Anda di halaman 1dari 10

Faktor Jurnal Ilmiah Kependidikan Vol. 7 No.

1 Maret 2020, hal 49-58

ETIKA BELAJAR DALAM ISLAM

Usman Sutisna
Program Studi Teknik Informatika
Universitas Indraprasta PGRI
usmansutisna09@yahoo.com
085714715906

Abstract: This article aims to be a guideline for students who are studying. This is felt to be
quite important by taking into account the quality of graduates produced by the education
units of primary, secondary, and even higher education which slightly decreases in quality
when compared to past scholars. The basis used in describing learning ethics emphasizes
Islamic ethics, so that the reference sources used are the Qur'an and Sunnah and the opinions
of the scholars who concentrate on Islamic education, which at its node points that ethics,
or more familiar morals in Islam are the most effective method of transfer-knowladge in
students. It is hoped that this article will be one of the solutions in facing challenges in the
world of education so that in the future scientists will be born who are able to apply their
knowledge for the advancement of themselves and their people.

Keyword: Ethics, Learning and Islamic

Abstrak : Artikel ini bertujuan untuk menjadi pedoman bagi para siswa atau mahasiswa
yang sedang mengenyam masa pendidikan. Hal ini dirasakan cukup penting dengan
memperhatikan kualitas lulusan yang dihasilkan oleh satuan pendidikan baik dasar, menengah,
atas bahkan perguruan tinggi yang sedikit menurun secara mutu jika dibandingkan dengan
para cendikiawan masa lampau. Landasan yang digunakan dalam menjabarkan etika belajar
menitik-tekankan kepada etika Islam, sehingga sumber rujukan yang digunakan adalah Al-
quran dan Sunnah serta pendapat para ulama yang berkonsentrasi dalam pendidikan Islam,
yang pada titik simpulnya bahwa etika, atau yang lebih familiar akhlak dalam Islam merupakan
metode paling ampuh dalam transfer-knowladge pada siswa/mahasiswa. Diharapkan artikel
ini menjadi salah satu solusi dalam menghadapi tantangan dalam dunia pendidikan sehingga
ke depan akan lahir para ilmuwan-ilmuwan yang mampu mengamalkan ilmunya bagi kemajuan
diri dan bangsanya.

Keyword: Etika, Belajar dan Islam

49
Usman Sutisna, Etika Belajar Dalam Islam

PENDAHULUAN dipertanggung-jawabkan secara rasional dan


Islam adalah agama Allah Swt yang mendasar.
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw .
sebagai petunjuk bagi umat manusia (hudan TINJAUAN PUSTAKA
linnas) dan sebagai rahmat bagi semesta alam Pengertian Etika
(rahmatan lil ‘alamin) yang termanifestasikan Secara etimologi, ada dua pendapat
dalam bentuk ajaran-ajaran Islam. Islam mengenai asal-usul kata etika, yakni; pertama,
adalah agama universal, mengatur segala sendi etika berasal dari bahasa Inggris, yang disebut
kehidupan manusia mulai dari hal-hal yang dengan ethic (singular) yang berarti suatu
sangat sederhana hingga hal-hal yang sangat sistem, prinsip moral, aturan atau
kompleks. Salah satunya adalah Islam caraberperilaku. Akan tetapi, terkadang ethics
mengatur tentang etika dalam kehidupan (dengan tambahan huruf s) dapat berarti
sehari-hari. Etika adalah suatu disiplin ilmu singular. Jika ini yang dimaksud maka ethics
yang mengatur tentang baik buruknya suatu berarti suatu cabang filsafat yang memberikan
perbuatan atau perilaku manusia. batasan prinsip-prinsip moral. Jika ethics
Dalam Islam, perbuatan baik dan buruk dengan maksud plural (jamak) berarti prinsip-
manusia lebih dikenal dengan istilah akhlak prinsip moral yangdipengaruhi oleh perilaku
bukan etika. Akhlak dan etika memang pribadi (Ayi Sofyan:2010:370)
seringkali diartikan sama padahal keduanya Kedua, etika berasal dari bahasa Yunani,
memiliki perbedaan khususnya terkait dengan yang berarti ethikos yang mengandung arti
penentuan baik buruknya suatu perbuatan p e n g g u n a a n , k a r a k t e r, k e b i a s a a n ,
manusia. Baik buruknya akhlak ditentukan kecenderungan, dan sikap yang mengandung
oleh ajaran agama, dalam hal ini Al-Qur’an analisis konsep-konsep seperti harus, mesti
dan as-Sunnah sedangkan etika baik buruknya benar-salah, mengandung pencarian ke dalam
ditentukan oleh akal pikiran. Dengan watak moralitas atau tindakan-tindakan moral,
demikian, etika dalam Islam adalah akhlak serta mengandung pencarian kehidupan yang
itu sendiri. baik secara moral. Sedangkan dalam bahasa
Etika sebagai ilmu yang mengkaji tingkah Yunani kuno, etika berarti ethos, yang apabila
laku manusia berkaitan dengan baik atau dalam bentuk tunggal mempunyai arti tempat
buruk, diibaratkan seperti pohon yang tinggalyang biasa, padang rumput, kandang,
memiliki satu cabang besar sebagai penyangga adat, akhlak, watak perasaan, sikap, cara
seluruh ranting dan dedaunan di berpikir. Dalam bentuk jamak artinya adalah
atasnya.Analogi ini mengisyaratkan bahwa adat kebiasaan. Jadi, jika kita membatasi diri
peran etika tidak terbatas pada berpikir secara pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti
filosofis mengenai baik atau buruk suatu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau
perbuatan untuk menentukan prinsip dasarnya, ilmu tentang adat kebiasaan. Arti inilah yang
melainkan juga berpikir pada ranah empirik menjadi latar belakang bagi terbentuknya
bagaimana seharusnya bertindak dalam etika yang oleh Aristoteles (384-322 SM)
bidang-bidang kehidupan tertentu, sehingga sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat
menghasilkan pedoman atau norma-norma moral (Mohammad Adib:2010:205).
konkret yang dapat dianut oleh suatu golongan Seperti yang telah disinggung di atas
atau kelompok masyarakat dan dapat bahwa istilah etika dalam Islam lebih dikenal

50
Faktor Jurnal Ilmiah Kependidikan Vol. 7 No. 1 Maret 2020, hal 49-58

dengan istilah akhlak. Secara etimologis, kata jiwa (manusia) yang melahirkan
akhlak adalah bentuk masdar dalam Bahasa tindakan-tindakan mudah dan gampang
Arab dari kata akhlaqa-yukhliqu-ikhlaqan tanpa memerlukan pemikiran ataupun
yang berarti perangai, kelakuan, tabiat atau pertimbangan. (Al-Ghazali, tt: 53)
watak dasar, kebiasaan atau kelaziman, 4. Abu Bakar jabir Al-Jaziry mengatakan
peradaban yang baik, dan agama (lihat Syarif, akhlak adalah bentuk kejiwaan yang
2012: 72). Walaupun kata akhlak memiliki tertanam dalam diri manusia yang dapat
makna tabiat, perangai, kebiasaan bahkan menimbulkan perbuatan baik dan buruk,
agama tetapi tidak ditemukan dalam Al- terpuji dan tercela. (Al-Jaziri, 1976: 154)
Qur’an, yang ditemukan hanyalah bentuk Sudah cukup banyak para ahli yang
tunggal dari kata itu yaitu khuluq (Shihab, berbicara mengenai etika. Ahmad Tafsir secara
2004: 253). Adapun dalam hadits dapat sederhana mengatakan bahwa etika
ditemukan kata akhlak, seperti dalam hadits merupakan budi pekerti menurut akal. Etika
dari Abu Hurairah r.a di bawah ini: merupakan ukuran baik buruk perbuatan
manusia menurut akal (Ahmad Tafsir:
2012:121). Amsal Bakhtiar dengan nada yang
Artinya: “Sesungguhnya aku hanya diutus berbeda mengartikan etika dalam dua makna,
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” yakni; etika sebagai kumpulan pengetahuan
(HR Ahmad) mengenai penilaian terhadap perbuatan-
Jika ditelusuri secara bahasa juga ada perbuatan manusia dan etika sebagai suatu
kesesuaian antara kata akhlaq predikat yang dipakai untuk membedakan
(perbutan/tingkah laku), Khaliq (Pencipta) hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-
dan makhluq (makhluk/yang diciptakan). manusia yang lain (Amsal Bakhtiar:2013:165).
Kesesuaian ini menandakan bahwa akhlak Secara substansi, pengertian di atas
adalah sebagai media bagi makhluknya dalam menunjukkan kesamaan sikap dan kebiasaan.
berhubungan dengan Tuhannya. Namun penulis menganalisis bahwa suatu
Sedangkan secara istilah, ada beberapa kebiasaan. pada satu tempat belum tentu
pendapat dari para ulama tentang akhlak, di diterima ditempat yang lain. Tergantung alat
antaranya adalah: apa yang digunakan bahwa suatu sikap dan
1. Ibnu Maskawih mengatakan bahwa prilaku itu salah atau sebaliknya. Dengan
akhlak adalah keadaan jiwa yang demikian, etika dimanapun tetap menjadi
mendorong ke arah melakukan perbuatan barometer. Tetapi rujukan yang digunakan
tanpa memikirkan (lebih lama). mempunyai sumber yang berbeda. Kalau
(Mahjudin, 2009: 3). dalam Islam tentu yang menjadi acuan Al-
2. Al-Qurthubi mengatakan bahwa Quran dan Sunnah.
perbuatan yang bersumber dari diri
manusia yang selalu dilakukan, maka Pengertian Belajar
itulah yang disebut akhlak karena Beberapa pandangan para ahli tentang
perbuatan tersebut bersumber dari pengertian belajar antara lain sebagai berikut;
kejadiannya. (Al-Qurthubi, 1913: 6706). 1. Moh. Surya (1997); “Belajar dapat
3. Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa diartikan sebagai suatu proses yang
akhlak adalah sifat yang tertanam dalam dilakukan oleh individu untuk

51
Usman Sutisna, Etika Belajar Dalam Islam

memperoleh perubah perilaku baru pertama dalam proses belajar adalah adanya
secara keseluruhan, sebagai hasil dari informasi atau pengetahuan. Tahap ini
pengalaman individu itu sendiri dalam merupakan tahap yang paling penting sebelum
berinteraksi dengan lingkungannya.” menuju proses belajar yang sesungguhnya
2. Witherington (1952); “Belajar berupa membaca, memahami, menganalisis,
merupakan perubahan dalam kepribadian dan mengapresiasi (Moh.Rosyid:2016:36).
yang dimanifestasikan sebagai pola-pola Dengan adanya informasi, manusia dapat
respons yang baru berbentuk berinteraksi atau merespons informasi tersebut
keterampilan, sikap, kebiasaan, dengan cara membaca. Dengan membaca,
p e n g e t a h u a n , d a n k e c a k a p a n .” segala pengetahuan dan informasi dapat
3. Crow & Crow (1995); “Belajar adalah ditransfer,disadap dan disimpan dalam otak.
diperolehnya kebiasaan Dalam konteks demikian, perubahan pertama
kebiasaan,pengetahuan, dan sikap baru.” yang terjadi dalam proses belajar manusia
4. Hilgard (1962); “Belajar adalah proses adalah bertambahnya pengetahuan atau
di mana suatu perilaku muncul atau mendapat pengetahuan baru.
berubah karena adanya respons terhadap
sesuatu situasi.” METODE PENELITIAN
5. Di Vesta dan Thompson (1970); “Belajar Metode Penelitian yang dilakukan
adalah perubahan perilaku yang relatif berbasis kajian pustaka baik dari literatur buku
menetap sebagai hasil dari pengalaman.” maupun jurnal yang telah banyak membahas
6. Gae & Berliner; “Belajar adalah suatu tentang tata cara belajar. Kemudian
proses perubahan perilaku yang muncul dikomparasi dengan fakta-fakta yang terjadi
k a r e n a p e n g a l a m a n .” ( H a m z a h di lapangan mengenai fenomana yang nampak
Uno:2014:139) dalam kaitannnya dengan etika belajar para
Beberapa pengertian dari para ahli di atas siswa dan mahasiswa saat ini.
memiliki kesamaan satu dengan yang lain
meskipun berbeda dalam redaksi yang HASIL PENELITIAN
digunakannya. Dari beberapa definisi tersebut Etika Belajar Dalam Islam
dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar Pada era sekarang ini, tantangan sebagai
merupakan suatu proses individu dalam pengajar semakin berat dengan perubahan
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya gaya hidup dan modernisasi. Di saat tuntutan
sehingga menimbulkan terjadinya perubahan dunia pendidikan semakin tinggi, namun disisi
tingkah laku, baik sikap, keterampilan, lain ada sebuah kondisi yang memprihatinkan
pengetahuan. Perubahan ini terjadi karena baik secara internal dan eksternal. Secara
adanya respons dari individu terhadap internal kualitas para pendidik dan anak
rangsangan-rangsangan atau stimulus yang didik/mahasiswa cenderung menurun. Secara
diterimanya. Dengan demikian, aktivitas eksternal, banyak pengaruh dari luar yang
belajar manusia terjadi secara sadar dan sangat dominan menjadi sebab menurunnya
disengaja tidak secara kebetulan. kualitas para pendidik dan anak didik, yakni
Pengetahuan menjadi salah satu unsur perkembangan teknologi bak buah
penting yang perlu diperhatikan di sini. Seperti simalakama. Kita bisa lihat literasi berbasis
yang digariskan oleh Moh. Rosyid, tahapan buku semakin rendah berpindah ke media

52
Faktor Jurnal Ilmiah Kependidikan Vol. 7 No. 1 Maret 2020, hal 49-58

online, waktu banyak dihabiskan dengan Maksud di sini bukan kebersihan pakaian
bermain smartphone baik bermain games atau semata, akan tetapi juga kebersihan hati
media sosial. (Abdul Rosyad:2009:11). Dalam hal ini, orang
Manusia tidak dapat hidup tanpa yang dalam suasana belajar, yang disiapkan
pedoman. Pada kenyataannya, kehidupan bukan hanya pikiran, tetapi seluruh aspek
manusia dipengaruhi oleh berbagai norma yang turut membantu dalam proses
yang mengatur dan mengarahkan secara internalisasi ilmu ke dalam diri murid. Seorang
konkret tentang bagaimana harus bertindak. murid harus menghilangkan sifat terburu-buru
Bermacam-macam norma, mulai dari norma dalam mendapatkan ilmu. Konsisten dan sabar
agama, norma hukum, norma moral, norma merupakan bagian yang tidak dapat bisa
sopan santun, dan seterusnya sudah menghiasi dilepaskan dalam setiap pelajar. Dua ayat
manusia sejak zaman dahulu. Aturan-aturan sebagai bagian nilai dan sikap yang selayaknya
tersebut sangat dibutuhkan oleh manusia dimiliki oleh pelajar. Firman Allah
dalam mengatur hidup dan kehidupan ini.
Implikasinya adalah tidak ada satu pun sikap
dan tindakan manusia yang tidak diatur oleh Artinya : “Sesungguhnya kamu sekali-
aturan-aturan atau norma, baik oleh buatan kali tidak sanggup bersabar bersamaku”
manusia sendiri maupun aturan yang berasal Pelajar juga harus mempunyai sikap tidak
dari buatan Tuhan. terburu-buru dan tidak memaksakan guru
Etika dan proses belajar manusia untuk menjelaskan sesuatu yang belum
memiliki hubungan yang saling terkait. Pada saatnya. Seorang pelajar haruslah
satu sisi, belajar sebagai kegiatan manusia menampilkan sosok yang bersahaja dan sikap
merupakan aktivitas yang memerlukan norma- memuliakan gurunya. Maka sudah menjadi
norma moral tentang bagaimana seharusnya hal yang lumrah etika-perlu dijaga oleh si
belajar dalam bingkai karakter dan ciri khas pelajar dan juga menjaga sikap dan prilaku
manusia yang demikian unik, disisi lain etika terpuji dihadapan gurunya.
sebagai pemikiran manusia tentang baik atau Pada bagian ini, penulis akan paparkan
buruk sangat diperlukan untuk merefleksikan etika pelajar dalam proses belajar. Menurut
kegiatan belajar manusia setiap saat. Nilai- Imam Ghazali (w. 505 H) dalam kitabnya
nilai dan ide tentang kegiatan belajar yang Ihya Ulum ad-Din, kewajiban seorang pelajar
berlaku secara umum perlu dikaji secara ada beberapa macam, yaitu;
rasional, kritis, mendasar dan sistematis. 1. Menyucikan diri dari akhlak tercela dan
Sehingga norma yang ditaatinya dalam proses sifat buruk terlebih dahulu, karena ilmu
belajar bukan sekedar karena kebiasaan atau merupakan bentuk peribadatan hati,
adat yang berlaku di masyarakat, melainkan shalat rohani dan pendekatan batin
karena memiliki dasar dan legitimasi yang kepada Allah. Kalau shalat yang
kuat untuk diikuti dan ditaati merupakan ibadah lahir saja tidak sah
Seorang yang mau belajar terlebih dahulu jika tidak bersuci terlebih dahulu dari
harus membersihkan jiwa dari segala bentuk hadas dan kotoran, maka ibadah batin
akhlak yang tercela. Didasari oleh sabda pun tidak sah kecuali setelah dilakukan
Rosulullah saw: penyucian diri dari akhlak tercela. Hati
merupakan tempatnya para malaikat,

53
Usman Sutisna, Etika Belajar Dalam Islam

karena itu tidak mungkin malaikat dapat guru yang terkenal. Padahal ilmu ibarat
masuk ke dalam hati membawa sinar jalan yang dapat melepaskan diri dari
ilmu pengetahuan ketika di dalamnya terkaman binatang buas dan jalan
banyak sifat-sifat buruk dan tercela memperoleh kebahagiaan. Jika orang
seperti marah, hawa nafsu, dengki, busuk hendak melepaskan diri dari terkaman
hati, takabur, 'ujub dan sebagainya yang itu dan ingin memperoleh kebahagiaan,
semua itu seperti anjing. Poin penting maka sudah selayaknya ia tidak
yang perlu diperhatikan di sini adalah membeda-bedakan orang yang
bahwa ilmu yang dimaksud oleh al- membawa dan memiliki ilmu, apakah
Ghazali adalah ilmu yang membawa dia terkenal atau tidak.
kepada bertambahnya rasa takut kepada 4. Bagi penuntut ilmu pemula hendaknya
Allah (QS. al-Fatir: 28), sedangkan selain menghindarkan diri dari mengkaji variasi
itu bukanlah disebut ilmu. pemikiran dan tokoh, baik menyangkut
2. Mengurangi kesibukan duniawi, ilmu-ilmu duniawi maupun ilmu-ilmu
menjauhkan diri dari keluarga dan ukhrawi. Sebab, hal ini dapat
kampung halaman. Karena semua itu mengacaukan pikiran, membuat bingung
dapat memalingkan konsentrasi dan memecah konsentrasi. Sebaiknya ia
belajarnya, sehingga kemampuan terlebih dahulu menguasai betul suatu
menguasai ilmu yang dipelajari menjadi disiplin ilmu dari salah seorang guru,
tumpul. Wajar bila ada ungkapan; “ilmu baru mengkaji ragam pikiran dan aliran
tidak akan menyerahkan diri kepadamu, yang lainnya. Sekiranya seorang guru
hingga kamu mau memberikan tidak independen dalam pemikiran atau
semuanya. Jika kamu telah memberikan mengutip sana sini, maka murid harus
semuanya, maka kamu pun harus tetap waspada. Karena, guru yang demikian
berhati-hati dan waspada.” Pikiran dan lebih banyak membuat bingung daripada
perhatian yang bercabang, laksana mengarahkan. Ibarat orang buta tidak
percikan-percikan air yang meresap di mungkin membimbing orang yang sama-
tanah dan diterpa angin ke sana-sini, sama buta.
sehingga tak sedikit pun yang tersisa 5. Tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu
untuk bisa dimanfaatkan. apa pun yang terpuji, melainkan bersedia
3. Jangan sombong terhadap ilmu dan mempelajarinya hingga tahu akan
menentang guru, melainkan bersedia orientasi dari disiplin ilmu yang
patuh dalam segala urusan dan bersedia dimaksud. Apabila usia dan kesempatan
mendengarkan nasihatnya. Sebagaimana mengizinkan, ia bisa mendalaminya lebih
pasien yang (analogi kondisi murid) lanjut. Namun jika tidak, ia perlu
sudah sepatutnya mematuhi nasihat memprioritaskan disiplin ilmu yang
dokter (analogi posisi guru) yang terpenting untuk didalami. Meskipun
menanganinya. Bagi murid, dianjurkan demikian, harus disadari bahwa ilmu-
agar ia mau bersikap rendah hati dan ilmu itu saling terkait, sehingga jangan
berhikmat kepada gurunya. Di antara sampai penuntut ilmu menutup mata
ciri orang yang sombong terhadap guru meremehkan disiplin lain yang tidak
ialah tidak ingin belajar selain kepada digelutinya, karena manusia itu adalah

54
Faktor Jurnal Ilmiah Kependidikan Vol. 7 No. 1 Maret 2020, hal 49-58

lawan dari hal-hal yang tidak sedangkan ilmu kedokteran berdampak


diketahuinya. positif bagi kehidupan seseorang di
6. Dalam usaha mendalami suatu disiplin dunia. Maka, ilmu agama lebih utama
ilmu, pelajar tidak melakukan secara dibandingkan dengan ilmu kedokteran.
serentak, akan tetapi secara bertahap dan Lain halnya dengan ilmu hisab dengan
memprioritaskan yang terpenting, Sebab, ilmu hitung, maka lebih mulia ilmu hisab
sekiranya usia tidak mencukupi untuk karena kekuatan dalilnya. Namun jika
mempelajari aneka ragam disiplin ilmu, ilmu hisab dibandingkan dengan ilmu
maka sewajarnya bila semangatnya kedokteran, maka dari segi ‘dampak’
diarahkan pada disiplin ilmu yang ilmu kedokteran jauh lebih mulia
terpenting dan terbaik, sehingga bisa dibanding ilmu hisab. Sedangkan dari
menjadi mumpuni dalam keilmuan yang segi landasan argumen atau dalilnya,
termulia, yaitu ilmu-ilmu akhirat, baik ilmu hisab jauh lebih mulia dari ilmu
ilmu muamalah maupun ilmu kedokteran.
mukasyafah. Tujuan ilmu muamalah 9. Tu j u a n b e l a j a r p e l a j a r a d a l a h
adalah ilmu mukasyafah, sedangkan membersihkan batin dan menghiasinya
tujuan dari ilmu mukasyafah adalah dengan kebaikan serta mendekatkan diri
ma’’rifatullah. Yang dimaksud dengan kepada Allah. Bukan sebaliknya,
hal ini bukanlah i’’tikad yang diwarisi bertujuan untuk mencari kedudukan,
oleh orang tua atau yang diperoleh kekayaan, dan popularitas. Dengan
melalui kemahiran berargumen dan tujuan seperti itu, hendaknya
berdebat seperti tujuan ilmu kalam, mengutamakan ilmu akhirat, namun
melainkan sebuah keyakinan yang bukan berarti meremehkan ilmu-ilmu
muncul dari “cahaya” Tuhan yang lain, semisal ilmu dakwah, ilmu nahwu
menerangi hati seorang hamba, melalui dan ilmu bahasa yang dikategorikan
mujahadah, sehingga batinnya tersucikan termasuk ke dalam rumpun ilmu
dari kotoran-kotoran. pengantar dan ilmu pelengkap yang
7. Tidak melangkah mendalami tahap ilmu hukum mempelajarinya adalah fardhu
berikutnya hingga ia benar-benar kifayah.
menguasai tahap ilmu sebelumnya. 10. Mengetahui relasi ilmu-ilmu yang
Sebab, ilmu itu tersusun secara rapi, dikajinya dengan orientasi yang dituju,
masing-masing saling terkait dan sehingga dapat memilah dan memilih
bertingkat. ilmu mana yang harus diutamakan.
8. Mengetahui faktor-faktor yang Manakala dari sekian ilmu yang perlu
menyebabkan dapat memperoleh ilmu lebih dipentingkan. Arti dipentingkan di
yang paling mulia. Mengenai hal ini sini adalah dalam hubungannya dengan
didasarkan pada dua hal, yaitu; urusan duniawi dan ukhrawi sekaligus.
keutamaan hasil (dampak) dan landasan Sekiranya tidak bisa terpadukan
argumennya. Sebagai contoh; ilmu keharmonisan urusan duniawi dan
agama dan ilmu kedokteran, di mana ukhrawi sekaligus seperti yang
ilmu agama berdampak positif bagi dikehendaki Al-Quran, maka hal yang
kehidupan seseorang di akhirat, lebih dipentingkan adalah orientasi

55
Usman Sutisna, Etika Belajar Dalam Islam

ukhrawi. Dengan demikian, dunia ini 3. Tidak sombong terhadap orang yang
ibarat tempat singgah sementara, badan berilmu, tidak bertindak sewenang-
sebagai kendaraan dan perbuatan sebagai wenang terhadap guru; ia harus patuh
proses perjalanan menuju pertemuan kepada guru seperti patuhnya orang sakit
dengan Allah. Di sini terdapat terhadap dokter yang merawatnya. Murid
kenikmatan yang sebenarnya, meski harus tawadlu’’ kepada gurunya dan
memang hanya sedikit saja orang yang mencari pahala dengan cara berhikmat
menyadarinya. pada guru.
Sedangkan Sa’id Hawwa seperti yang 4. Orang yang menekuni ilmu pada tahap
dikutip oleh Ahmad Tafsir menjelaskan awal harus menjaga diri dari
kewajiban pelajar dalam proses belajarnya mendengarkan perbedaan pendapat atau
adalah; khilafiah antar mazhab karena hal itu
1. Murid harus mendahulukan kesucian akan membingungkan pikirannya.
jiwa sebelum yang lainnya. Sama halnya Perbedaan pendapat dapat diberikan pada
dengan salat, ia tidak sah bila tidak suci belajar tahap lanjut.
dari hadas dan najis. Menyemarakkan 5. Penuntut ilmu harus mendahulukan
hati dengan ilmu tidak sah kecuali setelah menekuni ilmu yang paling penting untuk
hati itu suci dari kekotoran akhlak. Intinya dirinya. Jika usianya mendukung barulah
di sini ialah murid itu jiwanya harus suci. ia menekuni ilmu lain yang berkaitan
Indikatornya terlihat pada akhlaknya. dengan ilmu paling penting tersebut.
2. Murid harus mengurangi keterikatannya 6. Tidak menekuni banyak ilmu sekaligus,
dengan kesibukan duniawi karena melainkan berurutan dari yang paling
kesibukan itu akan melengahkannya dari penting. Ilmu yang paling utama ialah
menuntut ilmu. Jika pikiran pecah maka ilmu mengenal Allah.
murid tidak akan dapat memahami 7. Tidak memasuki cabang ilmu sebelum
hakikat. Karena itu dikatakan “ilmu tidak menguasai cabang ilmu sebelumnya.
akan memberikan kepadamu sebagiannya Ilmu itu sifatnya bertahap dan berurutan.
sebelum kamu menyerahkan kepadanya Antara satu ilmu dengan ilmu lainnya
seluruh jiwamu; jika kamu telah sering kali memiliki sifat prerequisite.
memberikan seluruh jiwamu kepadanya 8. Hendaklah mengetahui ciri-ciri ilmu
tetapi ia baru memberikan sebagiannya yang paling mulia, itu diketahui dari hasil
kepadamu maka itu berarti kamu dalam belajarnya, dan kekuatan dalilnya.
bahaya. Pikiran yang terpencar pada Contoh (dari segi hasil); hasil belajar
berbagai hal adalah seperti sungai kecil ilmu agama ialah kehidupan yang abadi,
yang airnya berpencar kemudian sedangkan hasil belajar ilmu kedokteran
sebagiannya diserap tanah dan sebagian ialah kehidupan yang fana. Jadi belajar
lagi menguap ke udara sehingga tidak ilmu agama lebih utama ketimbang
ada air yang terkumpul dan sampai ke belajar ilmu kedokteran.
ladang tanaman. Intinya ialah murid Tampak tidak ada perbedaan secara
harus berkonsentrasi menuntut ilmu, signifikan beberapa prinsip yang dijelaskan
tidak mengonsentrasikan diri pada selain oleh al-Ghazali dan Sa’id Hawwa, keduanya
itu. lebih menekankan pada prinsip-prinsip secara

56
Faktor Jurnal Ilmiah Kependidikan Vol. 7 No. 1 Maret 2020, hal 49-58

umum yang harus dilakukan oleh pelajar PENUTUP


dalam proses belajarnya. Di samping itu, poin Pada beberapa tulisan (artikel)
penting yang perlu diperhatikan dalam sebelumnya para penulis banyak menuangkan
perumusan aturan yang harus ditaati dan tentang etika belajar dan mengajar yang akan
dilakukan tersebut ialah bahwa belajar bukan dijadikan pedoman bagi seorang
hanya interaksi yang dilakukan oleh individu siswa/mahasiswa dan juga guru/dosen, maka
dengan lingkungan, melainkan juga dengan dalam tulisan ini lebih banyak difokuskan
Allah Swt. Dengan demikian, belajar dalam tentang bagaimana etika seorang
Islam memiliki sifat yang transendental, siswa/mahasiswa dalam medapatkan ilmu
hubungannya tidak terbatas secara horizontal (belajar). Adapun etika mengajar bagi seorang
melainkan juga berkaitan secara vertikal. guru/dosen akan ditulis pada artikel
Apabila melihat dari beberapa tulisan selanjutnya.
dari masing-masing ulama di atas Besar harapan tulisan ini dapat menjadi
menunjukakan bahwa etika utama yang harus pedoman khusus bagi siswa maupun
ditonjolkan pada setiap pelajar adalah mahasiswa dalam melaksanakan tugas
kebersihan jiwa. belajarnya sebagai kewajiban bagi seorang
Dipertegas oleh Imam Nawawi bahwa muslim dalam menuntut ilmu dan memberikan
seorang murid haruslah : panduan dalam rangka memudahkan proses
1. Hendaklah peserta didik menjauhi hal- belajar terlebih menjadikan ilmunya dapat
hal yang menyibukkan kecuali karena bermanfaat khusus untuk dirinya, keluarga
merupakan kebutuhan. bangsa dan agama.
2. Membersihkan hati dari kotoran-kotoran
dosa supaya hati menjadi baik untuk
menerima Al-Qur’an, menghafalkannya
dan menghafalkannya.
3. Hendaklah peserta didik bersikap
tawadhu” terhadap pendidiknya
meskipun pendidiknya lebih muda
darinya, kurang tersohor, lebih rendah
nasabnya dan hendaklah peserta didik
bersikap tawadhu” terhadap ilmu, karena
dengan sikap tersebut peserta didik akan
mendapatkan ilmu.”
4. Hendaklah peserta didik patuh kepada
pendidiknya dan membicarakan segala
urusannya. Dia terima perkataannya
seperti orang sakit yang berakal
menerima nasihat dokter yang
mempunyai kepandaian, maka yang
demikian itu lebih utama
(Nawawi:2015:63).

57
Usman Sutisna, Etika Belajar Dalam Islam

DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad, Filsafat Ilmu; Ontologi, Nata, Abudin. (2012). Akhlak tasawuf dan
Epistemologi, dan Logika Karakter Mulia. (Jakarta: PT Gramedia
IlmuPengetahuan, (Pustaka Pelajar, Pustaka Utama).
Yogyakarta, 2010) Nawawi,Imam.At-Tibyan Fi
Al-Ghazali.IhyaUlumuddin. Terj. Abdul AdabiHamalatilQur•'3fan. Beirut:Darul
Rosyad. Jakarta: Akbar Media, 2009. Minhaj, 2015.
Bagus, Loren. (2000). Kamus Filsafat. Shihab, M. Quraish. (2014). Wawasan Al-
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka) Qur’an: Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai
Bakhtiar, Amsal , Filsafat Ilmu, (PT Persoalan Umat. (Bandung: Mizan).
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013) Sofyan, Ayi, Kapita Selekta Filsafat, (Pustaka
Departemen Agama. (2009). Al-Qur’an dan Setia, Bandung, 2010)
Terjemah. (Bandung: PT Syamil) Syarif, Ulil Amri. (2012). Pendidikan Karakter
Hamzah B. Uno dan Nurdin Mohamad, Berbasis Islam. (Raja Grafindo Press).
Belajar dengan Pendekatan Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islami;
PAILKEM;Pembelajaran Aktif, Inovatif, Integrasi Jasmani, Rohani, dan
Lingkungan, Kreatif, Efektif, Menarik, Kalbu,Memanusiakan Manusia, (PT
PT Bumi Aksara, Jakarta,2014 Remaja Rosdakarya, Bandung, 2012)
Hariyanto,Edi Etika Guru dalam Proses Zubair, Achmad Haris. (1990). Kuliah Etika.
Belajar Mengajar Agama Islam (Jakarta: Rajawali Press)
Menurut KH. Hasyim Asy’ari Dalam
Kitab Adabul Alim wal Muta’allim.
(thesis, I AIN Wali Songo, 2011.
Mahjudin. (2009). Akhlak Tasawuf. (Jakarta:
Kalam Mulia).
Moh. Rosyid, Strategi Pembelajaran
Demokratis, LePPPAS dan UPT
UNNES Press, 2006

58

Anda mungkin juga menyukai