Anda di halaman 1dari 22

Nama : Putra Jaya Hulu

Npm : 200202043
KELOMPOK B

Konsep Penyakit Gagal Ginjal Kronik

1.1.1 Pengertian

GGK didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana nilai Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG) berada di bawah batas normal selama lebih dari tiga bulan (Davey, 2006).
Pada keadaan ini fungsi ginjal mengalami penurunan secara perlahan-lahan
(menahun) yang bersifat progresif dan irreversible (Suwitra, 2006). Penurunan fungsi
ginjal meliputi fungsi ekskresi, pengaturan, dan penumpukan zat-zat toksik yang
kemudian mengakibatkan sindroma uremia (Wilson, 2006).

Sedangkan The Kidney Disease Outcome Quality Initiative (K/DOQI) dalam


National Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan GGK adalah suatu keadaan
rusaknya parenkim ginjal dan adanya penurunan GFR kurang dari 60 ml/menit/1,73
m2 selama atau lebih dari tiga bulan (Verelli, 2006). Dari beberapa definisi tentang
GGK, maka dapat disimpulkan bahwa GGK adalah suatu keadaan fungsi ginjal
mengalami penurunan yang bersifat progresif dan irreversible dengan nilai GFR
kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama atau lebih dari tiga bulan.

1.1.2 Etiologi
Perkumpulan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2012 menjelaskan etiologi dari
GGK adalah:

Tabel 2.1 Etiologi GGK

Penyebab Insiden
Penyakit ginjal hipertensi 35%
Nefropati diabetika 26%
Glomerulopati primer 12%
Nefropati obstruksi 8%
Pielonefritis kronik 7%
Nefropati asam urat 2%
Nefropati lupus/SLE 1%
Ginjal polikistis 1%
Tidak diketahui 2%
Lain-lain 6%
Individu dengan GFR normal atau meningkat dan tanpa kerusakan pada ginjal dapat
beresiko menjadi GGK, sehingga diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk menentukan
apakah menderita GGK atau tidak (Warady & Chadha, 2007).

Berdasarkan data tahunan ke empat IRR oleh PERNEFRI tahun 2011, menyatakan
urutan etiologi GGK dari nilai yang terbanyak adalah penyakit ginjal hipertensi 34%,
nefropati diabetika 27%, glomerulonefropati primer 14%, nefropati obstruksi 8%,
pielonefritis kronik 6%, sistemik lupus eritromatosus 1%, ginjal polikistik 1%, gout
2%, lain-lain 6%, dan tidak diketahui 1%.

Secara umum penyebab GGK hampir sama di setiap negara, tetapi dibedakan dalam
perbandingan persentasenya (Riyanto, 2011). Menurut Fauci, Braun, Kasper, Hauser,
dan Ongo (2009) hal-hal yang dapat menyebabkan GGK adalah diabetik nefropati,
hipertensi nefrosklerosis, glomerulonefritis, iskemik nefropati, ginjal polikistis, refluk
nefropati, intersisial nefritis, nefropati dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV),
transplant allograft failure.

1.1.3 Manifestasi Klinis

Pada umumnya pasien GGK stadium satu sampai tiga tidak mengalami tanda dan
gejala awal atau tidak mengalami gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, endokrin
dan metabolik. Sedangkan pasien GGK stadium empat dan lima memperlihatkan
beberapa gejala klinis (Kanitkar, 2009). Menurut Baradero, Dayrit, dan Siswadi
(2009), beberapa tanda dan gejala GGK yaitu:
Tabel 2.2 Manifestasi GGK
Penyebab Tanda dan gejala
Sistem hematopoeitik Anemia akibat dari penurunan produksi
eritropoetin sehingga terjadinya penurunan
rangsangan eritropoetis pada sumsum tulang,
cepat lelah, perdarahan akibat terjadinya
trombositopenia, ekimosis.
Sistem kardiovaskuler Hipervolemia, hipertensi akibat penimbunan
cairan dan garam atau aktivitas renin-
angiostensin dan aldosteron meningkat,
takikardia, disritmia, gagal jantung kongestif
akibat kelebihan cairan.
Sistem pernapasan Takipnea, pernapasan kussmaul, sputum
yang lengket, batuk disertai nyeri, suhu
tubuh meningkat, edema paru.
Sistem gastrointestinal Anoreksia, nausea, vomitus, perdarahan
gastrointestinal, distensi abdomen, diare dan
konstipasi.
Sistem neurologi Perubahan tingkat kesadaran, letargi,
bingung, stupor, koma, kejang, tidur
terganggu, asiteriksis.
Sistem skeletal Osteodistrofi ginjal dan nyeri sendi.
Sistem integumen Tampak pucat akibat anemia, berwarna
kekuningan akibat penimbunan urokrom,
pigmentasi, pruritus akibat toksin dan
endapan kalsium di pori-pori, lecet akibat
adanya bekas-bekas garukan karena rasa
gatal.
Sistem perkemihan Haluaran urin berkurang, berat jenis urin
menurun, proteinuria, fragmen dan sel dalam
urin, natrium dalam urin berkurang.
Sistem reproduksi Infertilitas, libido menurun, disfungsi ereksi
akibat penurunan produksi testosteron dan
spermatogenesis, pubertas lambat.
Menurut Black dan Hawks (2009) manifestasi GGK berdasarkan derajatnya adalah
sebagai berikut:

Tabel 2.3 Manifestasi GGK Berdasarkan Derajat

Derajat GGK Manifestasi Klinis


Derajat I Tekanan darah pasien normal, tidak terdapat tanda-tanda
abnormalitas hasil tes laboratorium dan manifestasi klinis.
Derajat II Tanpa manifestasi klinis, terdapat hipertensi, mulai muncul
hasil tes laboratorium abnormal.
Derajat III Tanpa gejala, hasil tes laboratorium abnormal pada beberapa
sistem organ, terdapat hipertensi.
Derajat IV Terdapat manifestasi klinis berupa kelelahan dan penurunan
rangsangan.
Derajat V BUN meningkat, anemia, hipokalsemia, hiponatremia, asam
urat meningkat, proteinurea, pruritus, edema, hipertensi,
kreatinin meningkat, penurunan rangsangan, asidosis
metabolik, mudah mengalami perdarahan, hiperkalemia.
1.1.4 Patofisiologi

Patofisiologi GGK tergantung dari etiologi diagnosisnya, pada awalnya


keseimbangan cairan dan sisa-sisa metabolisme masih bergantung pada ginjal yang
sakit, hingga fungsi ginjal menurun kurang dari 25%. Mulai muncul manifestasi
klinis GGK namun kecil, hal ini dikarenakan nefron-nefron yang sehat mengambil
alih fungsi nefron yang rusak. Akibat dari nefron yang rusak laju filtrasi, reabsorbsi
dan sekresinya mengalami peningkatan serta hipertrofi. Seiring dengan bertambahnya
nefron yang mati, maka nefron yang masih sehat menghadapi tugas yang semakin
berat. Akibatnya nefron-nefron tersebut mengalami kerusakan dan akhirnya mati.
Seiring dengan semakin parahnya penyusutan dari nefron, maka terjadinya
pembentukan jaringan parut dan penurunan aliran darah ke ginjal (Corwin, 2009).

Selanjutnya gagal ginjal masuk ke tahap insufisiensi ginjal. Sisa-sisa metabolisme


mulai terakumulasi dalam darah dan akan mengakibatkan tertimbunnya produk
buangan di dalam darah yang tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal. Hal ini dapat
mengganggu kerja dari sistem tubuh lainnya (Milner dalam Mardyaningsih, 2014).
Sistem kerja tubuh yang terganggu akibat gagal ginjal meliputi sistem
gastrointestinal, integumen, hematologi, saraf dan otot, kardiovaskuler serta endokrin.
Pasien GGK sering mengalami manifestasi klinis yang disebabkan oleh penyakit
primer (diabetes mellitus) dan efek patologis intrinsik uremia (Corwin, 2009).

Dari urutan kejadian tersebut dapat menimbulkan tanda-tanda gejala dan komplikasi
pada seluruh sistem tubuh. Akibat semakin banyaknya sisa-sisa metabolisme yang
tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal, maka gejala akan semakin berat. Pasien akan
merasa kesulitan menjalani aktivitas sehari-hari dan berdampak pada kualitas hidup
pasien (Corwin, 2009).

1.1.5 Klasifikasi

GGK diklasifikasikan menjadi lima stadium berdasarkan tingkat GFR (Eknoyan &
Lameire, 2013) yaitu:
Tabel 2.4 Klasifikasi GGK Berdasarkan Nilai GFR
Stadium GFR (ml/menit/1,73 m2) Deskripsi
1 ≥ 90 GFR normal/meningkat
2 60-89 GFR turun ringan
3a 45-59 GFR turun ringan-sedang
3b 30-44 GFR turun sedang-berat
4 15-29 GFR turun berat
5 < 15 atau dialisis Gagal ginjal

Menurut Suwitra (2006) mengklasifikasikan GGK berdasarkan diagnosis etiologinya


yaitu:

Tabel 2.5 Klasifikasi GGK Berdasarkan Diagnosis Etiologi

Penyakit Tipe Mayor (contoh)


Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non Penyakit glomerular, penyakit vaskuler ( penyakit pembuluh
diabetes darah besar, tekanan darah tinggi, mikroangiopati), penyakit
tubulointerstitial (sumbatan, keracunan obat, pielonefritis
kronik), ginjal polikistik
Penyakit pada Rejeksi kronik, keracunan obat, penyakit recurrent
transplantasi (glomerular), transplant glomerulopathy

1.1.6 Penatalaksanaan

Terdapat dua tahap dalam pengobatan GGK yaitu terapi konservatif dan terapi
pengganti ginjal. Penanganan konservatif meliputi menghambat perkembangan GGK,
menstabilkan keadaan pasien, dan mengobati faktor-faktor reversible (Haryanti &
Khairun, 2015). Adapun terapi konservatif dalam pengaturan diet pada pasien GGK
yaitu diet rendah protein. Diet tersebut dapat mengurangi gejala anoreksia, mual dan
muntah. Selain itu diet rendah protein mampu mengurangi beban ekskresi ginjal
sehingga terjadi penurunan hiperfiltrasi glomerulus, tekanan intraglomerulus dan
cedera sekunder pada nefron infark (Sukandar, 2006).

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada pasien GGK stadium lima, berupa
hemodialisa, Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dan transplantasi
ginjal (Suwitra, 2009). Hemodialisa adalah suatu proses terapi pengganti ginjal yang
bertujuan untuk mengambil zat-zat toksik dalam darah dan mengeluarkan cairan yang
berlebih (Rahman, Kaunang, & Elim, 2016). CAPD adalah proses dialisis yang
dilakukan melalui rongga peritoneum (selaput rongga perut) sehingga CAPD sering
disebut “cuci darah” melalui perut (Supono, 2010). Transplantasi ginjal dapat disebut
dengan cangkok ginjal yang bertujuan untuk mempertahankan kualitas hidup pasien
GGK, memperpanjang usia harapan hidup tanpa tergantung pada tindakan
hemodialisa, dan mengurangi biaya pengobatan jangka panjang (Bonar & Marbun,
2008).

Menurut Aziz, Witjaksono, dan Rasjidi (2008) menjelaskan terapi GGK dibagi
menjadi terapi nonfarmakologis dan farmakologis. Terapi nonfarmakologis terdiri
dari:
a. Pengaturan asupan protein
b. Pengaturan asupan kalori: 35 Kal/kg BB ideal/hari
c. Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah
yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
d. Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
e. Pengaturan asupan garam dan mineral
f. Pengaturan asam folat pasien hemodialisa: 5 mg
g. Air dengan jumlah urine 24 jam + 500 ml (insensible water loss). Terapi
peritoneal dialisis jumlah air disesuaikan dengan jumlah dialisat yang keluar.
Terapi farmakologis terdiri dari:
a. Mengontrol tekanan darah
b. Mengontrol gula darah untuk pasien GGK disertai dengan penyakit diabetes
mellitus. Hindari memakai metforminim dan obat-obatan sulfonylurea dengan
masa kerja yang panjang.
c. Mengontrol target hemoglobin 10-12 g/dl untuk mencegah anemia
d. Mengontrol hiperfosfatemi: kalsium karbonat atau kalsium asetat
e. Mengontrol osteodistrol renal: kalsitriol
f. Mengkoreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
g. Mengkoreksi hiperkalemia
h. Mengontrol dislipidemia dengan target Low Density Lipoprotein (LDL) < 100
mg/dl, dianjurkan golongan statin
i. Terapi pengganti ginjal

1.2 Hemodialisa

1.2.1 Pengertian

Hemodialisa adalah suatu proses pembersihan darah pasien dari tubuh melalui
dialiser secara difusi, osmosis dan ultrafiltrasi kemudian darah kembali ke tubuh
pasien (Baradero, Dayrit, & Siswadi, 2009). Hemodialisa hanya dapat dilakukan di
luar tubuh, sehingga memerlukan jalan masuk melalui vascular acces point (Novicky,
2007).

Hemodialisa adalah suatu terapi pengganti ginjal menggunakan selaput membran


semi permeabel (dialiser), berfungsi seperti nefron yang dapat mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme dan memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
(Ignatavicius & Workman, 2006). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
hemodialisa adalah terapi pengganti ginjal dengan proses pembersihan darah pasien
dari tubuh melalui dialiser.

1.2.2 Tujuan Hemodialisa

Tujuan hemodialisa adalah mengendalikan gejala-gejala seperti uremia, kelebihan


cairan, dan ketidakseimbangan elektrolit. Hemodialisa efektif untuk mengeluarkan
cairan, elektrolit dan sisa-sisa metabolisme, memperbaiki gangguan keseimbangan
asam dan basa pada pasien sehingga dapat memperpanjang umur pasien GGK
(Farida, 2010). Tujuan utama dari terapi hemodialisa adalah untuk memperbaiki
keseimbangan cairan intraseluler dan ekstraseluler yang terganggu akibat fungsi
ginjal yang rusak (Himmelfarb & Ikizler, 2010).

1.2.3 Indikasi Hemodialisa

Hemodialisa pada umumnya diindikasikan untuk pasien dalam keadaan akut yang
memerlukan terapi dialisis jangka pendek atau pasien gagal ginjal tahap akhir yang
memerlukan terapi jangka panjang. Smeltzer et al., (2010) menjelaskan secara umum
hemodialisa dilakukan pada pasien gagal ginjal dengan kondisi:
a. GFR kurang dari 15 ml/menit
b. Hiperkalemia
c. Kegagalan terapi konservatif
d. Kadar ureum lebih dari 200 mg/dl
e. Kreatinin lebih dari 65 mEq/L
f. Kelebihan cairan
g. Anuria berkepanjangan lebih dari lima kali

Menurut Daugirdas, Blake, dan Ing (2007) menjelaskan indikasi dari hemodialisa
kronik adalah pasien GGK dengan GFR <15 ml/menit, tergantung dari gejala klinis,
terdapat gejala uremia meliputi: letargi, anoreksia, mual dan muntah, malnutrisi atau
hilangnya massa otot, hipertensi sulit dikontrol dan cairan berlebih, terdapat
komplikasi metabolik yang refrakter.

Menurut Supeno (2010) menjelaskan indikasi dari terapi hemodialisa meliputi


penyakit dalam, ginekologi, dan indikator kimiawi.
a. Penyakit dalam (medikal)
1) ARF (acute renal failure), hemodialisa dilakukan ketika pengobatan
konvensional gagal mempertahankan fungsi ginjal. ARF juga disebut sebagai
AKI (acute kidney injury) yang merupakan penurunan fungsi ginjal dengan
cepat akibat rendahnya volume darah, paparan racun, dan obstruksi kemih
(pembesaran prostat).
2) CRF (chronic renal failure), diindikasikan ketika pengobatan konvensional
tidak cukup. GGK adalah penurunan fungsi ginjal yang sifatnya progresif dan
tidak reversible (Soeparman dalam Supeno, 2010).
3) Snake bite, diindikasikan karena sebagian besar fungsi organ tubuh
mengalami kegagalan, terutama ginjal akibat dari gigitan ular.
4) Keracunan atau toksik, disebabkan oleh makanan atau minuman yang tidak
sehat seperti minuman beralkohol, makanan yang sangat pedas, dan lain-lain.
5) Malaria falciparum fulminant, sejenis dengan hepatitis yang semula
didiagnosis sebagai gagal hati. Semakin lama penyakit ini akan
mengakibatkan ginjal tidak berfungsi sempurna, sehingga proses pembuangan
racun dan kotoran darah mengalami gangguan.
6) Leptospirosis, disebabkan oleh bakteri Leptospira sp. yang menular melalui
hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis).
b. Ginekologi
1) APH (antepartum hemorrhage), perdarahan prepartum selama masa
kehamilan, perdarahan ini dapat mengakibatkan berat badan janin berkurang
dan membahayakan kondisi ibu dan janin.
2) PPH (postpartum hemorrhage), perdarahan setelah melahirkan.
3) Septic abortion, aborsi yang terjadi dengan infeksi rahim.
c. Indikator biokimiawi
1) Peningkatan BUN (blood urea nitrogen) > 20-30 mg%/hari.
2) Serum kreatinin > 2 mg%/hari.
3) Hiperkalemia, keadaan konsentrasi kalium > 5 mEq/L darah.
4) Kelebihan cairan yang parah.
5) Edema pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis.

1.2.4 Prinsip Kerja Hemodialisa

Terdapat tiga prinsip kerja hemodialisa yaitu difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Difusi
adalah suatu perpindahan zat-zat terlarut (toksik) yang memiliki konsentrasi tinggi
(darah) ke cairan dialisat dengan konsentrasi rendah. Osmosis berarti pergerakan
cairan melalui membran semipermeabel dari tempat berkonsentrasi rendah ke tempat
berkonsentrasi tinggi (osmolaritas). Ultrafiltrasi adalah pergerakan cairan melalui
membran semipermeabel akibat tekanan gradien buatan. Tekanan dapat berupa positif
(didorong) atau negatif (ditarik) (Baradero, Dayrit, & Siswadi, 2009).
Gambar 2.1 Proses Pelaksanaan Teknik Hemodialisa (Sumber: Supeno, 2010)

Gambar 2.2 Proses Terjadinya Hemodialisa (Sumber: Supeno, 2010)

1.2.5 Komplikasi Hemodialisa

Komplikasi hemodialisa berdasarkan Holley, Berns, dan Post (2007) yaitu hipotensi,
sakit kepala (headache), mual, muntah, sindrom disequilibrium, demam, menggigil,
kram otot, emboli, hemolisis, nyeri dada. Komplikasi akut hemodialisa adalah
komplikasi yang terjadi selama proses terapi berlangsung (Rahardjo, Suhardjono, &
Susalit, 2006). Adapun komplikasi hemodialisa menurut Himmelfarb dalam Pranoto
(2010) yaitu:
a. Komplikasi yang sering terjadi
1) Hipotensi, merupakan komplikasi yang sering terjadi dengan insidensinya
mencapai 15-30%. Hal ini disebabkan karena terjadinya penurunan volume
plasma, disfungsi otonom, pelebaran pembuluh darah akibat energi panas, obat
anti hipertensi.
2) Kram otot, komplikasi ini terjadi pada 20% pasien hemodialisa. Akibat dari
idiopatik namun diduga karena adanya kontraksi akut yang dipicu oleh
peningkatan volume ekstraseluler.
b. Komplikasi yang jarang terjadi
1) Dialysis disequilibrium syndrome (DDS), keadaan ini ditandai dengan mual dan
muntah disertai sakit kepala, nyeri dada, sakit punggung. Hal tersebut disebabkan
karena konsentrasi elektrolit dan Ph di sistem saraf pusat mengalami perubahan
yang mendadak.
2) Aritmia dan angina, keadaan ini disebabkan karena konsentrasi potassium
mengalami perubahan, hipotensi, penyakit jantung.
3) Perdarahan, akibat dari trombositopenia karena adanya sindroma uremia, efek
samping penggunaan antikoagulan heparin yang lama dan pemberian anti-
hypertensive agents.
4) Hipertensi, akibat dari cairan berlebih, obat-obat hipotensi, kecemasan meningkat
dan DDS.

1.2.6 Kelebihan dan Kelemahan Hemodialisa

Menurut Rahman, Kaunang, dan Elim (2016) hemodialisa memiliki beberapa


kelebihan dan kelemahan antara lain:

a. Kelebihan
1) Memerlukan bantuan tenaga medis yang profesional untuk melakukan terapi
hemodialisa.
2) Waktu yang dibutuhkan untuk hemodialisa selama empat sampai lima jam dalam
periode dua sampai tiga kali setiap minggu. Hemodialisa dilakukan di rumah
sakit.
3) Menjaga asupan makanan dan minuman.

b. Kelemahan
1) Sering terjadi hipotensi, kram otot, DDS saat terapi berlangsung.

1.3 Peritoneal Dialisis

1.3.1 Pengertian

Peritoneal dialisis adalah salah satu terapi pengganti ginjal untuk membantu
pengobatan gagal ginjal akut maupun GGK, yang menggunakan membran
peritoneum bersifat semipermeabel. Membran peritoneum memfasilitasi proses
filtrasi darah (Sudoyo, Setiyohadi, Simadibrata, & Setiati, 2009). Prinsip kerja dari
membran peritoneum yaitu mengeluarkan cairan berlebih dan larutan termasuk zat-
zat toksik uremia yang tertimbun dalam darah, sehingga masuk ke dialisat yang akan
dikeluarkan dari tubuh (Black & Hawks, 2009).

Gambar 1.3 Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) (Sumber: Supeno, 2010)
1.3.2 Tujuan Peritoneal Dialisis

Tujuan dilakukannya terapi peritoneal dialisis adalah mengeluarkan sisa-sisa


metabolisme dan kelebihan cairan, mempertahankan kondisi pasien yang baik,
mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh, memperbaiki kesehatan
pasien (Munib, 2006).

1.3.3 Indikasi Peritoneal Dialisis

Secara umum indikasi medis peritoneal dialisis adalah untuk pasien anak, lanjut usia,
(> 65 tahun), pasien dengan penyakit kardiovaskuler, pasien yang cenderung
mengalami perdarahan saat hemodialisa, kesulitan pembuatan AV shunting
(arteriovenous shunting), pasien stroke, pasien gagal ginjal terminal, dengan residual
urin cukup, dan pasien nefropatik diabetik (Sukandar, 2006). Indikasi non-medis
yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan terapi
peritoneal dialisis sendiri, dan di daerah yang jauh dari pelayanan rumah sakit
(Suwitra, 2006).

1.3.4 Proses Peritoneal Dialisis

Proses kerja yang terjadi dalam rongga peritoneum yaitu:

a. Difusi
Difusi adalah suatu proses untuk mengeluarkan zat-zat toksik atau sisa-sisa
metabolisme pada peritoneal dialisis. Proses difusi meliputi pertukaran zat
terlarut dari dua larutan yang dipisahkan oleh membran semipermeabel, yaitu
zat terlarut dalam kapiler darah dan cairan dialisat dalam rongga peritoneum
(Rachmadi, 2009).
b. Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi adalah pergerakan zat terlarut dan pelarut akibat adanya perbedaan
tekanan osmotik dan hidrostatik melalui membran semipermeabel. Pada proses
peritoneal dialisis yang paling berperan adalah ultrafiltrasi, akibat perbedaan
tekanan osmotik (Rachmadi, 2009).
Terapi peritoneal dialisis menggunakan rongga peritoneum yang selalu berisi cairan
dialisat yang terdiri dari elektrolit dan dekstrosa. Cairan tersebut perlu diganti secara
periodik ketika konsentrasi dari waste product meningkat. Produk buangan tersebut
berdifusi dari darah pasien melewati membran peritoneum kemudian masuk ke
rongga abdomen. Setelah itu dekstrosa atau gula yang terdapat pada dialisat akan
menarik air melalui proses osmosis dari tubuh ke rongga peritoneum (Sudoyo dkk.,
2009).

Proses penggantian cairan dialisat dilakukan tiga sampai lima kali sehari, pada
umumnya dilakukan empat kali sehari. Proses penggantian ini harus menggunakan
teknik aseptik untuk mencegah terjadinya kontaminasi cairan dialisat. Tube kecil atau
kateter merupakan alat yang digunakan untuk mengakses peritoneum, dimana kateter
tersebut dimasukkan ke dalam rongga abdomen (Vore, 2006).

1.3.5 Komplikasi Peritoneal Dialisis

Komplikasi peritoneal dialisis disebut sebagai gangguan fungsi tubuh akibat


penggunaan peritoneal dialisis. Terdapat dua komplikasi peritoneal dialisis yaitu
komplikasi teknis dan medis (Munib, 2006). Komplikasi teknis merupakan
komplikasi yang tidak serius dan mudah diobati meliputi bocornya cairan dialisat,
sumbatan cairan dialisat, kesalahan letak kateter, dan lain sebagainya (Parsudi,
Siregar & Roesli, dalam Sudoyo, 2006). Sedangkan komplikasi medis meliputi
hipotensi, keluhan gastrointestinal, nyeri sendi, kram, mudah lelah, infeksi kulit
sekitar tempat masuknya kateter, nyeri abdomen, peritonitis (Munib, 2006).

Menurut Oreopoulus dan Khanna dalam Rachmadi (2009) menjelaskan komplikasi


peritoneal dialisis akut yang paling sering terjadi adalah peritonitis. Kejadian tersebut
berbanding lurus dengan lamanya dialisis. Perdarahan intraperitoneal saat
pemasangan kateter biasanya ringan. Komplikasi lainnya berupa perforasi alat
visceral abdomen. Keadaan ini diduga akibat dari bula, tidak ada outflow dialisat, atau
cairan dialisat yang keluar berbau feses. Komplikasi ini dapat dicegah dengan
tindakan pengosongan kandung kemih dan rektum sebelum dilakukan pemasangan
kateter. Nyeri perut dapat terjadi saat dialisat masuk atau keluar. Pada saat cairan
dialisat masuk kemungkinan disebabkan dari dinginnya atau terlalu panasnya atau
inflow yang terlalu cepat. Sedangkan pada saat cairan dialisat keluar disebabkan
karena tertutupnya lumen kateter oleh bekuan darah/fibrin atau letak kateter yang
salah.

1.3.6 Kelebihan dan Kelemahan Peritoneal Dialisis

Menurut Rachmadi (2009) kelebihan dan kelemahan dari peritoneal dialisis adalah:
a. Kelebihan
1) Peritoneal dialisis dapat dilakukan secara mandiri.
2) Prosedur dan tindakannya mudah untuk dilakukan.
3) Waktu fleksibel dan dapat dilakukan dirumah tidak hanya di rumah sakit.
4) Tidak nyeri saat melakukan terapi.
5) Asupan makanan dan minuman tidak terlalu ketat.
6) Dapat beraktivitas (bekerja saat terapi berlangsung).
b. Kelemahan
1) Dapat terjadi peritonitis.
2) Resiko infeksi dari jalan masuknya kateter.

1.4 Kualitas Hidup

1.4.1 Pengertian

Kualitas hidup adalah persepsi seseorang mengenai kehidupannya dalam konteks


nilai-nilai budaya, hubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan, dan
perhatian (Rahman, Kaunang, & Elim, 2016). Kualitas hidup mencakup kesehatan
fisik, status psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, dan hubungan dengan
lingkungan mereka (Joshi, 2014).

Kualitas hidup dapat bersifat subjektivitas maupun multidimensi. Subjektivitas berarti


kualitas hidup yang hanya dapat ditentukan dari sudut pandang pasien, sedangkan
multidimensi berarti kualitas hidup dipandang dari seluruh aspek kehidupan secara
holistik berupa aspek biologis, fisik, psikologis, sosiokultural, dan spiritual (Riyanto,
2014).

2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup dibagi menjadi dua bagian
yaitu bagian pertama adalah sosio demografi meliputi jenis kelamin, usia, suku/etnik,
pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan. Bagian kedua adalah medik berupa
lama menjalani hemodialisa, stadium penyakit, dan terapi yang dijalani (Rahman,
Kaunang, & Elim, 2016).

Menurut WHO (2014) kualitas hidup sangat berhubungan dengan empat dimensi
penilaian meliputi:

a. Dimensi kesehatan fisik terdiri dari nyeri, energi, istirahat, tidur, mobilitas,
aktivitas, pengobatan dan pekerjaan.
b. Dimensi psikologis terdiri dari perasaan positif dan negatif, pemikiran, harga
diri, penampilan, spiritual.
c. Dimensi hubungan sosial terdiri dari hubungan personal, dukungan sosial,
aktivitas seksual.
d. Dimensi lingkungan terdiri dari sumber penghasilan, informasi dan bakat,
rekreasi dan berlibur, lingkungan sekitar, akses kesehatan dan sosial,
lingkungan fisik, transportasi.

1.4.2 Skala Pengukuran

Kualitas hidup secara umum dapat diukur menggunakan 2 jenis instrumen yaitu
instrumen umum (generic scale) dan instrumen khusus (specific scale). Instrumen
umum dipakai untuk mengukur kualitas hidup secara umum pada pasien dengan
penyakit kronik. Instrumen ini digunakan untuk menilai kemampuan fungsional,
ketidakmampuan dan kekhawatiran yang timbul akibat penyakit yang diderita.
Contoh instrumen umum adalah The Sickness Impact Profile (SIP), The Medical
Outcome Study (MOS) 36-Item Short-Form Health Survey (SF-36) (Testa &
Simonson dalam Silitonga, 2007). Instrumen khusus digunakan untuk mengukur
sesuatu yang khusus dari penyakit, populasi tertentu misalnya pada orang tua atau
fungsi emosional. Contohnya yaitu The Washington Psychosocial Seizure Inventory
(WPSI), The Liverpool Group, The Epilepsy Surgery Inventory (ESI-55) (Silitonga,
2007).

Menurut Joshi, Mouppil, dan Lim (2010) Kidney Disease Quality of Life Short Form
(KDQOL-SFtm) versi 1.3 merupakan salah satu contoh skala pengukuran umum.
Skala pengukuran ini digunakan untuk menilai kualitas hidup pasien GGK, yang
terdiri dari 24 pertanyaan terbagi menjadi empat bidang yaitu:

a. Kesehatan pasien
b. Penyakit ginjal pasien
c. Efek penyakit ginjal terhadap hidup pasien
d. Kepuasan terhadap pelayanan

Selain itu menurut Skevington, Lotfy, dan Connel dalam Mardyaningsih (2014),
menjelaskan model konsep kualitas hidup dari WHOQoL-Bref (The World Health
Organization Quality of Life – Bref) merupakan skala pengukuran untuk kualitas
hidup. Instrumen ini terdiri dari dua item pertanyaan yang terdiri dari empat domain,
meliputi:
a. Dimensi kesehatan fisik
b. Dimensi psikologis
c. Dimensi hubungan sosial
d. Dimensi lingkungan
Nyeri, energi, istirahat, tidur, mobilitas,aktivitas, pengobatan, pekerjaan.
Fisik

Perasaan positif, perasaan negatif, pemikiran, harga diri, spiritual, body image.
Psikologis
Kualitas Hidup

Hubungan personal,
dukungansosial,aktivitas seksual. Hubungan sosial

fisik, lingkungan rumah, sumber penghasilan, fasilitas kesehatan, informasi, kesehatan,rekreasi, transportasi.

Lingkungan

Gambar 1.4 Skala Pengukuran WHOQoL-Bref

1.4.3 Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik

Kualitas hidup adalah persepsi seseorang mengenai kehidupannya dalam konteks


nilai-nilai budaya, hubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan, dan
perhatian (Rahman, Kaunang, & Elim, 2016). Pada pasien GGK kualitas hidupnya
dipengaruhi oleh beberapa hal meliputi umur, lamanya menjalani terapi dialisis, dan
penyakit lain yang menyertai pasien GGK (Petrovic, Mitic, Bozic, Vodopives, &
Durevic, 2006). Berdasarkan penelitian Petrovic et al. (2006) tentang kualitas hidup
pasien dengan GGK, didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup
pasien GGK sebelum dan sesudah mendapatkan terapi. Hasil persentase 40% pasien
transplantasi ginjal sebelum mendapatkan terapi dan meningkat menjadi 82,86%
setelah melakukan transplantasi ginjal. Persentase 19% pada pasien hemodialisa yang
sebelum mendapatkan terapi dan meningkat menjadi 57,14% setelah mendapatkan
terapi hemodialisa. Dilihat dari kualitas hidup pasien dengan transplantasi ginjal
memiliki persentase 28,57% dikatakan sangat baik dan 54,28% dinilai baik. Kualitas
hidup pasien hemodialisa 38,09% dinilai sangat baik, sedangkan untuk pasien dengan
terapi konservatif 5% dinilai sangat baik dan 20% dinilai baik.

Berdasarkan penelitian Rahmah (2014) tentang studi komparatif kualitas hidup pasien
GGK yang menjalani terapi CAPD dengan pasien terapi hemodialisa di Banda Aceh
dan Aceh Besar. Hasil penelitian ini yaitu ada perbedaan kualitas hidup pasien GGK
yang menjalani CAPD dan hemodialisa dengan p value 0,001. Dilihat dari kesehatan
fisik p value 0,226 yang menunjukkan tidak ada perbedaan antara pasien CAPD
dengan hemodialisa. Kesehatan psikologis dilihat ada perbedaan dengan p value
0,024. Hubungan sosial dengan p value 0,000 yang menunjukkan ada perbedaan dan
lingkungan dengan p value 0,040 menunjukkan ada perbedaan.

1.4.4 Hubungan Hemodialisa Dengan Kualitas Hidup

Hemodialisa sangat berdampak pada kualitas hidup pasien GGK. Hal ini dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya karakteristik individu, pengalaman pasien dan
mekanisme koping (Mardyaningsih, 2014). Keempat dimensi kualitas hidup
mempunyai pengaruh tersendiri terhadap kualitas hidup yaitu:
a. Dimensi fisik
Dimensi fisik mengacu pada perubahan fisik pasien GGK seperti kelemahan
yang dirasakan oleh pasien. Kelemahan berhubungan dengan gangguan pada
kondisi fisik, termasuk malnutrisi, anemia, dan uremia. Selain itu kelemahan
fisik dapat menurunkan motivasi dan menimbulkan gejala gangguan tidur,
penurunan kesehatan fisik, dan depresi yang dapat mempengaruhi kualitas hidup
pasien (Farida, 2014).
b. Dimensi psikologis
Secara umum respon psikologis pada pasien GGK sering berhubungan dengan
kerugian, baik aktual maupun potensial dan disebut dengan proses kesedihan
(Mardyaningsih, 2014). Depresi merupakan salah satu respon psikologis yang
paling umum, dan sangat berhubungan dengan kualitas hidup yang rendah yang
berhubungan dengan kesehatan. Selain itu respon marah dan penolakan sering
dilakukan untuk melindungi diri sehingga hal ini memiliki efek negatif yang
dapat menyebabkan penurunan kepatuhan pasien terhadap rejimen pengobatan
dan berkurangnya komunikasi yang efektif antara pasien dengan tim kesehatan
(Farida, 2010).
c. Dimensi hubungan sosial
Pasien hemodialisa mengalami gangguan sosial berupa gangguan seksual. Hal
tersebut terjadi pada pasien GGK tahap akhir dengan hemodialisa. Pada
umumnya pasien GGK mendapatkan terapi antidepresan, sehingga berefek
menurunkan libido dan orgasme terganggu, menurunkan ereksi dan ejakulasi.
Hal tersebut berpengaruh pada kualitas hidup pasien GGK (Diaz, Ferrer, &
Cascales, 2006).
d. Dimensi lingkungan
Berdasarkan penelitian Chang (2010) mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi kemampuan dalam melakukan koping pada pasien yang
menjalani hemodialisa. Hasil penelitian mengatakan masalah ekonomi dan
ketidakmampuan menghasilkan uang adalah penyebab utama dari stres.

Berdasarkan penelitian Supriyadi, Wagiyo, dan Widowati (2010) pada pasien GGK
mengenai kualitas hidup dengan jumlah sampel 30 responden dan menggunakan
desain eksperimen semu melalui pendekatan one group pre-post test design. Hasil
penelitian ini yaitu terdapat perbedaan kualitas hidup pasien GGK sebelum dan
sesudah menjalani terapi hemodialisa dengan nilai p= 0,0001 pada dimensi fisik, p=
0,001 pada dimensi psikologis, sosial, dan lingkungan.

Berdasarkan penelitian Aroem, Maliya, dan Ambarwati (2015) pada pasien GGK
dengan terapi hemodialisa mengenai kualitas hidup dengan jumlah 30 responden dan
menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif dan pendekatan cross sectional.
Hasil penelitian ini yaitu sebagian besar pasien GGK dengan hemodialisa memiliki
kecemasan ringan yaitu 50,0%, kecemasan sedang 36,7% dan kecemasan berat
13,3%. Dinilai dari kualitas hidup sebagian besar dinilai baik dengan persentase
56,7%, kualitas hidup buruk yaitu 43,3%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan
bahwa gambaran kecemasan dan kualitas hidup pada pasien dengan hemodialisa
mengalami kecemasan ringan dan berada pada kualitas hidup baik.

Berdasarkan penelitian Puspita, Anita, dan Syaifudin (2015) pada pasien GGK
mengenai kualitas hidup dengan jumlah sampel 60 responden dan menggunakan
metode deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa sebagian besar responden masuk dalam kategori hemodialisa
yang lama (>24 bulan) sebanyak 68,3%. Dinilai dari kualitas hidup sebagian besar
memiliki kualitas hidup sedang dengan persentase 75%.

1.4.5 Hubungan Peritoneal Dialisis Dengan Kualitas Hidup

Berdasarkan hasil penelitian Putri, Sembiring & Bebasari (2014) mengenai gambaran
kualitas hidup pasien GGK yang menjalani terapi CAPD di RSUD Arifin Achmad.
Hasil penelitian didapatkan kualitas hidup pasien GGK yang menjalani peritoneal
dialisis adalah baik, dimana hasil dari kuesioner KDQOL-SF didapatkan sebanyak
76,59% baik dan 23,40% buruk.

Karakteristik seseorang sangat berpengaruh terhadap kualitas hidupnya. Karakteristik


tersebut dapat dilihat dari sudut pandang misalnya usia. Usia memiliki hubungan
terhadap kualitas hidup seseorang. Saat memasuki usia tua kualitas hidup seseorang
menjadi lebih baik, karena individu tersebut telah memiliki cara dan pengalaman
untuk mengarahkan dan mengevaluasi dirinya kearah yang lebih baik (Nofitri, 2009).
Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian bahwa kelompok usia 45-64 tahun
memiliki kualitas hidup baik sebanyak 82,60% (Putri, Sembiring & Bebasari, 2014).

Berdasarkan penelitian Rahmalita (2013) pada pasien GGK mengenai kualitas hidup
pasien CAPD dengan jumlah sampel 30 orang dan menggunakan desain penelitian
deskriptif eksploratif dengan pendekatan cross sectional study. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa kualitas hidup pasien CAPD dinilai baik dengan persentase
53,3%. Nilai tersebut dilihat dari status fungsi (perawatan diri) baik 66,7%,
kesejahteraan psikologi dinilai baik 53,3%, status sosial dan keluarga dinilai baik
60%, dan kesejahteraan spiritual dinilai baik dengan persentase 56,7%.

Anda mungkin juga menyukai