Anggota Kelompok 1
Nur Muhammad Haris 165120600111005
Luna Prabowo 165120600111003
Dimas Seto 165120601111020
Kartika Ayu Shinta R 165120600111037
Nadya Oktavia 165120607111022
Rhun Ray Sitohang 165120607111033
Aisya Sabilla Rizqi Z. H 165120607111035
Pemilihan umum merupakan salah satu bagian dari proses sekaligus hasil dari
sebuah sistem demokrasi. Meski demokrasi secara substansial dengan nilai-nilai yang
menjunjung tinggi keterbukaan, kebebasan dan hak asasi baru sepenuhnya dijalakan
pasca runtuhnya kekuasaan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, Indonesia sendiri
sebenarnya telah mengenal Pemilihan Umum pertama sejak tahun 1955 hingga yang
terakhir pada 2014 lalu. Pemilihan Umum yang pertama dilaksanakan pada masa
Orde Baru ketika Presiden Soekarno menjabat dengan keikutsertaan empat partai
besar yakni PNI, NU, PKI dan Masjumi serta beberapa partai kecil lainnya seperti
Partai Katholik, Parkindo dan PSII.1
Salah satu hasil amandemen UUD NRI 1945 yaitu pergeseran model
pengisian jabatan presiden dan wakil presiden, yang sebelumnya dilakukan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat
(pilpres), sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (1) “ Presiden dan Wakil Presiden
dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat ”. Abdul Latif 2
mengemukakan sejumlah alasan diselenggarakannya pilpres (secara langsung) yaitu:
a. Presiden terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi sangat kuat karena didukung
oleh suara rakyat yang memberikan suaranya secara langsung;
b. Presiden terpilih tidak terkait pada konsesi partai-partai atau faksifaksi politik yang
telah memilihnya. Artinya presiden terpilih berada di atas segala kepentingan dan
dapat menjembatani berbagai kepentingan tersebut;
c. Sistem ini menjadi lebih “accountable” dibandingkan dengan sistem yang sekarang
digunakan (pada masa orde baru), karena rakyat tidak harus menitipkan suaranya
melalui MPR yang para anggotanya tidak seluruhnya terpilih melalui pemilihan
umum;
1
Farahdiba rahma Bachtiar, Pemilu Indonesia, Jurnal Politik Profetik, Volume 3, Nomor 1, Tahun
2014.
2
Abdul Latif, Pilpres Dalam Perspektif Koalisi Multi Partai, Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 3, April
2009, h. 38
d. Kriteria calon presiden juga dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan
memberikan suaranya.
Selanjutnya, dalam Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945 ditegaskan bahwa tata
cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam
undang-undang. UU a quo yaitu UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres)2 yang menjadi landasan penyelenggaraan
pilpres 2004. Saat pilpres 2009, UU No. 23 Tahun 2003 dicabut dan diganti dengan
UU No. 42 Tahun 2008.3 Selain UU No. 42 Tahun 2008, penyelenggaraan pilpres
2009 juga dasarkan pada UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum.4 Pada pilpres 2014 ini, masih menggunakan UU No. 42 Tahun 2008, meski
pada awal 2013 DPR mengagendakan perubahan, namun sebagian besar fraksi
menolak untuk dilakukan perubahan.
Penyelenggaraan pilpres 2004 dan 2009 harus diakui menjadi tonggak dan
lembaran baru kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Meskipun penyelenggaraan
bernegara saat itu masih dalam masa transisi menuju reformasi, namun telah ada
komitmen dan konsensus politik melalui perundang-undangan dan praktik yang
memungkinkan rakyat (pemilih) terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan
pemerintahan, dengan ikut serta menentukan penyelenggara negara yang duduk di
lembaga perwakilan (MPR, DPR, DPD dan DPRD) dan lembaga eksekutif (Presiden
dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah). Hal semacam ini
tidak kita jumpai dalam regulasi dan praktik pengisian jabatan presiden dan wakil
presiden sejak kemerdekaan sampai 2004. Meskipun telah ada pergeseran dalam
regulasi dan praktik pengisian jabatan presiden dan wakil presiden 2004 dan 2009,
namun masih ditemukan sejumlah problematika yang bersifat substantif dan teknis,
yang terjadi pada tahap persiapan, pelaksanaan dan pasca pemungutan suara. Sudi
Prayitno18 mengemukakan tiga masalah mendasar dari sisi yuridis terkait dengan
penyelenggaraan Pilpres 2009 yaitu: kelemahan peraturan perundangundangan
tentang Pilpres, kelemahan penyelenggara, dan partisipasi masyarakat yang rendah.
Kelemahan peraturan perundang-undangan
(baik UUD 1945, UU No. 22 Tahun 2007 dan UU No. 42 Tahun 2008) berkenaan
dengan tidak adanya peluang calon perseorangan, tugas kewenangan dan kewajiban
KPU serta Pengawas Pemilu, pengaturan tentang hak memilih, penyusunan daftar
pemilih, pemungutan suara dan pelanggaran pilpres. Kelemahan penyelenggara
berkenaan dengan sosialisasi pilpres yang minim, pemahaman yang lemah terhadap
peraturan perundang-undangan tentang Pilpres serta sikap yang tidak independen.
Kemudian, perihal partisipasi masyarakat yang rendah tampak dari adanya pemilih
yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 27,77 % atau sebesar 49. 212.158
pemilih.3
3
Umbu Rauta, Menggagas Pemilihan Presiden yang Demokratis dan Aspiratif, Jurnal Konstitusi, Vol.
11, No. 3, September 2014, hal. 607.
4
1Rumah Pemilu. Gambaran Singkat Pemilihan Umum 2014. Diakses pada
http://www.rumahpemilu.org/in/read/4030/Gambaran-Singkat-Pemilihan-Umum-2014-di-Indonesia
umum yang pesertanya lebih dari dua partai. Hal ini mengakibatkan di Indonesia
menganut sistem presidensial berjalan berdampingan dengan sistem multipartai.
Lemahnya koalisi yang dibangun diantara partai ini adalah akibat dari tidak
adanya dukungan penuh dari partai peserta koalisi dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Struktur koalisi yang dibuat jarang sekali ditopang oleh dasar
5
Undang-undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
kesamaan ideologi yang kuat. Akibatnya, ikatan yang terjadi di antara partai politik
peserta koalisi hanya berdasarkan pembagian kursi menteri di kabinet6.
Sejak pemilihan umum pada masa reformasi dilaksanakan tidak banyak partai
yang dapat memenuhi presidential threshold sesuai pasal 9 nomor 42 tahun 2008
tentang Pemilihan Umum dalam mengusulkan calon presiden. Hal ini dapat dilihat
dari pada masa pemilihan umum tahun 2009 dimana Partai Demokrat berhasil
memperoleh suara sebanyak 148 kursi atau 20,85 % di parlemen. Namun Partai
Demokrat tidak berani menacalonkan Susilo Bambang Yudoyono tanpa harus
berkoalisi dengan partai lain. Hal ini merupakan pilihan paling rasioanl yang diambil
oleh Partai Demokrat demi mengamankan kekuasaanya diparlemen. Hal tersebut
dilakuakan untuk mengamankan kebijakan yang akan diambil oleh pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono di parlemen. Kompromi yang diambil untuk
memperoleh dukungan dari partai politik adalah menempatkan elite-elite dari partai
koalisi untuk duduk menjadi menteri dipemerintahanya.
6
Arsinaldi A, “koalisi model parlementer dan dampaknya pada penguatan kelembagaan sistem
presidensial
3. Pembentukan Pemerintahan
Eksekutif berasal dari kata eksekusi (execution) artinya pelaksana. Lembaga
eksekutif adalah lembaga bertugas melaksanakan peraturan perundang-undangan
yang telah dibuat oleh pihak legislatif. Eksekutif dalam arti sempit yaitu lembaga
yang bertugas melaksanakan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan untuk mencapai tujuan negara. Berdasarkan teori Trias Politica yang
dicetuskan oleh Montesquieu, tugas badan eksekutif hanya melaksanakan kebijakan-
kebijakan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif serta menyelenggarakan
undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Terdiri dari presiden, wakil
presiden, kabinet atau dewan menteri dimana masing-masing menteri memimpin
departemen dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya.
a. Kabinet
7
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogjakarta, 1999, Hal. 256.
secara politik berjasa kepada Presiden, karena telah memberikan dukungan kuat
ketika pencalonan Presiden. Dalam hal pembentukan, pengubahan, dan pembubaran
kementerian negara itu setelah dilakukan amandemen UUD 1945 tidak menjadi
kewenangan penuh Presiden, semuanya itu harus didasarkan pada undang-undang
(Pasal 17 ayat (4) UUD 1945). Sehingga tidak terjadi lagi pembubaran suatu
kementerian negara secara sepihak oleh Presiden.
Gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya juga diberikan Presiden
kepada individu maupun kelompok yang diatur dengan undang-undang. Dalam
melakukan tugasnya, Presiden dapat membentuk suatu dewan pertimbangan untuk
memberikan nasehat dan pertimbangan kepadanya, dan ini diatur dengan undang-
undang.
c. Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan
Menteri Negara. Menteri Negara bertugas membantu presiden dalam merumuskan
kebijakan dan koordinasi terhadap kebijakan seputar bidang. Menteri Negara RI
terdiri atas 10 bidang strategis yang harus dipimpin seorang menteri negara. Ke-10
bidang tersebut adalah :
3. Menteri Departemen
Menteri Departemen, adalah para menteri yang diangkat presiden dan
mengatur bidang kerja spesifik. Menteri Departemen mengepalai satu departemen.
Di Indonesia kini dikenal ada 21 Departemen yang dipimpin seorang menteri.
Departemen-departemen tersebut adalah :
Sekretaris Negara
Dalam Negeri
Luar Negeri
Pertahanan
Hukum dan HAM
Keuangan
Energi dan Sumber Daya Mineral
Perindustrian
Perdagangan
Pertanian
Kehutanan
Perhubungan
Kelautan dan Perikanan
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Pekerjaan Umum
Kesehatan
Pendidikan Nasional
Sosial
Agama
Kebudayaan dan Pariwisata
Komunikasi dan Infomatika
Sekretaris Kabinet
Kejaksaan Agung
Tentara Nasional Republik Indonesia
Kepolisian Negara Republik Indonesia
a. Pra Reformasi
Dalam pembahasan bagaimana relasi lembaga eksekutif dan legislatif sebelum
reformasi ini. Hanya berfokus kepada era Orde Baru. Sebab pada saat rezim Orde
Lama menurut penulis pola relasi antara kedua lembaga negara ini masih dalam masa
pembentukan. Mengingat Indonesia pada waktu itu masih dalam tahap pra
kemerdekaan. Sehingga penulis hanya menbahas pola relasi yang terjadi pada waktu
era Orba. Sebab pada era ini sistem ketatanegaraan Indonesia sudah terlihat jelas
bagaimana arah pemerintahannya.
13
Solikhatun Septia Pradini. 2011. Analisis Yuridis Kekuasaan Presiden Dalam Membentuk Undang-
Undang Sebelum dan Sesudah Amandemen UUD 1945. Jurnal Citizenship, No. 1, Vol. 1. Hlm 5.
Bagan 1 Struktur Lembaga Kenegaraan Sebelum Amanden UUD 1945
Pola relasi yang terjadi pada era Orba antara eksekutif dan legislatif menurut
beberapa bacaan yang penulis baca legislatif dalam hal ini tersubordinasi oleh
eksekutif. Disebut juga dengan executive heavy, kondisi dimana eksekutif memiliki
dominasi terhadap lembaga negara lain. Walaupun dalam Tap MPR No.
III/MPR/1978 kedudukan kedua lembaga ini sudah diatur dinyatakan bahwasannya
Presiden dan DPR memiliki kedudukan yang sama sembagai lembaga tinggi negara.
Namun dalam pelaksanaanya kekuasaan eksekutif lebih mendominasi di dalam semua
aspek pemerintahan di Indonesia.
Maka bila ditelaah lebih dalam Presiden pada waktu itu seharusnya telah
melanggar Tap MPR tersebut. Tapi dasar eksekutif memiliki dominasi tidak bisa
disalahkan sebab UU tertinggi yaitu UUD 1945 menyatakan hal itu secara eksplisit.
Terdapat dalam Penjelasan Umum UUD 1945 sebelum amandemen, pada bagian
Sistem Pemerintahan Negara Kunci Poko IV menyatakan bahwa Presiden memegang
kekuasaan pemerintahan tertinggi dibawah Majelis. Sehingga dominasi eksekutif
pada masa itu telah dilegitimasi secara tidak langsung oleh konstitusi. Hal ini
didukung kuat dengan beberapa pasal yang terdapat dalam UUD 1945 sebelum
amandemen, antara lain: Presiden memiliki kekuasaan membentuk undang-undang
(pasal 5 ayat 1); Presiden memiliki kekuasaan membuat berbagai macam perjanjian
internasional dan mengangkat serta menerima duta dari negara lain (pasal 11 dan
pasal 13); Terkait dengan kekuasaan bidang justisial presiden memilik kekuasaan
untuk memberikan grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi (pasal 14). Selain itu pak
Harto melakukan monopoli penafsiran terkait dengan pasal 7 terkait dengan masa
jabatan dan pemilihan kembali. Dampaknya adalah Presiden bisa dipilih kembali
tanpa ada batasannya.
Terkait dengan legislatif yaitu MPR, Presiden melalui pasal 1 ayat 4 huruf c
Undang-Undang No. 16 Tahun 1969 junto Undang-Undang No.2 Tahun 1985
memiliki kewenangan untuk menentukan keanggotaan MPR. Pada waktu itu
dikaitkan dengan Dwi Fungsi ABRI, dimana ABRI memiliki hak politik dan bisa
menduduki kursi MPR. Mengingat Presiden Soeharto adalah jebolan ABRI sehingga
jatah ABRI ini diisi oleh teman-teman sejawatnya. Disisi lain yang memperkuat
kepemimpinan Presiden Soeharto, sebab MPR yang didominasi oleh Golkar dan diisi
oleh ABRI akan sejalan dengan kebijakan yang pak Harto pilih. Sehingga bisa
dikatakan legislatif pada waktu itu menjadi lembaga nomor 2 di negara setelah
eksekutif yang tentu saja agendanya sama dengan eksekutif. Dampaknya tidak ada
mekanisme pengawasan legislatif kepada eksekutif yang efisien.
Tetapi konstitusi atau UUD 1945 sebelum amandemen juga tidak sepatutnya
untuk disalahkan. Sebab para founding fathers Negara Kesatuan Republik Indonesia,
telah menyapaikan walaupun secara tidak langsung terkait dengan UUD 1945 adalah
konstitusi yang bersifat sementara. Disampaikan oleh Presiden Soekarno yang
menyebut UUD 1945 sebagai revolutie grond wet, keterlambatan itu terjadi selama
1945-1949 dan 1959-2002, sehingga membuat perjalanan ketatanegaraan Indonesia
terperangkat dalam kesementaraan UUD 1945.14 Seperti yang penulis bahas diawal,
bahkan sampai dengan ORBA Indonesia masih dalam kondisi ketatanegaraan yang
belum pasti. Sehingga hal ini menjadi dasar kenapa UUD 1945 tidak bisa disalahkan
sebab masih ada sifat sementara disitu. Tetapi bukannya untuk memperbaikinya
Eksekutif pada masa Orba menggunakan kekurangan, celah dan sifat multitafsir itu
untuk berkuasa secara terus menerus.
Tetapi ada suatu fakta yang jelas terkait dominasi kekuasaan yang terjadi pada
waktu itu bukan karena konstitusi saja. Sedikit kilas balik pada masa pemerintahan
Abdurrahman Wahid atau dikenal dengan Gus Dur. Perlu diketahui pada waktu Gus
Dur memimpin masih berlaku UUD 1945 yang belum diamanden, sebab masih dalam
proses pengerjaan. Tetapi pada waktu itu timbul pertanyaan kenap Gus Dus bisa
14
Saldi Isra. 2002. Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi: Mematikan Arah Reformasi Konstitusi.
Jurnal Demokrasi dan HAM: Reformasi Konstitusi. Vol 1, No. 4. Hlm 44.
dijatuhkan oleh legislatif. Sedangkan jika kita mengingat kepemimpinan sebelumnya
seharusnya Gus Dur memiliki dominasi kekuasaan sebagai eksekutif dengan
didukung oleh konstitusi. Sehingga bisa dikatakan konstitusi sebenarnya bukan yang
menyebabkan dominasi eksekutif. Namun hal ini perlu dikaji lebih dalam, namun ada
pendapat yang menyatakan penyebab MPR bisa menjatuhkan Gus Dur adalah
terjadinya pertentangan dan disisi lain Gus Dur tidak menguasai MPR.
Jadi, konstitusi sebelum amandemen bisa dikatakan tidak bersalah dalam
melahirkan dominasi eksekutif dalam ketatanegaraan. Melaikan ada celah-celah
multitafsir yang dipergunakan oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya.
Mengenai hubungannya dengan legislatif, pada masa Orba eksekutif cenderung
dominan dalam pemerintahan. Berdasarkan celah yang ada dalam UUD 1945
Presiden Soerharto menggunakannya untuk alat pelicin kekuasaannya. Dimana MPR
dan DPR merupakan lembaga yang bisa dikatakan tersebuordinasi terhadap
pemerintah. Tetapi kita juga tidak bisa munafik untuk mengatakan pemerintahan pada
masa Orba atau kepemimpinan Presiden Soeharto gagal total. Sebab dengan dominasi
Presiden atau pemerintah pusat, sebagai negara unitari atau kesatuan Indonesia
berkembang pesat salah satunya dalam pembangunan. Tetapi implikasi dari hal
tersebut, masa kepemimpinan Presiden Soerharto dikenal dengan tiga kata yang
menjadi tanda buruknya pengelolaan negara yaitu korupsi, kolusi dan nepotisme atau
KKN.15 Selain itu masih banyak lagi permasalahan yang menyebabkan rakyat
meminta Reformasi pada masa Presiden Soerharto.
b. Pasca Reformasi
Reformasi yang ditandai dengan amandemen Undang-Undang Dasar 1945
telah merubah arah ketatanegaraan kita. Salah satu tujuan reformasi adalah
menghapus dominasi eksekutif dalam presiden. Khususnya terkait dengan
kewenangan presiden dalam membentuk Undang-Undang, sehingga bisa dikatakan
UUD 1945 tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan dalam teori Mostesqieu
15
Briliant Awal. 2018. Dua Kata yang Terabaikan Setelah Dua Dekade Reformasi. Diakses dari
http://www.galamedianews.com/ragam/188425/dua-kata-yang-terabaikan-setelah-dua-dekade-
reformasi.html, pada tanggal 15 Oktober 2018 pukul 16.49 WIB.
16
yaitu Trias Polica. Padahal seperti yang disebutkan pada pembahasan sebelumnya
melalui TAP MPR bahwa antara Presiden dan DPR berkedudukan sama.
Bagan 2 Struktur Lembaga Negara Pasca Amanden UUD 1945
mempengaruhi pola relasi antara lembaga-lembaga negara yang ada. Terkait dengan
penitik beratan dalam pembuatan Undang-Undang kepada Presiden dalam
Amandemen pertama UUD 1945 pada pasal 5 ayat 1. Menyatakan Presiden berhak
mengajukan RUU kepada DPR, sehinggan Presiden hanyalah memiliki hak yang
dapat digunakan ataupun tidak.17 Hal ini tentu saja merubah total kewenangan
presiden yang sebelum amandemen memiliki kewenangan untuk membentuk UU dan
DPR hanya memiliki hak menyetujui saja. Perlu diingat bahwa kursi legislatif pada
waktu itu didominasi oleh partai pemerintahan. Sehingga dengan hal itu UU yang
diajukan oleh Presiden akan disetujui.
Selain itu, amandemen juga mengahasilkan pasal 20 yang menguatkan posisi
DPR sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan legislasi dengan persetujuan
Presiden. Selain itu DPR melalui pasal 20 ayat 1 memiliki fungsi anggaran dan
pengawasan. Amandemen ini berimplikasi pelemahan kekuasaan Presiden dalam
Undang-Undang. Perubahan terkait Kekuasaan Presiden dan DPR bisa dilihat dalam
tabel berikut:
16
Ismail Suny. 1985. Pembagian Kekuasaan Negara. Aksara Baru. Hlm 44.
17
Solikhatun Septian Pradini. 2011. Analisis Yuridis Kekuasaan Presiden Dalam Membentuk Undang-
Undang Sebelum dan Sesudah Amandem UUD 1945. Jurnal Citizenship. Vol 1, No. 1. Hlm 2.
Sebelum Amandemen Sesudah Amandemen
Nama Lembaga
UUD 1945 UUD 1945
Kekuasaan Presiden sangat Posisi Presiden tidak
dominan. dominan.
Presiden memiliki kekuasaan Membatasi beberapa
yang besar dalam membentuk kekuasaan presiden.
Presiden
undangundang. Kekuasaan membuat
Menetapkan peraturan undang-undang
pemerintah untuk menjalankan sepenuhnya,diserahkan
undang-undang. kepada DPR
Memberikan persetujuan atas Posisi dan
RUU yang diusulkan Presiden. kewenangannya
Memberikan persetujuan atas diperkuat.
Perpu. Mempunyai kekuasaan
Memberikan persetujuan atas membentuk undang-
Anggaran undang,sementara
pemerintah berhak
mengajukanmrancanga
n undang-undang.
Proses dan mekanisme
DPR
membentuk
UndangUndang antara
DPR dan Pemerintah.
Mempertegas fungsi
DPR, yaitu fungsi
legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi
pengawasan sebagai
mekanisme kontrol
antar lembaga negara.
Tabel 1 Kekuasaan Presiden dan DPR dalam membentuk UU
Selain perubahan mekanisme relasi antara eksekutif dan legislatif dalam hal
membentuk Undang-Undang berubah akibat Amandemen UUD 1945. Disisilain juga
melahirkan wujud demokrasi kedaulatan rakyat, sebab untuk pertama kalinya tahun
2004 Indonesia melakukan pemilihan langsung Presiden, DPR dan DPD. Mekanisme
pemilu ini tentu saja memberikan pengaruh besar bagaimana relasi yang terjadi di
antara Pemerintah dan DPR. Sebab sebelum amandemen atau pada masa Orba
legislatif diisi oleh ABRI dan dominasi partai pemerintah pada saat itu. Namun
melalui Pemilu Presiden dan DPR dipilih langsung oleh rakyat sehingga kedua
lembaga ini tidak bisa menjatuhkan. Sebab kedaulatannya di tangan rakyat.
Walaupun parlemen bisa saja didominasi partai pemerintah dalam koalisi namun hal
ini lebih baik daripada masa sebelumnya.
Hingga, pelaksanaan ketentuan Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada tanggal 23 Maret
2004 telah ditetapkan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengalihan
Organisasi, Administrasi, dan Finansial di Lingkungan Peradilan Umum dan
Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung. 19 Dengan
penetapan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 pada tanggal 23 Maret 2004
maka organisasi, administrasi, dan finansial di lingkungan peradilan umum dan
peradilan tata usaha negara di bawah kekuasaan Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia, dan peradilan agama di bawah kekuasaan Departemen Agama beralih
menjadi berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pemakzulan berasal dari kata
“Makzul” yang memiliki arti menurunkan dari takhta, menurunkan dari jabatan,
meletakkan jabatannya sebagai raja, berhenti sebagai raja. Kata makzul, dimakzulkan
dan pemakzulan khusus digunakan bagi Presiden dan Wakil Presiden, bukan terhadap
pejabat-pejabat publik lainnya. Prosedur daripadanya berkaitan belaka dengan
prosedur konstitusi, berbeda dengan pemberhentian pejabat publik pada umumnya.
21
Fatkhurokhman, Dian Aminudin, Sirajudin, 2004, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, Hlm 69
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau tercela maupun apabila terbukti tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden.’
c. Pemakzulan di Indonesia
Daftar Pustaka
X
Abdul Latif, Pilpres Dalam Perspektif Koalisi Multi Partai, Jurnal Konstitusi, Volume
6 Nomor 3, April 2009, h. 38
Umbu Rauta, Menggagas Pemilihan Presiden yang Demokratis dan Aspiratif, Jurnal
Konstitusi, Vol. 11, No. 3, September 2014, hal. 607.
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogjakarta,
1999, Hal. 256.
Siti Nuraini. 2006. Hubungan Eksekutif dan Legislatif di Era Otonomi Daerah. Jurnal
Madani Edisi I. Hlm 1
Saldi Isra. 2002. Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi: Mematikan Arah
Reformasi Konstitusi. Jurnal Demokrasi dan HAM: Reformasi Konstitusi. Vol 1, No.
4. Hlm 44.
Solikhatun Septian Pradini. 2011. Analisis Yuridis Kekuasaan Presiden Dalam
Membentuk Undang-Undang Sebelum dan Sesudah Amandem UUD 1945. Jurnal
Citizenship. Vol 1, No. 1. Hlm 2.
Nyoman Dekker, 1997, Hukum Tata Negara Republik Indonesia: Suatu Pengantar,
Malang: IKIP Malang, Hlm. 113
Hadi Supriyanto, 2004, Pemisahan Fungsi Kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif, Jurnal
Legislasi Indonesia, Vol. 1, page 9,
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/vol1-1.pdf, accessed on 14th October
2018