Anda di halaman 1dari 28

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA PPOK BERDASARKAN PEDOMAN

GOLD 2019
Ivan Tanawal, Harun Iskandar
Divisi Pulmonologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin

1. Pendahuluan
PPOK adalah penyakit yang sering terjadi, dapat dicegah dan diobati
yang ditandai dengan gejala pernapasan persisten dan keterbatasan aliran
udara yang disebabkan oleh saluran napas dan / atau kelainan alveolar yang
biasanya disebabkan oleh paparan signifikan terhadap partikel atau gas yang
berbahaya.(GOLD 2019).1,2 Asap rokok menjadi faktor risiko utama penyebab
terjadinya penyakit PPOK. Paparan asap tembakau dan asap yang berasal dari
pembakaran bahan bakar biomassa juga dapat menyebabkan stres oksidatif
dan memicu respons inflamasi pada paru 1,3,4,5
WHO melaporkan 600 juta penduduk mengalami PPOK dan 65 juta
termasuk kategori sedang dan berat. Negara Asia Tenggara memiliki
prevalensi 6,3% dan di negara berpendapatan menengah, PPOK menjadi
penyebab kematian ketiga.6,7 Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok
tertinggi mempunyai prevalensi lebih besar. Data riset kesehatan dasar tahun
2013 menunjukkan prevalensi PPOK mencapai 3,7%.6,8. Prevalensi PPOK
tertinggi terdapat di propinsi Nusa Tenggara Timur (10.0%), sedangkan di
propinsi Sulawesi Selatan memiliki prevalensi sebesar 6.7%.8
Berdasarkan data tahun 2003 dari National Center for Health
Statistics, PPOK adalah penyebab kematian nomor empat di Amerika serikat
setelah penyakit kardiovaskular, penyakit serebrovaskular, dan kanker.1,9
Pencegahan dan penatalaksanaan terhambat oleh karena kurangnya
pengetahuan terhadap PPOK. Penyakit ini sering diabaikan dan salah
diagnosis. Algoritma tatalaksana untuk PPOK sering dikacaukan dengan
algoritma asma.9

1
Pada refarat ini berisi tentang diagnosa dan tatalaksana PPOK
berdasarkan GOLD 2019.

2.1 Patofisiologi
Zat berbahaya yang berhubungan dengan rokok menyebabkan cedera pada
epitel jalan napas dan secara langsung mengakibatkan inflamasi spesifik jalan
napas dan perubahan struktur. Proses perbaikan yang tidak adekuat dipikirkan
memainkan peranan yang penting dalam perkembangan obstruksi jalan napas
kronik pada beberapa perokok.1,10
Asap rokok mengaktivasi makrofag dan sel epitel untuk melepaskan faktor
kemotaktik yang merekrut neutrofil dan sel CD8 dari sirkulasi. Sel – sel ini
melepaskan faktor yang mengaktivasi fibroblas, sehingga menghasilkan proses
perbaikan yang abnormal dan fibrosis bronchiolar. Ketidakseimbangan antara
protease dan antiprotease menyebabkan terjadinya destruksi dinding alveolar.
Protease juga menyebabkan pelepasan sekresi mukus. Peningkatan oksidan, yang
dihasilkan oleh inhalasi asap rokok atau pelepasan oksidan dari leukosit inflamasi
menyebabkan epitel dan sel lainnya melepasnya faktor kemotaktik, terjadi
inaktivasi antiprotease dan secara langsung menyebabkan cedera dinding alveolar
dan sekresi mukus.11,12

2
Gambar 1. Patofisiologi PPOK12

2.2 Diagnosis
Penyakit paru obstruktif kronik harus dipertimbangkan pada pasien yang
memiliki keluhan sesak, batuk kronik, atau produksi sputum, dan/atau memiliki
riwayat terpapar dengan faktor resiko penyakit. Berdasarkan studi kohort,
ditemukan adanya bukti luas bahwa gejala PPOK dipertimbangkan memiliki
dampak pada aktivitas sehari-hari, status kesehatan, dan kualitas hidup.1,13
Gejala PPOK dilaporkan bervariasi sepanjang hari. Sesak yang progresif dan
kronik adalah gejala yang paling khas pada PPOK. Pada studi kohort, pasien
PPOK yang dalam pengobatan dilaporkan bahwa gejala mereka memburuk pada
pagi hari, dimana berdampak pada aktivitas mereka yang diasosiasikan dengan
status kesehatan yang memburuk dan resiko tinggi terjadi eksaserbasi. Gejala
sesak malam hari secara signifikan memperburuk status kesehatan dan gangguan
tidur. Batuk dengan sputum didapati pada 30% kasus. Hambatan aliran
udara secara signifikan dapat terjadi tanpa disertai adanya sesak kronik dan/atau
batuk yang disertai sputum.1,13

3
Spirometri merupakan pemeriksaan yang noninvasif. Kriteria spirometri untuk
hambatan aliran udara post bronchodilator berada pada nilai yang tetap pada ratio
<0.70.1,10
Tujuan dari penilaian PPOK adalah untuk menentukan tingkat hambatan
aliran udara, dampaknya pada status kesehatan pasien, dan kemungkinan resiko
yang akan terjadi (eksaserbasi, angka hospitalisasi, atau kematian) yang pada
akhirnya menentukan pemilihan terapi.1
Untuk memperoleh tujuan tersebut, maka penilaian PPOK harus
mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu :1
 Adanya kelainan spirometri dan tingkat keparahannya
 Besarnya gejala yang dialami pasien
 Riwayat dari eksaserbasi sedang dan berat dan resiko yang dapat
terjadi
 Adanya komorbid

2.2.1 Klasifikasi tingkat keparahan hambatan aliran udara


Klasifikasi hambatan aliran udara dapat dilihat pada tabel 1. Spiromteri
dilakukan setelah pemberian dosis yang adekuat dari minimal satu macam
bronkodilator inhalasi untuk meminimalkan variabilitas.1

Tabel 1. Klasifikasi tingkat keparahan hambatan aliran udara pada PPOK 1

Pada pasien dengan FEV1/FVC < 0.70


GOLD 1 Ringan FEV1 > 80% prediksi
GOLD 2 Sedang 50% < FEV1 < 80%
prediksi
GOLD 3 Berat 30% < FEV1 <50
prediksi
GOLD 4 Sangat Berat FEV1 < 30% prediksi
2.2.2 Penilaian Gejala

4
Terdapat 2 cara pengukuran gejala yang paling sering digunakan. Sebuah
pengukuran sederhana terhadap gejala sesak seperti kuesioner the Modified
British Medical Research Council (mMRC) dipertimbangkan dapat digunakan
sebagai penilaian gejala dan memprediksi resiko kematian di masa depan.
Keuntungan dari mMRC adalah singkat dalam pengerjaan kuesioner, akan
tetapi, saat ini diketahui bahwa PPOK hanya bukan penilaian sesak saja,
sehingga terdapat beberapa kuesioner yang lebih kompleks. Saat ini
digunakan kuesioner COPD Assessment Test (CAT) dan The COPD Control
Questionnaire (The CCQ). Kuesioner CAT(skor 0-40) terdiri dari 8 item
pengukuran penurunan status kesehatan pada PPOK. Nilai cut off point pada
mMRC > 2 dan CAT adalah 10. Kuesioner CAT merupakan pilihan lebih
baik bila dibandingkan dengan mMRC.1,14

Tabel 2. Kuesioner COPD Assessment Test (CAT)1

Tabel 3. Kuesioner Modified MRC (mMRC)1

5
2.2.3 Penilaian Resiko Eksaserbasi
Ekserbasi pada PPOK didefinisikan sebagai perburukan akut dari gejala
saluran napas yang menghasilkan penambahan terapi. Perubahan yang terjadi
dalam eksaserbasi PPOK didapatkan peningkatan sesak napas, peningkatan
produksi volume sputum, dan perubahan purulensi sputum. Prediktor terbaik
dalam penilaian resiko eksaserbasi adalah riwayat eksaserbasi sebelumnya
dan insiden eksaserbasi yang meningkat dihubungkan dengan meningkatnya
derajat keparahan penyakit.1,15 Ekserbasi PPOK dibagi menjadi ringan,
sedang, dan berat. Eksaserbasi ringan didefinisikan sebagai perburukan gejala
yang masih dapat diterapi dengan bronkodilator kerja pendek, eksaserbasi
sedang didefinisikan sebagai kondisi yang membutuhkan terapi dengan
bronkodilator kerja pendek ditambah antibiotik dan/atau kortikosteroid oral),
dan eksaserbasi berat adalah kondisi eksaserbasi yang memerlukan rawat
inap. Eksaserbasi PPOK yang berat berhubungan degan gagal pernapasan
akut. Perburukan hambatan aliran udara dihubungkan dengan peningkatan
prevalensi ekserbasi, lama perawatan rumah sakit dan kematian.1

2.2.4 Penilaian terhadap komorbiditas


Pasien-pasien dengan PPOK sering mempunyai komorbiditas yang
penting pada saat diagnosis dan PPOK mewakili suatu komponen penting dari
perkembangan multimorbiditas khususnya pada orang-orang tua. Beberapa

6
kondisi medis kronik yang termasuk dalam komorbid antara lain, penyakit
arteri koroner, diabetes melitus, osteoprosis dan kelemahan otot merupakan
keadaan yang biasanya dijumpai pada PPOK. PPOK juga memiliki efek
ekstrapulmonal yang signifikan, seperti penurunan berat badan, gangguan
nutrisi, dan disfungsi muskuloskeletal.1,16
Pada pasien usia lanjut, penyebab tersering rawat inap adalah
komorbiditas dari PPOK. Pada penelitian Hoguin dkk, komorbiditas yang
paling sering ditemukan adalah penyakit jantung yaitu sebesar 25% dari total
kasus.16
Kinnunen dkk dalam penelitiannya menemukan bahwa komorbiditas
memiliki dampak pada durasi rawat inap pasien PPOK. Komorbiditas
didapatkan pada berbagai derajat hambatan aliran udara dan hal tersebut
mempengaruhi mortalitas dan rawat inap sehingga layak untuk mendapatkan
pengobatan yang tepat.1,16

2.2.5 Penilaian PPOK


The Global Initiative of Chronic Obstructive Lung Disease
memperkenalkan sistem klasifikasi baru yang mengelompokkan pasien ke
dalam 4 kategori, group ABCD, berdasarkan atas gejala dan resiko
eksaserbasi. Kombinasi penilain ini terdiri dari angka dan huruf. Angka
memberikan informasi terkait derajat hambatan aliran udara (tingkat 1 sampai
4), dan huruf memberikan informasi terkait gejala dan resiko eksaserbasi,
dimana dapat mengarahkan pada pemilihan terapi.1,17

7
Gambar 2. Penilaian Klasifikasi PPOK1

2.3 Eksaserbasi PPOK


Panduan WHO dan US National Heart Lung and Blood Institute Global
Initiative for Chronic Obstruktive Lung Disease mendefinisikan eksaserbasi
sebagai suatu kejadian alami dari penyakit yang dikarakteristik oleh perburukan
sesak, batuk dan/atau dahak dari sebelumnya, onset akut, dan memerlukan
perubahan terapi reguler pada pasien yang sudah terdiagnosa PPOK sebelumnya.
Kejadian-kejadian ini berdampak pada peningkatan sesak napas yang merupakan
gejala kunci dari kejadian eksaserbasi.1,18
Klasifikasi eksaserbasi PPOK terdiri dari :
 Ringan (diterapi dengan bronkodilator kerja pendek)
 Sedang (diterapi dengan bronkodilator kerja pendek ditambah antibiotik
dan/atau kortikosteroid oral)
 Berat (diperlukan rawat inap).

Eksaserbasi PPOK dipikirkan disebabkan oleh interaksi kompleks antara


host, virus di saluran napas, bakteri disaluran napas dan polusi lingkungan yang
menyebabkan adanya peningkatan inflamasi. Eksaserbasi dengan peningkatan

8
produksi mukus yang purulen dihubungkan dengan peningkatan temuan infeksi
bakteri dalam sputum. Terdapat bukti bahwa terdapat peningkatan eosinofil
bersamaan dengan netrofil dan sel inflamasi lainnya saat terjadi eksaserbasi
PPOK. Adanya sputum yang mengandung eosinofil dikaitkan dengan kerentanan
terhadap infeksi virus. Terdapat beberapa hipotesis bahwa eksaserbasi dengan
peningkatan sputum yang mengandung eosinofil mungkin lebih responsif
terhadap steroid sistemik, walaupun penelitian lanjut masih dibutuhkan untuk
membuktikan penelitian ini.1,18

2.4 Tatalaksana
Strategi manajemen pada pasien PPOK yang stabil harus didominasi
berdasarkan penilaian gejala dan resiko eksaserbasi tiap individu. Semua pasien
yang merokok harus di dukung secara penuh untuk berhenti. Tujuan utama dari
tatalaksana pada pasien PPOK adalah untuk mengurangi gejala dan resiko
eksaserbasi di masa depan. Tatalaksana tidak hanya terbatas pada tatalaksana
farmakologi namun juga harus dengan intervensi non farmakologi yang tepat.1

2.4.1 Identifikasi dan mengurangi paparan terhadap faktor resiko


Identifikasi dan pengurangan paparan terhadap faktor resiko adalah
penting dalam penanganan dan pencegahan pada PPOK. Asap rokok adalah
yang paling umum ditemui dan mudah untuk diidentifikasi sebagai faktor
resiko. Pasien yang merokok berpeluang 2.88 kali mengalami kualitas hidup
buruk daripada tidak merokok. Penghentian merokok adalah intervensi kunci
untuk pasien PPOK yang merokok.1,6
Pengurangan paparan terhadap polusi dalam ruangan dan luar ruangan
juga diperlukan untuk menurunkan prevalensi PPOK. Penelitian Isabele dkk,
di Mexico dengan sampel penelitian sebanyak 668 orang, menemukan bahwa
27 juta penduduknya menggunakan biomassa terutama kayu sebagai energi
utama dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan bahan bakar biomassa,

9
terutama kayu, dihubungkan dengan gangguan fungsi paru. Ventilasi yang
efisien, peralatan masak yang non polutan dan intervensi yang serupa dapat
juga dilakukan.1,19

2.4.2 Tatalaksana Farmakologi PPOK Stabil


Terapi farmakogi dapat mengurangi gejala, dan resiko eksaserbasi, serta
meningkatkan status kesehatan dan toleransi olahraga pada pasien PPOK
merupakan tujuan utama dalam tatalaksana PPOK stabil.1,13
Penggolongan terapi yang biasa digunakan untuk terapi PPOK antara lain,
short acting beta agonist (SABA), long acting beta agonist (LABA), shoort
acting anticholinergic (SAMA), long acting anticholinergic (LAMA),
methylxantine, kortikosteroid inhalasi (ICS), phosphodiesterase-4 inhibitor,
agen mukolitik.1
Inisiasi tatalaksana farmakologi PPOK berdasarkan penilaian gejala dan
risiko eksaserbasi dari skema penilaian ABCD.1

Gambar 3. Inisiasi Tatalaksana PPOK1

Penilaian terhadap sesak napas dan eksaserbasi dilakukan pada pasien


setelah diberikan inisiasi tatalaksana PPOK. Apabila perbaikan gejala, pengobatan
dilanjutkan dengan mempertahankan dosis dan jenis obat tersebut. Apabila tidak

10
terdapat perbaikan gejala sesak napas dan eksaserbasi, maka pengobatan dilakukan
dengan metode ekskalasi/de-ekskalasi.

Gambar 4. Kelanjutan penanganan PPOK (sesak napas) setelah terapi inisiasi 1

a. Keluhan Sesak napas menetap


Pada pasien yang sudah mendapatkan monoterapi bronkodilator dan masih
mengeluhkan adanya sesak napas, maka pengobatan dilanjutkan menjadi 2
bronkodilator (LAMA+LABA), jika tidak ada perbaikan gejala,
pertimbangkan untuk menggunakan terapi inhaler ataupun pikirkan kausa lain
sesak napas. Apabila pasien sebelumnya sudah mendapat terapi LABA/ICS
dan tidak memberikan respon, maka dapat diberikan 2 alternatif terapi, yaitu :
pertama, pertimbangkan deekskalasi dosis ICS dengan mengganti ICS dengan
LAMA, apabila terdapat pneumonia, indikasi tidak tepat atau kurang respon

11
terhadap ICS. Kedua, terapi dilanjut dengan tambahan pengobatan dengan
LAMA.
Apabila pengobatan tripel (LABA+ICS+LAMA) tidak memberikan respon,
terdapat dua alternatif pilihan terapi, yaitu : pertama pertimbangkan
memberikan obat inhalasi atau penyebab lain sesak napas, kedua
pertimbangkan deekskalasi dosis ICS, apabila terdapat pneumonia, indikasi
tidak tepat atau kurang respon terhadap ICS. 1

Gambar 5. Kelanjutan penanganan PPOK (eksaserbasi) setelah terapi inisiasi 1

b. Keluhan eksaserbasi yang menetap


Pada pasien yang sudah mendapatkan monoterapi bronkodilator dan masih
mengeluhkan adanya eksaserbasi yang persisten, dilakukan ekskalasi ke
LABA+LAMA. Bila terdapat kadar eosinofil(eos) >300 atau eosinofil >100
disertai riwayat eksaserbasi sedang >2x/riwayat hospitalisasi dapat diekskalasi

12
ke LABA+ICS. Apabila LABA+ICS tidak memberikan respon, dapat
diberikan penambahan LAMA.
Bila terapi LABA+LAMA masih tetap ada keluhan, pertimbangkan
penambahan ICS bila kadar eos >100. Apabila eos <100, maka dapat
dipikirkan dua alternatif tambahan pengobatan, yaitu pemberian azitromisin
pada bekas perokok diberikan dengan dosis 250 mg tiap hari diberikan selama
1 tahun atau penambahan roflumilast (bila FEV1 <50% dan bronkitis kronik)
dengan dosis awal 250 mcg per hari selama 4 minggu dilanjutkan 500mcg per
hari.12,20
Pada pasien yang diterapi LABA+ICS atau LABA+LAMA+ICS, apabila
terdapat pneumonia, indikasi tidak tepat atau kurang respon terhadap ICS,
dipertimbangkan deekskalasi dosis ICS dengan mengganti menjadi
LABA+LAMA.

2.4.2.1 Bronkodilator
Bronkodilator merupakan pengobatan yang dapat meningkatkan FEV1
dan/atau perubahan pada variabel spirometri. Penelitian appleton dkk,
menemukan adanya perubahan yang signifikan terhadap fungsi paru pada
pasien dengan pengobatan salmaterol (perubahan dalam FEV 1 dan perubahan
pada puncak arus ekspirasi). Peningkatan dosis beta2 agonis atau
antikolinergik tampaknya memberikan manfaat dalam episode akut, tetapi
tidak selalu membantu dalam kondisi penyakit yang stabil. Pengobatan
dengan bronkodilator pada PPOK sering diberikan untuk pencegahan atau
mengurangi gejala. Penggunaan SABA secara reguler tidak
direkomendasikan.1,21
a. Beta2 Agonis
Aksi utama dari beta2 agonis adalah relaksasi otot polos dengan
menstimulasi reseptor beta2 adrenergik. Penggunaan SABA secara reguler dan
pada saat diperlukan terbukti memperbaiki FEV1 dan gejala. Penggunaan

13
LABA secara signifikan memperbaiki FEV1, dan volume paru, memperbaiki
sesak napas, status kesehatan, angka eksaserbasi, dan angka rawat inap,
namun tidak berefek pada angka mortalitas atau penurunan fungsi paru.
Kombinasi SABA dan SAMA adalah superior dibandingkan dengan
pengobatan tunggal lainnya dalam hal peningkatan FEV1 dan perbaikan
gejala.1
b. Obat antimuskarinik
Obat antimuskarinik menghambat efek bronkokonstriktor dari asetilkolin
pada reseptor muskarinik M3 pada otot polos saluran napas. Short acting
antimuscarinic (SAMA), yang dikenal dengan ipratropium dan oxitropium,
juga menghambat reseptor neuronal M2. Pengobatan dengan LAMA
(tiotopium) mengurangi eksaserbasi, memperbaiki gejala dan status kesehatan.
Pengobatan dengan LAMA memiliki efek yang lebih besar dalam
pengurangan eksaserbasi dan penurunan rawat inap dibandingkan dengan
LABA. Kombinasi LABA dan LAMA meningkatkan FEV 1 dan mengurangi
gejala bila dibandingkan dengan terapi tunggal.1,22
c. Metilxantin
Teofilin adalah yang tersering dalam golongan metilxantin. Teofilin
memberikan efek bronkodilator dalam jumlah yang kecil pada PPOK stabil.1,23

2.4.2.2 Anti inflamasi


a. Kortikosteroid inhalasi (ICS)
Terdapat manfaat dari pemberian steroid inhalasi pada pasien PPOK,
yaitu : penurunan kejadian eksaserbasi, memperbaiki kualitas hidup, dan
memperbaiki FEV1 yang menurun. Sebagian besar penelitian menemukan
bahwa pengobatan jangka panjang dengan ICS secara tunggal tidak
memodifikasi penurunan FEV1 jangka panjang dan angka mortalitas, namun
menurunkan angka eksaserbasi per pasien per tahun dari pasien PPOK.1,24
b. Glukokortikoid oral

14
Glukortikoid sistemik untuk pengobatan eksaserbasi akut pada pasien di
rumah sakit, atau saat di ruang gawat darurat menunjukkan pengurangan rasio
gagal terapi, rasio kejadian relaps dalam 1 bulan, durasi rawat inap yang lebih
pendek, kebutuhan ventilator yang menurun, dan peningkatan fungsi paru dan
perbaikan sesak napas. Tidak terdapat penurunan serangan sesak, status
kesehatan, atau hasil spirometri yang lebih baik pada pasien yang
mendapatkan steroid oral jangka panjang.1,25,26
c. Phosphodiesterase-4 inhibitors
Aksi utama PDE4 inhibitors adalah mengurangi inflamasi dengan cara
menghambat pemecahan siklik AMP intrasel. Pada pasien dengan bronkitis
kronik dan PPOK derajat berat dan sangat berat disertai riwayat eksaserbasi,
PDE4 inhibitor memperbaiki fungsi paru dan menurunkan resiko eksaserbasi
sedang dan berat.1,27

2.4.3 Tatalaksana Non Farmakologi PPOK Stabil1,28


a. Edukasi dan manajemen diri
Manajemen diri harus melibatkan pasien dalam memantau dan mengelola
tanda dan gejala, kepatuhan dalam pengobatan, mempertahankan kontak
secara teratur dengan tenaga medis, dan mengelola psikososial dari kondisi
pasien.
b. Aktivitas fisik
Terdapat bukti bahwa aktifitas fisik menurun pada pasien PPOK dan
kondisi ini menyebabkan terjadi penurunan kualitas hidup, peningkatan angka
rawat inap dan mortalitas.
c. Rehabilitasi pulmonal
The American Thoracic Society dan The European Respiratory Society
mendefinisikan rehabilitasi pulmonal sebagai intervensi komprehensif
berdasarkan penilaian pasien secara keseluruhan diikuti oleh terapi yang
meliputi pelatihan olahraga, edukasi, dan perubahan perilaku, yang dirancang

15
untuk meningkatkan kondisi fisik dan psikologis orang dengan penyakit
pernapasan kronik dan untuk meningkatkan kepatuhan jangka panjang.
d. Intervensi manajemen diri
Topik yang dipertimbangkan dalam edukasi pada pasien PPOK meliputi,
penghentian merokok, informasi dasar tentang PPOK, pendekatan secara
umum mengenai terapi, strategi dalam meminimalisasi sesak napas, kondisi
pasien yang membutuhkan pertolongan, dan membuat keputusan saat terjadi
eksaserbasi.
e. Perawatan paliatif
Tujuan perawatan paliatif adalah untuk meringankan pasien dan
keluarganya dengan penilaian komprehensif dan penanganan gejala fisik,
psikososial dan spiritual yang dialami oleh pasien.
f. Dukungan nutrisi
Nutrisi yang cukup pada pasien PPOK sangat direkomendasikan. Hal ini
berdasarkan penelitian bahwa berat badan, massa lemak, dan massa lemak
bebas memiliki efek positif.
g. Vaksinasi
Vaksin influenza direkomendasikan kepada semua pasien PPOK.
h. Terapi oksigen
Terapi oksigen jangka panjang diindikasikan pada PPOK stabil dengan
kondisi PaO2 < 55 mmHg atau saturasi oksigen <88% dengan atau tanpa
disertai hiperkapnea, atau pada kondisi PaO2 diantara 55-60mmHg atau
saturasi oksigen 88% disertai dengan hipertensi pulmonal, curiga gagal
jantung kongestif atau polisitemia.
i. Dukungan ventilator
Ventilator non invasif diberikan pada pasien PPOK stabil dengan derajat
PPOK yang sangat berat.
j. Intervensi bronkoskopi dan pembedahan

16
Tatalaksana ini dapat diindikasikan pada pasien yang tidak mengalami
perbaikan dengan terapi optimal atau pada pasien yang disertai dengan bulla
yang besar.

2.4.4 Tatalaksana Ekserbasi PPOK


Tujuan utama terapi eksaserbasi PPOK adalah untuk meminimalisasi
dampak negatif dari eksaserbasi dan mencegah terjadinya perkembangan
selanjutnya. Lebih dari 80% kejadian eksaserbasi ditangani pada keadaan
rawat jalan dengan terapi yang terdiri dari bronkodilator, kortikosteroid, dan
antibiotik.1
Terdapat beberapa indikasi dalam menentukan perlunya pasien PPOK di
rawat inap saat terjadi eksaserbasi, yaitu : 1,29
 Gejala yang berat seperti sesak saat istirahat yang mengalami
perburukan tiba-tiba, laju pernapasan yang tinggi, penurunan saturasi
oksigen, kebingungan, dan selalu mengantuk
 Gagal napas akut
 Onset dari temuan fisik yang baru (sianosis, edema perifer)
 Gagalnya respon terapi dengan tatalaksana awal eksaserbasi
 Adanya komorbiditis yang serius (gagal jantung, aritmia yang baru
terjadi)
 Tidak adanya dukungan dari tempat tinggal
 Perburukan hipoksemia/hiperkapnea
 Perubahan status mental

Mortalitas pada PPOK sering terjadi dan eksaserbasi derajat berat


merupakan salah satu penyebab utama kematian pada PPOK. Pada
eksaserbasi PPOK diperlukan penilaian mengenai kondisi yang mengancam
jiwa atau keadaan yang terdapat gangguan pertukaran gas.1,30

17
Tatalaksana pada kondisi pasien dengan eksaserbasi yang berat namun tidak
mengancam jiwa sesuai pada gambar dibawah ini : 1,31

Gambar 6. Tatalaksana PPOK eksaserbasi1 (Modifikasi)

18
Presentase klinis eksaserbasi PPOK adalah heterogen, oleh karena itu
pada pasien rawat inap, keparahan eksaserbasi harus didasarkan pada
tanda klinis pasien, yang diklasifikasikan sebagai berikut :1
 Tanpa gagal napas
 Gagal napas akut – tanpa mengancam jiwa
 Gagal napas akut – yang mengancam jiwa

Faktor - faktor independen yang terkait dengan mortalitas pada PPOK


adalah usia tua, indeks massa tubuh yang rendah, komorbid (penyakit
kardiovaskular atau kanker paru), fungsi paru, C-reactive protein, riwayat
rawat inap dengan eksaserbasi PPOK, dan kebutuhan oksigen jangka
panjang saat rawat jalan.1,30,32
Terdapat 3 kelas pengobatan yang tersering digunakan untuk
eksaserbasi PPOK, yaitu :1
a. Bronkodilator
Meskipun tidak ada bukti penelitian yang baik dalam Randomized
controlled trial, direkomendasikan bahwa inhalasi agonis beta2 kerja
pendek, dengan atau tanpa antikolinergik kerja pendek, merupakan
pilihan awal untuk tatalaksana akut pada PPOK eksaserbasi. Pada
pemberian obat menggunakan nebulizer atau metered dose inhalers
(MDI), tidak didapatkan perbedaan signifikan dalam pengukuran
FEV1.1
b. Glukokortikoid
Data dari penelitian mengindikasikan bahwa glukokortikoid sistemik
pada eksaserbasi PPOK menghasilkan waktu pemulihan yang lebih
pendek, memperbaiki fungsi paru (FEV1), memperbaiki oksigenasi,
resiko relaps yang lebih awal, gagal pengobatan, dan waktu lama
perawatan di rumah sakit. Dosis yang direkomendasikan adalah 40mg

19
prednison per hari selama 5 hari. Jika pasien sulit untuk intake oral,
maka dapat disetarakan dengan dosis intravena. Terapi dengan inhalasi
budesonide merupakan salah satu pilihan yang cocok pada beberapa
pasien yang mengalami eksaserbasi.1,29
c. Antibiotik
Dalam sebuah penelitan systematic review of placebo-controlled,
dikatakan bahwa antibiotik dapat mengurangi resiko kematian jangka
pendek sebesar 77%, gagal pengobatan sebesar 53%, dan sputum
purulen sebesar 44%.1
Antibiotik harus diberikan pada pasien – pasien yang mengalami
eksaserbasi, dimana memenuhi 3 gejala kardinal, yaitu : peningkatan
sesak napas, volume sputum, dan sputum purulen, atau diberikan pada
pasien yang memiliki 2 gejala kardinal saja, dimana salah satunya
adalah peningkatan sputum yang purulen, atau pada pasien yang
memerlukan ventilasi mekanik (invasif atau noninvasif). Rekomendasi
untuk pemberian antibotik adalah 5-7 hari.1
Pemberian antiobiotik diberikan berdasarkan pola kuman di daerah
tersebut, biasanya pemberian antibiotik dimulai dengan terapi
empirik.1,29 Terdapat beberapa pilihan pengobatan antibiotik
berdasarkan derajat eksaserbasi :

Tabel 4. Tatalaksana pemberian antibiotik pada eksaserbasi PPOK33

Eksaserbasi Ringan Lini pertama :


Doksisiklin 100 mg 2x/hari atau
cefuroxime 500mg 2x/hari

Lini kedua :
Azithromycin 500mg 1x/hari
Eksaserbasi Sedang Lini pertama :

20
Amoxicillin-klavulanat 875 mg-
125mg 2x/hari atau
doksisiklin 100 mg 2x/hari
Lini kedua :
Azithromycin 500 mg 1x/hari
Eksaserbasi Berat Tanpa resiko P.aeruginosa :
ceftriaxone 1gr per 24 jam;
alergi beta laktam :
Levofloxacine 750mg/24jam
Resiko P. Aeruginosa :
lini pertama :
Cefepime 1g/6 jam
Lini kedua :
Piperacillin-tazobactam 4.5g/8jam
Alergi beta laktam :
Aztreonam 2g/8jam +
levofloxacin 750mg/24jam

Bantuan pernapasan pada tatalaksana eksaserbasi PPOK dapat diberikan


meliputi :
a. Terapi Oksigen
Tatalaksana dengan pemberian oksigen adalah komponen kunci dalam
tatalaksana pasien eksaserbasi di rumah sakit. Pemberian oksigen
harus dititrasi dengan target saturasi 88-92% atau PaO2 >60mmHg
untuk mencegah hipoksia jaringan dan menjaga oksigenasi seluler.

b. Terapi oksigen aliran tinggi melalui nasal kanul


Pada pasien dengan gagal napas hipoksemia akut, terapi oksigen aliran
tinggi melalui nasal kanul (HFNC) dapat menjadi alternatif untuk

21
terapi oksigen standar atau ventilasi tekanan positif non invasif,
dimana beberapa studi menunjukkan bahwa HFNC dapat menurunkan
angka kebutuhan intubasi atau tingkat mortalitas pada pasien dengan
gagal napas hipoksemia akut. 1
c. Bantuan ventilator
Dukungan ventilasi pada eksaserbasi dapat diberikan baik oleh
ventilasi non invasif/NIV (nasal atau facial mask) atau invasif (oro-
tracheal tube atau trakeostomi). Indikasi dibutuhkan perawatan
intensif untuk pernapasan antara lain :1,29
 Sesak napas berat yang tidak respon dengan pengobatan awal
 Perubahan status mental (bingung, letargi, koma)
 Hipoksemia persisten atau perburukan (PaO2 < 40mmHg)
dan/atau asidosis respiratorik berat atau memburuk (pH <7.25)
meskipun telah diberikan oksigen dan ventilasi non invasif
 Kebutuhan ventilasi mekanik invasif
 Hemodinamik yang tidak stabil (membutuhkan vasopresor)
 Adanya gangguan fungsi organ akhir lainnya, yaitu syok,
ginjal, hati, atau gangguan neurologis.

3. Ringkasan
Penyakit paru obstruktif kronik didefinisikan sebagai keadaan penyakit
yang ditandai dengan gejala pernapasan persisten dan keterbatasan aliran
udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Penyakit paru obstruktif kronik harus
dipertimbangkan pada pasien yang memiliki keluhan sesak, batuk kronik, atau
produksi sputum, dan/atau memiliki riwayat terpapar dengan faktor resiko
penyakit. Spirometri merupakan pemeriksaan yang noninvasif. Kriteria
spirometri untuk hambatan aliran udara post bronchodilator dengan ratio
<0.70. Diagnosa pasien PPOK dikelompokkan ke dalam 4 kategori, group

22
ABCD, berdasarkan atas adanya hambatan aliran udara berdasarkan
spriometri, gejala dan resiko eksaserbasi. Kombinasi penilain ini terdiri dari
angka dan huruf. Tatalaksana PPOK stabil terdiri dari farmakologi dan non
farmakologi. Tatalaksana farmakologi dimulai dengan terapi inisiasi
berdasarkan atas pembagian klasifikasi ABCD, dan diikuti oleh kelanjutan
tatalaksana setelah terapi inisiasi. Tatalaksana nonfarmakologi terdiri dari
edukasi dan manajemen diri, aktivitas fisik, rehabilitasi pulmonal, intervensi
manajemen diri, perawatan paliatif, dukungan nutrisi, vaksinasi, terapi
oksigen, dukungan ventilator, internvensi bronkoskopi dan pembedahan. Pada
PPOK eksaserbasi, tatalaksana terdiri dari penilaian keparahan tingkat
eksaserbasi (mengancam jiwa), pemberian pengobatan bronkodilator,
kortikosteroid, antibiotik dan bantuan napas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Singh D, Agusti A, Anzueto A, et al. Global Strategy for the Diagnosis,

23
Management, and Prevention of Chronic Obstructive Lung Disease: the GOLD
science committee report 2019. Eur Respir J. 2019; 53(5):1900164.

2. Devereux Graham. ABC of Chronic Obstuctive Pulmonary Disease. BMJ.


Vol.332.2006: 1142-1144

3. Suryadinata V R, Effect of Free Radicals on Inflammatory Process in Chronic


Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Amerta Nutr. 2018: 317-324

4. Qaseem A, Timothy J, Wilt, et al. Diagnosis and Management of Stable


Chronic Obstructive DIsease: A clinical Pratice Guideline Update from the
American College of Physicians, American College of Chest Physician,
American Thoracic Sicoety, and European Respiratory Society. Ann Intern
Med. 2011;155:179-191.

5. Silverman E, Crape J D, Make J M, Chronic Obstructive Pulmonary Disease.


in: Jameson, Fauci, Kasper. Harrison's Principles of Internal Medicine. 20th
edition. Mc Graw Hill. 2018: 1991-1999

6. Rosha T P, Dewi F S. Factors associated with quality of life among patients


with chronic obstructive pulmonary disease. BKM Journal of community
Medicine and Public Health. 2018: Vol. 34 P62.66

7. Singh D, Agusti A, Anzueto A, et al. Global Strategy for the Diagnosis,


Management, and Prevention of Chronic Obstructive Lung Disease:Pocket
Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention. Eur Respir J. 2019;

24
53(5):1900164.

8. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.


Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. LITBANG
DEPKES RI. Jakarta. 2013: h83-86

9. Prosser T R, Pharm, Bollmeier S G, et.al. Chronic Obstructive Pulmonary


Disease. Pharmacotherapy Self Assessment Program, 6th edition. P1-15

10. Bourdin A, Burgel, Chanez P. Recent Advances in COPD : pathophysiology,


respiratory physiology and clinical aspects , including comorbidities. Eur
Respir Rev. 2009: 18: 114, 198–212

11. Wedizicha J A, Seemugal T A. COPD exacerbations: defining their cause and


prevention. Lancet 2007; 370: 786–96

12. MacNee W. ABC of chronic obstructive pulmonary disease pathology,


pathogenesis, and pathophysiology. BMJ. 332. 2006: 1202-1204

13. Miravitlles M, Worth H, Cataluna J. Observation study to charaterize 24-hour


COPD symptoms and their relationship with patient-reported outcomes : results
from the ASSESS study. Respiratory Research. 2014: 15:122

14. Han M, Muellerova H, Everett D C. Implications of the GOLD 2011 DIsease


Severity Classfication in th COPD gene Cohort. Lancet Respir Med. 2013: 1(1):
43–50.

15. Hurt J R, Vestbo J, Anzueto A,et.al. Susceptibility to Exacerbation in Chronic


Obstructive Pulmonary Disease. N Engl J Med. 2010;363:1128-38.

25
16. Chatila W M, Thomashow B M, Minal O, et al. Comorbidites in Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. Proc Am Thorac Soc.2008 : Vol 5 pp549–555

17. Kim J, Yoon H I, Mok Y, et.al. Lung Function decline rates according to
GOLD group patients with chronic Obstructive pulmonary disease.
International Journal of COPD. 2015:10 1819–1827

18. Nakamura H, Aoshiba K. Chronic Obstructive Pulmonary DIsease. A


systematic Inflamatory DIsease. Department of Respiratory Medicine. Tokyo.
2017

19. Romieu I, Rodriguez H R, Meres A T,et.al. Improved Biomass Stove


Intervention in Rural Mexico. Am J Respir Crit Care Med. 2009: Vol 180. pp
649–656

20. Albert R K, Connett J, Bailey W C. Azithromycin for prevention of


exacerbations of COPD. N Engl J Med. 2011; 365(8): 689–698

21. Appleton S, Poole P, Smith BJ, et.al. Long acting beta 2 agonists fo poorly
reversible chronic obstructive pulmonary disease (review). The Cochrane
Collaboration. South Australia. John Wiley and Sons Published. 2013. P1-23

22. Barr R G, Bourbeau J, Camargo C A, et.al. Tiotropium for stable chronic


obstructive pulmonary disease: a meta-analysis. Thorax. 2006;61:854–862

23. Zacarias E C, Castro A A, Cendon S. Effect of theophylline associated with


short-acting or long-acting inhaled beta2-agonists in patients with stable
chronic obstructive pulmonary disease: a systematic review. Jornal Brasileiro

26
de Pneumologia. 2007; 33(2): 152-160.

24. Yang IA, Clarke MS, Sim EHA,et.al. Inhaled corticosteroids for stable chronic
obstructive pulmonary disease (review). Cochrane Database syst Rev. 2012.
7;1-23

25. Walters JA, Tan DJ, White CJ, et.al. Systemic corticosteroids for acute
exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease. Cochrane Database
Syst Rev. 2014;(9):CD001288.

26. Kathryn L, Rice, Jeffrey B, et.al. Withdrawal of Chronic Systemic


Corticosteroids in Patients with COPD. Am J Respir Crit Care Med. 2002: Vol
162. pp 174–178.

27. Rabe K F. Update on roflumilast, a phophodiesterase 5 inhibiot fot the


treatment of chronic obstructive pulmonary disease. British Journal of
Pharmacology. 2011: 163 53–67

28. Spruit MA, Singh SJ, Garvey C. An official American Thoracic


Society/European Respiratory Society Statement : Key Concepts and Advances
in Pulmonary Rehabilitation. Am J Respir Crit Care Med. 2013. 188: e13–e64

29. Celli BR, MacNee W, Agusti A, et.al. Standards for the diagnosis and treatment
of patients with COPD : a summary of the ATS/ERS position paper. Eur Respir
J. 2004: 23: 932–946

30. Hoogendoom M, Hoogenveen RT, Molken MP R, et al. Case fatality of COPD


exacertbations : a meta analysis and stastistical modeling approach. Eur Respir
J. 2011: 37: 508–515

27
31. Celli B.R, Barnes P J. Exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease.
Eur Respir J. 2007; 29: 1224–1238

32. Piquet J, Chavaillon JM, David P, et.al. High risk patients following
hospitalization for an acute exacerbation of COPD. Eur Respir J. 2013: 42:
946–955

33. Rupp Mark E, Schooneveld T V, Bergman S. Antibiotic Guidance for


Treatment of Acute Exacerbations od COPD (AECOPD) in Adults. Nebraska
Medicine. 2019: 1-6

28

Anda mungkin juga menyukai