Anda di halaman 1dari 12

FAKTOR – FAKTOR YANG BERPERAN DALAM MEMPREDIKSI

MORTALITAS PADA PASIEN PERFORASI ULKUS PEPTIK

THE FACTORS NEEDED TO PREDICT THE MORTALITY OF THE


PATIENTS WITH THE PERFORATED PEPTIC ULCER

Nilam Smaradhania 1, Murny Rauf 1, Warsinggih 1 Ilhamjaya Patellongi 2

1
Departemen Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, 2Departemen Ilmu
Faal, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin

Alamat Korespondensi :

Nilam Smaradhania
Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Makassar, 90245
HP : 0853985888884
Email : neelumps@gmail.com
Abstrak

Beberapa sistem skoring untuk memprediksi luaran pasien dengan perforasi ulkus peptik telah banyak
dilaporkan, tetapi belum ada sistem skoring yang lebih superior. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-
faktor yang berperan dalam memprediksi mortalitas pada pasien perforasi ulkus peptik dan membuat sistem skor
klinis dari faktor-faktor tersebut. Penelitian merupakan penelitian kohort retrospektif. Data diambil dari rekam
medik pasien yang terdiagnosis perforasi ulkus peptik yang dirawat di RS Wahidin Sudirohusodo. Rekam medik
pasien yang diambil, yaitu rekam medik dari pasien yang dirawat dalam kurun waktu antara Januari 2010 hingga
Agustus 2014. Untuk menentukan faktor-faktor prediktor digunakan uji logistik regresi ganda. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa adanya syok, onset > 24 jam, dan kadar kreatinin tinggi merupakan faktor risiko yang
bermakna atas terjadinya luaran meninggal pada pasien perforasi ulkus peptik. Didapatkan bahwa bila ditemukan
tiga faktor risiko (onset > 24 jam, syok, dan kadar kreatinin tinggi), kemungkinan terjadi luaran meninggal 30,3
kali lebih besar daripada bila tidak ditemukan atau hanya ditemukan satu faktor risiko. Bila ditemukan dua
faktor risiko, kemungkinan terjadi luaran meninggal 5,0 kali lebih besar daripada tidak ditemukan atau hanya
ditemukan satu faktor risiko

Kata kunci: perforasi ulkus peptik, faktor risiko, luaran, mortalitas

Abstract

A number of scoring systems for outcome prediction have been reported, but none of them appear to be more
superior than the others. This study aimed (1) to determine the factors which played roles in predicting the
mortality of the patients with the perforated peptic ulcer; (2) to establish a clinical scoring system using these
factors. The study was a retrospective cohort research, and the data were collected from the medical records of
the patients diagnosed as suffering from the perforated peptic ulcer and treated in Wahidin Sudirohusodo
hospital from January 2010 through August 2014. The data were then analyzed using the multiple logistic
regression test, in order to determine the factors which could be used as predictors. The research results
revealed that the presence of shock, the onset > 24 hours, the high creatinine levels were the significant risking
factors which could be used to predict the mortality outcomes of the patients with the perforated peptic ulcer.
When a perforated peptic ulcer patient had the three risking factors (the onset > 24 hours, the shock, and the
high creatinine level) the possibility of mortality was 30.3 times greater than a patient who had no risking factor
or only one risking factor. When a perforated peptic ulcer patient had two risking factors, the possibility of
mortality was 5.0 times greater than a patient who had no risking factor or only one risking factor.

Keywords: Perforated peptic ulcer disease, Risk factors, Outcomes, Mortality

1
PENDAHULUAN
Ulkus peptikum merupakan defek fokal pada mukosa gaster atau duodenum yang
meluas ke submukosa atau lebih dalam lagi. Ulkus peptikum bisa bersifat akut maupun
kronik, disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pertahanan mukosa dan faktor agresi
(Brunicardi et al., 2010).
Ulkus peptikum merupakan salah satu penyakit gastrointestinal yang paling sering
terjadi di Amerika Serikat dengan prevalensi sekitar 2%, dan puncak umur sekitar 70 tahun
(Zinner et al., 2007). Angka mortalitas oleh karena ulkus peptikum sekitar 1,7 dari 100.000
individu. Ulkus gaster memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi dibanding ulkus duodenum
oleh karena prevalensi ulkus gaster yang meningkat pada orang tua. Beberapa penelitian
terakhir memperlihatkan peningkatan angka rawat inap dan mortalitas pada pasien usia tua
oleh karena komplikasi ulkus peptikum seperti perdarahan dan perforasi (Brunicardi et al.,
2010).
Perforasi merupakan komplikasi tersering kedua akibat ulkus peptik setelah
perdarahan (Brunicardi et al., 2010). Gambaran klinis pada pasien dengan perforasi ulkus
peptik kadang-kadang tidak jelas, sehingga kebanyakan pasien datang dengan gejala dan
tanda peritonitis bahkan sepsis. Variasi gejala klinis dan keterlambatan diagnosis dan
penanganan dapat menyebabkan perburukan gejala dan penurunan kondisi klinis yang
mengakibatkan hasil akhir yang buruk. Akan tetapi resiko tinggi morbiditas dan mortalitas
tetap ditemukan pada pasien yang telah mendapatkan terapi pembedahan. Pada beberapa
laporan terbaru, mortalitas akibat perforasi ulkus peptik di atas 27% dan komplikasi
dilaporkan pada 20-50% pasien (Thorsen et al., 2013).
Telah banyak dilaporkan beberapa sistem skoring untuk memprediksi hasil akhir pada
pasien dengan perforasi ulkus peptik, akan tetapi belum ada yang sistem skoring yang lebih
superior. Saat ini skor ASA, APACHE II, dan skor Boey merupakan sistem skoring
prognostik yang paling sering digunakan pada pasien dengan perforasi ulkus peptik. Skor
ASA merupakan skor resiko pembedahan secara umum dan tidak khusus pada pasien
perforasi ulkus peptik sedangkan skor Boey dibuat spesifik untuk memprediksi mortalitas
pada pasien perforasi ulkus peptik (Soreide et al., 2014). Skor Boey memprediksi mortalitas
berdasarkan adanya penyakit penyerta (komorbid), syok preoperatif, dan perforasi lebih dari
24 jam. Skor Boey merupakan skor yang paling sering digunakan, tetapi memiliki tingkat
akurasi yang bervariasi (Thorsen et al., 2013).
Saat ini kadar albumin digunakan sebagai penanda inflamasi, prediktor luaran pasien
post pembedahan, dan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan

2
keganasan dan pasien dengan sakit berat (Chandrasinghe et al., 2013). Penelitian oleh
Thorsen (2013), memperlihatkan hubungan yang signifikan antara hipoalbuminemia dan
peningkatan mortalitas pada pasien perforasi ulkus peptik. Hipoalbuminemia (kadar albumin
serum < 3,5 gr/dL) merupakan akibat dari gangguan proses sintesis, distribusi dan degradasi
(Peralta et al., 2012). Oleh karena itu hipoalbumin lebih merupakan penanda inflamasi
dibanding indikator status nutrisi seseorang (Don et al., 2004).
Peningkatan kreatinin juga menjadi faktor resiko mortalitas pada pasien dengan
perforasi ulkus peptik. Peningkatan kreatinin merupakan indikator terhadap beberapa kondisi
termasuk gagal ginjal kronik, dehidrasi, atau menggambarkan keadaan syok atau sepsis
(Bertleff, 2011).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui faktor-faktor yang berperan dalam memprediksi mortalitas pada pasien perforasi
ulkus peptik dan membuat sistem skor klinis dari faktor-faktor tersebut.

BAHAN DAN METODE


Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar pada bulan
November 2014.
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif.
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah semua pasien yang dirawat di bagian bedah Rumah Sakit
dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dari bulan Januari 2010 sampai Agustus 2014. Sampel
penelitian adalah anggota populasi yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu semua pasien yang
didiagnosis perforasi ulkus peptik dengan catatan rekam medik yang lengkap meliputi onset
kejadian, kondisi saat masuk rumah sakit antara lain tekanan darah dan denyut nadi, dan data
laboratorium antara lain nilai kreatinin serum dan albumin serum. Dalam penelitian ini jumlah
sampel berjumlah 82 orang.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dimulai dari : 1). Mencari rekam medik dengan diagnosis
utama atau diagnosis penyerta perforasi gaster. 2). Mencari data mengenai umur, jenis
kelamin, onset, tekanan darah sistol, tekanan darah diastol, nadi, kadar albumin serum, kadar
kreatinin serum, luaran meninggal atau hidup, waktu sampai luaran meninggal.

3
Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan SPSS Versi 22.

HASIL
Penelitian dilakukan pada bulan November 2014 dengan melihat data rekam medik
pasien dengan diagnosis perforasi ulkus peptik ( perforasi gaster ) yang dirawat di RS
Wahidin Sudiruohusodo dari bulan Januari 2010 sampai bulan Agustus 2014. Diperoleh 82
orang penderita yang memenuhi kriteria sampel penelitian, terdiri dari 66 orang (80,5%) laki-
laki dan 16 orang (19,5%) perempuan, umur antara 33 – 94 tahun dengan rerata umur 61,6
tahun. Dari 82 orang penderita tersebut terdapat 34 orang yang hidup dan 48 orang lainnya
meninggal. Dari analisis perbandingan karakteristik antara penderita dengan luaran hidup dan
penderita dengan luaran meninggal didapatkan bahwa ada perbedaan yang bermakna (p<0,05)
antara luaran yang meninggal dan luaran yang hidup, berdasarkan onset, tekanan darah, nadi,
kadar albumin, dan kadar kreatinin. Onset, kadar kreatinin, dan nadi lebih tinggi pada
penderita yang meninggal daripada penderita yang hidup. Sebaliknya, tekanan darah, dan
kadar albumin lebih rendah pada penderita yang meninggal daripada penderita yang hidup.
Untuk mengetahui faktor risiko luaran meninggal pada penderita, dilakukan
transformasi data menjadi data kategorial sebagaimana yang diuraikan pada definisi
operasional variabel dan kriteria obyektif. Hasil analisis faktor risiko dengan menghitung dan
menilai OR dapat dilihat pada tabel 1. Didapatkan bahwa syok, onset>24 jam, kadar kreatinin
yang tinggi, kadar kalium yang abnormal dan kadar albumin ≤ 3,5 merupakan faktor risiko
yang bermakna (p<0,05) untuk terjadinya luaran meninggal pada penderita perforasi gaster.
Kadar natrium abnormal, umur, jenis kelamin lokasi lesi, dan peritonitis bukan faktor risiko
yang bermakna (p>0,05).
Untuk memperoleh nilai OR yang valid untuk masing-masing faktor risiko dilakuan
uji regresi logistik ganda antara variabel-variabel yang dapat dianggap faktor risiko dengan
luaran penderita. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 2. Didapatkan bahwa hanya onset>24jam,
syok dan kadar kreatinin tinggi yang merupakan faktor risiko nyata (yang bermakna) untuk
terjadinya luaran meninggal dengan masing-masing OR sebesar 4,2 untuk onset>24 jam; 4,4
untuk syok; dan 5,5 untuk kadar kreatinin tinggi.
Selanjutnya, ditentukan distribusi penderita berdasarkan jumlah faktor risiko yang
ditemukan dan dihitung besarnya kemungkinan risiko penderita meninggal berdasarkan
jumlah faktor risiko yang ditemukan. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 3. Didapatkan bahwa
bila ditemukan 3 faktor risiko (onset > 24 jam, syok dan kadar kreatinin tinggi) pada seorang

4
penderita, maka kemungkinan terjadi luaran meninggal sebesar 30,3 kali lebih besar daripada
bila tidak ditemukan atau hanya ditemukan satu faktor risiko saja. Bila ditemukan 2 faktor
risiko, maka kemungkinan terjadi luaran meninggal sebesar 5,0 kali lebih besar daripada
tidak ditemukan atau hanya ditemukan satu faktor risiko saja.
Kemudian dilakukan analisis survival penderita berdasarkan banyaknya temuan faktor
risiko yang menunjukkan bahwa rerata lama hidup penderita berbeda berdasarkan banyaknya
temuan faktor risiko. Kurva untuk 3 faktor risiko lebih rendah daripada untuk 2 faktor risiko
dan kurva 2 faktor risiko lebih rendah daripada kurva untuk 1 faktor risiko atau tanpa faktor
risiko (Gambar 1. Grafik fungsi survival berdasarkan banyaknya temuan faktor risiko).
Estimasi rerata lama hidup penderita juga berbeda berdasarkan banyaknya temuan faktor
risiko. Bila terdapat 3 faktor risiko (onset > 24 jam, syok dan kadar keratinin tinggi), maka
estimasi rerata lama hidup sebesar 7,9 hari, bila hanya 2 faktor risiko yang ditemukan, maka
estimasi rerata lama hidup sebesar 12,1 hari, dan bila hanya satu faktor risiko yang ditemukan
atau tidak ada faktor risiko, maka estimasi rerata lama hidup sebesar 18,1 hari (tabel 4).

PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian didapatkan jumlah sampel 82 pasien dengan diagnosis perforasi
gaster dengan distribusi laki-laki sebanyak 80,5% dan perempuan sebanyak 19,5%. Pada
beberapa literatur disebutkan bahwa insiden perforasi ulkus peptik banyak pada usia tua
dengan puncak umur 70 tahun. Penelitian oleh Buck (2012), juga memperlihatkan rata-rata
umur penderita perforasi ulkus peptik adalah 70 tahun. Pada penelitian ini didapatkan umur
rata-rata pasien yang menderita perforasi gaster adalah 61,6 tahun. Pada beberapa penelitian
sebelumnya oleh Soreide (2014), dan Buck (2012), memperlihatkan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan antara jumlah laki-laki dan perempuan yang menderita perforasi
gaster.
Dari 82 orang sampel terdapat 34 orang yang hidup dan 48 orang lainnya meninggal.
Terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05) antara luaran yang meninggal dan luaran yang
hidup, berdasarkan onset, tekanan darah, nadi, kadar albumin, dan kadar kreatinin, dimana
waktu dari onset sampai pembedahan lebih lama pada penderita yang meninggal daripada
yang hidup, kadar kreatinin dan nadi lebih tinggi pada penderita yang meninggal daripada
yang hidup. Begitu pula dengan nilai tekanan darah dan kadar albumin, didapatkan bahwa
tekanan darah dan nilai albumin lebih rendah pada penderita yang meninggal daripada yang
hidup.

5
Pada penelitian ini terlihat bahwa syok, onset > 24 jam, kadar kreatinin yang tinggi,
kadar kalium yang abnormal dan kadar albumin ≤3,5 merupakan faktor resiko yang bermakna
(p<0,05) untuk terjadinya luaran meninggal pada penderita perforasi gaster. Kadar natrium
abnormal, umur, jenis kelamin lokasi lesi, dan peritonitis bukan faktor resiko yang bermakna
(p>0,05). Penelitian oleh Soreide (2014), memperlihatkan bahwa hipoalbuminemia
berhubungan erat dengan peningkatan mortalitas pada pasien perforasi ulkus peptik. Beberapa
penelitian lain oleh Chandrasinghe (2013), Heys et al (1998), yang berhubungan dengan
hipoalbuminemia juga memperlihatkan bahwa hipoalbuminemia preoperatif merupakan
faktor resiko yang signifikan terhadap luaran yang buruk pada pasien karsinoma rektal,
karsinoma kolon. Hal ini disebabkan karena hipoalbuminemia merupakan penanda terjadinya
inflamasi dan juga dapat memperberat proses patologis yang terjadi sehingga dapat
memperburuk luaran. Onset dan syok juga digunakan oleh Boey et al dalam membentuk suatu
sistem skor yang disebut skor Boey, terdiri dari 3 faktor resiko antara lain : waktu dari onset
dan penanganan > 24 jam, syok preoperatif dan adanya komorbid mayor, dimana adanya
ketiga faktor resiko tersebut berhubungan dengan mortalitas sebesar 100%. Pada penelitian
oleh Moller (2011), memperlihatkan bahwa asidosis metabolik preoperatif, insufisiensi renal,
syok, dan hipoalbuminemia secara independen berhubungan dengan dengan mortalitas dalam
30 hari pada pasien dengan perforasi ulkus peptik.
Setelah dilakuan uji regresi logistik ganda antara variabel-variabel yang dapat
dianggap faktor resiko dengan luaran penderita didapatkan bahwa hanya onset > 24 jam, syok
dan kadar kreatinin tinggi yang merupakan faktor resiko nyata (yang bermakna) untuk
terjadinya luaran meninggal dengan masing-masing OR sebesar 4,2 untuk onset > 24 jam; 4,4
untuk syok; dan 5,5 untuk kadar kreatinin tinggi
Pada penelitian ini didapatkan bahwa bila ditemukan 3 faktor resiko (onset > 24 jam,
syok dan kadar kreatinin tinggi) pada seorang penderita, maka kemungkinan terjadi luaran
meninggal sebesar 30,3 kali lebih besar daripada bila tidak ditemukan atau hanya ditemukan
satu faktor saja. Bila ditemukan 2 faktor resiko, maka kemungkinan terjadi luaran meninggal
sebesar 5,0 kali lebih besar daripada tidak ditemukan atau hanya ditemukan satu faktor resiko
saja. Hasil yang kami dapatkan berbeda dengan sistem skor Boey yang tidak memasukkan
faktor resiko peningkatan kreatinin melainkan memasukkan faktor resiko komorbid penyerta.
Tetapi interpretasinya sejalan dengan skor Boey dimana semakin banyak terdapat faktor
resiko pada seorang penderita maka kemungkinan luaran meninggal lebih besar.

6
KESIMPULAN DAN SARAN
Peneliti menyimpulkan bahwa onset > 24 jam, syok dan kadar kreatinin tinggi
merupakan faktor risiko nyata (yang bermakna) untuk terjadinya luaran meninggal dengan
masing-masing OR sebesar 4,2 untuk onset > 24 jam; 4,4 untuk syok; dan 5,5 untuk kadar
kreatinin tinggi. Didapatkan bahwa bila ditemukan 3 faktor risiko (onset > 24 jam, syok dan
kadar kreatinin tinggi) pada seorang penderita, maka kemungkinan terjadi luaran meninggal
sebesar 30,3 kali lebih besar daripada bila tidak ditemukan atau hanya ditemukan satu faktor
risiko saja. Bila ditemukan 2 faktor risiko, maka kemungkinan terjadi luaran meninggal
sebesar 5,0 kali lebih besar daripada tidak ditemukan atau hanya ditemukan satu faktor risiko
saja. Estimasi rerata lama hidup penderita berbeda berdasarkan banyaknya temuan faktor
risiko. Bila didapatkan 3 faktor risiko (onset > 24 jam, syok dan kadar keratinin tinggi), maka
estimasi rerata lama hidup sebesar 7,9 hari, bila hanya 2 faktor risiko yang ditemukan, maka
estimasi rerata lama hidup sebesar 12,1 hari, dan bila hanya satu faktor risiko yang ditemukan
atau tidak ada faktor risiko, maka estimasi rerata lama hidup sebesar 18,1 hari. Disarankan
agar dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan desain penelitian yang lebih baik dan
jumlah sampel yang lebih besar dan dilakukan pemeriksaan faktor-faktor resiko mortalitas
pada pasien perforasi ulkus peptik untuk memprediksi luaran pasien tersebut.

7
DAFTAR PUSTAKA

Bertleff M.J.O.E. (2011). Perforated peptic ulcer: new insight. Rotterdam: Erasmus
Universiteit Rotterdam.
Brunicardi F.C., Andersen D.K., Billiar T.R., Dunn D.L., Hunter J.G et al. (2010). Schwartz’s
principle of surgery. 9th ed. Houston: Mc Graw-Hill.
Buck D.L., Vester A.M., & Moller M.H. (2012). Accuracy of clinical prediction rules in
peptic ulcer perforation: an observational study. Scandinavian Journal of
Gastroenterology, 47(1): 28-35.
Chandrasinghe P.C., Ediriwira D.S., Kumarage S.K., Deen K.I. (2013). Preoperative
hypoalbuminemia predicts poor overall survival in rectal cancer: a retrospective
cohort analysis. BMC Clinal Phatology, 13(12):1-5.
Don B.R, Kaysen G. (2004). Serum albumin:relationship to inflamation and nutrition.
Seminars in dialysis, 17(6): 432-37.
Heys S.D., Walker L.G., Deehan D.J., Eremin O.E. (1998). Serum albumin: a prognostic
indicator in patients with colorectal cancer. J R Coll Surg Edinb, 43(3):163-8.
Moller M.H., Engebjerg M.C., Adamsen S., Bendix J., Thomsen R.W. (2011). The peptic
ulcer perforation (PULP) score: a predictor of mortality following peptic ulcer
perforation. Acta Anaesthesiol Scand, 2(16):1-10.
Peralta R., Pinsky M.R. (2012) Hypoalbuminemia. Diakses 18 Maret 2014. Available from:
http://www. emedicine.com
Thorsen K., Soreide J.A., Soreide K. (2013). Scoring systems for outcome prediction with
perforated peptic ulcer. Scandinavian jour of trauma, resuscitation and emerg med,
21(25): 1-15.
Soreide J.A., Soreide K. (2014). What is the best predictor of mortality in perforated peptic
ulcer disease? a population based, multivariable regression analysis including three
clinical scoring systems. Journal of Gastrointestinal Surgery, 6(1): 149-158.
Zinner MJ, Ashley SW editors. (2007). Maingot abdominal operations. 11th ed. Houston: Mc
Graw-Hill.

8
Tabel 1. Faktor Risiko Luaran Meninggal

Luaran OR
Variabel Meninggal Hidup 95% CI for OR Nilai p
(n=48) (n=34)
Syok Ya 29 (76,3%) 9 (23,7%) OR=4,24
Tidak 19 (43,2%) 25 (56,8%) (1,629 – 11,036) p=0,002
Onset >24jam 40 (66,7%) 20 (33,3%) OR=3,50 p=0,014
≤ 24 jam 8 (36,4%) 14 (63,6%) (1,261-9,717)
Kreatinin Tinggi 39 (73,6% 14 (26,4%) OR=6,19 p=0,000
Normal 9 (31,0%) 20 (69,0%) (2,287-16,758)
Kalium Abnormal 15 (78,9%) 4 (21,1%) OR=3,409
Normal 33 (52,4%) 30 (47,6%) (1,018 – 11,417) p=0,034
Natrium Abnormal 15 (71,4%) 6 (28,6%) OR=2,121
Normal 33 (54,1%) 28 (45,9%) (0,726-6,199) p=0,128
Albumin ≤3,5 46 (62,2%) 28 (37,8%) OR=4,929
>3,5 2 (25%) 6 (75%) (0,930-26,125) p=0,05
Lokasi Korpus 3 (75,0%) 1 (25,0%) OR=1,
Antr/pilorik 45 (57,7%) 33 (42,3%) (2,287-16,758) p=0,128
Umur >60 th 27 (65,9%) 14 (34,1%) OR=1,837
≤6o th 21 (51,2%) 20 (48,8%) (0,754-4,472) p=0,131

9
Tabel 2. Rangkuman hasil regresi logistik faktor risiko terhadap luaran
meninggal

Exp(B)= 95% C.I.for OR

B Wald Sig. OR Lower Upper

Step1 Umur>60 .375 .448 .503 1.455 .485 4.367

Onset>24 jam 1.290 3.608 .057 3.633 .960 13.750

Syok 1.343 4.463 .035 3.830 1.102 13.311

Kreatinin 1.216 3.904 .048 3.375 1.010 11.278

Albumin≤3,5 .992 2.277 .131 2.696 .743 9.780

Kalium abnormal .204 .075 .784 1.227 .284 5.292

Natrium abnormal .371 .305 .581 1.449 .389 5.401

Jenis kelamin -1.153 2.010 .156 .316 .064 1.554

Lokasi -1.117 .650 .420 .327 .022 4.948

Peritonitis -.682 .200 .655 .506 .025 10.036

Constant -5.863 3.735 .053 .003

Step2 Onset>24 jam 1.428 4.990 .025 4.169 1.191 14.589

Syok 1.472 6.116 .013 4.357 1.357 13.990

Kreatinin 1.254 5.150 .023 3.506 1.187 10.358

Constant -6.216 16.405 .000 .002

Tabel 3. Luaran meninggal berdasarkan banyaknya temuan faktor


risiko
LUARAN OR
BANYAKNYA FAKTOR RISIKO 95% CI
Meninggal Hidup Total

3 FR Count 22 2 24 30,25
(5,761 – 158,832)

% within gabungan 91.7% 8.3% 100.0%

2.FR Count 18 10 28 4,95


(1,617 – 15,157)

% within gabungan 64.3% 35.7% 100.0%

1.FR Count 8 22 30 Ref

% within gabungan 26.7% 73.3% 100.0%

10
Tabel 4. Estimasi rerata lama hidup penderita berdasarkan banyaknya
temuan faktor risiko

a
Mean

95% Confidence Interval

Jumlah FR Estimate Std. Error Lower Bound Upper Bound

3 FR 7.917 3.094 1.852 13.981

2 FR 12.063 1.706 8.720 15.407

1 FR/0 FR 18.100 1.707 14.755 21.445

Overall 21.826 3.711 14.553 29.099

Gambar 1. Grafik fungsi survival berdasarkan banyaknya temuan faktor risiko

11

Anda mungkin juga menyukai