A. Pendahuluan
Page 1 of 5
mengantarkan manusia menjadi manusia merdeka, yaitu manusia yang
tidak dijajah oleh orang lain, aturan-aturan maupun sistem birokrasi yang
rumit (Ki Supriyoko; 2020).
Kebijakan merdeka belajar yang pertama dan kedua adalah terkait
Ujian Nasional (UN) dan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) yang
selama ini menjadi beban peserta didik, orang tua siswa maupun
penyelenggara pendidikan akan diganti dengan Asesmen Kompetensi
Minimum dan Survei Karakter. Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) lebih
ditekankan pada kemampuan peserta didik dalam penalaran literasi dan
numerik. Asesmen ini tidak hanya mengukur kompetensi peserta didik
dalam hal membaca dan berhitung, tetapi sampai pada kemampuan
menganalisis isi bacaan dan memahami konsep dasar yang ada dibaliknya
(tahap metakognitif). Kemampuan numerasi bukan hanya sampai pada
kompetensi berhitung dan bukan hanya terletak pada kemampuan dalam
pelajaran Matematika, tetapi konsep numerasi harusnya diterapkan dalam
kehidupan nyata. Asesmen ini akan dilakukan pada peserta didik di tingkat
IV, VIII, dan XI, dan hasilnya diharapkan menjadi masukan bagi sekolah
untuk memperbaiki proses pembelajaran selanjutnya.
Konsep Asesmen Kompetensi Minimum sejalan dengan konsep
pendidikan tamansiswa dalam pembelajarannya menggunakan konsep
trino atau 3N (niteni, niroke, dan nambahi). Dalam konsep trino ini peserta
didik ketika belajar dimulai dari niteni atau mengingat apa yang telah
dipelajari tersebut. Ketika peserta didik sudah terbiasa dengan belajar
dengan cara niteni, maka akan berkembang pada nirokke atau menirukan
apa yang dilihat dan diamati. Setelah hasil pengamatan dan peniruan
tersebut sudah menjadi satu dengan diri dan jiwanya, maka ada usaha
untuk membuat kreasi baru atau nambahi dari objek yang diamati dan
ditirukan tersebut. Tahap pembelajaran dengan konsep trino ini tidak
secara nyata diasesmen seperti ujian, tetapi akan menjadi pengamatan
pamong dalam proses belajarnya. Konsep pengamatan pamong dalam
mengawasi proses belajar mengajar inilah kemudian di adopsi menjadi
konsep Survey Karakter.
Terkait dengan pelaksanaan ujian sekolah berstandar nasional
(USBN), sekolah diberi kemerdekaan untuk melaksanakan ujian tersebut.
Page 2 of 5
Ujian sekolah berstandar nasional tidak harus berupa sekumpulan soal
yang harus dijawab oleh peserta didik dalam waktu yang bersamaan.
Sekolah merdeka menentukan bentuk penilaian yang dilakukan oleh
peserta didik, karena penilaian bisa diambil dari portofolio, karya tulis, atau
bentuk penugasan yang lain. Peserta didik bisa merdeka untuk
mendapatkan nilai USBN ini sesuai dengan kompetensi masing-masing.
Setiap peserta didik adalah manusia yang berbeda satu dengan yang lain,
jadi bentuk uji kompetensinya juga bisa berbeda-beda. Peserta didik yang
memiliki kecenderungan kompetensi pengetahuan, bisa mendapatkan nilai
dalam bentuk karya tulis, atau peserta didik yang memiliki kecenderung
memiliki kompetensi berkarya nyata atau kompetensi dalam bentuk
keterampilan, akan mendapatkan nilai USBN dalam bentuk portofolio dari
karya yang dibuat.
Kebijakan merdeka belajar yang ketiga adalah penyederhanaan
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Selama ini rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP) dibuat sangat banyak komponen yang
harus tercantum, yaitu tigabelas (13) komponen. Dengan banyaknya
komponen yang harus tertuliskan dalam RPP, waktu guru hanya
dihabiskan untuk menyusun RPP yang merupakan syarat adminstratif.
Sebagian besar guru yang ada, ketika menyusun RPP adalah menyusun
secara konseptual, dan hanya sebatas menyusun saja, tetapi ketika
pelaksanaan pembelajaran di kelas, rencana pelaksanaan pembelajaran
tersebut tidak dijalankan. Guru lebih banyak mengajar dengan cara sesuai
kebiasaannya atau dalam istilah bahasa Jawa mengajar dengan opo
adadte atau podate. Jadi rencana pelaksanaan pembelajaran tidak menjadi
guideline pada saat pelaksanaan pembelajaran. Untuk itu rencana
pelaksanaan pembelajaran akan disederhanakan berisi tiga (3) komponen,
yaitu tujuan pembelajaran yang hendak dicapai, metode atau cara
pembelajaran yang akan dilaksanakan, dan bagaimana cara
mengevaluasinya. Dengan perubahan dalam penyusunan rencana
pelaksanaan pembelajaran ini guru lebih berperan seperti seorang
pembimbing atau pendamping belajar dimana seorang guru tahu tujuan
pembimbingannya, atau pendampingannya, tahu cara membimbing dan
mendampingi, serta tahu mengevaluasinya. Hal ini sejalan dengan
Page 3 of 5
pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan. Pendidikan menurut Ki
Hadjar Dewantara bukanlah paedagogik, tetapi lebih lebih kepada konsep
panggulawentah yang setara dengan konsep Momong, Among, dan
Ngemong (Ki Hadjar Dewantara, 2004). Konsep panggulawentah atau
menjadikan sesuai dengan yang ingin dijadikan dengan cara among atau
ngemong membimbing dan melindungi bimbingannya. Dengan perubahan
rencana pelaksanaan pembelajaran ini juga akan ada perubahan dalam
sistem pengajarannya, yang selama ini pembelajaran dalam kelas,
nantinya akan lebih banyak belajar di luar kelas atau outing class. Cara
belajar ini akan memungkinkan peserta didik lebih mudah untuk berdiskusi
dengan gurunya. Peserta didik tidak hanya menjadi pendengar penjelasan
guru, tetapi peserta didik juga bisa mengutarakan pendapatnya, lebih
berani, mandiri, dan mampu menghargai pendapat orang lain seperti
konsep momong yang dipikirkan oleh Ki Hadjar Dewantara.
Kebijakan merdeka belajar ke-empat adalah sistem zonasi pada
penerimaan peserta didik baru (PPDB). Sistem zonasi dalam penerimaan
siswa baru nantinya akan lebih fleksibel untuk mengakomodasi
ketimpangan akses dan kualitas lembaga pendidikan di berbagai daerah.
Aturan baru nantinya lembaga pendidikan akan menerima 50% peserta
didik sesuai dengan zonasinya, 15% sesuai dengan jalur afirmasi, 5%
sesuai dengan jalur perpindahan dan 0-30% sisanya disesuai dengan
kondisi daerah dimana lembaga pendidikan tersebut berada.
Peraturan zonasi ini sebenarnya kurang sesuai dengan konsep
trisentra pendidikan, dimana keluarga, masyarakat lingkungan, dan
lembaga pendidikan memiliki peran dan tanggungjawab sebagai penyedia
pendidikan bagai peserta didik. Tanggungjawab pendidikan menurut Ki
Hadjar Dewantara adalah orang tua atau keluarga, masyarakat, dan
sekolah atau dengan istilah trisentra, yaitu alam keluarga, alam perguruan
dan alam pergerakan pemuda (Ki Hadjar Dewantara, 2004). Jadi menurut
pandangan trisentra, tanggungjawab pendidikan seorang anak tidak hanya
terletak pada lembaga pendidikan atau sekolah saja, tetapi ketiga
komponen tersebut harus satu padu untuk mewujudkan proses pendidikan
anak. Ketiga komponen tersebut menjadi tiga pilar pendidikan di Indonesia.
Page 4 of 5
Dengan konsep zonasi ini seolah-olah hanya lembaga pendidikan yang
memiliki peran dan tanggungjawab terhadap pendidikan di Indonesia ini.
C. Kesimpulan
Daftar Pustaka
Page 5 of 5