Buku Ajar Psikon 2016
Buku Ajar Psikon 2016
Buku Ajar Psikon 2016
net/publication/312993679
CITATIONS READS
0 158,543
2 authors, including:
Mulawarman Mulawarman
Universitas Negeri Semarang
85 PUBLICATIONS 127 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Mulawarman Mulawarman on 28 January 2017.
Oleh :
Mulawarman, Ph.D
Eem Munawaroh, M.Pd
B
uku Psikologi Konseling: Sebuah Pengantar bagi Konselor Pendidikan
ini disusun sebagai salah satu buku pendukung mahasiswa dan pendidik
khususnya yang berkecimpung dalam dunia Bimbingan dan konseling di
jurusan Bimbingan dan Konseling dalam penyelenggaraan perkuliahan matakuliah
Psikologi Konseling. Buku ini menjelaskan tentang tentang konsep dasar psikologi
konseling, konsep-konsep masalah individu berkaitan dengan hakekat manusia, konsep
hubungan dalam konseling, pemahaman terhadap pribadi klien, pemahaman terhadap
konselor yang efektif, hambatan/kesulitan dalam proses konseling, keterampilan-
keterampilan yang mendasar dalam konseling dan konsep nilai, keyakinan dan etika
dalam konseling.
Buku ini diharapkan dapat membantu para mahasiswa menguasai teori dan
memahami konsep psikologi konseling sehingga mereka dapat mengaplikasikan ilmunya
terutama dalam tataran konsep dan praktik konseling.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak, yang namanya tidak
dapat kami sebutkan satu persatu, yang telah membantu memberikan masukan dan koreksi
dalam penyusunan buku Psikologi Konseling: Sebuah Pengantar bagi Konselor
Pendidikan.
Sebagaimana upaya peningkatan kualitas yang tidak akan pernah selesai, bukan
mustahil dalam buku ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu,
kami mengharapkan saran dan komentar yang dapat dijadikan masukan dalam
menyempurnakan buku ini di masa yang akan datang.
Semoga buku ini bermanfaat tidak hanya bagi para sivitas akademika Universitas
Negeri Semarang khususnya di lingkungan Jurusan Bimbingan dan Konseling, tetapi juga
semua pihak di luar sivitas akademika Universitas Negeri Semarang.
Penyusun
DAFTAR ISI
1
a. Rogers (1952) dalam Rosjidan (1994:4), mengemukakan bahwa konseling
merupakan proses dimana sturktur diri (pribadi) dibuat sesantai mungkin demi
menjaga hubungan dengan ahli terapi, dan pengalaman-pengalaman sebelumnya
yang tertolak dirasakan dan selanjutnya diintegrasikan kedalam suatu diri (self)
yang telah dirubah.
b. Gibson dan Mitchell (2003) menyatakan bahwa konseling adalah hubungan
bantuan antara konselor dan klien yang difokuskan pada pertumbuhan pribadi dan
penyesuaian diri serta pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
c. Stefflre (1970) dalam Rosjidan (1994 : 5), menyatakan bahwa konseling merupakan
suatu hubungan professional…dilakukan untuk membantu pengertian klien dan
menjernihkan memperjelas pendapatnya selama kehidupannya sehingga dia bisa
menentukan pilihan yang berguna dan dinyatakan dengan sifat esensial dan
lingkungan yang dimilikinya. Konseling merupakan suatu proses belajar-mengajar,
karena klien belajar tentang kehidupannya.Apabila dia harus membuat pilihan-
pilihan yang berarti, dia harus mengetahui tentang dirinya sendiri fakta-fakta
tentang situasi yang dimilikinya sekarang, dan kemungkinan-kemungkinan…serta
konseksuensi-konsekuensi yang sangat mungkin adanya dari berbagai pilihan
tersebut.
d. Menurut Pietrofesa, Leonarddan Hoose (1978) dalam Mappiare (2002:16)
menyatakan bahwa definisi konseling dapat digambarkan konseling adalah suatu
proses dimana ada seseorang yang dipersiapkan secara profesional untuk membantu
orang lain dalam memahami diri, pembuatan keputusan dan memecahkan masalah.
Selain itu konseling adalah pertemuan “dari hati ke hati” antarmanusia yang
hasilnya sangat bergantung pada kualitas hubungan.
e. Menurut C. H. Patterson (1959) dalam Abimanyu dan Manrihu (1996:9),
mengemukakan bahwa konseling adalah proses yang melibatkan hubungan antar
pribadi antara seorang terapis dengan satu atau lebih klien dimana terapis
menggunakan metode-metode psikologis atas dasar pengetahuan sistematik tentang
kepribadian manusia dalam upaya meningkatkan kesehatan mental klien.
f. Menurut Brammer dan Shostrom (1982:8) mengemukakan bahwa konseling adalah
suatu perencanaan yang lebih rasional, pemecahan masalah, pembuatan keputusan
intensionalitas, pencegahan terhadap munculnya masalah penyesuaian diri, dan
memberi dukungan dalam menghadapi tekanan-tekanan situasional dalam
kehidupan sehari-hari.
Dari berbagai rumusan definisi-definisi yang dikemukakan terdapat beberapa
kesamaan. Kesamaaan tersebut menyangkut ciri-ciri pokok konseling yaitu sebagai
berikut :
1) Konseling dilakukan oleh seorang konselor yang mempunyai kemampuan secara
profesional dalam menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan keputusan-
keputusan pribadi, sosial, karier dan pendidikan serta memahami proses-proses
psikis maupun dinamika perilaku pada diri klien.
2) Konseling melibatkan interaksi dan komunikasi antara dua orang yaitu konselor dan
klien baik secara langsung (bahasa verbal) maupun secara tidak langsung (non
verbal).
3) Tujuan dari hubungan konseling ialah terjadinya perubahan tingkah laku pada diri
klien sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh klien. Konselor
berupaya untuk memfasilitasi dan memberikan dukungan, bersama klien membuat
alternatif-alternatif pemecahan masalah demi perubahan ke arah lebih baik dan
sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dalam konseling. Selain itu tujuan lain yang
ingin dicapai dalam konseling terutama pada diri klien adalah
a. Klien akan memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap dirinya.
b. Mempunyai wawasan yang lebih realistis serta penerimaan yang obyektif
tentang dirinya.
c. Terhindar dari gejala-gejala kecemasan dan salah suai.
4) Konseling merupakan proses yang dinamis, di mana individu klien dibantu untuk
dapat mengembangkan dirinya, mengembangkan kemampauan-kemampuannya
dalam mengatasi masalah-masalah yang sedang dihadapi.
5) Konseling merupakan suatu proses belajar terutama bagi klien untuk
mengembangkan perilaku baru dan membuat pilihan, keputusan sendiri
(autonomous) kearah perubahan yang dikehendaki.
6) Adanya suatu hubungan yang salaing menghargai dan menghormati sehingga
timbul saling kepercayaan, dengan kata lain konselor menjamin kerahasiaan klien.
Dengan beberapa rumusan definisi dan ciri-ciri pokok konseling maka dapat
disimpulkan bahwa konseling merupakan suatu proses bantuan secara profesional antara
konselor dan klien yang bertujuan membantu individu (klien) dalam memecahkan
masalahnya agar individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya sesuai potensi
atau kemampuan yang ada pada dirinya. Cavanagh dan Levitov (2002) menyimpukan
bahwa dari 36 definisi konseling, konseling memiliki 4 komponen utama, yakni hubungan,
masalah, tujuan, dan treatment.
1. Hubungan
Hubungan yang dimaksud adalah hubungan antar konselor dengan konseli,
pentingnya hubungan dalam konseling telah lama digali oleh para ahli psikologi seperti
Freud, Sullivan, dan Rogers. Dalam hubungan konseling, konselor mengembangkan
berbagai sikap seperti empati, hangat, terbuka, unconditional positive regard, sehingga
hubungan yang dibuat antara konselor dan konseli dapat menjadi sebuah instrumen yang
dapat membantu konseli, oleh karena itu hubungan dalam konseling disebut sebagai
helping relationship atau hubungan yang membantu.
2. Masalah
Masalah merupakan komponen penting dalam konseling, berbagai teknik konseling
yang dikemukakan oleh para ahli pada dasarnya bertujuan untuk mendefinisikan,
mengidentifikasi, dan menyelesaikan masalah yang dialami oleh konseli.
3. Tujuan
Tujuan konseling bervariasi sesuai dengan orientasi teoritis dan masalah konseli.
Beberapa teori menekankan pada perubahan kognisi dan pemahamna, teori lainnya
menekankan pada perubahan emosi dan perilaku, dan ada juga teori yang bertujuan
pengembangan dan pertumbuhan individu. Terdapat pendekatan konseling fokus
secara langsung pada proses belajar dengan fokus utama mengubah perilaku yang
maladaptif dengan perilaku yang adaptif, tetapi secara umum, berbagai pendekatan
tersebut fokus pada salah satu dibawah ini:
a. Meningkatkan kompetensi interpersonal dan intrapersonal
b. Perkembangan kepribadian
c. Membantu individu yang mengalami hambatan dalam pertumbuhannya.
4. Treatment
Treatment dalam hubungan konseling dilaksanakan berdasarkan tujuan yang ingin di
capai dalam proses konseling. Pelaksanaan treatment sangat bergantung pada
permasalahan konseli dan pendekatan yang digunakan.
Evaluasi
1. Jelaskan hakekat dari psikologi konseling
2. Jelaskan mengapa konseling merupakan proses psikologis? (berikanlah contoh dari
penjelasan anda)
3. Menurut Anda apa hakekat dari konseling itu?
4. Berikanlah alasan rasional mengapa konseling juga merupakan suatu proses belajar?
5. Tidak semua hubungan dengan orang lain bersifat membantu. Dengan demikian ada
beberapa kriteria ataupun karakteristik dari hubungan membantu. Jelaskan karakteristik
hubungan membantu yang sifatnya profesional.
Daftar Pustaka
Abimanyu, Soli dan Manrihu, Thayeb. 1996. Tehnik dan Laboratorium Konseling. Jakarta:
Depdikbud Dirjen Dikti.
Brammer, L.M dan Shostrom, E.L. 1982. Therapeutic Psychology: Fundamental of
Counseling and Psychoterapy: Fourth Edition. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Cavanagh, Michael & Levitov, Justin. 2002. The Counseling Experience, A Theoritical and
Practical Approach. Illionis: Waveland Press Inc
Capuzzi, D., dan Gross, D.R. 1991. Introduction to Counseling. Needham Heights: Allyn
and Bacon
Gibson, R.L & M.H. Mitchell. 2003. Introduction to Counseling and Guidance; 6th
edition. Englewood Cliffts New Jersey: Merrill, Prentice Hall.
Latipun. 2004. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.
Mappiare, Andi. 2002. Pengantar Konseling dan Psikloterapi. Jakarta: PT. Rajawali
Grafindo Persada
Mappiare, Andi. 2006. Kamus Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Rajawali Grafindo
Persada.
Rosjidan. 1994. Modul Pengantar Wawancara Konseling. Malang: PPB FIP IKIPMalang
Surya, M. 2003. Psikologi Konseling. Bandung: C.V. Pustaka Bani Quraisy.
BAB II
MASALAH INDIVIDU DALAM PERSPEKTIF
PENDEKATAN THINKING, FEELING DAN ACTING (TFA)
F A
Gambar 1. Segitiga TFA menunjukkan pendekatan berorientasi pemikiran
Melalui konseling, Andi telah dapat melihat betapa tidak raional pemikirannya dan
betapa ia telah tenggelam dalam lingkaran pola perusakan diri (self destruction).
Dengan kata lain Pemikiran (Thinking) negatif, perusakan diri menimbulkan
perasaan (Feeling) penghukuman diri disertai dengan Tindakan (Acting) menarik
diri karena malu pada orang lain karena menurut Andi orang lain akan memberi cap
bahwa ia gagal, bodoh, tidak cermat, dsb. Konselor membantunya mengerahkan
bisik diri (Self talk) dan pemikiran diri yang lebih rasional, sembari menghilagkan
keharusan-keharusan yang tak rasional (seperti, saya harus/mesti/wajib
melakukan…apapan yang terjadi). Pemikiran rasional, misalnya bahwa tidak semua
hal perlu dilakukan “secerrmat-cermatnya, sempurna”, dan semacamnya. Akibatnya
Andi jelas-jelas merubah pandangan pada diri sendiri dan memandang secara
realistis pada apa yang ia (atau orang lain) harapkan ia lakukan. Akibat selanjutnya,
ia telah mampu beralih dari pikiran dasar yang tak rasional, tak realistis, ke cara-
cara berpikir (Thinking) lebih rasional dan berakibat pada perasaan (Feeling) dan
tindakan (Action) lebih positif.
2. Pendekatan yang berorientasi pada perasaan
Dalam gambar 2 terdapat feeling approach (pendekatan-pendekatan yang
berorientasi pada perasaan).
F A
Gambar 2. Segitiga TFA menunjukkan pendekatan berorientasi perasaan
Dalam pendekatan ini, perhatian utama konselor berfokus pada emosi, afeksi dan
perasaan klien. Dalam pendekatan yang berorientasi pada perasaan (feeling
approach) memiliki anggapan dasar bahwa jika perasaan dan emosi kusut individu
tidak dapat mengekpresikan dan memahami perasaan-perasaan yang dialaminya
maka individu tersebut adalah individu yang “tidak sehat” atau dapat dikatakan
individu bermasalah. Individu akan menjadi individu yang sehat bila individu
tersebut dapat memahami dan mengekspresikan perasaan-perasaan yang
dialaminya. Dengan demikian individu akan memperoleh insight dan mengambil
tindakan yang pantas. Dalam hal ini konselor menitik beratkan pada membantu
klien mengekspresikan, mengklarifikasi, menguraikan, dan memahami emosi yang
muncul. Seringkali sebagi hasil penguraian kekusutan emosional, klien mengalami
insight (berpikir lebih gamblang mengenai situasi bersangkutan dan kemudian
mampu mengambil tindakan yang pantas/layak.
Contoh pendekatan ini adalah sebagai berikut:
Dina telah mengalami tekanan emosional (stres) yang semakin berat dalam enam
bulan terakhir. Atas saran seorang teman ia minta konseling dari seorang konselor.
Konselor memfokuskan bantuannya perhatiannya pada masa kesepian, rasa
sendirian, dan rasa tak berharga Dina yang telah dialaminya sejak tunangan
menikah dengan orang lain enam bulan lalu. Dalam proses konseling Dina telah
mampu memverbalisasikan dan mengekspresikan perasaan dan emosi pribadinya
yang paling dalam pada suasana aman dan santai. Akibat dari pelepasan emosi tadi,
Dina mengalami perasaan lega, melepaskan semua beban dari emosi yang tak
tercetuskan yang selama ini tidak pernah ia bicarakan bersama orang lain. Dalam
proses itu ia mencapai sejumlah pengamatan jelas (insightful) tenatang situasinya.
Ia mulai lambat laun bertambah maju, berpikir positif dan merencanakan jenis
aktivitas lain yang ingin ia tekuni pada masa datang. Disamping menemukan pacar
pengganti. Proses yang telah berlangsung yaitu dengan membebaskan perasaan
(feeling), maka klien mampu berpikir (thinking) lebih jelas dan mengambil tindakan
(action) sesuai keperluannya.
F A
Gambar 3. Segitiga TFA menunjukkan pendekatan berorientasi tindakan
Dari beberapa penjelasan tersebut kita dapat memahami karakteristik masalah yang
dihadapi oleh individu berdasarkan sudut pandang pendekatan konseling yang berorientasi
pada pemikiran (thinking), perasaan (feeling), dan tindakan (acting). Masalah-masalah
yang muncul dapat berasal dari pemikiran individu, dari perasaan-perasaan yang dialami
oleh individu maupun tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu. Hal ini benar-
benar akan menjadi masalah bagi individu ketika terjadi kesenjangan antara harapan dan
kenyataan, proses belajar yang salah ataupun beberapa perilaku yang tidak sesuai/tidak
dikehendaki oleh individu atau lingkungan terus dilakukannya. Dengan demikian perlu
adanya upaya-upaya yang membantu individu agar dapat menyelesaikan masalahnya dan
dapat hidup secara layak.
Selain karakteristik masalah individu berdasarkan pendekatan thinking, feeling, dan
acting, beberapa praktisi konseling mencoba menjelaskan jenis-jenis masalah yang muncul
dalam konseling. Cavanagh dan Levitov (2002) menjelaskan masalah berdasarkan
terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan individu:
1. Kebutuhan memberi dan menerima kasih sayang
Kebutuhan memberi dan menerima kasih sayang adalah kebutuhan yang utama
pada individu. Individu adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan akan keintiman
dan kebutuhan untuk mengekspresikan kasih sayang dalam hidupnya sehingga dapat
berfungsi secara efektif. Menerima kasih sayang dapat membuat inividu merasa hangat,
diterima, dan dicintai. Ketika individu menerima kasih sayang, maka individu dapat
memberikan kasih sayang kepada orang lain karena reinforcement kasih sayang yang
diterimanya. Selain menerima kasih sayang, memberi kasih sayang juga merupakan
kebutuhan yang sangat penting untuk dipenuhi. Individu yang tidak dapat memberikan
kasih sayang kepada orang lain cenderung menjadi individu yang frustasi, merasa tidak
berguna, dan secara emosional tidak stabil. Kebutuhan yang tidak terpenuhi dalam
mendapatkan dan memberi kasih sayang dapat menjadi salah satu karakteristik masalah
dalam konseling.
2. Kebutuhan terhadap kebebasan
Salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi pada individu adalah kebebasan dalam
membuat pilihan dalam hidupnya. Kebebasan dalam memilih mengimplikasikan bahwa
individu membuat keputusan berdasarkan siapa diri mereka bukan apa yang harus
ditampilkan dari diri mereka atau berdasarkan apa yang orang lain harapkan dari diri
mereka. Kebebasan yang dimaksud disni adalah kebebasan yang bertanggung jawab.
Kebebasan tanpa tanggung jawab adalah kebebasan yang egosentris, sembrono, dan
merusak, sedangkan tanggung jawab tanpa kebebasan adalah hidup yang tanpa pilihan,
makna, dan tujuan. Masalah muncul ketika individu tidak memiliki kebebasan untuk
membuat pilihan dalam hidupnya. Dalam mendefinisikan dan mengidentifikasi masalah
konseling hubungannya dengan kebebasan, konselor hendaknya memahami konsep
kebebasan dalam konteks budaya klien.
3. Kebutuhan bermain atau hiburan
Bermain meningkatan kekuatan individu, menurut saffi dan saffi bermain dapat
meningkatkan penguasaan anak terhadap lingkungan dan meningkatkan perilaku
adaptif. Bermain adalah sumber dari penemuan dan kreativitas. Pada orang dewasa,
bermain atau hiburan dapat meningkatkan kesehatan psikologis. Salah satu contoh
bermain bagi orang dewasa adalah hobi, berbagai psikiatri menyarankan orang dewasa
untu memiliki hobi, karena dapat meningatkan kesejahteraan psikologis individu.
Bentuk bermain atau hiburan dapat berupa mendaki gunung, berenang, tenis, menulis,
membaca, melukis, atau mendengarkan musik. Bentuk bermain lain diantaranya adalah
bermain dengan anak dan menolong orang yang kurang beruntung. Kurangnya bermain
dan hiburan dapat menimbulkan masalah.
4. Kebutuhan terhadap penerimaan stimulasi
Individu memebutuhkan berbagai macam pengalaman dan perubahan dalam hidup
untuk mengurangi kejenuhan. Mereka membutuhkan pengalaman yang menyegarkan
dan tantangan baru agar merasa hidup. Selain melaksanakan kegiatan rutin, individu
juga perlu menyisihan waktunya untuk pengalaman baru dalam pertemanan, kerja, dan
lain-lain. individu yang mendapatkan stimulasi yang rendah akan terjebak dalam
kegiatan rutin yang menjenuhkan. Ketika individu terjebak dalam kegiatan rutin secara
terus menerus, maka individu tersebut gagal untuk tubuh dan berkembang. Kurangnya
hiburan atau bermain dapat menjadi salah satu karakteristik masalah dalam konseling.
5. Kebutuhan terhadap penghargaan
Banyak individu yang merasa tidak dihargai atas usaha yang telah dilakukannya.
Banyak klien yang datang kepada konsleor karena mereka merasa tidak di hargai di rumah,
tempat kerja, maupun dalam hubungan pertemanan.
6. Kebutuhan terhadap harapan
Harapna sangat penting dalam kehidupan individu. Harapanlah yang akan
mempertahankan semangat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Ketika individu
kehilangan harapan, maka individu tidak memiliki semangat dalam hidupnya dan
individu berhenti untuk mencoba hal-hal dan pengalaman baru. Harapan adalah
motivasi terbesar bagi individu dalam menjalani kehidupan. Kehilangan harapan
adalah salah satu jenis masalah yang muncul dalam proses konseling. Seringkali
individu tidak menyadari kapan harapan-harapan dalam hidupnya hilang, tiba-tiba
individu merasa putus asa dengan diri, hubungan, atau pekerjaannya.
7. Kebutuhan terhadap tujuan hidup
Tujuan hidup akan mengarahkan kemana individu melangkah dalam hidupnya.
Banyak individu yang tidak menyadari tujuan hidupnya, seiring dengan
perkembangan teknologi dan media sosial di masyarakat, individu tidak memiliki
waktu yang cukup untuk memikirkan apa tujuan hidupnya dan lebih banyak
dipengaruhi oleh apa yang ditampilkan oleh sosial media. Kehilangan tujuan hidup
merupakan salah satu jenis masalah yang muncul dalam proses konseling.
Beberapa karakteristik masalah yang telah dijelaskan tadi setidaknya dapat
memberikan pemahaman kepada konselor bahwa ketika ia membantu individu (klien)
dalam pemecahan masalah maka konselor akan lebih memahami dan memberikan bantuan
secara tepat berdasarkan karakteristik masalah yang dialami oleh klien. Dari pendekatan-
pendakatan yang dikemukakan diatas, memberikan suatu kerangka kerja komprehensif dan
sistematis yang diperlukan oleh konselor terutama dalam penggunaan teknik ataupun
strategi dalam proses konseling agar tercipta suatu bantuan yang efektif dan kualifaid
dalam membantu berbagai macam klien beserta masalahnya.
Evaluasi
1. Jelaskan hakekat masalah secara umum dan secara khusus (dikaitkan dengan
konseling)
2. Sebutkan dan berikan contoh masing-masing factor yang mempengaruhi timbulnya
masalah.
3. Jelaskan masalah individu jika dilihat dari sudut pandang pendekatan thinking,
feeling dan acting.
4. Menurut anda strategi pengubahan tingkah laku apa yang harus diberikan kepada
individu jika masalah berkaitan dengan perasaannya?(jelaskan dan berilah contoh)
5. Berikan alasan mengapa pendekatan Thinhing, Feeling dan Acting dapat digunakan
dalam memahami masalah individu (klien).
Daftar Pustaka
Cavanagh, Michael & Levitoc, Justin. 2002. The Counseling Experience, A Theoritical and
Practical Approach. Illionis: Waveland Press Inc
Hutchins, D.E dan Meo, K.K. 1987. Mengintegrasikan Ancangan-ancangan Pokok
Konseling. Disadur oleh A. Mappiare. Bina Bimbingan. 4 (5), 35-40.
Mappiare, Andi. 2006. Kamus Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Rajawali Grafindo
Persada.
BAB III
DIMENSI PSIKOLOGIS HUBUNGAN KONSELING
18
Hubungan konseling mempunyai kualitas tersendiri yang mungkin tidak terdapat
dalam hubungan lain. Menurut Surya (2003:38) ada beberapa kualitas hubungan konseling
yang tidak dapat dijumpai dalam hubungan lain, yaitu:
1. Ketulusan konselor dalam melakukan hubungan membantu ditandai dengan sikap
ramah, hangat, bersahabat, dsb, dapat menggugah klien untuk lebih meyakini
dirinya.
2. Pemahaman yang diberikan konselor terhadap klien dengan segala latar belakang
dan masalah-masalahnya dapat membuat klien merasa diterima.
3. Ketulusan orang,akan diperoleh dan berkembang melalui interaksi dengan konselor
yang tulus.
4. Resiko yang timbul dari hubungan dengan konselor, dengan sendirinya tidak
menimbulkan akibat yang bersifat merusak, akan tetapi dapat menunjang
perkembangan.
5. Respon-respon baru, akan diperoleh melalui serangkaian interaksi dalam hubungan
yang bersifat membantu. Dalam konseling, klien belajar bagaimana membuat
respon yang baru dan efektif dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Dari beberapa penjelasan mengenai kualitas dalam hubungan konseling dapat diambil
kesimpulan bahwa sebenarnya hubungan yang dibangun dalam proses konseling antara
konselor dan klien memiliki keunikan tersendiri. Selain itu terdapat beberapa pendapat
tentang karakteristik hubungan yang terbina dalam proses konseling, George dan Cristiani
(1990) dalam Latipun (2004:36-37)mengemukakan enam karakteristik dinamika dan
keunikan hubungan konseling dibandingkan dengan hubungan membantu yang lainnya.
Keenam karakteristik itu adalah sebagai berikut:
6. Afeksi
Hubungan konselor dan klien pada dasarnya lebih sebagai hubungan afektif
daripada sebagai hubungan kognitif. Hubungan afektif tercermin sepanjang
proses konseling, termasuk dalam melakukan eksplorasi terhadap persepsi dan
perasaan-perasaan subyektif klien. Hubungan yang penuh afeksi ini dapat
mengurangi rasa kecemasan dan ketakutan pada klien, dan diharapkan hubungan
konselor dan klien lebih produktif.
7. Intensitas
Hubungan konseling dilakukan dengan penuh intensitas. Hubungan konselor dan
klien yang intensitas ini diharapkan dapat saling terbuka terhadap persepsinya
masing-masing. Tanpa adanya hubungan yang intensitas hubungan konseling
tidak akan mencapai pada tingkatan yang diharapkan. Konselor biasanya
mengupayakan agar hubungannya dengan klien dapat berlangsung secara
mendalam sejalan dengan perjalanan hubungan konseling.
8. Pertumbuhan dan perubahan
Hubungan konseling bersifat dinamis. Hubungan konseling terus berkembang
sebagaimana perubahan dan pertumbuhan yang terjadi pada konselor dan klien.
Hubungan tersebut dikatakan dinamis jika dari waktu ke waktu terus terjadi
peningkatan hubungan konselor dengan klien, penagalaman bagi klien, dan
tanggung jawabnya. Dengan demikian pada klien terjadi pengalaman belajar
untuk memahami dirinya sekaligus bertanggung jawab untuk mengembangkan
dirinya.
9. Privasi
Pada dasarnya dalam hubungan konseling perlu adanya keterbukaan klien.
Keterbukaan klien tersebut bersifat konfidensial (rahasia). Konselor harus
menjada kerahasiaan seluruh informasi tentang klien dan tidak dibenarkan
mengemukakan secara transparan kepada siapa pun tanpa seizin klien.
Perlindungan atau jaminan hubungan ini adalah unik dan akan meningkatkan
kemauan membuka diri.
10. Dorongan
Konselor dalam hubungan konseling memberikan dorongan (supportive) kepada
klien untuk meningkatkan kemampuan dirinya dan berkembang sesuai dengan
kemampuannya. Dalam hubungan konseling, monselor juga perlu memberikan
dorongan atas keinginannya untuk perubahan perilaku dan memperbaiki
keadaannya sendiri sekaligus memberi motivasi untuk berani mengambil risiko
dari keputusannya
11. Kejujuran
Hubungan konseling didasarkan atas saling kejujuran dan keterbukaan, serta
adanya komunikasi terarah antara konselor dengan kliennya. Dalam hubungan ini
tidak ada sandiwara dengan jalan menutupi klemahan, atau menyatakan yang
bukan sejatinya. Klien maupun konselor harus membangun hubungannya secara
jujur dan terbuka. Kejujuran menjadi prasyarat bagi keberhasilan konseling.
Menurut Shostrom dan Brammer (1982: 144-151) mengemukakan juga beberapa
karakteristik hubungan dalam konseling. Beberapa karakteristik itu adalah:
1. Unik dan Umum
Hubungan yang bersifat unik artinya bahwa hubungan antara konselor dengan
konseli/klien dalam konseling mempunyai ciri khas yang membedakannya
dengan bentuk hubungan yang lain. Setiap konselor dan klien memiliki
perbedaan individu yang membuat umumnya proses konseling menjadi sulit.
Dalam hal ini keefektifan konselor dalam membantu individu dapat tercapai
jika ia mengetahui dengan jelas bagaimana kepribadian dan tujuan sebagai
penolong (helper), memperlihatkan sikap-sikap dasar tertentu (sebagai helper)
terhadap inividu dan dapat mendemonstrasikan kemampuan-kemampuan yang
berfungsi dasar untuk menolong individu (klien). Beberapa keunikan hubungan
dalam proses konseling juga terletak pada: (a) sikap dan perilaku konselor dan
klien, (b) strukturnya yang terencana dan bersifat terapiutik, (c) adanya
penerimaan terhadap klien secara penuh oleh konselor. Sedangkan hal yang
bersifat umum adalah terletak dalam karakteristik hubungan juga terdapat
dalam berbagai bentuk situasi hubungan antar manusia seperti hubungan antara
guru dengan murid, keluarga, sahabat, dsb.
2. Keseimbangan antara aspek obyektivitas dan subyektivitas
Dalam proses konseling interaksi konselor dengan klien tidak seluruhnya
bersifat obyektif, akan tetapi juga tidak seluruhnya subyektif. Hubungan dalam
konseling terdapat kesimbangan antara hal-hal yang bersifat obyektif dan yang
bersifat subyektif. Aspek Obyektif lebih mengarah pada aspek hubungan yang
bersifat kognitif, ilmiah. Hal ini dapat diartikan bahwa klien selain menjadi
obyek ”studi” atau sebagai bagian dari manusia yang mengalami penderitaan
maka konselor menghargai cara pandang dan nilai-nilai yang ada pada klien
tanpa harus memberikan penilaian personal. Sedangkan subjektifitas hubungan
ditandai dengan segi kehangatan dan perpaduan psikologis antara konselor dan
klien. Pada intinya kehangatan dan keterlibatan emosional antara konselor dan
klien akan dipandang sebagai sesuatu yang subjektif atau memiliki arti subjektif
tersendiri khususnya bagi klien.
3. Terdapat unsur kognitif dan afektif
Dalam proses konseling, hubungan antara konselor dan klien memiliki
keseimbangan antara aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif
menyangkut proses intelektual seperti pemindahan informasi, pemberian
nasehat pada berbagai macam tindakan ataupun pengintrepretasian data tentang
klien. Sedangkan aspek afektif mengarah pada ekspresi perasaan dan sikap.
4. Unsur kesamar-samaran (ambiguity) dan kejelasan
Dalam proses konseling terdapat unsur kesamar-samaran dan kejelasan dalam
arti pada situasi tertentu konselor memberikan rangsangan tersamar,
sedangakan dalam situasi lain konselor memberikan rangsangan yang jelas. Hal
ini dimaksudkan agar konselor dapat memperoleh informasi atau bagaimana
cara pandang klien terhadap masalah yang dialaminya. Selain itu konselor dapat
memberikan penguatan terhadap pemikiran, perasaan atau sikap positif klien
yang mendukung dalam pemecahan klien.
5. Adanya unsur tanggung jawab
Dalam hubungan konseling tanggung jawab tidak seluruhnya ada pada konselor
tetapi juga tidak seluruhnya ada pada klien. Perwujudan dari tanggungjawab ini
adalah antara konselor dan klien sama-sama memiliki tanggungjawab dalam
tujuan maupun komitmen yang dibangun antar keduanya.
1. Kontak awal
Komunikasi awal
2. Pengembangan
hubungan
Ada jembatan hubungan
3. Permulaan pemindahan
dalam hubungan yang Proyeksi dan identifikasi
telah berkembang menjadi lebih kuat
Akhir konseling
3. Penolakan (resistance)
Resistensi merupakan suatu sistem pertahanan klien yang berlawanan dengan
tujuan konseling atau terapi (Brammer dan Shostrom, 1982). Pada umumnya
konselor melihat resistensi sebagi suatu hal yang berlawanan dengan kemajuan
dalam pemecahan masalah dan oleh karena itu konselor harus berusaha
menguranginya sebanyak mungkin. Namun, konselor melihat resistensi sebagai
suatu gejala yang penting untuk dianalisa secara intensif. Dengan demikian
pada dasarnya resistensi merupakan gejala normal dalam proses konseling.
Sumber munculnya resistensi dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu
resistensi internal dan resistensi yang bersifat eksternal. Resistensi internal
datang dari kepribadian klien sendiri, dan resistensi eksternal timbul sebagai
hasil konseling misalnya pengaruh teknik yang digunakan oleh konselor atau
sikap kontratransparasi konselor.
Fungsi positif dari resistensi dalam proses konseling adalah:
Memberikan indikasi kemajuan wawancara pada umumnya dan dasar
untuk rumusan diagnostik dan prognostik
Memberikan informasi kepada konselor, bahwa ada struktur
pertahanan dari klien, sehingga konselor harus mempertimbangkan
proses selanjutnya.
Sebagai mekanisme protektif (perlindungan dari ancaman) bagi diri
klien melalui sistem pertahanannya.
Menurut Bugental (1952) dalam Brammer dan Shostrom (1982)
mengemukakan lima tingkatan intensitas gejala resistensi mulai dari yang
paling rendah sampai ke paling tinggi intensitasnya yaitu:
(1) Bersikap lamban (lagging)
Klien menghindari tanggung jawab, responya tidak bersemangat,
distractible, dan lebih ke arah intelektualisasi daripada konten emosi
(2) Kaku (inertia)
Menjawab dengan kata-kata pendek, tidak memperhatikan pengarahan
konselor dan tampak lelah.
(3) Tentatif resistensi
Termasuk indikasi bahwa klien tidak mau melanjutkan ketegangan fisik,
menahan rasa marah, perasaan berdosa, cemas.
(4) Resistensi sebenarnya
Menunjukkan intensifikasi tentatf seperti diam, menanyakan kompetensi
konselor, atau mempergunakan kata-kata kasar.
(5) Penolakan.
Tindakan klien sangat ekstrim misalnya dengan mengakhiri konseling,
melawan konselor.
Ada beberapa langkah untuk mengatasi sikap resistensi dari klien yaitu
1. Menghiraukan gejala-gejala resistensi klien tetapi tetap waspada
peningkatan resistensi. Dengan kata lain bila terjadi resistensi itu adalah
hal normal, namun konselor berusaha memahami karakteristik atau gaya
pertahanan diri klien
2. Menggunakan teknik adaptasi minor, yaitu melakukan tindakan
mengurangi resistensi dengan cara mengurangi pengaruh emosional,
mengubah langkah (mengurangi bertanya, mengeser postur lebih rileks),
menggunakan humor, dan memberikan dorongan dan penerimaan.
3. Mengarahkan kembali isi wawancara pada hal-hal yang dapat
mengurangi resistensi
4. Teknik penanganan langsung dengan cara: interpretasi resistensi,
refleksi perasaan resistensi, teknik referal, dan ancaman.
Evaluasi
1. Hubungan konseling adalah hubungan terapeutik. Jelaskan maksud dari pernyataan
tersebut dan berilah contoh yang mendukung penjelasan Anda.
2. Jelaskan hakekat hubungan dalam proses konseling beserta karakteristik yang
membedakannya dengan hubungan lainnya.
3. Mengapa setting fisik merupakan faktor pendukung terlaksananya hubungan
konseling?
4. Jelaskan masing-masing tahap dalam proses konseling.
5. Jelaskan konsep tentang transference, Countertransference dan resistance.
Daftar Pustaka
Brammer, L.M dan Shostrom, E.L. 1982. Therapeutic Psychology: Fundamental of
Counseling and Psychoterapy: Fourth Edition. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Gladding, S.T. 2009. Counselling: A Comprehensive Professions 6th edition. New
Jersey: Prentice-Hall.
Latipun. 2004. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.
Lesmana, J.M. 2006. Dasar-dasar Konseling. Jakarta: UI Press
Mappiare, Andi. 2006. Kamus Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Rajawali
Grafindo Persada.
May, Rollo. 1997. Seni Konseling. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Surya, M. 2003. Psikologi Konseling. Bandung: C.V. Pustaka Bani Quraisy.
Yeo, Antony. 2003. Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah. Terjemahan A.
Wuisan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia
BAB IV
DIMENSI PSIKOLOGIS PRIBADI KLIEN
G. Harapan-Harapan Klien
Dalam konseling, klien juga memiliki harapan-harapan yang sesuai dengan masalah
yang dialaminya. Harapan klien ini sangat dipengaruhi oleh persepsinya tentang fungsi dan
pengalaman-pengalamannya dalam hubungannya dengan konseling.
Menurut Dennis P. Saccazzo dalam Latipun (2004), penelitiannya menujukkan
bermacam-macam harapan sebagai alasan klien datang ke konselor. Harapan-harapan klien
adalah sebagai berikut:
1. Untuk memperoleh kesempatan membebaskan diri dari kesulitan
2. Untuk mengetahui lebih jauh model terapi yang sesuai dengan masalahnya
3. Mengetahui lebih jauh kesulitan/masalah yang dialami sebenarnya.
4. Memperoleh ketenangan dan kepercayaan diri dari rasa ketegangan dan rasa
yang tidak menyenangkan.
5. Mengetahui atau memahami alasan yang ada di balik perasaan dan perilakunya.
6. Mendapat dukungan tentang yang harus dilakukan.
7. Untuk memperoleh kepercayaan dalam melakukan sesuatu atau perilaku baru
yang berbeda dengan orang lain.
8. Mengetahui perasaan-perasaan apa yang sebenarnya sedang dialami dan
bagaimana seharusnya melakukan.
9. Untuk mendapatkan saran atau nasihat, bagaimana agar hidupnya dapat
bermakna dan berguna baaik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
10. Agar orang lain menanggapi sebagaimana layaknya
11. Agar dirinya lebih baik dalam melakukan kontrol diri.
12. Agar memperoleh sesuatu secara langsung seperti yang terpikirkan dan yang
dirasakan.
13. Melepaskan diri dari masalah-masalah khusus.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka yang paling banyak menjadi harapan klien
datang ke konselor adalah untuk mengetahui kesulitan dan masalah yang sebenarnya yang
sedang dialaminya serta harapan agar orang lain menanggapinya sebagaimana layaknya.
Tentunya tidak semua keinginan dan harapan klien bisa diatasi dengan proses konseling
dengan baik, namun setidaknya klien memperoleh bantuan dan dorongan sosial dari pihak
lain (konselor) yang lebih memungkinkan klien mengatasi masalah yang dihadapinya.
2. Tidak serius
Ada klien yang membicarakan berbagai hal dengan ringannya dann
kelihatannya tidak mempunyai masalah-masalah. Ia mungkin tersenyum ketika
membicarakan masalah-masalahnya atau melihat berbagai hal dalam persepsi
yang dangkal. Mungkin ia setuju bahwa ia memiliki masalah-masalah yang
harus dipecahkan, namun ia tidak mengijinkan konselor mengeksplorasi lebih
jauh.
3. Berbicara Berlebihan
Terkadang konselor menemukan klien yang berbicara berlebihan, sampai-
sampai konselor tidak banyak mendapat kesempatan untuk memberi jawaban
atau ”mengarahkan”.Klien macam ini biasanya memiliki banyak masalah yang
perlu diselesaikan.
4. Mendebat
Klien seringkali berusaha mendebat konselor atas rencana terapi yang akan
dilakukan bersama klien. Klien cenderung beralasan sekan-akan ia tidak merasa
bermasalah, menilai apa yang dikatakan konselor sekedar omong kosong.
5. Intelektualisme
Klien yang memiliki intelektual tinggi cenderung hanya tertarik pada suatu
diskusi inteletual atas masalah-masalah yang dialaminya. Ia akan menanyakan
bahan-bahan bacaan untuk penelaahan pribadi.
6. Menolak bekerja sama
Ada klien yang terus-menerus tidak bersedia atu acuh menyelesaikan komitmen
(tugas hasil konseling) yang dibuatnya bersama konselor. Ia akan setuju
terhadap semua rencana untuk memecahkan masalahnya. Ketika ia
meninggalkan konselor, ia lupa untuk melaksanakan dan mengabaikan begitu
saja. Ia juga akan datang terlambat atau tidak menepati janji setelah menyetujui
sendiri untuk melakukan konseling.
Evaluasi
1. Jelaskan maksud dari klien adalah orang yang mengalami kekurangan daya
psikologis.
2. Menurut Glading ada dua jenis klien yang dianggap sukses dan tidak sukses dalam
konseling. Sebutkan dan jelaskan kedua tipe tersebut.
3. Jelaskan harapan-harapan klien sehubungan datangnya menemui konselor untuk
berkonseling
4. Jelaskan dengan bahasa Anda sendiri implikasi tugas perkembangan terhadap
proses konseling
5. Menurut Anda mengapa terdapat klien yang bersikap enggan dalam menjalani
proses konseling?
Daftar Pustaka
Cavanagh, Michael & Levitov, Justin. 2002. The Counseling Experience, A Theoritical and
Practical Approach. Illionis: Waveland Press Inc.
Gladding, S.T. 2009. Counselling: A Comprehensive Professions. New Jersey: Prentice-
Hall.
Hurlock, E.B. 1996. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Latipun. 2004. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.
Surya, M. 2003. Psikologi Konseling. Bandung: C.V. Pustaka Bani Quraisy.
Yeo, Antony. 2003. Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah. Terjemahan A.
Wuisan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia
BAB V
DIMENSI PSIKOLOGIS KONSELOR YANG EFEKTIF
Evaluasi
1. Dari berbagai definisi beberapa ahli, rumuskan karakteristik pribadi konselor.
2. Salah satu karakteristik pribadi konselor adalah memiliki kesadaran holistik.
Jelaskan dan berilah contoh dari pernyataan tersebut.
3. Mengapa sikap dasar konselor merupakan suatu hal yang sangat penting dalam
konseling.
4. Jelaskan konsep empati dan berikan contoh dalam kehidupan sehari-hari
5. Jelaskan beberapa kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh konselor.
Daftar Pustaka
Brammer, L.M. 1985. The Helping Relationship;Process and Skills: 3ed. New Jersey:
Prentice Hall Inc.
Egan, Gerard. 1986. The Skilled Helper: A Systematic Approach to Effective Helping.
Brooks/Cole Publishing
Latipun. 2004. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.
Lesmana, J.M. 2006. Dasar-dasar Konseling. Jakarta: UI Press
Mappiare, Andi. 2002. Pengantar Konseling dan Psikloterapi. Jakarta: PT. Rajawali
Grafindo Persada
Surya, M. 2003. Psikologi Konseling. Bandung: C.V. Pustaka Bani Quraisy.
Patterson, C.H. 1986. Theories of Counseling and Psychotherapy. New York: Harper and
Row Publisher
Yeo, Antony. 2003. Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah. Terjemahan A.
Wuisan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia
BAB VI
HAMBATAN DAN MASALAH KONSELOR
DALAM KONSELING
52
mungkin merasakan perbedaan usia yang terlalu besar dan memilih
seseorang (konselor) yang kira-kira seusianya dengannya.
Bagi konselor pemula, mereka sering menghadapi masalah karena kurang
pengalaman. Dalam hal ini sebaiknya para konselor pemula tidak perlu
merasakan kekhawatiran yang berlebihan karena ia dapat meminta bantuan
dari konselor senior atau supervisornya dan melakukan diskusi dengan
sejawat (Surya, 2003:68)
3. Kebudayaan, bahasa dan agama
Dengan adanya keragaman ras, budaya, dan bahasa, maka konselor juga
menghadapi kendala dalam praktiknya. Kebudayaan, bahasa, agama
seringkali membuat ”gerakan” konselor terbatas. Hal ini menjadi masalah
karena konselor belum sepenuhnya memahami budaya, bahasa atau agama
klien. Pada kenyataannya setiap klien memiliki budaya, bahasa dan agama
yang berbeda-beda, dan perbedaan itulah yang harus konselor pahami.
Selain itu menurut Glading (2009), konselor memiliki ”penyakit” yang dinamakan
dengan burnout. Burnout adalah suatu suasana kepadaman gairah kerja dan bereprestasi,
kadang-kadang diartikan juga sebagai stres kerja (Mappiare, 2006). Menjalankan peran
sebagai seorang konselor memang sangat rentan untuk terjadinya burnout. Konselor terus-
menenus berhadapan dengan emosional tinggi. Penderitaan kliennya juga ikut ia rasakan.
Ia harus tidak kaku, mampu menghayati dan memahami, tetapi tidak terlibat sampai
menjadi lekat. Penyeimbangan-penyeimbangan inilah yag melelahkan konselor.
Menurut Cavanagh (1982) dalam Lesmana (2006) mengemukakan ada beberapa
masalah umum yang dapat menghambat dalam suatu hubungan konseling, yaitu:
1. Kebosanan
Menurut Cavanagh (1982), konselor pemula jarang mengalami kebosanan
karena sifat baru dari pekerjaan mereka. Setiap saat mereka bertemu denga
orang-orang yang mempunyai problem berbeda dan mencoba keterampilan
dan tanggung jawab sebagai seorang konselor. Tetapi seperti halnya tingkah
laku lain yang terus berulang, konseling dapat membosankan. Beberapa hal
yang dapat timbul karena kebosanan adalah:
Konselor mengambil jarak dari kliennya, makin lama makin menjauh. Klien dapat
merasakan hal ini, ia akan kehilangan rasa aman dan rasa diterima yang sangat penting
bagi keberhasilan konseling.
Konselor terkadang mengambil cara negatif dalam menangani kebosanannya. Ia
mencoba mengangguk, tersenyum tapi tanpa tahu apa yang dibicarakan klien. Atau
sebaliknya ia menjadi kurang perhatian, kurang konsentrasi dan mungkin malah
memikirkan masalahnya sendiri..
2. Hostilitas
Hostilitas dapat mengacu pada fenomena psikis yang memaksakan orang
lain bertindak atau berbuat menurut cara yang diharapkan membenarkan
sistem konstruk orang (Mappiare, 2006). Konselor sering merasa dirinya
nice people karena sudah membantu orang lain dan ia mengharap akan
dihargai karena hal ini. Tetapi orang (klien) dalam konseling punya
hostilitas terpendam yang harus diurai dahulu sebelum bisa melangkah
maju. Jadi, mereka sering mengekspresikan hostilitasnya ini kepada
konselor. Konselor sebaiknya memaklumi bahwa hal ini sering terjadi.
Justru konselor yang harus mengurai apa yang melatarbelakangi suatu
hostilitas terjadi.
3. Distansi emosional ( kesenjangan emosional)
Konselor yang distan secara emosional tidak dapat ”masuk” ke dalam diri
klien. Ia tidak dapat menyatukan dirinya dengan pikiran, perasaan dan
persepsi klien sehingga bisa benar-benar berempati.
4. Kelekatan emosional
Lekat emosional berarti bahwa konselor dan/atau klien bergantung pada
yang lain untuk pemuasaan kebutuhan dasar mereka. Kebutuhan dasar yang
terpenuhi dalam hubungan semacam ini merupakan kebutuhan untuk merasa
aman, untuk menerima dan memberi cinta, untuk dikagumi dan dibutuhkan
(Lesmana, 2006). Beberapa kemungkinan perilaku konselor yang lekat
emosional adalah:
Sangat berharap bertemu dengan klien.
memperpanjang sesi
Iri terhadap hubungan dekat klien dengan orang lain dan secara halus meremehkan atau
tidak mendorong hubungan ini
Mencemaskan klien di antara sesi yang tidak dirasakan terhadap klien lain.
Bila telah terjadi kelekatan emosional antar konselor dengan klien maka
terdapat beberapa prinsip-prinsip hubungan konseling yang terabaikan
yaitu:
Konselor umumnya mempersepsi realitas secara lebih tepat daripada
klien, tetapi bila terjadi kelekatan emosional ini akan mempengaruhi
persepsi konselor tentang klien.
Konselor seharusnya membantu klien untuk membuat keputusan yang
”menguntungkan” klien. Bila terjadi kelekatan emosional, maka
mungkin konslor akan ”menahan” klien karena memenuhi kebutuhan
emosionalnya.
Konselor mampu untuk stabil meskipun ada perubahan mood dalam diri
klien. Konselor yang emosinya lekat pada klien akan ikut dengan
perubahan mood ini dan merasakan kepedihan dan penderitaan yang
luar biasa dari kliennya, sehingga menghapuskan fungsi konselor
sebagai pembawa pengaruh stabil dan pemikiran-pemikiran yang
objektif.
Evaluasi
1. Jelaskan menurut bahasa Anda sendiri mengapa usia dan pengalaman konselor
menjadi hambatan dalam proses konseling?
2. Bagaimana konsep Hostilitas menurut Anda?
3. Berikan contoh konsep Burnout pada konselor.
4. Salah satu bentuk kesenjangan dan tantangan hubungan konselor-klien adalah unsur
daya tarik seksual. Jelaskan maksud pernyataan ini.
5. Menurut Anda apakah wajar jika konselor marah kepada klien ? Jelaskan dari sudut
pandang teoritik
Daftar Pustaka
Gladding, S.T. 2009. Counselling: A Comprehensive Professions 6th edition. New Jersey:
Prentice-Hall.
Lesmana, J.M. 2006. Dasar-dasar Konseling. Jakarta: UI Press
Mappiare, Andi. 2006. Kamus Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Rajawali Grafindo
Persada.
Surya, M. 2003. Psikologi Konseling. Bandung: C.V. Pustaka Bani Quraisy.
Yeo, Antony. 2003. Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah. Terjemahan A.
Wuisan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia
BAB VII
KETERAMPILAN-KETERAMPILAN DASAR KONSELING
Secara garis besar hirarki ini mengambarkan tahap-tahap dalam membangun wawancara
dalam proses konseling. Dalam hal ini keterampilan-keterampilan wawancara didasarkan
pada kemampuan etik dan multibudaya. Seperti yang dikemukakan Leod (2006: 538),
bahwa konseling dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor budaya. Dengan demikian
konselor sebelum melakukan beberapa keterampilan mikro, maka ia haruslah memiliki
kompetensi etik dan multi budaya sebagai landasan dalam melaksakan tugas
profesionalnya khususnya dalam proses komunikasi konseling. Hierarki ini dibuat untuk
membedakan antara keterampilan wawancara dasar dengan keterampilan dengan
keterampilan yang dipergunakan untuk intervensi. Keterampilan wawancara ini harus
dipergunakan selama proses konseling, meskipun secara khusus keterampilan itu penting
pada tahap awal konseling.
Keterampilan-keterampilan antarpribadi dasar secara umum dapat dikelompokkan
dalam tiga jenis keterampilan, yakni:
1. Keterampilan Verbal
Keterampilan ini mengacu pada isi verbal dari proses konseling. Konselor
menggunakan keterampilan ini memberi ini untuk memberi perhatian pada
klien yang pada gilirannya akan memperlancar jalannya percakapan.
Penggunaan keterampilan ini membantu klien merasa cukup nyaman untuk
memberi informasi pada konselor sehingga konselor dapat menelaah pokok
permasalahan. Ketrampilan verbal mencakup tanggapan-tanggapan verbal,
kualitas vokal yang memadai, dan alur verbal.
Kemampuan menanggapi mencakup sejumlah keterampilan dalam wawancara.
Ada sejumlah keterampilan berbeda yang dapat diringkas sebagai berikut:
Paraphrase (parafrase)
Keterampilan ini menunjuk pada pengulangan kata-kata dan pemikiran
kunci dari klien. Pengulangan kata-kata aatau kalimat ini secara utuh, apa
adanya dan tanpa merubah makna dari ungkapan klien. Perubahan kata
boleh dilakukan guna rasiona kalimat namum perubahan itu tidak mengeser
arti kata atau kalimat klien (Mappiare, 1998:44)
Reflecting of feelings (Pemantulan perasaan-perasaan)
Keterampilan ini teknik yang digunakan konselor untuk memantulkan
perasaan/sikap yang terkandung di balik pernyataan klien. Dalam hal ini
konselor bertugas untuk mendengar secara cermat, menafsirkan perasaan
yang tersirat dan merumuskannya dalam kalimat jelas (gamblang) yang
berisi kata perasaan menurut dugaan konselor.
Interpretation (Penafsiran)
Keterampilan ini mencakup pemberian nama dan pengambaran secara
positif pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan perilaku klien (Yeo,
2003:69). Penafsiran akan memberi satu cara pandang alternatif bagi klien
sehingga ia dapat melihat dirinya sendiri dan masalah-masalahnya dengan
cara berbeda.
Summarization (Peringkasan)
Peringkasan dalah suatu cara untuk meninjau ulang isi wawancara,
mengumpulkan kembali unsur-unsur umum dan rincian-rinciannya.
Peringkasan juga memberi konselor satu kesempatan untuk mengetahui
pemikirannya itu tepat atau tidak, dan hal ini memberikan jeda untuk
wawancara (Ivey, 1987)
Clarification (Penajaman/Memperjelas)
Keterampilan yang mengacu pada perumusan inti-inti kalimat dan gagasan
klien dalam bentuk lain dengan makna yang sama (Mappiare, 1998:116).
Selain itu penajaman membantu klien dalam menggali pernyataan-
pernyataannya dan makna yang melekat dalam kata-kata yang
dipergunakannya. Hal ini akan mengarahkan klien untuk memahami lebih
jauh pokok pembicaraan itu dan memberikan keterbukaan yang lebih besar
untuk menghadapi hal-hal yang terkait dengan masalahnya (Yeo, 2003:74)
Open and closed question (Pertanyaan tertutup dan terbuka)
Keterampilan yang mengacu pada kemampuan konselor utnuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dalam memperjelas masalah-masalah klien.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengarahkan konselor menuju pemahaman
yang lebih baik terhadap situasi-situasi klien dan juga mengarahkan klien
untuk menceritakan masalahnya dengan jelas.
Pertanyaan-pertanyaan terbuka adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak
dapat dijawab dengan sedikit kata atau kalimat tunggal. Pertanyaan seperti
itu mendorong klien utnuk berbicara dan memberi informasi sebanyak
mungkin. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan tertutup adalah pertanyaan-
pertanyaan yang daapat dijawab dengan ”ya” atau tidak” atau dengan
sedikit kata-kata saja. Pertanyaan-pertanyaan ini dimaksdkan untuk
mendapatkan informasi, kejelasan, fokus, dan mengarahkan klien pada satu
masalah khusus yang mau dibicarakan (Yeo, 2003:75).
Menurut Surya (2003:116), ketrampilan bertanya dapat dikembangkan
dengan memperhatikan beberapa hal yaitu (1) perhatikan suasana konseling
dan klien, (2) kuasai materi yang berkaitan dengan pertanyaan, (3) ajukan
pertanyaan dengan cara yang jelas dan terarah, serta tidak keluar dari topik
bahasan, (4) segera berikan respon balikan terhadap jawaban pertanyaan
yang diajukan dengan sikap yang baik dan empatik
2. Keterampilan Non verbal
Komunikasi atau keterampilan merupakan bentuk komunikasi yang ikut
memwarnai corak konseling sebagai suplemen, komplemen, dan substitusi
komunikai verbal (Surya, 2003:121). Keterampilan ini mengacu pada perilaku
non-verbal konselor yang dapt menyebabkan kemajuan dalam proses konseling
dan memperlihatkan pendampingan pada klien. Penampilan dan sikap tubuh
konselor memperlihatkan besarnya perhatian dan keprihatian konselor yang
sulit diungkapkan dengan kata-kata (Yeo, 2003).
Menurut Egan (1986), diantara sikap non verbal konselor yang dapat
meningkatkan hubungan konseling diantaranya adalah (1). Menghadapi klien
secara sejajar (facing the person squarely), (2) Memperlihatkan sikap tubuh
terbuka (adopting an open posture), (3) Posisi tubuh kedepan (learning
forward), (4) Mempertahankan kontak mata (maintaining eye contact), (5)
Bersikap rileks (being relaxed)
Selain itu menurut Hutahuruk (1983) beberapa sikap atau keterampilan non
verbal konselor sebagai berikut:
a. Posisi badan (termasuk gerak isyarat dan eksprsi muka) diantara posisi
badan yang baik dalam attending mencakup
1. Duduk dengan badan menghadap klien
2. Tangan diatas pangkuan atau berpegang bebas atau kadang-kadang
digunakan untuk menunjukkan gerak isyarat yang sedang
dikomunikasikan secara verbal
3. Responsif dengan menggunakan bagian wajah, umpamnya senyum
spontan atau anggikan kepala sebagai persetujuan atau pemahaman
dan kerutan dahi tanda tidak mengerti
4. Badan tegak lurus tanpa kaku dan sesekali condong kearah klien
untuk menunjjukkan kebersamaan dengan klien.
Posisi badan yang tidak baik mencakup:
1. Duduk dengan badan dan kepala membungkuk menghadap
klien.
2. Duduk dengan sangat kaku
3. Gelisah atau tidak tenang (resah)
4. Mempergunakan tangan, kertas dan kuku tangan.
5. Sama sekali tanpa gerak isyarat pada tangan
6. Selalu meukul-mukul dan menggerakkan tangan dan lengan.
7. Wajah tidak menunjukkan perasaan
8. Terlalu banyak senyum, kerutan dahi atau anggukan kepala
yang tidak berarti
b. Kontak mata
1. Kontak mata yang baik berlangsung dengan melihat klien pada waktu
dia berbicara kepada konselor dan sebaliknya. Kontak mata harus
dipertahankan atau dipelihara dengan menggunakan pandangan spontan
yang mengekspresikan minat dan keinginan mendengarkan serta
merespon klien.
2. Kontak mata yang tidak baik mencakup:
2.1. Tidak pernah melihat klien
2.2. Menatap klien untuk secara tetap dan tidak memberi
kesempatan klien untuk membalas tatapan.
2.3. Mengalihkan pandangan dari klien segera sesudah klien
melihat kepada konselor.
c. Mendengarkan
Mendengarkan dalam keterampilan ini adalah mendengar dengan tepat
dan mengingat apa yang klien katakan dan bagaimana mengatakannya.
Dengan mendengar yang tepat memungkinkan konselor merumuskan
tanggapan yang dapat menangkap dengan tepat perasaan dan pikiran
klien. Cara mendengarkan yang baik mencakup (1) memelihara
perhatian penuh dengan terpusat kepada klien, (2) mendengarkan segala
suatu yang dikatakan oleh klien, (3) Mendengarkan keseluruhan pribadi
klien (kata-katanya, perasaan dan perilakunya). Memahami pesan baik
verbal maupun non verbal dari diri klien (4) Mengarahkan apa yang
konselor katakan terhadap apa yang telah dikatakan oleh klien.
3. Keterampilan Mengamati Klien
Konselor dalam hal ini dituntut untuk sungguh-sungguh sadar akan apa yang
sedang klien katakan khususnya melalui gerakan-gerakan tubuh mereka, raut
wajah, kualitas vokal, dan ketidaksesuaian antara bahasa non verbal dengan
ungkapan-unkapan verbal mereka. Perilaku non verbal klien harus secara
cermat diamati ketika ia sedang menyampaikan satu informasi penting tentang
dirinya dan situasinya. Ivey (2003:95) mengemukakan bahwa keterampilan
mengamati klien ini akan membantu konselor untuk merespon dan mengetahui
apa dan bagaimana bahasa verbal dan non verbal klien. Selain itu juga
mengamati perbedaan-perbedaan multibudaya yang berkaitan dengan
ungkapan-ungkapn verbal dan nonverbal klien.
B. Keterampilan Intervensi
Keterampilan intervensi adalah kemampuan konselor untuk melibatkan klien dalam
pemecahan masalah. Dalam proses pemecahan masalah, konselor perlu memiliki
pengetahuan tentang berbagai strategi dan cara yang berbeda untuk menolong klien
menghadapi masalah.
Ada beragam strategi dan cara yang diusulkan oleh berbagai aliran atau pendekatan
konseling. Pendekatan ini dapat membentang dari pendekatan psikodinamis (psikoanalisis,
Adlerian) sampai pendekatan eksistensial, pendekatan Rogerian yang terpusat pada klien
sampai terapi rasional emotif behavior, realitas dan analisis transaksional. Dalam hal ini
konselor sebaiknya menguasai satu pendekatan dasar dan kemudia berusaha memadukan
cara-cara yang bermanfaat dari berbagai pendekatan lainnya demi penanganan efektif
terhadap masalah-masalah klien.
C. Keterampilan Integrasi
Keterampilan ini mengacu pada kemampuan-kemampuan konselor untuk
menerapakan strategi-strategi pada situasi-situasi khusus, sambil mengingat konteks
budaya dan sosio-ekonomi klien (Yeo, 2003). Hal ini dikarenakan konseling tidak dapat
dipraktikkan tanpa memperhatikan konteks budaya. Setiap klien yang hadir dengan cara
pikir tertentu yang sebagian besar dipengaruhi oleh sistem nilai dan sistem budayanya.
Evaluasi
1. Jelaskan hakekat dari keterampilan antarpribadi.
2. Mengapa keterampilan antarpribadi memiliki arti penting dalam proses konseling
3. Buatlah peta kognitif mengenai hirarki ketrampilan-ketrampilan mikro
(microskills).
4. Jelaskan dan berikan contoh keterampilan verbal dalam konseling.
5. Dalam konseling terdapat suatu keterampilan yang harus dikuasai oleh konselor.
Keterampilan itu adalah keterampilan mendengar. Mengapa keterampilan
mendengar merupakan keterampilan yang penting dalam konseling?dan apa
akibatnya jika konselor tidak memiliki keterampilan tersebut?
Daftar Pustaka
Egan, Gerard. 1986. The Skilled Helper: A Systematic Approach to Effective Helping.
Brooks/Cole Publishing
Hutahuruk, T. dan Pribadi, S. Konseling Mikro. Jakarta: Dekdikbud Dikti P2LPTK
Ivey, A.E. dan Ivey, M.B. 2003. Intentional Interviewing and Counseling: Facilitating
Client Development in a Multicultural Society. CA: Brooks/Cole Thomson Learning.
Ivey, Allen E, Ivey, M.B, Downing, L.S. 1987. Counseling and Psychoterapy; Integrating
Skills, Theory, and Practice: Second Edition. New Jersey: Prentice Hall inc.
Leod. J.M. Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Terjemahan oleh A.K Anwar.
2006. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Lesmana, J.M. 2006. Dasar-dasar Konseling. Jakarta: UI Press
Mappiare. A, AT. 1998. Teknik-teknik Komunikasi dalam Konseling. Suplemen Kuliah.
Malang: Jurusan BK FIP UM
Surya, M. 2003. Psikologi Konseling. Bandung: C.V. Pustaka Bani Quraisy.
Yeo, Antony. 2003. Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah. Terjemahan A.
Wuisan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia
BAB VIII
NILAI, KEYAKINAN DAN ETIK DALAM KONSELING
P raktik konseling mencakup dimensi moral dan etika yang kuat. Faktor nilai,
keyakinan dan etik adalah masalah yang krusial dalam proses konseling. Hal
ini wajar karena nilai-nilai, keyakinan dan etika merupakan hal yang kompleks serta
menyangkut pribadi individu itu sendiri. Selain itu konseling lebih bersifat sarat terhadap
nilai-nilai, keyakinan maupun etika didalamnya daripada bersifat bebas nilai (value free).
Dengan demikian konselor perlu memahami implikasi-implikasi dari sistem nilai,
keyakinan serta standar kerja dan tingkah laku (etik) konselor dalam menjalankan tugas
profesionalnya. Dalam bab ini akan dibahas mengenai makna nilai, keyakinan dan etik
pada proses konseling. Selain itu bahasan akan mengarah pada beberapa isu etika dalam
proses konseling.
Evaluasi
1. Jelaskan bahwa mengapa konseling bersifat tidak bebas nilai (Value free) namun
bersifat sarat nilai.
2. Jelaskan pengaruh nilai dan keyakinan dalam proses konseling.
3. Dalam proses konseling antara agama dan konseling adalah dua hal yang berbeda,
namun menurut beberapa ahli dapat menjadi komponen yang saling melengkapi.
Mengapa demikian?jelaskan.
4. Mengapa informed consent menjadi hal yang penting dalam pelaksanaan proses
konseling?
5. Jelaskan perbedaan antara konfidensialitas dan privasi serta berilah contohnya.
Daftar Pustaka
Brammer, L.M dan Shostrom, E.L. 1982. Therapeutic Psychology: Fundamental of
Counseling and Psychoterapy: Fourth Edition. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Corey, Gerald. 2005. Theory and Practice of Counseling and Psychotheraphy: Seventh
edition. Belmont, CA: Brooks/Cole-Thompson Learning
Hansen, J.C., Stevic, R.R., dan Warner, R.W. 1982. Counseling: Theory and Process.
Boston: Allyn and Bacon, Inc
Kartadinata, Sunaryo. 2005. Standarisasi Profesi Bimbingan dan Konseling. Makalah
disajikan dalam Konvensi Nasional XIV dan Kongres Nasional X Asosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia, Semarang 13-16 April.
Leod. J.M. Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Terjemahan oleh A.K Anwar.
2006. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Lesmana, J.M. 2006. Dasar-dasar Konseling. Jakarta: UI Press
Mappiare, Andi. 2006. Kamus Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Rajawali Grafindo
Persada.