), dengan
memunculkan perhitungan dalam bentuk kesatuan untuk
menghindari penghitungan ganda (Karim, 2019).

Ketiga, terkait paradigma pengambilan keputusan. Para pengambil


keputusan karena tuntutan situasional masih belum bisa bergeser
pada perhitungan co-benefits. Mereka seringkali bergantung pada
analisis efektivitas biaya (seperti Cost Benefit Analysis) dalam bentuk
penilian unit moneter yang bersifat langsung. (Karim, 2019).
Padahal, ada tidaknya co-benefits sangat bergantung pada kebijakan
yang diambil, sedangkan penerapan dan respon terhadap kebijakan
dipengaruhi oleh kondisi tingkat lokal yang berbeda-beda.
Kurangnya pengaturan kelembagaan dan struktur pemerintahan

| 51
dengan pendekatan co-benefits yang bisa mendorong integrasi isu
membutuhkan kerjasama antar lembaga dan individu yang terlibat
dalam proses pengambilan kebijakan (Mayrhofer & Gupta, 2016).

Kesimpulan
Sebelum terdapat konsep co-benefits, studi mengenai iklim pada
awalnya cenderung memberikan perhatian pada bagaimana tujuan
sektor-sektor pembangunan (seperti transportasi, industri, energi,
dan lain sebagainya) memberikan dampak atau pengaruh pada
tujuan perubahan iklim, terutama pengelolaan risiko akibat
peningkatan emisi gas rumah kaca. Dikenalkannya konsep co-benefits
mengubah konsetelasi tersebut. Konsep co-benefits mengeksplorasi
bagaimana tujuan-tujuan atau agenda dalam pengelolaan risiko
iklim memberikan manfaat atau keuntungan pada berbagai sektor
pembangunan yang lain. Sebagai penutup, sebagaimana
diindikasikan Floater et al. (2016) dan Mayrhofer & Gupta (2016),
mempromosikan penerapan co-benefits adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim penting untuk: (1) secara efektif memberikan
pemahaman kepada internal pengambil keputusan mengenai
konsep co-benefits perubahan iklim; (2) upaya pemenuhan data
dalam skala kota perlu untuk dimulai; (3) mengoptimalkan
pengolahan dan pemanfaatan data menjadi skenario atas berbagai
pilihan kebijakan, program atau kegiatan dengan menggunakan
metode yang sesuai untuk memberikan input proses kebijakan; (4)
pelibatan berbagai pemangku kepentingan dan berbagai sektor
dalam proses penerapan co-benefits terkait perubahan iklim dalam
setiap pengambilan keputusan.

Daftar Pustaka
Alexander, H. B. (2021), “Menengok TPA Supit Urang Kota Malang
yang Didanai Jerman”, diambil dari
https://www.kompas.com/properti/read/2021/04/09/06000
0321/menengok-tpa-supit-urang-kota-malang-yang-didanai-
jerman?page=all#page2
Daly, H.E. & Farley, J. (2011), Ecological Economics: Principles and

52 | KONSEP
Applications, Second Edi., Island Press, Washington.
Floater, G., Heeckt, C., Ulterino, M., Mackie, L., Rode, P., Bhardwaj,
A., Carvalho, M., Gill, D., Bailey, T. & Huxley, R. (2016), Co-
Benefits of Urban Climate Action: A Framework for Cities.
Fung, J. & Helgeson, J. (2017), Defining the Resilience Dividend:
Accounting for Co-Benefits of Resilience Planning, tersedia di
https://doi.org/10.6028/NIST.TN.1959.
Howden-Chapman, P.., Keall, M., Conlon, F. & Chapman, R. (2015),
“Urban interventions: understanding health co-benefits”,
Urban Design and Planning, Vol. 168, pp. 196–203.
IGES & ACP. (2014), Asian Co-benefits Partnership (ACP) White
Paper 2014: Bringing Development and Climate Together in
Asia, ACP, tersedia di
https://www.ccacoalition.org/en/resources/asian-co-
benefits-partnership-acp-white-paper-2014-bringing-
development-and-climate
IKUPI. (2016), “Ketahanan masyarakat pesisir melalui peningkatan
jasa ekosistem mangrove”, IKUPI, diambil dari
http://ikupi.org/ketahanan-masyarakat-pesisir-melalu-
peningkatan-jasa-ekosistem-mangrove/.
IPCC. (2014), 5th Assessment Report of Working Group II
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), No.
Chapter 17.
Jacob, M. (1991), The Green Economy: Environment, Sustainable
Development and the Politics of the Future, Pluto Press,
London.
Karim, S. (2019), Co-Benefits of Low-Carbon Policies in the Built
Environment: An Australian Investigation into Local
Government Co-Benefits Policies, The University of New South
Wales, Sydney, Australia.
Mayrhofer, J. & Gupta, J. (2016), “The science and politics of co-
benefits in climate policy”, Environmental Science & Policy,
Vol. 57, pp. 22–30.
Nugraha, I., Arumingtyas, L. & Tamimi, M. (2020), “Presiden
Jokowi Tekankan Pencegahan Bencana secara Menyeluruh”,
Mongabay, diambil dari
https://www.mongabay.co.id/2020/02/05/presiden-jokowi-
tekankan-pencegahan-bencana-secara-menyeluruh/.
Purnomo, H. & Siregar, E. (2019), “Terungkap! Seperti Ini Desain
Ibu Kota Baru RI di Kalimantan”, diambil dari
https://www.cnbcindonesia.com/news/20190819210426-4-
93161/terungkap-seperti-ini-desain-ibu-kota-baru-ri-di-
kalimantan.

| 53
54 | KONSEP
BAB 4
PEMBANGUNAN RENDAH KARBON
DI KOTA-KOTA INDONESIA
Faktor Pendukung, Peluang, dan Tantangannya
SUDARMANTO BUDI NUGROHO, JUNICHI FUJINO, DAN
TOMOKO ISHIKAWA

Pendahuluan
Sejak tahun 2015, berbagai perjanjian kerjasama multilateral antar
negara mulai efektif berlaku. Di antara berbagai perjanjian kerjasama
tersebut adalah Perjanjian Paris untuk memperkuat perjanjian di
bidang perubahan iklim yang sudah ada sejak tahun 1992 serta
perjanjian lain di bawah kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
untuk manajemen risiko bencana (Sendai Framework) dan pendanaan
untuk pembangunan (Addis Ababa Convention) hingga puncaknya
yaitu kesepakatan global mengenai Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (TPB/SDGs) yang disahkan pada bulan September
2015 oleh PBB menjadi Agenda 2030 untuk pembangunan
berkelanjutan. Terdapat 17 TPB yang tidak mengikat secara hukum
dan kemudian dielaborasi dalam 169 target untuk mendukung
masyarakat, kemakmuran, kemitraan, dan dunia (Biermann et al.,
2017).

Perubahan iklim secara eksplisit tertuang sebagai TPB no. 13, namun
juga terkait dengan tujuan lainnya seperti no. 7 tentang energi bersih
untuk semua; no. 9 tentang industri berkelanjutan; no. 11 tentang
kota berkelanjutan serta berkaitan dengan tujuan no. 14 tentang
kehidupan di darat dan tujuan no. 15 tentang kehidupan di bawah
air. Kegiatan mitigasi perubahan iklim memiliki banyak sinergi dan
hubungan imbal balik dengan seluruh TPB (Prajal et al., 2017) dan
dampak nyatanya bergantung pada kecepatan dan besaran

| 55
perubahan, komposisi portofolio mitigasi dan manajemen
perubahan. Ini menunjukkan bahwa mitigasi harus diupayakan
dalam konteks pembangunan berkelanjutan yang lebih luas.
Perjanjian Paris mengikat komitmen para pihak yang
menandatangani untuk berusaha menahan kenaikan suhu rata-rata
global di bawah 2°C dibandingkan dengan kondisi pada saat pra-
industri dan mengupayakan upaya untuk membatasi kenaikan suhu
hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri (UNFCCC, 2015). Perjanjian
ini dianggap sebagai konferensi perubahan iklim paling berhasil dari
yang pernah ada terutama dalam merumuskan delapan langkah
spesifik ke depan (Kinley, 2017). Konferensi Paris bertujuan untuk
memperkuat respons global terhadap ancaman perubahan iklim,
dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan upaya untuk
memberantas kemiskinan. Perjanjian Paris juga menggarisbawahi
prinsip tanggung jawab bersama tetapi dibedakan berdasarkan
kemampuan masing-masing yang memiliki keadaan nasional yang
berbeda-beda (Perjanjian Paris, Pasal 2 ayat 2).

Tidak seperti Protokol Kyoto (PK) yang memiliki kekuatan hukum


yang memaksa negara-negara maju, PP mendorong aksi-aksi
mitigasi perubahan iklim yang semakin ambisius dari semua negara
berdasarkan kontribusi yang ditentukan secara nasional (National
Determined Commitment/NDC) dan bersifat sukarela (Clémençon,
2016; Rajamani, 2016). Sehingga diharapkan setiap negara
menentukan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dan
dituangkan di dalam dokumen NDC yang masih berada dalam
skema kerjasama dan mengikat secara hukum untuk memperkuat
ambisi pencapaian target yang telah disepakati (Bodansky, 2016;
Falkner, 2016). Perjanjian Paris mulai berlaku aktif sejak bulan
November 2016 dan sudah berhasil mengikat komitmen 185 negara
dari total 197 negara anggota Konvensi Kerangka Kerja Perubahan
Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) sampai dengan bulan
April 2019. Hasil kajian terbaru memperkirakan sektor perkotaan
berkontribusi hingga sekitar 10 GtCO2e per tahun (atau sekitar 20%
dari emisi GRK global yang berasal dari kegiatan antrophogenic

56 | KONSEP
yang bersumber dari sektor bangunan sekitar 7 GtCO2e (atau sekitar
70%) dan 3 GtCO2e berasal dari sektor transportasi perkotaan)
(Creutzig et al., 2015). Untuk mencapai target penurunan emisi di
bawah 2oC, perlu penurunan emisi secara signifikan dari perkotaan
terutama dari tata guna lahan, lingkungan terbangun dan sektor
transportasi. Perkotaan di masa yang akan datang juga berperan
penting sebagai alat untuk menurunkan emisi terutama dari
bangunan atau gedung dan prasarana perkotaan yang lain.

Untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca seperti


yang dituangkan dalam dokumen NDC, negara diperbolehkan
untuk memasukkan usaha-usaha yang dilakukan oleh pelaku non-
pemerintah seperti dari sektor swasta, masyarakat dan termasuk
perkotaan. Lingkungan terbangun, gedung dan jalan, taman kota
memiliki konfigurasi dan lokasi yang merupakan aset tetap jangka
panjang yang bisa dikategorikan sebagai teknologi-teknologi dan
praktik-praktik yang bisa mengontrol emisi karbon dari perkotaan
(Creutzig et al., 2016; Ürge-Vorsatz et al., 2018). Meskipun demikian,
walaupun perkotaan menjadi tempat yang penting untuk berinovasi
secara terus menerus dan jangka panjang, cukup banyak tantangan
dalam transformasi pembangunan rendah karbon di perkotaan
(Betsill, 2001; Frantzeskaki et al., 2017; Nevens et al., 2013; Wolfram &
Frantzeskaki, 2016).

Pertama, infrastruktur perkotaan yang didesain berumur jangka


panjang sangat sulit untuk diubah secara drastis dan perubahan juga
memerlukan waktu yang lama meskipun mungkin mengalami
kerusakan karena bencana alam. Untuk mengubah infrastruktur
perkotaan dibutuhkan proses (politik dan publik) yang lama. Kedua,
kota adalah sistem terbuka yang mencakup banyak aktor dengan
berbagai tanggung jawab, kemampuan dan prioritas, serta proses
yang melampaui pendekatan berbasis sektor kelembagaan untuk
administrasi kota. Sehingga memiliki tantangan tersendiri untuk
membawa isu-isu di tingkat global ke dalam konteks lokal. Para

| 57
pemangku kebijakan yang bermacam-macam juga memiliki
perbedaan tujuan dan harapan karena di satu sisi, upaya mitigasi
GRK sebagai bagian dari pembangunan rendah karbon berpotensi
menimbulkan dampak negatif terhadap sektor lain, komunitas lain,
atau belahan dunia lainnya. Selain itu, peluang dan tantangan juga
terkait dengan siklus politik atau kepemimpinan setempat serta
keterkaitannya terhadap rencana pembangunan rendah karbon dan
transformasi jangka panjang di perkotaan Indonesia (Friend et al.,
2014).

Sumber: Bai, 2016


Gambar 1. Struktur Sistem Perkotaan dan Keterkaitannya

Pemahaman sistemik tentang keterkaitan sistem perkotaan (Gambar


1) memungkinkan pembuat kebijakan untuk secara aktif mencari
dan membangun sinergi serta manfaat tambahan dan menghindari
dampak negatif. Sehingga dalam merumuskan pilihan-pilihan upaya
pembangunan rendah karbon yang benar-benar efektif memerlukan
pertimbangan yang lebih cermat dan komprehensif tentang dampak
yang lebih luas, termasuk pemerataan dan keadilan sosial. Studi
menunjukkan bahwa langkah-langkah mitigasi dan adaptasi iklim
dapat saling melengkapi, dengan keterkaitan yang sinergis, trade-off

58 | KONSEP
atau netral, dan penting untuk menganggapnya sebagai rencana
terintegrasi (Landauer et al., 2015; Ürge-Vorsatz et al., 2018).
Pendekatan sistem dalam mitigasi perubahan iklim perkotaan
meskipun dianggap penting dan diharapkan untuk dipraktikkan
secara luas, pada kenyataannya belum menjadi arus utama
pembangunan di perkotaan.

Interaksi yang kompleks dan intensif didalam sistem perkotaan dan


sifat yang saling terkait di dalam TPB menjadikan kota sebagai
bagian penting untuk melakukan intervensi dengan memanfaatkan
sinergi dan mendapatkan manfaat tambahan lainnya sehingga bisa
mencapai target pembangunan rendah karbon sekaligus mencapai
target TPB lainnya (Corbett & Mellouli, 2017; Nilsson et al., 2016).
Sebagai contoh, sebuah studi di dua kota di Cina menunjukkan
pengurangan emisi karbon sebesar 2-4 juta tCO2/tahun dapat
dicapai melalui proses simbiosis antara industri dengan melakukan
pendekatan sistemik sehingga aliran limbah dari satu industri bisa
didaur ulang menjadi input industri lainnya (Dong et al., 2014).
Kajian yang dilakukan oleh komunitas British Columbia juga
menunjukkan bahwa sebagian besar komunitas sedang
mempertimbangkan rencana-rencana aksi adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim dengan sekaligus mengidentifikasi manfaat
tambahan terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan (Shaw et al.,
2014).

Untuk mempercepat proses tranformasi dan transisi menuju kota


rendah karbon perlu model-model atau percontohan yang
mencakup proses sosial dan teknologi (Kemp et al., 1998; Raven,
2005) dan contoh-contoh aksi jangka pendek (Karvonen & Van Heur,
2014) untuk memperkaya proses pengambilan keputusan secara
ilmiah (Van Buuren & Loorbach, 2009). Bukti empiris yang muncul
mendukung kebutuhan dan efektivitas pendekatan sistem dalam
membangun kota rendah karbon. Studi kasus dari kota dapat
memberikan dasar bukti yang kuat tentang upaya pembangunan

| 59
rendah karbon di suatu perkotaan bisa secara paralel berkontribusi
melalui sintesis ilmu pengetahuan perkotaan yang bisa dibagikan ke
komunitas global (Lamb et al., 2019). Lamb et al. (2019) melakukan
kajian sekitar 4.051 studi kasus mengenai upaya-upaya mitigasi
perubahan iklim perkotaan terkait dengan topik bentuk perkotaan,
penggunaan energi dan sistem, termasuk pemanasan, pendinginan,
dan energi terbarukan, transportasi, pengelolaan limbah, dan
konsumsi air.

Sebuah studi di 885 wilayah perkotaan negara-negara Eropa


menunjukkan bahwa hanya sekitar 2/3 dari kota-kota tersebut yang
memiliki rencana mitigasi perubahan iklim di level lokal perkotaan
dan hanya 17% yang memiliki rencana gabungan mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim. Kota-kota tersebut sebagian besar berada
di Inggris dan Prancis sebagai akibat adanya kewajiban tiap-tiap kota
untuk menyusun rencana aksi perubahan iklim (Reckien et al., 2018).
Studi yang lain menunjukkan adanya hubungan antara sektor air
dan energi di perkotaan dengan mengambil studi kasus di Xiamen,
Cina yang menunjukkan bahwa sebagian besar penghematan energi
terkait dengan pemakaian air dan potensi penghematan penggunaan
air terkait konsumsi energi yang terletak pada sisi pasokan hulu (Lin
et al., 2019). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
emisi (hingga 70%) yang berbasis konsumsi di perkotaan berasal dari
wilayah lain (Mi et al., 2017). Mitigasi sistem perkotaan yang efektif
perlu mempertimbangkan interaksi lintas batas dan sistemik ini.
Studi kasus tentang bentuk perkotaan cenderung kurang antisipatif
dan studi kasus untuk kota-kota di belahan selatan relatif lebih
sedikit.

Proses Transformasi Menuju Kota Rendah Karbon


Pendekatan yang dilakukan dengan berbasis sistem perkotaan lebih
menjanjikan peluang-peluang pembangunan rendah karbon dan
mempercepatan pencapaian target penurunan emisi GRK

60 | KONSEP
dibandingkan dengan usaha-usaha yang dilakukan secara sektoral.
Namun demikian, hingga saat ini masih banyak dijumpai kajian-
kajian penurunan emisi dari perkotaan secara sektoral, misalnya di
bidang penggunaan energi didalam bangunan atau gedung, sektor
transportasi perkotaan, dan lain-lain. Sehingga diharapkan akan
muncul kajian-kajian yang komprehensif tentang perkotaan yang
mencakup beberapa sektor secara terintegrasi. Sektor-sektor yang
terkait seperti sektor energi, transportasi, perumahan dan
permukiman, ekonomi, tata guna lahan, dan prasarana perkotaan
yang bisa digunakan sebagai titik masuk/awalan untuk
mempercepat pembangunan rendah karbon.

Pendekatan sistem dalam pembangunan rendah karbon berarti


elemen/prinsip kunci berikut perlu dipertimbangkan di antaranya:
(a) Emisi langsung lokal dan emisi tidak langsung di bagian hulu,
termasuk kombinasi atau campuran; (b) Memahami dampak lintas
sektor dan lintas batas, misalnya pendekatan hubungan antara
makanan-air-energi; konsumsi makanan perkotaan yang terkait
dengan limbah; (c) Keseimbangan langsung antara program-
program jangka pendek yang mudah dilaksanakan (low-hanging
fruit) dengan program-program jangan panjang; (d)
Mengintegrasikan perubahan struktural sistem perkotaan dengan
perubahan perilaku manusia; (e) Mengintegrasikan rekayasa
tradisional dan infrastruktur biru/hijau; (f) Integrasi rencana
mitigasi, adaptasi dan tujuan pembangunan berkelanjutan; (g)
Memastikan kesetaraan dan keadilan; (h) Mempertimbangan
pilihan-pilihan yang kontekstual dan disesuaikan dengan kondisi
setempat dengan mempertimbangkan besaran program, jenis
program dan tahapan pengembangannya; (i) Berorientasi ke masa
depan dengan mengantisipasi perubahan kondisi teknologi, sosial,
perilaku, demografi, struktur masyarakat makanan, gaya hidup,
budaya di kota tersebut yang sangat dinamis; (j) Serta mengaktifkan,
memfasilitasi, dan meningkatkan peran tata kelola, termasuk
kebijakan dan perencanaan.

| 61
Inisiatif transformasi perkotaan berkelanjutan termasuk dapat
dilakukan melalui proses inovasi pelibatan masyarakat melalui
jejaring, kolaborasi dan membentuk kerjasama. Faktor-faktor yang
diperlukan untuk menunjang perencanaan pembangunan rendah
karbon jangka panjang di perkotaan seperti: (a) Visi dan wawasan ke
depan; (b) Partisipasi publik dan pemangku kepentingan yang lebih
luas; (c) Usaha-usaha bersama serta bekerjasama; (d) Kepemimpinan
lokal; dan (e) Pendekatan sistematis. Pembangunan rendah karbon
memerlukan pandangan atau visi jangka panjang yang perlu
dirumuskan dalam langkah aksi nyata, baik jangka pendek maupun
jangka panjang. Ada arah yang jelas bahwa strategi multisektor dan
pendekatan holistik yang terfokus pada keterkaitan sistem perkotaan
berdasarkan interaksi jangka panjang dari berbagai lapisan
penggunaan lahan (Delmastro et al., 2016) diperlukan untuk
mempercepat periode puncak emisi (Lin et al., 2018; Zhou et al., 2018)
dan mengarahkan kota-kota lebih dekat ke pembangunan rendah
karbon (Hölscher et al., 2019) dan masa depan pascakarbon
(Delmastro et al., 2016). Kota-kota dapat mengadopsi lebih awal
mengenai cetak biru perencanaan yang melibatkan ahli tata kota,
tokoh-tokoh lokal, dan warga dalam memperbaiki pengelolaan
transportasi, penggunaan lahan, kualitas udara, perumahan, dan
aspek lain dari perencanaan kota (Niemeier et al., 2015).

Perencanaan pembangunan perkotaan hemat energi berdasarkan


kepadatan dan konektivitas perkotaan telah melibatkan keterkaitan
antara bentuk perkotaan, struktur spasial dan penggunaan lahan,
hubungan fungsional, termasuk energi berkelanjutan dan sistem
transportasi, serta konteks kebijakan (Grobe et al., 2016). Semakin
diakui bahwa inovasi (Grobe et al., 2016) dan eksperimen perkotaan
berdasarkan aksi kolaboratif multiskala dan publik-swasta (Hölscher
et al., 2019) dapat memperkuat keselarasan kebijakan dalam
permukiman yang berkelanjutan. Serangkaian pilihan untuk daerah
perkotaan juga menawarkan program jangka pendek yang bisa
segera segera diterapkan dan ditingkatkan untuk mejuwudkan kota
rendah karbon, seperti: sistem pemulihan gas TPA, limbah menjadi

62 | KONSEP
energi, pemulihan unsur hara dari limbah organik, energi terbarukan
untuk konsumsi di perumahan, industri dan komersial, elektrifikasi
transportasi, penghijauan perkotaan, yang semuanya dapat memiliki
dampak jangka panjang terhadap emisi.

Pilihan untuk pembangunan rendah karbon dapat melibatkan sistem


desentralisasi untuk air, air limbah dan energi, efisiensi energi dalam
bangunan dan transportasi, konfigurasi spasial penggunaan lahan,
dan infrastruktur hijau menggunakan vegetasi dan tanaman untuk
menahan emisi GRK (Lwasa, 2017). Proses perencanaan partisipatif
memberikan pilihan untuk mengurangi kebutuhan penyerapan
karbon saat ini (Dobbelsteen et al., 2018) dan bermanfaat untuk
mendukung perubahan perilaku dan struktural yang diperlukan
untuk mendapatkan penghematan energi dan emisi di seluruh
sistem (Zhang & Li, 2017).

Skenario terintegrasi lintas sektor di tingkat lokal dapat memisahkan


penggunaan sumber daya dari pertumbuhan ekonomi (Hu et al.,
2018) dan memungkinkan skenario 100% penggunaan energi
terbarukan (Bačeković & Østergaard, 2018; Zhao et al., 2017).
Diperlukan upaya untuk mengintegrasikan efisiensi energi dan
sumber daya dalam perencanaan kota yang berkelanjutan dan
rendah karbon (Dienst et al., 2015), perubahan struktural, serta
bentuk-bentuk inovasi sosial yang mengubah kondisi sosial-
ekonomi seperti sistem ekonomi berbagi (shared economy) yang sudah
terbukti berdasarkan analisis di beberapa kota, termasuk yang dapat
digunakan untuk menurunkan jejak karbon di wilayah perkotaan
dibandingkan dengan wilayah subperkotaan (Chen et al., 2016).

Program pengurangan emisi yang diwajibkan dalam skala kota dan


skema perdagangan karbon perkotaan menggunakan cap-and-trade
terbukti mampu mengurangi emisi GRK sebesar 23% pada periode
antara tahun 2010 dan 2014 (Roppongi et al., 2017) dan di periode

| 63
kedua tahun 2015 hingga 2019 (Nishida et al., 2016). Selain itu,
diperlukan untuk melihat kembali ke masa lalu (backcasting) dan
analisis kebijakan digunakan untuk menentukan prasyarat transisi
energi terbarukan, termasuk integrasi kebijakan energi dan
transportasi (Olsson et al., 2015). Prioritas yang tumpang tindih dan
pergeseran tujuan suatu kebijakan yang terkotak-kotak,
bagaimanapun dapat memberikan sinyal adanya hambatan
potensial yang memerlukan desain kebijakan yang selaras dan
strategi implementasi kebijakan di perkotaan (Fenton & Kanda,
2017). Beberapa kota telah melakukan transformasi dengan cara
mengubah infrastruktur perkotaan yang berkontribusi pada emisi
seperti jalan raya di pusat kota diganti dengan jalur trem (Fenton,
2017).

Praktik membangun dan mengoperasikan pembangkit energi


terbarukan dalam skala lokal juga menunjukkan pergeseran menuju
keselerasan kebijakan lintas sektor dalam tata kelola pembangunan
rendah karbon di perkotaan (Kona et al., 2019). Melalui pendekatan
sistem terintegrasi untuk kebijakan iklim yang komprehensif harus
didukung oleh pengaturan tata kelola perkotaan (Lee & Painter,
2015) dan peningkatan kapasitas terkait, termasuk dalam aspek
pengelolaan big data (Giest, 2017). Ada banyak kajian yang
membuktikan bahwa pendekatan multiperspektif memungkinkan
untuk menggabungkan langkah-langkah mitigasi iklim dalam
perencanaan kota dalam eksperimen transformasi perkotaan (Engels
& Walz, 2018) termasuk kerjasama multidisiplin antara pembuat
kebijakan, perancang kota, dan ilmuwan (He et al., 2015).

Inovasi sistem pada skala perkotaan dapat memberikan manfaat


mitigasi iklim yang signifikan, termasuk potensi pengurangan 3,2
juta dan 2,4 juta ton CO2 per tahun di wilayah perkotaan dengan
penduduk sekitar 5 juta jiwa berdasarkan inovasi sistem yang
meliputi jaringan energi dan pengelolaan limbah (Dong & Fujita,
2015). Untuk menghasilkan analisis secara kuantitatif, pertama

64 | KONSEP
diperlukan informasi yang akurat, handal, dan terpercaya untuk
menentukan data dasar emisi suatu kota pada tahun yang dijadikan
referensi (IGES, 2017). Kajian kebijakan lokal, rencana dan program
baik ditingkat nasional, provinsi maupun kota yang selaras dengan
tujuan pembangunan rendah karbon beserta penjadwalan, cakupan,
dan batasan menjadi masukan penting dalam membuat kerangka
kerja pembangunan rendah karbon di perkotaan. Pergeseran
kebijakan dapat mengubah nilai sosial yang dikaitkan dengan
sumber daya sekaligus meningkatkan efisiensi dan konservasi
sumber daya (Schindler & Kanai, 2018).

Sejumlah kajian membuktikan bahwa dinamika transisi


keberlanjutan perkotaan dapat dipercepat melalui proses replikasi,
peningkatan skala program atau proyek, instrumentalisasi,
penyematan, dan kemitraan (Gorissen et al., 2018). Dukungan dari
pemangku kepentingan dan pelaku lokal (Fastenrath & Braun, 2018),
manajemen ketidakpastian (den Hartog et al., 2018), pencapaian
manfaat silang dari berbagai visi (Larondelle et al., 2016), dan
kontekstualisasi pengetahuan global ke dalam konteks lokal (Macias
& William, 2016) juga mendukung transisi keberlanjutan perkotaan
maupun kabupaten.

Semakin banyak kajian dalam beberapa tahun terakhir yang


menunjukkan tentang pentingnya meningkatkan keterlibatan warga
dan membuka kota untuk menyediakan ekosistem bagi eksperimen
perkotaan, seperti melalui kompetisi dalam perencanaan yang
berorientasi dan bervisi mengembangkan upaya-upaya mitigasi
iklim (Neuvonen & Ache, 2017), penggunaan alat partisipatif untuk
energi terbarukan, perencanaan energi (Flacke & De Boer, 2017),
laboratorium kehidupan perkotaan untuk pemberdayaan warga
(Sharp & Salter, 2017), dan meningkatkan ruang untuk investasi
(McLean et al., 2016).

| 65
Inisiatif di tingkat akar rumput menjadi semakin penting dalam tata
kelola transisi energi lokal (Blanchet, 2015) dan tata kelola iklim
perkotaan semakin membutuhkan pengumpulan, penyelarasan, dan
pemeliharaan hubungan antara aktor dan elemen (McGuirk et al.,
2016). Keberhasilan untuk meningkatkan eksperimen lokal
berdasarkan perluasan program, difusi, dan transformasi dapat
semakin bergantung pada jaringan polisentrik yang lebih padat dan
lebih intens (Kern, 2019). Struktur terkait yang didukung oleh
kebijakan top-down dan bottom-up efektif untuk meningkatkan
keselarasan kebijakan menuju pembangunan perkotaan rendah
karbon, terutama berdasarkan hasil kajian perbandingan 186
kebijakan di 13 sub-kategori di kota-kota metropolitan berdasarkan
perspektif tata kelola multilevel (Peng & Bai, 2018).

Berdasarkan pengalaman lain, kemajuan dalam menangani sistem


limbah perkotaan secara sektoral dengan optimalisasi sistem hingga
perubahan sistem juga membutuhkan lebih banyak kebijakan terkait
(Bugge et al., 2019). Organisasi perantara berkontribusi untuk
mengumpulkan pelajaran dan mentransfer pengetahuan dari
seluruh eksperimen memiliki peran dalam mendukung eksperimen
lokal (Matschoss & Heiskanen, 2017). Studi terbaru juga
menunjukkan efektivitas penggabungan kebijakan yang terintegrasi
secara horizontal dan vertikal dalam sistem tata kelola untuk
menghubungkan masalah air-energi-pangan (Märker et al., 2018).
Sebaliknya, bukti integrasi sistematis sektor air dan pangan di 103
proyek energi berkelanjutan dari 20 negara berkembang di Asia,
Amerika Latin, dan Afrika Sub-Sahara relevan untuk 13% proyek
(Terrapon-Pfaff et al., 2018).

Menciptakan Lingkungan Pendukung Pembangunan Rendah


Karbon
Tata kelola yang kuat dan efektif diperlukan oleh suatu kota untuk
melakukan transformasi menjadi kota rendah karbon. Kompleksitas

66 | KONSEP
masalah perubahan iklim yang masih terus berkembang, dinamis
dan membutuhkan pemahaman serta reaksi yang komprehensif
walaupun perubahan iklim terkadang belum menjadi arus utama
pembangunan suatu kota (Bai et al., 2018; Friend et al., 2014; Jarvie et
al., 2015). Lebih lanjut, sasaran iklim regional, nasional, dan
internasional paling efektif ketika pemerintah kota turut serta
menjadikan daerah perkotaan fokus utama tata kelola iklim di semua
tingkat (Kern, 2019). Diskusi tata kelola iklim perkotaan mencakup
interaksi para aktor yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
aksi-aksi perubahan iklim yang ditunjang dengan motivasi dan
langkah nyata para pelaku kebijakan tersebut hingga keputusan
akhir dibuat dan dilaksanakan. Ini mencakup berbagai tingkat
otoritas dari lokal hingga global, serta aktor di tingkat provinsi dan
para pelaku lain yang bukan dari bagian pemerintah (non-state actor)
(Castán Broto, 2017; Fuhr et al., 2018).

Sistem tata kelola multilevel untuk masalah perubahan iklim


merupakan alat penting untuk memberdayakan daerah perkotaan
untuk mengurangi emisi GRK (Bulkeley, 2015; Castán Broto, 2017;
Corfee-Morlot, J. et al., 2009; Fuhr et al., 2018; Kern, 2019). Tata kelola
multilevel memberikan kerangka kerja untuk memahami
kecenderungan utama dalam tata kelola iklim perkotaan (Gambar 2),
yaitu:

(a) Kota dan wilayah yang mengadopsi dan mensinergikan


program dengan rencana mitigasi di tingkat provinsi atau
negara dan wilayah sekitarnya yang ditetapkan pemerintah
provinsi atau pemerintah pusat dan/atau bersifat independen
dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi;

(b) Kota dan wilayah melakukan kegiatan pembangunan rendah


karbon menjadi bagian dari komunitas internasional yang
terlibat dalam kebijakan iklim internasional secara global
sehingga bisa mengetahui dampak lokal ke global maupun
sebaliknya;

| 67
(c) Menjadi bagian dari jejaring internasional dan keanggotaan
pada LSM lintas kota dalam negara dan jaringan untuk
memenuhi tujuan mitigasinya.

Gambar 2. Tata Kelola Multilevel dalam Pembangunan Rendah Karbon

Diperlukan kepimimpinan lokal untuk memulai langkah


pembangunan rendah karbon yang selaras dengan kebijakan di
atasnya, seperti di tingkat provinsi atau negara (Fuhr et al., 2018).
Selanjutnya, diperlukan penggerak utama untuk menjalankan dan
memelihara kebijakan mitigasi GRK dan pembangunan rendah
karbon di tingkat lokal yang meliputi kapasitas kelembagaan,
identifikasi permasalahan utama, demokrasi lokal, kerangka kerja
kebijakan pendukung, lingkungan sosial ekonomi, dan
kepemimpinan lokal. Kapasitas pemerintah kota maupun provinsi
untuk melakukan program pembangunan rendah karbon secara
mandiri bergantung pada sistem politik dan aspek lain dari tata
kelola multilevel, seperti inovasi, efektivitas untuk mengisi
kesenjangan mitigasi, legitimasi, dan kesesuaian kelembagaan
(Green, 2017; Michaelowa & Michaelowa, 2017; Roger et al., 2017;
Valente de Macedo et al., 2016; Widerberg & Pattberg, 2015).
Kebijakan ini biasanya berfokus pada proses perencanaan, terutama
peraturan bangunan dan zonasi, perencanaan transportasi, dan
perencanaan tata ruang secara lebih umum (Bulkeley & Castán Broto,
2013; Kern, 2019). Inisiatif ini juga mencakup perencanaan energi

68 | KONSEP
lokal dan regional, seperti pemerintah daerah yang membentuk
perjanjian dengan pemasok energi regional, seperti halnya dengan
beberapa otoritas lokal Inggris yang terlibat dalam kemitraan publik-
swasta dengan Perusahaan Jasa Energi swasta (ESCo) (Hannon &
Bolton, 2015 ).

Ketika otonomi daerah berjalan cukup bagus, kebijakan daerah bisa


dibawa ke level lebih tinggi untuk memberikan pengaruh pada skala
geografis yang lebih luas, misalnya standar efisiensi bahan bakar
yang berlaku efektif di California, Amerika Serikat kemudian
diadopsi secara nasional. Standar ini telah diadopsi oleh 13 negara
bagian AS lainnya dan District of Columbia (Washington, DC);
Kanada juga mengadopsi standar tersebut dalam perjanjian 2019
dengan California dan produsen mobil tertentu (Luria et al., 2018;
Sperling & Eggert, 2014; Weikle, 2019). Dampak gabungan dari
standar yang diadopsi menyumbang penurunan emisi 41% dari
penjualan kendaraan di AS dan Kanada (Luria et al., 2018). Contoh
lain adalah kebijakan dan program pengembangan Bus Rapid Transit
(BRT) di Indonesia yang dimulai di Kota Jakarta pada tahun 2004 dan
menunjukkan hasil yang menggembirakan sehingga kemudian
diangkat menjadi program nasional oleh Kementerian Perhubungan
dan diaplikasikan dengan penyesuaian ke daerah-daerah lain di
Indonesia (Nugroho, 2015). Contoh-contoh tersebut
menggarisbawahi pentingnya otonomi daerah relatif dalam
kebijakan pembangunan rendah karbon.

Dalam konteks kota-kota di negara berkembang, biasanya terdapat


keterbatasan dalam masalah institusi, keuangan, serta kemampuan
teknis untuk melakukan pembangunan rendah karbon (Fuhr et al.,
2018; Sharifi et al., 2017). Walaupun kondisi kapasitas masing-masing
kota berbeda tergantung konteksnya (Hickmann et al., 2017), namun
demikian tantangan kelembagaan memiliki kesamaan di kota-kota di
negara berkembang (Gouldson et al., 2015). Terlepas dari konteks dan
kapasitas kota yang beragam di negara berkembang, rencana aksi

| 69
perubahan iklim dan pembangunan rendah karbon telah
dilembagakan melalui mekanisme yang beragam mulai dari aksi
nyata pada skala yang berbeda hingga kombinasi dari semua usaha
dalam kerangka tata kelola multilevel (Broto, 2015) dan proyek-
proyek percontohan yang dapat terlaksana karena adanya
pendanaan internasional (Beermann et al., 2016; Jörgensen et al.,
2015).

Rencana Aksi Nasional India untuk Perubahan Iklim yang diadopsi


pada 2010 memprioritaskan delapan kota yang melakukan
pengajuannya proposal untuk melakukan aksi perubahan iklim.
Untuk melengkapi Rencana Aksi Nasional, negara bagian India
diarahkan untuk mempersiapkan Rencana Aksi Negara Bagian
tentang perubahan iklim. Rencana ini memungkinkan beberapa
inovasi lokal tetapi belum menunjukkan hasil yang signifikan
mengingat perbedaan ambisi dan kapasitas negara bagian untuk
memberikan dampak mitigasi perubahan iklim (Beermann et al.,
2016; Jogesh & Dubash, 2015). Di Indonesia, rencana aksi daerah gas
rumah kaca (RAD-GRK) diajukan oleh beberapa provinsi mulai dari
tahun 2012.

Hasil kajian program aksi di bidang transportasi menunjukkan


adanya perbedaan inisiatif dan ambisi tiap provinsi serta
permasalahan koordinasi dan kerjasama antar wilayah (Jaeger et al.,
2015). Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai penghambat
pembanguan rendah karbon dan pengarusutamaan rencana mitigasi
perubahan iklim di tingkat kota yaitu kurangnya pemberdayaan,
investasi awal yang cukup tinggi, pendanaan yang tidak memadai
dan penuh ketidakpastian untuk aksi-aksi mitigasi perubahan iklim,
tujuan kebijakan yang beragam dan sering bertentangan, keberadaan
berbagai lembaga dan aktor dengan beragam kepentingan, tingkat
informalitas yang tinggi, dan pendekatan tertutup terhadap tindakan
iklim (Beermann et al., 2016). Dalam kasus kota-kota di Cina, aksi
mitigasi di tingkat subnasional telah berhasil melalui penerapan

70 | KONSEP
proses multilapis dan multiaktor di mana aksi mitigasi dimasukkan
ke dalam aksi pembangunan lokal dan difasilitasi oleh koordinasi
yang efektif antara pemerintah nasional dan lokal (Peng & Bai, 2018).

Transformasi sistem pembangunan rendah karbon berskala besar


juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar tata kelola dan
institusi seperti kepentingan swasta dan dinamika kekuasaan atau
kondisi politik lokal (Tyfield, 2014). Di India, rencana adaptasi yang
melibatkan jaringan aktor swasta dan aksi mitigasi telah
mengakibatkan dominasi kepentingan swasta yang mengakibatkan
kerugian dan dampak buruk pada masyarakat miskin (Chu, 2016;
Mehta et al., 2019). Transisi perkotaan rendah karbon yang berakar
pada konteks sosio-ekonomi dan melibatkan aktor-aktor non-
pemerintah seperti perusahaan, organisasi penelitian, LSM, dan
warga negara sangat dianjurkan untuk diimplementasikan (Lee &
Painter, 2015).

Keterlibatan warga dan masyarakat dalam menentukan target dan


tindakan mitigasi yang relevan secara lokal telah memungkinkan
transformasi yang sukses di Afrika (Göpfert et al., 2019), Cina
(Engels, 2018), dan Malaysia (Ho et al., 2016). Penelitian aktif dan
kolaborasi pemerintah melalui berbagai interaksi pemangku
kepentingan di Iskandar, Malaysia, sebuah koridor ekonomi besar di
Malaysia, telah menghasilkan pengembangan dan implementasi
cetak biru rendah karbon untuk wilayah tersebut (Ho et al., 2013).

Kesimpulan
Membangun kota-kota rendah karbon di Indonesia memerlukan
dukungan tiga faktor utama: membangun kapasitas, melibatkan
pemangku kepentingan, dan memobilisasi sumber daya (Tabel 2).
Ketiga faktor ini saling memperkuat satu sama lain. Sebagai ilustrasi,
peningkatan kapasitas sering kali berfungsi sebagai perekat yang

| 71
mempertemukan berbagai pemangku kepentingan di suatu
perkotaan; mampu mengalokasikan sumber daya secara tepat yang
menawarkan alasan kuat bagi pemangku kepentingan untuk terus
berpartisipasi, dan melanjutkan keterlibatan mereka dalam
membangun kota rendah karbon.

Tabel 2. Komponen Utama Pembangunan Rendah Karbon


di Perkotaan Indonesia

Komponen Keterangan

• Kondisi kapasitas teknis yang ada dan kebutuhan


kapasitas untuk membangun kota rendah karbon.
Membangun
• Bagaimana kapasitas bisa dibangun
Kapasitas
Teknis • Proses yang bisa ditempuh untuk membantu
membangun kapasitas yang dibutuhkan

• Siapa saja pelaku dan organisai kunci dalam


pembangunan rendah karbon
Pelibatan Para
• Apakah komunikasi dan koordinasi dengan para
Pemangku
pihak sudah mencukupi
Kepentingan
• Apakah poin-poin yang akan diperdebatkan dan
bagaimana jalan keluarnya.

• Sumber pendanaan utama


Mobilisasi
Sumber • Apakah sumber pendanaan utama sudah
Pendanaan mencukupi atau dibutuhkan pendanaan dari
sumber lain

• Bagaimana mengukur pencapaian


Berbagi
Pengalaman • Bagaimana pengalaman dibagikan untuk proyek
yang lain atau kota yang lain

Tidak mudah untuk menuju titik awal pembangunan rendah karbon


atau eksperimen atau pilot project rendah karbon di suatu kota.
Langkah awal bisa saja dimulai dari suatu kegiatan baru atau bisa
juga berasal dari modifikasi atau perubahan kecil dari kegiatan atau
program yang sudah rutin berjalan. Seperti misalnya kota-kota yang
sudah rutin melakukan kegiatan/program atau pembangunan

72 | KONSEP
terkait upaya adaptasi perubahan iklim kemudian melanjutkan
dengan langkah-langkah di bidang mitigasi perubahan iklim.
Kondisi ini menunjukkan bahwa benih awal perubahan menuju kota
rendah karbon sebenarnya mungkin memiliki sasaran yang berbeda
namun terkait pada tujuan yang sama.

Membangun kapasitas teknis para pelaku pembangunan rendah


karbon di suatu kota meliputi: analisa kapasitas yang ada dan yang
dibutuhkan; bagaimana mengembangkan kapasitas berdasarkan
hasil kajian kondisi kebutuhan dan kenyataan yang ada; proses
pengembangan kapasitas dan akumulasi pengetahuan; peranan
jejaring dalam pengembangan kapasitas serta perlunya kebersamaan
dalam berkembang bersama pemangku kepentingan lainnya di
perkotaan serta akademisi.

Langkah selanjutnya adalah perlunya kepemimpinan yang kuat di


daerah dan ditunjang dengan organisasi pendukung yang akan
menjalankan program secara rutin. Sehingga diperlukan analisis
mengenai siapa saja pelaku dan organisai kunci dalam
pembangunan rendah karbon; menjamin kecukupan pola
komunikasi dan koordinasi dengan para pihak dan identifkasi hal-
hal yang bisa menjadi poin pertentangan terutama antar sektor yang
terdampak positif dan negatif serta mencari jalan keluar bersama
berdasarkan kesepakatan bersama (consensus building) antar para
pelaku kepentingan. Komunikasi dan sinergi program secara
vertikal dengan pemerintah pusat-provinsi dan horizontal antar
daerah dan antar lembaga merupakan suatu faktor penting dalam
menunjang keberhasilan program pembagunan kota rendah karbon.

Hal lain yang sangat krusial dalam pembangunan rendah karbon di


Indonesia adalah memobilisasi sumber daya. Diperlukan analisa
kebutuhan sumber daya, identifikasi sumber daya utama
pengembangan rendah karbon dan ketersediaannya, serta

| 73
kebutuhan sumber daya lain dari luar yang diperlukan. Mekanisme
pendanaan dan sumber daya perlu diperhatikan dengan seksama
terutama pada saat memadukan berbagai sumber daya baik dari
dalam maupun luar kota dan sumber daya internasional. Perlu
diperhatikan bagaimana proses memadukan sumber daya tersebut
tidak hanya secara teoritis tetapi bisa diimplementasikan secara
nyata di lapangan. Sehingga, perhatian pada ketersediaan sumber
daya manusia dan perangkat pendukung lainnya selain pendanaan
serta kemauan untuk bergerak bersama dan memahami hubungan
antar pemangku kepentingan.

Mekanisme pemantauan untuk mengukur pencapaian dan evaluasi


hasil pembangunan rendah karbon perlu dipersiapkan dengan baik
sehingga target dan tujuan pembangunan rendah karbon dapat
tercapai. Indikator dan mekanisme pelaporan serta mekanisme
umpan balik sebagai bagian dari pendekatan Rencanakan-Kerjakan-
Cek-dan-Tindaklanjuti (PDCA) dapat digunakan untuk
mengendalikan kualitas pembangunan rendah karbon di perkotaan
Faktor-faktor penyebab keberhasilan pembangunan rendah karbon
di suatu kota dapat dianalisa dan diaplikasikan di kota-kota lain
walaupun faktor keberhasilan pembangunan suatu kota bisa
berbeda dengan kota yang lainnya. Dengan demikian, proses berbagi
pengalaman dengan kota-kota lain melalui jejaring ataupun
komunikasi langsung bisa digunakan untuk memperkaya proses
pengambilan keputusan dalam membangun kota-kota rendah
karbon di Indonesia.

Daftar Pustaka
Bačeković, I. & Østergaard, P.A. (2018), “A smart energy system
approach vs a non-integrated renewable energy system
approach to designing a future energy system in Zagreb”,
Energy, Vol. 155, pp. 824–837.
Bai, X. (2016), “Eight energy and material flow characteristics of
urban ecosystems”, Ambio, Vol. 45, pp. 819–830.

74 | KONSEP
Bai, X., Dawson, R.J., Ürge-Vorsatz, D., Delgado, G.C., Salisu Barau,
A., Dhakal, S., Dodman, D., Leonardsen, L., Masson-Delmotte,
V., Roberts, D.C. & Schultz, S. (2018), “Six research priorities
for cities and climate change”, Nature, England, March.
Beermann, J., Damodaran, A., Jörgensen, K. & Schreurs, M.A.
(2016), “Climate action in Indian cities: an emerging new
research area”, Journal of Integrative Environmental Sciences,
Taylor & Francis, Vol. 13 No. 1, pp. 55–66.
Betsill, M.M. (2001), “Mitigating climate change in US Cities:
Opportunities and obstacles”, Local Environment: The
International Journal of Justice and Sustainability, Vol. 6, pp.
393–406.
Biermann, F., Kanie, N. & Kim, R.E. (2017), “Global governance by
goal-setting: the novel approach of the UN Sustainable
Development Goals”, Current Opinion in Environmental
Sustainability, Vol. 26–27, pp. 26–31.
Blanchet, T. (2015), “Struggle over energy transition in Berlin: How
do grassroots initiatives affect local energy policy-making?”,
Energy Policy, Vol. 78, pp. 246–254.
Bodansky, D. (2016), “The Paris climate change agreement: A new
hope?”, The American Journal of International Law, Vol. 110
No. 2, pp. 288–319.
Broto, V.C. (2015), “Contradiction, intervention, and urban low
carbon transitions”, Environment and Planning D: Society and
Space, SAGE Publications Ltd STM, Vol. 33 No. 3, pp. 460–476.
Bugge, M.M., Fevolden, A.M. & Klitkou, A. (2019), “Governance for
system optimization and system change: The case of urban
waste”, Research Policy, Vol. 48 No. 4, pp. 1076–1090.
Bulkeley, H. (2015), “Can cities realise their climate potential?
Reflections on COP21 Paris and beyond”, Local Environment,
Routledge, Vol. 20 No. 11, pp. 1405–1409.
Bulkeley, H. & Castan Broto, V. (2013), “Government by
experiment? Global cities and the governing of climate
change”, Transactions of the Institute of British Geographers,
Vol. 38, pp. 361–375.
van Buuren, A. & Loorbach, D. (2009), “Policy innovation in
isolation? Conditions for policy renewal by transition arenas
and pilot projects”, Public Management Review, Vol. 11 No. 3,
pp. 375–392.
Castán Broto, V. (2017), “Urban governance and the politics of
climate change”, World Development, Vol. 93, pp. 1–15.
Chen, G., Wiedmann, T., Wang, Y. & Hadjikakou, M. (2016),
“Transnational city carbon footprint networks – Exploring
carbon links between Australian and Chinese cities”, Applied

| 75
Energy, Vol. 184, pp. 1082–1092.
Chu, E. (2015), “The political economy of urban climate adaptation
and development planning in Surat, India”, Environment and
Planning C: Government and Policy, SAGE Publications Ltd
STM, Vol. 34 No. 2, pp. 281–298.
Clémençon, R. (2016), “The two sides of the Paris climate
agreement: dismal failure or historic breakthrough?”, The
Journal of Environment & Development, Vol. 25 No. 1, pp. 3–
24.
Corbett, J. & Mellouli, S. (2017), “Winning the SDG battle in cities:
how an integrated information ecosystem can contribute to the
achievement of the 2030 sustainable development goals”,
Information Systems Journal, Vol. 27, pp. 427–461.
Corfee-Morlot, J., L., Kamal-Chaoui, M., Donovan, I.M., Cochran,
A.R. & Teasdale, P.J. (2009), Cities, Climate Change and
Multilevel Governance.
Creutzig, F., Baiocchi, G., Bierkandt, R., Pichler, P.-P. & Seto, K.C.
(2015), “Global typology of urban energy use and potentials for
an urbanization mitigation wedge”, Proceedings of the
National Academy of Sciences of the United States of America,
Vol. 112 No. 20, pp. 6283–6288.
Creutzig, F., Fernandez, B., Haberl, H., Khosla, R., Mulugetta, Y. &
Seto, K.C. (2016), “Beyond technology: Demand-side solutions
for climate change mitigation”, Annual Review of Environment
and Resources, Vol. 41 No. 1, pp. 173–198.
Delmastro, C., Lavagno, E. & Schranz, L. (2016), “Underground
urbanism: Master plans and sectorial plans”, Tunnelling and
Underground Space Technology, Vol. 55, pp. 103–111.
Dienst, C., Xia, C., Schneider, C., Vallentin, D., Venjakob, J. &
Hongyan, R. (2015), “Wuxi – a Chinese city on its way to a low
carbon future”, Journal of Sustainable Development of Energy,
Water and Environment Systems, Vol. 3 No. 1, pp. 12–25.
Van den Dobbelsteen, A., Martin, C.L., Keeffe, G., Pulselli, R.M. &
Vandevyvere, H. (2018), “From problems to potentials—The
urban energy transition of Gruž, Dubrovnik”, Energies,
tersedia di https://doi.org/10.3390/en11040922.
Dong, L. & Fujita, T. (2015), “Promotion of Low-Carbon City
Through Industrial and Urban System Innovation: Japanese
Experience and China’s Practice”, in Whalley, J., Agarwal, M.
and Pan, J. (Eds.), World Scientific Reference on Asia and the
World Economy, World Scientific, pp. 257–279.
Dong, L., Gu, F., Fujita, T., Hayashi, Y. & Gao, J. (2014),
“Uncovering opportunity of low-carbon city promotion with
industrial system innovation: Case study on industrial

76 | KONSEP
symbiosis projects in China”, Energy Policy, Vol. 65, pp. 388–
397.
Engels, A. & Walz, K. (2018), “Dealing with multi-perspectivity in
real-world laboratories: Experiences from the transdisciplinary
research project urban transformation laboratories”, GAIA -
Ecological Perspectives for Science and Society, Vol. 27, pp. 39–
45.
Falkner, R. (2016), “The Paris agreement and the new logic of
international climate politics”, International Affairs, Vol. 92,
pp. 1107–1125.
Fastenrath, S. & Braun, B. (2018), “Ambivalent urban sustainability
transitions: Insights from Brisbane’s building sector”, Journal
of Cleaner Production, Vol. 176, pp. 581–589.
Fenton, P. (2017), “Sustainable mobility in the low carbon city:
Digging up the highway in Odense, Denmark”, Sustainable
Cities and Society, Vol. 29, pp. 203–210.
Fenton, P. & Kanda, W. (2017), “Barriers to the diffusion of
renewable energy: Studies of biogas for transport in two
European cities”, Journal of Environmental Planning and
Management, Routledge, Vol. 60 No. 4, pp. 725–742.
Flacke, J. & De Boer, C. (2017), “An interactive planning support
tool for addressing social acceptance of renewable energy
projects in The Netherlands”, ISPRS International Journal of
Geo-Information.
Frantzeskaki, N., Broto, V.C., Coenen, L. & Loorbach, D. (2017),
Urban Sustainability Transition, edited by Frantzeskaki, N.,
Broto, V.C., Coenen, L. and Loorbach, D., First Edit.,
Routledge, London.
Friend, R., Jarvie, J., Reed, S.O., Sutarto, R., Thinphanga, P. & Toan,
V.C. (2014), “Mainstreaming urban climate resilience into
policy and planning; reflections from Asia”, Urban Climate,
Elsevier, Vol. 7, pp. 6–19.
Fuhr, H., Hickmann, T. & Kern, K. (2018), “The role of cities in
multi-level climate governance: local climate policies and the
1.5°C target”, Current Opinion in Environmental
Sustainability, Vol. 30, pp. 1–6.
Giest, S. (2017), “Big data analytics for mitigating carbon emissions
in smart cities: opportunities and challenges”, European
Planning Studies, Routledge, Vol. 25 No. 6, pp. 941–957.
Göpfert, C., Wamsler, C. & Lang, W. (2019), “A framework for the
joint institutionalization of climate change mitigation and
adaptation in city administrations”, Mitigation and Adaptation
Strategies for Global Change, Vol. 24 No. 1, pp. 1–21.
Gorissen, L., Spira, F., Meynaerts, E., Valkering, P. & Frantzeskaki,

| 77
N. (2018), “Moving towards systemic change? Investigating
acceleration dynamics of urban sustainability transitions in the
Belgian City of Genk”, Journal of Cleaner Production, Vol. 173,
pp. 171–185.
Gouldson, A., Colenbrander, S., Sudmant, A., McAnulla, F., Kerr,
N., Sakai, P., Hall, S., Papargyropoulou, E. & Kuylenstierna, J.
(2015), “Exploring the economic case for climate action in
cities”, Global Environmental Change, Vol. 35, pp. 93–105.
Green, J.F. (2017), “The strength of weakness: pseudo-clubs in the
climate regime”, Climatic Change, Vol. 144 No. 1, pp. 41–52.
Große, J., Fertner, C. & Groth, N.B. (2016), “Urban structure, energy
and planning: Findings from three cities in Sweden, Finland
and Estonia”, Urban Planning, Vol. 1 No. 1, pp. 24–40.
Hannon, M.J. & Bolton, R. (2015), “UK Local Authority engagement
with the Energy Service Company (ESCo) model: Key
characteristics, benefits, limitations and considerations”,
Energy Policy, Vol. 78, pp. 198–212.
den Hartog, H., Sengers, F., Xu, Y., Xie, L., Jiang, P. & de Jong, M.
(2018), “Low-carbon promises and realities: Lessons from three
socio-technical experiments in Shanghai”, Journal of Cleaner
Production, Vol. 181, pp. 692–702.
He, X., Shen, S., Miao, S., Dou, J. & Zhang, Y. (2015), “Quantitative
detection of urban climate resources and the establishment of
an urban climate map (UCMap) system in Beijing”, Building
and Environment, Vol. 92, pp. 668–678.
Hickmann, T., Fuhr, H., Höhne, C., Lederer, M. & Stehle, F. (2017),
“Carbon governance arrangements and the Nation-State: The
reconfiguration of public authority in developing countries”,
Public Administration and Development, John Wiley & Sons,
Ltd, Vol. 37 No. 5, pp. 331–343.
Ho, C.S., Chau, L.W., Teh, B.T., Matsuoka, Y. & Gomi, K. (2016),
“‘Science to Action’ of the sustainable low carbon city-region:
Lessons learnt from Iskandar Malaysia”, in Nishioka, S. (Ed.),
Enabling Asia to Stabilise the Climate, Springer Singapore,
Singapore, pp. 119–150.
Ho, C.S., Matsuoka, Y., Chau, L.W., Teh, B.T., Simson, J.J. & Gomi,
K. (2013), “Blueprint for the development of low carbon society
scenarios for Asian regions- case study of Iskandar Malaysia”,
IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, IOP
Publishing, Vol. 16, p. 12125.
Hölscher, K., Frantzeskaki, N. & Loorbach, D. (2019), “Steering
transformations under climate change: capacities for
transformative climate governance and the case of Rotterdam,
the Netherlands”, Regional Environmental Change, Vol. 19 No.

78 | KONSEP
3, pp. 791–805.
Hu, J., Liu, G. & Meng, F. (2018), “Estimates of the effectiveness for
urban energy conservation and carbon Abate-ment Policies:
The case of Beijing City, China”, Journal of Environmental
Accounting and Management, Vol. 6, pp. 207–222.
IGES. (2017), Low Carbon Society Scenario Semarang 2030.
Jaeger, A., Nugroho, S.B., Zusman, E., Nakano, R. & Daggy, R.
(2015), “Governing sustainable low-carbon transport in
Indonesia: An assessment of provincial transport plans”,
Natural Resources Forum, John Wiley & Sons, Ltd, Vol. 39 No.
1, pp. 27–40.
Jarvie, J., Sutarto, R., Syam, D. & Jeffery, P. (2015), “Lessons for
Africa from urban climate change resilience building in
Indonesia”, Current Opinion in Environmental Sustainability,
Vol. 13, pp. 19–24.
Jogesh, A. & Dubash, N.K. (2015), “State-led experimentation or
centrally-motivated replication? A study of state action plans
on climate change in India”, Journal of Integrative
Environmental Sciences, Taylor & Francis, Vol. 12 No. 4, pp.
247–266.
Jörgensen, K., Jogesh, A. & Mishra, A. (2015), “Multi-level climate
governance and the role of the subnational level”, Journal of
Integrative Environmental Sciences, Taylor & Francis, Vol. 12
No. 4, pp. 235–245.
Karvonen, A. & Van Heur, B. (2014), “Urban laboratories:
experiments in reworking cities”, International Journal of
Urban and Regional Research, Vol. 38 No. 2, pp. 379–392.
Kemp, R., Schot, J. & Hoogma, R. (1998), “Regime shifts to
sustainability through processes of niche formation: The
approach of strategic niche management”, Technology
Analysis & Strategic Management, Vol. 10 No. 2, pp. 175–198.
Kern, K. (2019), “Cities as leaders in EU multilevel climate
governance: embedded upscaling of local experiments in
Europe”, Environmental Politics, Routledge, Vol. 28 No. 1, pp.
125–145.
Kinley, R. (2017), “Climate change after Paris: from turning point to
transformation”, Climate Policy, Vol. 17 No. 1, pp. 9–15.
Kona, A., Bertoldi, P. & Kılkış, Ş. (2019), “Covenant of Mayors:
Local energy generation, methodology, policies and good
practice examples”, Energies.
Lamb, W.F., Creutzig, F., Callaghan, M.W. & Minx, J.C. (2019),
“Learning about urban climate solutions from case studies”,
Nature Climate Change, Vol. 9, pp. 279–287.
Landauer, M., Juhola, S. & Söderholm, M. (2015), “Inter-

| 79
relationships between adaptation and mitigation: a systematic
literature review”, Climatic Change Volume, Vol. 131, pp. 505–
517.
Larondelle, N., Frantzeskaki, N. & Haase, D. (2016), “Mapping
transition potential with stakeholder- and policy-driven
scenarios in Rotterdam City”, Ecological Indicators, Vol. 70, pp.
630–643.
Lee, T. & Painter, M. (2015), “Comprehensive local climate policy:
The role of urban governance”, Urban Climate, Vol. 14, pp.
566–577.
Lin, G.C.S. & Kao, S. (2019), “Contesting eco‐urbanism from below:
The construction of ‘zero‐waste neighborhoods’ in Chinese
cities”, International Journal of Urban and Regional Research,
Vol. 44 No. 1, pp. 72–89.
Luria, D., Baum, A. & Sharpe, B. (2018), “Automobile production in
Canada and implications for Canada’s 2025 passenger vehicle
greenhouse gas standards”, The International Council on Clean
Transportation, tersedia di
https://theicct.org/publications/canada-automobile-
production-and-implications-2025-vehicle-stds.
Lwasa, S. (2017), “Options for reduction of greenhouse gas
emissions in the low-emitting city and metropolitan region of
Kampala”, Carbon Management, Taylor & Francis, Vol. 8 No.
3, pp. 263–276.
Macias, T. & Williams, K. (2016), “Know Your Neighbors, Save the
Planet: Social Capital and the Widening Wedge of Pro-
Environmental Outcomes”, Environment and Behavior, SAGE
Publications Inc, Vol. 48 No. 3, pp. 391–420.
Märker, C., Venghaus, S. & Hake, J.-F. (2018), “Integrated
governance for the food–energy–water nexus – The scope of
action for institutional change”, Renewable and Sustainable
Energy Reviews, Vol. 97, pp. 290–300.
Matschoss, K. & Heiskanen, E. (2017), “Making it experimental in
several ways: The work of intermediaries in raising the
ambition level in local climate initiatives”, Journal of Cleaner
Production, Vol. 169, pp. 85–93.
McGuirk, P.M., Bulkeley, H. & Dowling, R. (2016), “Configuring
urban carbon governance: Insights from Sydney, Australia”,
Annals of the American Association of Geographers, Taylor &
Francis, Vol. 106 No. 1, pp. 145–166.
McLean, A., Bulkeley, H. & Crang, M. (2015), “Negotiating the
urban smart grid: Socio-technical experimentation in the city of
Austin”, Urban Studies, SAGE Publications Ltd, Vol. 53 No. 15,
pp. 3246–3263.

80 | KONSEP
Mehta, L., Srivastava, S., Adam, H.N., Alankar, Bose, S., Ghosh, U.
& Kumar, V.V. (2019), “Climate change and uncertainty from
‘above’ and ‘below’: perspectives from India”, Regional
Environmental Change, Vol. 19 No. 6, pp. 1533–1547.
Miao, L. (2017), “Examining the impact factors of urban residential
energy consumption and CO2 emissions in China – Evidence
from city-level data”, Ecological Indicators, Vol. 73, pp. 29–37.
Michaelowa, K. & Michaelowa, A. (2017), “Transnational climate
governance initiatives: Designed for effective climate change
mitigation?”, International Interactions, Routledge, Vol. 43 No.
1, pp. 129–155.
Neuvonen, A. & Ache, P. (2017), “Metropolitan vision making –
using backcasting as a strategic learning process to shape
metropolitan futures”, Futures, Vol. 86, pp. 73–83.
Nevens, F., Frantzeskaki, N., Gorissen, L. & Loorbach, D. (2013),
“Urban Transition Labs: co-creating transformative action for
sustainable cities”, Journal of Cleaner Production, Vol. 50, pp.
111–122.
Niemeier, D., Grattet, R. & Beamish, T. (2015), “‘Blueprinting’ and
climate change: Regional governance and civic participation in
land use and transportation planning”, Environment and
Planning C: Government and Policy, SAGE Publications Ltd
STM, Vol. 33 No. 6, pp. 1600–1617.
Nilsson, M., Griggs, D. & Visbeck, M. (2016), “Policy: Map the
interactions between Sustainable Development Goals”, Nature,
Vol. 534 No. 7607, pp. 320–322.
Nishida, Y., Hua, Y. & Okamoto, N. (2016), “Alternative building
emission-reduction measure: outcomes from the Tokyo Cap-
and-Trade Program”, Building Research & Information,
Routledge, Vol. 44 No. 5–6, pp. 644–659.
Nugroho, S.B. & Zusman, E. (2015), “Governing public transport
improvement program in Indonesia”, Journal of the Eastern
Asia Society for Transportation Studies, Vol. 11, pp. 2528–2542.
Olsson, L., Hjalmarsson, L., Wikström, M. & Larsson, M. (2015),
“Bridging the implementation gap: Combining backcasting
and policy analysis to study renewable energy in urban road
transport”, Transport Policy, Vol. 37, pp. 72–82.
Peng, Y. & Bai, X. (2018), “Experimenting towards a low-carbon
city: Policy evolution and nested structure of innovation”,
Journal of Cleaner Production, Vol. 174, pp. 201–212.
Pradhan, P., Costa, L., Rybski, D., Lucht, W. & Kropp, J.P. (2017), “A
systematic study of Sustainable Development Goal (SDG)
interactions”, Earth’s Future, Vol. 5 No. 11, pp. 1169–1179.
Rajamani, L. (2016), “The 2015 Paris Agreement: Interplay between

| 81
hard, soft and non-obligations”, Journal of Environmental Law,
Vol. 28 No. 2, pp. 337–358.
Raven, R.P. (2005), Strategic Niche Management for Biomass,
Eindhoven University of Technology, Eindhoven.
Reckien, D., Salvia, M., Heidrich, O., Church, J.M., Pietrapertosa, F.,
De Gregorio-Hurtado, S., D’Alonzo, V., Foley, A., Simoes, S.G.,
Krkoška, E., Lorencová, Orru, H., Orru, K., Wejs, A., Flacke, J.,
Olazabal, M., Geneletti, D., Feliu, E., Vasilie, S., Nador, C.,
Krook-Riekkola, A., Matosović, M., Fokaides, P.A., Ioannou,
B.I., Flamos, A., Spyridaki, N.-A., Balzan, M. V., Fülöp, O.,
Paspaldzhiev, I., Grafakos, S. & Dawson, R. (2018), “How are
cities planning to respond to climate change? Assessment of
local climate plans from 885 cities in the EU-28”, Jurnal of
Cleaner Production, Vol. 191, pp. 207–219.
Roger, C., Hale, T. & Andonova, L. (2017), “The comparative
politics of transnational climate governance”, International
Interactions, Routledge, Vol. 43 No. 1, pp. 1–25.
Roppongi, H., Suwa, A. & Puppim de Oliveira, J.A. (2017),
“Innovating in sub-national climate policy: the mandatory
emissions reduction scheme in Tokyo”, Climate Policy, Taylor
& Francis, Vol. 17 No. 4, pp. 516–532.
Schindler, S. & Kanai, J.M. (2018), “Producing localized commodity
frontiers at the end of cheap nature: An analysis of eco-scalar
carbon fixes and their consequences”, International Journal of
Urban and Regional Research, John Wiley & Sons, Ltd, Vol. 42
No. 5, pp. 828–844.
Sharifi, A., Chelleri, L., Fox-Lent, C., Grafakos, S., Pathak, M.,
Olazabal, M., Moloney, S., Yumagulova, L. & Yamagata, Y.
(2017), “Conceptualizing dimensions and characteristics of
urban resilience: Insights from a co-design process”,
Sustainability.
Sharp, D. & Salter, R. (2017), “Direct impacts of an urban living lab
from the participants’ perspective: Livewell Yarra”,
Sustainability, tersedia di https://doi.org/10.3390/su9101699.
Shaw, A., Burch, S., Kristensen, F., Robinson, J. & Dale, A. (2014),
“Accelerating the sustainability transition: Exploring synergies
between adaptation and mitigation in British Columbian
communities”, Global Environmental Change, Vol. 25, pp. 41–
51.
Sperling, D. & Eggert, A. (2014), “California’s climate and energy
policy for transportation”, Energy Strategy Reviews, Vol. 5, pp.
88–94.
Terrapon-Pfaff, J., Ortiz, W., Dienst, C. & Gröne, M.-C. (2018),
“Energising the WEF nexus to enhance sustainable

82 | KONSEP
development at local level”, Journal of Environmental
Management, Vol. 223, pp. 409–416.
Tyfield, D. (2014), “Putting the power in ‘Socio-Technical Regimes’
– E-mobility transition in China as political process”,
Mobilities, Routledge, Vol. 9 No. 4, pp. 585–603.
UNFCCC. (2015), “Report of the Conference of the Parties on its
Twenty-First Session, Held in Paris from 30 November to 13
December 2015 and Action Taken by the Conference of the
Parties at its Twenty-First Session”.
Ürge-Vorsatz, D., Rosenzweig, C., Dawson, R.J., Rodriguez, R.S.,
Bai, X., Barau, A.S., Seto, K.C. & Dhakal, S. (2018), “Locking in
positive climate responses in cities”, Nature Climate Change,
Vol. 8, pp. 174–177.
Valente de Macedo, L., Setzer, J. & Rei, F. (2016), “Transnational
action fostering climate protection in the city of São Paulo and
Beyond”, DisP - The Planning Review, Routledge, Vol. 52 No.
2, pp. 35–44.
Weikle, B. (2019), “Canada and California sign deal to cut vehicle
emissions”, CBC News.
Widerberg, O. & Pattberg, P. (2015), “International cooperative
initiatives in global climate governance: Raising the ambition
level or delegitimizing the UNFCCC?”, Global Policy, John
Wiley & Sons, Ltd, Vol. 6 No. 1, pp. 45–56.
Wolfram, M. & Frantzeskaki, N. (2016), “Cities and systemic change
for sustainability: Prevailing epistemologies and an emerging
research agenda”, Sustainability, Vol. 8 No. 2, p. 144.
Zhang, J. & Li, F. (2017), “Energy consumption and low carbon
development strategies of three global cities in Asian
developing countries”, Journal of Renewable and Sustainable
Energy, American Institute of Physics, Vol. 9 No. 2, p. 21402.
Zhao, G., Guerrero, J.M., Jiang, K. & Chen, S. (2017), “Energy
modelling towards low carbon development of Beijing in
2030”, Energy, Vol. 121, pp. 107–113.
Zhou, D., Xiao, J., Bonafoni, S., Berger, C., Deilami, K., Zhou, Y.,
Frolking, S., Yao, R., Qiao, Z. & Sobrino, J. (2018), “Satellite
remote sensing of surface urban heat islands: Progress,
challenges, and perspectives”, Remote Sensing,
Multidisciplinary Digital Publishing Institute, Vol. 11 No. 1, p.
48.

| 83
BAB 5
KIPRAH KOTA SEMARANG DALAM JEJARING KOTA
YANG MEMILIKI KETAHANAN TERHADAP
PERUBAHAN IKLIM DI ASIA (ACCCRN – ASIAN CITIES
CLIMATE CHANGE RESILIENCE NETWORK)
BINTANG SEPTIARANI

Pendahuluan
Perubahan iklim merupakan fenomena yang ditandai dengan
terjadinya kenaikkan suhu global, pola cuaca yang berubah-ubah,
cuaca ekstrim, dan perubahan intensitas curah hujan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa perubahan iklim telah membawa masalah baru
bagi banyak kota di dunia, termasuk Kota Semarang. Salah satu
fenomena perubahan iklim di Kota Semarang adalah meningkatnya
intensitas curah hujan. Sebagai salah satu kota pesisir terbesar di
sepanjang pantai utara Pulau Jawa, Kota Semarang menghadapi
ancaman dampak perubahan iklim seperti bencana banjir dan tanah
longsor.

Bagi warga Kota Semarang, Tahun 1990 tercatat dalam sejarah


sebagai bencana banjir terbesar dari subsistem drainase Kanal Barat.
Kejadian tersebut menyebabkan 47 korban jiwa dan kerusakan
infrastruktur yang cukup signifikan. Selain bencana banjir, wilayah
pesisir di Semarang Utara bergelut dengan banjir rob dan penurunan
muka tanah akibat kenaikan permukaan laut dan pengambilan air
tanah (P5 Universitas Diponegoro, 2012). Di sisi lain, sebagai ibu kota
provinsi, Kota Semarang juga memegang peranan penting dalam
pembangunan ekonomi di wilayah Jawa Tengah. Letaknya yang
strategis juga membuat Kota Semarang menghadapi urbanisasi yang
cukup masif, yang perlu diantisipasi sebagai tantangan

| 87
pembangunan seiring dengan fenomena perubahan iklim yang
terjadi (Handayani et al., 2020).

Isu dan inisiatif terkait perubahan iklim mulai muncul di Kota


Semarang pada tahun 2009 dengan adanya Asian Cities Climate
Change Resilience Network (ACCCRN) yang diinisiasi oleh Rockefeller
Foundation. ACCCRN adalah program inovatif yang membantu kota-
kota menengah di Asia Selatan dan Tenggara dalam membangun
ketahanan terhadap perubahan iklim. Beberapa Kota yang terlibat
dalam ACCCRN antara lain Da Nang, Can Tho dan Quy Nhon di
Vietnam; Gorakhpur, Surat dan Indore in India; Bandar Lampung;
dan Semarang di Indonesia; serta Chiang Rai dan Hat Yai di
Thailand. Pada implementasinya, ACCCRN bermitra dengan
Lembaga non pemerintah di negara masing-masing. Dalam hal ini,
di Indonesia ACCCRN bermitra dengan Mercycorps Indonesia
sebagai fasilitator pelaksanaan program di Semarang dan Bandar
Lampung.

Terpilihnya Kota Semarang dalam program ACCCRN menjadi titik


balik kota dalam memandang fenomena dampak perubahan iklim
yang muncul. Nama Kota Semarang muncul dari kolaborasi
Mercycorps Indonesia dengan Urban and Regional Developmen
Institute – Lembaga Komunikasi Pengembangan Perkotaan Daerah
(URDI) dalam merespon panggilan proposal dari Rockefeller
Foundation untuk program ACCCRN. Setidaknya terdapat 10
kandidat kota di Indonesia yang awalnya menjadi calon kota terpilih.
Namun setelah serangkaian penilaian dengan berbagai kriteria yang
salah satunya adalah kota terpilih haruslah kota yang tidak terlalu
besar, Kota Semarang muncul sebagai kota yang dipilih untuk
program tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk mengangkat praktik
baik yang dilakukan ACCCRN di Kota Semarang serta
mendokumentasikan pembelajaran dari praktik tersebut.

88 | PRAKTIK
Pelaksanaan Program ACCCRN di Kota Semarang

Sebagai pelaksana di Indonesia, Mercycorps Indonesia bermitra


dengan pemangku kepentingan kota dalam mengimplementasikan
program-program ACCCRN. Di Kota Semarang, keterlibatan
pemangku kepentingan sangat berperan dalam kesuksesan program
tersebut. Pemangku kepentingan terlibat dari proses awal inisiasi
program hingga implementasi. Setidaknya terdapat tiga fase
pelaksanaan program ACCCRN di Kota Semarang (lihat Gambar 1),
antara lain:

(a) Fase 1: Pemilihan kota dan ruang lingkup. Dalam fase ini, Kota
Semarang dipilih karena lokasinya yang strategis dan rentan
terhadap ancaman perubahan iklim.

(b) Fase 2: Pelibatan. Fase pelibatan merupakan fase di mana


pemangku kepentingan mulai dipetakan dan berbagi peran
dalam pelaksanaan program. Dalam fase ini juga disusun
strategi ketahanan kota terhadap perubahan iklim (CRS).

(c) Fase 3: Implementasi. Implementasi merupakan fase


pelaksanaan di mana program dilaksanakan berdasarkan
kebutuhan dari masing-masing kota. Pada fase ini, Kota
Semarang melaksanakan empat program pilot berdasarkan
hasil CRS.

Gambar 1. Timeline Program ACCCRN di Kota Semarang

| 89
Dengan terpilihnya Kota Semarang dalam program ACCCRN pada
tahun 2009, kajian penilaian kerentanan kota terhadap perubahan
iklim (Vulnerability Assessment – VA) dan penilaian indeks ketahanan
kota (IKK) dilakukan pada tahun 2010. Kehadiran dokumen VA dan
IKK menjadi titik awal Kota Semarang untuk dapat berkontribusi
dalam penanganan isu-isu perubahan iklim. Dalam VA dan IKK
disebutkan bahwa risiko terbesar Kota Semarang terhadap
perubahan iklim adalah banjir dan kekeringan (ISET et al., 2010). Dari
kajian tersebut, muncul dokumen City Resilience Strategy (CRS) atau
strategi ketahanan kota sebagai dasar munculnya beberapa program
lanjutan terkait adaptasi perubahan iklim di Kota Semarang hingga
tahun 2016. Secara praktis, dokumen CRS juga dapat dilihat sebagai
peta jalan untuk mempersiapkan kota dalam menghadapi skenario
terburuk yang mungkin timbul akibat perubahan iklim.

Mengacu pada Strategi Ketahanan Kota (ACCCRN, 2010), terdapat


klasifikasi kawasan rawan di Kota Semarang, antara lain (1) kawasan
dataran rendah yang dapat tergenang banjir, (2) permukiman di
sepanjang bantaran sungai, (3) kawasan permukiman yang terletak
jauh dari sumber air bersih. Terdapat 66 kelurahan yang tersebar di
12 kecamatan rawan banjir. Banjir ini tidak hanya terjadi di wilayah
pesisir seperti Kecamatan Tugu, tetapi juga di Kecamatan Ngaliyan
yang berada di daerah perbukitan, di sepanjang sungai besar yang
mudah meluap saat musim hujan.

Pada musim kemarau, jumlah hari hujan semakin berkurang.


Kondisi ini mengakibatkan kekeringan di 29 kelurahan yang berada
di 8 kecamatan. Seperti halnya banjir, kawasan rawan kekeringan
tidak hanya tersebar di kawasan perbukitan, tetapi juga di kawasan
pesisir. CRS mengindikasikan beberapa strategi yang dapat diambil
Kota Semarang dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Dalam
hal ini, beberapa program yang diusulkan berdasarkan CRS untuk
program ACCCRN selanjutnya antara lain adalah program
pemanenan air hujan (Rain Water Harvesting), program peringatan

90 | PRAKTIK
dini banjir (Flood Early Warning System - FEWS), program restorasi
pesisir (Mangrove), dan program peringatan dini demam berdarah
(Actions Changing the Incidence of Vector-Borne Endemic Diseases -
ACTIVED).

1) Program Pemanenan Air Hujan (Rain Water Harvesting)


Program pemanenan air hujan dilaksanakan pada tahun 2011
dengan durasi program selama satu tahun. Tujuan dari kegiatan ini
adalah untuk meningkatkan adaptasi masyarakat terhadap bencana
kekeringan yang mungkin terjadi selain itu, program ini sedikit
banyak berkontribusi pada pengurangan dampak tingginya curah
hujan di musim penghujan (dengan tampungan air hujan). Kegiatan
pengembangan sistem pemanenan air hujan dilakukan dengan
melakukan piloting dengan menjadi dua jenis sistem pemanenan
yaitu sistem individual dan komunal. Sistem pemanenan air hujan
individual dilaksanakan di Kelurahan Wonosari dilakukan di lima
rumah yang tidak memiliki sumber air bersih sendiri. Kegiatan
tersebut meliputi penyiapan dan pengelolaan masyarakat,
pembuatan sumur resapan dan keran air, perawatan talang, dan
pemasangan pipa.

Bersamaan dengan itu, kegiatan sistem panen hujan komunal di


Kelurahan Tandang (terletak di SDN 03 Tandang) terdiri dari
persiapan dan pengelolaan masyarakat, pemasangan bak
penampungan air, filter, pengolahan talang, pemasangan pipa, dan
penyaringan air. Kedua sistem dibangun dengan menyesuaikan
kebutuhan dari pengguna di mana sistem individual digunakan
untuk penggunaan rumah tangga dan sistem komunal digunakan
untuk memenuhi kebutuhan skala komunal yaitu di sekolah. Selain
melakukan pembangunan fisik, program Rain Water Harvesting juga
membuat sistem informasi pemanenan air hujan yang berfungsi
untuk memantau kondisi serta ketersediaan air hujan di Kota
Semarang (ACCCRN, 2010).

| 91
2) Program Peringatan Dini Banjir (FEWS)
Program peringatan dini banjir atau yang sering disebut dengan
FEWS di Kota Semarang berlangsung selama tahun 2012 – 2014.
Tujuan utama dari proyek ini adalah untuk mengurangi kerentanan,
cedera dan atau korban jiwa akibat bencana banjir dengan
memperkuat respon dan kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah
daerah melalui pengembangan sistem informasi banjir, sistem
peringatan dini, strategi evakuasi, dan identifikasi tempat
penampungan sementara untuk mereka yang paling terkena
dampak (masyarakat miskin dan rentan) dengan pertimbangan
skenario iklim di masa depan dan perubahan penggunaan lahan.

Sumber: Dokumentasi ACCCRN, 2014


Gambar 2. ARR - Automatic Rainfall Recorder, Salah Satu Instalasi
Penunjang FEWS

FEWS berfokus pada peningkatan kapasitas masyarakat dalam


menghadapi banjir di wilayahnya, oleh karena itu dalam program ini
dibentuk tujuh Kelompok Siaga Bencana (KSB) yang berada di tujuh
kelurahan terdampak banjir di Kecamatan Ngaliyan dan Kecamatan
Tugu. Tujuh KSB yang mencakup 12.280 rumah tangga atau 55.256

92 | PRAKTIK
jiwa diharapkan menjadi lebih tangguh dan siap menghadapi
bencana banjir bandang dengan memiliki sistem peringatan dini,
strategi evakuasi, dan hunian sementara. Selain tangguh dan siap
menghadapi banjir bandang, dua KSB di wilayah pesisir yang
mencakup 3.316 KK atau 11.757 jiwa juga bersiap menghadapi banjir
rob.

Selain peningkatan kapasitas masyarakat, program ini juga berupaya


untuk meningkatkan kapasitas instansi pemerintah daerah
khususnya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan
Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Semarang. Dinas PSDA
bertanggung jawab untuk mengoperasikan dan memelihara sistem
early warning system (EWS). BPBD bertanggung jawab untuk
memelihara dan meningkatkan kapasitas KSB melalui pelatihan,
sosialisasi, dan simulasi secara berkala. Harapannya, BPBD
kemudian dapat mereplikasi ke daerah lain sebagai bagian dari
program BPBD. Di sisi infrastruktur EWS, program ini juga
membangun sistem peringatan dini menggunakan sensor otomatis
yang dapat memberikan info curah hujan dan ketinggian muka air
sungai di Daerah Air Sungai (DAS) Bringin. Peralatan tersebut juga
termasuk ke dalam alat yang diserah terimakan kepada Kota
Semarang pasca program. Selama program dan setelahnya, sistem
tersebut dikelola oleh masyarakat dan terhubung dengan sistem
peringatan dini BPBD (ACCCRN, 2010).

3) Program Restorasi Pesisir (Mangrove)


Selain banjir dan kekeringan, program ACCCRN juga mengarah
kepada restorasi kawasan pesisir di tahun 2014 - 2016. Tujuan utama
dari program yang berlangsung selama tiga tahun ini adalah untuk
meningkatkan ketahanan iklim masyarakat rentan yang tinggal di
sepanjang pesisir Kota Semarang terutama di dua kecamatan pesisir
dengan memperkuat ekosistem mangrove dan kemampuan adaptasi
masyarakat pesisir. Tujuh kelurahan di dua kecamatan (Kecamatan
Tugu dan Genuk) yang ada di pesisir Kota Semarang ditunjuk

| 93
sebagai pilot program untuk kegiatan ini. Dalam program ini,
kelompok masyarakat pesisir diajarkan untuk mengembangakan
mata pencaharian alternatif di wilayah pesisir sehingga masyarakat
dapat lebih memiliki ketahanan apabila terjadi dampak perubahan
iklim seperti kenaikan muka air laut yang mengancam penghidupan
nelayan dan petani tambak di kawasan pesisir. Kelompok
masyarakat diberikan pelatihan ketrampilan serta pengolahan hasil
pesisir untuk meningkatkan nilai produk kawasan pesisir.

Selain pengembangan mata pencaharian alternatif, program


Mangrove ini juga meningkatkan kapasitas komunitas melalui
penyampaian informasi iklim dari sumbernya ke enam komunitas.
Selama tahun 2015, terdapat lima kelompok masyarakat yang dilatih
untuk memahami informasi iklim yang disampaikan. Informasi
iklim ini memberikan informasi bagi nelayan dan petani tambak
seperti informasi cuaca dan curah hujan harian. Dalam
pelaksanaannya, kelompok perempuan di Kelurahan Mangunharjo
dan Mangkang Wetan telah menggunakan informasi iklim untuk
memprediksi waktu pengolahan produk mereka: kerupuk udang
dan kerupuk ikan. Hal lain yang menjadi sorotan dalam program ini
adalah kegiatan restorasi mangrove dengan pelibatan kelompok
masyarakat juga menjadi fokus dalam program Mangrove tersebut
(ACCCRN, 2010).

4) Program Peringatan Dini Demam Berdarah (ACTIVED)


Pada tahun 2013 Kota Semarang certatat sebagai kota kedua di
Indonesia dengan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) tertinggi.
Dalam upaya mengurangi jumlah kasus dan korban akibat DBD,
program ACTIVED melalui pembangunan kapasitas masyarakat
dan sekolah di 6 kelurahan percontohan di 5 kecamatan. Program
yang berlangsung selama tahun 2014 – 2015 ini khususnya
dilaksanakan untuk memperkuat kemampuan masyarakat dan
pemerintah dalam pemantauan jentik di lingkungan mereka dan

94 | PRAKTIK
melaporkannya ke Dinas Kesehatan melalui Sistem Informasi dan
Peringatan Dini Kesehatan pada Dengue (HIS-HEWS). Masyarakat
diberikan pelatihan dalam pemantauan jentik di wilayahnya masing-
masing serta melakukan sosialisasi tentang bahaya DBD di Kota
Semarang. HIS-HEWS ini dikembangkan melalui program
ACTIVED yang kemudian ditindaklanjuti oleh Dinas Kesehatan kota
untuk memantau kasus DBD yang terjadi di Kota Semarang (IKUPI,
2016).

Aktor Pelaksana dalam Program ACCCRN


Program ACCCRN dilaksanakan dengan pendekatan piloting
(percontohan) yang artinya bahwa masing-masing program memilih
wilayah pelaksanaannya berdasarkan masing-masing kasus.
Pemilihan wilayah percontohan dilakukan berdasarkan assessment
yang dilakukan sebelumnya. Sebagai contoh, pada program FEWS,
ditentukan tujuh lokasi piloting yang penentuannya didasarkan
pada VA, IKK dan CRS. Hasil dari program-program tersebut, baik
fisik (infrastruktur, seperti sensor banjir, HIS-HEWS, modul
pelatihan) maupun non fisik seperti KSB diserahterimakan kepada
Kota Semarang (yang diwakili oleh dinas terkait) di akhir program.
Penggunaan program percontohan ini diharapkan dapat mendorong
pemangku kepentingan khususnya pemerintah kota untuk
melakukan replikasi maupun scaling up di wilayah lain di Kota
Semarang dan menciptakan efek lebih luas dalam meningkatkan
ketahanan kota terhadap perubahan iklim.

Setidaknya terdapat dua unsur penting dalam organisasi


pelaksanaan program ACCCRN (lihat Gambar 3). ACCCRN
mendorong terbentuknya Pokja Perubahan Iklim yang kemudian
disahkan melalui SK Walikota. Pokja tersebut bertanggungjawab
dalam implementasi program-program ACCCRN di fase ketiga.
Pokja yang kemudian disebut sebagai Tim Kota terdiri dari individu
perwakilan dari unsur pemerintah (dinas-dinas terkait), perwakilan

| 95
dari non-government organization (NGO) serta akademisi. Tim Kota
kemudian bertanggungjawab terhadap berjalannya program
ACCCRN berdasarkan hasil CRS yang telah disusun. Untuk
pelaksanaan program, masing-masing program dalam ACCCRN
dilaksanakan oleh Project Implementation Unit (PIU). Biasanya suatu
program hanya ditangani oleh satu lembaga saja, tetapi dalam
program-program ACCCRN, banyak tahapan dan lembaga
pelaksana dengan keahlian yang berbeda-beda tergabung dan
dikelola di bawah PIU.

Gambar 3. Organisasi Pelaksanaan Program ACCCRN di Kota Semarang

PIU merupakan unit yang bertanggungjawab secara teknis terhadap


pelaksanaan program masing-masing. PIU sendiri terdiri dari Tim
Kota, manajer program, tim teknis pelaksana, serta tim monitoring
dan evaluasi. Unsur pemangku kepentingan yang ada alam PIU pun
beragam dari dinas teknis di pemerintahan hingga akademisi dan
NGO. Manajer program bertugas dalam melakukan koordinasi ke
seluruh pemangku kepentingan. Sedangkan tim teknis merupakan
pelaksana teknis dari kegiatan yang ada dalam program di mana
keseluruhan program dipantau dan di evaluasi oleh tim monitoring
dan evaluasi.

PIU merencanakan dan melaksanakan program masing-masing serta


bertanggungjawab dalam proses pelaporan kepada Tim Kota dan
pemberi donor. Tidak mudah dalam melakukan koordinasi dengan

96 | PRAKTIK
berbagai pemangku kepentingan dalam satu tim, namun hal tersebut
juga menjadi pelajaran berharga bagi masing-masing instansi
pelaksana dalam PIU. Konsep pembentukan Tim Kota yang muncul
pada era ACCCRN tersebut menjadi cikal bakal munculnya Chief
Resilience Officer (CRO) yang dibentuk melalui program 100RC (100
Resilient Cities). Individu yang berada dalam Tim Kota, kemudian
menjadi bagian dalam kelompok kerja ketahanan kota yang
bekerjasama sebagai Tim CRO untuk melaksanakan program-
program terkait peningkatan ketahanan Kota Semarang bukan
hanya di perubahan iklim namun ketahanan kota secara
keseluruhan.

Program ACCCRN sebagai Pemantik Semangat dalam


Meningkatkan Ketahanan di Kota Semarang
Meskipun infrastruktur penting untuk dibangun, kita tidak bisa
begitu saja mengandalkan mitigasi melalui pembangunan-
pembangunan infrastruktur untuk mencegah dampak perubahan
iklim. Kegagalan infrastruktur teknologi dan perubahan ekstrim
alam dapat terjadi dan menambah risiko dan dampak banjir
(misalnya waduk atau tanggul yang bocor, curah hujan yang ekstrim
sehingga tanggul tidak mampu menampung debit air) sehingga
pendekatan yang bersifat non-struktural (peningkatan kapasitas
masyarakat dan pemangku kepentingan) juga dibutuhkan untuk
mengurangi kerugian dan kerusakan akibat bencana yang di
timbulkan sebagai dampak perubahan iklim (Septiarani &
Handayani, 2020).

Program ACCCRN sepertinya mengantarkan Kota Semarang


menjadi salah satu kota yang mendapatkan pengakuan sebagai salah
satu percontohan adaptasi perubahan iklim nasional pada tahun
2014 di mana Kota Semarang mampu mengurangi risiko kerugian
bukan hanya dari pembangunan aspek fisik namun dari peningkatan
aspek non fisik (kelembagaan dan kapasitas masyarakat). Selain itu,

| 97
pembelajaran dari program-program ACCCRN pun juga
mendorong munculnya beberapa program lanjutan terkait
peningkatan ketahanan Kota Semarang. Terdapat beberapa
pembelajaran kunci terkait pelaksanaan program ACCCRN di Kota
Semarang, yaitu promosi pendekatan preventif, Kelembagaan dalam
ketahanan perubahan iklim, serta peluang munculnya program lain
untuk peningkatan ketahanan.

Proyek Percontohan sebagai Praktik Baik dan Tantangan


Program ACCCRN
Pendekatan berbasis pilot project (proyek percontohan) yang
dilaksanakan oleh ACCCRN mempromosikan tindakan preventif
dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Proses adaptasi
masyarakat didorong agar masyarakat memiliki kemampuan untuk
mengelola risiko yang mereka hadapi. Program-program ACCCRN
mendemonstrasikan pendekatan yang lebih preventif dengan
peningkatan kapasitas masyarakat yang kemudian menjadi salah
satu keunggulan dari program pilot yang dilaksanakan ACCCRN.
Pendekatan proyek percontohan tersebut lebih fokus pada
peningkatan kapasitas lokal sehingga masyarakat lebih berdaya
dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Terbukti dari
keterlibatan aktif dari anggota KSB yang terbentuk melalui program
FEWS yang hingga kini masih berkibrah dalam penanggulangan
banjir di Kota Semarang khususnya di wilayah mereka masing-
masing.

Di sisi lain, program dengan proyek percontohan juga menjadi


tantangan tersendiri bagi keberlanjutannya. Praktik-praktik tersebut
tentunya akan dapat di replikasi dan di scaling up apabila kebijakan
terkait perubahan iklim telah masuk sebagai bagian dari rencana
daerah (masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah -
RPJM). Hanya saja, hingga program ACCCRN berakhir,
pengarusutamaan kebijakan terkait perubahan iklim masih menjadi

98 | PRAKTIK
pekerjaan rumah besar sehingga keberlanjutan dari pengelolaan
proyek percontohan tersebut masih bergantung pada Tim Kota dan
kepedulian masyarakat. Sebagai contoh keberlanjutan pengelolaan
alat dalam program FEWS. Meskipun peralatan tersebut telah
diserahterimakan ke Kota Semarang, hal tersebut belum bisa
menjamin keberlajutan perawatan alat tersebut di masa yang akan
datang.

Penguatan Kelembagaan dalam Ketahanan Perubahan Iklim


Program ACCCRN mendorong munculnya kelembagaan baru yang
berfokus untuk mengatasi dampak perubahan iklim di Kota
Semarang. Tim Kota yang menjadi tonggak pelaksanaan program-
program ACCCRN dapat menjadi contoh praktik baik pentingnya
kelembagaan dalam peningkatan ketahanan terhadap perubahan
iklim. Keberhasilan program-program tersebut tidak terlepas dari
keterlibatan Tim Kota dalam setiap program yang dilaksanakan.
Keragaman unsur dalam Tim Kota juga memudahkan terlaksananya
program-program tersebut. Keterlibatan individu dalam Tim Kota
dapat menjadi contoh baik maupun tantangan bagi keberlanjutan
pengarusutamaan peningkatan ketahanan terhadap perubahan
iklim di Kota Semarang.

Tim Kota merupakan individu yang mewakili instansi di mana dia


bekerja. Bagi unsur pemerintah, hal ini tentu menjadi tantangan
karena kecenderungan organisasi perangkat daerah (OPD) di
Indonesia yang seringkali melakukan rotasi terhadap personel
mereka sehingga keterlibatan personel dari unsur pemerintah dalam
program seringkali berubah berdasarkan rotasi tersebut. Meskipun
kelembagaan telah dibentuk, hal ini perlu diantisipasi untuk
menjaga keberlanjutan Tim Kota dan program-program ACCCRN
yang telah terlaksana. Dalam hal ini, mekanisme kelembagaan dan
keterlibatan pemangku kepentingan lainnya dalam upaya
peningkatan ketahanan kota hanya akan berjalan jika ada

| 99
peningkatan kapasitas kelembagaan secara berkelanjutan di instansi
pemerintah daerah yang bertanggung jawab dalam menangani isu
ketahanan. Bukan hanya individu yang tergabung dalam Tim Kota
melainkan kapasitas institusi sehingga pergantian personel tidak
akan banyak berpengaruh.

Peluang Munculnya Program Lain


Peran aktif Tim Kota dan keberhasilan program-program ACCCRN
telah menjadikan Kota Semarang lebih dikenal sebagai kota yang
bertumbuh dalam hal peningkatan ketahanan mereka khususnya
terhadap dampak perubahan iklim. Hal ini juga mendorong
munculnya banyak program lain di Kota Semarang dalam upaya
meningkatkan ketahanan kota. Penyusunan CRS juga dipandang
sebagai suatu produk kunci yang menjadi salah satu roadmap Kota
Semarang dalam meningkatkan ketahanan Kota. Sebagai contoh,
terkait dengan peningkatan ketahanan, Semarang juga tergabung
dalam program 100RC di mana program tersebut memilih Kota
Semarang sebagai satu-satunya kota di Indonesia (pada saat itu)
yang turut berpartisipasi.

Penutup
Tidak dapat dipungkiri bahwa dampak perubahan iklim memang
nyata terjadi di Kota Semarang dan memengaruhi aktivitas
masyarakat. Sebagai sebuah kota dengan aktivitas masyarakat yang
beragam, tentunya Kota Semarang membutuhkan upaya nyata agar
dampak tersebut tidak banyak berpengaruh pada sistem perkotaan.
Upaya ACCCRN dalam menjebatani perubahan paradigma bencana
dalam lensa perubahan iklim serta pendekatan piloting yang
dilakukan telah mengantarkan Kota Semarang menjadi salah satu
kota di Indonesia yang terus bergerak meningkatkan ketahanan
kotanya.

100 | PRAKTIK
Perlu digarisbawahi, bahwa upaya-upaya yang dilakukan dalam
program ACCCRN bukanlah yang terbaik dari semua program
peningkatan ketahanan kota. Namun program tersebut telah mampu
memantik munculnya pendekatan berbasis peningkatan ketahanan.
Proyek percontohan yang ditinggalkan oleh program ini menjadi
milik masyarakat dan Kota Semarang. Selain itu, program ACCCRN
juga telah berhasil membuka akses pendanaan terhadap program
lain yang serupa (Setiadi, 2016). Langkah-langkah adaptasi
perubahan iklim yang dilakukan dalam program ACCCRN di Kota
Semarang telah membuat kota ini menjadi lebih mengenal dan
dikenal dalam konteks peningkatan ketahanan di Indonesia salah
satunya terkait perubahan iklim.

Daftar Pustaka
ACCCRN. (2010), City Resilience Strategy: Semarang Adaptation
Plan in Responding to Climate Change, diambil dari
https://www.acccrn.net/resources/city-resilience-strategy-
semarangs-adaptation-plan-responding-climate-change
Handayani, W., Setiadi, R., Septiarani, B., & Lewis, L. (2020),
Metropolitan Semarang: Clustering and Connecting Locally
Championed Metropolitan Solutions. Greater Than Parts Case
Study; No. 8. World Bank, Washington, DC, diambil dari
https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/34828
IKUPI. (2016), Dokumen ACTIVED (Action Changing the Incidence
of Vector-Borne Endemic Disease), diambil dari
http://ikupi.org/1869-2/
ISET, ACCCRN, Mercy Corps, Urban and Regional Development
Institute, & CCROM Southeast Asia and Pacific. (2010),
Vulnerability and adaptation assessment to climate change in
Semarang City: Final report, diambil dari
http://www.acccrn.org/sites/default/files/documents/ACC
CRN_smrg_ENG_26APRIL2010_0.pdf
P5 Universitas Diponegoro. (2012), Final Report Rainwater Harvesting
Semarang. pp. 1–45. Universitas Diponegoro. Semarang.
Septiarani, B., & Handayani, W. (2020), Community Group
Networking on the Community-based Adaptation Measure in
Tapak Village, Semarang Coastal Area. Indonesian Journal of
Geography, Vol. 52 No. 2, pp. 181–189.

| 101
Setiadi, R. (2016), Tata Kelola Perubahan Iklim Di Kota Semarang :
Dulu, Sekarang, dan Ke Depan. Riptek, Vol. 10 No. 1, pp. 33–42,
diambil dari
https://bappeda.semarangkota.go.id/packages/upload/kcfin
der/upload/files/3. Tata Kelola Perubahan Iklim_Rukuh.pdf

102 | PRAKTIK
BAB 6
PERAN INSTITUSI NON-PEMERINTAH DALAM
PENINGKATAN KETAHANAN BANJIR
Refleksi IKUPI dalam Program Zurich dan TRANSFORM di Kota
dan Kabupaten Semarang
MEGA ANGGRAENI DAN RIZKIANA SIDQIYATUL HANDANI

Pendahuluan
Ketahanan masyarakat Kota Semarang terhadap banjir menjadi
sebuah keharusan. Beberapa wilayah di Ibukota Provinsi Jawa
Tengah ini masih menjadi daerah rawan banjir, baik tidal1 maupun
fluvial2. Di satu sisi, pemerintah berkewajiban untuk memberikan
ketenteraman dan keamanan bagi warganya atas keterpaparan
terhadap bencana. Di sisi lain, masyarakat juga memiliki potensi
untuk menjadi berdaya menghadapi ancaman bencana. Aksi dan
proses kolaboratif dengan pelibatan lebih banyak stakeholder non-
pemerintah terus didorong guna mengoptimalkan upaya
membangun ketahanan masyarakat terhadap bencana. Upaya-upaya
dari bawah, grass root, dalam menciptakan ketahanan kota tidak
dapat dipandang sebelah mata. Partisipasi grass root membuat upaya
membangun ketahanan menjadi lebih efektif seiring dengan proses
perencanaan yang partisipatif dan lebih kontekstual dengan kondisi
empiris yang terjadi di lapangan.

Salah satu institusi lokal non-pemerintah yang telah terlibat dalam


upaya membangun ketahanan masyarakat terhadap banjir di Kota
dan Kabupaten Semarang adalah Inisiatif Kota untuk Perubahan
Iklim (IKUPI). IKUPI merupakan institusi lokal di Kota Semarang

1 Banjir akibat gelombang air laut


2
Banjir akibat daya tampung saluran air tawar perkotaan (sungai, drainase, dsb) terlampaui

| 103
yang pada tahun 2016- 2017 bersama dengan masyarakat berupaya
untuk membangun ketahanannya terhadap banjir melalui Zurich
Flood Resilience Program (selanjutnya disebut Program Zurich). Bukan
berjalan sendiri, upaya ini dilakukan melalui kolaborasi oleh
berbagai pihak. Selain mendapatkan dukungan dari Zurich
Foundation, IKUPI juga bekerja sama dengan Mercy Corps Indonesia,
Initiative for Regional Development and Environmental Management
(IRDEM), serta Kolektif Hysteria dalam mengimplementasikan
Program Zurich. Program ini mengambil fokus di wilayah hilir
Daerah Aliran Sungai (DAS) Garang yakni di sepanjang Kanal Banjir
Barat Kota Semarang. Upaya untuk membangun ketahanan bencana
di wilayah hilir DAS Garang di Kota Semarang tidak dapat terlepas
dari pegelolaan di daerah hulu yakni Kabupaten Semarang.
Tingginya debit air sungai terutama pada musim penghujan yang
diperparah dengan penyempitan jalan air dan sedimentasi
mengakibatkan berkurangnya kapasitas daya tampung DAS Garang.
Hingga pada akhir tahun 2017-2018, IKUPI kembali berkolaboarsi
dengan Mercy Corps Indonesia, Ecometrix Solutions Group (ESG),
AtmaConnect, dan IRDEM di dalam program TRANSFORM
(Manajemen Risiko Banjir Antar Wilayah Melalui Tata Kelola dan
Inovasi Teknologi Informasi). Program TRANSFORM dilaksanakan
di wilayah Sungai Garang, yang berada dalam wilayah administratif
Kota dan Kabupaten Semarang yang bertujuan untuk mengurangi
kerugian serta kerusakan yang disebabkan oleh banjir.

Pendekatan bottom-up dalam Program Zurich dan TRANSFORM


dilakukan melalui peningkatan kapasitas, perencanaan partisipatif,
dan penyediaan fasilitas pendukung skala lokal. Budaya gotong
royong yang sudah melekat di masyarakat diarahkan untuk
membentuk ketahanan di skala komunitas. Sementara itu,
pendekatan top-down juga di refleksikan melalui kebijakan di tingkat
nasional. Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) mendorong upaya peningkatan ketahanan
masyarakat melalui program Kelurahan/Desa Tangguh Bencana
(Katana/Destana). Bergerak di ranah ini menjadi unik karena IKUPI

104 | PRAKTIK
harus bisa memposisikan diri pada titik terbaik antara spektrum top-
down dan bottom-up. Pada Program Zurich dan TRANSFORM, IKUPI
sebagai sebuah organisasi tidak terlepas dari upaya pengembangan
kolaborasi dengan pemerintah lokal yang cenderung menganut
kebijakan dari atas ke bawah. Sedangkan bergerak bersama
masyarakat berarti dapat menjadi bagian dari mereka, merasakan
dengan betul permasalahan yang dihadapi, dan mampu
membentuknya sebagai alat advokasi untuk disampaikan kepada
pemangku kepentingan, pendekatan yang sangat bottom up.
Kombinasi antar kedua pendekatan ini secara teoritik
direkomendasikan oleh Drosou et al. (2019) karena manfaat yang
didapatkan tidak hanya untuk lingkungan perkotaan yang lebih
tangguh, tapi juga memberikan kesempatan kepada penduduk
untuk bertumbuh, beradaptasi, dan menjadi lebih siap dalam
menghadapi ketidakpastian lingkungan.

Artikel ini dimaksudkan untuk merefleksikan upaya-upaya


peningkatan ketahanan kota dan juga masyarakat terhadap banjir,
khususnya yang telah diimplementasikan oleh IKUPI. Bagaimana
peran dan pengalaman IKUPI dalam upaya membangun ketahanan
masyarakat, sejauh mana efektivitasnya dalam membangkitkan
ketahanan serta seperti apa strategi partisipatif yang dapat menjadi
inspirasi bagi upaya-upaya sejenis. Kontribusi lewat tulisan ini
diharapkan dapat mendesiminasikan pembelajaran dari lapangan
kepada kalangan akademisi, peneliti, maupun pemangku
kepentingan yang berkesempatan menjadi penggerak dalam
membangkitkan kekuatan dari masyarakat.

Peran IKUPI dalam Program Zurich dan TRANSFORM


Implementasi Program Zurich dan TRANSFORM dilaksanakan
dengan proses kolaborasi dari para pemangku kepentingan baik dari
lembaga pemerintah maupun non-pemerintah. IKUPI berperan
untuk melakukan komunikasi dan koordinasi dengan para

| 105
pemangku kepentingan dari level masyarakat, kelurahan, hingga
pemerintah daerah di Kota, Kabupaten Semarang dan Provinsi Jawa
Tengah. Sebagai upaya untuk mendukung program yang
dilaksanakan pemerintah, IKUPI dalam Program Zurich (tahun
2016-2017) dan TRANSFORM (akhir 2017-2018) bergerak di ranah
pemberdayaan dan optimalisasi peran masyarakat.

Program yang pertama, Zurich, dilaksanakan di Kota Semarang,


mencakup 16 kelurahan di sepanjang Kanal Banjir Barat (KBB).
Becermin pada kejadian banjir bandang tahun 1990 dan 1993 yang
menelan puluhan korban jiwa serta mengakibatkan kerugian
materiil, program ini mengajak masyarakat untuk bersama-sama
meningkatkan kesiapsiagaan dan mengurangi risiko terhadap banjir
di kemudian hari. Pasca kejadian tahun 1993, beberapa upaya untuk
manajemen risiko banjir telah dilaksanakan oleh pemerintah pusat
maupun daerah. Upaya untuk meningkatkan penyimpanan dan
mengurangi limpasan air dilakukan dengan pembangunan Dam
Jatibarang serta normalisasi sungai untuk meningkatkan daya
tampung air perkotaan. Pengerukan sedimen pada badan-badan air
juga dilaksanakan secara berkala untuk mengoptimalkan kapasitas.
Guna mendukung program yang telah dilaksanakan pemerintah,
pemberdayaan dan penguatan kapasitas masyarakat menjadi
penting untuk mewujudkan ketahanan wilayah terhadap banjir.

Pada tahap awal implementasi program, IKUPI memfasilitasi


masyarakat untuk mampu menemukenali permasalahan, potensi,
dan solusi pengurangan risiko banjir di wilayahnya. Hasil dari
proses ini dituangkan ke dalam dokumen pengurangan risiko
bencana berbasis komunitas (Community-Based Disaster Risk
Management - CBDRM). Hasil dari perumusan dokumen CBDRM
adalah inisitif dari masyarakat untuk meningkatkan ketahanannya
terhadap banjir. Pada tahap implementasi selanjutnya, IKUPI
memfasilitasi beberapa inisiatif dari masyarakat sebagai upaya
untuk meningkatkan kesiapsiagaan terhadap banjir. Beberapa aksi

106 | PRAKTIK
yang dilaksanakan di dalam program Zurich selanjutnya adalah
pembentukan Kelompok Siaga Bencana (KSB) dan Forum
Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Kelurahan, penyusunan
rencana kontijensi banjir, pelatihan kesiapsiagaan bencana, dan
peningkatan layanan persampahan.

Berangkat dari permasalahan banjir yang ada di hilir DAS Garang,


dapat diidentifikasi bahwa permasalahan yang ada di Kota
Semarang tidak terlepas dari kondisi di hulu atau Kabupaten
Semarang. Sehingga pada akhir tahun 2017-2018, Mercy Corps
Indonesia kembali menggandeng IKUPI untuk terlibat di dalam
program TRANSFORM. Program ini berfokus pada manajemen
risiko banjir antar wilayah (Kota dan Kabupaten Semarang) melalui
tata kelola dan inovasi teknologi informasi. Tidak jauh berbeda
dengan proses yang dilaksanakan pada Program Zurich
sebelumnya, IKUPI terlibat dalam proses perumusan dokumen
CBDRM, pembentukan FPRB kelurahan, fasilitasi penyediaan alur
komunikasi bencana, dan informasi nomor penting terkait bencana.
Target lokasi implementasi program TRANSFORM oleh IKUPI
merupakan lokasi yang rawan terhadap banjir berdasarkan hasil
penilaian yang telah dilakukan oleh IRDEM. Hasilnya, ada lima
kelurahan dan satu desa yang rawan banjir di Kabupaten Semarang,
yaitu: Kelurahan Bandarjo, Susukan, Kalirejo, Ungaran, Sidomulyo,
dan Desa Lerep. Berdasarkan pemetaan partisipatif yang dilakukan,
ternyata sampah juga menjadi pemicu banjir di wilayah tersebut.
Upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat adalah melalui
kegiatan sosialisasi kepada ibu-ibu PKK dan penyediaan papan
larangan membuang sampah sembarangan untuk titik pembuangan
sampah ilegal di saluran air.

Pada akhir program, IKUPI memfasilitasi kegiatan lokakarya


kesiapsiagaan bencana banjir dan longsor yang diikuti oleh seluruh
perwakilan kelurahan yang ada di sepanjang DAS Garang baik dari
Kota maupun Kabupaten Semarang. Berbeda dengan pelaksanaan

| 107
lokakarya di dalam Program Zurich, sistem pelatihan dalam
program TRANSFORM dilaksanakan dengan menggandeng BPBD
Provinsi Jawa Tengah serta melibatkan unit Layanan Inklusif
Disabilitas (LIDI) sebagai narasumber. Lebih jauh lagi, diharapkan
upaya pengurangan risiko bencana juga mulai mempertimbangkan
aspek-aspek inklusivitas. Gambar 1 menunjukkan kegiatan yang
dilaksanakan oleh IKUPI di dalam Program Zurich dan
TRANSFORM.

Sumber: IKUPI, 2018


Gambar 1. Kegiatan yang Dilaksanakan oleh IKUPI di dalam Program
Zurich dan TRANSFORM

Kegiatan dan peran IKUPI dalam implementasi Program Zurich dan


TRANSFORM secara garis besar adalah sama. IKUPI bekerja di
ranah antara pendekatan bottom-up dengan pelibatan aktif dan
mendorong inisiatif masyarakat serta pendekatan top-down dengan
mengimplementasikan program dari pemerintah terutama
pembentukan Katana/Destana. Dimulai dengan penyusunan
dokumen CBDRM yang merupakan tahap awal untuk identifikasi

108 | PRAKTIK
aksi berbasis masyarakat untuk mewujudkan ketahanan terhadap
banjir. Lebih lanjut, berikut merupakan gambaran mengenai masing-
masing kegiatan yang dilaksanakan oleh IKUPI di Program Zurich
dan TRANSFORM:

1) Penyusunan Dokumen Pengurangan Risiko Bencana


Berbasis Komunitas (Community-Based Disaster Risk
Management/CBDRM)
Penyusunan dokumen CBDRM merupakan tahap awal
implementasi Program Zurich dan TRANSFORM. IKUPI
memfasilitasi masyarakat untuk mampu menemukenali
permasalahan, potensi, dan solusi pengurangan risiko banjir di
wilayahnya. Di dalam prosesnya, IKUPI berkoordinasi aktif dengan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota dan
Kabupaten Semarang serta melibatkan perwakilan stakeholder di
masyarakat. Sekitar 10-15 orang perwakilan masyarakat di masing-
masing kelurahan terlibat aktif di dalam proses penyusunan
dokumen CBDRM.

Perumusan dokumen CBDRM merujuk pada kebijakan nasional


yaitu pembentukan Katana yang tertuang dalam Peraturan Kepala
(Perka) BNPB No. 1 Tahun 2012. Berdasarkan peraturan tersebut,
Katana dijelaskan sebagai kelurahan yang memiliki kemampuan
mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi potensi ancaman
bencana. Tidak hanya itu, Katana juga mampu untuk memulihkan
diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan. Terdapat
tiga indikator pembentukan Katana yang dapat diakomodasi dalam
dokumen CBDRM, yaitu: (1) kajian risiko bencana, (2) rencana
penanggulangan bencana, serta (3) rencana aksi komunitas. Aksi
tersebut dikembangkan dengan perencanaan dari tahap pra, saat,
dan pasca bencana. Gambar 2 menunjukkan proses pemetaan
partisipatif digunakan untuk mengajak masyarakat menemukenali
permasalahan yang ada di wilayahnya dan merumuskan aksi
penanggulangan bencana sejak tahap pra, saat, dan paska bencana.

| 109
Sumber: Dokumentasi IKUPI, 2017
Gambar 2. Proses Partisipatif dalam Perumusan Dokumen CBDRM

Hasil pemetaan masalah menjadi dasar dari perumusan rencana aksi


dalam dokumen CBDRM. Identifikasi aksi manajemen risiko
bencana yang diusulkan oleh masyarakat kemudian digunakan
sebagai usulan kegiatan yang selanjutnya diimplementasikan dalam
Program Zurich dan TRANSFORM. Kegiatan yang
diimplementasikan oleh IKUPI merupakan aktivitas yang bergerak
di ranah pengembangan kesiapsiagaan dan kapasitas masyarakat.
Sisanya merupakan kegiatan yang berada di ranah kewenangan
institusi terkait seperti BPBD, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas
Lingkungan Hidup, dan organisasi kesiapsiagaan bencana lainnya.

2) Pembentukan Kelompok Siaga Bencana (KSB) dan Forum


Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Kelurahan
Partisipasi aktif dan kerjasama dari semua pihak sangat dibutuhkan
dalam upaya manajemen risiko bencana. Di tingkat Kelurahan,
IKUPI memfasilitasi pembentukan FPRB dan KSB yang diresmikan
dengan surat keputusan lurah. FPRB menjadi wadah yang
menyatukan unsur-unsur kelompok pemangku kepentingan yang
berkemauan untuk mendukung upaya-upaya manajemen risiko
bencana. Forum ini menyediakan mekanisme koordinasi untuk

110 | PRAKTIK
meningkatkan kerjasama berbagai pemangku kepentingan dalam
keberlanjutan kegiatan-kegiatan manajemen risiko bencana melalui
proses yang konsultatif dan partisipatif (BNPB, 2012). KSB
didefinisikan sebagai kelompok yang menjadi pelopor atau
penggerak dalam kegiatan manajemen risiko bencana serta tim
reaksi cepat saat keadaan tanggap darurat.

3) Pelatihan Kesiapsiagaan Bencana Banjir di Dam Jatibarang


Salah satu faktor penting dalam efektivitas aksi pengurangan risiko
bencana dan upaya tindak lanjut dari pembentukan KSB adalah
peningkatan kapasitas sumber daya manusia. IKUPI bekerjasama
dengan BPBD Kota Semarang, Brimob Simongan, dan Palang Merah
Indonesia (PMI) untuk menginisiasi kegiatan pelatihan
kesiapsiagaan bencana dalam Program Zurich. Kegiatan tersebut
dilaksanakan di Dam Jatibarang pada 23-24 September 2017.

Kegiatan pelatihan peningkatan


kesiapsiagaan masyarakat
terhadap banjir dalam Program
Zurich. (Dari kiri atas) foto
praktik pelatihan penyelematan
korban banjir, praktik
pertolongan pertama bersama
PMI, dan praktik komunikasi
dalam kondisi darurat bersama
BPBD.

Sumber: Dokumentasi IKUPI, 2017


Gambar 3. Pelatihan Kesiapsiagaan Bencana Banjir di Dam Jatibarang

| 111
Kegiatan pelatihan kesiapsiagaan banjir diikuti oleh delapan KSB
(Kelurahan Kalipancur, Kelurahan Manyaran, Kelurahan Cabean,
Kelurahan Petompon, Kelurahan Bulustalan, Kelurahan Bulu Lor,
Kelurahan Panggung Lor, dan Kelurahan Krobokan) dan Kelompok
Perahu Wisata Sidomakmur. Pelatihan kesiapsiagaan bencana
penting sebagai bekal KSB untuk dapat melasanakan kegiatan
kesiapsiagaan awal sebelum bantuan dari stakeholder terkait tiba di
lokasi saat ada kejadian darurat. Program Zurich juga memfasilitasi
penyediaan peralatan dasar kesiapsiagaan bencana banjir berupa
jaket pelampung, senter, kotak P3K, peluit, serta rambu tanda jalur
evakuasi sebagai bagian dari upaya pertolongan pertama saat
keadaan darurat.

4) Penyusunan Dokumen Rencana Kontijensi (Renkon) Banjir


Banyaknya jumlah stakeholder yang terlibat dalam kesiapsiagaan dan
saat darurat bencana berdampak pada efektivitas aksi yang
dilaksanakan. Guna mengurangi kerugian akibat bencana, maka
perlu disusun sebuah dokumen perencanaan yang memuat skenario
keadaan darurat yang diperkirakan akan segera terjadi. Rencana dan
skenario tersebut dituangkan ke dalam dokumen rencana kontijensi
(renkon) banjir. Dokumen renkon ini pada dasarnya disusun untuk
masing-masing jenis bencana. Di dalamnya memuat informasi peran,
fungsi, alur komunikasi serta Standard Operation Procedure (SOP)
tanggap darurat. Dokumen ini menjadi bagian penting dalam upaya
manajemen risiko bencana karena dapat digunakan sebagai panduan
dan memuat informasi potensi serta sumber daya yang dimiliki oleh
masing-masing kelurahan saat darurat bencana.

5) Peningkatan Layanan Persampahan


Bencana tidak hanya tekait dengan kondisi tanggap darurat. Di
dalam konsep Katana/Destana, pemerintah mulai mendorong
perubahan paradigma manajemen risiko bencana yang
dilaksanakan. Dari yang sebelumnya hanya fokus pada penanganan
pasca bencana, menjadi lebih awal yakni sejak tahap pra bencana.

112 | PRAKTIK
Pada tahap awal dari Program Zurich dan TRANSFORM,
masyarakat diajak untuk menemukenali faktor yang dapat memicu
terjadinya banjir di wilayah mereka. Hasilnya, mayoritas masyarakat
menilai bahwa salah satu penyebab terjadinya banjir adalah sampah.
Terutama pembuangan sampah ilegal yang ada di saluran dan
sungai. Menindaklanjuti hasil pemetaan tersebut, program ini
kemudian memfasilitasi beberapa inisiatif terkait upaya peningkatan
layanan persampahan.

Pengelolaan persampahan
menjadi bagian penting dalam
upaya mitigasi banjir. Kegiatan
yang dilaksanakan antara lain
pelatihan pengelolaan sampah
kepada ibu-ibu PKK serta upaya
edukasi kepada siswa SD. Edukasi
siswa SD dikemas melalui
kegiatan sosialisasi dan
perlombaan yang menarik.
Kesadaran masyarakat akan
pentingnya menjaga kualitas
lingkungan perlu ditanamkan
sejak dini.

Sumber: Dokumentasi IKUPI, 2017


Gambar 4. Kegiatan Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Sampah dalam
Program Zurich

| 113
Pada prinsipnya, inisiatif yang dibangun bertujuan untuk
mengurangi pembuangan sampah di saluran air, termasuk di
dalamnya upaya pengelolaannya yang berbasis pada peberdayaan
masyarakat. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain: (1) sosialisasi
pengelolaan sampah kepada ibu-ibu PKK dan siswa SD; (2) pelatihan
pengelolaan sampah oganik dan anorganik; (3) penyediaan papan
larangan pembuangan sampah sembarangan; serta (4) mendorong
kelompok pengelola sampah seperti bank sampah dan kelompok
peduli lingkungan.

6) Fasilitasi Penyediaan Alur Komunikasi Bencana dan Daftar


Nomor Penting Kesiapsiagaan
Komunikasi menjadi faktor penting untuk efektivitas kesiapsiagaan
bencana terutama pada kondisi darurat bencana. Seringkali ketika
dalam kondisi darurat bencana, masyarakat masih belum
memahami kepada siapa harus melakukan komunikasi. Oleh sebab
itu, penyediaan informasi alur komunikasi bencana juga diusulkan
oleh masyarakat terutama sebagai salah satu upaya peningkatan
kesiapsiagaan. Di dalamnya juga memuat informasi nomor-nomor
penting kesiapsiagaan seperti BPBD, PMI, Rumah Sakit, PLN, Dinas
Pemadam Kebakaran, Tim Reaksi Cepat, Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM), Puskesmas, dan layanan kedaruratan lainnya.

7) Lokakarya Kesiapsiagaan Bencana Banjir dan Longsor


Lokakarya kesiapsiagaan bencana banjir dan longsor dilaksanakan
di Kota Semarang pada tanggal 4 Juli 2018 melalui kerjasama yang
melibatkan berbagai pihak, yaitu BPBD Provinsi Jawa Tengah, PMI,
serta Unit Layanan Inklusif Disabilitas (LIDI). Lokakarya ini diikuti
oleh perwakilan masyarakat yang berasal dari lokasi
dilaksanakannya Program Zurich dan TRANSFORM di mana
masing-masing kelurahan diwakili oleh lima orang peserta. Tujuan
dari lokakarya kesiapsiagaan bencana banjir dan longsor adalah

114 | PRAKTIK
untuk meningkatkan pemahaman peserta terhadap manajemen
risiko bencana termasuk mandat inklusi.

Perwakilan Unit LIDI (Layanan


Inklusif Disabilitas) dari BPBD
Provinsi Jawa Tengah
menyampaikan materi mengenai
mandat inklusi dalam
manajemen risiko bencana.
Informasi yang disampaikan
terkait kebutuhan yang harus
dipenuhi dalam proses evakuasi
untuk penyandang disabilitas.

Sumber: Dokumentasi IKUPI, 2018


Gambar 5. Lokakarya Kesiapsiagaan Bencana Banjir dan Longsor dalam
Program TRANSFORM

Materi yang disampaikan di dalam lokakarya mulai menyentuh


aspek inklusifitas. Bencana dapat terjadi kapan saja, di mana saja,
dan kepada siapa saja. Mandat inklusi dalam manajemen risiko
bencana yaitu terkait pemenuhan kebutuhan penyandang disabilitas
serta standar pelayanan dasar respon terhadap banjir dan longsor
menjadi materi yang disampaikan oleh Unit LIDI. Pada akhirnya,
hasil dari lokakarya dapat mulai diimplementasikan sebagai upaya
mendorong manajemen risiko bencana yang responsif bagi
penyandang disabilitas.

| 115
Refleksi dari Program Zurich dan TRANSFORM
Bagian ini mendiskusikan refleksi yang dapat diambil dari
implementasi dari Program Zurich dan TRANSFORM. Pembelajaran
yang dilaksanakan selama proses implementasi program dapat
dimanfaatkan sebagai upaya untuk mengoptimalkan program
pengurangan risiko bencana di daerah rawan bencana, terutama
banjir.

1) Meninjau Manajemen Risiko Bencana dalam Konteks


Indonesia
Manajemen risiko bencana (Disaster Risk Management - DRM)
merupakan serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan
dan strategi pengurangan risiko bencana, kegiatan pencegahan,
tanggap darurat, dan rehabilitasi. Manajemen risiko bencana
berkontribusi pada penguatan ketahanan dan pengurangan
kerugian akibat bencana (UNDRR, 2020). Berangkat dari perspektif
manajemen, teori ini menekankan adanya pengelolaan kebencanaan
yang menyeluruh. Tidak hanya untuk mempersiapkan penanganan
bencana yang efektif, tapi juga untuk menggeser paradigma
penanganan bencana dari yang melulu reaktif, menjadi proaktif
(Baas et al., 2008). Efektivitas pelaksanaan DRM ini berkaitan erat
dengan kapasitas institusi di berbagai level kebijakan. Mulai dari
nasional, regional, dan lokal. Paradigma terkait manajemen risiko
bencana terus berkembang di Indonesia dan mulai menyasar pada
pemberdayaan masyarakat di level kelurahan. Di tingkat nasional,
BNPB melalui Perka Nomor 1 Tahun 2012 mengeluarkan kebijakan
Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana
(Destana/Katana). Kebijakan tersebut kemudian menjadi payung
dan rujukan implementasi dari upaya manajemen risiko bencana di
tingkat desa atau kelurahan.

Gambar 6 menjelaskan prinsip-prinsip yang digunakan dalam


membangun kelurahan atau desa tangguh bencana. Merujuk pada

116 | PRAKTIK
pedoman dari BNPB, pemerintah mendorong penguatan kapasitas
dan perencanaan upaya manajemen risiko bencana secara lebih
komprehensif sejak tahap sebelum atau pra hingga pasca bencana.
Destana/Katana menempatkan masyarakat sebagai subjek dalam
pengurangan risiko bencana. Masyarakat diajak untuk
menemukenali, merumuskan, dan mengimplementasikan upaya-
upaya mitigasi bencana dengan dukungan pembiayaan dari
berbagai pihak.

Sumber: BNPB, 2012


Gambar 6. Prinsip-Prinsip Kelurahan/Desa Tangguh Bencana

Di Kota Semarang, Katana mulai dibentuk sejak tahun 2018. Hingga


2020, sebanyak 11 kelurahan rawan bencana telah didorong dan
difasilitasi menuju kelurahan tangguh bencana. Kelurahan tersebut
adalah Kelurahan Tanjung Mas, Kelurahan Bringin, Kelurahan
Wates, Kelurahan Tinjomoyo, Kelurahan Trimulyo, Kelurahan
Lempongsari, Kelurahan Krobokan, Kelurahan Muktiharjo Kidul,
Kelurahan Meteseh, Kelurahan Karangroto, dan Kelurahan
Jomblang. Dikutip dari Ungarannews (2020), pada tahun 2020
Kabupaten Semarang memfasilitasi pembentukan 10 Destana, yaitu
Desa Lerep, Desa Sepakung, Desa Munding, Desa Nogosaren, Desa
Gemawang, Desa Wirogomo, Desa Kemambang, Desa Banyukuning,
dan Desa Rembes. Berangkat dari pembentukan Katana/Destana,
Pemerintah Kota dan Kabupaten Semarang melalui BPBD juga

| 117
mendorong pastisipasi dari siswa untuk mewujudkan
Sekolah/Madrasah Aman Bencana. Pendidikan bencana kepada
anak usia sekolah juga mendesak untuk dilaksananakan karena
bencana bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan menimpa siapa
saja.

2) Proses Partisipasi dan Kolaborasi dalam Menciptakan


Ketahanan Masyarakat
Ketahanan masyarakat terhadap bencana adalah kemampuan untuk
mengelola bencana, melalui proses adaptasi, mempertahankan
fungsi-fungsi dasar di dalam masyarakat yang menentukan
keberlanjutan kehidupan, serta kemampuan untuk memulihkan diri
ke keadaan semula (Softani, 2016 dalam Ruslanjani, et al., 2020). Salah
satu komponen dalam manajemen risiko bencana yang penting
dalam menciptakan ketahanan, adalah adanya kesiapsiagaan dalam
level komunitas. Dalam payung teori DRM, hal ini disebut dengan
Community-Based Disaster Risk Management (CBDRM). Sebagai salah
satu komponen dalam Hyogo Framework for Action, upaya CBDRM
ini merupakan wujud dari penguatan kapasitas institusi di level
paling kecil yang dampaknya bisa memberikan peningkatan
ketahanan secara sistemik (United Nations, 2005).

Proses partisipatif dalam membangun ketahanan di level komunitas


atau masyarakat adalah elemen kunci dalam membangun ketahanan
kota (KLHK et al., 2017). Perjalanan dua tahun dalam mendampingi
masyarakat dinilai oleh (Hassenforder et al., 2015) sebagai periode
minimum untuk dapat memperoleh dalam mencapai tujuan-tujuan
yang telah ditentukan. Proses partisipatif ini lebih lanjut disebut
(Natarajan, 2017) sebagai bentuk socio-spatial learning di mana tidak
hanya dapat memperoleh dokumen rencana mitigasi bencana,
namun juga dapat mengembangkan pengetahuan dan kesadaran
akan kondisi kebencanaan setempat dan seberapa siap mereka
menghadapinya, senada dengan yang disampaikan oleh (Drosou et
al., 2019).

118 | PRAKTIK
Upaya yang dilakukan adalah mengintegrasikan proses penilaian
potensi risiko dan kesiapan dalam menghadapinya ke dalam level
lokal (KLHK et al., 2017). Pendekatan partisipatif ini disebut
kemudian sebagai manajemen bencana berbasis komunitas
(community-based disaster management). Hal ini yang kemudian
dikembangkan dalam program-program yang dilakukan IKUPI,
seperti perumusan dokumen CBDRM, rencana kontijensi, serta
inisiatif mitigasi bencana seperti pengelolaan sampah dan
pengembangan sistem peringatan dini.

Dalam pengembangan manajemen bencana berbasis komunitas,


salah satu faktor penting yang harus diidentifikasi pada tahap awal
adalah penilaian kapasitas masyarakat. Penilaian dalam menghadapi
kebencanaan ini dapat dilakukan dengan menggunakan indikator-
indikator ketahanan seperti: (i) kondisi pengetahuan masyarakat
akan bencana; (ii) kemampuan dalam mengelola dan menyediakan
sumber daya pendukung ketahanan; (iii) komunikasi efektif dan
kolaborasi antar berbagai pihak; (iv) kapasitas finansial dan
pembiayaan, dan (v) tata kelola organisasi (Handayani et al., 2019).
Gambaran mengenai kapasitas masyarakat juga merupakan hasil
identifikasi seberapa rentan masyarakat terpapar bencana banjir.
Dalam konteks kebencanaan, banjir dapat dikategorikan sebagai
bencana alam jika tidak ada atau tidak diketahui kerentanan
lingkungan dan masyarakat yang terpapar bencana tersebut (Klijn et
al., 2004).

Penilaian kapasitas masyarakat dalam Program Zurich dan


TRANSFORM dilakukan dengan menggunakan 88 indikator dalam
Flood Measurement Resilience Tools (FMRT) yang dikembangkan oleh
Zurich Insurance. Penilaian ketangguhan ini dilaksanakan oleh
IRDEM yang kemudian memberikan informasi serta gambaran
umum awal kapasitas wilayah di masing-masing kelurahan.
Hasilnya kemudian dijadikan bahan dalam pengembangan
dokumen CBDRM bersama masyarakat.

| 119
Prinsip demokrasi yang ada dalam proses partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan di bidang lingkungan antara lain:
keterbukaan, partisipasi langsung, dan akuntabilitas (Cox, 2010).
Prinsip yang kedua, partisipasi langsung, berkaitan dengan tingkat
tertinggi dari tangga partisipasi yang digaungkan oleh Arnstein
(1969), yakni partisipasi penuh. Apa yang kemudian dipelajari dari
dua program yang dilakukan IKUPI adalah mengupayakan
partisipasi langsung dari masyarakat dalam penentuan strategi
manajemen bencana, merupakan hal yang sangat mungkin untuk
dilakukan. Melalui strategi pendampingan, IKUPI memainkan peran
untuk mendorong masyarakat agar mampu memahami kondisi
risiko kebencanaan di sekitarnya, sekaligus juga menjadi tempat
berdiskusi dan berbagi ilmu agar konsep-konsep kebencanaan yang
terkesan “asing” dapat kemudian diturunkan dan dapat dipahami
dengan lebih mudah oleh masyarakat.

Proses berbagi informasi dan pembelajaran terkait upaya manajemen


bencana juga dilakukan melalui kolaborasi dengan wilayah lain yang
telah lebih dahulu mengembangkan upaya manajemen risiko
bencana. Salah satu narasumber yang dilibatkan adalah perwakilan
KSB Kelurahan Wonosari, Kota Semarang yang telah lebih dahulu
melaksanakan proses partisipatif dalam upaya manajemen risiko
bencana sejak tahun 2012. Proses berbagi informasi dan berjejaring
dengan wilayah lain ini dapat memperkaya pengetahuan dan
strategi dalam upaya mewujudkan ketangguhan bencana.

Prinsip keterbukaan informasi serta dorongan kolaborasi juga


menjadi kunci keberhasilan proses partisipasi ini. Bencana adalah
urusan bersama. Hal tersebut merupakan salah satu prinsip dalam
pengembangan kelurahan tangguh bencana. Bencana dapat terjadi
kapan saja, di mana saja, dan menimpa siapa saja tanpa melihat usia,
jenis kelamin, maupun latar belakang sosial. Guna mewujudkan
masyarakat yang tangguh bencana, kolaborasi dan pelibatan seluruh
komponen masyarakat wajib dilakukan. Inklusivitas dapat

120 | PRAKTIK
mengakomodasi berbagai sumber daya di lingkup masyarakat
maupun lintas wilayah.

Gambar 7 mendokumentasikan pembuatan biopori secara


partisipatif di Kelurahan Manyaran. Aksi ini merupakan salah satu
inisiatif yang diusulkan masyarakat dalam proses pemetaan upaya
penanggulangan bencana. Biopori dibangun di daerah rawan banjir
dan diharapkan dapat berkontribusi mengurangi risiko banjir di
Kelurahan Manyaran. Tantangan banjir Kota Semarang tidak hanya
di pesisir, namun juga sepanjang aliran dari hulu. Oleh karena itu,
pendekatan holistik dalam upaya mitigasi dan adaptasinya adalah
sebuah keharusan. Kegiatan-kegiatan komplementari antar berbagai
institusi, organisasi, adalah cara yang cukup efektif untuk
mewujudkannya. Dengan catatan, perlu ada pembagian tugas yang
jelas antara siapa dan apa yang dilakukan sebagai bagian dari
keseluruhan flood risk management di kota (Drosou et al., 2019).

Sumber: Dokumentasi IKUPI, 2017


Gambar 7. Warga di Kelurahan Manyaran Bergotong Royong Membuat
Biopori sebagai Upaya Pengurangan Risiko Banjir

Gambar 8 menunjukkan aksi kolaborasi dalam peringatan Bulan


Pengurangan Risiko Bencana pada tahun 2017. Kegiatan ini
melibatkan seluruh kelompok dan organisasi yang bergerak di
bidang kebencanaan. Peringatan ini dilaksanakan dengan aksi bersih
sampah di Kanal Banjir Barat (KBB) dan sosialisasi mengenai upaya
pengurangan risiko bencana kepada masyarakat di sekitar (KBB).
Pada tingkat masyarakat, inklusivitas diwujudkan dalam

| 121
pembentukan FPRB dan KSB yang beranggotakan perwakilan
organisasi. Keterwakilan gender juga harus dipertimbangkan, mulai
dari kelompok usia, jenis kelamin, serta kelompok disabilitas.
Partisipasi aktif dari seluruh elemen ini berkontribusi di dalam
optimalisasi upaya pengurangan risiko bencana yang efektif dan
tepat sasaran. Seluruh elemen dapat secara pro-aktif melaksanakan
upaya mitigasi bencana. Unsur pemerintah dan non-pemerintah
dapat saling berkolaborasi untuk optimalisasi upaya pengurangan
risiko bencana.

Sumber: Dokumentasi IKUPI, 2017


Gambar 8. Aksi Kolaboratif dalam Memperingati Bulan Pengurangan
Risiko Bencana (PRB) di Kota Semarang Tahun 2017

Najam (2000) mengemukakan terdapat empat tipologi hubungan


antara lembaga non-pemerintah, dengan pemerintah itu sendiri.
Dibagi berdasarkan kesamaan tujuan dan strategi yang digunakan,
ke empat tipologi tersebut adalah (i) ko-operasi; (ii) komplementer;
(iii) ko-optasi; dan (iv) ko-optasi. Berdasarkan teori tersebut, praktik
yang dilakukan oleh IKUPI masuk dalam kategori komplemen.
Sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 9, tipe hubungan yang

122 | PRAKTIK
komplementer ditemukan pada institusi non-pemerintah yang
memiliki tujuan yang sama dengan kebijakan pemerintahan yang
berlaku, namun cenderung memiliki perbedaan pada strategi yang
digunakan. Hal ini dikarenakan menciptakan ketangguhan kota
adalah salah satu tujuan Pemerintah Kota Semarang sejak bergabung
pada jaringan kota tangguh global, Asian Cities Climate Change
Resilience Network (ACCCRN) pada tahun 2009 (Jarvie et al., 2015).

Sumber: Najam, 2000


Gambar 9. Konsep Empat Tipologi Hubungan Antar NGO dan
Pemerintah

“A complementary relationship is likely when governmental and non-


governmental organizations share similar goals but prefer different
strategies. Essentially, they have divergent strategies but convergent
goals (Najam, 2000).”

Kendati upaya yang digencarkan oleh pemerintah adalah upaya-


upaya struktural untuk menekan luasan banjir lewat pembangunan
pompa air dan revitalisasi badan air, IKUPI bersama dengan
jaringannya memilih pendekatan sosio-spasial untuk masyarakat di
wilayah rawan banjir, dalam hal ini menyasar fokus ke komunitas
tepian sungai. Pada prinsipnya, IKUPI melaksanakan program yang
mendukung upaya dan kebijakan pemerintah untuk tujuan yang
sama yakni upaya pengurangan risiko bencana. Tetapi di dalam
prosesnya terdapat tahapan yang disesuaikan dengan metode yang
dikembangkan oleh Program Zurich dan Transform seperti
penggunaan indikator FMRT. Tanpa saling mengesampingkan satu
sama lain, dua pendekatan ini justru saling melengkapi. Pemerintah
bisa memfokuskan alokasi anggaran pada pengadaan pembangunan

| 123
untuk peningkatan ketangguhan, sedangkan intervensi secara sosial
menjadi ruang berkarya untuk lembaga-lembaga sosial yang lebih
luas agar tidak hanya fisik kotanya yang mampu bertahan di tengah
gempuran bencana, masyarakatnya juga mampu menjadi tangguh
(Drosou et al., 2019). Proses komplementer ini juga memberikan
manfaat kepada pemangku kepentingan secara lebih luas, di mana
hasil dari proses sosio-spasial ini dapat turut menjadi nilai tambah
bagi siapapun yang terlibat di dalamnya, untuk kemudian
diterapkan dan direplikasi di wilayah-wilayah lain. Hal tersebut juga
digaungkan dalam dokumen berjudul “Building Safer Cities” dari The
World Bank. Bahwa meskipun manajemen bencana berkaitan erat
dengan pengambilan keputusan –yang berarti adalah optimalisasi
otoritas pemerintahan– namun keberhasilannya tidak akan dapat
tercapai jika tidak diakukan secara kolaboratif, partisipatif, dari
berbagai pihak (Kreimer et al., 2003).

3) Komunikasi dan Koordinasi Lintas Wilayah untuk


Optimalisasi Upaya Pengurangan Risiko Bencana
Tantangan banjir Kota Semarang tidak hanya di pesisir, namun juga
sepanjang aliran dari hulu. Menjadi holistik dalam upaya mitigasi
dan adaptasinya adalah sebuah keharusan. Kegiatan-kegiatan
komplementari antar berbagai institusi, organisasi, adalah cara yang
cukup efektif untuk mewujudkannya. Dengan catatan, perlu ada
pembagian tugas yang jelas antara siapa dan apa yang dilakukan
sebagai bagian dari keseluruhan flood risk management di kota
(Drosou et al., 2019).

Hubungan lintas wilayah menjadi salah satu aspek yang


dikembangkan di dalam Program TRANSFORM. Ketika berbicara
mengenai isu bencana, terutama banjir, hubungan hulu-hilir menjadi
faktor yang harus dibangun dalam implementasi manajemen risiko
bencana. Beberapa isu yang muncul adalah adanya sedimentasi
karena alih fungsi lahan di wilayah hulu serta persampahan yang
diperparah dengan adanya ketidakpastian curah hujan akibat

124 | PRAKTIK
perubahan iklim. Faktor-faktor tersebut berkontribusi pada
berkurangnya daya tampung sungai yang menuju ke wilayah hilir
yakni Kota Semarang. Kolaborasi hubungan bottom-up dan top-down
menjadi aspek penting guna mewujudkan ketangguhkan bencana
lintas wilayah. Sebelumnya, di sepanjang DAS Garang, pemerintah
melalui BPDAS Pemali Jratun telah membentuk Forum DAS Garang
dan BBWS Pemali Juwana yang telah menginisiasi kelompok-
kelompok peduli sungai khususnya di sepanjang Kanal Banjir Barat
Kota Semarang. Kelompok-kelompok tersebut diharapkan dapat
menggerakkan upaya-upaya dan komunikasi manajemen risiko
bencana di tingkat masyarakat. Forum komunikasi melalui
pembentukan FPRB juga dikembangkan untuk meningkatkan
kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana melalui proses berbagi
informasi terutama terkait peringatan dini bencana.

Peran dari pemerintah yang berwenang terhadap aktivitas lintas


wilayah administrasi, baik di tingkat provinsi maupun nasional
menjadi sangat penting untuk membangun kolaborasi dan
komunikasi lintas wilayah dalam upaya pengurangan risiko
bencana. Manajemen risiko bencana pada skala wilayah yang lebih
luas akan berkontribusi pada optimalisasi mitigasi bencana. Ego
sektoral dan wilayah harus dikesampingkan untuk kemudian
dikembangkan menjadi kolaborasi dengan visi yang sama yaitu
membangun ketangguhan bersama dalam menghadapi bencana.

4) Pentingnya Kemampuan Menyesuaikan Diri untuk


Keberlanjutan Pasca Program
Berbicara mengenai kota pesisir, adalah berbicara mengenai
tantangan yang bisa didapatkan tidak hanya dari tata kelola
kehidupan kota dan masyarakat, tapi juga tantangan global dari
peningkatan muka air laut (Buchori et al., 2018). Hal yang berbeda
saat berbicara tentang masyarakat tangguh banjir di tepian sungai,
tengah kota, bahkan mengarah ke hulu. Adalah lebih banyak
menangani pola perilaku masyarakat serta bagaimana tata kelola

| 125
limbah dan sampahnya. Perbedaan pendekatan ini tidak kemudian
menghilangkan hakikat yang cukup penting dalam proses
partisipasi ini, yakni prinsip kesesuaian. Merujuk kembali pada
Gambar 6, prinsip tersebut adalah bagian dari pendekatan
pengelolaan risiko banjir berbasis komunitas. Betapapun rumitnya
tantangan yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah rawan
bencana, konsep-konsep ketangguhan bencana dan ide perubahan
perilaku yang dimasukkan ke dalamnya perlu mengedepankan
prinsip tersebut. Kerangka yang dapat menyaringnya adalah
konteks lokalitas, penyesuaian dengan prinsip dan nilai yang dianut
oleh masyarakat. Drosou et al., (2019) mengaitkan prinsip kesesuaian
dengan prinsip proaktif, bahwa tidak seluruh proses partisipasi
dimulai dari inisiasi masyarakat (Gambar 10).

Sumber: Drosou et al., 2019


Gambar 10. Representasi Pendekatan Peningkatan Ketangguhan Bencana
Banjir Berbasis Komunitas

Organisasi eksternal seperti IKUPI juga dapat proaktif untuk


membangkitkan gejolak perubahan dari bawah. Namun, hal ini tidak

126 | PRAKTIK
dapat berjalan lama jika apa yang diangkat kemudian tidak dibuat
beresonansi dengan keseharian masyarakat (kembali ke prinsip
kesesuaian). Langkah ini kemudian dibarengi dengan upaya
pendekatan di tingkat pemerintah. Melalui proses pelibatan institusi
terkait yaitu BPBD Kota dan Kabupaten Semarang sejak awal
program, diharapkan apa yang telah diinisiasi melalui program
Zurich dan TRANSFORM dapat menjadi pemantik awal serta terus
berlanjut ketika program telah berakhir.

Pertanyaan sejauh mana kelangsungan sebuah program pasca


“ditinggalkan” oleh penggeraknya, adalah satu yang cukup wajar
diterima oleh lembaga non pemerintah seperti IKUPI. Tiga nilai tadi,
dapat menjadi semacam obat penawar untuk meyakinkan bahwa
perencana juga bisa mewujudkan perubahan dari level masyarakat
selama hal tersebut benar-benar dilakukan dengan membuka
kesempatan seluas-luasnya bagi berbagai pihak untuk berpartisipasi
(inklusif), menularkan semangat untuk menjadi proaktif, serta
mampu menyesuaikan antara nilai dengan keseharian masyarakat.

Pada akhirnya apa yang menjadi kunci untuk mencapai tujuan besar
itu adalah semua pihak yang mau bersama mengubah pola pikir,
untuk terus mau belajar dan memperbaiki diri, dan terbuka pula
dengan berbagai kerjasama baik antar instansi maupun hierarki.
Ketangguhan adalah konsep yang datang bukan dari internal
masyarakat, namun bukan berarti tidak bisa melahirkan semangat
dari dalam hati mereka. Tinggal bagaimana masing-masing
pemangku kepentingan memaksimalkan peran yang bisa dilakukan.

Penutup
Ketahanan berkaitan erat dengan kapasitas institusi dan sumber
daya manusia. Pergeseran paradigma dari reaktif menjadi proaktif
membutuhkan kolaborasi dan partisipasi dari berbagai pihak.

| 127
Kolaborasi inklusif dilakukan guna mengupayakan aksi-aksi
komplementari. IKUPI, selama dua tahun sudah mengupayakannya
melalui Program Zurich dan TRANSFORM.

Apa yang kemudian menjadi pekerjaan rumah kita bersama adalah


bagaimana proses partisipatif dan kolaboratif yang sudah tercipta di
level komunitas ini, dapat diintegrasikan dengan program di level
pemangku kepentingan. Membuatnya selaras dengan kebijakan
yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan daerah. Lahirnya
dokumen-dokumen CBDRM menjadi bukti bahwa masyarakat
memiliki kapasitas untuk juga mengambil peran dalam
implementasi penanganan risiko bencana di wilayahnya.
Selanjutnya adalah tinggal bagaimana, pihak-pihak terkait dapat
proaktif dan membanguan upaya manajemen bencana guna
mewujudkan ketahanan masyarakat. Agar kemudian wacana
ketahanan kota tidak hanya berhenti pada dokumen, serta keinginan
dan kepedulian masyarakat akan manajemen risiko bencana tidak
dibiarkan sporadis tanpa koordinasi sistemik dengan kebijakan-
kebijakan pada otoritas pemerintahan yang ada di atasnya.

Upaya manajemen risiko bencana tidak dapat terpisahkan


berdasarkan batas wilayah administrasi. Pengurangan risiko
bencana dapat dioptimalkan jika seluruh pihak dapat bekerja sama
dan proaktif melalui proses komunikasi dengan wilayah
disekitarnya. Faktor ini menjadi penting mengingat dalam
kebencanaan, hubungan sebab akibat juga erat kaitannya dengan
kondisi serta upaya pengurangan risiko bencana di wilayah sekitar.
Otoritas yang mengampu koordinasi dan kolaborasi upaya
manajemen risiko bencana lintas wilayah harus terlibat aktif
membangun strategi antar wilayah. Sinergitas pendekatan bottom-up
dan top-down menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam
manajemen risiko bencana.

128 | PRAKTIK
Daftar Pustaka
Arnstein, S. R. (1969), A Ladder Of Citizen Participation. Journal of
the American Planning Association, Vol. 35 No. 4, pp. 216–224.
Baas, S., Ramasamy, S., de Pryck, J. D., & Battista, F. (2008), Disaster
risk management systems analysis: A guide book. FAO
Environment and Natural Resources Service Series, Vol. 13.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2012),
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, diambil dari
https://www.gitews.org/tsunami-
kit/en/E6/further_resources/national_level/peraturan_kepal
a_BNPB/Perka%20BNPB%201-
2012_Pedoman%20Umum%20Desa%20Kelurahan%20Tangguh
%20Bencana.pdf
Buchori, I., Pramitasari, A., Sugiri, A., Maryono, M., Basuki, Y., &
Sejati, A. W. (2018), Adaptation to coastal flooding and
inundation: Mitigations and migration pattern in Semarang
City, Indonesia. Ocean & Coastal Management, Vol. 163
(August), pp. 445–455.
Cox, R. (2010), Environmental and the Public Sphere, 2 ed, United
States of America: SAGE Publications, Inc.
Drosou, N., Soetanto, R., Hermawan, F., Chmutina, K., Bosher, L., &
Hatmoko, J. U. D. (2019), Key factors influencing wider
adoption of blue-green infrastructure in developing cities.
Water (Switzerland), Vol. 11 No. 6. doi:10.3390/w11061234
Handayani, W., Hapsari, S. P. I., Mega, A., & Sih, S. J. (2019),
Community-based disaster management: Assessing local
preparedness groups (LPGs) to build a resilient community in
Semarang City, Indonesia. Disaster Advances, Vol. 12 No. 5,
pp. 23–36.
Hassenforder, E., Smajgl, A., & Ward, J. (2015), Towards
understanding participatory processes: Framework,
application and results. Journal of Environmental
Management, Vol. 157, pp. 84–95.
Jarvie, J., Sutarto, R., Syam, D., & Jeffery, P. (2015), Lessons for
Africa from urban climate change resilience building in
Indonesia. Current Opinion in Environmental Sustainability,
Vol. 13, pp. 19–24.
KLHK, BNPB, & UNDP. (2017), Konvergensi Adaptasi Perubahan
Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.
Jakarta.

| 129
Klijn, F., Van Buuren, M., & Van Rooij, S. A. M. (2004), Flood-risk
management strategies for an uncertain future: Living with
rhine river floods in the Netherlands? Ambio, Vol. 33 No. 3, pp.
141–147.
Kreimer, A., Arnold, M., & Carlin, A. (Ed.). (2003), Building Safer
Cities: The Future of Disaster Risk. Disaster Risk Management
Series, Washington DC: The International Bank for
Reconstruction and Development/The World Bank.
Najam, A. (2000), The four C’s of government third sector-
government relations. Nonprofit Management and Leadership,
Vol. 10 No. 4, pp. 375–396.
Natarajan, L. (2017), Socio-spatial learning: A case study of
community knowledge in participatory spatial planning.
Progress in Planning, Vol. 111, pp. 1–23.
Ruslanjari et.al., (2020), Kondisi Kerentanan dan Ketahanan
Masyarakat Terhadap Bencana Tanah Longsor di Desa
Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo,
Yogyakarta, Vol. 26, pp. 23-29.
UNDRR. (2020), Disaster Risk Management, diakses pada 10
Februari 2021 dari
https://www.undrr.org/terminology/disaster-risk-
management
Ungarannews.com (2020, 1 Februari 2020), Pemkab Semarang
Siapkan Sepuluh Desa Tangguh Bencana, diakses pada 17
Oktober 2020 dari
https://ungarannews.com/2020/02/01/pemkab-semarang-
siapkan-sepuluh-desa-tangguh-bencana/
United Nations. (2005), International Strategy for Disaster
Reduction Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building
the Resilience of Nations. World Conference on Disaster
Reduction (A/CONF.206/6).

130 | PRAKTIK
BAB 7
REFLEKSI PERJALANAN KOTA SEMARANG DALAM
JEJARING 100 RESILIENT CITIES
NINI PURWAJATI

Pendahuluan
Pada akhir 2013, the Rockefeller Foundation mengumumkan 33 kota
pertama di dunia yang tergabung dalam inisiatif 100 Resilient Cities
(100RC). Kota Semarang termasuk dalam daftar kota-kota tersebut.
Bergabungnya Kota Semarang dalam jaringan 100RC ini menjadi
salah satu momen penanda perjalanan Kota Semarang terkait
membangun ketangguhan secara holistik. 100RC muncul sebagai
sebuah inisiatif dari The Rockefeller Foundation pada 2013 dan
berangkat dari tiga tren global yaitu perubahan iklim, globalisasi dan
migrasi (Urban Institute, 2018). Pada Juli 2019, The Rockefeller
Foundation menutup program 100RC namun terus berkomitmen
mendukung jejaring kota-kota yang telah terbentuk melalui program
100RC lewat bantuan hibah ke organisasi baru yang lebih ramping
yaitu Resilient Cities Network (The Rockefeller Foundation, 2020).

100RC menggunakan definisi ketangguhan (atau ketahanan) kota


sebagai kapasitas individu, masyarakat, institusi, bisnis, dan sistem
dari sebuah kota untuk bisa bertahan, beradaptasi, dan tumbuh
terhadap tekanan (stresses) yang terus menerus dan guncangan
(shocks) besar yang dihadapi (100 Resilient Cities, 2019). Dalam
praktiknya, inisiatif ini mempromosikan berbagai pendekatan antara
lain perencanaan inklusif, analisis komprehensif mengenai
guncangan dan tekanan, pembangunan konsensus dan kolaborasi
lintas sektor untuk perubahan sistem tata kelola kota-kota anggota.
Definisi dan pendekatan ini menunjukkan fokus pada pendekatan

| 131
holistik, memperluas lingkup ketahanan yang sering dimaknai
dalam konteks bencana atau perubahan iklim saja.

“Guncangan akut adalah peristiwa berbahaya yang terjadi tiba-tiba.


Contohnya adalah gempa bumi, banjir bandang, dan wabah penyakit.
Tekanan kronis adalah situasi yang melemahkan struktur kota baik
sehari-hari maupun berkala. Contohnya adalah banjir rob dan
kelangkaan air.”
100 Resilient Cities – diadopsi oleh Pemerintah Kota Semarang, 2016

Tulisan ini merupakan esai reflektif dari penulis terkait perjalanan


dan transformasi Kota Semarang sejak terlibat dalam jejaring 100RC.
Penulis mengulas perjalanan Semarang dari segi proses dan pola
kerjasama serta menemukenali poin-poin pembelajaran. Penulis
berkecimpung langsung sebagai koordinator lokal strategy partner
selama proses penyusunan strategi ketahanan kota Semarang (2015-
2016) dan kemudian bergabung menjadi staf dari 100RC dan Resilient
Cities Network dengan peran antara lain sebagai network relationship
manager untuk beberapa kota anggota jejaring 100RC termasuk
Semarang.

Kota Semarang dan Jejaring 100RC


Untuk menjadi anggota jejaring 100RC, kota yang berminat untuk
bergabung perlu mendaftar dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan dalam proses seleksi. Setiap kota, dalam aplikasinya
perlu menunjukkan visi, kebutuhan dan rencana membangun
ketangguhan melalui pendekatan yang bersifat lintas sektor dan
lintas institusi. Aplikasi pendaftaran juga perlu menyebutkan secara
spesifik mengenai pelibatan kelompok masyarakat dan sektor swasta
serta kaum miskin dan rentan. Kota Semarang terpilih dalam seleksi
gelombang pertama yang diumumkan pada akhir 2013 dan menjadi
kota pertama di Indonesia yang menjadi anggota 100RC (nantinya
akan disusul oleh Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2016). Dalam

132 | PRAKTIK
aplikasinya, Semarang menekankan pada tantangan berupa banjir
baik banjir rob maupun banjir bandang sebagai motivasi untuk
bergabung dalam jaringan 100RC. Semarang juga mulai
menyebutkan kekhawatiran mengenai tantangan lain seperti
kenaikan permukaan laut dan penurunan muka tanah yang dapat
mengakibatkan kenaikan intensitas banjir di Semarang.

Bergabungnya Semarang dalam inisiatif terkait ketahanan kota


bukan hal yang benar-benar baru. Sebelumnya, Semarang juga
terlibat dalam program The Rockefeller Foundation lainnya yang
juga terkait ketahanan kota yaitu Asian Cities Climate Change Resilience
Network (ACCCRN). Meski menjadi anggota ACCCRN bukan
menjadi faktor penentu terpilihnya Semarang ke dalam 100RC,
pengalaman ACCCRN mempersiapkan Semarang untuk memenuhi
kriteria-kriteria dalam proses seleksi. Melalui ACCCRN, pendekatan
lintas sektor telah mulai dirintis di Semarang seperti adanya proses
shared learning dialogue dan pokja ketahanan iklim yang terdiri dari
berbagai dinas dan organisasi lokal (Sutarto & Jarvie, 2012).

Meski 100RC bukan kelanjutan resmi dari ACCCRN dan tidak


semua kota-kota ACCCRN otomatis menjadi kota 100RC, di kota
Semarang, 100RC secara informal dikomunikasikan sebagai
kelanjutan atau ekspansi dari ACCCRN. ACCCRN memiliki fokus
pada perubahan iklim sementara pendekatan yang ditawarkan
100RC lebih bersifat holistik. Pendekatan holistik ini tampak dari
City Resilience Framework atau Kerangka Ketahanan Kota yang
diadopsi dari City Resilience Index yang didesain oleh Arup dan The
Rockefeller Foundation. Kerangka Ketahanan Kota ini digunakan
secara intensif dalam proses penyusunan strategi ketahanan kota.
Kerangka ini terdiri dari 4 dimensi dan 12 indikator utama yang
dapat digunakan untuk memahami kompleksitas kota maupun
untuk mengenali berbagai faktor yang berkontribusi pada ketahanan
kota (ARUP & The Rockefeller Foundation, 2014).

| 133
Sumber: 100 Resilient Cities dalam Jakarta Berketahanan, 2018
Gambar 4. Kerangka Ketahanan Kota

Operasional Pendekatan 100RC di Kota Semarang


Pendekatan 100RC dilandasi definisi dan pendekatan ketahanan
kota yang holistik. Dalam praktiknya, setelah terpilih, setiap kota
anggota akan menjalani proses penyusunan strategi. Meski
keanggotaan Semarang telah diumumkan pada Desember 2013,
lokakarya perdana terkait program 100RC di Semarang dan proses
penyusunan strategi ketangguhan kota yang intensif baru berjalan
antara Juni 2015 hingga Mei 2016. 100RC memiliki prosedur khusus
yang terdiri antara lain dari pembentukan Chief Resilience Officer,
penggunaan berbagai perangkat atau kerangka analisis holistik,
proses orientasi, dan berbagai kegiatan lainnya. Prosedur tersebut
bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dari kota anggota terkait
ketahanan kota dan harapannya berdampak jangka panjang melalui
transformasi institusi di berbagai kota-kota.

134 | PRAKTIK
Sumber; Pemerintah Kota Semarang, 2016
Gambar 5. Lini Masa Penyusunan Strategi Ketahanan Kota

Rangkaian proses dan model dalam 100RC diterapkan secara


konsisten, terutama untuk kota-kota yang lolos seleksi pada
gelombang pertama. Baru kemudian, di akhir 2015, terdapat lebih
banyak ruang untuk fleksibilitas setelah 100RC menerima berbagai
masukan dari kota-kota anggota (Urban Institute, 2018). Elemen-
elemen dalam model penyusunan 100RC dan penerapannya di Kota
Semarang adalah sebagai berikut:

1. Chief Resilience Officer


Setiap kota yang menjadi anggota 100RC perlu memiliki Chief
Resilience Officer atau CRO untuk melakukan proses koordinasi
penyusunan strategi yang bersifat lintas sektor sekaligus menjadi
penghubung kota untuk berinteraksi dan berkolaborasi dengan kota-
kota anggota lain dan mitra-mitra 100RC. Peran CRO dalam model
100RC berupa posisi yang dipegang oleh individu secara penuh
waktu, mengikuti model tata kelola korporasi yang familiar
dipraktikkan di Amerika Serikat dengan posisi C-Corner (seperti
Chief Financial Officer atau Chief Operation Officer).

Penitikberatan pada individu dengan peran baru dan kewenangan


luas ini merupakan model yang hampir tidak pernah diterapkan di
institusi publik tingkat kota di Indonesia. Berbeda dengan panduan

| 135
dari 100RC, CRO di Semarang kemudian diterjemahkan menjadi
kelompok kerja (pokja) ketahanan kota bersifat ad-hoc dan paruh
waktu. Tim CRO ini dikoordinasi oleh Bappeda dan juga melibatkan
perwakilan universitas dan LSM, sebagaimana pokja-pokja
koordinasi yang umum diterapkan oleh pemerintah kota. Proses
pembentukan pokja ini memerlukan waktu dan menjadi salah satu
faktor mengapa proses penyusunan strategi baru mulai aktif pada
tahun 2015. Melalui format pokja, tim CRO di Semarang terlibat
dalam proses penyusunan secara paruh waktu. Komunikasi dengan
jejaring 10 0RC dilakukan oleh perwakilan Bappeda sebagai CRO di
level internasional namun pada praktiknya, CRO di Semarang
berupa tim.

2. Analisis Komprehensif
Definisi holistik dalam 100RC menuntut kota Semarang untuk
melihat berbagai guncangan dan tekanan, dan bagaimana
guncangan-guncangan dan tekanan-tekanan tersebut saling
berkaitan. Untuk proses kajian dan penyusunan strategi, 100RC
mengenalkan beberapa tools atau perangkat antara lain seperti Assets
and Risk Tool dan Resilience Perspective Assessment untuk proses
analisis yang komprehensif dan holistik. Pendekatan holistik ini
semestinya bukan hal yang baru namun proses ini mampu memicu
diskusi-diskusi lintas sektor selama proses penyusunan strategi.

Sebagai contoh, dokumen strategi menjadi salah satu dokumen


pertama terbitan Pemerintah Kota Semarang yang secara eksplisit
mengangkat peningkatan intensitas pembangunan di Semarang atas
dan kontribusinya terkait meningkatnya frekuensi banjir dan longsor
(lihat Gambar 6). Hingga tahun 2015, fokus pengelolaan air
Semarang cenderung pada banjir di pesisir atau bagian bawah dari
Kota Semarang. Contoh pendekatan holistik lainnya adalah yang
diterapkan pada proses Resilience Perspective Assessment atau survei
persepsi mengenai status ketahanan Kota Semarang (lihat Gambar
7).

136 | PRAKTIK
Sumber; Pemerintah Kota Semarang, 2016
Gambar 6. Pemetaan Guncangan dan Tekanan Kota Semarang

Sumber; Pemerintah Kota Semarang, 2016


Gambar 7. Hasil Survei Persepsi Ketahanan Kota Semarang

Survei persepsi ketahanan di Kota Semarang menggunakan prinsip-


prinsip dalam Kerangka Ketahanan Kota yang terdiri dari 12
indikator. Proses survei ini menunjukkan kekhawatiran para
perwakilan responden terkait aspek infrastruktur dan pemenuhan

| 137
kebutuhan dasar, hal ini selaras dengan identifikasi guncangan dan
tekanan di Kota Semarang. Namun, dengan adanya kerangka
holistik ini, proses ini mampu menemukenali aspek-aspek terkait
tata kelola dan kaitannya dengan usaha perbaikan infrastruktur dan
pemenuhan kebutuhan dasar. Sebagai contoh, proses survei persepsi
ini menemukenali isu-isu seperti minimnya koordinasi antar satuan
kerja perangkat daerah (SKPD) maupun koordinasi regional,
minimnya penyampaian informasi publik dan rendahnya kapasitas
SDM (Pemerintah Kota Semarang, 2016).

3. Pendekatan Inklusif
Istilah “silos breaking” atau memutus pendekatan sektoral menjadi
mantra dari proses 100RC. Proses penyusunan strategi menuntut
adanya tim kerja lintas sektor maupun dewan pengarah lintas sektor.
Di awal proses penyusunan strategi, terdapat proses stakeholder
engagement plan atau strategi pelibatan untuk menentukan strategi
pelibatan berbagai pemangku kepentingan. Sebagai contoh, terdapat
pembentukan pokja-pokja tematik di mana setiap pokja harus
mewakili perwakilan baik dari dinas-dinas di Pemerintah Kota
Semarang, akademisi, kelompok masyarakat atau unsur swasta.
Proses penyusunan strategi yang inklusif ini tidak hanya ditargetkan
berujung pada dokumen namun juga bertujuan untuk peningkatan
kapasitas dan perhatian pada isu-isu ketahanan kota untuk
pemangku kepentingan yang terlibat.

Strategi pelibatan juga menjaring masukan dari berbagai kelompok


kerja atau komunitas yang sebelumnya juga telah dibentuk oleh
Pemerintah Kota Semarang. Selaras dengan prinsip silos breaking,
proses pelibatan dalam proses strategi tidak berusaha untuk
menciptakan kelompok-kelompok baru namun berangkat dari
ekosistem yang telah ada di Semarang. Sebagai contoh, proses
penyusunan strategi merangkul Dewan Pertimbangan
Pembangunan Kota (DP2K) Semarang yang sebelumnya telah
dibentuk oleh Pemerintah Kota Semarang untuk memberikan

138 | PRAKTIK
masukan terutama masukan dari segi teknis. DP2K terdiri dari
akademisi-akademisi dari berbagai universitas di Semarang. Meski
demikian, masih terdapat beberapa ruang untuk perbaikan terkait
proses pelibatan supaya lebih mencerminkan prinsip inklusivitas
dan partisipatif. Keterlibatan langsung masyarakat cenderung
terbatas dalam bentuk keterlibatan LSM dan kelompok masyarakat.
Terkait unsur swasta, sektor swasta diharapkan untuk dapat
menginternalisasikan ketahanan kota dalam praktik bisnisnya.
Meski demikian, sektor swasta yang terlibat cenderung berupa
asosiasi (KADIN) dan BUMD/BUMN (Bank Jateng, PLN) serta
peran mereka cenderung sebagai sumber data.

4. Mitra Penyusunan Strategi


100RC berpusat di kota New York dengan kantor regional di
Singapura. Pada masa Semarang menyusun strategi, kantor regional
100RC Singapura hanya terdiri dari dua staf. 100RC bersifat grant
making, dukungan teknis di kota dari 100RC lebih banyak dilakukan
melalui pihak ketiga yang disebut dengan strategy partner. Strategy
partner merupakan daftar mitra 100RC berupa organisasi, konsultan
atau firma yang beroperasi di berbagai kota. Kota Semarang
mendapat dukungan pendampingan ICLEI Asia yang kemudian
digantikan oleh Mercy Corps Indonesia. Mercy Corps Indonesia
menjadi penghubung antara tim CRO Kota Semarang dengan 100RC
terkait manajemen program, pemanfaatan modul, penyelenggaraan
aktivitas dan penyusunan strategi.

Kapasitas yang terdapat di strategy partner membantu proses


penyusunan strategi secara disiplin. Ini terutama karena tim CRO di
Semarang bersifat paruh waktu. Meski dimulai belakangan, proses
penyusunan strategi di Semarang termasuk relatif cepat yaitu dalam
waktu satu tahun, sementara beberapa kota lain di jejaring 100RC
memerlukan waktu lebih. Keberadaan strategy partner ini membantu
Semarang untuk menyusun penyusunan strategi secara tepat waktu.

| 139
Di sisi lain, proses yang cepat ini membuat proses pelibatan
pemangku kepentingan dan pembangunan kapasitas belum optimal.

5. Platform Partner
Salah satu elemen dukungan 100RC kepada kota anggota adalah
melalui platform partner. Platform partner merupakan daftar berbagai
organisasi internasional baik dari sektor swasta, akademisi maupun
non pemerintah dari berbagai latar belakang dan keahlian yang
berkomitmen untuk membantu kota anggota secara pro-bono. Pada
praktiknya, platform partner didominasi oleh sektor swasta. Adanya
platform partner ini merupakan bagian dari theory of change dari
100RC. 100RC memiliki asumsi bahwa ketika berbagai institusi
berkolaborasi dengan kota, institusi-institusi tersebut akan
menginternalisasikan pendekatan ketahanan dalam praktik maupun
produk dan layanan yang diberikan dan akan berkontribusi
terhadap ketahanan kota (Urban Institute, 2018).

Kota Semarang mencoba menemukenali beberapa kemungkinan


kerja sama yang dapat bermanfaat bagi Kota Semarang. Salah satu
contoh dari layanan platform partner adalah perangkat analisis
risiko spasial milik salah satu lembaga re-insurance yang dapat
digunakan oleh Semarang secara gratis untuk mendukung proses
penyusunan strategi. Meski demikian, kapasitas platform partner
pada praktiknya juga terbatas. Penggunaan perangkat analisis risiko
tersebut memerlukan pelatihan, namun pendampingan lebih lanjut
ini tidak diberikan. Menjelang selesainya penyusunan strategi, tim
CRO kembali menemukenali beberapa platform partner lain untuk
dapat secara spesifik mendukung implementasi dari inisiatif-inisiatif
dalam strategi. Faktor-faktor yang dipertimbangkan antara lain
familiaritas dengan konteks Semarang, kesesuaian dengan tema
dalam dokumen strategi, dan kapasitas untuk mendukung
Semarang, mengingat platform partner ini terdiri dari organisasi-
organisasi internasional yang berlokasi di luar Indonesia.

140 | PRAKTIK
Menjelang peluncuran strategi, terdapat beberapa platform partners
yang diidentifikasi untuk menjadi mitra implementasi strategi,
antara lain Institute for Global Environmental Strategies (IGES) yang
berpusat di Jepang dan Future Cities Laboratory (FCL) yang berpusat
di Singapura. Di luar dua organisasi ini juga terdapat berbagai
platform partners lain yang telah diidentifikasi namun kerjasamanya
tidak berlanjut. IGES dan FCL mendedikasikan staf atau sumber
daya khusus untuk mendukung Semarang melalui berbagai kegiatan
termasuk lokakarya, pelatihan dan riset bersama dengan organisasi
dan universitas lokal.

Implementasi Strategi Ketangguhan Kota Semarang


Strategi Ketahanan Kota Semarang diluncurkan pada Mei 2016
dengan tajuk “Bergerak Bersama Menuju Semarang Tangguh”. Tajuk
ini selaras dengan semangat lintas sektor selama proses penyusunan
strategi maupun dengan slogan dari Walikota Semarang. Proses
penyusunan strategi menelurkan 53 inisiatif yang dikelompokkan
dalam enam pilar strategi (lihat Gambar 5).

Sumber; Pemerintah Kota Semarang, 2016


Gambar 8. Enam Pilar Strategi Ketahanan Kota Semarang

| 141
Setelah strategi resmi diluncurkan, dukungan berupa
pendampingan Mercy Corps Indonesia dari 100RC juga berakhir. Ini
merupakan transisi yang drastis untuk tim CRO Kota Semarang yang
mendadak menjadi kehilangan dukungan sumber daya yang
substansial. Transisi ini juga menyadarkan bahwa proses
implementasi strategi belum disiapkan secara matang. Semarang
juga menjadi kota pertama di regional Asia yang meluncurkan
strategi sehingga untuk 100RC, ini juga merupakan salah satu
transisi pertama dari proses penyusunan strategi ke implementasi.
100RC kemudian memberikan dukungan lanjutan melalui Mercy
Corps Indonesia untuk menyusun roadmap atau peta jalan
implementasi yang kemudian menjadi referensi untuk berbagai
proses penyusunan kebijakan di Semarang seperti penyusunan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).

Terkait implementasi yang melibatkan mitra eksternal, kemitraan


dengan IGES menjadi salah satu contoh baik. Kemitraan dengan
IGES mencerminkan implementasi strategi yang bersifat lintas sektor
baik dari segi substansi maupun koordinasi. Kemitraan dengan IGES
memiliki fokus pada studi transport co-benefits sesuai pilar keempat
dalam strategi yaitu “Mobilitas Terpadu”. Dalam pelaksanaannya,
IGES melibatkan Universitas Diponegoro dan organisasi lokal lainya
untuk mendukung Pemerintah Kota Semarang. Koalisi kemitraan
dengan IGES kemudian memberikan rekomendasi kepada
Kementerian Lingkungan Hidup Jepang/Ministry of Environment of
Japan (MOEJ) termasuk terkait inisiatif retrofikasi BRT Semarang
menjadi lebih rendah emisi.

MOEJ kemudian mendukung proses penyusunan studi


kelayakannya di bawah mekanisme Joint Crediting Mechanism
Program (JCM) dengan kota Toyama, Jepang yang juga merupakan
anggota 100RC. Kemitraan ini juga mencerminkan inovasi yang
dipelopori Semarang dari segi tata kelola, implementasi JCM antara

142 | PRAKTIK
dua kota ini merupakan yang pertama di Indonesia (100 Resilient
Cities, 2019). Berdasarkan temuan dari studi ini, pada Januari 2019,
Semarang meresmikan 72 bus BRT Semarang dengan teknologi
diesel hybrid dan LNG (Institute for Global Environmental Strategies,
2019). Ini dimungkinkan melalui investasi bersama antara MOEJ dan
Pemerintah Kota Semarang sebesar US $ 710.000. Penghematan
bahan bakar yang dihasilkan akan mengurangi emisi CO2 sebesar
sekitar 819 ton per tahun sekaligus berkontribusi terhadap
pengurangan pencemaran udara.

Pemerintah kota Semarang juga memfasilitasi kolaborasi lebih lanjut


antara IGES, Universitas Diponegoro, dan ITDP untuk mereformasi
BRT Semarang menjadi lebih terintegrasi dan efektif. Melalui PT
Sarana Multi Infrastruktur, Pemerintah Kota Semarang memperoleh
pendanaan dari Green Climate Fund (GCF) untuk melakukan studi
kelayakan untuk jalur khusus (dedicated lane) BRT Semarang. Selain
itu, difasilitasi oleh 100RC, Pemerintah Kota Semarang juga terlibat
dalam program Water as Leverage yang diprakarsai oleh Pemerintah
Kerajaan Belanda untuk menemukenali solusi untuk mengatasi
masalah perkotaan dan pengelolaan air secara holistik dan inklusif.
Proses penyusunan desain melibatkan ahli internasional dan aktor
lokal secara intensif dan menghasilkan konsep yang
mempromosikan paradigma holistik, bahwa air dan tantangan
pembangunan perkotaan saling berhubungan.

Dari segi institusi, legitimasi tim pokja CRO untuk proses


implementasi strategi tidak diteruskan secara formal. Sebagai tindak
lanjut, Walikota Semarang kemudian menunjuk perwakilan
Bappeda dengan peran penghubung (liaison) dengan 100RC. Ini
merupakan transisi yang menarik. Dengan tidak adanya struktur tim
CRO seperti dalam proses penyusunan strategi, kapasitas koordinasi
Bappeda untuk kolaborasi program ketahanan kota menjadi lebih
terbatas. Namun, ini justru menjadikan 100RC dan juga mitra-mitra
lain untuk kemudian berkomunikasi langsung dengan unsur-unsur

| 143
lain dalam Pemerintah Kota Semarang secara lebih intensif. Pada
praktiknya, transisi ini lebih sesuai untuk proses implementasi dan
memiliki potensi internalisasi konsep ketahanan kota yang lebih luas
di kalangan Pemerintah Kota Semarang. Terkait pelibatan mitra
lokal, jika sebelumnya 100RC menjalin kemitraan dengan organisasi
seperti Mercy Corps Indonesia yang berpusat di Jakarta, kemitraan
yang dibangun setelah proses penyusunan strategi cenderung lebih
melibatkan LSM dan universitas lokal di Semarang secara lebih
intensif.

Pembelajaran untuk Terus Menuju Semarang Tangguh


Tulisan ini merupakan refleksi perjalanan Semarang terkait
ketahanan kota, terutama dari segi interaksi Kota Semarang dengan
100 Resilient Cities dan mitra-mitra eksternal lainnya. Perspektif ini
merupakan salah satu bagian dari perjalanan Semarang dalam
membangun ketahanan kota. Penelitian lanjutan perlu dilakukan
untuk mengenali lebih jauh bukti transformasi yang lebih eksplisit
yang dialami Kota Semarang terkait praktik ketahanan kota secara
holistik, terutama secara internal. Ini adalah hal yang belum diulas
oleh tulisan ini. Sebagai contoh, penelitian lanjut dapat berupa
analisis konten terhadap dokumen-dokumen kebijakan dan
peraturan Semarang dalam lima hingga sepuluh tahun terakhir.
Beberapa kunci refleksi adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan holistik. Pergeseran paradigma menuju ketahanan


kota yang holistik dapat mulai diidentifikasi dari
kecenderungan narasi atau pesan-pesan Pemerintah Kota
Semarang di media publik. Mengambil contoh dari segi
pengelolaan air, dalam Seminar Water as Leverage pada Maret
2019, secara terbuka Walikota Semarang mengapresiasi konsep
siklus air atau menahan air dan manajemen air dari hulu ke hilir
atau dari Semarang atas Semarang bawah (Latief, 2019).
Sebelumnya, pendekatan Semarang cenderung pada
pendekatan tradisional seperti membuang air secepat mungkin
melalui drainase yang menjadi tantangan ketika kapasitas

144 | PRAKTIK
drainase terbatas sementara intensitas air semakin meningkat.
Jika dilihat dari proses penyusunan strategi, Semarang
mendaftar 100RC dengan mengangkat isu banjir namun
rencana strategi mencakup isu dan menelurkan inisiatif-inisiatif
yang lebih luas dan lintas sektor. Sebagai contoh, dalam pilar
Peluang Ekonomi Baru terdapat inisiatif terkait pertanian
perkotaan yang menyasar isu lingkungan, mata pencaharian
dan kohesi sosial.

Sumber: Pemerintah Kota Semarang, 2019


Gambar 9. Konsep No Drop Get Lost Melalui Program
Water As Leverage

2. Integrasi institusi. Pengarusutamaan ketahanan kota tidak


harus diterjemahkan menjadi pembentukan institusi atau unit
khusus asalkan implementasi ketahanan kota memiliki
semangat inklusif dan kolaborasi lintas sektor. Kombinasi
antara keterbatasan Semarang untuk menciptakan unit khusus
dan peran Bappeda secara light touch untuk mendorong
pengarusutamaan ketahanan kota, justru memungkinkan
berbagai unit lain Pemerintah Kota Semarang untuk bisa terlibat
lebih aktif. Dalam pelaksanaan inisiatif JCM, Badan Layanan
Usaha (BLU) Trans Semarang mengambil peranan koordinasi.
Pendekatan Semarang yang terdesentralisasi dan ad-hoc ini juga
memungkinkan unit-unit lain di dalam Pemerintah Kota untuk

| 145
terpapar pengetahuan terbaru mengenai ketahanan kota.
Sebagai contoh, 100RC dan kini Resilient Cities Network memiliki
berbagai kegiatan pelatihan atau lokakarya. Jika sebelumnya,
partisipasi cenderung diwakili hanya oleh Bappeda, Pemerintah
Kota Semarang kini mengirim perwakilan lain seperti dari
Kantor Ketahanan Pangan, Kantor Kecamatan, Kantor
Kelurahan, atau Dinas Lingkungan Hidup untuk kegiatan-
kegiatan pembangunan kapasitas yang diadakan oleh 100RC
dan Resilient Cities Network. Praktik ini baik untuk terus
ditingkatkan.

3. Kemitraan lokal. Untuk kelancaran pelaksanaan inisiatif,


terutama dari segi pengelolaan program, 100RC memberikan
dukungan pendampingan melalui organisasi seperti Mercy
Corps Indonesia yang berpusat di Jakarta. Pilihan ini
meminimalkan risiko gagal pelaksanaan dari segi waktu namun
menjadikan proses pembangunan kapasitas, pembangunan
koalisi lokal dan pengarusutamaan isu ketahanan kota menjadi
kurang optimal. Staf-staf dari LSM dan universitas lokal
cenderung akan terus ada di Semarang ketika program
berakhir. Penguasaan konteks lokal dari mitra lokal juga
mampu meningkatkan kualitas program dan di sisi lain
mengoptimalkan pembangunan kapasitas lokal di mana
pertukaran pengetahuan akan terus bertahan di Semarang,
seperti dalam contoh kemitraan dengan IGES.

4. Dukungan Pemerintah Pusat. Salah satu faktor sukses dari


implementasi JCM untuk BRT Semarang adalah adanya
dukungan pemerintah pusat melalui Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian. Implementasi dari strategi ketahanan
kota yang mempromosikan pendekatan holistik dan sistemis
cenderung menyentuh ranah-ranah kewenangan dari
pemerintah pusat. Untuk itu, dalam penerapan inisiatif-inisiatif
atau kerja sama yang berdasar dari Strategi Ketahanan Kota
Semarang juga perlu menyiapkan strategi pelibatan unsur
pemerintah pusat. Selain itu, dengan pengalaman dan kapasitas
yang ada di Semarang, Pemerintah Kota Semarang sendiri juga

146 | PRAKTIK
dapat berperan untuk mengarusutamakan ketahanan kota di
ranah nasional. Pemerintah Kota Semarang dapat lebih aktif
membagikan pengalaman dan interaksi Semarang dengan kota-
kota di jejaring 100RC ke kota-kota lain di Indonesia dan
pemerintah pusat.

5. Hubungan Semarang dengan Resilient Cities Network. 100RC


memiliki pendekatan yang sentralistis dari New York dengan
proses dan modul-modul tertentu untuk diterapkan di kota-
kota anggota. 100RC juga menjadi fasilitator yang
menghubungkan kota anggota dengan anggota lainnya.
Penerus 100RC yaitu Resilient Cities Network tidak lagi memiliki
kapasitas sumber daya sebesar 100RC. Namun, di sisi lain,
kondisi ini mendorong keterlibatan yang lebih aktif dari kota-
kota anggota, salah satunya dengan adanya perwakilan kota
anggota sebagai Dewan Pengarah dan juga interaksi antar kota
melalui pengembangan Community of Practices (Resilient Cities
Network, 2020). Kota Semarang dapat mengambil peran lebih
dan memanfaatkan pertukaran pengetahuan dan praktik baik
dari berbagai kota global ini secara lebih intensif, termasuk
untuk membangun kapasitas dari staf muda Pemerintah Kota
Semarang maupun para mitra lokal.

Ketahanan kota adalah sebuah proses dan perjalanan Semarang


masih jauh dari akhir. Tantangan perkotaan akan semakin kompleks,
pengalaman Semarang di kancah jejaring ketahanan kota
internasional semestinya menjadi salah satu bekal Semarang untuk
terus siap beradaptasi.

Daftar Pustaka
100 Resilient Cities. (2019), Resilient Cities, Resilient Lives:
Learnings from 100RC, diambil dari
https://resilientcitiesnetwork.org/downloadable_resources/U
R/Resilient-Cities-Resilient-Lives-Learning-from-the-100RC-
Network.pdf

| 147
100 Resilient Cities. (2019), What is Urban Resilient Cities, diambil
dari 100 Resilient Cities (Archive): https://wayback.archive-
it.org/12847/20190925170458/http://www.100resilientcities.o
rg/resources/#section-1
ARUP & The Rockefeller Foundation. (2014), City Resilience Index.
Cascading Semarang. (2019). Presentation of WaL Semarang at
WaL Regional Workshop.
Institute for Global Environmental Strategies. (2019), Grand
Launching Program Converter Gas, Bus Rapid Transit (BRT)
Semarang & National Conference on “Transportation to
Develop Country”, diambil dari
https://archive.iges.or.jp/en/cty/20190109.html
Jakarta Berketahanan. (2018), Status Ketahanan Kota Jakarta,
diambil dari http://jakberketahanan.org/2018/08/23/sesi-
kerja-tahap-ii-program-jakarta-berketahanan-status-ketahanan-
kota-jakarta-resilience-statement-2/
Latief. (2019), Walikota Semarang Libatkan Penasihat Obama untuk
Tuntaskan Banjir, diambil dari
https://semarang.kompas.com/read/2019/03/13/20552521/
walikota-semarang-libatkan-penasihat-obama-untuk-
tuntaskan-banjir
Pemerintah Kota Semarang. (2016), Strategi Ketahanan Kota
Semarang. Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.
Pemerintah Kota Semarang. (2019), Water as Leverage Report.
Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.
Resilient Cities Network. (2020), Communities, diambil dari
https://resilientcitiesnetwork.org/communities/
Sutarto, R., & Jarvie, J. (2012), Integrating Climate Resilience
Strategy into City Planning in Semarang, Indonesia.
The Rockefeller Foundation. (2020), 100 Resilient Cities, diambil
dari https://www.rockefellerfoundation.org/100-resilient-
cities/
Urban Institute. (2018), Institutionalizing Urban Resilience, diambil
dari
https://www.urban.org/research/publication/institutionalizi
ng-urban-resilience

148 | PRAKTIK
BAB 8
SKENARIO PEMBANGUNAN KOTA RENDAH
KARBON DI INDONESIA: STUDI KASUS
JAKARTA DAN SEMARANG
SUDARMANTO BUDI NUGROHO, JUNICHI FUJINO, DAN
TOMOKO ISHIKAWA

Pendahuluan
Di bawah kerangka kerjasama multilateral melalui Perjanjian Paris,
pemerintah Indonesia mulai mempersiapkan strategi jangka panjang
untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada tahun 2050.
Agar dapat berkontribusi terhadap penurunan emisi GRK sebesar
29% (target tanpa syarat) dan 41% (target bersyarat) di bawah
kondisi acuan (baseline), sektor energi harus menurunkan tingkat
emisi GRK pada tahun 2030 sebesar 314 Mton CO2e dan 398 Mton
CO2e di tahun 2050 (Indonesia NDC, 2016). Untuk mencapai tingkat
tersebut, emisi GRK diperkirakan mencapai 5,63 ton CO2e per kapita
pada tahun 2030 atau hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan
emisi per kapita pada tahun 2010. Dalam jangka panjang, Indonesia
sangat berpotensi menurunkan emisi GRK dari sektor energi
menjadi sekitar 1,31 ton CO2e per kapita pada tahun 2050, setara
dengan 0,69 dari tingkat emisi per kapita pada tahun 2010 (Siagian et
al., 2017).

Pemerintah Indonesia mulai mempersiapkan target penurunan emisi


GRK jangka menengah (2030) dan jangka panjang (2050) yang
melibatkan berbagai pemangku kepentingan, aktor bagian dari
negara, dan para pelaku yang bukan bagian dari pemerintah
pusat/negara. Tindakan dan kelambanan pemerintah pusat dan
daerah akan memberikan dampak yang signifikan terhadap aksi
mitigasi iklim di tingkat kota (Heidrich et al., 2016; Reckien et al.,

| 149
2015). Pemerintah Indonesia telah menyusun strategi implementasi
Nationally Determined Contribution (NDC) pada tahun 2018
(Masripatin et al., 2017). Beberapa pemerintah daerah, secara aktif
mengembangkan skenario aksi lokal dalam upaya menurunkan
emisi GRK dan berkontribusi pada NDC.

Perencanaan jangka menengah dan jangka panjang untuk menuju


pembangunan perkotaan rendah karbon memungkinkan kota-kota
dapat mengadopsi cetak biru perencanaan lebih awal. Proses
perencanaan yang melibatkan ahli tata kota, tokoh-tokoh lokal, dan
warga dalam memperbaiki pengelolaan transportasi, penggunaan
lahan, kualitas udara, perumahan, dan aspek lain dari perencanaan
kota (Niemeier et al., 2015). Perencanaan program pengurangan
emisi dalam skala kota perlu melihat kembali ke masa lalu
(backcasting) dan analisis kebijakan digunakan untuk menentukan
prasyarat transisi energi terbarukan, termasuk integrasi kebijakan
energi dan transportasi (Olsson et al., 2015). Untuk menghasilkan
analisis secara kuantitatif diperlukan informasi yang akurat, handal,
dan terpercaya untuk menentukan data dasar emisi suatu kota pada
tahun yang dijadikan referensi (IGES, 2017). Kajian kebijakan lokal,
rencana dan program baik di tingkat nasional, provinsi maupun kota
yang selaras dengan tujuan pembangunan rendah karbon beserta
penjadwalan, cakupan, dan batasan menjadi masukan penting dalam
membuat kerangka kerja pembangunan rendah karbon di perkotaan.

Pemerintah Kota Jakarta dan Kota Semarang berupaya menyusun


strategi jangka menengah dan jangka panjang di tingkat kota melalui
pengembangan Strategi Pembangunan Rendah Karbon (LCDS)
untuk mencapai target penurunan emisi jangka menengah di tahun
2030, dan jangka panjang di tahun 2050. Pemerintah DKI Jakarta
berkomitmen untuk melaksanakan mitigasi GRK strategi melalui
Peraturan Gubernur DKI Jakarta no. 131/2012 tentang Rencana Aksi
Daerah Aksi Mitigasi GRK (RAD GRK) dan menetapkan strategi

150 | PRAKTIK
ambisius menurunkan emisi GRK sebesar 30% pada tahun 2030
menggunakan baseline 2010 (Dewi, 2012).

Berdasarkan sumber emisinya, kondisi geografis kota pesisir


perkotaan dan kondisi lingkungan binaan, sektor energi
menyumbang 89% dari total emisi GRK Jakarta (Dewi, 2012). Dengan
demikian, aksi mitigasi Jakarta juga secara eksplisit sangat
bergantung pada sektor energi sekitar 35 Mtoe CO2 (Diyarni, 2018).
Strategi jangka panjang (LTS) Kota Jakarta akan tetap fokus pada
sektor energi, listrik, dan persampahan, sedangkan perhatian pada
sektor Agriculture, Forestry, and Other Land Use (AFOLU) masih
sedikit. Di dalam sektor energi, sektor transportasi menyumbang
sekitar seperempat emisi CO2 terkait energi secara global (IEA, 2017).
Dalam kasus Jakarta, transportasi menyumbang sekitar 19% dari
total emisi GRK di Kota Jakarta (Diyarni, 2018). Pemerintah Kota
Semarang berperan dan berkontribusi aktif menurunkan emisi
perkotaan dimulai dengan melakukan inventarisasi emisi pada
tahun 2012-2013. Berdasarkan hasil inventarisasi mengacu pada
kondisi awal tahun 2010, sektor energi dan persampahan merupakan
sumber emisi utama di Kota Semarang yang mengeluarkan emisi
sebesar 1.956.332 tCO2e di tahun 2010 (Pemerintah Kota Semarang,
2012).

Hasil kajian terbaru yang dilakukan di tahun 2017 menunjukkan


kondisi emisi di Kota Semarang meningkat menjadi 5.282 kilo tCO2e
di tahun 2015 (IGES, 2017) dan sektor energi masih tetap dominan
sedangkan sektor industri menyumbang hampir separuh dari total
emisi yang dihasilkan di Kota Semarang. Pengembangan sistem
transportasi rendah karbon di Kota Semarang diproyeksikan akan
membantu menurunkan emisi sebesar 29% di tahun 2030
dibandingkan dengan kondisi normal tanpa intervensi (IGES, 2017).
Tulisan ini mengulas inisiatif dalam mengembangkan skenario
pembangunan rendah karbon sebagai strategi jangka menengah dan
jangka panjang yang diinisiasi oleh pemerintah daerah dua kota

| 151
tersebut. Keduanya bekerja sama atau bersinergi dengan pemerintah
pusat dan inisiatif kerjasama internasional lainnya untuk mencapai
target penurunan emisi.

Untuk membantu mengembangkan skenario pembangunan rendah


karbon di masa depan di Kota Jakarta dan Kota Semarang serta
mengkuantifikasi dampaknya terhadap penurunan GRK digunakan
model pemograman non-linier “model penilaian terintegrasi”
(Integrated Assessment Model/IAM), “potret kondisi yang
diperpanjang” (Extended Snapshot/ExSS) menggunakan GAMS v
23.3. Peninjauan kembali ke masa lalu (backcasting) diterapkan
melalui pengembangan target yang telah ditetapkan di masa depan
dan mengeksplorasi cara-cara untuk mencapai target tersebut. Emisi
GRK tahun 2010 dan 2015 digunakan sebagai dasar acuan
perhitungan sedangkan simulasi menargetkan dampak pada jangka
menengah (2030) dan jangka panjang (2050). Proyeksi skenario masa
depan dihitung berdasarkan skenario kegiatan berlangsung seperti
biasa (business as usual/BaU) dan skenario kondisi dengan adanya
tindakan intervensi (counter measures/CM). Skenario BaU
mempertimbangkan kondisi pembangunan di masa depan beserta
potensi emisi GRK tetapi tanpa mempertimbangkan upaya-upaya
mitigasi GRK. Sedangkan skenario tindakan intervensi mengulas
aksi-aksi dan program yang transformatif di bidang mitigasi
perubahan iklim yang dikembangkan dan dampaknya terhadap
upaya untuk mencapai kota rendah karbon di kedua lokasi studi.

Pengembangan Skenario Masa Depan Berbasis Permodelan


Penilaian Terintergrasi
Pengembangan skenario kota rendah karbon di masa depan berbasis
pada permodelan penilaian terintegrasi yang memiliki lima bagian
inti, yaitu pembuatan alur skenario, penyusunan kerangka kerja,
persiapan data dan sumber informasi, desain program dan proyek,

152 | PRAKTIK
dan menjembatani hasil perhitungan dengn kondisi rill. Keseluruhan
alur proses tersebut diilustrasikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Alur Proses Penyusunan Skenario Pembangunan


Rendah Karbon

Tahap pertama adalah membentuk tim kerja untuk mengembangkan


skenario kota rendah karbon di masa yang akan datang. Tim bersifat
adhoc dan berisi unsur-unsur pemangku kepentingan dari

| 153
pemerintahan, akademisi, pegiat di masyarakat, serta anggota
masyarakat yang lain. Untuk dapat melaksanakan tugasnya,
diperlukan dukungan sumber daya manusia dan sumber dana untuk
melakukan kajian dan pertemuan rutin membahas hasil kajian.
Penyusunan jadwal berdasarkan kebutuhan dan kondisi
pemerintahan setempat sangat diperlukan agar proses penyusunan
bisa berlangsung secara efisien dan efektif.

Tahap kedua adalah menyusun kerangka kerja pengembangan


skenario kota rendah karbon jangka menengah dan jangka panjang
disesuaikan dengan target masing-masing kota. Kerangka kerja
meliputi target tahun tujuan, tahun referensi atau acuan, jenis GRK,
target kegiatan, dan jumlah skenario yang akan dikembangkan di
masing-masing kota sesuai dengan kondisi latar belakang
penyusunan skenario pengembangan kota rendah karbon. Pemilihan
tahun acuan/referensi disesuaikan dengan mempertimbangkan
ketersediaan data yang akurat dan terpercaya. Pengembangan
skenario di masa yang akan datang minimal dengan dua skenario
utama yaitu (a) bisnis seperti biasa (BaU) dan (b) skenario kondisi
dengan intervensi kebijakan (CM) untuk melihat dampak skenario
aksi-aksi pembangunan kota rendah karbon dan dampaknya pada
penurunan emisi GRK di masa yang akan datang.

Tahap ketiga meliputi persiapan data untuk perhitungan secara


kuantitatif. Pengembangan skenario kota rendah karbon
memerlukan data untuk kondisi saat ini dan visi serta prediksi ke
depan. Data utama perhitungan berbasis pada kondisi demografi
(kependudukan, jumlah keluarga), sosial ekonomi, tabel input-
output, volume transportasi, tabel keseimbangan energi di kota dan
emisi GRK. Apabila data tersebut tidak tersedia di level kota, dapat
dipergunakan data yang tersedia di level provinsi dan di level
nasional untuk memperkirakan data di kota tersebut. Berdasarkan
data yang telah terkumpul, pada tahap keempat dilakukan
perhitungan emisi GRK secara kuantitatif menggunakan model ExSS

154 | PRAKTIK
untuk tahun acuan dan skenario kondisi bisnis seperti biasa di masa
yang akan datang. Permodelan ini adalah pemograman non-linier
menggunakan GAMS versi 23.3 yang dikembangkan oleh
Universitas Kyoto dan didukung oleh beberapa parameter teknis,
ekonomi, dan sosial (IGES, 2020). Pendekatan dari bawah (berbasis
proyek atau program) dan pendekatan dari atas (berbasis pada
cakupan makro skala kota/wilayah yang merupakan gabungan dari
beberapa sektor dan kegiatan/program) dapat digunakan untuk
mengembangkan skenario intervensi kebijakan untuk mendukung
pembangunan kota rendah karbon di masa yang akan datang.

Perhitungan dimulai dengan membuat daftar kegiatan/program


dan proyek yang sudah ada maupun yang akan dilaksanakan di
masa yang akan datang yang berpotensi menurunkan emisi GRK.
Detail rencana implementasi program atau proyek serta perkiraan
atau asusmsi target tahun implementasi proyek dan dampaknya
pada penurunan emisi GRK dari masing-masing proyek dapat
diperhitungkan dan diproyeksikan pada pendekatan dari bawah
(bottom-up). Berikutnya, dengan melakukan pendekatan dari atas,
permodelan ExSS digunakan kembali untuk menghitung emisi GRK
dan penurunan mengunakan perspektif makro di tingkat perkotaan
berbasis pada intervensi kebijakan yang akan diambil pada masa
yang akan dating. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan duplikasi
pengurangan emisi GRK masing-masing proyek dan menjaga
konsistensi perhitungan agar terhindar dari perhitungan ganda
dalam penurunan emisi GRK dikarenakan klaim berlebihan di antara
proyek-proyek yang saling terkait.

Pendekatan dari atas (top-down) juga bisa dilaksanakan dengan


penetapan target penurunan emisi pada tahun tujuan, selanjutnya
dilakukan pendekatan peninjauan kembali (backcasting) untuk
mencari upaya-upaya yang mungkin dilakukan untuk mencapai
target penurunan emisi pada tahun yang telah ditetapkan. Tahapan
terakhir (kelima) adalan menjembatani hasil keluaran model dengan

| 155
kondisi di lapangan. Langkah pertama adalah membuat daftar
priroitas rencana aksi dan program berdasarkan kondisi kota.
Langkah ini perlu ditunjang dengan informasi mengenai kebijakan
penunjang yang diperlukan untuk mendukung pelaksananaan
pembangunan kota rendah karbon di masa yang akan datang.
Langkah selanjutnya adalah membuat ringkasan eksekutif untuk
membantu mempermudah para pengambil kebijakan untuk
mengambil keputusan mengenai rencana aksi pembangunan kota
rendah karbon.

Studi Kasus di Kota Semarang

1) Kondisi Sosial-Ekonomi, Asumsi Permodelan, Konsumsi Energi,


dan Emisi GRK
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan untuk kota Semarang
tahun acuan 2015 dan informasi lainnya seperti visi ekonomi
nasional “Master plan untuk percepatan dan ekspansi
pengembangan ekonomi Indonesia Tahun 2011-2025”, proyeksi
perkembangan ekonomi di Kota Semarang seperti terlihat pada
Tabel 1. Beberapa parameter akan mengalami perubahan kondisi
cukup significant dari tahun 2015 ke tahun 2030 seperti kondisi sosial
ekonomi meningkat lebih dari 6 kali lipat. Analisis pertumbuhan
dihitung berdasarkan kondisi pertumbuhan ekonomi di Indonesia
sebesar 5,4% per tahun. Selain itu, terdapat tiga aspek yang
mendasari perubahan kondisi makroekonomi di tahun 2030 yaitu
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), PDRB per kapita, dan
belanja konsumsi akhir. Nilai PDRB tahun 2015 sebesar Rp 134,21
miliar rupiah akan meningkat menjadi 834,19 miliar rupiah pada
tahun 2030. Manufaktur industri makanan, tekstil dan transportasi,
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) akan memimpin
pertumbuhan ekonomi di kota Semarang pada tahun 2030.

PDRB Kota Semarang pada tahun 2030 masih akan didominasi oleh
sektor sekunder terutama industri konstruksi, disusul oleh sektor

156 | PRAKTIK
tersier, dan terakhir adalah sektor primer. Namun demikian,
peningkatan PDRB sektor sekunder tidak lebih besar dari pada
sektor tersier. Laju pertumbuhan sektor primer, sekunder dan tersier
antara tahun 2015 dan 2030 adalah secara beruruta 2,61 kali; 6,01 kali;
dan 6,55 kali. Kondisi ini diperkirakan sesuai dengan yang tertulis
dalam rencana induk penyumbang PDRB terbesar di Kota Semarang
adalah sektor sekunder. PDRB per kapita pada tahun 2015 adalah 84
juta rupiah dan akan meningkat mencapai 405 juta rupiah pada
tahun 2030 atau meningkat 4,81 kali lipat dibandingkan dengan
tahun 2015.

Table 1. Indikator Sosial-Ekonomi pada Permodelan ExSS di Semarang

Indikator Satuan 2015 2030 Rasio 2030/2015


Jumlah Penduduk Jiwa 1.595.267 2.060.000 1,29
Jumlah Rumah
Rumah Tangga 471.327 686.667 1,46
Tangga

PDRB per kapita Juta Rupiah 84 405 4,81


PDRB Milyar Rupiah 134.207 834.197 6,22
Industri Primer 1.373 3.59 2,61
Industri Sekunder 73.34 440.906 6,01
Industri Tersier 59.493 389.701 6,55
Konsumsi Final Milyar Rupiah 79.822 486.134 6,09
Pembentukan
Milyar Rupiah 99.697 607.179 6,09
Modal Bruto
Ekspor Milyar Rupiah 37.563 228.772 6,09
Impor Milyar Rupiah 114.672 690.811 6,02
Luas area komersial Ribu m2 50.252 330.043 6,57
Permintaan
Transportasi
Penumpang/Orang Juta orang/km 18.342 28.422 1,55
Barang Juta ton/km 3.391 20.307 5,99
Sumber: IGES, 2020

Akibat pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan yang


disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi, pengeluaran konsumsi
akhir pada tahun 2030 juga akan meningkat pesat sebesar 6,09 kali

| 157
lipat dari tahun 2015. Diproyeksikan ada keterkaitan antara
pengeluaran konsumsi dan PDRB, terutama pada peningkatan yang
cukup tinggi pada sektor tersier seperti transportasi dan
telekomunikasi; energi listrik, gas, air dan limbah; perdagangan
grosir dan eceran; dan keuangan, real estat, dan layanan perusahaan.
Dengan demikian akan terjadi peningkatan aspek sosial ekonomi
permintaan angkutan Kota Semarang pada tahun 2030. Volume
angkutan barang akan meningkat sebesar 5,99 kali lipat dari tahun
2015, sedangkan laju pertumbuhan volume angkutan penumpang
sebesar 1,55. Permintaan angkutan barang akan berubah dengan
cepat yang dipicu oleh output manufaktur yang meningkat. Dalam
skenario BaU, porsi moda diasumsikan tidak berubah dari tahun
2015. Di sisi lain, perpindahan moda dari sepeda motor dan mobil
pribadi ke angkutan umum seperti bus, bus rapid transit (BRT), dan
rel kereta api diharapkan terjadi dalam skenario CM. Pangsa moda
angkutan umum akan meningkat mencapai 25% pada tahun 2030
dalam skenario CM. Berdasarkan skenario BaU, konsumsi energi
final akan meningkat sebesar 2,22 kali lipat pada tahun 2030.
Sehingga jumlah energi yang dikonsumsi sebesar 1.682,8 ktoe pada
tahun 2015 akan meningkat menjadi 6.149,6 ktoe pada tahun 2030.

Sektor industri akan masih menjadi konsumen energi tertinggi


dengan peningkatan pada tahun 2030. Namun, pertumbuhan
konsumsi energi paling pesat berasal dari sektor
komersial/perdagangan sebesar 7,08 kali lipat dibandingkan tahun
2015. Konsumsi energi yang lebih rendah akan bisa dicapai dengan
melalui skenario CM di bidang energi yang berpotensi menurunkan
konsumsi energi 27% lebih rendah dibandingkan skenario BaU
karena implementasi proyek pembangunan kota rendah karbon.
Konsumsi energi akan berkurang secara signifikan di sektor
transportasi penumpang sebesar 41% dibandingkan kondisi BaU.
Minyak bumi masih akan mendominasi pangsa sumber energi pada
tahun 2030 namun akan mulai beralih dari batu bara dan minyak
bumi ke gas alam terutama untuk sumber energi listrik sebagai
bagian dari intervensi kebijakan. Selain itu penggunaan energi

158 | PRAKTIK
matahari (panel surya) diperkirakan akan meningkat terutama untuk
pemanas air di sektor perumahan dan komersial meskipun pangsa
dalam permintaan energi total masih kecil dalam skenario CM.
Terkait bauran energi dalam pembangkit listrik, pangsa sumber
terbarukan seperti energi surya, angin, panas bumi, dan biomassa
akan meningkat menjadi 17% dalam skenario CM seiring dengan
diterapkannya rencana pengembangan tenaga listrik nasional.
Faktor emisi CO2 juga akan berubah dari 10,07 tCO2/toe pada tahun
2015 menjadi 7,74 tCO2/toe pada skenario 2030 CM.

2) Potensi Penurunan Emisi GRK Melalui Aksi Pembangunan


Rendah Karbon di Tahun 2030
Pada skenario BaU, total emisi CO2 akan meningkat 4,24 kali lipat
dibandingkan tahun 2015 dan akan mencapai 22.409 ktCO2e pada
tahun 2030. Namun demikian, dapat dicapai penurunan emisi CO2
apabila dilakukan intervensi kebijakan melalui lima aksi utama di
bidang energi, antara lain: industri hijau, bangunan cerdas,
perangkat/peralatan cerdas, transportasi berkelanjutan, dan energi
hijau. Kelima program tersebut dapat membantu mengurangi emisi
CO2 sebesar 4.220,3 ktCO2e (Tabel 2). Selain itu ada potensi
penurunan sebesar 2.179,3 ktCO2e yang berasal dari perbaikan
faktor emisi CO2 dari sektor tenaga listrik karena kebijakan tenaga
listrik nasional yang mendorong peralihan dari batu bara ke energi
terbarukan. Hasil perhitungan menunjukkan emisi CO2 pada
skenario CM akan menjadi 16.009 ktCO2e atau terjadi penurunan
29% dibandingkan skenario BaU. Sektor industri masih akan menjadi
penghasil emisi CO2 terbesar baik dalam skenario BaU maupun CM.
Peningkatan emisi CO2 terbesar pada skenario BaU akan terjadi pada
sektor komersial, di mana emisi CO2 akan meningkat sebesar 7,08
kali dibandingkan tahun 2015, diikuti oleh sektor angkutan barang
(5,99 kali) dan sektor industri (5,77 kali). Dalam skenario CM, sektor
angkutan penumpang dan sektor komersial memiliki peluang
penurunan emisi terbesar yaitu sebesar 40% dibandingkan dengan
skenario BaU untuk sektor angkutan penumpang. Potensi

| 159
penurunan cukup besar juga diprediksikan berasal dari sektor
komersial yaitu sebesar 34% dibandingkan kondisi bisnis normal.
Detail informasi mengenai kegiatan atau proyek dan program terkait
pembangunan rendah karbon yang berkontribusi pada penurunan
GRK akan dibahas lebih lanjut pada bagian selanjutnya.

Table 2. Potensi Penurunan Emisi CO2 di Berbagai Sektor di


Kota Semarang (Ktco2e)

Rencana Aksi Transport Transport


Industri Komersial Residensial Total
per Sektor Penumpang Barang
Aksi 1: Industri
Hijau
Pengunaan
peralatan hemat 2.552 2.552
energi dan
pergantian
bahan bakar
Aksi 2:
Bangunan
Cerdas
Penerapan
215 33 248
gedung hemat
energi (material,
pengantian
bahan bakar)
Aksi 3:
Peralatan
Cerdas
357 77 434
Penggunaan
peralatan listrik
hemat energi
Aksi 4:
Transportasi
berkelanjutan

Kendaraan 837 113 950


hemat energi
dan
Rencana Aksi
perpindahan Transport Transport
Industri Komersial Residensial Total
per Sektor
moda Penumpang Barang
Aksi 5: Energi
Hijau
Penggunaan 26 10 36
energi listrik
terbarukan
Total 2.552 598 120 837 113 36
Sumber: IGES, 2020

160 | PRAKTIK
Studi Kasus di Kota Jakarta

1) Kondisi Sosial-Ekonomi, Asumsi Permodelan, Konsumsi Energi,


dan Emisi GRK
Mengacu pada data 2010, menggunakan asumsi penduduk akan
terus bertambah dengan laju yang sama (1% pertahun), proyeksi
jumlah penduduk kota Jakarta (2010-2050) meningkat masing-
masing 1,17 kali dan 1,24 kali pada tahun 2030 dan 2050. Kondisi
serupa diperkirakan untuk jumlah rumah tangga di DKI Jakarta
yang juga akan meningkat 1,17 kali (2030) dan 1,3 kali (2050)
dibandingkan tahun 2010. Pertumbuhan jumlah rumah tangga di
tahun 2050 akan sedikit lebih cepat dari pada pertumbuhan
penduduk karena ukuran rumah tangga akan semakin kecil
dibandingkan kondisi saat ini. Peningkatan indikator makroekonomi
terjadi sekitar tiga kali lipat (2030) dan sembilan kali lipat (2050) dari
nilai pada tahun 2010. Kondisi makroekonomi tersebut
dilatarbelakangi oleh dua aspek yaitu output bruto dan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB).

Pertama, penyumbang utama perekonomian Jakarta adalah industri


tersier (komersial) diikuti oleh industri sekunder (terutama industri
manufaktur dan konstruksi), dan yang terakhir adalah sektor primer.
Kegiatan ekonomi di sektor-sektor ini akan mempengaruhi
permintaan infrastruktur transportasi dan juga konsumsi energi
sektor transportasi serta emisi GRK terkait dari pemanfaatan energi.
Namun kegiatan ekonomi di industri tersier memiliki tingkat
konsumsi energi yang relatif rendah. Kedua adalah PDRB per kapita.
PDRB pada tahun 2010 adalah 1.076 miliar rupiah dan akan
mencapai 2.073 miliar rupiah (2030) kemudian meningkat pesat
menjadi 9.856 miliar rupiah (2050). PDRB akan meningkat masing-
masing 2,86 kali dan 9,16 pada tahun 2030 dan 2050, dibandingkan
dengan tahun dasar (2010). Permintaan energi diperkirakan akan
meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan peningkatan
ekonomi. Penjabaran lengkap hasil permodelan di Jakarta dapat
dilihat pada Tabel 3.

| 161
Tabel 3. Indikator Sosial-Ekonomi pada Permodelan ExSS di Jakarta

Indikator Satuan 2010 2030 2050 2030/2010 2050/2010


Jumlah
Jiwa 9.640.400 11.310.000 11.914.751 1,17 1,24
Penduduk
Jumlah
Rumah
Rumah 2.416.000 2.834.000 3.135.000 1,17 1,3
Tangga
Tangga
PDRB per
Juta Rupiah 1.075.761 3.073.233 9.856.274 2,86 9,16
kapita
Milyar
PDRB 2.309 6.608 21.193 2,86 9,18
Rupiah
Industri
70.481 194.860 624.944 2,77 8,86
Primer
Industri
958.496 2.737 8.777 2,85 9,16
Sekunder
Industri
1.28 3.676 11.791 2,87 9,21
Tersier
Konsumsi Milyar
136.947 418.655 1.342.683 3,06 9,8
Final Rupiah
Pembentukan Milyar
473.891 1.135.113 3.640.460 2,39 7,68
Modal Bruto Rupiah
Milyar
Ekspor 704.743 2.166.537 6.948.378 3,07 9,86
Rupiah
Milyar
Impor
Rupiah
Luas area
Ribu m2 84.328 259.360 303.704 3,08 3,6
komersial
Permintaan
2.943 13.440 43.104 4,57 14,65
Transportasi
Penumpang/ Juta
Orang orang/km
Barang Juta ton/km

Sumber: IGES, 2020

Proyeksi kebutuhan energi final di DKI Jakarta dengan skenario BaU


diperkirakan akan meningkat 2,96 kali lipat di tahun 2030 dan
menjadi 5,62 kali lipat pada tahun 2050 dibandingkan tahun 2010.
Kebutuhan energi meningkat dari 5.743 Mtoe di tahun 2010 menjadi
16.989 Mtoe pada tahun 2030 dan 32.260 Mtoe pada 2050. Pada tahun
dasar (2010), pangsa permintaan energi transportasi secara signifikan
lebih tinggi dari pada permintaan energi dari subsektor industri,
komersial, dan residensial. Situasi ini diperkirakan akan berubah

162 | PRAKTIK
pada tahun 2050, di mana permintaan energi dari kegiatan komersial
akan sebanding dengan pangsa permintaan energi dari sub-sektor
transportasi. Dengan menggunakan skenario CM, kebutuhan energi
diperkirakan meningkat 2,43 kali lipat di tahun 2030 dan 3,85 kali
lipat pada tahun 2050. Sehingga akan terjadi kenaikan permintaan
energi menjadi 13,927 Mtoe (2030) dan 22,107 Mtoe (2050). Hasil ini
menunjukkan bahwa implementasi proyek kota rendah karbon
seperti pada skenario CM memberikan potensi penghematan energi
masing-masing sebesar 18,02% dan 31,57% dibandingkan dengan
skenario BaU sektor energi pada tahun 2030 dan 2050 (Gambar 2).

Sumber: IGES, 2020


Gambar 2. Permintaan Energi di Kota Jakarta per Sektor pada
Tahun 2030 dan 2050

Sektor transportasi akan memberikan potensi penghematan energi


tertinggi dengan menyumbang 5.700 Mtoe, diikuti oleh komersial
(2.017 Mtoe), industri (1.583 Mtoe), dan residensial (0.854 Mtoe)
dibandingkan dengan tingkat BaU di 2050. Permintaan energi di DKI
Jakarta selama ini disuplai dari berbagai jenis pasokan energi primer
termasuk batu bara, minyak bumi, listrik, gas alam, dan biofuel.
Pasokan energi sangat didominasi oleh minyak (menyumbang 45,5%
dari total pasokan energi, dan sisanya 54,5% dibagi untuk listrik
35,6%, gas alam 18,17%, biofuel 0,4%, dan batu bara 0,33%) di tahun

| 163
2010. Dalam skenario BaU, situasi ini diproyeksikan akan berubah
pada tahun 2030 di mana pangsa listrik dan gas bumi akan sebanding
dengan pangsa minyak bumi. Kemudian, pangsa listrik akan
meningkat secara signifikan dibandingkan dengan yang lain pada
tahun 2050. Hal ini terjadi karena pertumbuhan kebutuhan listrik
lebih tinggi dari pertumbuhan permintaan angkutan (sebagian besar
dipasok oleh minyak).

Dalam skenario CM, terdapat pergeseran penggunaan energi


menurut jenisnya, dari bahan bakar minyak ke bahan bakar yang
mengurangi emisi GRK seperti biofuel dan gas alam. Diperkirakan
pangsa minyak bumi akan turun secara signifikan menjadi 0,058
Mtoe sedangkan pangsa biofuel dan gas alam akan meningkat
masing-masing menjadi 2.344 Mtoe dan 5.004 Mtoe pada tahun 2050.
Sedangkan energi primer pada pembangkit listrik yang digunakan
untuk memenuhi kebutuhan energi antara lain batu bara, minyak
bumi, gas alam, dan energi terbarukan (limbah, biofuel). Proyeksi
penyediaan energi primer dalam skenario BaU, jenis bahan bakar
yang dominan adalah minyak bumi diikuti oleh gas. Situasi ini
diperkirakan akan berubah dalam skenario CM seiring dengan
kebijakan energi nasional sehingga bagian minyak akan turun secara
signifikan dari 3.285 Mtoe menjadi 0,007 Mtoe sedangkan bagian gas
akan meningkat dari 1.506 Mtoe menjadi 4.036 Mtoe, limbah dari 0
Mtoe menjadi 0,460 Mtoe, dan biofuel dari 0 Mtoe menjadi 0,093 Mtoe
pada tahun 2030 dan 2050.

2) Potensi Penurunan Emisi GRK melalui Aksi Pembangunan


Rendah Karbon di Tahun 2030 dan 2050
Tingkat emisi GRK masa depan dari sektor energi ditentukan oleh
kegiatan pembakaran bahan bakar fosil dan emisi GRK tidak
langsung dari konsumsi listrik pada subsektor transportasi, industri,
komersial, dan perumahan. Proyeksi emisi GRK menggunakan
skenario BaU menunjukkan emisi GRK terkait dengan energi yang
digunakan akan meningkat dari 28.249 Mton CO2e (2010) menjadi

164 | PRAKTIK
83.237 Mton CO2e (2030) dan 165.274 Mton CO2e (2050). Sedangkan
pada skenario CM, tingkat emisi GRK akan diturunkan menjadi
61.548 Mton CO2e (2030) dan 121.804 Mton CO2e (2050), yang setara
dengan penurunan 21.689 Mton CO2e (20.37%) dan 43.470 Mton
CO2e (22,95%). Pengurangan tersebut dicapai melalui langkah-
langkah peningkatan efisiensi pengguna akhir, penggantian bahan
bakar, perubahan moda transportasi, penerapan teknologi canggih
seperti kendaraan listrik berbahan bakar menggunakan sumber
terbarukan, dan promosi sistem PV surya.

Tingkat emisi GRK relatif sama untuk semua subsektor pada tahun
2010. Berdasarkan skenario BaU untuk tahun 2030 dan 2050, sub-
sektor komersial merupakan penyumbang GRK terbesar diikuti oleh
industri, perumahan, dan transportasi. Oleh karena itu, dalam
skenario CM tahun 2030, penurunan emisi GRK paling signifikan
dicapai oleh transportasi (46,36%) diikuti oleh komersial (24,76%),
industri (16,1%), dan sisanya 12,78% dari pemukiman. Kondisi ini
diperkirakan akan berubah pada tahun 2050, di mana subsektor
komersial dan industri akan secara signifikan menurunkan emisi
GRK masing-masing hingga 35,1% dan 27,8%.

Dalam konteks inventarisasi emisi GRK dan aksi mitigasi,


pembangkit listrik berada di luar kewenangan DKI Jakarta. Namun,
beberapa pembangkit listrik (Muara Karang dan Tanjung Priok)
terletak di DKI Jakarta dan pembangkit ini terintegrasi dengan
pembangkit listrik lain yang disuplai ke jaringan regional (JAMALI).
Oleh karena itu, emisi GRK akibat konsumsi listrik kota dihitung
dengan menggunakan faktor emisi off-grid. Emisi GRK dari
pembangkit listrik diproyeksikan meningkat 2,64 kali lipat dari 7.213
Mton CO2e menjadi 19.029 Mton CO2e.

Pada skenario CM, tingkat emisi GRK akan mampu turun masing-
masing sebesar 9.185 Mton CO2e (8,62%) dan 9,212 Mton CO2e

| 165
(4,86%) pada tahun 2030 dan 2050 dibandingkan dengan skenario
BaU DKI Jakarta. Tingkat emisi GRK di sektor limbah ditentukan
oleh jumlah limbah yang diolah dan jenis teknologi yang digunakan.
Dengan menggunakan skenario BaU, emisi GRK diperkirakan
meningkat 1,73 kali lipat dari 2.447 Mton CO2e menjadi 4.233 Mton
CO2e (2030) dan 2,14 kali menjadi 5,241 Mton CO2e (2050). Upaya
mitigasi yang dilaksanakan dalam skenario CM akan menghasilkan
penurunan emisi GRK sebesar 1.429 Mton CO2e (2030) dan 2.724
Mton CO2e (2050) yang setara dengan penurunan 1,34% dan 1,44%
dibandingkan dengan skenario BaU DKI Jakarta.

Potensi pengurangan yang signifikan diperoleh dari sampah


domestik (98,05%) dari pengurangan total dari sektor persampahan.
Sedangkan untuk sektor pertanian, kehutanan, dan tata guna lahan
(AFOLU), data dasar tahun 2018 digunakan sebagai acuan karena
keterbatasan data. Potensi penyerapan emisi GRK oleh sektor
kehutanan mencapai 59,8 ton CO2e, dengan luas vegetasi hutan kota
yang masih aktif sebesar 111,22 Ha untuk tahun 2018-2030. Dengan
asumsi luasan vegetasi hutan kota tahun 2010 dan 2018 sama, maka
penurunan emisi GRK tahun 2010 sama dengan tahun 2018.

Rencana aksi mitigasi diambil dari Rencana Strategis Kehutanan


2017-2022. Kegiatan mitigasi yang dipilih adalah pengembangan
ruang terbuka hijau hutan dan terbatas pada kegiatan penanaman
saja. Oleh karena itu, pengembangan ruang terbuka hijau hutan di
luar kegiatan penanaman tidak termasuk dalam kegiatan mitigasi.
Penambahan RTH hutan DKI Jakarta tahun 2017-2022 sebesar 3
ha/tahun. Data tahun 2023-2030 diperoleh dari hasil regresi
pengembangan ruang terbuka hijau pada Renstra Kehutanan tahun
2017-2022. Dalam mitigasi (CM), penyerapan emisi GRK dari sektor
kehutanan adalah 79,13 ton CO2e pada tahun 2030 atau meningkat
32,4% dibandingkan dengan tingkat BaU pada tahun 2018. Sehingga
penurunan emisi GRK yang dicapai dari sektor AFOLU adalah 19,35
ton CO2e pada tahun 2030.

166 | PRAKTIK
Pembahasan Proyek Pembangunan Kota Rendah Karbon

1) Rencana Aksi Pembangunan Rendah Karbon di Semarang pada


Tahun 2030
Berbagai program atau proyek pembangunan rendah karbon
diasumsikan dilaksanakan untuk mencapai pengurangan emisi CO2
dalam skenario CM. Program tersebut dapat dikategorikan menjadi
lima program utama berdasarkan kemiripan bidang dan
perspektifnya (sebagaimana dalam Tabel 2) yaitu: “Industri Hijau”,
“Bangunan Cerdas”, “Peralatan Cerdas”, Transportasi
Berkelanjutan” dan “Energi Hijau”. Kegiatan ini diperkirakan dapat
membantu mengurangi emisi CO2 sebesar 4220,3 ktCO2e. Selain itu
ada potensi penurunan emisi GRK dari perbaikan faktor emisi CO2
listrik karena kebijakan tenaga listrik nasional untuk mendorong
peralihan dari batu bara ke energi terbarukan sebesar 2179,3 ktCO2e.

Kegiatan pembangunan rendah karbon untuk Industri Hijau


mencakup kegiatan-kegiatan untuk mengurangi konsumsi energi
atau emisi CO2 terutama pabrik-pabrik di industri. Potensi
penurunan emisi CO2 setara dengan 2552,0 ktCO2e dengan aksi ini
dan memberikan kontribusi terbesar di antara aksi-aksi lainnya
karena sektor industri menghasilkan emisi CO2 yang lebih banyak
daripada sektor lainnya dan memiliki peluang besar untuk kegiatan-
kegiatan pengurangan emisi. Skema dukungan penghematan energi
seperti proyek Energy Service Company (ESCO) merupakan kegiatan
utama dan dapat berkontribusi untuk mengurangi emisi CO2
sebesar 964,6 ktCO2e.

Program pembangunan kota rendah karbon di bidang Bangunan


Cerdas terkait dengan perumahan dan gedung berpotensi
mengurangi emisi CO2 sebesar 248,4 ktCO2e. Potensi penurunan
emisi tidak hanya dari teknologi hemat energi seperti bahan bagunan
yang digunakan pada bangunan tetapi juga instalasi infrastruktur
untuk gas alam dan pemanas air tenaga surya menjadi program

| 167
andalan. Penggunaan pemanas air tenaga surya di rumah-rumah
dan bangunan dapat menurunkan emisi CO2 sebesar 76,2 ktCO2e.
Perangkat cerdas merupakan program pembangunan rendah karbon
yang terfokus pada mempromosikan perangkat dan peralatan hemat
energi yang digunakan di rumah dan kantor. Total pengurangan
emisi GRK oleh aksi ini adalah 434,1 ktCO2e.

Kegiatan atau program di sektor komersial memiliki potensi besar


untuk mengurangi pengurangan emisi CO2 dan berpotensi
mengurangi konsumsi energi dan emisi CO2 sebesar 150,6 ktCO2e.
Program Transportasi Berkelanjutan berpotensi menurunkan emisi
CO2 sebesar 950,1 ktCO2e. Peralihan moda ke angkutan umum serta
promosi kendaraan hemat bahan bakar merupakan pilar kegiatan
ini. Promosi sepeda motor hemat energi merupakan kegiatan yang
berpotensi mengurangi emisi CO2 terbesar, yaitu 452,3 ktCO2e.
Program kelima mengenai Energi Hijau adalah kegiatan yang
berkaitan dengan pembangkit tenaga listrik dari energi terbarukan
yang berpotensi menurunkan emisi 35,7 ktCO2e melalui
penggunaan sistem pembangkit listrik tenaga surya dan fasilitas
pembangkit listrik tenaga air skala kecil di Kota Semarang.

2) Rencana Aksi Pembangunan Rendah Karbon di Jakarta pada


Tahun 2030 dan 2050
Rencana aksi penurunan emisi GRK melalui pembangunan rendah
karbon di kota Jakarta secara umum dibagi menjadi dua bagian yaitu
dalam jangka menengah (2030) dan jangka panjang (2050). Dengan
berbagai aksi yang direncanakan, pada tahun 2030 diperkirakan
akan terjadi penurunan emisi GRK dari sektor energi sebesar 32.303
Mton CO2e sedangkan penurunan sebesar 56.866 Mton CO2e
diperkirakan akan terjadi di 2050 (Gambar 3). Secara umum,
penurunan emisi dari sektor energi diperoleh dari usaha-usaha
sektor pembangkit listrik (suplai); dari sisi pengguna energi dari
sektor limbah. Dari sisi pengguna energi, penurunan emisi dapat
dihasilkan dari efisiensi energi, penggunaan energi terbarukan,

168 | PRAKTIK
energi bersih, pergantian bahan bakar, perpindahan moda
transportasi, dan penerangan jalan umum menggunakan lampu LED
dan tenaga surya. Sedangkan dari sektor pembangkit listrik, potensi
penurunan emisi dihasilkan dari usaha-usaha efisiensi pembangkit
listrik, pergantian bahan bakar, dan pengoperasian pembangkit
listrik berbasis energi terbarukan.

a.

b.

Sumber: IGES, 2020


Gambar 3. Potensi Penurunan Emisi GRK di Jakarta Tahun 2030 (a)
dan Tahun 2050 (b)

| 169
Analisis
Sektor energi yang berasal dari pemakaian energi untuk industri,
bangunan gedung dan komersil, transportasi dan penggunaan
energi di rumah tangga merupakan penyumbang emisi karbon yang
utama di kota-kota besar Indonesia. Seiring dengan pertumbuhan
penduduk dan perkembangan pembangunan ekonomi di Indonesia,
kebutuhan energi akan meningkat pesat dalam jangka menengah
(2030) dan jangka panjang (2050). Hasil kajian menunjukkan
proyeksi kenaikan konsumsi energi sebesar 2,22 kali lipat di Kota
Semarang di tahun 2030 dibandingkan konsumsi energi di tahun
2015. Sedangkan di Kota Jakarta akan terjadi peningkatan konsumsi
energi sebesar 2,43 kali lipat di tahun 2030 dan 3,85 kali lipat di tahun
2050 dibandingkan konsumsi energi di tahun 2010. Peningkatan
konsumsi energi di masa yang akan datang bervariasi antar kota,
tergantung beberapa faktor internal di kota tersebut seperti
pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan jumlah rumah tangga,
dan kondisi perkembangan sosial-ekonomi yang dipengaruhi oleh
perkembangan ekonomi, pertumbuhan sektor industri dan jasa di
kota tersebut. Kondisi ini akan menyebabkan peningkatan emisi CO 2
di masa yang akan datang apabila tidak diikuti dengan intervensi
kebijakan pembangunan rendah karbon yang berpotensi
menurunkan emisi GRK.

Berbagai intervensi kebijakan (CM) dapat diterapkan dengan


harapan mengurangi laju pemakaian energi per kapita yang pada
gilirannya akan menurunkan emisi GRK dari perkotaan di
Indonesia. Secara umum, upaya-upaya penurunan emisi GRK dari
perkotaan di Indonesia dapat dilakukan dengan (a) melakukan
konservasi energi dari sisi penguna; (b) memperbaiki kondisi suplai
energi; (c) membangun transportasi berkelanjutan; (d) mengurangi
emisi melalui pengelolaan limbah padat dan cair dengan baik, dan
(e) berupaya melakukan penyerapan karbon melalui hutan/taman
kota. Upaya-upaya aksi dari sisi energi (penggunaan maupun suplai)
dan pembanguna transportasi berkelanjutan akan memberikan

170 | PRAKTIK
dampak lebih besar pada penurunan emisi GRK sektor perkotaan,
jika dibandingkan dengan upaya penurunan dari pengelolaan
limbah dan pemanfaatan hutan/taman kota yang sangat terbatas
dan sulit dikembangkan secara luas di kota-kota besar Indonesia.
Secara umum, rangkuman rencana aksi yang dapat dilakukan di
perkotaan di Indonesia dalam jangka menengah dan jangka panjang
terutama berbasis pada Perpindahan (Shift) dan Perbaikan (Improve)
seperti disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rangkuman Rencana Aksi Pembangunan Rendah Karbon di


Perkotaan Indonesia

Sektor Rencana Aksi Tentatif

Penggunaan peralatan yang memiliki efisiensi tinggi baik di industri,


perkantoran, komersial, maupun di perumahan
Penggunaan material bangunan, kaca dan bahan bangunan lainnya yang
mendukung konservasi & hemat
Energi - Sisi Peralatan listrik (AC dengan inverter , pendingan makanan dengan inverter ,
Penguna penerangan/lampu LED) hemat energi di gedung perkantoran, komersil dan
perumahan
Insentif ekonomi untuk rendah energi
Penggantian bahan bakar yang ramah lingkungan, seperti beralih ke BBG untuk
boiler , pemasangan pemanas air tenaga surya, dll.
Efisiensi pembangkit listrik (perbaikan teknologi)
Pergantian bahan bakar, seperti dari batubara ke BBG
Energi – Sisi Pengoperasian pembangkit listrik dari energi terbarukan (Panel Surya,
produsen Minihydro , dll)

Distribusi dan pengoperasian pembangkit listrik energi terbarukan skala kecil


Sektor di rumah tangga maupun perkantoran dan Tentatif
Rencana Aksi bangunan komersial

Perpindahan moda ke transportasi publik (BRT; LRT; MRT dll)


Perpindahan moda ke non-motorized (jalan kaki dan bersepeda)
Transportasi
Penggunaan kendaraan yang memiliki efisiensi tinggi
Berkelanjutan
Penggantian bahan bakar ramah lingkungan: Biofuel; Biodiesel; CNG
Elektrifikasi (angkutan umum, kendaraan pribadi maupun kendaraan kecil)
Pembangkit listrik tenaga sampah kota
Substitusi bahan bakar – RDF
Limbah Padat dan
Landfill gas recovery
Cair
Upaya-upaya 3R
Pengolahan limbah terpadu dan pengolahan lumpur

Pertama, peningkatan konsumsi energi di sektor Industri dan


Komersial yang akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan
ekonomi dan penambahan penduduk perkotaan serta gaya hidup

| 171
harus diimbangi dengan upaya-upaya konservasi energi yang
berbasis pada perbaikan teknologi, penggunaan material, peralatan
cerdas, pergantian bahan bakar, dan diikuti dengan insentif ekonomi
yang mendorong langkah-langkah konservasi energi. Kedua, sektor
transportasi berkontribusi cukup besar dan juga berpeluang besar
untuk menurunkan emisi GRK. Pembangunan sarana transportasi
publik bersifat massal dan sarana transportasi non-motorized (jalur
pejalan kaki dan sepeda) akan efektif untuk mendorong perpindahan
moda transportasi yang akan membantu menurunkan emisi dari
sektor transportasi. Perbaikan efisiensi yang berbasis pada teknologi
serta penggantian bahan bakar yang lebih ramah lingkungan (Bahan
Bakar Nabati (BBN), Bahan Bakar Gas (BBG), maupun kendaraan
listrik) akan membantu menurunkan emisi dari sektor transportasi.
Program konversi BBM lebih mudah dilaksanakan dan dapat
diimplementasikan. Kebijakan konversi BBM memberikan efek
berbeda dalam jangka menengah maupun jangka panjang seperti
contoh implementasi penggunaan biodiesel untuk transportasi dan
industri di Jakarta yang memberikan dampak cukup besar di tahun
2030.

Sementara itu, upaya konservasi energi melalui program bangunan


hijau akan memberikan dampak yang lebih besar untuk jangka
panjang (2050). Program konversi BBM ke BBG juga bisa sangat cepat
dilaksanakan seperti halnya program konversi dari BBM (Diesel) ke
BBG (Hybrid BBG+Diesel) yang telah diimplementasikan untuk 72
bus Trans Semarang. Implementasi dapat dilakukan sekitar 2-3
tahun setelah dilakukan pengkajian kebijakan. Selain itu, program
konversi BBM dapat dilaksanakan secara mandiri oleh masing-
masing kota maupun program lain yang perlu sinergi dengan
pemerintah pusat. Program konversi BBM ke BBG untuk bus umum
dapat dilaksanakan secara mandiri oleh pemerintah kota. Sedangkan
program konversi BBM ke biodiesel maupun program penggantian
ke kendaraan listrik perlu menyesuaikan dengan kebijakan dan
implementasi yang diatur di tingkat pusat. Program konversi ini juga

172 | PRAKTIK
dapat diterapkan untuk sarana transportasi publik maupun
kendaraan pribadi.

Sektor ketiga yang berkontribusi terhadap penurunan emisi GRK


berasal dari sektor pembangkit listrik. Namun demikian, sektor ini
seringkali berkatian dengan daerah lain karena lokasi pembangkit
listrik berada di luar kota ataupun dapat berkaitan langsung karena
kebetulan pembangkit listrik berada dikota tersebut. Dalam kajian
yang kami lakukan, Kota Semarang mendapat dampak tidak
langsung dari perbaikan sistem produksi tenaga listrik yang menjadi
bagian dari jaringan listrik Jawa-Madura-Bali (JAMALI). Sementara
itu, Kota Jakarta mendapatkan efek langsung karena perbaikan
sistem di dua pembangkit listrik Muara Karang dan Tanjung Priuk
yang keduanya terletak di dalam Kota Jakarta. Pembangunan
pembangkit listrik energi terbarukan pada bangunan-bangunan
serta perumahan dapat berkontribusi untuk menurunkan emisi GRK
di perkotaan dan mendukung suplai energi bersih. Selain itu, potensi
energi bersih di perkotaan dapat bersumber dari pembangunan
minihydro seperti yang diusulkan sesuai dengan potensinya di Kota
Semarang.

Sektor limbah dan AFOLU dapat berkontribusi menurunkan emisi


GRK di kota-kota besar di Indonesia namun dengan kapasitas
terbatas. Kegiatan pengolahan sampah dengan pembangkit listrik
tenaga sampah akan menghasilkan penurunan emisi GRK cukup
besar di Jakarta tahun 2030 dan 2050. Namun tantangan
implementasi program tersebut cukup besar hingga saat ini.
Program pengomposan (3R) di perkantoran dan rumah tangga
terutama untuk sampah kertas serta recovery gas di tempat
pembuangan akhir (TPA) dapat berkontribusi menurunkan emisi
GRK namun dalam skala kecil. Potensi penurunan emisi GRK juga
dapat diperoleh dari upaya pengolahan limbah cair terpadu yang
diikuti dengan pengolahan lumpurnya. Upaya-upaya penyerapan
emisi karbon melalui pengembangan hutan/taman kota memiliki

| 173
kendala utama dikarenakan keterbatasan lahan di kota-kota besar di
Indonesia.

Kesimpulan
Pengembangan skenario pembangunan rendah karbon dapat
digunakan dalam perencanaan jangka menengah dan jangka
panjang sehingga membantu para pengambil kebijakan kota-kota
besar agar dapat mengadopsi cetak biru perencanaan lebih awal.
Proses perencanaan skenario pengurangan emisi di masa yang akan
datang untuk skala kota perlu didukung analisis secara kuantitatif
yang berbasis pada informasi yang akurat, handal dan terpercaya
untuk menentukan data dasar emisi suatu kota pada tahun
referensi/acuan dasar pehitungan. Pemerintah Kota Jakarta dan
Kota Semarang berupaya menyusun strategi jangka menengah dan
jangka panjang di tingkat kota melalui pengembangan Strategi
Pembangunan Rendah Karbon (LCDS) untuk mencapai target
penurunan emisi jangka menengah (2030) dan jangka panjang (2050).
Kajian dilakukan secara kuantitatif dengan mengunakan
permodelan pengkajian terintegrasi (Integrated Assessment Model)
dengan pendekatan melihat kembali ke masa lalu (backcasting) dan
serta analisis kebijakan digunakan untuk menentukan prasyarat
transisi energi terbarukan, termasuk integrasi kebijakan energi dan
transportasi.

Pengembangan skenario pembangunan rendah karbon dapat


dilakukan dengan melalui pendekatan dari bawah dapat dilakukan
berdasarkan kebijakan dan program yang akan dilaksanakan di
tingkat kota pada jangka menengah dan jangka panjang. Kendala
yang dihadapi adalah kesulitan dalam pembuatan detail rencana
program pembangunan rendah karbon jangka panjang karena belum
tersedianya dokumen perencanaan umum jangka panjang di tingkat
kota. Pendekatan yang lain yaitu dari atas/skala makro yang
berbasis pada target penurunan emisi seperti yang tertera di

174 | PRAKTIK
Peraturan Gubernur DKI Jakarta no. 131/2012 tentang Rencana Aksi
Daerah Aksi Mitigasi GRK (RAD GRK) yang telah menetapkan
strategi ambisius perubahan iklim melalui penurunan emisi GRK
sebesar 30% pada tahun 2030 menggunakan baseline 2010.
Berdasarkan evaluasi hasil pencapaian yang sudah dilaksanakan
melalui inventarisasi emisi pada tahun 2018, kajian pengembangan
skenario pembangunan rendah karbon di Kota Jakarta fokus pada
program-program yang berpotensi cukup besar untuk mengejar
pencapaian target di tahun 2030. Semua hal tersebut menjadi
masukan penting dalam membuat kerangka kerja pembangunan
rendah karbon di perkotaan.

Pada prosesnya, penyusunan skenario pembangunan rendah karbon


melibatkan ahli tata kota, tokoh-tokoh lokal, dan warga dalam
menentukan prioritas rencana aksi di kedua kota tersebut.
Pembuatan skenario masa depan berbasis pada pekembangan
demografi, sosial ekonomi, serta perubahan gaya hidup dapat
dilakukan dengan menggunakan model pendekatan terintegrasi.
Dalam kajian dikedua kota, kami melakukan simulasi skenario emisi
di masa yang akan datang berbasis pada kondisi bisnis seperti biasa
(BaU) dan kondisi emisi setelah dilakukan berbagai intervensi
kebijakan (CM). Kajian tersebut berbasis informasi mengenai
kebijakan lokal, rencana dan program baik di tingkat nasional,
provinsi maupun kota yang selaras dengan tujuan pembangunan
rendah karbon beserta penjadwalan, cakupan, dan batasan program.

Detail kegiatan/program yang diprediksi memberikan keberhasilan


penurunan emisi GRK di suatu kota bisa berbeda dengan kota yang
lainnya. Selain itu diperlukan sinergi dan penyesuain dengan
program nasional seperti biofuel/biodiesel untuk transportasi dan
industri serta program kendaraan listrik dan dampaknya pada skala
perkotaan di masa yang akan datang. Hasil kajian menunjukkan
potensi penurunan emisi GRK cukup besar dapat diperoleh dari
sektor industri, komersial dan transportasi. Sedangkan sektor limbah

| 175
dan penyerapan karbon melalui pengembangan hutan dan taman
kota memiliki dampak lebih kecil dikarenakan keterbatasan lahan
pengembangan hutan dan taman kota di kota-kota besar Indonesia.

Secara umum, penurunan emisi GRK dapat dicapai dengan


pendekatan pengantian (shifting) bahan bakar; penggunaan material
rendah karbon; perpindahan (shifting) moda transportasi serta
perbaikan (improvement) teknologi yang mengurangi pemakaian
energi dan membantu konservasi energi di sektor industri, komersil,
dan perumahan. Hasil kajian juga menunjukkan bahwa pendekatan
kebijakan ekonomi berupa insentif bangunan hijau dapat
memberikan sumbangan penurunan emisi GRK di Kota Semarang.
Hasil kajian juga mengidentifikasi adanya perbedaan dampak
program atau kebijakan dalam jangka menengah (2030) dan jangka
panjang (2050) di Kota Jakarta. Pengembangan energi ramah
lingkungan seperti panel surya untuk pembangkit listrik skala kecil
dan penggunaan lampu hemat listrik (LED) secara umum dapat
dilakukan di semua lokasi. Sedangkan pengembangan energi
berkelanjutan berbasis dari minihydro hanya dapat dilakukan di kota-
kota yang masih memiliki potensi pengembangan seperti Kota
Semarang.

Daftar Pustaka
IEA. (2017), Key World Energy Statistics 2017. Key world energy
statistics, Tersedia di DOI: 10.1787/key_energ_stat-2017-en
Diyarni, I. P. (2018), Low carbon development in DKI Jakarta.
Seminar on city to city collaboration for low carbon city
development in Asia. Tokyo, 30th January, 2018.
IGES. (2017), Low Carbon Society Scenario Semarang 2030, Institute
for Global Environmental Strategies. Japan.
IGES. (2020), Long-term Strategy to Achieve DKI Jakarta's Low
Carbon Society 2050. Institute for Global Environmental
Strategies. Japan.
Heidrich, O., Reckien, D., Olazabal, M., Foley, A., Salvia, M., de
Gregorio Hurtado, S. (2016), National climate policies across

176 | PRAKTIK
Europe and their impacts on cities strategies. Journal of
Environmental Management, Vol. 168, 36-45.
Masripatin, N., Rachmawaty, E., Suryanti, Y., Setyawan, H., Farid,
M., & Iskandar, N. (2017), Strategi Implementasi NDC
(Nationally Determined Contribution). Direktorat Jenderal
Pengendalian Perubahan Iklim, Kementrian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan. Jakarta.
Nationally Determined Contribution (NDC) Pertama Republik
Indonesia, 2016. Tersedia di
https://www4.unfccc.int/sites/ndcstaging/PublishedDocume
nts/Indonesia%20First/First%20NDC%20Indonesia_submitted
%20to%20UNFCCC%20Set_November%20%202016.pdf
Niemeier, D., Grattet, R., & Beamish, T. (2015), “Blueprinting” and
climate change: Regional governance and civic participation in
land use and transportation planning. Environ. Plan. C Gov.
Policy, Vol. 33, 1600–1617, tersedia di
https://doi.org/10.1177/0263774X15614181
Olsson, L., Hjalmarsson, L., Wikström, M., & Larsson, M. (2015),
Bridging the implementation gap: Combining backcasting and
policy analysis to study renewable energy in urban road
transport. Transp. Policy, Vol. 37, 72–82, tersedia di
https://doi.org/10.1016/j.tranpol.2014.10.014
Pemerintah Kota Semarang. (2012), Profil emisi GRK Kota
Semarang Tahun 2010 – 2020. Pemerintah Kota Semarang.
Indonesia.
Reckien, D., Flake, J., Olazabal, M., & Heidrich, O. (2015), The
influence of drivers and barriers on urban adaptation and
mitigation plans- an empirical analysis of European cities.
PLoS ONE, Vol. 10:e0135597, tersedia di
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0135597
Dewi, R. G. (2012), Estimating GHG emissions from energy sector.
Reference & sectoral approach. Borobudur Hotel-Jakarta,
March 2nd, 2012.
Siagian, U. W. R., Yuwono, B. B., Fujimori, S., & Masui, T. (2017),
Low-carbon energy development in Indonesia in Alignment
with Intended Nationally Determined Contribution (INDC) by
2030. Energies, Vol. 10 No. 1, pp 52, tersedia di
https://doi.org/10.3390/en10010052

| 177
178 | PRAKTIK
BAB 9
PENGELOLAAN AIR TERPADU UNTUK
MEWUJUDKAN KETAHANAN KOTA
Pembelajaran dari Program Water As Leverage
SANTY PAULLA DEWI

Pendahuluan
Air menjadi isu global yang mengemuka sejak tahun 1970an hingga
hari ini, mulai dari krisis air bersih, sanitasi, polusi, hingga bencana
alam seperti banjir, rob, dan kekeringan (Guppy & Anderson, 2020).
Perubahan iklim menjadikan persoalan air semakin kompleks seperti
peningkatan muka air laut yang berkontribusi terhadap erosi dan
intrusi air laut, banjir, rob, dan kekeringan yang semakin meluas.
Pada akhirnya, isu air mempengaruhi semua aspek dalam
pembangunan kota mulai dari pembangunan ekonomi, kualitas
lingkungan, dan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, penting
kiranya untuk melihat air sebagai bagian intrinsik dari
pembangunan kota (Tortajada, 2010). Pengelolaan air yang baik akan
menjadi salah satu pengungkit perkembangan kota sehingga mampu
mewujudkan kota yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan
sesuai dengan tujuan SDGs ke-11.

Ketahanan kota merujuk pada kemampuan sistem perkotaan (sosial,


ekonomi, lingkungan, dan spasial) untuk mempertahankan dan
mengembalikan fungsinya sesuai dengan yang diinginkan dalam
menghadapi gangguan, mampu beradaptasi terhadap perubahan,
serta dapat mengubah dengan cepat sistem yang membatasi
kapasitas adaptif yang dimiliki saat ini atau masa yang akan datang
(Meerow et al., 2016; Ribeiro & Pena Jardim Gonçalves, 2019). Salah
satu sektor yang penting untuk mewujudkan kota yang memiliki

| 179
ketahanan terhadap perubahan iklim adalah pengelolaan air yang
terpadu (Muller, 2007). Menurut definisi dari Global Water
Partnership, pengelolaan air terpadu merupakan suatu proses yang
terkoordinasi untuk mendorong pengembangan dan pengelolaan
air, tanah, dan sumber daya terkait dalam rangka memaksimalkan
kesejahteraan ekonomi dan sosial yang dihasilkan dengan cara yang
adil tanpa mengorbankan kelestarian ekosistem penting (Fritsch &
Benson, 2013). Pada implementasinya, diperlukan partisipasi dari
semua stakeholder agar dapat mengakomodasi semua kebutuhan
serta untuk menghindari konflik kepentingan.

Implementasi konsep pengelolaan air terpadu tidaklah mudah,


karena banyak isu yang harus diintegrasikan serta banyak
stakeholder yang dilibatkan (Biswas, 2008). Untuk mewujudkan
efisiensi ekonomi, ketahanan lingkungan, dan keadilan sebagai pilar
dari pengelolaan air terpadu diperlukan konsep dan pendekatan
pembangunan kota yang inovatif dan inklusif (Koppen & Schreiner,
2014). Hal ini berarti bahwa tidak hanya fokus pada isu air semata
tetapi lebih komprehensif lagi yaitu menyangkut semua isu dalam
pembangunan kota seperti sosial, ekonomi, dan spasial. Salah satu
upaya integratif dan inovatif dalam pengelolaan air dapat dilihat
dari program Water as Leverage (WaL). Program WaL dimulai pada
tahun 2018 bersamaan dengan Hari Air Dunia yang diinisiasi oleh
kerajaan Belanda, khususnya Kementrian Luar Negeri Belanda
bekerjasama dengan banyak pihak seperti Asian Infrastructure
Investment Bank (AIIB), Netherlands Development Finance
Company (FMO), 100 Kota Berketahanan Dunia (100RC), dan
beberapa mitra lainnya (Netherlands Enterprise Agency, 2019).

WaL merupakan inisiasi yang inovatif dan inklusif untuk mengatasi


permasalahan terkait air. Tujuan dari program ini adalah
menghasilkan proposal kegiatan yang layak untuk didanai dan
diimplementasikan berisi konsep desain yang transformatif dan
integratif serta konsep pengelolaan yang inklusif. Secara lebih lanjut,

180 | PRAKTIK
output dari program WaL adalah sebuah konsep pembangunan yang
bisa diimplementasikan dan bahkan nantinya bisa direplikasi di
lokasi lain yang memiliki entitas yang sama melalui pendekatan
kolaboratif dan penyusunan desain yang inklusif. Konsep yang
dihasilkan merupakan pendekatan yang inovatif untuk menghadapi
berbagai persoalan terkait perubahan iklim dan menyediakan
pembiayaan untuk mengatasinya. Untuk bisa diimplementasikan,
maka perlu kerjasama dengan berbagai pihak mulai dari pemerintah
lokal, pemerintah provinsi, hingga pemerintah pusat, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) baik lokal maupun internasional,
akademisi, serta lembaga keuangan (pembiayaan) nasional maupun
internasional. Dengan kerjasama yang baik dari semua aktor tersebut
akan menciptakan lingkungan yang saling mendukung dan
menguatkan.

Inisiasi awal dari WaL mengambil lokasi di tiga kota Asia yaitu
Semarang, Chennai (India), dan Khulna (Bangladesh). Secara lebih
spesifik, justifikasi pemilihan Kota Kota Semarang menjadi salah
satu kota yang dipilih karena kota ini termasuk salah satu dari 100
Kota Berketahanan. Selain itu, Kota Semarang juga menghadapi
persoalan terkait dengan air seperti banjir dan rob, penurunan tanah,
longsor, kekeringan, dan penyediaan air bersih. Harapan dari
program WaL tidak hanya berupa solusi teknis (konsep) yang
inovatif terkait masalah air, tetapi juga desain yang implementatif,
serta kemungkinan pendanaan dan kelembagaannya.

Isu Air di Kota Semarang


Perubahan iklim menjadi salah satu penyebab munculnya berbagai
persoalan terkait air di mana dampak yang ditimbulkan adalah
adanya peningkatan permukaan air laut sehingga menyebabkan
banjir di kawasan pesisir Semarang. Perubahan iklim juga menjadi
salah satu sebab terjadinya bencana hidrometereologi seperti banjir,
rob, perubahan curah hujan yang ekstrim, tanah longsor, dan

| 181
kekeringan (Debele et al., 2019). Faktor penyebab lainnya adalah
terjadinya urbanisasi yang diindikasikan dari peningkatan jumlah
penduduk dan meningkatnya konversi lahan menjadi permukiman.
Secara umum, banjir dapat dikategorikan menjadi dua; pertama,
banjir pluvial yaitu banjir yang disebabkan karena curah hujan yang
tinggi sehingga tidak bisa tertampung ke saluran drainase, dan banjir
fluvial, yaitu banjir kiriman dari kawasan hulu ke hilir sehingga
sungai menjadi meluap (Muthusamy et al., 2019). Berdasarkan kajian
dari tim WaL, di Kota Semarang lebih banyak terjadi banjir fluvial
karena konversi lahan dan kerusakan lingkungan di kawasan hulu
sehingga penyerapan air berkurang dan run-off menjadi lebih besar.
Kondisi ini diperburuk dengan adanya curah hujan yang tinggi dan
terjadinya sedimentasi. Seperti banjir rob yang terjadi di kawasan
pesisir Semarang di mana adanya sedimentasi dan kenaikan muka
air laut membuat kawasan hulu seringkali tergenang.

Secara topografi, Kota Semarang terdiri dari kota atas dan kota
bawah. Jika kawasan kota bawah rentan terhadap banjir dan rob,
maka kawasan Semarang atas rentan terhadap longsor. Handayani,
et al. (2019) menyebutkan banjir dan tanah longsor menjadi bencana
yang paling sering terjadi di Kota Semarang pada kurun waktu
tahun 2010-2017. Hal ini dikarenakan resapan air yang semakin
berkurang dan curah hujan yang tinggi saat musim penghujan. Di
sisi lain, saat musim kemarau, masalah kekeringan juga dialami
masyarakat di beberapa lokasi. Kekeringan disebabkan karena
penyimpanan air rendah di mana eksploitasi air tanah yang
berlebihan oleh industri dan sumur-sumur rumah tangga. Selama ini
penanganan kekeringan yang dilakukan oleh Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang adalah
dengan memberikan bantuan air bersih melalui truk-truk tangki
pengangkut air. Namun demikian, upaya tersebut bersifat sementara
dan tidak bisa menjangkau seluruh lokasi yang rawan kekeringan3.
Kekeringan terjadi di kawasan yang belum terlayani jaringan

3
Sesuai data dalam http://bpbd.semarangkota.go.id/

182 | PRAKTIK
perpipaan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), di mana
cakupan pelayanan PDAM4 saat ini mencapai 60% dari seluruh area
di Kota Semarang. Kondisi ini memicu pertambahan jumlah sumur
bor yang dimiliki rumah tangga dan eksploitasi air tanah.

Pengambilan air tanah yang berlebihan juga menyebabkan


penurunan muka tanah. Hal ini terjadi di kawasan pesisir Kota
Semarang di mana banyak industri yang menggunakan air tanah
untuk pengolahan produknya. Isu kekeringan di Kota Semarang
terkait dengan kondisi daerah air sungai (DAS). DAS yang kritis
berimplikasi terhadap kurangnya penyerapan alami dan run-off
menjadi tinggi. Akibatnya, akan terjadi banjir saat curah hujan tinggi
terutama dikawasan hilir, dan kekeringan di kawasan hulu. Adanya
alih fungsi lahan, sedimentasi, dan erosi di DAS Kaligarang turut
berkontribusi terhadap terjadinya banjir dan kekeringan di Kota
Semarang. Gambar 1 menunjukkan persebaran daerah rawan
bencana terkait air di Kota Semarang.

Sumber : Handayani et al., 2019


Gambar 1. Peta Rawan Bencana terkait Isu Air Kota Semarang

4
Sesuai keterangan dalam https://www.pdamkotasmg.co.id/page/cakupan_pelayanan

| 183
Isu air di Kota Semarang cukup kompleks, di mana di kawasan
Semarang atas (hulu) mengalami ancaman kekeringan, longsor,
bahkan juga banjir. Sedangkan di kawasan hilir menghadapi
persoalan banjir dan rob, intrusi air laut yang berakibat pada
peningkatan kebutuhan air bersih yang sesuai standar, peningkatan
muka air laut, dan penurunan muka tanah. Selain itu, pengelolaan
jaringan drainase perkotaan juga tidak terkoneksi dengan baik antara
satu dengan lainnya sehingga tidak mampu menampung dan
mengalirkan air dengan maksimal.

Program Water as Leverage (WaL)


Program WaL dilaksanakan secara inklusif dengan melibatkan
semua stakeholder air maupun non-air terkait sejak dari tahap awal
hingga akhir. Kolaborasi antar stakeholder dan komitmennya untuk
mendukung pengelolaan air yang terpadu menjadi poin penting
untuk menilai keberhasilan program WaL. Meskipun pada kondisi
eksisting, komunikasi dan kolaborasi menjadi tantangan dalam
mewujudkan pembangunan kota yang lebih baik. Pelibatan
stakeholder juga menjadi satu wahana untuk meningkatkan
kapasitas institusional yang melibatkan intelektualitas, modal sosial,
dan aspek politik (Laeni et al., 2020). WaL Kota Semarang terdiri dari
dua Tim, yaitu Tim Cascading dan Tim One Resilient. Kedua tim
terdiri dari personel di berbagai bidang, aktor pemerintah,
akademisi, LSM baik lokal maupun internasional, sektor privat
(investor, pengembang perumahan), lembaga keuangan lokal
maupun internasional, dan masyarakat. Meski pada awalnya kedua
tim mengajukan konsep yang berbeda, namun pada proses
pengumpulan data, koordinasi, public hearing, workshop dilakukan
secara bersama-sama. Pada pelaksanaannya, program WaL dibagi ke
dalam empat tahap (identifikasi dan analisis permasalahan,
penyusunan proposal, identifikasi potensi pendanaan, dan
kemungkinan replikasi konsep) yang berlangsung sejak pertengahan
tahun 2018 hingga tahun 2019 sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 2.

184 | PRAKTIK
Sumber: Netherlands Enterprise Agency, 2019
Gambar 2. Tahapan Kegiatan WaL

1. Identifikasi dan Analisis Permasalahan Terkait Air dan


Kerentanan Iklim
Tahap awal ini dilakukan oleh tim dari Kementrian Luar Negeri
Belanda yang bertujuan untuk menemukenali lebih dalam mengenai
persoalan dan tantangan terkait dengan air di kota-kota Asia.
Dengan mengetahui tingkat kerentanan akibat iklim nantinya dapat
dihasilkan sebuah solusi yang inovatif untuk mengatasi semua
tantangan tersebut secara saat ini maupun untuk jangka panjang
(2050). Pada tahap ini, terpilihlah tiga kota di Asia sebagai pilot project
untuk WaL. Justifikasi pemilihan ini tidak hanya didasarkan pada
persoalan yang dihadapi, tetapi juga kesiapan dan komitmen dari
stakeholder lokal untuk mengantisipasi permasalahan iklim.

2. Penyusunan Proposal dari Kedua Tim Mengenai Strategi dan


Metode Pelaksanaan
Setelah melakukan kajian ditahap pertama, tim dari Pemerintah
Belanda melakukan seleksi terhadap 60 proposal yang telah masuk.
Kriteria yang digunakan untuk memilih tim terbaik adalah
komposisi tim (baik dari keilmuwan, komposisi gender, maupun
organisasi yang dilibatkan tidak terbatas di level lokal tetapi juga
internasional), pemahaman mengenai permasalahan air, perubahan
iklim, dan sistem perkotaan, keterkaitan konsep yang diajukan

| 185
dengan tujuan SDGs. Selanjutnya terpilih dua tim untuk masing-
masing kota, di mana untuk Kota Semarang tim yang terpilih adalah
'One Resilient Semarang' dengan komposisi tim yaitu One Architecture
& Urbanism, Deltares, Wetlands International, Kota Kita, Sherwood
Design Engineers, Hysteria Grobak, Iqbal Reza, dan UNDIP, dan tim
kedua yaitu 'Cascading Semarang' dengan anggota tim MLA+,
Deltares, FABRICations, PT Witteveen + Bos Indonesia, UNDIP,
UNISSULA dan IDN Liveable Cities (Netherlands Enterprise Agency,
2019). Pada pelaksanaannya, masing-masing tim menyusun konsep
desain yang berbeda, namun pada proses pengumpulan data
seringkali bersamaan, khususnya yang melibatkan banyak
stakeholder dalam kegiatan workshop bersama.

Pengumpulan data dan informasi untuk menghasilkan konsep dan


desain dilakukan melalui pelaksanaan workshop yang melibatkan
stakeholder terkait di mana tidak hanya instansi pemerintah, tetapi
juga universitas, non-governmental organization (NGO), maupun
pihak swasta di tingkat lokal maupun regional. Workshop ini
dilakukan selama beberapa kali dengan maksud menjaring informasi
awal dari stakeholder dan penyusunan alternatif solusi, sounding
konsep dan desain, serta alternatif pembiayaan. Melalui pendekatan
bottom up ini, terjalin komunikasi dan kolaborasi dari tim beserta
semua stakeholder. Karakteristik yang berbeda-beda dari tiap
institusi mewarnai pelaksanaan workshop dan menjadi tantangan
dalam proses perumusan konsep desain; kelompok masyarakat yang
lebih bicara pada tataran teknis yang implementatif, institusi
pemerintah lebih menekankan pada normatif, dan sektor swasta
menekankan pada pengalaman praktis.

3. Identifikasi Potensi Pendanaan untuk Implementasi Desain


Setelah konsep desain selesai dibuat, maka harapannya tidak hanya
berhenti sebatas rancangan semata tetapi juga layak untuk dibiayai
dan diimplementasikan. Oleh karena itu, pada tahap berikutnya
adalah bagaimana mengenalkan dan menghubungkan tim maupun

186 | PRAKTIK
pemerintah lokal kepada beberapa lembaga keuangan seperti the
Dutch Development Bank FMO, the Asian Infrastructure Investment Bank,
the World Bank, the Asian Development Bank, the Islamic Development
Bank, dan the Green Climate Fund. Pada tahap ini, masing-masing tim
memaparkan desain yang telah dibuat untuk nantinya dikritisi oleh
lembaga keuangan diatas mengenai kemungkinan pendanaan dan
peluang investasi. Workshop yang dilakukan tidak hanya
melibatkan lembaga keuangan internasional tetapi juga lembaga
nasional seperti PT. PII dan PT. SMI yang memang kompeten dalam
hal pembiayaan infrastruktur.

Sebagai tindak lanjut dan komitmen dari pemerintah Belanda, maka


dilakukan kerjasama bilateral dengan pemerintah lokal dari ketiga
kota sebagai bentuk dukungan terhadap penanangan persoalan
akibat perubahan iklim. Hal ini kemudian yang menjadi dasar
pembentukan WaL Taskforce di Kota Semarang. Tahapan ini menjadi
langkah yang penting karena pembiayaan seringkali menjadi
kendala dalam penyediaan infrastruktur. Oleh karena itu, perlu
kiranya untuk menggali sumber-sumber pembiayaan alternatif dan
tidak hanya menyandarkan pada anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD) yang alokasinya relatif terbatas. Konsep desain yang
disusun tentunya harus mampu memberikan keuntungan tidak
hanya secara finansial bagi investor tetapi juga keuntungan ekonomi
bagi masyarakat dan pemerintah.

4. Kemungkinan Replikasi Konsep


Desain solusi penanganan persoalan air dan perubahan iklim yang
dibuat oleh kedua tim diharapkan mampu menjadi generator
perkembangan kota melalui pendekatan yang inklusif dan
kolaboratif sehingga kota lebih memiliki ketahanan. Selain itu,
pentingnya relasi dengan lembaga pembiayaan (keuangan)
infrastruktur menjadi sesuatu yang penting agar desain tersebut
menjadi layak untuk dibiayai. Tentunya hal ini tidak mudah, perlu

| 187
adanya pemahaman bahwa investasi pada bidang ketahanan iklim
menjadi sebuah peluang yang mungkin untuk dilakukan.

Pada proses penyusunan desain, terdapat empat prinsip yang


menjadi dasar penentuan strategi, yaitu:

• Sistem air di Kota Semarang, mulai dari aspek hidrogeologi,


penyediaan air bersih, pengelolaan limbah, dan aspek lainnya.

• Faktor non-air, seperti urbanisasi, pertumbuhan penduduk,


penyediaan infrastruktur, dan tantangan perkotaan lainnya
yang memberikan dampak terhadap isu air.

• Aspek sosial, ekonomi, dan budaya yang ada, karena


bagaimanapun solusi yang nantinya diambil tidak hanya fokus
pada aspek fisik berupa infrastruktur saja. Tetapi tentunya juga
bagaimana bisa melibatkan masyarakat lebih besar terhadap
solusi yang ditawarkan, termasuk bagaimana meningkatkan
komitmen dari pemerintah dan stakeholder lain dalam konteks
ketahanan kota. Seperti pentingnya perubahan perilaku
masyarakat dan industri untuk tidak lagi berlebihan
menggunakan air tanah dan memiliki kemauan untuk mencoba
alternatif penyediaan air yang lebih ramah lingkungan.

• Bankable, artinya nantinya desain yang dibuat layak untuk


dibiayai, tidak semata-mata desain solutif yang “mahal” dan
sulit untuk direalisasikan. Tentunya skema pembiayaan ini
perlu disesuaikan dengan kebijakan dan peraturan yang terkait,
khususnya mengenai penyediaan infrastruktur

Kontribusi WaL terhadap Pengelolaan Air di Kota Semarang


Pengelolaan air selama ini dilakukan dengan bagaimana
mengalirkan air secepatnya ke laut, tanpa ada upaya untuk
memanfaatkan dan menyimpan air sebagai cadangan saat musim
kemarau. Selain itu, upaya mengatasi persoalan air belum dilakukan
secara integratif. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh tim

188 | PRAKTIK
WaL, dihasilkan lima usulan strategi penanganan permasalahan air
yang inovatif di mana mencakup intervensi terhadap kawasan hulu
ke hilir dan mengacu pada prinsip pengelolaan air yang
berkelanjutan. Program yang dihasilkan ini disesuaikan dengan
program pemerintah yang sudah maupun sedang berjalan.

Gambar 3. Prinsip Pengelolaan Air dalam WaL

1. Kawasan Pesisir yang Terintegrasi


Intervensi yang dilakukan di kawasan pesisir dimaksudkan untuk
mengatasi banjir sekaligus penurunan muka tanah. Upaya
perlindungan kawasan pesisir yang terintegrasi dilakukan
melakukan kerjasama dengan pemerintah Kabupaten Kendal dan
Kabupaten Demak sehingga upaya proteksi kawasan pesisir menjadi
lebih komprehensif. Secara teknis, proteksi ini dilakukan dengan
menyediakan infrastruktur keras seperti saluran air yang terkoneksi
dengan baik lintas wilayah dan infrastruktur lunak (pengelolaan
mangrove).

| 189
2. Kampung Tangguh
Tujuan dari program ini adalah intervensi skala kecil di mana
masyarakat diedukasi dan didorong agar mampu memanfaatkan
potensi kampung yang ada sehingga tidak hanya dapat
meningkatkan pendapatan tetapi juga berdampak positif terhadap
lingkungan. Secara lebih nyata, inisiasi dilakukan dengan mendaur
ulang sampah, memfasilitasi pemanfaatan air hujan melalui kegiatan
pemanenan air hujan yang digunakan untuk aktivitas mencuci dan
menyiram tanaman, dan penyediaan air minum berbasis komunitas.
Program ini menekankan pada peningkatan kapasitas masyarakat
untuk berkontribusi pada inisiasi lokal yang sudah ada sebelumnya.
Selain itu, program ini juga selaras dengan program kampung
tematik yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Semarang.
Program kampung tematik pada dasarnya dimaksudkan untuk
meningkatkan perekonomian masyarakat, mengatasi kemiskinan,
dan memberdayakan masyarakat. Lebih jauh lagi, pada program
kampung tangguh koma, masyarakat tidak hanya tangguh dari sisi
sosial ekonomi, tetapi juga tangguh terhadap kemungkinan tekanan
akibat adanya perubahan iklim sehingga memiliki kesadaran akan
isu lingkungan dan berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan.

3. Peningkatan Penyerapan Air di Kawasan Hulu


Kawasan Semarang atas terus mengalami konversi lahan sehingga
rawan longsor dan mengurangi penyerapan alami. Dasar dari
konsep ini adalah spongy city, di mana mengoptimalkan penyerapan
air sehingga mengurangi run-off. Hal ini dilakukan dengan
mengusulkan desain pembangunan terasiring (cascading) khususnya
di kawasan perbukitan di mana diatur pemanfaatan ruangnya
sehingga tidak didominasi oleh ruang terbangun saja. Melalui desain
terasiring diharapkan dapat mengoptimalkan lahan-lahan kritis
yang semula tidak dapat dimanfaatkan dan cenderung dibiarkan
dirubah menjadi ruang terbuka hijau, rekreasi, dan bahkan
permukiman. Selain itu, peningkatan upaya penyerapan air alami
diharapkan dapat mengurangi risiko banjir di kawasan hilir. Konsep

190 | PRAKTIK
ini sejalan dengan program yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah
Kota Semarang seperti pembangunan Waduk Jatibarang yang
dimaksudkan sebagai tangkapan dan penampungan air sehingga
dapat mensuplai air untuk masyarakat sekitarnya dan mengurangi
air limpasan. Waduk Jatibarang juga didesain sebagai sebuah ruang
publik yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Pembangunan
embung-embung di kawasan Semarang atas juga selaras dengan
konsep ini yang bertujuan untuk menampung air, menjadi cadangan
air, dan mengurangi limpasan.

4. Perbaikan Drainase Perkotaan


Normalisasi drainase perkotaan dilakukan untuk mengatasi
sedimentasi maupun tumpukan sampah di saluran drainase
sehingga dapat menampung dan mengalirkan air sesuai dengan
kapasitasnya. Kondisi jaringan drainase eksisting seringkali ditutupi
oleh bangunan, dijadikan tempat pembungan sampah dan limbah
sehingga kapasitasnya menjadi menurun. Oleh karena itu,
normalisasi jaringan drainase ini tidak hanya ditujukan untuk
mengembalikan kapasitasnya saja sehingga mengurangi risiko banjir
dan memperlambat limpasan air, tetapi juga sekitar jaringan
drainase ini didesain sedemikian rupa sehingga dapat difungsikan
sebagai sebuah ruang terbuka publik dengan menambahkan
beberapa fasilitas publik seperti taman dan jogging track. Manfaat
dari program ini adalah meningkatkan kapasitas jaringan drainase,
menyediakan ruang untuk masyarakat, serta meningkatkan estetika
wajah kota.

5. Penyediaan Air untuk Industri


Konsep ini ditujukan untuk mengurangi eksploitasi air tanah yang
berlebihan untuk kebutuhan industri khususnya di kawasan pesisir
sehingga dapat mengurangi penurunan muka tanah. Pemenuhan air
untuk industri dilakukan dengan membangun reservoir skala besar
(seperti tanggul laut) dan reservoir skala menengah yang dibangun
di sepanjang jaringan drainase perkotaan. Reservoir skala besar ini

| 191
disesuaikan dengan rencana program Pemerintah Kota Semarang
yaitu pembangunan jalan tol dan tanggul laut. Dengan demikian
tanggul laut ini tidak hanya difungsikan sebagai mencegah banjir di
kawasan pesisir, tetapi juga penampungan air yang kemudian
diberikan teknologi pengolahan air sehingga dapat dimanfaatkan
oleh industri. Program ini tidak hanya dimaksudkan mengatasi
banjir dan penurunan muka tanah, tetapi juga secara finansial bisa
menjadi sumber pendapatan bagi pemerintah dengan mensuplai air
ke industri. Dengan menurangi risiko banjir diharapkan dapat
meningkatkan nilai ekonomi kawasan pesisir sehingga lebih atraktif
bagi investor.

Sumber: Pemerintah Kota Semarang, 2019


Gambar 4. Usulan Strategi Penanganan Masalah Air WaL

Refleksi Pengelolaan Air di Kota Semarang


Berdasarkan rekomendasi dari tim WaL, untuk mengatasi
permasalahan air di Kota Semarang tidak hanya menyangkut aspek
teknis saja, tetapi juga pentingnya aspek kelembagaan dan
pembiayaan. Oleh karena itu, penting kiranya untuk bisa melakukan
pengelolaan air secara integratif, dari hulu ke hilir, dan multi

192 | PRAKTIK
stakeholder lintas departemen dan lintas wilayah. Terlebih kebijakan
terkait dengan pengelolaan air tidak hanya melibatkan instansi yang
bersinggungan dengan air saja, tetapi juga instansi “non-air” seperti
Dinas Tata Ruang, Bappeda, dan PLN. Hal ini selaras dengan konsep
Integrated Water Resources Management (IWRM), di mana dalam
implementasinya membutuhkan kebijakan yang mendukung,
partisipasi dari institusi terkait, pengelolaan yang baik, serta
pembiayaan yang kuat (Pahl-Wostl et al., 2020).

Menurut Global Water Partnership, IWRM merupakan konsep


pengelolaan air yang menitikberatkan pada adanya koordinasi
dalam pengembangan sumber daya air dan non air untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan
keberlangsungan ekosistem. Berdasarkan pembelajaran dari negara
lain yang juga mengadopsi konsep IWRM, diketahui bahwa terdapat
beberapa tantangan yang dihadapi, seperti koordinasi dalam
implementasi IWRM di Inggris dan Kanada pada beberapa level
pemerintahan cukup sulit; terlebih jika menyangkut sektor yang
berbeda, seperti sektor pertanian dan DAS. Berdasarkan strategi
yang diusulkan dari program WaL, maka terdapat beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam pengelolaan air yang integratif air di Kota
Semarang.

1. Solusi Teknis yang Inovatif


Solusi penanganan permasalahan air di Kota Semarang perlu
ditinjau dari berbagai aspek; di mana tidak hanya fokus pada satu
masalah saja seperti banjir dan rob saja tetapi juga mengatasi
masalah lain atau menghasilkan co-benefits. Oleh karena itu, perlu
upaya yang inovatif disamping solusi rutin yang dilakukan
pemerintah untuk mengatasi masalah air. Upaya penanganan banjir
dan rob perlu disinkronkan dengan strategi penanganan kekeringan,
penurunan muka tanah, dan penyediaan air minum. Penanganan
banjir di Kota Semarang saat ini sudah cukup baik, di mana
pemerintah terus melakukan perbaikan dan peningkatan. Beberapa

| 193
hal yang telah dilakukan seperti keberadaan 5 polder (Tawang,
Banger, Kali Semarang, Muktiharjo Kidul, dan Kaligawe),
penyediaan 49 rumah pompa yang tersebar di Kota Semarang,
normalisasi Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur, normalisasi
Kali Tenggang dan Kali Sringin, pembangunan kolam retensi, dan
penyediaan fasilitas pendukung lainnya seperti truk penyedot air
portabel. Semua upaya yang telah dilakukan diharapkan mampu
mengatasi permasalahan banjir baik yang merupakan limpasan dari
daerah hulu maupun banjir yang disebabkan oleh tingginya curah
hujan.

Solusi penanganan banjir tidak hanya sebatas bagaimana secepatnya


mengalirkan air hujan ke laut dengan cara memompa air maupun
menggunakan truk penyedot, tetapi juga ada upaya untuk
memanfaatkan air dan mengoptimalkan penyerapan air khususnya
di kawasan hulu. Dengan demikian, cadangan air bersih akan
meningkat dan nantinya dapat mengurangi ancaman kekeringan.
Disisi lain, upaya mengatasi kekeringan tidak hanya pada
bagaimana menyediakan anggaran untuk mensuplai air bersih tetapi
juga menyangkut bagaimana merestorasi DAS Kaligarang yang
keberadaannya turut berkontribusi terhadap terjadinya banjir dan
kekeringan di Kota Semarang.

Kekeringan sebagian besar terjadi di daerah yang belum terlayani


jaringan air perpipaan (PDAM), selama ini diatasi dengan mensuplai
air bersih menggunakan truk tangki (kapasitas 5.000 liter) setiap hari
ke wilayah yang mengalami kekeringan. BPBD berperan sebagai
penyedia tandon airbekerjasama dengan PDAM untuk mensuplai air
bersih. Disisi lain, restorasi DAS Kaligarang diperlukan untuk
mengontrol penyerapan air di daerah hulu dan mengurangi
limpasan air ke daerah hilir. Dengan penyerapan alami yang baik,
maka dapat meminimalisir atau bahkan mencegah terjadinya
kekeringan di daerah hulu yang tidak hanya terjadi saat musim
kemarau tetapi juga saat musim penghujan dan saat banjir.

194 | PRAKTIK
Pemanfaatan air hujan atau limpasan untuk kebutuhan lain seperti
pertanian, perkebunan, hingga aktivitas pengolahan industri
diharapkan juga mampu mengurangi eksploitasi air tanah. Pada
akhirnya pengurangan pemanfaatan air tanah juga dapat
mengurangi laju penurunan muka tanah di Kota Semarang.
Keberadaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Semarang Barat
merupakan salah satu solusi yang telah dilakukan oleh Pemerintah
Kota Semarang untuk melayani kebutuhan air bersih bagi
masyarakat dan industri memiliki efek ganda; tidak hanya
memenuhi kebutuhan air bersih, tetapi juga mengurangi
penggunaan air tanah, serta meningkatkan pendapatan pemerintah.
Selama ini upaya penanganan penurunan muka tanah antara lain
melalui pembatasan pemanfaatan air tanah, pencegahan erosi dan
abrasi, serta peningkatan penyediaan air untuk industri. Namun
demikian, peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan
aktivitas ekonomi menjadi tantangan dalam penyediaan air bersih
dan penurunan muka tanah.

Solusi teknis dari program WaL tidak hanya menyasar pada


penanganan masalah yang timbul akibat air tetapi mengubah
keberadaan air tersebut menjadi sebuah potensi yang bisa
dikembangkan dan memberi manfaat untuk masyarakat. Melalui
pengelolaan air yang terpadu, maka tidak hanya mampu mengatasi
banjir, tetapi juga menjadi salah satu sumber pendapatan
pemerintah, menyediakan ruang publik bagi masyarakat,
meningkatkan nilai estetika dan nilai ekonomi kawasan.
Pengoptimalan penyerapan air di kawasan hulu tidak hanya mampu
mengurangi air limpasan ke kawasan hilir tetapi juga menjadi
cadangan air bagi kawasan hulu khususnya saat musim kemarau
sehingga mampu meminimalisir kekeringan. Di saat yang
bersamaan juga melakukan normalisasi jaringan drainase perkotaan
yang bertujuan untuk mengalirkan air secara optimal sehingga
mengurangi potensi banjir terutamaa saat debit air yang melebihi
kapasitas jaringan. Upaya ini bersinergi dengan penataan kawasan
sekitar jaringan drainase sehingga merepresentasikan wajah kota

| 195
yang lebih baik dan juga sebagai usaha untuk menyediakan ruang
publik untuk masyarakat.

Hal penting lainnya yang perlu terus diupayakan adalah edukasi


kepada masyarakat untuk tidak membuang sampah dan limbah cair
ke sungai. Aliran air dari kawasan hulu melalui jaringan drainase
dapat terkontrol dengan baik untuk selanjutnya mengalir ke
kawasan hilir. Disini air ditampung dan diolah untuk selanjutnya
didistribusikan kepada masyarakat dan industri sehingga mampu
mengurangi eksploitasi air tanah. Dengan demikian kawasan hilir
akan terhindar dari banjir sekaligus menjadi upaya proteksi kawasan
pesisir dari penurunan muka tanah dan abrasi.

2. Tata Kelola Air yang Inklusif


Komitmen pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi persoalan
air cukup baik. Hal ini dilihat dari keterlibatan Kota Semarang dalam
inisiatif 100RC pada tahun 2015. Inisiatif ini merupakan dukungan
dari Rockefeller Foundation dan Mercycorps Indonesia, di mana
diharapkan kota-kota yang tergabung memiliki ketahanan baik pada
aspek kesehatan dan kesejahteraan, sosial dan ekonomi, lingkungan
dan infrastruktur, serta kepemimpinan dan strategi terhadap shock
dan strees yang diakibatkan oleh adanya perubahan iklim
(Pemerintah Kota Semarang, 2016). Melalui inisiatif ini dihasilkan
dokumen ketahanan kota (City Resilience Strategy-CRS) yang memuat
pilar-pilar serta strategi untuk menjadi kota yang memiliki
ketahanan.

Adanya komitmen pemerintah untuk menyiapkan diri menghadapi


tantangan akibat perubahan iklim juga menjadi salah satu
pertimbangan dipilihnya Kota Semarang sebagai salah satu proyek
percontohan program WaL. Partisipasi dan dukungan dari semua
stakeholder menjadi salah satu kata kunci dalam penanganan
permasalahan terkait dengan air. Partisipasi stakeholder disini

196 | PRAKTIK
dimaksudkan sebagai bentuk keterlibatan instansi pemerintah,
institusi non pemerintah, maupun masyarakat dalam pengambilan
keputusan. Adanya partisipasi yang baik maka akan meningkatkan
akuntabilitas, kepercayaan, serta dukungan masyarakat terhadap
kebijakan dan proram yang dilaksanakan serta mengurangi
munculnya risiko dan masalah dalam implementasi (Ruiz-Villaverde
& García-Rubio, 2017). Pada akhirnya, akan muncul kesadaran
masyarakat dan adanya proses pembelajaran yang akan
meningkatkan kerjasama dan kolaborasi antar stakeholder (Horlitz,
2007).

Akan tetapi, faktanya, kerjasama stakeholder dalam pengelolaan air


bukanlah hal yang mudah khususnya menyangkut aspek kebijakan
dan kelembagaan; di mana ego sektoral dan kedaerahan masih
mewarnai proses kerjasama. Oleh karena itu, perlu adanya adaptasi
dari masing-masing pihak terhadap setiap perubahan serta adanya
pemahaman akan perbedaan peran dan kapasitas yang sehingga
akan tercipta rekonsiliasi dan meredam konflik yang rentan muncul
(Usace, 2016). Seperti penanganan DAS Kaligarang, di mana
dilakukan komunikasi dan koordinasi antara Pemerintah Kota
Semarang, Pemerintah Kabupaten Semarang, dan Pemerintah
Kabupaten Kendal.

Persoalan lain yang muncul dalam aspek tata kelola ini adalah
kurangnya pelibatan stakeholder “non-air” (institusi terkait dengan
aspek sosial dan ekonomi) dalam perumusan kebijakan maupun
penentuan program terkait air (Pahl-Wostl, 2020). Faktanya,
stakeholder “non-air” memiliki pengaruh dan kepentingan dalam
pengembangan sumber daya air (Tortajada, 2010). Beberapa
stakeholder “non-air” antara lain NGO, universitas, maupun
kelompok masyarakat. Universitas baik di tingkal lokal maupun
internasional memiliki banyak penelitian terkini atau pusat-pusat
riset yang mengamati persoalan air di mana hasil dari riset ini dapat
dimanfaatkan pada proses monitoring maupun evaluasi berbagai

| 197
kebijakan air. Hal ini penting karena dalam pengelolaan sumber
daya air diperlukan data yang akurat dan terkini di mana hal ini
tidak mudah diperoleh khususnya di negara-negara berkembang
karena adanya hambatan teknologi (Zogheib et al., 2018).

Keberadaan NGO lokal maupun internasional juga mempengaruhi


tata kelola air melalui peran mereka dalam hal keuangan (hibah,
donasi, maupun hutang) dan perdagangan (Dore et al., 2012).
Sedangkan kelompok masyarakat menjadi ujung tombak dalam
implementasi kebijakan karena mereka yang berhadapan langsung
dengan masyarakat dan persoalan air. Keberadaan SIMA, kelompok
pemuda pecinta alam dan konservasi mangrove Prenjak, komunitas
pengamat sungai Garang, dan lainnya penting untuk dilibatkan pada
proses pengelolaan air dimulai dari tahap awal hingga monitoring
dan evaluasi. Komunitas-komunitas ini menjadi media dan jembatan
komunikasi dengan masyarakat secara umum. Adanya pemahaman
yang komprehensif dan dampak nyata yang dirasakan masyarakat
akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan air.

Dengan demikian, untuk mewujudkan tata kelola air yang inklusif


maka membutuhkan kerjasama dari semua stakeholder lintas bidang
dan lintas level. Masing-masing stakeholder memiliki peran yang
tentunya saling terkait. Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali
Juwana sebagai representasi dari pemerintah pusat fokus pada
kinerja sungai, kawasan pertanian, banjir dan kekeringan, kualitas
air dan polusi, erosi dan sedimentasi, serta intrusi air laut. Dinas
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah yang
berperan dalam konservasi kawasan DAS serta Dinas Pengelolaan
Sumber Daya Air terkait pengelolaan air lintas wilayah menjadi
wakil dari pemerintah provinsi Jawa Tengah. Sedangkan pemerintah
Kota Semarang berperan dalam pengelolaan jaringan drainase
perkotaan dan semua fasilitas terkait dengan air. Semua institusi
pemerintah tersebut perlu mendapatkan dukungan dari aktor lain
seperti universitas selaku knowledge partner, kelompok masyarakat,

198 | PRAKTIK
sektor swasta (industri, developer, dan lainnya), serta lembaga
keuangan baik nasional maupun internasional.

Sumber: Fulazzaky, 2014; Pemerintah Kota Semarang, 2019


Gambar 5. Stakeholder dalam pengelolaan air yang inklusif

3. Sumber Pembiayaan Alternatif


Penanganan persoalan air seringkali terganjal pada aspek
pendanaan; mengingat pengadaan infrastruktur untuk menangani
banjir dan rob membutuhkan biaya yang besar. Secara umum,
pembiayaan infrastruktur di Indonesia dapat berasal dari
pemerintah, baik melalui APBN maupun APBD; keterlibatan pihak
ketiga, melalui skema CSR, PPP/KPBU; dan availability payment,
Pembiayaan Investasi Non-anggaran Pemerintah (PINA), hibah,
maupun pinjaman. Faktanya, kemampuan pemerintah dalam
penyediaan infrastruktur hanya 30% saja atau terjadi gap pendanaan
(kekurangan investasi) sebesar 70% atau 1,4 triliun rupiah. Di sisi
lain, terjadi peningkatan investasi infrastruktur sebesar 20% dari

| 199
tahun 2020-2024 atau 429,7 M dalam APBN 20205. Oleh karena itu,
diperlukan sumber pembiayaan alternatif non APBN/APBD untuk
pembangunan infrastruktur yaitu dengan melibatkan pihak ketiga.
Di sisi lain, jika ditinjau dari dana penanangan bencana, maka secara
umum bersumber dari APBN atau pinjaman. Sumber pembiayaan
dalam penanganan bencana ditentukan berdasarkan tingkatan
bencana (dampak kerugian atau kerusakan yang ditimbulkan)
apakah termasuk rendah (banjir lokal dan tanah longsor), sedang
(erupsi gunung berapi, banjir bandang), atau tinggi (bencana
katastropik). Dana terkait bencana diperuntukkan pra bencana dan
pasca bencana; artinya bukan dalam konteks mitigasi bencana
(Wibowo, 2017).

Pelibatan pihak ketiga dalam pengelolaan air selama ini


menggunakan skema Corporate Social Responsibility (CSR), seperti
bantuan suplai air bersih untuk daerah kekeringan, penyediaan
pamsimas, dan bantuan pembangunan fasilitas lingkungan.
Peraturan mengenai CSR diatur dalam Perda Kota Semarang No. 7
tahun 2015 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan
sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Kota Semarang. Pada
pelaksanaannya, CSR belum terkoordinir dengan baik dan lebih
banyak dilakukan secara mandiri oleh perusahaan-perusahaan. CSR
dilakukan sesuai dengan kajian yang dilakukan sendiri oleh
perusahaan maupun berdasarkan proposal yang diajukan oleh
masyarakat. Oleh karena itu, tidak semua kawasan mendapat
bantuan dari program CSR. Terlebih CSR sifatnya insidental dan
tidak berkelanjutan sehingga dampak yang ditimbulkan belum
signifikan dan tidak merata.

Peran pihak ketiga dalam pengelolaan air juga dapat dilakukan


melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Pelibatan badan usaha juga telah diadopsi di negara lain seperti

5
Sesuai yang diterbitkan Kementerian Keuangan

200 | PRAKTIK
dalam hal penyediaan air minum, pengelolaan air limbah dan
sanitasi di mana tidak hanya dikarenakan alasan keterbatasan
finansial pemerintah, tetapi juga karena alasan efisiensi (Ruiters,
2013). Pemerintah Kota Semarang juga telah menggunakan skema
KPBU6 pada proyek SPAM Semarang Barat dengan jangka waktu
kerjasama selama 25 tahun untuk masa operasi dan 2 tahun untuk
masa konstruksi. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan air
menjadi salah satu bidang kerjasama yang juga menarik bagi badan
usaha (swasta).

Bagi badan usaha, keterlibatan dalam proyek pemerintah tidak


hanya karena alasan keuntungan secara finansial, tetapi juga karena
adanya peluang atau kesempatan untuk terlibat dalam proyek
pemerintah lainnya (Felsinger et al., 2008). Namun demikian,
pembiayaan infrastruktur melalui skema KPBU bukanlah hal yang
mudah. Secara umum, minimnya informasi menjadi kendala dalam
KPBU sehingga beberapa proyek dianggap kurang menarik oleh
investor dan memiliki risiko yang besar (Chou & Leatemia, 2016).
Selain itu, kegiatan evaluasi setelah semua aktivitas selesai jarang
dilakukan karena dianggap kurang penting dan kurangnya
pemahaman mengenai faktor-faktor apa saja yang perlu
dipertimbangkan dalam kegiatan evaluasi tersebut.

Faktor lain yang menghambat pelaksanaan KPBU antara lain


mengenai kejelasan payung hukum, komitmen dan tanggung jawab
stakeholder, proses lelang dan administrasi yang transparan. Meski
demikian, penggunaan skema KPBU dalam mengatasi isu air di Kota
Semarang bukan hal yang tidak mungkin. Tantangannya adalah
bagaimana menangani persoalan air yang tidak hanya fokus pada
solusi teknis yang inovatif tetapi juga atraktif secara finansial
sehingga dapat dikerjasamakan dengan badan usaha untuk
pendanaannya. Pembiayaan yang berkelanjutan menjadi hal yang

6
Informasi lebih lanjut pada laman http://kpbu.djppr.kemenkeu.go.id/

| 201
penting dalam mengatasi persoalan air. Sustainable water financing
adalah pembiayaan dalam pengelolaan air yang berkelanjutan dan
tidak menimbulkan sunk cost (Hilbig & Rudolph, 2019). Mekanisme
pembiayaan ini sangat menentukan bagaimana pembangunan
infrastruktur air, pengoperasian, dan pengelolaannya. Tahap
pengelolaan (O&M) seringkali diabaikan dan dilewatkan pada
proyek pembangunan infrastruktur yang pada akhirnya justru
mempengaruhi kinerja dan fungsi dari infrastruktur tersebut.
Sustainable water financing juga merupakan implementasi dari konsep
IWRM di mana tidak hanya fokus pada aspek teknis penyelesaian
persoalan air, tetapi juga dampak atau outcome dari persoalan air
terhadap aspek lain, seperti aspek sosial dan ekonomi.

Strategi teknis pengelolaan air diharapkan tidak hanya bisa


mengatasi masalah air tetapi juga mampu memberikan manfaat baik
secara finansial maupun sosial ekonomi. Bagaimanapun upaya
untuk melibatkan pihak ketiga dalam pembiayaan infrastruktur
perlu memberikan jaminan keuntungan finansial yang akan
diterima. Koordinasi, komunikasi, dan kerjasama dengan lembaga-
lembaga keuangan baik lokal maupun internasional juga perlu mulai
dilakukan dan diintensifkan. Faktanya, lembaga-lembaga keuangan
memiliki informasi dan akses pendanaan yang bisa dimanfaatkan
dalam penyediaan infrastruktur. Tantangannya adalah bagaimana
bisa menghasilkan sebuah solusi teknis penanganan masalah air
yang inovatif dan komprehensif sekaligus layak untuk dibiayai dan
diimplementasikan (bankable).

Pembiayaan infrastruktur dalam konteks penanganan isu air di Kota


Semarang tidak bisa hanya bergantung pada kemampuan APBD
saja. Meskipun alokasi anggaran penanganan banjir meningkat
setiap tahunnya, tetapi anggaran ini hanya dapat digunakan untuk
membiayai kegiatan yang sifatnya rutin seperti normalisasi sungai
dan jaringan drainase perkotaan, perawatan pompa air dan fasilitas
air lainnya. Sedangkan anggaran untuk penyediaan air bersih baik

202 | PRAKTIK
untuk masyarakat maupun industri, penanganan kekeringan dan
penurunan muka tanah sifatnya masih insidentil. Oleh karena itu,
peluang kerjasama dengan pihak ketiga baik badan usaha melaui
KBPU maupun lembaga keuangan internasional (baik skema CSR,
hibah, maupun pinjaman) perlu untuk terus dikembangkan. Hal ini
dapat dilakukan dengan mengubah pola pikir bahwa air tidak hanya
menjadi sebuah masalah tetapi juga bisa menjadi sebuah peluang
yang mendatangkan keuntungan. Seperti halnya solusi penyediaan
air bagi industri (feeding the industry) dari WaL yang tidak hanya
bertujuan untuk mengurangi run-off, tetapi juga menampung air
yang selanjutnya diolah dan dapat dijual kembali pada industri.

4. Diawali dari Skala yang Kecil


Tantangan dalam pengelolaan air yang berkelanjutan adalah
bagaimana mengubah pendekatan konvensional pengelolaan air
perkotaan menjadi pendekatan transformatif. Hal ini dikarenakan
adanya perbedaan kemampuan pendanaan, kapasitas masyarakat,
komitmen semua stakeholder, teknologi, dan akses terhadap
informasi (Yasmin et al., 2018). Di sisi lain replikasi konsep ke skala
yang lebih luas juga tidak mudah karena membutuhkan pendanaan
yang besar, pihak-pihak yang harus dilibatkan juga semakin banyak.
Oleh karena itu, pengelolaan air pada tingkat komunitas dan skala
yang kecil dapat dimulai sebagai bentuk inisiasi pengelolaan air yang
berkelanjutan. Pendekatan dalam pengelolaan air tidak hanya top-
down di mana semua inisiasi berasal dari pemerintah, tetapi juga
membutuhkan pendekatan bottom-up khususnya terkait dengan
implementasi kebijakan. Masyarakat sebagai aktor yang berhadapan
langsung dengan persoalan air perlu dilibatkan secara aktif dalam
pengelolaan air.

Kesimpulan
Mewujudkan kota yang memiliki ketahanan membutuhkan proses
dan menghadapi banyak tantangan, salah satunya adalah

| 203
pengelolaan air yang inklusif. Kerjasama lintas sektor dan lintas level
bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan
masing-masing institusi dan aktor memiliki peran dan fungsi yang
berbeda sehingga tujuan yang ingin dicapai juga berbeda. Meskipun
pada proses pelaksanaan WaL, institusi yang dilibatkan sejak
workshop pertama hingga akhir relatif sama, namun perwakilan dari
masing-masing institusi seringkali berbeda. Oleh karena itu, sulit
untuk memperoleh informasi yang utuh mengenai kebijakan atau
program terkait. Selain itu, kontribusi dari masing-masing institusi
ini menjadi kurang maksimal karena perlu mengulang informasi
atau proses yang sudah berjalan sebelumnya.

Disisi lain, solusi pemerintah terkait persoalan air selama ini lebih
bersifat reaktif yaitu bagaimana mengatasi gejala yang muncul serta
cara mengatasinya. Namun demikian upaya ini belum cukup ,
mengingat persoalan air di Kota Semarang cukup kompleks dan
terjadi mulai dari kawasan hulu hingga ke hilir. Oleh karena itu
diperlukan strategi yang sistematik di mana tidak hanya mengatasi
gejala tetapi juga ada upaya mitigasi dan berorientasi ke masa yang
akan datang. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan tata kelola
air yang inklusif di mana melibatkan stakeholder air dan “non-air”
didalamnya sehingga tercipta sebuah interaksi, kolaborasi,
pertukaran informasi dan pengetahuan, juga kemungkinan
kerjasama pembiayaan infrastruktur.

Pada akhirnya, program WaL dapat menjadi sebuah momentum di


mana semua stakeholder dapat meningkatkan kapasitas
institusionalnya sehingga dapat berkontribusi dan berkolaborasi
lebih nyata. Hal penting lainnya adalah adanya kesadaran bahwa isu
air tidak hanya menyangkut aspek air saja, tetapi menyangkut
pembangunan kota secara keseluruhan. Air dapat menjadi satu
pengungkit perkembangan kota yang dapat memberikan manfaat
secara sosial dan ekonomi apabila pengelolaannya dilakukan dengan
baik.

204 | PRAKTIK
Daftar Pustaka
Pemerintah Kota Semarang. (2016), Semarang City Resilience
Strategy (CRS). Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.
Biswas, A.K. (2008), “Integrated water resources management: Is it
working?”, International Journal of Water Resources
Development, Vol. 24 No. 1, pp. 5–22.
Chou, J.-S. & Leatemia, G.T. (2016), “Critical Process and Factors for
Ex-Post Evaluation of Public-Private Partnership Infrastructure
Projects in Indonesia”, Journal of Management in Engineering,
Vol. 32 No. 5, p. 05016011.
Debele, S.E., Kumar, P., Sahani, J., Marti-Cardona, B., Mickovski,
S.B., Leo, L.S., Porcù, F., Bertini, F., Montesi, D., Vojinovic, Z. &
Di Sabatino, S. (2019), “Nature-based solutions for hydro-
meteorological hazards: Revised concepts, classification
schemes and databases”, Environmental Research, Elsevier
Inc., Vol. 179 No. June, p. 108799.
Dore, J., Lebel, L. & Molle, F. (2012), “A framework for analysing
transboundary water governance complexes, illustrated in the
Mekong Region”, Journal of Hydrology, Elsevier B.V., Vol.
466–467, pp. 23–36.
Felsinger, K., Miranda, J., Skilling, H., Booth, K., Areneta, E., Birken,
M.A., Pedersen, S., Edwards, S., Woodward, I., Herrera, V.,
Canzon, M., Sutarez, A. & Mannapbekov, N. (2008), “Public-
Private Partnership Handbook Acknowledgments”, Asian
Development Bank, p. 100.
Fritsch, O. & Benson, D. (2013), “Integrating the Principles of
Integrated Water Resources Management ? River Basin
Planning in England and Wales”, Vol. 1, pp. 265–284.
Fulazzaky, M.A. (2014), “Challenges of integrated water resources
management in Indonesia”, Water (Switzerland), tersedia di
https://doi.org/10.3390/w6072000.
Guppy & Anderson. (2020), “Water Crisis Report”, United Nations
University Institute for Water, Environment and Health,
Hamilton, Canada.
Handayani, W., Hapsari, S.P.I., Mega, A. & Sih, S.J. (2019),
“Community-based disaster management: Assessing local
preparedness groups (LPGs) to build a resilient community in
Semarang City, Indonesia”, Disaster Advances, Vol. 12 No. 5,
pp. 23–36.
Hilbig, J. & Rudolph, K.U. (2019), “Sustainable water financing and
lean cost approaches as essentials for integrated water
resources management and water governance: Lessons learnt

| 205
from the Southern African context”, Water Science and
Technology: Water Supply, Vol. 19 No. 2, pp. 536–544.
Horlitz, T. (2007), “The role of model interfaces for participation in
water management”, Water Resources Management, Vol. 21
No. 7, pp. 1091–1102.
van Koppen, B. & Schreiner, B. (2014), “Moving beyond integrated
water resource management: developmental water
management in South Africa”, International Journal of Water
Resources Development, Vol. 30 No. 3, pp. 543–558.
Laeni, N., van den Brink, M., Busscher, T., Ovink, H. & Arts, J.
(2020), “Building local institutional capacities for urban flood
adaptation: Lessons from the water as leverage program in
Semarang, Indonesia”, Sustainability (Switzerland), Vol. 12 No.
23, pp. 1–22.
Laeni, N., Ovink, H., Busscher, T., Handayani, W. & van den Brink,
M. (2021), “A Transformative Process for Urban Climate
Resilience: The Case of Water as Leverage Resilient Cities Asia
in Semarang, Indonesia”, in Rutger de Graaf-van Dinther (Ed.),
Climate Resilient Urban Areas, Governance, Design and
Development in Coastal Delta Cities, Palgrave, Macmillan, pp.
155–173.
Meerow, S., Newell, J.P. & Stults, M. (2016), “Defining urban
resilience: A review”, Landscape and Urban Planning, Elsevier
B.V., Vol. 147, pp. 38–49.
Muller, M. (2007), “Adapting to climate change: Water management
for urban resilience”, Environment and Urbanization, Vol. 19
No. 1, pp. 99–113.
Muthusamy, M., Casado, M.R., Salmoral, G., Irvine, T. & Leinster, P.
(2019), “A remote sensing based integrated approach to
quantify the impact of fluvial and pluvial flooding in an urban
catchment”, Remote Sensing, Vol. 11 No. 5, tersedia di
https://doi.org/10.3390/rs11050577.
Netherlands Enterprise Agency. (2019), Water as Leverage for
Resilient Cities Asia, diambil dari
https://english.rvo.nl/subsidies-programmes/water-leverage
Pahl-Wostl, C., Knieper, C., Lukat, E., Meergans, F., Schoderer, M.,
Schütze, N., Schweigatz, D., Dombrowsky, I., Lenschow, A.,
Stein, U., Thiel, A., Tröltzsch, J. & Vidaurre, R. (2020),
“Enhancing the capacity of water governance to deal with
complex management challenges: A framework of analysis”,
Environmental Science and Policy, Elsevier, Vol. 107 No.
February, pp. 23–35.
Ribeiro, P.J.G. & Pena Jardim Gonçalves, L.A. (2019), “Urban
resilience: A conceptual framework”, Sustainable Cities and

206 | PRAKTIK
Society, Vol. 50 No. May, tersedia di
https://doi.org/10.1016/j.scs.2019.101625.
Ruiters, C. (2013), “Funding models for financing water
infrastructure in South Africa : Framework and critical analysis
of alternatives”, Vol. 39 No. 2, pp. 313–326.
Ruiz-Villaverde, A. & García-Rubio, M.A. (2017), “Public
Participation in European Water Management: from Theory to
Practice”, Water Resources Management, Water Resources
Management, Vol. 31 No. 8, pp. 2479–2495.
Tortajada, C. (2010), “Water governance: Some critical issues”,
International Journal of Water Resources Development, Vol. 26
No. 2, pp. 297–307.
Usace, I.W.R. (2016), “What is Public Participation in Water
Resources Management and Why is it Important ?”, No. June
2004, tersedia di https://doi.org/10.1080/02508060408691771.
Pemerintah Kota Semarang. (2019), Water as Leverage Report,
Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.
Wibowo, F.A. (2017), “Meningkatkan Kualitas APBN dengan Skema
KPBU”, Info RIsiko Fiskal, Vol. 2, pp. 4–9.
Yasmin, T., Farrelly, M.A. & Rogers, B.C. (2018), “Evolution of
water governance in Bangladesh: An urban perspective”,
World Development, Elsevier Ltd, Vol. 109, pp. 386–400.
Zogheib, C., Ochoa-Tocachi, B.F., Paul, J.D., Hannah, D.M., Clark, J.
& Buytaert, W. (2018), “Exploring a water data, evidence, and
governance theory”, Water Security, Elsevier, Vol. 4–5 No.
May, pp. 19–25.

| 207
208 | PRAKTIK
BAB 10
MENUJU SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH YANG
MEMILIKI KETAHANAN IKLIM DI KOTA SEMARANG:
ANTARA DAUR ULANG ATAU WASTE-TO-ENERGY
M. NURHADI

Pendahuluan
Pengelolaan sampah perkotaan menjadi tantangan besar bagi banyak
kota di negara berkembang (Mani & Singh, 2016). Jutaan sampah
dihasilkan setiap hari membutuhkan pengumpulan, pemilahan,
pengolahan dan pembuangan akhir. Sebagian besar sampah yang
dihasilkan dibuang di lahan terbuka, yang merupakan daerah-
daerah dataran rendah diluar kota, tanpa tindakan teknis tertentu
sebagaimana yang disyaratkan sehingga menyebabkan masalah
kesehatan dan pencemaran lingkungan (Lino & Ismail, 2013; Mani &
Singh, 2016; Sudibyo et al., 2017). Sistem pengelolaan konvensional
ini tidak dapat menyelesaikan masalah pengelolaan sampah karena
terbentur ketersediaan ruang, keterbatasan peraturan, anggaran, dan
infrastruktur (Ibrahim & Mohammed, 2016; Narayana, 2019).

Kondisi ini menunjukkan kebutuhan masyarakat untuk pengelolaan


sampah dengan teknologi baru dan ramah lingkungan semakin
meningkat (Leme et al., 2014). Teknologi pemrosesan sampah yang
memadai tidak hanya mengurangi dampak lingkungan namun juga
mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan menghemat
penggunaan energi fosil serta memitigasi perubahan iklim (Wang et
al., 2015). Hal ini membutuhkan teknologi pengolahan sampah yang
dapat menyelesaikan dua masalah yakni mengurangi dampak
lingkungan sekaligus dapat memulihkan energi. Pengelola landfill
cenderung menggunakan teknologi modern terutama Waste-to-

| 209
Energy (WtE) sehingga membantu pemerintah dan masyarakat dan
investor memperbaiki kesehatan dan menurunkan emisi GRK
(Fetanat et al., 2019).

Teknologi WtE saat ini menjadi trend baru dalam modernisasi


pengelolaan sampah karena dapat menyelesaikan masalah sampah
dan kelangkaan energi (Byun et al., 2011). Proses WtE merupakan
proses pemulihan energi dari limbah melalui pembakaran langsung,
atau dengan produksi bahan bakar dalam bentuk metan, hidrogen,
dan bahan bakar sintetik lainnya (Lokahita et al., 2018). WtE di
Indonesia secara tidak langsung dipromosikan melalui Perpres No.
35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah
Sampah menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah
Lingkungan. Dengan memberikan insentif harga pembelian listrik,
kebijakan ini secara khusus mendorong teknologi WtE yang
memproduksi listrik (Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018).
Namun, penerapan teknologi ini tergantung pada factor-faktor
pendorong local, regional, and national baik untuk pengelolaan
sampah pemulihan energi (Lino & Ismail, 2013). Di antara faktor-
faktor lokal tersebut di antaranya adalah kegiatan pengambilan
material daur ulang yang banyak melibatkan sektor informal dan
pemulung (Hartmann, 2018).

Pengambilan material daur ulang dipromosikan melalui Peraturan


Presiden No. 97 tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah
Rumah Tangga. Kebijakan ini menargetkan pengurangan sampah
30% dan penanganan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA)
sebesar 70% (Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017). Penerapan WtE
berpotensi menghilangkan penghidupan pemulung (Hartmann,
2018) karena kandungan energi ini diperoleh dari kandungan plastik
dan kertas merupakan bahan daur ulang bernilai tinggi (Garg et al.,
2007; Pohl et al., 2008). Fakta ini menarik untuk dikaji dalam
perspektif ketahanan iklim kota karena pembahasan mengenai

210 | PRAKTIK
pengelolaan sampah selama ini banyak difokuskan pada aspek
mitigasi. Penelitian tentang kaitan pengelolaan sampah dengan
mitigasi emisi GRK telah banyak dilakukan di Indonesia di
antaranya di Palembang (Fatimah et al., 2020), Depok (Kristanto &
Koven, 2019), dan Semarang (Fikri et al., 2015). Kajian ini bertujuan
untuk mengevaluasi sistem pengelolaan sampah di Kota Semarang
yang lebih tahan iklim dengan mengusulkan kriteria (1) distribusi
risiko untuk meminimalkan kegagalan pelayanan, (2) pencegahan
pencemaran dan emisi, (3) efisiensi sumberdaya atau optimalisasi
manfaat, dan (4) pelibatan serta integrasi stakeholder yang lebih luas
sebagaimana diusulkan di beberapa penelitian (Meerow et al., 2016;
Salimi & Al-Ghamdi, 2020).

Pilihan-pilihan Sistem Pengelolaan Sampah di Kota Semarang


Dengan kebijakan pengelolaan sampah yang terus berkembang dan
teknologi yang tersedia, Kota Semarang memiliki banyak pilihan
sistem pengelolaan sampah. Sistem pengelolaan sampah saat ini
berorientasi pengumpulan, pemindahan dan pemrosesan dengan
lahan urug saniter. Meskipun telah ada upaya pengambilan daur
ulang namun kapasitas pengurangannya masih sangat kecil (Bintari,
2017). Sistem kedua bertumpu pada optimalisasi pengurangan dan
daur ulang sampai dengan 30%, sesuai dengan kebijakan dan strategi
pengelolaan sampah (Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017). Upaya
ini didorong dengan mengembangkan partisipasi masyarakat dan
pelaku usaha untuk mengurangi dan mengumpulkan bahan daur
ulang melalui peraturan pengendalian sampah plastik (Pemerintah
Kota Semarang, 2019), pendirian bank sampah, dan Tempat
Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, and Recycle (TPS 3R), serta
pembelian sampah bernilai rendah (Bintari, 2020a). Pilihan ketiga
bertumpu pada pemrosesan sampah menjadi energi sebagaimana
amanat Perpres 35/2018 (Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018).
Pemrosesan sampah dilakukan dengan insinerasi untuk
menghasilkan listrik (KIAT, 2019). Berikut ini ringkasan masing-
masing pilihan sistem pengelolaan sampah secara lebih rinci.

| 211
1) Sistem Pengelolaan Sampah Saat Ini
Sistem pengelolaan sampah saat ini bertumpu pada pengumpulan,
pengangkutan dan pembuang (Kumpul-Angkut-Buang) meskipun
telah ada upaya pemilahan dan daur ulang secara terbatas. Perkiraan
timbulan sampah di Kota Semarang pada tahun 2016 diperkirakan
mencapai lebih dari 1.200 ton per hari. Sebanyak 800-900 ton sampah
diangkut dan ditimbun di TPA Jatibarang sebagai tempat
pemrosesan akhir (COWI, 2018). Pengumpulan sampah pada
Kawasan perumahan dilakukan oleh masyarakat sampah dengan
TPS, TPS 3R, atau kontainer kemudian diangkut oleh layanan
pemerintah kota (Pemerintah Kota Semarang, 2012). Layanan ini
mencakup 24 kelurahan dari jumlah seluruhnya mencapai 177
kelurahan (COWI, 2018). Pada ruang terbuka dan Kawasan lainnya,
pengumpulan dilakukan oleh layanan kota secara langsung atau
oleh pengelola kawasan (Pemerintah Kota Semarang, 2012).

Di kawasan permukiman, upaya pengurangan dilakukan melalui


bank sampah dan TPS 3R dengan kapasitas pengumpulan bahan
daur ulang kurang dari 1% (Bintari, 2020b). Upaya pengurangan juga
dilakukan dengan pengendalian penggunaan plastic melalui
peraturan walikota Semarang No. 27 Tahun 2019 tentang
Pengendalian Penggunaan Plastik. Pelaku usaha yang meliputi hotel,
restauran dan sejenisnya serta toko modern dilarang menyediakan
kantong plastik, pipet minum plastik, atau styrofoam (Pemerintah
Kota Semarang, 2019). Dengan upaya-upaya tersebut, pengurangan
sampah masih jauh dari target kebijakan dan strategi pengelolaan
sampah.

Pemrosesan di TPA Jatibarang telah mencapai sekitar 70% dari


jumlah timbulan sampah (COWI, 2018). Pemrosesan dilakukan
melalui tiga metode yaitu pembuangan pada lahan urug saniter,
pengolahan sampah lama menjadi kompos, dan pengolahan gas TPA
menjadi energi listrik. Pengolahan sampah lama menjadi kompos
telah berhenti dilakukan sedangkan pembuangan dan pemrosesan

212 | PRAKTIK
gas TPA menjadi energi listrik berjalan. namun dua metode
pemrosesan ini tidak dapat menurunkan volume sampah secara
signifikan (Nurhadi et al., 2020). Volume sampah yang tetap tinggi
mendorong pemerintah kota mencari alternatif lain untuk
menghemat lahan karena mencari lahan TPA baru yang memenuhi
syarat sangat sulit.

2) Pengelolaan Sampah dengan Optimalisasi Daur Ulang


Optimalisasi daur ulang dari sisi legal didorong oleh kebijakan dan
strategi nasional pengelolaan sampah dengan target pengurangan
30% pada tahun 2025 (Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017).
Optimalisasi daur ulang melalui sistem pemilahan, daur ulang dan
residunya kemudian menuju pembuangan (Pilah-Daur Ulang-
Buang). Sistem ini merupakan salah satu alternatif yang ditempuh
menuju target kebijakan dan strategi pengelolaan sampah nasional.
Survei timbulan sampah menunjukkan timbulan sampah per kapita
per hari sebesar 0,51 Kg terdiri dari plastik 12,78%; kertas 14,53%;
logam 1,92%; kaca 2,53%; organik 63,77%, dan residu sebanyak 4,47%
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.

Sumber: Bintari, 2020c


Gambar 1. Komposisi Sampah dan Potensi Daur Ulang di Kota Semarang

| 213
Secara umum, sampah jenis plastik, kertas, logam dan kaca dapat
didaur ulang dengan jumlah akumulatif mencapai 31,76%. Namun
terdapat beberapa jenis sampah yang harganya sangat rendah dan
fluktuatif sehingga tidak menarik untuk dikumpulkan seperti plastik
bungkus dan karet alas kaki. Dengan pengecualian dua jenis tersebut
maka potensi pengambilan bahan daur ulang dapat mencapai
27,15% (Bintari, 2020c). Tingkat pengurangan ini dapat dicapai jika
pelaku daur ulang dapat mengumpulkan seluruh potensi jenis
sampah yang potensial.

Potensi material daur ulang dari sampah belum dimanfaatkan secara


optimal. Data pemantauan bank sampah dan TPS 3R pada periode
Mei 2019 – April 2020 di 53 bank sampah dan TPS 3R menunjukkan
bahwa tingkat pemulihan material daur ulang masih berkisar 6% -
79%. Jenis sampah yang paling banyak dikumpulkan adalah logam
yang memiliki nilai ekonomi paling tinggi. Sementara, sampah
plastik memiliki tingkat pemulihan material paling rendah, antara
6%-19% sebagaimana ditunjukkan Gambar 2 (Bintari, 2020c).

Sumber: Bintari, 2020c


Gambar 2. Tingkat Pengambilan Bahan Daur Ulang oleh Bank Sampah
di Kota Semarang

214 | PRAKTIK
Untuk mendorong pengumpulan plastik, Dinas Lingkungan Hidup
Kota Semarang membeli plastik bernilai rendah dengan harga lebih
tinggi dari harga pasar. Pembelian ini diharapkan memotivasi bank
sampah dan TPS 3R, yang pada akhirnya meningkatkan tingkat
pengumpulan plastik (Bintari, 2020a). Diluar pengumpulan bahan
daur oleh bank sampah dan TPS 3R, kegiatan pengumpulan bahan
daur ulang juga dilakukan oleh sektor informal terutama pemulung
dan pelapak. Sampai saat ini sektor informal belum terintegrasi
dengan sistem pelayanan sampah formal sehingga tingkat
pengumpulannya belum dapat diperhitungkan.

Apabila semua jenis sampah yang potensial daur ulang dapat


dikumpulkan 75% maka nilai ekonominya dapat mencapai lebih dari
Rp. 65 M per tahun (Bintari, 2020d). Nilai ekonomi ini terdistribusi di
seluruh pengumpul bahan daur ulang seperti nasabah bank sampah
dan pemulung. Dengan optimalisasi pengumpulan bahan daur
ulang maka sampah diproses di TPA sekitar 70%, sesuai dengan
target kebijakan dan strategi pengelolaan sampah. Dengan jumlah
tersebut, pemrosesan sampah di TPA akan setara dengan
pemrosesan sampah saat ini. Dengan teknologi pemrosesan sesuai
saat ini, masalah pengelolaan sampah terutama pada tingkat
pemrosesan akhir akan sama. oleh karena itu, pemerintah
merencanakan pemrosesan dengan pendekatan WtE sesuai Perpres
No. 35 tahun 2018.

Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik


Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) didorong oleh
pemerintah melalui Perpres No. 35 tahun 2018. Teknologi yang
diharapkan untuk mengolah sampah setidaknya memenuhi
beberapa kriteria seperti ramah lingkungan dan menurunkan
volume sampah secara signifikan. Selain itu, pengolahan yang
menghasilkan listrik secara langsung diberi insentif dengan harga
pembelian listrik sebesar US$ 13,35 per kWh. Kota Semarang menjadi

| 215
salah satu sasaran di antara 12 kota-kota lainnya di Indonesia
(Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017). Sistem ini secara sederhana
melakukan pengelolaan sampah dengan mengumpulkan,
mengangkut ke TPA, dan membakar sampah (Kumpul-Angkut-
Bakar) untuk memperoleh energinya.

Untuk menyiapkan PSEL, Pemerintah Kota Semarang telah


menyusun kajian pra-studi kelayakan dengan output proyek
meliputi sampah masuk sebesar 1.000 ton per hari dengan
kandungan air sampah yang masuk tidak lebih dari 70%, nilai kalor
bersih 6-8 MJ, sampah reject maksimal 20%, kapasitas pembangkit
18,6 MW, jam operasi 8.000 jam per tahun, suhu operasi minimal 850
0C, material tak terbakar di pengapian maksimal 5%, dan efisiensi
pengambilan logam 80%. Dengan output tersebut maka teknologi
yang terpilih adalah moving grade incinerator dengan tipping fee
berkisar antara Rp. 300.000 – Rp. 700.000 per ton sampah, tergantung
asal teknologi dan kontraktornya (KIAT, 2019). Selain tipping fee,
aspek lain yang menjadi perhatian dalam pembangunan dan
operasional PSEL adalah nilai kalor sampah minimal 6 MJ per kg
sampah basah yang masuk dan kandungan air maksimal 70%. untuk
menjaga masukan sampah ini, kegiatan pengambilan bahan daur
ulang dengan kandungan energi tinggi terutama plastik perlu
dihindari dan perlindungan terhadap paparan air hujan perlu
ditingkatkan (KIAT, 2019).

Pengelolaan Sampah yang Memiliki Ketahanan Iklim


Untuk mengevaluasi sistem pengelolaan sampah yang tahan iklim,
ketahanan didefinisikan sebagai tingkatan sejauh mana sistem
meminimalkan besaran dan durasi kegagalan layanan saat
mengalami kondisi luar biasa (Meerow et al., 2016). Ketahanan kota
juga menunjukkan kemampuan system perkotaan memulihkan
kembali fungsinya ketika terjadi gangguan dan perubahan iklim
(Salimi & Al-Ghamdi, 2020). Untuk mencapai ketahanan iklim,

216 | PRAKTIK
sistem dan infrastruktur hendaknya terdistribusi secara geografis
sehingga ketika terjadi guncangan, layanan tidak gagal (Meerow et
al., 2016). Kriteria kedua adalah meminimalkan pencemaran,
mengurangi volume sampah (Peraturan Presiden No. 35 Tahun
2018), dan emisi GRK. Pengurangan volume sampah sangat krusial
karena penyedian tanah untuk TPA baru sangat terbatas. Ketiga,
efisiensi sumberdaya dan optimalisasi manfaat di mana kemampuan
pembiayaan operasionalakan menjamin keberlanjutan layanan, dan
terakhir pelibatan serta integrasi stakeholder yang lebih luas (Salimi
& Al-Ghamdi, 2020). Dengan kriteria ini, setiap pilihan sistem
pengelolaan sampah yang tersedia saat ini akan dievaluasi untuk
memformulasikan sistem yang memiliki ketahanan iklim.

Sistem Kumpul-Angkut-Buang berdasarkan kriteria ketahanan iklim


merupakan sistem yang akan ditinggalkan karena tidak dapat
menyelesaikan permasalahan pengelolaan sampah sebagaimana
banyak dijelaskan pada berbagai penelitian (Narayana, 2009; Ibrahim
& Mohammed, 2016). Secara khusus, sistem ini memberi beban
pemrosesan akhir yang tinggi sementara pemrosesan akhir tidak
dapat mengurangi volume sampah secara signifikan. Sementara itu
pengadaan lahan baru untuk TPA sangat sulit dilakukan karena
ketentuan yang ketat dan penolakan masyarakat sekitar. hal ini
menimbulkan risiko kegagalan layanan yang sangat besar. Dari sisi
pencemaran dan emisi, sistem ini menghasilkan air lindi yang
mencemari air dan tanah. Pencemaran yang lain berupa gangguan
kesehatan bagi masyarakat sekitar dan emisi GRK.

Dari sisi efisiensi sumberdaya dan optimalisasi manfaat, sistem


Kumpul-Angkut-Buang membutuhkan biaya operasional yang
relatif rendah namun hal ini memberi konsekuensi bagi lingkungan
yang tidak diperhitungkan. Sistem ini juga memberi peluang kerja
bagi sektor informal dan kelompok miskin perkotaan. Ruang ini
justru muncul karena sistem yang gagal mengontrol dan mengelola
sampah dengan baik (Hartmann, 2018). Pemulung dan kelompok

| 217
miskin mendapat keuntungan secara sosial ekonomi dari kelemahan
sistem ini. Pemulung dan kelompok miskin perkotaan dapat dengan
mudah dikenali di TPS dan TPA Jatibarang. Dengan demikian,
sistem ini juga melibatkan stakeholder yang luas karena kegiatan
pemulungan sampah. Optimalisasi Daur Ulang atau Sistem Pilah-
Daur Ulang-Buang didorong untuk mengurangi beban TPA. Beban
pemrosesan akhir di TPA dikendalikan untuk mengelola paling
banyak 70% dari jumlah timbulan sampah (Peraturan Presiden No.
97 Tahun 2017). Dari sisi kegagalan layanan, kegagalan akibat
pemrosesan akhir di TPA menurun sehingga umur operasi TPA
sedikit lebih panjang daripada Sistem Kumpul-Angkut-Buang.
Kebutuhan lahan untuk TPA baru juga lebih panjang. Pencemaran
lingkungan akibat operasional TPA dapat dikurangi dari penurunan
laju ekspansi TPA baru. Namun karena fraksi organik yang tidak
tertangani melalui daur ulang maka potensi air lindi, kesehatan dan
emisi GRK tidak berbeda dengan sistem pertama. Dari sisi efisiensi
sumberdaya dan optimalisasi manfaat, sistem ini memberi peluang
pemanfaatan ekonomi dari pengumpulan bahan daur ulang.

Studi Bintari mencatat potensi penjualan bahan daur ulang dapat


mencapai lebih dari Rp. 65 M per tahun dari pengambilan 80%
sampah bernilai tinggi (Bintari, 2020a; Bintari, 2020d). Sistem ini juga
dapat menurunkan biaya pengangkutan dan pemrosesan akhir
akibat penurunan jumlah sampah yang diangkut ke TPA. sebagai
konsekuensi pemilahan dan daur ulang, keterlibatan masyarakat
juga akan lebih luas. Pemantauan Bintari pada 53 bank sampah dan
TPS 3R menunjukkan angka partisipasi masyarakat sebanyak lebih
dari 150 orang pengurus dan lebih dari 7.000 nasabah (Bintari,
2020b). Angka partisipasi sebenarnya jauh lebih besar karena jumlah
bank sampah lebih dari 100 unit sementara TPS 3R mencapai 38 unit.
Namun hal ini justru menjadi prasyarat bagi keberhasilan sistem ini
sekaligus menjadi tantangan bagi pemerintah kota. Sistem ketiga,
Kumpul-Angkut-Bakar, memberi beban pemrosesan sangat tinggi
namun pada saat yang sama memberi harapan pengurangan volume
yang signifikan. Dengan demikian umur operasi TPA akan jauh lebih

218 | PRAKTIK
lama dibanding dua sistem sebelumnya. Pencemaran lingkungan
yang dipicu oleh air lindi, serangga dan bau akan hilang karena
sampah akan musnah. Sistem ini juga menjadi alternatif mitigasi
emisi GRK namun juga banyak menciptakan kekhawatiran dari
timbulnya gas-gas yang berbahaya bagi kesehatan seperti dioksin
dan furan. Gas-gas ini dapat timbul dari pembakaran sampah yang
mengandung klor seperti PVC (Nurhadi et al., 2020).

Dari sisi efisiensi sumberdaya dan optimalisasi manfaat, sistem ini


membutuhkan investasi yang besar mencapai Rp. 1,8 T untuk
fasilitas pemrosesan akhir. Sementara itu tipping fee mencapai antara
Rp. 300.000 – Rp. 700.000 per ton sampah yang diproses. Biaya
subsidi harga listrik 13,35 Cent per kWh dari total kapasitas listrik
18,6 MW yang beroperasi selama 8.000 jam per tahun. Manfaat
pengolahan sampah diperoleh dari pembangkitan listrik sementara
pemanfaatan bahan daur ulang hanya dari pemulihan bahan logam.
Pemanfaatan pun terbatas pada pihak yang diberi otoritas (KIAT,
2019). Pihak yang terlibat dalam sistem ini sangat terbatas dan sangat
kecil dibanding dua sistem yang lain. Keuntungan ekonomi hanya
terdistribusi pada pengelola fasilitas PSEL sementara pelaku
pemulungan kehilangan pendapatan akibat pembatasan pemulihan
bahan daur ulang. Ringkasan evaluasi sistem pengelolaan sampah
tahan iklim selengkapnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Evaluasi Sistem Pengelolaan Sampah dari Perspektif Ketahanan


Iklim Kota

Kumpul- Pilah-Daur Kumpul-


Kriteria
Angkut-Buang Ulang-Buang Angkut-Bakar
Minimalisasi Beban TPA Beban TPA lebih Beban
Kegagalan untuk rendah namun pemrosesan
Layanan
memproses volume sampah sangat tinggi
sampah sangat tinggi sehingga sehingga risiko
berat sehingga peluang gagal pelayanan gagal
tinggi. cukup tinggi

| 219
Kumpul- Pilah-Daur Kumpul-
Kriteria
Angkut-Buang Ulang-Buang Angkut-Bakar
peluang gagal Umur TPA lebih namun reduksi
tinggi. panjang dan volume sangat
membutuhkan tinggi.
Membutuhkan
lahan baru
lahan TPA baru Umur TPA jauh
dalam periode
secara periodik lebih panjang
lebih panjang.
yang sulit karena volume
diperoleh. sisa pengolahan
hanya 5%.

Menurunkan Pencemaran Pencemaran dari Pencemaran air


pencemaran dari air lindi, air lindi, lindi, serangga
dan emisi
serangga, dan serangga, dan dan bau sangat
bau tinggi. bau tinggi. rendah.

Emisi GRK Emisi GRK Emisi GRK


tinggi namun tinggi namun sangat rendah
sebagian sebagian namun timbul
dimanfaatkan dimanfaatkan emisi-emisi gas
untuk untuk lainnya yang
pembangkit pembangkit dapat
listrik. emisi listrik. Emisi berbahaya bagi
dari dari kesehatan.
pengangkutan pengangkutan
tinggi. lebih rendah.

Efisiensi Biaya Memberi Biaya tipping


sumberdaya operasional manfaat fee sangat tinggi
dan
optimalisasi relatif rendah ekonomi bagi (Rp. 300-700
manfaat namun pengumpul ribu per ton)
membutuhkan daur ulang lebih yang
lahan baru dari Rp. 65 M membebani
secara periodik. per tahun. APBD.

Memberi Mengurangi Mengurangi


peluang biaya operasi peluang daur
pengambilan dan ulang sampah
bahan daur memperpanjang oleh masyarakat

220 | PRAKTIK
Kumpul- Pilah-Daur Kumpul-
Kriteria
Angkut-Buang Ulang-Buang Angkut-Bakar
ulang secara umur operasi dan sektor
terbatas. TPA. informal.

Pelibatan Melibatkan Melibatkan Melibatkan


stakeholder stakeholder stakeholder stakeholder
yang lebih
luas untuk formal dan lebih terbatas
mengumpulkan informal yang untuk
sampah pada luas dan intesif mengumpulkan
tempatnya untuk sampah dan
dengan mengurangi, menjaga dari air
memberi pemilahan, hujan dan kadar
peluang daur memanfaatkan kalor.
ulang. kembali dan
Membutuhkan
pengumpulan
Membutuhkan edukasi untuk
bahan daur
edukasi untuk membuang
ulang.
membuang sampah dan
sampah pada Membutuhkan tidak
tempatnya. edukasi yang mengambil
skala besar, bahan daur
massif, dan ulang.
terstruktur.

Evaluasi ini menunjukkan bahwa Sistem Pilah-Daur Ulang-Buang


memiliki beberapa kelemahan yaitu risiko kegagalan layanan yang
masih tinggi karena pemrosesan akhir masih 70% dari jumalah
timbulan sampah dan pencemaran lingkungan serta emisi GRK
masih tinggi. Sistem ini lebih unggul pada efisiensi sumber daya
karena mengurangi biaya pengangkutan dan operasional TPA.
Keuntungan ekonomi lain juga timbul dari nilai ekonomi sampah
daur ulang yang terdistribusi di banyak pelaku terutama pemulung
dan kelompok miskin perkotaan yang terlibat dalam memulung
sampah. Sistem ini secara keseluruhan belum mampu menjawab
kriteria pengelolaan sampah yang tahan iklim.

| 221
Sistem Kumpul-Angkut-Bakar di lain pihak memiliki kelemahan
dari sisi efisiensi sumberdaya dan optimalisasi manfaat serta
pelibatan masyarakat. Sistem ini mengharuskan investasi yang
tinggi, biaya operasional tinggi, tipping fee yang tinggi dan partisipasi
masyarakat yang kecil karena pembatasan kegiatan ekonomi
pemulungan sampah. Biaya investasi dan tipping fee yang besar akan
membebani keuangan publik demikian pula subsidi untuk
pembelian listrik. Kelebihan sistem ini adalah pengurangan sampah
yang sangat signifikan sehingga umur TPA akan jauh lebih Panjang.
Pencemaran lingkungan dari air lindi, serangga, dan bau akan
hilang. Emisi GRK jauh menurun meskipun emisi gas berbahaya
dapat timbul. Secara keseluruhan sistem ini juga gagal memenuhi
kriteria pengelolaan sampah yang tahan iklim.

Dari kelemahan dan kelebihan Sistem Pilah-Daur Ulang-Buang dan


Kumpul-Angkut-Bakar, terdapat peluang kombinasi untuk
mengoptimalkan keunggulan sekaligus menutup kelemahan.
Kombinasi tersebut adalah melakukan pemilahan dan daur ulang
terlebih dahulu untuk memperoleh manfaat efisiensi sumberdaya
dan optimasi manfaat serta pelibatan public yang lebih luas. Dengan
pengumpulan bahan daur ulang, jumlah sampah yang diproses akan
lebih kecil. Studi Bintari menunjukkan pengambilan bahan daur
ulang tidak megurangi nilai rata-rata kalor sehingga masih layak
sebagai masukan WtE. Pemilihan teknologi pemrosesan juga dapat
digali untuk meminimalkan biaya investasi (Bintari, 2020a; Bintari,
2020d). Teknologi pemrosesan sampah menjadi Refuse-derived Fuel
(RDF) dapat dijadikan alternatif pengganti teknologi insinerasi
untuk menghasilkan listrik dengan menghubungkan pemanfaatan
RDF dengan kebijakan PLN dalam co-firing bahan bakar (Bintari,
2020d; PLN, 2020). Dengan penggantian teknologi pemrosesan akhir
ini dapat mengurangi investasi, tipping fee, dan subsidi listrik
sekaligus menjamin pembelian RDF.

222 | PRAKTIK
Kesimpulan
Sistem pengelolaan sampah yang tahan iklim setidaknya memiliki
kriteria yang meminimalkan kegagalan layanan (Meerow et al., 2016)
meminimalkan pencemaran, mengurangi volume sampah
(Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018), dan emisi GRK, efisiensi
sumberdaya dan optimalisasi manfaat. dan melibatkan stakeholder
yang luas (Salimi & Al-Ghamdi, 2020). Evaluasi terhadap tiga sistem
pengelolaan sampah di Kota Semarang menunjukkan tidak ada
sistem yang memenuhi kriteria ketahanan iklim. Namun demikian,
kombinasi pengelolaan sampah di hulu dengan pemilahan dan daur
ulang serta pengelolaan di hilir dengan produksi RDF dapat
memenuhi kriteria pengelolaan sampah tahan iklim. Untuk
menunjang kesimpulan ini, perlu dilakukan kajian lanjutan berupa
pemanfaatan sampah menjadi RDF untuk cofiring PLTU berbahan
bakar batubara. Kajian ini belum pernah dilakukan karena upaya
cofiring oleh PLN baru diperkenalkan pada awal 2020.

Daftar Pustaka
Bintari. (2017), Kajian Potensi Dair Ulang Sampah di Kota
Semarang. Bintari. Semarang.
Bintari. (2020a), Improving Recycle Capacity of Waste Management
Stakeholder Through Integration of Extended Stakeholder
Responsibility (ESR), 8th Quarterlty Report. Bintari: Semarang.
Bintari. (2020b), Improving Recycle Capacity of Waste Management
Stakeholder Through Integration of Extended Stakeholder
Responsibility (ESR), 2nd Quarterlty Report. Bintari. Semarang.
Bintari. (2020c), Improving Recycle Capacity of Waste Management
Stakeholder Through Integration of Extended Stakeholder
Responsibility (ESR), Deliverable 6. Bintari: Semarang.
Bintari. (2020d), Improving Recycle Capacity of Waste Management
Stakeholder Through Integration of Extended Stakeholder
Responsibility (ESR), Deliverable 7. Bintari: Semarang.
Byun, Y., Cho, M., Chung, J., Namkung, W., Lee, H., Jang, S., &
Hwang, S. (2011), Hydrogen recovery from the thermal plasma
gasification of solid waste. Hazard Matter, Vol. 190, pp. 317-
323.

| 223
COWI. (2018), Revisi Masterplan Pengelolaan Sampah Kota
Semarang tahun 2020-2040. Environmental Support Program
Phase III: Semarang.
Fatimah, Y.A.,Govindan, K., Murniningsih, R., & Setyawan, A.
(2020), Industry 4.0 based sustainable circular economy
approach for smart waste management system to achieve
sustainable development goals: A case study of Indonesia.
Journal of Cleaner Production, Vol. 269, tersedia di
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2020.122263
Fetanat, A., Mofid, H., Mehrannia, M., & Shafipour, G. (2019),
Informing energy Justice based Decision-making Framework
for Waste-to-Energy Technologies Selection in Sustainable
Waste Management: A Case of Iran. Journal of Cleaner
Production, Vol. 228. Pp. 1377-1390.
Fikri, E., Purwanto, P., & Sunoko, R.H. (2015), Modelling of
Household Hazardous Waste (HHW) Management in
Semarang City (Indonesia) by Using Life Cycle Assessment
(LCA) Approach to Reduce Greenhouse Gas (GHG) Emissions.
International Conference on Tropical and Coastal Region Eco-
Development 2014(ICTCRED 2014). Procedia Environmental
Sciences, Vol. 23, pp. 123 – 129.
Garg, A., Smith, R., Hill, D., Simms, N., & Pollard, S. (2007), Wastes
as Co-Fuels: The Policy Framework for Solid Recovered Fuel
(SRF) in Europe, with UK Implications. Environmental Sciente
& teccnology, Vol. 41, pp. 4868–4874.
Hartmann, C. (2018), Waste PickerLivelihoods and Inclusive
Neoliberal Municipal Solid Waste Management Policies:the
Case of the La Chureca Garbage Dump SIte in Managua,
Nicaragua. Waste Management, Vol. 71, pp. 565-577.
Ibrahim, M., & Mohammed, N. (2016), Towards Sustainable
Management of Solid Waste in Egypt. Improving Sustainability
Concept in Developing Countries. Procedia Environmental
Sciences, Vol. 34, pp. 336–347.
Kemitraan Indonesia Australia untuk Infrastruktur (KIAT). (2019),
Pre-Feasibility Study Report (Outline Business Case) Ver.2
(FINAL) Technical Assistance for the Semarang Waste to
Energy (WtE) Project. KIAT: Jakarta.
Kristanto, G.A. & Koven, W. (2019), Estimating greenhouse gas
emissions from municipal solid waste management in Depok,
Indonesia. City and Environment Interactions, Vol. 4, p.
100027.
Leme, M., Rocha, M., Lora, E., Venturini, O., Lopes, B., & Ferreira,
C. (2014), Techno-economic analysis and environmental impact
assessment of energy recovery from Municipal Solid Waste

224 | PRAKTIK
(MSW) in Brazil. Resource Conservation and Recycle, Vol. 87,
pp. 8-20.
Lino, F., & Ismail, K. (2013), Alternative treatments for the
municipal solid waste and domestic sewage in Campinas.
Resource Conservation & Recycle, Vol. 81, pp. 24–30.
Lokahita, B., Samudro, G., Huboyo, H., Aziz, M., & Takahashi, F.
(2018), Energy Recovery Potential from Excavating Municipal
Waste Dump Site in Indonesia. 10th International Conference
on Applied Energy (ICAE2018), Hong Kong: Energy Procedia,
Vol. 158. pp. 243-248.
Mani, S., & Singh, S. (2016), Sustainable Municipal Solid Waste
Management in India: A Policy Agenda. International
Conference on Solid Waste Management. Procedia
Environmental Sciences, Vol. 35, pp. 150 - 157.
Meerow, S., Newell, J. P., & Stults, M. (2016), Defining urban
resilience: A review. Landscape and Urban Planning, Vol. 147,
pp. 38–49.
Narayana, T. (2009), Municipal solid waste management in India:
From waste disposal to recovery of resources. Waste
Management, Vol. 29, pp. 1163-1166.
Nurhadi, M., Windarta, J., Ginting, D., Enda W.S., & Gregorius,
(2020), Evaluasi Pemanfaatan Gas TPA Menjadi Listrik, Studi
Kasus TPA Jatibarang Kota Semarang. Jurnal Energi Baru dan
Terbarukan Vol. 1.
Pemerintah Kota Semarang, 2012. Peraturan Daerah Nomor 6
Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah. Pemerintah Kota
Semarang: Semarang.
Pemerintah Kota Semarang, 2019. Peraturan Walikota Nomor 27
Tahun 2019 tentang Pengendalian Penggunaan Plastik.
Pemerintah Kota Semarang: Semarang.
Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Jakarta.
Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Jakarta.
PLN, 2020. Peraturan Direksi PLN Nomor 001.P/DIR/2020 tentang
Pedoman Pelaksanaan CofiringPembangkit Listrik Tenaga Uap
Berbahan Bakar Batubara dengan Bahan Bakar Biomassa. PLN:
Jakarta.
Pohl, M., Gebauer, K., & Beckmann, M. (2008), Characterisation of
Refuse Derived Fuels in view of the Fuel Technical Properties.
8th European Conference on Industrial Furnaces and Boilers.
VilaMoura-Algarve, Portugal.

| 225
Salimi, M., & Al-Ghamdi, S.G. (2020), Climate change impacts on
critical urban infrastructure and urban resiliency strategies for
the Middle East. Sustainable Cities and Society, Vol. 54.
Sudibyo, H., Majid, A. I., Pradana, Y. S., Budhijanto, W.,
Deendarlianto, & Budiman, A. (2017), Technological
Evaluation of Municipal Solid Waste Management System in
Indonesia. The 8th International Conference on Applied
Energy. Energy Procedia. pp. 263–269.
Wang, Y., He, Y., Yan, B., Ma, W., & Han, M. (2015), Collaborative
emission reduction of greenhouse gas emissions and municipal
solid waste (MSW) management - case study of Tianjin.
Procedia Environ. Sci. Vol. 16, pp. 75–84.

226 | PRAKTIK
BAB 11
PERHITUNGAN EMISI KARBON DAN RENCANA AKSI
MITIGASI PERUBAHAN IKLIM
Studi Kasus Kota Semarang
RATNA BUDIARTI

Pendahuluan
Berdasarkan laporan resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2019), hasil perhitungan
inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional menunjukkan tingkat
emisi sebesar 1.150.772 Gg CO2e di tahun 2017, atau meningkat
sebesar 124.879 Gg CO2e dibanding tingkat emisi tahun 2000.
Sedangkan kontribusi penurunan emisi secara nasional pada tahun
2017 terhadap target yang ditetapkan dalam Nationally Determined
Contribution (NDC) tahun 2030 adalah sebesar 24,7% dari target
penurunan emisi sebesar 834 Juta Ton CO2e atau 29% dari BaU.
Kontribusi yang dimaksud berasal dari sektor energi sebesar 7,30%,
sektor industrial process and product uses (IPPU) sebesar 0,02%, sektor
kehutanan sebesar 17,54%, sektor pertanian -0,25%, dan sektor
limbah sebesar 0,03%. Pada tahun 2020, Indonesia merupakan
penghasil emisi ke 10 di dunia yaitu 0,61 GT (Union of Concerned
Scientists, 2020). Climate Transparency (2018) melaporkan bahwa
rerata peningkatan emisi GRK di Indonesia adalah 18% per tahun.
Jika tren ini dibiarkan berlanjut, maka 2.000 dari 17.000 pulau di
Indonesia dikhawatirkan akan hilang akibat pemanasan global dan
perubahan iklim yang dipicu oleh meningkatnya konsentrasi emisi
CO2 di atmosfer (Lean & Smyth, 2010).

Salah satu langkah penting yang di lakukan oleh Pemerintah


Indonesia berkaitan dengan isu perubahan iklim adalah dengan

| 229
mengesahkan Paris Agreement to the United Nation Framework
Convention on Climate Change (Perjanjian Paris) melalui Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2016 pada tanggal 24 Oktober 2016.
Melalui kesepakatan tersebut, Indonesia bersama dengan negara-
negara di dunia berkomitmen untuk menahan laju peningkatan suhu
global di bawah 2°C dan melanjutkan upaya untuk menekan
kenaikan suhu global ke 1,5°C di atas tingkat pra–industrialisasi
(KLHK, 2019). Untuk mempertegas komitmen Indonesia, Indonesia
telah meluncurkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024 ‘hijau’ pertama yang memasukkan
Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim sebagai salah
satu Prioritas Nasional (Elena, 2020). Setiap daerah kabupaten/kota
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia didorong untuk
dapat menterjemahkan agenda pembangunan nasional tersebut,
masuk dalam kebijakan di daerah.

Kota merupakan sumber utama emisi GRK, sekaligus sumber utama


aksi perubahan iklim yang inovatif. Diperkirakan 70 persen emisi
GRK terkait energi dunia berasal dari kota. Angka tersebut
kemungkinan akan terus meningkat karena dua pertiga dari semua
orang diperkirakan akan tinggal di daerah perkotaan (World
Resources Institutes, 2015). Mengingat emisi GRK di kota-kota terus
meningkat, penelitian tentang emisi GRK skala perkotaan
difokuskan pada penanganan terhadap perubahan iklim. Banyak
penelitian tentang emisi GRK perkotaan berdasarkan pedoman yang
diusulkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) (Liu,
et al., 2012). Mitigasi perubahan iklim dimaknai sebagai tindakan
yang ditujukan untuk mengurangi emisi GRK (IPCC, 2014).

Kota Semarang merupakan salah satu Kota di Indonesia yang


menjadi percontohan sekaligus memiliki inisiatif dalam merespon
perubahan iklim. Inisiatif Kota Semarang dilakukan sejak tahun 2013
di antaranya melalui penyusunan melakukan inventarisasi GRK,
penyusunan rencana aksi daerah penurunan emisi gas rumah kaca

230 | INSTRUMEN
(RAD GRK), review terhadap dokumen RAD GRK, integrasi RAD
dalam dokumen perencanaan Kota Semarang serta melaksanakan
monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan RAD GRK.
Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan
RAD GRK tahun 2010-2020 (Bappeda Kota Semarang, 2018), capaian
terhadap target penurunan baru 1,3% dari target 4% terhadap BaU
ditahun 2020. Melalui review RAD GRK 2010-2020, kota semarang
juga melakukan perubahan terhadap target penurunan emisi dari 4%
terhadap BaU tahun 2020 menjadi 26,9% terhadap BaU 2030. Apa
instrumen dan metodologi yang digunakan oleh Kota Semarang
dalam merespon isu perubahan iklim serta bagaimana inisiatif
tersebut mampu menjadikan Kota Semarang memiliki ketahanan
iklim?

Terdapat hubungan penting antara pembangungan rendah karbon,


dampak perubahan ilkim, dan kota yang memiliki ketahanan iklim.
Untuk menghadapi perubahan iklim harus diawali dengan fokus
pada rencana dari nasional hingga daerah untuk mengurangi
kontribusi terhadap pemanasan global yang disebut sebagai rencana
aksi mitigasi perubahan iklim. Upaya mitigasi perubahan iklim
mencoba untuk memperlambat proses perubahan iklim global
dengan cara menurunkan tingkat GRK. Rencana aksi tersebut kini
telah bergeser menjadi Pembangunan Rendah Karbon (PRK) yang
diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
sosial melalui pertumbuhan rendah emisi yang meminimalkan
eksploitasi sumber daya alam.

Dengan adanya kebijakan mitigasi perubahan iklim dan praktik-


praktik pembangunan berkelanjutan yang terkait, maka emisi GRK
global diharapkan dapat ditekan. Integrasi mitigasi perubahan iklim
ke dalam rencana pembangunan merupakan salah satu upaya
mewujudkan kota yang memiliki ketahanan iklim. Tulisan ini
diharapkan dapat memberikan referensi instrumen dan metodologi
perhitungan inventarisasi gas rumah kaca karbon (IGRK) untuk

| 231
menghasilkan data dan informasi dasar terkait emisi/serapan GRK
serta bagaimana memanfaatkan data dasar tersebut menjadi rencana
aksi daerah gas rumah kaca (RAD GRK) atau Perencanaan
Pembangunan Rendah Kabron Daerah (PPRKD) untuk mewujudkan
perencanaan kota yang memiliki ketahanan iklim.

Mitigasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Iklim Perkotaan

1) Inisiatif Kota Semarang dalam merespon Perubahan iklim


Kota Semarang merupakan salah satu kota yang responsif terhadap
isu perubahan iklim. Berbagai kebijakan dan kajian berkaitan dengan
perubahan iklim baik mitigasi maupun adaptasi telah dilaksanakan.
Dalam hal mitigasi perubahan iklim, beberapa inisiatif yang
dilakukan Kota Semarang di antaranya:

1. Melakukan inventarisasi GRK. Kota Semarang melalui Dinas


Lingkungan Hidup secara regular melakukan IGRK untuk
mengetahui tren emisi/serapan sesuai dengan Pedoman
Inventarisasi Emisi GRK Nasional KLHK yang diadopsi dari
IPCC 2006 serta Peraturan Menteri KLHK No.
P.73/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2017 tentang Pedoman
Penyelenggaraan dan Pelaporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca
Nasional. Hasil IGRK tersebut telah terintegrasi dengan Sistem
Inventory GRK Nasional (SIGN-SMART) yang telah
dikembangkan sejak awal tahun 2015 oleh KLHK7. Hasil dari
IGRK merupakan dasar bagi Kota untuk menyusun Rencana
Aksi Daerah GRK (RAD GRK).

2. Menyusun rencana aksi daerah perubahan iklim meliputi aksi


mitigasi (RAD GRK) dan adaptasi. Menurut (ICLEI, 2017)
Rencana Aksi Perubahan Iklim Kota dapat didefinisikan sebagai
proses pengembangan kerangka kerja untuk mengidentifikasi
dan melaksanakan aksi iklim (mitigasi serta adaptasi), yang
dapat dilakukan kota berkaitan dengan rencana dan kebijakan

7
Informasi lebih lanjut mengenai signsmart pada http://signsmart.menlhk.go.id/v2.1/app/

232 | INSTRUMEN
pembangunannya untuk mengurangi GRK dan meningkatkan
ketahanan iklim. Sebuah rencana aksi iklim dibangun
berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari inventarisasi
emisi GRK dan penilaian kerentanan iklim perkotaan untuk
mengidentifikasi tindakan prioritas yang dapat membantu kota
beradaptasi dengan dampak perubahan iklim, sekaligus secara
signifikan mengurangi emisi GRK dari kegiatan kota. Kota
Semarang menyusun RAD GRK sesuai dengan Pedoman
Penyusunan RAD GRK yang dikembangkan oleh Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS8.
Berdasarkan hasil IGRK, Kota Semarang melakukan
penyusunan RAD GRK serta menentukan komitmen
penurunan emisi GRK.

3. Mengintegrasikan RAD GRK serta target penurunan emisi ke


dalam dokumen perencanaan kota.

4. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan


RAD GRK tahun 2010-2020 yang telah dikaji ulang menjadi
RAD GRK tahun 2018-2030.

Gambar 1 menunjukkan perkembangan inisiatif mitigasi perubahan


iklim yang telah dilaksanan Kota Semarang. Dari sisi ruang lingkup
dan metodologi dalam penyusunan dokumen telah disesuaikan
dengan kebijakan dan instrumen yang dikembangkan oleh
pemerintah pusat. Hanya saja, pemerintah Kota Semarang belum
melakukan kegiatan pemantauan, evaluasi dan pelaporan (PEP)
yang secara khusus ditujukan untuk mengetahui sejauh mana
implementasi dan progres pelaksanaan rencana aksi tersebut.
Padahal, pelaksanaan PEP sangat penting untuk memastikan
efektivitas implementasi RAD GRK serta meningkatkan kinerja

8
Informasi lebih lanjut mengenai Penyusunan RAD GRK dapat diakses di
http://ranradgrk.bappenas.go.id/rangrk/admincms/downloads/publications/Pedoman_pela
ksanaan_rencana_aksi_penurunan_emisi_GRK.pdf

| 233
berbagai aksi mitigasi emisi GRK secara berkelanjutan (Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional, 2013).

Sumber: Hasil Analisis, 2020


Gambar 1. Perkembangan Dokumen Mitigasi Perubahan Iklim
Kota Semarang

Peran Strategis Dokumen Perubahan Iklim


Dalam perencanaan kota yang memiliki ketahanan iklim, kualitas
IGRK yang baik memberikan informasi sumber emisi yang tepat
sebagai dasar kota dalam menyusun RAD GRK mitigasi perubahan
iklim. Maka, penting bagi kota untuk dapat mengidentifikasi sumber
dan tren emisi/serapan secara tepat serta memenuhi prinsip TACCC
(Transparancy, Accuracy, Completeness, Comparability, dan
Consistency)9. RAD GRK tersebut berkontribus terhadap
pengurangan emisi GRK dan meningkatkan ketahanan iklim kota. Di
sisi lain, keberadaan RAD GRK kota yang diintegrasikan dalam
rencana daerah merupakan wujud komitmen kota dalam
mendukung agenda RPJMN 2020-2024 ‘hijau’ pertama yang
memasukkan pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim
sebagai salah satu prioritas nasional.

9 Informasi lebih lanjut mengenai prinsip TACCC terdapat dalam Pedoman Penyelenggaraan
Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional Buku I Pedoman Umum Kementerian Lingkungan
Hidup

234 | INSTRUMEN
Inventarisasi GRK Kota Semarang
Inventarisasi GRK menjadi dasar bagi kota untuk memahami
kontribusi emisi dari berbagai kegiatan di masyarakat. Kemampuan
sebuah kota dalam menyediakan data emisi GRK yang berkualitas
baik akan menentukan kemampuan kota untuk mengambil tindakan
efektif dalam mitigasi perubahan iklim, menyusun strategi untuk
mengurangi emisi GRK, monitoring serta evaluasi terhadap capaian
target mitigasi. Menurut (Qi, et al., 2018), sebagian besar studi emisi
GRK skala perkotaan didasarkan pada batas administrasi kota
meliputi ruang lingkup 1 yang merupakan emisi GRK langsung dari
pembakaran bahan bakar fosil, IPPU, Agriculture, Forestry, and Other
Land Use (AFOLU), dan pembuangan limbah. Ruang lingkup 2 yang
merupakan emisi tidak langsung misalnya dari penggunaan listrik
juga telah dipelajari secara ekstensif. Terakhir, ruang lingkup 3 yang
merupakan GRK lainnya yang terjadi di luar administrasi wilayah
namun berasal dari aktivitas kota. Ruang lingkup inventarisasi GRK
yang dilakukan Kota Semarang menghitung emisi langsung dari
ruang lingkup 1 (sektor energi, AFOLU, serta limbah) dan emisi
tidak langsung ruang lingkup 2 (missal: penggunaan listrik) tanpa
memperhitungkan emisi tidak langsung dari ruang lingkup 3.
Perkembangan ruang lingkup perhitungan emisi GRK Kota
Semarang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan Ruang Lingkup Perhitungan Emisi GRK


Kota Semarang

IGRK IGRK
Sektor dan Sub-sektor Pertama Terbaru
(2013) (2019)
Lingkup 1
Energi
1A1 Industri Energi NE ✓
1A2 Industri Pengolahan ✓ ✓
1A3 Transportasi ✓ ✓
1A4 lainnya ✓ ✓
Produk dan proses industri

| 235
IGRK IGRK
Sektor dan Sub-sektor Pertama Terbaru
(2013) (2019)
2A Industri Mineral NA NA
2B Industri Kimia NA NA
2C Industri Logam NA NA
2D Produk Non-Energi dan Pelarut NE ✓
2E Industri Elektronik NA NA
2F Penggunaan Bahan Pengganti BPO NE NE
Pertanian, Kehutanan & Penggunaan Lahan
3A Ternak NE ✓
3B Lahan NE ✓
3C Sumber Emisi Agregat
3C1 Pembakaran Biomasa NE ✓
3C2 Aplikasi Kapur NA NA
3C3 Aplikasi Urea NE ✓
3C4 N2O Langsung dari Pengolahan Tanah NE ✓
3C5 N2O Tak Langsung dari Pengolahan Tanah NE ✓
3C6 Pengolahan Sawah - ✓
Pengelolaan Limbah
4A Limbah Padat ✓ ✓
4B Pengolahan Biologi ✓ ✓
4C Insinerasi Dan Pembakaran Terbuka ✓ ✓
4D Pengolahan Limbah Cair ✓ ✓
Lingkup 2
Emisi Tidak Langsung dari penggunaan listrik ✓ ✓
Lingkup 3 NE NE
Sumber: Hasil Analisis, 2020

Keterangan:
Not Applicable (NA): menerangkan bahwa kategori emisi tertentu tidak tersedia
atau tidak ada kegiatan
Not Estimated (NE): kategori emisi tertentu ada kegiatannya, namun tidak
dilakukan pendugaan. Tidak dilakukan pendugaan dapat disebabkan karena
sulitnya data diperoleh, kegiatan terlalu kecil, atau membutuhkan biaya banyak
dalam investigasinya

Berdasarkan (IPCC, 2006), untuk menghasilkan inventarisasi GRK


yang berkualitas dan siap untuk diverifikasi, lima prinsip dasar yang

236 | INSTRUMEN
harus dipenuhi ialah prinsip transparansi (Transparency), akurasi
(Accuracy), konsistensi (Consistency), komparabel atau dapat
diperbandingkan (Comparability), dan kelengkapan (Completeness)
atau sering disingkat dengan TACCC. Berdasarkan Tabel 1,
menunjukan bahwa Kota semarang berupaya meningkatkan kualitas
inventarisasi GRK dengan meningkatkan TACCC. Ruang lingkup
perhitungan IGRK Kota Semarang pada tahun 2019 mengalami
peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2013 (kelengkapan),
dari sisi metodologi sudah mengikuti pedoman IPCC sehingga hasil
perhitungan dapat dibandingkan.

Perubahan ruang lingkup perhitungan akan berpengaruh terhadap


hasil perhitungan emisi. Semakin banyak lingkup yang dihitung,
maka semakin besar pula hasil perhitungan IGRK. Perubahan yang
paling signifikan adalah lingkup energi dimana IGRK awal hanya
menghitung emisi tidak langusung dari penggunaan listrik (Lingkup
2), sementara saat perhitungan saat ini menggunakan perhitungan
emisi dari industri energi. (Dinas Lingkungan Hidup Kota
Semarang, 2018).

Metodologi yang digunakan pada perhitungan emisi GRK mengacu


pada metode yang ditetapkan oleh Intergovernmental Panel on Climate
Change Guidelines dalam IPCC Guidelines 2006. Penerapan
metodologi ini telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri KLHK
Nomor P.73/MenLHK/Setjen/Kum.1/12/2017 tanggal 29
Desember 2017 tentang Pedoman Penyelenggaraan dan Pelaporan
Inventarisasi Gas Rumah Kaca Hasil Inventarisasi (Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 2019). Secara garis
besar, perhitungan emisi/serapan GRK diperoleh melalui perkalian
data aktifitas dengan faktor emisi, atau dengan persamaan sederhana
berikut:

Emisi/Penyerapan GRK = Data Aktivitas x Faktor Emisi (FE)

| 237
1. Data Aktivitas (AD)
Penyelenggara Inventarisasi GRK di Kota Semarang dilakuakan
dengan mekanisme kelembagaan dalam pengumpulan data aktivitas
yang diperlukan pada perhitungan sebagaimana rumus di atas.
Pengumpulan dan pemutakhiran data dilakukan secara kontinu
dengan melibatkan OPD terkait.

2. Faktor Emisi (FE)


Pemilihan metodologi Inventarisasi GRK dilakukan menurut tingkat
ketelitian (tier), semakin tinggi ke dalaman metode yang
dipergunakan maka hasil perhitungan emisi/serapan GRK yang
dihasilkan semakin rinci dan akurat. Tingkat ketelitian (tier) terdiri
dari:

a) Tier 1: metode perhitungan emisi dan serapan menggunakan


persamaan dasar (basic equation), data aktivitas yang digunakan
sebagian bersumber dari sumber data global, dan menggunakan
faktor emisi default (nilai faktor emisi yang disediakan dalam
pedoman IPCC)

b) Tier 2: metode perhitungan emisi dan serapan menggunakan


persamaan yang lebih rinci, data aktivitas berasal dari sumber
data nasional dan/atau daerah, dan menggunakan faktor emisi
lokal yang diperoleh dari hasil pengukuran langsung.

c) Tier 3: metode perhitungan emisi dan serapan menggunakan


persamaan yang paling rinci (dengan pendekatan modeling dan
sampling), dengan pendekatan modeling faktor emisi lokal
yang divariasikan dengan keberagaman kondisi yang

Untuk estimasi Inventarisasi GRK Nasional tahun 2000-2017


menggunakan metode IPCC Guidelines 2006 untuk tier 1 dan tier 2
(Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 2019).
Seperti halnya IGRK Nasional, IGRK Kota Semarang dilakukan
dengan menggunakan tier 1 dan tier 2.

238 | INSTRUMEN
Hasil Inventarisasi GRK Kota Semarang Tahun 2014-2018
Berdasarkan hasil emisi GRK Kota Semarang tahun 2014-2018
fluktuatif dimana besarnya emisi tahun 2014 adalah 2.250.358,70
CO2e dan emisi tersebut naik menjadi 4.127.286,89 CO2e pada tahun
2018. Dalam persentase, besaran emisi tahun 2018 di Kota Semarang
adalah 82,07% untuk sektor energi, sektor limbah sebesar 16,64%,
sektor AFOLU 1,28% dan sektor IPPU sebesar 0,01%. Kontribusi
emisi terbesar dari sektor energi adalah penggunaan energi pada
industri energi sebesar 2.086.081,85 ton CO2e diikuti sub-sektor
transportasi sebesar 824.129,37 ton CO2e dan industri manufaktur
sebesar 238.523,18ton CO2e.

Sumber: Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang, 2018


Gambar 2. Tren Emisi GRK Kota Semarang Tahun 2014-2015
pada Lingkup 1

1. Sektor Energi
Sektor pengadaan dan penggunaan energi terdiri dari tiga kategori
yaitu kegiatan pembakaran bahan bakar, emisi fugitif, dan
transportasi dan penyimpanan CO2. Kategori transportasi dan
penyimpanan CO2 secara umum tidak terdapat di Indonesia.
Kategori emisi fugitif bersumber dari penambangan bahan bakar
padat, minyak dan gas bumi serta emisi lainnya dari pengadaan

| 239
energi10. Kategori pembakaran bahan bakar merupakan kategori
yang menghasilkan emisi signifikan dari sektor pengadaan dan
penggunaan energi di Kota Semarang. Sumber emisi GRK sektor
energi di Kota Semarang berasal dari 1A1 Industri Energi, 1A2
Industri Pengolahan, 1A3 Transportasi dan 1A4 lainnya. Emisi dari
industri energi berasal dari penggunaan MFO, HSD dan Gas Alam
(Mscf) untuk kegiatan pembangkit berupa unit pembangkit (UP)
Semarang yang mengoperasikan Pusat Listrik Tenaga Gas (PLTG),
Pusat Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU), dan Pusat Listrik
Tenaga Uap (PLTU).

UP Semarang memiliki total kapasitas sebesar 1409 MW memegang


peranan yang penting dalam menjaga mutu sistem kelistrikan Jawa
Bali terutama Jawa Tengah. Pada sub-sektor industri manufaktor
dihitung berdasarkan penggunaan bahan bakar untuk kegiatan
industri sedangkan pada sub-sektor transportasi, emisi GRK
dihitung dari total penggunaan bahan bakar di Kota Semarang untuk
kegiatan transportasi. Pada sub-sektor lainnya, sumber emisi berasal
dari penggunaan LPG untuk kegiatan pemukiman dan komersil.

Total emisi GRK sektor energi pada tahun 2014 di Kota Semarang
mencapai 1.658.440 ton dan naik menjadi 3.387.385 Ton pada tahun
2018. Kenaikan signifikan tersebut utamanya dipicu oleh
peningkatan penggunaan bahan bakar pada industri energi serta
peningkatan konsumsi bahan bakar untuk transportasi. Besaran
emisi untuk tahun 2018 industri energi berkontribusi sebesar
2.086.081,85 ton CO2e (62%). Sementara sub-sektor transportasi
memberikan emisi sebesar 824.129,37 ton CO2e (24%). Sedangkan
sub-sektor industri manufaktur sebesar 238.523,18 ton CO2e (7%)
dan sub-sektor lainnya sebesar 238.650 CO2e (7%).

10Informasi lebih lanjut mengenai sumber dan perhitungan emisi sektor energi terdapat
pada Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional Buku II – Volume 1
Metodologi Penghitungan Tingkat Emisi Gas Rumah Kaca, Kegiatan Pengadaan dan
Penggunaan Energi, KLHK (2012)

240 | INSTRUMEN
2. Sektor IPPU (Proses Industri dan Penggunaan Produk)
Berdasarkan (KLHK, 2012a), emisi yang dimaksud adalah yang
bersumber dari (i) emisi GRK yang terjadi selama proses/reaksi
kimiawi industri, (ii) penggunaan gas-gas kategori GRK di dalam
produk, dan (iii) penggunaan karbon bahan bakar fosil untuk
kegiatan non-energi melainkan untuk kegiatan produksi. Sumber-
sumber utama emisi GRK dari sektor ini dikelompokkan dalam tujuh
kategori meliputi industri mineral, kimia, logam, emisi dari
penggunaan produk non energi bentukan bahan bakar dan pelarut,
elektronik, penggunaan produk sebagai pengganti bahan perusak
ozon, serta produksi dan penggunaan produk lainnya 11. Pada sektor
ini, tidak banyak kegiatan di Kota Semarang yang berkontribusi
terhadap sektor IPPU. Emisi dari sektor IPPU di Kota Semarang
dihitung dari aktivitas penggunaan produk non energi dan pelarut
seperti penggunaan pelumas untuk trasportasi dan industri. Emisi
sektor IPPU tahun 2014 sebesar 944,39 ton CO2e dan naik menjadi
11.192,27 ton CO2e pada tahun 2019. Peningkatan ini dipicu oleh
peningkatan penggunaan produk non energi dan pelarut berupa
pelumas pada kegiatan transportasi dan perindustrian.

3. Sektor AFOLU (Agriculture, Forestry and Land Use)


Berdasarkan (KLHK, 2012b) emisi dari sektor AFOLU beradal dari
kegiatan pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan. Emisi GRK
dari sektor peternakan timbul dari dua kegiatan yakni (1) fermentasi
enterik yang menghasilkan gas metana dan (2) pengelolaan kotoran
ternak yang menghasilkan emisi metana dan dinitrooksida baik
langsung maupun tidak langsung. Perhitungan emisi GRK pada
bidang kehutanan meliputi seluruh wilayah yang berbasis lahan,
baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. Untuk
menentukan tingkat emisi digunakan data tutupan lahan yang

11Informasi lebih lanjut mengenai sumber dan metodologi perhitungan Emisi GRK Sektor
IPPU dapat dilihat pada Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional
Buku II – Volume 2 Metodologi Penghitungan Tingkat Emisi Gas Rumah Kaca Proses Industri
Dan Penggunaan Produk (IPPU), KLHK (2012)

| 241
dihasilkan dari penafsiran citra satelit. Kelas penutupan lahan
disesuaikan SNI 7465.

Sektor pertanian menghasilkan emisi GRK dari enam kegiatan. Maka


dari itu IPCC mengelompokkan seluruh emisi dari sektor pertanian
sebagai emisi agregat pertanian. Kegiatan tersebut terdiri dari; (1)
Pembakaran biomasa, (2) pemakaian kapur, (3) pemakaian urea, (4)
N2O langsung dari pengolahan tanah dan pemakaian pupuk, (5)
emisi N2O tidak langsung dari pengolahan tanah dan pemakaian
pupuk dan (6) CH4 dari budidaya padi sawah12. Inventarisai GRK
Kota Semarang melakukan perhitungan untuk seluruh seluruh
sumber emisi GRK sektor AFOLU kecuali emisi dari pemakaian
kapur untuk kegiatan pertanian karena kegiatan ini tidak tersedia di
Kota Semarang

Emisi dari sektor pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan di


Kota Semarang pada tahun 2018 sebesar 52.886,08 ton CO2e.
Kontribusi terbesar berasal dari agregat pertanian sebesar 40.255,31
Ton CO2e diikuti oleh peternakan sebesar 12.630,77 ton CO2e. Sub-
sektor lahan pada tahun 2018 tidak mengalami emis/serapan. Emisi
pada sub-sektor lahan terjadi pada tahun 2016-2017 yang dipicu oleh
perubahan tutupan lahan dari pertanian lahan kering campur,
pertanian lahan kering dan perkebunan ke pemukiman.

4. Sektor Limbah
Sumber emisi dari sektor limbah terdiri dari limbah padat domestic
dan industri serta limbah cair domestik dan industri. Sumber emisi
limbah padat domestik terdiri dari (1) pembuangan akhir sampah
yang menyebabkan emisi GRK dari proses dekomposisi material

12Informasi lebih lanjut mengenai sumber dan metodologi perhitungan Emisi GRK Sektor
AFOLU dapat dilihat pada Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional
Buku II – Volume 3 Metodologi Penghitungan Tingkat Emisi Dan Penyerapan Gas Rumah
Kaca Kegiatan Pertanian, Kehutanan, Dan Penggunaan Lahan Lainnya

242 | INSTRUMEN
organik secara anaerob, (2) pengolahan sampah secara biologi
berupa kegiatan pengomposan maupun pengolahan secara
anaerobic, (3) Kegiatan pembakaran sampah yaitu pertama
pembakaran terbuka dan pembakaran yang berlangsung secara
tertutup (insenerasi). Sedangkan sumber emisi dari limbah cari
domestic berasal dari sistem pengelolaan limbah cair domestic yang
diolah setempat (uncollected) atau dialirkan menuju pusat
pengolahan limbah cair (collected) atau dibuang tanpa pengolahan
melalui saluran pembuangan dan menuju ke sungai 13.

Perhitungan emisi sektor limbah di Kota semarang difokuskan pada


limbah domestik. Sementara limbah dari industri belum dilakukan
perhitungan (not estimated) dikarenakan keterbatasan data. Emisi
dari sektor limbah pada tahun 2018 mencapai 686.659,64 ton CO2e.
Emisi terbesar dihasilkan dari sub-sektor pengelolaan limbah padat
berupa pembuangan akhir sampah sebesar 335.557 Ton CO2e
(48,87%) diikuti emisi dari sub-sektor limbah cair 222.164 Ton CO2e
(32,35%), pembakaran terbuka 128.934 (18,78%) dan pengolahan
limbah padat biologi 2,38 Ton CO2e.

Sementara itu, jika menghitung emisi dari lingkup 2 di Kota


Semarang yaitu emisi dari penggunaan listrik mencapai maka
besarnya emisi GRK Kota Semarang pada tahun 2018 mencapai
7.476.315,92 CO2eq dengan emisi listrik sebesar 3.349.029,03 Ton
CO2e (Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang, 2019). Penambahan
lingkup 2 dalam perhitungan emisi GRK Kota Semarang
berkontribusi sangat signifikan terhadap emisi Kota. Kota Semarang
sebagai ibukota Provinsi sekaligus pusat perdagangan dan jasa
memiliki konsumsi energi listrik yang tinggi.

13Informasi lebih lanjut mengenai sumber dan metodologi perhitungan Emisi GRK Sektor
Limbah Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional Buku II – Volume
4 Metodologi Penghitungan Tingkat Emisi Gas Rumah Kaca Kegiatan Pengelolaan Limbah,
KLHK (2012)

| 243
Sumber: Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang, 2019
Gambar 3. Tren emisi GRK Kota Semarang tahun 2014-2018
pada Lingkup 1 dan 2

Hasil inventasasi GRK digunakan untuk mengetahui tren


emisi/serapan GRK di kota Semarang serta dasar (baseline) dalam
melakukan proyeksi emisi hingga tahun 2030. Berdasarkan profil
emisi GRK Kota Semarang, diperoleh kategori kunci (key category)
yaitu nilai absolut dari terbesar sampai terkecil dengan mencapai
95% seperti disajikan pada Gambar 4.

Sumber: Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang, 2018


Gambar 4. Kategori Kunci Emisi GRK Kota Semarang

244 | INSTRUMEN
Kategori kunci emisi GRK yang disebutkan pada Gambar 4 dijadikan
dasar bagi Kota Semarang di dalam menyusun rencana aksi pada
review dokumen RAD GRK tahun 2018-2030. Agar upaya
penurunan emisi GRK dapat dilakukan secara efektif, maka kegiatan
rencana aksi daerah (RAD GRK) dapat difokuskan pada subsektor
yang masuk dalam kategori kunci yaitu subsektor transportasi,
limbah padat, lainnya, industry pengolahan dan pengolahan limbah
cair. Industri energi meskipun berkontribusi sebesar 51%, namun
dari sisi kewenangan berada di pemerintah pusat.

RAD Kota Semarang Tahun 2010-2020


RAD GRK kota Semarang tahun 2010-2020 disusun pada tahun 2013
atau dua tahun setelah pemerintah mengeluarkan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana
Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Dokumen RAD
GRK tersebut merupakan bagian dari (Integrated Climate Change
Strategy). Pada dokumen strategi perubahan iklim terpadu (2013)
disebutkan bahwa kerangka besar pengendalian perubahan iklim,
tujuan dan strategi pembangunan daerah sampai dengan tahun 2020
diarahkan untuk membawa masyarakat Kota Semarang menuju
suatu kehidupan masyarakat tangguh dalam menghadapi tantangan
iklim dan efisien dalam penggunaan sumberdaya dan energi. Tujuan
pengendalian perubahan iklim diformulasikan sebagai berikut:
“Meningkatkan ketahanan Kota Semarang terhadap dampak perubahan
iklim dan menurunkan emisi GRK sebesar 4% dari emisi BaU pada tahun
2020.”

Total emisi Kota Semarang akan meningkat dari 1.864.897 Ton CO2e
pada tahun 2010 menjadi 3.130.845 Ton CO2e pada tahun 2020.
Untuk mencapai tujuan dan komitmen menghadapi perubahan
iklim, dalam dokumen strategi perubahan iklim Kota Semarang
tahun 2010-2020 ditetapkan tujuh strategi. Ketujuh strategi tersebut
dijelaskan sebagai berikut:

| 245
1) Peningkatan Efisiensi Energi
2) Pengembangan Sistem Pengelolaan Limbah Terpadu
3) Pengendalian Penyakit Menular terkait Dampak Perubahan
Iklim
4) Peningkatan Penyediaan dan Pelayanan Air Bersih
5) Peningkatan Kapasitas Kesiapsiagaan Bencana Terkait
Perubahan Iklim
6) Pengendalian Dampak Banjir dan Rob
7) Pengendalian Bangunan dan Pemanfaatan Ruang

Review terhadap RAD GRK Kota Semarang Tahun 2020


Tahun 2018, Kota Semarang melakukan review terhadap capaian
target mitigasi penurunan emisi. Review dilakukan terhadap 2
komponen utama yaitu review terhadap BaU dan capaian mitigasi
yang telah dilaksanakan oleh Kota semarang hingga tahun 2018.
Hasil IGRK tahun 2018 menunjukan bahwa emisi GRK Kota
Semarang berada jauh di atas proyeksi emisi BaU yang dilakukan
pada tahun 2013.

Tabel 2. Perubahan Dokumen RAD GRK Kota Semarang

Perubahan RAD Lama Review RAD


Tahun Proyeksi 2010-2020 2016-2030
Emisi Tahun Dasar 1.864.897 4.418.063
Emisi BaU di tahun akhir 3.130.845 13.842.511,12
Target Penurunan (Ton) 116.180 3.681.762,75
Target Penurunan (%) terhadap BaU 4% 27%
Sumber: Hasil Analisis, 2020

Berdasarkan hasil perhitungan rencana aksi mitigasi penurunan


emisi Gas Rumah Kaca Tahun 2016-2030, maka diperoleh target
penurunan berdasarkan sektor adalah sebagai berikut (Bappeda
Kota Semarang, 2018):

246 | INSTRUMEN
“Kota semarang berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah
Kaca (GRK) sebesar 3.681.763 Ton CO2eq terhadap BaU pada tahun
2030 sebesar 13.842.511,12 TonCO2eq atau setara dengan 26,60%
terhadap BaU tahunan pada Tahun 2030”.

Berdasarkan hasil review yang dilakukan oleh Bappeda Kota


Semarang pada tahun 2018 menunjukan bahwa capaian rencana aksi
mitigasi mencapai 1,3% dari target 4% terhadap BaU di tahun 2020.
Capaian reduksi emisi GRK Kota Semarang diperoleh dari kegiatan
pengelolaan sampah melalui bank sampah serta pengelolaaan BRT
pada tahun 2016 – 2018. Tabel 3 menunjukkan rekapitulasi capaian
penurunan emisi GRK Kota Semarang tahun 2016 – 2018.

Tabel 3. Capaian Mitigasi Emisi GRK Kota Semarang


Tahun 2016-2018

Penurunan Emisi GRK (Ton CO2e/Tahun)


Tahun
Transportasi Limbah Padat
2016 10.910 696,21
2017 13.922 696,21
2018 13.992 696,21
Total 38.754 2.088,63
Sumber: Hasil Analisis, 2018

Berdasarkan diagram pada Gambar 5, total target penurunan emisi


GRK pada tahun 2020 adalah sebesar 116.180 ton dan hingga tahun
2020 baru tercapai 40.843 (35%). Capaian terbesar berasar dari sub
sektor transportasi sebesar 38.754 diikuti oleh sektor limbah sebesar
2.089 ton/tahun. Rendahnya capaian target mitigasi dipengaruhi
beberapa faktor di antaranya kebijakan, kewenangan pemerintah
daerah, anggaran dan teknis (dijelaskan pada Bab 15). Analisis
mengenai faktor-faktor tersebut dibahas lebih mendalam di buku ini
pada bagian Tata Kelola.

| 247
Sumber: Diadopsi dari Bappeda Kota Semarang, 2018
Gambar 5. Capaian Pelaksanaan RAD GRK tahun 2010-2020

Kesimpulan
Dalam perencanaan kota yang memiliki ketahanan iklim, kualitas
IGRK yang baik, memberikan informasi sumber emisi yang tepat
sebagai dasar kota dalam menyusun RAD GRK mitigasi perubahan
iklim. Maka, penting bagi kota untuk dapat mengidentifikasi sumber
dan tren emisi/serapan secara tepat serta memenuhi prinsip
TACCC. Untuk menghasilkan IGRK yang tepat dan informatif
diperlukan instrumen dan metodologi yang mampu memenuhi
prinsip TACCC. Kota dapat mengadopsi instrumen pemerintah
pusat yaitu Sistem Inventori GRK Nasional (SIGN-SMART) yang
telah mengintegrasikan metodologi IPCC.

Pemerintah daerah melalui Bappeda harus merespon informasi dan


hasil dari IGRK untuk menyusun RAD GRK atau saat ini disebut
sebagai PPRK). RAD GRK tersebut menjaadi kontribusi nyata
pemerintah daerah terhadap pengurangan emisi GRK dan
meningkatkan ketahanan iklim kota. Di sisi lain, keberadaan RAD
GRK kota yang diintegrasikan dalam rencana daerah merupakan
wujud komitmen kota dalam mendukung agenda RPJMN 2020-2024

248 | INSTRUMEN
‘hijau’ pertama yang memasukkan pembangunan rendah karbon
dan ketahanan iklim sebagai salah satu prioritas nasional. Terakhir,
monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan RAD GRK perlu
dilakukan secara berkala oleh kota untuk memastikan bahwa
rencana aksi telah diimplementasikan serta mengidentifikasi
kendala yang menhampat upaya penurunan emisi oleh Kota.

Daftar Pustaka
Bappeda Kota Semarang. (2013), Strategi Perubahan Iklim Terpadu
Kota Semarang Tahun 2010-2020. Bappeda Kota Semarang.
Indonesia.
Bappeda Kota Semarang. (2018), Rencana Aksi Daerah Mitigasi
Perubahan Iklim. Bappeda Kota Semarang. Indonesia.
Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang. (2018), Inventarisasi Gas
Rumah Kaca Tahun 2014-2018. Dinas Lingkungan Hidup
Kota Semarang. Indonesia.
Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang. (2019), Inventarisasi Gas
Rumah Kaca. DLH Kota Semarang. Indonesia.
Elena, M. (2020), Indonesia Tegaskan Komitmen Mitigasi
Perubahan Iklim Lewat RPJMN 'Hijau' 2020-2024, diambil
dari
https://ekonomi.bisnis.com/read/20201024/9/1309413/ind
onesia-tegaskan-komitmen-mitigasi-perubahan-iklim-lewat-
rpjmn-hijau-2020-2024
ICLEI - Local Governments for Sustainability, South Asia. (2017),
City Climate Action Plan. New Delhi: ICLEI.
IPCC. (2006), IPCC National Greenhouse Gas Inventories
Programme: Volume 1 General Guidance and Reporting. The
Institute for Global Environmental Strategies (IGES).
Hayama, Japan.
IPCC. (2014), Climate Change 2014 Impacts, Adaptation, and
Vulnerability Part A: Global and Sectoral Aspects. IPCC. New
York.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2019),
Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring, Pelaporan,
Verifikasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Direktorat
Inventarisasi Gas Rumah Kaca, Monitoring, Pelaporan dan
Verifikasi. Jakarta.

| 249
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. (2013), Petunjuk
Teknis Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan. Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta.
KLHK. (2012a), Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas
Rumah Kaca Nasional Buku II – Volume 2 Metodologi
Penghitungan Tingkat Emisi Gas Rumah Kaca Proses
Industri Dan Penggunaan Produk (IPPU). KLHK. Jakarta.
KLHK. (2012b), Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas
Rumah Kaca Nasional Buku II – Volume 3 Metodologi
Penghitungan Tingkat Emisi Dan Penyerapan Gas Rumah
Kaca Kegiatan Pertanian, Kehutanan, dan Penggunaan Lahan
Lainnya. KLHK. Jakarta.
KLHK. (2019), Laporan Inventarisasi GRK dan Monitoring,
Pelaporan dan Verifikasi (MPV). KLHK. Jakarta.
Liu, Z., SaiLiang, Geng, Y., BingXue, Xi, F., Pan, Y., Zhang, T., &
Fujita, T. (2012), Features, trajectories and driving forces for
energy-related GHG emissions from Chinese mega cites: The
case of Beijing, Tianjin, Shanghai and Chongqing. Energy,
Vol. 37 No. 1, pp. 245-254.
Qi, C., Wang, Q., Ma, X., Ye, L., Yang, D., & Hong, J. (2018),
Inventory, environmental impact, and economic burden of
GHG emission at the city level: Case study of Jinan, China.
Journal of Cleaner Production, Vol. 192, pp. 236-243.
Union of Concerned Scientists. (2020), Each Country's Share of CO2
Emissions, diambil dari
https://www.ucsusa.org/resources/each-countrys-share-
co2-emissions
World Resources Institutes. (2015), Global Protocol for Community-
Scale Greenhouse Gas Emission Inventories. World Resources
Institutes. USA.

250 | INSTRUMEN
BAB 12
PENGGUNAAN INDEKS DALAM PENGUKURAN
KETAHANAN KOTA
TIA DIANING INSANI DAN MEGA FEBRIANA KUSUMO

Pendahuluan
Diskursus mengenai ketahanan (resilient) memiliki sejarah yang
panjang, mengakar pada ilmu ekologi, teknik, dan psikologi
(Romero, 2016). Konsep ketahanan mengarah pada tema-tema
perencanaan kota setelah Holling (1973) mendefinisikan ketahanan
dalam dua pandangan, yaitu ketahanan teknis (engineering resilience)
dan ketahanan ekologis (ecological resilience). Ketahanan ekologis
kemudian berkembang lebih kompleks dan melibatkan berbagai
macam dimensi sosial dan lingkungan di dalamnya (socio-ecological
resilience) (Carpenter et al., 2005). Dalam konteks perkotaan,
kompleksitas sistem perkotaan melibatkan banyak dimensi dalam
mengelaborasi ketahanan, seperti dimensi infrastruktur, sosial
masyarakat, ekonomi, lingkungan dan dimensi lainnya (Füssel,
2007).

Pendekatan multidimensi dalam pengukuran ketahanan


memerlukan banyak variabel guna menghasilkan penilaian yang
relevan, sehingga metode kuantitatif diperlukan untuk menunjukan
fakta-fakta yang lebih terukur, membuat perbandingan, serta menilai
secara spesifik berbagai aspek ketahanan (Davoudi, 2012).
Pembuatan indikator dalam setiap variabel juga diperlukan untuk
memahami maksud dari variabel-variabel tersebut. Metode yang
paling umum dan bisa memfasilitasi penilaian ini adalah indeks
komposit, yang mana skor indikator maupun variable diukur secara

| 251
agregat untuk menggambarkan kinerja kota secara keseluruhan
(Todaro, 1989 dalam Foa et al., 2015).

Metode pengukuran ketahanan menggunakan indeks menilai


variabel-variabel multidimensi menjadi satu kesatuan indikator
yang menghasilkan informasi kinerja pembangunan ketahanan yang
terkuantifikasi. Beberapa penggunaan indeks untuk pengukuran
ketahanan di antaranya indeks pengukuran ketahanan rumah
tangga (Resilience Index Measurement and Analysis - RIMA) yang
dibangun oleh The Food and Agriculture Organization of the United
Nations (FAO) dan pengukuran ketahanan komunitas oleh The
International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC)
melalui Framework for Community Resilience. Sementara itu organisasi-
organisasi dunia seperti ARUP dan World Research Institute (WRI)
menggunakan metode indeks untuk mengukur ketahanan dalam
konteks perkotaan.

Rockefeller Foundation dan ARUP (2014) menyusun City Resilient Index


(CRI)14 yang terdiri dari seperangkat faktor yang umum bagi kota-
kota di dunia untuk bisa bertahan menghadapi berbagai tantangan
dan ancaman. Sedangkan WRI menyusun Urban Community
Resilience Assessment (UCRA)15 untuk membantu kota, masyarakat
perkotaan serta kapasitas komunitas untuk dapat menilai ketahanan
kota secara luas. Indikator dalam tiga aspek penilaian UCRA
ditentukan melalui konsultasi dengan tim ahli dan diskusi tim
internal, menyesuaikan dengan karakteristik geografi, budaya, dan
infrastruktur wilayahnya. Baik CRI maupun UCRA telah digunakan
untuk menilai tingkat kerentanan di berbagai wilayah perkotaan di
dunia, termasuk salah satunya Kota Semarang. Untuk mengenal
lebih dalam pemanfaatan indeks untuk pengukuran ketahanan kota
khususnya yang telah dipraktikkan di Kota Semarang, yaitu CRI dan

14Informasi lengkap pada laman https://www.arup.com/perspectives/city-resilience-index


15Informasi lenglap pada laman https://www.wri.org/our-work/project/urban-community-
resilience-assessment

252 | INSTRUMEN
UCRA, maka pembahasan menyeluruh terkait keduanya coba
dijabarkan dalam tulisan ini.

Bagian awal pembahasan mengulas prinsip-prinsip dalam


membangun indeks beserta alasan yang mendasari indeks sebagai
pendekatan yang dipilih untuk mengukur tingkat ketahanan kota.
Selanjutnya, praktik penggunaan indeks untuk pengukuran tingkat
ketahanan di Kota Semarang menjadi bahasan utama dalam tulisan
ini. Terdapat pembahasan mengenai perbandingan praktik
pengukuran tingkat ketahanan Kota Semarang yang telah dilakukan
oleh ARUP dalam CRI Kota Semarang, serta pengukuran ketahanan
komunitas melalui UCRA oleh WRI. Bagian akhir tulisan akan
ditutup dengan refleksi dari pembahasan mengenai konsepprinsip
dasar indeks dengan praktik penggunaannya dalam proses
perencanaan dan pembangunan kota yang memiliki ketahanan.

Prinsip dan Karakteristik Indeks

1) Pengenalan Indeks
Indeks merupakan istilah yang sering muncul pada berbagai bidang
ilmu, untuk mendefinisikan sesuatu yang berhubungan dengan
daftar, angka serta sekelompok data (Kemendikbud, 2016). Dalam
prespektif ilmu statistik dan penelitian, indeks adalah sebuah
metode pengukuran dengan menggabungkan beberapa kelompok
aset atau indikator (composite) menjadi satu kesatuan informasi.
Pengukuran indeks terhadap variable bersifat ordinal. Artinya
variable-variable di dalam indeks memiliki informasi yang
berjenjang sesuai urutan rangking, derajat atau tingkatan tertentu.

Indeks sering disamakan dengan pengukuran skala, meskipun


demikian pengukuran keduanya berbeda. Skala menilai setiap
variable sebagai atribut terpisah serta mendapatkan informasi
dengan mengamati pola jawaban dari keseluruhan variable.

| 253
Sedangkan indeks menilai variable sebagai atribut dari satu kesatuan
indikator. Sebagai contoh, untuk menilai tingkat keterpaparan
wilayah terhadap banjir rob, maka variable-variable yang perlu
dinilai adalah frekuensi kejadian rob setiap satu tahun, jumlah
masyarakat yang ter dampak, serta kerusakan yang terjadi karena
banjir rob. Pengukuran indeks terdiri dari pemilihan indikator,
penskalaan, pembobotan, dan agregasi serta validasi (Babble, 2016),
yang dijelaskan sebagai berikut:

a. Pemilihan Indikator. Tahap pertama dalam mengukur indeks


adalah dengan memilih indikator. Pemilihan indikator ini
berfungsi untuk menentukan jumlah dan sifat komponen yang
akan menjadi bagian dari indeks komposit. Setelah itu
komponen/indikator perlu dijabarkan melalui pemilihan
variable-variable spesifik yang dapat memperjelas indikator.
Pemilihan variable pada umumnya mengacu pada teori, analisis
empiris, pragmatisme atau daya tarik intuitif atau beberapa
kombinasi darinya (Adelman & Morris, 1972; Diener & Suh,
1997 dalam Babble, 2016).

b. Penskalaan. Tujuan dari penskalaan adalah untuk memastikan


relasi antar objek-objek tertentu, seberapa jauh korelasi antar
mereka dan ke arah mana letak objek tersebut relatif satu sama
lain. Penskalaan indeks komposit dapat menggunakan berbagai
cara, misalnya dengan Skor Standar atau dalam istilah statistik
disebut z-score. Selain itu, penskalaan juga dapat menggunakan
linear scaling transformation (LST), yaitu dengan melakukan
penyekalaan skor variabel antara 0-100. Prinsip dasar
penskalaan yaitu adanya nilai maksimum dan nilai minimum
(Drewnowski, 1974; Morris, 1979 dalam Babble, 2016). Apabila
variable tidak menunjukkan nilai minimum atau maksimum
(misal menunjukkan jumlah), maka dapat dibuat persentase
(Misal: persentase kendaraan bermotor terhadap jumlah
penduduk).

c. Pembobotan dan Agregasi. Selain menentukan skala, peneliti


perlu menentukan metode pembobotan yang digunakan untuk

254 | INSTRUMEN
menggabungkan skor komponen menjadi satu indeks
komposit. Artinya, bobot komponen atau indeks merupakan
skor rata-rata dari variabel yang membentuknya. Pembobotan
sebenarnya telah ada secara implisit selama melakukan
penskalaan. Misalnya jika berlaku skala 0 sampai 100, maka
bobot variabel juga menggunakan angka yang sama. Sementara
secara eksplisit, pembobotan berfungsi untuk mencerminkan
kepentingan relatif dari masing-masing variabel atau
komponen (Drewnowski, 1974 dalam Babble, 2016).
Pembobotan secara eksplisit perlu melibatkan pakar maupun
pembuat kebijakan dalam menentukan bobot pada setiap
variabel. Setelah melakukan pembobotan, maka langkah
selanjutnya adalah menghitung skor agregat (agregasi), yaitu
dengan menggabungkan bobot pada masing-masing variabel.
Menurut Ginsberg et al. (1986) dalam Babble (2016), pilihan
metode yang digunakan dalam pembobotan dan agregasi pada
akhirnya bergantung pada sifat dan ruang lingkup studi
tertentu. Studi yang bertujuan mengeksplorasi aspek teoritis
dari pengindeksan komposit biasanya menggunakan teknik
yang agak rumit. Sementara studi yang bertujuan menyajikan
pandangan sederhana dan informatif tentang kesejahteraan
umum atau untuk memberi tahu pejabat mengenai masalah
tertentu cenderung memilih metode yang relatif lebih
sederhana sehingga mudah dipahami dan dihitung.

d. Validasi. Tahap terakhir dalam perhitungan indeks adalah


validasi hasil. Validasi bertujuan untuk memberikan
pandangan dan perdebatan konstruktif sehingga indeks dapat
ditingkatkan. Validasi dilakukan dalam pemilihan, penskalaan,
pembobotan, dan agregasi untuk meningkatkan kualitas
perkiraan akhir (Ul Haq, 1995 dalam Babble, 2016).

2) Kelemahan dan Kelebihan Indeks


Pengukuran indeks merupakan bagian dari metode kuantitatif
karena melibatkan skor (angka) untuk menilai kinerja suatu sistem.

| 255
Dibandingkan dengan metode kualitatif, pengukuran indeks lebih
terukur karena menggunakan analisis statistik untuk menyoroti
temuan serta menarik kesimpulan. Indeks juga dapat mengakomodir
sample yang lebih banyak, sehingga skala pengukuran lebih luas
serta dapat menyatukan ilmu-ilmu yang kompleks. Sementara
sample pada metode kualitatif cenderung lebih sedikit karena fokus
penelitian lebih mikro dan lebih detail. Akan tetapi, indeks memiliki
kelemahan seperti metode kuantitatif pada umumnya. Pengukuran
indeks cenderung tidak mendetail serta kurang dapat menjawab
pertanyaan ‘mengapa?’ dan ‘bagaimana?’ (Rahman, 2016; Creswell,
2014). Dalam prosesnya, metode indeks juga harus terus di pantau
untuk menjaga konsistensi dan homogenitas data, termasuk
kesamaan indikator yang digunakan, metodologi, serta kesamaan
waktu pengumpulan data pada satu pengukuran indeks (Booysen,
2002).

Pengukuran indeks memiliki kelebihan dan kekurangan jika


dibandingkan dengan sesama metode kuantitatif seperti deskriptif
kuantitatif, korelasi, serta pengukuran lainnya. Meskipun termasuk
ke dalam metode kuantitatif, pengukuran indeks memiliki
kemampuan yang tidak dimiliki oleh metode kuantitatif lain, yaitu
mampu memproses data dengan keragaman yang besar, serta
menggabungkan data tersebut menjadi satu kesatuan informasi
melalui standarisasi data (Foa et al., 2015). Tetapi metode kuantitatif
lain cenderung lebih detail karena pada umumnya menilai performa
pada satu bidang (monodimensi) sehingga mampu menggali isu
(secara kuantitatif) lebih dalam di bidang tersebut (Wikibooks, 2020).
Sedangkan indeks bersifat multidimensi dan kompleks sehingga
lebih sulit untuk meng interpretasi hasil temuan indeks (Ram, 1982
dalam Booysen, 2002).

Ada beberapa pandangan mengenai fokus pengukuran indeks


berdasarkan hasil serta makna. Peneliti seperti Moris (1979) dalam
(Booysen, 2002) menganggap bahwa indeks cenderung hanya

256 | INSTRUMEN
berfokus pada hasil skor komposit sehingga lebih sulit untuk
menghubungkan hasil dengan relevansi kebijakan yang diperlukan.
Akan tetapi, Venhoveen (1996) menyebutkan bahwa pengukuran
indeks secara langsung berkaitan dengan tujuan kebijakan karena
pembentukan indikator bertujuan untuk mengawasi target
intervensi dengan isu-isu yang spesifik seperti kesehatan,
transportasi, maupun kriminal (Booysen, 2002).

Booysen (2002) menginterpretasikan kelemahan indeks berdasarkan


komparasi serta keakuratan indeks sebagai metode pengukuran
dalam penelitian. Berdasarkan komparasi, indeks terkadang tidak
bisa dibandingkan secara bermakna dalam konteks spatio-temporal
karena adanya perbedaan yang relatif jauh antar variable dan
komponen serta perbedaan metode untuk mengukur pembobotan
dan penggabungan nilai indeks. Dalam hal ini, indeks sebenarnya
menampilkan hasil yang absolut tetapi indikator dalam indeks
komposit bersifat relatif. Membandingkan performa melalui indeks
skala antar negara cenderung tidak akurat, karena tiap negara
memiliki standar penskalaan, pembobotan maupun penggabungan
yang berbeda. Selain itu, variabel dan komponen bisa berubah
karena keterbatasan data serta penyesuaian terhadap kondisi
wilayah studi.

Penggunaan Indeks pada Pengukuran Ketahanan Kota Semarang

1) Pengukuran Ketahanan dalam City Resilient Index (CRI)


CRI adalah indeks tingkat ketahanan kota yang pengukurannya
dilakukan melalui cara-cara yang komprehensif dan teknis serta
mudah diaplikasikan secara global (Rockefeller Foundation &
ARUP, 2015). CRI dibentuk berdasarkan City Resilient Framework
(CRF), merupakan hasil dari program 100 Resilient Cities (100RC) oleh
ARUP bekerja sama dengan Rockefeller Foundation dalam rangka
mengidentifikasi kota-kota yang memiliki ketahanan di dunia. CRF
terdiri dari seperangkat faktor (terdiri dari empat dimensi, 12 tujuan,

| 257
52 indikator) dan sistem yang umum bagi kota-kota di dunia untuk
bisa bertahan menghadapi tantangan (Rockefeller Foundation &
ARUP, 2015a).

CRI sangat direkomendasikan bagi pemerintah kota, organisasi


maupun individu untuk mengukur kelebihan, kekurangan, serta
performa suatu sistem perkotaan dalam membangun ketahanan.
Sesuai dengan CRF, struktur CRI terdiri dari empat dimensi utama
(Kesehatan dan Kesejahteraan, Ekonomi dan Sosial Masyarakat,
Infrastruktur dan Ekosistem, Kepemimpinan dan Strategi), 12
tujuan, dan 52 indikator (Tabel 1). Keseluruhan indikator tersebut
kemudian diterjemahkan ke dalam 156 pertanyaan baik kualitatif
maupun kuantitatif. Penilaian pertanyaan kualitatif dilakukan
melalui wawancara di mana responden memberikan jawaban sesuai
persepsi dan bidang keahlian mereka. Responden berasal dari
Organisasi Perangkat Daerah (OPD), akademisi, praktisi organisasi
di luar pemerintah, serta tim ahli. Penilaian pertanyaan kuantitatif
dilakukan dengan menggunakan dan mengolah data yang diperoleh
dari pengumpulan data primer (wawancara dan focus group
discussion bersama masyarakat) dan data sekunder.

Tabel 1. Indikator dalam CRI

Dimensi Tujuan Indikator


Perumahan yang aman dan
terjangkau
Pasokan energi yang cukup dan
Kerentanan terjangkau
dasar manusia Akses inklusif terhadap air minum
yang minimal yang aman
Kesehatan dan
Sanitasi yang efektif
Kesejahteraan
Pasokan makanan yang cukup dan
terjangkau
Kebijakan ketenagakerjaan yang
Mata inklusif
Pencaharian
Keterampilan dan pelatihan yang
dan Lapangan
relevan

258 | INSTRUMEN
Dimensi Tujuan Indikator
Kerja yang Pengembangan dan inovasi bisnis
Beragam lokal
Mekanisme pembiayaan yang
mendukung
Perlindungan mata pencaharian
yang beragam setelah guncangan
Sistem kesehatan masyarakat yang
Perjaminan kuat
yang Efektif Akses yang memadai ke
terhadap perawatan kesehatan berkualitas
Kesehatan dan
Perawatan medis darurat
Kehidupan
Manusia Layanan tanggap darurat yang
efektif
Dukungan komunitas lokal
Dukungan
Komunitas yang erat
Masyarakat
dan Identitas Identitas dan budaya seluruh kota
Bersama yang kuat
Warga yang terlibat secara aktif
Sistem yang efektif untuk
mencegah kejahatan
Keamanan dan Pencegahan korupsi secara
Supremasi proaktif
Hukum yang
Ekonomi dan Kepolisian yang kompeten
Komprehensif
Masyarakat Keadilan pidana dan perdata yang
mudah diakses
Keuangan publik yang terkelola
dengan baik
Perencanaan keberlangsungan
Ekonomi bisnis yang komprehensif
Berkelanjutan Basis ekonomi yang beragam
Lingkungan bisnis yang menarik
Integrasi yang kuat dengan
ekonomi regional dan global
Pemetaan bahaya dan eksposur
yang komprehensif
Mengurangi Kode, standar, dan penegakan
Keterpaparan yang sesuai
Infrastruktur dan
Ekosistem pelindung yang dikelola
dan Ekosistem Kerentanan
secara efektif
Infrastruktur pelindung yang kuat
Pengelolaan ekosistem yang efektif
Infrastruktur yang fleksibel

| 259
Dimensi Tujuan Indikator

Terpeliharanya kapasitas cadangan


Penyediaan Ketekunan dalam perawatan dan
Layanan Kritis pelestarian
yang Efektif Kontinuitas yang memadai untuk
aset dan layanan penting
Jaringan transportasi yang
beragam dan terjangkau
Mobilitas dan Operasional dan pemeliharaan
Komunikasi transportasi yang efektif
yang dapat
Teknologi komunikasi yang handal
Diandalkan
dan efektif
Jaringan teknologi yang aman
Pengambilan keputusan
pemerintah yang tepat
Koordinasi yang efektif antar
Kepemimpinan badan pemerintah
dan Kolaborasi multi-stakeholder yang
Manajemen proaktif
yang Efektif Pemantauan bahaya dan penilaian
risiko yang komprehensif
Manajemen kedaruratan
pemerintah yang komprehensi
Pendidikan yang memadai untuk
semua
Kepemimpinan
Pemangku Kesadaran dan kesiapsiagaan
dan Strategi
Kepentingan masyarakat yang luas
yang Berdaya Mekanisme yang efektif bagi
masyarakat untuk terlibat dengan
pemerintah
Pemantauan kota dan manajemen
data yang komprehensif
Proses perencanaan konsultatif
Perencanaan
dan transparan
Pembangunan
Penggunaan lahan dan zonasi
Terpadu
yang tepat
Proses perizinan perencanaan yang
kuat
Sumber: Pemerintah Kota Semarang, 2017

CRI memiliki dasar pengukuran yang komprehensif, didukung


dengan penelitian-penelitian yang ketat tentang faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap ketahanan kota secara universal. CRI

260 | INSTRUMEN
dirancang sebagai bentuk penilaian diri, diawali dengan proses
pengumpulan data hingga menghasilkan profil yang menunjukkan
tingkat ketahanan kota, baik profil ketahanan kualitatif maupun
profil ketahanan kuantitatif. Contoh penerapan pengukuran
indikator dalam CRI secara kualitatif dan kuantitatif dapat dilihat
pada Gambar 1.

Sumber: Pemerintah Kota Semarang, 2017


Gambar 1. Contoh Pertanyaan pada Pengukuran Ketahanan Secara
Kualitatif dan Kuantitatif

Secara umum, profil ketahanan kualitatif Kota Semarang


menunjukkan bahwa 10 dari 12 tujuan berada pada tingkat
menengah. Perencanaan pembangunan terpadu dan penjaminan
yang efektif terhadap kesehatan & kehidupan manusia merupakan
tujuan yang pencapaiannya lebih baik di antara semua pencapaian
tujuan ketahanan yang ada. Profil ketahanan kuantitatif Kota
Semarang juga berada pada tingkat menengah dengan dukungan
masyarakat & identitas bersama memiliki kinerja terbaik. Sementara
itu kepemimpinan & manajemen yang efektif menjadi indikator yang
menunjukkan kinerja paling lemah. Hasil perhitungan ketahanan
Kota Semarang dari keseluruhan indikator, baik yang dihitung
secara kualitatif dan kuantitatif, secara lengkap diilustrasikan pada
Gambar 2.

| 261
a.

b.

Sumber: Pemerintah Kota Semarang, 2017


Gambar 2. Profil Ketahanan Kualitatif (a) dan Kuantitatif (b) Hasil
Pengukuran Ketahanan Kota Semarang versi CRI

262 | INSTRUMEN
Hasil kualitatif membantu mengetahui kinerja dan tingkat ketahanan
kota di masa depan sedangkan hasil kuantitatif dapat digunakan
untuk mengukur kinerja kota di masa lalu dan saat ini (Rockefeller
Foundation & ARUP, 2015b). Contoh dari profil ketahanan kualitatif
berupa pemetaan jenis dan potensi bencana pada suatu daerah
sedangkan profil ketahanan kuantitatif berupa persentase yang
menunjukkan berapa banyak bangunan dengan perlindungan
asuransi terhadap risiko bencana tersebut. Hasil dari CRI dapat
digunakan oleh pemerintah kota sebagai bahan pertimbangan dalam
perumusan program prioritas. Sementara itu, indikator CRI dapat
dimanfaatkan sebagai masukan dalam penyusunan indikator
capaian keberhasilan program pembangunan seperti dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) maupun rencana
strategis lainnya.

2) Pengukuran Ketahanan melalui Urban Community Resilient


Assessment (UCRA)
Urban Community Resilient Assessment (UCRA) dikembangkan oleh
World Research Institute (WRI) untuk membantu kota, masyarakat
perkotaan serta kapasitas komunitas menilai ketahanan kota secara
luas. UCRA dapat digunakan untuk menilai kerentanan, kapasitas
ketahanan, akses terhadap layanan, informasi, relasi sosial dan
sumber pendanaan setiap kelrahan (Rangwala et al., 2018). UCRA
terdiri atas tiga aspek penilaian untuk mengukur ketahanan
komunitas, yaitu:

1. Konteks kerentanan kota: mengukur kerentanan pada tingkat


kota terhadap keterpaparan dan sensitivitas bencana
berdasarkan lokasi. Dalam penilaian di tingkat kota ini
dilakukan pengukuran terhadap tiga kategori dan 22 indikator
ketahanan.

2. Aspek ketahanan komunitas: menilai kapasitas ketahanan


secara kolektif, termasuk aspek sosio-politik, lingkungan,
serta kesiapsiagaan komunitas untuk menghadapi tantangan.

| 263
Penilaian ketahanan di tingkat komunitas ini meliputi empat
kategori dan 18 indikator ketahanan.

3. Kapasitas individu: memetakan aspek-aspek terhadap


kapasitas ketahanan individu, termasuk kebiasaan, akses
terhadap sumber daya dan juga coping mechanism. Penilaian ini
terdiri dari tiga kategori dan 15 indikator ketahanan individu.
(World Resources Institute, 2017).

Tabel 2. Indikator Ketahanan dalam UCRA

Dimensi Aspek Indikator

Area berisiko tinggi


Perumahan kaum miskin perkotaan
Profil (perumahan informal)
Kerentanan Penurunan tanah
Anomali hujan (curah hujan)
Kenaikan permukaan laut
Profil pekerjaan
Profil pendidikan
Profil usia
Kerentanan
Kesetaraan gender
Sosial
Profil kemiskinan
Konteks Profil disabilitas
Kerentanan
Kota Profil sosial
Akses ke jaringan distribusi air
Akses ke jaringan pengolahan limbah
Akses listrik
Akses ke jaringan pengumpulan limbah
Akses padat
terhadap Akses ke fasilitas kesehatan perkotaan
Layanan
Akses transportasi umum
Perkotaan
Jumlah fasilitas pendidikan
Akses ke drainase air hujan
Jumlah taman/ruang terbuka
Proteksi terhadap kebakaran
Kohesi Sosial Jejaring sosial informal

264 | INSTRUMEN
Dimensi Aspek Indikator

Hubungan sosial bertetangga


Preferensi lingkungan
Aktivitas sosial dalam komunitas
Kegiatan berbasis komunitas
Kamp kesadaran kesehatan masyarakat
Kesiapsiagaan
Akses ke sistem peringatan dini
Masyarakat
Jalur evakuasi dan shelter
Akses ke pusat informasi
Keterlibatan politik dan pemerintah
Ketahanan
Keterlibatan kota
Komunitas
dalam Politik Partisipasi pemilih
dan Tata
Kepercayaan pada pemimpin
Kelola
komunitas
Pemerintahan
Dukungan non-pemerintah
Layanan perkotaan

Tata Guna Mobilitas


Lahan dan Akses ke fitur alam
Lingkungan Jenis-jenis konstruksi
Pencahayaan dan ventilasi
Risiko iklim yang dirasakan
Kesiapan Praktik pengurangan risiko bencana
Risiko Peralatan pengurangan risiko bencana
Back-up dokumen
Kepemilikan ponsel
Akses internet
Komunikasi Akses ke berita lokal
dan Kesadaran Kesadaran terhadap ramalan cuaca
Kapasitas
Individu Kesadaran terhadap cuaca dan
kesehatan
Tenaga kerja dan mata pencaharian
Tabungan darurat
Asuransi kesehatan dan jiwa
Sumber Daya
Ekonomi Kartu jaminan sosial
Kesediaan untuk berinvestasi dalam
pengurangan risiko bencana
Kepemilikan tanah
Sumber: World Resources Institute, 2017

| 265
Sebagai tindak lanjut dari realisasi strategi dalam Semarang City
Resilience Stragy yang diterbitkan pada tahun 2016, Pemerintah Kota
Semarang melakukan studi UCRA bekerjasama dengan WRI dan
Initiative for Urban Climate Change and Environment (IUCCE) pada
tahun 2017-2018. Lokasi studi UCRA didasarkan pada tiga
pertimbangan, yaitu keberadaan pemukiman kumuh di mana
masyarakatnya cenderung lebih rentan terhadap berbagai tekanan
yang ada di perkotaan, pertimbangan sebaran letak geografis yang
mengakomodasi elevasi rendah hingga tinggi, serta keberagaman
jenis bencana khususnya yang dipicu oleh perubahan iklim seperti
banjir rob, banjir bandang, dan tanah longsor. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, lokasi-lokasi yang terpilih adalah Kelurahan
Kaligawe, Kelurahan Sukorejo (Kawasan Deliksari), dan Kelurahan
Tanjungmas (Kawasan Tambaklorok). Tabel 3 menjabarkan hasil
skoring dari penilaian tiga aspek yang tercakup dalam UCRA dan
menunjukkan bahwa secara agregat, tingkat ketahanan Kota
Semarang berada pada tingkat sedang.

Tabel 3. Skor Penilaian Ketahanan Kota Semarang Versi UCRA


Aspek Penilaian Skor
KONTEKS KERENTANAN KOTA (22 indikator) 3,73
1
A. Profil Kerentanan ​ 4
B. Kerentanan Sosial2 4,2
C. Akses terhadap Layanan Perkotaan2 3
Kaw. Deliksari Kaw. Tambaklorok
Kaw. Kaligawe
(Kel. Sukorejo) (Kel.Tanjungmas )
KETAHANAN KOMUNITAS (18 indikator) 3,4 3,43 3,2
A. Kohesi Sosial3 4,5 4,3 4,3
B. Kesiapsiagaan Masyarakat3​ 2,2 2,6 2,2
C. Keterlibatan dalam Politik & Tata Kelola Pemerintahan 3 3,5 3,8 3,5
D. Tata Guna Lahan dan Lingkungan3 3,4 3 2,8
KAPASITAS INDIVIDU (15 indikator) 2,67 2,68 2,56
3
A. Kesiapan Risiko 2,5 2,5 2,5
B. Komunikasi dan Kesadaran3 ​ 2,2 2,4 2,2
C. Sumber Daya Ekonomi3 3,3 3,2 3
Skor setiap aspek merupakan rata-rata agregat dari skor masing-masing indikator menggunakan referensi skoring
sebagai berikut:
1. Prosentase dari data rata-rata yang bersumber dari pemerintah kota
2. Prosentase dari data rata-rata nasional dan provinsi
3. Prosentasi dari data hasil wawancara masyarakat berdasarkan skala WRI
Skor 1: < 21% Skor 3: 41 – 60,99% Skor 5: ≥ 81%
Skor 2: 21 – 40,99% Skor 4: 61 -80,99%
Interpretasi Skor
1 – 2,5 : Ketahanan rendah
2,6 – 3,99 : Ketahanan sedang
4 –5 : Ketahanan tinggi

Sumber: World Resources Institute et al., 2018

266 | INSTRUMEN
Indikator dalam tiga aspek penilaian UCRA Kota Semarang
ditentukan melalui konsultasi dengan tim ahli dan diskusi tim
internal guna menyesuaikan dengan karakteristik geografi, budaya,
dan infrastruktur wilayah. Indikator ketahanan di Kota Semarang
dibentuk melalui dua formulasi, yaitu konsultasi terhadap tim
ekspert serta diskusi internal tim (WRI et al., 2018). Penilaian yang
dihasilkan melalui studi UCRA diharapkan dapat membantu
masyarakat khususnya di Kota Semarang untuk mengidentifikasi
dan mengambil tindakan adaptasi yang tepat, dan memberikan
masukan kepada pembuat kebijakan dalam perencanaan untuk
mewujudkan ketahanan kota.

Perbedaan Pengukuran Ketahanan Versi CRI dan UCRA


CRI dan UCRA menggunakan pendekatan dan lingkup yang
berbeda untuk mengukur level ketahanan kota. Selain karena jumlah
dimensi dan indikator serta cara penilaian yang berbeda, ada
beberapa perbedaan mendasar antara keduanya. CRI terdiri dari
indikator ketahanan untuk mengukur ketahanan pada skala kota.
Indikator tersebut mencakup semua aspek kota sehingga dapat
membantu pemerintah lokal untuk menentukan kelemahan dan
kekuatan kota secara agregat. Sedangkan UCRA memfokuskan pada
indikator ketahanan untuk menilai ketahanan pada skala komunitas.
Indikator-indikator yang ada di dalam UCRA menawarkan tindakan
nyata yang diperlukan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat.

Tabel 4. Perbedaan CRI dan UCRA


Komponen CRI UCRA
Cakupan Untuk mengukur dan Untuk menilai ketahanan
menilai, serta komunitas dalam
memfasilitasi dialog dan menghadapi kerentanan
berbagi pengetahuan akibat dampak dan risiko
antar kota dengan lebih perubahan iklim
baik. Tujuan utamanya berdasarkan geografi,
adalah untuk budaya, dan
mendiagnosis kekuatan infrastrukturnya. UCRA
dan kelemahan serta memberikan bukti baru

| 267
Komponen CRI UCRA
mengukur kinerja relatif untuk menginformasikan
dari waktu ke waktu. investasi, memanfaatkan
sumber daya masyarakat,
dan membangun kohesi
sosial dan kapasitas
individu sebagai
pelengkap perencanaan
infrastruktur fisik yang
tahan iklim.
Skala Fokus penilaian skala Penilaian berdasarkan
kota karakteristik komunitas
di wilayah tertentu di
suatu kota
Indikator Dasar penilaian dan Tiga aspek penilaian
Penilaian pengukuran dalam CRI UCRA untuk mengukur
terdiri dari 4 dimensi, 12 ketahanan komunitas
tujuan, 52 indikator, dan adalah konteks
156 pertanyaan, kerentanan perkotaan,
mencakup data kualitatif aspek ketahanan
dan kuantitatif dengan masyarakat, dan
rata-rata 3 pertanyaan kapasitas individu.
per sub-indikator Namun, indikator dalam
tiga aspek penilaian
UCRA ditentukan
melalui konsultasi
dengan tim ahli dan
diskusi tim internal.
Untuk Kota Semarang
terdapat 22 indikator
dalam konteks
kerentanan, 18 indikator
dalam ketahanan
masyarakat, dan 15
indikator dalam
kapasitas individu.
Langkah Metode kualitatif Empat tahapan utama
Penilaian membantu mengetahui UCRA adalah persiapan,
kinerja dan tingkat pengembangan
ketahanan kota di masa metodologi survei,
depan. Sedangkan, data pengumpulan dan
kuantitatif dapat analisis data, dan
digunakan untuk terakhir, perencanaan
mengukur kinerja kota di program.
masa lalu dan saat ini.
Meskipun data yang
dihitung dapat

268 | INSTRUMEN
Komponen CRI UCRA
digunakan untuk
mengukur kinerja kota di
masa lalu dan saat ini,
data tersebut juga
menggunakan unit
tertentu sebagai metrik
ketahanan yang dapat
diterapkan secara global.
Karakteristik Indikator mencakup Indikator-indikator yang
Indikator semua aspek kota ada di dalam UCRA
sehingga dapat menawarkan tindakan
membantu pemerintah nyata yang diperlukan
lokal untuk menentukan untuk meningkatkan
kelemahan dan kekuatan ketahanan masyarakat.
kota secara agregat

Perbedaan yang dimiliki oleh CRI dan UCRA menunjukkan bahwa


sebuah pendekatan pengukuran ketahanan tidak dapat dijadikan
acuan tunggal untuk mengetahui kondisi ketahanan kota secara
menyeluruh. Dalam praktiknya, pemerintah daerah dapat
menggunakan penilaian CRI yang menekankan pada ketahanan kota
secara komprehensif dan UCRA yang lebih fokus pada penjabaran
ketahanan berbagai level komunitas secara bersamaan untuk menilai
tingkat ketahanan kota. Penggunaan CRI dapat berperan sebagai
pedoman kebijakan untuk mengidentifikasi sumber ketahanan dan
memperkuat kapasitas kota.

Di sisi lain, pemerintah daerah dapat menggunakan indikator


ketahanan UCRA untuk membandingkan tingkat ketahanan antar
komunitas di kota dan tindakan apa yang diperlukan untuk
meningkatkan ketahanan masing-masing komunitas. Indikator
ketahanan UCRA membantu kota menentukan jenis kebijakan
publik dan tindakan konkret yang sesuai berdasarkan karakteristik
spesifik dari setiap komunitas, termasuk geografi, sejarah, budaya,
dan kebiasaan. Kedua penilaian akan memberikan gambaran yang
lebih jelas guna menyusun kebijakan yang tepat sasaran.

| 269
Refleksi: Indeks Ketahanan Kota dalam Penyusunan Kebijakan
Penggunaan indeks untuk mengukur tingkat ketahanan memiliki
tantangan dalam proses dan praktik pembangunan ketahanan kota.
Indeks ketahanan yang berfungsi sebagai salah satu alat membangun
kebijakan justru seringkali diberlakukan sebagai tujuan akhir
diambilnya suatu kebijakan. Skor indeks rawan diposisikan sebagai
nilai absolut yang merefleksikan kondisi ketahanan di lapangan
meski sifat dari kondisi indikator-indikator yang membangunnya
sangatlah dinamis dan relatif terhadap waktu dan lokasi tertentu.
Oleh sebab itu, meskipun metode yang sama digunakan, hasil
pengukuran indeks ketahanan suatu kota dalam kurun waktu
tertentu tidak selalu dapat diperbandingkan dengan hasil
pengukuran pada kurun waktu yang berbeda.

Untuk menghasilkan kebijakan yang sejalan dengan pembangunan


ketahanan kota, diperlukan upaya untuk mengakomodasi sebanyak
mungkin aspek yang berimplikasi pada ketahanan di berbagai level.
Untuk contoh kasus di Kota Semarang, pendekatan dalam CRI dapat
membantu penyusunan rencana pembangunan daerah dan program
aksi terkait. Sementara itu keberadaan UCRA memberikan
gambaran lebih detail mengenai dinamika kondisi ketahanan yang
dimiliki oleh berbagai komunitas yang ada di Kota Semarang.
Keberadaan keduanya bersifat saling melengkapi dalam proses
penyusunan kebijakan yang dapat diaplikasikan dalam masyarakat.

Banyaknya aspek yang diakomodasi dalam pengukuran ketahanan


berarti bahwa pengarusutamaan ketahanan ke dalam kebijakan
perencanaan pembangunan di Kota Semarang membutuhkan
keterlibatan aktif dari banyak aktor. Proses identifikasi aktor menjadi
sangat penting karena kompleksitas sistem kota membutuhkan
kejelasan peran aktor-aktor di dalamnya. Kapasitas dan sasaran kerja
masing-masing aktor yang terlibat memainkan peran signifikan
dalam realisasi pemahaman dan ide-ide ketahanan di komunitas

270 | INSTRUMEN
mereka. Realisasi dalam komunitas memberikan pengaruh besar
pada tercapainya penerapan ketahanan yang lebih cepat dalam
kebijakan perencanaan pembangunan.

Keterlibatan berbagai aktor juga menuntut kesamaan perspektif


antar mereka, khususnya para pemangku kepentinagan dan
pembuat kebijakan. Kesepakatan dalam definisi mengenai tujuan
ketahanan dan terhadap apa ketahanan yang akan dibangun harus
didefinisikan dengan jelas. Kejelasan definisi tersebut akan
berpengaruh pada keakuratan penyediaan data-data pendukung
yang dibutuhkan dan juga dalam penetapan indikator-indikator
pengukuran yang dipilih. Membangun jejaring global juga terbukti
memberikan dampak pada percepatan pembangunan ketahanan
kota sebagaimana yang terjadi di Kota Semarang. Aksi-aksi
membangun ketahanan yang dirumuskan dalam kebijakan
pemerintah kota bisa terjadi karena adanya kerjasama dengan
jaringan global seperti keterlibatan dalam program 100 Resilient Cities
yang memperkaya pengalaman dan pembelajaran tentang
ketahanan kota.

Daftar Pustaka
ARUP. (2014), City Resilience Index. Research Report Volume 3
Urban Measurement Report, diambil dari
http://publications.arup.com/Publications/C/City_Resilien
ce_Framework.aspx
Babble, E. (2016), The Practice of Social Research. Teaching
Sociology, Ed. 17, tersedia di
https://doi.org/10.2307/1318433
Booysen, F. (2002), An Overview and Evaluation of Composite
Indices of Development. Social Indicators Research, Vol. 59,
pp. 115–151.
Carpenter, S. R., Westley, F., & Turner, M. G. (2005), Surrogates for
resilience of social-ecological systems. Ecosystems, Vol. 8 No.
8, pp. 941–944.

| 271
Cresswell, J. (2014), Research design: qualitative, quantitative, and
mixed methods approaches (4th Edition). Sage Publications,
Thousand Oaks, California.
Davoudi, S., Shaw, K., Haider, L. J., Quinlan, A. E., Peterson, G. D.,
Wilkinson, C., Fünfgeld, H., McEvoy, D., & Porter, L. (2012),
Resilience: A Bridging Concept or a Dead End? “Reframing”
Resilience: Challenges for Planning Theory and Practice
Interacting Traps: Resilience Assessment of a Pasture
Management System in Northern Afghanistan Urban
Resilience: What Does it Mean in Planni. Planning Theory
and Practice, Vol. 13 No. 2, pp. 299–333, tersedia di
https://doi.org/10.1080/14649357.2012.677124
Foa, R., de Haan, A., van Staveren, I., Webbink, E., & Hardenbol, H.
(2015), Indices of Social Development. Handbook. ISS The
Hague, diambil dari https://www.iss.nl/en/engagement-
impact/hosted-iss/indices-social-development
Füssel, H.M. (2007), Vulnerability: a generally applicable conceptual
framework for climate change research. Global
Environmental Change, Vol. 17 No. 2, pp. 155–167, tersedia di
https://doi.org/10.1016/j.gloenvcha.2006.05.002
Holling, C. S. (1973), Resilience and Stability of Ecological Systems.
Annual Review of Ecology and Systematics, Vol. 4 No. 1, pp.
1–23, tersedia di
https://doi.org/10.1146/annurev.es.04.110173.000245
Kemendikbud (2016), Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring
diambil pada 31 Oktober 2020 dari
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/indeks
Pemerintah Kota Semarang. (2017), Indeks Ketahanan Kota
Semarang. Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.
Rahman, M. S. (2016), The advantages and disadvantages of using
qualitative and quantitative approaches and methods in
language “testing and assessment” research: A literature
review. Journal of Education and Learning, Vol. 6 No. 1, pp.
102-112.
Rangwala, L. Burke, L., Wihanesta, R., Elias-Trostmann, K., &
Chandra, M. (2018), Prepared Communities; Implementing
the Urban Community Resilience Assessment in Vulnerable
Neighborhoods of Three Cities, diambil dari
https://www.preventionweb.net/publications/view/62720
The Rockefeller Foundation & ARUP (2015a) City Resilience
Framework. ARUP. London, United Kingdom.
The Rockefeller Foundation and ARUP (2015b) City Resilience
Index. ARUP. London, United Kingdom.

272 | INSTRUMEN
Romero-Lankao, P., Gnatz, D. M., Wilhelmi, O., & Hayden, M.
(2016), Urban sustainability and resilience: From theory to
practice. Sustainability, Vol. 8 No. 12, pp. 1–19, tersedia di
https://doi.org/10.3390/su8121224
Wikibooks. (2020), Social Research Methods/Indexes, Scales,
Typologies. Wikibooks The Free Textbook Project, diambil
pada 17 February 2021 dari
https://en.wikibooks.org/w/index.php?title=Social_Researc
h_Methods/Indexes,_Scales,_Typologies&oldid=3655144.
World Resources Institute. (2017), New Partnership to Address
Resilience Data Gaps in Asian and Latin American Cities,
diambil dari http://www.wri.org/news/2017/01/release-
new-partnership-address-resilience-data-gaps-asian-and-
latin-american-cities
World Resources Institute, IUCCE, & Pemerintah Kota Semarang
(2018), Urban Community Resilience Assessment in
Semarang. Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.

| 273
274 | INSTRUMEN
BAB 13
PLANNING CHARRETTE: ALTERNATIF METODE
PARTISIPATIF DALAM PROSES PERENCANAAN
RAKA SURYANDARU DAN DEVISARI TUNAS

Pendahuluan
Planning charrette adalah metode perencanaan intensif dan
eksperimental yang melibatkan para pemangku pementingan dalam
tenggang waktu yang singkat. Metode charrette kerap digunakan
dalam proses perencanaan wilayah di berbagai negara, terutama
dalam konteks perencanaan ruang yang kompleks yang melibatkan
kepentingan masyarakat banyak. Metode charrette sendiri berasal
dari tradisi École des Beaux-Arts atau Sekolah Tinggi Seni Rupa di
Prancis pada abad ke-19 di Paris. Kata Charrette berarti gerobak yang
kerap digunakan mahasiswa sekolah tinggi tersebut untuk
membawa hasil karya mereka ke sekolah untuk dikumpulkan dan
dipamerkan. Karena kekurangan waktu, mahasiswa kerap harus
menyelesaikan pekerjaan mereka secara cepat dalam perjalanan
menuju sekolah di atas gerobak tersebut menggunakan alat-alat apa
saja yang tersedia di gerobak itu. Dari kebiasan ini, lahirlah istilah
Charrette yang sekarang digunakan dalam konteks yang lebih luas,
dimulai dari proses desain produk sampai perencanaan wilayah.
Walaupun metode charrette beragam tergantung dari tujuannya, jenis
permasalahan, profil peserta, charrette biasanya didasarkan pada
konsep singkat waktu (intensif), kolaboratif, inklusif, partisipatif,
lintas-disiplin dan eksperimental.

Tulisan ini membahas konsep, metode dan peluang penerapan


Planning Charrette dalam konteks perencanaan adaptasi perubahan
iklim. Pembahasan akan menggunakan referensi Java Archipelago City

| 275
Planning Charrette di Singapura, Young Planning Workshop on
Sustainable Tourism di Ubud, dan Strategi Spasial Kawasan Perkotaan
Gondangrejo di Karanganyar.

Metode Planning Charrette


Mengambil referensi dari kegiatan Java Archipelago City Planning
Charrette (Future Cities Laboratory, 2019) yang diikuti penulis, empat
tahapan utama pelaksanaan planning charrette, meliputi 1)
Pengenalan kawasan perencanaan, 2) Masa depan yang diharapkan,
3) Skenario dan 4) Peta jalan. Planning charrette melibatkan semua
peserta untuk bersama-sama mengidentifikasi isu permasalahan di
area studi, membuat skenario dengan atau tanpa intervensi
pembangunan, menetapkan konsepsi pembangunan dan menyusun
peta jalan untuk masa depan yang diinginkan.

Sumber: Future Cities Laboratory, 2019


Gambar 1. Diagram Konsep Planning Charrette

Karakteristik khas planning charrette adalah memampatkan proses


perencanaan menjadi hitungan hari dan membawa semua
pemangku kepentingan beserta semua masalah ke dalam satu
ruangan. Dengan menghadirkan banyak informasi dan keahlian,
charrette diharapkan dapat membuat para pengembang, desainer,

276 | INSTRUMEN
dan komunitas untuk ikut serta membuat rencana yang bisa
diterapkan (Lennertz & Lutzenhiser, 2003).

1) Pengenalan Kawasan Perencanaan


Sebagai kegiatan lokakarya multidisiplin, peserta bergabung dalam
kelompok-kelompok dengan latar belakang profesional yang
beragam. Selain peserta terdapat pula fasilitator, narasumber dan juri
yang akan membantu pelaksanaan kegiatan. Fasilitator bertugas
sebagai pendamping saat berjalannya diskusi antar kelompok.
Narasumber mengisi materi dalam membantu pemahaman peserta
terkait berbagai isu pembangunans Sedangkan juri bertugas menilai
hasil karya masing-masing kelompok. Tahap ini memiliki tiga sub-
kegiatan sebagai berikut:

a. Persiapan
Langkah persiapan pertama adalah pembentukan tim. Langkah
lainnya dapat berupa kunjungan lapangan ke kawasan perencanaan
(jika memungkinkan), audiensi dengan pengambil kebijakan utama,
penyiapan tempat workshop yang representatif dan penyediaan
perlengkapan diskusi, seperti peta kawasan perencanaan ukuran A0,
sticky notes, spidol, dan kertas roti. Pada tahap awal setiap peserta
diberi kesempatan untuk mengenali kawasan perencanaan.
Pengumpulan informasi yang menyeluruh ini berguna untuk
memahami konteks lokal kondisi eksisting kawasan perencanaan
berbasis data.

Sumber data dapat berupa data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data yang diperoleh dari hasil pertemuan atau
wawancara dengan kepala daerah beserta jajarannya, perangkat
desa/kelurahan dan tokoh masyarakat maupun dari observasi atau
survei langsung di lokasi kawasan perencanaan. Data sekunder
adalah data yang diperoleh dari telaah literatur, dokumen
perencanaan dan peraturan perundang-undangan maupun data

| 277
statistik regional. Informasi spasial yang dikumpulkan biasanya
memuat:

a) Batas administrasi/delineasi kawasan perencanaan

b) Kondisi geografis: topografi, klimatologi, hidrologi dan


kebencanaan

c) Kondisi demografi; tren laju pertumbuhan penduduk dan


implikasinya terhadap ruang dan fenomena urbanisasi

d) Kondisi perekonomian; sektor ekonomi basis dan mata


pencaharian

e) Jaringan infrastruktur: jaringan jalan, jaringan listrik, jaringan


air bersih, pengolahan limbah dan persampahan

Langkah-langkah dalam pengenalan kawasan perencanaan meliputi


perekaman informasi yang dianggap penting dan kompilasi
informasi-informasi tersebut ke dalam sebuah struktur data.

b. Identifikasi Potensi dan Permasalahan


Pada tahap ini peserta berproses menemukenali permasalahan
pembangunan berikut akar masalahnya serta potensi yang bisa
dimanfaatkan dalam mengembangkan kawasan. Tantangan
pembangunan utama dapat dikelompokkan menjadi beberapa tema,
seperti bencana alam, tata ruang dan ekonomi wilayah. Peserta
didorong lebih jauh untuk mengidentifikasi kondisi politik,
ekonomi, sosial, teknologi, hukum dan lingkungan/PESTLE
(Srdjevic, et al., 2012).

Contoh faktor penentu perubahan adalah kemampuan pembiayaan


infrastruktur, indeks kemiskinan, fenomena iklim ekstrim dan
penurunan tanah. Dimasukkannya pertimbangan driver of change
memberikan peluang untuk merumuskan skenario dan peta jalan
yang kontekstual dengan lingkungan strategis di kawasan
perencanaan, bukan seperti di ruang hampa.

278 | INSTRUMEN
Pada tahap ini fasilitator mempunyai peran sentral dalam
mengkondisikan semua peserta agar fokus khususnya dalam
investigasi masalah dan pencarian solusi. Di sisi lain, fasilitator dapat
mendorong anggota tim untuk melakukan investigasi secara
menyeluruh dan mendalam. Dalam mengelompokkan potensi dan
permasalahan, terdapat beberapa prosedur atau teknik yang dapat
dipilih sesuai dengan tujuan yang ingin dihasilkan. Prosedur atau
tekniknya antara lain:

a) Mind mapping; peserta menuliskan potensi dan permasalahan


yang kemudian menghubungkan antara ide-ide dari peserta
lain (Nikhilkumar, 2016).

b) Analisis SWOT; mengidentifikasi kekuatan, kelemahan,


peluang, dan ancaman di kawasan perencanaan (Fatimah,
2020).

c) Brainwriting; semua peserta diperbolehkan untuk menuliskan,


membagikan, dan mengomentari sebuah gagasan peserta
lainnya tanpa diminta untuk berdiri atau berbicara
(VanGundy, 1984)

c. Prakiraan Permasalahan di Akhir Tahun Perencanaan


Pada tahap ini peserta dipandu untuk mendiskusikan dan membuat
prakiraan akan situasi permasalahan di masa mendatang, dengan
kondisi tanpa intervensi, baik dari pemerintah maupun pemangku
kepentingan lainnya. Kondisi prakiraan ini dapat dibagi menjadi tiga
periode waktu, yaitu jangka pendek (5 tahun mendatang), jangka
menengah (5-15 tahun mendatang), dan jangka panjang (15-20 tahun
mendatang). Tujuannya adalah untuk mengembangkan pemahaman
bersama tentang trajektori kondisi masa depan secara logis. Kegiatan
ini dibantu oleh fasilitator dengan langkah-langkah antara lain:

a) Setiap kelompok telah menyiapkan tabel permasalahan yang


sudah dikelompokkan dalam beberapa tema tertentu. Masing-
masing baris pada tabel mewakili satu tema permasalahan

| 279
b) Bagi tabel tersebut ke dalam tiga kolom waktu yaitu jangka
waktu pendek (0-5 tahun mendatang), menengah (5-15 tahun
mendatang), dan panjang (15-20 tahun mendatang)

c) Setiap peserta menuliskan pendapat mengenai kondisi


permasalahan yang akan terjadi di masa depan pada setiap
satuan waktu dengan memperhatikan perubahan pada faktor
pendorong (driver of change)

2) Menetapkan Tujuan Perencanaan: The Future We Want


Dengan mengetahui permasalahan jangka panjang yang mungkin
terjadi, peserta kini memiliki informasi yang lebih lengkap (informed
decision) dalam memutuskan tujuan perencanaan. Dengan tema
diskusi The Future We Want, peserta berdiskusi untuk merumuskan
tujuan yang hendak dicapai. Peserta bersama-sama menetapkan
kondisi masa depan yang diharapkan sebagai lawan dari prakiraan
kondisi berdasarkan Business as Usual. Peserta bekerja dalam tim
untuk merumuskan tujuan perencanaan yang SMART (Specific,
Measurable, Achievable, Relevant, and Time Bound) dengan kondisi
kawasan perencanaan (MacLeod, 2012). Tujuan perencanaan yang
jelas membuat hal-hal yang ingin dicapai secara umum dapat
dimaksimumkan atau diminimumkan. Tujuan semacam ini
mengandung unsur-unsur motivasi perubahan, dinamis, normatif,
maupun kreatif.

3) Mengembangkan Skenario
Planning charrette didesain untuk mengembangkan visi dan
prakiraan situasi masa depan secara kolektif, daripada menentukan
rencana yang konkrit dan pasti yang lazim ditemui pada kegiatan
penyusunan masterplan. Pada tahap pengembangan skenario ini,
peserta mendiskusikan sekumpulan sasaran atau turunan dari
sasaran yang relevan dengan tujuan masa depan yang hendak

280 | INSTRUMEN
dicapai dan diperkirakan dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu
(Lindgren & Bandhold, 2009).

Skenario disusun dengan mempertimbangkan faktor pendorong


(driver of change) yang mewarnai dinamika perikehidupan
masyarakat, seperti lingkungan, ekonomi, budaya dan sejarah.
Skenario diusulkan dalam berbagai jangka waktu (pendek,
menengah, dan panjang) dengan dampak yang diinginkan menuju
masa depan kawasan perencanaan. Daftar panjang skenario yang
telah dipetakan ini kemudian dikaji dan dinilai agar didapat satu
skenario prioritas utama. Keberhasilan untuk mengkonvergensikan
beberapa skenario menjadi sebuah skenario terpilih merupakan
keluaran dari tahap ketiga ini.

4) Mendesain dan Memilih Peta Jalan


Skenario prioritas utama yang terpilih kemudian diturunkan
menjadi beberapa alternatif peta jalan untuk mencapai skenario
tersebut. Peta jalan memuat sekumpulan aktivitas yang akan
dilakukan untuk mencapai skenario terpilih. Peta jalan ini dapat
diimplementasikan oleh suatu instansi maupun lembaga tertentu
atau oleh segenap pemangku kepentingan secara bersama-sama.
Dalam pelaksanaannya, setiap peserta menuliskan ide-ide mengenai
alternatif tindakan. Peserta kemudian mengkaji dan membuat daftar
pendek peta jalan menggunakan matriks penilaian yang
mempertimbangkan perwujudan skenario. Di akhir tahapan, peserta
mempresentasikan gambaran ringkas mengenai pentahapan
implementasi peta jalan hingga mencapai kondisi yang diinginkan di
akhir tahun perencanaan.

Sebagai suplemen, peserta dapat melakukan simulasi implementasi


skenario dan peta jalan pada lokasi tertentu. Perangkat lunak seperti
Ur-scape dapat membantu memvisualisasikan set data spasial pada
sebuah lokasi sebagai prototype. Prototype ini dikembangkan untuk

| 281
mendudukkan dan menerjemahkan peta jalan pada skala besar.
Dengan cara ini peserta dapat melihat apakah proposal peta jalan
yang diusulkan dapat memberikan hasil yang diharapkan atau tidak.

Penerapan Planning Charrette


Pada bagian ini, penulis membagi pengalamannya terlibat dalam
planning charrette di beberapa kegiatan. Pada setiap acara terdapat
variasi, baik dalam hal waktu penyelenggaraan maupun
kelengkapan tahapan sebagaimana diterangkan di bagian
sebelumnya. Bagian ini akan membahas proses dan hasil dari
kegiatan Java Archipelago City Planning Charrette, Young Planning
Workshop on Sustainable Tourism in Ubud dan Strategi Spasial
Kawasan Perkotaan Gondangrejo Karanganyar.

1) Java Archipelago City Planning Charrette


Penulis mengikuti kegiatan planning charrette dengan tema Java
Archipelago City Medio 2019 lalu. Acara ini adalah prakarsa dari Future
Cities Laboratory, sebuah lembaga riset yang berafiliasi dengan
National University Singapore. Diikuti oleh lebih dari 30 peserta dari
berbagai negara, Java Archipelago City Planning Charrette adalah even
peningkatan kapasitas bagi peneliti muda agar memiliki
kemampuan untuk merumuskan strategi pembangunan
berkelanjutan Pulau Jawa dengan teknik yang kolaboratif dan
inovatif.

Pulau Jawa, dihuni oleh 152 juta jiwa, adalah salah satu pulau
dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Mewadahi pusat
perekonomian, budaya dan kekuasaan Indonesia, pulau Jawa
menjadi magnet yang menarik orang untuk datang dan
mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Dengan tren pertumbuhan
penduduk yang diprediksi akan terus berlangsung, Jawa akan
tumbuh menjadi sebuah pulau yang mengkota, berikut dengan

282 | INSTRUMEN
dinamika peluang dan permasalahan dalam skala yang tak
terbayangkan sebelumnya.

Planning charrette mengajak peserta untuk membayangkan kondisi


Jawa 50 tahun dari sekarang. Berlangsung selama tiga hari, di hari
pertama peserta yang dibagi ke dalam beberapa kelompok mencoba
mengenali atau memperbarui pemahaman mereka tentang Pulau
Jawa. Dari sesi ini peserta co-create pemahaman baru akan Jawa yang
akan menjadi pondasi bagi proses charrette selanjutnya.

Di hari kedua, barulah tim mendiskusikan permasalahan


pembangunan di Jawa saat ini. Menggunakan teknik mind mapping,
diperoleh lima permasalahan utama, yaitu bencana, rencana tata
ruang dan ekonomi, mobilitas, energi dan utilitas serta kesehatan
dan pangan. Tim juga membahas kondisi sosial, teknologi, ekonomi,
lingkungan, politik dan legislatif (Social, Technology, Economic,
Environmental, Political, and Legislative - STEEPL) yang membentuk
lingkungan strategis Jawa dan Indonesia pada umumnya.

Berikutnya, peserta diminta untuk memproyeksikan lintasan kondisi


Jawa di masa depan dari waktu ke waktu. Daripada langsung
menyusun visi seperti lazimnya kegiatan perencanaan, peserta
diajak untuk memperkirakan masa depan permasalahan yang sudah
diidentifikasi jika tidak ada intervensi pembangunan atau Business as
Usual. Bermodal informasi ini, peserta kemudian merumuskan visi
mengenai masa depan yang diinginkan. Dengan tema diskusi The
Future We Want, peserta berangan-angan akan kondisi yang lebih
baik dan berlainan dengan situasi Business as Usual. Kelompok
penulis membayangkan Jawa di masa depan sebagai pulau yang
mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan dengan visi Java
Eco Nation.

| 283
Selanjutnya, peserta merumuskan skenario kondisi yang paling tepat
mendeskripsikan visi Java Eco Nation. Tim penulis menetapkan
skenario bahwa Jawa akan berkembang sesuai dengan telapak
ekologis yang kompatibel dengan daya dukung bumi. dimana sistem
politik di Indonesia, dan di Jawa, saat itu pro terhadap politik
ekologis. Dalam skenario lini masa yang dibayangkan, akan ada
pasang surut dukungan terhadap kepentingan ekologi didalam
kehidupan demokrasi masyarakat Indonesia. Narasi dibawakan
dengan sudut pandang seorang aktivis lingkungan selama 50 tahun
perjalanan hidupnya.

Di hari ketiga, tim merumuskan peta jalan untuk mewujudkan


tujuan dan skenario yang diinginkan. Dimulai dengan menyusun
beberapa alternatif peta jalan, tim kemudian menentukan langkah
terpilih yang dianggap paling tepat untuk menuju The Future We
Want, yaitu:

1. Menerapkan model The Doughnut Economics (Raworth, 2012),


dimana Jawa diharapkan dapat berkembang dalam ruang
operasi ‘donat’ yang aman, tidak kurang dari fondasi sosial
atau kebutuhan dasar, namun juga tidak melebihi ambang
batas ekologi.

2. Menggagas liquid democracy yang berbasis pada teknologi


blockchain sebagai bentuk baru pemberdayaan masyarakat.

3. Mengembangkan agroekologi dan permakultur sebagai upaya


pembangunan untuk mencapai target ‘donat’.

Dengan menekankan pada evolusi politik imajiner di Jawa selama 50


tahun ke depan, kelompok penulis memandang bahwa penghalang
perubahan bukanlah semata masalah teknis, rekayasa maupun
perencanaan, melainkan krisis sistemik yang berakar dari dimensi
politik.

284 | INSTRUMEN
Sumber: Dokumentasi Future Cities Laboratory, 2019
Gambar 2. Kegiatan selama Java Archipelago City Planning Charrette

| 285
2) Young Planning Workshop on Sustainable Tourism di Ubud
Kegiatan Young Planning Workshop dengan tema Sustainable Tourism
in Ubud diadakan pada awal tahun 2020 lalu. Acara ini merupakan
kerjasama antara Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Jawa
Tengah dan Bali serta Universitas Mahasaraswati Bali. Diikuti oleh
kurang lebih 30 peserta dari beberapa multidisiplin ilmu, meliputi
seperti perencana wilayah dan kota, ahli geografi, ahli lingkungan,
perancang kota, dan ahli infrastruktur. Even kolaboratif ini bertujuan
untuk mengenalkan charrette sebagai salah satu alat bantu
perencanaan, dengan studi kasus pengembangan pariwisata
berkelanjutan di Kawasan Ubud, Bali.

Pariwisata Bali sangat memikat di mata dunia internasional sehingga


tak heran jika pulau yang indah ini sanggup menarik jutaan
wisatawan. Kawasan wisata Ubud sebagai salah satu destinasi
wisata di Pulau Bali yang menyimpan seni dan potensi alam yang
sangat menarik untuk dinikmati dan dikunjungi. Berkembangnya
Ubud sebagai daerah tujuan wisatawan tentunya ditunjang dengan
keberadaan sarana dan prasarana kepariwisataan yang sesuai
dengan keinginan dan kebutuhan wisatawan. Kondisi tersebut
diharapkan akan berdampak pada lama tinggal wisatawan yang
akan semakin meningkat dan dapat memberikan kontribusi bagi
semua pihak.

Berlangsung selama satu hari, kegiatan diawali dengan kunjungan


ke kawasan perencanaan, dimana peserta diajak untuk mengenali
kawasan Pariwisata Ubud yang meliputi Monkey Forest dan rona
awal keliling kawasan. Kemudian peserta mengikuti workshop yang
diselenggarakan di ruang diskusi Universitas Mahasaraswati.
Terdapat tiga sesi diskusi dengan tema yang berbeda. Peserta
memiliki waktu diskusi selama 30 menit dari masing-masing tema
yang diberikan dan menuliskan hasil diskusi dalam media yang telah
diberikan.

286 | INSTRUMEN
Sesi pertama yaitu identifikasi potensi dan permasalahan. Pada
tahap ini peserta merumuskan apa saja potensi dan permasalahan
yang ada pada Kawasan Pariwisata Ubud. Hasilnya, diperoleh
beberapa permasalahan utama meliputi kemacetan, alih fungsi lahan
dan infrastruktur. Acara diselingi dengan pengayaan materi dari
narasumber tentang kondisi kawasan pariwisata Ubud pada jeda
kegiatan. Sesi kedua yaitu skenario pembangunan, yaitu menyusun
sebuah skenario kondisi Ubud selama 20 tahun ke depan. Berbeda
dengan Java Archipelago City Planning Charrette, pada kegiatan ini
trajektori lima tahunan (2025, 2030, 2035 dan 2040) dibuat sekaligus
untuk kondisi ada dan tidak ada intervensi dari pihak luar. Dalam
kondisi tanpa intervensi, pariwisata Ubud diperkirakan akan terus
meningkat, namun dibarengi dengan timbulnya masalah lingkungan
dan sosial. Sedangkan dalam kondisi dengan intervensi, Ubud akan
tumbuh menjadi destinasi premium yang selaras dengan nilai
budaya lokal dan lingkungan.

Sumber: Dokumentasi Penulis, 2020


Gambar 3. Penggunaan Planning Charrette pada Young Planning
Workshop on Sustainable Tourism in Ubud

Sesi ketiga atau sesi terakhir yaitu menetapkan tujuan perencanaan


lengkap dengan langkah-langkah yang perlu diterapkan dalam

| 287
mencapai tujuan. Dari hasil diskusi di sesi pertama dan kedua,
peserta merumuskan kondisi pariwisata Ubud yang berkelanjutan
dengan mengimplementasikan konsep ekowisata. Dengan visi ini,
Ubud diskenariokan sebagai destinasi kelas dunia yang ramai
dikunjungi oleh wisatawan dengan minat spesifik, yaitu alam dan
budaya. Dalam skenario ini wisatawan akan memperoleh
pengalaman yang berkesan setelah bersentuhan dan berinteraksi
dengan masyarakat setempat, dan juga sebaliknya masyarakat
memperoleh kesempatan untuk mendapatkan tambahan
penghasilan dan melestarikan budaya.

Berdasarkan tujuan yang dirumuskan, peserta mendesain dan


memilih alternatif-alternatif tindakan terbaik untuk mewujudkan
tujuan perencanaan, yaitu:

1. Mengembangkan Transit Oriented Development (TOD). Daya


tarik-daya tarik wisata utama akan dilengkapi dengan fasilitas
penunjang, jalur pejalan kaki dan jalur sepeda serta
dihubungkan oleh transportasi publik yang handal

2. Meningkatkan kualitas infrastruktur perkotaan, seperti


jaringan air bersih, drainase dan persampahan. Investasi
infrastruktur dibarengi dengan upaya peningkatan kesadaran
masyarakat agar mau menjaga kebersihan dan
mengkonservasi air tanah

3. Mengendalikan alih fungsi lahan sawah. Kelestarian sawah


akan dijaga melalui penetapan Kawasan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (KP2B) serta pengawasan dan penertiban oleh
pihak berwenang bersama dengan masyarakat

Setelah melalui beberapa tahapan diskusi, masing-masing kelompok


mempresentasikan hasil diskusi kelompok mereka di depan juri.
Acara ditutup dengan pengumuman pemenang dan pemberian
hadiah kepada kelompok terpilih yang memiliki nilai tertinggi.

288 | INSTRUMEN
3) Strategi Spasial Kawasan Perkotaan Gondangrejo
Karanganyar
Planning charrette merupakan salah satu metode yang dipakai dalam
perumusan konsep Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan
Perkotaan Gondangrejo. Acara ini merupakan prakarsa dari PT.
Krida Karya Advisory, biro perencanaan yang mendampingi
Pemerintah Kabupaten Karanganyar menyusun rencana rinci.
Diikuti oleh 15 peserta dari berbagai latar belakang keilmuan,
planning charrette ini mempraktekkan proses perencanaan partisipatif
dengan kolaborasi multidisiplin dalam sebuah penyusunan rencana
tata ruang. Kecamatan Gondangrejo merupakan salah satu
kecamatan di Kabupaten Karanganyar dengan potensi guna lahan
industri, pertanian dan cagar budaya Sangiran yang menyatu dalam
satu wilayah. Dilihat dari potensinya Gondangrejo dapat menjadi
daya tarik investasi sektor industri, pertanian, dan budaya. Dengan
jumlah penduduk sekitar 81.000 jiwa, dan tren pertumbuhan
penduduk yang akan terus meningkat, Gondangrejo akan tumbuh
menjadi kawasan perkotaan baru di Karanganyar.

Planning charrette menyediakan ruang bagi para perencana kota,


arsitek, ahli geografi, ahli lingkungan dan ahli ekonomi untuk
berdiskusi secara intensif mengenai masa depan Gondangrejo yang
diinginkan dan juga memilih strategi dan tindakan yang tepat untuk
mewujudkan tujuan tersebut. Kegiatan satu hari ini terbagi menjadi
tiga sesi, dan setiap sesinya diberikan pengayaan materi oleh
beberapa praktisi di bidangnya.

Sebelum memulai sesi pertama ini, peserta diberikan materi


mengenai Low Carbon City untuk membantu mereka memperoleh
pemahaman yang lebih lengkap mengenai tantangan perubahan
iklim terkini dan yang akan datang. Pada sesi pertama, peserta diajak
untuk mengidentifikasi isu permasalahan, peluang dan tantangan
pembangunan Kawasan Gondangrejo. Dengan teknik spatial

| 289
mapping, para peserta saling membagi perspektif mengenai Kawasan
Gondangrejo di atas peta kerja. Mereka mengidentifikasi
permasalahan pembangunan dan faktor penyebabnya hingga
diperoleh tiga isu utama, yaitu pertumbuhan industri, pertumbuhan
hunian dan alih fungsi guna lahan di kawasan cagar budaya
Sangiran. Sesi kedua yaitu scenario planning, dimana peserta
merumuskan skenario kondisi di Kecamatan Gondangrejo dalam
jangka waktu 20 tahun ke depan dengan dan tanpa intervensi
pembangunan. Sebelum sesi ini dimulai terdapat materi pengayaan
mengenai Urban Design for Sustainable Mobility. Pada sesi ini peserta
memperkirakan kondisi Gondangrejo yang terjadi melalui dua
skenario yang bertentangan per lima tahunan dari tahun 2020 hingga
2040. Terdapat dampak positif dan dampak negatif dari masing-
masing kondisi skenario yang mempengaruhi tindakan dalam
menjawab lima isu utama yang telah diidentifikasi sebelumnya.

Pada skenario dengan intervensi pembangunan, kawasan


Gondangrejo dapat meningkatkan produktivitas pembangunan,
mengembangkan kawasan industri berbasis lingkungan, dan
menjaga kelestarian kawasan cagar budaya yang selaras dengan
pemanfaatan ruang, sedangkan pada skenario tanpa intervensi
pembangunan, kawasan Gondangrejo diprediksi memiliki
perkembangan di sektor industri namun dapat mengancam
kelestarian lingkungan, pertumbuhan urban sprawl yang tidak
terkendali dan produktivitas pertanian menurun.

Hasil skenario tersebut menjadi bahan bagi sesi ketiga, yaitu


penetapan tujuan perencanaan beserta alternatif-alternatif tindakan
terbaik untuk masa depan Gondangrejo yang diinginkan melalui
diskusi ‘The Future We Want’. Diselingi oleh materi pengayaan
mengenai Achieving Urban Vibrancy Through Creative Economy,
peserta merumuskan visi pembangunan Kawasan Perkotaan
Gondangrejo yaitu “Kota Pusaka Berkelanjutan”. Dengan visi ini,
Gondangrejo diskenariokan sebagai kawasan perkotaan yang dapat

290 | INSTRUMEN
mengambil manfaat dari kebutuhan lahan untuk industri dan
hunian, dan mengembangkannya dengan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan serta dapat menjaga kawasan cagar
budaya Sangiran sebagai aset penting kawasan yang harus
dilestarikan. Berdasarkan tujuan dan skenario tersebut diambil
langkah yang dianggap paling tepat untuk menuju The Future We
Want, meliputi:

1. Aglomerasi industri sebagai kawasan industri yang terpadu


untuk kegiatan investasi yang mendorong pertumbuhan
ekonomi wilayah

2. Pengembangan lingkungan hunian perkotaan yang kompak


yang terkoneksi dengan sarana perdagangan dan utilitas kota

3. Pengelolaan kawasan cagar budaya dan pertanian berbasis


masyarakat yang bernilai ekonomi melalui ekowisata dan
agrowisata

Sumber: Dokumentasi Penulis, 2020


Gambar 4. Peta Kerja pada Perumusan RDTR Kawasan
Perkotaan Gondangrejo

| 291
Sebagai test bed, rekomendasi peta jalan tersebut selanjutnya
dituangkan secara spasial pada peta kerja (Gambar 4) untuk
membentuk satu rencana pola ruang sebagai representasi visi Kota
Pusaka Berkelanjutan. Dalam hal ini, peserta mengalokasikan lahan
bagi sektor industri, pertanian dan perumahan yang diharapkan
dapat mendukung perwujudan pembangunan berkelanjutan di
kawasan Gondangrejo.

Peluang Penggunaan Planning Charrette untuk Perencanaan


Adaptasi Perubahan Iklim
Pada bagian terakhir ini, penulis mengeksplorasi penggunaan
planning charrette dalam perencanaan adaptasi perubahan iklim.
Menggunakan pengalamannya dalam memformulasikan rencana
adaptasi perubahan iklim sebagai bagian dalam Revisi Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kalimantan Selatan, penulis
mencari ruang penyempurnaan (room for improvement) bagi proses
tersebut jika planning charrette digunakan sebagai alat bantu.
Berdasarkan kajian dampak perubahan iklim yang terjadi di
Kalimantan Selatan, dihasilkanlah tujuan masa depan yang ingin
dicapai, yaitu “Mewujudkan Provinsi Kalimantan Selatan 2035
Berketahanan”. Kemampuan untuk dapat beradaptasi di masa
mendatang diperoleh melalui pengelolaan air berkelanjutan,
konservasi ekosistem laut dan pesisir serta penerapan climate smart
agriculture.

Konsepsi perencanaan ini akan dicapai melalui serangkaian strategi


yang disusun oleh tim. Penyusunan strategi bertujuan untuk
mengatasi dampak perubahan iklim dan memberikan alternatif
adaptasi perubahan iklim terbaik di masa mendatang. Penyusunan
strategi ini dilakukan berdasarkan faktor pendorong (driver of change)
yang berpengaruh terhadap perubahan iklim seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 1.

292 | INSTRUMEN
Tabel 1. Strategi Adaptasi Perubahan Iklim dalam Revisi RTRW Provinsi
Kalimantan Selatan

Fenomena
Strategi Adaptasi
Perubahan Iklim
Sea Level Rise/ Kenaikan Peningkatan penerapan sistem proteksi yang
muka air laut adaptif terhadap kenaikan muka air laut
Peningkatan pengelolaan air yang
berkelanjutan
Peningkatan temperatur
Penerapan pendekatan adaptasi berbasis
ekosistem laut
Penerapan Climate Smart Agriculture
Peningkatan curah hujan
Perbaikan infrastruktur pengendali banjir

Pengembangan Sistem Peringatan Dini


Kejadian iklim ekstrem
(EWS) yang efektif
Sumber: Materi Teknis Revisi RTRW Provinsi Kalimantan Selatan, 2020

Dengan menyandingkan pengalaman perencanaan adaptasi penulis


dengan metode planning charrette yang disampaikan pada bagian
kedua tulisan ini, terdapat beberapa peluang inovasi untuk
memperkaya proses perencanaan adaptasi sebagaimana dibahas
pada paragraf selanjutnya.

1) Pengenalan Kawasan Perencanaan


Salah satu karakteristik planning charrette yang dapat diadopsi dalam
perencanaan adaptasi adalah dikumpulkannya para ahli
multidisiplin-bahkan transdisiplin-pada suatu waktu untuk
bersama-sama memecahkan masalah perencanaan. Hal ini berbeda
dengan pengalaman penulis ketika menyusun rencana adaptasi pada
proyek Revisi RTRW Provinsi Kalimantan Selatan, dimana
komponen perubahan iklim hanya disusun oleh tenaga ahli
perencanaan wilayah dan kota dan lingkungan saja. Diyakini bahwa
adanya kolaborasi dari tim lintas disiplin dapat mendukung proses
identifikasi permasalahan menjadi lebih komprehensif.

| 293
Sebagai ilustrasi, seringkali kajian dampak perubahan iklim masih
terfokus pada dampak yang berupa bencana yang memang diakrabi
oleh planner dan ahli lingkungan. Bergabungnya pakar lain seperti
ahli ekonomi wilayah atau ahli kelautan akan memberikan
keuntungan berupa diketahuinya dampak perubahan iklim pada
sistem pembangunan nasional yang lebih luas, seperti ekonomi,
mata pencaharian (livelihood), ekosistem serta wilayah khusus.

Sub-kegiatan trajektori atau prakiraan permasalahan di masa


mendatang dapat pula diperkenalkan dalam perencanaan adaptasi.
Upaya untuk mengimajinasikan besaran dampak perubahan iklim
sejalan dengan fitur ketidakpastian (uncertainty) sebagai salah satu
karakteristik kajian perubahan iklim. Prakiraan dampak secara
kualitatif sebagai hasil co-creation para pakar dapat menjadi
substitusi dari ketiadaan data permodelan iklim di tingkat mikro.
Dengan demikian, penyusun rencana adaptasi dapat memiliki
informasi risiko perubahan iklim masa depan untuk berbagai sektor
terdampak seperti air, kelautan, pesisir, pertanian, dan kesehatan)
apabila tidak ada intervensi adaptasi. Adanya kegiatan proyeksi
lintasan sebelum merumuskan visi ini memberikan peluang untuk
tersusunnya skenario dan peta jalan yang lebih kontekstual.

2) Mengembangkan Skenario
Kegiatan perencanaan adaptasi perubahan iklim Kalimantan Selatan
belum menggunakan pendekatan skenario dalam perumusannya.
Setelah tujuan tersusun, tim langsung merumuskan strategi tanpa
membuat narasi penjabaran tujuan yang memuat gambaran kondisi
yang diinginkan di masa mendatang. Tanpa mempertimbangkan
berbagai kemungkinan kondisi yang mungkin terjadi nanti dan
memilih skenario terbaik, tim menetapkan strategi yang dianggap
jitu untuk mewujudkan tujuan perencanaan. Pengayaan yang dapat
dilakukan pada tahap scenario planning ini adalah dengan
menghasilkan daftar panjang berbagai alternatif kondisi masa depan

294 | INSTRUMEN
yang lebih komprehensif, sebagai kebalikan dari penetapan skenario
tunggal yang seringkali ditemui pada pekerjaan perencanaan. Daftar
panjang skenario tersebut selanjutnya dibahas dan dipilih yang
paling relevan sesuai dengan konteks kegiatan perencanaan yang
sedang dilakukan. Pemilihan juga dapat mengacu kepada tingkat
probabilitas kejadian paling tinggi yang dinilai dengan teknik
analisis tertentu. Dengan cara ini, kualitas rencana diharapkan akan
meningkat karena telah mempertimbangkan berbagai kemungkinan
dalam situasi yang sulit.

3) Mendesain dan Memilih Peta Jalan


Tahap akhir dalam proses planning charrette yaitu penentuan peta
jalan (pathways). Peta jalan memuat langkah-langkah yang berfungsi
sebagai acuan untuk mencapai visi yang diinginkan dan skenario
yang telah dipilih sebelumnya. Sama halnya dengan tahap
pengembangan skenario, pengayaan yang dapat dilakukan pada
tahap perumusan peta jalan ini adalah dengan membuat daftar
panjang berbagai pilihan tindakan, sebagai kebalikan dari satu set
program yang langsung ditetapkan tanpa mempertimbangkan opsi
lain yang mungkin diambil. Pengayaan kedua adalah dengan
memperluas konsideran tidak hanya memperhatikan kerangka
spasial, melainkan juga kerangka waktu (jangka pendek, menengah
dan panjang). Planning charrette mengajak peserta untuk berpikir
kritis: apa saja pilihan peta jalan yang tersedia? Alternatif apa yang
akan diambil? Lokasi mana yang tepat mendapatkan intervensi
tersebut? Mana yang akan dilaksanakan terlebih dahulu? Dengan
pendekatan ini, kualitas rencana dapat menjadi lebih baik lagi karena
menjawab kebutuhan empiris untuk lokasi dan waktu yang spesifik.

Kesimpulan: Planning Charette sebagai Opsi Menuju


Perencanaan Kolaboratif
Dari pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
kelebihan planning charrette ada pada kolaborasi intensif oleh tim

| 295
multidisiplin untuk memecahkan suatu permasalahan dan
menghasilkan visi, skenario, dan peta jalan yang lebih komprehensif.
Kunci dari planning charrette adalah kompresi waktu baik dari sisi
jadwal kegiatan maupun pembagian kelompok dibandingkan
metode perencanaan lainnya. Keuntungan lainnya yaitu
meningkatnya kreativitas karena setiap peserta dapat mengamati
suatu permasalahan berdasarkan sudut pandang masing-masing
kemudian diintegrasikan menjadi pengetahuan bersama. Sebagai
contoh, dalam konteks perencanaan adaptasi, penggunaan planning
charrette dapat memperluas peluang daerah dalam peningkatan
resiliensi untuk mengatasi dampak perubahan iklim.

Faktor sukses penyelenggaraan planning charrette ditentukan oleh:

a) Variasi latar belakang peserta. Semakin beragam latar


belakang keilmuan peserta charrette, akan semakin
komprehensif dimensi pembangunan yang dapat terlingkupi.
Beragamnya profesi peserta juga mendatangkan manfaat
ganda berupa kesempatan bertukar wawasan yang lebih luas.

b) Pemahaman akan area studi. Semakin dalam pengetahuan


peserta akan wilayah perencanaan, semakin tajam pula
identifikasi terhadap potensi dan permasalahan di wilayah
tersebut.

c) Komitmen peserta. Partisipasi aktif peserta di setiap tahapan


tidak hanya akan menghidupkan suasana, namun juga
membuka kesempatan untuk mendapatkan hasil terbaik.

d) Kemampuan bekerjasama dalam tim. Dengan tugas-tugas


yang dimampatkan dalam waktu pelaksanaan yang relatif
pendek, kemampuan setiap orang untuk berpendapat
sekaligus mendengarkan serta mengambil jalan tengah akan
menentukan hasil akhir kegiatan.

e) Peran fasilitator. Kemampuan fasilitator dalam mendampingi


peserta untuk menuangkan gagasan dan mengarahkan

296 | INSTRUMEN
jalannya diskusi tanpa mengintervensi terlalu dalam akan
meningkatkan produktivitas dan kualitas diskusi.

Namun demikian, penggunaan metode planning charrette juga


memiliki kekurangan berupa potensi adanya pertemuan tak
berujung dan tidak produktif. Kolaborasi dalam perencanaan
merupakan sebuah tantangan karena kemungkinan terjadinya
perbedaan sudut pandang. Selain itu. upaya pelibatan setiap peserta
sering kali menghasilkan pertemuan demi pertemuan dengan
kemajuan yang lambat yang berkibat pada kelelahan masing-masing
peserta. Persiapan tim, data, dan lokasi pertemuan yang terencana
sangat diperlukan dalam melakukan planning charrette, sehingga
pelaksanaan di tempat (on site) cenderung menjadi kendala karena
harus menghadirkan banyak orang dalam waktu yang bersamaan.

Daftar Pustaka
Fatimah, F. (2020), Teknik Analisis SWOT: Pedoman Menyusun
Strategi yang Efektif dan Efisien sert Cata Mengelola
Kekuatan dan Ancaman. Anak Hebat Indonesia. Yogyakarta.
Future Cities Laboratory. (2019), Java Archipelago City Planning
Charette: Pathways for Sustainable Settlement Systems in
Java 2070. Future Cities Laboratory. Singapura.
van Gundy, B. (1984), Brain Writing for New Product Ideas: An
Alternative to Brainstorming. Journal of Consumer
Marketing, Vol. 1 No. 2, pp. 67-74.
Lennertz, B. &Lutzenhiser, A. (2003), Charrettes 101: Dynamic
Planning for Community Change. Fannie Mae Foundation.
Washington DC.
Lindgren, M. & Bandhold, H. (2009), Scenario Planning: The link
between future and strategy. London: Palgrave Macmillan
MacLeod, L. (2012), Making SMART Goals Smarter. Physician
Executive, Vol. 72, pp. 68-70.
Parikh, N. D. (2016), Effectiveness of Teaching through Mind
Mapping Technique. The International Journal of Indian
Psychology, Vol. 3 No. 3, pp. 148-156.
Srdjevic, Z., Bajcetic, R., & Srdjevic, B. (2012), Identifying the
Criteria Set for Multicriteria Decision Making Based on

| 297
SWOT/PESTLE Analysis: A Case Study of Reconstructing A
Water Intake Structure. Water Resour Manage, Vol. 26, pp.
3379–3393

298 | INSTRUMEN
BAB 14
TATA KELOLA MULTILEVEL DALAM PENANGANAN
PERUBAHAN IKLIM
RUKUH SETIADI

Pendahuluan
Literatur tata kelola secara konsisten menunjukkan bahwa tata kelola
multilevel yang efektif sangat penting untuk meningkatkan
implementasi kebijakan perubahan iklim di tingkat kota. Sementara
banyak studi telah mengeksplorasi karakteristik dan efektivitas tata
kelola multilevel, studi empiris yang berfokus pada formasi struktural
tata kelola multilevel masih sangat kurang. Ini juga berarti bahwa
kerangka deskriptif untuk mengamati dan menganalisis dinamika
tata kelola multilevel dalam praktik belum tersedia. Disamping untuk
menjelaskan konsep tata kelola multilevel, bab ini juga bermaksud
untuk memperkenalkan kerangka observasi untuk menganalisis
struktur tata kelola multilevel, khususnya dalam domain perubahan
iklim.

Definisi Tata Kelola Multilevel


Cukup banyak pakar dan organisasi internasional yang berpendapat
bahwa kota adalah tempat yang paling tepat untuk mengembangkan
kebijakan dan strategi dalam menghadapi perubahan iklim global
(Gremillion, 2011; OECD, 2010a; Rockefeller Foundation, 2009;
Satterthwaite et al., 2009; Satterthwaite & Dodman, 2013; Schreurs,
2008; UN-Habitat, 2011). Terbukti, saat ini banyak pemerintah kota
di berbagai belahan dunia sedang berjuang dalam merespon dampak
perubahan iklim. Mereka telah mengembangkan kebijakan, memulai
aksi, dan mengembangkan respon yang berbeda di tingkat kota.
Sayangnya, banyak kendala yang menghambat upaya tersebut, salah

| 301
satunya dari aspek tata Kelola. Atas dasar tersebut, pernyataan Smith
et al. (2009) yang menyebutkan bahwa “sebagian besar pemerintah
sudah terlibat dalam adaptasi melalui struktur pemerintahan dan
mekanisme kelembagaan (tata kelola) ‘yang ada saat ini’” menjadi
penting untuk dibahas. Kata tata kelola ‘yang ada saat ini’ bisa
menjadi faktor berpengaruh antara sukses atau tidaknya respon
perubahan iklim di tingkat kota.

Tata kelola multilevel, yang mengacu pada “serangkaian interaksi


yang terjadi antara pelaku kebijakan di lebih dari satu tingkat
pemerintahan” (Bevir, 2008), adalah respon kelembagaan yang tepat
untuk menangani masalah yang saling terkait, kompleks dan rumit
seperti perubahan iklim (Amundsen et al., 2010; Betsill & Bulkeley,
2006; Bulkeley, 2010; Corfee-Morlot et al., 2011; Daniell et al., 2011;
Monni & Raes, 2008; OECD, 2010b). Laporan assessment report kelima
(AR5) yang dirilis oleh IPPC (2014) juga menyoroti pentingnya
kerangka tata kelola multilevel untuk menerapkan strategi adaptasi
perkotaan. Sementara itu, Crespy et al. (2007) mengindikasikan dua
fenomena yang mencerminkan berkembangnya model tata kelola
multilevel. Pertama, jumlah lembaga atau aktor yang berperan dalam
pengambilan keputusan atau kebijakan telah meningkat secara
signifikan dan semakin kompleks dari waktu ke waktu. Kedua,
keberhasilan penyelesaian masalah pada umumnya melibatkan
tidak hanya satu aktor dari satu tingkat pemerintahan, tetapi juga
dari banyak aktor di tingkat pemerintahan yang lain baik secara
horizontal maupun vertikal. Sebaliknya, banyak masalah yang
belum terselesaikan atau gagal diselesaikan karena hanya
mengandalkan satu aktor atau lembaga pada tingkat pemerintahan
yang terbatas.

Konsep Tata Kelola Multilevel


Kepemerintahan multilevel dapat ditinjau setidaknya dari tiga aspek
utama, yaitu para aktor beserta lembaga atau strukturnya, fungsi dan

302 | TATA KELOLA


peran, serta dinamika hubungan di antara para aktor dan
implikasinya pada peran dan fungsi. Perlu dicatat bahwa dalam
konteks kepemerintahan yang multilevel, makna aktor dan lembaga
tidak dibatasi oleh pengertian aktor pemerintah (negara atau state)
dan lembaga formal saja tetapi juga mencakup aktor non-pemerintah
dan lembaga informal. Galarraga et al. (2011) menggambarkan
pergeseran hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang
menekankan pada pembagian tanggung jawab berdasarkan
kapabilitas masing-masing dalam pencapaian tujuan. Fenomena ini
telah mempengaruhi pelaksanaan berbagai domain kebijakan dan
pola ini mungkin juga berlaku pada domain kebijakan iklim.
Galarraga et al. (2011) menyebutkan, kebijakan iklim tampaknya
tidak terkecuali juga terekspos oleh aturan praktis “interaksi
multileve”’ ini dan penting untuk menerapkan kebijakan iklim dalam
kerangka kerja tata kelola multilevel. Urwin & Jordan (2008)
mengemukakan bahwa menghubungkan kebijakan tingkat atas dan
bawah sangat penting dalam menanggapi perubahan iklim karena
jika diperlakukan secara terpisah, kebijakan ini dapat saling
melemahkan.

Amundsen et al. (2010), Corfee-Morlot et al. (2011), Fünfgeld (2010);


Monni & Raes (2008), dan OECD (2010b) membahas keunggulan tata
kelola multilevel dan menyoroti tantangan dan hambatan untuk
mewujudkannya, seperti tidak adanya kerangka peraturan untuk
memandu kolaborasi vertikal dan horizontal, dan kurangnya insentif
untuk melakukan kolaborasi tersebut. Tak kalah pentingnya, Betsill
& Bulkeley (2006), Bulkeley (2010), dan Kern & Bulkeley (2009)
mengeksplorasi fenomena global dari konteks multilevel kebijakan
perubahan iklim di dan untuk (in and for) kota dan memperkenalkan
peran jaringan transnasional di suatu negara.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Hooghe & Marks (2003),


penelitian mengenai tata kelola multilevel berkembang relatif pesat.
Hooghe & Marks (2003) yang meninjau berbagai ide tata kelola

| 303
multilevel, membaginya ke dalam dua kelompok besar: tata kelola
multilevel Tipe I dan Tipe II. Tata kelola multilevel Tipe I hanya
menggambarkan kolaborasi aktor negara atau pemerintah di
berbagai tingkat untuk mencapai tujuan yang telah didefinisikan
dengan jelas dengan melibatkan distribusi tanggung jawab yang luas
di setiap tingkat. Sedangkantata kelola multilevel Tipe II
menggambarkan kolaborasi yang lebih inklusif di antara berbagai
aktor pemerintahan – baik aktor pemerintah maupun non-
pemerintah – di berbagai tingkat untuk mencapai tujuan bersama
yang melibatkan distribusi tanggung jawab yang tumpang tindih di
setiap tingkat.

Penulis berpendapat bahwa studi Hooghe & Marks (2003)


menyediakan struktur umum untuk memahami tata kelola multilevel.
Namun demikian, diperlukan beberapa penyesuaian untuk
menjelaskan realitas dan dinamika dimensi tata kelola perubahan
iklim di suatu kota. Asumsi-asumsi tentang keterlibatan para aktor,
termasuk cara mereka berinteraksi satu sama lain perlu diperjelas,
seperti yang dinyatakan Betsill & Bulkeley (2006) bahwa pembagian
konvensional antara aktor pemerintah dan non-pemerintah dan
antara lokal, nasional dan global terganggu (mengalami disrupsi)
oleh politik perubahan iklim.

Mengingat belum ada kerangka deskriptif yang tersedia untuk


mengamati transformasi struktural tata kelola multilevel dan
menganalisis implikasinya bagi pemerintah kota, pada bagian
selanjutnya akan disajikan pendekatan dalam mengobservasi
transformasi tersebut. Transformasi struktural tata kelola multilevel
didefinisikan sebagai pergeseran konfigurasi dari para pelaku utama
di seluruh tingkat tata kelola dan peran mereka dalam domain
kebijakan tertentu selama periode waktu yang berbeda. Kerangka
yang kami kembangkan dapat digunakan untuk mendeteksi
kemajuan interaksi lintas level dan untuk mengidentifikasi jenis

304 | TATA KELOLA


aktor dan kebijakan adaptasi serta level tata kelola yang memerlukan
perhatian lebih lanjut.

Transformasi Struktural Tata Kelola Multilevel


Studi Hooghe & Mark (2003) relevan sebagai titik tolak karena
memberikan landasan konseptualisasi model umum yang mewakili
evolusi tata kelola dari waktu ke waktu menuju munculnya sistem
tata kelola multilevel. Menyatukan semua hasil observasi ini dalam
satu kontinum penting untuk memahami transformasi struktural
tata kelola multilevel,ide tata kelola multilevel Tipe I dan Tipe II
menurut Hooghe & Mark (2003) lebih lanjut dapat diringkas dalam
Tabel 1.

Tabel 1: Tata Kelola Multilevel Tipe I dan Tipe II

Karakteristik Tipe I Tipe II


Dasar Teori Desentralisasi murni/ Desentralisasi dalam arti
federalisme luas
Konsep Dasar Yurisdiksi dan Tumpang tindih yurisdiksi
pemangku kepentingan dan pemangku
tidak tumpang tindih kepentingan perlu untuk
untuk menangani menangani tugas-tugas
tugas-tugas dalam yang bersifat
spektrum yang luas. spesifik/terbatas.
Asumsi atas Berbasis pada Batas horizontal dan
Yurisdiksi yurisdiksi vertikal antara
(Kewenangan) wilayah/terrtorial. kepemerintahan tidak
(perlu)
Yurisdiksi adalah
dibatasi/dipertahankan.
konsep yang statis
(fixed concept) apapun Yurisdiksi adalah konsep
tujuan pengelolaan yang fleksibel (flexible
yang mengikutinya. concept) tergantung pada
tujuan/konsep
pengelolaan.
Koordinasi dan Menghambat Menghendaki adanya
Eksternalitas kebutuhan untuk integrasi dan koordinasi
koordinasi yurisdiksi yang intens secara menerus
(teritorial).

| 305
Karakteristik Tipe I Tipe II
Eksternalitas lintas antar tingkat
yurisdiksi sangat kepemerintahan.
tinggi.
Eksternalitas antar
yurisdiksi dapat
diminimalkan.
Tugas dan Tugas dengan Tugas yang terbatas dan
Struktur spektrum yang luas jelas untuk merespon isu-
Kepemerintahan yang ditangani/dibagi isu yang spesifik ditangani
secara rapi (neatly) secara logis oleh banyak
antar level. pihak yang menghasilkan
pola struktur
kepemerintahan yang
berantakan/rumit (messy).
Asumsi atas Berasumsi bahwa Berasumsi bahwa para
Para Aktor kapasitas para aktor di aktor memiliki kapasitas
Kepemerintahan setiap level untuk dan ketrampilan yang
menjalankan tugas berbeda.
tersedia.
Sumber: Hooghe & Marks, 2003

Sejumlah keunggulan tata kelola multilevel yang sering disampaikan


dalam literatur, sebagian besar cenderung mengacu pada tata kelola
Tipe II dibandingkan Tipe I. Tata kelola multilevel Tipe II membuat
banyak asumsi yang lebih relevan, misalnya tentang definisi masalah
dan tanggung jawab, keterlibatan para aktor dan fungsi mereka,
serta konsep pengelolaan wilayah dan kewenangan yang diperlukan
untuk mengatasi masalah perubahan iklim, sebagaimana
ditunjukkan dalam berbagai literatur yang secara khusus membahas
tata kelola multilevel perubahan iklim (Amundsen et al., 2010; Corfee-
Morlot et al., 2011; Fünfgeld, 2010; Monni & Raes, 2008; OECD, 2010a;
Urwin & Jordan, 2008). Literatur-literatur tersebut bersama dengan
penelitian empiris terkini seperti Betsill & Bulkeley (2006), Bulkeley
(2010), dan Kern & Bulkeley (2009) bagaimanapun juga
menunjukkan ciri khas dari tata kelola multilevel pada domain
perubahan iklim yang mempertimbangkan adanya hubungan
horizontal jejaring transnasional yang dalam beberapa hal
melangkahi pemerintahan pada tingkat nasional, dengan

306 | TATA KELOLA


memberikan penekanan pada hubungan independen yang bersifat
lintas/antar-kota di dalam/antar-jaringan regional maupun global.
Dalam pola kelembagaan kolaboratif semacam ini, selain koordinasi
konvensional, pembelajaran dan transfer pengetahuan dalam
internal jejaring transnasional mendapat perhatian khusus (ISET,
2010; Lee & van de Meene, 2012). Oleh karena itu, asumsi tentang
keterlibatan aktor termasuk cara mereka berinteraksi satu sama lain
perlu dilihat secara lebih rinci.

Gambar 1: Aktor dan Konsep Yuridikasi dalam Keragaman Model Tata Kelola Multilevel

Tata Kelola Multilevel Tipe I Tata Kelola Multilevel Tipe II Tata Kelola Multilevel Tipe II-b

Nasional
G G G I

Regional
G G G T

Lokal

G G G G

Kerangka
Hubungan Hirarkis Kolaborasi
G Lembaga Pemerintah I
Internasional

Konsep Yuridiksi Kolaborasi + Pembelajaran Lembaga Non- T Jejaring Trans-


Pemerintah nasional

Sumber: Diadaptasi dari Bulkeley, 2010; Hooghe & Marks, 2003;


Sumber: Diadaptasi dari Hooghe dan Marks (2003); OECD (2010); Bulkeley (2010)
OECD, 2010a
Gambar 1. Aktor dan Konsep Yuridikasi dalam Keragaman
Model Tata Kelola Multilevel

| 307
Dengan melihat perkembangan yang ada, struktur tata kelola
multilevel semakin kompleks. Tulisan ini tidak mengajukan tipe tata
kelola yang baru karena tulisan ini hanya bertujuan untuk
memperjelas salah satu variasi yang berkembang dari Tipe II. Untuk
alasan praktis kami menyebutnya tata kelola multilevel Tipe II-b, di
mana perbedaannya dibanding pola multilevel lainnya disajikan pada
Gambar 1.

Pengembangan Kerangka Kerja Observasi dari Transformasi


Tata Kelola Multilevel
Kerangka kerja ini dirancang untuk membantu para analis dan
praktisi kebijakan untuk lebih memahami proses dan dinamika
transformasi tata kelola multilevel. Selain itu, kami berharap kerangka
kerja ini akan membantu para analis untuk memahami pengaturan
kelembagaan kebijakan iklim pada tingkat kota saat ini dan untuk
mengidentifikasi cara-cara produktif ke depan dari perspektif tata
kelola multilevel. Kerangka observasi ini memperlakukan tata kelola
multilevel sebagai konteks yang menghubungkan seluruh spektrum
kebijakan perubahan iklim dari tingkat nasional hingga lokal.
Pengembangan kerangka kerja melibatkan empat tahap utama yang
akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut.

Pertama, kerangka kerja ini mengakui konteks multilevel


pengembangan kebijakan perubahan iklim yang terdiri dari tingkat
nasional (atau federal), regional (provinsi atau negara bagian), serta
kota (dan/atau kabupaten untuk Indonesia). Dengan analogi sebuah
matriks, maka kita akan menempatkan konteks tingkatan
kepemerintahan secara vertikal sebagai kolom pertama. Selanjutnya,
dimensi temporal dimasukkan kedalam kerangka kerja karena
pembentukan tata kelola multilevel yang diwakili oleh konfigurasi
berbagai aktor ini tidak terbentuk secara instan karena di dalamnya
tercakup proses kebijakan yang juga membutuhkan waktu yang
cukup lama untuk terbentuk dan bisa berjalan (Sabatier, 1999). Satu

308 | TATA KELOLA


dekade adalah jangka waktu minimum untuk menerapkan kerangka
ini, meskipun data dua dekade atau lebih akan lebih baik karena
memungkinkan kita untuk memahami periode panjang dan titik-
titik kritis dari transformasi tata kelola multilevel. Dengan analogi
sebuah matriks yang sama, maka kita akan menempatkan dimensi
temporal sebagai sumbu horizontal. Akibatnya, akan ada matriks
yang berisi banyak sel yang masing-masing merepresentasikan
perpotongan antara skala tata kelola dan referensi waktu tertentu
sebagaimana diilustrasikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kerangka Observasi Transformasi Tata Kelola Multilevel

Nasional (N) Sel Nt1 … … … Sel Ntn

Provinsi (P) Sel Pt1 … … … Sel Ptn


Kota (K)
Sel Kt1 … … … Sel Ktn
t1 t2 ... … tn
Dimensi Waktu (Tahun)

Kedua, berbagai atribut yang terkait dengan proses kebijakan


perubahan iklim digunakan untuk mengisi setiap sel, baik proses
kebijakan yang dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara.
Atribut proses kebijakan yang dimaksud bisa bervariasi cakupannya
dan tidak terbatas pada:

1) pemahaman (misal: pengembangan data, penelitian kebijakan,


dan sebagainya);

2) perencanaan (misal: penyusunan rencana, roadmap, dan


strategi, dan sebagainya);

3) pengelolaan (misal: proyek percontohan, pelaksanaan proyek,


dan sebagainya); serta

| 309
4) pengaturan (misal: penetapan undang-undang, regulasi,
pedoman, pembentukan badan/lembaga, dan sebagainya).

Untuk membuat tahap ini operasional, diperlukan data dari


wawancara dengan berbagai aktor atau sub-sistem kebijakan, baik di
tingkat nasional hingga pemerintah kota dan pelaku kebijakan
lainnya di organisasi-organisasi non-pemerintah beserta jejaring
mereka. Dalam konteks ini, empat pertanyaan utama yang diajukan
dalam wawancara semi-terstruktur ini adalah:

1) apa saja kebijakan/upaya/tindakan respon perubahan iklim


yang diambil oleh masing-masing aktor atau organisasi?

2) kapan itu terjadi?

3) di tingkat manakah tindakan dan kebijakan ini dilakukan?

4) apa hubungan antara kebijakan/upaya/tindakan di satu level


terhadap level lainnya?

Selain itu, data sekunder dengan mengelaborasi dokumen kebijakan


yang relevan juga perlu dilakukan. Data sekunder berguna dalam
memperkaya proses identifikasi untuk menjawab keempat
pertanyaan di atas, sekaligus sebagai triangulasi atas wawancara
yang dilakukan.

Ketiga, pengoperasian kerangka kerja ini memerlukan proses


kategorisasi berdasarkan tujuan analitis tertentu. Kategorisasi dapat
didasarkan misalnya pada:

1) tipe kebijakan (misalnya kebijakan strategis vs. praktis) - guna


mengetahui dominasi tipe kebijakan yang ada apakah
didominasi oleh rencana/pedoman/undang-undang
daripada program/proyek/tindakan yang nyata;

2) substansi kebijakan (misalnya mitigasi vs. adaptasi); dan

3) pemrakarsa program iklim (misalnya pemerintah vs.


organisasi non-pemerintah dan mitranya.

310 | TATA KELOLA


Semakin banyaknya atribut kebijakan pada setiap sel menunjukkan
bahwa semakin dinamis proses pengembangan kebijakan yang
terjadi. Jika setiap atribut kebijakan diwakili dengan suatu titik, maka
secara berurutan, garis dapat ditarik untuk menghubungkan semua
atribut proses kebijakan yang teridentifikasi di setiap tingkat
pemerintahan sedemikian rupa sehingga hubungan vertikal di
antara atribut kebijakan dapat menunjukkan ada atau tidaknya
langkah-langkah yang saling terkoordinasi dalam merespon
perubahan iklim. Matriks yang dihasilkan yang secara sistematis
mendeskripsikan berbagai atribut kebijakan memudahkan analis
untuk memahami lanskap tata kelola perubahan iklim selama
periode pengamatan.

Sebagai tahap terakhir, upaya eksplorasi atas faktor-faktor


pendorong dan/atau penghambat kolaborasi di berbagai tingkatan
dapat dilakukan. Tentunya tahapan ini hanya bisa dilakukan jika
upaya penelusuran data dan informasi, misalkan melalui wawancara
tambahan, dilakukan. Dengan mengacu pada lansekap yang terbaca
pada tahap ketiga, sebuah pertanyaan wawancara yang diajukan
untuk tahap ini adalah “apa saja kekuatan pendorong/penghambat
yang membuat para aktor berkolaborasi, baik secara vertikal dan
horisontal?”. Kunci jawaban atas pertanyaan tersebut telah
diindikasikan dalam kerangka kerja diagnostik penghalang adaptasi
yang sebelumnya dikembangkan oleh Moser & Ekstrom (2010), yang
menekankan pada isu-isu lintas sektoral yang mempengaruhi proses
adaptasi secara keseluruhan, yaitu: kepemimpinan, sumber daya,
komunikasi dan informasi, dan nilai-nilai serta keyakinan.

Lansekap Tata Kelola Perubahan Iklim dalam Perspektif


Multilevel
Bagian ini akan memberikan ilustrasi singkat hasil penerapan
kerangka kerja yang dibahas pada sub-bab sebelumnya. Hasil
penerapan tersebut disajikan secara diagramatis pada Gambar 2

| 311
yang menunjukkan pengalaman Indonesia selama dua dekade
(periode 2002-2013) dalam merespon perubahan iklim dalam
perspekti tata kelola multilevel dengan studi kasus di Kota Semarang.

Gambar 2. Dua Dekade (2002-2013) Tata Kelola Perubahan Iklim dalam


Perspektif Multilevel

312 | TATA KELOLA


Dari Gambar 2 secara ringkas dapat diketahui bahwa terdapat tiga
fase atau babak penting dalam transformasi tata kelola perubahan
iklim di Indonesia dan Kota Semarang sebagai studi kasusnya, yaitu
fase awal (1993-1999), fase peralihan (2000-2006) dan fase
kebangkitan (2007-2013).

1. Fase Awal: 1993-1999


Selama fase awal, konstelasi para aktor tidak menunjukkan adanya
struktur tata kelola multilevel karena koordinasi hanya terpusat
secara horizontal di tingkat nasional, dan pengaturan kelembagaan
ini tidak membuahkan hasil nyata di lapangan. Fase ini mencakup
enam tahun pertama ketika perubahan iklim memasuki wacana
kebijakan di Indonesia sejak tahun 1993, ketika seksi perubahan iklim
pertama kali dibentuk dalam struktur organisasi Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH). Tanggung jawab untuk pekerjaan
kebijakan perubahan iklim diberikan kepada kepala bagian, yang
beroperasi di tiga lapisan di bawah Menteri Lingkungan Hidup. Ini
memberikan bukti tentang status dan kepentingan yang melekat
pada peran dan fungsi kelembagaan pada saat itu.

Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia meratifikasi United Nations


Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), akan tetapi, ini
hanya memiliki sedikit pengaruh langsung terhadap kebijakan
domestik. Singkatnya, pada periode awal ini pemerintah Indonesia
cenderung pasif dalam menanggapi isu perubahan iklim, meskipun
telah mengikuti beberapa konvensi internasional seperti UNFCCC
dan memenuhi mandat UNFCCC yang tidak mengikat. Secara
keseluruhan, pencapaian pemerintah dan komitmennya untuk
meratifikasi protokol pada tahap ini sangat luar biasa mengingat
negara tersebut telah berada di tengah-tengah krisis ekonomi sejak
akhir tahun 1997 dan gejolak politik yang berlangsung hingga akhir
tahun 1999. Pada fase ini tidak ada partisipasi dari pemerintah
provinsi maupun dari pemerintah kota dalam masalah perubahan
iklim.

| 313
2. Fase Peralihan: 2000-2006
Fase ini berlangsung selama periode tujuh tahun setelah komunikasi
nasional (NC) pertama tentang perubahan iklim. Selama fase ini,
Indonesia mengalami dua putaran desentralisasi sistemik dalam
pemerintahan. Pada awal tahun 2000, kewenangan untuk mengatur
dan mengontrol pengembangan lahan didesentralisasikan,
diserahkan kepada hampir 500 pemerintah kota dan kabupaten.
Namun, pada tahun 2004 terjadi reformasi besar-besaran, yang
mengembalikan kewenangan yang cukup kepada pemerintah
provinsi. Ini berusaha untuk menghasilkan distribusi kekuasaan
yang lebih seimbang di antara tingkat pemerintah daerah.

Pada tahun-tahun berikutnya, pemerintah Indonesia disibukkan


dengan berbagai agenda dalam negeri khususnya program
desentralisasi, pemekaran pemerintah daerah, reformasi politik dan
sistem keuangan, pengembangan langkah-langkah anti kemiskinan,
dan menangani gerakan separatis dan konflik di beberapa provinsi
yang merasa kaya dengan sumber daya alamnya (lihat Alm et al.,
2001; Firman, 2002, 2009; Nombo, 2000; Peluso, 2007). Isu-isu ini
mendapat prioritas di atas masalah kebijakan perubahan iklim
hingga pertengahan dekade pertama milenium baru. Seperti pada
fase sebelumnya, tidak terlihat adanya kontribusi yang disengaja
atau substansial dari pemerintah provinsi dan kota dalam
menanggapi perubahan iklim.

3. Fase Kebangkitan: 2007-2013


Fase ini merupakan periode paling dinamis dari perkembangan
kebijakan perubahan iklim di Indonesia. Tata kelola multilevel Tipe
II-b muncul pada fase ini. Mengingat keterbatasan ruang pada buku
ini, analisis deskriptif yang bisa dibuat pada setiap level akan
dikombinasikan secara ringkas pada sub-bab ini. Kesempatan
menjadi tuan rumah Conference of the Parties ke-13 (COP13) pada
tahun 2007 menjadi pendorong bagi kebangkitan kebijakan
perubahan iklim di tingkat nasional. Untuk mempersiapkan acara

314 | TATA KELOLA


ini, Seksi Perubahan Iklim di KLH ditingkatkan menjadi Direktorat
Perubahan Iklim, yang duduk langsung di bawah Menteri
Lingkungan Hidup. Hal ini menjadi tonggak penting bagi dukungan
perubahan iklim di Indonesia karena untuk pertama kalinya
perubahan iklim menjadi isu nasional yang menjadi perhatian para
pembuat kebijakan di tingkat nasional dan lembaga non-pemerintah
internasional.

Sejak COP13, wacana kebijakan perubahan iklim Indonesia semakin


intensif, dan pada tahun 2008, sebagai tindak lanjut COP13, Presiden
Indonesia membentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI).
DNPI memiliki fungsi eksternal dan internal. Secara eksternal, DNPI
dirancang untuk mewakili dan memperkuat posisi Indonesia dalam
negosiasi perubahan iklim internasional dan sebagai organisasi yang
bertanggung jawab langsung untuk berkomunikasi dengan
UNFCCC dan lembaganya. Secara internal, DNPI bertanggung
jawab untuk merumuskan kebijakan, strategi, dan program nasional
untuk kegiatan pengendalian perubahan iklim serta
mengkoordinasikan kegiatan di 17 kementerian dalam tugas
tersebut. Sementara fungsi eksternal dihargai, fungsi internal DNPI
relatif kontroversial.

Upaya komprehensif dan terpadu untuk memberikan kebijakan


yang menyeluruh dalam menanggapi perubahan iklim juga
dilakukan oleh BAPPENAS melalui penyusunan Peta Jalan Sektoral
Perubahan Iklim Indonesia (ICCSR) pada tahun 2009. Oleh karena
itu, ICCSR merupakan tonggak penting dari kebijakan yang
komprehensif pembangunan di tingkat nasional dalam menanggapi
perubahan iklim. Di awal tahun 2014, BAPPENAS kembali
membuktikan kepemimpinannya dengan meluncurkan Rencana
Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API). Strategi
adaptasi yang berdiri sendiri dan terintegrasi di tujuh belas
kementerian.

| 315
Selain mendanai program dan aksi perubahan iklim melalui
mekanisme perencanaan pembangunan formal, pada tahun 2008
pemerintah Indonesia melalui BAPPENAS juga membentuk
Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) untuk menarik dana
internasional bagi program-program perubahan iklim di negara
berkembang. Pembentukan ICCTF merupakan upaya untuk
menanggapi tuntutan koordinasi yang lebih besar dan harmonisasi
pendanaan perubahan iklim. Namun, sebagian besar pemerintah
daerah di Indonesia tidak mengetahui keberadaan dan peluang
pendanaan yang disediakan oleh ICCTF. Pada masa tersebut, ICCTF
telah mendanai sejumlah kecil proyek perubahan iklim dan
semuanya diusulkan dan dilaksanakan kementerian dan lembaga di
tingkat nasional (Gruning et al., 2012), dari pada lembaga pemerintah
atau aktor non-negara di provinsi atau tingkat kota.

Puncak kemajuan Indonesia dalam kebijakan perubahan iklim


terjadi pada tahun 2010 dan 2011. Tiga faktor kunci yang saling
terkait membantu menjelaskan hal ini. Pertama, keberhasilan
pengarusutamaan perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan
jangka menengah dan jangka panjang. Dengan pengarusutamaan
tersebut, BAPPENAS menunjukkan bagaimana kemajuan dapat
dicapai di tingkat kementerian. Pemerintah pusat mengklaim
setidaknya empat program nasional terkait memberikan kontribusi
bagi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim perkotaan, yaitu:
Program Pengurangan GRK, Program Kota Hijau, Program Desa
Pesisir Tangguh, dan Program Kampung Iklim.

Kedua, beberapa program nasional tersebut, terutama program


pengurangan GRK dan kota hijau, melibatkan pemerintah provinsi
dan kota secara substansial dalam pelaksanaannya. Mekanisme
koordinasi, pemantauan dan pelaporan untuk memastikan
keterkaitan vertikal juga telah ditetapkan. Program-program
tersebut memiliki tujuan pengelolaan yang sama pada lintas
tingkatan dan pelaku. Ketiga, dalam periode ini, beberapa lembaga

316 | TATA KELOLA


non-pemerintah dan jejaring trans-nasional melakukan investasi
yang signifikan di tingkat sub-nasional dan melibatkan pemerintah-
pemerintah tersebut dalam respon perubahan iklim. Keterlibatan
organisasi non-pemerintah dan donor internasional secara langsung
di tingkat sub-nasional menjadi cikal bakal tata kelola multilevel Tipe
II-b. Adapun hasil analisis yang lebih menyeluruh, termasuk analisis
atas hambatan yang dihadapi, dapat dilihat pada Setiadi (2017).

Pada tingkat lokal, Pemerintah Kota Semarang sejak awal telah


menekankan pada adaptasi sehingga proporsi aksi terkait adaptasi
jauh lebih tinggi dibandingkan aksi mitigasi. Akan tetapi, temuan ini
tidak dapat digeneralisasi untuk kota-kota lain di Indonesia. Ratusan
pemerintah kota lainnya di Indonesia tidak dapat mengembangkan
strategi dan tindakan adaptasi iklim yang ekstensif tanpa dukungan
eksternal yang diperoleh Kota Semarang. Pada masa itu, inisiatif
Kota Semarang dalam respon perubahan iklim lebih banyak
didukung oleh jejaring transnasional seperti ACCCRN yang
diinisiasi oleh Rockefeller Foundation (RF) dan program-program
Policy Advice for Environment and Climate Change (PAKLIM) yang
diinisiasi oleh German Society for International Cooperation (GIZ), dari
pada mendapatkan dukungan dari program nasional dan provinsi.
Program-program tersebut telah memfasilitasi pembentukan
kelompok kerja penanggulangan perubahan iklim dan
penyelenggaraan forum dialog. Kelompok kerja ini memungkinkan
semua pelaku lokal untuk berinteraksi satu sama lain dan
memelihara komunikasi informal.

Pada akhirnya, outcome program dari para aktor non-pemerintah di


tingkat kota ini akan sangat menentukan keberlanjutan respon
perubahan iklim, kecuali model tata kelola multilevel yang lebih
terstruktur dan fungsional telah terbangun solid secara internal.
Namun demikian, kami telah melihat lebih banyak kemajuan di
Indonesia seiring dengan evolusi struktur tata kelola multilevel
respon perubahan iklim menuju kondisi yang ideal.

| 317
Penutup
Tata kelola multilevel jelas merupakan konteks di mana berbagai
kebijakan perubahan iklim beroperasi di Indonesia. Sejak
kemunculannya lebih dari dua setengah dekade yang lampau, tata
kelola perubahan iklim di Indonesia telah berkembang dan
mengalami transformasi. Lansekap tata kelola perubahan iklim
menjadi semakin kompleks. Seiring dengan berjalannya waktu,
semakin banyak program dan para aktor dan lembaga yang
berkecimpung dalam domain perubahan iklim. Desentralisasi dan
reformasi di Indonesia yang terjadi di akhir fase awal dan fase
peralihan, memungkinkan tata kelola multilevel berkembang. Tanpa
itu semua, partisipasi yang signifikan dari pemerintah kota akan
terhambat dan aktor non-pemerintah menghadapi halangan dalam
menjalin kolaborasi dengan pemerintah kota untuk program dan
respon perubahan iklim di tingkat lokal.

Struktur tata kelola multilevel di Indonesia yang mendorong integrasi


antar lapisan pemerintahan tampaknya telah menghasilkan lebih
banyak kebijakan dan program yang terkait dengan mitigasi
daripada kebijakan dan program yang terkait dengan adaptasi. Hal
ini mungkin disebabkan oleh masalah waktu (tergantung pada
periode analisis), yang mengakibatkan kebijakan mitigasi
menjangkau para pelaku di tingkat nasional lebih awal daripada
adaptasi, memberi mereka waktu yang lebih lama untuk
menempatkan struktur tata kelola untuk mitigasi. Selain itu,
struktur kelembagaan untuk mitigasi yang diprakarsai oleh para
pelaku di tingkat nasional cenderung memiliki legitimasi dan
pengaruh yang lebih besar. Akibatnya, lebih mudah bagi mereka
untuk membuat struktur seperti itu di tingkat sub-nasional. Justru
sebaliknya, struktur tata kelola adaptasi yang digagas oleh aktor
non-pemerintah dan jaringannya di tingkat lokal sulit bersarang
secara vertikal karena alasan legitimasi.

318 | TATA KELOLA


Secara keseluruhan, dinamika adaptasi kebijakan perubahan iklim di
Indonesia dari segi program dan tindakan, menunjukkan intensitas
pengembangan kebijakan yang lebih besar di tingkat nasional dan
kota dari pada di tingkat provinsi. Temuan ini menunjukkan bahwa
peran pemerintah provinsi dalam mendukung kebijakan perubahan
iklim belum dioptimalkan tetapi masih terdapat potensi besar bagi
mereka untuk memainkan peran lebih. Pemerintah provinsi perlu
menyumbangkan sumber daya untuk penelitian atau tindakan
adaptasi strategis skala regional, yang berada di luar jangkauan
kapasitas pelaku kota dan jejaringnya. Di samping itu, provinsi juga
perlu memfasilitasi proses pembelajaran antar-kota dalam
yurisdiksinya, sehingga penyebaran praktik baik di tingkat kota
dalam menanggapi perubahan iklim dapat terjadi dengan lebih cepat
dan efektif.

Daftar Pustaka
Alm, J., Aten, R.H. & Bahl, R. (2001), “Can Indonesia decentralise
successfully? Plans, problems and prospects”, Bulletin of
Indonesian Economic Studies, Vol. 37 No. 1, pp. 83–102.
Amundsen, H., Berglund, F. & Berglund, F. (2010), “Overcoming
barriers to climate change adaptation—A question of
multilevel governance?”, Environment and Planning C:
Politics and Space, Vol. 28 No. 2, pp. 276–289.
Betsill, M.M. & Bulkeley, H. (2006), “Cities and the multilevel
governance of global climate change”, Global Governance,
Vol. 12 No. 2, pp. 141–159.
Bevir, M. (2008), Key Concepts in Governance, Sage Publications,
London.
Bulkeley, H. (2010), “Cities and the governing of climate change”,
Annual Review of Environment and Resources, Vol. 35, pp.
229–253.
Corfee-Morlot, J., Cochran, I., Hallegatte, S. & Teasdale, P.-J. (2011),
“Multilevel risk governance and urban adaptation policy”,
Climatic Change, Vol. 104, pp. 169–197.
Crespy, C., Heraud, J.-A. & Perry, B. (2007), “Multi-level
governance, regions and science in France: Between
competition and equality”, Regional Studies, Vol. 41 No. 8,
pp. 1069–1084.

| 319
Daniell, K.A., Costa, M.A.M., Ferrand, N., Kingsborough, A.B.,
Coad, P. & Ribarova, I.S. (2011), “Aiding multi-level decision-
making processes for climate change mitigation and
adaptation”, Regional Environmental Change, Vol. 11, pp.
243–258.
Firman, T. (2002), “Urban development in Indonesia, 1990–2001:
from the boom to the early reform era through the crisis”,
Habitat International, Vol. 26 No. 2, pp. 229–249.
Firman, T. (2009), “Decentralization reform and local-government
proliferation in Indonesia: Towards a fragmentation of
regional development”, Review of Urban and Regional
Development Studies, Vol. 21 No. 2–3, pp. 143–157.
Fünfgeld, H. (2010), “Institutional challenges to climate risk
management in cities”, Current Opinion in Environmental
Sustainability, Vol. 2 No. 3, pp. 156–160.
Galarraga, I., Gonzalez‐Eguino, M. & Markandya, A. (2011), “The
role of regional governments in climate change policy”,
Environmental Policy and Governance, Vol. 21 No. 3, pp.
164–182.
Gremillion, T.M. (2011), “Setting the foundation: Climate change
adaptation at the local level”, Environmental Law, Vol. 41
No. 4, pp. 1221–1254.
Gruning, C., Menzel, C., Shuford, L.S. & O’Brien, V.S. (2012),
National Climate Finance Institutions Case Study: The
Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF).
Hooghe, L. & Marks, G. (2003), “Unraveling the central state, but
how? types of multi-level governance”, American Political
Science Review, Vol. 97 No. 2, pp. 233–243.
IPCC. (2014), 5th Assessment Report of Working Group II
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), No.
Chapter 17.
ISET. (2010), “The shared learning dialogue: building stakeholder
capacity and engagement for resilience action”, Boulder,
Colorado.
Kern, K. & Bulkeley, H. (2009), “Cities, Europeanization and multi‐
level governance: Governing climate change through
transnational municipal networks”, Journal of Common
Market Studies, Vol. 47 No. 2, pp. 309–332.
Lee, T. & van de Meene, S. (2012), “Who teaches and who learns?
Policy learning through the C40 cities climate network”,
Policy Sciences, Vol. 45, pp. 199–220.
Monni, S. & Raes, F. (2008), “Multilevel climate policy: the case of
the European Union, Finland and Helsinki”, Environmental
Science & Policy, Vol. 11 No. 8, pp. 743–755.

320 | TATA KELOLA


Moser, S.C. & Ekstrom, J.A. (2010), “A framework to diagnose
barriers to climate change adaptation”, Proceedings of the
National Academy of Sciences of the United States of
America, Vol. 107 No. 51, pp. 22026–22031.
Nombo, R.L. (2000), “Regional autonomy program in Indonesia:
what issues complicate its implementation?”, The Indonesian
Quarterly, Vol. 28 No. 3, pp. 285–294.
OECD. (2010a), Cities and Climate Change, OECD Publishing.
OECD. (2010b), “Multi-level governance: a conceptual framework”,
Cities and Climate Change, OECD Publishing, pp. 171–178.
Peluso, N.L. (2007), “Violence, decentralization, and resource access
in Indonesia”, Peace Review, Vol. 19 No. 1, pp. 23–32.
Rockefeller Foundation. (2009), “Cities and resilience”, tersedia di
www.rockfound.org/initiatives/climate/Resilience_Dialogu
e/agenda.shtml.
Sabatier, P.A. (1999), “The need for better theories”, in Sabatier, P.A.
(Ed.), Theories of the Policy Process: Theoretical Lenses on
Public Policy, Westview Press, Boulder, pp. 3–17.
Satterthwaite, D. & Dodman, D. (2013), “Editorial: towards
resilience and transformation for cities within a finite planet”,
Environment and Urbanization, Vol. 25 No. 2, pp. 291–298.
Satterthwaite, D., Huq, S., Pelling, M., Reid, H. & Lankao, P.R.
(2009), “Adapting to climate change in urban areas: the
possibilities and constraints’ in low- and middle-income
nations”, IIED, London.
Schreurs, M.A. (2008), “From the bottom up: local and subnational
climate change politics”, The Journal of Environment &
Development, Vol. 17 No. 4, pp. 343–355.
Setiadi, R. (2017), The Emergence of Local Climate Change
Adaptation Policy: An Advocacy Coalition in Indonesian
Cities 1993-2013, Griffith University, tersedia di
https://doi.org/10.25904/1912/2512.
Smith, J.B., Vogel, J.M. & Cromwell III, J.E. (2009), “An architecture
for government action on adaptation to climate change: An
editorial comment”, Climatic Change, Vol. 95 No. 1–2, pp.
53–61.
UN-Habitat. (2011), Global Report on Human Settlements 2011:
Cities and Climate Change-Policy Directions, Earthscan,
London.
Urwin, K. & Jordan, A. (2008), “Does public policy support or
undermine climate change adaptation? Exploring policy
interplay across different scales of governance”, Global
Environmental Change, Vol. 18 No. 1, pp. 180–191.

| 321
322 | TATA KELOLA
BAB 15
ADVOKASI KEBIJAKAN PERENCANAAN KOTA YANG
BERORIENTASI KETAHANAN IKLIM
M. LUTHFI EKO NUGROHO

Pendahuluan
Setiap daerah pasti mempunyai tujuan untuk memastikan
penduduknya dapat hidup sejahtera. Sesuai yang diamanatkan
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 pemerintah harus hadir untuk memastikan
kemajuan kesejahteraan umum. Dalam rangka memastikan
kesejahteraan masyarakat, maka dilakukanlah sebuah proses
pembangunan. Tjokroamidjojo (1971) menyatakan bahwa
pembangunan merupakan suatu proses perubahan sosial berencana,
karena meliputi berbagai dimensi untuk mengusahakan kemajuan
dalam kesejahteraan ekonomi, modernisasi, pembangunan bangsa,
wawasan lingkungan dan bahkan peningkatan kualitas manusia
untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Sedangkan Kartasasmita
(1997) menyatakan bahwa pembangunan itu dilakukan sebagai
upaya untuk mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik
melalui upaya yang dilakukan secara terencana.

Setiap proses pembangunan dilakukan dengan hati-hati dan penuh


pertimbangan, serta melibatkan pemangku kepentingan seluas-
luasnya. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 25 tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional,
perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa
depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan
sumber daya yang tersedia, sedangkan pembangunan nasional
adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa

| 323
dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Perlu digarisbawahi di
sini kalimat “memperhitungkan sumber daya yang tersedia”, yang
mengandung makna bahwa seluruh potensi dan permasalahan
dalam sebuah daerah harus dipertimbangkan ketika akan
melakukan perencanaan pembangunan.

Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2020 tentang Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024
menyebutkan bahwa salah satu misi pembangunan adalah
“Mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan”, yang dicapai melalui
salah satu dari 7 (tujuh) agenda pembangunan, yaitu “Membangun
lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana, dan perubahan
iklim”. Setiap daerah kabupaten/ kota di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia didorong untuk dapat harus menerjemahkan
agenda pembangunan nasional tersebut, masuk dalam kebijakan di
daerah.

Sumber : PP no. 18 Tahun 2020, Lampiran I Narasi RPJMN 2020-2024


Gambar 1. Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2020-2024

324 | TATA KELOLA


Perubahan iklim sudah menjadi isu global dalam beberapa tahun
terakhir ini. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau
Sustainable Development Goals (SDGs) meletakkan aksi mengurangi
dampak perubahan iklim pada tujuan ke 13 yang harus dicapai pada
tahun 2030. Kondisi idealnya adalah jika sudah menjadi arah
kebijakan pemerintah pusat, maka pemerintah daerah harus juga
ikut untuk menjadikan aksi perubahan iklim ini sebagai prioritas
pembangunan daerah. Namun di sisi lain, pemerintah daerah
memiliki banyak keterbatasan sumber daya baik sumber daya fiskal,
sumber daya pengetahuan maupun sumber daya manusia.
Sementara semua sektor “berlomba-lomba” untuk menjadikan
sektornya sebagai prioritas dalam pembangunan.

Sebagai contoh, sudah ada perintah Undang-Undang untuk


mengalokasikan anggaran sebesar 20% pada sektor pendidikan dan
10% pada sektor Kesehatan. Ditambah lagi dengan tuntutan agar
daerah memprioritaskan pembangunan yang ramah lingkungan,
ramah gender dan perempuan, ramah lansia, ramah anak, ramah
difabel, kemiskinan, mitigasi bencana, dan masih banyak yang
lainnya. Dengan berbagai keterbatasan, sangat berat (tidak realistis)
jika pemerintah Daerah dituntut untuk menjadikan semua
“prioritas” yang sangat banyak tersebu menjadi agenda prioritas
pembangunan daerah. Diperlukan sebuah strategi yang harus
diterapkan oleh sektor yang diamanatkan kepada pemerintah
daerah untuk dilaksanakan, salah satunya adalah prioritas aksi
perubahan iklim yang harus masuk menjadi salah satu agenda
pembangunan daerah.

Tantangan Perumusan Kebijakan Aksi Perubahan Iklim


Kebijakan pemerintah daerah dirumuskan berdasarkan empat
pendekatan, yaitu teknokratis, bottom-up/top-down, politis, dan
partisipatif. Namun pendekatan politis cenderung menjadi lebih
dominan dibandingkan dengan tiga pendekatan lainnya. Kebijakan

| 325
tidak bisa terlepas dari peran pengambil kebijakan di daerah, yang
dalam hal ini adalah kepala daerah, yang dihasilkan dari proses
politik dan memiliki masa waktu selama lima tahun untuk setiap
periode kepemimpinan. Imbasnya kebijakan yang dirumuskan
secara hitung-hitungan harus mampu menimbulkan dampak politis
yang baik bagi kepala daerah. Sementara kebijakan yang
dilaksanakan oleh pemerintah daerah harus mempertimbangkan
sumber daya yang dimiliki, sehingga harus disusun secara cermat
prioritas mana yang harus diutamakan terlebih dahulu.

US Climate Change Science Program di tahun 2009 menjelaskan bahwa


perubahan iklim mengandung unsur ketidakpastian yang tinggi,
sehingga walaupun aksi perubahan iklim diamanatkan oleh
pemerintah pusat untuk menjadi salah satu prioritas pembangunan
daerah, namun seringkali dianggap sebagai tambahan beban
pemerintah daerah yang secara khusus harus dialokasikan sumber
daya secara khusus juga. Kondisi ini menjadikan aksi perubahan
iklim sebagai prioritas pembangunan dalam dinamika yang berbeda-
beda di level pemerintah daerah. Di level pejabat pemerintah daerah
yang bertanggung jawab secara teknokratis semua aksi perubahan
iklim telah ditapis dan dilakukan telaah untuk kemudian disodorkan
ke pengambil kebijakan untuk diputuskan apakah akan dijadikan
prioritas pembangunan atau tidak.

Laporan US Climate Change Science Program tersebut menyampaikan


bahwa sangat penting untuk menunjukkan level urgensi dari aksi
perubahan iklim di tingkat teknokratis agar bisa “lolos” di level
politis dengan cara mengkuantifikasikan aspek ketidakpastian
dalam perubahan iklim. Biasanya kebijakan pembangunan daerah
diprioritaskan untuk meningkatkan indikator-indikator peningkatan
pelayanan dasar dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu respon
terhadap ketidakpastian isu perubahan iklim dan pemanasan global
adalah pemerintah “dipaksa” untuk mengambil keputusan
dengan dukungan informasi yang tidak lengkap, dan tidak ada

326 | TATA KELOLA


informasi risiko kebijakan yang diambil akan berpotensi berdampak
jangka panjang. Pemerintah mungkin memilih untuk
menggunakan manajemen risiko sebagai bagian dari respon
kebijakan terhadap pemanasan global. Misalnya, pendekatan
berbasis risiko dapat diterapkan pada dampak iklim yang sulit
dihitung secara ekonomi, antara lain, dampak pemanasan global
terhadap masyarakat miskin, atau terhadap angka pengangguran.

Para ahli di dunia telah sepakat memutuskan bahwa aksi perubahan


iklim adalah salah satu hal yang didorong untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan, seperti yang tertuang dalam
Sustainable Development Goals (SDGs) tujuan ke 13 Penanganan
Perubahan Iklim . Pembangunan berkelanjutan mempertimbangkan
bagaimana generasi mendatang dapat dipengaruhi oleh tindakan
generasi saat ini. Di beberapa daerah, kebijakan yang dirancang
untuk aksi perubahan iklim dapat memberikan kontribusi positif
terhadap tujuan pembangunan lainnya, misalnya menghapus
subsidi bahan bakar fosil akan mengurangi polusi udara dan
menyelamatkan nyawa.

Integrasi Aksi Perubahan Iklim


Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa kebijakan dalam
pembangunan daerah harus berpedoman kepada dokumen
perencanaan pembangunan, mulai dari Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD), Rencana Strategis (Renstra) Organisasi Perangkat Daerah
(OPD), beserta seluruh produk dokumen perencanaan turunannya.
Jika ingin mengintegrasikan suatu aspek untuk bisa menjadi
kebijakan pemerintah daerah, maka mau tidak mau aspek tersebut
harus masuk menjadi bagian dari dokumen perencanaan daerah.
Semua dokumen teknis yang telah disusun, termasuk dokumen-

| 327
dokumen teknis pendukung aksi perubahan iklim, jika ingin
dirumuskan menjadi kebijakan pemerintah daerah harus
diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan, dan
harus selaras dengan prioritas kebijakan pemerintah.

Davidson (1996) menyatakan bahwa sebuah produk perencanaan


yang menjadi dokumen legal formal pemerintah dapat memberikan
pengaruh kepada kebijakan pembangunan. Tingkat yang paling
rendah adalah hanya berpengaruh untuk sekedar menjadi inspirasi
kebijakan pembangunan, diikuti dengan tingkat selanjutnya sebagai
sebuah komitmen, kemudian sebagai pedoman (guidance), dan
tingkat tertinggi adalah menjadi kontrol bagi sebuah kebijakan
pembangunan. Jika dapat dianalogikan proses integrasi aksi
perubahan iklim pada tingkat yang paling rendah adalah hanya
sekedar menjadi inspirasi personal atau aparatur pemerintah sebagai
sumber daya perumus kebijakan pembangunan, namun harapannya
adalah bisa menjadi sebuah kontrol kebijakan. Jika demikian
situasinya, maka integrasi aksi perubahan iklim dapat diintegrasikan
sesuai dengan tingkat kepentingan target integrasi tersebut nantinya
dapat berperan sebagai apa dalam kebijakan pembangunan.

Sumber: Davidson, 1996


Gambar 2. Pengaruh Perencanaan dalam Kebijakan Pembangunan

328 | TATA KELOLA


Integrasi Aksi Perubahan Iklim ke dalam Dokumen Perencanaan
Pembangunan Kota Semarang
Integrasi aksi perubahan iklim ke dalam dokumen perencanaan
pembangunan Kota Semarang dilakukan melalui proses
penerjemahan misi, dan program prioritas walikota yang tertuang
dalam RPJMD Kota Semarang tahun 2016-2021, menjadi aksi-aksi
perubahan iklim yang harus dilaksanakan sesuai dengan amanat
RPJMD, dan otomatis jika aksi-aksi perubahan iklim tersebut
dilaksanakan, maka indikator-indikator dalam RPJMD akan bisa
terpenuhi. Jika kita lihat misi Kota Semarang sesuai dengan RPJMD
yang juga dilengkapi dengan tagline untuk setiap misi dapat
dirumuskan aksi perubahan iklim yang mendukung pencapaian
masing-masing misi sebagai berikut:

1. Mewujudkan kehidupan masyarakat yang berbudaya dan


berkualitas (Semarang Sehat dan Cerdas). Misi ini lebih
menekankan kepada peningkatan kualitas sumber daya
manusia melalui program-program di sektor pendidikan dan
kesehatan. Maka setiap aksi perubahan iklim yang dilakukan
jika berkaitan dengan pendidikan dan kesehatan juga akan
mendukung pencapaian misi ini. Contoh aksinya:
a) Penanganan penyakit menular berbasis vektor (demam
berdarah dan leptospirosis)

b) Peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan

c) Pelayanan kesehatan masyarakat miskin dan rentan

d) Kurikulum muatan lokal dengan materi perubahan iklim


dan pengurangan resiko bencana

2. Mewujudkan pemerintahan yang semakin handal untuk


meningkatkan pelayanan publik (Semarang Melayani). Misi
ini lebih menekankan pada upaya untuk meningkatkan kualitas
dan cakupan pelayanan publik. Maka setiap aksi perubahan
iklim yang dilakukan jika berkaitan dengan pelayanan publik
juga akan mendukung pencapaian misi ini. Contoh aksinya:

| 329
a) Digitalisasi pelayanan publik, untuk mempermudah akses
pelayanan kepada masyarakat

b) Sistem peringatan dini bencana berbasis masyarakat

c) Penyusunan rencana kontingensi bencana berbasis


masyarakat

d) Informasi iklim berkala kepada masyarakat

3. Mewujudkan kota metropolitan yang dinamis dan


berwawasan lingkungan (Semarang Tangguh). Misi ini lebih
menekankan kepada usaha pemenuhan kebutuhan
infrastruktur dan aspek peningkatan kualitas lingkungan
hidup. Misi ini adalah misi yang berkaitan langsung dengan
aksi perubahan iklim, jika dibandingkan dengan misi-misi yang
lainnya. Setiap aksi perubahan iklim yang dilakukan jika
berkaitan dengan pemenuhan infrastruktur dan peningkatan
kualitas lingkungan hidup akan mendukung pencapaian misi
ini. Contoh aksinya:
a) Pengembangan energi baru dan terbarukan untuk sektor
transportasi publik

b) Pengembangan bangunan gedung hijau (green building)

c) Penanganan banjir di wilayah hulu dengan pemanenan air


hujan skala individu maupun komunal

d) Perbaikan kualitas lingkungan permukiman kumuh

e) Pengembangan ruang terbuka hijau

f) Sistem pengelolaan limbah domestik terpusat

g) Revitalisasi jalur pejalan kaki kota

4. Memperkuat ekonomi kerakyatan berbasis keunggulan lokal


dan membangun iklim usaha yang kondusif (Semarang
Berdaya Saing). Misi ini lebih menekankan kepada usaha
meningkatkan daya saing ekonomi Kota Semarang. Maka setiap
aksi perubahan iklim yang dilakukan jika berkaitan dengan

330 | TATA KELOLA


usaha peningkatan daya saing akan mendukung pencapaian
misi ini. Contoh aksinya:
a) Pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin dan rentan

b) Program asuransi bencana akibat perubahan iklim

c) Fasilitasi promosi, pemasaran dan jejaring UMKM

d) Pengembangan kampung tematik produktif dan


berwawasan lingkungan

e) Peningkatan akses UMKM terhadap lembaga keuangan

Sumber : Perubahan RPJMD Kota Semarang Tahun 2016-2021


Gambar 3. Visi dan Misi Kota Semarang Tahun 2016-2021

Kegiatan-kegiatan tersebut di atas termasuk dalam usaha


peningkatan kapasitas kota untuk menghadapi dampak perubahan
iklim, baik mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim. Sedapat
mungkin, agar aksi perubahan iklim yang dilakukan dapat selaras
dengan usaha pencapaian visi dan misi kota serta tertuang menjadi
kebijakan dalam dokumen rencana pembangunan kota. Untuk
penyelarasan dengan program-program prioritas kota, maka aksi
perubahan iklim yang dilakukan perlu dirumuskan agar
mendukung pencapaian indikator-indikator dalam program
prioritas.

| 331
Sumber: Perubahan RPJMD Kota Semarang Tahun 2016-2021
Gambar 4. Kerangka Logis Pencapaian Visi

Seperti pada RPJMD Kota Semarang tahun 2016-2021, Walikota


Semarang memiliki 10 program prioritas, yaitu:

1. Peningkatan laju pertumbuhan ekonomi

2. Peningkatan kontribusi sektor perdagangan dan jasa


terhadap PDRB

3. Peningkatan kontribusi sektor industri pengolahan terhadap


PDRB

4. Peningkatan nilai investasi

5. Pengurangan luas kawasan banjir dan rob

6. Peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM)

7. Peningkatan indeks pembangunan gender

8. Penurunan angka kemiskinan

9. Penurunan tingkat pengangguran terbuka

10. Peningkatan indeks reformasi birokrasi

Aksi perubahan iklim yang dilakukan sebisa mungkin dilakukan


dengan justifikasi dalam rangka pencapaian indikator program

332 | TATA KELOLA


prioritas kota. Semakin banyak program prioritas yang disasar, maka
semakin tinggi tingkat kepentingan dari implementasi aksi
perubahan iklim, serta akan meningkatkan dukungan dari walikota
beserta seluruh OPD terkait.

Sumber: Pemerintah Kota Semarang, 2010


Gambar 5. Dampak Langsung dan Tidak Langsung Perubahan Iklim

Contoh aksi perubahan iklim yang potensial menyasar lebih dari


satu program prioritas adalah pengurangan risiko bencana berbasis
masyarakat yang bisa menyasar program pengurangan luas
kawasan banjir dan rob sekaligus peningkatan indeks pembangunan
gender. Atau pengembangan ruang terbuka hijau kawasan
perkotaan yang menyasar pengurangan luas kawasan banjir dan rob
sekaligus peningkatan nilai investasi, peningkatan kontribusi sektor
perdagangan dan jasa, peningkatan IPM, penurunan angka
kemiskinan, penurunan tingkat pengangguran terbuka, serta
peningkatan laju pertumbuhan ekonomi.

| 333
Integrasi Rencana Aksi Daerah Mitigasi dan Adaptasi Perubahan
Iklim di Kota Semarang
Pemerintah Kota Semarang telah melakukan inisiasi untuk
menyusun strategi ketahanan kota dalam menghadapi perubahan
iklim, baik dari sisi mitigasi maupun adaptasi. Pertama kali yang
disusun pada tahun 2011 adalah strategi ketahanan kota untuk
adaptasi difasilitasi oleh program Asian Cities Climate Change
Resilience Network (ACCCRN), dan tahun 2013 menyusun strategi
ketahanan kota untuk mitigasi perubahan iklim yang difasilitasi oleh
GIZ. Kedua dokumen tersebut disempurnakan pada tahun 2016
dengan disusunnya dokumen strategi ketahanan kota yang
mencakup seluruh aspek perkotaan, mulai dari infrastruktur,
lingkungan hidup, ekonomi, sosial-budaya, dan tata kelola, yang
difasilitasi oleh Program 100 Resilient Cities dari The Rockefeller
Foundation. Tahun 2018 dilakukan penyempurnaan Rencana Aksi
Daerah Mitigasi Perubahan Iklim yang dilanjutkan dengan
penyempurnaan Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim di
tahun 2019.

Dokumen-dokumen yang telah disusun tersebut menjadi bahan


yang dipertimbangkan dalam penyusunan rencana pembangunan
Kota Semarang. Momentumnya adalah pada saat penyusunan
RPJMD Kota Semarang mulai dari periode 2010-2015, 2016-2021, dan
RPJMD mendatang dengan periode 2021-2026. Integrasi dokumen
aksi perubahan iklim pun tidak bisa langsung sempurna menjadi
level tertinggi yang menjadi sebuah control bagi pemerintah, namun
bertahap mulai dari inspirasi di tingkat individu pada RPJMD
periode 2010-2015, menjadi sebuah peroman bagi organisasi pada
RPJMD periode 2021-2026. Integrasi aksi perubahan iklim pada
RPJMD 2010-2015 baru sebatas menjadi inspirasi individu yang
terlibat dalam penyusunan RPJMD, sehingga baru bisa menuangkan
aksi perubahan iklim sebatas bagian kecil dalam dokumen RPJMD
dan hanya sebatas tertulis dalam dokumen, belum jadi sebuah

334 | TATA KELOLA


arahan kebijakan yang dapat diacu serta dilaksanakan oleh OPD di
lingkungan Pemerintah Kota Semarang.

Sumber: Rancangan Teknokratik RPJMD Kota Semarang Tahun 2021-2025


Gambar 6. RAD Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim dalam Rencana
Teknokratik RPJMD Kota Semarang Tahun 2021-2025

Proses integrasi aksi perubahan iklim menjadi meningkat dalam


RPJMD 2016-2021 yang kemudian disempurnakan dalam Perubahan
RPJMD 2016-2021. Pengetahuan mengenai aksi perubahan iklim
meningkat menjadi lebih luas sebagai komitmen kelompok di
Bappeda Kota Semarang yang bertanggung jawab dalam
penyusunan RPJMD. Sehingga aksi perubahan iklim yang
diintegrasikan dalam dokumen RPJMD bisa diterjemahkan menjadi
bagian dari tujuan, sasaran, arah kebijakan dan program di dalam
RPJMD. Pada periode berikutnya, dokumen aksi perubahan iklim
sudah sepenuhnya diintegrasikan ke dalam RPJMD. Integrasi aksi
perubahan iklim dapat dilihat dalam dokumen Rencana Teknokratik
RPJMD Kota Semarang Tahun 2021-2025 yang digambarkan dalam
skema pada Gambar 6.

| 335
Rencana teknokratik tersebut nantinya akan dilanjutkan menjadi
Rancangan Awal RPJMD Kota Semarang Tahun 2021-2026, posisinya
adalah menjadi bagian dari bab 1 sampai dengan bab 5 dari dokumen
RPJMD. Jika aksi perubahan iklim sudah menjadi bagian di
rancangan teknokratik, maka pada dokumen rancangan awal sampai
dengan rancangan akhir RPJMD juga sudah pasti
mempertimbangkan dan terintegrasi dengan aksi perubahan iklim
sampai kepada program-program yang nantinya akan dirumuskan
pada bagian akhir RPJMD. Jika sudah tertuang menjadi sebuah
program-program di RPJMD, maka di tingkat OPD dalam proses
penyusunan rencana strategis OPD, selama lima tahun sesuai
dengan periode RPJMD, juga akan “terinfeksi” dengan aksi-aksi
perubahan iklim, dan akan terus mengalir sampai dengan rencana
tahunan di Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan rencana
kerja OPD yang disusun setiap tahun, serta menjadi pedoman dalam
penyusunan Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran
Sementara (KUA PPAS) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) setiap tahunnya.

Kesimpulan
Aksi perubahan iklim yang dilakukan sebisa mungkin dijabarkan
seluruh dampaknya baik yang didapatkan secara langsung maupun
tidak langsung. Semakin besar dampak yang ditimbulkan, akan
semakin mudah diintegrasikan dengan kebijakan pembangunan
kota. Langkah yang paling strategis adalah dengan
mengintegrasikan perubahan iklim ke dalam setiap program
pembangunan, melalui integrasi ke dokumen perencanaan
pembangunan kota beserta seluruh turunannya. Hal tersebut
dilakukan secara paralel dengan peningkatan pengetahuan
(knowledge) dari sumber daya manusia yang ada di pemerintah
daerah mengenai semua hal yang berkaitan dengan isu perubahan
iklim.

336 | TATA KELOLA


Jika ketersediaan sumber daya finansial maupun SDM di daerah
terbatas, baik finansial maupun sumber daya manusia, integrasi ke
dokumen rencana pembangunan daerah akan lebih efektif jika
dilaksanakan terlebih dahulu untuk memastikan komitmen
pemerintah daerah. Karena jika sudah diamanatkan oleh dokumen
perencanaan pembangunan, maka seluruh OPD harus
melaksanakannya, baik secara “sadar” maupun “tidak sadar”, tanpa
menunggu untuk memiliki pemahaman yang cukup baik mengenai
perubahan iklim itu sendiri.

Dapat disimpulkan bahwa kunci dari integrasi aksi perubahan iklim


ke dalam program dan kegiatan pemerintah akan lebih efektif jika
mulai diintegrasikan pada saat proses awal penyusunan dokumen
perencanaan pembangunan, baik itu RPJPD maupun RPJMD sampai
RKPD dan Renstra, sehingga akan lebih mudah untuk diterjemahkan
menjadi kegiatan-kegiatan yang dituangkan dalam APBD dan
dilaksanakan oleh seluruh OPD setiap tahunnya. Semua usaha
integrasi kebijakan tersebut juga perlu untuk dibarengi/
diselaraskan dengan kebijakan pemerintah yang ada di atasnya
(provinsi maupun pusat) yang mengamanatkan pemerintah daerah
agar melaksanakan aksi-aksi perubahan iklim dengan tujuan akhir
untuk melindungi serta meningkatkan kesejahteraan seluruh
masyarakat.

Daftar Pustaka
Davidson, F. (1996), Planning for Performance: Requirements for
Sustainable Development. Habitat International Vol. 20 No. 3.
Pp. 445-462.
Kartasasmita, G. (1997), Administrasi Pembangunan:
Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di
Indonesia. LP3ES. Jakarta.
Pemerintah Kota Semarang. (2010), Kajian Kerentanan Terhadap
Perubahan Iklim Kota Semarang, diambil dari
https://bappeda.semarangkota.go.id/packages/upload/kcfi
nder/upload/files/3.%20SEMARANG%20%20KAJIAN%20K

| 337
ERENTANAN%20-
%20VULNERABILITY%20ASSESSMENT%20%5BIndonesian
%5D.pdf
Pemerintah Kota Semarang. (2016), Strategi Ketahanan Kota:
Semarang Tangguh. Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 6 Tahun 2010 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota
Semarang Tahun 2005-2025. Pemerintah Kota Semarang.
Indonesia.
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 6 Tahun 2016 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Kota Semarang Tahun 2016-2021 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 11 Tahun
2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota
Semarang Nomor 6 Tahun 2016 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota
Semarang Tahun 2016-2021
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).
Jakarta.
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-
2024, Lampiran I Narasi RPJMN 2020-2024. Jakarta.
Rancangan Teknokratik RPJMD Kota Semarang Tahun 2021-2025.
Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.
Rencana Aksi Daerah Mitigasi Perubahan Iklim Kota Semarang
Tahun 2018. Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.
Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim Kota Semarang
Tahun 2019. Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.
Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API)
Tahun 2014. Pemerintah Kota Semarang. Indonesia.
Tjokroamidjojo, B. (1971), Administrasi Pembangunan. Departemen
Dalam Negeri RI. Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah
U.S. Climate Change Science Program. (2009), Synthesis and
Assessment Product 5.2: Best Practice Approaches for
Characterizing, Communicating, and Incorporating Scientific
Uncertainty in Climate Decision Making, diambil dari
https://www.globalchange.gov/sites/globalchange/files/sa
p5-2-final-report-all.pdf

338 | TATA KELOLA


BAB 16
TANTANGAN PRAKTIS PERENCANAAN KOTA YANG
MEMILIKI KETAHANAN IKLIM
AGUNG PANGARSO

Pendahuluan
Buku berjudul “Ketahanan Iklim Perkotaan: Konsep, Praktik,
Instrumen, dan Tata Kelola” ini mengelaborasi konsep, praktek, dan
instrumen yang dapat digunakan untuk mendorong perencanaan
dan pembangunan perkotaan yang lebih mengakomodir isu-isu
perubahan iklim. Bagian pertama buku ini membahas tentang
konsep kota yang memiliki ketahanan iklim seperti konsep
ketahanan, dikursus, dan relevansinya dalam perspektif perubahan
iklim. Diuraikan pula konsep co-benefits dalam mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim serta konsep low carbon city yang mulai
diperkenalkan agar kota-kota dapat menginventarisasi emisi Gas
Rumah Kaca (GRK), memproyeksikan emisi dan mengambil
kebijakan pembangunan yang dapat mengurangi emisi GRK yang
dihasilkan.

Bagian kedua buku ini membahas beberapa inisiatif penanganan isu


perubahan iklim dengan mengelaborasi praktik-praktik dan
pembelajaran dalam merencanakan kota yang sensitif terhadapa isu-
isu perubahan iklim. Beberapa inisiatif dilakukan bersama oleh
akademisi dan praktisi sebagai bentuk dukungan terhadap proses
formulasi dan eksekusi kebijakan terkait ketahanan kota dan
perubahan iklim, meskipun masih menghadapi tantangan yang
besar. Sebagian inisiatif yang dijelaskan dalam buku ini
dilaksanakan di Kota Semarang, seiring dengan komitmen kota ini

| 341
dalam berbagai inisiatif global terkait perubahan iklim dan
ketahanan kota.

Bagian ketiga buku ini membahas beberapa pilihan instrumen yang


dapat digunakan dalam upaya merencanakan kota yang tahan iklim,
yaitu instrumen pengukuran indeks ketahanan kota, perhitungan
emisi GRK, dan planning charrettes untuk proses perencanaan kota
yang lebih partisipastif. Berbagai instrumen perencanaan ini dapat
menambah pilihan bagi para perencana dan pengambil kebijakan
untuk mengolah data dan informasi serta melakukan analisis yang
tepat dalam perumusan kebijakan pembangunan kota yang tahan
perubahan iklim. Sementara pada bagian keempat buku ini
membahas aspek tata kelola dalam penanganan perubahan iklim,
dengan menguraikan konsep dan urgensi multilevel governance dalam
penanganan isu perubahan iklim, dan praktek advokasi kebijakan
perubahan iklim yang dilakukan oleh Kota Semarang.

Konsep kota yang tahan perubahan iklim perlu dibangun untuk


menjawab isu perubahan iklim di tingkat global dan kecenderungan
fenomena ini berakibat pada meningkatnya kejadian bencana.
Perubahan iklim telah memicu risiko bencana hidrometereologi dan
sekitar 80% bencana di Indonesia merupakan bencana
hidrometeorologi. Contoh bencana hidrometeorologi adalah banjir,
tanah longsor, kekeringan, angin puting beliung, kenaikan muka air
laut (rob) dan abrasi. Bencana hidrometeorologi yang paling banyak
terjadi di Indonesia adalah bencana banjir. Ditinjau dari tingkat
risiko terhadap bencana, wilayah perkotaan lebih berisiko daripada
wilayah perdesaan, demikian juga wilayah pesisir juga lebih berisiko
daripada wilayah pedalaman. Wilayah perkotaan identik dengan
konsentrasi penduduk yang tinggi menjadikan wilayah ini memiliki
nilai ekonomi strategis sehingga menjadi lebih rentan terhadap
berbagai gangguan iklim. Sementara pada wilayah pesisir potensial
terjadi ancaman multi bahaya (multi-hazards) karena karakteristik
wilayahnya misalnya rawan terjadi banjir, rob dan abrasi. Dengan

342 | PENUTUP
demikian wilayah perkotaan pesisir perlu menjadi fokus atau
perhatian terkait isu perubahan iklim, termasuk menyiapkan
kebijakannya yang mengarah pada perwujudan kota yang tahan
perubahan iklim.

Urbanisasi yang pesat di Indonesia menambah tingkat risiko wilayah


perkotaan secara signifikan potensial terdampak bencana akibat
perubahan iklim. Kepadatan penduduk dan kawasan terbangun
yang tinggi, serta besarnya jumlah penduduk rentan seperti anak-
anak, lanjut usia, penduduk miskin, dan kelompok marginal pada
wilayah perkotaan berisiko tinggi mengalami dampak bencana
tersebut. Fenomena urbanisasi dan kepentingan ekonomi berkaitan
erat dengan perubahan penggunaan lahan dan tekanan pemanfaatan
sumberdaya alam (SDA) memperparah terjadinya bencana.
Disamping suatu wilayah mempunyai potensi ancaman bencana
karena karakteristik geologi misalnya wilayah rawan gempa,
tsunami, gerakan tanah, erupsi gunung api, atau dataran banjir,
ketidaksesuaian penggunaan lahan dan pemanfaatan SDA potensial
menimbulkan ancaman, misalnya pembangunan kawasan
terbangun pada daerah rawan bencana. Permasalahan tata kelola
SDA juga potensial menimbulkan bencana, misalnya alih fungsi
kawasan hutan di wilayah hulu dapat meningkatkan potensi banjir
di wilayah hilir. Contoh lain adalah ekploitasi air tanah berlebihan
dapat menyebabkan penurunan muka air tanah akibatnya dapat
meningkatkan ancaman banjir. Isu urbanisasi dan ekonomi
menambah semakin kompleks permasalahan terkait bencana akibat
perubahan iklim di wilayah perkotaan.

Strategi dalam mengelola dan mengurangi risiko perubahan iklim


dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu (1) adaptasi perubahan
iklim, dan (2) mitigasi perubahan iklim. Adaptasi berusaha untuk
mengurangi risiko akibat dampak perubahan iklim, termasuk risiko
bencana akibat perubahan iklim. Sementara mitigasi berusaha untuk
mengurangi emisi GRK melalui berbagai pendekatan baik teknologi,

| 343
ekonomi, sosial dan kelembagaan (Intergovernmental Panel on
Climate Change, 2015). Jika adaptasi perubahan iklim cenderung
beririsan dengan upaya-upaya penaggulangan bencana atau
pengurangan risiko bencana sebagai dampak perubahan iklim,
mitigasi perubahan iklim identik upaya mengurangi emisi GRK.

Seiring dengan perkembangan diskursus adaptasi dan mitigasi


perubahan iklim, konsep ketahanan ditawarkan sebagai solusi
adaptasi transformatif dalam menghadapi berbagai gangguan
(bencana) akibat perubahan iklim dan memberikan perpektif baru
dalam mendorong pembangunan kota yang berkelanjutan.
Ketahanan kota atau city resilience adalah suatu kondisi di mana kota
sudah memiliki kapasitas yang cukup untuk menghadapi berbagai
gangguan yang dialaminya, salah satunya adalah gangguan
(bencana) akibat perubahan iklim. Pemahaman multidimensi atau
multisektor serta keterlibatan berbagai pemangku kepentingan
sangat diperlukan untuk mewujudkan ketahanan kota.

Kota yang Memiliki Ketahanan Iklim sebagai Bagian Agenda


Global Pembangunan Kota yang Berkelanjutan
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable
Development Goals (SDGs) disahkan pada tahun 2015 oleh PBB
menjadi Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan. Dengan
mengusung tema "Mengubah Dunia Kita: Agenda 2030 untuk
Pembangunan Berkelanjutan", SDGs yang berisi 17 Tujuan dan 169
Target merupakan rencana aksi global hingga 2030, guna mengakhiri
kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
SDGs berlaku bagi seluruh negara (universal), sehingga seluruh
negara tanpa kecuali negara maju memiliki kewajiban moral untuk
mencapai Tujuan dan Target SDGs. Konsep kota yang memiliki
ketahanan termuat dalam tujuan ke-11 yaitu membangun kota dan
permukiman yang inklusif, aman, tangguh dan berkelanjutan.
Sementara itu agenda terkait perubahan iklim termuat dalam tujuan

344 | PENUTUP
ke-13 yaitu membuat langkah segera untuk mengatasi perubahan
iklim dan dampaknya. Kedua tujuan di atas mempunyai keterkaitan
erat karena kota-kota dan kawasan permukiman mengalami
ancaman bencana terkait perubahan iklim, dalam hal ini bencana
hidrometeorologi yang kecenderungannya meningkat seiring waktu.

Agenda perkotaan baru atau new urban agenda (United Nations, 2017)
menjabarkan salah satu visi kota dan lingkungan binaan untuk
semua (a city for all), di mana semua orang dapat menikmati hak dan
kesempatan yang setara dalam semua bidang kehidupan. Salah satu
prinsip dalam agenda ini adalah menjamin keberlanjutan
lingkungan (environmental sustainability) melalui: (1)
mempromosikan energi bersih serta penggunaan lahan dan
sumberdaya dalam pengembangan kota; (2) melindungai ekosistem
dan keanekaragaman hayati termasuk menerapkan gaya hidup sehat
dan selaras dengan alam; (3) mempromosikan pola produksi dan
konsumsi berkelanjutan; dan (4) membangun kota yang memiliki
ketahanan melalui pengurangan risiko bencana serta mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim. Dalam prinsip tersebut membangun kota
yang memiliki ketahanan tidak dapat dipisahkan dengan upaya
menjamin keberlanjutan lingkungan di wilayah perkotaan.

Tantangan yang dihadapi kota-kota adalah ancaman akibat pola


produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan, hilangnya
keanekaragaman hayati, tekanan pada ekosistem, pencemaran,
bencana, dan risiko perubahan iklim. Kota-kota pada negara
berkembang termasuk Indonesia umumnya masih menghadapi
tantangan penduduknya yang rentan terhadap dampak yang
merugikan akibat perubahan iklim dan bencana seperti gempa,
kejadian cuaca ekstrim, banjir, penurunan tanah, angin topan,
kekeringan, pencemaran udara dan air, wabah penyakit dan
kenaikan permukaan laut. Kota-kota di wilayah pesisir menjadi salah
satu yang paling rentan dalam hal ini. Fenomena ancaman bencana
di kota-kota pesisir juga terjadi di Indonesia yang ditunjukkan

| 345
berbagai bencana seperti di Jakarta, Semarang, Pekalongan, dan
lainnya.

Agenda perkotaan baru mendorong kota-kota di dunia untuk


berkomitmen untuk menerapkan manajemen sumberdaya alam
yang berkelanjutan pada wilayah perkotaan dan lingkungan binaan.
Pengelolaan ini mencakup perlindungan dan perbaikan ekosistem
dan jasa lingkungan, mengurangi emisi GRK dan pencemaran, serta
mengurangi risiko bencana. Upaya yang bisa dilakukan antara lain
dengan mengkaji risiko bencana secara periodik dan menyusun
strategi Pengurangan Risiko Bencana (PRB), disamping mendorong
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan mewujudkan
permukiman yang layak huni bagi semua. Pembangunan yang
berwawasan lingkungan perlu dijabarkan dalam perencanaan ruang,
infrastruktur dan pemenuhan kebutuhan dasar.

Dalam konteks ini diperlukan komitmen untuk memperkuat


ketahanan kota atau kawasan permukiman termasuk dalam
pengembangan infrastruktur dan perencanaan spasial yang
berkualitas. Pengembangan infrastruktur dan ruang kota perlu
memperhatikan pendekatan ekosistem mengacu Kerangka Kerja
Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana Tahun 2015-2030 (Sendai
Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030). Kerangka kerja ini
mendorong pengarusutamaan secara holistik dan pengintegrasian
pengurangan risiko bencana pada setiap tingkatan dengan tujuan
mengurangi kerentanan dan risiko bencana. Kawasan rentan dapat
menjadi prioritas seperti kawasan permukiman padat dan kumuh di
perkotaan.

Agenda perkotaan baru juga mendorong kota-kota di dunia untuk


berubah dari paradigma reaktif menjadi proaktif dalam menghadapi
bencana. Kesadaran publik tentang risiko bencana perlu dibangun,
demikian pula analisis prediktif (ex-ante) dalam perencanaan ruang

346 | PENUTUP
dan infrastruktur perlu dilakukan. Kejadian bencana yang pernah
melanda suatu kota juga menjadi pelajaran berharga sehingga dapat
membangun kembali lebih baik (build back better) kota yang yang
memiliki ketahanan di masa mendatang.

Adaptasi Perubahan Iklim melalui Perencanaan Kota yang


Memiliki Ketahanan
Adaptasi perubahan iklim berusaha untuk meningkatkan ketahanan
(resilience) sehingga mengurangi risiko akibat dampak perubahan
iklim, termasuk risiko bencana akibat perubahan iklim
(Intergovernmental Panel on Climate Change, 2015). Resilience dalam
definisi Kerangka Kerja Sendai adalah kemampuan suatu sistem,
komunitas atau masyarakat terpapar bencana untuk menghadapi,
mengakomodasi, beradaptasi, berubah dan pulih dari dampak
secara tepat waktu dan efisien, termasuk melindungi dan
memulihkan struktur dan fungsi dasar esensial melalui manajemen
risiko (United Nations Office for Disaster Risk Reduction, 2017).

United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR)


mengidentifikasi 10 hal penting (essential) untuk mewujudkan kota
yangmemiliki ketahanan, yang dikembangkan sebagai bagian the
Hyogo Framework for Action tahun 2005, dan kemudian diperbaharui
untuk pelaksanaan the Sendai Framework for Disaster Risk Reduction:
2015-2030. 10 hal penting tersebut menjabarkan isu yang harus
diperhatikan kota-kota agar memiliki ketahanan terhadap bencana
(United Nations Office for Disaster Risk Reduction, 2017): Essentials
1-3 menyangkut kapasitas keuangan dan tata kelola (governance and
financial capacity), meliputi: (1) Pengorganisasion untuk memiliki
ketahanan; (2) Kajian risiko saat ini dan skenario risiko di masa
datang; (3) Memperkuat kapasitas finansial untuk memiliki
ketahanan. Essentials 4-8 menyangkut dimensi perencanaan dan
persiapan menghadapi bencana (dimensions of planning and disaster
preparation), meliputi: (4) Pengembangan kota dan rancang kota

| 347
memiliki ketahanan; (5) Safeguard lingkungan dengan perlindungan
jasa ekosistem; (6) Memperkuat kapasitas kelembagaan untuk
memiliki ketahanan; (7) Memperkuat kapasitas masyarakat untuk
memiliki ketahanan; (8) Meningkatkan ketahanan infrastruktur.
Sementara itu Essentials 9-10 menyangkut respon dan pemulihan
pasca bencana (disaster response itself and post-event recovery), meliputi:
(9) Memastikan respon bencana yang efektif; dan (10) Mempercepat
pemulihan dan membangun kembali lebih baik.

Dalam literatur yang lain, Sharifi & Yamagata (2014) menyampaikan


beberapa kriteria dalam kerangka perencanaan kota yang memiliki
ketahanan, yaitu: (1) infrastruktur; (2) keamanan; (3) lingkungan; (4)
ekonomi; (5) kelembagaan; dan (6) sosial dan kependudukan. Aspek
atau tema infrastruktur menjadi perhatian utama dalam
perencanaan kota yang memiliki ketahanan. Setidaknya ada tujuh
sub-tema dalam aspek infrastruktur ini, yaitu: (1) air, dalam hal ini
mencakup peresapan air, kanopi pepohonan, konsumsi dan
kebutuhan air, lanskap efisien air, perlindungan lahan basah,
monitoring kualitas dan kuantitas air, dan irigasi yang efektif; (2)
energi, dalam hal ini mencakup kebutuhan dan konsumsi energi,
jaringan yang feksibel, pemanfaatan energi terbarukan, efisiensi
pemanfaatan energi, dan monitoring energi; (3) konfigurasi
keruangan, lokasi dan transportasi, dalam hal ini mencakup
konektivitas jalan, jalur pedestrian, transportasi terintegrasi, kota
yang kompak, kepadatan bangunan, guna lahan campuran (mix-use),
dan menghindari dataran banjir; (4) infrastruktur hijau, mencakup
taman, konservasi hutan kota dan pengelolaan sampah; (5)
infrastruktur perlindungan pesisir mencakup tanggul, kanal dan
lainnya; (6) bangunan dan desain, mencakup tata letak dan orientasi
bangunan, ventilasi alami, perlindungan bangunan, dan building
codes; (7) teknologi dan informasi, mencakup pemanfaatan informasi,
informasi geospasial dan teknologi komunikasi, sistem kedaruratan,
inovasi, dan penyediaan data.

348 | PENUTUP
Sementara itu, aspek keamanan mencakup penyediaan ruang untuk
ruang perlindungan dan evakuasi, serta jalur evakuasi. Aspek
lingkungan atau ekosistem mencakup keanekaragaman hayati,
hidrologi, pelestarian kawasan lindung dan habitat, perlindungan
erosi. Aspek ekonomi mencakup pertanian di perkotaan, pendanaan
dan finansial, asuransi dan jaminan sosial, perpajakan, lapangan
kerja, dan pariwisata. Aspek kelembagaan meliputi perencanaan
(Peraturan Zonasi atau PZ, pertimbangan risiko dan kerentanan,
kawasan lindung, peta rawan bencana, perencanaan berbasis
skenario, perencanaan kolaboratif, memori kolektif, perencanaan
proaktif, tata guna lahan) dan tatakelola (carbon pricing, akuntabilitas,
otonomi daerah, kerjasama, trust, stabilitas politik, kepemimpinan,
dan transparansi). Sementara itu aspek sosial dan kependudukan
mencakup budaya, distribusi penduduk, kohesi sosial, tingkat
pendidikan, kemiskinan, tingkat pendapatan, penduduk lansia,
agama, dan kesehatan (Sharifi & Yamagata, 2014).

Memperhatikan beberapa aspek, essential atau kriteria untuk


mewujudkan kota yang memiliki ketahanan sebagaimana diuraikan
di atas, dalam konteks perencanaan kota terdapat setidaknya tujuh
aspek yang menjadi perhatian dalam perencanaan kota yang
memiliki ketahanan iklim yang bertujuan mengurangi risiko
bencana akibat perubahan iklim seperti diuraian di bawah ini.

1. Pengorganisasian untuk kota yang memiliki ketahanan.


Pengorganisian dimulai pada tahap awal perencanaan kota
yang memiliki ketahanan yang melibatkan multisektor,
multipihak atau multi-stakeholder. Proses perencanaan
diarahkan pada Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di suatu
kota. Keterpaduan (integrated) menjadi kata kunci dalam
perencanaan kota memiliki ketahanan. Keterpaduan dimulai
dari strategi, rencana hingga program terkait PRB. Rencana-
rencana kota yang ada harus saling terintegrasi, seperti rencana
tata ruang, rencana pembangunan kota, rencana infrastruktur,
rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana sektoral

| 349
lainnya. Partisipasi publik dan kerjasama dengan bebagai pihak
sangat penting dalam mendukung berbagai upaya PRB.

2. Kajian risiko bencana saat ini dan skenario risiko di masa


datang. Perencanaan berbasis skenario (scenario-based planning)
dan perencanaan yang proaktif (proactive planning) perlu
diterapkan pada suatu kota yang rawan terjadi bencana.
Analisis prediktif atau ex-ante dalam perencanaan ruang dan
infrastruktur perlu dilakukan, dalam hal ini prediksi risiko
bencana menjadi analisis yang sangat penting. Analisis ini
setidaknya meliputi analisis kerawanan, kerentanan dan risiko
bencana. Skenario risiko mengidentifikasi bahaya, keterpaparan
dan kerentanan yang "paling mungkin" dan "kemungkinan
terburuk" yang bisa terjadi di masa mandatang. Ancaman
bahaya dapat mempertimbangkan geologis (misalnya
kegempaan, struktur tanah dan batuan, dan hedrogeologi),
dinamika urbanisasi dan perubahan iklim. Secara teknis analisis
ini perlu didukung dengan pemetaan rinci secara geografis.
Pada tahap ini perlu dilakukan indentifikasi secara rinci
komunitas, asset dan aktifitas ekonomi, dan infrastuktur kritikal
serta kelompok rentan yang terdampak (atau kemungkinan
terdampak bencana). Hasil kajian risiko ini digunakan untuk
menyusun skenario dan pengambilan keputusan stretagis
dalam pembangunan kota.

3. Penguatan kapasitas finansial untuk kota memiliki


ketahanan. Perlu diketahui biaya langsung maupun tidak
langsung untuk membiayai program dan kegiatan terkait
bencana. Analisis juga diperlukan terhadap kemungkinan risiko
bencana dan implikasinya terhadap kebutuhan pembiayaan.
Perhatian khusus dapat diberikan pada kelompok rentan
sehingga memerlukan skema pembiayaan tersendiri. Asuransi
juga dapat menjadi alternatif pembiayaan. Pada akhirnya perlu
dikaji potensi skema pembiayaan untuk program kota memiliki
ketahanan, baik untuk upaya mitigasi hingga anggaran untuk
respon jika terjadi bencana dan pemulihan (recovery).

350 | PENUTUP
4. Pengembangan kota, tata guna lahan dan rancang kota yang
rendah risiko (low risk city). Tahap ini dilakukan pada peta
risiko bencana dan skenario risiko yang telah disusun
sebelumnya. Pengembangan kota dan tata guna lahan fungsi
budidaya perlu diarahkan pada ruang atau kawasan yang
rendah risiko terhadap bencana. Atau dengan kata lain perlu
perhatian aspek risiko dalam perencanaan dan perancangan
kota (risk-aware planning and design). Kaidah rancang kota dan
tata bangunan juga perlu diarahkan rendah risiko, termasuk
pemanfaatan teknologi yang tepat. Kawasan permukiman
padat, informal atau kawasan kumuh perlu menjadi perhatian
tersendiri. Perencanaan dan rancang kota perlu
memperhatikan keberadaan daerah peresapan air, Ruang
Terbuka Hijau (RTH), daerah penampungan air, ventilasi
koridor, perlindungan lahan basah (wetland), kota yang
kompak (compact city) dan guna lahan campuran (mixed-use),
serta tata letak dan oreintasi bangunan. Selain itu diperlukan
instrumen pengendalian pemanfaatan ruang dan Peraturan
Zonasi (PZ), misalnya pengaturan Koefisien Dasar Bangunan
(KDB) dan Koefisien Dasar Hijau (KDH) yang mendukung
pencapaian pemanfaatan ruang dan pembangunan yang
rendah risiko.

5. Jasa ekosistem, infrastruktur hijau dan biru. Melindungi


fungsi jasa ekosistem (ecosystem services) diperlukan dalam
suatu kota atau wilayah. Beberapa jenis jasa ekosistem antara
lain penampungan dan penyerapan air, vegetasi kota, dataran
banjir, gumuk pasir, mangrove dan vegetasi pantai, area untuk
penyerbukan. Sebagai contoh, dalam suatu daerah tangkapan
air atau Daerah Aliran Sungai (DAS), hutan di daerah hulu
dapat mengendalikan laju air larian, sementara dataran banjir
di daerah hilir menjadi tampungan air jika terjadi banjir.
Ketersediaan jasa ekosistem yang cukup mendukung
ketahanan suatu kota. Dalam perencanaan suatu kota kita
perlu menemukenali jenis dan nilai jasa ekosistem kota dalam
mengurangi risiko bencana. Dalam konteks wilayah, suatu

| 351
kota perlu selaras dengan lingkungan alami di wilayah
perdesaan sekitar (hinterland) dan daerah tangkapan air atau
DAS terutama keselarasan dalam tata guna lahan. Dalam
konteks ini diperlukan penanganan isu lingkungan dan
kebencanaan yang lintas batas administrasi.

Untuk mengantisipasi fenomena perubahan iklim dan


perkembangan kota (urbanisasi), perencanaan kota yang
menjamin fungsi jasa ekosistem membutuhkan
pengembangan infratsruktur hijau dan biru (green and blue
infrastructure). Contoh infrastruktur hijau adalah RTH atau
hutan kota, koridor hijau kota, kawasan pertanian, dan
kawasan resapan air. Contoh infrastruktur biru adalah koridor
sungai, lahan basah atau rawa (wetlands), embung, kolam
retensi, dan sistem irigasi yang efektif. Infrastruktur biru pada
kawasan pesisir dapat mencakup kanal dan tanggul beserta
fasilitas pendukungnya misalnya pompa dalam suatu sistem
drainase sistem polder. Dalam perkembangan selanjutnya,
infrastruktur hijau berkembang lebih luas pada upaya
pengematan sumberdaya dan pengurangan emisi GRK
termasuk di dalamnya pemanfaatan energi terbarukan,
efisiensi pemanfaatan energi, meningkatkan konektivitas
prasarana transportasi, jalur pedestrian, transportasi
terintegrasi, dan pengelolaan sampah.

6. Memperkuat kapasitas kelembagaan dan masyarakat untuk


memiliki ketahanan. Kelembagaan kota menyangkut institusi
yang relevan mulai pemerintah di tingkat lokal hingga
nasional, penyedia jasa layanan publik, sektor swasta,
komunitas dalam masyarakat, lembaga non-pemerintah dan
berbagai institusi masyarakat sipil. Peningkatan kapasitas
kelembagaan dalam membangun kota yang memiliki
ketahanan pada tahap perencanaan terkait dengan
membangun pemahaman tentang bencana, pencegahan
bencana dan mitigasi bencana dengan tujuan untuk
pengurangan risiko bencana. Penguatan kapasitas kelompok
rentan menjadi perhatian. Program yang dapat dilaksanakan

352 | PENUTUP
dalam peningkatan kapasitas kelembagaan dapat berupa
pelatihan, pengembangan data dan informasi kebencaaan,
media dan teknologi informasi dan komunikasi sampai
dengan membangun komitmen dan pengorganisasian untuk
aksi kolaboratif.

7. Meningkatkan ketahanan infrastruktur. Infrastruktur dasar


perlu dikaji sejauh mana dapat bertahan atau menyesuaikan
dengan keadaan bencana atau keterpaparan yang
"kemungkinan terjadi" di masa mendatang. Beberapa jenis
infrastruktur dasar yang menjadi perhatian antara lain jalan
raya, bandar udara, jalur kereta api, pelabuhan, listrik,
telekomunikasi, air bersih, rumah sakit, dan sekolah. Beberapa
infrastruktur perlu disiapkan untuk mendukung respon
terhadap bencana misalnya, teknologi informasi dan
komunikasi untuk peringatan dini, fasilitas umum untuk
kedaruratan dan evakuasi bencana, pompa, dan generator.

Ketujuh aspek yang menjadi perhatian dalam perencanaan kota yang


memiliki ketahanan iklim seperti diuraikan di atas dapat dirangkum
dalam Tabel 1 di bawah ini. Ketujuh aspek membangun kota yang
memiliki ketahanan iklim ini tidak dapat dipisahkan dengan upaya
menjamin keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability) di
perkotaan dan wilayah sekitarnya.

Tabel 1. Aspek Perencanaan Kota yang Memiliki Ketahanan Iklim

Aspek Muatan

• Kerjasama multisektor dan


multistakeholder dalam proses
Pengorganisasian untuk perencanaan PRB.
kota memiliki ketahanan • Keterpaduan / integrasi perencanaan,
strategi, program terkait PRB.
• Partisipasi pemangku kepentingan.
Kajian risiko bencana saat • Kajian kerawanan, kerentanan dan
ini dan skenario risiko di risiko bencana.

| 353
Aspek Muatan

masa datang (Scenario- • Kajian aspek geologi dan urbanisasi.


based planning berbasis • Kajian risiko bencana terhadap
analisis prediktif atau ex- infrastruktur dan kelompok rentan.
ante)
• Potensi skema pembiayaan untuk
Penguatan kapasitas program kota memiliki ketahanan.
finansial untuk kota • Anggaran mitigasi, respon, dan
memiliki ketahanan pemulihan.
• Asuransi.
• Kajian tata guna lahan rendah risiko
Pengembangan kota, tata • Kaidah rancang kota dan tata
guna lahan dan rancang bangunan rendah risiko
kota rendah risiko • Pengendalian pemanfaatan ruang dan
PZ termasuk KDB dan KDH.
• Melindungi / mempertahankan fungsi
jasa ekosistem.
• Pengembangan infrastruktur hijau dan
biru termasuk infrastruktur dengan
Jasa ekosistem,
efisiensi sumberdaya dan
infrastruktur hijau dan
pengurangan emisi GRK (energi,
biru
transportasi, persampahan).
• Isu lingkungan lintas batas
administrasi (misalnya pendekatan
DAS).
• Kelembagaan kota yang memiliki
ketahanan pada setiap level
Memperkuat kapasitas pemerintahan, komunitas dan swasta.
kelembagaan dan • Penguatan kapasitas kelompok rentan.
masyarakat untuk
• Data, informasi, media, komunikasi.
memiliki ketahanan
• Pelatihan dan peningkatan kapasitas.
• Jejaring kerjasama.
• Identifikasi infrastruktur yang
memiliki ketahanan
• Perlindungan aset dan infratsruktur
Meningkatkan ketahanan dasar
infrastruktur • Kesiapan infrastruktur pada tahap
respon terhadap bencana (misalnya
untuk kedaruratan, evakuasi atau
shelter).
Sumber: Diadaptasi dari Sharifi & Yamagata, 2014; United Nations Office
for Disaster Risk Reduction, 2017

354 | PENUTUP
Mitigasi Perubahan Iklim melalui Kerangka Perencanaan Kota
Rendah Karbon
Mitigasi perubahan iklim dilakukan untuk mengurangi emisi GRK
melalui berbagai pendekatan baik teknologi, ekonomi, sosial dan
kelembagaan. Lebih dari 70% emisi GRK di dunia dilepaskan melalui
berbagai aktifitas antropogenik di wilayah perkotaan (Institute for
Global Environmental Strategies, 2018). Proporsi ini akan semakin
meningkat seiring laju urbanisasi kota-kota di negara berkembang
termasuk Indonesia. Oleh karena itu intervensi pengurangan emisi
GRK di sektor-sektor perkotaan penting untuk dilaksanakan dalam
kerangka konsep kota rendah karbon (low carbon city).

Pada bagian kedua buku ini, kajian Sudarmanto Budi Nugroho et al.
menunjukkan bahwa sektor energi yang berasal dari pemakaian
energi untuk industri, bangunan gedung dan komersil, transportasi
dan penggunaan energi di rumah tangga merupakan penyumbang
emisi karbon yang utama di kota-kota besar di Indonesia. Mereka
menyampaikan beberapa intervensi kebijakan yang dapat
diterapkan untuk mengurangi laju pemakaian energi per kapita yang
pada gilirannya akan menurunkan emisi GRK dari perkotaan di
Indonesia. Secara umum, upaya-upaya penurunan emisi GRK dari
perkotaan di Indonesia dapat dilakukan dengan (a) melakukan
konservasi energi dari sisi penguna; (b) memperbaiki kondisi suplai
energi; (c) membangun transportasi berkelanjutan; (d) mengurangi
emisi melalui pengelolaan limbah padat dan cair dengan baik dan (e)
berupaya melakukan penyerapan karbon melalui hutan/taman kota.
Upaya-upaya aksi dari sisi energi (pengguna maupun suplai) dan
pembangunan transportasi berkelanjutan akan memberikan dampak
lebih besar pada penurunan emisi GRK sektor perkotaan
dibandingkan dengan upaya penurunan dari pengelolaan limbah
dan pemanfaatan hutan kota /taman kota yang sangat terbatas dan
sulit dikembangkan secara luas di kota-kota besar di Indonesia.

| 355
Sementara itu pada bagian pertama buku ini, Rukuh Setiadi dan
Salma Zulfa Nadhiroh menggarisbawahi tentang co-benefits dalam
mitigasi perubahan iklim, yaitu pentingnya memberikan manfaat
lain disamping penurunan emisi GRK. Mayrhofer & Gupta (2016)
mengidentifikasi contoh-contoh co-benefits dari berbagai bidang,
yaitu: (1) manfaat iklim meliputi pengurangan emisi GRK dan
meningkatnya ketahanan terhadap perubahan iklim; (2) manfaat
ekonomi seperti meningkatnya ketahanan energi, investasi swasta,
kinerja ekonomi, lapangan kerja, perubahan teknologi dan
kontribusi fiscal; (3) manfaat lingkungan seperti perlindungan SDA,
keanekaragaman hayati, jasa lingkungan, perbaikan kualitas air,
tanah dan udara; (4) manfaat sosial seperti akses energi,
pengurangan kemiskinan dan kesenjangan, ketahanan dan
keamanan pangan, peningkatan kesehatan dan pengurangan
tekanan social; dan (5) manfaat politis dan kelembagaan yaitu
stabilitas politik, demokratisasi dan kolaborasi lintaswilayah.

Floater et al. (2016) memetakan co-benefits beberapa sektor kebijakan


dan program perubahan iklim yang membantu menjelaskan area-
area co-benefits dari kegiatan adaptasi dan/atau mitigasi perubahan
iklim yang tersebar di tiga belas sektor ke dalam tiga klaster. Co-
benefits dari klaster mitigasi perubahan iklim banyak dijumpai pada
sektor (1) persampahan, (2) energi, (3) transportasi, (4) lingkungan
(kualitas udara), (5) bangunan, dan (6) digital. Secara umum keenam
sektor tersebut ada di dalam dan membentuk sebuah kota. Sehingga
co-benefits mitigasi perubahan iklim ini memiliki potensi sebagai
variabel yang perlu dipertimbangkan dalam kegiatan perencanaan
kota.

Sektor-sektor potensial mitigasi perubahan iklim yang mempunyai


potensi co-benefits besar dan mengarahkan pada perwujudan kota
rendah karbon seperti diuraikan di atas perlu diintegrasikan dalam
perencanaan kota-kota di Indonesia. Beberapa sektor perkotaan
potensial dimaksud dijelaskan dalam uraian di bawah ini.

356 | PENUTUP
1-Sektor persampahan. Pada sektor persampahan, pengurangan
emisi GRK dapat dilakukan dengan beberapa pilihan teknologi,
misalnya penangkapan gas methane dari kegiatan Tempat
Pemrosesan Akhir (TPA) yang dikombinasikan dengan mengakhiri
pengelolaan sampah dari sistem open dumping dengan sanitary
landfill. Perbaikan pengelolaan persampahan ini secara langsung
akan mengurangi produksi GRK dengan mencegah gas methane yang
ditimbulkan dari kegiatan TPA masuk ke atmosfer. Sedangkan co-
benefits dari kegiatan tersebut ada di sektor persampahan, energi, dan
lingkungan seperti: terkelolanya sampah dengan lebih baik akan
memperpanjang usia teknis TPA; potensi energi alternatif dari hasil
tangkapan gas methane (waste-to-energy); dan berkurangnya polusi
udara dengan peralihan ke sistem sanitary landfill.

M. Nurhadi dalam bagian kedua buku ini memberikan alternatif


sistem pengelolaan sampah dengan mengambil kasus di Kota
Semarang, yaitu kombinasi pengelolaan sampah di hulu dengan
pemilahan dan daur ulang serta pengelolaan di hilir dengan
produksi Refused Derived Fuel (RDF) dapat memenuhi kriteria
pengelolaan sampah memiliki ketahanan iklim. RDF adalah
alternatif teknologi waste-to-energy yaitu sampah yang mudah
terbakar dan terpisahkan dari bagian yang sulit terbakar melalui
proses pencacahan, pengayakan dan klasifikasi udara. Teknologi
RDF ini sudah diterapkan pada pengelolaan sampah di TPA Cilacap,
Jawa Tengah10.

2-Sektor energi. Pada sektor energi, pengurangan emisi GRK dapat


dilakukan dengan beberapa pilihan teknologi pembangkit listrik,
misalnya diversifikasi atau meningkatkan pemanfaatan sumber
energi terbarukan di tingkat lokal dan energi rendah karbon (local
renewable and low-carbon energy), sebagai contoh adalah energi

10Informasi lengkap di laman https://dlh.cilacapkab.go.id/tempat-pengelolaan-sampah-


terpadu-refused-derived-fuel-tpst-rdf/

| 357
matahari/surya, angin, panas bumi (geothermal) dan sampah (waste-
to-energy). Intervensi pada sektor energi lainnya adalah dengan
efisiensi energi, misalnya penggunaan peralatan listrik hemat energi
di perkotaan. Kebijakan efisiensi energi dapat diintegrasikan dengan
pengelolaan bangunan gedung yang berkonsep bangunan hijau atau
green building11.

Kebijakan yang dapat diambil dalam efisiensi energi misalnya


penggunaan lampu LED yang hemat energi untuk lampu
penerangan jalan umum, fasilitas dan bangunan publik. Kota
Surakarta saat ini sedang dalam proses penyiapan proyek
penerangan jalan umum seperti ini dengan skema Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha12. Konsep green building dan smart
building juga dapat mulai diterapkan pada bangunan publik seperti
perkantoran, sekolah, universitas, tempat ibadah, rumah sakit atau
mendorong swasta dan masyarakat juga menerapkan konsep ini.

Perbaikan pengelolaan energi ini secara langsung akan mengurangi


produksi GRK dengan digantikannya sumber energi berbahan fosil
dengan sumber energi terbarukan, serta pengurangan emisi karena
efisiensi pemanfaatan energi. Sedangkan co-benefits dari kegiatan
tersebut seperti: ketahanan energi dalam jangka panjang,
penghematan biaya energi, dan peningkatan kualitas udara karena
berkurangnya pencemaran pembangkit listrik berbahan bakar fosil.

3-Sektor transportasi. Pada sektor transportasi publik, pengurangan


emisi GRK dapat dilakukan dengan penggunaan sarana angkutan
umum massal sehingga mengurangi penggunaan kendaraan
pribadi. Peningkatan kuantitas dan kualitas sarana transportasi
publik dapat dikombinasikan dengan manajemen perparkiran,

11Informasi lengkap di laman https://www.worldgbc.org/what-green-building


12Informasi lengkap di laman http://kpbu.djppr.kemenkeu.go.id/en/proyek/surakarta-public-
street-lights-project-pju-kota-surakarta/

358 | PENUTUP
pembangunan berorientasi transit (Transit Oreinted Development atau
TOD), dan tata guna lahan. Contoh kebijakan ini adalah penerapan
Trans Jakarta, Mass Rapid Transit (MRT), dan Light Rapid Transit
(LRT) di Jakarta. Contoh lain adalah Trans Semarang, Solo Batik
Trans dan Trans Jateng di Jawa Tengah. Selain manfaat pengurangan
emisi GRK kebijakan tersebut, beberapa co-benefits dari kegiatan
tersebut dapat ditemui di sektor transportasi dan kesehatan seperti
berkurangnya kemacetan, kecelakaan lalu lintas, meningkatnya
kualitas udara, dan perbaikan kesehatan masyarakat.

What’s Next?
Meningkatnya bencana terkait perubahan iklim pada kota-kota di
Indonesia menunjukkan adanya permasalahan daya dukung dan
daya tampung kota, sementara pada satu sisi kota terus tumbuh dan
berkembang. Kota harus mempunyai ketahanan yang cukup untuk
menghadapi dampak dan risiko perubahan iklim yang semakin
meningkat. Perencanaan kota yang memiliki ketahanan iklim
menghadapi tantangan baik jangka pendek, menengah dan panjang.
Dalam jangka pendek-menengah (1-5 tahun), perencanaan kota
dituntut untuk menyiapkan langkah-langkah dan instrumen
adaptasi perubahan iklim yang dapat mengurangi risiko bencana
iklim. Pemerintah daerah (terutama kota dan kabupaten) diharapkan
mulai mengorganisasikan berbagai sumberdaya dan meningkatkan
kapasitas. Sementara itu perencana kota dituntut mampu melakukan
analisis prediktif (ex-ante) dalam perencanaan ruang dan
infrastruktur meliputi analisis kerawanan-kerentanan-risiko
bencana secara tepat, analisis tata guna lahan, rancang kota hingga
tata bangunan rendah risiko, analisis jasa ekosistem hingga
perencanaan infrastruktur hijau dan biru. Sementara itu dalam
jangka menengah-panjang (5-10 tahun), perencanaan kota-kota di
Indonesia perlu mengintroduksi kebijakan kota rendah karbon
seperti pada sektor-sektor perkotaan potensial seperti energi,
transportasi dan persampahan.

| 359
Daftar Pustaka
Floater, G., Heeckt, C., Ulterino, M., Mackie, L., Rode, P., Bhardwaj,
A., Carvalno, M., Gill, D., Bailey, T., & Huxley, R. (2016), Co-
benefits of urban climate action: a framework for cities.
Economics of Green Cities Programme Working Paper, LSE
Cities, London School of Economics and Political Science,
diambil dari https://www.c40.org/researches/c40-lse-
cobenefits
Institute for Global Environmental Strategies. (2018), Low-carbon
City Profile - Climate Change Actions by Asian Cities in the
City-to-City Collaboration Programme, diambil dari
https://www.iges.or.jp/en/pub/low-carbon-city-profile-
climate-change-0/en
Intergovernmental Panel on Climate Change. (2015), Climate
Change 2014 - Synthesis Report, diambil dari
https://www.ipcc.ch/site/assets/uploads/2018/05/SYR_A
R5_FINAL_full_wcover.pdf
Mayrhofer, J.P. & Gupta, J. (2016), The science and politics of co-
benefits in climate policy. Environmental Science & Policy, Vol.
57, pp. 22–30, diambil dari
https://sciencepolicy.colorado.edu/students/envs-
geog_3022/mayrhofer_2016.pdf
Sharifi, A. & Yamagata, Y. (2014), Resilient urban planning: Major
principles and criteria. The 6th International Conference on
Applied Energy – ICAE2014. Energy Procedia. Vol. 61, pp.
1491 – 1495, diambil dari
https://core.ac.uk/download/pdf/82709331.pdf
United Nations. (2017), New Urban Agenda, diambil dari
https://uploads.habitat3.org/hb3/NUA-English.pdf
United Nations Office for Disaster Risk Reduction. (2017), Disaster
Resilience Scorecard for Cities - Preliminary level assessment,
diambil dari https://www.undrr.org/publication/disaster-
resilience-scorecard-cities

360 | PENUTUP
AGUNG PANGARSO menempuh pendidikan sarjana dan magister di
bidang Perencanaan Wilayah dan Kota, UNDIP dan doktoral Ilmu
Geografi di Universitas Gadjah Mada. Ia berpengalaman hampir 20 tahun
dalam bidang perencanaan wilayah dan kota, pengelolaan lingkungan,
dan pembangunan daerah. Saat ini aktif sebagai Ketua Ikatan Ahli
Perencanaan (IAP) Jawa Tengah.

BINTANG SEPTIARANI adalah alumni Magister Pembangunan


Wilayah dan Kota tahun 2016. Ia menjadi asisten proyek di Lembaga
Bintari untuk program ACCCRN FEWS dan Mangrove pada tahun 2012 –
2016. Sejak tahun 2018, ia aktif bekerja sebagai dosen dan peneliti di
Program studi Perencanaan Tata Ruang dan Pertanahan, Sekolah Vokasi,
UNDIP.

DEVISARI TUNAS adalah koordinator riset dan peneliti senior pada


Future Cities Laboratory yang berbasis di Singapura dan merupakan bagian
dari ETH Zurich. Ia adalah lulusan PhD di bidang perkotaan dari TU
Delft (Belanda) dan MSc of Conservation of Historic Town dan MA of Social
and Cultural Anthropology dari KUL (Belgia). Ia aktif mengkoordinasi
berbagai proyek riset dibidang Smart City dan Spatial Data Visualisation,
Gender Mainstreaming in Urban Planning, dan mengembangkan metode
perencanaan partisipatif dengan metode Design Thinking.

INTAN HAPSARI SURYA PUTRI adalah asisten peneliti yang pernah


tergabung di Laboratorium Pengembangan Wilayah dan Manajemen
Lingkungan (LAREDEM), UNDIP. Ia menyelesaikan studi strata satu dari
Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota, UNDIP pada tahun 2018 dan
saat ini sedang menempuh program Pendidikan Magister menuju Doktor
(PMDSU) di Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota, UNDIP.

JUNICHI FUJINO adalah peneliti utama dan koordinator senior untuk


Urban Taskforce di IGES dan juga menjabat sebagai peneliti senior di
National Institute for Environmental Studies (NIES) dan salah satu anggota
utama dalam pengembangan Asia-Pacific Integrated Model (AIM) untuk
menilai pilihan kebijakan guna menstabilkan iklim global. Ia adalah
penulis utama IPCC Special Report on Renewable Energy Sources and Climate
Change Mitigation (SRREN). Dia menerima gelar B.S / M.S / Ph.D. di
bidang Teknik Elektro dari Tokyo University.

| 363
MEGA ANGGRAENI memiliki latar belakang pendidikan di bidang
lingkungan. Sejak tahun 2014 bekerja sebagai manajer di Inisiatif Kota
untuk Perubahan Iklim (IKUPI), sebuah institusi non-pemerintah di Kota
Semarang yang berfokus pada isu perubahan iklim dan lingkungan. Ia
pernah terlibat sebagai manajer program Zurich dan TRANSFORM serta
menjadi fasilitator pemebentukan Kelurahan Tangguh Bencana (Katana)
di Kota Semarang.

MEGA FEBRINA KUSUMO ASTUTI merupakan Sarjana Perencanaan


Wilayah dan Kota lulusan UNDIP. Ia pernah tergabung di Laboratorium
Pengembangan Wilayah dan Manajemen Lingkungan (LAREDEM)
sebagai asisten peneliti. Ia terlibat dalam beberapa riset dan penulisan
terbitan ilmiah tentang ketahanan kota yang berfokus pada metode
penelitian kuantitatif dengan pendekatan indeks.

M. NURHADI merupakan peneliti, project manager, dan trainer dalam


pengelolaan sampah dan perubahan iklim. Ia memperoleh gelar sarjana
bidang Perencanaan Wilayah dan Kota dan sedang menyelesaikan
pendidikan S2 di Program Lingkungan dan Perkotaan. Ia memiliki
pengalaman hampir 15 tahun dalam program-program kerjasama
internasional dengan Jerman dan Denmark di bidang lingkungan dan
energi sebelum bergabung dengan BINTARI pada pertengahan tahun
2019.

M. LUTHFI EKO NUGROHO adalah Kepala Sub-bidang Penelitian dan


Pengembangan Fisik Prasarana dan Lingkungan pada Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Semarang. Ia juga merupakan
Chief Resilience Officer (CRO) Kota Semarang. Ia memperoleh gelar Sarjana
Teknik di bidang Perencanaan Wilayah dan Kota serta Magister
Pembangunan Wilayah dan Kota dari UNDIP.

NINI PURWAJATI saat ini adalah Senior Manager, Programs and


Knowledge di Resilient Cities Network (R-Cities). Sebelum bergabung dengan
R-Cities, ia memiliki pengalaman bekerja sebagai Program Manager di 100
Resilient Cities (100RC) dan Program Coordinator di Mercy Corps Indonesia
yang mendampingi Program 100 RC di Kota Semarang tahun 2015-
2016. Ia meraih gelar Sarjana Perencanaan Wilayah dan Kota dari UGM
dan gelar Master of Property Development dari University of New South
Wales.

364 | TENTANG PENULIS


RAKA WHISNU SURYANDARU adalah perencana kota pada PT Krida
Karya Advisory. Lulusan program studi Perencanaan Wilayah dan Kota,
Institut Teknologi Bandung dan MSc Planning for Sustainability and Climate
Change, Newcastle University ini banyak terlibat dalam proyek
perencanaan di seluruh Indonesia serta studi mengenai adaptasi
perubahan iklim, kota rendah karbon, dan ekonomi hijau. Ia juga aktif
sebagai Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Jawa
Tengah dan Sekretaris Eastern Region Organization for Planning and Housing
(EAROPH) Club Indonesia.

RATNA BUDIARTI adalah peneliti, trainer, dan fasilitator dalam


berbagai proyek lingkungan hidup di topik mitigasi perubahan iklim,
pembangunan rendah karbon, Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS), dan pengelolaan sampah. Ia memegang gelar sarjana Teknik
Lingkungan dan Magister Ilmu Lingkungan. Sebelum bergabung dengan
BINTARI pada tahun 2018, ia berkarier di lembaga kerjasama teknik
Jerman.

RIZKIANA SIDQIYATUL HAMDANI menyelesaikan pendidikan strata


satunya di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas
Gadjah Mada dan memperoleh gelar Master Ilmu Lingkungan dari
UNDIP. Ia pernah bergabung bersama IKUPI dalam kegiatan
membangun ketangguhan secara partisipatif.

RUKUH SETIADI adalah dosen di Departemen Perencanaan Wilayah


dan Kota, UNDIP. Ia juga menjabat sebagai direktur eksekutif Inisiatif
Kota untuk Perubahan Iklim (IKUPI), sebuah organisasi nirlaba berbasis
di Semarang yang fokus mendukung inisiatif perubahan iklim perkotaan
di Indonesia. Ia terlibat dalam berbagai kegiatan yang terkait dengan
penanganan perubahan iklim. Ia menerima gelar doktor dalam kebijakan
lingkungan perkotaan dari Griffith University, Australia.

SALMA ZULFA NADHIROH menyelesaikan studi sarjana pada tahun


2020 di Perencanaan Wilayah dan Kota, UNDIP. Saat ini ia tergabung di
Laboratorium Pengembangan Wilayah dan Manajemen Lingkungan
(LAREDEM) UNDIP sebagai asisten peneliti.

| 365
SANTY PAULLA DEWI adalah dosen di Departemen Perencanaan
Wilayah dan Kota, UNDIP dan tergabung di Laboratorium Perancangan
Ruang Fisik Kota dan Wilayah. Ia mendapatkan gelar Dr.-Ing dari
Department Urban Planning Technische Universitat Darmstadt, Jerman.
Ia terlibat sebagai anggota team peneliti dalam program Water as Leverage
dan saat ini meneliti mengenai water sensitive urban design (perancangan
kota yang terkait dengan isu air).

SUDARMANTO BUDI NUGROHO memperoleh gelar PhD dari


Graduate School for International Development and Cooperation (IDEC),
Hiroshima University di Jepang. Ia bekerja untuk Institute for Global
Environmental Strategies (IGES) sebagai Manajer Riset di kantor pusat
Hayama, Yokohama-Jepang. Ia mengkhususkan diri dalam studi
transportasi rendah karbon dan studi polusi udara perkotaan di kota-kota
berkembang.

TIA DIANING INSANI merupakan asisten riset yang tergabung di


Laboratorium Pengembangan Wilayah dan Manajemen Lingkungan
(LAREDEM) dan sudah terlibat di berbagai riset ketahanan kota dan desa.
Ia pernah menjadi asisten riset di Kementerian Perencanaan
Pembangungan Nasional/BAPPENAS untuk kajian adaptasi perubahan
iklim di sektor transportasi dan energi terbarukan. Ia memperoleh gelar
sarjananya dari Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota, UNDIP.

TOMOKO ISHIKAWA saat ini bekerja untuk International Researchers


Network for Low Carbon Societies (LCS-RNet) dan Low Carbon Asia Research
Network (LoCARNet). Sebagai salah satu anggota sekretariat dari kedua
jaringan peneliti tersebut yang berlokasi di IGES, ia telah bekerja sama
secara intens dengan para peneliti dan pakar yang sangat terlibat dalam
proses pembuatan kebijakan di Low Carbon Societies dan pembangunan
rendah karbon.

WIWANDARI HANDAYANI adalah dosen di Departemen Perencanaan


Wilayah dan Kota, UNDIP. Ia terlibat dalam berbagai program untuk
mendorong inisiatif-inisiatif ketahanan kota dengan berbagai mitra lokal,
nasional, maupun internasional. Sejak tahun 2015, ia berperan aktif
sebagai Deputy of Chief Resilience Officer (CRO) Kota Semarang di bawah
program Global Resilient Cities Network. Ia mendapatkan gelar doktor
dalam bidang perencanaan pembangunan wilayah dari Universitas
Stuttgart, Jerman.

366 | TENTANG PENULIS

Anda mungkin juga menyukai