Anda di halaman 1dari 2

Day 8

Memilih Usai

“Mengapa berakhir?”, tanya Aiya tiba – tiba. Aiya adalah sahabatku yang

selalu menampung berbuku – buku curhatanku. Kala itu kita sedang duduk santai

menikmati ice cream coklat di bangku taman ditemani angin sore bulan Agustus

yang cukup dingin. Aku terdiam, membahas tentang ini sama dengan membuka

sampul luka yang berusaha kututup rapi. “Bukankah kalian sering bersama?” ,

desaknya yang tak sabar menunggu mulutku membuka tuk menjawab

pertanyaannya.

Aku menghela napas, lalu menoleh ke arahnya. “Berakhir?” tanyaku

mengulang pertanyaannya. Aiya mengangguk, binar matanya menunjukkan

kebingungan. Aku tersenyum semu lantas menjawab, “Pertanyaanmu kurang

tepat, Aiya. Bagaimana mungkin kami bisa berakhir, sementara kami belum

pernah memulai?”, kataku. “Tapi kalian sering bersama, bukan?” , tanyanya


kembali. “Iya kami bersama, karena kami ada di strukstur keorganisasian yang

sama dan memiliki tugas yang berhubungan. Itu hanya sebatas di ruang

organisasi, namun tidak diruang hatinya meski aku berharap sebaliknya diruang

hatiku.”, pungkasku.

Lalu hening. Sibuk dengan isi kepala masing – masing. Ingatanku kembali

melayang pada beberapa waktu yang lalu, ketika dia, lelaki yang sempat kusebut

namanya dalam sujud – sujud panjangku, mendadak mengajakku bertemu disiang

hari yang begitu terik. Tanpa perlu kalimat pembuka dia mengatakan akan pergi.

Kalimatnya begitu ringan, tanpa beban, seolah memberitahukan bahwa esok

adalah hari libur. Ahh,,, dia memang selalu begitu, mengejutkan, tidak mudah

ditebak. Dan aku… aku bagaimana? Tentu aku tetap disini, mengucapkan sebait

doa atas kepergiannya, merawat luka yang tanpa sadar ia tinggalkan dan

melanjutkan hari dengan hanya sebagian hati, karena sebagian lainnya ikut

terbawa dengannya di kota lain.

“Mengapa Kau tak memintanya untuk tetap tinggal ?” , tanya Aiya,

membuyarkan lamunanku. “Karena itu tak mungkin.”, jawabku. “Mengapa begitu?

Seharusnya kau menyuarakan apa yang kau rasa, bukan diam dan menikmati sakit

sendiri seperti ini.”, keluh Aiya dengan menggebu – nggebu. Aku tersenyum,

menatap Aiya, kali ini aku tak ingin bersuara. Bagiku, biarkan cerita ini kusimpan

rapi disudut hatiku, tanpa perlu ia tahu. Aku membiarkannya pergi bukan karena

aku tak sanggup mencegahnya, namun karena kami tak mungkin bersama. Kami

seolah berada dipersimpangan dan memilih jalan yang berbeda. Karena jika kami

memilih jalan yang sama, itu sama seperti memupuk luka. Biarlah begini, biarlah

semuanya usai sebelum sempat dimulai.

Di senja sudut kota santri

Jombang, 13 Agustus 2019

Anda mungkin juga menyukai