Anda di halaman 1dari 17

TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN

PENGENDALIAN PENCEMARAN PENGOLAHAN KELAPA SAWIT

NUGROHO PRATOMO

NPM:1106046566

PROGRAM PASCA SARJANA ILMU LINGKUNGAN

UNIVERSITAS INDONESIA

2012

1
PENGENDALIAN PENCEMARAN PENGOLAHAN KELAPA SAWIT

A. Latar Belakang
Semenjak terjadinya revolusi industri serta bertambahnya jumlah penduduk, permintaan
kebutuhan energi di seluruh dunia terus mengalami peningkatan. Hal ini pada akhirnya
memaksa manusia untuk terus melakukan diversifikasi bentuk-bentuk serta sumber energi
yang digunakan. Selain dari sisi harga, ketersediaan serta kemudahaan dalam pengelolaannya
merupakan faktor-faktor lain yang menjadi pertimbangan. Seiring dengan perkembangan
teknologi, manusia kemudian lebih banyak menggunakan energi fosil. Dimulai dari
penggunaan batu bara, hingga akhirnya minyak bumi yang kini telah digunakan secara masif.

Dalam perjalanannya ternyata penggunaan jenis energi ini telah menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan. Berkembangnya isu mengenai pemanasan global ditengarai
merupakan salah satu dampak atas eksploitasi jenis energi fosil terutama minyak bumi yang
berlebihan.

Pada saat yang bersamaan, pemanfaatan energi fosil ternyata saat ini juga dihadapkan pada
semakin berkurangnya ketersediaan dari energi tersebut. Mengingat jenisnya yang tidak dapat
diperbaharui, maka sebagai akibatnya terjadi fluktuasi pada tingkat harga. Meski juga banyak
faktor non ekonomi lain yang turut mempengaruhi fluktuasi harga tersebut. Namun pada
dasarnya masih tingginya ketergantungan pada jenis energi ini mengakibatkan ketimpangan
yang besar antara kemampuan produksi dan permintaan. Belajar dari pengalaman
penggunaan energi fosil, maka faktor eksternalitas terhadap lingkungan serta
keberlangsungan untuk memperbaharui (renewable) sumber energi menjadi pertimbangan
yang sangat penting. Kondisi inilah yang kemudian juga mendorong banyak negara di dunia
untuk mulai mengembangkan bahan bakar nabati (biofuel).

Biofuel merupakan komoditas agrikultur yang dapat mengurangi ketergantungan manusia


pada energi fosil dan menekan emisi karbon. Namun demikian intensifikasi dan ekspansi
perkebunan pun merupakan penggerak utama dari modifikasi habitat, perubahan lingkungan
dan hilangnya biodiversitas dari hutan tropis yang sebelumnya ada.

Secara umum ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh biofuel ini.
Pertama adalah melalui pembakaran limbah organik kering. Misalnya limbah dari rumah
tangga, maupun pertanian. Kedua ialah melalui fermentasi dari limbah basah yang dapat
menghasilkan biogas dengan kadar kandungan metana hingga 60%.

2
Fermentasi lainnya juga dapat dilakukan langsung pada berbagai jenis tanaman pangan
seperti tebu, jagung, gandum, kentang bahkan singkong dan padi yang menjadi makanan
pokok sebagian besar masyarakat Indonesia juga dapat menghasilkan etanol. Tingkat asam
yang yang dihasilkan oleh berbagai tanaman tersebut biasanya diturunkan/netralisir oleh
alkalin. Hal ini dilakukan untuk untuk mengurangi dampak korosif yang dihasilkan, sehingga
dapat dilakukan proses trasesterfikasi.

Namun dalam perkembangannya kini, salah satu sumber utama dalam pengembangan BBN
ini berasal dari minyak nabati, dimana salah satunya adalah minyak kelapa sawit (CPO).
Teknologi yang umum digunakan pada skala komersial berupa transesterifikasi antara
minyak lemak nabati dan metanol menggunakan katalis basa NaOH atau KOH. Dari berbagai
penelitian disimpulkan, sebaiknya digunakan minyak nabati yang kadar asam lemak bebas
(ALB)-nya rendah atau kurang dari 1 persen. Jika lebih, perlu diberi perlakuan pendahuluan
karena bisa berakibat pada rendahnya efisiensi kinerja biodiesel minyak sawit (Prihadana,
2008, hal: 75).

Pada industri hulu perkebunan kelapa sawit menghasilkan berbagai produk primer berupa
minyak kelapa sawit dan minyak inti kelapa sawit. Dari produk kedua jenis produk tersebut
dapat dikembangkan menjadi bermacam-macam produk industri hilir. Keduanya juga
merupakan ester asam lemak dan gliserol yang disebut trigliserida. Trigliserida dari minyak
kelapa sawit banyak mengandung asam palmitat, linoeleat, stearat, dan gliserol. Sedangkan
trigliserida dari minyak inti sawit mengandung asam laurat, miristat, stearat, gliserol, dan
sedikit palmitat. Baik minyak kelapa sawit maupun inti sawit merupakan sumber energi
pangan, seperti minyak goreng, margarine, shorteening, dan vanaspati serta sumber karbon di
dalam industri oleokimia. Penggunaan ini terkait dengan sifat senyawa karbon minyak nabati
yang relatif lebih mudah terurai di alam dibandingkan dengan senyawa turunan yang berasal
dari minyak bumi (Pahan, 2007).

Sementara minyak inti sawit digunakan sebagai input dalam beberapa industri seperti sabun,
kosmetik serta pakan ternak. Pada proses pembuatan makanan ternak, buah diproses dengan
membuat lunak bagian daging buah dengan temperatur 90°C. Daging yang telah melunak
dipaksa untuk berpisah dengan bagian inti dan cangkang dengan pressing pada mesin silinder
berlubang. Daging inti dan cangkang dipisahkan dengan pemanasan dan teknik pressing.
Setelah itu dialirkan ke dalam lumpur sehingga sisa cangkang akan turun ke bagian bawah
lumpur. Sisa pengolahan buah sawit sangat potensial menjadi bahan campuran makanan
ternak dan difermentasikan menjadi kompos.

3
Gambar. A1
Arus pengolahan of Palm Oil
(Sumber: Ayung Pahan, 2007)

B. Pertanyaan

Berdasarkan latar belakang dan permasalah tersebut di atas, maka pertanyaan yang diajukan
dalam penelitian ini ialah:

1. Dampak pencemaran seperti apakah yang terjadi akibat keberadaan pengolahan


kelapa sawit?

2. Bagaimana bentuk dari penanganan pencemaran yang diakibatkan oleh pengolahan


perkebunan kelapa sawit?

4
C. Pembahasan

1. Perkembangan industri kelapa sawit

Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dimulai ketika didatangkannya empat


benih dari Afrika Barat yang kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor pada tahun 1848.
Selanjutnya, kelapa sawit mulai dibuka beberapa perkebunan dan kelapa sawit juga ditanam
di tepian jalan di beberapa tempat di Deli pada tahun 1870-an (Yampolsky, 1957). Kemudian
penanaman ini terus bertumbuh seiring dengan prospek perekonomian yang menjanjikan dari
budidaya ini.

Perkebunan pernah mengalami masa yang cukup suram, yaitu ketika masa Perang Dunia
Kedua dan pendudukan Jepang sampai Perang Kemerdekaan bahkan terjadi
penurunan(Booth, 1988). Penurunan yang paling drastis terjadi khususnya pada perkebunan
milik negara. Hal ini umumnya disebabkan pengelolanya mengungsi, menjadi korban atau
masuk kamp interniran. Demikian juga ketika perusahaan-perusahaan Belanda dinasionalisasi
pada tahun 1957 yang menurunkan kapasitas pengelolaan secara mendadak. Namun pada saat
yang bersamaan, perkebunan milik rakyat justru terus meningkat pada masa-masa sesudah
kemerdekaan.

Pada perjalanan sejarah selanjutnya, introdusir kelapa sawit terbukti mampu menjadi salah
satu pilar perkembangan perekonomian nasional. Pengembangan kelapa sawit, bersamaan
dengan semangat peningkatan produktivitas pertanian menjadi agenda yang cukup penting di
tingkat nasional. Bila sebelumnya Indonesia menjalankan agenda yang cukup serius pada
pemenuhan kebutuhan makanan pokok beras melalui revolusi hijau yang melibatkan peran
negara yang sangat intensif, perkembangan komoditas sawit diwarnai oleh peran pelaku yang
lebih beragam. Untuk pengembangan produksi sawit, peran negara malah makin menyusut
dari tahun ke tahun sementara peran perusahaan (dan pasar) makin meningkat. Perkebunan
sawit yang dimiliki oleh petani kecil terintegrasi langsung maupun tidak langsung dengan
perkebunan besar baik itu milik perusahaan milik negara maupun perusahaan swasta

Mencermati luasan perkebunan kelapa sawit dari tahun ke tahun, terus mengalami
peningkatan. Berdasarkan data estimasi Dirjen perkebunan, luas areal perkebunan kelapa
sawit hingga 2010 mencapai 7,8 juta hektar. Luas tersebut meningkat dibandingkan tahun
2009, yaitu sebesar 7,5 juta hektar. Luas tersebut terbagi atas perkebunan milik rakyat

5
(smallholders) seluas 3,3 juta hektar, negara 616 ribu hektar dan swasta besar seluas 3,8 juta
hektar.

Tabel C.1
Luas Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Menurut status Kepemilikian
Perkebunan rakyat (Ha) Negara (Ha) Swasta (Ha) Total Area (HA)
2000 1.166.758 588.125 2.403.194 4.158.076
2001 1.561.031 609.943 2.542.457 4.713.431
2002 1.808.424 631.566 2.548.457 4.988.447
2003 1.856.394 662.803 2.766.360 5.285.557
2004 2.220.338 605.865 2.458.520 5.284.723
2005 2.356.895 529.854 2.567.068 5.453.817
2006 2.636,425 696.699 2.741.802 6.074.926
2007 2.752.172 606.248 3.408.416 6.766.836
2008 2.881.898 602.963 3.878.986 7.363.847
2009* 3.013.973 608.580 3.885.470 7.508.023
2010** 3.314.663 616.575 3.893.385 7.824.623
Sumber: Departemen Pertanian
*) Perkiraan, **) Estimasi

Semenjak tahun 2002, Indonesia dan Malaysia tercatat sebagai produsen terbesar dari
perdagangan minyak sawit dengan menguasai 80 persen pasar dunia. Melihat kemampuan
produksi yang demikian besar tidak mengherankan bahwa kemudian kawasan Asia Tenggara
menjadi salah satu wilayah yang menarik bagi para pelaku pengembangan industri kelapa
sawit. Ada beberapa alasan yang menjadikan kawasan itu sebagai wilayah pengembangan
sawit. Pertama, iklim dengan tingkat kelembaban yang mendukung budi-daya sawit. Kedua,
upah buruh yang relatif rendah. Ketiga, biaya sewa tanah yang relatif rendah. Keempat,
adanya rencana pemerintah, khususnya Indonesia dan Malaysia, untuk mengembangkan
sektor perkebunan sawit melalui paket-paket kebijakan yang berusaha menarik investasi serta
kemudahan-kemudahan fiskal dan pinjaman.

2. Ekspor

Dalam perdagangan dunia minyak kelapa sawit, ada dua komoditas penting
mempengaruhinya. Pertama adalah minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dengan
kode perdagangan HS 151110. Untuk komoditas ini Indonesia merupakan negara eksportir
terbesar. Selama empat tahun terakhir (2005-2009) total nilai ekspor perdagangan dunia
untuk komoditas ini mencapai US$ 29,3 milyar. Sedangkan nilai impornya sebesar US$ 32,9
milyar. Dengan nilai ekspor US$ 19,6 milyar Indonesia menguasai lebih dari 66,9% ekspor

6
CPO dunia. Malaysia sebagai eksportir CPO terbesar kedua nilai ekspornya pada periode
yang sama mencapai lebih US$ 6,3 milyar, atau sebesar 21,5% dari keseluruhan ekspor CPO
dunia.

Grafik C.1
Persentase Pengusaan pangsa pasar ekspor CPO 2005-2009
Belanda Lainnya
Thailand
1% 6%
2%
Kolombia
2%

Malaysia
22%

Indonesia
67%

Sumber : UN Comtrade

Dominasi Indonesia untuk komoditas ini tentunya juga dapat dilihat dari tren yang terjadi
sejak tahun 2000 lalu. Pada perkembangannya, selama periode 2005-2009 lalu total volume
ekspor CPO Indonesia ke dunia mencapai 33 juta ton dengan keseluruhan nilai mencapai
US$ 19,6 milyar. Sebagian besar negara tujuan ekspor CPO Indonesia adalah India dengan
nilai ekspor mencapai US$ 9 milyar atau sebesar 46,3%. Negara tujuan ekspor terbesar kedua
adalah Belanda dengan nilai ekspor sebesar US$ 2,3 milyar (12%) dan ke Malaysia yang
mencapai US$ 1,6 milyar atau sebesar 8,1%.

Malaysia, dalam perdagangan CPO juga menjadikan India sebagai negara tujuan ekspor
terbesarnya. Selama tahun 2005-2009 total nilai ekspor CPO Malaysia ke seluruh dunia
mencapai US$ 6,3 milyar. Negara tujuan ekspor terbesarnya adalah ke Belanda dengan nilai
ekspor mencapai hamper US$ 3 milyar. Jumlah tersebut adalah 47,4% dari total keseluruhan
ekspor CPO negara tersebut ke seluruh dunia. Negara tujuan ekspor CPO terbesar kedua
Malaysia adalah India. Nilai ekspor yang dihasilkan Malaysia mencapai US$ 1 milyar atau
16,5% dari total nilai ekspor CPO Malaysia.

7
Grafik C.2
Negara tujuan ekspor CPO Malaysia 2005-2009
Finlandia
2%
Lainnya
China
13%
10%
Belanda
47%
Pakistan
12%

India
16%

Sumber : UN Comtrade

Berdasarkan data terakhir UN Comtrade pada tahun 2010 menyebutkan bahwa nilai ekspor
CPO Indonesia ke seluruh dunia mencapai US$ 7,6 milyar. Negara tujuan ekspor terbesarnya
adalah India, nilai ekspor mencapai US$ 3,6 milyar. Sebagai perbandingan, pada tahun 2010,
nilai ekspor CPO Malaysia ke dunia mencapai US$ 2,3 milyar. Negara tujuan ekspor CPO
adalah ke Belanda, dengan nilai ekspor lebih dari US$ 698 juta.

Dalam perdagangan internasional komoditas CPO, data yang dipublikasikan oleh komisi
perdagangan PBB (COMTRADE) menunjukan bahwa sepanjang tahun 2005-2009 India
merupakan importir terbesar. Total nilai impor India untuk komoditas ini mencapai US$ 8
milyar. Dengan nilai tersebut artinya impor CPO India hampir dari 24,1% dari keseluruhan
impor dunia. Jumlah tersebut kemudian diikuti oleh Belanda dengan nilai impor hampir US$
4,8 milyar atau 14,5% dan Bangladesh dengan nilai mencapai US$ 2 milyar atau 6,3% dari
keseluruhan nilai impor dunia.

Komoditas lainnya adalah minyak sawit sulingan (HS151190). Data yang sama menunjukan
bahwa sepanjang periode 2005-2009 Cina merupakan importir terbesar di dunia. Sepanjang
periode tersebut, nilai impor Cina mencapai US$ 15,6 milyar. Nilai impor tersebut setara
28,5% dari keseluruhan nilai impor komoditas ini di dunia. Importir terbesar kedua adalah
Pakistan dengan nilai mencapai US$ 4, 2 milyar dan diikuti oleh Amerika Serikat sebesar
US$ 2,8 milyar. Secara keseluruhan nilai impor untuk komoditas ini di seluruh dunia selama
periode 2005-2009 mencapai US$ 54,82 milyar.

8
Pada sisi ekspor, satu hal yang menarik bahwa terbalik dengan komoditas CPO ternyata
Malaysia merupakan negara ekportir terbesar di dunia. Nilai ekspor Malaysia untuk
komoditas selama periode 2005-2009 sebesar US$ 33,4 milyar atau 53% dari total nilai
ekspor dunia. Setelah itu barulah diikuti oleh Indonesia yang nilainya mencapai US$ 19,6
milyar atau 31,1% dari total nilai ekspor dunia.

Di Indonesia, penggunaan minyak sawit sebagian besar ditujukan untuk keperluan


pemenuhan kebutuhan konsumsi makanan dan bahan pangan terutama industri minyak
goreng. Sebelum masuk ke dalam pabrik pengolahan minyak goreng, ada beberapa tahapan
yang harus dilalui setelah dilakukan panen di tingkat perkebunan. Bagian yang paling utama
untuk diolah dari kelapa sawit adalah buahnya. Bagian daging buah menghasilkan minyak
kelapa sawit mentah inilah yang kemudian diolah menjadi bahan baku minyak goreng. Hal
ini pada dasarnya terkait dengan kelebihan minyak nabati dari sawit adalah harga yang
murah, rendah kolesterol, dan memiliki kandungan karoten tinggi.

Sebagai penyerap hasil minyak sawit mentah, perkembangan industri minyak goreng selama
satu dasawarsa terakhir mengalami peningkatan sejalan dengan beralihnya pola konsumsi
masyarakat dari minyak goreng kelapa ke minyak goreng kelapa sawit. Industri minyak
goreng di Indonesia saat ini menggunakan sekitar 36% dari produksi minyak sawit nasional
setiap tahun. Sekitar 52% produksi minyak sawit dalam negeri diekspor dan sisanya, sekitar
12% digunakan oleh industri margarin, sabun, dan industri oleo chemical (Inrise, 2008).
Dalam perjalanannya, minyak kelapa hingga akhir dekade 1970an masih menjadi bahan baku
utama dari sebagian besar industri minyak goreng di Indonesia. Namun sebagai akibat
produksi kopra yang terus mengalami penurunan mengakibatkan tersendatnya pasokan bagi
pabrik minyak goreng. Sejak saat itu, beberapa industri minyak goreng domestik semakin
luas mengembangkan minyak goreng dengan berbahan baku minyak sawit.

Produk minyak kelapa sawit sebagai bahan makanan mempunyai dua aspek kualitas. Aspek
pertama berhubungan dengan kadar dan kualitas asam lemak, kelembaban dan kadar kotoran.
Aspek kedua berhubungan dengan rasa, aroma dan kejernihan serta kemurnian produk.
Kelapa sawit bermutu prima (SQ, Special Quality) mengandung asam lemak (FFA, Free
Fatty Acid) tidak lebih dari 2 persen pada saat pengapalan. Kualitas standar minyak kelapa
sawit mengandung tidak lebih dari 5 persen FFA. Setelah pengolahan, kelapa sawit bermutu
akan menghasilkan rendemen minyak 22.1 persen ‐ 22,2 persen (highest) dan kadar asam
lemak bebas 1.7 persen‐2.1 persen (lowest). Proses penyulingan dikerjakan untuk penjernihan
dan penghilangan bau atau RBDPO (Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil), kemudian

9
diuraikan lagi menjadi minyak sawit padat (RBD Stearin) dan untuk produksi minyak sawit
cair (RBD Olein). Secara keseluruhan proses penyulingan minyak kelapa sawit tersebut dapat
menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% PFAD ( Palm Fatty Acid Distillate) dan 0.5%
buangan.

Gambar. C.1

Industri fraksinasi/rafinasi menghasilkan nilai tambah yang relative kecil tetapi kapasitas
terpasang industri ini sudah terlalu besar. Di sisi lain, tahapan fraksinasi/rafinasi harus
dilakukan dalam industri minyak makan. Nilai tambah yang diperoleh dari perdagangan
eceran (retail) minyak makan cukup besar. Oleh karena itu pengembangan industri ini perlu
diarahkan kepada usaha retail minyak makan baik untuk pasar dalam negeri maupun untuk
pasar luar negeri. Untuk itu dibutuhkan kebijakan pemerintah yang terpadu dalam
pengembangan minyak sayur.

D. Dampak pencemaran

Salah satu permasalahan yang kini menjadi perdebatan dalam pengembangan perkebunan
kelapa sawit adalah dampaknya terhadap kerusakan hutan hujan tropis dan termasuk di
dalamnya adalah emisi gas rumah kaca. Hutan tropis menyimpan sekitar 46% dari cadangan
karbon dunia dan 25% dari total emisi karbon global dapat berasal dari penebangan hutan

10
(Danielsen et al, 2008). Hal ini menunjukkan kontradiksi dari strategi manapun dalam hal
membersihkan hutan tropis untuk pengembangan tanaman bagi bahan bakar ramah karbon.
Pada tahun 2006, Indonesia dan Malaysia merupakan penghasil tanaman kelapa sawit
terbesar di dunia dengan total 85% dari seluruh hasil dunia. Kedua negara tersebut kehilangan
2 juta hektar hutan tropis untuk dikorbankan menjadi perkebunan kelapa sawit.

Salah satu penelitan yang terkait dengan hal ini dilakukan oleh Danielsen et al (2008).
Penelitian ini berusaha mengeksplorasi penyebaran perkebunan kelapa sawit terkait emisi
gas rumah kaca dan biodiversitas. Perkebunan sawit ditengarai hanya dihuni spesies yang
terbatas. Hipotesis penelitian ini adalah bahwa pengurangan pembabatan hutan menjadi suatu
strategi yang lebih efektif dibandingkan mengkoversi hutan untuk memproduksi biofuel.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan estimasi emisi gas
rumah kaca, komparasi biodiversitas fauna dan komparasi biodiversitas flora. Metode
estimasi emisi gas rumah kaca dilakukan dengan menggunakan data-data publikasi terkait
sehingga dapat diperoleh estimasi jumlah tahun kompensasi suatu perkebunan kelapa sawit
jika penggunaan bahan bakar fosil dihindari. Selain itu, juga dilakukan kalkulasi terkait
dengan jumlah karbon yang dilepaskan ketika suatu hutan tropis dikonversi menjadi
perkebunan sawit dan apabila konversi lahan tersebut dilakukan dengan cara pembakaran
hutan. Terkait pembakaran hutan, emisi karbon yang dilepaskan justru mengandung
komponen lain seperti metana, yang memiliki potensi efek rumah kaca lebih besar dibanding
karbon dioksida.

Sedangkan komparasi biodiversitas fauna dan flora terkendala data yang kurang lengkap.
Meta analisis dilakukan untuk mengkomparasi keragaman spesies hewan antara perkebunan
sawit dan hutan. Namun belum pernah ada data yang dipublikasikan terkait komparasi flora
dari perkebunan sawit dan hutan. Data yang ditampilkan pada penelitian ini merupakan hasil
sampel flora yang dilakukan oleh H.B. di provinsi Jambi.

Hasil dari penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu emisi gas
rumah kaca dan keragaman hayati. Dari kelompok pertama, dapat disimpulkan bahwa saat
perkebunan sawit mencapai usia dewasa, kandungan karbon yang disimpannya masih jauh
lebih sedikit dibandingkan hutan yang sudah tua. Produksi dan penggunaan biofuel yang
dihasilkan dari lahan yang sebelumnya merupakan hutan tropis dapat mengacu pada
pelepasan CO2 yang lebih besar ketimbang menggunakan energi yang setara dengan bahan
bakar fossil selama 75 tahun. Sedangkan dari segi keragaman hayati, kekayaan spesies

11
burung, reptil dan mamalia selalu lebih rendah pada perkebunan kelapa sawit. Komponen
utama vegetasi hutan juga hilang sepenuhnya pada perkebunan sawit dan tidak ada tanda-
tanda regenerasi. Mereka antara lain pohon-pohon besar, anggrek, liana, dan lain-lain. Dari
hasil tersebut, diperlukan 75 sampai 93 tahun kompensasi emisi karbon yang digunakan
melalui biofuel untuk menggantikan karbon yang hilang melalui konversi lahan. Hal itu pun
masih tergantung bagaimana cara lahan tersebut dibersihkan.

Bentuk pencemaran lain yang diakibatkan oleh perkebunan kelapa sawit ini ialah berbagai
bentuk limbah cair. Khususnya yang berasal dari pabrik pengolahan kelapa sawit. Meski
demikian tidak semua limbah dari pabrik pengolahan kelapa sawit menghasilkan limbah yang
berbahaya. Limbah dari pengolahan kelapa sawit juga mengandung unsur hara yang tinggi
misalnya saja N, P, K, Mg dan Ca (Widhiastuti,2001).

E. Penangan pencemaran
Salah satu bentuk penangan limbah yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit adalah
dengan fermentasi anaerob menggunakan digester anaerob dua tahap. Penelitian yang
dilakukan oleh Hasanah (2011) menunjukan bahwa Setelah dilakukan fermentasi secara
anaerobik selama 40 hari menggunakan digester anaerob dua tahap didapatkan bahwa
parameter beban pencemar limbah, yaitu BOD, COD dan TSS mengalami penurunan. Nilai
BOD mengalami persentase penurunan terbesar pada digester dengan taraf perlakuan P80S20
yaitu 80% diikuti P90S10 sebesar 69,96% dan P80S20 sebesar 58,99%. Nilai COD mengalami
persentase penurunan secara berurut dari digester dengan perlakuan P70S30 sebesar 74%,
diikuti P80S20 sebesar 73,24% dan P90S10 sebesar 67,03%.

Sama hal nya dengan nilai TSS yang juga mengalami penurunan disetiap perlakuan dengan
persentase penurunan nilai TSS sebesar 66% untuk P70S30, 66,60% untuk P80S20 dan 61,40%
untuk P90S10. Penurunan nilai beban pencemar tersebut disebabkan oleh adanya perombakan
bahan organik oleh mikroorganisme selama proses fermentasi anaerob di dalam digester
berlangsung. Selisih besarnya penurunan BOD antara digester tahap I dan II perlakuan P70S30
pada hari ke-20 hingga hari ke-40 berturut-turut yaitu sebesar 65.92%, 67.48%, dan16.04%.

Sedangkan selisih besarnya penurunan COD antara digester tahap I dan II perlakuan P 70S30
pada hari ke-20 hingga hari ke-40 berturut-turut yaitu 55.74%, 71.58%, dan 25.79% serta
selisih penurunan TSS antara digester tahap I dan II pada hari ke 20 hingga hari ke 40
berturut-turut sebesar 74.30%, 61,39% dan 36,39%. Persentase penurunan nilai COD, dan

12
TSS terbesar antara digester tahap I dan digester tahap II perlakuan P70S30 terjadi pada
digester tahap II.

Lebih lanjut penelitian ini juga memperlihatkan bahwa persentase penurunan nilai BOD,
COD dan terbesar pada hari ke-20 hingga hari ke-40 terjadi pada digester tahap II perlakuan
P80S20. Selisih besarnya penurunan nilai BOD pada digester tahap I dan II perlakuan
P80S20 dapat diketahui pada hari ke-20, hari ke-30 dan hari ke-40 dengan persentase selisih
penurunan BOD pada hari ke-20, hari ke-30 dan hari ke-40 berturut-turut sebesar 65,92% ,
81,78%, 44,25 %. Sedangkan persentase selisih penurunan COD pada hari ke-20, hari ke-30
dan hari ke-40 berturut-turut sebesar 67,23% , 74,98%, 53,95 %. TSS digester tahap I dan II
perlakuan P80S20 memiliki selisih besarnya penurunan nilai TSS pada hari ke-20, hari ke-30
dan hari ke-40 berturut-turut sebesar 82,59%, 70,58%, 68,66 %.

Selisih penurunan nilai BOD pada digester tahap I dan II perlakuan P90S10 dapat diketahui
pada hari ke-20, hari ke-30 dan hari ke-40 dengan persentase selisih besarnya penurunan
BOD pada hari ke-20, hari ke-30 dan hari ke-40 berturut-turut sebesar 43,19% , 54,20%,
55,53 %. Selisih penurunan nilai COD digester tahap I dan II pada hari ke 20, hari ke 30 dan
hari ke 40 berturut-turut sebesar 42,74%, 56,89%, dan 69,75%. Sedangkan selisih besarnya
penurunan TSS digester tahap I dan digester tahap II perlakuan P90S10 pada hari ke-20, hari
ke-30 dan hari ke-40 berturut-turut yaitu 27.41%, 19.53%, dan 22.51%. Persentase penurunan
nilai COD pada masing-masing digester menunjukkan bahwa persentase penurunan terbesar
terjadi pada digester tahap II.

Dalam konteks yang lebih luas, penanganan pencemaran akibat kelapa sawit sebenarnya juga
telah diatur dalam prinsip dan kriteria RSPO khusnya dalam kriteria 5 yaitu tentang tanggung
jawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keanekaragaman hayati. Terkait dengan
limbah, dalam prinsip 5.3 dinyatakan bahwa limbah harus dikurangi, didaur ulang, dipakai
kembali, dan dibuang dengan cara-cara bertanggung jawab secara lingkungan dan
sosial.Artinya dari prinsip ini mensyaratkan bahwa setiap perkebunan kelapa sawit adanya
bentuk pengelolaan limbah yang terencana.

Sebagai contoh sebenarnya dapat dilihat apa yang dilakukan oleh Malaysia dalam menangani
dampak pencemaran perkebunan kelapa sawitnya. Malaysia sendiri sebenarnya telah
mengengeluarkan peraturan yang mengatur hal ini. Peraturan tersebut terkait dengan
kepatuhan suatu perusahaan dalam menjaga kelestarian lingkungan serta meminimalisir

13
pencemaran lingkungan tersebut. Adapun hal ini menjadi perdebatan lebih lanjut, apakah
peraturan tersebut justru pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan suatu industri.

Pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh industri kelapa sawit merupakan masalah
utama di pertengahan tahun 1977. Pada masa tersebut, 42 aliran sungai di Malaysia tercemar
sangat parah sehingga ikan-ikan pun tidak dapat bertahan hidup. Selain itu, limbah kelapa
sawit juga mencemari hutan bakau yang merupakan tempat tinggal biota laut. Lebih lanjut
lagi, sungai juga merupakan sumber pasokan air bagi area perkotaan dan tempat lain dimana
manusia tinggal. Pencemaran tersebut mengakibatkan tingginya biaya pengolahan air agar
aman untuk diminum oleh masyarakat.

Pemerintah Malaysia berusaha untuk menetapkan aturan pengelolaan lingkungan yang lebih
baik, tanpa harus mengorbankan daya saing suatu industri. Untuk memecahkan masalah
tersebut, pemerintah malaysia lalu menetapkan kombinasi dri berbagai instrumen : Pajak
pencemaran yang dirujuk sebagai biaya perizinan, standar pengolahan limbah buangan dan
subsidi terkait pengembangan usaha apabila standar pemeliharaan lingkungan dipatuhi.
Selain itu, ada beberapa peraturan yang terkait dengan standar emisi limbah dan hal lain,
lengkap dengan pinalti maupun subsidi yang diberikan. Hal ini disebabkan oleh minyak sawit
yang merupakan industri utama yang menopang perkembangan ekonomi negara, sehingga
harus dikelola sedemikan rupa.

Malaysia dapat menerapkan kebijakan yang direncanakan dengan baik dalam meminimalisir
pencemaran lingkungan dengan tetap mengembangkan industri kelapa sawit. Pelaksanaan ini
terbukti efektif dilaksanakan. Beberapa hal yang dapat dipelajari antara lain adalah :

- Pengurangan polusi dan ekspansi industri dapat dilaksanakan secara simultan

- Tujuan industri dan pelestarian lingkungan dapat disatukan jika teknologi yang efektif
dan ramah biaya diterapkan

- Penetapan standar pengelolaan lingkungan, biaya perizinan, pinalti dan subsidi harus
ditetapkan dari awal.

Penetapan aturan perlindungan lingkungan yang tepat, terbukti dapat tetap menjaga suatu
usaha tetap berkembang. Hal ini sudah selayaknya dijadikan contoh oleh negara-negara
berkembang lainnya.

Selanjutnya, berkembang pertanyaan apakah kepatuhan pada aturan pelestarian lingkungan


akan sulit terwujud di negara berkembang. Sebenarnya, hal ini dapat dijawab dengan dua

14
cara. Pertama, biaya yang membebani suatu industri untuk turut serta dalam melestarikan
lingkungan, umumnya berupa pembiayaan jangka panjang. Sehingga bisa jadi mereka tidak
menyadari adanya beban biaya tersebut. Suatu perusahaan umumnya sangat memperhatikan
biaya-biaya jangka pendek, yang ada di depan mata. Kedua, diperlukan pendekatan alternatif,
yang menampilkan perusahaan-perusahaan yang sukses dan tetap memperhatikan kondisi
lingkungan hidup, terutama di negara berkembang. Perlu ditekankan bahwa dengan
mematuhi aturan pelestarian lingkungan, suatu usaha tidak serta merta merugi, namun
sebaliknya akan lebih stabil dan berkembang seiring dengan bertambahnya waktu.

Sementara di Indonesia sendiri, kebijakan dalam penanganan pencemaran akibat pengolahan


kelapa sawit sendiri nampaknya belum banyak menunjukan hasil yang positif. Adanya
penolakan produk-produk minyak sawit Indonesia oleh Unilever beberapa waktu lalu sebagai
kelanjutan dari laporan yang dikeluarkan oleh greenpeace, di satu sisi merupakan salah satu
bukti bahwa pengelolaan kelapa sawit yang ramah lingkungan masih belum seluruhnya
diterapkan di Indonesia. Meski di sisi yang lain kita juga harus melihatnya sebagai bagian
dari persaingan antar komoditas di pasar dunia.

Berangkat dari kenyataan ini salah satu cara yang dinilai cukup bisa menyelesaikan berbagai
persoalan industri kelapa sawit nasional adalah dengan mengembangkan sebuah standarisasi
yang disebut dengan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 19 tahun 2011 tentang Sertifikasi Standar
Minyak Sawit Berkelanjutan (Indonesia Sustainable Palm Oil atau ISPO). Peraturan ini
sendiri mewajibkan seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit Indonesia wajib memiliki
sertifikat ISPO pada 2012. Meski demikian, karena ISPO ini sendiri masih baru saja dimulai,
tentunya dampaknya belum bisa dirasakan secara langsung pada tahun 2012. Sehingga
dengan sendirinya kebijakan yang mengatur mengenai penanganan pencemaran akibat
pengolahan kelapa sawit ini juga masih harus implementasi ISPO tersebut.

15
F. Kesimpulan
Berangkat berbagai penjelasan tersebut di atas, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan:

1. Namun dalam perkembangannya kini, salah satu sumber utama dalam pengembangan
BBN ini berasal dari minyak nabati, dimana salah satunya adalah minyak kelapa sawit
(CPO). Teknologi yang umum digunakan pada skala komersial berupa
transesterifikasi antara minyak lemak nabati dan metanol menggunakan katalis basa
NaOH atau KOH.Dalam konteks yang lebih luas, penanganan pencemaran akibat
kelapa sawit sebenarnya juga telah diatur dalam prinsip dan kriteria RSPO khusnya
dalam kriteria 5 yaitu tentang tanggung jawab lingkungan dan konservasi kekayaan
alam dan keanekaragaman hayati.

2. Terkait dengan limbah, dalam prinsip 5.3 dinyatakan bahwa limbah harus dikurangi,
didaur ulang, dipakai kembali, dan dibuang dengan cara-cara bertanggung jawab
secara lingkungan dan sosial.Artinya dariprinsip ini mensyaratkan bahwa setiap
perkebunan kelapa sawit adanya bentuk pengelolaan limbah yang terencana.

3. Salah satu bentuk penangan limbah yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit
adalah dengan fermentasi anaerob menggunakan digester anaerob dua tahap. Setelah
dilakukan fermentasi secara anaerobik selama 40 hari menggunakan digester anaerob
dua tahap didapatkan bahwa parameter beban pencemar limbah, yaitu BOD, COD dan
TSS mengalami penurunan. Nilai BOD mengalami persentase penurunan terbesar
pada digester dengan taraf perlakuan P80S20 yaitu 80% diikuti P90S10 sebesar 69,96%
dan P80S20 sebesar 58,99%. Nilai COD mengalami persentase penurunan secara
berurut dari digester dengan perlakuan P70S30 sebesar 74%, diikuti P80S20 sebesar
73,24% dan P90S10 sebesar 67,03%.

16
DAFTAR PUSTAKA

Danielsen et al, Finn, “Biofuel Plantations on Forested Lands : Double Jeopardy for
Biodiversity and Climate”, Journal of Conservation Biology, Volume 23, No.2, 2008.

Hasanah, Hilda, Penurunan Beban Pencemar Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Melalui
Fermentasi Anaerob Menggunakan Digester Anaerob Dua Tahap, Bogor, 2011,
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51207/F11hha_Abstract.pdf?sequenc
e=4, diunduh 10 April 2012
Kathuria, Vinish & Nisar A. Khan, “Environmental Compliance versus Growth: Lessons from
Malaysia’s Regulations of Palm Oil Mills”, Economic and Political Weekly, Vol. 37, No. 39 28
September-4 October 2002.
Pahan, Iyung, Kelapa Sawit : Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir, Jakarta Penebar
Swadaya 2007
Pratomo, Nugroho, Eksportir Minyak Kelapa Sawit: Dua Tetangga Bersaing Ketat, Analisis
Media Indonesia, 12 September 2006, hal A7.
Institut Riset Sosial dan Ekonomi (Inrise), Pengembangan Biofuel dari Minyak Kelapa Sawit
di Indonesia: Petani Lahan Kecil, Buruh dan Ancangan Ketahanan Pangan, Jakarta, Inrise-
Oxfam, 2008.
Prihandana, Rama, & Roy Hendroko, Energi Hijau; Pilihan Bijak Menuju Negeri Mandiri
Energi, Jakarta Penebar Swadaya, 2008
Widhiastuti, Retno, Pola PemanfaatanLimbah Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit Dalam
Upaya Menghindari Pencemaran Lingkungan, Desertasi Program Studi Pengelolaan
Sumber Daya Alam danLingkungan, IPB, Bogor, 2001.

Yampolsky, Cecil “Some Aspects of the Oil Palm in Indonesia”, Economic Botany, Vol. 11,
No. 3 July- Sep., 1957.,

17

Anda mungkin juga menyukai