Anda di halaman 1dari 23

MANAJEMEN PENGETAHUAN DALAM

PENELITIAN SISTEM INFORMASI :

WACANA DAN TEORI

Oleh :
Tri Wahono
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Abstrak

Di dalam sistem informasi, kebanyakan penelitian tentang manajemen pengetahuan


mengasumsikan bahwa pengetahuan mempunyai implikasi positif bagi organisasi. Namun
pada kenyataanya, pengetahuan bisa menjadi pedang bermata dua ; terlalu sedikit
pengetahuan bisa mengakibatkan kesalahan , sedangkan terlalu banyak pengetahuan bisa
mengakibatkan penurunan akuntabilitas.

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk meningkatkan perhatian kita kepada
konsekuensi yang bisa timbul tanpa diharapkan dalam mengatur manajemen pengetahuan
organisasi dan juga bertujuan untuk memperluas ruang lingkup dari penelitian manajemen
pengetahuan di bidang sistem informasi. Oleh karena itu, untuk tujuan tersebut, makalah ini
menganalisis sistem informasi literatur tentang manajemen pengetahuan.

Dengan menggunakan kerangka yang dikembangkan oleh Deetz (1996), penelitian


yang dipublikasikan antara tahun 1990 dan 2000 di enam jurnal sistem informasi ini
diklasifikasikan menjadi empat wacana ilmiah. Wacana tersebut adalah normatif, interpretif,
kritis, dan dialogis. Untuk masing-masing wacana tersebut, kami mengidentifikasi fokus
penelitiannya masing-masing, yaitu metafor pengetahuan, dasar-dasar teoretis, dan implikasi
yang jelas dari artikel-artikel yang mewakilinya. Metafora pengetahuan yang muncul dari
analisis ini adalah pengetahuan sebagai objek, aset, pikiran, komoditi, dan disiplin.
Selanjutnya, kami menyajikan makalah yang bisa dijadikan contoh dari setiap wacana.
Tujuan kami dengan analisis ini adalah untuk meningkatkan information system
researchers'awareness terhadap potensi dan implikasi dari wacana yang berbeda dalam studi
pengetahuan dan manajemen pengetahuan.

B. Pendahuluan

2
Pengetahuan pada dasarnya merupakan suatu sumber terpenting dalam organisasi
walaupun pengetahuan sampai saat ini masih sulit untuk diidentifikasi dan didefinisikan.
Berdasarkan pada asumsi yang menyatakan bahwa pengetahuan berakibat baik dan hanya
memberikan sedikit dampak negatif , tidak sedikit organisasi mengimplementasikan
manajemen pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan daya
saing mereka.

Tetapi, beberapa pakar berpendapat bahwa pengetahuan bagaikan pedang bermata


dua. Di satu sisi, sedikit pengetahuan yang diterapkan akan mengakibatkan inefisiensi dalam
organisasi, sedangkan terlalu banyak pengetahuan dalam organisasi membuat jalannya
organisasi menjadi kaku dan kontraproduktif. Selain itu, terlalu sedikit pengetahuan bisa
membuat kesalahan yang fatal, sedangkan terlalu banyak pengetahuan bisa menimbulkan
pertanggungjawaban yang tidak diinginkan.

Menurut kami, beberapa pertimbangan harus dibuat dalam rangka mengakomodasi


sistem informasi dalam hal mendukung manajemen pemgetahuan dalam organisasi.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut bukan hanya dampak-dampak positif dari manajemen
pengetahuan, tetapi juga dampak negatif dari manajemen pengetahuan tersebut. Dalam
mempertimbangkan hal tersebut, para peneliti membutuhkan kewaspadaan terhadap
perbedaan antara teori-teori dalam manajemen pengetahuan yang bisa dimungkinkan dengan
batasan-batasan dimana suatu manajemen pengetahuan bisa diimplikasikan

Dalam menggali perspektif dan asumsi dari penelitian manajemen pengetahuan, kami
mengadopsi dari pemikiran Deetz (1996), yang terdiri dari teori-teori yang ada berdasarkan
empat dasar wacana ilmiah, yaitu normatif, interpretif, kritis, dan dialogis. Setelah
mengindentifikasi dan menginterpretasikan situasi dan kinerja yang ada pada masing-masing
wacana, kami membangun metafor pengetahuan yang dalam wacana yang satu dengan yang
lain. Kami menyadari bahwa metafor sangat berguna dalam mempertajam dan
menghubungkan pengertian suatu abstrak dan fenomena pengetahuan. Selain itu kami juga
percaya bahwa metafor dari pengetahuan merupakan suatu alat konsep yang kaya sekaligus
simpel yang akan membantu para peneliti dalam mencari konsep utama dalam pengetahuan.

C. Framework dari Deetz (Local/Emergent versus Elite/A Priori)

3
Tulisan ilmiah mengenai manajemen pengetahuan ini dapat dilihat berdasarkan dua
dimensi: asal konsep dan masalah itu timbul, dan hubungan dengan wacana sosial yang
dominan. Konsep dan masalah dapat timbul dari anggota peneliti yang terlibat
(local/emergent) atau juga dari teori yang dapat diterapkan pada konsep dan masalah tersebut
(elite/a priori). Hubungan dengan wacana sosial yang dominan dapat dibagi menjadi
konsensus dan dissensus. Yang lebih dominan pada konsensus adalah pengetahuan yang
terstruktur, relasi sosial, dan identitas. Sedangkan pada dissensus berkenaan dengan
perjuangan, konflik, dan ketegangan sebagai keadaan normalnya. Dari kombinasi kedua
dimensi di atas, dibentuk empat wacana yaitu normative, interpretive, critical, dan dialogic.
Pengelompokannya dapat dilihat pada tabel berikut

Konsensus Dissensus

Local/Emergent Interpretive Dialogic

Elite/A Priori Normative Critical

D. Hubungan Wacana Dominasi Sosial Dissensus dan Konsensus

Kerangka Deetz menunjukkan bahwa orientasi penelitian dapat berupa sejalan dengan
tatanan sosial yang dominan, sebagai contoh cara-cara yang dominan dalam menyusun
struktur pengetahuan, hubungan sosial, dan idendities, atau pun semua hal yang berbeda
dengan hal itu. Sementara penelitian yang lalu mewakili orientasi konsensus, yang
mereproduksi struktur yang dominan, penelitian akhir-akhir ini mewakili orientasi dissensus,
yang mengganggu struktur dominan tersebut. Sebuah orientasi konsensus memiliki ciri
program penelitian yang mencari dan menganggap produksi yang sesuai dan seimbang
sebagai sesuatu yang normal bahkan membutuhkan dukungan dari kondisi lingkingan sekitar
dan sistem sosial. Sebaliknya, orientasi dissensus ciri program penelitian yang menganggap
perjuangan, konflik, dan ketegangan sebagai sesuatu yang alamiah. Penelitian konsensus
tersebut mengasumsikan bahwa fenomena organisasi seperti pengetahuan, budaya, dan
identitas sebagai sesuatu yang koheren dan saling berhubungkan, sedangkan penelitian
dissensus mengasumsikan bahwa fenomena organisasi tersebut sebagai sesuatu yang
bertentangan dan terpisah-pisah. Selanjutnya, kami secara singkat akan menggambarkan
empat wacana tersebut.

4
1. Wacana Normatif

Menurut Deetz, wacana normatif itu mencerminkan modernitas dengan asumsi


pencerahan progresif serta meningkatkan rasionalisasi, manajemen, dan kontro suatu
organisasi. Para peneliti yang berpartisipasi dalam wacana normatif lebih menitikberatkan
kodifikasi, normalisasi pengalaman, dan pencarian hubungan seperti hukum. Benda atau
artefak yang dihasilkan dari penelitian normatif digambarkan sebagai fakta yang diasumsikan
reflektif alam. Ini berarti bahwa temuan penelitian bisa digeneralisasikan dan bersifat
kumulatif. Pencerahan pencarian dan berjuang untuk kemajuan mengasumsikan bahwa ada
tempat kemahatahuan bahwa ilmu dapat dicapai. Ingin mendirikan hukum-hukum umum dan
kasual hubungan melalui pengujian hipotesis, peneliti yang berpartisipasi dalam wacana
normatif biasanya bergantung pada metode nomotetis

2. Wacana Interpretatif

Wacana interpretatif menekankan pada wacana sosial daripada pandangan ekonomi


dalam kegiatan organisasi. Hal ini juga mencakup pramodern dan tema tradisional yang
berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan organisasi yang belum sistematis dan dibawa di
bawah kendali logika dirasionalisasi. Orang-orang di dalam organisasi dipandang sebagai
pembuat pengertian aktif, terlibat peserta, dan pencipta kehidupan organisasi. Etnografi dan
metode penelitian hermeneutik yang didasarkan pada praktek-praktek sosial organisasi
peserta adalah indikasi dari penelitian interpretative.

Penelitian yang merupakan bagian dari wacana interpretatif bertujuan untuk


menciptakan koheren, konsensual, dan terpadu representasi dari apa yang organisasi realitas
adalah "sebenarnya" seperti, terlepas dari kompleksitas dan kontradiksi. Mengikuti
pandangan konsensus masyarakat, mengakui wacana ini multi-vokal, terpecah-pecah, dan
bertentangan sifat masyarakat, namun juga berfokus pada nilai-nilai integratif yang
memungkinkan bagi organisasi dan komunitas untuk berfungsi secara harmonis

3. Wacana Kritis

Wacana kritis ditandai dengan suatu pandangan organisasi sebagai situs perjuangan
politik dan bidang konflik terus-menerus. Tujuan penelitian kritis adalah untuk membuka

5
kedok dan kritik bentuk-bentuk dominasi dan terdistorsi komunikasi dengan menunjukkan
bagaimana mereka diproduksi dan direproduksi. Kritik dan ideologi budaya kritik adalah
metode yang digunakan oleh peneliti kritis. Menyoroti bagaimana jenis bunga tertentu,
praktek-praktek sosial, dan struktur kelembagaan bersekongkol untuk menciptakan
perbedaan-perbedaan kekuatan dan bagaimana mereka diam dan tidak jelas suara-suara lain
dan alternatif perspektif, wacana kritis bertujuan untuk menciptakan kondisi di mana konflik
antara kelompok yang berbeda dapat muncul, dibahas secara terbuka, dan diselesaikan secara
adil. Yang menyiratkan bahwa reformasi dari tatanan sosial adalah tujuan peneliti yang
berpartisipasi dalam wacana kritis.

4. Wacana Dialogis

Menurut Deetz, wacana yang dialogis bisa juga telah diberi label wacana postmodern
di focuse bahwa tidak hanya pada sifat construced realitas dan peran bahasa dalam proses
konstruksi ini. Citra kehidupan sosial yang diselenggarakan oleh wacana ini adalah salah satu
narasi terputus-putus dan perspektif yang gagal untuk menambahkan hingga realitas yang
koheren. Jadi realitas sigle tetap sulit dipahami. Memang, wacana dialogis berusaha untuk
membongkar diambil-untuk-realitas sosial yang diberikan dalam rangka untuk mengungkap
kompleksitas mereka, mereka tidak berbagi makna, dan kantong-kantong tersembunyi
perlawanan.

Meskipun wacana dialogis mirip dengan wacana kritis dalam keprihatinannya


terhadap asimetri dan dominasi, itu berbeda dari dalam yang dianggap sebagai kekuatan dan
dominasi situasional dan tidak dimiliki oleh siapa pun pada apa pun. Sebaliknya, wacana
dialogis jejak kekuasaan dan dominasi klaim keahlian menggunakan metode
deconstructionist dan genealogic.

Singkatnya, deetz's klasifikasi dari wacana dapat berfungsi sebagai kerangka kerja
yang bermanfaat dalam menilai tujuan, metode, dan harapan penelitian. Ketika diterapkan
pada sistem informasi penelitian, kerangka kerja yang dapat membantu menilai wacana
secara eksplisit maupun implisit dipilih dalam suatu penyelidikan aliran. Dengan memahami
wacana, dan asumsi yang mendasari wacana-wacana, satu posisi lebih baik untuk memahami
dan menginterpretasikan sistem informasi penelitian tentang manajemen pengetahuan, dan
untuk mengidentifikasi potensi pertanyaan untuk riset masa depan. Tabel ini disingkat dari
deetz.

6
Setelah diuraikan perancah teoritis yang memandu klasifikasi pengetahuan kami
penelitian manajemen sistem informasi, kini kita perhatian kita pada metode yang kami
mengandalkan untuk memilih dan manajemen pengetahuan coding artikel.

E. Metode

Manajemen pengetahuan adalah generasi, representasi, penyimpanan, transfer,


transformasi, aplikasi, embedding, dan melindungi pengetahuan organisasi. Konsep-konsep
seperti pembelajaran organisasi, organisasi memori, berbagi informasi, dan kerja kolaboratif
sangat terkait dengan manajemen pengetahuan. Bearing ini dalam pikiran, kita memilih kata
kunci berikut sebagai dasar untuk pencarian kita dari sistem informasi literatur: pengetahuan,
manajemen pengetahuan, organisasi belajar, pembelajaran organisasi dan memori.

Kami memilih enam sistem informasi jurnal akademik yang mempublikasikan riset
dan bukan praktisi, karena kita berharap akademisi untuk meluangkan lebih banyak waktu
dari praktisi untuk merenungkan asumsi epistemologis dan pengetahuan teoretis dan apa
artinya untuk mengelolanya. Secara khusus bertujuan untuk mereview penelitian akademik
yang mewakili keragaman epistemologis asumsi, kita menutup enam jurnal berikut:
akuntansi, manajemen dan sistem informasi, sistem informasi penelitian, jurnal sistem
informasi manajemen, jurnal sistem informasi strategis, dan mis triwulan.

Menggunakan asosiasi asuransi menginformasikan british database, judul dan abstrak


makalah yang diterbitkan di jurnal keenam antara tahun 1990 dan 2000, inklusif, mereka
tanya untuk terjadinya daftar lima kata kunci. Dari enam jurnal ada dua, yaitu manajemen dan
informasi teknologi dan jurnal sistem informasi strategis, yang tidak dapat dicari melalui
asosiasi asuransi british menginformasikan. Untuk mengidentifikasi makalah yang relevan
dalam jurnal-jurnal ini, kami mengandalkan ilmu pengetahuan langsung, sebuah layanan
perpustakaan untuk Elsevier naskah jurnal untuk diterbitkan antara tahun 1994 dan 2000, dan
scan manual abstrak kertas yang diterbitkan antara tahun 1991 dan 1993.

Pembacaan awal yang abstrak menunjukkan bahwa tidak semua kertas diambil oleh
pencarian kata kunci yang terkait dengan manajemen pengetahuan organisasi seperti yang
didefinisikan sebelumnya dalam generasi contoh, organisasi / penyimpanan, pengalihan, dan
penerapan pengetahuan organisasi. Sebagai contoh, sejumlah abstrak itu diambil karena
pernyataan-pernyataan seperti "kami tidak punya cukup pengetahuan mengenai hal ini". Ada
juga beberapa naskah yang berhubungan dengan sistem informasi pengembangan kurikulum

7
dan pengetahuan jenis-jenis sistem informasi yang profesional perlu. Artikel-artikel ini
dikeluarkan dari contoh kami, karena mereka tidak menjawab keprihatinan organisasi
pengetahuan seperti sistem informasi pendidikan keprihatinan. Selain itu, artikel
memfokuskan pada belajar di luar konteks organisasi, seperti pembelajaran kelas, dikeluarkan
dari analisis.

94 artikel yang memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam penelitian kami tercantum
dalam Lampiran A. bekerja secara independen, kami kemudian diklasifikasikan setiap artikel
sesuai dengan klasifikasi deetz kriteria utama: elite / dimensi lokal dan konsensus / dissensus
dimensi. Yang tidak Pepers makalah penelitian, seperti editorial atau penelitian deskriptif dan
peninjau tidak dikodekan karena tidak ada lensa teoretis dan / atau interpretasi data empiris,
itu infeasible untuk mencoba untuk memastikan penulis 'pandangan teoritis pengetahuan.
Contoh terakhir kita dengan demikian terdiri dari 78 artikel. Kappa Cohen itu dihitung untuk
mengukur di 959 dengan standar deviasi 04, menunjukkan tingkat kesepakatan yang
diperhitungkan. Z-skor dari 11.1 memperlihatkan kesempatan di luar kesepakatan yang
signifikan (p <.0001).

Meskipun diusulkan oleh scherne kategorisasi deetz tampak jelas dan cukup
sederhana (dalam contoh itu hanya terdiri dari dua dimensi), kami mengalami sejumlah
pengkodean difficulities dalam artikel. Pertama, artikel yang digunakan beberapa metode,
khususnya metode induktif dan deduktif sulit untuk kode seperti itu tidak jelas apakah kertas
itu elit apriori atau muncul. Kedua, mengelompokkan artikel yang menyatakan pendekatan
yang berbeda dari kami membaca artikel yang disajikan sebuah dilema. Sebagai contoh,
beberapa kertas klaim untuk berurusan dengan kekuasaan atau klaim untuk menggunakan
pendekatan yang bersifat mendadak, tetapi klaim ini tidak didukung oleh teks. Ketiga, genre
penerbitan jurnal akademik berpihak pada presentasi teori dan sastra sebelum data dan
analisis. Ini merumitkan komunikasi penelitian interpretif, di mana wawasan penelitian
berasal dari data daripada teori. Dalam beberapa kasus, penelitian interpretif ditulis seperti
kertas normatif, dan penelitian normatif tampaknya lebih didasarkan pada yang bersifat
mendadak daripada orientasi elite. Dengan demikian, adalah lebih mungkin bahwa surat-surat
yang palsu dikodekan sebagai normatif daripada palsu dikodekan dalam salah satu discouses
lain. Keempat, surat-surat yang mengandalkan data yang tidak secara khusus dikumpulkan
untuk penelitian yang disajikan di koran juga memerlukan beberapa analisis bahasa, gaya

8
penulisan, dan teori dalam rangka untuk memutuskan apakah peper dilakukan dengan
mendadak atau orientasi elit.

Meskipun kesulitan-kesulitan ini, kita masing-masing kertas diklasifikasikan ke dalam salah


satu dari empat wacana daripada mencari mereka di kedua lebih dari satu wacana atau antara
dua iscourses. Memang, pengertian deetz wacana memungkinkan untuk perselisihan dalam
wacana dan untuk transfer teori, metode, dan konsep-konsep di discources. Kami menemukan
bahwa surat-surat yang mewakili anomali membantu kami untuk menentukan makna inti dari
suatu wacana. Sepanjang diskusi kita mengenai wacana-wacana, kami sorot batas batasnya
buruk di antara mereka.

Setelah pengkodean semua artikel dalam sampel akhir kita, menjadi jelas bahwa tidak
ada yang mewakili papper wacana kritis. Scanning melalui abstrak dari jurnal kita telah
dipilih untuk analisis ini, kami berangkat untuk mengidentifikasi sebuah artikel yang
berhubungan dengan definisi kita tentang pengetahuan manajemen dan itu penting. Kertas
pertama kami menemukan yang memenuhi kriteria ini adalah Elkjaer et al. (1991) kertas,
"komodifikasi keahlian: kasus pengembangan sistem konsultasi." Kami memilih kertas ini
sebagai teladan bagi kami wacana kritis.

9
BAB II

ANALISA

Dalam rangka menyoroti perbedaan antara wacana dalam konteks manajemen


pengetahuan penelitian, analisis kita mulai meringkas dalam setiap wacana empat bidang
utama: fokus dari penelitian, pengetahuan methapors berdasarkan operationalizations
pengetahuan, dasar-dasar teoretis penelitian, dan implikasi untuk sistem informasi yang dapat
ditarik dari penelitian

A. Wacana Normatif

• Fokus Penelitian

Wacana normatif penelitian berfokus pada penggunaan teknologi untuk


memungkinkan penemuan dalam database (Balachandran et al. 1990), untuk
mengembangkan sistem memori organisasi efisien (Wijnhoven 1999), dan untuk
memantau penggunaan e-mail sehingga hanya individu yang bisa tertarik dalam e-
mail pengumuman (seperti yang dikirim ke daftar) akan menerimanya (Zhao et al.
2000-2001). Ada kertas yang meneliti penjelasan dalam sistem berbasis pengetahuan
(Dhaliwal dan Benbasat 1996; Gregor dan Benbasat 1999), serta surat-surat yang
berhubungan dengan representasi pengetahuan (Lee dan O'Keefe 1996; Jonas dan
Laios 1993; Nissen 2000). Dengan demikian, secara umum, wacana normatif telah
sebagai salah satu fokus penemuan solusi teknologi (aturan, penjelasan, sistem
memori) untuk masalah pengetahuan (memindahkan pengetahuan dari para pakar
untuk pemula; mengingat). Berkaitan dengan penciptaan dan mentransfer
pengetahuan isu-isu khususnya, ada penelitian normatif memandang inovasi teknologi
informasi di antara pengguna (Nambisan et al. 1999) dan belajar tentang inovasi
teknologi informasi di kalangan karyawan (Agarwal et al.1997).

Walaupun ada perbedaan besar pengetahuan manajemen terkait topik yang dibahas
dalam wacana normatif, salah satu tema yang menyatukan adalah bahwa banyak
penelitian bingkai pertanyaan penelitian dalam konteks pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan tugas (misalnya, Dhaliwal dan Benbasat 1996; Zhu et al.
10
1997; Gray 2000). Penelitian yang mewakili wacana normatif dengan demikian
menciptakan masalah ruang yang dapat didekomposisi dalam logis, top-down
(Raghunathan et al. 1993; Shaft dan Vessey 1995) dan dinyatakan dalam peta kognitif
(Shekar Srinivas dan 1997). Fokus pemecahan masalah ini terutama jelas dalam
penelitian tentang sistem pakar.

• Metaphor Pengetahuan

Seperti halnya ada set yang beragam topik penelitian terwakili dalam wacana
normatif, ada banyak keanekaragaman dalam operasionalisasi
pengetahuan. Pengetahuan adalah operationalized sebagai peraturan (Jonas dan Laios
1993; Kiang et al. 1993), potongan (Nissen 1998), penjelasan (Gregor dan Benbasat
1999) dan solusi masalah set (Goodman dan Darr 1998). Operationalizations ini rekan
erat dengan tugas-tugas pemecahan masalah dalam penelitian tentang sistem berbasis
pengetahuan. Metafora yang muncul dari pengetahuan operationalizations ini sebagai
objek yang dapat berada di luar individu, yang dapat disimpan dan dimanipulasi
dalam ketiadaan MahaMengetahui manusia, dan yang dapat ditransfer kepada orang
lain (manusia atau mesin). Sehubungan dengan metafora objek ini adalah pandangan
pengetahuan sebagai ingatan (Stein dan Zwass 1995; Wijnhoven 1999), informasi
(Tinggi menara dan Sayeed 1996) dan sebagai bekal (Cloudhury dan Sampler 1997;
Ouksel et al. 1997).

Cara lain di mana pengetahuan adalah operationalized adalah sebagai keahlian (Stein
1992), kompetensi (Andreu dan Ciborra 1996), keakraban (Shaft dan Vessey 1995),
dan pengalaman kerja diukur dalam hal kepemilikan (Kirsch dan Cummings
1996). Perspektif ini mengasosiasikan pengetahuan dengan MahaMengetahui individu
dan karena itu berbeda dari presentasi pengetahuan sebagai objek. Berdasarkan
penggunaannya dalam penelitian, metafora yang mengikat operationalizations ini satu
sama lain adalah bahwa dari aset. Makalah ini melihat pengetahuan sebagai
pendorong utama kinerja organisasi, efektivitas, dan efisiensi

• Eksemplar Normatif

11
Jarvenpaa dan Staples (2000) mempelajari tentang penggunaan dari kolaboratif media
elektronik untuk berbagi informasi. Mereka melihat faktor-faktor yang mempengaruhi
individu untuk berbagi pengetahuan melalui sarana elektronik. Baik antara objek dan
asset metafora dari pengetahuan sangat jelas di paper ini. Studi Jarvenpaa dan Staples
menganggap baik yang individu dapat berbagi pengetahuan dan berbagi manfaat bagi
organisasi. Pertanyaan dari penelitian ini adalah : Apa yang menyebabkan mereka
untuk berbagi dan apa yang mendorong mereka untuk berbagi melalui media
impersonal?

Penulis menyarankan bahwa “satu pihak harus bersedia untuk memberikan sesuatu
atau mendapatkan sesuatu dari pihak yang lainnya.” Mereka lebih rumit pada
beberapa faktor yang mereka tegaskan dapat memprediksi perilaku berbagi
informasi.. Seperti contohnya, mereka menyatakan bahwa budaya informasi yang
tebuka dan organik, sebagai lawan dari budaya informasi yang tertutup dan
mekanistik, mengarah pada sharing yang lebih besar. Mereka mengusulkan bahwa
orang yang percaya bahwa apa yang mereka yakini milik mereka, bukan organisasi
yang mereka layani, akan lebih mungkin untuk berbagi. Berdasarkan riset
sebelumnya, mereka mengembangkan teoritis terdahulu dalam berbagi informasi dan
bergerak kearah yang mengungkap berbagai kemungkinan yang dapat mempengaruhi
sharing. Tujuan penelitian mereka adalah untuk “memperluas pemahaman tentang
faktor-faktor konteks organisasi pada umumnya dan budaya organisasi pada
umumnya dan budaya organisasi pada khususnya”.

Dalam analisis empiris lebih dari 1000 survei tanggapan, Jarvenpaa dan Staples
menemukan bahwa bertentangan dengan prediksi mereka, budaya informasi yang
terbuka dan organik tidak terkait dengan penggunaan kolaboratif media elektronik
untuk berbagi informasi. Mereka juga menemukan bahwa orang yang percaya bahwa
informasi yang dimiliki organisasi lebih kecil kemungkinannya untuk menggunakan
media kolaboratif untuk berbagi daripada orang-orang yang percaya bahwa informasi
adalah asset pribadi mereka.

Peran teknologi dalam normative discourse (wacana normatif) adalah untuk


membantu dalam penyimpanan dan transfer pengetahuan sehingga pengetahuan
tersedia dilain ruang dan waktu. Jarvenpaa dan Staples berfokus pada peran media
komunikasi elektronik dalam transfer pengetahuan, tetapi juga dapat membayangkan

12
satu basis pengetahuan, repositori, dan mesin pencari sebagai contoh dari solusi
teknologi wacana normative untuk mengelola efek dari pengetahuan dalam suatu
organisasi.

Intinya , wacana normatif ditandai oleh konstruksi pengetahuan sebagai objek


dan/atau aset dan manajemen sebagai masalah dalam menyediakan sistem untuk
memfasilitasi penyimpanan dan mentransfer pengetahuan. Hasil penelitian normatif
berkontribusi terhadap penciptaan prasarana analitis teori kontingensi yang
memungkinkan peneliti untuk bertanya tentang kondisi di mana jenis tertentu solusi
manajemen pengetahuan atau teknologi yang lebih tepat daripada yang lain dan apa
implikasi dari setiap solusi akan terjadi. Seperti perancah teoretis menciptakan jalan
menuju pencerahan progresif, yang merupakan tujuan pengetahuan dalam wacana
normatif

B. Wacana Interpretive

Secara umum, interpretive discourse ( wacana penafsiran ) tidak mempelajari


pengetahuan secara langsung melainkan meneliti peran pengetahuan (knowledge) dalam
transformasi organisasi dan peran teknologi dalam mendukung pekerjaan pengetahuan.
Meskipun demikian, beberapa penelitian dalam interpretive discourse (wacana penafsiran) ini
mengajukan pertanyaan-pertanyaan khusus yang ditujukan pada proses knowledge misalnya
seperti bagaimana individu mendapat knowledge secara efektif (Stenmark 2001-2001).

Terdapat perbedaan antara normative discourse dan interpretive discourse. Normative


discourse fokus pada pengaturan pemecahan suatu masalah (problem solving) sedangkan
interpretive discourse berfokus pada situasi kerja dan pembelajaran organisasi. Selain itu,
interpretive discourse mengeksplorasi praktik kerja yang merupakan pekerjaan pengetahuan
(Schultze 2000; Schultze and Boland 2000). Bahkan dalam penelitian tentang implementasi
IT, fokusnya terdapat pada praktik organisasional yang baik mengaktifkan dan menghambat
penerapan teknologi, bukan pada teknologi itu sendiri.

Ada tiga operasional knowledge yang jelas dalam interpretive discourse, yaitu
knowledge sebagai hasil praktik, sebagai budaya, dan sebagai simbol yang pokok (dasar
untuk membuat klaim tentang penambahan nilai peran seorang individu atau kelompok
professional bekerja di suatu organisasi.

13
Yang biasa diantara operasionalisasi ini adalah bahwa pengetahuan adalah konstruksi
sosial dan berbagi diantara para peserta dalam praktek atau bahkan budaya organisasi sebagai
individu memiliki interpretasi masing-masing situasidan peristiwa organisasi. Sahay dan
Robey (1996) menangkap interpretasi didalam operasionalisasi pengetahuan (knowledge)
mereka sebagai interpretasi sosial. Jadi, berbeda dengan normative discourse pengertian
pengetahuan (knowledge) seperti aturan yang digeneralisasikan, sedangkan interpretive
discourse menyoroti sifat dimanis dan hasil dari pengetahuan (knowledge) tersebut.

Teori yang mendukung dari interpretive discourse ini adalah Knowledge, teknologi
dan praktik dalam organisasi dibentuk oleh individu-individu sebagai konstruksi sosial dalam
organisasi bersangkutan.Sahay dan Robey menyoroti implikasi dari konstruksi sosial ini,
yaitu bahwa pengetahuan konseptual tentang sistem sangat terkait denga lingkungan sosial
dan lingkungan ini tidak hanya mempengaruhi penyebaran pengetahuan tetapi juga
pengadaptasian teknologi informasi.

Penelitian dalam normative discourse berfokus pada cara-cara merancang teknologi


informasi untuk mendukung pembelajaran, sedangkan interpretive discourse memfokuskan
pada fleksibilitas interpretative teknologi informasi dan pada proses-proses sosial sehingga TI
dapat memfasilitasi atau menghambat proses pembelajaran organisasi.Penelitian interpretif
menunjukkan kekhawatiran bahwa sistem informasi akan memperkuat prosedur yang sudah
ada daripada kesempatan mempelajari sistem informasi yang baru.

Intinya, penelitian dalam interpretive discourse tidak memberikan pedoman khusus


pengembangan TI. Namun, menyoroti bahwa teknologi harus dilihat dari prespektif yang
bersifat mendadak. Maka dari itu, discourse ini mengingatkan kita bahwa sebagai artefak
yang dibangun secara sosial, teknologi memiliki konsekuensi yang tidak disengaja/tidak
diinginkan.

C. Wacana Kritis

Dalam critica discourse hanya terdapat satu contoh saja, yaitu paper dari Elkjaer et al.
(1991). Penelitian Elkjaer ini fokus terhafap kekuatan hubungan di dalam organisasi. Dalam
upaya menstimulasikan refleksi dalam proses sosial, mereka bergantung pada dua asumsi.
Pertama adalah cara mencapai konsensus akibat ketimpangan akses ke knowledge yang
berbeda antara system developer dan user. Dan yang ke dua Mempelajari

14
hubungan/ketimpangan kekuasaan( yang pada akhirnya menentukan akses ke knowledge )
dalam suatu organisasi. Asumsi teoretis ini memotivasi penelitian dan tujuan untuk merebut
kembali konflik dan merusak tatanan palsu oleh pengembang sistem yang menganjurkan
tidak hanya untuk mengambil sikap yang lebih kritis "terhadap sifat pelembagaan", tetapi
juga menggali "bagaimana sistem informasi dapat digunakan untuk berubah dan
mengembangkan kondisi kelembagaan yang saat ini frustasi dan menghambat komunikasi
dan kerjasama dalam organisasi (hal. 154). Dalam pengertian, tujuan makalah ini sejalan
dengan agenda dari wacana kritis membuka kedok dominasi (Deetz 1996).

Dalam usaha mereka untuk membuka kotak Pandora (hal 151). Elkjaer et
al. pengembangan sistem kritik filsafat dan metodologi yang digambarkan dalam laporan
tahunan 1988 BSO's metodologi adalah ideologi konsensus di antara pengguna. Namun, para
penulis mencatat bahwa hubungan kekuasaan yang melekat dalam struktur organisasi
umumnya membatasi dialog terbuka yang dibutuhkan untuk membangun konsensus
tersebut. Argumen ini didasarkan pada pandangan kritis dilembagakan struktur organisasi dan
dasar teoretis berdasarkan teori proses kerja dan karya Foucault (1979).

Pelembagaan organisasi tertentu dan praktek-praktek sosial umumnya


merupakan hasil dari perjuangan terus-menerus antara kelompok yang
berbeda yang memiliki akses yang tidak setara untuk dihargai sumber
daya material dan simbolis daripada hasil dari pertemuan unmediated
pikiran. Kesempatan untuk terlibat dalam, dan aman kontrol atas,
proses pelembagaan yang asymmetrically mendistribusikan dalam
organisasi dan masyarakat (hal. 149).

Selain itu, mekanisme kontrol organisasi

Historis ditempa melalui penyingkiran sistematis dan subordinasi sopan


santun karyawan dengan disiplin impersonal manajemen dan pasar
kapitalis.

15
Elkjaer et al. kesalahan perusahaan konsultan untuk tetap diam isu yang berkaitan
dengan organisasi seperti struktur kekuasaan dalam presentasi keahlian mereka
sendiri. Keahlian ini sangat nyata dalam pengembangan sistem BSO's filsafat dan
metodologi, yang mendukung kesepakatan dan konsensus melalui dialog. Para penulis tidak
mengambil sikap diam BSO tentang isu-isu struktur kekuasaan organisasi sebagai bentuk
ketidaktahuan atau kenaifan, sebaliknya mereka melihatnya sebagai akibat dari komodifikasi
pengetahuan dan sebagai bentuk penyensoran diri-contrivied oleh BSO itu sendiri perlu
posisi itu sendiri dalam hubungan kekuasaan. Dengan kata lain, dalam rangka untuk
menempatkan dirinya dalam posisi yang relatif keunggulan kompetitif dan untuk berbicara
dengan beberapa ukuran otoritas, BSO perlu commodify keahliannya

Namun, seperti pengetahuan menjadi komoditas dan "memasuki wilayah ekonomi


politik di mana setiap klaim universal utilitas digerogoti oleh nilai yang dirasakan pihak
(misalnya, pengguna dan pengembang) yang tidak, dalam prakteknya, secara rutin
menganggap atau menerima bersama rasa kepentingan masing-masing "(hal. 152),
pengembang sistem yang mengklaim kepemilikan atas pengetahuan ini perlu untuk
membuat itu berharga dengan membuatnya dapat diterima oleh pelanggan mereka. Oleh
karena itu, para konsultan 'klaim obyektif dan netral keahlian perlu marah dengan diri
mereka tertarik keprihatinan tentang pengamanan dan memajukan posisi mereka di pasar
yang kompetitif.

Di koran oleh Elkjaer et al., Metafora pengetahuan adalah komoditas: sesuatu yang
bertindak sebagai objek atau sumber daya netral. Namun, citra pengetahuan ini dikritik atas
dasar pengetahuan yang tidak netral tapi hati-hati disusun dalam konteks pasar tertentu atau
hubungan organisasi. Selanjutnya, makalah ini penulis berpendapat bahwa itu adalah
decommodification pengetahuan (hal. 153) yang menawarkan harapan untuk mencapai
struktur kelembagaan yang lebih adil, yaitu orang-orang yang lebih setuju untuk membuka
dialog dan hubungan kekuasaan yang lebih adil. Hanya melalui membongkar dari
kontekstual ekonomi dan hubungan kekuasaan, di mana pengetahuan komoditi yang
diproduksi dan digunakan, pengetahuan itu dalam bentuk organisasi konsensus dapat datang
kedepan

Implikasinya untuk sistem informasi penelitian yang kita dapat menarik drom
makalah ini adalah metodologi pengembangan sistem dan sistem informasi profesional yang

16
berlaku mereka, tidak netral. Pengembang sistem informasi dan metodologi yang mereka
perjuangkan perlu dipahami dalam konteks yang lebih luas konteks sosial politik. Baik di luar
konsultan teknologi, seperti BSO, atau metodologi mereka, dapat mengklaim untuk menjadi
objektif
Dengan demikian para penulis menyimpulkan bahwa BSO's jelas komitmen untuk
membangun kesepakatan dan konsensus di dalam organisasi yang tidak asli, jika hal itu,
mereka akan mencari cara-cara menggunakan teknologi untuk memfasilitasi kondisi-kondisi
kelembagaan yang mendorong kolaborasi dan komunikasi dalam organisasi dan bahwa upaya
untuk mengatasi.

Hambatan kelembagaan dalam bentuk atau hubungan otonomi dan


ketergantungan [bahwa] membentuk konteks di mana hanya beberapa
bentuk perjanjian dan dialog yang "diterima" (hal. 150).

Singkatnya, pekerjaan oleh Elkjaer et al. telah menyoroti bahwa wacana kritis
keprihatinan itu sendiri dengan hubungan kekuasaan dan ketidakadilan yang melekat dalam
struktur organisasi dan masyarakat. Minimal, peneliti berusaha untuk kritis menyoroti
ketidakadilan dan kekuasaan ini menunjukkan pengaruh mereka pada tindakan ekonomi; di
maksimum, peneliti kritis berusaha untuk mempengaruhi perubahan sosial melalui penelitian
tindakan.

D. Wacana Dialogis

Salah satu dari dua artikel yang mewakili wacana dialogis terjalin mengeksplorasi
sifat pembelajaran organisasi dan organisasi yang disengaja melupakan (Bowker 1997); yang
lain, dipanggil timbal balik yang dinamis antara kontrol organisasi dan teknologi informasi
(Orlikowski 1991). Mengandalkan metode grounded, makalah ini adalah indikasi dari wacana
dialogis dalam bahwa mereka mengembangkan wawasan tentang pengelolaan pengetahuan
dalam cara emergant semut. Selanjutnya, alamat surat kedua sifat yang kontradiktif
mengelola pengetahuan. Bowker meneliti hal ini dalam konteks penciptaan skema klasifikasi,
sementara Orlikowski embedding berfokus pada sebuah organisasi metodologi

17
pengembangan sistem dalam alat CASE. Kedua artikel sadar implikasi bahwa inisiatif
pengelolaan pengetahuan terhadap hubungan kekuasaan dalam organisasi. Karena kurangnya
riset yang mewakili wacana ini, kita akan menyoroti masing-masing empat tema penelitian
manajemen pengetahuan dalam pembahasan teladan kita

.Contoh dari wacana dialogis

Penelitian Bowker berfokus pada hubungan dinamis dan alam yang saling
bertentangan antara ingatan dan ketidak ingatan yang dimiliki oleh organisasi dalam hal
identitas,penglihatan, dan kekuatan. Bowker menyoroti ketegangan yang dinamis antara
penghapusan dan pembersihan yang selektif dari pengetahuan profesi keperawatan masa lalu
profesi keperawatan dan pembangunan sebuah skema klasifikasi baru dari pekerjaan
keperawatan yang dimaksudkan untuk membuat profesi tersebut lebih ilmiah dan lebih
terlihat. Motivasi dibalik agar lebih terlihat ialah untuk memastikan bahwa pekerjaan perawat
menjadi bagian dari catatan formal dalam sistem infrastruktur informasi rumah sakit. Dengan
kata lain, profesi perawat tidak ingin kontribusinya diabaikan atau bahkan dilupakan.

Dalam dekonstruksi dokumen yang terkait dengan proyek klasifikasi intervensi


Perawat, Bowker menekankan pada kompleksitas dari penyeimbangan antara implikasi
positif serta negative dari pembuatan rancangan klasifikasi untuk profesi perawat. Dia
berpendapat bahwa rancangan klasifikasi ini berfungsi sebagai infrastruktur atau teori dari
pengetahuan keperawatan, dan hal tersebut memungkinkan pekerjaan perawat untuk menjadi
bagian sah dari catatan pasien. Selanjutnya, rancangan klasifikasi ini akan memuat
pengetahuan merawat lebih mudah diakses untuk penyelidikan ilmiah. Di saat yang sama,
rancangan klasifikasi ini berfungsi sebagai pendisiplin yang mengancam untuk mengubah
dari profesi pemberi perawatan menjadi suatu pemroses informasi.

Dengan menggunakan proyek NIC sebagai contoh ilustrasi, Bowker menyoroti alam
yang bertentangan dari pembelajaran organisasi dan penciptaan pengetahuan: dalam rangka
untuk menciptakan rancangan klasifikasi yang mengakui dan membuat pekerjaan perawat
terlihat, struktur pengetahuan yang ada harus secara selektif dihapus atau tidak bisa diakses
dengan cara mendirikan penghalang yang mencegah pengetahuan dari masa lalu merembes
sampai sekarang. Hal ini dikarenakan pengetahuan masa lalu dan identitas harus bersumpah
merangkul semua profesi dengan segala janji dari status ilmiah, penglihatan, dan mematuhi
segala perintah. Jadi, dalam motivasi perlunya tata-nama baru dan infrastruktur pengetahuan,

18
pencipta dari NIC secara bersamaan mengakui dan menolak keberadaan ilmu keperawatan
sebelumnya:

Tim NIC secara umum mengklaim baik yang keperawatan sudah menjadi ilmu
pengetahuan dan itu adalah salah satu yang belum dirumuskan: mereka harus
mempertahankan yang sebelumnya unntuk membenarkan profesi ini serangan saat ini dan
nanti dalam rangka untuk membenarkan sistem klasifikasi,dimana ketika akan melindungi
dari serangan masa depan.

Jadi ilmu, khususnya ilmu yang ada, adalah sebuah kewajiban. Dan lagi untuk
meningkatkan visibilitas profesi perawat, rancangan NIC baru berfungsi sebagai alat
pendisiplin. Perawat tidak selamanya harus untuk “segalanya yang mungkin” dapat
membantu pasien ; malahan, mereka dapat mengatur prioritas dan membuat keputusan
dengan kenyataan yang sama seperti profesi yang lainnya dimana beroperasi dengan berpusat
pada data kontemporer, lingkungan informasi intensif. Dan berjuang unntuk meningkatkan
visibilitas melalui penciptaan skema klasifikasi yang memungkinkan perwakilan mudah dan
menangkap kegiatan merawat dalam catatan elektronik pasien. Jadi salah satu tantangan
dalam proyek NIC ialah untuk membuat pekerjaan perawat cukup terlihat tanpa membuatnya
terlalu terlihat. Hal ini dapat dicapai melalui melanjutkan penghapusan parsial ilmu
keperawatan.

Metafora ilmu pengetahuan ialah disiplin, dimana disiplin memiliki makna ganda
yaitu sebagai (1) cabang ilmu pengetahuan (2)sistem koreksi dan control (Foucault 1979).
Pembauran yang tidak mungkin dilepaskan dari ilmu pengetahuan dan menyoroti bahwa
sebelum sesuatu dapat dikontrol, di atur, atau di perintah, harus terlebih dahulu dikenal. Ilmu
pengetahuan memainkan peran yang mendasar dalam menerjemahkan fenomena terlihat,
masuk akal, diperhitungkan, dan disetujui untuk intervensi. Dengan kata lain, ilmu
pengetahuan membuat sesuatu dapat diatur.

Implikasi dari penelitian IS ialah bahwa peran teknologi dalam membuat pekerjaan
tidak terlihat menjadi terlihat, dan taruhan yang terlibat dalam pencapaian prestasi ini.
Penelitian ini juga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mengenai kelayakan dari pengabaian
organisasi dalam menghadapi peningkatan penggunaan teknologi. Akan terlihat bahwa
strategi penghapusan dan pembersihan sulit untuk dilaksanakan dalam lingkungan yg visible.

19
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pandangan wacana dialogis dari ilmu
pengetahuan sebagai disiplin, sebagai contoh suatu sistem mengetahui dan memperbaiki,
muncul sesuatu yang agak negative dan sia-sia. Penciptaan dan pengelolaan ilmu
pengetahuan bukanlah sarana untuk mencapai kemajuan menuju tujuan seperti keunggulan
kompetitif yang berkelanjutan.

E. Diskusi dan Implikasi

Tujuan dari dibuatnya makalah ini ialah untuk mengambil efek dari sistem informasi
berbasis penelitian manajemen pengetahuan dengan mengidentifikasi perspektif teori ilmu
pengetahuan dan manajemennya yang mungkin dan menilai sejauh mana sudut pandang yang
beragam ini – seperti yang tercantum dalam wacana - diwakili dalam penelitian manajemen
pengetahuan yang telah diterbitkan dalam jurnal sistem informasi dalam 10 tahun terakhir.
Analasis kami menyoroti bahwa lebih dari setengah penelitian manajemen pengetahuan yang
diterbitkan mewakili wacana normative.

Hasil ini menunjukkan bahwa portofolio penelitian manajemen pengetahuan dalam


literature sistem informasi secara khusus lebihh condong ke wacana consensus dan wacana
normative. Ini menyiratkan bahwa implikasi negatif dari pengetahuan, yaitu dengan
penegakan disiplin dan mendominasi efek, yang tersisa sebagian besar tidak teruji. Meskipun
penelitian dalam wacana interpretatif menyoroti konsekuensi negatif dari teknologi informasi
pada pembelajaran organisasi, wacana tidak mempertanyakan nilai pengetahuan itu sendiri.
bahaya daerah penelitian yang mengabaikan satu set asumsi-asumsi epistemologis adalah
bahwa hal itu mungkin menjadi terlalu sempit dan tertutup untuk ide-ide baru. Lebih lanjut,
jika pengalaman anggota organisasi dengan manajemen pengetahuan lebih dipengaruhi oleh
kekuasaan, politik, dan kontradiksi dari peneliti sistem informasi mampu untuk mengenali,
maka penelitian akan kehilangan kemampuannya untuk menjelaskan pengalaman organisasi
dengan manajemen pengetahuan. Metafor yang terkait dengan setiap wacana harus
membantu para peneliti dan praktisi dalam menangkap asumsi dasar mereka tentang
pengetahuan dan manajemen.

Makalah ini telah menyoroti bahwa setiap wacana cocok untuk aspek tertentu dari
penelitian manajemen pengetahuan. Misalnya, muncul wacana normative yang cocok untuk
mempelajari solusi teknologi untuk masalah manajemen pengetahuan. Penafsiran wacana,

20
sebaliknya, adalah lebih mahir pemahaman implementasi dan implikasi organisasi inisiatif
manajemen pengetahuan dan teknologi. Dari kekurangan makalah ini, baik dalam wacana
kritikal dan wacana dialogis, sulit untuk mengidentifikasi tema-tema dalam wacana
dissensus. Meski demikian, berdasarkan kerangka kerja Deet’z dan contoh yang tertuang
dalam makalah ini, kita dapat mengidentifikasi beberapa topic penelitian yang mungkin
bermanfaat didekati dari perspektif kritikal maupun dialogis. Wacana kritikal menjanjikan
sehubungan dengan menyoroti ketidakadilan sosial yang mendasari stratifikasi organisasi
sebagai pembeda antara pelayanan dan pengetahuan bekerja. Wacana dialogis meminjamkan
sendiri dengan baik untuk pemeriksaan kontradiksi dalam mengelola pengetahuan.

Karena perbedaan asumsi dari ilmu pengetahuan di setiap wacana, pertanyaan seputar
isu penelitian akan bervariasi antar wacana. Kami mendorong para peneliti untuk
mempertimbangkan alternatif pertanyaan penelitian dalam suatu arus penelitian manajemen
pengetahuan.

21
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Dalam rangka mempromosikan aliran dari penelitian manajemen pengetahuan yang


tidak bias/ berat sebelah ataupun terkendala oleh asumsi-asumsi teori dan pilihan motodologi,
makalah ini mencoba untuk meningkatkan kesadaran dari berbagai wacana mengenai
manajemen pengetahuan. Kami telah meninjau literatur sistem informasi mengenai
manajemen pengetahuan agar dapat memahami bagaimana pengetahuan saat ini dirawat dan
untuk memahami topic dan tema apa yang diangkat oleh peneliti sistem informasi dalam
studinya mengenai manajemen pengetahuan. Dengan demikian, kita dapat melihat adanya
kecenderungan untuk mengadopsi pandangan optimis dari peran pengetahuan dalam
organisasi serta peran sistem informasi dalam memungkinkan manajemen pengetahuan.
Suara dari para pembangkan sedikit, namun mereka profokatif. Oleh karena itu, kami
mendorong para peneliti sistem informasi untuk bergulat dengan masalah-masalah sulit
mengenai kekuasaan dan konflik yang mungkin memicu manajemen pengetahuan. metafora
yang digunakan untuk menjelaskan pandangan pengetahuan diwakili dalam empat wacana
sehingga dapat membantu mengembangkan definisi dan interpretasi pengetahuan.

Akhirnya, penelitian kami menunjukkan bahwa hanya sedikit dari peneliti IS


melakukan penelitian manajemen pengetahuan yang mengadopsi wacana kritis dan dialogis
dalam program-program penelitian mereka, atau beberapa jurnal mempublikasikan wacana
ini. contoh-contoh yang disajikan sebagai wakil dari wacana ini memberikan bukti pada
kesimpulan yang menarik yang bisa berasal dari mengadopsi perspektif disensus.
memberikan pengaruh yang dimiliki pada asumsi epistemologis interpretasi peneliti data, kita
mendorong lebih banyak peneliti IS untuk mempertimbangkan mereka menafsirkan ulang
pekerjaan yang sudah ada atau terlibat dalam penelitian baru dibangun di sekitar wacana
kritis dan dialogis.

22
23

Anda mungkin juga menyukai