Anda di halaman 1dari 122

MODUL 7

SISTEM PENGENDALIAN INTERN


PEMERINTAH (SPIP) DAN
SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN
KONSTRUKSI (SMKK)
TJ122020006
PELATIHAN PEJABAT INTI SATUAN KERJA
(PISK) BIDANG JALAN DAN JEMBATAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat-Nya sehingga penyusunan Modul Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah (SPIP)/ Manajemen Risiko dan Sistem Manajemen Keselamtan
Konstruksi (SMKK) ini dapat terlaksana sampai selesai. Modul ini disusun
dengan berbasis kompetensi sesuai standar kompetensi jabatan,
perkembangan teknologi konstruksi di bidang jalan dan jembatan, serta
NSPK terkait bidang jalan dan jembatan yang berlaku.

Penyusunan modul ini dilakukan dalam rangka menunjang pelaksanaan


kegiatan pelatihan Pejabat Inti Satuan Kerja (PISK) Bidang Jalan dan
Jembatan. Penyempurnaan, maupun perubahan modul di masa mendatang
senantiasa terbuka dan memungkinkan bila mengingat akan perkembangan
teknologi dan peraturan yang terus menerus terjadi. Untuk itu, kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca sebagai
bahan evaluasi kami dalam menyempurnakan Modul Pelatihan PISK Bidang
Jalan dan Jembatan ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada Penulis dan
seluruh anggota Tim yang telah berpartisipasi. Semoga modul ini dapat
membantu meningkatkan kompetensi ASN di lingkungan Direktorat Jenderal
Bina Marga dalam mewujudkan pekerjaan konstruksi jalan dan jembatan
yang berkualitas.

Bandung, November 2020

Kepala Pusbangkom JPW

Ir. Rezeki Peranginangin, M.Sc., M.M.


NIP. 196310171990031002

i
UCAPAN TERIMA KASIH

TIM TEKNIS
Pengarah
Kepala Pusbangkom Jalan, : Ir. Rezeki Peranginangin, M.Sc., M.M.
Perumahan, dan Pengembangan
Infrastruktur Wilayah
Penanggung Jawab
Kepala Bidang Manajemen Sistem : Ero, S.Pd., M.Pd.
dan Pelaksanaan Pengembangan
Kompetensi
PENYUSUN

Ketua

Jafung Pengembang Teknologi : Kiki Andriana Palupi, S.T., M.T.


Pembelajaran Ahli Muda
(Sub Koordinator Plt. Pengembangan
Kompetensi)
Anggota

Jafung Tata Bangunan dan : Rien Yolanda Rudangta Toreh, MT


Perumahan Ahli Pertama
Pelaksana Pengembangan : Ajeng Larasati, S.Pd
Kompetensi Jalan
Kontrak Individu Substansi : Desti Santi Pratiwi, ST., MT
NARASUMBER
BPSDM
Widyaiswara : Ir. Harris Batubara, M.Eng.Sc.

ii
Diterbitkan Oleh:
Pusbangkom Jalan, Perumahan, dan Pengembangan Infrastruktur Wilayah
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Bandung, November 2020

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i

UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................. ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iv

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vi

DAFTAR TABEL ......................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................... 1

B. Deskripsi Singkat ................................................................................ 3

C. Peta Kedudukan Modul ....................................................................... 3

D. Kompetensi Dasar ............................................................................... 5

E. Waktu .................................................................................................. 5

F. Petunjuk Penggunaan Modul .............................................................. 5

BAB II MANAJEMEN RISIKO ...................................................................... 6

A. Pengertian Manajemen Risiko ............................................................ 7

B. Identifikasi Risiko dan Penyebabnya ................................................ 20

C. Penilaian Risiko dan Mitigasi Risiko .................................................. 22

D. Rangkuman ....................................................................................... 26

E. Penilaian/Evaluasi ............................................................................. 26

F. Umpan Balik dan Tindak Lanjut ........................................................ 27

BAB III SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH ..................... 28

A. Pengertian Sistem Pengendalian Intern Pemerintah ........................ 29

iv
B. Kelembagaan, Penyelenggaraan, Pelaporan Serta Pengawasan SPIP
30

C. Tatacara Penyelenggaraan SPIP ..................................................... 37

D. Rangkuman....................................................................................... 45

E. Penilaian/Evaluasi............................................................................. 46

F. Umpan Balik dan Tindak Lanjut ........................................................ 46

BAB IV SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN KONSTRUKSI (SMKK)


..................................................................................................................... 48

A. Latar belakang dan Pengertian Keselamatan Konstruksi ................. 49

B. Ketentuan umum, Maksud dan Tujuan SMKK Bidang PUPR ........... 50

C. Penerapan SMKK Bidang PUPR ...................................................... 53

D. Rangkuman....................................................................................... 68

E. Penilaian/Evaluasi............................................................................. 69

F. Umpan Balik dan Tindak Lanjut ........................................................ 70

BAB V PENUTUP ...................................................................................... 71

A. Penutup............................................................................................. 73

B. Evaluasi Kegiatan Belajar ................................................................. 73

C. Umpan Balik Dan Tindak Lanjut ....................................................... 74

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 77

PERISTILAHAN .......................................................................................... 78

LAMPIRAN .................................................................................................. 81

KUNCI JAWABAN ...................................................................................... 94

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Kedudukan Modul ............................................................... 4


Gambar 2. Proses Manajemen Risiko berdasarkan ISO 31000 (2018) ........ 9
Gambar 3. Respon Risiko. .......................................................................... 22
Gambar 4. Peta Risiko (Sumber: COSO) ................................................... 23
Gambar 5. Peta Risiko dan Toleransi Risiko (Sumber: COSO) .................. 24
Gambar 6. Kelembagaan pada penyelenggaraan SPIP ............................. 31
Gambar 7. Pelaporan penyelenggaraan SPIP ............................................ 32
Gambar 8. Skema penyelenggaraan SPIP ................................................. 38
Gambar 9. Siklus Penyelenggaraan SPIP .................................................. 40
Gambar 10. Empat sisi yang ditinjau dalam SMKK .................................... 49
Gambar 11. Organisasi penyedia jasa ........................................................ 62
Gambar 12. Koordinasi Laporan Pengawasan ........................................... 68
Gambar 13. Siklus Penyelenggaraan SPIP ................................................ 97

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Risiko atau Risk Register (Sumber: COSO) .................................. 24

vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Risiko adalah dampak dari ketidakpastian terhadap pencapaian tujuan.
Dampak merupakan penyimpangan dari apa yang diharapkan, bisa bersifat
positif dan/atau negatif. Sedangkan tujuan dapat memiliki aspek yang
berbeda (seperti tujuan keuangan, kesehatan dan keselamatan, dan
lingkungan) dan dapat diterapkan pada tingkat yang berbeda (seperti
strategis, di seluruh organisasi, proyek, produk dan proses). Ketidakpastian
adalah keadaan, bahkan sebagian, dari kekurangan informasi yang terkait
dengan, pemahaman atau pengetahuan tentang suatu peristiwa,
konsekuensinya, atau kemungkinannya (ISO 31000, 2018).

Pada suatu organisasi pemerintahan untuk menghadapi risiko, maka


diperlukan suatu upaya manajemen risiko dan sistem pengendalian. Sesuai
dengan pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 tentang
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, menyatakan bahwa untuk mencapai
pengelolaan keuangan negara yang efisien, efektif, transparan, dan
akuntabel, menteri/pimpinan lembaga, gurbernur, dan bupati/ walikota wajib
melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintah.

Peraturan Pemerintah 60 tahun 2008 adalah langkah konkrit untuk


membentuk built in control artinya pengendalian by system. Siapapun
pemegang amanah birokrasi pemerintahan, maka dengan sendirinya sistem
yang akan melakukan pengendalian guna mencapai visi, misi dan tujuan
organisasi dalam arti sempit dan mencapai visi, misi dan tujuan bernegara
dalam arti seluas- luasnya sebagaimana termaksud dalam Pembukaan UUD
1945, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan seterusnya.

Keberhasilan dari Sistem Pengendalian Intern salah satunya ditunjukan


dengan adanya kecenderungan berkurangnya jumlah temuan audit. Hal ini
menunjukkan bahwa Sistem Pengendalian Intern telah dijalankan

1
sebagaimana mestinya sehingga mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan
baik yang disengaja maupun tidak.

Seiring dengan pesatnya laju pembangunan konstruksi dan teknologi


konstruksi di era industri 4.0 khususnya di Indonesia yang memiliki tingkat
risiko kecelakaan tinggi, maka perlu adanya penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan Konstuksi (SMKK) untuk para tenaga kerja.

Sistem Manajemen Keselamatan Konstuksi (SMKK) di tinjau dari 4 (empat)


sisi yaitu keselamatan dari sisi keteknikan, lingkungan, publik, dan kesehatan
tenaga kerja. Semua sisi tersebut tidak dapat dipisahkan dari 1 sisi dengan
sisi yang lain, karena 4 (empat) hal inilah yang terkait dalam konstruksi
berkelanjutan yang sesuai dengan undang-undang jasa konstruksi. Oleh
karena itu wajib menerapkan SMKK baik pengguna jasa maupun penyedia
jasa.

Pekerjaan konstruksi merupakan kegiatan yang cukup banyak menggunakan


peralatan, maupun dengan mesin atau manual. Dengan banyaknya peralatan
serta bahan-bahan konstruksi yang dilakukan pada kondisi konstruksi
khususnya yang memiliki tingkat resiko kecelakaan tinggi, maka perlu adanya
pencegahan dari kecelakaan kerja yang terjadi.

Berikut ini merupakan faktor - faktor yang mempengaruhi adanya SMKK:

1. Keinginan untuk selamat dan terhindar dari bahaya (Accident Free).


2. Keinginan untuk terhindar dari kerugian materi akibat kecelakaan
(Bussiness Interuption).
3. Memenuhi ketentuan hukum (Compliance with Law).
4. Desakan dari pihak luar dan tuntutan masyarakat (Costumer
satisfaction).
5. Menata sistem Jasa Konstruksi yang mampu mewujudkan
keselamatan publik dan menciptakan kenyamanan lingkungan
terbangun

2
Dengan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK), tingkat
keselamatan kerja meningkat yang mempengaruhi hasil pekerjaan yang
optimal, pengurangan dampak negatif lingkungan dan pemenuhan target
produksi. Sehingga diperlukan suatu Sistem Manajemen Keselamatan Kerja
(SMKK) yang mengatur dan dapat menjadi acuan bagi konsultan, kontraktor
dan para pekerja kontruksi. Pedoman penerapan SMKK di Indonesia diatur
dalam Peraturan Menteri PUPR No. 21/PRT/M/2019.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dari itu dengan modul Sistem


Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)/ Manajemen Risiko dan Sistem
Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Konstruksi (SMKK)
diharapkan peserta dapat memahami dan menerapkan SPIP, Manajemen
Risiko dan SKK pada pelaksanaan pekerjaan bidang jalan dan jembatan.

B. Deskripsi Singkat
Mata Pelatihan SPIP (Sistem Pengendalian Intern Pemerintah)/Manajemen
Risiko dan SMKK (Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi) ini
menguraikan manajemen risiko sebagai dasar untuk menyiapkan peserta
mampu menerapkan konsep SPIP (Sistem Pengendalian Intern Pemerintah)
dan SMKK (Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi), yang dilaksanakan
dengan cara curah pendapat, tanya jawab, diskusi kelompok, melalui
pembelajaran jarak jauh (distance learning)

C. Peta Kedudukan Modul


Peta kedudukan modul untuk Modul Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
(SPIP)/ Manajemen Risiko dan Sistem Manajemen Keselamatan Dan
Kesehatan Kerja Konstruksi (SMKK) ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

3
4
PETA KEDUDUKAN MODUL
D. Kompetensi Dasar
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu mengaplikasikan SPIP
dan SMKK dalam melaksanakan dan mengendalikan pekerjaan konstruksi
bidang jalan dan jembatan.

E. Waktu

Estimasi waktu pembelajaran yang disediakan untuk bisa mewujudkan


standar kompetensi yang sudah ditentukan dibutuhkan waktu 8 jam pelajaran.

F. Petunjuk Penggunaan Modul


Dalam belajar modul ini peserta tetap mengaitkan materi yang ada pada
modul dengan peraturan-peraturan maupun ketentuan-ketentuan lain yang
berlaku, sehingga diharapkan peserta dapat melakukan tahapan sebagai
berikut:

1. Membaca dengan seksama setiap bab dan membandingkan dengan


sumber lain yang terkait seperti pedoman, peraturan yang ada dan
ketentuan lain yang terkait, kemudian sesuaikan dengan pengalaman
peserta yang telah dialami di lapangan.
2. Menjawab pertanyaan dan latihan. Apabila belum dapat menjawab
dengan sempurna, hendaknya peserta mengulang kembali materi yang
belum dikuasai dan diskusikan dengan sesama peserta untuk
memperdalam materi.

5
BAB II
MANAJEMEN RISIKO

Indikator Keberhasilan

Peserta mampu menjelaskan pengertian risiko, penyebab risiko serta mitigasi


risiko.
A. Pengertian Manajemen Risiko
The Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission
(COSO) mendefinisikan risiko sebagai kemungkinan bahwa suatu kejadian
akan terjadi dan berdampak buruk terhadap pencapaian suatu tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya.

Sedangkan menurut International Organization for Standardization (ISO)


31000, Definisi risiko adalah dampak dari ketidakpastian terhadap
pencapaian tujuan. Dampak adalah penyimpangan dari apa yang diharapkan,
bisa bersifat positif dan/atau negatif. Tujuan dapat memiliki aspek yang
berbeda (seperti tujuan keuangan, Kesehatan dan keselamatan, dan
lingkungan) dan dapat diterapkan pada tingkat yang berbeda (seperti
strategis, di seluruh organisasi, proyek, produk dan proses). Ketidakpastian
adalah keadaan, bahkan sebagian, dari kekurangan informasi yang terkait
dengan, pemahaman atau pengetahuan tentang suatu peristiwa,
konsekuensinya, atau kemungkinannya.

Ada beberapa catatan pengaruh yang dimaksud dalam risiko menurut ISO
31000 yaitu:
1. Pengaruhnya adalah penyimpangan atau adanya ketidaksesuaian
dari yang diharapkan. Hal tersebut bisa positif atau negatif bahkan
keduanya, dan dapat mengatasi, menciptakan atau menghasilkan
peluang juga ancaman.
2. Tujuan yang akan dicapai dapat memiliki aspek dan kategori yang
berbeda, dan dapat diterapkan pada tingkat yang berbeda.
3. Risiko biasanya dinyatakan dalam sumber risiko), peristiwa potensial,
konsekuensinya dan kemungkinannya.

Risiko kemungkinan terjadinya peristiwa, suatu ketidakpastian yang


membawa akibat yang tidak diinginkan atas suatu peluang yang hilang.
Walaupun suatu kegiatan telah direncanakan sebaik mungkin, namun tetap
mengandung ketidakpastian, bahwa nanti akan berjalan sepenuhnya sesuai

7
rencana. Unsur risiko yaitu antara lain peristiwa, probalitas terjadinya dan
dampak peristiwa. Sumber risiko menurut Peraturan pemerintah 60 tahun
2008 pasal 16 huruf b terbagi menjadi 2 yaitu

1. Eksternal
Peraturan perundang-undangan baru, perkembangan teknologi, bencana
alam, dan gangguan keamanan.
2. Internal
Keterbatasan dana operasional, sumber daya manusia yang tidak
kompeten, peralatan yang tidak memadai, kebijakan dan prosedur yang
tidak jelas, dan suasana kerja yang tidak kondusif.

Menurut COSO (Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway


Commission), manajemen risiko adalah sebuah proses yang dilakukan oleh
dewan direksi, manajemen dan personil lainnya, diterapkan dalam penetapan
strategi dan di seluruh perusahaan, yang dirancang untuk mengidentifikasi
kejadian potensial yang dapat mempengaruhi entitas, dan mengelola risiko,
untuk memberikan keyakinan memadai, tentang pencapaian tujuan entitas.

Sedangkan menurut ISO 31000 manajemen risiko adalah kegiatan


terkoordinasi untuk mengarahkan dan mengendalikan organisasi terkait
dengan risiko. Berikut merupakan manfaat dari manajemen risiko antara lain:
1. Menjamin Pencapaian Tujuan Output dan Outcome
2. Memperkecil kebocoran, kerugian negara, kegagalan konstruksi dan
bangunan
3. Memberikan keyakinan pekerjaan selesai tepat WBK (Wilayah Bebas dari
Korupsi)
4. Meningkatkan kualitas pekerjaan, manajemen semakin baik, termasuk
keandalan laporan keuangan/BMN (Barang Milik Negara) dan
terjaminnya keamanan aset
5. Menciptakan suasana kerja yang kondusif

8
Gambar 1. Proses Manajemen Risiko berdasarkan ISO 31000 (2018)

Proses manajemen risiko harus menjadi bagian yang meliputi seluruhnya dari
manajemen dan pengambilan keputusan serta diintegrasikan ke dalam
struktur, operasi, dan proses organisasi. Hal ini dapat diterapkan pada level
strategis, operasional, program atau proyek. Ada banyak penerapan dari
proses manajemen risiko dalam suatu organisasi, disesuaikan untuk
mencapai tujuan tertentu agar sesuai dengan konteks eksternal dan internal
di mana mereka diterapkan. Perilaku dan budaya manusia harus
dipertimbangkan selama proses manajemen risiko. Meskipun proses
manajemen risiko sering diterapkan secara berurutan, dalam praktiknya
menyerupai siklus.

Dibawah ini merupakan pengertian dari proses manajemen risiko yang


bersumber dari ISO 31000 yang tertera pada Gambar 2 di atas.

1. Komunikasi dan Konsultasi


Komunikasi dan konsultasi dengan stakeholder eksternal dan internal
harus dilakukan selama tahap proses manajemen risiko belangsung.

9
Oleh karena itu, rencana untuk komunikasi dan konsultasi harus
dikembangkan pada tahap awal. Pada tahap awal ini membahas masalah
yang berkaitan dengan risiko itu sendiri, penyebabnya, konsekuensinya
(jika diketahui), dan tindakan yang diambil untuk menanganinya.
Komunikasi dan konsultasi eksternal dan internal yang efektif dilakukan
untuk memastikan bahwa mereka yang bertanggung jawab untuk
menerapkan proses manajemen risiko dan stakeholder memahami dasar
pengambilan keputusan, dan alasan mengapa tindakan tertentu
diperlukan. Berikut merupakan upaya pendekatan-pendekatan yang
terkait dengan komunikasi dan konsultasi:

a. Membantu membangun konteks dengan tepat;


b. Memastikan bahwa kepentingan para stakeholder dipahami dan
dipertimbangkan;
c. Membantu memastikan bahwa risiko diidentifikasi secara memadai;
d. Menyatukan bidang keahlian yang berbeda untuk menganalisis risiko;
e. Memastikan bahwa pandangan yang berbeda dipertimbangkan
dengan tepat ketika mendefinisikan kriteria risiko dan dalam
mengevaluasi risiko;
f. Mengamankan dukungan dan dukungan untuk rencana perawatan;
g. Meningkatkan perubahan manajemen yang tepat selama proses
manajemen risiko; dan
h. Mengembangkan rencana komunikasi dan konsultasi eksternal juga
internal dengan tepat.

Komunikasi dan konsultasi dengan stakeholder merupakan hal yang penting


karena stakeholder membuat penilaian tentang risiko berdasarkan persepsi
risiko stakeholder. Persepsi ini dapat bervariasi karena perbedaan nilai,
kebutuhan, asumsi, konsep dan kepedulian stakeholder. Karena pandangan
mereka dapat memiliki dampak signifikan terhadap keputusan yang diambil,
persepsi stakeholder harus diidentifikasi, dicatat, dan diperhitungkan dalam
proses pengambilan keputusan.
10
Komunikasi dan konsultasi harus memfasilitasi pertukaran informasi yang
jujur, relevan, akurat, dan dapat dipahami, dengan mempertimbangkan aspek
kerahasiaan dan integritas pribadi.

2. Membangun lingkup, konteks, dan kriteria


Tujuan membangun ruang lingkup, konteks dan kriteria adalah untuk
menyesuaikan proses manajemen risiko, memungkinkan penilaian risiko
yang efektif dan perlakuan risiko yang tepat. Lingkup, konteks dan kriteria
melibatkan penentuan ruang lingkup proses, dan memahami konteks
eksternal dan internal.
a. Menetapkan Ruang Lingkup
Organisasi harus menetapkan ruang lingkup kegiatan manajemen
risikonya. Karena proses manajemen risiko dapat diterapkan pada
tingkat yang berbeda (mis strategis, operasional, program, proyek,
atau kegiatan lainnya), penting untuk memperjelas ruang lingkup
yang dipertimbangkan, tujuan yang relevan untuk dipertimbangkan
dan keselarasannya dengan tujuan organisasi
Saat merencanakan pendekatan, pertimbangan meliputi:
1) Tujuan dan keputusan yang perlu dibuat;
2) Hasil yang diharapkan dari langkah-langkah yang akan diambil
dalam proses;
3) Waktu, lokasi, inklusi dan pengecualian khusus;
4) Alat dan teknik penilaian risiko yang tepat;
5) Sumber daya yang dibutuhkan, tanggung jawab dan catatan
untuk disimpan; dan
6) Hubungan dengan proyek lain, proses dan kegiatan.

b. Menetapkan Konteks Eksternal


Memahami konteks eksternal adalah suatu hal yang penting untuk
memastikan bahwa tujuan dan kepentingan eksternal stakeholder
dapat dipertimbangkan ketika mengembangkan kriteria risiko. Ini

11
didasarkan pada konteks organisasi secara luas, tetapi dengan
perincian spesifik tentang persyaratan hukum dan peraturan,
persepsi stakeholder, dan aspek risiko lainnya yang spesifik dengan
ruang lingkup proses manajemen risiko. Konteks eksternal tidak
terbatas pada hal-hal dibawah ini:
1) Lingkungan sosial dan budaya, politik, hukum, peraturan,
keuangan, teknologi, ekonomi, alam dan kompetitif, baik
internasional, nasional, regional atau lokal;
2) Tren utama yang berdampak pada tujuan organisasi; dan
3) Hubungan dengan persepsi dan nilai-nilai stakeholder eksternal.

c. Menetapkan Konteks Internal


Proses manajemen risiko harus diselaraskan dengan budaya,
proses, struktur, dan strategi organisasi. Konteks internal yaitu
segala sesuatu dalam organisasi yang dapat memengaruhi cara
organisasi mengelola risiko. Itu semua perlu dilakukan karena hal-
hal dibawah ini:
1) Adanya Manajemen risiko yang merupakan konteks tujuan
organisasi;
2) Tujuan dan kriteria proyek
3) proses atau aktivitas tertentu harus dipertimbangkan dengan
mempertimbangkan tujuan organisasi secara keseluruhan; dan
4) Beberapa organisasi gagal mengenali peluang untuk mencapai
sasaran strategis, proyek atau bisnis mereka, dan ini
mempengaruhi komitmen, kredibilitas, kepercayaan, dan nilai
organisasi yang berkelanjutan.

d. Menetapkan Konteks Proses Manajemen Risiko


Tujuan, strategi, ruang lingkup dan parameter kegiatan organisasi,
atau bagian-bagian organisasi tempat proses manajemen risiko
diterapkan, harus ditetapkan. Manajemen risiko harus dilakukan

12
dengan pertimbangan penuh dari kebutuhan untuk membenarkan
sumber daya yang digunakan dalam melaksanakan manajemen
risiko. Selain itu sumber daya yang dibutuhkan, tanggung jawab dan
wewenang, dan catatan yang harus disimpan juga harus ditentukan.

Konteks proses manajemen risiko akan bermacam-macam sesuai


dengan kebutuhan suatu organisasi. Dibawah ini merupakan hal-hal
yang melibatkan dari penetapan konteks proses manajemen risiko:
1) Mendefinisikan tujuan dan sasaran kegiatan manajemen risiko;
2) Mendefinisikan tanggung jawab dalam proses manajemen
risiko;
3) Mendefinisikan ruang lingkup, serta luasnya kegiatan
manajemen risiko yang akan dilakukan, termasuk inklusi dan
pengecualian khusus;
4) Mendefinisikan aktivitas, proses, fungsi, proyek, produk, layanan
atau aset dalam hal waktu dan lokasi;
5) Mendefinisikan hubungan antara proyek dengan proses atau
kegiatan tertentu dan proyek lainnya, juga hubungan proyek
dengan proses atau kegiatan organisasi;
6) Mendefinisikan metodologi penilaian risiko;
7) Mendefinisikan cara kinerja dan efektivitas dievaluasi dalam
manajemen risiko;
8) Mengidentifikasi dan menentukan keputusan yang harus
diambil; dan
9) Mengidentifikasi, melakukan pelingkupan atau merangkai studi
yang dibutuhkan, luas dan tujuannya, dan sumber daya yang
diperlukan untuk studi tersebut.

Catatan pada faktor-faktor ini dan faktor-faktor lain yang relevan


harus memastikan bahwa pendekatan manajemen risiko yang
diterapkan sesuai dengan keadaan.

13
e. Menentukan Kriteria Risiko
Suatu organisasi harus menetapkan kriteria yang akan digunakan
untuk mengevaluasi mengenai signifikansi risiko. Kriteria tersebut
harus mencerminkan nilai, tujuan, dan sumber daya organisasi.
Beberapa kriteria berasal dari persyaratan hukum dan peraturan dan
juga pada persyaratan lain disetujui oleh organisasi. Kriteria risiko
harus konsisten dengan kebijakan manajemen risiko organisasi yang
ditetapkan pada awal setiap proses manajemen risiko dan terus
ditinjau seiring berjalannya proses manajemen.

Dalam menentukan kriteria risiko, ada faktor-faktor yang harus


dipertimbangkan yaitu sebagai berikut:
1) Sifat dan jenis penyebab serta konsekuensi yang dapat terjadi
dan bagaimana mereka akan dinilai;
2) Bagaimana kemungkinan risiko akan didefinisikan;
3) Jangka waktu dari kemungkinan dan / atau konsekuensi;
4) Bagaimana tingkat risiko harus ditentukan;
5) Level tingkat di mana risiko menjadi dapat diterima atau
ditoleransi;
6) Apakah kombinasi berbagai risiko harus diperhitungkan dan, jika
demikian, bagaimana dan kombinasi dari risiko mana yang
harus dipertimbangkan, dan
7) Kapasitas organisasi

3. Penilaian Risiko
Penilaian risiko adalah keseluruhan dari proses identifikasi risiko, analisis
risiko dan evaluasi risiko. Berikut merupakan penjelasannya:
a. Identifikasi Risiko
Suatu organisasi harus mengidentifikasi sumber risiko, bidang
dampak yang terkena risiko, peristiwa (termasuk perubahan
keadaan) dan penyebab serta konsekuensinya. Tujuan identifikasi

14
risiko adalah untuk menemukan, mengenali, dan menggambarkan
risiko yang mungkin membantu atau mencegah organisasi mencapai
tujuannya. Informasi yang relevan, tepat, dan terkini penting dalam
mengidentifikasi risiko.

b. Analisis Risiko
Analisis risiko melibatkan pengembangan pemahaman tentang risiko.
Analisis risiko memberikan hasil untuk selanjutnya masuk pada
evaluasi risiko dan keputusan bagaimana menanggapi risiko, serta
memilih strategi dan metode perawatan risiko yang paling tepat.
Analisis risiko juga dapat memberikan hasil ke dalam pengambilan
keputusan di mana pilihan harus dibuat dan pilihan melibatkan
berbagai jenis dan tingkat risiko.

Analisis risiko melibatkan pertimbangan penyebab dan sumber risiko,


konsekuensi positif dan negatifnya, dan kemungkinan konsekuensi
tersebut dapat terjadi. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsekuensi
dan kemungkinan harus diidentifikasi. Risiko dianalisis dengan
menentukan konsekuensi dan kemungkinannya, dan atribut risiko
lainnya. Suatu peristiwa dapat memiliki banyak konsekuensi dan
dapat memengaruhi banyak tujuan. Kontrol yang ada dan efektivitas
serta efisiensinya juga harus diperhitungkan.

Analisis risiko dapat dilakukan dengan berbagai tingkat detail,


tergantung pada risiko, tujuan analisis, informasi, data, dan sumber
daya yang tersedia. Analisis dapat bersifat kualitatif, semi-kuantitatif
atau kuantitatif, atau kombinasi dari ini, tergantung pada keadaan.

Konsekuensi dan kemungkinannya dapat ditentukan dengan


memodelkan hasil dari suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa,
atau dengan ekstrapolasi dari studi eksperimental atau dari data yang

15
tersedia. Konsekuensi dapat dinyatakan dalam dampak nyata dan
tidak berwujud. Dalam beberapa kasus, lebih dari satu nilai numerik
atau deskriptor diperlukan untuk menentukan konsekuensi dan
kemungkinannya untuk waktu, tempat, kelompok, atau situasi yang
berbeda.

c. Evaluasi Risiko
Tujuan dari evaluasi risiko yaitu untuk membantu dalam pengambilan
keputusan, berdasarkan pada hasil analisis risiko, tentang risiko
mana yang memerlukan perlakuan dan prioritas untuk implementasi
perlakuan.

Evaluasi risiko melibatkan membandingkan tingkat risiko yang


ditemukan selama proses analisis dengan kriteria risiko yang
ditetapkan ketika konteksnya dipertimbangkan. Berdasarkan
perbandingan ini, kebutuhan untuk perlakuan dapat dipertimbangkan.

Keputusan harus mempertimbangkan konteks risiko yang lebih luas


dan mencakup pertimbangan toleransi risiko yang ditanggung oleh
pihak selain organisasi yang mendapat manfaat dari risiko tersebut.
Keputusan harus dibuat sesuai dengan persyaratan hukum,
peraturan, dan lainnya.

Dalam beberapa kondisi, evaluasi risiko dapat mengarah pada


keputusan untuk melakukan analisis lebih lanjut. Evaluasi risiko juga
dapat mengarah pada keputusan untuk tidak memperlakukan risiko
dengan cara lain selain mempertahankan kontrol yang diberlakukan.
Keputusan ini akan dipengaruhi oleh sikap risiko organisasi dan
kriteria risiko yang telah ditetapkan.

16
4. Penanganan Risiko
Penanganan risiko melibatkan pemilihan satu atau lebih opsi untuk
memodifikasi risiko, dan mengimplementasikan opsi-opsi itu. Setelah
diimplementasikan, dipilih apakah risiko tersebut termasuk dalam
kategori yang perlu perlakuan risiko atau perlu memodifikasi kontrol agar
terwujudnya tujuan organisasi. Penanganan risiko melibatkan proses
siklus seperti dibawah ini:
a. Menilai perlakuan risiko;
b. Memutuskan apakah tingkat risiko residual dapat ditoleransi;
c. Jika tidak dapat ditoleransi, menghasilkan perlakuan risiko baru; dan
d. Menilai efektivitas perlakuan itu.

Opsi penanganan risiko tidak harus sesuai dalam semua keadaan. Opsi
dapat mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Menghindari risiko dengan memutuskan untuk tidak memulai atau
melanjutkan kegiatan yang menimbulkan risiko;
b. Mengambil atau meningkatkan risiko untuk mengejar peluang;
c. Menghilangkan sumber risiko;
d. Mengubah kemungkinan;
e. Mengubah konsekuensinya;
f. Berbagi risiko dengan pihak atau pihak lain (termasuk kontrak dan
pembiayaan risiko); dan
g. Mempertahankan risiko dengan keputusan yang tepat.

Saat memilih opsi penanganan risiko, organisasi harus


mempertimbangkan nilai dan persepsi stakeholder dan cara yang paling
tepat untuk berkomunikasi dengan stakeholder. Jika opsi penanganan
risiko dapat berdampak pada risiko di tempat lain dalam organisasi atau
dengan para stakeholder, ini harus masuk dalam pertimbangan dalam
pengambilan keputusan. Meskipun sama-sama efektif, beberapa
penanganan risiko dapat lebih diterima oleh beberapa stakeholder

17
daripada opsi yang lain. Rencana penanganan harus jelas dalam
mengidentifikasi urutan prioritas di mana penanganan risiko individu
harus dilaksanakan.

Perawatan risiko itu sendiri dapat menimbulkan risiko lainnya. Risiko


yang signifikan dapat berupa kegagalan atau ketidakefektifan tindakan
penanganan risiko. Pemantauan perlu menjadi bagian integral dari
rencana perawatan risiko untuk memberikan jaminan bahwa tindakan
tetap efektif.

Penanganan risiko juga dapat menimbulkan risiko sekunder yang perlu


dinilai, dirawat, dipantau, dan ditinjau. Risiko sekunder ini harus
dimasukkan ke dalam rencana perlakuan yang sama dengan risiko awal
dan tidak diperlakukan sebagai risiko baru.

Dalam hal mempersiapkan dan mengimplementasikan rencana


perawatan risiko terdapat tujuan dari rencana perawatan risiko.
Tujuannya adalah untuk mendokumentasikan bagaimana opsi perlakuan
yang dipilih akan diimplementasikan. Informasi yang disediakan dalam
rencana perlakuan risiko harus mencakup:
a. Alasan pemilihan opsi perlakuan, termasuk manfaat yang diharapkan
dan yang akan diperoleh;
b. Mereka yang bertanggung jawab menyetujui rencana dan
mengimplementasikan rencana;
c. Tindakan yang diusulkan;
d. Persyaratan sumber daya termasuk kontinjensi;
e. Ukuran kinerja dan kendala kinerja;
f. Persyaratan pelaporan dan pemantauan; dan
g. Waktu dan jadwal.

18
Rencana perlakuan harus diintegrasikan dengan proses manajemen
organisasi dan didiskusikan dengan stakeholder yang tepat. Pembuat
keputusan dan stakeholder lainnya harus mengetahui sifat dan tingkat
risiko residual setelah perlakuan risiko. Risiko residual harus
didokumentasikan dan dilakukan pemantauan, peninjauan dan, jika
sesuai perawatan lebih lanjut.

5. Monitoring dan Review


Baik monitoring dan review tentu menjadi bagian yang direncanakan dari
proses manajemen risiko dan melibatkan pemeriksaan atau pengawasan
rutin. Pemeriksaan atau pengawasan rutin dapat dilakukan secara
periodik ataupun ad hoc. Tanggung jawab untuk monitoring dan review
didefinisikan secara jelas. Proses monitoring dan review organisasi
mencakup semua aspek dari proses manajemen risiko dengan tujuan:
a. Memastikan bahwa sistem yang berjalan efektif dan efisien baik
dalam desain maupun operasi;
b. Mendapatkan informasi lebih lanjut untuk meningkatkan penilaian
risiko;
c. Menganalisis dan mempelajari hal dari berbagai peristiwa,
perubahan, tren, keberhasilan dan kegagalan;
d. Mendeteksi perubahan dalam konteks eksternal dan internal,
termasuk perubahan kriteria risiko dan risiko itu sendiri yang dapat
memerlukan revisi perawatan risiko dan prioritas; dan
e. Mengidentifikasi risiko yang muncul.

Hasil monitoring dan review harus dicatat dan dilaporkan secara


eksternal dan internal sebagaimana mestinya, dan juga harus digunakan
sebagai masukan untuk tinjauan kerangka kerja manajemen risiko.

19
6. Catatan Proses Manajemen Risiko
Kegiatan manajemen risiko harus dapat ditelusuri dalam prosesnya.
Dalam proses manajemen risiko, catatan memberikan dasar untuk
perbaikan dalam metode serta dalam proses keseluruhan. Keputusan
tentang pembuatan catatan harus mempertimbangkan:
a. Kebutuhan organisasi untuk pembelajaran berkelanjutan
kedepannya;
b. Memanfaatkan kembali informasi yang sebelumnya telah terjadi
untuk tujuan manajemen;
c. Biaya dan upaya yang terlibat dalam membuat dan memelihara
catatan atau rekam jejak;
d. Kebutuhan hukum, peraturan dan operasional untuk catatan;
e. Metode akses kemudahan dalam pengambilan dan media
penyimpanan;
f. Periode penyimpanan; dan
g. Sensitivitas informasi.

B. Identifikasi Risiko dan Penyebabnya


Identifikasi risiko adalah proses mengidentifikasi lokasi, waktu, sebab, dan
proses terjadi peristiwa risiko yang dapat menghalangi, menurunkan,
menunda atau meningkatkan tercapainya sasaran. Tujuan identifikasi risiko
adalah untuk menemukan, mengenali, dan menggambarkan risiko yang
mungkin membantu atau mencegah organisasi mencapai tujuannya.
Informasi yang relevan, tepat, dan terkini penting dalam mengidentifikasi
risiko.

Suatu organisasi harus menerapkan alat dan teknik identifikasi risiko yang
sesuai dengan tujuan dan kemampuannya, serta risiko yang dihadapi.
Informasi yang relevan dan terkini penting dalam mengidentifikasi risiko. Itu
semua harus mencakup informasi latar belakang yang sesuai jika

20
memungkinkan. Orang-orang dengan pengetahuan yang tepat dan luas harus
dilibatkan dalam mengidentifikasi risiko.

Organisasi dapat menggunakan berbagai teknik untuk mengidentifikasi


ketidakpastian yang dapat memengaruhi satu atau lebih tujuan. Faktor-faktor
berikut, dan hubungan antara faktor-faktor ini, harus dipertimbangkan
berdasarkan ISO 31000 (2018):

1. Sumber risiko nyata dan tidak berwujud;


2. Penyebab dan peristiwa;
3. Ancaman dan peluang;
4. Kerentanan dan kemampuan;
5. Perubahan dalam konteks eksternal dan internal;
6. Indikator risiko yang muncul;
7. Sifat dan nilai aset dan sumber daya;
8. Konsekuensi dan dampaknya terhadap tujuan;
9. Keterbatasan pengetahuan dan keandalan informasi;
10. Faktor terkait waktu;
11. Bias, asumsi dan kepercayaan dari mereka yang terlibat.

Sumber atau penyebab risiko menurut Peraturan pemerintah 60 tahun 2008


pasal 16 terbagi menjadi dua yaitu:
1. Eksternal
Peraturan perundang-undangan baru, perkembangan teknologi,
bencana alam, dan gangguan keamanan.
2. Internal
Keterbatasan dana operasional, sumber daya manusia yang tidak
kompeten, peralatan yang tidak memadai, kebijakan dan prosedur
yang tidak jelas, dan suasana kerja yang tidak kondusif.

21
C. Penilaian Risiko dan Mitigasi Risiko
Penilaian risiko adalah kegiatan penilaian atas kemungkinan kejadian yang
mengancam pencapaian tujuan dan sasaran instansi pemerintah. Tujuan
umum dari penilaian risiko adalah untuk mengetahui seberapa besar dampak
risiko yang akan terjadi melalui identifikasi dan analisis risiko sehingga dapat
membantu menangani risiko. Beberapa manfaat penilaian risiko yaitu:

1. Efisiensi dan efektivitas pelayanan


2. Dasar penyusunan rencana strategis
3. Menghindari pemborosan

Pada Gambar 3 merupakan proses dari sebuah manajemen risiko, dengan


kegiatan penetapan konteks, penilaian risiko, dan perlakuan risiko.

Gambar 2. Respon Risiko.

Setelah risiko dinilai, manajemen menentukan bagaimana risiko tersebut


direspon menggunakan grafik yang tertera pada Gambar 3. Potensi risiko
mempunyai tingkat risiko/ exposure yang besarnya ditentukan oleh tingkat
probabilitas terjadinya risiko dan tingkat dampak yang ditimbulkan.

22
1. Probabilitas
Probabilitas merupakan kemungkinan terjadinya potensi risiko, yang
besarannya dapat diperhitungkan berdasarkan catatan kejadian
sebelumnya/statistik atau expert judgement atau knowledge base.
2. Dampak Risiko
Tingkat keparahan/ severity suatu dampak dari suatu risiko yang
dilakukan dengan sistem scoring sebagai berikut:
a. Tingkat Risiko
Nilai tingkat risiko merupakan hasil perkalian antara
probabilitas dengan dampak. Tingkat risiko = probabilitas x
keparahan dampak.
b. Peta Risiko
Hasil perhitungan tingkat risiko masing-masing potensi
kejadian risiko/risk event disusun sehingga menjadi peta risiko.
Dengan adanya peta risiko seperti pada Gambar 4 maka dapat
disimpulkan mengenai kemungkinan dan dampak yang terjadi
mengenai risiko tersebut.

Gambar 3. Peta Risiko (Sumber: COSO)

23
Gambar 4. Peta Risiko dan Toleransi Risiko (Sumber: COSO)

Tabel 1. Risiko atau Risk Register (Sumber: COSO)

Setelah mengumpulkan data – data mengenai risiko yang ditinjau seperti yang
tertera pada Tabel 1 maka tingkat risiko setelah perlakuan risiko akan

24
diketahui peredaman risiko masuk kedalam toleransi risiko atau pun tidak.
Berikut merupakan kunci keberhasilan manajemen risiko

1. Dukungan penuh manajemen dan staf


2. Ketersediaan informasi dan proses yang mudah dipahami
3. Tanggung jawab dari pelaksana/pemilik kegiatan/pemilik risiko
4. Sumberdaya yang memadai untuk mendukung pelaksanaan
manajemen risiko
5. Komunikasi dan pelatihan yang berkelanjutan
6. Sarana untuk mengukur hasil yang dicapai
7. Penegakan peraturan
8. Pemantauan yang berkesinambungan

Mitigasi risiko atau pencegahan risiko adalah bentuk upaya agar


meminimalisir terjadinya risiko yang terjadi. Pencegahan risiko saling
berkaitan erat dan pada dasarnya dapat dicapai dengan cara mengurangi
atau menyingkirkan sebagian dari risiko yang ada.

Upaya mitigasi risiko dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

a. Eliminasi (Penghapusan Sebagian Risiko), menghapus atau


mengurangi kemungkinan terjadinya risiko yang dihadapi.
b. Memperkecil Risiko, usaha untuk memperkecil risiko dapat dibagi
dalam 2 bagian, yaitu:
1) PreLoss Minimisation, adalah suatu tindakan memperkecil
terjadinya suatu risiko yang dilakukan sebelum terjadinya
kerugian.
2) Post Loss Minimisation, adalah suatu tindakan memperkecil
terjadinya suatu risiko yang dilakukan sesudah terjadinya
kerugian.

25
D. Rangkuman
Risiko merupakan kejadian yang mungkin terjadi secara tak terduga akibat
ketidakpastian. Walaupun suatu kegiatan telah direncanakan sebaik mungkin,
namun tetap mengandung ketidakpastian, bahwa nanti akan berjalan
sepenuhnya sesuai rencana. Sumber risiko menurut Peraturan pemerintah 60
tahun 2008 pasal 16 huruf b terbagi menjadi 2 yaitu

1. Eksternal
Peraturan perundang-undangan baru, perkembangan teknologi,
bencana alam, dan gangguan keamanan.
2. Internal
Keterbatasan dana operasional, sumber daya manusia yang tidak
kompeten, peralatan yang tidak memadai, kebijakan dan prosedur
yang tidak jelas, dan suasana kerja yang tidak kondusif.

Pengertian manajemen risiko yaitu suatu cara yang digunakan manajemen


untuk menangani berbagai permasalahan yang disebabkan oleh adanya
risiko. Berikut merupakan kunci keberhasilan manajemen risiko:

1. Dukungan penuh manajemen dan staf


2. Ketersediaan informasi dan proses yang mudah dipahami
3. Tanggung jawab dari pelaksana/pemilik kegiatan/pemilik risiko
4. Sumberdaya yang memadai untuk mendukung pelaksanaan
manajemen risiko
5. Komunikasi dan pelatihan yang berkelanjutan
6. Sarana untuk mengukur hasil yang dicapai
7. Penegakan peraturan
8. Pemantauan yang berkesinambungan

E. Penilaian/Evaluasi
Jawablah pertanyaan berikut, untuk mengetahui permahaman anda terhadap
materi ini. Soal nomor 1 bernilai 40, sedangkan nomor 2 dan 3 bernilai 30.

1. Jelaskan pengertian risiko menurut COSO dan ISO 31000!


26
2. Jelaskan dan sebutkan penyebab dari adanya risiko!
3. Jelaskan apa itu mitigasi risiko!

F. Umpan Balik dan Tindak Lanjut


Jawablah soal evaluasi dan bandingkan jawaban Anda dengan kunci jawaban
pada bagian akhir modul. Hitunglah jumlah jawaban Anda yang benar.
Kemudian gunakanlah rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat
penguasaan Anda terhadap materi Bab II.

Tingkat Penguasaan = Σnilai %

Presentase Pencapaian Tindak Lanjut


90 – 100% Baik Sekali Anda dapat melanjutkan materi ke Bab III
80 – 89% Baik Anda dapat melanjutkan materi ke Bab III
70 – 79% Sedang Anda harus mengulangi materi yang belum
dikuasai ke Bab II
<60% Kurang Anda harus mengulangi materi yang belum
dikuasai ke Bab II

27
BAB III
SISTEM PENGENDALIAN INTERN
PEMERINTAH

Indikator Keberhasilan

Peserta mampu menerapkan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).


A. Pengertian Sistem Pengendalian Intern Pemerintah

1. Dasar Hukum

Dalam Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) tentunya ada dasar


hukum yang berlaku guna menetapkan peraturannya, yaitu:

a. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian


Intern Pemerintah,
b. Peraturan Menteri PUPR No. 20 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah di Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat.
c. Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan
dan Kinerja Instansi Pemerintah
d. Peraturan Menteri PUPR No. 25 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum
Pengawasan Intern di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat

2. Pengertian SPIP

Pengertian Sistem Pengendalian Intern berdasarkan Peraturan menteri


PUPR No. 20/PRT/M/2018 adalah proses yang integral pada tindakan dan
kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh
pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan
organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan
keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan
perundangan- undangan. Sedangkan Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah yang selanjutnya disingkat SPIP adalah Sistem pengendalian
yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah.

Adapun Kewenangan dari Pengendalian SPIP tersebut dibagi menjadi 4


(empat), yaitu mencakup:

29
1) Menteri berwenang dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan pengendalian intern atas penyelenggaraan
kegiatan pada Kementerian untuk mencapai peningkatan kinerja,
pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan
dan akuntabel.
2) Penyelenggaraan SPIP pada Unit Organisasi dikoordinasikan
oleh Sekretaris Direktorat Jenderal/Sekretaris Inspektur
Jenderal/ Sekretaris Badan terkait.
3) Unit Organisasi menerapkan Penyelenggaraan SPIP yang
meliputi unsur lingkungan pengendalian, penilaian resiko,
kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, dan
pemantauan pengendalian intern.

B. Kelembagaan, Penyelenggaraan, Pelaporan Serta Pengawasan


SPIP

1. Kelembagaan

Dalam penyelenggaraan SPIP dibentuk Satuan Tugas Koordinasi


Penyelenggaraan SPIP yang terdiri atas:

a. Satuan tugas koordinasi penyelenggaraan SPIP kementerian; dan


b. Satuan tugas koordinasi penyelenggaraan SPIP unit organisasi.

30
Gambar 5. Kelembagaan pada penyelenggaraan SPIP

Gambar 6 menunjukkan hubungan dari kelembagaan dari Penyelenggaraan


SPIP, dapat dilihat bahwa Satuan Tugas Koordinasi Penyelenggaraan SPIP
Kementerian dikoordinasikan oleh Sekretaris Jenderal dan ditetapkan oleh
Menteri. Sedangkan pembentukan Satuan Tugas Koordinasi
Penyelenggaraan SPIP Unit Organisasi ditetapkan oleh Pimpinan Unit
Organisasi bersangkutan.

Susunan dan tugas Satuan Tugas Koordinasi Penyelenggaraan SPIP pada


Unit Organisasi ditetapkan oleh Pimpinan Unit Organisasi yang diketuai oleh:

1) Kepala biro keuangan untuk sekretariat jenderal kementerian;


2) Sekretaris inspektorat jenderal untuk inspektorat jenderal;
3) Sekretaris direktorat jenderal untuk direktorat jenderal; dan
4) Sekretaris badan untuk badan.

2. Penyelenggaraan

Penyelenggaraan Sistem Pengawasan Intern Pemerintah (SPIP) di masing-


masing Unit Organisasi berada di bawah tanggung jawab Pimpinan Unit
Organisasi di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Pimpinan Unit Kerja/ UPT di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan

31
Rakyat bertanggung jawab atas efektivitas penyelenggaraan Sistem
Pengendalian Intern di masing-masing Unit Kerja/UPT.

3. Pelaporan SPIP

Laporan penyelenggaraan SPIP dibagi menjadi 3 (tiga) berdasarkan tingkat


kelembagaannya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7, yaitu:

a. Laporan SPIP tingkat Kementerian;


b. Laporan SPIP tingkat Unit Organisasi; dan
c. Laporan SPIP tingkat Unit Kerja/UPT

Gambar 6. Pelaporan penyelenggaraan SPIP

Setiap pimpinan Unit Organisasi menyusun dan menyampaikan Laporan


Penyelenggaraan SPIP di masing-masing Unit Organisasi dan disampaikan
ke Sekretaris Jenderal melalui Kepala Biro Keuangan paling lambat 3 (tiga)
bulan setelah tahun anggaran berakhir. Selanjutnya Sekretaris Jenderal
mengkoordinasikan penyusunan dan penyampaian laporan penyelenggaraan

32
SPIP di Kementerian dan menyampaikan kepada Menteri paling lambat 4
(empat) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

Dalam penyusunan laporan penyelenggaraan SPIP, pimpinan Unit Kerja/UPT


yang menjadi atasan langsung satuan kerja melakukan koordinasi dan
konsolidasi penyelenggaraan SPIP dengan satuan kerja yang berada
dibawah koordinasinya.

Dalam penyelenggaraan SPIP diperlukan laporan Penyelenggaraan SPIP


sebagai bentuk pertanggung jawaban yang berisi tentang:

a. Pelaksanaan kegiatan dari awal hingga akhir;


b. Hambatan yang dihadapi;
c. Saran perbaikan; dan
d. Tindak lanjut.

Adapun format laporan yang dapat digunakan akan di bahas pada penjelasan
di bawah ini.

4. Format Laporan

Berikut ini merupakan sistematika penulisan Laporan SPIP yang dapat


digunakan untuk 3 (tiga) tingkat kelembagaan yang telah disebutkan di atas.

a. Pada Laporan SPIP Tingkat Kementerian dan Unit Organisasi harus


mencakup:
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Dasar Hukum
3. Maksud Dan Tujuan
4. Ruang Lingkup
B. SEKILAS TENTANG SPIP
1. Pengertian SPIP
33
2. Tujuan SPIP
3. Unsur-unsur SPIP
C. LINGKUNGAN PENGENDALIAN
1. Kelemahan Lingkungan Pengendalian
2. Rencana Tindak Perbaikan
D. PENGENDALIAN TINGKAT STRATEGIS PADA
KEMENTERIAN/UNIT ORGANISASI
1. Tujuan Strategis
2. Analisa Lingkungan Internal (Kelemahan) dan Analisa
Lingkungan Eksternal (Ancaman)
3. Rencana Tindak Pengendalian
E. PENGENDALIAN TINGKAT KEMENTERIAN DAN UNIT
ORGANISASI
1. Identifikasi Risiko
2. Rangking Risiko dan Peta Risiko
3. Rencana Tindak Pengendalian
a. Rencana Perbaikan Kegiatan Pengendalian
b. Rencana Perbaikan Informasi Dan Komunikasi
c. Rencana Perbaikan Pemantauan.
F. LAMPIRAN-LAMPIRAN:
1. Formulir Daftar Kelemahan Lingkungan Pengendalian dan
Rencana Tindak Perbaikan
2. Formulir Daftar Risiko
3. Formulir Daftar Rangking Risiko/ Peta Risiko
4. Formulir Daftar Rencana Tindak Pengendalian

b. Pada Laporan SPIP tingkat Unit Kerja/UPT terdiri dari:


A. Surat Pengantar Penyampaian penyelenggaraan SPIP
B. Lampiran Surat Pengantar Penyelenggaraan SPIP Unit
Kerja/UPT

34
Lampiran-lampiran yang digunakan untuk laporan SPIP dapat dilihat pada
Lampiran 1.

5. Pengawasan

Pengawasan Intern dilakukan untuk memperkuat dan menunjang efektivitas


penyelenggaraan SPIP. Pengawasan intern dilakukan terhadap pelaksanaan
tugas dan fungsi serta akuntabilitas keuangan negara di Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui evaluasi oleh Inspektorat
Jenderal. Adapun pedoman yang dapat digunakan terkait Pengawasan
Intern, yaitu Peraturan Menteri PUPR No. 25 Tahun 2017 tentang Pedoman
Umum Pengawasan Intern PUPR.

Pengertian dari Pengawasan Intern menurut Peraturan Menteri PUPR No. 25


Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Pengawasan Intern PUPR adalah
seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan
pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi
dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah
dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif
dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik.

Inspektorat Jenderal melaksanakan tugas Pengawasan Intern sesuai dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengawasan Intern meliputi
kegiatan:

a) Audit
b) Reviu
c) Evaluasi
d) Pemantauan
e) Pengawasan Lainnya

35
Langkah kegiatan pengawasan intern dilakukan dengan menggunakan 3
(tiga) tahapan umum, yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan.

1) Penilaian Kinerja Pengawasan


Inspektorat Jenderal wajib melakukan penilaian kinerja terhadap Tim
Audit dalam setiap kegiatan pengawasannya. Penilaian kinerja Tim Audit
dilakukan setiap akhir penugasan pengawasan secara benjenjang. Ketua
Tim melakukan penilaian kinerja terhadap anggota timnya.

Pengendali Teknis melakukan penilaian kinerja terhadap Ketua Tim yang


berada di bawahnya, Pengendali Mutu melakukan penilaian kinerja
Pengendali Teknis yang berada di bawahnya dan Inspektur Jenderal
melakukan penilaian kinerja terhadap Pengendali Mutu melalui Inspektur.

Hasil penilaian kinerja disampaikan kepada Auditor sehingga yang


bersangkutan dapat memperbaiki kinerjanya dan mendokumentasikan.
Hasil penilaian kinerja dipergunakan dalam pembinaan aparat
pengawasan selanjutnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata Cara
Penilaian Kinerja Auditor dan Pejabat lainnya yang ditugasiditetapkan
oleh Inspektur Jenderal.

2) Pelaporan Kegiatan dan Hasil Pengawasan


Inspektur Jenderal pada awal tahun anggaran menyampaikan PKPT
kepada Menteri. Dalam hal terdapat perubahan PKPT sebagai hasil
Reviu triwulanan, Inspektur Jenderal melaporkannya kepada Menteri.

Inspektur Jenderal setiap akhir bulan menyampaikan laporan evaluasi


pelaksanaan program kerja pengawasan tahunan kepada Menteri.
Laporan meliputi simpulan hasil kegiatan pengawasan dan tindak
lanjutnya baik yang sudah maupun yang belum diselesaikan.

36
3) Sistem Informasi Manajemen Pengawasan.
Informasi tentang Auditi, hasil pengawasan baik intern maupun ekstern,
serta hasil pengawasan lainnya dimasukkan ke dalam basis data sistem
informasi manajemen pengawasan untuk pemutakhiran. Pejabat yang
bertanggung jawab atas pengelolaan basis data ditunjuk oleh Inspektur
Jenderal. Akses terhadap asis data pengawasan diatur berdasarkan
ketentuan peraturan perundang- undangan. Basis data sistem informasi
manajemen pengawasan, ditetapkan oleh Inspektur Jenderal. Sekretariat
Jenderal dapat berkoordinasi, bekerjasama dan bersinergi dengan
Inspektorat Jenderal dan Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan untuk melakukan pembinaan.

Pembinaan dilakukan melalui asistensi, konsultasi, sosialisasi, bimbingan


teknis, pelatihan, maupun kegiatan pembinaan lainnya.

C. Tatacara Penyelenggaraan SPIP


Dalam tatacara penyelenggaraan SPIP terdapat beberapa unsur yang
terkandung di dalamnya antara lain 3 lini pertahanan atau Three Lines of
Defense. Model Three Lines of Defense memiliki tujuan untuk memisahkan
fungsi-fungsi organisasi, seperti:

1. Lapisan pertama, merupakan unit kerja sebagai pemilik risiko


pekerjaan;
2. Lapisan kedua, merupakan unit manajemen risiko (mengelola risiko);
dan
3. Lapisan ketiga, merupakan pertahanan oleh inspektorat jenderal

Semua fungsi tersebut memainkan peran penting dalam kaitannya dengan


penerapan SPIP. SPIP pada hakekatnya adalah proses yang terintegrasi
pada aktivitas dan tindakan yang dilaksanakan oleh Pimpinan dan pegawai
secara terus menerus dalam rangka memberikan keyakinan tercapainya

37
tujuan organisasi secara efektif, efisien, aset terjaga, laporan keuangan andal,
serta taat pada aturan.

Maka dari itu agar suatu organisasi dapat mencapai tujuan atau peduli kepada
pencapaian tujuan, SPIP dan termasuk didalamnya pengelolaan risiko harus
dilaksanakan. Skema penyelenggaraan SPIP berdasarkan unsur Three Lines
of Defense ditunjukkan pada Gambar 7. Pejelasan lebih lanjut mengenai
Model Three Lines of Defense terdapat pada Modul 11 mengenai
Pengawasan Intern.

Gambar 7. Skema penyelenggaraan SPIP

1. Siklus Penyelenggaraan SPIP

Pendekatan penyelenggaraan SPIP pelaksanaan yang berkelanjutan, terus


menerus oleh pimpinan dan seluruh jajaran organisasi untuk memberikan
keyakinan atas tercapainya tujuan organisasi dengan berpedoman pada
siklus penyelenggaraan SPIP yang tidak secara kaku dan harus dimulai dari
satu tahapan tertentu.

38
Siklus penyelenggaraan yang tertera pada Gambar 9 dapat dilihat adanya
kegiatan:

a. Menganalisis tujuan
b. Merumuskan lingkungan pengendalian yang diharapkan
c. Menganalisis risiko
d. Melakukan valuasi pengendalian terpasang
e. Merevisi kebijakan dan rencana tindak pengendalian intern
f. Pengkomunikasian revisi pengendalian
g. Memonitor dan mengevaluasi hasil revisi

Siklus penyelenggaraan SPIP memudahkan unit kerja dan fasilitator dalam


menyelenggaraan SPIP, tahapannya selalu berputar secara terus menerus
untuk melakukan perbaikan dan disebut dengan rencana tindak pengendalian
(RTP). Siklus penyelenggaraan SPIP, diharapkan secara kontinyu akan dapat
mengintegrasikan SPIP ke dalam proses penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan.

Dibawah ini merupakan pendekatan penyelenggaraan SPIP:

a. Berkelanjutan
b. Tercapainya tujuan organisasi
c. Siklus penyelenggaraan yang tidak kaku dan harus dimulai dari satu
tahapan tertentu
d. Selalu berputar

39
Gambar 8. Siklus Penyelenggaraan SPIP

Dengan siklus penyelenggaraan yang tertera pada Gambar 9 dapat diketahui


bagian mana yang lemah dari sistem pengendalian yang telah di jalankan.
Maka dari itu perlu adanya reviu guna untuk memperbaiki sistem
pengendalian agar menjadi lebih baik lagi kedepannya.

2. Reviu Lingkungan Pengendalian

Perilaku yang positif dan aktif, serta melekat dalam melaksanakan


kegiatan/aktivitas keseharian setiap unit kerja di lingkungan Kementerian
diwujudkan dalam Lingkungan Pengendalian yang Kuat. Dalam reviu
lingkungan pengendalian perlu dilakukan ulasan untuk mengidentifikasi area-
area lingkungan pengendalian yang masih lemah yang membutuhkan
penguatan lebih lanjut.

Reviu lingkungan pengendalian dilakukan melalui penilaian sendiri/ Control


Self-Assessment (CSA), disebut “Penilaian Lingkungan Pengendalian/
Control Environment Evaluation (CEE)”. CEE terdiri dari soft dan hard
controls. Tujuan dari assessment (penilaian) atas soft control dan hard control

40
adalah untuk memberikan informasi tingkat konsistensi instansi pemerintah
dalam mencapai segala sesuatu dengan benar/baik.

Berikut ini penjelasan dari soft control dan hard control.

a. Soft control
Tim fasilitator memberikan bimbingan teknis kepada peserta untuk
melakukan assessment terhadap soft controls lingkungan pengendalian yang
ada. Kegiatan soft control yatu melakukan survei persepsi melalui kelompok
diskusi atau survei menggunakan kuesioner. Sedapat mungkin, lakukan
validasi hasil survei melalui metode lainnya seperti ulasan dokumen,
wawancara, Focus Groups Discussions/FGD.

Assessment Soft Control Terdiri Dari 8 Sub Unsur (A-H), 81 Pernyataan:


1) Penegakan Integritas Dan Nilai Etika (17 Pernyataan)
2) Komitmen Terhadap Kompetensi (12 Pernyataan)
3) Kepemimpinan Yang Kondusif (7 Pernyataan)
4) Pembentukan Struktur Organisasi Yang Sesuai Dengan Kebutuhan (7
Pernyataan)
5) Pendelegasian Wewenang Dan Tanggung Jawab Yang Tepat (9
Pernyataan)
6) Penyusunan Dan Penerapan Kebijakan Yang Sehat Tentang
Pengelolaan/Pembinaan Sdm (18 Pernyataan)
7) Perwujudan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (Apip) Yang
Efektif (9 Pernyataan)
8) Hubungan Kerja Yang Baik Dengan Instansi Pemerintah Terkait (2
Pernyataan)

Dalam Assessment Soft Control terdapat 6 formulir yang akan menjadi acuan
dari penilaian pengendalian lingkungan seperti yang tertera pada Lampiran
2.

41
b. Hard control
Hard control antara lain pembentukan struktur organisasi yang sesuai
dengan kebutuhan, pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yg tepat,
serta penyusunan dan penerapan kebijakan yg sehat tentang pembinaan
sumberdaya manusia, dilakukan dengan proses audit atau reviu dokumen.

Satuan Tugas SPIP melakukan assessment terhadap hard controls


lingkungan pengendalian yang ada. Penilaian hard controls lingkungan
pengendalian dapat dilakukan sebagaimana lazimnya proses audit, seperti
ulasan/ reviu terhadap dokumen. Disamping teknik penilaian di atas, Satuan
Tugas SPIP dapat menggunakan penilaian pengendalian sendiri/
Control Self Assessment.

3. Penilaian Risiko

Penilaian Risiko Tingkat Kementerian dan Unit Organisasi berpedoman pada


Renstra Kementerian dan Unit Organisasi. Penetapan tujuan strategis
berpedoman pada Rencana Strategis (formulir 7), Formulir ini hanya disusun
untuk penilaian risiko tingkat Kementerian dan Unit Organisasi. Penilaian
risiko menggunakan formulir 7 – 22 yang tertera pada Lampiran 3.

Penilaian risiko tingkat unit kerja atau UPT, Tujuan untuk mengenali,
menganalisis, memvalidasi dan memutuskan cara menanggapi risiko dengan
rincian tahapan sebagai berikut:

1. Membentuk kelompok diskusi (Focus Group Dissucions), terdiri dari


pegawai satuan unit kerja yang terlibat langsung dalam aktivitas/kegiatan
yang akan dilakukan penilaian risiko,
2. Menentukan aktivitas/kegiatan yang akan dilakukan penilaian risiko,
aktivitas/kegiatan sesuai tugas dan fungsi (baik kegiatan yang tertuang di
DIPA/Non DIPA),

42
3. Identifikasi tujuan aktivitas/kegiatan, untuk memperoleh informasi tujuan
aktivitas/kegiatan yang dilaksanakan saat ini. (FGD, brainstorming,
validasi dan konfirmasi).
4. Identifikasi risiko berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan, identifikasi
risiko yang dapat menghambat pencapaian tujuan (FGD dan
brainstorming), Formulir 8.
5. Identifikasi risiko dibagi menjadi 3 (tiga) kewenangan, yaitu risiko di
tingkat Unit Kerja atau UPT, risiko di tingkat Unit Organisasi, dan Risiko
Tingkat Kementerian.

Analisa risiko yang telah diidentifikasi, dengan cara:


1. Peserta kelompok diskusi memberi skor terhadap kemungkinan dan
dampak menurut skala yang telah ditetapkan.
2. Jumlah nilai kemungkinan dan dampak berdasarkan skor dari seluruh
peserta, kemudian dibagi dengan jumlah peserta untuk mendapat rata-
rata skor kemungkinan dan dampak risiko. Analisa risiko menghasilkan
rangking risiko.

Rencana Tindak Pengendalian (RTP), setelah daftar risiko dan peta risiko
diperoleh, langkah selanjutnya menyusun Rencana Tindak Pengendalian
(RTP), yang dibutuhkan untuk mencegah atau mengurangi dampak yang
timbul akibat kemungkinan terjadinya risiko. RTP disusun berdasarkan
prioritas risiko yang dihasilkan dari rangking dari yang tertinggi sampai
dengan terendah.Rencana Tindak Pengendalian (RTP) meliputi:

1. Rencana Tindak Perbaikan Kegiatan Pengendalian (Formulir 14 – 16),


Menyusun rencana tindak untuk mengendalikan risiko yang meliputi :

a. Mengenali instrumen pengendalian yang ada/ terpasang


(pengendalian yang ada/terpasang yang melindungi
aktivitas/kegiatan dari risiko,
b. Mengevaluasi pengendalian yang ada/ terpasang (untuk
mengetahui apakah pengendalian yang ada/terpasang efektif,
43
cocok, cukup, atau ada permasalahan pada saat
pelaksanaannya, dan
c. Membahas celah pengendalian (kondisi tidak memiliki
pengendalian atau pengendalian yang ada tdk mencukupi untuk
membawa risiko pada tingkat selera risiko.

2. Rencana Tindak Perbaikan Informasi dan Komunikasi (Formulir 17 –


19), Setelah manajemen sepakat dengan perbaikan pengendalian
yang ada, selanjutnya menetapkan rencana perbaikan informasi dan
komunikasi:
a. Inventarisasi sarana komunikasi yang ada untuk menyampaikan
risiko dan pelaksanaan revisi kebijakan/prosedur sbg
pengendalian yang baru,
b. Merumuskan bagaimana komunikasi yang efektif agar pihak-
pihak yang terlibat dapat menjalankan pengendalian secara
efektif,
c. Rencana perubahan/ perbaikan informasi dan komunikasi dalam
pengendalian intern dituangkan pada formulir 17 - 19.

3. Rencana Tindak Perbaikan Pemantauan (Formulir 20 – 22),


Menetapkan rencana pemantauan terhadap perbaikan pengendalian
yang telah ditetapkan:
a. Realisasi pelaksanaan perbaikan/penyempurnaan kebijakan,
prosedur atau infrastruktur lainnya,
b. Kegiatan/proses manajemen yang masih bermasalah meskipun
telah dirancang mekanisme pengendalian di dalamnya,
c. Infrastruktur pengendalian yang blm dapat berjalan dengan baik,
d. Rencana tindak perbaikan pemantauan dapat dibuat dalam tabel
seperti pada formulir 20.

44
D. Rangkuman

1. Pengertian SPIP Dalam Peraturan Menteri PUPR No. 20/PRT/M/2018


tahun 2018 Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang selanjutnya
disingkat SPIP adalah Sistem pengendalian yang diselenggarakan
secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah.
2. Dalam kelembagaan penyelenggaraan SPIP dibentuk Satuan
Tugas Koordinasi Penyelenggaraan SPIP yang terdiri atas:
a. Satuan tugas koordinasi penyelenggaraan SPIP kementerian; dan
b. Satuan tugas koordinasi penyelenggaraan SPIP unit organisasi.
3. Pimpinan Unit Organisasi di Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat bertanggung jawab atas efektivitas
penyelenggaraan SPIP di masing-masing Unit Organisasinya.
Pimpinan Unit Kerja/UPT di Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat bertanggung jawab atas efektivitas
penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern di masing-masing Unit
Kerja/UPT. Dan tata cara penyelenggaraan pelaksanaan SPIP
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
4. Dalam penyelenggaraan SPIP diperlukan laporan Penyelenggaraan
SPIP sebagai bentuk pertanggung jawaban yang berisi tentang:
a. Pelaksanaan kegiatan dari awal hingga akhir;
b. Hambatan yang dihadapi;
c. Saran perbaikan; dan
d. Tindak lanjut.
e. Format Laporan
5. Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas penyelengaraan
SPIP dilakukan pengawasan intern terhadap pelaksanaan tugas
dan fungsi serta akuntabilitas keuangan negara di Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Pengawasan intern
dilakukan melalui evaluasi oleh Inspektorat Jenderal.

45
6. Dalam tatacara penyelenggaraan SPIP terdapat beberapa unsur yang
terkandung didalamnya antara lain 3 lini pertahanan atau Three Lines
of Defense. Three Lines of Defense membedakan antara fungsi
satuan kerja sebagai pemilik risiko, terhadap fungsi manajemen risiko,
dan fungsi Audit Internal. Semua fungsi tersebut memainkan peran
penting dalam kaitannya dengan penerapan SPIP.
7. Reviu lingkungan pengendalian dilakukan melalui penilaian sendiri/
Control Self-Assessment (CSA), disebut “Penilaian Lingkungan
Pengendalian/ Control Environment Evaluation (CEE)”. CEE terdiri
dari soft dan hard controls.

E. Penilaian/Evaluasi
Jawablah pertanyaan berikut, untuk mengetahui permahaman anda terhadap
materi ini. Soal nomor 1 bernilai 40, sedangkan nomor 2 dan 3 bernilai 30.

1. Jelaskan pengertian dari SPIP beserta fungsinya!


2. Jelaskan prinsip siklus penyelenggaraan SPIP sertakan dengan
gambar!
3. Jelaskan prinsip mengenai reviu lingkungan pengendalian!

F. Umpan Balik dan Tindak Lanjut


Jawablah soal evaluasi dan bandingkan jawaban Anda dengan kunci jawaban
pada bagian akhir modul. Hitunglah jumlah jawaban Anda yang benar.
Kemudian gunakanlah rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat
penguasaan Anda terhadap materi Bab III.

46
Tingkat Penguasaan = Σnilai %

Presentase Pencapaian Tindak Lanjut


90 – 100% Baik Sekali Anda dapat melanjutkan materi ke Bab IV
80 – 89% Baik Anda dapat melanjutkan materi ke Bab IV
70 – 79% Sedang Anda harus mengulangi materi yang belum
dikuasai ke Bab III
<60% Kurang Anda harus mengulangi materi yang belum
dikuasai ke Bab III

47
BAB IV
SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN
KONSTRUKSI (SMKK)

Indikator Keberhasilan

Peserta mampu menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi


(SMKK).
A. Latar belakang dan Pengertian Keselamatan Konstruksi
Sistem Manajemen Keselamatan Konstuksi (SMKK) di tinjau dari 4 sisi yaitu
keselamatan dari sisi keteknikan, lingkungan, publik, dan kesehatan tenaga
kerja. Semua sisi tersebut tidak dapat dipisahkan dari 1 sisi dengan sisi yang
lain, karena 4 hal inilah yang terkait dalam konstruksi berkelanjutan yang
sesuai dengan undang-undang jasa konstruksi. Oleh karena itu wajib
menerapkan SMKK baik pengguna jasa maupun penyedia jasa.

Gambar 9. Empat sisi yang ditinjau dalam SMKK

Pekerjaan konstruksi merupakan kegiatan yang cukup banyak menggunakan


peralatan, maupun dengan mesin atau manual. Dengan banyaknya peralatan
serta bahan-bahan konstruksi yang dilakukan pada kondisi konstruksi
khususnya yang memiliki tingkat resiko kecelakaan tinggi, maka perlu adanya
pencegahan dari kecelakaan kerja yang terjadi.

Pengertian dari keselamatan konstruksi, yaitu segala kegiatan keteknikan


untuk mendukung Pekerjaan Konstruksi dalam mewujudkan pemenuhan
standar keamanan, keselamatan, kesehatan dan keberlanjutan yang
menjamin keselamatan keteknikan konstruksi, keselamatan dan kesehatan
tanaga kerja, keselamatan public dan lingkungan. Sedangkan Sistem
Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) merupakan bagian dari sistem
manajemen pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi dalam rangka menjamin
terwujudnya Keselamatan Konstruksi.

49
Berikut ini merupakan faktor – faktor yang mempengaruhi adanya SMKK,
yaitu:
1. Memenuhi ketentuan hukum
2. Menata sistem Jasa Konstruksi yang mampu mewujudkan
keselamatan publik dan menciptakan kenyamanan lingkungan
terbangun.
3. Keinginan untuk selamat dan terhindar dari bahaya
4. Keinginan untuk terhindar dari kerugian materi akibat kecelakaan
5. Desakan dari pihak luar dan tuntutan masyarakat

Dengan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK), tingkat


keselamatan kerja akan meningkat sehingga dapat mempengaruhi hasil
pekerjaan yang optimal, pengurangan dampak negatif lingkungan dan
pemenuhan target produksi.

Dasar hukum dari Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) yang


terbaru yaitu Peraturan Menteri PUPR No. 21/PRT/M/2019. Peraturan
Menteri tersebut mencabut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
05/PRT/M/2014 tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (SMK3) dan kini sudah dinyatakan tidak berlaku.
Pelaksanaan K3 hanya fokus terhadap pencegahan kecelakaan kerja dan
pencegahan penyakit akibat kerja sehingga memiliki prinsip safety first.

B. Ketentuan umum, Maksud dan Tujuan SMKK Bidang PUPR

Pengguna jasa serta penyedia jasa wajib menerapkan Sistem Manajemen


Keselamatan Konstruksi (SMKK) dengan memenuhi standar keamanan,
keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan konsruksi. Dalam standar
keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan konstruksi harus
memperhatikan 4 (empat) hal yaitu keselamatan keteknikan konstruksi,
keselamatan dan kesehatan kerja, keselamaan publik, dan keselamatan
lingkungan.

50
Di bawah ini akan menjelaskan mengenai ketentuan umum, maksud dan
tujuan SMKK di Bidang PUPR.

1. Ketentuan Umum

Pada penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi, diperlukan


beberapa ketentuan umum yang digunakan sebagai dasar pemahaman.
Ketentuan umum merupakan pemahaman mengenai pengertian dari
keselamatan konstruksi, Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi, dan
Keselamatan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi.

Ketentuan umum SMKK di bidang PUPR pada Peraturan Menteri PUPR No.
21 Tahun 2019 tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan
Konstruksi yang mengatur:

1. Keselamatan keteknikan konstruksi, yaitu pemenuhan standar


perencanaan, standar perancangan, prosedur dan mutu bangunan,
mutu bahan, kelaikan peralatan
2. Keselamatan dan Kesehatan kerja, yaitu keselamatan dan Kesehatan
tenaga kerja (penyedia jasa, sub penyedia jasa, pemasok dan pihak
yang diizinkan memasuki area kerja).
3. Keselamatan publik, yaitu keselamatan masyarakat/ pihak yang
berada di lingkungan dan sekitar yang terdampak.
4. Keselamatan lingkungan, yaitu keselamatan lingkungan terdampak
(kelestarian dan kenyamanan lingkungan).

Pada Peraturan Menteri PUPR No. 21/PRT/M/2019 terdapat lampiran-


lampiran yang dapat dijadikan pedoman dalam penerapan SMKK, yaitu
mencakup hal-hal dibawah ini:

a. Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK)


b. Tugas, Tanggung Jawab, dan Wewenang Pengguna dan Penyedia
Jasa Dalam Penerapan SMKK

51
c. Tata Cara Penjaminan Mutu dan Pengendalian Mutu Pekerjaan
Konstruksi
d. Format Rancangan Konseptual SMKK
e. Format Rencana Keselamatan Konstruksi (RKK) dan Format
Penilaian RKK, yang didalamnya meliputi penyedia jasa konsultasi
konstruksi pengawasan/ manajemen penyelenggaraan konstruksi,
penyedia jasa pekerjaan konstruksi, dan format Penilaian Rencana
Keselamatan Konstruksi (RKK)
f. Format Pelaporan Pelaksanaan RKK
g. Komponen Kegiatan dan Format Audit Internal Penerapan SMKK

Setelah membahas ketentuan umum dari Peraturan Menteri PUPR No.


21/PRT/M/2019, tentunya ada pembahasan mengenai penerapan SMKK
bidang PUPR yang didalamnya tertera tahapan-tahapan serta hal-hal yang
berpengaruh pada proses SMKK.

2. Maksud dan Tujuan

Maksud dari terbentuknya Peraturan Menteri PUPR No. 21/PRT/M/2019


adalah sebagai acuan bagi Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam
penerapan SMKK Bidang PUPR. Selain maksud dari terbentuknya peraturan
Menteri tersebut ada pula tujuannya, yaitu:

a. Meningkatkan efektifitas perlindungan keselamatan dan kesehatan


kerja yang terencana, terukur, terstruktur dan terintegrasi;
b. Dapat mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit
akibat kerja;
c. Menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman dan efisien, untuk
mendorong produktifitas.

Dalam penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi yang


mengatur mengenai keselamatan keteknikan konstruksi, keselamatan dan
Kesehatan kerja, keselamatan publik, dan keselamatan lingkungan dapat
mengacu pada Peraturan Menteri PUPR No. 21/PRT/M/2019. Hal-hal
52
tersebut akan di bahas lebih rinci pada bagian penerapan SMKK bidang
PUPR.

C. Penerapan SMKK Bidang PUPR


Pada penerapan SMKK bidang PUPR terdapat tahapan-tahapan yang perlu
dilakukan guna untuk mewujudkan sistem manajemen keselamatan
konstruksi seperti yang diharapkan. Berikut merupakan tahapan-tahapan
dalam penerapan SMKK bidang PUPR

1. Rancangan Konseptual SMKK

Tahapan tersebut diawali dengan Rancangan Konseptual SMKK yang


menjadi dasar dari penerapan SMKK. Tentunya dalam tahap perancangan
konseptual SMKK sebelumnya telah mempertimbangkan Standar Keamanan,
Kesalamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan. Standar yang tersebut meliputi
4 hal yaitu seperti dibawah ini:

a. Keselamatan Keteknikan Konstruksi


Keselamatan keteknikan konstruksi adalah keselamatan terhadap
pemenuhan standar perencanaan, perancangan, prosedur dan mutu
hasil pelaksanaan Jasa Konstruksi, mutu bahan, dan kelaikan
peralatan. Standar-standar tersebut merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi keselamatan dalam hal keteknikan. Keselamatan
keteknikan konstruksi mencakup pemenuhan terhadap:
1) Standar Perencanaan Berupa Pemenuhan Semua Aspek
Persyaratan Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, Dan
Keberlanjutan Dalam Hasil Perencanaan
2) Standar Perancangan Berupa Pemenuhan Terhadap
Pedoman Teknis Proses Pembangunan, Pengoperasian,
Pemeliharaan, Perawatan, Dan Pembongkaran Yang Telah
Ditetapkan
3) Standar Prosedur Dan Mutu Hasil Pelaksanaan Jasa
Konstruksi Merupakan Persyaratan Dan Ketentuan Tertulis
53
Khususnya Aspek Keselamatan Konstruksi Yang Dibakukan
Mengenai Berbagai Proses Dan Hasil Pelaksanaan Jasa
Konstruksi
4) Mutu Bahan Sesuai Standar Nasional Indonesia Dan/Atau
Standar Asing Yang Diakui Oleh Pemerintah, Dan Telah
Ditetapkan Dalam Kerangka Acuan Kerja
5) Kelaikan Peralatan Berdasarkan Pedoman Teknis Peralatan
Sebagai Dasar Pemenuhan Kinerja Operasi Peralatan Sesuai
Peruntukan Pekerjaan, Baik Peralatan Yang Beroperasi
Secara Tunggal Maupun Kombinasi

b. Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Keselamatan dan Kesehatan kerja merupakan keselamatan dan
kesehatan tenaga kerja, termasuk tenaga kerja penyedia jasa,
subpenyedia jasa, pemasok, dan pihak lain yang diizinkan memasuki
tempat kerja konstruksi. Dengan adanya dasar-dasar tersebut sebagai
ruang lingkup dari keselamatan dan Kesehatan kerja diharapkan
dapat mendukung kinerja dari pelaksanaan konstruksi. Keselamatan
dan kesehatan kerja mencakup pemenuhan terhadap:
1) Hak tenaga kerja berupa perlindungan sosial tenaga kerja dalam
pelaksanaan Jasa Konstruksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
2) Penjaminan dan pelindungan keselamatan dan kesehatan
tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja
3) Pencegahan penyebaran wabah penyakit dalam lingkungan
kerja dan sekitarnya
4) Pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS
5) Pencegahan penggunaan psikotropika
6) Pengamanan lingkungan kerja

54
c. Keselamatan Publik
Keselamatan publik merupakan keselamatan masyarakat dan/atau
pihak yang berada di lingkungan dan sekitar tempat kerja yang
terdampak Pekerjaan Konstruksi. Adanya keselamatan publik sebagai
dasar keselamatan konstruksi, masyarakat sekitar yang berada dalam
ruang lingkup kegiatan konstruksi berlangsung mendapat jaminan
keselamatan dari pihak yang bertanggung jawab pada pelaksanaan
konstruksi. Keselamatan publik mencakup pemenuhan terhadap:
1) Standar keselamatan publik di sekitar tempat kegiatan konstruksi;
2) Upaya pencegahan kecelakaan kerja yang berdampak kepada
masyarakat di sekitar tempat kegiatan konstruksi; dan
3) Pemahaman pengetahuan keselamatan dan kesehatan kerja di
sekitar tempat kegiatan konstruksi.

d. Keselamatan Lingkungan
Pada pelaksanaan konstruksi tentu ada dampak lingkungan yang
ditimbulkan maka dari itu keselamatan lingkungan perlu dilakukan
guna menjaga kelestarian lingkungan hidup serta kenyamanan
lingkungan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan Keselamatan lingkungan mencakup pencegahan terhadap:
1) Terganggunya derajat kesehatan pekerja dan kesehatan
masyarakat di lingkungan sekitar Pekerjaan Konstruksi sebagai
akibat dampak pencemaran
2) Berubahnya dampak sosial masyarakat sebagai akibat kegiatan
konstruksi yang semakin padat di lingkungan Pekerjaan Konstruksi
3) Rusaknya lingkungan sebagai akibat berkembangnya situasi
kepadatan kegiatan konstruksi yang menghasilkan limbah
konstruksi sehingga dapat menimbulkan pencemaran terhadap
air, udara, dan tanah

Pemenuhan standar keselamatan keteknikan konstruksi dilaksanakan sesuai


dengan tata cara penjaminan mutu dan juga pengendalian mutu pekerjaan

55
konstruksi. Dengan begitu ada jaminan terlaksananya keselamatan
keteknikan. Sehingga dapat mewujudkan proses dan hasil jasa konstruksi
yang berkualitas. Untuk menjadi petugas penjamin mutu dan pengendali mutu
harus mengikuti bimbingan teknis SMKK untuk mendapatkan sertifikat
kompetensi atau pelatihan.

Dalam Rancangan Konseptual SMKK terdapat 3 (tiga) peran yang wajib


membuat rancangan konseptual, yaitu pengkajian konstruksi, perencanaan
konstruksi, dan perancangan konstruksi karena hal tersebut merupakan dasar
dari pelaksanaan konstruksi.

Pengkajian konstruksi bertugas untuk mengkaji konstruksi yang didalamnya


meliputi lingkup tanggung jawab pengkajian, informasi awal terhadap
kelaikan (paling sedikit meliputi lokasi, lingkungan, sosial – ekonomi, dan/atau
dampak lingkungan), dan rekomendasi teknis yang telah disusun (terdapat
pada Lampiran D pada Peraturan Menteri PUPR No. 21 Tahun 2019 tentang
Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi).

Sedangkan konsultan perencana bertugas untuk merencanakan konstruksi


dalam tahap perancanaan konstruksi yang mencakup lingkup tanggung jawab
perencanaan, informasi awal terhadap kelaikan paling sedikit meliputi
lokasi, lingkungan, sosial-ekonomi, dan/atau dampak lingkungan (terdapat
pada Lampiran D pada Peraturan Menteri PUPR No. 21 Tahun 2019 tentang
Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi).

Konsultan perancang bertugas untuk melakukan tahapan perancangan


konstruksi yang mencakup 6 (enam), yaitu:

1) Lingkup tanggung jawab perancang, termasuk pernyataan


bahwa dalam hal terjadi revisi desain, tanggung jawab revisi
desain dan dampaknya ada pada penyusun revisi
2) Metode pelaksanaan pekerjaan konstruksi

56
3) Mengidentifikasi bahaya, mitigasi bahaya, dan penetapan tingkat
risiko
4) Daftar standar dan/atau peraturan perundang- undangan
keselamatan konstruksi yang ditetapkan untuk desain;
5) Biaya penerapan SMKK
6) Rancangan panduan keselamatan pengoperasian dan
pemeliharaan konstruksi bangunan

Rancangan Konseptual SMKK harus disetujui oleh Pengguna Jasa untuk


dijadikan rujukan dalam menyusun Rencana Keselamatan Konstruksi
(RKK). Penyedia Jasa harus memiliki Ahli K3 Konstruksi yang bertugas untuk
merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi SMKK.

2. Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi

Setelah tahapan standar keamanan, keselamatan, kesehaan, dan


keberlanjutan terpenuhi serta rancangan konseptual dari SMKK telah dibuat
maka masuk pada penerapan dari SMKK. Penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan Konstruksi dilaksanakan dalam beberapa tahap yang
mencakup seluruh aspek pada kegiatan berlangsungnya SMKK. Tahapan-
tahapan tersebut merupakan bagian dari proses awal hingga berakhirnya
konstruksi. Tahap penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi
ada beberapa tahapan yang mencakup antara lain:
a. Pra Konstruksi berada pada Pasal 11 (2);
b. Pemilihan Penyediaan Jasa berada pada Pasal 14;
c. Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi berada pada Pasal 15 – 19; dan
d. Serah Terima Pekerjaan berada pada Pasal 20 – 21.

Pada tahap prakonstruksi penyedia jasa melakukan pengkajian, perencanaan


dan perencangan dalam melaksanakan kegiatan di lapangan dengan
menerapkan operasi keselamatan konstruksi. Sehingga pada saat
pelaksanaan konstruksi sistem manajemen keselamatan konstruksi dapat
menyesuaikan dengan kondisi lapangan yang ada.

57
Setelah tahap prakonstruksi telah dinyatakan selesai yakni sudah
dilaksanakannya terkait pengkajian, perencanaan dan perancangan terhadap
pelaksanaan kegiatan dilapangan. Maka masuk pada tahap selanjutnya yaitu
tahap pemilihan penyedia jasa.

Dalam tahapan pemilihan Penyedia Jasa oleh Pengguna Jasa tertulis dalam
dokumen pemilihan dengan menilai RKK sesuai dengan format huruf E
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri PUPR No.
21/PRT/M/2019. Penerapan SMKK harus dijelaskan oleh Pengguna Jasa
kepada Penyedia Jasa pada saat penjelasan dokumen agar terjadinya
keselarasan pada kedua pihak. Dokumen pemilihan yang telah disebutkan
sebelumnya harus memuat:

a. Penilaian Rencana Keselamatan Konstruksi (RKK)


b. Manajemen Risiko Keselamatan Konstruksi yang paling sedikit
memuat uraian pekerjaan, identifikasi bahaya, dan penetapan tingkat
Risiko Keselamatan Konstruksi pada Pekerjaan Konstruksi
c. Biaya Penerapan SMKK pada HPS

Pengguna Jasa mengacu pada hasil dokumen pekerjaan jasa Konsultansi


Konstruksi perancangan dan/atau berkonsultasi dengan Ahli K3 Konstruksi
dalam menetapkan uraian pekerjaan, identifikasi bahaya, dan penetapan
tingkat Risiko Keselamatan Konstruksi pada Pekerjaan Konstruksi.
Penetapan tingkat risiko Keselamatan Konstruksi ditetapkan sesuai dengan
format pada Peraturan Menteri PUPR No. 21/PRT/M/2019. Setelah pemilihan
penyedia jasa selesai yang artinya setiap penyedia jasa sudah melakukan
penyusunan dan telah menyampaikan dokumen Rencana Keselamatan
Konstruksi (RKK), maka masuk pada tahap pelaksanaan konsruksi.

Pada tahapan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dilakukan dengan


melaksanakan RKK. Yang artinya dilaksanakan setelah Rencana

58
Keselamatan Konstruksi telah dibuat. Dalam pelaksanaannya, RKK
disesuaikan dengan lingkup pekerjaan dan kondisi di lapangan. RKK dapat
diperbaharui apabila hal-hal seperti berikut terjadi:

a. Perubahan pekerjaan atau pekerjaan baru serta perubahan


lingkup pekerjaan pada kontrak, termasuk pekerjaan tambah/kurang
b. Kecelakaan kerja yang mengakibatkan kehilangan waktu kerja,
kematian dan/atau cacat tetap

Ketika terdapat perubahan pada RKK, maka harus mendapatkan persetujuan


dari Pengguna Jasa karena adanya perubahan pada perencanaan
keselamatan konstruksi. Pengguna Jasa melakukan pengawasan
pelaksanaan RKK dan mengevaluasi kinerja penerapan SMKK yang
dilaksanakan oleh Penyedia Jasa. Dalam melakukan pengawasan dan
evaluasi), Pengguna Jasa dapat dibantu oleh Ahli K3 Konstruksi dan/atau
Petugas Keselamatan Konstruksi. Dalam pembuatan RKK Penyedia Jasa
melaporkan pelaksanaan RKK kepada Pengguna Jasa sesuai dengan
kemajuan pekerjaan. Laporan berupa laporan harian, mingguan, bulanan,
dan akhir.

Berdasarkan hasil pengawasan pelaksanaan RKK dan laporan,


Pengguna Jasa melaksanakan evaluasi kinerja penerapan SMKK setiap
bulan. Evaluasi untuk menjamin kesesuaian dan keefektifan pelaksanaan
RKK. Penyedia jasa harus melaksanakan peningkatan kinerja sesuai hasil
evaluasi kinerja penerapan SMKK. Kemudian masuk pada tahap serah
terima pekerjaan dengan menjamin bahwa pelaksanaan konstruksi telah
berjalan dengan semestinya.
Serah terima pekerjaan dilakukan pada masa serah terima pertama pekerjaan
atau disebut dengan Provisional Hand Over (PHO) sampai dengan serah
terima akhir pekerjaan atau Final Hand Over (FHO). Penerapan SMKK
dilakukan dengan menyampaikan dokumen hasil dari penerapan SMKK
kepada Pengguna Jasa. Pada dokumen hasil penerapan SMKK terdiri atas:

59
a. Laporan pelaksanaan RKK memuat hasil kinerja SMKK yang
didalamnya tertera statistik kecelakaan dan penyakit akibat kerja,
laporan harian, mingguan, bulanan dan laporan akhir, serta laporan
ringkas dalam hal terdapat aktivitas dalam pekerjaan konstruksi, dan
usulan perbaikan untuk pekerjaan konstruksi sejenis yang akan
dating.
b. Bukti penerapan SMKK yang didokumentasikan dan menjadi bagian
dari laporan.

Setelah penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi selesai maka


sertah terima pekerjaan dilakukan.

3. Risiko Keselamatan Konstruksi

Risiko Keselamatan Konstruksi adalah risiko konstruksi yang memenuhi satu


atau lebih kriteria berupa besaran risiko pekerjaan, nilai kontrak, jumlah
tenaga kerja, jenis alat berat yang dipergunakan dan tingkatan penerapan
teknologi yang digunakan. Dalam ruang lingkup Risiko Keselamatan
Konstruksi terbagi dalam 3 (tiga) tingkat, yaitu kecil, sedang, dan besar.

Risiko Keselamatan Konstruksi dengan kategori kecil memiliki kriteria


sebagai berikut:
a. Bersifat berbahaya rendah berdasarkan penilaian Risiko Keselamatan
Konstruksi yang ditetapkan oleh Pengguna Jasa berdasarkan
perhitungan yang sesuai dengan ketentuan
b. Pekerjaan Konstruksi dengan nilai HPS sampai dengan
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah)
c. Mempekerjakan tenaga kerja yang berjumlah kurang dari 25 (dua
puluh lima) orang; dan/atau
d. Pekerjaan Konstruksi yang menggunakan teknologi sederhana.

Risiko Keselamatan Konstruksi dengan kategori sedang memiliki kriteria


sebagai berikut:

60
a. Bersifat berbahaya sedang berdasarkan penilaian Risiko
Keselamatan Konstruksi yang ditetapkan oleh Pengguna Jasa
berdasarkan perhitungan yang sesuai dengan ketentuan
b. Pekerjaan Konstruksi dengan nilai HPS di atas Rp10.000.000.000,00
(sepuluh milyar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00
(seratus milyar rupiah)
c. Mempekerjakan tenaga kerja yang berjumlah 25 (dua puluh lima)
orang sampai dengan 100 (seratus) orang; dan/atau
d. Pekerjaan Konstruksi yang menggunakan teknologi madya.

Risiko Keselamatan Konstruksi dengan kategori besar memiliki kriteria


sebagai berikut:
a. Bersifat berbahaya tinggi berdasarkan penilaian Risiko Pengguna
Jasa berdasarkan perhitungan yang sesuai dengan ketentuan
b. Pekerjaan Konstruksi dengan nilai HPS di atas Rp100.000.000.000,00
(seratus milyar rupiah)
c. Mempekerjakan tenaga kerja yang berjumlah lebih dari 100 (seratus)
orang
d. Menggunakan peralatan berupa pesawat angkat
e. Menggunakan metode peledakan dan/atau menyebabkan terjadinya
peledakan; dan/atau
f. Pekerjaan Konstruksi yang menggunakan teknologi tinggi.

Dalam hal suatu Pekerjaan Konstruksi memenuhi lebih dari satu kriteria Risiko
Keselamatan Konstruksi, penentuan Risiko Keselamatan Konstruksi
ditentukan dengan memilih Risiko Keselamatan Konstruksi yang lebih tinggi.
Setelah melakukan penentuan pada tingkat Risiko Keselamatan Konstruksi
dan memilih kategori apa yang sesuai dengan kondisi lapangan, kemudian
dilanjutkan pada pembahasan mengenai Unit Keselamatan Konstruksi (UKK).

61
4. Unit Keselamatan Konstruksi

Dalam menerapkan SMKK, Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi harus


membentuk UKK. UKK bertanggung jawab kepada unit yang menangani
Keselamatan Konstruksi di bawah pimpinan tertinggi Penyedia Jasa. Untuk
kategori risiko kecil pimpinan tertinggi Pekerjaan Konstruksi dapat merangkap
sebagai pimpinan UKK. Sedangkan untuk risiko sedang dan besar diperlukan
adanya UKK yang terpisah dari struktur organisasi Pekerjaan Konstruksi. UKK
sendiri terdiri dari pimpinan dan anggota, yang nantinya Pimpinan Pekerjaan
Konstruksi akan berkoordinasi pada pimpinan UKK. Maka dari itu UKK
bertanggung jawab pada penanganan keselamatan konstruksi dalam
organisasi Penyedia Jasa.

Gambar 10. Organisasi penyedia jasa

Anggota UKK harus memiliki kompetensi kerja yang dibuktikan dengan


kepemilikan kompetensi kerja atau sertifikat pelatihan. Anggota UKK
mempunyai tugas nya masing-masing maka dari itu anggota terdiri atas:

62
a. Petugas tanggap darurat;
b. Petugas pemadam kebakaran;
c. Petugas pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K);
d. Petugas pengatur lalu lintas;
e. Tenaga kesehatan; dan/atau
f. Petugas pengelolaan lingkungan.

Penentuan anggota sendiri dilakukan berdasarkan kebutuhan pengendalian


risiko pada Pekerjaan Konstruksi. Sehingga sifat dari penentuan anggota
tidak tetap, namun mengikuti kebutuhan dari risiko yang berkategori besar,
sedang, atau kecil.

Kualifikasi kompetensi kerja Pimpinan UKK terdiri atas kualifikasi Ahli K3


Konstruksi atau Petugas Keselamatan Konstruksi. Persyaratan kualifikasi Ahli
K3 Konstruksi atau Petugas Keselamatan Konstruksi pada Pekerjaan
Konstruksi meliputi:

a. Untuk Pekerjaan Konstruksi dengan Risiko Keselamatan


Konstruksi besar terdiri atas Ahli Utama K3 Konstruksi atau Ahli
Madya K3 Konstruksi dengan pengalaman paling singkat 3 (tiga)
tahun;
b. Untuk Pekerjaan Konstruksi dengan Risiko Keselamatan
Konstruksi sedang terdiri atas Ahli Madya K3 Konstruksi atau Ahli
Muda K3 Konstruksi dengan pengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun
dan
c. Untuk Pekerjaan Konstruksi dengan Risiko Keselamatan
Konstruksi kecil terdiri atas Ahli Muda K3 Konstruksi atau Petugas
Keselamatan Konstruksi.

Sedangkan untuk pekerjaan konstruksi yang memiliki Risiko Keselamatan


Konstruksi yang mempekerjakan lebih dari 100 pekerja, personel
Keselamatan Konstruksi paling sedikit 2 (dua) orang, yaitu 1 orang Ahli Utama
K3 Kontruksi dan/atau Ahli Madya K3 Konstruksi, dengan pengalaman

63
minimal 3 (tiga) tahun dan 1 (satu) orang Ahli Muda K3 Konstruksi dengan
pengalaman minimal 3 (tiga) tahun.

Untuk menjadi Petugas Keselamatan Konstruksi harus mengikuti bimbingan


teknis SMKK untuk mendapatkan sertifikat kompetensi atau pelatihan
Petugas Keselamatan Konstruksi. Bimbingan teknis SMKK dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Menteri PUPR No.
21/PRT/M/2019. Setelah penentuan UKK dilaksanakan, dalam penerapan
SMKK tentu ada biaya yang dikeluarkan guna untuk memenuhi kebutuhan
proses SMKK yang akan dibahas dibawah ini.

5. Biaya Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi

Biaya penerapan SMKK harus dimasukkan pada daftar kuantitas dan harga
dengan besaran biaya sesuai dengan kebutuhan berdasarkan pengendalian
dalam RKK. Biaya penerapan SMKK bagian dari RKK, biaya penerapan
SMKK paling sedikit mencakup rincian:

a. Penyiapan RKK;
b. Sosialisasi, promosi, dan pelatihan;
c. Alat Pelindung Kerja dan Alat Pelindung Diri;
d. Asuransi dan perizinan;
e. Personel Keselamatan Konstruksi;
f. Fasilitas sarana, prasarana, dan alat kesehatan;
g. Rambu- rambu yang diperlukan;
h. Konsultasi dengan ahli terkait Keselamatan Konstruksi; dan
i. Kegiatan dan peralatan terkait dengan pengendalian Risiko
Keselamatan Konstruksi.

Rincian kegiatan seperti pada poin (c), (f), (g), dan (i) merupakan barang habis
pakai sehingga perlu adanya perencanaan dalam pembelian barang tersebut
dengan mempertimbangkan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dalam
berlangsungnya SMKK. Pengguna Jasa harus memastikan seluruh
komponen biaya penerapan SMKK, dianggarkan dan diterapkan oleh

64
Penyedia Jasa. Biaya penerapan SMKK harus disampaikan oleh Penyedia
Jasa dalam dokumen penawaran. Penyedia Jasa tidak dapat mengusulkan
perubahan anggaran biaya penerapan SMKK berdasarkan RKK yang telah
diperbaharui. Biaya penerapan SMKK disusun sesuai dengan ketentuan yang
tercantum dalam Peraturan Menteri PUPR No. 21/PRT/M/2019.

Setelah biaya penerapan SMKK telah dikalkulasi sesuai dengan perencanaan


yang ada dan tidak ada perubahan lagi karena harga berdasarkan kebutuhan
RKK merupakan biaya yang pasti dan tidak dapat diubah, maka masuk pada
tahap pembinaan dan pengawasan dalam penerapan SMKK.

6. Pembinaan dan Pengawasan

Pada tahap pembinaan dan pengawasan Menteri bertanggung jawab atas


pembinaan penerapan SMKK kepada penyelenggara pemerintah daerah
provinsi dan masyarakat jasa konstruksi. Pembinaan yang dimaksud adalah
sebagai berikut:

a. Penetapan kebijakan SMKK


Penetapan kebijakan SMKK diberikan dalam bentuk penyusunan
Norma Standar Prosedur Kriteria sesuai dengan kewenangannya.
Penerapan kebijakan SMKK diberikan dalam bentuk fasilitasi,
konsultasi, serta pendidikan dan pelatihan.
b. Penerapan kebijakan SMKK
c. Pemantauan dan evaluasi penerapan SMKK
d. Pengembangan kerja sama penerapan SMKK

Pemantauan dan Evaluasi penerapan SMKK dilakukan melalui penilaian


terhadap pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penerapan SMKK.
Pengembangan kerja sama penerapan SMKK dilakukan untuk meningkatkan
penerapan SMKK dalam mewujudkan Keselamatan Konstruksi. Pengawasan
dilakukan oleh Menteri, Gubernur, serta Bupati/Walikota.

65
Menteri melakukan pengawasan tertib penerapan SMKK pada Pekerjaan
Konstruksi dan Konsultansi Konstruksi yang berasal dari APBN dan/atau yang
memiliki Risiko Keselamatan Konstruksi besar. Dalam pengawasan
penerapan SMKK, Menteri membentuk Komite Keselamatan Konstruksi
guna untuk melakukan pengawasan pada penerapan SMKK. Komite
Keselamatan Konstruksi sendiri terdiri atas ketua, sekretaris, anggota,
subkomite (Subkomite terdiri atas ketua dan anggota sesuai dengan
bidangnya), dan Sekretariat (Sekretariat terdiri atas koordinator dan anggota).

Adapun tugas dari Komite Keselamatan Konstruksi yaitu melaksanakan


pemantauan dan evaluasi Pekerjaan Konstruksi yang diperkirakan memiliki
Risiko Keselamatan Konstruksi besar, seperti:

a. Pemantauan dan evaluasi Pekerjaan Konstruksi yang diperkirakan


memiliki Risiko Keselamatan besar;
b. Melaksanakan investigasi kecelakaan konstruksi;
c. Memberikan saran, pertimbangan, dan rekomendasi kepada Menteri
berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasiPekerjaan Konstruksi
dengan Risiko Keselamatan Konstruksi besar dan/atau investigasi
kecelakaan konstruksi dalam rangka mewujudkan Keselamatan
Konstruksi; dan
d. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Menteri.

Sedangkan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah melakukan


pengawasan penerapan kebijakan SMKK yang dilakukan oleh gubernur dan
bupati/walikota di wilayah kewenangannya. Gubernur melakukan
pengawasan penerapan SMKK pada Pekerjaan Konstruksi dan Konsultansi
Konstruksi terhadap pembiayaan yang berasal dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah provinsi dan/atau yang memiliki Risiko Keselamatan
Konstruksi sedang.

66
Bupati/walikota melakukan pengawasan penerapan SMKK pada Pekerjaan
Konstruksi dan Konsultansi Konstruksi terhadap pembiayaan yang berasal
dari anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota dan/atau yang
memiliki Risiko Keselamatan Konstruksi kecil.

7. Laporan Pengawasan

Dalam pelaksanakan pengawasan penerapan SMKK, bupati/walikota


menyampaikan laporan penyampaian SMKK kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat yang menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
laporan penyelenggaraan pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian Gubernur menyampaikan laporan penerapan SMKK kepada


Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam
negeri yang menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan laporan
penyelenggaraan pemerintah daerah provinsi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pengguna Jasa menyampaikan laporan penyelenggaraan pengawasan


SMKK kepada Menteri melalui unit organisasi yang membidangi Jasa
Konstruksi. Dalam melaksanakan pengawasan penerapan kebijakan SMKK,
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat menyampaikan laporan penerapan
kebijakan SMKK kepada Menteri. Laporan penerapan SMKK disampaikan
secara berkala paling sedikit 1 (satu) tahun sekali.

67
Gambar 11. Koordinasi Laporan Pengawasan

Pengawasan terhadap penerapan SMKK oleh Pengguna Jasa terhadap


Penyedia Jasa dilakukan dengan pemeriksaan laporan yang disusun sesuai
dengan yang tercantum pada Peraturan Menteri PUPR No. 21/PRT/M/2019.

D. Rangkuman
Dari hasil penjelasan mengenai Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi
(SMKK) di atas, maka dapat dirangkumkan beberapa hal sebagai berikut.

1. Pelatihan dan implementasi K3 dapat dilihat dalam suatu pendekatan


sistem yaitu penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstuksi
(SMKK). Karena pada prinsipnya kecelakaan kerja akibat perbuatan
manusia (human error) bisa dicegah dengan pengawasan dan
kualifikasi SMKK yang diperketat oleh pengawasan dari pemerintah
pusat maupun dinas. Berikut ini merupakan faktor - faktor yang
mempengaruhi adanya SMKK:
a. Memenuhi ketentuan hukum
b. Menata sistem Jasa Konstruksi yang mampu mewujudkan
keselamatan publik dan menciptakan kenyamanan lingkungan
terbangun.

68
c. Keinginan untuk selamat dan terhindar dari bahaya
d. Keinginan untuk terhindar dari kerugian materi akibat kecelakaan
e. Desakan dari pihak luar dan tuntutan masyarakat

2. Maksud dan Tujuan dari SMKK yaitu sebagai acuan bagi Pengguna
Jasa dan Penyedia Jasa dalam penerapan SMKK Bidang PUPR
dengan tujuan Meningkatkan efektifitas perlindungan keselamatan dan
kesehatan kerja yang terencana, terukur, terstruktur dan terintegrasi,
dapat mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja, dan menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman dan efisien,
untuk mendorong produktifitas.

3. Dalam penerapan SMKK terdapat beberapa faktor yang harus


diterapkan dalam pelaksanaannya:
a. Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, Dan Keberlanjutan
Konstruksi
b. Rancangan Konseptual SMKK
c. Elemen Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi
d. Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi
e. Unit Keselamatan Konstruksi
f. Risiko Keselamatan Konstruksi
g. Biaya Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi
h. Pembinaan dan Pengawasan
i. Ketentuan Peralihan

E. Penilaian/Evaluasi
Jawablah pertanyaan berikut, untuk mengetahui permahaman anda terhadap
materi ini. Soal nomor 1 dan 2 bernilai 30, sedangkan 3 bernilai 40.

1. Apa yang menjadi latar belakang adanya sistem yang mengatur


tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja?

69
2. Jelaskan yang dimaksud dengan Keselamatan Konstruksi, Sistem
Manajemen Keselamatan Konstruksi, dan K3 Konstruksi, serta
sebutkan perbedaannya!
3. Sebutkan dan jelaskan tahapan penerapan SMKK!

F. Umpan Balik dan Tindak Lanjut


Jawablah soal evaluasi dan bandingkan jawaban Anda dengan kunci jawaban
pada bagian akhir modul. Hitunglah jumlah jawaban Anda yang benar.
Kemudian gunakanlah rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat
penguasaan Anda terhadap materi Bab IV.

Tingkat Penguasaan = Σnilai %

Presentase Pencapaian Tindak Lanjut


90 – 100% Baik Sekali Anda dapat melanjutkan materi ke Bab IV
80 – 89% Baik Anda dapat melanjutkan materi ke Bab IV
70 – 79% Sedang Anda harus mengulangi materi yang belum
dikuasai ke Bab III
<60% Kurang Anda harus mengulangi materi yang belum
dikuasai ke Bab III

70
BAB V
PENUTUP
A. Penutup
Risiko merupakan kejadian yang mungkin terjadi secara tak terduga akibat
ketidakpastian. Walaupun suatu kegiatan telah direncanakan sebaik mungkin,
namun tetap mengandung ketidakpastian, bahwa nanti akan berjalan
sepenuhnya sesuai rencana. Risiko kemungkinan terjadinya peristiwa, suatu
ketidakpastian yang membawa akibat yang tidak diinginkan atas suatu
peluang yang hilang.

Sistem pengendalian intern pemerintah adalah sistem pengendalian intern


yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah.

Kerja yang disingkat K3 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan


melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya
pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Pekerjaan konstruksi
merupakan kegiatan yang cukup banyak menggunakan peralatan, maupun
dengan mesin atau manual. Dengan banyaknya peralatan serta bahan-bahan
konstruksi yang dilakukan pada kondisi konstruksi khususnya yang memiliki
tingkat risiko kecelakaan tinggi, maka perlu adanya pencegahan dari
kecelakaan kerja yang terjadi.

Dengan modul ini peserta diharapkan dapat memahami juga menerapkan hal
– hal yang telah disampaikan pada modul ini dimulai dari manajemen risiko,
sistem pengendalian intern pemerintah, dan mengenai sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja konstruksi.

B. Evaluasi Kegiatan Belajar


Dalam evaluasi kegiatan belajar, perlu dilakukan evaluasi kegiatan kediklatan,
yaitu evaluasi hasil pembelajaran modul ini dan isi materi pokok tersebut
kepada para peserta, pengajar maupun pengamat materi atau Narasumber,
berupa soal/kuisioner tertulis:

73
1. Untuk evaluasi bagi peserta, maka pengajar/widyaiswara melakukan
evaluasi berupa orientasi proses belajar dan tanya jawab maupun diskusi
perorangan/kelompok dan/atau membuat pertanyaan ujian yang terkait
dengan isi dari materi modul tersebut.
2. Untuk evaluasi untuk pengajar/widyaiswara diakukan oleh para peserta
dengan melakukan penilaian yang terkait penyajian, penyampaian materi,
kerapihan pakaian, kedisiplinan, penguasaan materi, metoda pengajaran,
ketepatan waktu dan penjelasan dalam menjawab pertanyaan, dan lain-
lain.
3. Demikian juga untuk evaluasi penyelenggaraan Diklat, yaitu peserta dan
pengajar/widyaiswara akan mengevaluasi Panitia/Penyelenggara Diklat
terkait dengan penyiapan perlengkapan diklat, sarana dan prasarana
untuk belajar, fasilitas penginapan, makanan dll.
4. Evaluasi materi dan bahan tayang yang disampaikan pengajar kepada
peserta, dilakukan oleh peserta, pengajar/widyaiswara maupun pengamat
materi/Narasumber untuk pengkayaan materi.

C. Umpan Balik Dan Tindak Lanjut


Dengan selesainya mengikuti pembelajaran ini, peserta diharapkan dapat
mengevaluasi diri terhadap kegiatan di lapangan yang selama ini
dilaksanakan. Karena selama ini, Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah/Manajemen Risiko dan SMKK bidang jalan dan jembatan jarang
dibaca secara keseluruhan dan berurutan, karena terlalu umum, tebal dan
kurang menarik, dan akan dibaca apabila terdapat permasalahan di lapangan.
Disisi lain banyak terjadi permasalahan yang terjadi dilapangan yang
seharusnya dapat teratasi dengan adanya pemahaman melalui modul ini.

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah/Manajemen Risiko dan SMKK


merupakan hal yang penting untuk dipahami karena sering digunakan untuk
acuan pelaksanaan lapangan. Namun seiring berkembangnya zaman tentu
ada perubahan guna untuk menjadi lebih baik lagi kedepannya. Untuk itu

74
perlu ada koreksi dan masukan dari berbagai pihak, antara lain para peserta,
pengajar maupun pengamat materi atau Narasumber/Akademisi.

75
DAFTAR PUSTAKA

Pemerintah Indonesia. 2008. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008


tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Jakarta : Sekretariat
Negara.

Kurniawan, Ardeno. 2012. Audit Internal Nilai Tambah Bagi Organisasi. Edisi
pertama. Yogyakarta : BPFE

Pemerintah Indonesia. 2017. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan


Perumahan Rakyat No. 25 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum
Pengawasan Intern Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Jakarta :
Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia. 2018. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan


Perumahan Rakyat No. 20/PRT/M/2018 Tahun 2018 tentang
Penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah di Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Jakarta : Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia. 2019. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan


Perumahan Rakyat No.21/PRT/M/2019 Tahun 2019 tentang Pedoman
Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi. Jakarta : Sekretariat Negara.

2009. ISO 31000-Risk Management: Principles and Guidelines. Geneva :


International Organization for Standardization (ISO).

77
PERISTILAHAN

Potensi bahaya : Kondisi atau keadaan baik pada orang,


peralatan, mesin, pesawat, instalasi, bahan,
cara kerja, sifat kerja, proses produksi dan
lingkungan yang berpotensi menimbulkan
gangguan, kerusakan, kerugian, kecelakaan,
kebakaran, peledakan, pencemaran dan
penyakit akibat kerja.

Peningkatan : Kegiatan berulang untuk meningkatkan


berkelanjutan kemampuan memenuhi persyaratan tertentu.

Unit Keselamatan : Unit pada Penyedia Jasa Pekerjaan


Konstruksi (UKK) Konstruksi yang bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan SMKK dalam Pekerjaan
Konstruksi

Jasa Konstruksi : Layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau


pekerjaan konstruksi.

Konsultansi Konstruksi : Layanan keseluruhan atau sebagian kegiatan


yang meliputi pengkajian, perencanaan,
perancangan, pengawasan, dan manajemen
penyelenggaraan konstruksi suatu bangunan

Pekerjaan Konstruksi : Keseluruhan atau sebagian kegiatan yang


meliputi pembangunan, pengoperasian,
pemeliharaan, pembongkaran, dan
pembangunan kembali suatu bangunan

78
Rancangan Konseptual : Dokumen telaahan tentang Keselamatan
SMKK Konstruksi yang disusun oleh Penyedia Jasa
Konsultansi Konstruksi pengkajian,
perencanaan serta perancangan

Ahli K3 Konstruksi : Tenaga ahli yang mempunyai kompetensi


khusus di bidang K3 Konstruksi dalam
merencanakan, melaksanakan dan
mengevaluasi SMKK yang dibuktikan dengan
sertifikat pelatihan yang diterbitkan oleh
lembaga sertifikasi profesi atau instansi yang
berwenang sesuai dengan Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia dan ketentuan
peraturan perundang- undangan

Petugas Keselamatan : Orang atau petugas K3 Konstruksi yang


Konstruksi memiliki sertifikat yang diterbitkan oleh unit
kerja yang menangani Keselamatan Konstruksi
di Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat dan/atau yang
diterbitkan oleh lembaga atau instansi yang
berwenang sesuai dengan Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia dan ketentuan
peraturan perundang-undangan

Rencana Keselamatan : Dokumen lengkap rencana penerapan SMKK


Konstruksi (RKK) dan merupakan satu kesatuan dengan
dokumen kontrak

Risiko Keselamatan : Risiko konstruksi yang memenuhi satu atau


Konstruksi lebih kriteria berupa besaran risiko pekerjaan,
nilai kontrak, jumlah tenaga kerja, jenis alat

79
berat yang dipergunakan dan tingkatan
penerapan teknologi yang digunakan

Penilaian Risiko : Perhitungan besaran potensi berdasarkan


Keselamatan kemungkinan adanya kejadian yang berdampak
Konstruksi terhadap kerugian atas konstruksi, jiwa
manusia, keselamatan publik, dan lingkungan
yang dapat timbul dari sumber bahaya tertentu,
terjadi pada Pekerjaan Konstruksi dengan
memperhitungkan nilai kekerapan dan nilai
keparahan yang ditimbulkan.

Pemantauan dan : Kegiatan pemantauan dan evaluasi terhadap


Evaluasi Keselamatan kinerja penyelenggaraan Keselamatan
Konstruksi Konstruksi yang meliputi pengumpulan data,
analisis, kesimpulan dan rekomendasi
perbaikan penerapan Keselamatan
Konstruksi

Komite Keselamatan : Unit khusus yang bertugas membantu Menteri


Konstruksi dalam penyelenggaraan Keselamatan
Konstruksi.

80
LAMPIRAN

Lampiran 1

Contoh Formulir Daftar Kelemahan Lingkungan Pengendalian dan Rencana Tindak


Perbaikan

81
Contoh Formulir Daftar Risiko

Contoh Formulir Daftar Rangking Risiko/ Peta Risiko

82
Contoh Formulir Daftar Rencana Tindak Pengendalian

Contoh Surat Pengantar Penyampaian Penyelenggaraan SPIP

83
Contoh Formulir Daftar Kelemahan Lingkungan Pengendalian dan Rencana
Tindak Perbaikan

Contoh Formulir Daftar Risiko

84
Contoh Formulir Rangking/Peta Risiko

Contoh Formulir Rencana Tindak Pengendalian

85
Lampiran 2

Contoh Formulir-1 (Soft Control)

Contoh Formulir-2 (Soft Control)

Formulir 3 digunakan untuk menggambarkan peta kondisi lingkungan


pengendalian yang ada serta area untuk perbaikan. Hasil assessment
lingkungan pengendalian, baik hard dan soft controls, dianalisis dan
disimpulkan untuk mendapatkan peta kondisi lingkungan pengendalian yang
ada serta area untuk perbaikan di lingkungan Kementerian. Jika simpulan
hasil assessment menunjukkan bahwa lingkungan pengendalian masih belum
memadai, perlu menyusun disain pengendalianyang diperlukan.

86
Contoh Formulir-3 Hasil Identifikasi Permasalahan Lingkungan Pengendalian (Soft Control)

Penjelasan tabel:

1. Kolom 1: Sudah jelas


2. Kolom 2: Diisi dengan uraian singkat hasil pengumpulan dan analisa
data terkait kondisi lingkungan pengendalian instansi pemerintah yang
dievaluasi. Uraian tersebut dapat berupa kelemahan maupun
kekuatan lingkungan pengendalian yang ditemukan dari berbagai
sumber data tersebut.
3. Kolom 3: Diisi dengan sumber data atas uraian di kolom 2.
4. Kolom 4-11: Diisi dengan keterkaitan antara masing-masing sub unsur
lingkungan dengan uraian pada kolom 2. Jika keterkaitan tersebut
menunjukkan adanya kelemahan lingkungan pengendalian maka diisi
dengan simbol ❎. Jika keterkaitan tersebut menunjukkan adanya
kekuatan lingkungan pengendalian maka diisi dengan simbol ✅.

87
Contoh Formulir-4 Rekapitulasi Hasil Kuesioner CEE (Soft Control)

Penjelasan tabel:

1. Kolom 1: Sudah jelas


2. Kolom 2: Sudah jelas
3. Kolom 3: Disimpulkan dari modus hasil penilaian CEE atas masing-
masing atribut/elemen (kolom 5) pada sub unsur terkait
4. Kolom 4: Sudah jelas
5. Kolom 5: Disimpulkan dari kesimpulan per pertanyaan yang terkait
dengan masing-masing atrubut/elemen
6. Kolom 6: Sudah jelas
7. Kolom 7: Disimpulkan berdasarkan atas modus jawaban dari
responden
8. Kolom 8: Diisi berdasarkan jawaban responden atas kuesioner CEE

88
Contoh Formulir-5 Simpulan Sementara Hasil CEE (Soft Control)

Penjelasan tabel:

1. Kolom 1: Diisi delapan sub unsur lingkungan pengendalian


2. Kolom 2: Diisi dengan simpulan dari formulir ELP2 atas masing-
masing sub unsur lingkungan pengendalian (Memadai, Cukup
Memadai, Kurang Memadai, Tidak Memadai)
3. Kolom 3: Diisi dengan uraian simpulan masing-masing sub unsur
lingkungan pengendalian berdasarkan formulir ELP2
4. Kolom 4: Diisi dengan simpulan dari formulir ELP1 atas masing-
masing sub unsur lingkungan pengendalian (Memadai, Cukup
Memadai, Kurang Memadai, Tidak Memadai)
5. Kolom 5: Diisi dengan uraian simpulan masing-masing sub unsur
lingkungan pengendalian berdasarkan formulir ELP2
6. Kolom 6: Diisi dengan analisis fasilitator atas kondisi masing-masing
sub unsur lingkungan pengendalian berdasarkan hasil ELP1 dan
ELP2. Jika hasil keduanya sama, maka fasilitator akan menyimpulkan

89
sesuai dengan hasil tersebut. Jika hasilnya bertentangan maka
diperlukan pertimbangan profesional fasilitator untuk mengambil
simpulan sementara untuk nantinya dibahas lebih lanjut dengan
pimpinan instansi guna memperoleh pertimbangan dan data lebih
lanjut sehingga dapat dihasilkan simpulan akhir
7. Kolom 7: Diisi dengan simpulan fasilitator atas kondisi masing-masing
sub unsur lingkungan pengendalian (Memadai, Cukup Memadai,
Kurang Memadai, Tidak Memadai)
8. Kolom 8: Diisi dengan uraian simpulan masing-masing sub unsur
lingkungan pengendalian sesuai dengan kolom 7

Pada formulir 6 terdapat hal-hal yang harus diperhatikan sebagai berikut:

1. Manajemen harus merencanakan tindakan yang tepat untuk


mengatasi kelemahan (bila ada), lingkungan pengendalian di wilayah
kerjanya,
2. Melakukan assessment pada Lingkungan Pengendalian yang ada
dapat mengidentifikasi kelemahan lingkungan pengendalian,
3. Tim Fasilitator melakukan bimbingan teknis manajemen untuk
merumuskan tindakan yang akan diambil dan didokumentasikan
dalam rencana tindakan yang disepakati untuk ditindaklanjuti oleh
manajemen,
4. Tindakan yang telah disepakati dicatat dalam rencana tindakan
dengan perincian kelemahannya, tindakan yang diajukan, pemilik/
penanggung jawab dan target waktu penyelesaian,
5. Rencana tindak penguatan/perbaikan lingkungan pengendalian
dituangkan dalam dokumen Rencana Tindak Perbaikan (Formulir 6).

90
Contoh Formulir-6 Rencana Tindak Perbaikan Lingkungan Pengendalian (Soft Control)

Penjelasan tabel:

1. Kolom 1: Sudah jelas


2. Kolom 2: Diisi dengan sub unsur lingkungan pengendalian dan
kelemahan lingkungan pengendalian atas sub unsur tersebut
3. Kolom 3: Rencana tindakan perbaikan lingkungan pengendalian
yang direncanakan atas sub unsur tsb
4. Kolom 4: Diisi dengan simpulan atas masing-masing sub unsur
lingkungan pengendalian (Memadai, Cukup Memadai, Kurang
Memadai, Tidak Memadai)
5. Kolom 5: Diisi dengan tick mark (√) atas masing-masing
rencana tindak perbaikan lingkungan pengendalian jika
dianggap prioritas oleh Pimpinan Instansi Pemerintah/Unit Kerja
terkait
6. Kolom 6: Diisi dengan penanggung jawab atas perbaikan
lingkungan pengendalian. Jika penanggung jawab bukan instansi
91
yang dibimbing maka rencana tindak harus ditambah dengan
pengusulan perbaikan kepada penanggung jawab yang dimaksud

Lampiran 3

Contoh Formulir-7 Identifikasi Tujuan Rencana Strategis

Contoh Formulir-21 Pemantauan Risiko dan Kegiatan Pengendalian Tingkat Unit Organisasi

Penjelasan tabel:

92
1. Kolom 1: Sudah jelas
2. Kolom 2: Berisi risiko yang diidentifikasi
3. Kolom 3: Berisi pemilik atau pihak yang bertanggungjawab
menangani tsb
4. Kolom 4: Berisi frekuensi dari risiko yang diidentifikasi misal skor 4
frekuensi sangat sering, 3 sering, 2 jarang, 1 sangat jarang
5. Kolom 5: Berisi dampak dari risiko yang diidentifikasi misal skor 4
frekuensi dampaknya sangat besar, 3 besar, 2 kecil, 1 sangat kecil
6. Kolom 6: Berisi pengendalian kunci atas risiko yang diidentifikasi
7. Kolom 7: Berisi pemantauan yang dilaksanakan
8. Kolom 8: Berisi perbaikan atas pemantauan yang sdh ada
9. Kolom 9: Berisi waktu rencana pelaksanaan perbaikan
pemantauan

Contoh Formulir-22 Pemantauan Risiko dan Kegiatan Pengendalian Tingkat Kementrian

Penjelasan tabel:

1. Kolom 1: Sudah jelas


2. Kolom 2: Berisi risiko yang diidentifikasi
93
3. Kolom 3: Berisi pemilik atau pihak yang bertanggungjawab
menangani tsb
4. Kolom 4: Berisi frekuensi dari risiko yang diidentifikasi misal skor 4
frekuensi sangat sering, 3 sering, 2 jarang, 1 sangat jarang
5. Kolom 5: Berisi dampak dari risiko yang diidentifikasi misal skor 4
frekuensi dampaknya sangat besar, 3 besar, 2 kecil, 1 sangat kecil
6. Kolom 6: Berisi pengendalian kunci atas risiko yang diidentifikasi
7. Kolom 7: Berisi pemantauan yang dilaksanakan
8. Kolom 8: Berisi perbaikan atas pemantauan yang sdh ada
9. Kolom 9: Berisi waktu rencana pelaksanaan perbaikan
pemantauan

KUNCI JAWABAN

BAB II

1. Jelaskan pengertian manajemen risiko menurut COSO dan ISO


31000! (Bobot: 40)

The Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway


Commission (COSO) mendifinisikan risiko sebagai kemungkinan
bahwa suatu kejadian akan terjadi dan berdampak buruk terhadap
pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Sedangkan risiko menurut International Organization for
Standardization (ISO) risiko adalah pengaruhnya ketidakpastian pada
suatu tujuan

2. Jelaskan dan sebutkan penyebab dari adanya risiko! (Bobot 30%)


Sumber atau penyebab risiko menurut Peraturan pemerintah 60 tahun
2008 pasal 16 huruf b terbagi menjadi 2 yaitu:
a. Eksternal
Peraturan perundang-undangan baru, perkembangan teknologi,
bencana alam, dan gangguan keamanan.
b. Internal

94
Keterbatasan dana operasional, sumber daya manusia yang
tidak kompeten, peralatan yang tidak memadai, kebijakan dan
prosedur yang tidak jelas, dan suasana kerja yang tidak
kondusif.

3. Jelaskan apa itu mitigasi risiko! (Bobot: 30)

Mitigasi risiko atau pencegahan risiko adalah bentuk upaya agar


meminimalisir terjadinya risiko yang terjadi. Pencegahan risiko saling
berkaitan erat dan pada dasarnya dapat dicapai dengan cara
mengurangi atau menyingkirkan sebagian dari risiko yang ada. Dalam
pelaksanaannya ada 2 cara yang dapat digunakan, yaitu:

a. Eliminasi (Penghapusan Sebagian Risiko), menghapus atau


mengurangi kemungkinan terjadinya risiko yang dihadapi.
b. Memprekecil Risiko, usaha untuk memperkecil risiko dapat
dibagi dalam 2 bagian, yaitu:
1) PreLoss Minimisation, adalah suatu tindakan memperkecil
terjadinya suatu risiko yang dilakukan sebelum terjadinya
kerugian.
2) Post Loss Minimisation, adalah suatu tindakan
memperkecil terjadinya suatu risiko yang dilakukan
sesudah terjadinya kerugian.

BAB III

1. Jelaskan pengertian dari SPIP beserta fungsinya! (Bobot: 30)


Pengertian Sistem Pengendalian Intern berdasarkan Peraturan
Menteri PUPR No. 20/PRT/M/2018 adalah proses yang integral pada
tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh
pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan
memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang
efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan
aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundangan-

95
undangan. Sedangkan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang
selanjutnya disingkat SPIP adalah Sistem pengendalian yang
diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah.

Adapun Kewenangan dari Pengendalian SPIP tersebut, yaitu


mencakup:
1) Menteri berwenang dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan pengendalian intern atas penyelenggaraan
kegiatan pada Kementerian untuk mencapai peningkatan
kinerja, pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien,
transparan dan akuntabel.
2) Penyelenggaraan SPIP pada Unit Organisasi dikoordinasikan
oleh Sekretaris Direktorat Jenderal/Sekretaris Inspektur
Jenderal/ Sekretaris Badan terkait.
3) Unit Organisasi menerapkan Penyelenggaraan SPIP yang
meliputi unsur lingkungan pengendalian, penilaian resiko,
kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, dan
pemantauan pengendalian intern.

2. Jelaskan prinsip siklus penyelenggaraan SPIP sertakan gambar!


(Bobot: 30)

Pendekatan penyelenggaraan SPIP pelaksanaan yang berkelanjutan,


terus menerus oleh pimpinan dan seluruh jajaran organisasi untuk
memberikan keyakinan atas tercapainya tujuan organisasi dengan
berpedoman pada siklus penyelenggaraan SPIP yang tidak secara
kaku dan harus dimulai dari satu tahapan tertentu. Siklus
penyelenggaraan SPIP memudahkan unit kerja dan fasilitator dalam
menyelenggaraan SPIP, tahapannya selalu berputar secara terus
menerus untuk melakukan perbaikan dan disebut dengan rencana
tindak pengendalian (RTP). Siklus penyelenggaraan SPIP,

96
diharapkan secara kontinyu akan dapat mengintegrasikan SPIP ke
dalam proses penyelenggaraan kegiatan pemerintahan.

Gambar Siklus Penyelenggaraan SPIP

Dibawah ini merupakan pendekatan penyelenggaraan SPIP:

e. Berkelanjutan
f. Tercapainya tujuan organisasi
g. Siklus penyelenggaraan yang tidak kaku dan harus dimulai dari
satu tahapan tertentu
h. Selalu berputar
Dengan siklus penyelenggaraan yang tertera pada Gambar 5 dapat
diketahui bagian mana yang lemah dari sistem pengendalian yang telah
di jalankan. Maka dari itu perlu adanya reviu guna untuk memperbaiki
sistem pengendalian agar menjadi lebih baik lagi kedepannya.

3. Jelaskan prinsip mengenai reviu lingkungan pengendalian! (Bobot:


40)

Perilaku yang positif dan aktif, serta melekat dalam melaksanakan


kegiatan/aktivitas keseharian setiap unit kerja dilingkungan

97
Kementerian diwujudkan dalam Lingkungan Pengendalian yang Kuat.
Dalam reviu lingkungan pengendalian perlu dilakukan ulasan untuk
mengidentifikasi area-area lingkungan pengendalian yang masih
lemah yang membutuhkan penguatan lebih lanjut. Reviu penilaian
sendiri/ Control Self-Assessment (CSA), disebut “Penilaian
Lingkungan Pengendalian/ Control Environment Evaluation (CEE)”.
CEE terdiri dari soft dan hard controls berikut merupakan
penjelasannya sebagai berikut.

a. Soft control

Tujuan dari assessment atas soft control adalah untuk


memberikan informasi tingkat konsistensi instansi pemerintah
dalam mencapai segala hasil yang benar. Tim fasilitator
memberikan bimbingan teknis kepada peserta untuk
melakukan assessment terhadap soft controls lingkungan
pengendalian yang ada. Lakukan survei persepsi, melalui
kelompok diskusi atau survei menggunakan kuesioner.
Sedapat mungkin, lakukan validasi hasil survei melalui metode
lainnya seperti ulasan dokumen, wawancara, Focus Groups
Discussions/FGD. Assessment Soft Control Terdiri Dari 8
Sub Unsur (A-H), 81 Pernyataan:
1) Penegakan Integritas Dan Nilai Etika (17 Pernyataan)
2) Komitmen Terhadap Kompetensi (12 Pernyataan)
3) Kepemimpinan Yang Kondusif (7 Pernyataan)
4) Pembentukan Struktur Organisasi Yang Sesuai
Dengan Kebutuhan (7 Pernyataan)
5) Pendelegasian Wewenang Dan Tanggung Jawab Yang
Tepat (9 Pernyataan)
6) Penyusunan Dan Penerapan Kebijakan Yang Sehat
Tentang Pengelolaan/Pembinaan Sdm (18
Pernyataan)

98
7) Perwujudan Peran Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah (Apip) Yang Efektif (9 Pernyataan)
8) Hubungan Kerja Yang Baik Dengan Instansi
Pemerintah Terkait (2 Pernyataan)
Dalam Assessment Soft Control terdapat 6 formulir yang akan
menjadi acuan dari penilaian pengendalian lingkungan seperti
yang tertera pada Lampiran 2.

b. Hard control
Satuan Tugas SPIP melakukan assessment terhadap hard
controls lingkungan pengendalian yang ada. Tujuan dari
assessment atas hard control adalah untuk memberikan
informasi tingkat konsistensi Kementerian dalam mengerjakan
segala sesuatu dengan benar/baik. Penilaian hard controls
lingkungan pengendalian dapat dilakukan sebagaimana
lazimnya proses audit, seperti ulasan terhadap dokumen.
Disamping teknik penilaian di atas, Satuan Tugas SPIP dapat
menggunakan penilaian pengendalian sendiri/Control
Self Assessment.

BAB III
1. Apa yang menjadi latar belakang adanya sistem yang mengatur
tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja? (Bobot: 30)
a. Memenuhi ketentuan hukum
b. Menata sistem Jasa Konstruksi yang mampu mewujudkan
keselamatan publik dan menciptakan kenyamanan lingkungan
terbangun.
c. Keinginan untuk selamat dan terhindar dari bahaya
d. Keinginan untuk terhindar dari kerugian materi akibat
kecelakaan
e. Desakan dari pihak luar dan tuntutan masyarakat

99
2. Jelaskan yang dimaksud dengan Keselamatan Konstruksi, Sistem
Manajemen Keselamatan Konstruksi, dan K3 Konstruksi! (Bobot: 30)
a. Keselamatan Konstruksi adalah segala kegiatan keteknikan
untuk mendukung Pekerjaan Konstruksi dalam mewujudkan
pemenuhan standar keamanan, keselamatan, kesehatan dan
keberlanjutan yang menjamin keselamatan keteknikan
konstruksi, keselamatan dan kesehatan tenaga kerja,
keselamatan publik dan lingkungan.
b. Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi yang
selanjutnya disebut SMKK adalah bagian dari sistem
manajemen pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi dalam rangka
menjamin terwujudnya Keselamatan Konstruksi.
c. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi yang
selanjutnya disebut K3 Konstruksi adalah segala kegiatan
untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan
kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja pada Pekerjaan
Konstruksi.

3. Sebutkan dan jelaskan tahapan penerapan SMKK! (Bobot: 40)


Pada penerapan SMKK bidang PUPR terdapat tahapan-tahapan yang
perlu dilakukan guna untuk mewujudkan sistem manajemen
keselamatan konstruksi seperti yang diharapkan. Berikut merupakan
tahapan-tahapan dalam penerapan SMKK bidang PUPR

a. Rancangan Konseptual SMKK


Tahapan tersebut diawali dengan Rancangan Konseptual SMKK yang
menjadi dasar dari penerapan SMKK. Tentunya dalam tahap
perancangan konseptual SMKK sebelumnya telah mempertimbankan
Standar Keamanan, Kesalamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan.

b. Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi

100
Setelah tahapan standar keamanan, keselamatan, kesehaan, dan
keberlanjutan terpenuhi serta rancangan konseptual dari SMKK telah
dibuat maka masuk pada penerapan dari SMKK. Penerapan Sistem
Manajemen Keselamatan Konstruksi dilaksanakan dalam beberapa
tahap yang mencakup seluruh aspek pada kegiatan berlangsungnya
SMKK.

c. Risiko Keselamatan Konstruksi


Risiko Keselamatan Konstruksi adalah risiko konstruksi yang
memenuhi satu atau lebih kriteria berupa besaran risiko pekerjaan, nilai
kontrak, jumlah tenaga kerja, jenis alat berat yang dipergunakan dan
tingkatan penerapan teknologi yang digunakan.

d. Unit Keselamatan Konstruksi


Dalam menerapkan SMKK, Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi harus
membentuk UKK. UKK bertanggung jawab kepada unit yang
menangani Keselamatan Konstruksi di bawah pimpinan tertinggi
Penyedia Jasa. Untuk kategori risiko kecil pimpinan tertinggi Pekerjaan
Konstruksi dapat merangkap sebagai pimpinan UKK. Sedangkan untuk
risiko sedang dan besar diperlukan adanya UKK yang terpisah dari
struktur organisasi Pekerjaan Konstruksi. UKK sendiri terdiri dari
pimpinan dan anggota, yang nantinya Pimpinan Pekerjaan Konstruksi
akan berkoordinasi pada pimpinan UKK. Maka dari itu UKK
bertanggung jawab pada penanganan keselamatan konstruksi dalam
organisasi Penyedia Jasa.

e. Biaya Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi


Biaya penerapan SMKK harus dimasukkan pada daftar kuantitas dan
harga dengan besaran biaya sesuai dengan kebutuhan berdasarkan
pengendalian dalam RKK.

f. Pembinaan dan Pengawasan

101
Pada tahap pembinaan dan pengawasan Menteri bertanggung jawab
atas pembinaan penerapan SMKK kepada penyelenggara pemerintah
daerah provinsi dan masyarakat jasa konstruksi.

102
103

Anda mungkin juga menyukai