PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan istilah yang sering digunakan
untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya
(Somantri, 2009). Menurut Gleadle (2007) , PPOK merupakan penyakit yang ditandai
oleh keterbatasan jalan nafas progresif yang disebabkan oleh reaksi peradangan abnormal.
Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang membentuk PPOK yaitu bronchitis
kronis, emfisema paru-paru dan asma ( Manurung, 2016).
PPOK lebih banyak ditemukan pada pria perokok berat. Merokok merupakan
penyebab utama terjadinya PPOK dengan risiko 30 kali lebih besar pada perokok
dibanding dengan bukan perokok dan merupakan penyebab dari 85-90 % kasus PPOK.
Kurang lebih 15-20 % perokok akan mengalami PPOK. Kematian akibat PPOK terkait
dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok dan status merokok yang
terakhir saat PPOK berkembang. Namun demikian tidak semua penderita PPOK adalah
perokok. Kurang lebih 10 % orang yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK.
Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap rokok) juga beresiko menderita
PPOK (Ikawati, 2016). Berdasarkan Global Youth Tobacco Survey, prevalensi merokok
di kalangan orang Indonesia berusia 15 tahun ke atas meningkat dari 34,2% di 2007 ke
34,7% pada tahun 2010, dan menjadi 36,3% pada tahun 2013 (GYTS, 2014).
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2015 lebih dari 3 juta orang
meninggal karena PPOK pada tahun 2015 yang setara dengan 5% dari semua kematian
secara global (WHO, 2015). Berdasarkan data dari American Lung Association 2013
PPOK merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan lebih dari 11 juta
orang telah didiagnosis dengan PPOK ( ALA, 2013). Data dari United Kingdom sebanyak
10.853 pasien menderita PPOK dengan komplikasi gagal jantung tahun 2015 (Brian
Lpworth, dkk 2016). Di Asia Tenggara tahun 2013 diperkirakan prevalensi PPOK sebesar
6,3% dengan prevalensi tertinggi ada di negara Vietnam (6,7%) (Ratih, 2013).
B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan asuhan keperawatan pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronis di ruangan Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2017.
C. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti uraikan diatas, maka rumusan masalah
penelitian ini adalah bagaimana asuhan keperawatan pada pasien penyakit paru obstruktif
kronis di RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2017 ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) atau disebut juga dengan COPD
(Cronic Obstruktif Pulmonary Disease) adalah suatu penyakit yang bisa di cegah
dan diatasi yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang menetap,
biasanya bersifat progresif dan terkait dengan adanya proses inflamasi kronis
saluran nafas dan paru-paru terhadap gas atau partikel berbahaya (Ikawati, 2016).
2. Klasifikasi
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) 2014, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut :
a. Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi
sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko. Spirometri : Normal
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi
sputum. Sesak napas derajat sesak 0 (tidak terganggu oleh sesak saat berjalan
cepat atau sedikit mendaki) sampai derajat sesak 1 (terganggu oleh sesak saat
berjalan cepat atau sedikit mendaki) .Spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥
80%.
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi
sputum, sesak napas derajat sesak 2 (jalan lebih lambat di banding orang
seumuran karna sesak saat berjalan biasa). Spirometri : FEV1/FVC < 70%;
50% < FEV1 < 80%.
d. Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik disertai
komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan. Spirometri FEV1/FVC <
70%; FEV1 < 30% atau < 50% (GOLD 2014).
3. Etiologi
a. Alergen
Alergen adalah zat-zat tertentu yang bila dihisap atau dimakan dapat
menimbulkan serangan asma misalnya debu, spora, jamur, bulu binatang,
makanan laut dan sebagainya
Beberapa klien dengan asma bronchial sensitif atau alergi terhadap obat
tertentu seperti penisilin, salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya.
e. Polusi uadara
Klien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik/kendaraan, asap
rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran.
f. Lingkungan kerja
4. Patofisiologi
a. Bronkitis kronik
Bronkitis kronik dapat disebabkan oleh iritan fisik atau kimiawi misalnya asap
rokok dan polutan udara. Secara normal silia dan mukus di bronkus melindungi
dari inhalasi iritan, yaitu dengan menangkap dan mengeluarkannya. Iritasi yang
terus menerus daapat menyebabkan respon yang berlebihan pada mekanisme
pertahanan ini. Karena adanya mukus dan kurangnya jumlah silia dan gerakan
silia untuk membersihkan mukus maka pasien dapat menderita infeksi
berulang. Tanda-tanda infeksi adalah perubahan sputum seperti meningkatnya
volume mukus, mengental, dan perubahan warna. Infeksi yang berualang dapat
menyebabkan keparahan akut pada status pulmonar dan berkontribusi secara
signifikan pada percepatan penurunan fungsi pulmonar karena inflamasi
menginduksi fibrosis pada bronkus dan bronkiolus (Ikawati, 2016).
b. Emfisema
Emfisema adalah perubahan anatomi dari parenkim paru yang ditandai oleh
perbesaran abnormal alveoli dan duktus alveolar serta kerusakan dinding
alveolar. Emfisema khusunya melibatkan asinus yaitu bagian dari paru-paru
yang bertanggung jawab untuk pertukaran gas. Emfisema yang paling berkaitan
dengan PPOK adalah emfisema sentrilobular. Emfisema tipe ini yang secara
selektif diserang adalah bagian bronkiolus. Penyakit ini banyak ditemukan pada
orang yang merokok.
Asap rokok dan polusi udara dapat menyebabkan inflamasi paru. Inflamasi
menyebabkan rekrutmen neutrofil dan makrofag ke tempat inflamasi yang akan
melepaskan enzim proteolitik (elastase, kolagenese). Pada orang normal, kerja
enzim ini akan dihambat alpha 1 antitripsin, namun pada kondisi di mana
terjadi defisiensi apha 1 antitripsin, namun pada kondisi dimana terjadi
defesiensi alpha 1 antitripsin, enzim proteolitik akan menyebabkan kerusakan
pada alveolus menyebabkan emfisema.
5. Pathway
Mual muntah
Ketidakefek
Gangguan pertukaran gas tifan pola
6. Manifestasi Klinik
nafas
Diagnosa PPOK ditegakkan berdasarkan adanya gejala-gejala meliputi
batuk kronik, produksi sputum, dispnea dan riwayat paparan suatu faktor risiko.
Selain itu, adanya obstruksi saluran pernafasan juga harus dikonfirmasi dengan
spirometri, di mana angka FEV1/FVC pasca bronkodilator < 0,70 menujukkan
adanya keterbatasan aliran udara persisten yang menjadi ciri dari PPOK (Ikawati,
2016).
1) Batuk kronik: terjadi berselang atau setiap hari, dan seringkali terjadi
sepanjang hari ( tidak seperti asma yang terdapat gejala batuk malam
hari}.
2) Produksi sputumsecara kronik: semua pola produksi sputum
dapat mengindikasikan adanya PPOK.
3) Bronkitis akut : terjadi secara berulang
4) Sesak nafas (dispnea): bersifat pogresif sepanjang waktu, terjai setiap hari,
memburuk jika berolahraga, dan memburuk jika terkena infeksi
pernafasan.
5) Riwayat paparan terhadap faktor risiko : merokok, partikel dan senyawa
kimia, asap dapur.
7. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan rutin
a. Faal paru
a) Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP
b) Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%). Obstruksi: % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80%
VEP1%(VEP1/KVP) < 75%
c) VEP1 merupakanparameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
d) Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat dapat dipakai sebagai
alternatif dengan memantau verabiliti harian pagi dan sore, tidak
lebih dari 20%.
b. Uji bronkodilator
a) Digunakan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter.
b) Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-
20 menit kemudian dilihat perubahan VEP1 atau APE, perubahan
VEP1 atau APE <20% nilai awal dan < 200 ml
c) Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.
c. Darah rutin
d. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain pada emfisema terlihat gambaran:
a) Hiperinflasi
b) Hiperlusen
c) Ruang retrosternal melebar
d) Diafragma mendatar
e) Jantung menggantung
8. Komplikasi
1) Gagal jantung
2) Asidosis respiratory
Merupakan suatu penyakit yang dapat timbul karena terjadi peningkatan nilai
PaCO2 (hiperkapnia). Biasanya timbul dengan gejala nyeri kepala/ pusing, lesu,
dan lelah.
3) Hypoxemia
Merupakan penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg dengan nilai saturasi
oksigen <85%. Pada awalnya pasien akan mengalami perubahan mood,
penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul sianosis.
4) Cardiac disritmia
Adalah penyakit yang timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek
obat atau asidosis respiratory.
5) Infeksi pernapasan
9. Penatalaksanaan
1) Berhenti Merokok
2) Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator (Aminophilin
dan adrenalin)
3) Pengobatan simtomatik (lihat tanda dan gejala yang muncul
4) Penanganan terhadap komplikasi – komplikasi yang timbul
5) Pengobatan oksigen bagi yang memerlukan O2 harus diberikan dengan
aliran lambat : 1-3 liter / menit
6) Mengatur posisi dan pola pernafasan untuk mengurangi jumlah udara
yang terperangkap
7) Memberi pengajaran tentang teknik-tekni relaksasi dan cara-cara untuk
menyimpan energy
8) Tindakan rehabilitasi
a. Fisioterapi terutama ditujukan untuk membantu pengeluaran sekret
bronkus
b. Latihan pernafasan untuk melatih penderita agar bias melakukan
pernafasan yang paling efektif baginya
c. Latihan dengan beban olahraga tertentu dengan tujuan untuk
memulihkan kesegaran jasmaninya
d. Vocational suidance : usaha yang dilakukan terhadap penderita
agar kembali dapat mengerjakan pekerjaan seperti semula.
e. Pengelolaan psikososial , terutama ditujuakn untuk penyesuaian
diri penderita dengan penyakit yang diseritanya (Padila, 2012).
Penatalaksanaan Keperawatan
Keluhan utama yang sering pada klien Penyakit Paru Obstruksi Krinis
yaitu: sesak nafas, batuk tak kunjung sembuh, ditemukan suara nafas
wheezing.
a. Keadaan umum
e. System kardiovaskuler
f. System Neurosensory
Sistem ini meliputi sakit kepala, kejang, serangan jatuh, masalah
koordinasi, cedera kepala, vertigo, berkurangnya rasa asin dan panas
(pengecapan), penilaian diri pada kemampuan olfaktorius (penghidu),
pemeriksaan pada sistem pendengaran dan dampak pada penampilan activity
of daily life (ADL). Selain itu juga pemeriksaan pada sistem penglihatan
seperti pemakaian kaca mata, nyeri, air mata, floater, riwayat infeksi, tanggal
pemeriksaan paling akhir. Selain itu dikaji juga kedekatan penglihatan,
keluhan pandangan kabur, salah satu mata tidak dapat berfungsi, kesulitan
untuk memfokuskan, dan ketidakmampuan melihat dalam kegelapan
(Carpenito, 2006).
g. System pencernaan
Konstipasi , konsisten feses, frekuensi eliminasi, auskultas bising usus,
anoreksia, adanya distensi abdomen, nyeri tekan abdomen.Sistem
Muskuloskeletal Nyeri berat tiba-tiba/ mungkin terlokalisasi pada area
jaringan dapat berkurang pada imobilissi, kontraktur atrofi otot.
h. System musculoskeletal
Nyeri berat tiba-tiba/mungkin terlokalisasi pada area jaringan dapat
berkurang pada imobilisasi, kontraktur atrofi.
i. System metabolism-integumen
Sistem metabolisme- integumen meliputi lesi/ luka, pruritus,
perubahan pigmentasi, perubahan tekstur, perubahan kuku, katimumul pada
jari kaki dan kallus, pola penyembuhan lesi dan memar, elastisitas/turgor.
j. System perkemihan
Sistem genitourinaria meliputi disuria (nyeri saat berkemih), frekuensi,
kencing menetes, hematuria, poliuria, oliguria, nokturia, inkontinensia, batu,
infeksi saluran kemih. Pengkajian antara genetalia pria antara lain: lesi, rabas,
nyeri testikuler, massa testikuler, masalah prostat, penyakit kelamin,
perubahan hasrat seksual, impotensi, masalah aktivitas sosial. Sedangkan
pengkajian pada genetalia wanita antara lain: lesi, rabas, dispareunia,
perdarahan pasca senggama, nyeri pelvis, sistokel/rektokel/prolaps, penyakit
kelamin, infeksi, masalah aktivitas seksual, riwayat menstruasi (menarche,
tanggal periode menstruasi terakhir), tanggal dan hasil pap smear terakhir
( Mubarak, 2006).
3. Pola Fungsi Kesehatan
Pola fungsi kesehatan pada klien PPOK
a. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Menggambarkan persepsi, pemeliharaan, dan penanganan
kesehatan
b. Pola Nutrisi
Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan, dan elektrolit, nafsu
makan, pola makan, diet, kesulitan menelan, mual/muntah, dan makanan
kesukaan.
c. Pola eliminasi
Menjelaskan pola fungsi ekskresi, kandung kemih, defekasi, ada tidaknya
defekasi, masalah nutrisi, dan penggunan kateter.
d. Pola tidur dan istrihat
Menggambarkan pola tidur, istirahat, dan persepsi terhadap energy, jumlah
jam tidur siang dan malam, masalah tidur dan insomnia
e. Pola aktifitas dan istrihat
Menggambarkan pola latihan, aktifitas, fungsi pernafasan, dan sirkulasi,
riwayat penyakit jantung, frekuensi, irama, dan kedalaman pernafasan.
f. Pola hubunguan dan peran
Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien terhadap anggota
keluarga dan masyarakat tempat tinggal, pekerjaan.
g. Pola sensori dan kognitif
Pola persepsi sensori meliputi pengkajian penglihatan, pendengaran dan
penghidu. Pada klien katarak dapat ditemukan gejala gangguan penglihatan
perifer, kesulitan memfokuskan kerja dengan merasa diruang gelap. Sedang
tandanya adalah tampak kecoklatan atau putih susu pada pupil, peningkatan
air mata.
4. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
c. Gangguan pertukaran gas
5. Intervensi
PENUTUP
A. Kesimpulan
PPOK adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit
paru-paru yang berlangsung lama dan di tandai oleh peningkatan retensi terhadap aliran
udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya
B. Saran
http://pustaka.poltekkes-
pdg.ac.id/repository/KTI_SINTYA_TINELA_PUTRI_PDF.pdf
http://repo.stikesicme-jbg.ac.id/151/1/Fenda%20Dwi%20Astuti.pdf