Jelas sekali tugas ini diberikan setelah momentum 2 Mei
sebagai hari pendidikan, jadi tidak perlu dijelaskan lagi sepertinya alasannya. Ya, 2 Mei memang diperingati sebagai hari pendidikan di Indonesia, atau lebih tepatnya Hari Pendidikan Nasional yang didasarkan oleh hari lahir dari salah satu begawan pendidikan di Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Belakangan ini saya mulai merefleksikan kembali, sebagai seorang mahasiswa jurusan pendidikan , terkait pendidikan yang telah saya tempuh terutama pendidikan tinggi ini. Dari dulu, setidaknya menurut pengalaman pribadi saya, alasan seseorang masuk perguruan tinggi adalah demi kerja yang lebih baik. Masuk kampus yang baik, kerja yang baik, dapat uang yang banyak, hidup yang enak. Hal tersebut tidak salah memang, perguruan tinggi, apalagi yang dianggap favorit, adalah pijakan perbaikan, malah perubahan nasib. Tetapi di sisi lain, saya juga merasa hal tersebut tidak selalu cukup. Penyematan gelar sarjana bukanlah hal main-main. Istilah sivitas akademika bukan hal sepele. Problemnya, pendidikan di pendidikan tinggi, setidaknya di Indonesia, menurut pengalaman pribadi saya belumlah mencapai tahapan idealnya. Metode pendidikan yang terkesan satu arah, entah pendidik yang memang belum optimal dalam melakukan transfer ilmu, atau mungkin lebih sederhana seperti banyak kata orang, mahasiswanya saja termasuk seperti saya yang memang malas. Atau mungkin salah satu penyebabnya adalah Pandemi Covid-19 turut serta dalam penambahan masalah ini. Apalagi di Era sekarang–yang disebut milenial khususnya di Indonesia–masih belum menyentuh akar persoalan umat, yaitu terbentuknya insan rabbani. Insan rabbani yaitu manusia yang intelektual baik secara religi dan berpengetahuan. Menjadi soleh saja tidaklah cukup. Tapi ia juga harus berpendidikan. Nah, persatuan keduanya dalam ilmu-ilmu pendidikan agama di Indonesia masih terdikotomi. Memisahkan ilmu agama dengan ilmu dunia. Bukankah pemisahan tersebut adalah bentuk sekulerisme itu sendiri? Mungkin sudah ada institusi pendidikan yang menerapkan keduanya seperti Gontor, misalnya. Namun, gerakan ini tidak masif dan masih di wilayah privat. Belum menjadi topik negara. Sekarang mulai bermunculan SDIT-SMPIT dan IT-IT lainnya yang mencoba untuk memadukan ilmu agama dengan ilmu sains-sosial. Ini harus didukung. Sesungguhnya, ilmu tentang Islam itu sudah dari sananya seperti itu yang berarti isinya tidak akan berubah–kecuali hal- hal yang bersifat ijtihadiyah. Yang harus mengalami perubahan adalah metode pengajaran. Yaitu bagaimana ilmu-ilmu tentang kesempurnaan Islam itu terdistribusi dengan baik tanpa ada distorsi atau bahkan penyalahgunaan. Kita pernah memimpin dunia 7 abad lamanya–bahkan mungkin lebih. Kita pernah menjadi idola bagi bangsa-bangsa Eropa. Kita pernah ada di masa ketika para penghafal Al-Quran menjadi ilmuwan yang ahli di ilmu perbintangan, kimia, fisika, matematik, sosiologi, hingga filsafat. Kita pernah menginspirasi dunia bahwa ilmu itu adalah hikmah. Sebab itu di Baghdad dibangun Bait Al-Hikmah.
Apakah di era ini, era milenial ini, pendidikan Islam bisa
menyamai kualitas pendidikan di masa terdahulu? Entahlah. Harus ada kekuatan ulama’ dan umara’ yang bersatu padu mengadvokasi umat terlebih dahulu. Itulah sekilas mengenai opini tentang pendidikan di era sekarang saya selaku sebagai mahasiswa jurusan pendidikan tentunya ingin sekali membuat pendidikan Indonesia lebih maju bahkan maju maju lagi menyamakan pendidikan pendidikan masyarakat luar negara. Yang saya harapkan semoga pendidikan diindonesia lebih maju dan di era milenial yang semakin canggih dizaman sekarang ini