Aku menunggu balasannya, namun tak satu patah kata pun terucap. Aku menimbang –
nimbang sebentar, apakah aku akan melanjutkan perkataanku yang sebenarnya aku sendiri
entah mengapa takut untuk ungkapkan, namun setelah mempertimbangkan, aku menelan
ludahku dan mulai berbicara lagi.
“Oh... Jadi kau memang membenciku. Kau tahu? Aku merasa seperti kau selalu berusaha
mencari kesalahanku. Dari hal – hal terkecil seperti aku yang tidak begitu pandai
menggunakan handphone sampai ke hal – hal yang menyangkut pendapat pribadiku tentang
hidupku. Apa salahku? Apa aku pernah menyinggung perasaanmu atau kau memang--” kali
ini giliranku yang terkejut dengan ia yang tiba – tiba menatapku dengan tajam sampai
membuat jantungku seakan – akan berhenti berdetak. Namun, apa yang membuatku terkejut
bukanlah karena kata – kataku yang kurasa sekali lagi menebak pikirannya dan balasan
berupa tatapan tajam, melainkan ekspresinya.
Aku sungguh tidak menduganya. Bertahun – tahun aku mengenalnya, baru kali ini aku
melihatnya menunjukkan ekspresi seperti itu. Ya. Dia menangis—tidak. Aku bisa melihat
betapa ia berusaha menahan air mata yang terbendung di ujung kedua matanya, namun
akhirnya ia kalah dengan emosinya sendiri yang berusaha ia lawan.
“Kamu gabakal pernah ngerti apa yang aku rasain selama ini. Gimana aku ngelaluin hari –
hari yang berat banget yang kamu gak pernah nggak susah lewatinnya!” serunya. Ia menarik
dan mencengkram kerah bajuku dan aku sedikit terangkat dari tindakannya.
Tetes demi tetes jatuh, namun belum ada juga kata – kata yang keluar dari mulutnya. Aku
melihat badannya bergetar dengan emosi, melihatnya berusaha menahan isakan, dan aku tiba
– tiba hilang keberanian untuk melanjutkan perkataanku.
Beberapa menit berlalu. Tidak ada suara selain detak jantungku yang mulai berdebar dan
nafasnya yang mulai terengah – engah.