Anda di halaman 1dari 18

Berdasarkan geologi, terjadinya bumi sampai sekarang dibagi ke dalam empat zaman.

Zaman-zaman
tersebut merupakan periodisasi atau pembabakan prasejarah yang terdiri dari :

ARKAEKUM / zaman tertua

Zaman ini berlangsung kira-kira 2500 juta tahun, pada saat itu kulit bumi masih panas, sehingga tidak
ada kehidupan. Dari penjelasan ini tentu Anda ingin bertanya kapan muncul kehidupan? Untuk itu simak
uraian berikutnya.

PALEOZOIKUM / zaman primer atau zaman hidup tua

Zaman ini berlangsung 340 juta tahun. Makhluk hidup yang muncul pada zaman ini seperti mikro
organisme, ikan, ampibi, reptil dan binatang yang tidak bertulang punggung. Untuk lebih mengenal
bintang-binatang tersebut amatilah gambar berikut ini.

Dengan berakhirnya zaman primer, maka kehidupan terus berkembang sehingga memasuki zaman baru.
Untuk lebih jelasnya Anda dapat menyimak kembali gambar berikut ini.

MESOZOIKUM/zaman sekunder atau zaman hidup pertengahan

Zaman ini berlangsung kira-kira 140 juta tahun. Pada zaman pertengahan ijenis reptil mencapai tingkat
yang terbesar seperti gambar 5 sehingga pada zaman ini sering disebut juga dengan zaman reptil.
Setelah berakhirnya zaman sekunder ini, maka muncul kehidupan yang lain yaitu jenis burung dan
binatang menyusui yang masih rendah sekali tingkatannya. Sedangkan jenis reptilnya mengalami
kepunahan. Selanjutnya berlangsunglah zaman hidup baru seperti yang diuraikan pada materi berikut
ini.

NEOZOIKUM / zaman hidup baru

Zaman ini dibedakan menjadi 2 zaman, yaitu:

Tersier / zaman ketiga

Zaman ini berlangsung sekitar 60 juta tahun. Yang terpenting dari zaman ini ditandai dengan
berkembangnya jenis binatang menyusui seperti jenis primat, contohnya kera.

Kuartier/zaman keempat

Zaman ini ditandai dengan adanya kehidupan manusia sehingga merupakan zaman terpenting. Dan
zaman ini dibagi lagi menjadi dua zaman yaitu yang disebut dengan zaman Pleistocen dan Holocen.

Untuk memahami zaman tersebut, maka Anda dapat menyimak pada uraian berikut ini:

Ø  Zaman Pleitocen/Dilluvium berlangsung kira-kira 600.000 tahun yang ditandai dengan adanya
manusia purba.
Ø  Zaman Holocen/Alluvium berlangsung kira-kira 20.000 tahun yang lalu dan terus berkembang sampai
dewasa ini. Pada zaman ini ditandai dengan munculnya manusia jenis Homo Sapiens yang memiliki ciri-
ciri seperti manusia sekarang.

MASA
PERUNDAGIAN

Masa perundagian Zaman perundagian adalah zaman di mana manusia sudah mengenal pengolahan
logam. Hasil-hasil kebudayaan yang dihasilkan terbuat dari bahan logam. Adanya penggunaan logam,
tidaklah berarti hilangnya penggunaan barang-barang dari batu. Pada masa perundagian, manusia masih
juga menggunakan barang-barang yang berasal dari batu.

Penggunaan bahan dari logam tidak begitu tersebar luas sebagaimana halnya bahan dari batu.
Persediaan logam sangat terbatas. Hanya orangorang tertentu yang memiliki barang-barang dari logam.
Kemungkinan hanya orang-orang yang mampu membeli bahan-bahan tersebut. Keterbatasan
persediaan tersebut memungkinkan barang-barang dari logam diperjualbelikan. Adanya perdagangan
tersebut dapat diperkirakan bahwa manusia pada zaman perundagian telah mengadakan hubungan
dengan luar.

Sistem sosial-ekonomi

Masyarakat pada masa perundagian diperkirakan sudah mengenal pembagian kerja. Hal ini dapat dilihat
dari pengerjaan barang-barang dari logam. Pengerjaan barang-barang dari logam membutuhkan suatu
keahlian, tidak semua orang dapat mengerjakan pekerjaan ini. Selain itu, ada orang-orang tertentu yang
memiliki benda-benda dari logam. Dengan demikian pada masa perundagian sudah terjadi pelapisan
sosial.Bahkan bukan hanya pembuat dan pemilik, tetapi adanya pedagang yang memperjualbelikan
logam. Pada masa perundagian kehidupan sosialnya sudah mengenal system kemasyarakatan yang
sudah teratur. Masyarakat hidup diikat oleh normanorma dan nilai. Norma-norma dan nilai-nilai ini
diciptakan oleh mereka sendiri, disepakati dan dijadikan pegangan dalam menjalan kehidupannya.
Sebagaimana layaknya dalam suatu sistem kemasyarakatan, pada masa ini sudah ada pemimpin dan ada
masyarakat yang dipimpin. Struktur ini dikatakan ada kalau dilihat dari penemuan alat-alat untuk
penguburan. Kuburan-kuburan yang ada terdapat kuburan yang diiringi dengan berbagai bekal bagi
mayat. Model kuburan ini diperkirakan hanya untuk para pemimpin. Sistem mata pencaharian pada
masa perundagian sudah mengalami kemajuan. Keterikatan terhadap bahan-bahan makanan yang
disediakan oleh alam mulai berkurang. Mereka mampu mengolah sumber-sumber daya yang ada di
alam untuk dijadikan bahan makanan. Cara bertani berhuma sudah mulai berubah menjadi bertani
dengan bersawah. Ada perbedaan dalam cara bertani berhuma dengan bersawah. Dalam bertani
berhuma ada kebiasaan meninggalkan tempat olahannya, apabila tanahnya sudah tidak subur, jadi
hidup mereka pun tidak menetap secara permanen. Sedangkan dalam bertani bersawah tidak lagi
berpindah, mereka tinggal secara permanen. Hal ini dikarenakan pengolahan tanah pertanian sudah
menggunakan pupuk yang membantu kesuburan tanah. Dengan demikian masyarakat tidak akan
meninggalkan lahan garapannya. Bukti adanya kehidupan bersawah yaitu dengan ditemukannya alat-
alat pertanian dari logam, seperti bajak, pisau, dan alat-alat yang lainnya.

Benda-benda yang dihasilkan

Benda-benda yang dihasilkan pada zaman perundagian mengalami kemajuan dalam hal teknik
pembuatan. Teknik pembuatan barang dari logam yang utama adalah melebur, yang kemudian dicetak
sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Ada dua teknik pencetakan logam yaitu bivolve dan a cire
perdue. Teknik bivolve dilakukan dengan cara menggunakan cetakan-cetakan batu yang dapat
dipergunakan berulang kali. Cetakan terdiri dari dua bagian (kadang-kadang lebih, khususnya untuk
benda-benda besar) diikat. Ke dalam rongga cetakan itu dituangkan perunggu cair. Kemudian cetakan
itu dibuka setelah logamnya mengering. Teknik a cire perdue dikenal pula dengan istilah cetak lilin. Cara
yang dilakukan yaitu dengan membuat cetakan model benda dari lilin. Cetakan tersebut kemudian
dibungkus dengan tanah liat. Setelah itu tanah liat yang berisi lilin itu dibakar. Lilin akan mencair dan
keluar dari lubang yang telah dibuat. Maka terjadilah benda tanah liat bakar yang berongga. Bentuk
rongga itu sama dengan bentuk lilin yang telah cair. Setelah cairan logam dingin, cetakan tanah liat
dipecah dan terlihatlah cairan logam yang telah membeku membentuk suatu barang sesuai dengan
rongga yang ada dalam tanah liat.

Pada masa perundagian dihasilkan benda-benda yang terbuat dari perunggu, yaitu sebagai berikut.

Bejana. Bentuk bejana perunggu seperti gitar Spanyol tetapi tanpa tangkainya. Pola hiasan benda ini
berupa pola hias anyaman dan huruf L.Bejana ditemukan di daerah Madura dan Sumatera.Nekara.
Nekara ialah semacam berumbung dari perunggu yang berpinggang di bagian tengahnya dan sisi
atapnya tertutup. Pada nekara terdapat pola hias yang beraneka ragam. Pola hias yang dibuat yaitu pola
binatang, geometrik, gambar burung, gambar gajah, gambar ikan laut, gambar kijang, gambar harimau,
dan gambar manusia. Dengan hiasan yang demikian beragam, maka nekara memiliki nilai seni yang
cukup tinggi. Beberapa tempat ditemukannya nekara yaitu Bali, Sumatra, Sumbawa, Roti, Leti, Selayar,
Alor, dan Kepulauan Kei. Di Bali ditemukan nekara yang bentuknya besar dan masyarakat di sana
mempercayai bahwa benda itu jatuh dari langit.Nekara tersebut disimpan di sebuah pura (kuil) di desa
Intaran daerah Pejeng. Puranya diberi nama Pura Panataran Sasih (bulan). Di Alor banyak ditemukan
nekara dengan bentuk kecil tapi memanjang. Nekara ini disebut moko. Hiasan-hiasan yang ada pada
nekara di Alor ini bergambar, bentuk hiasannya ada yang merupakan hiasan jaman Majapahit.
Hubungan antarwilayah di Indonesia diperkirakan sudah terjadi pada masa perundagian dengan
ditemukannya nekara. Hal ini dapat dilihat dari Nekara yang berasal dari Selayar dan Kepulauan Kei
dihiasi gambar-gambar gajah, merak, dan harimau. Sedangkan binatang yang tercantum pada nekara
tersebut tidak ada di di daerah itu. Hal ini menunjukkan bahwa nekara berasal dari daerah Indonesia
bagian barat atau dari benua Asia. Hal yang menarik lagi ditemukannya nekara di Sangean. Nekara yang
ditemukan di daerah ini bergambar orang menunggang kuda beserta pengiringnya yang memakai
pakaian orang Tartar. Dengan adanya gambar tersebut menunjukkan terjadi hubungan bangsa Indonesia
pada saat itu dengan Cina. Jadi, hubungan antara Indonesia dengan Cina sudah ada sejak zaman
perunggu. .Kapak corong. Kapak ini disebut kapak corong karena bagian atasnya berbentuk corong yang
sembirnya belah. Benda ini terbuat dari logam. Ke dalam corong itu dimasukkan tangkai kayunya yang
menyiku pada bidang kapak. Kapak tersebut disebut juga kapak sepatu, karena hampir mirip dengan
sepatu bentuknya. Ukuran kapak kecil itu beragam, ada yang kecil dan sangat sederhana, besar
memakai hiasan, pendek besar, bulat, dan panjang sisinya. Ada kapak corong yang satu sisinya disebut
candrasa. Tempat ditemukannya kapak tersebut yaitu di Sumatra Selatan, Bali, Sulawesi Tengah dan
Selatan, pulau Selayar, dan Irian dekat danau Sentani. Kapak yang beragam bentuknya tersebut, tidak
semua digunakan sebagaimana layaknya kegunaan kapak sebagai alat bantu yang fungsional. Selain itu,
kapak juga digunakan sebagai barang seni dan alat upacara, seperti candrasa. Di Yogyakarta, ditemukan
candrasa yang dekat tangkainya terdapat hiasan gambar seekor burung terbang sambil memegang
candrasa.Perhiasan. Manusia pada perundagian sudah memiliki apresiasi yang cukup terhadap seni. Hal
ini dibuktikan ditemukannya berbagai hiasan. Hiasan yang ditemukan berupa gelang tangan, gelang kaki,
cincin, kalung, dan bandul kalung. Bendabenda tersebut ada yang diberi pola hias dan ada yang tidak.
Benda yang diberi pola hias seperti cincin atau gelang yang diberi pola hias geometrik. Ditemukan pula
cicin yang berfungsi bukan untuk perhiasan, tetapi sebagai alat tukar. Cincin yang seperti ini ukurannya
sangat kecil bahkan tidak bisa dimasukkan ke dalam jari anak. Tempat-tempat ditemukannya benda-
benda tersebut antara lain Bogor, Malang, dan Bali. Perhiasan-perhiasan lainnya yang ditemukan pada
masa perundagian yaitu manik-manik. Pada masa prasejarah manik-manik banyak digunakan untuk
upacara, bekal orang yang meninggal (disimpan dalam kuburan), dan alat tukar. Pada masa
perundagian, bentuk manik-manik mengalami perkembangan. Pada zaman prasejarah lebih banyak
terbuat dari batu, sedangkan pada masa ini sudah dibuat dari kulit kerang, batu akik, kaca, dan tanah-
tanah yang dibakar. Manik-manik memiliki bentuk yang beragam, ada yang berbentuk silindris, bulat,
segi enam, oval, dan sebagainya. Di Indonesia beberapa daerah yang merupakan tempat ditemukannya
manik-manik antara lain Bogor, Sangiran, Pasemah, Gilimanuk, dan Besuki.Perunggu. Pada masa
perundagian dihasilkan pula arca-arca yang terbuat dari logam perunggu. Dalam pembuatan arca ini
dilakukan pula dengan menuangkan cairan logam. Patung yang dibuat berbentuk beragam, ada yang
berbentuk manusia dan binatang. Posisi manusia dalam bentuk arca itu ada yang sedang menari, berdiri,
naik kuda dan sedang memegang panah. Arca binatang itu ada yang berupa arca kerbau yang sedang
berbaring, kuda sedang berdiri, dan kuda dengan pelana. Tempat ditemukan arca-arca tersebut yaitu di
Bangkinang (Provinsi Riau), Lumajang, Palembang, dan Bogor.

Sistem kepercayaan
Pada masa perundagian memiliki sistem kepercayaan yang tidak jauh berbeda dengan masa
sebelumnya. Praktek kepercayaan yang mereka lakukan masih berupa pemujaan terhadap leluhur. Hal
yang membedakannya adalah alat yang digunakan untuk praktek kepercayaan. Pada masa perundagian,
benda-benda yang digunakan untuk praktek kepercayaan biasanya terbuat dari bahan perunggu. Sistem
kepercayaan yang dilakukan oleh manusia pada zaman perundagian masih memelihara hubungan
dengan orang yang meninggal. Pada masa ini, praktek penguburan menunjukkan stratifikasi sosial
antara orang yang terpandang dengan rakyat biasa. Kuburan orang-orang terpandang selalu dibekali
dengan barang-barang yang mewah dan upacara yang dilakukan dengan cara diarak oleh orang banyak.
Sebaliknya, apabila yang meninggal orang biasa, upacaranya sederhana dan kuburan mereka tanpa
dibekali dengan barang-barang mewah. Upacara sebagai bentuk ritual kepercayaan mengalami
perkembangan. Mereka melakukan upacara tidak hanya berkaitan dengan leluhur, akan tetapi berkaitan
dengan mata pencaharian hidup yang mereka lakukan. Misalnya ada upacara khusus yang dilakukan
oleh masyarakat pantai khususnya para nelayan. Upacara yang dilakukan oleh masyarakat pantai ini,
yaitu penyembahan kekuatan yang dianggap sebagai penguasa pantai. Penguasa inilah yang mereka
anggap memberikan kemakmuran kehidupannya. Sedang di daerah pedalaman atau pertanian ada
upacara persembahan kepada kekuatan yang dianggap sebagai pemberi berkah terhadap hasil
pertanian.[gs]

Saluran-saluran Penyebaran Islam di Indonesia

Beny Andrean

Sejarah Indonesia

Proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Islam ke Indonesia pada umumnya berjalan
dengan damai, karena itu mendapat sambutan baik dari masyarakat baik kalangan Raja, Bangsawan,
maupun Rakyat biasa, hal itu didukung faktor-faktor berikut

Syarat memeluk Islam sangat mudah : cukup dengan mengucapkan kalimat Syahadat,Tata cara
peribbadatan Islam sederhana,Islam tidak mengenal pelapisan sosial seperti pada Agama Hindu. 

PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA

Penyebaran Islam yang berlangsung damai itu dapat terlihat pada cara-cara penyebarannya, yaitu
antaralain; 

1. Saluran Perdagangan 

    Perdagangan merupakan metode penyebaran Islam yang paling kentara, bahkan dapat dikatakan
sebagai saluran pertama dan utama penyebaran wal Islam. Menurut Thome Pires,

sekitar Abad ke-7 sampai Abad ke-16 lalu lintas perdagangan yang melalui Indonesia sangat ramai.
Dalam hal ini pedagang Nusantara dan pedagang Asing (Islam) dari Gujarat dan Timur Tengah (Arab dan
Persia)  bertemu salaing bertukar pengaruh.
   Sebagian dari para pedagang ini tinggal di dekat pantai, yang disebut Pekojan. Lama-lama jumlah
mereka semakin banyak, demikinan juga pengaruh Islam di tempat tinggal nya ?

2. Saluran Perkawinan

   Saluran penyebaran Islam selanjutnya adalah melalui Perkawinan.  Pedagang-pedagang itu dan dan
keluarganya dengan orang peribumi, Putra-putri para bangsawan (Adipati), dan bahkann dengan
anggota keluarga kerajaan. Hal ini berdampak Positif terhadap perkembangan Islam: (keluarga)
pedagang atau Ulama itu mensyaratkan perempuan idamannya untuk mengucapkan
kalimat Syahadat terlebih dahulu.

3. Saluran Pendidikan

    Perkembangan Islam yang sangat luas mendorong munculnya para Ulama dan Mubalig. Para Ulama
dan Mubalig menyebarkan Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-pondok pesantren di
berbagai daerah.

4. Saluran Ajaran Tasawuf

    Tasawuf adalah ajaraan ketuhanan yang telah bercampur dengan mistik atau hal-hal yang bersifat
magis. Ahli-ahli Tasawuf biasanya memiliki kekuatan magis dan keahlian dalam bidang pengobatan.

Kata "tasawuf" sendiri biasanya berasal di kata  "sufi" yang berarti Kain Wol yang terbuat dari bulu
Domba. Ajaran Tasawuf ini masuk ke indonesia sekitar Abad ke-13, tetapi baru berkembang Pesat
sekitar Abad ke-17.

5. Saluran Dakwah

    Penyebaran Islam tidak dapat di lepaskan dari peranan para Wali. Ada Sembilan wali yang
menyebarkan Islam dengan cara berdakwah, yang di sebut juga Walisongo. mereka di kenal telah
memiliki Ilmu serta penghayatan yang tinggi terhadap Agama Islam. berikut WaliSongo;

Maulana Malik Ibrahim Sunan Gunung JatiSunan AmpelSunan GiriSunan BonangSunan KudusSunan


KalijagaSunan MuriSunan Drajad 6. Saluran Kesenian

    Agama Islam juga di sebarkan melalui Kesenian. Beberapa bentuknya telah di sebutkan, seperti
wayang (oleh Sunan Kalijaga), Gamelan (oleh sunan Drajad) serta Ganding (lagu-lagu) yang berisi Syair-
sayair nasehat dan Dasar - dasar Islam. Kesenian yang telah berkembang sebelumnya tidak musnah,
tetapi diperkaya oleh seni Islam Lagu-Lagu (disebut Akulturasi). Seni Sastra juga berkembang pesat:
Banyak buku tentang Tasawuf, Hikayat dan babat disadur kedalam bahasa Melayu.

SALURQN PENYRBARAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA 

1. Teori Gujarat adalah teori yang menyatakan bahwa Islam masuk di Indonesia berasal dari Gujarat,
India. Teori ini pertama kali dicetuskan oleh dua orang sejarawan berkebangsaan Belanda, Snouck
Hurgronje dan J.Pijnapel. Menurut mereka, Islam masuk ke Indonesia sejak awal abad ke 13 Masehi
bersama dengan hubungan dagang yang terjalin antara masyarakat Nusantara dengan para pedagang
Gujarat yang datang.

Teori masuknya Islam di Indonesia yang dicetuskan Hurgronje dan Pijnapel ini didukung oleh beberapa
bukti, di antaranya batu nisan Sultan Samudera Pasai Malik As-Saleh tahun 1297 yang bercorak khas
Islam Gujarat, catatan Marcopolo, serta adanya warna tasawuf pada aliran Islam yang berkembang di
Indonesia.

Selain memiliki bukti, teori ini juga mempunyai kelemahan. Kelemahan teori Gujarat ditunjukan pada 2
sangkalan. Pertama, masyarakat Samudra Pasai menganut mazhab Syafii, sementara masyarakat Gujarat
lebih banyak menganut mazhab Hanafi. Kedua, saat islamisasi Samudra Pasai, Gujarat masih merupakan
Kerajaan Hindu.

2. Teori PersiaUmar Amir Husen dan Hoesein Djajadiningrat sebagai pencetus sekaligus pendukung teori
Persia menyatakan bahwa Islam yang masuk di Indonesia pada abad ke 7 Masehi adalah Islam yang
dibawa kaum Syiah, Persia.

Teori ini didukung adanya beberapa bukti pembenaran di antaranya kesamaan budaya Islam Persia dan
Islam Nusantara (seperti adanya peringatan Asyura dan peringatan Tabut), kesamaan ajaran Sufi,
penggunaan istilah persia untuk mengeja huruf Arab, kesamaan seni kaligrafi pada beberapa batu nisan,
serta bukti maraknya aliran Islam Syiah khas Iran pada awal masuknya Islam di Indonesia.

Dengan banyaknya bukti pendukung yang dimiliki, teori ini sempat diterima sebagai teori masuknya
Islam di Indonesia yang paling benar oleh sebagian ahli sejarah. Akan tetapi, setelah ditelisik, ternyata
teori ini juga memiliki kelemahan. Bila dikatakan bahwa Islam masuk pada abad ke 7, maka kekuasaan
Islam di Timur Tengah masih dalam genggaman Khalifah Umayyah yang berada di Damaskus, Baghdad,
Mekkah, dan Madinah. Jadi tidak memungkinkan bagi ulama Persia untuk menyokong penyebaran Islam
secara besar-besaran ke Nusantara.

3. Teori Arab atau Teori MakkahTeori Arab atau Teori Makkah menyatakan bahwa proses masuknya
Islam di Indonesia berlangsung saat abad ke 7 Masehi. Islam dibawa para musafir Arab yang memiliki
semangat untuk menyebarkan Islam ke seluruh belahan dunia. Tokoh yang mendukung teori ini
adalah Van Leur, Anthony H. Johns, T.W Arnold, dan Buya Hamka.

Teori masuknya Islam di Indonesia ini didukung beberapa 3 bukti utama. Pertama, pada abad ke 7
Masehi, di Pantai Timur Sumatera memang telah terdapat perkampungan Islam khas dinasti Ummayyah,
Arab. Lalu, madzhab yang populer kala itu khususnya di Samudera Passai adalah madzhab Syafii yang
juga populer di Arab dan Mesir. Dan yang ketiga, adanya penggunaan gelar Al Malik pada raja-raja
Samudera Pasai yang hanya lazim ditemui pada budaya Islam di Mesir.

Hingga kini, teori Arab dianggap sebagai teori yang paling kuat. Kelemahannya hanya terletak pada
kurangnya fakta dan bukti yang menjelaskan peran Bangsa Arab dalam proses penyebaran Islam di
Indonesia.
4. Teori ChinaTeori China yang dicetuskan oleh  Slamet Mulyana dan Sumanto Al Qurtuby baru baru ini
menyebutkan bahwa, Islam masuk ke Indonesia karena dibawa perantau Muslim China yang datang ke
Nusantara.

Teori ini didasari pada beberapa bukti yaitu fakta adanya perpindahan orang-orang muslim China dari
Canton ke Asia Tenggara, khususnya Palembang pada abad ke 879 M; adanya masjid tua beraksitektur
China di Jawa; raja pertama Demak yang berasal dari keturunan China (Raden Patah); gelar raja-raja
demak yang ditulis menggunakan istilah China; serta catatan China yang menyatakan bahwa pelabuhan-
pelabuhan di Nusantara pertama kali diduduki oleh para pedagang China.

5. Teori MaritimTeori Maritim pertama kali dicetuskan sejarawan asal Pakistan, N.A. Baloch. Teori ini
menyatakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari kemampuan umat Islam
dalam menjelajah samudera. Tidak dijelaskan darimana asal Islam yang berkembang di Indonesia, yang
jelas menurut teori ini, masuknya Islam di Indonesia terjadi di sekitar abad ke 7 Masehi.

Apa saja dampak positif tanam paksa bagi Indonesia? Berikut ini 4 dampak positifnya, meliputi :

Rakyat mengenal sistem uang dalam kegiatan perdagangan, karena sebelumnya menggunakan sistem
tradisional, seperti barter.Jaringan jalan raya menjadi sangat luas, karena pemerintah Hindia Belanda
membangun jalan demi kepentingan tanam paksa.Rakyat mulai mengenal teknologi-teknologi yang
digunakan dalam pengolahan pertanian.Selain teknologi, rakyat juga mengenal jenis-jenis tanaman baru
yang laku di pasar perdagangan internasional, seperti : tebu, kopi dan lada.

Pada masa penjajahan Belanda, koloni Hindia Belanda (nama Indonesia saat itu) diperintah oleh seorang
Gbernur Jenderal yang berkedudukan di Batavia. Wilayah di daerah dibagi menjadi beberapa wilayah
administratif.

Wilayah tingkat pertama adalah provinsi yang dipimpin oleh seorang gubernur.

Di bawah gubernur adalah beberapa Karesidenan (Gewest atau Residentie) yang dipimpin oleh seorang
Residen.

Misalnya, provinsi Jawa Timur dibagi menjadi karesidenan seperti karesidenan Kediri, Madura, Besuki
dan Bojonegoro.Jabatan gubernur dan residen dijabat oleh orang Belanda, dan tidak boleh dijabat oleh
orang pribumi.

 
Seorang Residen yang memimpin karesidenan membawahi beberapa “kabupaten” dan afdeling.

Kabupaten (regentschaap) dipimpin oleh seorang bupati (regent) yang umumnya berasal dari kalangan
bangsawan atau priyayi dari kalangan pribumi. Sementara afdeling dipimpin oleh Asisten Rasiden yang
merupakan orang Belanda.

Dibawah kabupaten terdapan beberapa “kawedanan” yang dipimpin oleh seorang Wedana (pembantu
bupati). Kemudian dibawah kawedanan terdapat “kecamatan” yang dipimpin oleh camat. Di bawah
camat adalah struktur pemerintahan paling rendah yaitu “Desa” yang dipimpin kepala desa.

Jabatan yang boleh diisi oleh kalangan pribumi hanya jabatan Bupati ke bawah (wedana, camat dan
kepala desa). Itupun umumnya hanya kalangan bangsawan (priyayi) yang bisa menjabat.

Simak lebih lanjut di Brainly.co.id - https://brainly.co.id/tugas/2772628#readmore

Hak erfpachtSunting

Isu terpenting dalam UU Agraria 1870 adalah pemberian hak erfpacht, semacam Hak Guna Usaha, yang
memungkinkan seseorang menyewa tanah telantar yang telah menjadi milik negara yang selama
maksimum 75 tahun sesuai kewenangan yang diberikan hak eigendom (kepemilikan), selain dapat
mewariskannya dan menjadikan agunan.

Ada tiga jenis hak erfpacht[1]:

Hak untuk perkebunan dan pertanian besar, maksimum 500 bahu dengan harga sewa maksimum
lima florint per bahu;Hak untuk perkebunan dan pertanian kecil bagi orang Eropa "miskin" atau
perkumpulan sosial di Hindia Belanda, maksimum 25 bahu dengan harga sewa satu florint per bahu
(tetapi pada tahun 1908 diperluas menjadi maksimum 500 bahu);Hak untuk rumah tetirah dan
pekarangannya (estate) seluas maksimum 50 bahu.

Berlakunya Kebijakan Ekonomi Liberal di Hindia Belanda


            Periode tahun 1860-1870 menjadi masa kemenangan bagi Kaum Liberal di parlemen Belanda.
Salah satu tokohnya berhasil menjadi Menteri Koloni, yaitu Van de Putte. Dengan direbutnya jabatan
tersebut dari kaum Konservatif, maka komando atas negara jajahan berada dalam genggaman kaum
Liberal, sehingga keinginan untuk liberalisasi Hindia Belanda mudah dilaksanakan. Langkah yang diambil
oleh Van de Putte berkaitan dengan liberalisasi Hindia Belanda adalah memberlakukan Ontewrp
Cultuurwet (hukum kultur). Namun usulan ini mendapatkan kecaman dari kaum Konservatif dan dari
partainya sendiri, karena Putte memberikan kepada pemodal maupun petani hak penuh dan kebebasan
atas tanah mereka[1]. Pemberian hak penuh dan kebebasan terhadap tanah akan merusak pranata-
pranata rakya Jawa dengan banyaknya tanah komunal (tanah yang dimiliki bersama atau tanah adat)
beralih menjadi hak milik pribadi karena keinginan rakyat untuk mendapatkan keuntungan. Keadaan ini
menyebabkan Van de Putte mengundurkan diri dan diganti oleh Meijer dari partai Konservatif[2].

            Namun, kemunduran kaum Liberal dalam parlemen yang ditandai oleh mundurnya Putte bukan
berarti semangat perubahan dan liberalisme berhenti. Meskipun kontrol negara koloni berada di tangan
kaum Konservatif, namun semangat perbaikan dan perubahan nasib rakyat koloni tetap berjalan.
Tujuan-tujuan kaum Liberal terus maju bahkan dibawah kepemimpinan musuh-musuhnya (Konservatif)
[3].

            Ditariknya kebijakan Ontwerp Cultuurwet menyebabkan rakyat menuduh anggota parlemen dari


Kaum Konservatif tidak bersungguh-sungguh melaksanakan liberalisasi di Hindia Belanda. Untuk
meredam gejolak politik  tersebut parlemen mengirimkan tim untuk melakukan survey mengenai sistem
kepemilikan tanah di Hindia Belanda yang diperintahkan dan dicantumkan dalam Pengumuman Raja
1866 kepada Gubernur Jenderal Hindia Timur Belanda. Pelaksanaan survey tersebut dilakukan pada
tahun 1876 dengan keluarnya Dekrit Pemerintah Hindia Timur no. 2 dan 34 tahun 1876. Survey tersebut
dilakukan terhadap 808 desa yang ada di pulau Jawa[4]. Pelaksanaan survey pada tahun 1876 bertujuan
untuk mengakomodir sistem pertanahan tradisional sebagai persiapan kebijakan pengganti Ontwerp
Cultuurwet.

            Keinginan untuk liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda tetap menjadi cita-cita rakyat pada saat itu
terutama para pengusaha. Meskipun Cutuursteslel memberikan keuntungan yang sangat besar bagi
perekonomian Belanda, namun kemakmuran bagi rakyat Hindia Belanda tidak tercapai, hal ini yang
menimbulkan kritik terhadap kebijakan tersebut. Liberalisme menghendaki kegiatan ekonomi swasta
tanpa campur tangan dari pemerintah sehingga kemakmuran rakyat dengan sendirinya dapat tercapai.
Orang-orang liberal berkeyakinan bahwa perkembangan ekonomi yang pesat yang dicetuskan oleh
kegiatan usaha swasta akan membawa kesejahteraan yang lebih besar bagi rakyat Indonesia tanpa
tindakan khusus dari pihak pemerintah Hindia Belanda[5].
Kegiatan ekonomi yang bebas dengan mekanisme sewa tanah dan sistem upah kerja akan
menumbuhkan kesejahteraan bagi rakyat. Pendapatan dari hasil sewa tanah dan upah kerja akan
meningkatkan taraf hidup bagi rakyat, sehingga terbukalah akses-akses untuk untuk mendapatkan
fasilitas seperti pendidikan dan kesehatan. Jika fasilitas-fasilitas tersebut sudah bisa dijangkau oleh
rakyat, maka kemakmuran bagi rakyat sudah tercapai.

Meskipun liberalisme menghendaki tidak adanya campur tangan pemerintah terhadap perekonomian,
namun pemerintah diwajibkan menyelenggarakan fasilitas-fasilitas penunjang ekonomi. Fungsi
pemerintah bukan hanya sebagai penjaga malam yang mengawasi kegiatan ekonomi saja. Beberapa
orang dari mereka beranggapan bahwa kepada negara lebih banjak diserahkan tugas-tugas selain dari
pada hanja memainkan peranan sebagai seorang pendjaga malam[6].  Pemerintah diharuskan
membangun akses-akses bagi lancarnya arus produksi dan distribusi seperti pembangunan sarana
transportasi (jalan raya, kereta api dan pelabuhan). Selain itu pemerintah juga harus menyediakan akses
kesehatan bagi para buruh perkebunan supaya proses produksi lebih lancar.

Meskipun hasil survey tahun 1876 belum dilaporkan kepada parlemen Belanda, namun dorongan-
dorongan kaum Liberal dan pengusaha swasta semakin kuat. Sehingga tujuan dari liberalisasi ekonomi di
Hindia Belanda pada tahun 1870 dapat tercapai dengan diberlakukannya kebijakan ekonomi liberal yang
dikenal sebagai Politik Pintu Terbuka (Open Door Policy). Pelaksanaan kebijakan ini ditandai oleh
disahkannya dua undang-undang, yaitu Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) dan Undang-Undang
Gula (Suiker Wet)[7].

Undang-Undang Agraria 1870 merupakan tambahan lima ayat baru pada Regerings Reglement no. 2 art.
62 tahun 1854 yang berjumlah tiga ayat. Kelima ayat tersebut disahkan oleh menteri koloni yang berasal
dari kaum Konservatif yaitu De Wall pada tanggal 9 April 1870 dan tercantum pada Staatsblad van
Nederlansche Indie no 55. Undang-Undang Agraria 1870 mengatur sistem kepemilikan dan persewaan
tanah bercorak barat yang diterapkan di Hindia Belanda. Berbeda dengan kebijakan Cultuurstelsel,
peraturan ini tidak hanya mengatur cara eksploitasi di Hindia Belanda, namun juga mengatur objek
ekspolitasi dalam hal ini tanah. Pemerintah Belanda rupanya ingin menanamkan pengaruhnya sampai ke
tingkat paling bawah dalam sistem sosial masyarakat Hindia Belanda yang sebelumnya hanya terbatas
pada pimpinan feodal seperti raja atau bupati. Hubungan-hubungan administratif sebelumnya hanya
sampai pada tingkat bupati atau regent, sehingga pengaruh kolonial tidak sampai pada tingkat
masyarakat paling bawah. Dalam pemerintahan kolonial, bupati adalah objek kekuasaan gubernur
jenderal/residen, tapi dalam struktur pemerintahan tradisional dan dalam kehidupan masyarakat
pribumi, bupati berkedudukan sebagai kepala daerah/pemimpin tradisional. Dalam kedudukan itu,
pengaruh bupati terhadap rakyat (objek kekuasaan bupati) sangat kuat[8].
Kemunculan peraturan ini menimbulkan sifat dualistis pada sistem perekonomian Hindia Belanda,
maksudnya terdapat dua sistem yang berlaku yakni sistem ekonomi bercorak “barat” dalam hal ini
Undang-Undang Agraria 1870 dan sistem ekonomi tradisional atau sistem adat yang berlaku disetiap
daerah. Sifat dualistis tersebut diakibatkan adanya dua penentu kebijakan dalam satu wilayah, yakni
pemerintah kolonial dan penguasa tradisional. Menurut Boeke maka sistem ekonomi suatu masyarakat
itu dapat homogen atau dualistis. Masyarakat sebaliknya disebut dualistis atau pluralistis apabila di
masyarakat tersebut sekaligus terdapat secara terpisah dua sistem atau lebih dan dengan demikian
dapat dibedakan dengan jelas yang satu dengan yang lain[9].

Undang Agraria 1870 memiliki dua esensi yang menjadi tujuan dikeluarkannya peraturan
tersebut. Pertama, Undang-Undang tersebut memberikan perlindungan hukum terhadap hak milik
tanah pribumi yang tercantum dalam art 3, 5, 6, 7 dan 8. Hak eigendom yang dimaksudkan dalam
Undang-Undang Agraria 1870 art 7 menyangkut hak kepemilikan tanah pribadi yang berasal dari tanah
komunal atau tanah ulayat dan lebih dikenal dengan istilah agrarische eigendom. Hak agrarische
eigendom ini berasal dari hak milik adat yang atas permohonan pemiliknya, melalui suatu prosedur
tertentu, diakui keberadaannya oleh pengadilan[10]. Peraturan ini memberikan jalan bagi rakyat
pribumi untuk mendapatkan surat hak kepemilikan tanah yang sebelumnya hanya bersifat klaim sesuai
dengan hukum adat yang berlaku.   

Tanah yang tidak dapat dibuktikan hak kepemilikannya dalam arti bukan milik pribumi dinyatakan hak
milik negara (domein van de Staat). Pernyataan kepemilikan tersebut dikenal dengan nama Domein
Verklaring (pernyataan kepemilikan) diatur dalam Koninklijk Besluityang dikenal  dengan
nama Agrarische Besluit dan tercantum dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie tahun 1870 yang
berbunyi:

  ”Behaoudens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde Wet, blijft het beginsel
gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet door anderen regt van eigendom wordt bewezen, domein van
de Staat is”[11].

Terjemahannya:

  “Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap
dipertahankan bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya
adalah domein (milik) negara”[12].
Definisi dari tanah negara (domein van de Staat) mencakup tanah yang dimiliki oleh rakyat pribumi atau
tanah adat, sehingga muncul istilah tanah bebas dan tanah tidak bebas. Tanah bebas mengandung
pengertian bahwa tanah negara yang bebas dari hak-hak rakyat pribumi, baik kepemilikan secara pribadi
maupun secara adat dan tanah ini disebut woeste gronden. Sedangkan tanah tidak bebas mengandung
pengertian tanah negara yang berada dibawah hak-hak rakyat pribumi, maksudnya tanah yang dimiliki
rakyat secara adat[13].

Kedua, Undang-Undang Agraria 1870 merupakan peraturan bagi persewaan dan jual beli tanah di Hindia
Belanda. Peraturan tersebut adalah suatu bentuk nyata kesungguhan dari pemerintah Belanda untuk
melibatkan pengusaha swasta dalam perekonomian Hindia Belanda. Persewaan dan jual beli tanah
hanya berlaku bagi tanah woeste gronden serta memliki hak guna. Untuk tanah domein lebih luas ada
kesempatan bagi non-pribumi memiliki hak guna, ialah:

a.       Sebagai tanah dan hak membangun (recht van opstal, disingkat RVO);

b.      Tanah sebagai erfpacht (hak sewa serta hak mewariskan) untuk jangka waktu 75 tahun”[14].

Adanya hak erfpacht yang berjangka waktu 75 tahun bagi pengusaha swasta memberikan kemudahan
untuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda dengan bentuk membuka perkebunan-perkebunan.
Menurut pasal 720 dan 721 KUHPerdata, hak erfpacht merupakan hak kebendaan yang memberikan
kewenangan paling luas kepada pemegang haknya untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan tanah
kepunyaan pihak lain. Pemegang hak erfpacht boleh menggunakan semua kewenangan yang
terkandung dalam hak eigendom atas tanah. Selain itu, hak erfpachtdapat dibebani hypotheek, hingga
terbuka kemungkinan bagi pengusaha untuk memperoleh kredit yang diperlukan dengan menunjuk
tanahnya sebagai agunan...(pasal 724 dan 1164 KUHPerdata)[15]. 

Hak erfpacht merupakan keistimewaan dari Undang-Undang Agraria 1870, yang memberikan jangka


waktu sewa tanah yang panjang sekaligus memberikan hak penuh bagi penyewa atas tanahnya seperti
layaknya pemilik tanah. Berbeda dengan peraturan yang terdapat pada Regerings
Reglement 1854[16] yang hanya memberikan jangka waktu sewa 20 tahun tanpa adanya hak erfpacht.
Lamanya jangka waktu penyewaan tanah serta keistimewaan yang terdapat dalam
hakerfpacht mendorong pengusaha swasta Belanda menanamkan modalnya di Hindia Belanda dalam
bentuk membuka perkebunan.
Peraturan mengenai hak erfpacht lebih lanjut diatur dalam Agrarische Besluit 1870 nomor 118 dan
hanya berlaku di daerah Jawa dan Madura. Untuk daerah selain Jawa dan Madura diatur pada tahun-
tahun selanjutnya seperti untuk daerah Sumatera diatur dalam Staatsbald tahun 1874, untuk
keresidenan Menado diatur dalam Staatsbald tahun 1877 nomor 55 dan untuk daerah Borneo diatur
dalam Staatsblad tahun 1888 nomor 58[17] (Harsono, 2008: 39). Pemberian hak erfpacht dari
pemerintah kolonial hanya terbatas pada golongan tertentu saja, sesuai dengan Agrarische
Besluit nomor 118 art. 11:

    Als erfpachters worden togelaten:

a.      Nederlanders,

b.      Ingezeten van Nederland

c.       Ingezeten van Nederland Indie

d.      Vennootschappen van koophandel, gevestigd in Nederland of in Nederland Indie[18].

Terjemahannya:

Penyewa diperbolehkan jika:

a.       Warga Belanda

b.      Panduduk negeri Belanda

c.       Penduduk Hindia Belanda


d.      Perusahaan yang terdaftar di negeri Belanda dan Hindia Belanda

Menurut penulis, ketentuan diatas diberlakukan untuk mencegah masuknya perusahaan dan pengusaha
non Belanda dalam perekonomian di Hindia Belanda. Pemerintah Belanda tidak mau mengambil resiko
terlalu jauh dengan membuka Hindia Belanda bagi pemodal non Belanda. Pemerintah kolonial khawatir
jika pemodal non Belanda dilibatkan, keuntungan dari perkebunan Hindia Belanda akan jatuh ketangan
negara lain. Keadaan seperti ini menggambarkan tujuan dari Undang-Undang Agraria 1870, yaitu tetap
menempatkan Hindia Belanda sebagai sumber keuntungan Belanda, yang berbeda adalah
ketika Cultuurstelsel Hindia Belanda dijadikan staatsbedrijf (perusahaan negara), Undang-Undang
Agraria 1870 menempatkan Hindia Belanda sebagai bedrijf (perusahaan).    

Selain itu, pemerintah kolonial tidak sembarangan memberikan hak erfpachtkepada pengusaha swata.
Pemberian hak erfpacht diberlakukan khusus pada tanah-tanah yang diperuntukan perkebunan swasta.
Para pengusaha swasta mengajukan keinginan hak erfpacht atas sebidang tanah kepada pemerintah
kolonial. Sebelum hak erfpacht tersebut diberikan, tanah yang diajukan harus memenuhi syarat-syarat
tertentu sebagaimana tercantum dalam Agrarische Besluit 1870 nomor 118 art 9, yang berisi:

In de erfpacht worden niet begrepen:

a.         Gronden, waarp anderen regt hebben, indien zij ongenegen zijn zich van hun regt te ontden;

b.        Gronden, naar de inzettingen der inlanders als gewijde beschouwd;

c.         Gronden, voor openbare markten afgezonderd of voor de openbare dienst bestemd;

d.        Gouverments koffijtuinen;

e.         Djati en andere houtbosschen, de laatste voor zoover zij onder geregeld beheer zijn gebragt;
f.          Gronden, gelegen binnen een door den Gouverneur Generaal voor elk gewest vast te stellen
afstand van gouverments aanplantingen;

g.        Gronden, gelegen in door Ons aan te wijzen streken, die beshikhaarmoeten blijven voor de
uitbreiding der op hoog gezag ingevoerde koffijkultuur[19].

Terjemahannya:

Dalam sewa yang tidak dimengerti (tidak diizinkan):

a.       Tanah, yang dimiliki orang lain dan tidak ingin melepaskannya atau menyewakannya.

b.      Tanah, yang dianggap oleh rakyat pribumi suci (tanah adat).

c.       Tanah yang diperuntukan membuka pasar atau membuka pelayanan publik.

d.      Perkebunan kopi pemerintah.

e.       Kayu jati dan kayu lainnya, sepanjang tanah tersebut dibawah kuasa pemerintah.

f.       Tanah yang terletak di setiap wilayah dan diperuntukan perkebunan pemerintah.

g.      Tanah yang khusus diperuntukan bagi perluasan perkebunan kopi pemerintah.

Pengusaha swasta bisa mendapatkan hak erfpacht dengan luas lahan tidak melebihi 500 bau, namun
satu penyewa bisa mendapatkan lebih dari satu lahan penyewaan. Kemudian, pemerintah mengenakan
pajak atas lahan tersebut, nilai sewa (cannon) berkisar antara f. 1 sampai f. 6 perbau yang dibayarkan
setelah lima tahun penyewaan[20].

Dari uraian diatas, penulis mendapatkan gambaran bahwa pemerintah kolonial mengakui hak-hak rakyat
pribumi, baik hak secara personal maupun hak secara adat. Pemerintah melakukan perlindungan
terhadap hak pribumi dan hak adat yang tercantum dalam poin pertama dan kedua dengan melarang
pihak swasta menekan dan memaksa rakyat untuk mendapatkan sewa tanah. Selain itu, pemerintah
juga memperhatikan pembangunan disetiap daerah, dengan melarang pemberian
hak erfpacht terhadap tanah yang diperuntukan kepentingan umum. 

Syarat-syarat pemberian hak erfpachtdiatas hanya berlaku bagi  tanah-tanah yang dikuasai oleh negara
yang tidak dimiliki dan dipergunakan oleh rakyat (woeste gronden), sehingga pemerintah mengeluarkan
perlindungan bagi tanah milik pribadi pribumi dan milik adat. Ketentuan penyewaan tanah milik pribadi
pribumi dan milik adat ditetapkan dengan Ordinasi Sewa yang dikeluarkan pemerintah kolonial tahun
1871. Seperti yang dijelaskan oleh Furnival (2009: 192), bahwa: “...untuk tanah pribumi yang dimiliki
berdasarkan adat istiadat, periode maksimum penyewaan ditetapkan lima tahun, dan untuk tanah yang
dimiliki pribumi sebagai hak milik pribadi, periode maksimum ditetapkan 20 tahun; dan kontrak harus
terdaftar”[21].

Meskipun Undang-Undang Agraria 1870 ditujukan untuk membuka Hindia Belanda bagi investasi modal
swasta, salah satunya dalam bentuk perkebunan, namun pemerintah kolonial tidak mau menyerahkan
Hindia Belanda seluruhnya kepada swasta. Monopoli tanaman kopi yang sangat menguntungkan
pemerintah tetap dilakukan, bahkan ini terjadi sudah lama sejak masa Preanger Stelsel dan baru
berakhir sekitar tahun 1916. Pemerintah kolonial tidak ingin melepaskan sumber penghasilan kopi yang
selama kurang lebih dua abad menjadi tanaman ekspor paling penting di Eropa.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870, lalulintas modal dari Belanda semakin meningkat.
Modal-modal tersebut diinvestasikan dengan membentuk perusahaan-perusahaan yang bergerak
diberbagai bidang, seperti perkebunan, penyedia sarana transportasi dan penyedia layanan publik.
Namun, modal swasta yang terbesar dialokasikan dalam bidang perkebunan. Maka sejak 1870
kebutuhan investasi modal mencari penyalurannya ke perusahaan perkebunan[22].

Anda mungkin juga menyukai