Anda di halaman 1dari 16

Amwaluna: Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah Vol.2, No.

2 Juli 2018, hlm 222-237


Online ISSN : 2540-8402 | Print ISSN : 2540-8399

KONSEP WA’AD DAN IMPLEMENTASINYA DALAM FATWA DEWAN SYARIAH


NASIONAL-MAJELIS ULAMA INDONESIA

Panji Adam Agus Putra


Fakultas Syariah Universitas Islam Bandung Jln. Ranggagading No 8 Bandung
panjiadam06@gmail.com

Abstrak
Konteks fikih muamalah, terdapat dua terminologi yang berkaitan dengan hukum perikatan, yaitu
akad dan wa‟ad. Ulama sepakat terbentuknya transkasi apabila terpenuhinya rukun dan syarat akad.
Akan tetapi, ulama berbeda pendapat mengenai hukum wa‟ad dan muwâ‟adah. Perbedaan tersebut
dilatarbelakang mengenai hukum janji itu mengikat atau tidak mengikat dalam sebuah transkasi.
Dalam tataran implementasinya, terdapat beberapa fatwa DSN-MUI yang mengyinggung mengenai
konsep wa‟ad (janji). Hasil kesimpulan menunjukan bahwa; pertama, wa‟ad adalah “Pernyataan dari
pihak/ seseorang (subyek hukum) untuk berbuat/tidak berbuat sesuatu; serta perbuatan tersebut
dilakukan di masa yang akan datang (istiqbâl)”. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum
menunaikan wa‟ad (janji); kedua, dalam konteks fatwa DSN-MUI, terdapat sejumlah fatwa yang
berkaitan dengan implementasi konsep wa‟ad, yaitu (1) Fatwa DSN-MUI Nomor: 4/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Murâbahah; (2) fatwa DSN-MUI Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang
IMBT; (3) fatwa DSN-MUI Nomor: 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang MMQ; (4) fatwa DSN-MUI
Nomor; 55/DSN-MUI/V/2007 tentang PRKS; (5) fatwa DSN-MUI Nomor 28/DSN-MUI/III/2002
tentang Jual Bli Mata Uang (Al-Sharf).

Kata Kunci: Wa’ad, Janji, Fatwa DSN-MUI

Abstract
in the context of jurisprudence muamalah, there are two terminology related to the law of
engagement, namely akad and wa'ad (promise). The cleric agrees that the formation of transactions if
the compensation of the agreement of the contract, namely harmonious and legal conditions of a
contract. However, scholars differ on the law of wa'ad (promise) and muwâ'adah (mutual promise).
The differences are background on the law of promise that is binding or non-binding in a transcation.
In its implementation level, there are some DSN-MUI fatwas that pertain to the concept of wa'ad
(promise). The conclusions show that; first, wa'ad is "Statement of the party / person (legal subject) to
do / do nothing; and the deed is done in the future (istiqbâl) ". The scholars differ on the law of
fulfilling wa'ad (the promise); second, in the context of the DSN-MUI fatwa, there are a number of
fatwas related to the implementation of the concept of wa'ad, namely (1) Fatwa DSN-MUI Number: 4
/ DSN-MUI / IV / 2000 on Murâbahah; (2) the DSN-MUI fatwa Number: 27 / DSN-MUI / III / 2002
on IMBT; (3) the DSN-MUI fatwa Number: 73 / DSN-MUI / XI / 2008 concerning MMQ; (4) fatwa of
DSN-MUI Number; 55 / DSN-MUI / V / 2007 concerning PRKS; (5) fatwa of DSN-MUI Number 28 /
DSN-MUI / III / 2002 concerning Sale of Currency Currency (Al-Sharf).

Keywords: Wa'ad, Promise, Fatwa DSN-MUI

I. PENDAHULUAN dengan menyandarkan pada dalil-dalil


A. Latar Belakang Masalah syari‟at (al-rujû‟ ilâ al-Qur‟ân wa al-
Akad memiliki peranan yang sunnah) untuk menentukan keabsahannya.
penting dalam bertransaksi. Para fuqaha‟ Tujuan akad adalah agar nilai-nilai syariat
ketika memperkenalkan konsep akad tentu yang ada di balik akad itu, yaitu berupa

222
Received: 2018- 06-05| Reviced: 2018-07-16| Accepted: 2018-07-31
Indexed : DOAJ, Garuda, Crossref, Google Scholar | DOI: : https://doi.org/10.29313/amwaluna.v2i2.3800
Panji Adam Agus Putra : Konsep Wa’ad dan Implementasinya Dalam Fatwa DSN..

kepastian bentuk transaksi dapat dicapai berdasarkan syara‟ yang menimbulkan


sehingga terhindar dari praktik transaksi akibat (hukum) terhadap obyeknya).
yang manipulatif. Dengan demikian, ketika terpenuhinya
Pada mulanya, akad hanya komponen dari sebuah akad (rukun dan
digunakan untuk transaksi antara syarat) maka akad itu memiliki implikasi,
perseorangan. Namun dalam yaitu munculnya hak dan kewajiban para
perkembangan, konsep akad banyak pihak.
digunakan untuk mengembangkan Dalam perkembangannya, selain
berbagai produk keuangan/bisnis syari‟ah akad terdapat topik khusus yang hampir
yang melibatkan institusi lembaga dan serupa dengan akad, yakni wa‟ad atau
perusahaan. DSN-MUI (Dewan Syari‟ah janji. Dalam konteks fikih muamalah, akad
Nasional-Majelis Ulama Indonesia) dan wa‟ad hal yang berbeda meskipun
sebagai lembaga fatwa Islam di bidang keduanya hampir sama yang merupakan
ekonomi hingga pertengahan 2017 telah bentuk perjanjian. Akad merupakan suatu
mengeluarkan 116 fatwa terkait kesepakatan bersama antara kedua belah
keuangan/bisnis syari‟ah. Bahkan, dari pihak atau lebih baik secara lisan, isyarat,
fatwa-fatwa DSN-MUI tersebut, tidak maupun tulisan yang memiliki implikasi
sedikit yang mengadopsi konsep akad hukum yang mengikat untuk
untuk dijadikan sebagai landasan transaksi melaksanakannya. Sedangkan wa‟ad
(underlying transaction) sehingga adalah janji antara satu pihak kepada pihak
keabsahannya terlegitimasi. lainnya, pihak yang diberi janji tidak
Untuk melakukan transaksi bisnis, memikul kewajiban apa-apa terhadap
selalu diperluan akad sebagai dasar pihak lainnya. Hal ini memberikan isyarat
perikatan (underlying contract). Akad bahwa, wa‟ad memiliki perbadaan dari
berasal dari kata al-‟uqûd merupakan segi implikasi hukum semenjak
bentuk jamak dari al-„aqd yang secara tercapainya kesepakatan, yakni dalam akad
bahasa berarti ikatan (Wahbah al-Zuhaili, menimbulkan hak dan kewajiban, akan
2012, Juz. 4, 80). Kata akad memiliki akar tetapi dalam wa‟ad tidak menimbulkan
di dalam QS. al-Mâ`idah 5:1. Dari segi hak dan kewajiban.
istilah, al-„aqd memiliki banyak makna di Dalam tataran implementasinya,
antaranya adalah irtibâth îjâb bi qabûl „alâ konsep mengenai wa‟ad ini banyak
wajh masyrû‟ yatsbutu atsaruhu fî dipraktikan di Lembaga Keuangan
mahallihi (perikatan ijâb qabûl Syariah, hal ini berpedoman terhadap

223
EISSN : 2540-8402 | ISSN : 2540-8399
Amwaluna; Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah Vol 2 No. 2 Juli 2018, Hal 222-237

fatwa Dewan Syariah Nasional. Fatwa- berlaku, jadi penelitian ini dipahami
fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI sebagai penelitian kepustakaan, yaitu
berkaitan dengan produk baik produk bank penelitian terhadap bahan sekunder
maupun bukan bank, banyak menyingkung (Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 1985,
mengenai wa‟ad. Oleh karena itu, diperlu 15).
dilakukan penelitian meneganai fatwa- Alasan penelitian ini menggunakan
fatwa DSN-MUI mana saja yang di pendekatan yuridis normatif adalah karena
dalamnya terdapat mengenai konsep wa‟ad penelitian ini menggunakan data sekunder
dan segaligus menjadi pedoman dalam yang bertujuan untuk menganalisis data
praktik di Lembaga Keuangan Syariah. sekunder berupa perundang-undangan
B. Rumusan Masalah yang sesuai dengan fokus penelitian ini.
Berdasarkan uraian pada latar 2. Sifat Penelitian
belakang di atas, maka permasalahan Sifat penelitian ini adalah penelitian
tersebut dirinci menjadi dua permasalahan deskriptif analitis, yaitu penelitian untuk
sebagai berikut: menggambarkan masalah yang ada pada
1. Bagaimana konsep tentang masa sekarang (masalah yang aktual),
wa‟ad dalam konteks fikih dan dengan mengumpulkan data, menyusun,
Fatwa Dewan Syariah mengklasifikasikan, menganalisis, dan
Nasional-Majelis Ulama menginterpretasikan. Deskriptif bertujuan
Indonesia ? memaparkan data hasil pengamatan tanpa
2. Bagaimana implementasi pengujian hipotesis-hipotesis (Rianto Adi,
wa‟ad dalam Fatwa Dewan 2004:130).
Syariah Nasional-Majelis
Ulama Indonesia? 3. Jenis Data
C. Metode Penelitian Oleh karena penelitian ini
1. Pendekatan Penelitian tergolong penelitian yuridis normatif,
Penelitian ini menggunakan maka data yang diperlukan adalah data
pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan sekunder. Adapun data primer dalam
mengkaji atau menganalisis data sekunder penelitian ini berupa wawancara hanya
yang berupa bahan-bahan hukum sekunder sebagai penguat dan tambahan saja. Data
dengan memahami hukum sebagai sekunder yang diperlukan adalah bahan
perangkat peraturan atau norma positif di hukum primer yang bersumber dari
dalam perundang – undangan yang sumber primer, yaitu literatur-literatur

224
EISSN : 2540-8402 | ISSN : 2540-8399
Panji Adam Agus Putra : Konsep Wa’ad dan Implementasinya Dalam Fatwa DSN..

berupa kitab-kitab fikih dan Fatwa Dewan kerangkan yang sistematis untuk
Syariah Nasional Majelis Ulama memudahkan analisisnya.
Indonesia. Selain bahan hukum primer 5. Teknis Analisis Data
juga diperlukan bahan hukum sekunder Teknis analisis data yang
yang bersumber dari data sekunder, yaitu digunakan dalam penelitian ini adalah
buku-buku atau kitab-kitab (fikih, hadis, metode kualitatif normatif. Analisis
syarah hadis dan tafsir) dan tulisan-tulisan terhadap data sekunder yang bersifat
hukum lainnya yang relevan dengan kualitatif tersebut dilakukan dengan cara
rumusan masalah. Diperlukan juga bahan berlandaskan pada teori hukum ataupun
hukum tersier, seperti kamus dan doktrin hukum yang terdapat pada
ensiklopedia baik hukum maupun umum kerangka pikir, kemudian diterapkan
yang berbahasa Arab, Inggris dan secara deduktif terhadap identifikasi
Indonesia. masalah dari penelitian ini, yang
4. Teknik Pengumpulan Data selanjutnya akan ditarik suatu kesimpulan
Berdasarkan jenis data yang akan yang bisa menjawab permasalahan-
dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu permasalahan yang menjadi masalah
data sekunder yang bersifat kualitatif, dalam penulisan ini.
maka teknik pengumpulan data yang akan
ditempuh adalah dengan cara studi II. PEMBAHASAN
kepustakaan. A. Konsep tentang Wa’ad dalam
Untuk memperoleh data yang konteks Fikih dan Fatwa
diperlukan dalam penelitian ini digunakan Dewan Syariah Nasional-
alat dan cara sebagai berikut: Majelis Ulama Indonesia
a. Studi Kepustakaan (DSN-MUI)
Dalam hal mempelajari bahan- 1. Definisi Wa’ad
bahan yang merupakan data Secara etimologis wa‟ad memiliki
sekunder, pertama mempelajari arti di antaranya adalah hadda yang berarti
peratiran perundang-undangan ancaman (al-wa„id), dan takhawwafa
yang menjadi objek penelitian, (menakut-nakuti). Dari segi cakupannya,
dipilih dan dihimpun kemudian al-wa„d mencakup perbuatan baik dan
dari bahan-bahan itu dipilih asas buruk meskipunn pada umumnya janji
dan kaidah hukum mengenai digunakan untuk melakukan perbuatan
sertifikasi halal. Setelah itu dipilih baik. Dalam literatur fikih, digunakan dua

225
EISSN : 2540-8402 | ISSN : 2540-8399
Amwaluna; Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah Vol 2 No. 2 Juli 2018, Hal 222-237

kata yang sebenarnya satu akar, yaitu al- yang mengatakan bahwa janji
wa„d dan al- ‟idah. Adapun secara merupakan kewajiban agama
terminologis wa‟ad adalah: (mulzimun diniyah) dan bukan

‫ إِ ْخبَ ٌار َع ْن إِنْ َش ِاء‬:‫ص ِطالَ ِح‬ ِ


ْ ‫َوالْ َو ْع ُد ِِف اال‬
kewajiban hukum formal (ghair
mulzim qadhaan) karena wa‟ad
‫الْ ُم ْخِ ِِب َم ْع ُروفًا ِِف الْ ُم ْستَ ْقبَل‬
merupakan akad tabarru‟
“Pernyataan dari pihak/ seseorang (subyek
hukum) untuk berbuat/tidak berbuat (kebijakan/kedermawanan) dan
sesuatu; serta perbuatan tersebut dilakukan
akad tabarru‟ tidaklah lazimah
di masa yang akan datang (istiqbâl)”.
(Anonimous, 1427, Juz, XXX, 199). (mengikat).
b. Pendapat sebagian ulama,
Pengertian lain adalah “keinginan
diantaranya adalah Ibn Syubrumah
yang dikemukakan oleh seseorang untuk
(144 H) Ishaq bin Rawahiyah (237
melakukan sesuatu, baik perbuatan
H), Hasan Basri (110 H) dan
maupun ucapan, dalam rangka memberi
sebagian pendapat Malikiyah, yang
keuntungan bagi pihak lain”. Janji ini
menyatakan bahwa “Janji itu wajib
hanya bersifat penyampaian suatu
dipenuhi dan mengikat secara
keinginan (ikhbar) dan tidak mengikat
hukum”. Hal ini didasarkan kepada
secara hukum, namun hanya mengikat
firman Allah Swt “Hai orang-
secara moral. Orang yang memberikan
orang yang beriman janganlah
janji (wa‟ad), apabila menjalankan janji
kamu mengatakan sesuatu yang
tersebut merupakan bentuk etika yang baik
tidak kamu lakukam. Amat besar
(akhlak karimah) karena didasarkan pada
kemurkaan di sisi Allah bagi orang
kontrak kebajikan (tabarru) sebagaimana
yang berkata akan tetapi tidak
hibah (Fathurrahman Djamil, 2012, 2).
dilaksanakan”. (Q. S Ash-Shaff: 1)
2. Hukum Wa’ad Menurut
dan hadis tentang tanda-tanda
Para Fukaha
orang munafik, “Tanda-tanda
Menurut Muhammad Ustman Syubair,
orang munafik ada tiga...).
dikalangan fukaha terdapat 4 (empat)
c. Pendapat sebagaian fukaha
pandangan mengenai janji (wa‟ad), yaitu
Malikiyah yang menyatakan bahwa
sebagai berikut (Muhammad Ustman
janji itu bersifat mengikat secara
Syubair, 2007, 265-266):
hukum apabila janji tersebut
a. Pendapat mayoritas fukaha dari
berkaitan dengan suatu sebab,
Hanafiyah, Syafi‟iyah, Hanabilah,
sekalipun sebab tersebut tidak
dan satu pendapat dari Malikiyah

226
EISSN : 2540-8402 | ISSN : 2540-8399
Panji Adam Agus Putra : Konsep Wa’ad dan Implementasinya Dalam Fatwa DSN..

menjadi bagian/disebutkan dari janji (wa‟ad) ini tidak hanya mengikat


pernyataan jani (mau‟ud) tersebut. secara moral akan tetapi mengikat pula
Misalnya ungkapan: Aku hendak secaran hukum (legally binding/mulzimun
menikah, aku mau membeli barang qadha‟an) (Fathurrahman Djamil, 2012:3).
ini, jika aku menyelesaikan Wa‟ad dapat dinilai mengikat
utangku maka aku akan secara hukum apabila dalam wa‟ad
meminjamkkan ini, atau aku mau tersebut dikaitkan dengan suatu sebab atau
jalan-jalan besok maka pinjamkan adanya pemenuhan suatu kewajiban, baik
binatangmu padaku, dan sebab itu disebutkan dalam pernyataan
seterusnya. wa‟ad atau tidak disebutkan. Pendapat
d. Pendapat Malikiyah, yang populer terakhir didasarkan pada Q.S as-Shafat 2-3
di antara mereka adalah pendapat dan hadis tentang tanda-tanda orang
Ibn Qasim, yang menyatakan munafik, yang salah satunya apabila
bahwa janji itu bersifat mengikat berjanji dia mengingkari janjinya. Pada
untuk dipenuhi apabila berkaitan hadis tersebut kata berjanji/janji
dengan sebab dan sebab tersebut merupakan terjemahan dari wa‟ad.
ditegaskan dalam pernyataan janji Pendapat pertama dipegang oleh mazhab
(mau‟ud fîh) tersebut. Misalnya, Hanafi, Syafi‟i dan Hanbali, sedangkan
jika seseorang membeli seorang yang kedua dipegang oleh mazhab Maliki
budak untuk permintaan seseorang (Fathrrahman Djamil, 2012: 3).
dengan seribu dirham, dia berkata Pendapat Maliki di atas, yang
kepada si Fulan “saya beli Anda berpendapat wa‟ad dapat mengikat secara
dengan seribu dirham”, maka hukum, tampaknya menjadi argumen yang
terbelilah budak tersebut. Keadaan dijadikan dasar dan disepakati oleh para
seperti ini mengikat bagi si Fulan. ulama yang berbeda dalam Perkumpulan
Menurut Fathurrahman Djamil, Ulama Fikih (Majma al-Fiqh al-
berdasarkan penjelasan di atas, mayoritas Islami/The Council of Islamic Fiqh
ulama berpendapat bahwa janji (wa‟ad) Academy) pada saat memberikan fatwa
hanya mengikat secara moral/agama berkaitan dengan masalah janji (wa‟ad)
(morally binding/mulzimun diniyah) dan dan Murabahah Pesanan Membeli
tidak mengikat secara hukum. Meskipun (Discharging of Promise and Murabahah
demikian, dari pandangan ahli hukum for the Orderer of Purchase), yang
Islam di atas, ada yang berpendapat bahwa diselenggarakan pada Mukhtamar kelima

227
EISSN : 2540-8402 | ISSN : 2540-8399
Amwaluna; Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah Vol 2 No. 2 Juli 2018, Hal 222-237

di Kuwait pada tanggal 1-6 Jumadil Ula 3. Hukum Muwâ’adah


atau bertepatan dengan tanggal 10-15 (Saling Berjanji)
Desember 1998 M, dengan ungkapan Dalam kajian fikih muamalah,
sebagai berikut (Fathurrahman Djamil, selain terdapat konsep wa‟ad (janji)
2012: 3-4): terdapat pula istilah muwâ‟adah (saling
“Menurut syariat, suatu janji berjanji). Saling berjanji dapat diartikan
(wa‟ad) atas dasar pesanan atau
satu pihak berjanji akan melakukan
perintah seseorang, bersifat
mengikat secara moral bagi yang sesuatu pada masa akan datang dan pihak
berjanji, kecuali ada alasan yang
yang menerima janji juga berjanji untuk
sah menurut syar‟i (udzur).
Meskipun demikian, janji (dapat) melakukan perbuatan hukum yang setara
emngikat secara hukum apabila
(Nazih Hammad, 2007: 87).
janji tersebut memuat pemenuhan
suatu kewajiban, dan yang Dari segi bentuknya, saling berjanji
menerima janji telah mengeluarkan
menyerupai akad, tetapi secara substansi,
pengeluaran biaya (expenses) atas
dasar janji tersebut. Sifat mengikat saling berjanji bukanlah akad. Pendapat
dari janji tersebut, maksudnya
ulama yang berkaitan dengan bolehnya
wajib dipenuhi atau keharusan
adanya kompensasi pembayaran muwâ‟adah (saling berjanji), di antaranya
atas kerusakan/kerugian yang
dismapaikan oleh Imam al-Syafi‟i sebagai
timbul dari janji tersebut”.
berikut:

‫ وإذا تواعد الرجالن الصرف فال بأس أن يشرتي الرجالن الفضة مث يقراهنا عند أحدمها حىت‬: )‫(قال الشافعي‬
.‫يتبايعاها ويصنعا هبا ما شاءا‬
“Apabila kedua belah pihak melakukan muwâ‟adah (saling berjanji) untuk transaksi
sharf maka kedua belah pihak boleh membeli perak, kemudia keduanya sepakat
bahwa perak tersebut menjadi milik salah satu pihak
sehingga bisa memperjualbelikan Selanjutnya Imam Ibn Hazm
perak tersebut sesuai
berkomentar mengenai muwâ‟adah (saling
kehendaknya”. (Imam al-Syafi‟i,
1990, Juz. III, 32). berjanji) di dalam kitab-nya al-Muhalla bi
al-Atsar sebagai berikut:

‫ وِف سائر األصناف األربعة بعضها‬،‫ وِف بيع الفضة بالفضة‬،‫ والتواعد ِف بيع الذهب بالذهب أو بالفضة‬:‫مسألة‬
.‫ أو مل يتبايعا؛ ألن التواعد ليس بيعا‬،‫ببعض جائز تبايعا بعد ذلك‬
“Permasalahan muwâ‟adah (saling berjanji) untuk transaksi jual beli emas dengan
emas, jual beli emas dengan perak, jual beli perak dengan perak, dan jual beli antara
keempat jenis barang-barang ribawi itu hukumnya adalah jâiz (boleh), baik terjadi
transaksi jual beli setelahnya atau tidak terjadi karena muwâ‟adah (saling berjanji)
bukan termasuk jual beli”. (Ibn Hazm al-Andalusi, t.th, Juz. VII, 465).

228
EISSN : 2540-8402 | ISSN : 2540-8399
Panji Adam Agus Putra : Konsep Wa’ad dan Implementasinya Dalam Fatwa DSN..

Lebih lanjut Imam al-„Adawi berjanji sebagai berikut):


berpendapat mengenai muwâ‟adah (saling
“Syeikh al-Adawi berpendapat, apabila kedua belah pihak bertransaksi setalah muwâ‟adah
(saling berjanji) maka hal tersebut dibolehkan”. (al-Khurasy al-Maliki, t.th, Juz. V, 38).
Dalam Keputusan Lembaga Fikih Internasional OKI No. 157 tentang
muwâ‟athah fî al-„uqûd dalam d. muwâ‟adah yang mengikat
dalam kondisi tersbut dalam
sidang ke-17 yang diselenggarakan pada
poin c itu tidak seperti hukum
24-28 Juni 2006 di Amman dijelaskan bai‟ al-mudhâf ilâ al-mustaqbal
(jual beli untuk masa yang akan
mengenai hukum muwâ‟adah (saling
datang), oleh karena itu, dalam
berjanji) sebagai berikut: muwâ‟adah, objek barang tidak
berubah menjadi milik pembeli.
a. Pada dasarnya, muwâ‟adah
Begitu pula harganya tidak
yang dilakukan oleh kedua
menjadi tanggungan pembeli,
belah pihak akad itu mengikat
dan transaksi jual beli tidak
menurut aspek agama dan tidak
terjadi kecuali dengan ijab dan
mengikat menurut aspek
kabul pada waktu akad yang
peradilan.
disepakati.
b. Jika muwâ‟adah yang
e. Jika salah satu pihak melanggar
dilakukan kedua belah pihak
janji pada kasus poin c di atas
akad itu bertujuan sebagai
maka hukum (peradilan) dapat
takhayul untuk melakukan
memaksanya untuk
praktik riba, seperti
menyempurnakan kontrak atau
kesepakatan bertransaksi „inah,
menanggung kerugian yang
muwâ‟adah untuk melakukan
dialami pihak lain dengan
transkasi bai‟ wa salaf, maka
sebab pelanggaran janjinya
transaksi itu dilarang menurut
tersebut (hal ini untuk menjaga
syariat Islam.
kesempatan yang
c. Dalam konsisi, dimana akad
hilang/opportunity cost). (Oni
jual bel tidak bisa dilaksanakan
Sahroni dan M. Hasanudin,
karena objek jual beli belum
2016, 12-13).
dimiliki oleh penjual. Dan di
sisi lain, ada kebutuhan masih
4. Perbedaan antara wa’ad
untuk mengikat pihak-pihak
akad agar melakukan akad pada (janji)/muwâ’adah dengan
masa yang akan datang sesuai
akad
peraturan perundang-undangan
atau ketentuan lainnya atau Dalam konteks fikih muamalah
sesuai tradisi perdagangan
membedakan antara wa‟ad dengan akad.
internasional, seperti
pembukaan L/C ekspor barang. Wa‟ad adalah janji (promise)antara satu
Maka dalam kondisi tersebut
pihak dengan pihak lainnya, sementara
dibolehkan melakukan
muwâ‟adah yang mengikat akad adalah kontrak antara dua belah
pihak-pihak akad, baik
pihak. Wa‟ad hanya mengikat satu pihak,
berdasarkan ketentuan
pemerintah atau kesepakatan yakni pihak yang memberi janji
pihak-pihak akad.
berkewajiban untuk memenuhi atau
229
EISSN : 2540-8402 | ISSN : 2540-8399
Amwaluna; Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah Vol 2 No. 2 Juli 2018, Hal 222-237

melakasanakan kewajibannya. Sedangkan segi alamiahnya, yaitu akad berlaku secara


pihak yang diberi janji tidak memikul efektif apabila rukun dan syaratnya
kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. terpenuhi. Sedangkan janji pada umumnya
Dalam wa‟ad, terms and condition-nya bersifat ke depan (forward/mudhaf ilâ al-
belum ditetapkan secara rinci dan spesifik mustaqbal) karena janji dari segi
(belum well defined). Bila pihak yang alamiahnya merupakan pernyataan
berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, kehendak dari pihak tertentu untuk
maka sanksi yang diterimanya lebih melakukan sesuatu pada masa yang akan
merupakan sanksi moral. (Adiwarman datang. Dengan demikian, perbuatan
A.Karim, 2004, 65). Sedangkan akad hukum dalam akad bersifat efektif pada
mengikat kedua belah pihak yang saling saat akad, sedangkan perbuatan hukum
bersepakat, yakni masing-masing pihak yang berupa janji belum efektif karena ia
terikat untuk melaksankan kewajiban merupakan janji untuk melakukan akad
mereka masing-masing yang telah pada masa yang akan datang; (3) dalam
disepakati terlebih dahulu. Dalam akad, akad berlaku kaidah al-kharâj bi al-
terms and condition-nya sudah ditetapkan dhamân (kewajiban berbanding dengan
secara rinci dan spesifik (sudah well- hak) dab al-ghurm bi al-gunmi
defined). Bila salah satu atau kedua belah (keuntungan berbanding dengan risiko).
pihak yang terkait dalam kontrak itu tidak Dalam akad jual beli misalnya, objek jual
dapat memenuhi kewajibannya, maka ia bel (mabi‟) telah berpindah
akan menerima sanksi seperti yang sudah kepemilikannya dari penjual kepada
disepakati dalam akad. pembeli. Maka kewajiban pemilik untuk
Menurut Jaih Mubarok dan memelihara serta menjaganya dan ia
Hasanudin (2017, 14-15), janji atau saling berhak untuk menjual kembali objek
berjanji (wa‟ad/muwâ‟adah) bukanlah tersebut. Bila harga objek tersebut naik,
akad, tetapi menyerupai akad karena kenaikan harga tersebut merupakan hak
beberapa alasan sebagai berikut: (1) dalam pemilik. Sebaliknya, bila objek tersebut
akad telah menimbulkan hak dan hilang atau harganya turun, risiko
kewajiban yang efektif, sdangkan dalam hilangnya objek atau rugi karena harganya
janji atau saling berjanji turun harus ditanggung oleh pemilik.
(wa‟ad/muwâ‟adah) belum/tidak tercapai Kaidah ini tidak berlaku dalam
tujuan utama akad (munajjaz); (2) muwâ‟adah (saling berjanji) karena dalam
efektivitas akad bersifat serta-merta dari

230
EISSN : 2540-8402 | ISSN : 2540-8399
Panji Adam Agus Putra : Konsep Wa’ad dan Implementasinya Dalam Fatwa DSN..

muwâ‟adah belum terjadi pengalihan mu‟jir untuk melakukan akad


kepemilikan objek yang dijanjikan. jual-beli atau akad hibah
5. Hukum Ta’liq al-‘Uqûd mengandung dua kemingkinan,
Ta‟lîq al-„uqûd adalah kesepakatan yaitu terpenuhinya syaratnya
mengenai syarat yang bersifat mendatang atau tidak dapat dipenuhi.
(mustaqbal), yaitu para pihak yang Keadaan tersebut, dalam
berakad saling berjanji kepada mitranya pandangan mayoritas ulama,
untuk melakukan suatu perbuatan hukum termasuk akad yang bersifat
yang bersyarat. Dalam hal ini para ulama untung-untungan
berbeda pendapat mengenai hukum ta‟lîq (qimâr/maysîr) karena mungkin
al-„uqûd sebagai berikut (Jaih Mubarok terpenuhi dan mungkin juga
dan Hasanudin, 2017, 103-104): tidak; (2) penentuan syarat-
a. Jumhur ulama Hanafiyah, syarat yang demikian sama
Malikiyah, Syafi‟iyah, dengan jual-beli mulâmasah
Hanabilah, Zaidiyah, Imamiyah (saling menyentuh) dan jual-
dan Zaidiyah berpendapat beli munâbadzah yang dilarang
bahwa ta‟lîq al-„uqûd tersebut oleh Rasulullah Saw.
tidak boleh karena 2 (dua) b. Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah
alasan berikut: (1) akad yang dan merupakan pendapat Imam
menyebabkan pindahnya Ahmad Ibn Hanbal berpendapat
kepemilikan objek, baik zatnya bahwa ta‟lîq al-„uqûd yang
(akad jual-beli) maupun bersifat mustaqbal (forward)
manfaatnya (akad ijârah), boleh dan sah karena alasan-
bersifat serta-merta (al- alasan sebagai berikut: (1)
fauriyah), yaitu manfaat barang hadis riwayat dari Abdullah Ibn
menjadi milik musta‟jir sesaat Umar r.a pada saat perang,
setelah perjanjian ijârah Rasulullah Saw memerintahkan
dilakukan dan barang (mabi‟) Zaid Ibn Haritsah. Jika Zaid
menjadi milik pembeli saat Ibn Haritsah terbunuh,
setelah akad jual-beli pimpinan pasukan diserahkan
dilakukan. Menentukan syarat kepada Ja‟far, dan jika Ja‟far
yang berupa terpenuhinya terbunuh. Pimpinan pasukan
kewajiban musta‟jir kepada diserahkan kepada Abdullah

231
EISSN : 2540-8402 | ISSN : 2540-8399
Amwaluna; Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah Vol 2 No. 2 Juli 2018, Hal 222-237

Ibn Rawahah. Berdasarkan menjadi 2 (dua), yaitu: (1) syarat syar‟i,


hadis tersebut, Rasulullah Saw yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek
melakukan ta‟lîq al-„uqûd yang dan objek akad; (2) syarat ja‟li, yaitu
bersifat mustaqbal; (2) syarat yang berkenaan dengan bentuk
sesungguhnya prinsip pernyataan akad. Syarat ja‟li dibedakan
penentuan syarat dalam akad menjadi 3 (tiga), yaitu: (a) syarat taqidiyah
adalah boleh dan sah; (3) ta‟lîq (muqayyadah); (b) syarat idhafiyah; (c)
al-„uqûd tidak termasuk syarat ta‟liqiyah. Sedangkan Muhammad
perbuatan gharar, maysîr, dan Fahd Ahmad al-Amuri membedakan al-
akl al-mâl bi al-bâthil. Ia juga wa‟d al-mu‟alaq menjadi 2 (dua), yaitu:
tidak termasuk jual-beli (1) al-wa‟d al-mu‟alaq bi al-syarth (janji
mulâmasah dan jual-beli bersyarat); dan (2) al-wa‟d muratibath bi
munâbadzah yang dilarang oleh al-sabab (janji bersebab).
Rasulullah Saw. Dalam menjelaskan hukum
6. Hukum Menunaikan wajibnya memenuhi janji yang bersyarat
Janji Bersyarat atau bersebab, al-Amuri sebagaimana
Abd al-Sattar Abu Ghadah dikutip oleh Jaih Mubarok dan Hasanudin
sebagaimana dikutip oleh Jaih Mubarok (2017, 32) menjelaskan pendapat
dan Hasanudin (2017, 31-32) menjelaskan Hanafiyah (Ibn Nujaim) dan Malikiyah
mengenai ta‟lîq dan konsep mudhâf. (Ibn Rusyd), antara lain:
Mudhâf secara bahasa sepadangan kata a. Zain al-„Abidin Ibrahim Ibn
isnad yang berarti wakty efektivitasnya Nujaim menjelaskan bahwa
akad tidak berbarengan dengan waktu akad janji tidak bersifat mengikat
dilakukan. Umumnya, waktu akad (mulzim), kecuali janji
bersamaan dengan waktu efektifnya akad. bersyarat (wa la yakzim al-
Akad mudhâf berarti akad yang efektifnya wa‟du illa idza kana mu‟allaq).
berlaku pada masa mendatang yang Ulama Hanafiyah menetapkan
ditentukan. Sedangkan mu‟alaq berarti bahwa memenuhi janji
menghubungkan akad dengan sebab atau bersyarat wajib hukumnya
syarat tertentu (al-istimsak bi al-syai‟). apabila syarat-syaratnya
Ta‟lîq terdapat pada bagian dalam terpenuhi karena janji tersebut
(internal), sedangkan syarat berada pada bersifat mengikat (ana al-
bagian luar (eksternal). Syarat dibedakan mawa‟id bi shurah al-ta‟liq

232
EISSN : 2540-8402 | ISSN : 2540-8399
Panji Adam Agus Putra : Konsep Wa’ad dan Implementasinya Dalam Fatwa DSN..

takunu lazimah). Ibn Rusyd MUI/XII/2012 tentang Janji (wa‟d) dalam


berpenapat bahwa janji Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah.
bersyarat bersifat mengikat DSN-MUI menetapkan Fatwa
secara hukum (qadha‟iyan). Nomor: 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang
Negara dapat memaksa pihak Janji (wa‟d) dalam Transaksi Keuangan
yang berjanji untuk memenuhi dan Bisnis Syariah yang substansinya
janji bersyarat apabila yang menetapkan bahwa janji (wa‟d) dalam
bersangkutan tidak transaksi keuangan dan bisnis syariah
melaksanakan janji secara adalah mulzim dan wajib dipenuhi
sukarela. (ditunaikan) oleh wa‟id dengan mengikuti
b. Sebagaimana Ibn Nujaim, ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Muhammad Ahmad Ibn Rusyd a. Wa 'd harus dinyatakan secara tertulis
berpendapat bahwa hukum dalam akta/kontrak perjanjian;

memenuhi janji bersyarat b. Wa'd harus dikaitkan dengan sesuatu


hukumnya wajib. Negara dapat (syarat) yang harus dipenuhi atau
dilaksanakan mau 'ud (wa 'd
memaksa pihak yang tidak
bersyarat);
memenuhinya secara sukarela.
c. Mau 'ud bih tidak bertentangan dengan
Selanjutnya Jaih dan Hasanudin
syariah;
mengutip pernyataan al-Amuri, bahwa
d. Syarat sebagaimana dimaksud angka 2
ulama Hanafiyah dan Malikiyah
tidak bertentangan dengan syariah;
berpendapat bahwa hukum memenuhi janji
dan
bersyarat adalah wajib karena dalam janji e. Mau 'ud sudah memenuhi atau
tersebut, dari segi bentuk (form), telah melaksanakan syarat sebagaimana
memenuhi syarat iltizam (kesepakatan). dimaksud angka 2.
7. Wa’ad dalam Fatwa
Dewan Syariah Nasional- B. Implementasi Wa’ad Dalam
Majelis Ulama Indonesia Fatwa Dewan Syariah
(DSN-MUI) Nasional-Majelis Ulama
Terdapat fatwa khusus yang Indonesia
dikeluarkan oleh DSN-MUI yang Terdapat sejumlah fatwa DSN-
berkaitan dengan wa‟ad atau janji yakni, MUI yang berkaitan dengan topk wa‟ad
Fatwa DSN-MUI Nomor: 85/DSN- (janji) atau muwâ‟adah (saling berjanji).
Tulisan ini tidak memuat seluruh fatwa

233
EISSN : 2540-8402 | ISSN : 2540-8399
Amwaluna; Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah Vol 2 No. 2 Juli 2018, Hal 222-237

DSN-MUI yang berkaitan dengan topik menawarkan aset tersebut kepada nasabah
wa‟ad (janji) atau muwâ‟adah (saling dannasabah harus menerima (membeli)-
berjanji), akan tetapi hanya beberapa fatwa nya sesuai dengan janji yang telah
saja, diantaranya adalah sebagai berikut: disepakatinya, karena secara hukum janji
1. Fatwa DSN-MUI tentang tersebut mengikat; kemudian kedua belah
Murâbahah pihak harus membuat kontrakjual beli; (4)
Murâbahah adalah jual-beli dengan Dalam jual beli ini bank dibolehkan
dasar adanya infoemasi dari pihak penjual meminta nasabah untuk membayar uang
terkait dengan harga pokok pembelian dan muka saat menandatangani kesepakatan
tingkat keuntungan yang diinginkan (Panji awal pemesanan; (5) Jika nasabah
Adam, 2017, 19). Janji yang berkaitan kemudian menolak membeli barang
dengan jual-beli murâbahah, antara lain tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari
dapat dilihat dalam fatwa DSN-MUI uang muka tersebut; (6) Jika nilai uang
Nomor: 4/DSN-MUI/IV/2000. muka kurang dari kerugian yang harus
Dalam akad murâbahah yang di ditanggung oleh bank, bank dapat meminta
implementasikan di Lembaga Keuangan kembali sisa kerugiannya kepada nasabah;
Syariah terdapat janji untuk membeli (7) Jika uang muka memakai kontrak
barang dari penjual (LKS), karena tahapan „urbun sebagai alternatif dari uang muka,
utama akad murâbahah yang terjadi di maka: (a) jika nasabah memutuskan untuk
LKS adalah sebagai berikut: (1) janji membeli barang tersebut, ia tinggal
nasabah untuk membel njek; (2) transaksi membayar sisa harga; (b) jika nasabah
jual-beli antara nasabah dengan LKS atas batal membeli, uang muka menjadi milik
barang sesuai pesanan (janji dari nasabah bank maksimal sebesar kerugian yang
untuk membeli). ditanggung oleh bank akibat pembatalan
Substansi DSN-MUI Nomor: tersebut; dan jika uang muka tidak
4/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murâbahah mencukupi, nasabah wajib melunasi
adalah sebagai berikut: (1) Nasabah kekurangannya.
mengajukan permohonan dan janji Berdasarkan poin pertama dan
pembelian suatu barang atau aset kepada ketiga dari fatwa tersebut, terdapat
bank; (2) Jika bank menerima permohonan ketentuan mengenai janji, yaitu; pertama,
tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu Nasabah mengajukan permohonan dan
aset yang dipesannya secara sah dengan janji pembelian suatu barang atau aset
pedagang; (3) Bank kemudian kepada bank; kedua, Bank kemudian

234
EISSN : 2540-8402 | ISSN : 2540-8399
Panji Adam Agus Putra : Konsep Wa’ad dan Implementasinya Dalam Fatwa DSN..

menawarkan aset tersebut kepada nasabah akad pemindahan kepemilikan yang


dannasabah harus menerima (membeli)- dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
nya sesuai dengan janji yang telah Ketentuan mengenai konsep wa‟ad
disepakatinya, karena secara hukum janji yang terdapat dalam fatwa DSN-MUI
tersebut mengikat; kemudian kedua belah Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang
pihak harus membuat kontrakjual beli; IMBT terlihat dalam poin kedua, yaitu:
2. Fatwa DSN-MUI tentang Janji pemindahan kepemilikan yang
IMBT disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'd
Menurut Muhamad Usman Syabir ( ‫) الوعد‬, yang hukumnya tidak mengikat.
(1992, 327) ijârah muntahiya bi al-tamlîk, Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka
adalah bank syariah menyediakan barang harus ada akad pemindahan kepemilikan
yang akan disewakan kepada nasabah yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
sampai waktu tertentu dengan tambahan 3. Fatwa DSN-MUI tentang
ujrah misli (fee) atas dasar nasabah dapat MMQ
memiliki barang setelah berakhir waktu Musyarakah Mutanaqisah adalah
sewa dengan akad baru, yakni akad jual Musyarakah atau Syirkah yang
beli. kepemilikan asset (barang) atau modal
Aturan mengenai ijârah muntahiya salah satu pihak (syarik) berkurang
bi al-tamlîk (IMBT) terdapat dalam fatwa disebabkan pembelian secara bertahap oleh
DSN-MUI Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002. pihak lainnya.
Ketentuan mengenai wa‟ad (janji) dalam Konsep mengenai Musyarakah
akad ini adalah sebagai berikut: (1) Pihak Mutanaqisah (MMQ) terdapat dalam fatwa
yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi DSN-MUI Nomor: 73/DSN-MUI/XI/2008.
al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah Ketentan mengenai wa‟ad (janji) dalam
terlebih dahulu. Akad pemindahan fatwa tersebut terlihihat dalam substansi
kepemilikan, baik dengan jual beli atau fatwa sebagai berikut: “Dalam akad
pemberian, hanya dapat dilakukan setelah Musyarakah Mutanaqisah, pihak pertama
masa Ijarah selesai; (2) Janji pemindahan (syarik) wajib berjanji untuk menjual
kepemilikan yang disepakati di awal akad seluruh hishshah-nya secara bertahap dan
Ijarah adalah wa'd ( ‫) الوعد‬, yang pihak kedua (syarik) wajib membelinya.
hukumnya tidak mengikat. Apabila janji
itu ingin dilaksanakan, maka harus ada

235
EISSN : 2540-8402 | ISSN : 2540-8399
Amwaluna; Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah Vol 2 No. 2 Juli 2018, Hal 222-237

4. Fatwa DSN-MUI tentang secara tidak tunai, sebagai penjelasan


PRKS fatwa DSN berikut:
Pembiayaan Rekening Koran Transaksi Forward, yaitu transaksi
Syariah (PRKS) adalah suatu bentuk pembelian dan penjualan valas yang nilainya
pembiayaan rekening koran yang ditetapkan pada saat sekarang dan
dijalankan berdasarkan prinsip syari‟ah. diberlakukan untuk waktu yang akan datang,

Aturan mengenai PRKS (Pembiayaan antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun.

Rekening Koran Syariah) terdapat dalam Hukumnya adalah haram, karena harga

fatwa DSN-MUI Nomor; 55/DSN- yang digunakan adalah harga yang


diperjanjikan (muwa'adah) dan
MUI/V/2007.
penyerahannya dilakukan di kemudian hari,
Dalam akad yang berlaku dalam
padahal harga pada waktu penyerahan
produk Rekening Koran Syariah terdapat
tersebut belum tentu sama dengan nilai yang
janji dari calon pembeli untuk membeli
disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk
barang dari penjual. Janji yang dimaksud
forward agreement untuk kebutuhan yang
itu mengikat kedua belah pihak
tidak dapat dihindari (lil hajah).
sebagaimana dalam substansi fatwa DSN-
MUI tentang PRKS, yaitu: “Pembiayaan
III. SIMPULAN
Rekening Koran Syariah (PRKS)
Berdasarkan uraian pada sub bab di
Musyarakah dilakukan berdasarkan akad
atas, tulisan ini dapat ditarik beberapa
musyarakah dan boleh disertai dengan
kesimpulan sebagai berikut: pertama,
wa‟d”.
wa‟ad adalah “Pernyataan dari pihak/
5. Fatwa DSN-MUI Jual Beli
seseorang (subyek hukum) untuk
Mata Uang
berbuat/tidak berbuat sesuatu; serta
Dalam akad yang berlaku dalam
perbuatan tersebut dilakukan di masa yang
forward agreement terdapat janji dari
akan datang (istiqbâl)”. Para ulama
calon pembeli untuk membeli valas dalam
berbeda pendapat mengenai hukum
jumlah dan kurs dari calon penjual.
menunaikan wa‟ad (janji); kedua, dalam
Menruut fatwa DSN-MUI Nomor 28/DSN-
konteks fatwa DSN-MUI, terdapat
MUI/III/2002 tentang Jual Bli Mata Uang
sejumlah fatwa yang berkaitan dengan
(Al-Sharf) transaksi forward agreement
implementasi konsep wa‟ad, yaitu (1)
tersebut itu dibolehkan sebagai alternatif
Fatwa DSN-MUI Nomor: 4/DSN-
dari forward dengan meyerahkan valas
MUI/IV/2000 tentang Murâbahah; (2)
fatwa DSN-MUI Nomor: 27/DSN-
236
EISSN : 2540-8402 | ISSN : 2540-8399
Panji Adam Agus Putra : Konsep Wa’ad dan Implementasinya Dalam Fatwa DSN..

MUI/III/2002 tentang IMBT; (3) fatwa Ijarah dan Ju‟alah. Bandung:


DSN-MUI Nomor: 73/DSN-MUI/XI/2008 Simbiosa Rekatama Media.

tentang MMQ; (4) fatwa DSN-MUI Nazih Hammad. (2007). Fî Fiqh al-
Nomor; 55/DSN-MUI/V/2007 tentang Mu‟âmalât al-Mâliyah al-Mu‟âshir:
Qirâ‟ah Jadîdah. Damaskus: Dâr al-
PRKS; (5) fatwa DSN-MUI Nomor
Qalam.
28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Bli Mata
Muhammad Usman Syabir. (1992). al-
Uang (Al-Sharf)
Mu‟âmalat al-Mâliyah al-
Mu‟âshirah. Yordan: Dar al-Nafais.
DAFTAR PUSTAKA
Oni Sahroni dan M. Hasanuddin. (2016).
Abu Muhammad „Ali Ibn Ahmad Ibn Fikih Muamalah: Dinamika Teori
Sa‟id Ibn Hazm al-Andalusi al- Akad dan Implementasinya dalam
Qurthubi al-Dzhahiri. (t.th) al- Ekonomi Syariah. Jakarta: PT
Muhalla bi al-Atsâr. Beirut: Dâr al- RajaGrafindo Persada.
Fikir).
Panji Adam. (2017). Fikih Muâmalah
Adiwarman A Karim. (2004). Bank Islam: Mâliyah. Bandung: Refika Aditama.
Analisis Fiqh dan Keuangan.
Muhammad Usman Syabir. (1992). al-
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Mu‟âmalat al-Mâliyah al-
Al-Syafi‟i Abdu Abdullah Muhammad Ibn Mu‟âshirah. Yordan: Dar al-Nafais.
Idris Ibn al-„Abbas Ibn Utsman Ibn
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji.
Syafi‟ Ibn Abd al-Muthalib Ibn Abd
(1985). Penelitian Hukum Normatif
al-Manaf al-Mathlubi al-Maliki. (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta:
(1990). al-Umm. Beirut: Dâr al- Rajawali Pers.
Ma‟rifat.
Wahbah al-Zuhaili. (2012). al-Fiqh al-
Anonimous. (1427). Al-Mausû‟ah al- Islâmî wa Adillatuh. Beirut: Dar al-
Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah. Mesir: Fikr.
Mathâbi‟ Dâr al-Shofwah.

Fathurrahman Djamil. (2013). Penerapan


Hukum Perjanjian dalam Transaksi
di Lembaga Keuangan Syariah.
Jakarta: Sinar Grafika.

Jaih Mubarok dan Hasanudin. (2017).


Fikih Muamalah Maliyah: Prinsip-
Prinsip Perjanjian. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media.

Jaih Mubarok dan Hasanudin. (2017).


Fikih Muamalah Maliyah: Akad

237
EISSN : 2540-8402 | ISSN : 2540-8399

Anda mungkin juga menyukai