pertama, realitas objektif, disebut juga realitas naif menyatakan bahwa hanya ada satu realitas
yang dapat diketahui oelh pengalaman. Realitas fisikal, temporal dan sosial dapat diketahui melalui studi
individual, walaupun hanya bersifat perkiraan. Bila cukup waktu dengan menggunakan metode yang
benar penelitian dapat menggabungkan realitas perkiraan tersebut. Realisme melihat bahwa "dunia yang
kita ketahui berada terlepas dari pengetahuan kita terhadapnya". Ada garis demarkasi antara dunia
objektif yang dapat dipersepsikan oleh individu dalam kesendiriannya. Yang pertama adalah dunia ilmiah;
yang kedua menghasilkan pengetahuan yang tidak dapat diverifikasi secara publik. Yang mengetahui
terpisah dari yang diketahui.
kedua, reduksionisme, menyatakan bahwa kita dapat mengetahui dengan memecah-mecah dunia itu
kepada satuan-satuan kecil. Melalui pengetahuan kita pada satuan-satuan kecil ini. secara induktif, kita
dapat menggeneralisasikan kepada dunia lebih besar. Fenomena yang kompleks dapat disederhanakan
menjadi unsur-unsur yang kecil. Temperatur udara dapat diketahui dengan mengamati gerakan-gerakan
molekul, perilaku manusia diketahui dengan meneliti stimulus dan respon, warna dapat diselidiki melalui
panjang gelombang, pikiran diketahui melalui gelombang otak, cinta dan benci dianalisis dengan
mengukur kompisisi kimiawi sekresi glandular. Lalu, bagaimana Tuhan bisa diketahui. Tuhan adalah
"konsep" yang tidak bisa dioperasionalkan, karena itu tidak dapat diukur; karena itu pula tidak ada.
Tiga , asumsi bebas nilai, menyatakan bahwa karena peneliti dan yang diteliti terpisah maka setiap
penelitian ilmiah selalu bebas nilai. Nilai bersifat subjektif, sedangkan dunia pengamatan bersifat objektif.
Ketika Descrates memisahkan "jiwa"-yang diketahui lewat pengalaman subjektif dan "materi" yang
menjadi objek kajian ilmu, para ilmuwan dilepaskan dari tanggungjawab dan nilai. Mereka memusatkan
perhatian pada penelitian materi "materi" dan meyerahkan hal-ihwal "jiwa" seperti nilai, tujuan hidup,
agama dan sebagainya-kepada para teolog, folosof, dan agamawan.
keempat, materialisme, menyatakan bahwa dunia ini diatur oleh hukum sebab akibat yang bersifat linier.
Baik sebab maupun akibat terjadi pada dunia empiris. apapun yang terjadi sekarang, terjadi karena
sebab-sebab yang mendahuluinya. Anda hadir dalam pengajian karena pengalaman yang
mendahuluinya. Anda hadir dalam pengajian karena pengalaman masa kecil anda. laki-laki berperilaku
agresif karena pengalaman evolusi biologis mereka. Perempuan memiliki kecenderungan untuk
memelihara dan merawat anak, karena kelakuan itu sudah ditentukan dalam "kode genetik" mereka.
Positivisme menegaskan determinisme, ilmu dapat meramalkan dan juga mengendalikan berbagai
peristiwa di alam semesta. Makin berkembang ilmu pengetahuan, makin banyak hukum sebab akibat dari
segala sebab, para ilmuwan memasukkan ke dalam sebab kecuali Tuhan.
Kelima Logika empiris menyatakan bahwa proposisi hanya berarti apabila dapat diverifikasi dengan
pengalaman indrawi. kita dapat menentukan apakah sebuah proposisi benar atau salah dengan
menghubungkan proposisi itu pada pembuktian empiris. Proposisi"Jakarta itu panas" adalah proposisi
yang berarti. it makes sense, karena kita dapat mengeceknya dengan datang ke Jakarta. Kita dapat
merasakan udara panas itu atau memasang termometer di tempat terbuka. Banyak proposisi tidak dapat
diverifikasi, karena itu proposisi-proposisi itu tidak berarti, not make sense,atau non sense. Di antara
proposisi itu misalnya"korupsi itu jelek", "roh itu ada" dan "Tuhan itu ada. "tidak ada pembuktian
inderawi (Sense Exprience) untuk menentukan apakah korupsi itu jelek atau baik, sama seperti sukar
membuktikan secara empiris apakah tuhan itu ada atau tidak ada. Karena Filsafat seringkali
mempersoalkan hal-hal yang metafisik-yang non-sensory-positivisme menolak untuk membicarakannya.
Soal-soal metafisik hanyalah pseoudo-proposition yang tidak mempunyai makna. Problem yang dipikirkan
pemikir-pemikir besar sepanjang sejarah sejak Plato, Aquinas, sampai Sartre dianggap bermakna dan
karena itu harus ditinggalkan. Dengan begitu, semua wacana filosofis diruntuhkan. Alfred Jules Ayer
berkata, "The traditional disputes of philosophers are, for the most part, as unwarranted as they are
unfruitful."
Penekanan pada pengalaman menunjukkan aspek empirisme yang kuat dalam positivisme logis. Oleh
karena itulah maka positivisme sering disebut juga empirisme logis.
Penolakan terhadap metafisika oleh positivisme logis tidak boleh diartikan bahwa positivisme logis itu
menolak atau mengingkari keberadaan dunia luar atau dunia yang transenden, menyatakan bahwa
pernyataan-pernyataan metafisika itu nirarti tidaklah berarti suatu pengingkaran atasnya. Hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Moritz Schlick sebagai berikut:
“pengingkaran tentang keberadaan dunia luar yang transenden itu akan sama saja dengan suatu
pernyataan metafisis tentang pengakuan, keberadaan dunia luar yang transenden itu. Dengan demikian
seorang empirisis yang konsisten tidak mengingkari dunia transenden, tapi menunjukkan bahwa baik
pengingkaran maupun pengakuan kedua-duanya adalah nirarti (Schlik,1959 : 107).
Jadi kaum positivisme logis atau empirisme logis itu tidak menyatakan bahwa apa yang dikatakan oleh
kaum metafisika itu salah, akan tetapi bahwa apa yang dikatakan kaum metafisika itu tidak menyatakan
sesuatu sama sekali. Positivisme logis tidak melawan metafisika, hanya dinyatakan bahwa apa yang
dikatakan oleh kaum metafisikus itu tidak dapat dipahami, atau tidak menyatakan sesuatu sama sekali
( poerwowidagdo, 55)
Dalam pembahasannya tentang proposisi Ayer memberikan beberapa ciri yang diuraikan sebagai berikut :
1. Proposisi analitis memiliki ciri benar berdasarkan pembatasan semata- mata berdasarkan
fakta yang terkandung dalam susunan simbolnya.
2. Proposisi analitis tidak berdasarkan pada pengalaman melainkan pada berdasarkan
pengetahuan a priori (pengetahuan yang diperoleh melalui refleksi logis tanpa melalui pengalaman
empiris), sehigga tidak memerlukan verifikasi empiris.
3. Proposisi analitis mengandung kepastian dan keniscayaan yaitu memiliki sifat kebenaran
tautologi, yaitu suatu pernyataan yang mesti benar berdasarkan hukum – hukum logika.
4. Proposisi analitis mengandung makna sejauh proposisi yang bersangkutan didasarkan
pada penggunaan istilah yang pasti, jadi maknanya terletak pada bahasa atau ungkapan – ungkapan
verbal (Charlesworth, dalam mustansyir 1987 : 73)
Proposisi analitis yang semata-mata benar berdasarkan simbolnya adalah dalam matematika, mislanya “9
+ 8 = 17” adalah proposisi matematika yang kebenarannya berdasarkan simbol yaitu “9+8” adalah
sama dengan “17”.
Kebenaran proposisi analitis tidak berdasarkan pada pengalaman melainkan pada berdasarkan
pengetahuan a priori, berarti penjelasan yang sama merupakan pegangan bagi setiap kebenaran a priori
lainnya. Contoh “ setiap spesialis mata adalah seorang dokter mata” hal itu tergantung pada fakta bahwa
simbol “dokter mata” itu secara logis sama artinya dengan “spesialis mata”.
Proposisi analitis mengandung kepastian dan keniscayaan yaitu memiliki sifat kebenaran tautologi, berarti
terdapat suatu hubungan yang memang sudah semestinya. Misalnya “ semua manusia pasti mati”
pernyataan semacam ini merupakan tautologi karena “mati” itu merupakan sifat yang sudah semestinya
ada pada setiap manusia.
Proposisi yang didasarkan pada penggunaan istilah yang pasti artinya, proposisi tersebut tidak memiliki
kandungan yang faktual. Dan hal itu berarti tidak ada pengalaman yang akan membuktikan
ketidakbenarannya (Ayer,1952:85).
Dalam kesempatan inilah Ayer mengambil alih program ambisius dari kelompok positivisme logis Wina ini,
dan dalam bukunya ia merumuskan prinsip verifikasi sebagai berikut:
“Kami mengatakan bahwa suatu kalimat pada kenyataannya bermakna bagi seseorang tertentu, kalau
dan hanya kalau ia tahu observasi-observsai mana yang mebuat dia dengan syarat-syarat tertentu,
menerima sesuatu proposisi sebagai benar atau menolaknya sebagai salah. Sebaliknya kalau apa yang
dianggap sebagi proposisi bersifat demikian rupa sehingga menerima kebenaran atau ketidak benarannya
dapat discocokan dengan pengandaian apapun juga mengenai persangkutan, apa yang disebut proposisi
itu tidak lain (kecuali kalau merupakan suatu tautologi) dari pada proposisi semu saja. Barangkali kalimat
yang mengungkapkan proposisi itu mempunyai makna emosional bagi dia, akan tetapi pasti tidak ada
makna harafiah”.
Berdasarkan pernyataan Ayer tersebut dapat dijelaskan bahwa pada hakikatnya prinsip verifikasi
bermaksud untuk menentukan bermakna atau tidaknya suatu ungkapan dan bukannya untuk
menentukan suatu kriteria kebenarannya. Suatu ungkapan yang bermkana dapat benar dan juga
dimungkinkan dapat juga salah. Seseorang yang menyatakan bahwa “Surabaya adalah Ibu Kota Negara
Republik Indonesia”, ungkapan tersebut salah akan tetapi ungkapan tersebut bermakna, sebab
ketidakannya dapat ditetapkan. Akan tetapi kalau suatu ungkapan “Hari ini cuaca lebih bagus dari pada
diluar”. Ungkapan seperti itu tidak bermakna karena tidak mungkin ditentukan benar atau salahnya dan
tidak memungkinkan dilakukannya verifikasi.
Menurut Ayer suatu ungkapan itu bermakna bilamana suatu ungkapan itu merupakan observation
statement artinya merupakan suatu pernyataan yang menyangkut realitas indrawi. Dengan lain
perkataan dikatakan bermakna bilamana dilakukan berdasarkan observasi. Agar supaya ungkapan itu
bermakna maka perlu kita dapat menunjukan kepada suatu hal empiris atau dengan lain perkataan
memerlukan suatu hal empiris tau dengan lain perkataan memerlukan suatu fakta atau data empiris
(Bertens, 1981 : 35).
Karya Thomas Kuhn yang fenomenal sekaligus yang pertama adalah The Structure of Scientific
Revolution (1962) yang dituliskan dan diterbitkan ketika Thomas Kuhn menjadi profesor di
University of California,Barkeley dan karya Thomas Kuhn yang kedua adalah The Essential
Tension: Selected Studies in Scientific Tradition and Change (1977). Dan salah satu dari karya
Thomas Kuhn yang paling fenomenal adalah The Structure of Scientific Revolution(1962)
tentang sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan dengan konsep dan teori besarnya tentang
paradigma dan revolusi ilmu pengetahuan
Menurut pendapat Thomas Kuhn revolusi dalam ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah
penggantian paradigma lama oleh suatu paradigma baru yang dipandang dapat menjelaskan
lebih banyak gejala atau dapat memberikan jawaban yang lebih tepat atas pertanyaan-
pertanyaan baru yang dikemukakan.1
Paradigma berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu Para dan Dekyani. Para
yang berarti disamping atau disebelah, Dekyani yang berartiyang berarti model atau contoh 2.
Sedangkan menurut KBBI paradigma merupakan model dalam teori ilmu pengetahuan atau
1 Yuni Masrifatin and Muh Barid Nizarudin Wajdi, “Islamic Studies Di Indonesia (Pendekatan
Fenomenologi),” in 2nd Proceedings Annual Conference For Muslim Scholars (Surabaya, 2018), 531–38.
Paradigma berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu Para dan Dekyani. Para
yang berarti disamping atau disebelah, Dekyani yang berartiyang berarti model atau contoh 4.
Sedangkan menurut KBBI paradigma merupakan model dalam teori ilmu pengetahuan atau
sering disebut juga kerangka berpikir5. Sedangkan menurut Zubaedi paradigma menurut Kuhn
3 Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima V.0.2.1 Beta (21) 17Ibid, hlm. 78
Tugas 3 : Filsafat
1. ILMU EMPIRIS
Pengertian Empiris
Empiris merupakan suatu keadaan yang berdasarkan pada peristiwa atau kejadian nyata
yang pernah dialami serta didapat dengan melalui penelitian, pengamatan ataupun juga
eksperimen yang pernah dilakukan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), empiris ini didefinisikan dengan
berdasarkan pengalaman, ialah ilmu pengatahuan yang diperoleh dari suatu penemuan,
percobaan, serta juga pengamatan yang telah dilakukan.
Empiris ini juga diartikan ialah sebagai ilmu yang bertitik tolak pada pengalaman indrawi.
Pengalaman indrawi disini diartikan yakni sebagai penglihatan, pengecapan, penciuman,
pendengaran, serta sentuhan seseorang terhadap sesuatu yang pernah ditelitinya.
Selain itu, empiris ini menghasilkan data yang disebut dengan sebutan bukti empiris.
Bukti empiris ini merupakan sumber pengetahuan yang diperoleh dari hasil pengamatan
(observasi) atau juga percobaan yang telah atau sudah dilakukan. Bukti empiris didalamnya itu
berisi mengenai informasi yang membenarkan suatu kepercayaan, baik itu mengenai kebenaran
atau juga kebohongan dari suatu klaim empiris.
(Yesmil Anwar & Adang : 2008) Pengertian empiris di dalam sosiologi ialah merupakan
suatu ilmu pengetahuan yang didasarkan oleh akal sehat, tidak spekulatif serta dengan
berdasarkan observasi terhadap kenyataan.
Pengertian empiris di dalam sejarah ialah suatu kenyataan, artinya bukan mitos atau
juga cerita dongeng belaka disebabkan sejarah memiliki sumber yang valid yang didasarkan pada
suatu kajian serta observasi yang mendalam pada kejadian atau peristiwa yang sungguh terjadi
itu di masa lampau.
Untuk dapat memperdalam arti dari empiris ini, maka kita dapat merujuk pada beberapa
pendapat para ahli mengenai pengertian empiris, diantaranya
a. Menurut Hilman Hadikusuma (1995)
Empiris ini merupakan suatu penelitian yang sifatnya itu menjelajah (eksplorator),
melukiskan (deskriptif) serta juga menjelaskan (eksplanator).
Revolusi lebih mudahnya dapat diartikan sebagai pengganti tatanan yang lama dengan sesuatu
yang baru. Jadi paradigma revolusi ilmu pengetahuan Thomas Kuhn adalah perubahan
mendasar yang merupakan episode perkembangan non-kumulatif, dimana paradigma lama
diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang bertentangan, karena adanya fakta-
fakta ilmiah yang tidak sesuai dengan kenyataan
Pengertian Empirisme
Empirisme ini merupakan suatu bentuk aliran di dalam ilmu filsafat yang menyatakan
bahwa seluruh pengetahuan itu berasal dari pengalaman yang pernah atau telah dilakukan oleh
manusia. Empirisme ini juga sebagai aliran yang menolak mengenai anggapan bahwa manusia
itu sudah membawa fitrah pengetahuan di dalam dirinya pada saat ia dilahirkan. Empirisme ini
adalah suatu doktrin yang melawan paham rasionalisme.
Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience.
Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani (empeiria) dan dari kata experieti yang berarti
“berpengalaman dalam”, “berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Empirisme adalah aliran dalam
filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan
kepada pengalaman yang menggunakan indera.
Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai Empirisme, di antaranya:
doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa
semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami,
pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal.
Menurut aliran ini adalah tidak mungkin untuk mencari pengetahuan mutlak dan
mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk
meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat namun lebih dapat
diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem pengetahuan
yang mempunyai peluang besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak tidak akan pernah
dapat dijamin.
Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh
lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu
itu ada, dia akan berkata “tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka
dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Jika kita mengatakan kepada dia bahwa seekor
harimau di kamar mandinya, pertama dia minta kita untuk menjelaskan bagaimana kita dapat
sampai kepada kesimpulan tersebut. Jika kemudian kita mengatakan bahwa kita melihat harimau
tersebut di dalam kamar mandi, baru kaum empiris akan mau mendengar laporan mengenai
pengalaman kita, namun dia hanya akan menerima hal tersebut jika dia atau orang lain dapat
memeriksa kebenaran yang kita ajukan, dengan jalan melihat harimau itu dengan mata
kepalanya sendiri (Basyit, 2009).
Sumber pengetahuan dalam diri manusia itu banyak sekali. Salah satu paham yang
memaparkan tentang sumber pengetahuan adalah paham empirisme. Empirisme merupakan
paham yang mencoba memaparkan dan menjelaskan bahwa sumber pengetahuan manusia itu
adalah pengalaman. Ilmu-ilmu empiris ini memperoleh bahan-bahan untuk sesuatu yang
dinyatakan sebagai hasil atau fakta dari sesuatu yang dapat diamati dengan berbagai cara.
Bahan-bahan ini terlebih dahulu harus disaring, diselidiki, dikumpulkan, diawasi, diverifikasi,
diidentifikasi, didaftar, dan diklasifikasikan secara ilmiah.
Paham empirisme telah banyak didiskusikan oleh orang-orang di bangku
perkuliahan.Banyak yang menyatakan bahwa suatu penelitian itu harus didasarkan atas data
empiris, namun menurut penulis dengan data empiris saja penelitian tidak cukup dan harus juga
berdasarkan rasionalisme logis. Tuhan telah menciptakan akal bagi manusia sehingga
membedakannya dengan makhluk-makhluk yang lain. Akal harus difungsikan dalam suatu
penelitian agar pembaca memiliki gambaran yang kuat untuk menerima hasil kajian ilmiah dari
peneliti yang akan dijadikan sebagai pengetahuan. Paham empirisme banyak juga menuai
sanggahan dari orang-orang rasionalis karena mengesampingkan akal dalam penelitian. Sehingga
dapat dikatakan bahwa paham rasionalisme ini merupakan lawan dari paham empirisme (Hamdi,
2014).
Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani empiria yang berarti coba-coba atau
pengalaman.Sebagai doktrin, empirisme adalah lawan rasionalisme (Ihsan, 2010). Kata
empirisme menurut Amsal Bakhtiar berasal dari kataYunani empereikos yang berarti
pengalaman.Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan dari pengalaman inderawi. Hal
ini dapat dilihat bila memperhatikan pertanyaan seperti: “Bagaimana orang mengetahui es itu
dingin?” Seorang empiris akan mengatakan, “Karena saya merasakan hal itu dan karena seorang
ilmuan telah merasakan seperti itu”. Dalam pernyataan tersebut ada tiga unsur yang perlu, yaitu
yang mengetahui (subjek), yang diketahui (objek), dan cara dia mengetahui bahwa esitu dingin.
Bagaimana dia mengetahui es itu dingin? Dengan menyentuh langsung lewat alat peraba.dengan
kata lain, seorang empiris akan mengatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh lewat
pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai (Bakhtiar, 2012).
Pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai dan
pengalaman dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan bukan rasio. Oleh sebab itu,
empirisme dinisabatkan kepada faham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama
pengetahuan yang dimaksudkan dengannya ialah baik pengalaman lahiriah yang menyangkut
dunia maupun pengalaman batiniyah yang menyangkut pribadi manusia (Praja, 2005).
Sedangkan menurut Sutarjo menyatakan bahwa empirisme merupakan aliran yang
mengakui bahwa pengetahuan itu pada hakikatnya didasarkan ataspengalaman atau empiri
melalui alat indra (empiri). Empirisme menolak pengetahuan yang semata-mata didasarkan akal,
karena dapat dipandang sebagai spekulasi belaka dan tidak berdasarkan realitas sehingga
berisiko tidak sesuai dengan kenyataan.Pengetahuan sejati harus didasarkan pada kenyataan
sejati, yaitu realitas (Sutardjo, 2009).
Empirisme ini merupakan paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar itu adalah
yang logis serta terdapat bukti empiris. Dengan empirisme aturan (ialah untuk mengatur manusia
serta alam) itu dibuat. Empirisme tersebut juga mempunyai kekurangan yakni ia belum terukur.
Empirisme tersebut hanya sampai pada konsep yang umum. Seorang empirisme tersebut
biasanya berpendirian, Dapat memperoleh pengetahuan itu dengan melalui pengalaman.
Pengetahuan tersebut diperoleh dengan perantaraan indera.
Ciri-Ciri Empirisme
Empirisme ini mempunyai dua ciri pokok, diantaranya teori mengenai makna serta teori
mengenai pengetahuan.
a) Teori makna, ini merupakan teori yang menyatakan mengenai suatu asal pengetahuan,
seperti asal-usul ide atau juga konsep.
b) Teori pengetahuan, ini merupakan teori yang menyatakan bahwa seluruh kebenaran itu
berasal dari kebenaran a posteriori atau juga kebenaran yang diperoleh dengan melalui
observasi.
Contoh Empiris
Contoh dari empiris ini dapat atau bisa dilihat di dalam kehidupan sehari-hari. dibawah ini
merupakan beberapa contoh empiris diantaranya sebagai berikut
Pak Lurah sedang mencari informasi serta juga solusi di dalam konflik antara desa 1 dan
desa 2 yang terjadi di wilayah kerjanya dengan mengamati perilaku serta latar belakang dari
kehidupan dari kedua desa. Ternyata benar, setelah melihat sendiri Pak lurah kemudian
menyimpulkan bahwa desa 1 memang sering melakukan provokasi dengan menghina warga desa
2.
Contoh lainnya, seorang empirisme ini juga berpandangan mengenai api itu sifatnya
panas, karena ia pernah mengalaminya sendiri dengan cara menyentuh api tersebut serta
memperoleh pengalam yang disebut dengan “panas”. Kemudian bagaimana bentuk dari seekor
Gajah? Kita juga akan benar-benar mengetahui bentuknya setelah melihatnya secara langsung.
Jadi, seluruh pengetahuan yang telah atau sudah dirasakan serta dilihat itu akan
disimpan di dalam memori otak kita, dan kemudian akan dikeluarkan kembali pada saat
dibuthkan.
Dengan demikian, dengan alat iderawi, kita bisa atau dapat memperoleh pengalaman-
pengalaman yang tentu akan menjadi pengetahuan kita kelak.
2. POSITIVISME LOGIS
Pengertian Positivisme Logis
Secara umum pengertian positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu
alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang
berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data
empiris.
Istilah positivisme logis merujuk pada pengertian-pengertian : empirisme
ilmiah, neopositivisme, dan empirisme logis. Akan teteapi lebih lazim dengan sebutan
“ neopositivisme atau positivisme logis”
Positivisme Logis atau neo-positivisme merupakan Aliran pemikiran yang membatasi
pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi
dan relasi antara istilah-istilah.
Menurut Alwasilah (2008: 28), positivisme logis menggunakan teknik analisis untuk
mencapai dua tujuan, yaitu menghilangkan atau menolak metafisik dan demi penjelasan bahasa
ilmiah dan bukan untuk menganalisis pernyataan-pernyataan fakta ilmiah.
Corak dan cara berfikir yang dikembangkan oleh lingkaran wiener ini mengapa disebut
dengan sebutan “neopisitivisme” atau “ positivisme logis”. Kedua terma ini merupakan penegasan
tentang kesamaan dan sekaligus perbedaannya dengan positivisme comto dan Stuart Mill, seraya
mempertahankan gagasan empiristik, positivisme logis yang sekaligus hendak memulihkan logika
ke kedudukannya yang terhormat. Tidak seperti pada pandangan Stuart Mill, logika itu tidak
boleh dikembalikan kepada pengalaman empirirk, logika mempunyai realitas sendiri, yang
dibahas dalam logika modern.
Hans – Hnas salah seorang tokoh positivisme menegaskan bahwa “ kita mengumumkan
diri sebagai pelanjut aliran empiris dalam filsafat”. Dengan demikian aliran filsafat itu disuatu
pihak berpijak diatas empirisme dan dipihak lain pada logika modern. Penggabungan antara
tekhnik logis dan empirik (pengalaman) ini melahirkan empirisme logis dan selanjutnya lebih
dikenal dengn sebutan positivisme logis. Sebagaimana yang ditafsirkan oleh Wittgenstein.
Menurut teori ini, semua kalimat yang bermakna harus bersifat analitik maupun bersifat sintetik.
Salah satu yang paling menonjol dari positivisme logis adalah penolakannya terhadap
filsafat tradisional. Menurut positivisme logis, filsafat tradisional menyajikan banyak ungkapan
atau pernyataan (preposisi) yang melebihi tautologi tetapi langsung tidak dapat diamati atau
dibuktikan kebenarannya. Setiap preposisi biarpun berpretensi mengungkapkan kebenaran,
namun sesuatu yang tidak dapat dicek kebenarannya adalah sia-sia saja.preposisi – preposisi
seperti “ Allah itu ada” dan seterusnya tidak dapat dicek (diverifikasi) secara empirik . karena itu
preposisi ayau pernyataan seperti itu adalah tidak bernilai, kosong belaka, artinya tidak benar
tetapi bukan dusta.
Menurut positivisme logis, sejauh ia mengungkapkan emosi seseorang misal seperti
ungkapan “neraka itu menyakitkan”. Pernyataan apakah ungkapan itu benar atau tidak benar
juga tidak ada artinya, sama seperti sebuah perintah baris – berbaris (mislanya : majuuu) tidak
ada hubungannya dengan kebenaran atau dusta.
Bagi para tokoh positivisme logis bagian besar dari filsafat tradisional dikesampingkan
sebagai suatu “jeritan emosional” yang ada artinya sebagai suatu metafisis, tetapi sebagai suatu
sistem yang mau menyampaikan kebenaran kepada manusia justru melilitnya sengan ilusi – ilusi.
Singkatnya, ia menolak secara lantang tentang metafisika.
Terdapat lima asumsi yang dijadikan dasar pijakan bagi konstruksi positivisme logis.
Kelima asumsi itu adalah : realitas objektif, reduksionisme,asumsi bebas nilai,
determinisme, dan logko-empirisme.
a) Realitas Objektif, yang dimaksudkan oleh positivisme logis adalah bahwa hanya ada satu
realitas yang dapat diketahui sepenuhnya melalui pengalaman. Dunia kita kita terlepas ada
jarak dari kita, subjek atau pengamat.
b) Reduksionosme, adalah asumsi yang menyatakan bahwa kita dapat mengetahui dunia
dengan cara mereduksi (memecah – mecah ) kedalam bagian – bagian kecil. Melalui
pengetahuan – pengetahuan kita, hasil reduksi itu digeneralisasi kedalam dunia yang lebih
besar. Fenomena yang komplek dapat dianalisis menjadi bagian – bagian yang kecil.
c) Asumsi bebas nilai, adalah asumsi yang ada dalam sains. Bebas ini menyatakan, bahwa
antara pengamat (subjek), dan yang diamati (realitas objektif) memiliki jarak, terpisah oleh
karena itu setiap penelitian ilmiah bebas nilai. Nilai adalah bersifat objektif, seperti halnya
estetika, sedangkan dunia pengamat bersifat subjektif.
d) Determinisme, menyatakan bahwa alam ini berada dalam lingkup aturan yang bersifat
determinisme atau pasti dan linier. Itulah hukum kausalitas,sebab akibat. Apa yang terjadi
didunia ini adalah telah terjadi sebelumnya. Dengan determinisme ilmu pengetahuan dapat
diramalkan (prediksi) dan juga dapat mengendalikan alam semesta. Semakin banyak
pengetahuan yang ditemukan, semakin banyak pula hukum kausalitas yang ditemukan.
Akhirnya, ilmu pengetahuan dapat berkembang dengan pesat.
e) Logiko-empirisme, adalah asumsi yang menyatakan bahwa suatu preposisi dapat dikatakan
bermakna, jika preposisi tersebut dapat diverifikasi dengan pengalaman inderawi. preposisi
yang mengungkapkan tentang sesuatu yang bersifat metafisik adalah tidak bermakna karena
ungkapan itu tidak diverifikasi secara empirik.
Seluruh pengikut aliran posotivisme logis pada dasarnya membatasi filsafat pada
epistimologi dan logika. Sebagai konsekuensinya mereka sepakat menolak gagasan bahwa
filsafat itu mempersoalkan tentang realitas sebagai keseluruhan, atau, bahkan menolak usaha
filsafat untuk memberikan gambaran yang sistematik tentang realita. Penolakan ini dilakukan
dengan dua jalan, yaitu 1) dengan berusaha mengembalikan semua persoalan menjadi masalah
pengalaman inderawi; 2) dengan menganalisis bahasa, dan berusaha menunjukkan betapa kita
dapat terperdaya oleh struktur bahasa.
Selain itu, para penganut positivisme logis juga tidak menghiraukan suatu ucapan
(preposisi) yang diungkapkan. Menurut mereka, itu merupakan tugas ilmu pengetahuan. Mereka
hanya memperhatikan makna ucapan – ucapan, tidak pada benar atau dustanya suatu
ucapan.yang penting bagi mereka adalah menentukan suatu norma yang dapat membedakan
ucapan – ucapan (preposisi) yang bermakna dari ucapan – ucapan (preposisi) yang tidak
bermakna.
Prinsip Verifikasi
Positivisme logis yang konsep – konsep dasarnya sangat diwarnai oleh logika,
matematika serta ilmu pengetahuan alam yang bersifat positif dan empiris, maka sudah dapat
dipastikan analisis logis tentang pernyataan- pernyataan ilmiah maupun pernyataan filsafat
sangat ditentukan oleh metode ilmu pengetahuan positif dan empiris tersebut.Dalam pengertian
inilah maka positivisme logis mengembangkan prinsip verifikasi.
Menurut Ayer prinsip verifikasi sebagaimana yang diajukan oleh Sclick itu merupakan
verifikasi dalam arti yang ketat dan disamping itu terdapat verifikasi yang bersifat longgar atau
lunak. Verifikasi yang bersifat ketat yaitu sejauh kebenaran suatu pernyataan atau proposisi itu
didukung pengalaman secara meyakinkan. Adapaun verifikasi dalam arti yang lunak, yaitu jikalau
sejauh proposisi itu mengandung kemungkinan bagi pengalaman atau merupakan pengalaman
yang memungkinkan (Ayer,1952 : 37).
Konsep Proposisi.
Prosposisi terdapat dua macam menurut positivisme logis yang pengertianya sebagai
berikut :
1) Proposisi empiris, yaitu proposisi faktual yang harus dapat diverifikasi secara empiris,
menurut Ayer proposisi secara empiris manakala mengandung suatu kemungkinan untuk
disahkan atau ditolak dalam pengertian pengalaman yang sebenarnya.
2) Proposisi formal, (proposisi analisis), yaitu proposisi yang kebenarannya tidak memerlukan
verifikasi secara empiris. Proposisi formal ini meliputi proposisi logika dan matematika yang
memiliki kebenaran secara pasti ( kebenaran bersifat tautologis) sehingga tidak memerlukan
verifikasi pengalaman empiris
3. FLASIFIKASI POPPER
Karakteristik Prinsip Falsifikasi
Kata falsifikasi berasal dari bahasa latin, yakni falsus (palsu, tidak benar)
dan facere (membuat). Falsifikasi adalah cara memverifikasikan asumsi teoritis (hipotesis, teori)
dengan menggunakan pelawannya. Ini dilakukan dengan data yang diperoleh melalui
eksperimen.
1) Teori Falsifikasi Karl Raimud Popper
Pada tahun 1934 Karl Raimund Popper menggebrak dunia filsafat sains dengan
bukunya The Logic Of Scientific Discovery. Dalam bukunya tersebut , Karl Popper melakukan
kritik terhadap kecenderungan metodelogis sains d masa itu yang di dominasi oleh
positivisme.Positivisme adalah sebuah aliran filsafat yang bahkan sampai detik ini masih
berjaya dan dianggap sebagai aksioma oleh para saintis maupun masyarakat umum. Dalam
buku tersebut , alih-alih menekankan pada prinsip verifikasi (pembuktian dengan fakta-fakta
empiris) untuk mendukung sebuah teor sains , Karl Popper mengajukan sebuah gagasan
yang menarik megenai falsifikasi. Falsifikasi adalah kebalikan dari verifikasi, yaitu
pengguguran teori lewat fakta-fakta. Menurut Karl Popper , proses verifikasi sangatlah
lemah.
Teori diuraikan sebagai dugaan atau tebakan spekulatif dan coba-coba, yang
diciptakan secara bebas oleh intelek manusia dalam usaha mengatasi problema-problema
yang dijumpai teori-teori terdahulu, dan untuk memberikan keterangan yang cocok tentang
beberapa aspek dunia atau alam semesta. Teori-teori spekulatif akan diajukan dan diuji keras
tanpa belas kasihan oleh observasi dan experimen. Teori-teori yang gagal tidak tahan uji oleh
observasi dan exsperimen, akan dibuang dan diganti dengan dugaan-dugaan spekulatif lain
dan seterusnya. Ilmu berkembang maju melalui percobaan dan kesalahan, melalui dugaan
dan penolakan.Hanya teori yang paling cocok yang bertahan. Selagi ia tidak pernah dapat
dikatakan sah sebagai teori yang benar, ia dengan penuh harapan dapat dikatakan sebagai
terbaik di antara yang bisa diperoleh dan bahwa ia lebih daripada yang sebelumnya.
Pandangan falsifikasi, bahwa beberapa teori dapat ditunjukan sebagai salah dengan
meminta bantuan pada hasil observasi dan eksperimen. Kalaupun ada asumsi keterangan-
observasi yang benar dapat kita peroleh dengan satu atau lain cara, maka tidak pernah akan
mungkin mencapai hukum-hukum dan teori-teori universal dengan deduksi-deduksi logis.
Ada satu syarat fundamental kalau suatu hipotesa atau system hipotesa mau diakui
memiliki status sebagai hukum atau teori ilmiah. Apabila hipotesa tersebut akan menjadi
bagian dari ilmu, maka suatu hipotesa akan harus falsifiable. Suatu hipotesa falsifiable
apabila terdapat suatu keterangan observasi atau suatu perangkat keterangan-observasi
yang tidak konsisten dengannya, yakni apabila dinyatakan sebagai benar maka ia akan
memfalsifikasi hipotesa itu.
Falsifikasi menuntut bahwa hipotesa-hipotesa ilmiah harus falsifiabel.Dalam hal ini
bersikap mendesak, karena hanya dengan mengesampingkan segala perangkat keterangan-
observasi logis, suatu hukum atau teori barulah informative.Apabila suatu pertanyaan tidak
falsifiable, maka dunia dapat memiliki apapun, dapat bertindak bagaimanapun, tanpa
bertentangan dengan pernyataan itu.Akan tetapi kaum falsifikasionis mempertahankan
bahwa beberapa teori, yang mungkin secara dangkal nampaknya memiliki ciri-ciri teori yang
ilmiah, dalam kenyataan hanya berlagak sebagai teori ilmiah, karena mereka tidak falsifiabel
dan harus ditentang. Popper pernah mengklaim bahwa beberapa versi, sedikit-dikitnya teori
marx tentang sejarah, psikoanalisa Freud dan psikologi Alder, dihinggapi kesalahan ini.
Suatu hukum atau teori ilmiah yang baik adalah falsifiable justru karena ia
mengemukakan klaim-klaim tertentu tentang dunia, karena dari situlah timbul ungkapan
bahwa makin falsifiable suatu teori makin baiklah teori itu, dalam pengertian yang longgar.
Makin banyak satu teori mengemukakan klaimnya, makin banyak kesempatan potensial
untuk menunjukkan bahwa dalam kenyataan dunia ini tidak berprilaku sebagaimana
ditetapkan oleh teori.Teori yang sangat baik adalah teori yang mengemukakan klaim yang
sangat luas jangkauannya tentang dunia, dan yang konsekuensinya paling tinggi
falsifiabilitasnya, dan dapat bertahan teradap falsifikasi jika diuji.
Teori-teori yang sangat tinggi fasifiablitasnya adalah lebih baik dari pada yang
rendah falsifiabilitasnya, asalkan belum pernah difalsifikasi.Kualifikasi ini penting bagi kaum
falsifikasionis.Teori-teori yang pernah difalsifikasi harus ditolak dan tidak mengenal
ampun.Kegiatan ilmu mengandung usul hipotesa-hipotesa yang tinggi falsifiabilitasnya diikuti
dengan usaha-usaha yang matang dan tekun untuk memfalsifikasinya.Mengenai hal tersebut
Popper mengakui bahwa falsifikasionis jauh lebih suka berusaha memecahkan persoalan
yang menarik dengan melakukan dugaan yang berani, walaupun (dan terutama) apabila
tidak lama kemudian ternyata salah, dari pada mengulang suatu rangkaian kebenaran basi
yang tidak relevan. Kami lebih suka ini karena kami percaya bahwa begitulah caranya kita
dapat belajar dari kesalahan-kesalahan kita, dan setelah mengetahui bahwa dugaan ita salah
kita akan belajar banyak tentang kebenaran, dan akan makin mendekati kebenaran.
Tuntutan bahwa teori harus tinggi fasifiabilitasnya mempunyai konsekuensi yang
menarik bahwa teori harus dinyatakan dnegan jelas dan cermat. Apabila suatu teori diajukan
sedemikian samar sehingga tidak jelas apa sebenarnya yang ingin dinyatakan, maka
bilamana diuji dengan observasi atu eksperimen lain ia dapat di interpretasikan sedemikian
rupa sehingga selalu konsisten dengan hasil pengujian. Situasi yang serupa terdapat dalam
hubungan dengan ketelitian. Makin teliti suatu teori dirumuskan, semakin ia menjadi
falsifiable.
Pendekatan falsifikasi dikembangkan oleh Popper yang tidak puas dengan
pendekatan induktif.Menurut Popper, tujuan dari suatu penelitian ilmiah adalah untuk
membuktikan kesalahan (falsify) hipotesa, bukannya untuk membuktikan kebenaran hipotesa
tersebut.Oleh karena itulah pendekatan ini dinamakan pendekatan falsifikasionisme.Untuk
mengatasi masalah empirisme logis, Popper menawarkan suatu metode alternatif untuk
menjustifikasi suatu teori.Popper menerima kenyataan bahwa observasi selalu diawali oleh
suatu sistem yang diharapkan. Proses ilmu pengetahuan berawal dari observasi yang
berbenturan dengan teori yang ada atau prakonsepsi.
Jika masalah ini terjadi maka kita dihadapkan kepada masalah ilmu pengetahuan,
teori kemudian diajukan untuk memecahkan masalah dan hipotesa diuji secara empiris yang
tujuannya menolak hipotesa.Jika peramalan teori itu disalahkan (falsifi), maka teori tersebut
ditolak.Teori yang tahan uji dari falsifikasi dikatakan bahwa teori tersebut kuat dan dapat
diterima sementara sebagai teori yang benar. Menurut falsifikasionis ilmu berkembang secara
pendugaan dan penolakan (conjencture and refutation) atau secara trial and error, tujuan
ilmu adalah memecahkan masalah dan pemecahan masalah tadi diwujudkan dalam teori
yang mungkin akan disalahkan secara tes empiris. Teori yang bertahan dan tidak dapat
disalahkan akan diterima secara tentatif untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain, teori
menurut pendekatan falsifikasi adalah hipotesa yang belum dibuktikan kesalahannya. Teori
bukanlah sesuatu yang benar atau faktual tetapi sesuatu yang belum terbukti salah. Proses
dari falsifikasi Popper, dapat dilihat pada gambar berikut ini.
2) Karateristik Falsifikasi
a) Falsifiabilitas
Falsifiabilitas atau refutabilitas adalah kemungkinan bahwa adanya kemungkinan
logis sebuah pernyataan untuk dapat difalsifikasi atau ditunjukkan salah melalui observasi
atau ujicoba empiris. Sesuatu yang bisa difalsifikasi bukan berarti itu salah, namun berarti
bahwa jika pernyataan tersebut salah, maka kesalahannya dapat ditunjukkan. Klaim bahwa,
"tidak ada manusia yang hidup selamanya" tidak dapat difalsifikasi karena tidak mungkin
untuk dibuktikan salah. Dalam teori, seseorang harus mengamati seorang manusia hidup
selamanya untuk memfalsifikasi klaim tersebut. Di sisi lain, "semua manusia hidup
selamanya" dapat difalsifikasi karena kematian satu orang manusia dapat membuktikan
pernyataan tersebut salah karena bersifat metafisik.
Secara metodologis prinsip falsifikasi menegaskan setiap pernyataan ilmiah untuk
tidak boleh menghindari pengujian kritis, entah dengan cara mengajukan hipotesis ad
hoc atau definisi ad hoc. Oleh karena itu teori-teori perlu dirumuskan sejelas mungkin,
sehingga ada peluang bagi pengujian kritis atau falsifikasi terhadapnya. Popper adalah
seorang falsifikasian yang sangat kritis dalam bidang metodologi.
Sedangkan segi logis karakter falsifiabilitas ini ditunjukkan dengan mengidentifikasi
relasi-relasi logis antara teori-teori dengan kelas atau tingkat pernyataan-pernyataan dasar
yang meliputi segenap pernyataan tunggal dan konsistensi internal. Karakter falsifiabilitas ini
memerlukan the initial condition (kondisi awal) yang menerangkan apa yang semestinya
menggantikan variabel-variabel dalam teori. Kita juga membutuhkan pernyataan dasar.
Dalam ilmu pengetahuan, ide falsifiabilitas ini memberikan kontribusi besar dalam
menyelesaikan masalah demarkasi.
b) Testabilitas
Testabilitas dalam penerapannya ke hipotesis empiris melibatkan dua
komponen: pertama, properti logis yang beragam digambarkan
sebagai kontingensi atau falsifiabilitas, yang berarti bahwa tandingan dengan
hipotesis secara
logis mungkin. Kedua, kelayakan praktis mengamati serangkaian reprodusibilitas tandingan s
eperti itu jika mereka memang ada. Singkatnya, hipotesis dapat diuji jika ada
beberapa harapan nyata memutuskan apakah itu benar atau palsu dalam pengalaman
itu. Setelah ini penyusun hipotesis memperlihatkan kemampuannya untuk memutuskan
apakah teori dapat didukung atau dipalsukan oleh
data pengalaman aktual. Jika hipotesis diuji, hasil awal juga dapat diberi label tidak
meyakinkan.
c) Corroboration
Corroboration berhubungan dengan masalah induksi, yang timbul karena hipotesis
yang tidak dapat secara logis disimpulkan dari serangkaian pengamatan tertentu. Popper
menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya dihasilkan dan bekerja dengan logika
induksi semata. Corroboration mengandaikan setiap pengamatan bisa dilihat sebagai bukti
yang menguatkan hipotesis apapun jika hipotesis tersebut cukup terbatas. Argumen ini juga
telah diambil untuk menunjukkan bahwa kedua pengamatan yang sarat teori, dan karenanya
tidak mungkin untuk membuat pengamatan yang benar-benar independen. Hal ini
disebabkan karena teori tidak dapat dikatakan benar atau salah, tetapi mungkin benar atau
mungkin salah. Teori kemungkinan kemudian disebut logika kemungkinan (probability logic).
Satu tanggapan adalah bahwa masalah mungkin cukup dipersempit (axiomatized) untuk
mengambil segala sesuatu kecuali masalah yang menarik sebagai tujuan.
Suatu hipotesis tahan uji atau belum dapat dibuktikan salah, maka hipotesis tersebut
akan semakin dikukuhkan atau corroborated. Untuk mencapai kondisi corroborated, suatu
hipotesis perlu diperhadapkan pada serangkaian fakta yang tak terhingga, dengan rentetan
falsifikasi yang tak terhingga. Dengan demikian, hipotesa tersebut memiliki
kualitas corroboration yang tinggi (how far it has been corroborated).
d) Verisimilitude
Verisimilitude atau truthlikeness adalah bagaimana sebuah teori mendekati
kebenaran dari teori yang lain untuk dapat mengetahui kualitas realisme dari suatu teori
ilmiah. Masalah verisimilitude adalah masalah mengartikulasikan apa yang dibutuhkan untuk
satu teori yang mengalami falsifikasi untuk lebih dekat dengan kebenaran dari teori lain.
Teori palsu adalah kemajuan sehubungan dengan tujuan kebenaran maka setidaknya harus
mungkin bagi satu teori palsu untuk lebih dekat dengan kebenaran daripada yang lain.
Popper sendiri sangat terpengaruh dengan pemikiran Alfred Tarski yang mengatakan
“kebenaran adalah sebuah properti dari sebuah statement.” Popper memberi contoh sebuah
teori yang lebih dekat dengan kebenaran dari teori B sesuai dengan definisi kualitatif Popper
tentang verisimilitude, dalam hal ini, kita akan tahu bahwa semua konsekuensi yang benar
dari B adalah konsekuensi dari A, dan bahwa semua konsekuensi palsu A adalah konsekuensi
dari B, ini berarti bahwa, jika A dan B sangat terkait, maka harus terjadi bahwa semua
konsekuensi empiris diketahui palsu dari A juga mengikuti dari B, dan semua konsekuensi
yang dikenal empiris sejati dari B melakukan tindakan dari A. Kesimpulannya jika A lebih
dekat dengan kebenaran dari B, maka A harus lebih baik dari B dikuatkan oleh sebanyak
mungkin bukti empiris. Teori yang mudah ini memungkinkan kita untuk menafsirkan fakta
bahwa A sebenarnya lebih baik dikuatkan dari B sebagai pembuktian hipotesis (atau 'meta-
hipotesis') bahwa A lebih kelihatan seakan-akan benar dari B. Verisimilitude ini bisa terjadi
secara komparatif dan numerical.
Tentang hal ini Popper menegaskan,“Pada akhirnya, ide verisimilitude yang sangat
penting terjadi dalam kasus (hal) yang kita tahu bahwa kita harus bekerja dengan teori-teori
yang artinya benar-benar hanya perkiraaan, teori-teori yang kita tahu bahwa teori-teori itu
tidak mungkin benar. (Hal ini sering terjadi dalam ilmu-ilmu sosial). Dalam hal ini kita masih
bisa berbicara tentang pendekatan kebenaran yang lebih baik atau lebih buruk (dan kita
tidak perlu menafsirkan kasus ini dalam arti instrumentalis)”.
e) Probabilitas
Probabilitas ini biasanya digunakan untuk menggambarkan suatu sikap pikiran
terhadap beberapa proposisi yang kebenarannya tidak tentu. Pertama, proposisi yang
menarik biasanya dalam bentuk: Apakah peristiwa tertentu terjadi? Sikap pikiran adalah
dalam bentuk "Bagaimana kita memprediksi bahwa acara tersebut akan terjadi?" Kepastian
kita mengadopsi dapat digambarkan dalam hal ukuran numeric dan jumlah ini, antara 0 dan
1, kita sebut probabilitas. Semakin tinggi probabilitas dari suatu peristiwa, semakin yakin kita
bahwa acara tersebut akan terjadi. Jadi, probabilitas dalam penerapan adalah ukuran dari
bersesuaian dari peristiwa yang akan terjadi. Probabilitas digunakan untuk menjelaskan
mekanisme yang mendasari dan keteraturan sistem yang kompleks.