Memilih Usai
“Mengapa berakhir?”, tanya Aiya tiba – tiba. Aiya adalah sahabatku yang
selalu menampung berbuku – buku curhatanku. Kala itu kita sedang duduk santai
menikmati ice cream coklat di bangku taman ditemani angin sore bulan Agustus
yang cukup dingin. Aku terdiam, membahas tentang ini sama dengan membuka
sampul luka yang berusaha kututup rapi. “Bukankah kalian sering bersama?” ,
pertanyaannya.
tepat, Aiya. Bagaimana mungkin kami bisa berakhir, sementara kami belum
sama dan memiliki tugas yang berhubungan. Itu hanya sebatas di ruang
organisasi, namun tidak diruang hatinya meski aku berharap sebaliknya diruang
hatiku.”, pungkasku.
Lalu hening. Sibuk dengan isi kepala masing – masing. Ingatanku kembali
melayang pada beberapa waktu yang lalu, ketika dia, lelaki yang sempat kusebut
hari yang begitu terik. Tanpa perlu kalimat pembuka dia mengatakan akan pergi.
adalah hari libur. Ahh,,, dia memang selalu begitu, mengejutkan, tidak mudah
ditebak. Dan aku… aku bagaimana? Tentu aku tetap disini, mengucapkan sebait
doa atas kepergiannya, merawat luka yang tanpa sadar ia tinggalkan dan
melanjutkan hari dengan hanya sebagian hati, karena sebagian lainnya ikut
Seharusnya kau menyuarakan apa yang kau rasa, bukan diam dan menikmati sakit
sendiri seperti ini.”, keluh Aiya dengan menggebu – nggebu. Aku tersenyum,
menatap Aiya, kali ini aku tak ingin bersuara. Bagiku, biarkan cerita ini kusimpan
rapi disudut hatiku, tanpa perlu ia tahu. Aku membiarkannya pergi bukan karena
aku tak sanggup mencegahnya, namun karena kami tak mungkin bersama. Kami
seolah berada dipersimpangan dan memilih jalan yang berbeda. Karena jika kami
memilih jalan yang sama, itu sama seperti memupuk luka. Biarlah begini, biarlah