Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Luka bakar didefinisikan sebagai luka yang disebabkan oleh api, air panas, kontak
dengan material panas atau dingin, bahan kimia dan aliran listrik yang melewati jaringan
(American Burn Association, 2011). Klasifikasi luka bakar dapat dibagi berdasakrn
kedalaman luka menjadi tiga. Luka bakar superficial (grade I) hanya sebatas epidermis. Luka
bakar partial thickness (grade II) terbagi menjadi ????. Luka bakar adalah masalah kesehatan
publik di seluruh dunia sebagai penyebab trauma keempat terbanyak didunia dimana 90%
korban luka bakar ditemukan di negara berkembang.3,4,5 Luka bakar menyebabkan hilangnya
fungsi-fungsi kulit, sehingga akan mudah terjadi infeksi, membutuhkan waktu yang lama
untuk penyembuhan, dan dapat menyebabkan deformitas dan kontraktur.
Penanganan dan perawatan luka bakar khususnya pada luka bakar derajat yang berat,
memerlukan perawatan yang kompleks dan masih merupakan tantangan tersendiri karena
angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Data di Amerika menunjukkan sekitar 2-
3 juta penderita setiap tahunnya dengan jumlah kematian sekitar 5-6 ribu kematian per
tahun1. Di Indonesia, data dari Unit Luka Bakar RSCM pada periode Januari 2011-Desember
2012, tercatat 275 pasien dirawat akibat luka bakar, 203 diantaranya usia dewasa dengan
angka mortalitas 27,6%. Terdapat 78% kasus luka bakar disebabkan oleh api dengan derajat
luka bakar grade II sampai grade III 2. Oleh sebab itu sangat dibutuhkan perawatan yang
khusus pada luka bakar.
Penatalaksanaan luka bakar mengalami perubahan seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dalam bidang kedokteran khususnya bidang biomolekuler dan traumatologi.
Permasalahan yang dihadapi memerlukan pendekatan beberapa disiplin ilmu yang mutlak
secara terpadu untuk menurunkan angka mortalitas dan morbiditas luka bakar 3.
Penggunaan terapi oksigen hiperbarik dalam pengobatan luka bakar termal dimulai

pada 1965 ketika Ikeda dan Wada mengamati penyembuhan lebih cepat dari luka bakar

tingkat dua dalam kelompok penambang batubara yang sedang dirawat karena keracunan

karbon monoksida. . Pengalaman Jepang mendorong minat di negara lain, yang diikuti

serangkaian laporan pengalaman klinis dengan hasil yang menguntungkan. Cianci et al pada

1
tahun 2013 melaporkan data dari beberapa studi penelitian yang dilakukan terhadap manusia

maupun hewan mengenai penggunaan TOHB pada luka bakar dengan hasil yang nyata dan

konsisten dalam perlangsungan proses penyembuhan luka, yaitu antara lain mencegah iskemi

pada kulit, mengurangi edema, memodulasi zona stasis, mencegah penambahan kerusakan

derajat luka bakar, memelihara metabolisme selular, dan selanjutnya mempercepat

penyembuhan 4. Dewasa ini terapi oksigen hiperbarik (TOHB) telah banyak dimanfaatkan,

diantaranya untuk penderita luka bakar, decompresion sickness, osteomielitis, dan

ulkus/gangren diabetikum 5.

RSUP Sanglah telah memfasilitasi terapi hiperbarik yang bekerja sama dengan

Hyperbaric Health Australia berjalan sejak bulan Agustus 2004 yang meliputi pelatihan

petugas hiperbarik di dalam dan luar negeri, perbaikan dan pemeliharaan hyperbaric

chamber yang ada di RSUP Sanglah, dan meningkatkan pelayanan hiperbarik berstandar

internasional. Umumnya terapi yang sering digunakan adalah untuk pasien penyelam, dan

hanya beberapa digunakan pada terapi skin graft 7.

Pemberian TOHB pada terapi luka bakar didasarkan pada kondisi fisiologis oksigenasi

jaringan yang mengalami hipoksia/iskemia selama periode edema yang berkembang dalam

tahap awal luka bakar. Penggunaan TOHB dapat meningkatkan tekanan oksigen dalam darah,

dan memberikan efek vasokonstriksi hiperoksi sehingga dapat mengurangi edema jaringan

melalui penurunan permeabilitas kapiler, serta secara langsung mengurangi iskemia jaringan

luka karena efek peningkatan oksigen yang terlarut dalam plasma sehingga dapat

menghambat progresifitas kerusakan jaringan akibat luka bakar8. Kondisi iskemia dan proses

kerusakan jaringan ini mengakibatkan peningkatan pembentukan spesies oksigen reaktif

(SOR). Dosis yang digunakan pada TOHB adalah 2-3 ATA sedang tekanan yang lazim

dipakai adalah 2,4 ATA.

2
Dengan demikian, pengukuran kadar SOR dalam darah merupakan salah satu

cara untuk menilai adanya iskemia jaringan dan dapat digunakan unuk mengevaluasi

efektifitas TOHB pada luka bakar. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek

oksigen hiperbarik pada luka bakar pada binatang coba tikus, dengan

membandingkan penggunaan pada beberapa level tekanan dalam batas aman dengan

tekanan yang lazim digunakan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian adalah : Apakah pemberian TOHB sebagai tambahan terapi pada luka
bakar dengan tekanan 2,4 ATA dapat menurunkan iskemia jaringan dibanding tanpa
TOHB?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi oksigen hiperbarik
terhadap aktifitas/pembentukan radikal bebas dalam darah pengobatan luka bakar
sebagai akibat dari iskemia jaringan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Menilai besarnya efek TOHB sebagai tambahan terapi terhadap pencegahan iskemia
jaringan pada luka bakar dibandingkan dengan tanpa pemberian TOHB dengan
paparan TOHB 2,4 ATA dibanding kontrol.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian dapat memberikan gambaran pengaruh terapi oksigen hiperbarik
terhadap kejadian iskemia jaringan pada luka bakar.
1.4.2 Manfaat Praktis
Data penelitian ini dapat menjadi bahan acuan untuk mengembangkan penelitian
selanjutnya.
1. TOHB diharapkan dapat menjadi standar terapi luka bakar
2. Dapat disusun suatu protap mengenai penggunaan TOHB pada luka bakar derajat
2 dan3 untuk meningkatkan kualitas tatalaksana luka bakar.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh dengan
benda-benda yang menghasilkan panas seperti, api secara langsung (flame) maupun
tidak langsung (flash), terkena air panas (scald), tersentuh benda panas, sengatan
matahari (sunburn), listrik, maupun bahan kimia, dan lain-lain.6
2.2 Epidemiologi
Luka bakar telah menjadi masalah kesehatan masyarakat global, angka
kematiannya sekitar 195.000 orang per tahun. Menurut Riskesdas 2007, prevalensi luka
bakar di Jawa Tengah adalah 7,2% dari seluruh kejadian cedera total. Data yang
diperoleh dari Unit Luka Bakar RSCM dari tahun 2009 – 2010 menunjukkan bahwa
penyebab luka bakar terbesar adalah ledakan tabung gas LPG (30,4%), kebakaran
(25,7%), dan tersiram air panas (19,1%) dengan mortalitas pasien luka bakar mencapai
34%.6 Sebagian besar pasien dirawat karena luka bakar dengan luas 20 – 50%,
menempati angka mortalitas tertinggi (58,25%) dari keseluruhan kasus kematian akibat
luka bakar (34%).7
2.3 Etiologi
Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:8,9,10
 Suhu
- Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan
menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar
pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki
kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh atau
menyala dan menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.

4
- Benda panas (kontak) :
Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas. Luka bakar yang
dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami kontak.
- Scalds (air panas) :Terjadi akibat kontak dengan air panas
- Uap panas :
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil.
Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat menyebabkan cedera hingga ke
saluran napas distal di paru.
 Aliran listrik

Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh.
Umumnya luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang
menyebabkan percikan api dan membakar pakaian dapat menyebabkan luka
bakar tambahan.

 Zat kimia.

Asam kuat menyebabkan nekrosis koagulasi, denturasi protein, dan rasa nyeri
yang hebat. Asam hidrofluorida mampu menembus jaringan sampai ke dalam
menyebabkan toksisitas sistemik yang fatal, bahkan pada luka yang kecil
sekalipun. Basa kuat banyak terdapat dalam rumah tangga antara lain cairan
pemutih pakaian. Kemampuan alkali menembus jaringan lebih kuat daripada
asam, kerusakan jaringan lebih berat karena sel mengalami dehidrasi dan
terjadi denaturasi protein dan kolagen.
 Radiasi
Terpapar radiasi, seperti pada radioterapi superfisial yang dapat
menimbulkan eritema setempat.
2.4 Derajat

Derajat luka bakar dibedakan menjadi 3 tingkatan berdasarkan kedalaman luka


merusak lapisan kulit, yaitu:6,11,12
a. Luka Bakar Derajat I (Superficial burn)
Luka bakar derajat I hanya mengenai epidermis dan biasanya sembuh. dalam 5
7 hari. Luka tampak sebagai eritema dengan keluhan rasa nyeri atau hipersensitifitas
setempat dan tidak ada bulla. Contoh luka bakar derajat I seperti akibat tersengat
matahari. Luka dapat sembuh tanpa bekas. Karena tidak berbahaya, luka bakar
derajat I tidak memerlukan pemberian cairan intravena.

Gambar 2.1 Luka bakar derajat I6

5
b. Luka Bakar Derajat II (Partial thickness burn)
Luka bakar derajat II kedalaman luka mencapai lapisan dermis. Tetapi
masih ada elemen epitel vital yang menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi.
Elemen epitel tersebut terdiri dari sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar
keringat dan pangkal rambut. Luka dapat sembuh sendiri dalam 2-3 minggu.
Gejala yang timbul adalah kemerahan / campuran, epidermis rusak, nyeri
sensitif terhadap udara, bengkak, permukaan basah dan berair serta terdapat
gelembung atau bulla berisi cairan eksudat yang keluar dari pembuluh darah
karena permeabilitas dindingnya meninggi. Luka bakar derajat II sering
diakibatkan oleh cairan panas dan ledakan. Luka bakar derajat II dibedakan
menjadi 2:
1. Derajat IIA (Superficial partial thickness burn)
Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari dermis.
Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari tanpa terbentuk
sikatriks6.
2. Derajat IIB (Deep partial thickness burn)
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan sisa-sisa
jaringan epitel sehat tinggal sedikit. Penyembuhan terjadi lebih lama dan
disertai parut hipertrofi. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu > 1
bulan.

Gambar 2.2 Luka bakar derajat II6

c. Luka Bakar Derajat III (Full thickness burn)11


Luka bakar derajat III kerusakannya meliputi seluruh kedalaman kulit
dan mungkin subkutis atau organ yang lebih dalam. Tidak ada lagi elemen
epitel hidup yang tersisa yang memungkinkan penyembuhan dari dasar luka,
biasanya diikuti dengan terbentuknya eskar.

6
Eskar merupakan jaringan nekrosis akibat denaturasi protein jaringan
kulit. Kulit tampak pucat abu-abu gelap atau hitam, dengan permukaan lebih
rendah dari jaringan sekeliling yang masih sehat, tidak ada bulla dan tidak
terasa nyeri.

Gambar 2.3 Luka bakar derajat III6

2.4.1 Pembagian Zona Kerusakan Jaringan

Akibat kontak dengan sumber termis, jaringan mengalami kerusakan


yang dibedakan atas 3 (tiga) area kerusakan menurut Jackson:

1. Zona koagulasi, zona nekrosis

Daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi, atau


denaturasi protein) akibat pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan
jaringan ini mengalami nekrosis beberapa saat setelah kontak; karenanya
disebut juga sebagai zona nekrosis.

2. Zona statis

Daerah yang langsung berada di luar / di sekitar zona koagulasi. Di


daerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan
trombosit dan leukosit, diikuti perubahan permeabilitas kapiler dan respons
inflamasi lokal. Akibatnya terjadi gangguan perfusi (no flow phenomena), dan
proses ini berlangsung selama 12-24 jam pasca cedera; mungkin berakhir
dengan nekrosis jaringan.

7
3. Zona hiperemi

Daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi


tanpa banyak melibatkan reaksi seluler. Tergantung keadaan umum dan terapi
yang diberikan, zona ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan; atau
berubah menjadi zona kedua bahkan zona pertama (degradasi luka).

2.5 Klasifikasi
Luka bakar dibedakan menjadi 3, yaitu luka bakar ringan, sedang dan berat.15
a) Kriteria luka bakar ringan:
- Luka bakar derajat II < 15%.
- Luka bakar derajat II < 10% pada anak-anak.
- Luka bakar derajat III< 2%.

b) Kriteria luka bakar sedang:


- Luka bakar derajat II 10-25% pada orang dewasa.
- Luka bakar derajat II 10-20% pada anak-anak.
- Luka bakar derajat III <10%.

c) Kriteria luka bakar berat:

- Luka bakar derajat II 25% atau lebih pada orang dewasa.


- Luka bakar derajat II 20% atau lebih pada anak-anak.
- Luka bakar derajat III 10% atau lebih.
- Luka bakar mengenai tangan, wajah, telinga, mata, kaki, dan genital
- Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain.

2.6 Luas Luka Bakar


Penentuan luas luka bakar pada kulit adalah penting pada kasus-kasus
dimana kematian terjadi lambat oleh karena luas dan derajat luka bakar sangat
penting pengaruhnya terhadap prognosis dan manajemen pengobatannya.
Untuk perhitungan luas luka bakar secara tradisional dihitung dengan

8
menggunakan `Rule of Nines` dari Wallace. Dikatakan bahwa luka bakar yang
terjadi dapat diindikasikan sebagai presentasi dari total permukaan yang terlibat
oleh karena luka termal. Bila permukaan tubuh dihitung sebagai 100%, maka
kepala adalah 9%, tiap – tiap ekstremitas bagian atas adalah 9%, dada bagian
depan adalah 18%, bagian belakang adalah 18%, tiap-tiap ekstremitas bagian
bawah adalah 18% dan leher 1%.13
Rumus tersebut tidak dapat digunakan pada anak dan bayi karena
relatif luas permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif
permukaan kaki lebih kecil. Oleh karena itu, digunakan `Rule of ten` untuk
bayi dan `Rule of 10-15-20` dari Lund and Browder untuk anak. Dasar
presentasi yang digunakan dalam rumus tersebut adalah luas telapak tangan
dianggap seluas 1%.13

Derajat dan luas luka bakar tergantung pada banyak faktor seperti
jarak korban dengan api, lamanya pajanan, bahkan pakaian yang digunakan
korban pada waktu terjadinya kebakaran. Komposisi pakaian dapat
menentukan derajat keparahan dan luasnya luka bakar. Kain katun murni
akan mentransmisi lebih banyak energi panas ke kulit dibandingkan dengan
bahan katun polyester. Bahan katun terbakar lebih cepat dan dapat
menghasilkan luka bakar yang besar dan dalam. Bila bahan yang dipakai
kandungan poliesternya lebih banyak akan menyebabkan luka bakar yang
relatif ringan atau kurang berat. Bahan rajutan akan menghasilkan daerah
luka bakar yang relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan bahan pintalan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa bila bahan yang dipakai bertambah berat
maka daerah yang terbakar akan berkurang. Selain itu derajat luka bakar
akan berkurang bila pakaian yang dipakai korban ketat dan mengelilingi
tubuh.13

9
Gambar 2.4 Diagram zona luka bakar pada luka bakar derajat dua

Gambar 2.5 (a) dan (b) Perhitungan Luas Luka Bakar

10
Tabel 2.1 Rule of Nines untuk Penatalaksanaan Luka Bakar Pada
Permukaan Tubuh.

Struktur Anatomi Area Permukaan

Kepala 9%
Badan Depan 18%
Punggung 18%
Tiap Kaki 18%
Tiap Lengan 9%
Genitalia/perineum 1%

2.7 Penanganan
2.7.1 Penanganan awal (primary survey)6,11
Penanganan awal (primary survey) pada pasien luka bakar, sebagai
berikut:

a. Airway; membebaskan jalan napas, menilai adanya trauma inhalasi,


danmelakukan intubasi bila terdapat indikasi. Indikasi pemasangan
intubasi pada luka bakar, yaitu trauma inhalasi, stridor, luka bakar yang
melingkari leher sehingga mengakibatkan pembengkakan jaringan
sekitar jalan napas.
b. Breathing;memberikan O2, mengenali dan mengatasi keracunan CO
c. Circulation;memantau tekanan darah dan nadi, memasang kateter
urin,memeriksa sirkulasi perifer (Capillary Refill Time / CRT), dan
memasang infus.

d. Disability; menilai GCS.

11
e. Environment; memadamkan sumber panas lalu merendam atau
menyiramluka bakar dengan air mengalir selama sekurang-kurangnya
15 menit, melepaskan pakaian, memeriksa luas luka bakar, memeriksa
adanya trauma penyerta lain, dan menjaga agar pasien tetap hangat.

f. Fluid; melakukan resusitasi cairan sesuai dengan luas luka bakar.

2.7.1.1 Pemberian Cairan Intravena14


Sebelum infus diberikan, luas dan dalamnya luka bakar harus
ditentukan secara teliti. Kemudian, jumlah cairan infus yang akan diberikan
dihitung. Ada beberapa cara untuk menghitung kebutuhan cairan ini.

a. Cara Evans
1) Luas luka dalam % x BB dalam kg menjadi mL NaCl per 24 jam
2) Luas luka dalam % x BB dalam kg menjadi mL plasma per 24
jam. Keduanya merupakan pengganti cairan yang diberikan
akibat edema. Plasma diperlukan untuk mengganti plasma yang
keluar dari pembuluh dan meninggikan tekanan osmosis
sehingga mengurangi perembesan keluar dan menarik kembali
cairan yang telah keluar.
3) Sebagai pengganti cairan yang hilang akibat penguapan,
diberikan 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam.

Separuh jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya


diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah
jumlah cairan hari kedua. Penderita mula-mula dipuasakan karena peristaltis
usus terhambat pada keadaan prasyok, dan mulai diberikan minum segera
setelah fungsi usus normal kembali. Kalau diuresis pada hari ketiga
memuaskan dan penderita dapat minum tanpa kesulitan, infuse dapat
dikurangi bahkan dihentikan.

12
b. Rumus Baxter

Cara lain yang dipakai dan lebih sederhana adalah


menggunakan rumus Baxter, yaitu luas luka x BB dalam kg x 4 mL
larutan Ringer. Separuh dari jumlah cairan ini diberikan dalam 8 jam
pertama sisanya diberikan dalam 16 jam. Hari pertama terutama
diberikan kristaloid yaitu larutan Ringer Laktat. Hari kedua diberikan
setengah cairan pertama. Contoh: seorang dewasa dengan berat badan
50 kg dan luka bakar seluas 20% permukaan kulit akan diberikan 50 x
20 mL = 1000 mL larutan NaCl 0,9% dan juga 1000 mL plasma
sebagai cairan tambahan, disertai 2000 cc larutan glukosa 5% sebagai
kebutuhan dasar. Jumlah cairan pada 8 jam pertama sama dengan
jumlah cairan untuk 16 jam berikut, masing-masing 2000 mL; 24 jam
berikutnya = 2000 mL.
Menurut rumus Baxter, cairan diberikan dalam 2 hari, yaitu 20
x 50 mL x 4 = 4000 mL pada hari pertama, 2000 mL pada hari kedua.
Pemberian cairan dapat ditambah (jika perlu), misalnya bila penderita
dalam keadaan syok, atau jika diuresis kurang. Untuk itu, pemantauan
yang ketat sangat penting, karena fluktuasi perubahan keadaan sangat
cepat terutama pada fase awal luka bakar.
Intinya, status hidrasi penderita luka bakar luas harus dipantau
terus-menerus. Keberhasilan pemberian cairan dapat dilihat dari
dieresis normal yaitu sekurang-kurangnya 1000-1500mL/24 jam atau
1 mL/kgBB/jam pada pasien anak. Yang penting juga adalah
pengamatan apakah sirkulasi normal atau tidak.
Besarnya kehilangan cairan pada luka bakar luas disertai
resusitasi yang tidak betul dapat menyebabkan ketidakseimbangan
elektrolit. Hiponatremia sebagai gejala keracunan air dapat
menyebabkan udem otak dengan tanda kejang-kejang. Kekurangan
ion K akibat banyaknya kerusakan sel dapat diketahui dari EKG yang
menunjukkan depresi segmen ST atau gelombang U.
ketidakseimbangan elektrolit ini juga harus dikoreksi namun bukan
menjadi prioritas utama dalam resusitasi cairan emergensi manajemen

13
primer pasien trauma. Selain itu, ada pula beberapa formula yang
biasa digunakan untuk resusitasi cairan pada centre luka bakar.
2.7.1.2 Monitoring Resusitasi15
Monitoring resusitasi dilakukan melalui urine output. Volume
urin normal pada orang dewasa adalah 0.5 ml/kgBB/jam (atau 30 – 50
ml/jam). Sedangkan pada anak (<40 kg) sebesar 1 ml/kgBB/jam.
Kecepatan infus cairan harus ditingkatkan atau menurun
berdasarkan keluaran urin. Output yang diharapkan harus didasarkan
pada berat badan ideal, bukan berat sebelum trauma luka bakar aktual
(yaitu pasien dengan berat badan 200 kg tidak memerlukan output urin
100 ml per jam). Kecepatan infus cairan harus ditingkatkan atau
dikurangi sepertiga jika output urin turun di bawah atau
melebihi batas tersebut lebih dari sepertiga selama dua jam berturut-turut

Manajemen oligouria
Oliguria berkaitan dengan peningkatan resistensi
vaskular sistemik dan penurunan curah jantung, paling sering
merupakan hasil pemberian cairan yang tidak adekuat. Dalam
situasi seperti itu, diuretik dikontraindikasikan, dan laju infus cairan
resusitasi harus ditingkatkan untuk meningkatkan output urin. Setelah
diuretik telah diberikan, keluaran kencing tidak lagi menjadi alat yang
akurat untuk memantau resusitasi cairan.
2.8 Terapi Oksigen Hiperbarik
Penggunaan oksigen hiperbarik sebagai terapi tambahan luka bakar masih

tetap menjadi bahan pertimbangan dimana masih sering dianggap sebagai sesuatu

yang berbahaya atau mahal (Paul Cianci). Penggunaan terapi oksigen hiperbarik

dalam pengobatan luka bakar termal dimulai pada 1965 ketika Ikeda dan Wada

mengamati penyembuhan lebih cepat dari luka bakar tingkat dua dalam kelompok

penambang batubara yang sedang dirawat karena keracunan karbon monoksida.

Mereka mengikuti observasi kebetulan ini dengan serangkaian percobaan hewan yang

menunjukkan penurunan edema dan peningkatan penyembuhan. Pengalaman Jepang

14
mendorong minat di negara lain, yang diikuti serangkaian laporan pengalaman klinis

dengan hasil yang menguntungkan.

Pemberian terapi oksigen hiperbarik (TOHB) pada luka bakar memiliki

mekanisme kerja yaitu tekanan O2 yang melebihi 1 atmosfer akan menyebabkan

peningkatan tekanan O2 pada jaringan, sehingga gradien difusi oksigen ke dalam

jaringan akan meningkat. Selain itu, oksigen dapat larut dalam cairan plasma darah

secara fisika yamg turut membantu membawa oksigen ke daerah yang mengalami

hipoksia. Oksigen yang larut tersebut akan keluar ke ekstravaskuler dan ruang intrasel

dengan cara difusi dan kemudian digunakan oleh sel yang selanjutnya akan

meningkatkan metabolisme enzimatik intrasel dan aktifitas penyembuhan luka akan

meningkat.

Cianci et al pada tahun 2013 melaporkan data dari beberapa studi penelitian

yang dilakukan terhadap manusia maupun hewan mengenai penggunaan TOHB pada

luka bakar dengan hasil yang nyata dan konsisten dalam perlangsungan proses

penyembuhan luka, yaitu antara lain mencegah iskemi pada kulit, mengurangi edema,

memodulasi zona stasis, mencegah penambahan kerusakan derajat luka bakar,

memelihara metabolisme selular, dan selanjutnya mempercepat penyembuhan.

Menurut acuan pustaka, pada luka bakar terjadi perubahan respon imunologik

yang mencakup perubahan fungsi makrofag dan gangguan imunitas baik seluler

maupun humoral. Terjadi kerusakan mikrosirkulasi lokal sampai batas terluas selama

12-24 jam pasca luka bakar. Periode dinamis ini dapat terjadi sampai 72 jam setelah

cedera yang kemudian secara cepat diikuti dengan iskemi dan nekrosis. Edema

merupakan ciri yang paling menonjol, dan cepat terjadi pada daerah cedera sebagai

akibat peningkatan permeabilitas kapiler, penurunan tekanan onkotik, peningkatan

tekanan onkotik interstitial, perubahan pada ruang interstisial, dan kerusakan sitem

15
limfatik. Proses progresif ini dapat berkembang secara drastis selama hari-hari

pertama setelah cedera. Kerusakan yang sedang berlangsung pada cedera termal

terjadi karena beberapa faktor, termasuk kegagalan jaringan sekitar menyediakan

oksigen dan nutrien untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel-sel yang

berbatasan dengan cedera. Hambatan sirkulasi pada jaringan di bawah cedera karena

edema mengganggu kelembaban luka karena cairan tidak dapat melalui kapiler yang

mengalami trombus dan obstruksi Netrofil merupakan sumber utama dari oksidan dan

cedera dalam mekanisme iskemia/reperfusi (Cianci P et al, 2013). Terapi oksigen

hiperbarik (TOHB) dapat meningkatkan jumlah oksigen yang terlarut dalam darah,

hal ini menyebabkan peningkatan oksigen yang dilepaskan pada daerah yang terlibat

di sirkulasi plasma darah sehingga dapat mengurangi hipoperfusi pada daerah luka

yang mengalami edema dan vasokonstriksi (Moenadjat, 2000).

2.1.1 Sejarah Terapi Oksigen Hiperbarik


2.1.2 Prinsip Kerja Terapi Oksigen Hiperbarik
2.1.3 Indikasi dan Kontraindikasi Penggunaan Terapi Oksigen Hiperbarik
2.1.4 Efek Samping Terapi Oksigen Hiperbarik

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep


Kerusakan jaringan pada luka bakar meliputi kerusakan akibat kondisi
iskemik jaringan yang disebabkan oleh gangguan di tingkat mikrovaskuler,
maupun sebagai hasil tak langsung dari proses oedema yang berkembang yang
mengakibatkan gangguan difusi organ ke sel dan jaringan.
Kondisi iskemia memicu peningkatan spesies oksigen reaktif (SOR)
yang diakibatkan oleh proses proteolisis, dimana proses ini terjadi perubahan
enzim xantin dehidrogenase menjadi xantin oksidase yang bersifat tidak

16
reversibel sehingga mengakibatkan pembentukan ion speroksida bila pasokan
oksigen kembali normal (Suryohudoyo, 1996).
Hiperoksigenasi akan memberi pertolongan terhadap jaringan dengan
perfusi yang rendah karena adanya peningkatan oksigen terlarut dalam plasma.
Hal ini dapat menyebabkan vasokonstriksi dan mengurangi oedema (Paul
Cianci, 1999). Dengan mencegah pembentukan radikal bebas oksigen
diharapkan dapat mengatasi kondisi iskemi pada jaringan luka bakar.
Maka berdasar kerangka konsep diatas, dapat disusun sebagai berikut

Luka Bakar

Akibat panas Edema jaringan

Kerusakan
mikrovaskular

Iskemia jaringan
meningkat

Pembentukan Pembentukan
ROS meningkat ROS meningkat

OHB 2,4 ATA

Vasokonstriksi-hiperoksi

Iskemia jaringan menurun

ROS menurun

17
3.2 Hipotesis Penelitian
Pemberian oksigen hiperbarik 2,4 ATA pada luka bakar dapat
menurunkan pembentukan SOR dibanding tanpa TOHB.

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

4.2 Sampel dan Besar Sampel


Untuk subyek penelitian adalah tikus “Wistar” jantan dengan kriteria
sebagai berikut :
1. Sehat
2. Umur 4-5 bulan
3. Berat badan 200-250 gram
Semua tikus yang memenuhi kriteria sebagai populasi mempunyai kesempatan
yang sama untuk menjadi sampel melalui simpel random sampling (Unair,
2002)
Besar sampel yang dihitung berdasar data penelitian pendahuluan untuk
perlakuan 2,4 ATA 0,6 dan 2,95. Sedang perlakuan 3,0 ATA adalah 0,15 dan
0,29 ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

2 2
1 2(Zα + Zβ) Sc
N=
(1−f ) ( Xc−Xt )2
Keterangan :
N = besar sampel
Z α = deviasi standard untuk α = 1,96
Zβ = deviasi standard untuk β = 1,28
Xt = mean kelompok perlakuan
Xc = mean kelompok kontrol
f = proporsi kegagalan
Sc = standard deviasi kontrol
4.3 Variabel Penelitian

18
4.3.1 Klasifikasi variabel :
Variabel independen :
- Oksigen hiperbarik tekanan 2,4 ATA dan 3,0 ATA
Variabel dependen
- Radikal bebas dalam darah
Variabel kendali :
- jenis hewan coba
- jenis kelamin hewan coba
- umur hewan coba
- kesehatan fisik hewan coba
- pemeliharaan dan perawatan hewan coba
Variabel moderator :
- berat badan hewan coba
4.4 Definisi Operasional Variabel
Tabel 4.1 Definisi Operasional
Variabel Definisi Variabel
Oksigen hiperbarik Pemberian oksigen tekanan tinggi, pada
umumnya 2,4 ATA yang dilaksanakan
dalam ruang udara bertekanan tinggi
(RUBT)
Radikal bebas dalam darah Radikal bebas dalam darah yang diukur
dengan menggunakan alat luminometer
semi automatik LUMAT LB 9507.
Metode pengukuran dengan
menggunakan senyawa luminesen
luminol, dimana bila teroksidasi oleh
hidrogen peroksida dalam lingkungan
alkali akan memancarkan cahaya sebagai
foton bersifat individual.
Jenis hewan coba Hewan coba yang digunakan dalam
penelitian ini adalah tikus “Rattus
norvergicus” strain Wistar dari tempat
penangkaran.
Jenis kelamin hewan coba Jenis kelamin hewan coba adalah jantan
Umur hewan coba Umur tikus wistar yang digunakan antara

19
4-5 bulan
Kesehatan fisik hewan coba Hewan yang dipilih sehat fisik, ditandai
dengan keadaan fisik tidak ditemukan
cacat atau luka serta gerakan yang aktif,
sorot mata tajam tak berair, bulu tak
tegak.
Pemeliharaan dan perawatan Selama penelitian, pemeliharaan akan
dilakukan di Laboratorium biokimia
Universitas Udayana bagian
pemeliharaan binatang coba. Tikus
ditempatkan dalam kotak plastik tertutup
kasa kawat berukuran 60x40x15 cm yanf
diisi sekam dan diberi makan Par G pellet
dari PT Comfeed dan minum Aqua.
Berat badan hewan coba Berat badan hewan coba antara 200-250
gram, penimbangan dilakukan dengan
timbangan Torbal (Torsion Balance).

4.5 Analisis Statistik


Untuk menguji hipotesis dilakukan analisis statistik deskriptif, dilanjutkan uji
normalitas dan homogenitas sampel, kemudian analisis varian. Bila analisis
varian terdapat perbedaan bermakna dilakukan uji LSD (Least Significant
Difference).

4.6 Bahan dan Instrumen Penelitian


4.6.1 Paparan Terapi Oksigen Hiperbarik
a. Ruang udara bertekanan tinggi (RUBT)
b. Oksigen 100%
4.6.2 Pemeriksaan radikal bebas
a. Senyawa luminesen Luminol
b. Peroksidase
c. Sampel darah
4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.7.1 Lokasi Penelitian

20
Penelitian direncanakan akan dilaksanakan di Ruang Hiperbarik RSUP
Sanglah, Denpasar.
4.7.2 Waktu Penelitian
Pelaksanaan penelitian direncanakan dari bulan Januari sampai dengan
Oktober 2021.
4.8 Prosedur Pengambulan data
4.8.1 Cara pembuatan luka bakar pada tikus
a. Tikus terlebih dahulu dianestesi dengan eter.
b. Bagian punggung yang akan dibuat luka bakar dicukur bulunya
c. Pembuatan luka bakar dengan merendam punggung selama 30 detik
pada air dengan suhu 70 derajat celcius.
d. Segera dilakukan pemberian cairan resusitasi Ringer Laktat 10 ml.
4.8.2 Pemaparan Oksigen Hiperbarik
Tikus dimasukkan dalam kotak kaca eksperimen, kemudian
dimasukkan dalam RUBT dimulai 30 menit setelah luka bakar, kemudian
dilakukan penekanan sesuai tekanan yang diinginkan yaitu 2,4 ATA. Selama
dalam tekanan diberikan oksigen 100% selama 3 x 30 menit dengan interval 5
menit, kemudian tekanan kembali diturunkan ke normal dalam waktu 5 menit.
Sedangkan tikus sebagai kontrol diletakkan dalam RUBT diberikan
oksigen 3 x 30 menit dengan tekanan 1 ATA.
4.8.3 Pemeriksaan Radikal Bebas
Dilakukan pengambilan darah tikus 2 kali pada saat setelah keluar dan
1,5 jam setelah paparan, dengan terlebih dahulu dilakukan pembiusan.
Pengambilan darah melalui jantung dan segera dilakukan analisis pemeriksaan
radikal bebas.

21

Anda mungkin juga menyukai