Anda di halaman 1dari 28

PENGELOLAAN LEMBAGA EKSEKUTIF

sebagai UTS Mata Kuliah Pengelolaan Kelembagaan

Anggota Kelompok 1
Nur Muhammad Haris 165120600111005
Luna Prabowo 165120600111003
Dimas Seto 165120601111020
Kartika Ayu Shinta R 165120600111037
Nadya Oktavia 165120607111022
Rhun Ray Sitohang 165120607111033
Aisya Sabilla Rizqi Z. H 165120607111035

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG


1. Pemilihan Presiden

Pemilihan umum merupakan salah satu bagian dari proses sekaligus hasil dari
sebuah sistem demokrasi. Meski demokrasi secara substansial dengan nilai-nilai yang
menjunjung tinggi keterbukaan, kebebasan dan hak asasi baru sepenuhnya dijalakan
pasca runtuhnya kekuasaan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, Indonesia sendiri
sebenarnya telah mengenal Pemilihan Umum pertama sejak tahun 1955 hingga yang
terakhir pada 2014 lalu. Pemilihan Umum yang pertama dilaksanakan pada masa
Orde Baru ketika Presiden Soekarno menjabat dengan keikutsertaan empat partai
besar yakni PNI, NU, PKI dan Masjumi serta beberapa partai kecil lainnya seperti
Partai Katholik, Parkindo dan PSII.1

Salah satu hasil amandemen UUD NRI 1945 yaitu pergeseran model
pengisian jabatan presiden dan wakil presiden, yang sebelumnya dilakukan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat
(pilpres), sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (1) “ Presiden dan Wakil Presiden
dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat ”. Abdul Latif 2
mengemukakan sejumlah alasan diselenggarakannya pilpres (secara langsung) yaitu:

a. Presiden terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi sangat kuat karena didukung
oleh suara rakyat yang memberikan suaranya secara langsung;

b. Presiden terpilih tidak terkait pada konsesi partai-partai atau faksifaksi politik yang
telah memilihnya. Artinya presiden terpilih berada di atas segala kepentingan dan
dapat menjembatani berbagai kepentingan tersebut;

c. Sistem ini menjadi lebih “accountable” dibandingkan dengan sistem yang sekarang
digunakan (pada masa orde baru), karena rakyat tidak harus menitipkan suaranya
melalui MPR yang para anggotanya tidak seluruhnya terpilih melalui pemilihan
umum;

1
Farahdiba rahma Bachtiar, Pemilu Indonesia, Jurnal Politik Profetik, Volume 3, Nomor 1, Tahun
2014.
2
Abdul Latif, Pilpres Dalam Perspektif Koalisi Multi Partai, Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 3, April
2009, h. 38
d. Kriteria calon presiden juga dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan
memberikan suaranya.

Selanjutnya, dalam Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945 ditegaskan bahwa tata
cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam
undang-undang. UU a quo yaitu UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres)2 yang menjadi landasan penyelenggaraan
pilpres 2004. Saat pilpres 2009, UU No. 23 Tahun 2003 dicabut dan diganti dengan
UU No. 42 Tahun 2008.3 Selain UU No. 42 Tahun 2008, penyelenggaraan pilpres
2009 juga dasarkan pada UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum.4 Pada pilpres 2014 ini, masih menggunakan UU No. 42 Tahun 2008, meski
pada awal 2013 DPR mengagendakan perubahan, namun sebagian besar fraksi
menolak untuk dilakukan perubahan.

Penyelenggaraan pilpres 2004 dan 2009 harus diakui menjadi tonggak dan
lembaran baru kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Meskipun penyelenggaraan
bernegara saat itu masih dalam masa transisi menuju reformasi, namun telah ada
komitmen dan konsensus politik melalui perundang-undangan dan praktik yang
memungkinkan rakyat (pemilih) terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan
pemerintahan, dengan ikut serta menentukan penyelenggara negara yang duduk di
lembaga perwakilan (MPR, DPR, DPD dan DPRD) dan lembaga eksekutif (Presiden
dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah). Hal semacam ini
tidak kita jumpai dalam regulasi dan praktik pengisian jabatan presiden dan wakil
presiden sejak kemerdekaan sampai 2004. Meskipun telah ada pergeseran dalam
regulasi dan praktik pengisian jabatan presiden dan wakil presiden 2004 dan 2009,
namun masih ditemukan sejumlah problematika yang bersifat substantif dan teknis,
yang terjadi pada tahap persiapan, pelaksanaan dan pasca pemungutan suara. Sudi
Prayitno18 mengemukakan tiga masalah mendasar dari sisi yuridis terkait dengan
penyelenggaraan Pilpres 2009 yaitu: kelemahan peraturan perundangundangan
tentang Pilpres, kelemahan penyelenggara, dan partisipasi masyarakat yang rendah.
Kelemahan peraturan perundang-undangan
(baik UUD 1945, UU No. 22 Tahun 2007 dan UU No. 42 Tahun 2008) berkenaan
dengan tidak adanya peluang calon perseorangan, tugas kewenangan dan kewajiban
KPU serta Pengawas Pemilu, pengaturan tentang hak memilih, penyusunan daftar
pemilih, pemungutan suara dan pelanggaran pilpres. Kelemahan penyelenggara
berkenaan dengan sosialisasi pilpres yang minim, pemahaman yang lemah terhadap
peraturan perundang-undangan tentang Pilpres serta sikap yang tidak independen.
Kemudian, perihal partisipasi masyarakat yang rendah tampak dari adanya pemilih
yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 27,77 % atau sebesar 49. 212.158
pemilih.3

Dalam segi kelembagaan, sistem pemilu di Indonesia ditangani oleh Komisi


Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU). KPU merupakan lembaga
konstitutional yang bekerja secara independen untuk menyelenggarakan pemilihan
umum nasional dan lokal sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang No.
15 Tahun 2011. Ketua dan anggota KPU pusat terdiri dari 7 anggota yang dipilih
melalui proses seleksi yang ketat dan kemudian dilantik oleh Presiden untuk jangka
waktu lima tahun. Begitupula dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang
dipilih melalui proses seleksi dan dilantik oleh presiden dengan keanggotaan pada
tingkat nasional sebanyak 5 orang4. Mereka bertugas melakukan pengawasan
terhadap kinerja KPU dan keseluruhan proses pemilu dari pra hingga pasca.

2. Pendekatan Akomodatif Presiden Koalisi dan Kompromi Politik di Indonesia

Amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia telah merubah


struktur lembaga negara di Indonesia. Terdapat beberapa perubahan tentang lembaga
negara salah satunya adalah tentang presiden. Berdasarkan amandemen presiden dan
wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat hal tersebut secara tidak langsung
menunjukan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial. Namun, dilain sisi
Indonesia juga menganut sistem multipartai yaitu adanya kompetisi dalam pemilihan

3
Umbu Rauta, Menggagas Pemilihan Presiden yang Demokratis dan Aspiratif, Jurnal Konstitusi, Vol.
11, No. 3, September 2014, hal. 607.
4
1Rumah Pemilu. Gambaran Singkat Pemilihan Umum 2014. Diakses pada
http://www.rumahpemilu.org/in/read/4030/Gambaran-Singkat-Pemilihan-Umum-2014-di-Indonesia
umum yang pesertanya lebih dari dua partai. Hal ini mengakibatkan di Indonesia
menganut sistem presidensial berjalan berdampingan dengan sistem multipartai.

Sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia masih tergolong lemah, hal


ini terjadi karena dalam berbagai kebijakan presiden harus mendapat persetujuan dari
legislatif. Sehingga apabila presiden ingin memperkuat posisinya maka presiden juga
harus dapat menguasai legislatif. Maka presiden harus memperoleh banyak dukungan
dari partai politik. Sedangkan di Indonesia menganut sistem multipartai, sehingga
tidak ada partai yang memperoleh suara lebih dari lima puluh persen di parlemen
sehingga tidak ada partai yang paling mendominasi di parlemen. Hal tersebut
menyebabkan untuk menguasai suara di parlemen maka dibutuhkan koalisi beberapa
partai politik.

Koalisi partai politik di Indonesia terbentuk pada saat setelah pemilihan


anggota parlemen dan sebelum pemilihan presiden. Koalisi partai tersebut terbentuk
untuk memenuhi presidential threshold karena sesuai pada pasal 9 Undang-Undang
Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi “Pasangan calon
diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi
persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari kursi DPR
atau memperoleh 25 % (dua puluh lima persen) suara sah nasional dalam pemilu
anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”5 guna
mengusung calon presiden dan wakil presiden. Hal ini menyebabkan koalisi partai
politik tidak didasari pada kesamaan ideologi, karakter, dan visi partai, melainkan
bersifat pragmatis dan sementara yaitu untuk pemenuhan presidential threshold dan
menempatkan elite politiknya sebagai calon presiden dan wakil presiden atau pada
kursi menteri dikabinet.

Lemahnya koalisi yang dibangun diantara partai ini adalah akibat dari tidak
adanya dukungan penuh dari partai peserta koalisi dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Struktur koalisi yang dibuat jarang sekali ditopang oleh dasar

5
Undang-undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
kesamaan ideologi yang kuat. Akibatnya, ikatan yang terjadi di antara partai politik
peserta koalisi hanya berdasarkan pembagian kursi menteri di kabinet6.

Sejak pemilihan umum pada masa reformasi dilaksanakan tidak banyak partai
yang dapat memenuhi presidential threshold sesuai pasal 9 nomor 42 tahun 2008
tentang Pemilihan Umum dalam mengusulkan calon presiden. Hal ini dapat dilihat
dari pada masa pemilihan umum tahun 2009 dimana Partai Demokrat berhasil
memperoleh suara sebanyak 148 kursi atau 20,85 % di parlemen. Namun Partai
Demokrat tidak berani menacalonkan Susilo Bambang Yudoyono tanpa harus
berkoalisi dengan partai lain. Hal ini merupakan pilihan paling rasioanl yang diambil
oleh Partai Demokrat demi mengamankan kekuasaanya diparlemen. Hal tersebut
dilakuakan untuk mengamankan kebijakan yang akan diambil oleh pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono di parlemen. Kompromi yang diambil untuk
memperoleh dukungan dari partai politik adalah menempatkan elite-elite dari partai
koalisi untuk duduk menjadi menteri dipemerintahanya.

Koalisi yang terjadi di Indonesia ini menyebabkan presiden mengalami dilema


dalam menentukan kebijakanya. Hal tersebut terjadi karena adanya intervensi dari
partai pengusungnya. Seperti, dalam pemilihan menteri yang duduk dikabinet,
presiden tidak bisa memilih secara bebas melainkan harus ada pertimbangan atau
persetujuan dari partai koalisinya. Menteri yang dipilih oleh presiden harus berasal
dari partai pengusungnya,hal ini dikarenakan apabila presiden tidak mengambil
menteri dari partai koalisi maka dikhawatrikan partai tersebut menarik diri dari
koalisi sehingga suara dukungan dari partai politik di parlemen berkurang yang dapat
menyebabkan kekautan dukungan presiden di parlemen melemah.

Koalisi partai politik dan kompromi-komprominya harus disikapi dengan


bijak oleh presiden. Hal ini dikarenakan apabila presiden terlalu bersifat akomodatif
pada kepentingan partai-partai koalisinya dikhawatirkan kebijakan yang diambil

6
Arsinaldi A, “koalisi model parlementer dan dampaknya pada penguatan kelembagaan sistem
presidensial

di indonesia” , Jurnal Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas, 2013


merupakan untuk kepentingan partai koalisinya, sedangkan presiden tidak
pertanggungjawab kepada partai koalisinya melainkan bertanggungjawab kepada
masyarakat sebagai mandataris dari konstitusi.

3. Pembentukan Pemerintahan
      Eksekutif berasal dari kata eksekusi (execution) artinya pelaksana. Lembaga
eksekutif adalah lembaga bertugas melaksanakan peraturan perundang-undangan
yang telah dibuat oleh pihak legislatif. Eksekutif dalam arti sempit yaitu lembaga
yang bertugas melaksanakan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan untuk mencapai tujuan negara. Berdasarkan teori Trias Politica yang
dicetuskan oleh Montesquieu, tugas badan eksekutif hanya melaksanakan kebijakan-
kebijakan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif serta menyelenggarakan
undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Terdiri dari presiden, wakil
presiden, kabinet atau dewan menteri dimana masing-masing menteri memimpin
departemen dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya.

a. Kabinet

Kabinet Pemerintahan Indonesia adalah dewan menteri yang ditunjuk oleh


presiden. Indonesia telah mempunyai pergantian puluhan kabinet sejak proklamasi
kemerdekaan tahun 1945. Pada masa Soekarno menjabat sebagai presiden, masa
jabatan kabinet tidak tetap, sehingga banyak terjadi perombakan kabinet pada masa
Soekarno menjabat. Setelah Orde Baru, hampir semua masa jabatan kabinet
menjabat selama 5 tahun, mengikuti masa jabatan Presiden di Indonesia.

Konsep kabinet pemerintahan tidak disebutkan secara eksplisit dalam UUD


1945, sehingga kabinet pemerintahan Indonesia sejak 14 November 1945 adalah
hasil dari konvensi administrasi. Ada dua jenis kabinet dalam sejarah Indonesia,
kabinet yang dipimpin presiden dan kabinet yang dipimpin parlemen. Dalam
kabinet presiden, presiden bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah sebagai
kepala negara dan pemerintahan, sedangkan di kabinet parlemen, kabinet
melaksanakan kebijakan pemerintah, dan bertanggung jawab kepada legislatif.
Pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik
Indonesia Serikat (RIS). Di bawah Konstitusi Federal tahun 1949, RIS memiliki
kabinet parlementer sebagai menteri yang bertanggung jawab atas kebijakan
pemerintah. Dengan kembali ke negara kesatuan Indonesia pada bulan Agustus
1950, sistem kabinet parlementer tetap karena perjanjian antara pemerintah RIS dan
Republik Indonesia (konstituen RIS). Pasal 83 Undang-Undang Dasar Sementara
1950 menyatakan bahwa menteri memiliki tanggung jawab penuh untuk kebijakan
pemerintah. Selama sembilan tahun berikutnya ada tujuh kabinet dengan antara 18
dan 25 anggota.

Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekret membatalkan UUD


1950 dan kembali ke UUD 1945. Kabinet juga dibubarkan, dan berlaku sistem
Demokrasi Terpimpin. Sebuah kabinet presiden baru dibentuk tak lama setelah
dikeluarkannya dekret, dimana Presiden merangkap sebagai Perdana Menteri serta
DPRS dan MPRS beralih fungsi dari legislatif ke eksekutif. Selama tahun-tahun
terakhir presiden Sukarno, kabiner yang lebih besar, memuncak pada 111
menteri.Pada masa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, kabinet yang dibentuk
lebih kecil, dan dari 1968 sampai 1998 berlangsung untuk jangka presiden lima
tahun. Setelah jatuhnya Suharto dan dimulainya era Reformasi, sistem kabinet
presidensial telah dijaga.

Pemberhentian maupun pengangkatan menteri yang telah terjadi selama ini


merupakan salah satu contoh yang menyebabkan timbulnya permasalahan mengenai
hak prerogatif. Hak prerogatif  Presiden yaitu hak istimewa yang dimiliki oleh
Presiden untuk melakukan sesuatu tanpa meminta persetujuan lembaga lain. 7Secara
hukum pemberhentian dan penggantian itu merupakan kewenangan Presiden
sebagai pemegang hak prerogatif tersebut. Peristiwa ini kemudian memunculkan
penilaian, bahwa selama ini hak prerogatif bukan murni dilaksanakan untuk
memenuhi tugas kewajiban Konstitusional Presiden, tetapi sering dipergunakan
sebagai imbal jasa politik, artinya diberikan sebagai hadiah kepada mereka yang

7
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogjakarta, 1999, Hal. 256.
secara politik berjasa kepada Presiden, karena telah memberikan dukungan kuat
ketika pencalonan Presiden. Dalam hal pembentukan, pengubahan, dan pembubaran
kementerian negara itu setelah dilakukan amandemen UUD 1945 tidak menjadi
kewenangan penuh Presiden, semuanya itu harus didasarkan pada undang-undang
(Pasal 17 ayat (4) UUD 1945). Sehingga tidak terjadi lagi pembubaran suatu
kementerian negara secara sepihak oleh Presiden.

b. Bentuk-Bentuk Badan Eksekutif Negara

Bentuk-bentuk lembaga eksekutif yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Presiden dan Wakil Presiden

Undang-undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, membatasi masa


jabatan presiden/wakil presiden selama 2 periode. Presiden memegang kekuasaan
pemerintahan (eksekutif) berdasarkan konstitusi. Dalam melakukan tugas tersebut,
presiden dibantu wakil presiden. Presiden juga berhak mengajukan rancangan
Undang-undang kepada DPR. Selain itu, Presiden juga memiliki kewenangan untuk
menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-undang. Presiden dan
Wakil Presiden Indonesia tidak dipilih dan diangkat oleh MPR melainkan langsung
dipilih oleh rakyat dalam Pemilu. Presiden dan Wakil Presiden diusulkan partai
politik atau gabungan partai politik sebelum Pemilu. Setelah terpilih, periode masa
jabatan Presiden adalah 5 tahun, dan setelah itu, ia berhak terpilih kembali hanya
untuk 1 lagi periode.

      Presiden dengan persetujuan DPR dapat menyatakan perang, membuat


perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain. Dalam membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
    Disamping itu, Presiden juga memiliki hak untuk memberi grasi dan
rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Grasi adalah
pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada yang diberikan oleh presiden. Rehabilitasi adalah hak
seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan
harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau
peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

      Presiden juga memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan


pertimbangan DPR. Amnesti adalah pernyataan umum (diterbitkan melalui atau
dengan undang-undang) yang memuat pencaabutan semua akibat pemidanaan dari
suatu perbuatan pidana (delik) tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana (delik)
tertentu, bagi terpidana, terdakwa yang dinyatakan bersalah melakukan delik-delik
tersebut. Abolisi adalah penghapusan terhadap seluruh akibat penjatuhan putusan
pengadilan pidana kepada seseorang terpidana, terdakwa yang bersalah melakukan
delik.

Gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya juga diberikan Presiden
kepada individu maupun kelompok yang diatur dengan undang-undang. Dalam
melakukan tugasnya, Presiden dapat membentuk suatu dewan pertimbangan untuk
memberikan nasehat dan pertimbangan kepadanya, dan ini diatur dengan undang-
undang.

2.Kementrian Republik Indonesia

       Menteri adalah pembantu presiden. Ia diangkat dan diberhentikan oleh presiden


untuk suatu tugas tertentu. Kementrian di Indonesia dibagi ke dalam 3 kategori yaitu
Kementerian Koordinator, Kementrian Departemen, dan Kementrian Negara.
Kementrian Koordinator bertugas membantu presiden dalam suatu bidang tugas. Di
Indonesia, menteri koordinator terdiri atas 3 bagian, yaitu : Menteri Koordinator
Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Menteri Koordinator bidang
Perekonomian; Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat. Menteri
Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan bertugas membantu Presiden
dalam mengkoordinasikan perencanaan dan penyusunan kebijakan, serta
mensinkronkan pelaksanaan kebijakan di bidang politik, hukum, dan keamanan.
Fungsi yang ada padanya adalah:

a Pengkoordinasian para Menteri Negara dan Pimpinan Lembaga Pemerintahan Non


Departemen (LPND) dalam keterpaduan pelaksanaan tugas di bidang politik dan
keamanan, termasuk permasalahan dalam pelaksanaan tugas.

b. Pengkoordinasioan dan peningkatan keterpaduan dalam penyiapan dan


perumusan kebijakan pemerintahan Kantor Menteri Negara, Departemen, dan
Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) di bidang politik dan keamanan.

c. Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan
Menteri Negara. Menteri Negara bertugas membantu presiden dalam merumuskan
kebijakan dan koordinasi terhadap kebijakan seputar bidang. Menteri Negara RI
terdiri atas 10 bidang strategis yang harus dipimpin seorang menteri negara. Ke-10
bidang tersebut adalah :

 Menteri Negara Riset dan Teknologi,


 Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah,
 Menteri Negara Lingkungan Hidup,
 Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan,
 Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara,
 Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal,
 Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional,
 Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara,
 Menteri Negara Perumahan Rakyat, dan
 Menteri Negara Pemuda dan Olahraga.

3. Menteri Departemen
Menteri Departemen, adalah para menteri yang diangkat presiden dan
mengatur bidang kerja spesifik. Menteri Departemen mengepalai satu departemen.
Di Indonesia kini dikenal ada 21 Departemen yang dipimpin seorang menteri.
Departemen-departemen tersebut adalah :

 Sekretaris Negara
 Dalam Negeri
 Luar Negeri
 Pertahanan
 Hukum dan HAM
 Keuangan
 Energi dan Sumber Daya Mineral
 Perindustrian
 Perdagangan
 Pertanian
 Kehutanan
 Perhubungan
 Kelautan dan Perikanan
 Tenaga Kerja dan Transmigrasi
 Pekerjaan Umum
 Kesehatan
 Pendidikan Nasional
 Sosial
 Agama
 Kebudayaan dan Pariwisata
 Komunikasi dan Infomatika

4. Lembaga Setingkat Menteri


Lembaga Setingkat Menteri adalah lembaga-lembaga yang secara hukum
berada di bawah Presiden. Namun, lembaga ini memiliki karakteristik tugas khas
yang membutuhkan tata cara pengurusan tersendiri. Di Indonesia, lembaga setingkat
menteri terdiri atas :

 Sekretaris Kabinet
 Kejaksaan Agung
 Tentara Nasional Republik Indonesia
 Kepolisian Negara Republik Indonesia

5. Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND)


LPND mirip dengan kementrian departemen, akan tetapi lebih sempit wilayah
yang dibidangi dan biasanya dikepalai oleh seorang Kepala. LPND yang dikenal di
Indonesia adalah :
 Arsip Nasional Republik Indonesia
 Badan Intelijen Negara
 Badan Kepegawaian Negara
 Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
 Badan Koordinasi Penanaman Modal
 Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
 Badan Metereologi dan Geofisika
 Badan Pengawasan Obat dan Makanan
 Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi
 Bedan Pengawas Tenaga Nuklir
 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
 Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata
 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
 Badan Pertanahan Nasional
 Badan Pusat Statistik
 Badan Standarisasi Nasional
 Badan Tenaga Atom Nasional
 Badan Urusan Logistik
 Lembaga Administrasi Negara
 Lembaga Ilmu Pengetahuan Nasional
 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

4. Hubungan Lembaga Eksekutif dengan Lembaga Legislatif di Indonesia


Reformasi ’98 yang ditandai dengan tumbangnya rezim Orde Baru diikuti
dengan perubahan dinamika perubahan politik di Indonesia. Selain itu tuntutan
reformasi melahirkan amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Amandemen yang
menjadi tuntutan rakyat yang digalakkan pada waktu itu, hal ini menjadi dasar dari
perubahan terhadap sistem ketatanegaraan di Indonesia. Salah satu yang menjadi poin
arah amandemen konstitusi pada waktu itu adalah mempertegas sistem presidensial
dan mewujudkan mekanisme check and balances. Terutama relasi antara Eksekutif
dan Legislatif. Hal ini bertujuan untuk mempertegas dan menyempurnakan sistem
penyelenggaraan pemerintahan yang sesuai dengan konsep dasar sistem presidensial. 8
Selain itu amandemen UUD 1945 juga merubah sistem perwakilan Indonesia dari uni
kameral berubah menjadi bikameral. Hal ini berdampak kepada pelaksanaan
kedaulatan rakyat tidak lagi sepenuhnya oleh MPR.9 Sehingga reformasi menjadi
salah satu titik perubahan bagaimana kehidupan bernegara dan tatanan kenegaraan.
Tujuannya adalah satu untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat yang nyata.
Tetapi selain itu reformasi juga memberikan pengaruh terkait dengan
bagaimana mekanisme relasi antara Eksekutif dan Legislatif mengalami perubahan.
Kita ketahui bahwasannya pra amandemen sistem politik di Indonesia bersifat
sentralistik.10 Sehingga pemerintah yang dimaknai banyak orang yang kental dengan
keotoritarianismenya pada waktu itu harus ditumbangkan yang kemudian melahirkan
konstitusi. Konstitusi pada waktu itu yang bersifat exetuive heavy melahirkan ketidak
seimbangan kekuasaan antar lembaga. Dampaknya adalah lemahnya mekanisme
check and balances khususnya antara lembaga Eksekutif dalam hal ini Presiden dan
Legislatif atau MPR pada waktu itu.
Sehingga tidak menciptakan kondisi dimana pengawasan dan keseimbangan
antar lembaga negara, diperkuat dengan UUD 1945 sebelum amandemen. 11. Maka
UUD 1945 pada waktu itu dirasa memerlukan sebuah perubahan melalui amandemen.
Sebab antar lembaga di perlukan keseimbangan mengingat teori Tria Politica dimana
kekuasaan dalam sebuah negara harus dipisah. Hal ini bertujuan untuk mencegah
dominasi kekuasaan, sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Lord Acton
yaitu “power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutly”. Diartikan
kekusaan akan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup
absolut.12 Memegang kekuasaan saja akan cenderung terjadi korup atau korupsi
8
Janedjri M. Gaffar. 2009. Mempertegas SIstem Presidensial. DIakses dari
https://news.okezone.com/read/2009/07/14/274/238437/mempertegas-sistem-presidensial, pada
tanggal 11 Oktober 2018 pukul 13.07 WIB.
9
Ernawati Munir. 2005. Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Hubungan Lembaga Negara Pasca
Amandemen UUD 1945. Depertemen Hukum dan HAM: Badan Pembinaan Hukum Nasional. Hlm 2.
10
Siti Nuraini. 2006. Hubungan Eksekutif dan Legislatif di Era Otonomi Daerah. Jurnal Madani Edisi I.
Hlm 1
11
M. Arsyad Mawardi. 2008. Pengawasan Dan Keseimbangan Antara DPR Dan Presiden Dalam
Sistem Ketatanegaraan RI. Jurnal Hukum No. 1, Vol. 15. Hlm 62.
12
Ermansyah Djaya. 2008. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 1.
apalagi bila kekuasaan itu absolut. Maka tentu akan terjadi perbuatan yang korup atau
korupsi. Maka inilah pentingnya keseimbangnya kekuasaan antar lembaga agar
terjadi mekanisme saling mengawasi.
Pasca reformasi atau amandemen UUD 1945 diyakini sebagai awal mula
pergeseran dari exetutive heavy ke arah legislative heavy.13 Sehingga mempengaruhi
bagaimana dinamika relasi antara Eksekutif dan Legislatif saat ini atau pasca
reformasi. Bisa dikatakan bahwasannya reformasi melahirkan rezim baru dimana
lembaga legislatif lebih dominan dalam negara. Padahal mengingat prinsip yang
dibawa pada saat reformasi yang menginginkan dominasi Eksekutif di hilangkan.
Namun amandemen UUD 1945 malah membuat lembaga legislatif lebih dominan.
Walaupun lembaga legislatif merepresentasikan rakyat, namun melihat konsep Trias
Politica yang membagi kekuasaan. Maka dominasi lembaga baik eksekutif dan
legislatif seharusnya tidak ada karena mereka setara. Maka dari itu dalam tulisan
selanjutnya akan dibahas bagaimana relasi antara eksekutif dan legislatif yang terjadi
pada Pra Reformasi yang dikenal sebagai executive heavy dan Pasca Reformasi yang
dikenal sebagai legislative heavy.

a. Pra Reformasi
Dalam pembahasan bagaimana relasi lembaga eksekutif dan legislatif sebelum
reformasi ini. Hanya berfokus kepada era Orde Baru. Sebab pada saat rezim Orde
Lama menurut penulis pola relasi antara kedua lembaga negara ini masih dalam masa
pembentukan. Mengingat Indonesia pada waktu itu masih dalam tahap pra
kemerdekaan. Sehingga penulis hanya menbahas pola relasi yang terjadi pada waktu
era Orba. Sebab pada era ini sistem ketatanegaraan Indonesia sudah terlihat jelas
bagaimana arah pemerintahannya.

13
Solikhatun Septia Pradini. 2011. Analisis Yuridis Kekuasaan Presiden Dalam Membentuk Undang-
Undang Sebelum dan Sesudah Amandemen UUD 1945. Jurnal Citizenship, No. 1, Vol. 1. Hlm 5.
Bagan 1 Struktur Lembaga Kenegaraan Sebelum Amanden UUD 1945

Pola relasi yang terjadi pada era Orba antara eksekutif dan legislatif menurut
beberapa bacaan yang penulis baca legislatif dalam hal ini tersubordinasi oleh
eksekutif. Disebut juga dengan executive heavy, kondisi dimana eksekutif memiliki
dominasi terhadap lembaga negara lain. Walaupun dalam Tap MPR No.
III/MPR/1978 kedudukan kedua lembaga ini sudah diatur dinyatakan bahwasannya
Presiden dan DPR memiliki kedudukan yang sama sembagai lembaga tinggi negara.
Namun dalam pelaksanaanya kekuasaan eksekutif lebih mendominasi di dalam semua
aspek pemerintahan di Indonesia.
Maka bila ditelaah lebih dalam Presiden pada waktu itu seharusnya telah
melanggar Tap MPR tersebut. Tapi dasar eksekutif memiliki dominasi tidak bisa
disalahkan sebab UU tertinggi yaitu UUD 1945 menyatakan hal itu secara eksplisit.
Terdapat dalam Penjelasan Umum UUD 1945 sebelum amandemen, pada bagian
Sistem Pemerintahan Negara Kunci Poko IV menyatakan bahwa Presiden memegang
kekuasaan pemerintahan tertinggi dibawah Majelis. Sehingga dominasi eksekutif
pada masa itu telah dilegitimasi secara tidak langsung oleh konstitusi. Hal ini
didukung kuat dengan beberapa pasal yang terdapat dalam UUD 1945 sebelum
amandemen, antara lain: Presiden memiliki kekuasaan membentuk undang-undang
(pasal 5 ayat 1); Presiden memiliki kekuasaan membuat berbagai macam perjanjian
internasional dan mengangkat serta menerima duta dari negara lain (pasal 11 dan
pasal 13); Terkait dengan kekuasaan bidang justisial presiden memilik kekuasaan
untuk memberikan grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi (pasal 14). Selain itu pak
Harto melakukan monopoli penafsiran terkait dengan pasal 7 terkait dengan masa
jabatan dan pemilihan kembali. Dampaknya adalah Presiden bisa dipilih kembali
tanpa ada batasannya.
Terkait dengan legislatif yaitu MPR, Presiden melalui pasal 1 ayat 4 huruf c
Undang-Undang No. 16 Tahun 1969 junto Undang-Undang No.2 Tahun 1985
memiliki kewenangan untuk menentukan keanggotaan MPR. Pada waktu itu
dikaitkan dengan Dwi Fungsi ABRI, dimana ABRI memiliki hak politik dan bisa
menduduki kursi MPR. Mengingat Presiden Soeharto adalah jebolan ABRI sehingga
jatah ABRI ini diisi oleh teman-teman sejawatnya. Disisi lain yang memperkuat
kepemimpinan Presiden Soeharto, sebab MPR yang didominasi oleh Golkar dan diisi
oleh ABRI akan sejalan dengan kebijakan yang pak Harto pilih. Sehingga bisa
dikatakan legislatif pada waktu itu menjadi lembaga nomor 2 di negara setelah
eksekutif yang tentu saja agendanya sama dengan eksekutif. Dampaknya tidak ada
mekanisme pengawasan legislatif kepada eksekutif yang efisien.
Tetapi konstitusi atau UUD 1945 sebelum amandemen juga tidak sepatutnya
untuk disalahkan. Sebab para founding fathers Negara Kesatuan Republik Indonesia,
telah menyapaikan walaupun secara tidak langsung terkait dengan UUD 1945 adalah
konstitusi yang bersifat sementara. Disampaikan oleh Presiden Soekarno yang
menyebut UUD 1945 sebagai revolutie grond wet, keterlambatan itu terjadi selama
1945-1949 dan 1959-2002, sehingga membuat perjalanan ketatanegaraan Indonesia
terperangkat dalam kesementaraan UUD 1945.14 Seperti yang penulis bahas diawal,
bahkan sampai dengan ORBA Indonesia masih dalam kondisi ketatanegaraan yang
belum pasti. Sehingga hal ini menjadi dasar kenapa UUD 1945 tidak bisa disalahkan
sebab masih ada sifat sementara disitu. Tetapi bukannya untuk memperbaikinya
Eksekutif pada masa Orba menggunakan kekurangan, celah dan sifat multitafsir itu
untuk berkuasa secara terus menerus.
Tetapi ada suatu fakta yang jelas terkait dominasi kekuasaan yang terjadi pada
waktu itu bukan karena konstitusi saja. Sedikit kilas balik pada masa pemerintahan
Abdurrahman Wahid atau dikenal dengan Gus Dur. Perlu diketahui pada waktu Gus
Dur memimpin masih berlaku UUD 1945 yang belum diamanden, sebab masih dalam
proses pengerjaan. Tetapi pada waktu itu timbul pertanyaan kenap Gus Dus bisa

14
Saldi Isra. 2002. Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi: Mematikan Arah Reformasi Konstitusi.
Jurnal Demokrasi dan HAM: Reformasi Konstitusi. Vol 1, No. 4. Hlm 44.
dijatuhkan oleh legislatif. Sedangkan jika kita mengingat kepemimpinan sebelumnya
seharusnya Gus Dur memiliki dominasi kekuasaan sebagai eksekutif dengan
didukung oleh konstitusi. Sehingga bisa dikatakan konstitusi sebenarnya bukan yang
menyebabkan dominasi eksekutif. Namun hal ini perlu dikaji lebih dalam, namun ada
pendapat yang menyatakan penyebab MPR bisa menjatuhkan Gus Dur adalah
terjadinya pertentangan dan disisi lain Gus Dur tidak menguasai MPR.
Jadi, konstitusi sebelum amandemen bisa dikatakan tidak bersalah dalam
melahirkan dominasi eksekutif dalam ketatanegaraan. Melaikan ada celah-celah
multitafsir yang dipergunakan oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya.
Mengenai hubungannya dengan legislatif, pada masa Orba eksekutif cenderung
dominan dalam pemerintahan. Berdasarkan celah yang ada dalam UUD 1945
Presiden Soerharto menggunakannya untuk alat pelicin kekuasaannya. Dimana MPR
dan DPR merupakan lembaga yang bisa dikatakan tersebuordinasi terhadap
pemerintah. Tetapi kita juga tidak bisa munafik untuk mengatakan pemerintahan pada
masa Orba atau kepemimpinan Presiden Soeharto gagal total. Sebab dengan dominasi
Presiden atau pemerintah pusat, sebagai negara unitari atau kesatuan Indonesia
berkembang pesat salah satunya dalam pembangunan. Tetapi implikasi dari hal
tersebut, masa kepemimpinan Presiden Soerharto dikenal dengan tiga kata yang
menjadi tanda buruknya pengelolaan negara yaitu korupsi, kolusi dan nepotisme atau
KKN.15 Selain itu masih banyak lagi permasalahan yang menyebabkan rakyat
meminta Reformasi pada masa Presiden Soerharto.

b. Pasca Reformasi
Reformasi yang ditandai dengan amandemen Undang-Undang Dasar 1945
telah merubah arah ketatanegaraan kita. Salah satu tujuan reformasi adalah
menghapus dominasi eksekutif dalam presiden. Khususnya terkait dengan
kewenangan presiden dalam membentuk Undang-Undang, sehingga bisa dikatakan
UUD 1945 tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan dalam teori Mostesqieu
15
Briliant Awal. 2018. Dua Kata yang Terabaikan Setelah Dua Dekade Reformasi. Diakses dari
http://www.galamedianews.com/ragam/188425/dua-kata-yang-terabaikan-setelah-dua-dekade-
reformasi.html, pada tanggal 15 Oktober 2018 pukul 16.49 WIB.
16
yaitu Trias Polica. Padahal seperti yang disebutkan pada pembahasan sebelumnya
melalui TAP MPR bahwa antara Presiden dan DPR berkedudukan sama.
Bagan 2 Struktur Lembaga Negara Pasca Amanden UUD 1945

Beberapa poin penting yang terjadi dalam amandemen UUD 1945

mempengaruhi pola relasi antara lembaga-lembaga negara yang ada. Terkait dengan
penitik beratan dalam pembuatan Undang-Undang kepada Presiden dalam
Amandemen pertama UUD 1945 pada pasal 5 ayat 1. Menyatakan Presiden berhak
mengajukan RUU kepada DPR, sehinggan Presiden hanyalah memiliki hak yang
dapat digunakan ataupun tidak.17 Hal ini tentu saja merubah total kewenangan
presiden yang sebelum amandemen memiliki kewenangan untuk membentuk UU dan
DPR hanya memiliki hak menyetujui saja. Perlu diingat bahwa kursi legislatif pada
waktu itu didominasi oleh partai pemerintahan. Sehingga dengan hal itu UU yang
diajukan oleh Presiden akan disetujui.
Selain itu, amandemen juga mengahasilkan pasal 20 yang menguatkan posisi
DPR sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan legislasi dengan persetujuan
Presiden. Selain itu DPR melalui pasal 20 ayat 1 memiliki fungsi anggaran dan
pengawasan. Amandemen ini berimplikasi pelemahan kekuasaan Presiden dalam
Undang-Undang. Perubahan terkait Kekuasaan Presiden dan DPR bisa dilihat dalam
tabel berikut:

16
Ismail Suny. 1985. Pembagian Kekuasaan Negara. Aksara Baru. Hlm 44.
17
Solikhatun Septian Pradini. 2011. Analisis Yuridis Kekuasaan Presiden Dalam Membentuk Undang-
Undang Sebelum dan Sesudah Amandem UUD 1945. Jurnal Citizenship. Vol 1, No. 1. Hlm 2.
Sebelum Amandemen Sesudah Amandemen
Nama Lembaga
UUD 1945 UUD 1945
 Kekuasaan Presiden sangat  Posisi Presiden tidak
dominan. dominan.
 Presiden memiliki kekuasaan  Membatasi beberapa
yang besar dalam membentuk kekuasaan presiden.
Presiden
undangundang.  Kekuasaan membuat
 Menetapkan peraturan undang-undang
pemerintah untuk menjalankan sepenuhnya,diserahkan
undang-undang. kepada DPR
 Memberikan persetujuan atas  Posisi dan
RUU yang diusulkan Presiden. kewenangannya
 Memberikan persetujuan atas diperkuat.
Perpu.  Mempunyai kekuasaan
 Memberikan persetujuan atas membentuk undang-
Anggaran undang,sementara
pemerintah berhak
mengajukanmrancanga
n undang-undang.
 Proses dan mekanisme
DPR
membentuk
UndangUndang antara
DPR dan Pemerintah.
 Mempertegas fungsi
DPR, yaitu fungsi
legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi
pengawasan sebagai
mekanisme kontrol
antar lembaga negara.
Tabel 1 Kekuasaan Presiden dan DPR dalam membentuk UU

Selain perubahan mekanisme relasi antara eksekutif dan legislatif dalam hal
membentuk Undang-Undang berubah akibat Amandemen UUD 1945. Disisilain juga
melahirkan wujud demokrasi kedaulatan rakyat, sebab untuk pertama kalinya tahun
2004 Indonesia melakukan pemilihan langsung Presiden, DPR dan DPD. Mekanisme
pemilu ini tentu saja memberikan pengaruh besar bagaimana relasi yang terjadi di
antara Pemerintah dan DPR. Sebab sebelum amandemen atau pada masa Orba
legislatif diisi oleh ABRI dan dominasi partai pemerintah pada saat itu. Namun
melalui Pemilu Presiden dan DPR dipilih langsung oleh rakyat sehingga kedua
lembaga ini tidak bisa menjatuhkan. Sebab kedaulatannya di tangan rakyat.
Walaupun parlemen bisa saja didominasi partai pemerintah dalam koalisi namun hal
ini lebih baik daripada masa sebelumnya.

Perubahan mendasar dalam tumbuh lembaga eksekutif dalam amandemen


UUD 1945 terkait dengan sisi historis kepemimpinan presiden sebelumnya yang
cenderung otoriter dan tidak demokratis. Hal ini diwujudkan dengan mekanisme
pembatasan terhadap kekuasaan Presiden baik dari segi fungsional dan segi waktu
periode. Kemudian adanya mekanisme perubahan sistem pengisian jabatan Presiden
dan tata cara pemberhentian Preseiden melalui proses hukum dengan melibatkan
DPR, MPR, dan MK. Selain itu amandemen juga mempertegas sistem pemerintahan
Republik Indonesia ke arah sistem Presidensiil. Agar tidak terjadi lagi pemberhentian
Presiden oleh MPR tanpa alasan melanggar hukum.

5. Hubungan Lembaga Eksekutif dengan Lembaga Yudikatif

Lembaga Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaanya sebagai


eksekutif dengan memiliki peranan yang besar di dalam mengatur kehidupan
kenegaraan. Berdasarkan UUD 1945, Presiden memiliki hak prerogratif yang dimana
hak-hak tersebut sebenarnya termasuk masalah kehakiman. Hak-hak mengenai
Presiden adalah hak terkait pemberian grasi, amnesti, abolisi, rdan rehabilitasi bagi
mereka yang mempunyai masalah pidana. Hal ini tentu menyangkut hubungannya
pada lembaga yudikatif. Adanya Kejaksaan Agung yang bertanggung jawab kepada
Presiden, membuat kedudukan Negara sebagai suatu organisasi dengan segala
perlengkapann yang dengan sendirinya juga berkedudukan sebagai badan hukum.

Kejaksaan adalah lembaga pemeritah yang bertanggung jawab kepada


Presiden Republik Indonesia. Erat kaitannya dengan Preisden, Jaksa Agung
menyampaikan pertimbangan mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati,
permohonan atau rencanapemberian amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Di lain hal,
Jaksa Agung adalah penuntut umum tertinggi Negara Republik Indonesia, diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden. dalam UU pokok Kekuasaan Kehakiman UU No. 9
ahun 1964 pasal 19 disebutkan bahwa “Demi kepentingan revolusi, kehormatan
Negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang mendesak, Presiden dapat turut
atau campur tangan soal pengadilan”.18

Hingga, pelaksanaan ketentuan Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada tanggal 23 Maret
2004 telah ditetapkan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengalihan
Organisasi, Administrasi, dan Finansial di Lingkungan Peradilan Umum dan
Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung. 19 Dengan
penetapan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 pada tanggal 23 Maret 2004
maka organisasi, administrasi, dan finansial di lingkungan peradilan umum dan
peradilan tata usaha negara di bawah kekuasaan Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia, dan peradilan agama di bawah kekuasaan Departemen Agama beralih
menjadi berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

Dengan demikian berdasarkan Keputusan Presiden tersebut telah dilakukan


pemisahan yang tegas antara fungsi kekuasaan eksekutif dan fungsi kekuasaan
yudikatif di lingkungan badan peradilan umum, peradilan tata usaha negara, dan
peradilan agama, kecuali di lingkungan badan peradilan militer yang belum
ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Keputusan Presiden tentang Pengalihan
Organisasi, Administrasi, dan Finansial di Lingkungan Peradilan Militer berdasarkan
Pasal 42 ayat (3) dan ayat (5) huruf b ditetapkan paling lambat enam puluh hari
sebelum tanggal 30 Juni 2004.20

Dengan telah dilakukan pemisahan yang tegas antara fungsi kekuasaan


eksekutif dan fungsi kekuasaan yudikatif di lingkungan peradilan umum, peradilan
tata usaha negara, peradilan agama, dan peradilan militer dari departemen-
18
Nyoman Dekker, 1997, Hukum Tata Negara Republik Indonesia: Suatu Pengantar, Malang: IKIP
Malang, Hlm. 113
19
Hadi Supriyanto, 2004, Pemisahan Fungsi Kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol. 1, page 9, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/vol1-1.pdf, accessed on
14th October 2018
20
Ibid, page 9
departemen yang bersangkutan berada satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah
Agung maka kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai pengawal utama supremasi
hukum dan sebagai benteng terakhir penegakan hukum, keadilan, dan demokrasi (the
Independence of Judiciary is core element of supremacy of law and democracy) yang
sangat didambakan, dapat terwujud.

Dalam hubungan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif data dilihat


dari hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Presiden. Bahwasanya telah dijelaskan
dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur keterkaitan dua lembaga
Negara tersebut. Presiden berhak mengajukan 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi dari 9
(Sembilan) orang Hakim Konsitusi, dan Presiden berwenang menetapkan 9
(Sembilan) orang Hakim Konstitusi tersebut (Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945).21 Dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, lembaga
Negara yang memiliki kewajiban untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan
dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 pasal 24C adalah Mahkamah Konstitusi.

6. Pemakzulan Presiden dan atau Wakil Presiden

a. Makna kata Pemakzulan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pemakzulan berasal dari kata
“Makzul” yang memiliki arti menurunkan dari takhta, menurunkan dari jabatan,
meletakkan jabatannya sebagai raja, berhenti sebagai raja. Kata makzul, dimakzulkan
dan pemakzulan khusus digunakan bagi Presiden dan Wakil Presiden, bukan terhadap
pejabat-pejabat publik lainnya. Prosedur daripadanya berkaitan belaka dengan
prosedur konstitusi, berbeda dengan pemberhentian pejabat publik pada umumnya.

b. Pemakzulan sebagai Keputusan Hukum

Dalam pasal 7A dijelaskan serta ditetapkan alasan-alasan pemakzulan Presiden


dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya, yaitu: ’...baik apabila terbukti telah

21
Fatkhurokhman, Dian Aminudin, Sirajudin, 2004, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, Hlm 69
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau tercela maupun apabila terbukti tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden.’

Alasan-alasan pemakzulan dimaksud berkonotasi hukum (rechtmatigheid),


bukan berpaut dengan kebijakan (doelmatigheid) atau beleid, memiliki konotatif
hukum. Suatu ‘beleid’ bukan doelmatigheid manakala merupakan bagian modus
operandi dari kejahatan. \Demikian pula halnya dengan perbuatan tercela. Perbuatan
tercela yang dimaksud pasal konstitusi itu harus dipahami pula dalam makna
perbuatan tercela menurut hukum, artinya perbuatan tercela tersebut berkaitan dengan
aturan-aturan hukum tertulis.

c. Pemakzulan di Indonesia

Pasca amandemen UUD 1945, telah diatur mengenai mekanisme pemberhentian


(pemakzulan) Presiden dan/atau Wakil Presiden ketika di tengah masa jabatan.
Setidaknya pengaturan mengenai pemakzulan ini sebagai agenda untuk
menyempurnakan UUD 1945 pra amandemen atas pemberhentian Presiden yang sarat
akan kepentingan politik. UUD 1945 pasca amandemen mengatur bahwa sebelum
Presiden dan/atau wakil Presiden diberhentikan, terlebih dahulu harus dibawa kepada
MK dalam upaya penegakan hukum dan purifikasi keputusan politik di DPR.
Selanjutnya, MPR memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Menurut UUD
1945 pasca amandemen, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan di
tengah masa jabatannya apabila telah terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden, melakukan pelanggaran hukum.

d. Mekanisme Pemakzulan Presiden

Amandemen UUD 1945 telah mengatur tentang mekanisme pemakzulan


Presiden dan/ atau Wakil Presiden yang melibatkan 3 lembaga negara yakni MPR,
DPR, dan MK. Langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. DPR melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/
atau Wakil Presiden dengan menggunakan hak angket, selanjutnya DPR
menggunakan hak menyatakan pendapat sebagai tindak lanjut atas
pelaksanaan hak angket. (DPR mengadakan sidang Paripurna yang wajib
dihadiri 2/3 dari anggota DPR dan suara sah yang terdiri dari minimal 2/3
anggota yang hadir siding)
2. Setelah penyelidikan, berkas penyelidikan dugaan pelanggaran konstitusi oleh
Presiden dan/ atau Wakil Presiden DPR menyerahkan kepada MK
3. Setelah berkas tersebut diterima, paling lama Sembilan puluh hari paling MK
wajib mememeriksa, mengadili dan memutuskan konstitusional Presiden dan/
atau Wakil Presiden atas dugaan pelanggaran oleh DPR
4. Setelah MK memutus Presiden dan/atau Wakil Presiden bersalah dengan
melanggar hukum dan konstitusi, maka DPR menyelenggarakan sidang
paripurna untuk meneruskan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
kepada MPR.
5. Apabila MK memutuskan terbukti, maka sebelum pemberhentian, Presiden
dan/atau Wakil Presiden mempunyai hak menyampaikan penjelasan di depan
sidang paripurna MPR.
6. MPR wajib menggelar sidang paripurna untuk memutus usul DPR untuk
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak MPR menerima usul DPR. Keputusan pemberhentian di
MPR dilakukan dengan cara voting oleh anggota MPR.
e. Keputusan MPR atas Pemakzulan Presiden dan/ atau Wakil Presiden

Keputusan MPR sehubungan dengan usul pemakzulan Presiden dan/atau Wakil


Presiden bukan putusan justisil (peradilan) tetapi keputusan politik (politieke
beslissing). Pemeriksaan dalam rapat paripurna MPR terhadap Presiden dan/atau
Wakil Presiden bukan persidangan justisil tetapi merupakan forum politik
ketatanegaraan. Oleh karena itu, keputusan MPR kelak bisa saja tidak memakzulkan
Presiden dan/atau Wakil Presiden walaupun sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah
memutuskan hal terbuktinya Pendapat DPR. Manakala rapat paripurna MPR
menerima baik penjelasan Presiden dan/atau Wakil Presiden, sebagaimana dimaksud
pada Pasal 7B ayat (7) UUD 1945, niscaya MPR tidak memakzulkan Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Bukan berarti keputusan politik menyampingkan putusan
justisil, tetapi hal pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan
kewenangan MPR, bukan kewenangan peradilan.

Daftar Pustaka

X
Abdul Latif, Pilpres Dalam Perspektif Koalisi Multi Partai, Jurnal Konstitusi, Volume
6 Nomor 3, April 2009, h. 38
Umbu Rauta, Menggagas Pemilihan Presiden yang Demokratis dan Aspiratif, Jurnal
Konstitusi, Vol. 11, No. 3, September 2014, hal. 607.

1Rumah Pemilu. Gambaran Singkat Pemilihan Umum 2014. Diakses pada


http://www.rumahpemilu.org/in/read/4030/Gambaran-Singkat-Pemilihan-Umum-
2014-di-Indonesia

Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogjakarta,
1999, Hal. 256.

Janedjri M. Gaffar. 2009. Mempertegas SIstem Presidensial. DIakses dari


https://news.okezone.com/read/2009/07/14/274/238437/mempertegas-sistem-
presidensial, pada tanggal 11 Oktober 2018 pukul 13.07 WIB.

Ernawati Munir. 2005. Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Hubungan


Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD 1945. Depertemen Hukum dan HAM:
Badan Pembinaan Hukum Nasional. Hlm 2.

Siti Nuraini. 2006. Hubungan Eksekutif dan Legislatif di Era Otonomi Daerah. Jurnal
Madani Edisi I. Hlm 1

M. Arsyad Mawardi. 2008. Pengawasan Dan Keseimbangan Antara DPR Dan


Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Jurnal Hukum No. 1, Vol. 15. Hlm 62.

Ermansyah Djaya. 2008. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar


Grafika. Hlm 1.

Solikhatun Septia Pradini. 2011. Analisis Yuridis Kekuasaan Presiden Dalam


Membentuk Undang-Undang Sebelum dan Sesudah Amandemen UUD 1945. Jurnal
Citizenship, No. 1, Vol. 1. Hlm 5.

Saldi Isra. 2002. Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi: Mematikan Arah
Reformasi Konstitusi. Jurnal Demokrasi dan HAM: Reformasi Konstitusi. Vol 1, No.
4. Hlm 44.
Solikhatun Septian Pradini. 2011. Analisis Yuridis Kekuasaan Presiden Dalam
Membentuk Undang-Undang Sebelum dan Sesudah Amandem UUD 1945. Jurnal
Citizenship. Vol 1, No. 1. Hlm 2.

Nyoman Dekker, 1997, Hukum Tata Negara Republik Indonesia: Suatu Pengantar,
Malang: IKIP Malang, Hlm. 113

Hadi Supriyanto, 2004, Pemisahan Fungsi Kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif, Jurnal
Legislasi Indonesia, Vol. 1, page 9,
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/vol1-1.pdf, accessed on 14th October
2018

Fatkhurokhman, Dian Aminudin, Sirajudin, 2004, Memahami Keberadaan


Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, Hlm 69

Arsinaldi A, “koalisi model parlementer dan dampaknya pada penguatan


kelembagaan sistem presidensial di indonesia” , Jurnal Ilmu Politik FISIP Universitas
Andalas, 2013
Undang-undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

Anda mungkin juga menyukai