REVISI
DISUSUN OLEH
HUKUM LAUT
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
DESEMBER 2017
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum Laut Internasional pertama kali lahir dan berkembang di Benua Eropa.1
Hukum Laut Internasional kemudian melewati beberapa fase-fase perkembangan
seiring dengan perubahan zaman, dan diiringi pula dengan perkembangan pemikiran
yang melewati masa abad pertengahan, zaman Portugal dan Spanyol, serta zaman
Inggris.2
1
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, (Bandung: Angkasa Offset, 1983), hal.
1
2
Ibid, hal. 4
3
Inari Karsh, “Reviewed Work(s): The Law of the Sea by R.R. Churchill and A.V. Lowe”,
International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944-), Vol. 65, No.3 (Summer, 1989),
pp. 538-539
4
Tullio Treves, Laura Pineschi, The Law of the Sea: The European Union and Its Member
States, (Martinus Nijhoff Publisher, 1997), hal. 41
Setelah UNCLOS I pada tahun 1958, Sekretaris Jenderal PBB kemudian mendorong
untuk diselenggarakannya konferensi UNCLOS II yang akan membahas mengenai
luas laut territorial dan batas perikanan, yang pada akhirnya belum berhasil disepakati
dalam konferensi tersebut. Komferensi tersebut dilaksanakan pada tanggal 17 Maret
sapa tanggal 26 April 1960. Kesepakatan mengenai luas wilayah laut territorial dan
batas perikanan pada akhirnya akan dibahas pada tahap selanjutnya.5
Berdasarkan latar belakang terebut diatas, muncul rumusan masalah sebagai berikut:
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Garis Pangkal (Baseline)
Baseline atau dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai garis pangkal, adalah garis
yang digunakan untuk mengukur batas luar dari laut teritorial dan zona lainnya
seperti zona tambahan dan zona ekonomi ekslusif. Oleh karenanya, ketentuan
berkaitan dengan garis pangkal oleh negara pantai maupun negara lainnya adalah
sangat penting baik dalam lingkup penggunaannya maupun pengaturannya.8 Air laut
yang berada di posisi dalam garis pangkal (mengarah ke daratan) dikenal sebagat
perairan pedalaman. Sehingga, garis pangkal juga merupakan garis yang membatasi
antara perairan pedalaman dan laut teritorial. 9 Namun, perlu diperhatikan pula bahwa
dalam penarikan garis pangkal kepulauan, maka garis pangkal memisahkan antara
laut teritorial dengan perairan kepulauan. Secara umum, ada tiga jenis garis pangkal,
yaitu:
Garis pangkal lurus adalah garis pangkal alternatif dari garis pangkal normal
(low water line), adapun tujuan dari garis pangkal ini meupakan inisiatif dan
penanganan untuk garis pantai yang kompleks yang sulit ditentukan atau
digeneralisasi menggunakan low water line.11 Menurut Pasal 7 UNCLOS
Bernard H. Oxman, “Drawing Lines in the Sea”, Yale Journal of International Law Vol. 18
8
(1993): 663.
9
R. R. Churchill dan Alan Vaughan Lowe, The Law of the Sea, Ed. 2 (Manchester: Manchester
University Press, 1988), hal. 26.
Ian Kawaley, “Delimitation of Islands Fringed with Reefs: article 6 OF THE 1982 Law of the
10
Sea Convention”, The international and Comperative Law Quarterly, Vol. 41, No. 1 (January 1992) :
152.
11
Clive Schofield, “Departures from the Coast: trends in the applicaton of territorial sea
baselines under the Law of the Sea Convention”, The International Journal of Maritime and Coastal
1982, garis pangkal lurus ditarik untuk pantai yang mempunyai lekukan yang
dalam dan terbagi dan terdapat susuran pulau di dekat pantainya. Sama seperti
garis pangkal normal, garis pangkal lurus memisahkan antara laut teritorial
dengan perairan pedalaman.
Ketentuan yang mengatur garis pangkal normal adalah Pasal 5 UNCLOS, bahwa
“Except where otherwise provided in this Convention, the normal baseline for
measuring the breadth of the territorial sea is the low-water line along the coast as
marked on large-scale charts officially recognized by the coastal State.” Berdasarkan
pasal tersebut, dapat dimengerti bahwa pada prinsipnya, garis pangkal normal yang
digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis air surut (low-water line)
Gambar diatas menunjukan grafik pasang surut, dapat di lihat bahwa, di dalam grafik
tersebut terdapat garis mean low water yang pada umumnya digunakan sebagai low-
water line atau garis air surut dalam menentukan garis pangkal normal. Akan tetapi
masing-masing negara di dunia mempunyai hak untuk menentukan titik air surut
14
Yoshifumi Tanaka, The International Law of The Sea (Cambridge: Cambridge University
Press: 2012).
15
Martin Ira Glassner, Neptune’s Domain A Political Geography of the Sea (Boston: Unwin
Hyman, 1990), Hal. 36.
16
Churchill, R. R dan Alan Vaughan Lowe, “The Law of the Sea”, hal. 28.
paling rendah agar sesuai dengan kepentingan negaranya dan karakter dari pantai
yang ada di negaranya.17
Mengenai penentuan garis pangkal dimana terdapat karang, telah diatur dalam Pasal 6
UNCLOS, yaitu “In the case of islands situated on atolls or of islands having
fringing reefs, the baseline for measuring the breadth of the territorial sea is the
seaward low-water line of the reef, as shown by the appropriate symbol on charts
officially recognized by the coastal State.”
17
W. Michael Reisman dan Gayl S. Westerman, Straight Baselines in International Maritime
Boundary Delimitation (London: The Macmillan Press LTD, 1992), Hal. 10.
18
Sriyanie Miththapala, Coral Reefs: Coastal Ecosystems Series, Ed. 1, (Colombo: Ecosystems
and Livehoods Group Asia, IUCN, 2008), hal. 5-6
Fringing Reefs Barrier Reefs Atolls
Sesuai dengan ketentuan dalam UNCLOS, maka dalam kondisi sebuah pulau terletak
diatas sebuah atolls atau pulau mempunyai fringing reefs, maka garis pangkal ditarik
dari garis air surut karang yang menghadap ke laut. Pada dasarnya, masih ditemukan
berbagai kesulitan dalam menentukan garis pangkal untuk karang. Namun, salah satu
hal penting yang perlu diketahui adalah, nampaknya ketentuan dalam pasal ini tidak
diperuntukkan untuk diaplikasikan pada karang yang tenggelam secara permanen.
Kemudian, berkaitan dengan istilah “seaward”, apabila ini tidak mencakup karang
yang hanya membatasi laguna, maka dapatlah dibuat garis pangkal yang kemudian
menjadikan air yang ada di dalam laguna sebagai laut pedalaman.19
19
Kawaley, “Delimitations of Islands”: 157.
kemudian di dukung dengan putusan ICJ.20 Penggunaan metode garis pangkal lurus
telah diatur dalam Pasal 7 UNCLOS, dan pasal 7(1) mengatur:
In localities where the coastline is deeply indented and cut into, or if there is a fringe
of islands along the coast in its immediate vicinity, the method of straight baselines
joining appropriate points may be employed in drawing the baseline from which the
breadth of the territorial sea is measured.
Pasal tersebut mengatur bahwa, untuk mengaplikasikan garis pangkal lurus, maka
kondisi pantai harus memenuhi persyaratan, yaitu garis pantainya melekuk sangat
dalam atau garis pantainya terbagi-bagi, atau terdapat susuran pulau (fringed islands)
dekat dengan sepanjang pantai.
Adapun pengertian “deeply indented and cut into”, harus memenuhi karakter sebagai
berikut:
Pada lokasi dimana garis pantai melekuk sangat dalam dan terbagi-bagi,
terdapat paling tidak tiga lekukan yang dalam;
Jarak antar lekukan tersebut saling berdekatan;
Kedalaman penetrasi setiap lekukan dari garis pangkal lurus lebih besar dari
panjang setengah segmen garis pangkal yang ditentukan.
Titik pulau yang paling mendekati daratan tidak berjarak lebih dari 24 miles
dari tepi pantai pulau utama;
Setiap pulau yang akan dijadikan garis pangkal jaraknya tidak boleh melebihi
24 miles dari pulau dimana garis pangkal pertama ditarik;
Seluruh susuran pulau tersebut paling tidak memenuhi 50% bagian dari garis
pantai pulau utama pada lokasi dimana garis pangkal akan dibuat.21
Bjorn Geirr Harsson dan George Preiss, “Norwegian Baselines, Maritime Boundaries and the
20
UN Convention on the Law of the Sea”, Arctic Review on Law and Politics vol. 3, (2012): 111..
21
J. Ashley Roach, “China’s Straight Baseline Claim: Senkaku (Diaoyu) Islands”, American
Society of International Law Vol. 17 Issue 7 (Februari 2013): 3.
Fringed Islands
Deeply indented
or cut into
Mengenai penarikan garis pangkal yang lurus, kita dapat merujuk pada yurisprudensi
ICJ dalam menyelesaikan sengketa antara Inggris dan Norwegia tentang validitas
garis pangkal lurus yang diambil oleh Norwegia yang dituangkan pada Royal Decree
1935 dan kemudian dituntut oleh Inggris ke hadapan ICJ pada tahun 1949. Pada
pertimbanhannya, Mahkamah menyatakan “……… several States have deemed it
necessary to follow the straight base-lines method and that they have not
encountered objections of principle by other States. This method consists of selecting
appropriate points on the low water mark and drawing straight lines between
them.”22 Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa dalam melakukan penarikan garis
pangkal lurus, maka perlu menyesesuaikan titik-titik air surut dan kemudian menarik
garis lurus pada titik-titik tersebut. Jadi, yang harus diperhatikan dalam melakukan
penarikan garis pangkal lurus adalah penarikan didasarkan pada titik-titik garis air
surut yang bersesuaian dan ditarik dari garis yang menhadap ke laut.
22
Tanaka, The International, hal. 47
Selanjutnya, pengaturan mengenai garis pangkal lurus diatur lebih lanjut pada
Pasal 7(2) dan berbunyi “Where because of the presence of a delta and other natural
conditions the coastline is highly unstable, the appropriate points may be selected
along the furthest seaward extent of the low-water line and, notwithstanding
subsequent regression of the low-water line, the straight baselines shall remain
effective until changed by the coastal State in accordance with this Convention.”
Maksud dari ketentuan itu adalah, bahwa apabila terdapat sebuah delta atau kondisi
alam yang membuat garis pantai menjadi tidak stabil, maka titik-titik air surut dapat
diambil dari yang titik yang paling jauh mendekati arah laut, dan apabila terdapat
kemunduran atau kemajuan dari titik-titik tersebut, maka garis pangkal lurus akan
tetap berlaku sampai dilakukan perubahan oleh negara pantai. Frasa “may”
menunjukkan bahwa Appropiate points tidak selalu merujuk pada low water line
yang paling mendekati arah laut, sebab ada pendapat lain yang mengatakan bahwa
garis pangkal lurus dapat ditarik menuju titik-titik yang pada waktu dilakukan
penarikan berada dibawah garis air surut.23
23
Jonathan I Charney, “Central East Asian Maritime Boundaries and the Law of the Sea”,
American Society of International Law Vol. 89 No. 4 (Oktober 1995): 735.
Kemudian, pasal 7(3) mengatur bahwa “The drawing of straight baselines must not
depart to any appreciable extent from the general direction of the coast, and the sea
areas lying within the lines must be sufficiently closely linked to the land domain to
be subject to the regime of internal waters.” Pada kasus North Sea, ICJ mengajukan
bahwa dalam menentukan “general direction of coastline” dapan menggunakan
“principle of coastal front”, yaitu dengan menarik garis pangkal lurus antara titik
tertinggi yang terletak diantara kedua ujung pantai.24 Jadi, pada paragraf ini diatur
bahwa, garis pangkal lurus tidak boleh ditarik dari jarak yang jauh dari titik ujung
pantai, selanjutnya, area laut yang berada didalam garis harus cukup dekat dengan
daratan utama agar dapat dikategorikan sebagai perairan pedalaman.
Pada dasarnya, garis pangkal lurus tidak boleh ditarik dari dan sampai elevasi air
surut (low-tide elevations), kecuali terdapat mercusuar atau instalasi yang memiliki
fungsi yang sama seperti mercusuar diatasnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 (4),
sebagai berikut:
24
Yucel Acer, The Aegean Maritime Disputes and International Law (New York: Routledge,
2017), Hal. 183.
“Straight baselines shall not be drawn to and from low-tide elevations, unless
lighthouses or similar installations which are permanently above sea level have been
built on them or except in instances where the drawing of baselines to and from such
elevations has received general international recognition.”
Namun, mercusuar atau instalasi yang mempunyai kemiripan dengan mercusuar itu
harus secara permanen berada di atas permukaan laut. Lebih lanjut, pengecualian
larangan penarikan garis pangkal lurus dari dan sampai elevasi air surut adalah
apabila penarikan tersebut telah memperoleh pengakuan internasional secara umum.
Pasal 7(5) mengatur “Where the method of straight baselines is applicable under
paragraph 1, account may be taken, in determining particular baselines, of economic
interests peculiar to the region concerned, the reality and the importance of which
are clearly evidenced by long usage.” Intinya adalah, apabila suatu negara ingin
mengaplikasikan penggunaan metode garis pangkal lurus yang sesuai dengan Pasal
7(1), maka harus dipertimbangkan kepentingan ekonomi negara yang dimaksud.
Akan tetapi, bukan berarti bahwa kepentingan ekonomi saja dapat membenarkan
penggunaan garis pangkal lurus. Bahkan ketentuan ini merujuk pada paragraph 1
pasal 7 mengenai syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menggunakan metode garis
pangkal lurus, yaitu “coastline is deeply indented and cut into, or there is a fringe of
islands along the coast in its immediate vicinity.”25 Larangan selanjutnya untuk
menggunakan metode garis pangkal lurus adalah, metode ini tidak dapat
diaplikasikan oleh sebuah negara apabila penggunaan metode ini akan memutuskan
laut teritorial sebuah negara dengan laut lepas atau zona ekonomi ekslusif.26
25
Tanaka, The International, hal. 49
26
Pasal 7(6) UNCLOS, berbunyi “The system of straight baselines may not be applied by a
State in such a manner as to cut off the territorial sea of another State from the high seas or an
exclusive economic zone.”
“If a river flows directly into the sea, the baseline shall be a straight line across the
mouth of the river between points on the low-water line of its banks.”
Pasal ini mengatur mengenai pertemuan antara sungai dengan laut. Bahwa dalam
konteks seperti ini, maka garis pangkal ditarik dari tepi sungai secara garis lurus yang
menghubungkan antara titik air surut tepi sungai dan tidak diatur mengenai
maksimum panjang garis tersebut.27 Lebih lanjut, pasal ini tdak mengatur mengenai
sungai yang mengalir ke laut dengan cara melewati estuary, hal ini dapat diartikan
dari dengan adanya frasa “directly” dalam pasal tersebut28. Apabila sungai tersebut
membentuk estuari, maka garis pangkal ditentukan berdasarka peraturan yang
mengatur mengenai teluk (bays).29
v. Teluk (Bays)
Ketentuan dalam UNCLOS yang mengatur mengenai penentuan garis pangkal dari
teluk, hanya berlaku bagi teluk yang berada pada satu negara saja. 30 Poin penting
yang harus kita pahami sebelum dapat menentukan garis pangkal dari sebuah teluk,
yaitu menentukan apakah sebuah lekukan pada pantai merupakan teluk atau bukan.
Selain itu, kita juga perlu mengetahui seberapa panjang garis pangkal yang dapat
ditarik. Adapun syarat-syarat untuk menentukan sebuah lekukan adalah teluk
tertuang dalam Pasal 10 (2) UNCLOS, yaitu:
Dari pengaturan tersebut, dapat kita pahami bahwa karakter dasar sebuah teluk adalah
benar-benar berupa lekukan, dimana di dalam mulutnya terdapat air yang terkurung
daratan (landlocked waters), artinya hanya satu sisi yang terbuka dari setiap sisinya. 31
Kemudian, sebuah lekukan tidak bisa dikatakan sebagai teluk kecuali areanya
mempunyai luas yang sama atau lebih besar dari setengah lingkaran yang
diameternya ditarik sepanjang mulut lekukan tersebut.
Gambar 6. Lekukan
Pada gambar diatas kita dapat pahami bahwa lekukan yang berada di sebelah kiri
areanya lebih besar daripada setengah lingkaran yang diameternya ditarik sepanjang
mulut lekukan, jadi area itu adalah teluk. Sedangkan pada area yang sebelah kanan
lebih kecil dari ukuran setengah lingkaran yang diameternya diambil sepanjang mulut
lekukan, maka area itu bukanlah teluk.
31
Tanaka, “The International,” hal. 54.
joining the low-water mark of its natural entrance points. Where, because of
the presence of islands, an indentation has more than one mouth, the semi-
circle shall be drawn on a line as long as the sum total of the lengths of the
lines across the different mouths. Islands within an indentation shall be
included as if they were part of the water area of the indentation.”
Ada dua poin penting yang ingin disampaikan oleh pasal ini, pertama adalah
mengenai apa saja yang mencakup area lekukan dan kedua yaitu cara menentukan
setengah lingkaran terhadap lekukan yang mempunyai dua mulut.
Adapun area lekukan adalah yang terletak antara garis air surut sepanjang pantai
lekukan dan garis air surut yang berada pada natural enterance points. Yang
dimaksud dengan natural enterance points adalah ujung dari sebuah tanjung dimana
garis penutup teluk ditarik, namun pada dasarnya UNCLOS tidak mengatur mengenai
natural entrance points sehingga terdapat potensi tidak terbatas dalam menentukan
natural entrance points tergantung pada kondsisi geografi, yang salah satunya bisa
menarik garis pada garis penutup teluk32
Selanjutnya, apabila pada mulut lekukan terdapat beberapa pulau sehingga lekukan
tersebut mempunyai lebih dari dua mulut, maka setengah lingkaran harus digambar
dari garis yang panjangnya merupakan total panjang garis sepanjang mulut-mulut
tersebut. Sehingga pulau-pulau yang berada dalam lekukan termasuk bagian dari area
perairan lekukan tersebut. Pada gambar dibawah dapat dilihat bahwa antara poin A-B
terdapat beberapa pulau, yang menyebabkan sebuah lekukan mempunyai empat
mulut. Maka, garis yang menghubungkan pulau-pulau sepanjang A-B dijadikan garis
untuk menggambar setengah lingkaran.
32
Christos Kastrisios, “Methods of Maritime Outer Limits Delimitation”, Nausivios Chora,
Vol. 5 (2014): 9-10.
Gambar 7. Lekukan yang terdapat pulau di mulutnya
Pengaturan selanjutnya adalah mengenai panjang sebuah garis penutup dari teluk,
yaitu pada Pasal 10 (4) UNCLOS berbunyi:
“If the distance between the low-water marks of the natural entrance points of a
bay does not exceed 24 nautical miles, a closing line may be drawn between
these two low-water marks, and the waters enclosed thereby shall be considered
as internal waters.”
Hal pertama yang perlu kita pahami dari pengaturan tersebut adalah garis pangkal
sebuah teluk adalah garis penutup teluk (bay closing line). Ketentuan tersebut
mengatur bahwa apabila jarak antara titik air surut, natural entrance points tidak
melebih 24 NM, maka sebuah garis penutup (closing line) boleh ditarik antara kedua
titik air surut itu. Sedangkan perairan yang berada di dalam garis penutup tersebut
termasuk ke dalam kategori perairan pedalaman. Selanjutnya, apabila jarak antara
titik air surut tersebut melebihi 24 NM, maka sesuai dengan Pasal 10(4) UNCLOS
yang berbunyi:
“Where the distance between the low-water marks of the natural entrance points
of a bay exceeds 24 nautical miles, a straight baseline of 24 nautical miles shall
be drawn within the bay in such a manner as to enclose the maximum area of
water that is possible with a line of that length.”
Oleh karena itu, dalam konteks ini, garis pangkal yang dibuat adalah garis pangkal
lurus yang ditarik dalam teluk sedemikian rupa sehingga mencakupi area perairan
maksimum yang sesuai dengan panjang garis tersebut. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa panjang maksimal garis penutup sebuah teluk adalah 24 NM.33
Berdasarkan paragraf di atas, UNCLOS memberikan definisi elevasi air surut sebagai
area daratan yang terbuat secara alami and dikelilingi air dan berada di atas air pada
saat air surut namun tenggelam pada saat air pasang. Menurut buku lama dan
perjanjian internasional dahulu, elevasi air surut dapat berupa batu karang dan tepi
sungai.38 Kemudian, penggunaan metode garis air surut (low-water line) pada elevasi
air surut dapat digunakan sebagai garis pangkal apabila elevasi tersebut, baik
seluruhnya maupun setengahnya, berada pada jarak yang tidak melebih panjang laut
teritorial yang diukur dari pulau utama.39 Jadi, penggunaan metode elevasi air surut
merupakan pengecualian dari penggunaan metode garis pangkal normal dalam
menentukan laut teritorial, metode ini hanya bisa diterapkan apabila elevasi air surut
berada dalam cakupan laut teritorial, baik seluruhnya atau hanya sebagian.40
Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 13(2) UNCLOS yang mengatur bahwa:
“Where a low-tide elevation is wholly situated at a distance exceeding the breadth of
the territorial sea from the mainland or an island, it has no territorial sea of its own.”
Maksud dari paragraf itu ialah, apabila sebuah elevasi berada di laut teritorial yang
panjangnya ditarik dari elevasi yang berada di laut teritorial, namun berada di luat
laut teritorial yang ditarik dari pulau utama, tidak memungkinkan untuk menarik garis
dari elevasi tersebut ke elevasi yang berada diluar laut teritorial itu.41
38
Churcill, The Law of the Sea, hal. 40
39
Roach, Excessive Maritime Claims: Third Edition, hal. 68
40
Hugo Ignacio Llanos, “Low-Tide Elevations: Reassessing Their Impact on Maritime
Delimitation”, Pace Law Review Vol. 2 Issue 14 (2002) :3.
41
Churcill, The Law of the Sea, hal. 40
Gambar 8. Garis Pangkal Elevasi Air Surut
Pengaturan mengenai pulau di atur pada Pasal 121 UNCLOS, yaitu terdiri atas:
1. An island is a naturally formed area of land, surrounded by water, which is
above water at high tide.
2. Except as provided for in paragraph 3, the territorial sea, the contiguous
zone, the exclusive economic zone and the continental shelf of an island are
determined in accordance with the provisions of this Convention applicable
to other land territory.
3. Rocks which cannot sustain human habitation or economic life of their own
shall have no exclusive economic zone or continental shelf.
Menurut pasal tersebut, pulau didefinisikan sebagai area daratan yang dikelilingi air
dan berada diatas air ketika sedang terjadi pasang. Paragraf dua memberikan maksud
bahwa, setiap pulau memiliki laut teritorial, tidak peduli seberapa ukuran pulau
tersebut. Selain itu, UNCLOS juga mengatur bahwa semua pulau pada dasarnya bisa
digunakan sebagai garis pangkal untuk semua zona maritim seperti laut teritorial,
zona tambahan, zona ekonomi ekslusif dan landas kontinen. Tetapi, bagi “rocks
which cannot sustain human habitation or economic life of their own” hanya dapat
digunakan sebagai garis pangkal untuk laut teritorial dan zona tambahan dan tidak
untuk zona ekonomi ekslusif dan landas kontinen.42
Garis pangkal lurus kepulauan adalah garis pangkal yang berlaku untuk negara yang
mengakui dirinya sebagai negara kepulaun sebagaimana di atur dalam UNCLOS.
Artinya, negara kepulauan hanya negara yang menarik garis pangkalnya
menggunakan garis pangkal lurus kepulauan. Dalam konteks ini contohnya adalah
Indonesia dan Filipina. Sedangkan negara yang mempunyai pulau-pulau disekitarnya
namun tidak menarik garis pangkal lurus kepulauan, maka hanya secara geografis
saja sebagai negara dengan pulau-pulau. Contohnya adalah Inggris dan Jepang.
Sedangkan untuk kepulauan, telah diatur dalam UNCLOS mengenai penentuan garis
pangkalnya. Yaitu pada Pasal 47(1) yang berbunyi:
“An archipelagic State may draw straight archipelagic baselines joining the
outermost points of the outermost islands and drying reefs of the archipelago
provided that within such baselines are included the main islands and an area in
which the ratio of the area of the water to the area of the land, including atolls,
is between 1 to 1 and 9 to 1.”
Dari paragraf tersebut, dapat kita pahami bahwa pada konteks kepulauan, dalam
menentukan garis pangkal, maka garis lurus dapat ditarik di seputaran pulau atau
karang paling luar dari kepulauan itu sendiri.43 Adapun titik-titik tersebut berupa
42
Churcill, Law of The Sea, hal. 41.
43
Ibid, 42.
pulau atau karang dari kepulauan itu dan di dalam garis pangkal itu terdapat pulau
utama. Selain itu juga diatur bahwa dalam menentukan “archipelagic baselines”,
perlu diperhatikan syarat rasio minimum dan maksimum antara perairan dan daratan,
yaitu 1:1 dan 9:1 yang harus dicakup oleh garis pangkal.44 Kemudian, area yang
termasuk di dalam garis pangkal harus meliputi “main islands”, adapun yang
dimaksud dengan “main islands” berdasarkan U.N Group of Technical Experts on
Baselines, adalah pulau-pulau paling besar, mempunyai populasi terbanyak, secara
produktif secara ekonomi dan mempunyai peran baik dalam lingkup sejarah maupun
kebudayaan.45
Titik awal dimulainya usaha Indonesia dalam mengklaim status negara maritim
Nusantara dan menggunakan prinsip “Archipelagic State” yaitu adalah dengan
44
Rothwell, The Handbook of The Law of The Sea, Hal. 88.
45
Muhammad Munawwar, Ocean States: Archipelagic Regimes in The Law of The Sea
(Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 1995) Hal. 129.
dilahirkannya Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957.46 Adapun isi
deklarasi tersebut adalah:
46
Kementerian Pariwisata, Deklarasi Juanda dan Implikasinya Terhadap Kewilayahan
Indonesia, http://www.kemenpar.go.id/userfiles/file/4547_1355-djuanda.pdf diakses pada 11
Desember 2017 pukul 9:54 WIB.
47
Singgih Tri Sulistiyono, “Konsep Batas Wilayah Negara di Nusantara: Kajian Historis”,
UNDIP INSTITUTIONAL REPOSITORY (2010), Hal. 13.
48
Charlotte Ku, “The Archipelagic States Concept and Regional Stability in Southeast Asia”,
Case Western Reserve Journal of International Law Vol. 23 (1991): 470.
dan Filipina.49
Dengan munculnya konsep baru yaitu negara kepulauan, maka implikasinya adalah
bagi negara pantai yang memenuhi syarat-syarat untuk menjadi negara kepulauan,
dapat menarik garis pangkal kepulauan dan memperoleh status sebagai negara
kepulauan. Dalam hal ini, Indonesia adalah salah satu negara yang berkarakteristik
demikian sehingga dapat menarik garis pangkal kepulauan sebagaimana diatur dalam
Pasal 47 ayat (1) UNCLOS.50
Perairan Pedalamn diatur dalam Pasal 8 United Nations Conventions on the Law of
the Sea, yang mana menyatakan sebagai berikut:
Perairan pedalaman di sini diartikan sebagai perairan pada sisi darat dari garis
pangkal yang digunakan untuk perairan laut territorial suatu negara. Dengan kata lain,
setelah suatu negara menarik suatu garis pangkala penutup untuk wilayah pantainya,
49
Churcill, The Law of the Sea, hal. 120.
50
Robert Beckman, “The UN Convention on The Law of the Sea and The Maritime Disputes in
the South China Sea”, The American Journal of international Law Vol. 107 (2013) : 145.
perairan yang berada di sisi dalam dari garis pangkal tersebutlah yang disebut dengan
perairan pedalaman.51 Secara spesifik, perairan pedalaman secara hukum meliputi:52
a. Bagian laut dalam sepanjang pantai sampai ke tanda air ketika laut surut
b. Dermaga dan pelabuhan
c. Muara
d. Perairan pada sisi darat garis pangkal penutup teluk
e. Perairan yang ditutup oleh straight baselines.
Tetapi yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa perairan pedalaman dalam
pengertian hukum laut, tidak mencakup pula perairan yang berada di wilayah daratan
dan perairan yang dikelilingi daratan atau danau.53
Singkatnya, batas dari perairan pedalaman ditentukan oleh garis pangkal yang
menentukan dari mana laut territorial diukur. Dengan dmeikian, laut pedalaman
berbatasan dan terhubung secara langsung dengan laut territorial dari negara pantai.
Akan tetapi konsep ini berbeda dengan konsep dari Negara Kepulauan sebagaimana
yang tercantum dalam Bab IV UNCLOS tentang Negara Kepulauan.54
Bagi negara kepulauan, bagian dalam dari garis pangkal belumlah tentu perairan
pedalaman, karena negara kepulauan berhak menarik garis pangkal kepulauan,
sehingga perairan yang berada di dalam garis pangkal dapat menjadi perairan
kepulauan, Negara Kepulauan menarik garis pangkal yang membatasi laut
pedalamannya, melewati mulut sungai, teluk, dan dermaga atau pelabuhan yang
hanya berada pada wilayah perairan kepulauannya. Dengan kata lain, perairan
pedalaman berhubungan atau berbatasan langsung dengan perairan kepulauannya,
51
A.H.A. Soons, “The Effects of a Raising Sea Level on Maritime Limits and Boundaries”,
Netherlands International Law Review, Vol. 37, Issue 2, August 1990, hal. 212
52
Tanaka, The International Law of the Sea, (Cambridge: Cambridge University Press, 2012),
hal. 77
53
G. Gidel, “Le Droit International Public de la mer: le temps De Pair”, Introduction, la Haute
mer, Vol. 1, 1981, hal. 40-41
54
Tanaka, The International, hal. 77
bukan hanya dengan laut territorial.55 Untuk mebatasi perairan pedalaman dengan
perairan kepulauannya, negara kepulauan diberi hak untuk menarik garis batas
perairan pedalamana dan perairan kepulauan.56
1. The sovereignty of a coastal State extends, beyond its land territory and
internal waters and, in the case of an archipelagic State, its archipelagic
waters, to an adjacent belt of the sea, described as the territorial sea.
Berbeda dengan laut territorial, hak lintas damai (innocent passage) tidak berlaku di
dalam perairan pedalaman. Akan tetapi terdapat pengecualian yang terdapat dalam
Article 8(2) UNCLOS yang pada intinya menyatakan bahwa jika perairan pedalaman
kemudian ditutup dengan garis pangkal lurus yang mengakibatkan wilayah periran
tersebut mulanya adalam laut territorial dan kemudian menjadi laut pedalaman, maka
berdasarkan UNCLOS, hak lintas damai harus diberlakukan di perairan tersebut.58
Kasus antara Inggris dan Norwegia ini dapat dikatakan merupakan salah satu
landmark case yang memengaruhi perkembangan hukum laut internasional, terutama
mengenai penarikan garis pangkal. Kasus ini terjadi pada tahun 1951, dimana pada
tanggal 18 Desember 1951, International Court of Justice di Den Haag menjatuhkan
putusannya atas kasus perikanan yang melibatkan kedua negara tersebut.59
55
Ibid.
56
United Nations, United Nations Convention on the Law of the Sea, Art. 50
57
A.H.A. Soons, “The Effects”, hal. 212
58
Tanaka, The International, hal. 78
59
L.C. Greeb, “The Anglo-Norwegian Fisheries Case, 1951 (ICJ Reports 1951, p. 116), The
Modern Law Review, Vol. 15, No. 3 (Jul., 1952), hal. 373
Pada 12 Juli 1935, Kerajaan Norwegia mengeluarkan suatu dekrit yang menyatakan
bahwa lebar laut territorial Norwegia adalah sejauh empat mil diukur dari garis
pangkal pantai ketika air surut. Norwegia memiliki kondisi geografis dimana pantai-
pantainya berliku-liku dan terdapat serentetan karang kering yang membentuk pulau-
pulau atau dalam istilah Norwegia dikelnal dengan istilah skjaergaard. Karena alasan
tersebut, Norwegia menetapkan garis pangkalnya dengan tidak mengikuti lekukan-
lekukan bentuk pantainya tersebut melainkan dengan menarik garis dari titik-titik
terluar pantai.60
Merasa tidak terima dengan perlakuan yang diterima oleh warga negaranya, akhirnya
inggris membawa kasus ini ke ICJ setelah perundingan dengan jalan damai tidak
membuahkan hasil. Inggris, disini tidak mempermasalahkan luas laut territorial yang
ditetapkan oleh kerajaan Norwegia, tetapi Inggris merasa tidak terima dengan
penarikan garis pangkal lurus yangdilakukan oleh Norwegia. Hal ini dikarenakan
perairan yang dulunya merupakan Laut bebas, sekarang menjadi laut territorial
Norwegia.62 Di sini Inggris menilai bahwa tindakan Norwegia tersebut telah
bertentangan dengan hukum internasional.
60
D.H.N. Johnson, “The Anglo-Norwegian Fisheries Case”, The International and
Comparative Law Quarterly, Vol. 1, No. 2 (Apr., 1952), hal. 145
61
Ibid.
62
R. O. Wilberforce, “Some Aspects of the Anglo-Norwegian Fisheries Case”, Transactions of
the Grotius Society, Vol. 38, Problems of Public and Private International Law, Transactions for the
Year 1952 (1952), hal. 158
Akhirnya pada tanggal 18 desember, 1951, the International Court of Justice,
menyatakan bahwa metode penarikan garis pangkal yang dinyatakan dalam dekrit
Kerajaan Norwegia pada tanggal 12 Juli 1935 tersebut tidaklah bertentangan dengan
hukum internasional. Keputusan iniakhirnya mengakhiri konflik Norwegia dan
Britania Raya tentang zona perikanan sepanjang pantai Norwegia yang telah
berlangsung selama lebih dari 40 tahun.63 Putusan yang ditetapkan oleh ICJ ini salah
satunya didasari oleh pertimbangan bahwa berdasarkan bentuk geografisnya,
Norwegia memiliki bentuk pantai yang unik, myakni pantai yang berliku-liku dan
berhadapan langsung dengan pulau-pulau yang masih merupakan wilayah dari
Kerajaan Norwegia.
Putusan ICJ ini dianggap sebagai tonggak baru dalam hukum laut internasional yang
kemudian metode pengukuran garis pangkal lurus banyak dpakai oeh negar-negara
lainnya. Akan tetapi metode ini hanya khusus dipergunakan untuk negara pantai atau
coastal state saja, sedangnkan untuk negara yang berbentuk kepulauan masih belum
ada metode penarikan garis pangkal kala itu.64
Setelah terbentuknya UNCLOS 1982, barulah dikenal cara penarikan garis pangkal
bagi negara kepulauan, yaitu dengan menggunakan metode garis pangkal lurus
kepulauan. Perbedaan dari kedua metode ini adalah, bahwa garis pangkal lurus
kepulauan hanya dipergunakan oleh negara kepulauan yang mana memiliki
perbandingan 1:1 atau 1:9 antara wilayah darat dan lautnya. Garis pangkal lurus dapat
ditarik sejauh 100 mil atau kecuali 3% dari jumlah seluruh garis pangkal yang
mengelilingi setiap kepulaun dapat melebihi melebihi panjang tersebut sampai
dengan 125 mil, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (2) UNCLOS.
Perairan bagian dalam garis pangkal kepulauan akan menjadi perairan kepualauan
yang mana terdapat hak lintas damai sedangkan bagian dalam garis pangkal lurus
63
Jens Evensen, “The Anglo-Norwegian Fisheries Case and Its Legal Consequences”, The
American Journal of International Law, Vol. 46, No. 4 (Oct., 1952), hal. 609
64
Kresno Buntoro, “Permasalahan dalam Implementasi Penarikan Garis Pangkal Kepulauan”,
Lex Jurnalica, Vol. 2, No 3, (Agustus 2005), hal. 15
biasa dikenal dengan periran pedalaman yang tanpa adanya hak lintas damai dengan
pengecualian.65
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Baseline atau dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai garis pangkal, adalah
garis yang digunakan untuk mengukur batas luar dari laut teritorial dan zona
lainnya seperti zona tambahan dan zona ekonomi ekslusif. Terdapat tiga jenis
garis pangkal, yaitu garis pangkal normal, garis pangkal lurus dan garis
pangkal lurus kepulauan. Sesuai dengan Pasal 14 UNCLOS, metode
penarikan garis pangkal terdiri atas:
2. Mengenai laut pedalaman (internal waters) secara general diatur dalam Pasal
8 UNCLOS, yang intinya, perairan pedalaman adalah peraian yang berada di
65
Kresno Buntoro, “Permasalahan dalam”, hal. 16
sisi darat garis pangkal laut teritorial suatu negara. Secara umum, peraian
pedalaman meliputi:
a. Bagian laut dalam sepanjang pantai sampai ke tanda air ketika laut surut
c. Muara
BUKU
Acer, Yucel. The Aegean Maritime Disputes and International Law. New York: Routledge,
2017.
Churchill, R. R dan Alan Vaughan Lowe. The Law of the Sea. Ed. 2. Manchester University
Press: Manchester, 1988.
Glassner, Martin Ira. Neptune’s Domain A Political Geography of the Sea. Boston: Unwin
Hyman, 1990.
Miththapala, Sriyanie. Coral Reefs: Coastal Ecosystems Series. Ed. 1. Colombo: Ecosystems
and Livehoods Group Asia, IUCN, 2008.
Munawwar, Muhammad. Ocean States: Archipelagic Regimes in The Law of The Sea.
Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 1995.
Rothwell, Donald R. et al., The Oxford Handbook of The Law of The Sea. Oxford: Oxford
University Press, 2015.
Starke, J.G. International Law. 11th ed., ed. LA. Shearer. 1994. London:
Butterworths.
Tanaka, Yoshifumi. The International Law of The Sea. Cambridge: Cambridge University
Press: 2012.
Treves, Tullio and Laura Pineschi. The Law of the Sea: The European Union and Its
Member States. 1997. Martinus Nijhoff Publisher.
JURNAL
Beckman, Robert. “The UN Convention on The Lww of the Sea and The Maritime
Disputes in the South China Sea”. The American Journal of international
Law Vol. 107. (2013).
Charney, Jonathan I. “Central East Asian Maritime Boundaries and the Law of the
Sea”. American Society of International Law Vol. 89 No. 4. (Oktober 1995).
Evensen, Jens. “The Anglo-Norwegian Fisheries Case and Its Legal Consequences”.
The American Journal of International Law. Vol. 46. No. 4 (Oct., 1952).
Ku, Charlotte. “The Archipelagic States Concept and Regional Stability in Southeast Asia”.
Case Western Reserve Journal of International Law Vol. 23. (1991).
Greeb, L.C. “The Anglo-Norwegian Fisheries Case. 1951 (ICJ Reports 1951, p. 116).
The Modern Law Review. Vol. 15. No. 3 (Jul., 1952).
Harsson, Bjorn Geirr dan George Preiss. “Norwegian Baselines, Maritime
Boundaries and the UN Convention on the Law of the Sea”. Arctic Review
on Law and Politics vol. 3. (2012).
Kawaley, Ian. “Delimitations of Islands Fringed with Reefs: Article 6 of the 1982
Law of the Sea Convention”. The International and Comparative Law
Quarterly, Vol. 41 No. 1. (Januari 1992).
Noyes, John E. “International Law of the Sea”. The International Lawyer. Vol. 31.
No. 2. International Legal Developments in Review: 1996 (SUMMER
1997).
Oxman, Bernard H. “Drawing Lines in the Sea”. Yale Journal of International Law
Vol. 18. (1993).
Soons, A.H.A. “The Effects of a Raising Sea Level on Maritime Limits and
Boundaries”. Netherlands International Law Review. Vol. 37. Issue 2.
(August 1990).
LAIN-LAIN
United Nations. United Nations Convention on the Law of the Sea. 1982