Puisi-Puisi Apolius Dimanstory Pangkur
Puisi-Puisi Apolius Dimanstory Pangkur
Suatu kali seorang turis WNA menghampiri dan berkata padaku yang lagi menyapu jalanan
sepanjang menuju Hotel Ayana:
Dengan wajah bingung, mungkin karena tak mampu berbahasa Indonesia, ia menggaruk-
garuk kepala.
“Di sini, di villa-villa bukit sana, di bar-bar dekat pantai sana, di hotel-hotel megah
berbintang ini dan itu, tuan tanahnya bukan orang Flores. Pemiliknya orang Swedia,orang
Belanda, Orang New-Zealand, Orang Jepang, orang Amerika, Orang China.”
1
Penulis adalah mahasiswa sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, berasal dari desa Purang, Cumbi,
Kabupaten Manggarai, NTT.
PRAHARA DI TANAH ITALIA
Mungkin, kalau tak datang badai senyap tiba-tiba tapi mematikan itu;
Maka karya seni di jalan dan ruangan tak akan luput dari kagum para penikmatnya;
Maka dingin tidak merasa sepi karena tak merayapi tubuh-tubuh di jalan-jalan menuju
Sistina;
Maka siku tak perlu ditekuk ganti telapak tangan yang biasanya ambil tempat saling
memeluk;
Maka senja tak akan muram waktu pulang kembali selepas waktu jaganya;
Maka malam pasti akan tetap teriak biarpun di lorong-lorong sempit jalanannya;
Maka berita kehilangan yang abadi belum tentu penuh di koran-koran harian;
Maka tanah belum tentu digali terus untuk menanam jasad manusia;
Maka tak ada sungai-sungai baru dari hulu mata menuju hilir dagu;
Mungkin, kalau tak datang badai senyap tiba-tiba tapi mematikan itu;
Ah!
Di berpikir dia sehat.
Ada yang memanggil sejak tadi dari balik pintu:
“Nak, sudah ditunggu di ruang makan.”
“Hmmm. Saya masih kenyang.”
“Lah, memangnya kamu makan apa dari tadi?”
“Saya makan panggilan suara dari si Z, pesan singkat dari si W, panggilan video dari si Y,
notifikasi dari artis R.”
Sepuluh menit kemudian ia tidur malam.
Jam 7 pagi.
Ribang, 2020.