Inisiasi Menyusu Dini (IMD) adalah proses bayi mulai menyusu sendiri segera
setelah lahir setidaknya satu jam bahkan lebih hingga bayi berhasil menyusu sendiri .
Definisi ini kemudian digunakan sebagai acuan dalam menentukan keberhasilan
pelaksanaan IMD pasca persalinan (Novianti, 2018).
Inisiasi Menyusu Dini (early initiation) atau permulaan menyusu adalah bayi mulai
menyusu atau mencari puting susu ibunya sendiri segera setelah lahir. Bayi mempunyai
kemampuan untuk menyusu sendiri, melalui antara kontak kulit bayi dengan kulit ibunya
(skin to skin), setidaknya selama kurang lebih satu jam segera setelah lahir. Cara bayi
melakukan inisiasi menyusui dini dinamakan dengan the breast crawl atau merangkak
mencari payudara ibunya (Sawitry, 2019).
Inisiasi Menyusu Dini (IMD) adalah salah satu program Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, yang memberikan rangsangan awal dimulai pemberian Air Susu Ibu
(ASI) secara dini, dan diharapkan berkelanjutan selama enam bulan pertama. Kegagalan
IMD dan pemberian ASI Ekslusif pada periode tersebut, berpotensi menimbulkan
defisiensi zat gizi pada bayi, serta memungkinkan terjadi status gizi kurang, yang
berujung pada penurunan poin kecerdasan intelektual bayi dan menjadi ancaman terhadap
sumber daya manusia pada masa mendatang (Faisal, 2019).
Bukti terkini menunjukkan bahwa kontak kulit-ke-kulit antara ibu dan bayi segera
setelah lahir membantu untuk memulai menyusui dini dan meningkatkan kemungkinan
pemberian ASI eksklusif untuk satu sampai empat bulan kehidupan serta durasi menyusui
secara keseluruhan. Bayi yang kontak kulit-ke-kulit lebih awal dengan ibu mereka juga
tampak lebih banyak berinteraksi dengan ibu mereka dan lebih jarang menangis (WHO,
2019).
IMD memberikan banyak manfaat untuk kesehatan ibu maupun bayi baru lahir
(Faisal 2019):
a. Manfaat untuk : IMD terbukti dapat meningkatkan kadar hormon oksitosin dan
mempercepat involusi uteri 2 jam post partum dan mempersingkat waktu pelepasan
plasenta sehingga dapat mencegah terjadinya perdarahan post partum yang menjadi
salah satu penyebab terbesar kematian ibu di seluruh dunia termasuk Indonesia.
b. Manfaat untuk bayi menurut beberapa penelitian menyusui segera dalam 1 jam
pertama kelahirandapat mencegah kematian bayi dalam satu bulan pertama hingga
22% sedangkan menyusui pada hari pertama lahir (24 jam) dapat menekan angka
kematian bayi hingga 16%, 6 mencegah kematian pada bayi dengan berat badan lahir
rendah (BBLR), serta mencegah kematian akibat diare dan pneumonia yang menjadi
salah satu penyebab utama kematian bayi.
Dalam publikasi oleh breastcrawl.org yang berjudul Breast Crawl: A Scientific
Overview (Yesie Aprilia dalam Hermeida, 2015), ada beberapa hal yang
menyebabkan bayi mampu menemukan sendiri puting ibunya dan mulai menyusui,
yaitu:
a) Sensory inputs
Terdiri dari indra penciuman (bayi sensitif terhadap bau khas ibunya setelah
melahirkan), indra penglihatan (karena bayi baru dapat mengenal pola hitam dan
putih, bayi akan mengenali puting dan wilayah areola payudara ibunya karena warna
gelapnya), indra pengecap (bayi mampu merasakan cairan amniotik yang melekat
pada jari-jaritangannya sehingga ia suka menjilati jarinya sendiri saat baru lahir),
indra pendengaran (sejak dari dalam kandungan ia paling mengenal suara ibunya),
dan indra perasa (dilakukan melalui sentuhan kulit ke kulit. Ini adalah sensasi
pertama antara ibu dan bayi yang memberi kehangatan dan rangsangan lainnya).
b) Central component
Otak bayi yang baru lahir sudah siap untuk segera mengeksplorasi
lingkungannya, dan lingkungan yang paling dikenalnya adalah tubuh ibunya.
c) Motor outputs
Gerak bayi yang merangkak di atas tubuh ibunya adalah gerak yang paling
alamiah yang dapat dilakukan bayi setelah lahir. Gerakan ini juga memberi manfaat
pada ibu, misalnya mendorong pelepasan plasenta dan mengurangi perdarahan pada
rahim
Menurut Kementerian Kesehatan RI, secara garis besar tahapan tata laksana
IMD adalah sebagai berikut:
1. Dalam proses melahirkan, ibu disarankan mengurangi atau tidak menggunakan
obat kimiawi.
2. Setelah proses kelahiran, bayi secepatnya dikeringkan seperlunya tanpa
menghilangkan vernix (kulit putih) dibagian tangan bayi.
3. Kemudian bayi ditengkurapkan di dada atau perut ibu, dengan kulit bayi melekat
pada kulit ibu. Untuk mencegah bayi kedinginan, kepala bayi dapat dipakaikan
topi kemudian jika perlu, bayi dan ibu diselimuti.
4. Bayi yang ditengkurapkan di dada atau perut ibu, dibiarkan merangkak
(crawling) untuk mencari sendiri puting susu ibunya (bayi tidak dipaksakan ke
puting susu).
5. Ibu perlu didukung dan dibantu untuk mengenali perilaku bayi sebelum menyusu
baik oleh tenaga kesehatan maupun oleh suami
6. Bayi tetap pada posisi kulitnya bersentuhan dengan kulit ibu sampai proses
menyusu pertama selesai.
7. Setelah selesai menyusu awal, bayi baru dipisahkan untuk ditimbang, diukur,
dicap, diberi vitamin K dan tetes mata.
8. Ibu dan bayi tetap bersama dan dirawat gabung.
Bidan sebagai ujung tombak tenaga kesehatan yang sangat dekat dengan ibu dan
masyarakat pada umumnya memiliki peranan yang sangat penting dalam manajemen
laktasi yang diawali dengan berlangsungnya proses IMD. Dalam 10 indikator
program Baby-Friendly Hospital Initiative (BFHI) yang digagas WHO untuk
mendukung program pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara dini, bidan juga sangat
diperlukan untuk berpartipasi secara penuh (Faisal, 2019).
b. BONDING ATTACHMENT
3) Rawat Gabung
Rawat gabung merupakan salah-satu cara yang dilakukan agar antara ibu dan
bayi terjalin proses lekat (early infant mother bounding) akibat sentuhan badan
antara ibu dan bayinya. Hal ini sangat mempengaruhi perkembangan psikologis bayi
selanjutnya, karena kehangatan ibu merupakan stimulasi mental yang mutlak
dibutuhkan oleh bayi. Bayi yang merasa aman dan terlindungi, merupakan dasar
terbentuknya rasa percaya diri dikemudian hari.
Gambaran mengenai bagaimana bentuk ikatan awal antara ibu dan bayi dapat
dilihat melalui beberapa aktivitas, antara lain :
a) Sentuhan (Touch)
Ibu memulai dengan sebuah ujung jarinya untuk memeriksa bagian kepala dan
ekstremitas bayinya. Perabaan digunakan untuk membelai tubuh, dan mungkin bayi
akan dipeluk oleh lengan ibunya, gerakan dilanjutkan sebagai usapan lembut untuk
menenangkan bayi, bayi akan merapat pada payudara ibu, menggenggam satu jari
atau seuntai rambut dan terjadilah ikatan antara keduanya.
e) Suara (Voice)
Respon antara ibu dan bayi berupa suara masing-masing. Orang tua akan
menantikan tangisan pertama bayinya. Dari tangisan tersebut, ibu akan menjadi
tenang karena merasa bayinya baik-baik saja. Bayi dpaat mendengar sejak dalam
rahim, jadi tidak mengherankan jika ia dapat mendengar suara- suara dan
membedakan nada kekuatan sejak lahir, meskipun suara-suara tersebut terhalang
selama beberapa hari oleh cairan amniotik dari rahim yang melekat pada telinga.
Banyak penelitian memperlihatkan bahwa bayi-bayi yang baru lahir bukan hanya
mendengar secara pasif meainkan mendengar dengan sengaja, dan mereka
nampaknya lebih dapat menyesuaikan diri dengan suara-suara tertentu dari pada
yang lain contohnya suara jantung.
g) Bioritme
Anak yang belum lahir atau baru lahir dapat dikatakan senada dengan ritme
alamiah ibunya. Untuk itu salah satu tugas bayi bayu lahir adalah bembentuk ritme
personal (bioritme). Orang tua dapat membantu proses ini dengan memberi kasih
sayang yang konsisten dengan memanfaatkan waktu saat bayi mengembangkan
prilaku yang responsif. Hal ini dapat meningkatkan iteraksi sosial dan kesempatan
bayi untuk belajar
c. ANTROPOMETRI
1) Pemeriksaan fisik yang dilakukan Keadaan normal:
a. Lihat postur, tonus danaktivitas Posisi tungkai dan lengan fleksi. Bayi sehat akan
bergerak aktif. Lihat kulit Wajah, bibir dan selaput lendir, dada harus berwarna
merah muda, tanpa adanya kemerahan atau bisul. Hitung pernapasan dan lihat
tarikan
b. Frekuensi napas normal 40-60 kali dinding dada bawahketika bayi sedang
permenit. Tidak menangis/ Tidak ada tarikan dinding dada bawah yang dalam
Hitung denyut jantung dengan Frekuensi denyut jantung normal 120-160
meletakkan stetoskop di dada kiri kali per menit. setinggi apeks kordis. Lakukan
pengukuran suhu ketiak Suhu normal adalah 36,5 - 37,50 C dengan termometer.
c. Lihat dan raba bagian kepala
Bentuk kepala terkadang asimetris karena penyesuaian pada saat proses
persalinan, umumnya hilang dalam 48 jam. Periksa :
Ubun-ubun besar rata atau tidak membonjol, dapat sedikit membonjol saat bayi
menangis.
Lihat mata Tidak ada kotoran/sekret Lihat bagian dalam mulut.
Bibir, gusi, langit-langit utuh dan tidak
Nilai kekuatan isap bayi. Bayi akan dalam mulut,raba langit-langit. mengisap
kuat jari pemeriksa.
d. Lihat dan raba perut, Perut bayi datar, teraba lemas.
Lihat tali pusat, Tidak ada perdarahan, pembengkakan, nanah, bau yang tidak
enak pada tali pusat, atau kemerahan sekitar tali pusat
e. Lihat punggung dan raba Kulit terlihat utuh, tidak terdapat lubang tulang
belakang. dan benjolan pada tulang belakang
f. Lihat ekstremitas, Hitung jumlah jari tangan dan kaki, Lihat apakah kaki
posisinya baik atau bengkok ke dalam atau keluar , Lihat gerakan ekstremitas
g. Lihat lubang anus. Terlihat lubang anus dan periksa apakah - Hindari
memasukkan alat atau jari mekonium sudah keluar. dalam memeriksa anus
biasanya mekonium keluar dalam 24 jam –
h. Tanyakan pada ibu apakah bayi setelah lahir. sudah buang air besar
i. Lihat dan raba alat kelamin luar.
Bayi perempuan kadang terlihat cairan - Tanyakan pada ibu apakah bayi vagina
berwarna putih atau kemerahan. sudah buang air kecil Bayi laki-laki terdapat
lubang uretra pada ujung penis.
Pastikan bayi sudah buang air kecil dalam 24 jam setelah lahir.
j. Timbang bayi.
Berat lahir 2,5-4 kg.
k. Mengukur panjang dan lingkar
Panjang lahir normal 48-52 cm.
kepala bayi : Lingkar kepala normal 33-37 cm.
Menilai cara menyusui
(Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas kesehatan dasar dan rujukan).
2) Reflek pada bayi baru lahir menurut Sinta, dkk 2019 :
a. Reflek Moro
Bayi akan mengembangkan tangan lebar dan melebarkan jari, lalu membalikkan
dengan tangan yang cepat seakan-akan memeluk seseorang. Diperoleh dengan
memukul permukaan yang rata dimana dekat bayi dibaringkan dengan posisi
telentang.
b. Reflek rooting
Timbul karena stimulasi taktil pipi dan daerah mulut. Bayi akan memutar kepala
seakan mencari putting susu. Refleks ini menghilang pada usia 7 bulan.
c. Reflek sucking
Timbul bersamaan dengan reflek rooting untuk mengisap putting susu dan
menelan ASI.
d. Reflek batuk dan bersin untuk melindungi bayi dan obstruksi pernafasan.
e. Reflek graps
Timbul jika ibu jari diletakkan pada telapak tangan bayi, lalu bayi akan menutup
telapak tangannya atau ketika telapak kaki digores dekat ujung jari kaki, jari kaki
menekuk.
f. Reflek walking dan stapping
Reflek ini timbul jika bayi dalam posisi berdiri akan ada gerakan spontan kaki
melangkah ke depan walaupun bayi tersebut belum bisa berjalan. Menghilang
pada usia 4 bulan.
g. Reflek tonic neck
Reflek ini timbul jika bayi mengangkat leher dan menoleh kekanan atau kiri jika
diposisikan tengkurap. Reflek ini bisa diamati saat bayi berusia 3-4 bulan.
h. Reflek Babinsky
Muncul ketika ada rangsangan pada telapak kaki, ibu jari akan bergerak keatas
dan jari-jari lainnya membuka, menghilang pada usia 1 tahun.
i. Reflek membengkokkan badan (Reflek Galant)
Ketika bayi tengkurap, gerakan bayi pada punggung menyebabkan pelvis
membengkok ke samping. Berkurang pada usia 2-3 bulan.
j. Reflek Bauer/merangkak
Pada bayi aterm dengan posisi tengkurap. BBL akan melakukan gerakan
merangkak dengan menggunakan lengan dan tungkai. Menghilang pada usia 6
minggu.
d. PEMBERIAN SALEP MATA
Pemberian salep mata pada bayi baru lahir berfungsi sebagai profilaksasi yang
bertujuan untuk mencegah infeksi pada mata. Salep mata diberikan segera setelah IMD
dan bayi selesai menyusui sebaiknya 1 jam setelah lahir. Untuk pencegahan penyakit
mata karena klamidia (penyakit menular seksual) perlu diberikan obat mata pada jam
pertama persalinan, yaitu pemberian obat mata eritromisin 0.5 % atau tetrasiklin 1 %,
sedangkan salep mata biasanya diberikan 5 jam setelah bayi lahir. Perawatan mata harus
segera dikerjakan, tindakan ini dapat dikerjakan setelah bayi selesai dengan perawatan
tali pusat. Yang lazim dipakai adalah larutan perak nitrat atau neosporin dan langsung
diteteskan pada mata bayi segera setelah lahir (Bustami, 2019).
Bayi baru lahir sangat rentan terhadap infeksi, pastikan untuk melakukan
tindakanpencegahan infeksi berikut ini: ·
1) Cuci tangan secara seksama sebelum dan setelah melakukan kontak denganbayi. ·
2) Pakai sarung tangan bersih pada saat menangani bayi yang belum dimandikan. ·
3) Pastikan bahwa semua peralatan, termasuk klem gunting dan benang tali pusat telah
didinfeksi tingkat tinggi atau steril, jika menggunakan bola karet penghisap, pakai
yang bersih dan baru. ·
4) Pastikan bahwa semua pakaian, handuk, selimut serta kain yang digunakan dalam
keadaan bersih.
5) Pastikan bahwa timbangan, pipa pengukur, termometer, stetoskop dan benda- benda
lainnya yang akan bersentuhan dengan bayi dalam keadaan bersih (dekontaminasi
dan cuci setiap setelah digunakan) (Bustami, 2019).
Standar operasional prosedur (SOP) pemberian salep mata pada bayi baru lahir:
1) Bidan menjelaskan kepada keluarga tentang maksud dan tujuan pemberian salep
mata pada bayi
2) Mencuci tangan
3) Bidan memberikan salep mata dalam satu garis lurus mulai bagian terdekat hidung
menuju keluar mata
4) Menjaga ujung tabung salep tidak menyentuh mata bayi
5) Beri tahu keluarga untuk tidak menghapus salep
e. IMUNISASI
1) Pengertian imunisasi
Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Anak diimunisasi, berarti
diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau resisten
terhadap suatu penyakit tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain.
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan dengan
penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan (Kemenkes,
2015)
2) Jenis imunisasi
a. Vaksin hepatitis B (HB)
Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam
setelah lahir dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit
sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- len adalah usia 0,1, dan 6
bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin
hepatitis B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB
kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada usia 2, 3, dan 4 bulan.
Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2,
4, dan 6 bulan (IDAI, 2017)
Cara pemberian dan dosis:
1. Dosis 0,5 ml atau 1 (buah) HB PID, secara intramuskuler, sebaiknya
pada anterolateral paha.
2. Pemberian sebanyak 3 dosis.
3. Dosis pertama usia 0–7 hari, dosis berikutnya interval minimum 4
minggu (1 bulan)
Efek samping berupa reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan
pembengkakan di sekitar tempat penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat ringan
dan biasanya hilang setelah 2 hari.
b. Vaksin Polio
Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di
sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk
polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling
sedikit harus mendapat satu dosis vaksin IPVbersamaan dengan pemberian OPV-3
(IDAI, 2017).
Vaksin Polio dan droplet
Vaksin Polio Trivalent yang terdiri dari suspensi virus poliomyelitis tipe 1, 2, dan
3 (strain Sabin) yang sudah dilemahkan.
Indikasi : Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap poliomielitis.
Cara pemberian dan dosis : Secara oral (melalui mulut), 1 dosis (dua tetes)
sebanyak 4 kali (dosis) pemberian, dengan interval setiap dosis minimal 4
minggu.
Kontra indikasi : Pada individu yang menderita immune deficiency tidak ada efek
berbahaya yang timbul akibat pemberian polio pada anak yang sedang sakit.
Efek Samping : Sangat jarang terjadi reaksi sesudah imunisasi polio oral. Setelah
mendapat vaksin polio oral bayi boleh makan minum seperti biasa. Apabila
muntah dalam 30 menit segera diberi dosis ulang.
Penanganan efek samping : Orangtua tidak perlu melakukan tindakan apa pun.
Vaksin Inactive Polio Vaccine (IPV)
Bentuk suspensi injeksi.
Indikasi : Untuk pencegahan poliomyelitis pada bayi dan anak
immunocompromised, kontak di lingkungan keluarga dan pada individu di mana
vaksin polio oral menjadi kontra indikasi.
Cara pemberian dan dosis:
c. Vaksin BCG
Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan.
Apabila diberikan pada usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin
terlebih dahulu (IDAI, 2017)
Indikasi : Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap tuberkulosis.
Cara pemberian dan dosis:
1. Dosis pemberian: 0,05 ml, sebanyak 1 kali.
2. Disuntikkan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas (insertio musculus
deltoideus), dengan menggunakan ADS 0,05 ml.
Efek samping : 2–6 minggu setelah imunisasi BCG daerah bekas suntikan timbul
bisul kecil (papula) yang semakin membesar dan dapat terjadi ulserasi dalam
waktu 2–4 bulan, kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan
parut dengan diameter 2–10 mm.
d. Vaksin DPT
Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan
vaksin DTPw atau DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan
vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 4,
dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap.
Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td
diberikan setiap 10 tahun (IDAI, 2017).
Vaksin DTP-HB-Hib digunakan untuk pencegahan terhadap difteri, tetanus,
pertusis (batuk rejan), hepatitis B, dan infeksi Haemophilus influenzae tipe b
secara simultan.
Cara pemberian dan dosis:
f. PENCEGAHAN HIPOTERMI
Hipotermi adalah suhu tubuh bayi baru lahir yang tidak normal (<36ºC) pada
pengukuran suhu melalui aksila, dimana suhu tubuh bayi baru lahir normal adalah
36,5ºC-37,5ºC suhu aksila (Sinta, Lusiana EL dkk. 2019)
Dalam buku Ajar Asuhan kebidanan pada Neonatus, Bayi dan Balita yang ditulis
oleh Sinta,Lusiana dkk pada tahun 2019 disebutkan bahwa tindakan preventif yang
dilakukan
3. Fraktur Klavikula
Patahnya tulang Clavikula pada saat persalinan, biasanya kesulitan melahirkan
bahu pada letak kapala dan melahirkan lengan pada presentasi bokong (Dainty,
2018)
a. Faktor Predisposisi
a) Persalinan letak kepala yang mengalami kesulitan saat melahirkan
b) Lahir letak sungsang dengan tangan menjungkit ke atas
b. Pengkajian
a) Subyektif
Rewel, Malas minum, Susah tidur
b) Obyektif
Gerakan tangan kanan dan kiri tidak sama
Gerakan pasif pada tangan yang sakit
Deformitas pada tulangl klavikula yang sakit
Reflek moro asimetris
Bayi menangis pada perabaan tulang Klavikula
Adanya krepitasi dan perubahan warna kulit di tempat yang sakit
c. Diagnosa :
Suspek Fraktur clavikula
Masalah :
gangguan rasa nyaman (nyeri)
d. Planning
a) Immobilisasi lengan untuk menurangi rasa sakit dan mempercepat
pembentukan kalus
b) Rawat bayi dengan hati-hati
c) Nutrisi yang adekuat (pemberian ASI yang adekuat) à ajarkan cara
pemberian : disusui dengan posisi tidur, dengan sendok, dengan pipet.
d) Rujuk à lengan difiksasi pada tubuh anak dalam posisi abduksi 60
derajat dan fleksi pergelangan siku 90 derajat. Umumnya dalam
waktu7-10 hari rasa sakit telah berkurang dan pembentukan.
d. KELAINAN KONGENITAL
Menurut WHO, kelainan bawaan adalah kelainan struktural atau fungsional, termasuk
gangguan metabolik, yang ditemukan sejak lahir (Kemenkes RI, 2015). Menurut ICD-10,
kelainan bawaan diklasikasikan menjadi 11 kelompok, yaitu
kelainan bawaan pada:
1. Sistem saraf;
2. Organ mata, telinga, wajah, dan leher;
3. Sistem peredaran darah;
4. Sistem pernapasan;
5. Celah bibir dan celah langit-langit;
6. Sistem pencernaan;
7. Organ reproduksi;
8. Saluran kemih;
9. Sistem otot dan rangka;
10. Kelainan bawaan lainnya; dan
11. Kelainan yang disebabkan oleh kromosom yang abnormal.
Kelainan bawaan dapat diidentifikasi pada sebelum kelahiran, saat lahir, maupun di
kemudian hari setelah bayi lahir. Kelainan bawaan dapat mempengaruhi bentuk organ,
fungsi organ, maupun keduanya. Kelainan bawaan pada bayi bervariasi dari tingkat
ringan hingga berat. Kesehatan dan kemampuan bertahan bayi dengan kelainan bawaan
bergantung pada bagian organ tubuh yang mengalami kelainan.
Macam-macam kelainan kongenital:
A. Hipospedia
1. Defenisi
Hipospedia merupakan suatu cacat bawaan dimana lubang uretra tidak terletak
pada tempatnya (Maryanti, 2011). Bentuk hipospadia yang lebih berat terjadi jika
lubang uretra terdapat di tengah batang penis atau pada pangkal penis dan kadang
pada skrotum atau di bawah skrotum. Kelainan ini seringkali berhubungan dengan
kordi atau suatu jaringan fibrosa yang kencang, yang menyebabkan penis
melengkung ke bawah pada saat ereksi. Jika tidak diobati, mungkin akan terjadi
kesulitan dalam pelatihan berkemih pada anak dan gangguan berhubungan seksual
pada saat dewasa (Maryanti, 2011).
2. Etiologi
Etiologi belum dapat di jelaskan, namun teori yang berkembang karena kelainan
hormonal. Teori lain mengungkapkan kelainan ini di sebabkan oleh penghentian
prematur perkembangan sel-sel penghasil adrogen terhenti yang mengakibatkan
maskulinisasi inkomplit dari alat kelamin luar. Proses ini menyebabkan gangguan
pembentukan uretra, sehingga saluran ini berujung sepanjang garis tengah penis
tergantung saat terjadinga gangguan hormonal. Semakin dini terjadi gangguan
hormonal, maka lubang kencing abnormal akan bermuara ke pangkal (Maryanti,
2011).
3. Penatalaksanaan
a. Subyektif
Informasi dari ibu riwayat kesehatan selama hamil dan faktor etiologi tidak
langsung kelainan bawaan seperti : faktor infeksi, mekanik, obat, usia ibu,
hormonal, radiasi dan gizi.
b. Obyektif
1) Lubang penis tidak terdapat di ujung penis, tetapi di bawah atau di dasar
penis.
2) Penis melengkung kebawah
3) Kadang terjadi keluhan berkemih
c. Assessment
neonatus dengan hipospasia.
d. Planning
1) Beri penjelasan pada keluarga tentang keadaan neonatus
2) Beri support pada keluarga untuk menerima keadaan neonatus
e. terapi lainnya
1) Pada bayi : di lakukan tindakan kordektomi
2) Pada usia 2-4 tahun : dilakukan rekonstruksi uretra.
3) Jika neonatus memiliki mikro penis, maka akan mendapatkan terapi hormonal
sampai ukuran penis sesuai.
4) Operasi sebaiknya telah tuntas sebelum penderita masuk sekolah (Maryanti,
2011).
B. Atresia Duodenum
1. Defenisi
Atresia duodenum adalah defek di mana duodenum, bagian pertama usus halus,
tidak berkembang dengan sempurna. Suatu bagian duodenum tertutup sehingga
makanan dan cairan tidak dapat masuk. Bagian duodenum yang tertutup biasanya
adalah ampula vateri. Kondisi ini sering berhubungan dengan defek kongenital
yang lain ( Saputra, 2014 ).
2. Etiologi
Penyebab utama atresia duodenum belum diketahui. Namun, secara umum atresia
duodenum diakibatkan oleh kegagalan rekanalisasi setelah tahap “ solid cord ”
dari pertumbuhan usus proksimal ( Saputra, 2014 ).
3. Manifestasi klinis
Gambaran klinis yang di jumpai pada bayi dengan atresia duodenum antara lain :
a. Mengalami muntah pada awal terjadinya atresia duodenum, biasanya pada hari
pertama atau kedua postnatal
b. Polihidramnion terlihat pada 50 % bayi dengan atresia duodenum
c. Berat badan menurun atau sukar bertambah
d. Perut kembung di daerah epigastrum pada 24 jam atau sesudahnya
e. Pada foto polos dalam posisi tegak akan tampak gambaran pelebaran lambung
dan bagian proksimal duodenum, tanpa adanya udara di bagian usus lain
(Saputra, 2014 ).
4. Penataklasanaan:
Sebuah selang digunakan untuk mendekompresi lambung. Dehidrasi dan
ketidakseimbangan elektrolit diperbaiki dengan memberikan cairan secara IV.
Evaluasi kelainan kongenital lain perlu dilakukan.
Pembedahan untuk memperbaiki sumbatan duodenal diindikasikan untuk semua
bayi yang mengalami kelainan ini karena malformasi ini dapat diperbaiki dengan
sempurna. Namun, jika ada kondisi yang mengancam jiwa, operasi ini dapat
ditunda. Dapatkan informed consent dari orangtua sebelum melakukan rujukan
atau pembedan ( Saputra, 2014 ).
C. Spina Bifida
1. Defenisi
Spina bifida adalah defek kongenital yang ditandai dengan penutupan kanal
neural yang tidak komplit dan biasanya di regio lumbosakralis (Brooker,2008).
Spina bifida dapat menyebabkan gangguan fisik dan intelektual yang bervariasi
dari ringan hingga berat. Tingkat keparahan tergantung pada ukuran dan lokasi
lubang pada tulang belakang serta bagian medula spinalis dan saraf yang terkena
(Saputra,2014)
2. Klasifikasi:
a. Spina bifida okulta
Spina bilfida okulta merupakan jenis spina bifida yang paling ringan. Pada
kondisi ini, penutupan dengan meninges tidak terpajan dipermukaan kulit.
Medula spinalis dan sarafnya biasanyanormal. Defek ini secara eksternal
sering ditandai dengan perubahan warna kulit, hemangioma, tumpukan rambut
atau lipoma yang dapat meluas ke kanal spinalis. Sering kali spinal bifida
okulta tidak diketahui hingga akhir masa kanak-kanak atau awal masa dewasa.
Tipe spina bifida ini biasanya tidak menyebabkan gangguan(Saputra,2014).
b. Meningokel
Meningokel adalah tipe spinal bifida dimana kantung cairan muncul dari
lubang pada punggung bayi. Namun, medula spinalis tidak terdapat pada
kandung tersebut. Biasanya kondisi ini menyebabkan sedikit kerusakan saraf,
tetapi bisa juga tidak menyebabkan kerusakan saraf. Meningokel ini dapat
menyebabkan gangguan kecil.
c. Mielomeningokel
Mielomeningokel adalah tipe spina bifida yang paling serius. Pasa kondisi ini,
kantung cairan muncul dari lubang pada punggung bayi. Sebagian medula
spinalis dan saraf terdapat dalam kantung tersebut dan rusak.
Mielomeningokel merupakan tipe spina bifida yang lebih sring terjadi dan
lebih serius. Biasanya terletak pada daerah lumbolasakral.
Penyebab pasti spina bifida tidak diketahui, predisposisi genetik mungkin ada.
3. Etiologi
Risiko gangguan ini menigkat pada defesiensi asam folat maternal. Dengan
demikian, semua wanita yang hamil atau sedang merencanakan untuk hamil
dianjurkan untuk mulai medapat suplemen vitamin asam folat minimal tiga bulan
sebelum konsepsi (Saputra,2014).
4. Gambaran Klinis
a. Spina bifida okulta
Spina bifida okulta dapat tanpa gejala atau berkaitan dengan:
1) Pertumbuhan rambut yang terjaddi di sepanjang spina
2) Lekukan digaris tenga, biasanya didaerah lumbosakral.
3) Abnormalitas gaya berjalan atau kaki.
4) Kontrol kandung kemih yang tidak baik.
b. Meningokel
Meningokel dapat tanpa gejala atau berkaitan dengan :
1) Tonjolan mirip kantung pada meninges dan cairan serebrospinal dari
punggung.
2) Club foot
3) Gangguan gaya berjalan akibat masalah neurologis ekstermitas bawah
( jarang terjadi )
4) Inkontenensia kandung kemih akibat defidit neurologis parsial.
5) Hidrosefalus jarang terjadi.
c. Mielomeningokel
Mielomeningokel kemih dan usus akan lumpuh dan tidak sensitif.
5. Penatalaksanaan:
Tujuan dari pengobatan awal spina bifida adalah mengurangi kerusakan saraf,
meminimalkan komplikasi (misalnya infeksi) serta membantu keluarga dalam
menghadapi kelainan ini. Spina bifida okulta umumnya tidak membutuhkan
pengobatan. Namun, meningokel dan mieolomeningokel membutuhkan
pembedahan untuk menutup lubang yang terbentuk. Sebelum melakukan
pembedahan, dilakukan penilaian potensi bayi dengan pemeriksaan secara
lengkap dan tepat segera setelah bayi lahir untuk menentukan luasnya defidit
neurologik, ada tidaknya hidrosefalus, luasnya deformitas lubang belakang, dan
adanya kelainan kongenital yang lain. Seksio Caesarea terencana sebelum
mulainya persalinan penting dilakukan untuk mengurangi kerusakan neurologik
yang terjadi pada bayi dengan defek medula spinalis (Saputra,2014).
D. Hidrosefalus
1. Definisi
Hidrosefalus (kepala-air, istilah yang berasal dari bahasa Yunani: "hydro" yang
berarti air dan "cephalus" yang berarti kepala; sehingga kondisi ini sering dikenal
dengan "kepala air"). Suatu keadaan dimana terdapat timbunan likuar
serebrospinalis yang berlebihan dalam ventrikel-ventrikel dan ruang subarakhnoid
yang disertai dengan kenaikan tekanan intrakranial) (Setiyani, 2016).
2. Tanda-tanda
a. Ukuran Kepala lebih besar dibandingkan tubuh
b. Ubun-ubun besar melebar dan tidak menutup pada waktunya, teraba tegang
atau menonjol
c. Adanya pembesaran tengkorak dan terjadi sebelum sutura menutup
d. Kulit kepala menipis dengan disertai pelebaran vena pada kepala
e. Bola mata terdorong kebawah sehingga sklera tampak di atas iris seakan-
akan terlihat seperti matahari terbenam ”sunset sign”
f. Terdapat tanda “ cracked pot sign “ yaitu bunyi pot kembang yang retak pada
saat dilakukan perkusi kepala
g. Anak sering menangis merintih menjadi cepat terangsang, hilang nafsu
makan, tonus otot diseluruh tubuh kurang baik, tubuh kurus dan
perkembangan menjadi terhambat.
3. Diagnosis
a. Pemeriksaan fisik, gambaran klinik yang samar-samar
b. Pemeriksaan CT tidak scan dan MRI dapat menunjukan ukuran ventrikel dan
mengindikasikan letak obstruksi. CT scan merupakan cara aman yang dapat
diandalkan untuk membedakan hidrosefalus dari penyakit lain yang juga
menyebabkan pembesaran kepala abnormal.
c. Pemeriksaan fisik, gambaran klinik yang samar-samar
4. Penatalaksanaan
a. Melakukan pengukuran lingkar kepala secara rutin untuk mengetahui
perubahan ukuran kepala sekecil mungkin.
b. Pada beberapa anak dengan keadaan yang semakin melemah serta hilangnya
nafsu makan memerlukan asupan nutrisi dengan memasang NGT
c. Memberikan lingkungan yang nyaman tidak bising karena anak ini mudah
terangsang oleh suara akibat kelemahan kondisinya.
d. Memberitahu keluarga supaya terus menjaga kebersihan saat kontak dengan
anak, menjaga kebersihan lingkungan sekitar anak karena anak dengan
hidrosefalus mudah terinfeksi
e. Segera bekerjasama dengan dokter / rujuk di RS untuk mendapatkan
pengobatan lebih lanjut. Karena kelainan ini memerlukan tindakan operatif
(Setiyani, 2016).
DAFTAR PUSTAKA
Anggaraini, D.I dan S.Septira. 2020. Nutrisi bagi Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
untuk Mengoptimalkan Tumbuh Kembang. Majority. 5(3) : 151-155.
Bustami, L. E. S., Feni A., Yulizawati, Aldina A. I. 2019. Buku Ajar Asuhan Kebidanan
Pada Neonatus, Bayi dan Balita. Sidoardjo: Indomedia Pustaka
Faisal, A. D., Joserizal, S., Hirowati, A. 2019 Pelaksanaan Program Inisiasi Menyusu Dini Di
Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya Kecamatan Koto Tangah Jurnal Kesehatan
Andalas; 8(4)http://jurnal.fk.unand.ac.id/
Liu L, Dong C, Chen L. Surgical treatment of ossified cephalhematoma: A case report and
review of the literature. World Neurosurg. 2016;96:614.e7–9
Maryanti, dkk. 2011. Buku Ajar Neonatus Bayi dan Balita. Jakarta : Penerbit. Trans Info
Media
Moegni EM, Ocviyanti D. 2017. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta : Kemenkes RI
Nicholson L. Caput succedaneum and cephalohematoma: the Cs that leaves bumps on the
head. Neonatal Netw. 2007; 26(5):277-81.
Novianti, Mujiati, Nurillah. 2018. Analysis of Early Breastfeeding Initiation Process (Case
Study: at a Private and Government Hospital in Jakarta). Jurnal Kesehatan Reproduksi,
9(2):135-148DOI: 10.22435/kespro.v9i2.90.135-148
Rabelo, N.N., Matushita, H. and Cardeal, D.D., 2017. Traumatic brain lesions in
newborns. Arquivos de neuro-psiquiatria, 75(3), pp.180-188.
Risa, H. 2015. Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Inisiasi Menyusui Dini dan ASI Eksklusif
sebagai Salah Satu Faktor Penentu Keberhasilan Pemberian ASI Ekslusif. J Agromed
Unila. 2(4).
Saputra, L., 2014. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Tanggerang: Bina Aksara
Sawitry, Puput K.S., Putri K. 2019. Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (Imd) Untuk
Meningkatkan Suhu Tubuh Bayi Baru Lahir. Jurnal Smart Kebidanan, 6(2), 80-86
Doi:Http://Dx.Doi.Org/10.34310/Sjkb.v6i2.274 Pissn: 2301-6213, Eissn: 2503-0388
Setiyani, A., Sukesi., dan Esyuanamik. 2016. Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, Balita, dan
Anak Pra Sekolah. Kementrian Kesehatan RI, Jakarta.
Sinta, Lusiana El dkk. 2019. Buku Ajar Asuhan kebidanan pada Neonatus, Bayi dan Balita.
Sidoarjo: Indomedia Pustaka.
WHO. 2019. Early Initiation Of Breastfeeding To Promote Exclusive Breastfeeding.
https://www.who.int/elena/titles/early_breastfeeding/en/