Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN

ARDS (ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME)

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Stase Keperawatan Gawat Darurat

Dosen pembimbing : H. Rudi Kurniawan, S.Kep.,Ners., M.Kep

Oleh :

RESMI AYU LESTARI

NIM. 2006277040

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH CIAMIS


2021
BAB I

KONSEP DASAR PENYAKIT


A. Definisi
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) adalh istilah yang
digunakan untuk disfungsi pernafasan pada neonatus, gangguan ini
merupakan penyakit yang berhubunga dengan keterlambatan
perkembangan maturitas paru atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan
dalam paru. pertama kali dikemukakan oleh Asbaugh dkk (1967) sebagai
hipoksemia berat yang onsetnya akut, infiltrat bilateral yang difus pada
foto toraks dan penurunan compliance atau daya regang paru. ARDS
didiagnosis ketika bermanifestasi sebagai kegagalan pernafasan berbentuk
hipoksemi akut, bukan karena peningkatan tekanan kapiler paru.
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan perlukaan
inflamasi paru yang bersifat akut dan difus, yang mengakibatkan
peningkatan permeabilitas vaskular paru, peningkatan tahanan paru, dan
hilangnya jaringan paru yang berisi udara, dengan hipoksemia dan opasitas
bilateral pada pencitraan, yang dihubungkan dengan peningkatan shunting,
peningkatan dead space fisiologis, dan berkurangnya compliance paru.
(Bellani G,2016)
Adult Respiraotry Distress Syndrome (ARDS) adalah suatu sindrom
kegagalan pernafasan akut yang ditandai dengan edema paru akibat
peningkatan permeabilitas. Keadaan ini dipergakan dengan adanya
infiltrasi luas pada radiografi dada, gangguan oksigenasi, dan fungsi
jantung normal. Adult Respiraotry Distress Syndrome (ARDS) merupakan
keadaan gagal nafas yang timbul pada klien dewasa tanpa kelainan paru
yang mendasari sebelumnya (Mutaqqin, 2013).
Gagal nafas akut /ARDS adalah ketidakmampuan sistem
pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2),
eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkan oleh
masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997)

2
Sindrom distres respiratorik akut merupakan bentuk edema
pulmoner yang menyebabkan gagal respiratorik akut dan disebabkan oleh
meningkatnya permeabilitas membran alveolokapiler. Cairan terakumulasi
dalam interstisium paru-paru dan ruang alveolar. ARDS parah bisa
menyebabkan hipoksemia yang sulit disembuhkan dan fatal, tetapi pasien
yang sembuh mungkin hanya mengalami sedikit kerusakan paru-paru atau
tidak sama sekali (Farid, 2006).

Sumber : Farid, 2006


B. ETIOLOGI
Menurut muttaqin pada tahun 2013, etiologi ARDS yaitu :
a. Premature, asfiksia perinatal, maternal diabetes dan seksio sesaria.
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) di dapatkan pada
10% bayi premature, yang disebabkan defisiensi surfaktan pada bayi
yang lahir dengan masa gestasi kurang. Surfaktan biasanya didapatkan
pada paru yang matur.
b. Depresi Sistem Saraf Pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat
pernapasan yang mengendalikan pernapasan, terletak dibawah batang
otak (pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal
c. Kelainan primer neurologis

3
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul
dalam pusat  pernapasan menjalar melalui saraf yang membentang dari
batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan.
Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot
pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi  pada
pernapasan akan sangat mempengaruhi ventilasi.
d. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui
penghambatan ekspansi  paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan
penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera
dan dapat menyebabkan gagal nafas.
e. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab
gagal nafas. Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala,
ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat mengarah
pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi  pernapasan. Hemothoraks,
pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin
meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah
pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi
yang mendasar.
f. Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi
atau pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan
materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis,
embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang
menyababkan gagal nafas.
Tabel 1 Kondisi Klinis yang berkaitan dengan kejadian ARDS
Cedera paru-paru langsung Cedera paru-paru tidak langsung
 Pneumonia  Sepsis
 Aspirasi gaster  Trauma berat
 Trauma inhalasi  Pankreatitis Akut
 Tenggelam  Bypass kardiopulmonal

4
 Kontusi paru
 Emboli lemak
 Tranfusi massif
 Reperfusi edema paru pasca
 Overdosis obat
transplantasi paru-paru atau
embolectomy paru
Sumber : Udobi et al, 2003

C. MANIFSTASI KLINIS (TANDA DAN GEJALA)


Gejala utama Gawat napas / distress respirasi pada neonatus yaitu :
 Takipnea : laju napas > 60 kali per menit (normal laju napas 40 kali per
menit)
 Sianosis sentral pada suhu kamar yang menetap atau memburuk pada 48-
96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik
 Retraksi : cekungan pada sternum dan kosta pada saat inspirasi
 Grunting : suara merintih saat ekspirasi
 Pernapasan cuping hidung
Tabel 2. Evaluasi Gawat Napas dengan skor Downes
Skor
Pemeriksaan
0 1 2
Frekuensi napas < 60 /menit 60-80 /menit > 80/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilangSianosis menetap
dengan 02 walaupun diberi
O2
Air entry Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara
udara masuk masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar
dengan stetoskop tanpa alat bantu
Evaluasi: < 3 = gawat napas ringan
4-5 = gawat napas sedang
> 6 = gawat napas berat

D. FATOFISIOLOGI

5
RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, yang disebabkan
kurangnya zat yang disebut surfaktan. Surfaktan adalah zat aktif yang
diproduksi sel epitel saluran nafas disebut sel pnemosit tipe II. Zat ini
mulai dibentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan mencapai max pada
minggu ke 35. Zat ini terdiri dari fosfolipid (75%) dan protein (10%).
Peranan surfaktan ialah merendahkan tegangan permukaan alveolus
sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa udara fungsional
pada sisa akhir expirasi. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya
ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.
Hipoksia akan menyebabkan terjadinya :
1. Oksigenasi jaringan menurun>metabolisme anerobik dengan
penimbunan asam laktat asam organic>asidosis metabolic.
2. Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris>transudasi
kedalam alveoli>terbentuk fibrin>fibrin dan jaringan epitel yang
nekrotik>lapisan membrane hialin.
Asidosis dan atelektasis akan menyebabkan terganggunya jantun,
penurunan aliran darah keparum, dan mengakibatkan hambatan
pembentukan surfaktan, yang menyebabkan terjadinya atelektasis. Sel tipe
II ini sangat sensitive dan berkurang pada bayi dengan asfiksia pada
periode perinatal, dan kematangannya dipacu dengan adanya stress
intrauterine seperti hipertensi, IUGR dan kehamilan kembar.[1]

E. PATHWAY

6
Trauma tipe ll
Pelepasan dari
pheocytes
Henti fibrinopeptida dan
simpatetik asam amino
hipotalamus

Penurunan
surfactan
Trauma endothelium
Vasokontriksi paru dan epithelium
paru alveolar

Atelektasis
Perubahan volume darah
menuju sirkulasi paru Peningkatan
permeabilitas

Fungsi Broncho
Peningkatan tekanan residu spasme
hidrostatik kapiler kapasitas
pulmonal Edema paru menurun

Kelebihan Penurunan Pemenuhan


volume cairan pengembangan paruberkura
paru
ng

Cairan menumpuk di Hipoksemia


intestinium
Abnormalitas
ventilasi -
Peningkatan kerja
Mencairkan perfusi
pernapasan
sistem surfaktan

pola nafas tidak Gangguan


efektif
Infiltrat Ronchi pertukaran
alveolar gas
Sumber : Huldani (2014)

Ketidakefektifan
bersihan jalan
F. PEMERIKSAAN
nafas DIAGNOSTIC

7
a. Laboratorium
1) Analisa gas darah:
a) Hipoksemia (penurunan PaO2)
b) Hipokapnia (penurunan PCO2) Pada tahap awal karena
hiperventilasi
c) Hiperkapnia (peningkatan PC02) menunjukan gagal ventilasi
d) Alkalosi respiratori (pH >7,45) pada tahap dini
e) Asedosis respiratori/metabolic terjadi pada tahap lanjut.
2) Leukosit (pada sepsis), anemia, trombositopenia (refleksi implamasi
sistemik dan injuri endotel), peningkatan kadar amilasee (pada
pancreatitis).
b. Radiologi
Pada pasien dengan onset pada paru langsung, perubahan fokal dapat
terlihat sejak dini pada radiograf dada. Komplikasi seperti
pneumotoraks dan pneumomediastinum mungkin tidak jelas dan sulit
ditemukan, terutama pada radiografi portabel dan dalam menghadapi
kalsifikasi paru difus. Gambaran klinis pasien mungkin tidak parallel
dengan temuan radiografi. Dengan resolusi penyakit, gambaran
radiografi akhirnya kembali normal(udobi et al, 2003)

Sumber : udobi et al, 2003


ARDS menunjukkan perubahan interstisial dan bercak infiltrat
c. Bronkoskopi
Bronkoskopi dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi kemungkinan
infeksi pada pasien akut dengan infiltrat paru bilateral. sampel dapat
diperoleh dengan bronkoskop bronkus subsegmental dalam dan

8
mengumpulkan cairan yang dihisap setelah meberikan cairan garam
nonbacteriostatic (bronchoalveolar lavage; UUPA). Cairan dianalisis
untuk diferensial sel, sitologi, perak noda, dan Gram stain dan
pemeriksaan kuantitatif (Harman, 2011).
d. Pemeriksaan Penunjang pada Neonatus yang mengalami Distress
Pernafasan
Pemeriksaan Kegunaan
Kultur darah Menunjukkan keadaan bakteriemia
Analisis gas darah Menilai derajat hipoksemia dan keseimbangan asam
basa
Glukosa darah Menilai keadaan hipoglikemia, karena hipoglikemia
dapat menyebabkan atau memperberat takipnea
Rontgen toraks Mengetahui etiologi distress nafas
Darah rutin dan hitung Leukositosis menunjukkan adanya infeksi
jenis Neutropenia menunjukkan infeksi bakteri
Trombositopenia menunjukkan adanya sepsis
Pulse oximetry Menilai hipoksia dan kebutuhan tambahan oksigen
Sumber: Hermansen

G. KOMPLIKASI
1. Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :
a. Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi kebocoran udara
( pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium,
emfisema intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba
memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi
atau adanya asidosis yang menetap.
b. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang
memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan
thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena tindakan invasiv
seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.
c. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular :
perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur
dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi
mekanik.

9
d. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan
komplikasi bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan
terapi surfaktannya.
2. Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen,
tekanan yang tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya
oksigen yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka panjang
yang sering terjadi :
a. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru
kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa
gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume
dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi
mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A.
Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
b. Retinopathy prematur Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar
10-70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya
hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.[2]
H. Penatalaksanaan
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) tindakan
untuk mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi :
1. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
2. Mempertahankan keseimbangan asam basa.
3. Mempertahankan suhu lingkungan netral.
4. Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
5. Mencegah hipotermia.
6. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.

Penatalaksanaan secara umum :


a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling
sering dan bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus
dektrosa 5 %
 Pantau selalu tanda vital

10
 Jaga patensi jalan nafas
 Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
b. Jika bayi mengalami apneu
 Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
 Lakukan penilaian lanjut
c. Bila terjadi kejang potong kejang segera periksa kadar gula darah
d. Pemberian nutrisi adekuat
Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai
dengan kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas.
Menajemen spesifik atau menajemen lanjut:
1) Gangguan nafas ringan
Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas
ringan pada waktu lahir tanpa gejala-gejala lain disebut
“Transient Tacypnea of the Newborn” (TTN). Terutama terjadi
setelah bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik
dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Meskipun demikian,
pada beberapa kasus. Gangguan napas ringan merupakan tanda
awal dari infeksi sistemik.
2) Gangguan nafas sedang
 Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter
nasal, bila masih sesak dapat diberikan o2 4-5 liter/menit
dengan sungkup
 Bayi jangan diberi minukm
 Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan
gentamisin) untuk terapi kemungkinan besar sepsis.
- Suhu aksiler <> 39˚C
- Air ketuban bercampur mekonium
- Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat
atau ketuban pecah dini (> 18 jam)

11
 Bila suhu aksiler 34- 36,5 ˚C atau 37,5-39˚C tangani untuk
masalah suhu abnormal dan nilai ulang setelah 2 jam:
- Bila suhu masih belum stabil atau gangguan nafas
belum ada perbaikan, berikan antibiotika untuk terapi
kemungkinan besar seposis
- Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu
kembali abnormal ulangi tahapan tersebut diatas.
 Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi
setelah 2 jam
 Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda
perburukan setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan besar
sepsis
 Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan
kurangai terapi o2secara bertahap . Pasang pipa lambung,
berikan ASI peras setiap 2 jam. Jika tidak dapat menyusu,
berikan ASI peras dengan memakai salah satu cara
pemberian minum
 Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik
dihentikan. Bila bayi kembali tampak kemerahan tanpa
pemberian O2 selama 3 hari, minumbaik dan tak ada alasan
bayi tatap tinggal di Rumah Sakit bayi dapat dipulangkan
3) Gangguan nafas ringan
 Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam
berikutnya.
 Bila dalam pengamatan ganguan nafas memburuk atau
timbul gejala sepsis lainnya. Terapi untuk kemungkinan
kesar sepsis dan tangani gangguan nafas sedang dan dan
segera dirujuk di rumah sakit rujukan.
 Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak berikan
ASI peras dengan menggunakan salah satu cara alternatif
pemberian minuman.

12
 Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan
gangguan napas. Hentikan pemberian O2 jika frekuensi
napas antara 30-60 kali/menit.
Penatalaksanaan medis:
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:
 Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
 Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan
menurunkan caiaran paru
 Fenobarbital
 Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
 Metilksantin (teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk
pemberhentian dari pemakaian ventilasi mekanik.
Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan
dalam pengobatan RDS adalah pemberian surfaktan eksogen
( derifat dari sumber alami misalnya manusia, didapat dari cairan
amnion atau paru sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan ).
[3]

BAB II
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN ARDS

A. PENGKAJIAN

13
Pengkajian adalah pemikiran dasar yang bertujuan untuk mengumpulkan
informasi atau data tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenal
masalah-masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik,
mental, sosial dan lingkungan (Arif Muttaqin, 2009).
1. Pengkajian Sekunder
a. Identitas Pasien
Nama, Umur, Suku, Agama, Alamat, Tanggal Pengkajian.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji apakah klien sebelum masuk rumah sakit memiliki riwayat
penyait yang sama ketika klien mauk rumah sakit.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji apakah klien pernah menderita riwayat penyakit yang sama
sebelumnya.
d. Riwayat maternal
1) Menderita penyakit seperti diabetes mellitus
2) Kondisi seperti perdarahan placenta
3) Tipe dan lamanya persalinan
4) Stress fetal atau intrapartus
e. Status infant saat lahir
1) Prematur, umur kehamilan
2) Apgar score, apakah terjadi aspiksia
3) Bayi prematur yang lahir melalui operasi caesar
f. Pemeriksaan Fisik
1) Mata 
a) Konjungtiva pucat (karena anemia)
b) Konjungtiva sianosis (karena hipoksia)
c) Konjungtiva terdapat pethechia (karena emboli lemak atau
endokarditis)
2) Kulit 
a) Sianosis perifer (vasokontriksi dan menurunnya aliran darah
perifer)

14
b) Sianosis secara umum (hipoksemia)
c) Penurunan turgor (dehidrasi)
d) Edema 
e) Edema periorbital
3) Jari dan kuku
a) Sianosis 
b) Clubbing finger
4) Mulut dan bibir 
a) Membrane mukosa sianosis
b) Bernafas dengan mengerutkan mulut 
5) Hidung 
a) Pernapasan dengan cuping hidung
6) Vena leher : Adanya distensi/bendungan 
7) Dada 
a) Retraksi otot bantu pernafasan (karena peningkatan aktivitas
pernafasan, dispnea, atau obstruksi jalan pernafasan)
b) Pergerakan tidak simetris antara dada kiri dengan kanan 
c) Tactil fremitus, thrill, (getaran pada dada karena udara/suara
melewati saluran /rongga pernafasan)
d) Suara nafas normal (vesikuler, bronchovesikuler, bronchial)
e) Suara nafas tidak normal (crekler/reles, ronchi, wheezing,
friction rub, /pleural friction)
f) Bunyi perkusi (resonan, hiperresonan, dullness)
8) Pola pernafasan 
a) Pernafasan normal (eupnea)
b) Pernafasan cepat (tacypnea)
c) Pernafasan lambat (bradypnea)
B. Analisa Data
NO DATA ETIOLOGI MASALAH
1. Trauma tipe II Gangguan
DO: pheocytes pertukaran gas
- Pernapasan dengan cuping

15
hidung
Penurunan
- Retraksi otot bantu surfactan
pernafasan (karena
peningkatan aktivitas Atelektasis
pernafasan, dispnea, atau
obstruksi jalan pernafasan) Broncho spasme

- Pergerakan tidak simetris


Fungsi residu
antara dada kiri dengan kapasitas
kanan  menurun

- Tactil fremitus, thrill,


(getaran pada dada karena
Pemenuhan paru
udara/suara melewati berkurang
saluran /rongga pernafasan)
- Suara nafas tidak normal
Abnormalitas
(crekler/reles, ronchi, ventilasi -
perfusi
wheezing, friction rub,
/pleural friction)
- Bunyi perkusi (resonan, Gangguan
pertukaran gas
hiperresonan, dullness)

2. DO : Kelebihan Bersihan jalan nafas


volume cairan tidak efektif
DO:
- Retraksi otot bantu
pernafasan (karena Cairan
peningkatan aktivitas menumpuk di
intestinium
pernafasan, dispnea, atau
obstruksi jalan pernafasan)
- Suara nafas tidak normal Mencairkan
sistem surfaktan
(crekler/reles, ronchi,
wheezing, friction rub,

16
/pleural friction)
Ronchi
- Bunyi perkusi (resonan,
hiperresonan, dullness)
Bersihan jalan
nafas tidak
efektif
3. Peningkatan Pola nafas tidak
DO: permeabilitas efektif
- Pernapasan dengan cuping
hidung Edema paru
- Retraksi otot bantu
pernafasan (karena Penurunan
pengembangan
peningkatan aktivitas paru

pernafasan, dispnea, atau


obstruksi jalan pernafasan) Hipoksemia

- Pergerakan tidak simetris


Peningkatan
antara dada kiri dengan
kerja otot
kanan  pernapasan
- Tactil fremitus, thrill,
(getaran pada dada karena
pola nafas tidak
udara/suara melewati efektif
saluran /rongga pernafasan)
- Suara nafas tidak normal
(crekler/reles, ronchi,
wheezing, friction rub,
/pleural friction)
- Bunyi perkusi (resonan,
hiperresonan, dullness.
- Pola pernafasan Pernafasan
normal (eupnea), Pernafasan
cepat (tacypnea), Pernafasan
lambat (bradypnea)

17
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan infeksi saluran
napas ditandai dengan Sputum berlebih (SDKI D.0149)
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan Perubahan membran
alveolus-kapiler ditandai dengan Ph Arteri Meningkat/Menurun (SDKI
D.0003)
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas
(kelemahan otot pernafasan) ditandai dengan dispnea,penggunaan otot
bantu pernafasan. (SDKI D.0005)
4. Defisit Nutrisi berhubungan dengan ketidak mampuan menelan
makanan dan atau menghisap ditandai dengan otot menelan lemah,
penurunan motilitas usus.
5. Resiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan disfungsi
intestinal.
6. Resiko termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan berat badan
ekstream.

D. Intervensi Keperawatan

NO DIAGNOSA SLKI SIKI

1 Bersihan jalan napas Setelah dilakukan tindakan selam 3 Terapi Oksigen


tidak efektif jam bersihan jalan nafas meningkat a. Observasi
berhubungan dengan dengan kriteria hasil:  Monitor kecepatan aliran
infeksi saluran napas a. Produksi sputum dari cukup oksigen
ditandai dengan memburuk (2) menjadi  Monitor posisi alat terapi
Sputum berlebih sedang (3) oksigen
b. Pola nafas dari memburuk (1)  Monitor efektifitas terapi
(SDKI D.0149) menjadi sedang (3) oksigen
c. Frekuensi nafas dari cukup  Monitor tanda-tanda
memburuk (2) menjadi hipoventilasi
sedang (3)  Monitor integritas mukosa
hidung akibat pemasangan
(SLKI L.01001) oksigen
b. Terapeutik
 Bersihkan sekret pada mulut,
hidung, dan trakea bila perlu

18
 Pertahankan kepatenan jalan
napas
 Siapkan dan atur peralatan
pemberian oksigen
 Gunakan perangkat oksigen
yang sesuai dengan tingkat
mobilitas pasien
c. Edukasi
 Ajarkan pasien dan keluarga
cara menggunakan oksigen di
rumah
d. Kolaborasi
 Kolaborasi penentuan dosis
oksigen
 Kolaborasi penggunaan
oksigen saat aktivitas dan/ atau
tidur
(SIKI I.01026)
2 Gangguan pertukaran Setelah dilakukan tindakan 3 jam Pemantauan Respirasi
gas berhubungan diharapkan masalah pertukaran a. Observasi
dengan Perubahan gas bisa di atasi dengan kriteria  Monitor Nilai Agd
membran alveolus- hasil :  Monitor Pola Nafas
kapiler ditandai a. Pola Nafas dari skala 2  Monitor Frekuensi, irama,
dengan Ph Arteri (cukup memburuk ) menjadi kedalaman dan upaya
Meningkat/Menurun. 4 ( cukup membaik) napas
b. Ph Arteri dari skala 1 b. Terapeutik
(SDKI D.0003) (memburuk) menjadi 4  Dokumentasikan Hasil
(cukup membaik) Pemantauan
c. Edukasi
(SLKI L.01003)  Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan

(SIKI I 01014)

3 Pola nafas tidak Setelah dilakukan tindakan 3 jam Manajemen jalan nafas
efektif berhubungan diharapkan masalah pertukaran a. Observasi
dengan hambatan gas bisa di atasi dengan kriteria  Monitor pola nafas (frekuensi,
upaya nafas hasil : kedalaman, usaha nafas)
(kelemahan otot a. Dispnea dari skala cukup  Monitor bunyi nafas tambahan
pernafasan) ditandai meningkat (2) menjadi (gurgling, mengi, wheezing,

19
dengan dispnea, cukup menurun (4) ronkhi kering)
penggunaan otot bantu b. Penggunaan otot bantu  Monitor sputum ( jumlah,
pernafasan. nafas dari cukup warna, aroma )
meningkat (2) menjadi b. Teurapeutik
(SDKI D.0005) cukup menurun (4)  Pertahankan kepatenan jalan
nafas dengan headtil dan
(SLKI L.01004) chinlift
 Posisikan semi fowler atau
fowler
 Berikan minum hangat
 Lakuka fisioterapi dada, jika
perlu
 Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik
 Lakukan hiperoksigenasi
sebelum pengghisapan
endotrakheal
 Lakukan hiperoksigenasi
sebelum peghisapan
endotrakeal
 Berikan oksigenasi, jika perlu
c. Edukasi
 Ajarkan teknik batuk efektif
d. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
bronkodilator.

(SIKI I.01011)

20
DAFTAR PUSTAKA

[1.] A. Kisara and U. Harahap, Mohamad Sofyan Budiono, “Heparin Intravena


Terhadap Rasio PF pada Pasien Acute Lung Injury (ALI) dan Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS).,” J. Anestesiol. Indones., vol. 4,
no. 3, pp. 135–144, 2012.
[2.]T. B. Bramantyo, S. Martuti, and P. Pudjiastuti, “Perbandingan Mortalitas
Pasien Anak dengan Acute Respiratory Distress Syndrome yang
Menggunakan Delta Pressure Tinggi dan Rendah,” Sari Pediatr., vol. 19,
no. 3, p. 156, 2018.
[3.]P. Oximetry, U. R. Intensif, And P. Hal, “Faktor Yang Mempengaruhi
Nilai Sp02 Pasca Pronasi Pada Bayi Yang Memakai Ventilator Arie
Kusumaningrum,” 2018.
[4.]Bellani G, Laffley JG, Fan E, Brochard L, Esteban A, Gattinoni L,et al.
Epidemiology, Pattens of Care, and Mortality for Patients With Acute
Respiratory Distress Syndrome in Intensive Care Units in 50 Countries.
JAMA. 2016; 315(8): 788-800 A. Aboet and T. Maskoen, “Acute
respiratory distress syndrome,” Anaesth. Intensive Care Med., vol. 14, no.
10, pp. 472–474, 2015.

21
[5.] Farid (2006). Acute Respiratory Distress Syndrome. Maj Farm vol 4 (12).
<http://content.ebscohost.com/pdf1821/pdf/2010/IJM/01Feb06/4949718.p
df>diakses pada 01 april 2013
[6.] Udobi KF, Touijer K. (2003). Acute Respiratory Distress Syndrome. Am
Fam Physician. Vol. 67 (2) :315-322.http://www.biomedcentral.com/1471
230X/11/35diakses pada 01 april 2013
[7.]R. Rakhmatullah and R. W. Sudjud, “Diagnosis dan Tatalaksana ARDS,”
Anest. dan Crit. Care, vol. 37, no. 2, pp. 58–68, 2019.
[8.]Tim Pokja SIKI DPP PPNI, “Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia,”
2018.
[9.]Tim Pokja SLKI DPP, “Standar Luaran Keperawatan,” 2018.
[10.] Tim Pokja SIKI DPP PPNI, “Standar Intervensi Keperawatan Indonesia,”
2018.
LINK DAFTAR PUSTAKA
[1.]http://eprints.unsri.ac.id/1299/1/faktor_yg_memp_SpO2_PP.pdf
[2.]https://ejournal.undip.ac.id/index.php/janesti/article/view/6417
[3.]https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/view/1210

22

Anda mungkin juga menyukai