Anda di halaman 1dari 38

HUKUM BENDA

A. Keberadaan Hukum Benda dalam KUH Perdata


Dalam membicarakan Hukum Benda sebagaimana diatur dalam Buku II KUH Perdata
hendaknya harus pula diingat berlakunya Undang Undang Pokok Agraria, yaitu Undang
Undang No. 5 tahun 1960 (UUPA) dan Undang Undang No. 19 tahun 1997, tentang Hak
Tanggungan. Diberlakukannya kedua undang undang tersebut berpengaruh besar
terhadap ketentuan yang diatur dalam Buku II KUH Perdata, yaitu sebagian pasal-pasal
yang menyangkut tentang tanah dan jaminan yang berkaitan dengan tanah menjadi tidak
berlaku lagi sepanjang telah diatur dalam kedua undang-undang tersebut.
Apakah yang dimaksud dengan benda ?. Benda menurut pengertian hukum adalah obyek
hak, yang merupakan kebalikan dari subyek hak atau persoon /badan pribadi.

B. Sistim Dan Sifat Hukum Benda


Sistem pengaturan hukum benda bersifat tertutup, artinya orang tidak dapat
mengadakan hak-hak kebendaan baru selain yang sudah ditetapkan dalam undang –
undang. Sedangkan sifat dari hukum benda adalah bersifat memaksa (dwangen recht),
artinya para pihak tidak dapat menyimpangi aturan-aturan yang sudah diatur dalam
hukum benda. Para pihak (subyek hukum) terikat dengan aturan-aturan yang
diperuntukkan bagi benda dalam peraturan hukum yang sudah ditentukan untuk itu.

C. Azas – azas Umum Hukum Benda


Azas-azas umum dalam hukum benda yang terdapat dalam KUH Perdata adalah sebagai
berikut :
1. Sebagai hukum pemaksa, artinya berlakunya aturan itu tidak dapat disimpangi oleh
para pihak. Hak-hak kebendaan tidak akan memberikan wewenang yang lain dari
yang sudah ditentukan dalam undang-undang;
2. Dapat dipindahkan, artinya bahwa hak-hak kebendaan itu dapat dialihkan kepada
pihak lain kecuali hak pakai dan hak mendiami;
3. Azas individualitas, artinya bahwa obyek hak kebendaan selalu barang yang dapat
ditentukan;
4. Azas totalitas, artinya bahwa hak kebendaan selalu melekat atas keseluruh obyeknya;
5. Azas prioritas, yaitu mana yang lebih dulu terjadinya akan diutamakan;
6. Azas tak dapat dibagi-bagi, artinya barang siapa memiliki suatu hak kebendaan,
dirinya tidak dapat memindahkan sebagian dari kewenangan yang ada pada hak itu;
7. Azas publisitas untuk barang-barang tetap

D. Pembedaan macam-macam benda


Menurut sistem hukum perdata barat sebagaimana diatur dalam KUH Perdata, benda
dapat dibedakan sebagai berikut :
2

a. Barang berujud dan barang tak berujud. Yang dimaksud barang berujud adalah
barang-barang yang secara nyata dapat dilihat dan diraba. Sedangkan barang yang tak
berujud adalah hak-hak yang timbul dari barang yang berujud, misalnya hak
menikmati hasil, hak pakai, piutang dan sebagainya.
b. Barang dalam perdagangan dan barang di luar perdagangan;
c. Barang yang habis dipakai dan barang yang tidak habis dipakai;
d. Barang yang sudah ada dan barang yang masih akan ada. Barang yang akan ada
dibedakan lagi menjadi barang yang akan ada secara relatif dan barang yang akan ada
secara absolut;
e. Barang yang bergerak dan barang yang tidak bergerak/tetap;
f. Barang yang dapat dibagi dan barang yang tidak dapat dibagi.

Dari berbagai pembedaan macam barang yang ditetapkan dalam KUH Perdata, yang
penting adalah pembedaan barang bergerak dan barang yang tidak bergerak. Lebih jauh
penbedaan macam benda bergerak dan tak bergerak ini dibedakan antara :
a. Banda tak bergerak karena sifatnya, misalnya tanah dan segala sesuatu yang ada di
atasnya.
b. Benda tak bergerak karena tujuannya, misalnya mesin dan peralatan yang
dipergunakan dalam pabrik;
c. Benda tak bergerak menurut ketentuan undang-undang, misalnya hak memungut
hasil, hak menikmati benda tak bergerak, hipotik dan lain-lain;
d. Benda bergerak karena sifatnya, ialah benda yang menurut sifatnya dapat dipindah-
pindahkan seperti : meja, ternak dan sebagainya;
e. Benda bergerak karena ketentuan undang-undang, yaitu hak-hak yang timbul dari
benda bergerak, misalnya hak menikmati atas benda bergerak dan sebagainya.

Arti pentingnya pembedaan macam-macam benda menjadi benda tetap dan benda
bergerak adalah berkaitan dengan empat hal berikut ini :
1. Bezit (penguasaan).
Terhadap barang bergerak berlaku azas bezitter barang bergerak adalah eigenaar dari
barang tersebut. Sedangkan untuk barang tetap tidak demikian halnya, yaitu bezitter
(penguasa) barang tetap belum tentu sebagai eigenaar (pemilik) atas barang tersebut.
2. Levering (penyerahan)
Mengenai levering atas benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata,
sedangkan levering benda tetap dilakukan dengan proses hukum tersendiri, misalnya
dengan balik nama;
3. Verjaring (daluwarsa/lampau waktu)
Terhadap benda bergerak tidak dikenal adanya lampau waktu, sebab bezitter juga
dianggap sebagai eigenaar, sebaliknya dalam benda tetap mengenal adanya lampau
waktu;
3

4. Bezwaring (pembebanan)
Pembebanan benda bergerak dilakukan dengan gadai pand, sedangkan untuk benda
tetap dilakukan dengan hipotik. Dengan keluarnya ketentuan tentang hak
tanggungan, maka untuk benda tetap dibebani dengan hak tanggungan.
4

HAK KEBENDAAN

A. Pengertian hak kebendaan


Menurut Subekti suatu hak kebendaan (zekalijk recht) adalah suatu hak yang
memebrikan kekuasaan lansung atas suatu benda yang dapat dipertahankan oleh setiap
orang. Sedangkan menurut L.J van Apeldoorn hak-hak kebendaan adalah : hak-hak harta
benda yang memebrikan kekuasaan langsung atas suatu benda. kekuasaan langsung
berarti bahwa ada terdapat suatu hubungan yang langsung antara orang yang berhak dan
benda tersebut. Sedangkan menurut Sri Soedewi Masjchoen Safwan, hak kebendaan
(zekalijk recht) adalah hak mutlak atas suatu benda dimana hak itu memberikan
kekuasaan langsung atas dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Jadi hak
kebendaan itu adalah hak mutlak dan lawannya adalah hak nisbi atau hak relative.
Hak perdata itu diperinci atas dua hal:
1. Hak mutlak terdiri atas :
a. Hak pribadi, misal : hak atas namanya, kehormatannya, hidup, kemerdekaan.dll
b. Hak-hak yang terletak dalam hukum keluarga, yaitu hak-hak yang timbul karena
adanya hubungan antara suami istri, karena adanya hubungan orang tua dan
anak.
c. Hak mutlak atas sesuatu benda, inilah yang disebut hak kebendaan.
2. Hak nisbi (hak relative) yaitu semua hak yang timbul karena adanya hubungan
perutangan sedangkan perutangan itu timbul dari perjanjian, undang-undang.

B. Sifat dan Karakter Hak Kebendaan.


Pada dasarnya ciri-ciri atau sifat suatu hak kebendaan itu adalah:sebabagai berikut:
1. Merupakan hak mutlak.
Hak kebendaan merupakan hak yang mutlak, yaitu dapat dipertahankan siapapun
juga.
2. Mempunyai zaak gevolg atau droit de suite
Hak kebendaan mempunyai zaak gevolg (hak yang mengikuti) artinya:hak itu terus
mengikuti bendanya dimana pun juga (dalam tangan siapapun juga) barang itu
berada, hak itu terus saja orang yang mempunyainya.
3. Mempunyai sistem.
Sisitem yang terdapat pada hak kebendaan ialah mana yang lebih dulu terjadi,
tingkatanya adalah: lebih tinggi dari kejadian demikian, misalnya, seorang pemilik
tanah menghipotikkan tanahnya, kemudian tanah itu diberikan kepada orang lain
dengan hak memungut hasil, maka dalam hal ini.hak hipotik memiliki hak yang lebih
tinggi dari pada hak memungut hasil yang baru terjadi kemudian.[2]
4. Memberikan kuasaan langsung terhadap benda.
5. Dapat dipertahankan terhadap setiap orang.
6. Memiliki sifat ’’melekat’’ mengikuti benda bila dipindah tangankan.
7. Hak yang lebih tau selalu dimenangkan terhadap yang lebih muda.
5

Namun didalam BW Perbedaan antara hak kebendaan yang diatur dalam Buku II BWI
dengan hak perorangan yang diatur dalam Buku III BWI adalah sebagai berikut :
1. Hak kebendaan bersifat mutlak (absolut), karena berlaku terhadap siapa saja, dan
orang lain harus menghormati hak tersebut, sedangkan hak perorangan berlaku
secara nisbi (relatief), karena hanya melibatkan orang / pihak tertentu saja, yakni
yang ada dalam suatu perjanjian saja.
2. Hak kebendaan berlangsung lama, bisa jadi selama seseorang masih hidup, atau
bahkan bisa berlanjut setelah diwariskan kepada ahli warisnya, sedangkan hokum
perorangan berlangsung relatif lebih singkat, yakni sebatas pelaksanaan perjanjian
telah selesai dilakukan.
3. Hak kebendaan terbatas pada apa yang telah ditetapkan dalam peraturan
perundangan yang berlaku, tidak boleh mengarang / menciptakan sendiri hak yang
lainnya, sedangkan dalam hak perorangan, lingkungannya amat luas, apa saja dapat
dijadikan obyek perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum. Oleh karena itu sering dikatakan hokum kebendaan
itu bersifat tertutup, sedangkan hukum perorangan bersifat terbuka.

C. Jenis Hak Kebendaan


Dalam Buku II KUHPerdata diatur macam-macam hak kebendaan, akan tetapi dalam
macam-macam hak kebendaan dalam Buku II KUHPerdata harus diingat berlakunya UU
No. 5 tahun 1960 ttg Undang-Undang Pokok Agraria, dengan demikian hak-hak
kebendaan yang diatur Buku II KUHPerdata (yang sudah disesuikan dengan berlakunya
UUPA No.5/1960) dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu sbb:
a. Hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan (zekalijek genotsreecht), meliputi.
1) Hak benda yang memberikan kenikmatan atas benda itu sendiri misalnya: hak
eigendom, hak bezit.
2) Hak benda yang memberikan kenikmatan atas benda orang lain misalnya, hak
opstal. hak erfpracht, hak memungut hasil, hak pakai dan hak mendiami.
b. Hak kebendaan yang memberi jaminan (zekalijk zakereidsecht). misalnya hak gadai
(pand) hipotilk. disamping itu ada pula hak yang diatur dalam buku II KUHPerdata
tetapi bukan merupakan hak kebendaan. yaitu privilage, dan hak retentie namun hak
tersebut dapat digolongkan pula hak kebendaan.

D. Asas umum hak kebendaan.


Untuk dapat mengerti dan mengetahui apa-apa saja yang merupakan asas-asas dalam
hukum kebendaan maka perlu dipahami terlebih dahulu yang dimaksud dengan asas itu
sendiri. Secara sederhana yang dimaksud dengan asas adalah suatu meta-norma, atau
suatu rumusan yang sebenarnya di dalamnya telah terkandung suatu muatan hukum
berupa landasan berpikir bagi terbentuknya suatu norma, hanya saja sifatnya masih
abstrak dan belum memuat subjek hukum apa yang kepadanya dibebankan objek muatan
hukum tersebut.
6

Suatu aturan atau norma pada hakikatnya mempunyai dasar filosofis serta pijakan asas
atau prinsip sebagai rohnya. Merupakan kejanggalan bahkan konyol apabila suatu norma
tidak mempunyai dasar filosofis serta pijakan asas atau prinsip dalam konteks
operasionalnya.
Suatu norma tanpa landasan filosofis serta pijakan asas, ibarat manusia yang buta dan
lumpuh.Asas atau prinsip dalam bahasa Belanda disebut “beginsel”, sedangkan dalam
bahasa Inggris disebut sebagai “principle”. Asas dalam dalam bahasa Indonesia
sebagaimana termuat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti dasar yang menjadi
suatu tumpuan berpikir atau berpendapat, dasar cita-cita, atau hukum dasar. Sedangkan
dalam bahasa Inggris sendiri sebagaimana dikutip dari Cambridge Dictionary, kata priciple
berarti “a basic idea or rule that explains or control how something happens or works”.
Sedangkan asas atau prinsip dalam bahasa latin disebut sebagai “principium” yakni
berasal dari kata “primus” yang berarti “pertama” , dan kata “capere” yang berarti
“menangkap”, secara leksika berarti sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berpikir atau
bertindak atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya.
Kedudukan asas hukum dalam semua sistem hukum yang di dalamnya mengatur sistem
norma hukum mempunyai peranan yang penting. Asas hukum merupakan landasan atau
pondasi yang menopang kukuhnya suatu norma hukum. Untuk dapat memahami apa
yang dimaksud dengan asas hukum, beberapa ahli memberikan batasan atau pengertian
sebagai berikut:
1) Paul Scholten menguraikan asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar, yang terdapat
di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-
aturan, per undang-undangan, dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengan
ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai
penjabarannya.
2) Van Eikema Homes menjelaskan bahwa asas hukum bukanlah norma hukum yang
konkret, tetapi sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang
berlaku. Jadi merupakan dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum
positif, sehingga dalam pembentukan hukum praktis harus berorientasi pada asas-
asas hukum.
3) Bellefroid mengemukakan bahwa asas hukum umum adalah norma dasar yang
dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak berasal dari aturan-
aturan yang lebih umum. Jadi asas hukum umum merupakan kristalisasi
(pengendapan) hukum positif dalam suatu masyarakat [3]

Asas hukum berfungsi sebagai pondasi yang memberikan arah, tujuan, serta penilaian
fundamental, mengandung nilai-nilai, dan tuntutan-tuntutan etis.[4] Bahkan dalam satu
mata rantai sistem , asas, norma, dan tujuan hukum berfungsi, sebagai pedoman dan
ukuran atau kriteria bagi perilaku manusia. Melalui asas hukum, norma hukum berubah
sifatnya menjadi bagian tatanan etis yang sesuai dengan nilai kemasyarakatan.
Pemahaman tentang keberadaan suatu norma hukum (mengapa suatu norma hukum
7

diundangkan) dapat ditelusuri dari “ratio legis”-nya. Meskipun asas hukum bukan norma
hukum, namun tidak ada norma hukum yang dipahami tanpa mengetahui asas hukum
yang terdapat di dalamnya.[5]
Adapun di dalam hukum kebendaan dikenal beberapa asas sebagai berikut: [6]
a. Asas Hukum Memaksa (dwingend recht)
b. Hak kebendaan dapat dipindahkan
c. Asas Individualitas (Individualiteit)
d. Asas Totalitas (Totaliteit).
e. Asas tidak dapat dipisahkan (onsplitsbaarheid).
f. Asas Prioritas (Prioriteit)
g. Asas percampuran (vermenging).
h. Asas publisitas (publiciteit)
i. Asas perlakuan berbeda antara benda bergerak dengan benda tidak bergerak. [7]
j. Adanya sifat perjanjian dalam setiap pengadaan atau pembentukan hak.

1. Asas Hukum Memaksa ( Dwingend Recht)


Asas hukum memaksa dalam hukum kebendaan berarti bahwa[8] hukum yang mengatur
tentang benda adalah sesuatu yang bersifat memaksa dan bukan bersifat mengatur, oleh
karenanya para pihak yang mempunyai hak tertentu atas suatu benda tidak dapat
menyimpangi ketentuan- ketentuan yang terdapat di dalam undang-undang. Para pihak
tersebut juga tidak dapat mengadakan suatu hak yang baru selain yang telah ditetapkan
di dalam undang-undang. Hal ini tentunya berbeda dengan hukum perjanjian yang
berisfat terbuka (openbaar system) yang mana para pihak yang terlibat di dalam
perjanjian dapat saja menyimpangi ketentuan yang ada diatur di dalam undang-undang
sesuai dengan kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian itu, sedangkan dalam
hukum kebendaan para pihak yang mempunyai hubungan hukum tersebut tidak dapat
menyimpangi atau mengadakan suatu hak yang baru selain dari yang telah ditentukan di
dalam undang-undang walaupun para pihak telah menyepakati mengenai hal itu.
Berikut adalah beberapa sifat dari asas hukum memaksa (dwingend recht) pada
kebendaan : [9]
a. Hak milik atas suatu kebendaan yang bersifat memaksa
Sifat memaksa dari hak milik atas suatu kebendaan pertama-tama dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 584 KUHPerdata yang menyebutkan : peristiwa perdata untuk
pemindahan hak milik, yang dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat terhadap
barang itu.
Dari ketentuan Pasal 584 KUHPerdata tersebut dapatlah dipahami bahwa undang-undang
telah memberikan batasan bahwa seseorang hanya akan mendapatkan hak milik atas
suatu kebendaan tertentu melalui 5 perbuatan hukum [10] sebagaimana yang disebut
.[11] di dalam Pasal 584 KUHPerdata tersebut. Selain dari pada kelima perbuatan hukum
tersebut maka seseorang tidak akan memperoleh hak milik atas suatu kebendaan
tertentu. Dalam hal ini proses Hak milik atas suatu barang tidak dapat diperoleh selain
8

dengan pengambilan untuk dimiliki, dengan perlekatan, dengan lewat waktu, dengan
pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, dan dengan
penunjukkan atau penyerahan berdasarkan suatu atau perbuatan hukum yang paling
sering mengakibatkan seseorang memiliki hak milik atas suatu hak kebendaan tertentu
adalah penyerahan. Penyerahan disini harus dilakukn oleh orang yang mempunyai
kewenangan bebas untuk menyerahkan kebendaan tersebut (beschikkingsbevoegd).
Sistem levering yang terdapat di dalam Pasal 584 KUHPerdata tersebut merupakan suatu
sistem causal, yaitu suatu sistem yang menggantungkan sah atau tidaknya suatu
penyerahan pada 2 syarat yaitu : [12]
 Sahnya titel yang menjadi dasar dilakukannya levering.
 Levering tersebut dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas
(beschikkingsbevoegd). [13]
Dengan titel dimaksudkan perjanjian obligatoir yang menjadi dasar levering itu harus sah
menurut hukum, jadi apabila dasar titel itu tidak sah menurut hukum baik karena batal
demi hukum (null and void) atau dibatalkan oleh hakim (voidable), [14] maka levering
tersebut menjadi batal juga, yang berarti bahwa pemindahan hak milik dianggap tidak
pernah terjadi. Begitu pula halnya apabila orang yang memindahkanhal milik itu ternyata
tidak berhak melakukannya karena ia bukan pemilik maupun orang yang secara khusus
dikuasakan olehnya.[15] Hal tersebut dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 1471
KUHPerdata yang menyebutkan “Jual beli ats barang orang adalah batal dan dapat
memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian, dan
bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain.”

b. Hak Gadai bersifat memaksa.


Sebenarnya di dalam ketentuan KUHPerdata tidak satupun ada pasal yang menyebutkan
secara eksplisit bahwa gadai adalah suatu hak kebendaan yang bersifat memaksa. Akan
tetapi beberapa ketentuan di dalam KUHPerdata yang antara lain Pasal 1152, Pasal 1152
bis, Pasal 1153, dan Pasal 1154 KUHPerdata menandakan bahwa hak gadai adalah
bersifat memaksa. Pasal 1152 ,1152, 1153, 1154 KUHPerdata menyebutkan : [16]
 Pasal 1152 KUHPerdata menentukan bahwa, : Hak gadai atas barang bergerak yang
berwujud dan atas piutang bawa timbul dengan cara menyerahkan gadai itu kepada
kekuasaan kreditur atau orang yang memberikan gadai atau yang dikembalikan atas
kehendak kreditur. Hak gadai hapus bila gadai itu lepas dari kekuasaan pemegang
gadai. Namun bila barang itu hilang, atau diambil dari kekuasaannya, maka ia berhak
untuk menuntutnya kembali menurut Pasal 1977 alinea kedua, dan bila gadai itu
telah kembali,maka hak gadai itu dianggap tidak pernah hilang. Hal tidak adanya
wewenang pemberi gadai untuk bertindak bebas atas barang itu tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada kreditur, tanpa mengurangi hak orang yang telah
kehilangan atau kecurigaan barang itu untuk menuntutnya kembali.
9

 Pasal 1152 bis KUHPerdata menentukan bahwa, : Untuk melahirkan hak gadai atas
surat tunjuk, selain penyerahan endosemennya, juga dipersyaratkan penyerahan
suratnya.[17]
 Pasal 1153 KUHPerdata menentukan bahwa, : Hak gadai atas barang bergerak yang
tak berwujud kecuali surat tunjuk dan surat bawa lahir dengan pemberitahuan
mengenai penggadaian itu kepada orang yang kepadanya hak gadai itu harus
dilaksanakan. Orang ini dapat menuntut bukti tertulis mengenai pemberitahuan itu,
dan mengenai izin dan pemberian gadainya. [19]
 Pasal 1154 KUHPerdata menentukan bahwa, : Dalam hal debitur atau pemberi gadai
tidak memenuhi kewajiban-kewajiban, kreditur tidak diperkenankan mengalihkan
barang yang digadaikan itu menjadi miliknya. Segala persyaratan perjanjian yang
bertentangan dengan ketentuan ini adalah batal.

Dari perumusan Pasal-Pasal tersebut dapat diketahui bahwa tidak memungkinkan untuk
dilakukan penyimpangan terhadap ketentuan mengenai gadai yang diatur dalam Kitab
undang-undang Hukum Perdata.

2. Hak Kebendaan Dapat Dialihkan.


Asas dalam hukum kebendaan ini menunjukkan bahwa sesuatu yang dapat dikatakan
sebagai suatu benda adalah suatu hal yang dalam hal ini dapat dialihkan kepada orang
lain. Jadi dalam hal ini yang terjadi adalah peralihan atas hak kebendaan dari seseorang
kepada orang lain dengan segala akibat hukum yang ada. Peralihan hak atas kebendaan
tersebut dilakukan melalui suatu perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomsten).
Perjanjian kebendaan adalah suatu perjanjian dengan mana suatu hak kebendaan
dilahirkan, dipindahkan, dirubah atau dihapuskan. Dapat dikatakan pula bahwa perjanjian
kebendaan adalah perjanjian yang bertujuan untuk langsung meletakkan atau
memindahkan hak kebendaan. Sekalipun istilah “perjanjian kebendaan” sudah umum
dipakai dalam literatur hukum perdata, namun demikian istilah itu tidak dikenal dalam
KUHPerdata. Perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomsten) memiliki ciri khusus, yakni
bahwa walaupun terminologi perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomsten)
menggunakan kata perjanjian akan tetapi perjanjian kebendaan tidak melahirkan suatu
perikatan tertentu seperti perjanjian lain pada umumya, karena perjanjian kebendaan
(zakelijk overeenkomsten) merupakan suatu penyelesaian bagi suatu perjanjian
obligatoirnya. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak akan ada suatu
perjanjian kebendaan tanpa dilatarbelakangi oleh suatu perjanjian obligatoirnya
(titelnya).
Mengenai asas bahwa hak kebendaan dapat dialihkan di dalam KUHPerdata dapat dilihat
pada ketentuan Pasal 584 KUHPerdata yang antara lain menyebutkan bahwa hak milik
atas suatu benda dapat timbul karena adanya penyerahan (levering) berdasarkan titel
yang sah dan dilakukan oleh orang yang berwenang bebas terhadap benda terserbut.
Sahnya titel dan berwenangnya orang yang mengalihkan benda tersebut merupakan
suatu syarat yang memaksa sebagai akibat dari dianutnya sistem kausal dalam sistem
10

penyerahan (levering) di dalam KUHPerdata.Pemindahan hak milik sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 584 KUHPerdata itu di dalam KUHPerdata ada 3 macam, yakni
penyerahan nyata (feitelijk levering), cessie, dan lembaga balik nama.

3. Asas Individualitas (Individualiteit).


Asas ini berarti bahwa apa yang dapat diberikan menjadi kebendaan adalah apa yang
menurut hukum dapat ditentukan terpisah. Maksudnya adalah bahwa sesuatu yang
dapat dikatakan sebagai benda atau diberikan sebagai benda adalah segala sesuatu yang
dapat ditentukan sebagai suatu kesatuan atau sebagai suatu jumlah atau ukuran
tertentu. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1333 misalnya yang menyebutkan
“suatu perjanjian harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-
kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu
kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
Dari ketentuan dalam Pasal 1333 maka dapatlah dipahami bahwa ketika seseorang
membuat suatu perjanjian mengenai suatu kebendaan (perjanjian obligatoir) tertentu
kemudian ditindaklanjuti dengan perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomsten) maka
sesuatu yang dapat dikatakan sebagai benda atau objek penyerahan (levering) adalah
sesuatu yang jelas jenisnya apa, dapat diukur, dihitung, atau suatu hal yang dapat
dijumlah. Hal ini juga sesuai dengan yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 1460, 1461
dan Pasal 1462yang mengatur mengenai risiko pada perjanjian jual beli. Di dalam Pasal-
Pasal jelas menunjukkan bahwa benda-benda yang dapat dijadikan objek jual beli adalah
benda-benda yang dapat ditentukan, dihitung atau ditakar berdasarkan berat, jumlah
atau ukuran, atau ditentukan menurut tumpukan. \
50 Pasal 1460 KUHPerdata menyebutkan “Jika barang yang dijual itu berupa barang yang
sudah ditentukan, maka sejak saat pembelian, barang itu menjadi tanggungan pembeli,
meskipun penyerahannya belum dilakukan dan penjual berhak menuntut harganya.” 51
Pasal 1461 KUHPerdata menyebutkan “Jika barang dijual bukan menurut tumpukan
melainkan menurut berat, jumlah dan ukuran, maka barang itu tetap menjadi
tanggungan penjual sampai ditimbang, dihitung, atau diukur. 52 Pasal 1462 KUHPerdata
menyebutkan “Sebaiknya jika barang itu dijual menurut tumpukan, maka barang itu
menjadi tanggungan pembeli, meskipun belum ditimbang, dihitung atau diukur.

4. Asas Totalitas.
Asas totalitas (totaliteit) ini berarti bahwa kepemilikan suatu kebendaan berarti
kepemilikan menyeluruh atas setiap bagian kebendaan tersebut. Dalam konteks ini
misalnya seseorang tidak mungkin memiliki bagian dari suatu kebendaan, jika ia sendiri
tidak memiliki titel hak milik atas kebendaan tersebut secara utuh. Maksudnya adalah
bahwa sesuai dengan sifat individualitas dari suatu kebendaan tersebut, maka tiap-tiap
benda yang menurut sifatnya atau menurut UU tidak dapat dibagi maka penyerahan
kepemilikan atas benda tersebut harus dilakukan secara keseluruhan benda itu.
Di dalam asas totalitas ini tercakup suatu asas perlekatan (accessie) karena perlekatan
terjadi dalam hal benda pokok (hoofdzaak) berkaitan erat dengan benda-benda
11

pelengkapnya yaitu benda tambahan (bijzaak) dan benda pembantu (hulpzaak). Oleh
karena itu seorang pemilik benda pokok dengan sendirinya adalah pemilik benda
pelengkapnya.
Pasal 1533 KUHPerdata menyebutkan “Penjualan suatu piutang meliputi segala sesuatu
yang melekat padanya seperti penanggungan, hak istimewa dan hak hipotek”
Contoh dari asa totalitas ini misalkan saja seseorang memiliki sebuah rumah maka
otomatis dia adalah pemilik jendela, pintu, kunci, genteng rumah tersebut. Asas totalitas
ini juga menentukan bahwa penjualan dan peralihan suatu kepemilikan suatu benda dari
seseorang kepada orang diikuti oleh peralihan segala embel-embel yang melekat pada
benda itu. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan jual-beli piutang misalnya, bahwa segala
piutang yang dijual dan dialihkan kepada orang lain maka peralihan tersebut diikuti juga
dengan peralihan dari segala-segala jaminan yang melekat pada piutang tersebut.

5. Asas Tidak Dapat Dipisahkan (onsplitsbaarheid).


Asas ini merupakan konsekuensi dari asas totalitas (totaliteit), dimana dikatakan bahwa
seseorang tidak dimungkinkan melepaskan hanya sebagian hak miliknya atas suatu
kebendaan yang utuh. Meskipun seorang pemilik diberikan kewenangan untuk
membebani hak miliknya dengan hak kebendaan lainnya yang bersifat terbatas (jura in re
aliena), namun pembebanan yang dilakukan itupun hanya dapat dibebankan terhadap
keseluruhan kebendaan yang menjadi miliknya tersebut. Jadi jura in re aliena tidak
mungkin dapat diberikan untuk sebagian benda melainkan harus untuk seluruh benda
tersebut sebagai suatu kesatuan.

6. Asas Prioritas (Prioriteit).


Asas ini berarti bahwa antara hak kebendaan yang satu dengan hak kebendaan yang lain
di atas suatu kebendaan yang sama memiliki tingkatan atau kedudukan yang berjenjang-
jenjang (hierarkis).
Jika dilihat dari sisi penuh atau tidaknya suatu hak kebendaan maka hak yang memiliki
kedudukan yang paling tinggi adalah hak mili baru diikuti oleh hak bezit, dan hak atas
kebendaan milik orang lain (jura in re aliena) Jika terjadi perselisihan mengenai hak-hak
kebendaan tersebut maka hak yang kedudukan hierarkinya lebih tinggi lebih
diprioritaskan dari pada hak yang kedudukan prioritasnya lebih rendah.
Sedangkan apabila di antara hak-hak kebendaan yang kedudukan hierarkinya sama maka
diberikan prioritas kepada hak yang muncul lebih awal, kecuali untuk hak bezit karena
hak bezit hadir karena penguasaan atas suatu benda tertentu, dan akan lepas jika
penguasaan itupun lepas.

7. Asas Percampuran (vermenging).


Asas percampuran ini terjadi bila dua atau lebih hak melebur menjadi satu.Hal ini berarti
bahwa adanya suatu percampuran yakni peleburan 2 hak apabila 2 hak itu dimiliki oleh
orang yang sama dan atas kebendaan yang sama. Misalnya jika A menyewa sebuah
rumah milik si B, kemudian A membeli rumah tersebut, maka hak sewa tersebut menjadi
lenyap.
12

8. Asas Publisitas (Publiciteit).


Asas publisitas berkaitan dengan pengumuman status kepemilikan suatu benda tidak
bergerak kepada masyarakat. Hak milik, penyerahan dan pembebanan hak atas tanah
misalnya wajib didaftarkan pada kantor Pendaftaran Tanah dan ditulis dalam Buku Tanah
(register) agar diketahui oleh umum. Sedangkan untuk benda bergerak, tidak perlu
didaftarkan artinya cukup melalui penguasaan dan penyerahan nyata.

9. Asas Perlakuan yang Berbeda antara Benda Bergerak dengan Benda Tidak Bergerak.
Pengaturan dan perlakuan dapat disimpulkan dari cara membedakan antara benda
bergerak dan benda tidak bergerak serta manfaat atau pentingnya pembedaan antara
kedua benda tersebut. Kriteria pembedaannya ditentukan oleh undang-undang.
Sedangkan manfaat pembedaannya dapat ditinjau dari sudut penyerahannya,
penguasaannya kadaluwarsa dan pembebanannya.

10. Adanya Sifat Perjanjian Dalam Setiap Pengadaan atau Pembentukan Hak Kebendaan.
Asas ini berarti bahwa pada dasarnya dalam setiap hukum perjanjian terkandung pula
asas kebendaan dan dalam setiap hak kebendaan melekat pula setiap hukum perjanjian
di dalamnya. Sifat perjanjian ini menjadi makin penting adanya dalam pemberian hak
kebendaan yang terbatas (jura in re aliena), sebagaimana dimungkinkan oleh undang-
undang.
13

KEDUDUKAN BERKUASA (BEZIT)

A. Pengertian bezit
Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, dengan mengacu pada Pasal 529 KUHPerdata,
bezit ialah keadaan memegang atau menikmati sesuatu benda dimana seseorang
menguasainya baik sendiri ataupun dengan perantaraan orang lain, seolah-olah itu
adalah kepunyaannya sendiri. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan hak menguasai
adalah : Suatu keadaan lahir, dimana seorang menguasai suatu benda seolah-seolah
kepunyaan sendiri yang oleh hukum diperlindungi dengan tidak mempersoalkan hak milik
atas benda itu sebenarnya ada dan siapa. Dalam Pasal 529 KUHPerdata yang dimaksud
dengan bezit adalah Kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan baik dengan
diri sendiri maupun dengan perantaraan orang lain dan yang mempertahankan atau
menikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan itu.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat difahami bahwa benda yang dikuasai dan dinikmati
oleh seseorang itu belum tentu benda miliknya sendiri hanya seolah-olah kepunyaannya
sendiri. Sedangkan orang yang menguasai benda tersebut disebut bezitter

Contoh Bezit :
 A mendiami rumah yang dimilikinya. Dalam hal demikian maka A bukan saja pemilik
tetapi juga ”bezitter” dari rumah dan arloji tersebut.
 Kalau arloji A dicuri oleh B, maka A adalah tetap pemilik dari arloji tersebut. A adalah
yang berhak atas arloji itu (keadaan nyata). Dalam hal ini B dinamakan bezitter yang
beritikad buruk, sebab ia mengetahui bahwa ia bukanlah pemilik arloji tersebut.
 A membeli sebidang tanah dari B. Dia mempagari dan menanami tanah tersebut.
Tetapi ternyata bahwa yang dipagarinya dan ditanaminya itu termasuk pula sebagian
tanah tetangga C, karena A mengira bahwa bagian tanah tersebut termasuk bidang
tanah yang dibelinya. Dalam hal ini A adalah bezitter yang beritikad baik dari bagian
tanah (dari tetangga C) tersebut.

B. Syarat bezit:
Untuk adanya suatu bezit, harus dipenuhi ;
 Adanya Corpus, yaitu harus ada hubungan antara benda yang bersangkutan dengan
orang yang menguasai benda tersebut (bezitter). Kata menguasai dalam Pasal 529
KUHPerdata harus ditafsirkan secara luas, yaitu meliputi apa yang dalam kehidupan
sehari-hari dianggap sebagai termasuk dalam pengertian dikuasai, seperti orang yang
menyerahkan dan meminjamkan suatu barang masih dianggap menguasai barang
miliknya, walaupun barang tersebut ditangan orang lain, karena ia pemilik masih
berhak meminta kembali, dan bahkan berhak menjual. Kemudian barang-barang
ditangan seorang kuasa, yang memegang untuk pemilik. Disini memegang benda
dengan perantaraan orang lain (Pasal 529 jo 540 KUHPerdata).
14

 Adanya Animus, yaitu bahwa antara benda yang bersangkutan dengan orang yang
menguasainya harus dikehendaki dan kehendak itu harus didasarkan oleh kehendak
yang sah. Yang dimaksud kehendak yang sah adalah kehendak yang tidak ada
paksaan dan bukan dari orang gila atau anak kecil.

Selain itu juga harus ada syarat-syarat :


 Perbuatan; Untuk memperoleh bezit harus ada perbuatan; perbuatan tersebut dapat
timbul dari perbuatan sendiri atau dari perbuatan orang lain, asal perbuatan orang
lain itu atas nama orang pertama.
 Tujuan; Di samping perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan bezit itu, harus
juga ada tujuan dari perbuatan itu untuk meletakkan benda yang dimaksud di bawah
kekuasaan, atau untuk menyimpan benda itu di bawah pengawasan.

C. Perbedaan bezit dengan detentie


Harus dibedakan antara bezit dengan detentie. Setiap orang yang menguasai sebuah
benda dan berkehendak untuk mempunyai benda itu bagi dirinya sendiri adalah bezitter
(burgerlijk bezit). Sedangkan orang yang menguasai benda tanpa ia berkehendak untuk
mempunyai benda itu bagi dirinya, melainkan ia menguasai benda tersebut berdasarkan
adanya hubungan hukum tertentu dengan orang lain, misalnya karena perjanjian sewa
atau perjanjian pinjam-meminjam. Mereka ini adalah pemegang (houlder) atau disebut
juga detentor.

D. Macam-macam bezit:
1. Bezit yang beritikad baik/te goeder trouw
Bezit yang beritikad baik adalah manakala si yang memegangnya memperoleh
kebendaan tadi dengan cara memperoleh hak milik dalam mana tak tahulah dia akan
cacat-cela yang terkandung di dalamnya (Pasal 531 KUHPerdata). Dengan kata lain si
pemegang tersebut tidak mengetahui apakah benda yang dipegangnya itu diperoleh
dengan jalan tidak sesuai dengan cara-cara memperoleh hak milik ataupun sesuai
2. Bezit yang beritikad buruk/te kwader trouw (menurut Pasal 530 KUHPerdata)
Bezit yang beritikad buruk adalah mereka yang memegang benda tersebut itu tahu
bahwa bendanya diperoleh dengan cara-cara yang bertentangan menurut cara-cara
memperoleh hak milik (pasal 532 KUHPerdata). Kapan seseorang itu dapat
dinyatakan sebagai bezitter yang bertikad buruk?
Seseorang dapat dikatakan beritikad buruk pada saat perkaranya dimajukan ke
pengadilan di mana dalam perkaranya itu ia dikalahkan (Pasal 532 ayat 2 KUHPerdata
3. Bezit-eigendom
Baik bezit yang beritikad baik maupun yang buruk mendapat perlindungan hukum
yang sama sebelum adanya putusan hakim, karena dalam hukum terdapat asas yang
diatur dalam Pasal 533 KUHPerdata yang mengatakan : ”kejujuran itu dianggap ada
pada setiap orang sedangkan ketidakjujuran harus dibuktikan”.
15

E. Benda-benda yang tidak boleh dibezit


Menurut Pasal 537 KUHPerdata benda-benda yang tidak boleh dibezit adalah benda-
benda yang tidak ada dalam peredaran perdata dan hak-hak pengabdian tanah, seperti
jalan.

F. Cara-cara memperoleh bezit


Pada asasnya bezit dapat diperoleh dengan cara:
1. Occupation/originair/asli yaitu memperoleh bezit tanpa bantuan orang lain yang
lebih dulu membezitnya. Baik benda bergerak maupun tidak bergerak dapat
diperoleh dengan cara ini. Occupation terhadap benda bergerak hanya berlaku untuk
benda bergerak yang tidak ada pemiliknya. Misalnya ikan di sungai/laut, burung di
hutan dan lain-lain. Benda bergerak yang tidak ada pemiliknya disebut resnullius
occupation terhadap benda tak bergerak akan menimbulkan persoalan sejak kapan
seseorang itu dapat dianggap sebagai bezitter dari benda tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada beberapa pendapat yaitu:
 Menurut ajaran Annazal bezit yang menyatakan bahwa seseorang dikatakan
bezitter terhadap benda tak bergerak setelah mendudukinya selama satu tahun
terus menerus tanpa gangguan dari orang lain. Ajaran ini sebenarnya
bertentangan dengan cara memperoleh hak milik karena verjaring.
 Pendapat lain mengatakan bezitter benda tak bergerak secara langsung pada
waktu bezitter mulai membezitnya.
 Pendapat tengah-tengah antara no. 1 dan no. 2
Membezit benda tak bergerak secara langsung menjadi bezitter tapi dalam
jangka waktu satu tahun sejak dimulainya benda itu dibezit masih dapat
diminta/digugat oleh pemiliknya.
2. Dengan cara traditio/derivative yaitu dengan cara bantuan dari orang lain. Misalnya
membeli buku. Bezit diperoleh karena penyerahan dari orang lain yang sudah
menguasainya terlebih dahulu.
Di samping dua cara diatas, bezit juga dapat diperoleh karena warisan. Menurut pasal
541 KUHPerdata, segala sesuatu bezit yang merupakan bezit dari seorang yang telah
meninggal dunia beralih kepada ahli warisnya dengan segala sifat dan cacatnya. Menurut
pasal 593 KUHPerdata, orang yang sakit ingatan tidak dapat memperoleh bezit, tetapi
anak yang belum dewasa dan perempuan yang telah menikah dapat memperoleh bezit.
Cara-cara lain untuk memperoleh bezit:
1. Tradition brevu manu/levering met de korte hand yaitu jika orang yang akan
mengambil alih bezit itu sudah memegang benda tersebut sebagai houder. Misalnya
: Si A meminjam buku pada B karena B membutuhkan uang, buku tersebut dijual
pada A.
2. Constitutum possessorium, jika orang yang mengopernya bezit itu berdasarkan suatu
perjanjian dibolehkan tetap memegang benda itu sebagai houder. Misalnya: Si A
16

meminjam buku pada B karena B membutuhkan uang buku tersebut dijual kepada A
tapi si B ternyata masih memerlukan buku tersebut maka buku itu dipinjamnya.

G. Bezit terhadap benda bergerak ada dua teori:

Mengenai bezit terhadap benda bergerak berlaku asas hukum yang terdapat dalam pasal
1977 ayat (1) KUHPerdata yang mengatakan bahwa terhadap benda bergerak yang tidak
berupa bunga, maupun piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa, maka
barang siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya. Pasal 1977 KUHPerdata
terletak pada buku IV KUHPerdata, yang mengatur tentang masalah verjaring dengan
tenggang waktu 0 tahun. Jadi siapapun yang membezit benda bergerak tidak atas nama,
dalam hal ini seketika (0) bebas dari tuntutan pemilik. Pasal 1977 KUHPerdata
mendapatkan penafsiran dari para sarjana, yang menghasilkan beberapa teori, yaitu :
a. Ajaran bahwa detetie (houderschap) adalah eigendom.
Menurut ajaran ini mengenai benda bergerak detentie adalah paling lengkap, jadi
mengenai benda bergerak tidak ada bezit atau eigendom. Konsekuensi dari ajaran ini
adalah bahwa orang yang menitipkan, meminjamkan atau menyewakan barang
bergerak kepada orang lain, kehilangan hak eigendomnya atas barang tersebut. Ia
hanya mempunyai tuntutan perorangan pada orang yang menyimpan, meminjam,
menyewa. Ia tak mempunyai hak kebendaan, tak mempunyai hak revindikasi atas
barang tersebut.
b. Ajaran bahwa bezit adalah eigendom (eigendom theorie).
Menurut teori ini bezit benda bergerak berlaku sebagai alas hak yang sempurna, hak
yang sempurna itu adalah hak milik. Jadi membezit benda bergerak sama dengan hak
milik, bezitter adalah eigenaar. Teori ini mengabaikan syarat title yang sah dan orang
yang wenang untuk menguasai benda tersebut. Jadi bezitter benda bergerak tidak
atas nama, adalah pemiliknya, asalkan bezitternya harus beritikad baik.
c. Teori legitimasi (legitiematietheorie)
Bezit bukan/tidak sama dengan hak milik hanya saja barang siapa yang secara jujur
membezit benda bergerak dia adalah aman. Menurut teori ini tetap harus ada title
yang sah dan tidak perlu berasal dari orang yang wenang untuk menguasai
bendanya. Teori ini memandang pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata mempunyai 2 fungsi
yaitu fungsi prosesuil dan fungsi materiil. Fungsi prosesuil, di dalam suatu sengketa,
pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata mempunyai fungsi bezitter cukup melegitimer
dirinya sebagai pemilik dengan mengemukakan bezitnya saja. Hal ini berarti bezitter
melegitimer diri sebagai pemilik. Pihak lain yang merasa mempunyai hak yang lebih
kuat yang membuktikan. Fungsi materiil, orang boleh beranggapan bahwa bezitter
barang bergerak tidak atas nama adalah pemilik barang tersebut jika bezitter
bersikap dan menimbulkan kesan bahwa ia adalah pemiliknya, sehingga barang siapa
memperolah hak milik dari seseorang bezitter seperti itu dilindungi oleh pasal 1977
17

ayat (1) KUHPerdata. Orang yang menerima penyerahan harus beritikad baik. Teori
legitimasi ini jika dihubungkan dengan pasal 548 KUHPerdata hanya mengabaikan
salah satu syarat dari sahnya penyerahan, yaitu tidak perlu berasal dari orang yang
wenang untuk menguasai bendanya, tetapi tetap mengharuskan adanya title yang
sah untuk memproleh hak milik dari suatu benda.

H. Fungsi Bezit
Bezit mempunyai 2 fungsi, yaitu :
 Fungsi polisionil; Setiap Bezit mendapat perlindungan dari hukum, tanpa melihat atau
mempersoalkan siapakah sebenarnya pemilik hak. Meskipun bezitter beritikad buruk
(maksudnya menguasai suatu benda/bezit sekalipun dari kejahatan) tetap akan
dilindungi oleh hukum sepanjang belum terbukti dengan putusan pengadilan bahwa
bezitter tersebut tidak berhak. Jadi pihak yang merasa haknya dilanggar harus minta
penyelesaiannya melalui polisi atau pengadilan. Inilah yg dimaksud dengan
fungsipolisional yang ada padatiap bezit.
 Fungsi Zakenrechtelijk; Bezit yang telah berjalan selama suatu jangka waktu tertentu
dan bezitter tsb tidak mendapat protes dari pemilik sebelumnya maka bezit tersebut
dapat berubah menjadi hak milik, yaitu melalui kadaluwarsa (lembaga Verjaring).

I. Siapa saja yang boleh memperoleh benda dengan bezit?


Dalam Pasal 539 KUHPerdata menyebutkan bahwa hanya orang gilalah yang tidak
diperbolehkan memperoleh benda dengan bezit, jadi anak-anak yang belum dewasa dan
wanita bersuami boleh membezit sesuatu benda. Kalau kita membicarakan bezit
terhadap benda bergerak, perlu diingat asas yang berbunyi: “Bezit berlaku sebagai title
yang sempurna”(bezit gelds als volkomen title) . Asas tersebut tersimpul dari isi Pasal
1977 ayat 1 KUHPerdata. Misalnya: A meminjamkan buku kepada B, oleh B buku tersebut
dijual kepada C. Siapakah yang dilindungi disini. Menurut pasal 1977 ayat 1 diatas yang
dilindungi adalah si C yang beritikad baik. Tapi kalau barang si A hilang atau dicuri orang,
maka berlaku Pasal 1977 KUHPerdata, yang menentukan sebagai berikut :
namun demikian, siapa yang kehilangan atau kecurian sesuatu barang, di dalam
jangka waktu tiga tahun, terhitung sejak hari hilangnya atau dicurinya barang itu,
dapatlah ia menuntut kembali barangnya yang hilang atau dicuri itu sebagai
miliknya, dari siapa yang dalam tangannya ia ketemukan barangnya, dengan tak
mengurangi hak si yang tersebut belakangan ini untuk minta ganti rugi kepada
orang dari siapa ia memperoleh barangnya, lagi pula dengan tak mengurangi
ketentuan dalam Pasal 582.
Sedangkan Pasal 582 KUHPerdata menyebutkan bahwa, : Barang siapa menuntut
kembalinya sesuatu kebendaan yang telah dicuri atau dihilangkan, tak diwajibkan
member pergantian kepada isi yang memegangnya, untuk uang yang telah dibayarkannya
guna membelinya,kecuali kebendaan itu dibelinya di pasar tahunan atau pasar lainnya,
18

dilelang umum, atau dari seorang pedagang yang terkenal sebagai seorang yang biasanya
memperdagangkan barang-barang sejenis itu.

J. Intervensi/pertukaran daripada bezit


Orang yang membezit suatu benda dapat bertukar menjadi houder atau sebaliknya tapi
harus memenuhi syarat berikut:
1. Adanya perubahan kehendak dari orang yang ketempatan barang
2. Adanya bantuan/ikut sertanya pihak lain
Seperti apa yang tercantum dalam pasal 536 KUHPerdata: Orang tidak bisa merubah
dasar bezit bagi dirinya sendiri, baik atas kehendaknya sendiri maupun dengan
lampaunya waktu. Pasal ini berarti bahwa hanya dengan perubahan kehendak saja atau
dengan lampaunya waktu saja orang tidak dapat merubah bezitnya menjadi detentie atau
sebaliknya dari detentie menjadi bezit jadi harus dengan ikut sertanya pihak lain.

K. Bezitsactie/gugat daripada bezit


Dalam hal ada gugatan terhadap bezit maka si bezitter dapat/berhak melakukan actie,
asal dia itu betul-betul bezitter dan harus ada gangguan (Pasal 550 KUHPerdata).
Adapun bentuk gugatannya dapat berwujud:
1. Minta pernyataan declatoir dari hakim bahwa ia adalah bezitter dari benda tadi
2. Menuntut agar jangan mengganggu lebih lanjut
3. Meminta pemulihan dalam keadaan semula
4. Meminta penggantian kerugian

Detentor tidak mempunyai kewenangan untuk mengajukan gugat bezit:

L. Hak- hak Yang Timbul Karena Bezit.


1. Bezitter untuk sementara waktu harus dianggap sebagai pemilik benda sampai saat
haknya dituntut kembali di muka hakim.
2. Bezitter dapat memperoleh hak milik atas suatu benda karena daluwarsa.
3. Bezitter berhak menikmati hasil kebendaan sampai saat terjadinya penuntutan
kembali di muka hakim.
4. Bezitter harus dipertahankan atau dipulihkan kedudukannya jika saat ia
mendudukinya mendapatkan gangguan atau kehilangan kedudukannya.

Cara-cara hilangnya bezit


Menurut Pasal 543 KUHPerdata, bezit dapat hilang karena hal-hal sebagai berikut :
1. Binasanya benda
2. Hilangnya benda
3. Orang membuang benda itu
4. Orang lain memperoleh bezit itu dengan jalan traditio atau occupation.
19

HAK MILIK

A. Pengertian
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pengertian hak milik sendiri tercantum di
dalam Pasal 570 yang juga berisi tentang pembatasan-pembatasan hak milik. Pasal 570
KUH Perdata menerangkan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati suatu benda
dengan sepenuhnya dan untuk menguasai benda itu dengan sebebas-bebasnya, asal tak
dipergunakan bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang
diadakan oleh kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk itu dan asal tidak
menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tak
mengurangi kemungkinan adanya pencabutan hak itu untuk kepentingan umum, dengan
pembayaran pengganti kerugian yang layak dan menurut ketentuan undang-undang.
Pengertian hak milik yang dapat menguasai benda itu dengan sebebas-bebasnya dapat
diartikan dalam dua makna, yaitu :
1. Perbuatan hukum – berupa menjual, menyewakan, menghibahkan, dapat
memperlainkan “vervreem den” dan lain-lain.
2. Perbuatan materiil – berupa menggunakan, memungut hasil, membongkar,
membuang, merusak, memelihara dan lain-lain.
Dulunya hak milik merupakan hak yang mutlak “droit inviolable et sacre” yang tidak dapat
diganggu gugat keberadaanya. Namun dengan berkembangnya jaman dan berkembang
pula hukum yang hidup di masyarakat serta timbul pengertian tentang asas
kemasyarakatan “sociale functie” sehingga sifat hak milik sebagai “droit inviolable et
sacre” ini semakin memudar. Banyak sekali terjadi pembatasan-pembatasan terhadap
hak milik, seperti yang terdapat dalam pengertian pasal 570 KUH Perdata di atas.
Misalnya saja pembatasan-pembatasan oleh :
1. Hukum Tatausaha – terbukti makin banyaknya campur tangan penguasa terhadap
hak milik.
2. Pembatasan oleh ketentuan-ketentuan dalam Hukum tetangga.
3. Penggunaannya tidak boleh menimbulkan gangguan (hinder) bagi hak orang lain.
4. Penggunaannya tidak boleh menyalah gunakan hak (misbruik van recht).
Lain halnya dengan rumusan yang tercantum dalam pasal 20 UU Nomor 5 tahun 1960, di
mana di dalam rumusannya itu hanya mengenai benda tidak bergerak, khususnya atas
tanah. Pasal 20 UU Nomor 5 tahun 1960 mengatakan bahwa hak milik adalah hak turun
temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat
ketentuan yang tercantum dalam Pasal 6 UUPA. UU membatasi kepemilikan atas tanah
dengan memperhatikan fungsi sosialnya. Seperti jika kepentingan umum menginginkan
tanah tersebut maka tanah itu dapat dibebaskan dan pemilik mendapat ganti rugi yang
setimpal. Jadi pembatasan dalam pasal 20 UU Nomor 5 Tahun 1960 hanya sebatas pada
fungsi sosialnya saja.
20

B. Batasan Hak Milik


Seperti yang telah disinggung di dalam uraian pengertian di atas, hak milik memiliki
batasan-batasan tertentu yang harus diingat dalam mempergunakan hak milik tersebut.
Dari Pasal 570 KUH Perdata menerangkan bahwa batasan hak milik adalah undang-
undang, ketertiban umum, dan hak-hak orang lain.
Sementara itu di dalam UUPA batasan hak milik, yaitu :
1. Tidak dipergunakan untuk kepentingan pribadi tapi untuk kepentingan umum.
2. Tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain.
3. Harus dipelihara baik-baik.
4. Pemerintah mengawasi penyerahan hak atas tanah.
5. Pemerintah mengawasi hak monopoli atas tanah.
Terdapat perbedaan dalam batasan hak milik di dalam KUH Perdata dan UUPA. Batasan
di dalam UUPA menunjukkan bahwa hak milik bukan merupakan lambang kekuasaan
yang tidak terbatas/ hak asasi tidak terbatas, akan tetapi dibatasi oleh kepentingan
umum yang diungkapkan oleh Hukum Publik.

C. Pembagian Hak Milik


Ada beberapa macam bentuk pembagian eigendom atau hak milik, yaitu :
1. Eigendom-tunggal, apabila atas sesuatu benda hanya ada satu orang eigenaar saja.
2. Eigendom-serta, apabila ada dua eigenaar atau lebih
Kemudian bentuk eigendom-serta tersebut masih dibagi lagi menjadi sebagai berikut :
1. Eigendom serta terikat (gebonden mede eigendom) adalah apabila benda itu berada
di dalam suatu persekutuan atau perseroan yang setiap pemiliknya tidak berkuasa
untuk bertindak sendiri-sendiri terhadap benda kepemilikan. Misalnya, harta
kekayaan bersama suami istri, harta perseroan terbatas.
2. Eigendom serta bebas (vrije mede eigendom) yaitu terjadi apabila suatu benda
menjadi hak kepemilikan untuk dua orang atau lebih, yang bukan karena terjadinya
suatu persekutuan atau perseroan seperti eigendom serta terikat. Di sini setiap
eigenaar mempunyai bagian yang tidak dapat dibagikan (ondeelbaar), karena
dianggap sebagai harta yang berdiri sendiri dan dapat dialihkan.

D. Ciri-ciri Hak Milik


Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, ciri-ciri hak milik adalah sebagai berikut :
1. Hak milik itu selalu merupakan hak induk terhadap hak-hak kebendaan yang lain.
Sedangkan hak-hak yang lain yang bersifat terbatas itu berkedudukan sebagai hak
anak terhadap hak milik.
2. Hak milik itu ditinjau dari kuantitetnya merupakan hak yang selengkap-lengkapnya.
3. Hak milik itu tetap sifatnya. Artinya tidak akan lenyap terhadap hak kebendaan yang
lain. Sedang hak kebendaan yang lain dapat lenyap jika menghadapi hak milik.
21

4. Hak milik itu mengandung inti (benih) dari semua hak kebendaan yang lain.
Sedangkan hak kebendaan yang lain hanya merupakan onderdil (bagian) saja dari hak
milik.
Menurut pasal 574 KUH Perdata tiap pemilik benda, baik bergerak maupun tidak berhak
meminta kembali bendanya dari siapa saja yang menguasainya berdasarkan hak miliknya
itu. Permintaan kembali yang didasarkan pada hak eigendom dinamakan “revindicatie”.
Dapat dilakukan sebelum ataupun saat perkara sedang diperiksa oleh pengadilan. Pemilik
dapat meminta benda agar benda yang diminta kembali itu disita “revindicatoir beslag”.
Pemilik cukup mengajukan kepada hakim bahwa benda itu hak miliknya tidak perlu
membahas bagaimana ia mendapat hak milik tersebut.

E. Cara Memperoleh Hak Milik


Untuk memperoleh hak milik diperlukan beberapa cara salah satu caranya terdapat
dalam pasal 584 KUH Perdata yang isinya sebagai berikut :
1. Pendakuan (toegening/occupatio)
2. Ikutan / perlekatan (natreking)
3. Lampaunya waktu / daluwarsa (verjaring)
4. Pewarisan (erfopvolging)
5. Penyerahan (levering/overdracht)
Penjelasan
1. Pendakuan ini diatur di dalam Pasal 585 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa hak
milik atas kebendaan bergerak yang semula bukan milik siapapun juga, adalah pada
orang yang pertama-tama mengambilnya dalam kemilikannya. Maksudnya yaitu
memperoleh hak milik atas benda yang tidak ada pemiliknya (res nullius). Misalnya
berburu binatang di hutan, menemukan harta karun, dan lain-lain.
2. Ikutan/Perlekatan diatur dalam Pasal 588-605 KUH Perdata, yang maksudnya adalah
suatu cara memperoleh hak milik, di mana benda itu bertambah besar karena alam
atau benda itu mengikuti benda yang lain. Jadi terjadi antara dua benda yang tidak
sama tapi tergabung menjadi satu. Misalnya sekrup pada kursi, tanaman pada tanah,
dan lain-lain.
3. Lampaunya waktu/daluwarsa diatur dalam Pasal 610 KUH Perdata yang berisi hak
milik atas sesuatu kebendaan diperoleh karena daluwarsa, apabila seseorang telah
memegang kedudukan berkuasa atasnya selama waktu yang ditentukan undang-
undang dan menurut syarat-syarat beserta cara membeda-bedakannya seperti
termaktub dalam bab ke tujuh buku keempat kitab ini. Maksudnya yaitu untuk
memperoleh hak milik atau membebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang telah ditentukan oleh UU. Terdapat
dua macam daluwarsa, yaitu :
1. Acquisitieve verjaring, cara memperoleh hak milik karena lewatnya waktu
(memperoleh hak kebendaan);
22

2. Extinctieve verjaring, membebaskan seseorang dari penagihan atau tuntutan


hukum yang telah lewat waktunya (membebaskan suatu perikatan).
Syarat-syarat terjadinya daluwarsa ada 6, yaitu sebagai berikut :
1. Bezitter sebagai pemilik.
2. Bezitter harus beritikad baik.
3. Bezit harus terus menerus tidak terputus-putus.
4. Bezit tidak terganggu
5. Bezit diketahui umum
6. Bezit itu harus selama 20 tahun atau 30 tahun.
3. Pewarisan yaitu cara memperoleh hak milik yang diberikan dari pewaris kepada ahli
waris berdasar alas hak umum, sehingga tidak hanya haknya saja yang beralih tetapi
juga kewajibannya. Pewarisan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu pewarisan
karena UU dan pewarisan karena wasiat. Hal ini diatur dalam hukum waris.
4. Penyerahan yaitu perbuatan hukum memindahkan hak milik dari pemilik kepada
pihak lainnya yang dikehendaki sehingga orang lain memperoleh benda itu atas
namanya. Menurut Subekti, penyerahan mempunyai dua arti, yaitu :
1. Perbuatan yang berupa penyerahan kekuasaan belaka “feitelijke levering”
2. Perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain
“juridische levering”
Dapat disimpulkan bahwa, hak milik atas suatu benda baru dapat beralih kepada orang
lain, apabila telah terjadi penyerahan bendanya. Tetapi, cara untuk melakukan
penyerahan atas benda itu dapat dibedakan sesuai dengan sifat benda yang akan
diserahkan.
Cara penyerahan dari benda dapat dikategorikan sesuai dengan sifat bendanya, yaitu :
1. Benda bergerak, yang dibedakan menjadi : berwujud dan tidak berwujud.
2. Benda tidak bergerak.
Menurut Pasal 612 ayat 1 KUHPerdata, untuk benda bergerak yang berwujud,
penyerahannya dapat dilakukan dengan cara :
1. Penyerahan nyata “feitelijke levering”
2. Penyerahan kunci dari tempat di mana benda itu berada
Sementara itu untuk Pasal 612 ayat 2 KUHPerdata menerangkan tentang bentuk-bentuk
penyerahan yaitu :
1. Traditio brevi manu yaitu penyerahan dengan tangan pendek. Contohnya, Andi
meminjam kipas milik si Beni, karena Beni membutuhkan uang maka dia menjual
kipasnya kepada Andi. Andi yang tadinya sebagai peminjam sekarang menjadi
pemilik karena hubungan hukum tersebut.
2. Constitutum possessorium yaitu penyerahan dengan melanjutkan penguasaan atas
bendanya. Contohnya, Cipa memiliki tas karena Cipa membutuhkan uang akhirnya
Cipa menjual tasnya tersebut kepada Dono. Akan tetapi Cipa masih membutuhkan
23

tas tersebut untuk study tour, sehingga Cipa meminjam tas tersebut kepada Dono.
Cipa yang tadinya sebagai pemilik sekarang menjadi peminjam.
Sedangkan penyerahan benda untuk benda bergerak tidak berwujud dikategorikan
sebagai berikut :
1. Penyerahan dari piutang op naam, yaitu penyerahan dari piutang atas nama yang
dilakukan dengan cessie yaitu dengan cara membuat akta otentik atau akta di bawah
tangan. Diatur dalam Pasal 613 ayat 1 KUH Perdata.
2. Penyerahan dari piutang aan order, yaitu penyerahan dari piutang atas pengganti
yang dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan Endosemen yaitu
menuliskan dibalik surat piutang yang berisi kepada siapa piutang itu dipindahkan.
Diatur dalam Pasal 613 ayat 3 KUH Perdata.
3. Penyerahan dari piutang aan tonder, yaitu penyerahan dari surat piutang atas bawa
yang dilakukan dengan penyerahan nyata. Diatur dalam Pasal 613 ayat 3 KUH
Perdata.
Untuk benda yang bergerak penyerahan dari tangan ke tangan dan untuk benda tidak
bergerak yaitu dilakukan dengan cara balik nama “akte van transport” dalam register
eigendom.
Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, untuk sahnya penyerahan itu harus memenuhi
syarat-syarat tertentu :
1. Harus ada perjanjian yang zakelijk.
2. Harus ada titel (alas hak).
3. Harus dilakukan oleh orang yang wenang menguasai benda-benda tadi (orang yang
beschikkingsbevoegd).
4. Harus ada penyerahan nyata.

Penjelasan
1. Perjanjian yang zakelijk adalah perjanjian yang menyebabkan berpindahnya hak-hak
kebendaan (zakelijk rechten) misalnya hak milik, bezit, hipotik, gadai. Perjanjian yang
zakelijk ini tidak dapat menimbulkan verbintenis namun hanya menimbulkan hak-hak
persoonlijk.
2. Harus ada titel (alas hak) merupakan hubungan hukum yang dapat mengakibatkan
penyerahan atau peralihan barang, biasanya perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli,
tukar menukar, dan lain-lain.
Terdapat dua pokok pendapat syarat sahnya penyerahan, yaitu :
1. Ajaran Causaal
Ajaran yang dikemukakan oleh Diephuis, Scholten ini menyatakan bahwa untuk
sahnya penyerahan tergantung pada alas haknya, apabila alas haknya sah maka
penyerahannya sah. Begitu pula sebaliknya. Diperlukan titel yang nyata antara
alas hak dan penyerahannya itu terdapat hubungan causaal.
24

2. Ajaran Abstract
Menjelaskan bahwa alas hak dan penyerahan itu terpisah satu sama lain.
Penyerahan tidak bergantuk pada alas hak nyata. Jadi penyerahan itu akan sah
walaupun titel tidak sah maupun tanpa titel.
Menurut Pasal 584 KUH Perdata untuk sahnya penyerahan itu harus terdapat
titel. Sehingga untuk ajaran abstract pasal tersebut bahwa untuk penyerahan itu
tidak perlu adanya titel yang nyata hanya terdapat titel saja sudah cukup atau
putatieve title.
3. Kewenangan untuk menguasai bendanya (beschikkings Bevoegheid) merupakan
pelaksanaan dari Azas Nemoplus yang artinya bahwa seseorang itu tidak dapat
memperalihkan hak melebihi apa yang menjadi haknya. Lazimnya yang berwenang
untuk menguasai benda adalah pemiliknya sendiri.
4. Penyerahan nyata dan penyerahan yuridis yaitu penyerahan dari tangan ke tangan.
Terhadap benda bergerak penyerahannya jatuh bersamaan, yaitu Pasal 1612 KUH
Perdata menyatakan bahwa penyerahan itu terjadi dengan overgave menyerahkan
benda itu. Sedangkan untuk benda tidak bergerak antara penyerahan yuridis dan
penyerahan nyata berpisah. Penyerahan yuridisnya terjadi dengan pendaftaran
benda di daftar umum di dalam Kepala Seksi Pendaftaran Tanah, sedangkan
penyerahan nyatanya dengan penyerahan kunci dari satu rumah ke rumah lainnya.
Kesimpulannya hak milik atas atas suatu benda baru dapat beralih kepada orang lain,
apabila telah terjadi penyerahan bendanya. Tetapi, cara untuk melakukan
penyerahan atas benda itu dapat dibedakan sesuai dengan sifat benda yang akan
diserahkan.
Selain dari Pasal 584 KUH Perdata masih terdapat pula cara memperoleh hak milik
lainnya, yaitu :
1. Penjadian benda (zaaksvorming);
2. Penarikan buahnya (vruchtttrekking);
3. Persatuan benda (vereniging);
4. Pencabutan hak (onteigening);
5. Perampasan (verbeurdverklaring);
6. Pencampuran harta (boedelmenging);
7. Pembubaran dari sebuah badan hukum;
8. Abandonnement ( dalam hukum perdata laut – pasal 663 KUHD).

Penjelasan
1. Penjadian benda (zaaksvorming) yaitu membuat suatu benda baru dari benda yang
sudah ada. Diatur dalam pasal 606 KUH Perdata. Misalnya, kayu diubah menjadi
kursi.
2. Penarikan buahnya (vruchtttrekking) yaitu seorang bezitter mendapatkan hasil dari
benda yang dibezitnya. Diatur dalam pasal 575 KUH Perdata.
25

3. Persatuan benda (vereniging) yaitu perolehan hak dari bercampurnya beberapa


benda dari beberapa bezitter menjadi satu kesatuan benda. Diatur dalam pasal 607-
609 KUH Perdata.
4. Pencabutan hak (onteigening) yaitu untuk memperoleh hak milik dengan pencabutan
hak. Pencabutan hak sendiri memiliki tiga syarat, yaitu:
1. Berdasar UU pencabutan hak milik.
2. Adanya kepentingan umum.
3. Adanya penggantian kerugian yang layak.
5. Perampasan (verbeurdverklaring) yaitu penguasa memperoleh hak milik dengan cara
perampasan, diatur dalam pasal 10 KUH Perdata.
6. Percampuran harta (boedelmenging) yaitu seperti harta kekayaan bersama antara
suami istri setelah menikah, diatur dalam pasal 119 KUH Perdata.
7. Pembubaran dari suatu badan hukum (ontbinding daripada badan hukum) yaitu jika
terjadi pembubaran suatu badan hukum maka semua anggota badan hukum
tersebut berhak memperoleh harta kekayaan dari badan hukum tersebut. Diatur
dalam pasal 1665 KUH Perdata.
8. Abandonnement (Pasal 663 KUHD) yaitu kapal-kapal serta barang-barang yang
dipertanggung jawabkan dapat diabandonir atau diserahkan pada si penanggung, jika
terjadi hal seperti pecahnya kapal, karamnya kapal, dan lain-lain.
Kansil juga menguraikan tentang bagaimana cara memperoleh hak milik, yaitu sebagai
berikut :
1. Mengambil untuk dimiliki (mendaku);
2. Penarikan (penggabungan suatu benda yang belum dimiliki orang lain, penggabungan
mana secara alam maupun oleh perbuatan manusia dengan maksud untuk memiliki
benda tersebut);
3. Lampau waktu (daluwarsa);
4. Warisan, menurut undang-undang maupun menurut testamen;
5. Penyerahan sebagai akibat dari suatu asas hukum karena peralihan hak milik yang
berasal dari orang yang berhak menggunakan hak milik mutlak itu.
Sedangkan, UUPA menyebutkan cara memperoleh hak milik berdasarkan Pasal 22, 26
UUPA, yaitu :
1. Menurut hukum adat yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah;
2. Penetapan Pemerintah;
3. Ketentuan undang-undang.

F. Hilangnya Hak Milik


Meskipun bezitter dapat berbuat sebebas-bebasnya terhadap benda yang dimilikinya itu
tidak berarti bahwa hak milik itu dapat melekat terus pada bezitter tetapi hak milik itu
dapat hilang. Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan hilangnya hak milik,
yaitu :
26

1. Karena ada seseorang yang mendapatkan hak milik tersebut dengan salah satu cara
memperoleh hak milik yang telah diuraikan;
2. Karena musnahnya benda yang di miliki;
3. Karena eigenaar melepaskan benda itu sehingga menghapus hak milik benda
tersebut atas dirinya.
27

GADAI PAND

A. Definisi dan Dasar Gadai


Pemberian jaminan barang bergerak menurut hukum di Indonesia dapat dilakukan dalam
bentuk “pand” menurut BW, “boreg” atau “gadai” menurut hukum adat. “Boreg”
menurut hukum adat ditujukan kepada pemberian jaminan yang barangnya diserahkan
dalam kekuasaan si pemberi kredit.1 Hak gadai menurut KUHPerdata diatur dalam Buku
II Bab XX Pasal 1150 – 1161.

Pihak yang menggadaikan dinamakan “pemberi gadai” dan yang menerima gadai,
dinamakan “penerima atau pemegang gadai”. Kadang-kadang dalam gadai terlibat tiga
pihak, yaitu debitur (pihak yang berhutang), pemberi gadai, yaitu pihak yang
menyerahkan benda gadai dan pemegang gadai yaitu kreditur yang menguasai benda
gadai sebagai jaminan piutangnya.2
KUHPerdata merumuskan gadai sebagai berikut:
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang
bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang
lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu
untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada
orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang
tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah
barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.3

Menurut Mariam DarusBadruzaman rumusan gadai di atas belum dapat disimpulkan


tentang sifat umum dari gadai. Untuk menemukan sifat-sifat umum gadai, sifat tadi harus
dicari lagi di dalam ketentuan-ketentuan lain.

B. Syarat dan Rukun Gadai


Dalam hubungannya dengan syarat-syarat gadai, ada baiknya bila lebih dahulu dijelaskan
tentang syarat-syarat sahnya perjanjian secara umum yang terdapat dalam pasal 1320
KUH Perdata. Dalam pasal tersebut ditegaskan:
Untuk syarat syahnya persetujuan diperlukan empat syarat:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu pendekatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.4

1 Johannes Gunawan, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak Tanggungan)


Menurut Hukum Indonesia, Cet. 6, PT Citra Aditya Bakti, bandung, 1996, hlm. 61.
2 Mariam DarusBadruzaman, Bab-Bab Tentang Credit Verband Gadai dan Fidulia,Cet, 5, PT Citra
Aditya Bakti, 1991, hlm. 55.
3 Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. 19, PradyaParamita,
Jakarta, 1985, hlm. 270.
4Ibid.,hlm. 305.
28

Syarat pertama dan kedua dari pasal tersebut merupakan syarat subyektif, dimana
apabila syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian batal demi hukum, artinya sejak semula
perjanjian itu batal. Sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat obyektif,
dimana jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian vernitigebaar (dapat dibatalkan), artinya
perjanjian (overeenkomst), baru dapat dibatalkan jika ada perbuatan hukum
(reghthandeling) dari pihak yang mengadakan perjanjian untuk membatalkannya. 5
Dalam konteksnya dengan gadai (pand), maka hak gadai itu pun diadakan dengan harus
memenuhi syarat-syarat tertentu yang berbeda-beda menurut jenis barangnya. Kalau
yang digadaikan itu adalah benda bergerak yang berwujud dan surat piutang yang
aantoonder (kepada si pembawa) maka syarat-syaratnya:

1. Harus ada perjanjian untuk memberi hak gadai ini (pandoverenkomst) perjanjian ini
bentuknya dalam KUHPerdata tidak disyaratkan apa-apa, oleh karenanya bentuk
perjanjian pand itu dapat bebas tak terikat oleh suatu bentuk yang tertentu. Artinya
perjanjian bisa diadakan secara tertulis ataupun secara lisan saja. Dan yang secara
tertulis itu bisa diadakan dengan akte notaris (jadi merupakan akte autentik), bisa
juga diadakan dengan akte dibawah tangan saja.
2. Syarat yang kedua, barangnya yang digadaikan itu harus dilepaskan/berada di luar
kekuasaan dari si pemberi gadai (inbezitstelling). Dengan perkataan lain barangnya
itu harus berada dalam kekuasaan si pemegang gadai. Bahkan ada ketentuan dalam
KUHPerdata bahwa gadai itu tidak sah jika bendanya dibiarkan tetap berada dalam
kekuasaan si pemberi gadai.6

Syarat yang kedua inilah yang dalam praktek sering menimbulkan kesulitan untuk
ditepati. Yaitu jika kebetulan barang yang digadaikan itu justru barang yang sangat
dibutuhkan oleh si pemberi gadai, misalnya untuk mencari nafkah. Maka akan sangat sulit
bagi si pemberi gadai jika barang yang penting untuk mencari nafkah itu justru harus
berada di luar kekuasaannya.7

C. Hak dan Kewajiban Gadai


Selama gadai itu berlangsung si pemegang gadai mempunyai beberapa hak:
1. Si pemegang gadai dalam hal si pemberi gadai (debitur) melakukan wanprestasi,
yaitu tidak memenuhi kewajibannya, maka setelah jangka waktu yang telah
ditentukan itu lampau, si pemegang gadai berhak untuk menjual benda yang
digadaikan itu atas kekuasaan sendiri (eigenmachtigeverkoop) kemudian dari hasil
penjualan itu diambil sebagian untuk melunasi hutang debitur dan sisanya
dikembalikan kepada debitur. Penjualan barang itu harus dilakukan dimuka umum,

5 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 5, PT. PradnyaParamitha, Jakarta, 1989, hlm. 15. Lihat juga R.
Setiawan, Hukum Perikatan, Sumur Bandung, Bandung, 1989, hlm. 30. Bandingkan dengan
WirjonoProdjodioro, Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Bandung, 1975, hlm. 24.
6 Sri Soedewi Masjchoen Sofwam, : Hukum Benda, Cet. 4, Liberty Yogyakarta, 1981, hlm. 99.
7 Ibid.
29

menurut kebiasaan-kebiasaan setempat dan berdasarkan atas syarat-syarat yang


lazim berlaku.
2. Si pemegang gadai berhak untuk mendapatkan pengembalian ongkos-ongkos yang
telah dikeluarkan untuk keselamatan barangnya.
3. Si pemegang gadai mempunyai hak untuk menahan barang itu (hak retentie); itu
terjadi jika setelah adanya perjanjian gadai itu kemudian timbul perjanjian hutang
yang kedua antara para pihak dan hutang yang kedua ini sudah dapat ditagih
sebelum pembayaran hutang yang pertama, maka dalam keadaan yang demikian itu
si pemegang gadai wenang untuk menahan benda itu sampai kedua macam hutang
itu dilunasi.8

Sebaliknya seorang pemegang gadai memikul kewajiban-kewajiban yang berikut:


1. Bertanggungjawab untuk hilangnya atau merosotnya barang gadai, sekedar itu telah
terjadi karena kelaliannya (Pasal 1157 ayat 1 KUHPerdata).
2. Kewajiban untuk memberitahukan pemberi gadai, jika barang gadai dijual (Pasal
1156 ayat 2 KUHPerdata). Kewajiban memberitahukan itu selambat-lambatnya pada
hari yang berikutnya apabila ada suatu perhubungan pos harian ataupun suatu
perhubungan telegrap, atau jika tidak demikian halnya, dengan pos yang berangkat
pertama (Pasal 1156 ayat 2 KUHPerdata). Pemberitahuan dengan telegrap atau
dengan surat tercatat, berlaku sebagai pemberitahuan yang sah (Pasal 1156 ayat 3
KUHPerdata).
3. Bertanggungjawab terhadap hasil penjualan barang gadai (Pasal 1159 ayat 1
KUHPerdata).9

D. Barang yang Dapat Digadaikan

Yang dapat digadaikan ialah semua benda bergerak:


1. Benda bergerak yang berwujud.
2. Benda bergerak yang tak berwujud, yaitu yang berupa pelbagai hak untuk
mendapatkan pembayaran uang, yaitu yang berwujud surat-surat piutang
aantoonder (kepada si pembawa), aan order (atas tunjuk), op naam (atas nama).

Timbul persoalan apakah mengenai piutang yang masih akan ada itu dapat digadaikan?
Menurut pendapat yang lazim sekarang gadai mengenai piutang yang masih akan ada itu
dimungkinkan, asal hubungan hukum yang menimbulkan piutang sudah ada.10
Pendapat yang sama dengan keterangan di atas dikemukakan oleh R. Subekti: yang dapat
dijadikan obyek dari pandrecht, ialah segala benda yang bergerak yang bukan
kepunyaannya orang yang menghutangkan sendiri. Sebaliknya tidaklah perlu benda itu
harus kepunyaan orang yang berhutang, meskipun lazimnya orang yang berhutang itu

8Ibid, hlm. 101-102.


9 Mariam DarusBadruzaman, Bab-Bab Tentang Credit Verband Gadai dan Fidulia, Cet, PT Citra
Aditya Bakti, 1991, hlm. 62.
10 Sri SoedewiMasjchoenSofwam, Hukum Perdata: Hukum Benda, hlm. 98.
30

juga yang memberikan tanggungan, tetapi itu tidak diharuskan.11


Gadai dalam KUH Perdata merupakan hak kebendaan yang bersifat sebagai jaminan atas
suatu hutang. Hak jaminan atas suatu hutang itu, disamping gadai yang obyeknya benda
bergerak, juga dalam KUH Perdata ada hak kebendaan lainnya yang sama-sama sebagai
jaminan atas suatu hutang yaitu hipotek. Karena itu antara gadai dan hipotek memiliki
persamaan juga perbedaan.
Persamaannyahipotek dan gadai tersebut merupakan hak kebendaan maka juga
mempunyai sifat-sifat dari hak kebendaan yaitu: selalu mengikuti bendanya (droit de
suite) yang terjadi lebih dahulu didahulukan dalam pemenuhannya (droit de
preferenceasas prioriteit) dapat dipindahkan dan lain-lain. Selain itu baik hipotek maupun
gadai mempunyai kedudukan preferensi yaitu didahulukan dalam pemenuhannya
melebihi kreditur-kreditur lainnya (pasal 1133 KUH Perdata).12
Adapun perbedaannya antara pand dan hypotheek dapat diringkaskan sebagai berikut:
a. Pandrecht harus disertai dengan penyerahan kekuasaan atas barang yang dijadikan
tanggungan, hypothec tidak.
b. Pandrechthapus, jika barang yang dijadikan tanggungan berpindah ketangan orang
lain, tetapi hypothectetap terletak sebagai beban di atas benda yang dijadikan
tanggungan meskipun benda ini dipindahkan kepada orang lain.
c. Perjanjian gadai dapat dibuat secara bebas, tak terikat pada bentuk tertentu, artinya
dapat dibuat secara tertulis (dengan akte autentik atau akte di bawah tangan) atau
secara lisan saja. Sedang perjanjian hypothecharus dibuat dengan akte autentik.
d. Pada gadai bendanya lazim hanya digadaikan satu kali, sedang pada hypothecbenda
yang dipakai sebagai jaminan itu dapat di-hypothec-kan lebih dari satu kali (dapat
menjadi tanggungan lebih dari satu hutang).
e. Mengenai wewenang untuk menjual bendanya atas kekuasaan sendiri, hak yang
demikian pada gadai memang sudah diberikan oleh undang-undang, sedang pada
hypothec hak yang demikian harus diperjanjikan lebih dahulu.
f. Pada hypothec disyaratkan bahwa orang yang meng-hypothec-kan itu harus
mempunyai kekuasaan atas bendanya, sedangkan pada gadai cukup asal orang yang
menggadaikan itu cakap bertindak.
g. Pada gadai untuk jaminan adalah barang-barang bergerak, sedang pada
hypothecialah pada barang-barang tak bergerak.13

11 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. 15, PT Intermasa, Jakarta, 1980, hlm. 79-80.
12 Sri SoedewiMasjchoenSofwan, Hukum Perdata; Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1974, hlm. 96
13 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. 15, PT Intermasa, Jakarta, 1980, hlm. 83. Cf. Subekti,
Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni Bandung 1977, hlm 141. Lihat juga Mariam DarusBadruzaman, Bab-Bab
Tentang Credit Verband Gadai dan Fidulia,Cet, 5, PT Citra Aditya Bakti, 1991, hlm.55-70.
31

FUDUSIA

A. Pengertian dan istilah Fidusia


Fidusia menurut asal katanya berasal dari bahasa Romawi fides yang berarti
kepercayaan. Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia.
Dalam terminologi Belandanya sering disebut dengan istilah lengkapnya berupa Fiduciare
Eigendoms Overdracht (FEO) yaitu penyerahan hak milih secara kepercayaan. sedangkan
dalam bahasa Inggrisnya secara lengkap sering disebut istilah Fiduciary Transfer of
Ownership. 14
Pengertian fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap
dalam penguasaan pemilik benda. Begitu pula istilah ini digunakan dalam Undang-undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya akan disebut UUJF) :
“Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan
bahwa benda yang hak kepemilikannya yang diadakan tersebut tetap dalam penguasaan
pemilik benda itu”15.
Sebelum Undang-undang ini dibentuk, lembaga ini disebut dengan bermacam-
macam nama. Zaman Romawi menyebutnya”Fiducia cum creditore, Asser Van Oven
menyebutnya “zekerheids-eigendom” (hak milik sebagai jaminan), Blom menyebutnya
“bezitloos zekerheidsrecht” (hak jaminan tanpa penguasaan), Kahrel memberi nama
“Verruimd Pandbegrip” (pengertian gadai yang diperluas), A. Veenhooven dalam
menyebutnya “eigendoms overdracht tot zekergeid” (penyerahan hak milik sebagai
jaminan) sebagai singkatan dapat dipergunakan istilah “fidusia” saja.16
Adapun pengertian fidusia menurut A. Hamzah dan Senjun Manulang , yaitu Suatu
cara pengoperan pemilik dari pemiliknya (Debitur) berdasarkan perjanjian pokok
(perjanjian utang piutang) kepada kreditur akan tetapi yang diserahkan hanya haknya saja
secara yuridise-levering dan hanya dimiliki oleh kreditur secara kepercayaan saja (sebagai
jaminan hutang debitur) sedangkan barangnya tetap dikuasai oleh Debitur, tetapi bukan
lagi sebagai eigenaar maupun beziter, melainkan hanya sebagai detentor atau houder
dan atas nama kreditur eigenaar.
Sedangkan pengertian fidusia berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUJF adalah
pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan
bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik
benda.17

14 Munir Fuady, Jaminan Fidusia, (Bandung, Citra AdityaBakti, 2000), hal. 3.


15 Lihat Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
16 Mariam Darus Badrulzaman, Bab Tentang Kredit Verband, Gadai & Fidusia, (Bandung, Citra Aditya
Bakti, 1991), hal. 90.
17 Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Jaminan Fidusia, disusun oleh Yayasan
Kesejahteraan Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum,Dep hukum dan HAM RI, 2002, hal 2.
32

Fiducia juga dapat diartikan perjanjian accesor antar debitor dan kreditor yang
isinya penyerahan hak milik secara kepercayaan atas benda bergerak milik debitor
kepada kreditor.18
Fidusia pada dasarnya berbeda dengan jaminan fidusia. Perjanjian fidusia adalah
suatu perjanjian hutang piutang antara debitur dan kreditur yang melibatkan adanya
penjaminan. Sedangkan jaminan fidusia sendiri menurut pasal 1 angka 2 UUJF adalah:
“Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak
dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi
Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
yang diutamakankepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.”
Dari definisi yang diberikan jelas bagi kita bahwa Fidusia dibedakan dari Jaminan
Fidusia, dimana Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan Jainan
Fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia. Kedua praktek ini sering
dilakukan di Indonesia terutama pada masa dewasa ini.

B. Obyek fidusia
Berdasarkan Pasal 1 angka (4) UUJF, yakni benda. Benda adalah segala sesuatu
yang dapat dimilki dan dialihkan, yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang bergerak
maupun yang tidak bergerak, dan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik.
Sementara itu, dalam Pasal 3, untuk benda tidak bergerak harus memenuhi
persyaratan, antara lain :
a. benda-benda tersebut tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan.
b. benda-benda tersebut tidak dibebani dengan hak hipotik untuk benda bergerak,
benda-benda tersebut tidak dapat dibebani dengan hak gadai

C. Subjek dalam fidusia adalah:


a. Penerima fidusia yaitu orang, perseorangan atau korporasi pemilik benda yang
menjadi obyek jaminan fidusia.
b. Pemberi fidusia yaitu orang, perseorangan atau korporasi yang mempunyai
piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.

D. Asas-asas dalam fidusia adalah:


a. Bahwa kreditur penerima fidusia merupakan kreditur yang diutamakan
dibandingkan dengan kreditur-kreditur lainnya.
b. Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia
dalam tangan siapapun benda tersebut berada. (“droit de suit / zaaksgevolg”).

18 Monang Nasution, 2012, Fiducia, Gadai dan Hipotik, http://padmimonang.wordpress.com/


2012/10/29/fidusia-gadai-hipotik/ diakses Minggu 5 Mei 2013, 15.53
33

c. Asas asesoritas ; (bahwa perjanjian fidusia merupakan perjanjian ikutan dari


perjanjian utama/pokok, yatu perjanjian hutang-piutang, yang melahirkan
hutang yang dijamin dengan jaminan fidusia).
d. Asas kontinjen ; jaminan fidusia dapat diletakkan atas hutang yang baru akan
ada.
e. Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan ada.
f. Asas pemidahan horizontal; bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap
bangunan / rumah yang terdapat di atas tanah milik orang lain.

E. Sifat-sifat dari jaminan fidusia yang diatur dalam UUJF adalah:


a. Jaminan fidusia bersifat accesoir, yang berarti bahwa jaminan fidusia bukan hak
yang berdiri sendiri melainkan kelahiran dan keberadaannya atau hapusnya
tergantung dari perjanjian pokok fidusia itu sendiri;
b. Jaminan fidusia bersifat droit de suite, yang berarti bahwa penerima jaminan
fidusia/kreditur mempunyai hak mengikuti benda yang menjadi objek jaminan
fidusia dalam tangan siapapun benda itu berada, dengan artian bahwa dalam
keadaan debitur lalai maka kreditur sebagai pemegang jaminan fidusia tidak
kehilangan haknya untuk mengeksekusi objek fidusia walaupun objek tersebut
telah dijual dan dikuasai oleh pihak lain;
c. Jaminan fidusia memberikan hak preferent, yang berarti bahwa kreditor sebagai
penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan untuk mendapatkan pelunasan
utang dari hasil eksekusi benda jaminan fidusia tersebut dalam hal debitur
cedera janji atau lalai membayar utang;
d. Jaminan fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada, yang
berarti bahwa utang yang dijamin pelunasannya dengan fidusia harus memenuhi
syarat sesuai ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Fidusia.
e. Jaminan fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang, yang berarti bahwa benda
jaminan fidusia dapat dijaminkan oleh debitur kepada beberapa kreditur yang
secara bersama-sama memberikan kredit kepada seorang debitur dalam satu
perjanjian kredit, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-undang
fidusia;
f. Jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial, yang berarti bahwa kreditur
sebagai penerima fidusia memiliki hak untuk mengeksekusi benda jaminan bila
debitur cidera janji. Dan eksekusi tersebut dapat dilakukan atas kekuasaan
sendiri atau tanpa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
g. Jaminan fidusia bersifat spesialitas dan publisitas, dengan maksud spesialitas
adalah uraian yang jelas dan rinci mengenai objek jaminan fidusia dalam Akta
Jaminan Fidusia, sedangkan publisitas adalah berupa pendaftaran Akta Jaminan
Fidusia yang dilakukan di kantor pendaftaran fidusia;
h. Jaminan fidusia berisikan hak untuk melunasi utang. Sifat ini sesuai dengan
fungsi setiap jaminan yang memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur
34

untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan jaminan bila debitur cidera
janji dan bukan untuk dimiliki oleh kreditur. Dan ketentuan ini bertujuan untuk
melindungi debitur dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan kreditur;
i. Jaminan fidusia meliputi hasil benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan
klaim asuransi. Dan objek jaminan fidusia berupa benda-benda bergerak
berwujud (seperti kendaraan bermotor, mesin pabrik, perhiasan, perkakas
rumah, pabrik, dan lain-lain); benda bergerak tidak berwujud (seperti sertipikat,
saham, obligasi, dan lain-lain); benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani
dengan hak tanggungan (yakni, hak satuan rumah susun di atas tanah hak pakai
atas tanah negara dan bangunan rumah yang dibangun di atas tanah milik orang
lain); serta benda-benda yang diperoleh dikemudian hari.

F. Dasar Hukum Berlakunya Fidusia di Indonesia


Yang menjadi dasar hukum fidusia sebelum UUJF dibentuk adalah yurisprudensi
arrest HGH tanggal 18 Agustus 1932 tentang perkara B.P.M melawan Clygnett.19
Perjanjian dengan jaminan fidusia ini kemudian diatur dengan lebih lanjut oleh
pemerintah Indonesia dengan cara dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur tentang lembaga jaminan untuk benda
bergerak yang dijadikan jaminan hutang. Lembaga jaminan ini sebagai alternatif dari
gadai, ketika benda bergerak dijadikan jaminan hutang. Ada 3 (tiga) pertimbangan
lahirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, yaitu :
1. Kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya
dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan lengkap yang
mengatur mengenai lembaga jaminan.
2. Jaminan Fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan saat ini masih didasarkan
pada yurisprudensi dan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan secara
lengkap dan komprehensif.
3. Untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat lebih memacu pembangunan
nasional dan untuk menjamin kepastian hukum serta mampu memberikan
perlindungan bagi pihak yang berkepentingan, maka perlu dibentuk ketentuan
yang lengkap mengenai jaminan fidusia dan jaminan tersebut perlu didaftarkan
pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Pengertian jaminan fidusia itu sendiri adalah hak jaminan atas benda bergerak
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam
penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima Jaminan fidusia kreditur
lainnya.20

19 J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Op. Cit, hal. 111
20 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, Bandung, hal.168
35

Perjanjian jaminan fidusia memiliki ciri-ciri sebagaimana diatur dalam Undang-


undang No. 42 Tahun 1999 sebagai berikut21 :
1. Memberikan kedudukan yang mendahului kepada kreditur penerima fidusia
terhadap kreditur lainnya (pasal 27 UUJF).
2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan di tangan siapapun obyek itu berada droit de
suite (Pasal 20 UUJF).
3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas, sehingga mengikat pihak ketiga dan
memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan
(Pasal 6 dan Pasal 11 UUJF). Untuk memenuhi asas spesialitas dalam ketentuan Pasal
6 UUJF, maka akta jaminan fidusia sekurang-kurangnya memuat :
a. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia ;
b. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia ;
c. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia ;
d. Nilai penjaminan dan ;
e. Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia ;
Asas Publisitas dimaksudkan dalam UUJF untuk memberikan kepastian hukum,
seperti termuat dalam Pasal 11 UUJF yang mewajibkan benda yang dibebani dengan
jaminan fidusia didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang terletak di
Indonesia, kewajiban ini bahkan tetap berlaku meskipun kebendaan yang dibebani
dengan jaminan fidusia berada di luar wilayah Republik Indonesia.22
4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya (Pasal 29 UUJF).
Eksekusi jaminan fidusia didasarkan pada sertipikat jaminan fidusia, sertipikat
jaminan fidusia ditertibkan dan diserahkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia kepada
Penerima jaminan fidusia memuat tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan
pendaftaran jaminan fidusia, sertipikat jaminan fidusia merupakan salinan dari Buku
Daftar Fidusia, memuat catatan tentang hal-hal yang dinyatakan dalam pendaftaran
jaminan fidusia.23
Dalam hal debitur atau pemberi fidusia cidera janji, pemberi fidusia wajib
menyerahkan obyek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi. Eksekusi dapat
dilaksanakan dengan cara pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia, artinya
langsung melaksanakan eksekusi, atau melalui lembaga parate eksekusi – penjualan
benda obyek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan dari hasil penjualan. Dalam hal akan dilakukan penjualan dibawah
tangan, harus dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia.
Perjanjian jaminan fidusia berdasarkan UU No. 42 Tahun 1999 dilaksanakan
melalui dua tahap, yaitu tahap pembebanan dan tahap pendaftaran jaminan fidusia.
Proses Terjadinya Jaminan Fidusia menurut UUJF adalah sebagai berikut:

21 Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Refisi dengan UUHT, Fakultas Hukum UNDIP,
Semarang, 2001, hal. 36-37
22 Gunawan Widj aya dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Op cit. Hal.139
23 Ibid.
36

1. Tahap pembebanan
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UUJF dinyatakan “Pembebanan benda dengan jaminan
fidusia dibuat dengan Akta Notaris dalam Bahasa Indonesia dan merupakan akta
jaminan fidusia”. Akta Notaris merupakan salah satu wujud akta otentik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata. Di mana dalam pasal 1868 disebutkan
bahwa “suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan
oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuat.”
2. Tahap pendaftaran
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Fidusia No. 42 Tahun 1999, akta perjanjian
jaminan fidusia tersebut diwajibkan untuk didaftarkan berdasarkan ketentuan Pasal
11 ayat (1) Undang-Undang Fidusia. Adapun tata cara pendaftaran jaminan fidusia
yang dilakukan oleh penerima fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia, diatur lebih
lanjut berdasarkan PP No. 86 Tahun 2000 tentang tata cara Pendaftaran Jaminan
Fidusia.
Pendaftaran jaminan fidusia juga telah diatur dalam pasal 11-18 UUJF.
Secara umum benda yang dijaminkan dengan fidusia harus didaftarkan di Kantor
Pendaftaran Fidusia. Permohonan ini dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa atau
wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran Jaminan fidusia. Kemudian surat
sertifikat Jaminan Fidusia yang telah sah akan mempunyai kekuatan eksekutorial yang
sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pemberi Fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi jaminan
fidusia yang sudah terdaftar.24
Ketentuan mengenai pendaftaran fidusia dan biayanya juga diatur dalam PP No.
86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya pembuatan
Akta Jaminan Fidusia.
Hapusnya jaminan fidusia juga diatur dalam pasal 25-26 UUJF dan secara
umumnya karena hal-hal berikut:
1. Hapusnya hutang yang dijamin dengan fidusia (pelunasan)
2. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia
3. Musnahnya benda objek jaminan fidusia
4. Atas permintaan penerima fidusia
Kantor pendataran fidusia (kpf) akan mencoret pencatatan jaminan fidusia dari
buku daftar fidusia dan menerbitkan surat keterangan bahwa surat sertifikat fidusia
tersebut tidak berlaku lagi.

24 Lihat Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia


37

HAK TANGGUNGAN

A. Pengertian Hak Tanggungan atas Tanah


Pengertian dari Hak Tanggungan atas tanah menururt Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, “berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditur-
kreditur lain”.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya hak tanggungan
adalah suatu bentuk jaminan pelunasan hutang, yang terlebih dahulu dibebani hak,
dengan objek jaminan berupa hak-hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

B. Objek Hak Tanggungan


Menurut ketentuan Pasal 25 UUPA, “hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani hak tanggungan”. Dari pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa yang menjadi
objek hak tanggungan adalah tanah dengan status Hak Milik. Tanah dengan status Hak
Milik tersebut, dapat dijadikan jaminan utang dengan membebani hak atas tanah
tersebut (Hak Milik) dengan Hak Tanggungan.
Setalah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak tanggungan
atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, terdapat perbedaan
mengenai hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan. Menurut Pasal 4 UUHT,
yang menjadi objek Hak Tanggungan adalah:
1. Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah:
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan.
2. Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak Pakai atas tanah
Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya
dapat dipindahtangankan dapat juga di-bebani Hak Tanggungan.
3. Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas tanah Hak Milik akan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
4. Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan,
tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas
tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang bersangkutan.
5. Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
38

tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas
benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada
Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang
diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik.

C. Ciri-ciri Hak Tanggungan


Ciri-ciri hak tanggungan dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada pemegangnya yaitu krediturnya.
2. Selalu mengikuti objek dalam tangan siapapun objek hak tanggungan itu berada.
3. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas pemenuhan asas spesialitas ini
tersebut dalam muatan wajib Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).

D. Sifat-sifat Hak Tanggungan


Sifat-sifat hak tanggungan adalah sebagai berkut:
1. Tidak dapat dibagi-bagi (pasal 2 UUHT) bahwa hak tanggungan membebani secara
utuh objek hak tanggungan dan setiap bagian dari padanya, dan sifat ini tidak berlaku
mutlak karena ada kemungkinan untuk mengecualikan atau menyimpang dari sifat
tidak dapat dibagi-bagi ini didasarkan dengan roya parsial.
2. Bersifat accesoir atau perjanjian buntutan/ikutan, maksudnya perjanjian jaminan
utang atas hak tanggungan tidak berdiri sendiri karena ikut pada perjanjian pokok
yaitu perjanjian utang-piutang, apabila perjanjian pokok hapus atau batal, maka
otomatis perjanjian accesoir menjadi hapus pula.

E. Akta Pemberian Hak Tanggungan


Pengertian akta pemberian hak tanggungan menurut Pasal 1 butir 5 UUHT adalah “akta
PPAT yang berisi pemberian hak tanggungan kepada kreditor tertentu sebagai jaminan
untuk pelunasan piutangnya”.

F. Hapusnya Hak Tanggungan


Dalam Pasal 18 UUHT diatur mengenai hapusnya hak tanggungan, Hak tanggungan dapat
hapus karena:
1. Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan
2. Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan
3. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua
Pengadilan Negeri
4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan

Anda mungkin juga menyukai