Anda di halaman 1dari 71

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diperkirakan penyakit tidak menular (PTM) akan berjumlah 73% dari

jumlah kematian dan 60% dari jumlah beban penyakit global (Anies, 2016).

Diabetes melitus (DM) atau yang sering dikenal kencing manis merupakan

salah satu dari empat prioritas penyakit tidak menular (PTM) yang menjadi

penyebab utama kebutaan, serangan jantung, stroke, gagal ginjal dan amputasi

kaki (Wordl Health Organization, 2016). Hal ini ditandai dengan peningkatan

kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat kerusakan pada sekresi insulin,

kerja isulin, atau keduanya (Smeltzer, 2016). Sehingga tubuh tidak dapat

melepaskan atau menggunakan insulin secara adekuat (Utaminingsih &

Rahayu, 2015).

Menurut hasil data yang didapatkan bahwa jumlah klien diabetes di dunia

tahun 2017 sebanyak 425 juta jiwa dan diperkirakan akan terus meningkat

hingga pada tahun 2045 sekitar 629 juta jiwa dari seluruh penduduk dunia.

Mayoritas orang DM berusia antara 20-64 tahun, dan 279 juta jiwa dari 425

juta jiwa penyandang DM hidup di daerah perkotaan. Kemudian prevalensi

angka klien diabetes melitus di kawasan Pasifik Barat (Western Pasific)

memiliki populasi terbesar di wilayah manapun dengan 39 negara dan

wilayah. Pada tahun 2017 sebanyak 159 juta jiwa dan diperkirakan akan naik

1
2

menjadi 183 juta jiwa pada tahun 2045. Sedangkan negara Indonesia

mendapatkan peringkat ke 6 dari 10 negara penyandang DM terbanyak di

dunia, pada tahun 2017 dengan jumlah sekitar 10,3 juta jiwa yang mengalami

diabetes, dan akan mengalami peningkatan pada tahun 2045 dengan peringkat

ke 7 di dunia dengan jumlah sekitar 16,7 juta jiwa, sedangkan klien yang

belum terdiagnosa pada tahun 2017 sebanyak 7,6 juta jiwa, dan orang dengan

gangguan intoleransi glukosa di Indonesia sebanyak 27,7 juta jiwa

(International Diabetes Federation, 2017).

Prevalensi DM di Indonesia masih cukup tinggi pada tahun 2013 dengan

presentase angka kejadian yaitu 1,5 % penderita DM berdasarkan jawaban

pernah didiagnosis dokter, dan berdasarkan diagnosis atau gejala sebesar 2,1%

penderita. Sedangkan prevalensi penderita DM di Provinsi Jawa Timur

didapatkan hasil 2,1% penderita pernah didiagnosis dokter, dan 2,5%

penderita berdasarkan diagnosis atau gejala (Riskesdas, 2013). Data

berdasarkan laporan seksi rujukan dan khusus, 10 kasus penyakit terbanyak di

rumah sakit pemerintah kelas A tahun 2013, kasus DM menempati peringkat

kedua setelah hipertensi sebanyak 49.785 penderita DM (Dinas Kesehatan

Jawa Timur, 2014). Pada tahun 2010 berdasarkan data Profil Kesehatan

Kabupaten Probolinggo menunjukkan bahwa angka kejadian penderita DM

sebanyak 3.291 orang dan mengalami peningkatan pada tahun 2014 yaitu

4.140 penderita DM (Bidang Kesehatan, 2014).


3

DM jangka panjang dapat berperan menyebabkan komplikasi

mikrovaskular kronik (penyakit ginjal dan mata) dan komplikasi neuropatik.

Diabetes juga dikaitkan dengan peningkatan insidensi penyakit makrovaskular

(Smeltzer, 2016), seperti penyakit jantung koroner, penyakit arteri perifer,

penyakit serebrovaskular, dan kaki diabetes (Priantono & Sulistianingsih,

2014). Masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang DM

yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah,

sehingga mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang

kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak

kaki, selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus (Waspaji, 2014).

Pada tahun 2011 didapatkan presentase Komplikasi terbanyak adalah

neuropati yang dialami oleh 54% penderita diabetes melitus yang di rawat di

RSUP dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (RSCM) kemudian presentase

komplikasi terbanyak ke dua adalah retinopati diabetik yang dialami oleh

33,40% penderita, kemudian diikuti proteinuria yang dialami oleh 26,50%

penderita, PAD sebanyak 10,90% penderita, kaki diabetes sebanyak 8,70%

penderita, angina sebanyak 7,40% penderita, MCI sebanyak 5,30% penderita,

stroke sebanyak 5,30% penderita, gagal jantung sebanyak 2,70% penderita,

amputasi sebanyak 1,30%, dan dialisis sebanyak 0,50% penderita (Kemenkes

RI, 2014). Data yang didapatkan dari medical record di RSUD. Waluyo Jati

Kraksaan. Berdasarkan hasil study pendahuluan yang telah dilakukan di


4

RSUD. Waluyo Jati Kraksaan, diperoleh 138 kien DM dengan gangren dalam

2 bulan terakhir (februari-maret 2018).

Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling

ditakuti. Hal ini dikarenakan sering kaki diabetes berakhir dengan kecacatan

dan kematian (Waspaji, 2014). kaki diabetes dapat mengakibatkan perasaan

malu dan tidak berharga bagi sebagian penderitanya, yang pada akhirnya

akan mempengaruhi hubungan dengan orang lain khususnya mempengaruhi

citra tubuhnya (Nurhalimah, 2016). Gangguan ini biasanya melibatkan

distorsi dan persepsi negatif tentang penampilan fisik mereka (Sutejo, 2017).

Penderita kaki diabetes, biasanya akan menolak bercermin, menyentuh

atau melihat bagian tubuh tertentu yang strukturnya telah berubah akibat

penyakit (Yusuf, Fitryasari, & Nihayati, 2015). Berdasarkan hasil penelitian

Nizam dan Hasneli (2010) di Ruang Penyakit Dalam RSUD Arifin Achmad

Provinsi Riau menemukan bahwa responden yang merasa terganggu dengan

perubahan penampilan tubuh memiliki citra tubuh yang negatif sebanyak 10

orang (83.3%). Responden yang merasa terganggu dengan perubahan fungsi

tubuh memiliki citra tubuh yang negatif sebanyak 13 orang (81,2%).

Responden yang merasa terganggu dengan reaksi orang lain memiliki citra

tubuh yang negatif sebanyak 12 orang (80%). Responden yang merasa

terganggu dengan perbandingan terhadap orang lain memiliki citra tubuh yang

negatif sebanyak 13 orang (76,5%) ) (Nizam & Hasneli, 2014).


5

Seseorang yang menghadapi stres akan mengalami penurunan rasa

nyaman secara psikis seperti timbulnya rasa cemas, frustasi dengan indikator

diantaranya kehilangan harga diri (Ardhiyanti, Pitriani, & Damayanti, 2014).

Seringkali seseorang hanya melihat satu waktu saat kita sakit dan melupakan

99 kali saat kita sehat. Kapan saja kita kehilangan rasa syukur, maka kita akan

kehilangan sifat iman kita. Sebagaimana dalam Firman Allah SWT dalam QS.

Ibrahim [14]: 7

]٧:‫َو اِ ْذ تأ َ َّذ ن َر بُّ ُك ْم لَئِ ْن َشكَرْ تُ ْم أَل َ ِز ْي َد نَّ ُك ْم صلى َو لَئِ ْن َكفَرْ تُ ْم اِ َّن َع َذا بِ ْي لَ َش ِد ْي ْد [ابرهم‬

7. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah

(nikmat) kepadamu, namun jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka

sesungguhnya azab-Ku sangatlah pedih. – QS. Ibrahim: 7

Dari ayat tersebut mengandung makna sekaligus perintah selayaknya

manusia bersyukur kepada Allah yang maha pemberi kenikmatan, dengan

menggunakan strategi koping yang baik, sehingga individu dapat beradaptasi

dengan perubahan fisik dan meningkatkan kualitas hidupnya.

Beberapa hal yang harus diamati dalam model stres adaptasi diantaranya

adalah sumber koping, dan mekanisme koping yang digunakan (Yusuf et al.,

2015). Koping yang adaptif bersifat positif mengarah kepada keseimbangan

dinamis dalam berhubungan dengan stres, tanggapan koping adaptif sebagian

besar membantu dan umumnya tidak menyebabkan masalah jangka panjang

(Braine & Wray, 2016). Penggunaan mekanisme koping yang maksimal akan
6

berdampak baik terhadap tingkat adaptasi individu dan meningkatkan tingkat

rangsangan sehingga individu dapat merespon stres secara positif (Nursalam,

2008).

Hasil penelitian oleh Husna (2011) yang dilakukan di RSUDZA Banda

Aceh kepada 32 responden diperoleh mekanisme koping pada klien diabetes

melitus tipe 2 dengan kaki diabetes, untuk perilaku menyerang berada pada

kategori adaptif sebanyak 32 responden (100%), menarik diri pada kategori

adaptif sebanyak 23 responden (71,9%), kompromi kategori adaptif sebanyak

29 responden (90,6%), kompensasi pada kategori adaptif sebanyak 31

responden (96,9%), dan menyangkal pada kategori adaptif sebanyak 29

responden (90,6%). Secara umum mekanisme koping pada klien diabetes

melitus tipe 2 dengan kaki diabetes berada pada kategori adaptif yaitu 27

orang (84,4%) (Husna, 2011).

Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan diatas, dapat disimpulkan

bahwa kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling

ditakuti, dikarenakan sering kaki diabetes berakhir dengan kecacatan dan

kematian (Waspaji, 2014). Sehingga berdampak kepada fisik maupun

psikologis, khususnya citra tubuhnya. Untuk itu perlu suatu usaha langsung

dalam manajemen stres (mekanisme koping) (Yusuf et al., 2015). Penelitian

kuantitatif di Indonesia sudah pernah dilakukan, akan tetapi di jawa timur

belum pernah dilakukan penelitian khususnya di kabupaten probolinggo.


7

Untuk itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan mengangkat judul

Hubungan Citra Tubuh Dengan Mekanisme Koping Pada Klien Diabetes

Melitus dengan Gangren di RSUD. Waluyo Jati Kraksaan.

B. Rumusan Masalah

Apakah terdapat Hubungan Citra Tubuh dengan Mekanisme Koping Pada

Klien Diabetes Melitus dengan Gangren di RSUD. Waluyo Jati Kraksaan.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menganalisa hubungan citra tubuh dengan mekanisme koping pada

klien diabetes melitus dengan gangren di RSUD. Waluyo Jati Kraksaan.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi citra tubuh pada klien diabetes melitus dengan

gangren di RSUD. Waluyo Jati Kraksaan.

b. Mengidentifikasi mekanisme koping pada klien diabetes melitus

dengan gangren di RSUD. Waluyo Jati Kraksaan.

c. Menganalisa hubungan citra tubuh dengan mekanisme koping pada

klien diabetes melitus dengan gangren di RSUD. Waluyo Jati

Kraksaan.
8

D. Manfaat Penilitian

1. Manfaat secara teoritis

a. Bagi Penulis

Menambah pengetahuan dan wawasan penulis serta pengalaman

langsung dalam melakukan penelitian dan penulisan laporan penelitian

terutama tentang hubungan citra tubuh dengan mekanisme koping

pada klien DM dengan gangren di RSUD.Waluyo Jati Kraksaan.

2. Manfaat secara praktisi

a. Bagi Klien

Sebagai bahan informasi dan peningkatan pengetahuan mengenai

citra tubuh dengan mekanisme koping pada klien diabetes melitus

dengan gangren dengan harapan dapat melakukan strategi koping yang

maksimal dalam upaya dapat merespon perubahan secara positif.

b. Bagi Perawat

Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai intervensi keperawatan

dalam pengobatan pada kasus diabetes melitus dengan gangren.

c. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan dan data

awal untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, yang berkaitan dengan

citra tubuh dengan mekanisme koping pada klien diabetes melitus

dengan gangren.
9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjaun Teori

1. Konsep Dasar Diabetes Melitus

a. Definisi

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit

metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

Hiperglikemia kronik pada diabetes melitus berhubungan dengan

kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ

tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (Dyah

Purnamasari, 2014).

Diabetes melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik

yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia)

akibat kerusakan pada sekresi insulin, kerja isulin, atau keduanya

(Smeltzer, 2016).

Diabetes melitus merupakan suatu sindrom dengan terganggunya

metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh

berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensivitas jaringan

terhadap insulin (Tanzi, 2014).


10

Diabetes melitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa (gula

sederhana) di dalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan

atau menggunakan insulin secara adekuat. Kadar gula darah sepanjang

hari bervarasi, meningkat setelah makan dan kembali normal dalam

waktu 2 jam. Kadar gula darah yang normal pada pagi hari setelah

malam sebelumya berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah. Kadar gula

darah biasanya berkurang dari 120-140 mg/ dL pada 2 jam setelah

makan atau minum cairan yang mengandung gula maupun karbohidrat

lainnya. Kadar gula darah yang normal cenderung meningkat secara

ringan tetapi progresif setelah usia 50 tahun, terutama pada orang-

orang yang tidak aktif (Utaminingsih & Rahayu, 2015).

b. Klasifikasi dan Etiologi

Klasifikasi DM menurut Smeltzer (2016) diantaranya:

1) Diabetes Melitus Tipe 1 (DMT 1)

a) Sekitar 5% -10% klien mengalami diabetes tipe 1. Tipe ini

ditandai dengan destruksi sel-sel beta pankreas akibat faktor

genetik, imunologi, dan mungkin juga lingkungan (mis.,virus).

Injeksi insulin diperlukan untuk mengontrol kadar glukosa

darah.

b) Awitan diabetes tipe 1 terjadi secara mendadak, biasanya

sebelum usia 30 tahun.


11

2) Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT 2)

a) Sekitar 90% sampai 95% klien penyandang diabetes menderita

diabetes tipe 2. Tipe ini disebabkan oleh penurunan sensivitas

terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan

jumlah insulin yang diproduksi.

b) Pertama-tama, diabetes tipe 2 ditangani dengan diet dan

olahraga, dan juga dengan agens hipoglikemik oral sesuai

kebutuhan.

c) Diabetes tipe 2 paling sering dialami oleh klien diatas uasia 30

tahun dan klien yang obes.

3) Diabetes Melitus Gestasional

a) Diabetes gestasional ditandai dengan setiap derajat intoleransi

glukosa yang muncul selama kehamilan (trimester kedua atau

ketiga).

b) Risiko diabetes gestasional mencakup obesitas, riwayat

personal pernah mengalami diabetes gestasional, glikosuria,

atau riwayat kuat keluarga pernah mengalami diabetes.

Kelompok etnis yang beresiko tinggi mencakup penduduk.

c) Amerika Hispanik, Amerika Asli, Amerika Asia, Amerika

Afrika, dan Kepulauan Pasifik. Diabetes gestasional


12

meningkatkan risiko mereka untuk mengalami gangguan

hipertensif selama kehamilan (Smeltzer, 2016).

Guyton (2012) diabetes melitus disebabkan oleh penuruan

kecepatan insulin oleh sel-sel beta pulau Langerhans. Biasanya

dibagi dalam dua jenis yang berbeda : diabetes juvenilis, yang

biasanya tetapi tak selalu, dimulai mendadak pada awal kehidupan

dan diabetes dengan awitan maturitas, yang dimulai di usia lanjut

dan terutama pada orang kegemukan.

Herediter berperan penting dalam perkembangan kedua jenis

diabetes ini. Pada beberapa kasus, jenis juvenilis disebabkan oleh

predisposisi herediter terhadap perkembangan antibodi terhadap

sel-sel beta atau degenerasi sederhana pada sel-sel ini. Diabetes

jenis awitan maturitas jelas disebabakan oleh degenerasi sel-sel

beta akibat penuaan yang lebih cepat pada orang lebih rentan dari

pada yang lain. Obesitas mempredisposisi seseorang terhadap jenis

diabetes ini karena diperlukan insulin dalam jumlah lebih besar

untuk pengaturan metabolisme pada orang kegemukan

dibandingkan dengan orang normal (Guyton, 2012).

c. Diagnosis
13

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa

darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah

pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah

vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan

menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.

Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM.

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan

seperti:

1) Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan

berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

2) Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan

disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

(PERKENI, 2015)

Tabel 2.1 Kadar Tes Laboratorium Darah Untuk Diagnosis Diabetes


dan Prediabetes

Kadar glukosa plasma
Kadar HbA1c Kadar Glukosa darah
Klasifikasi 2 jam setelah TTGO
(%) (mg/dL)
(mg/dL)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 mg/dL ≥ 200 mg/dL
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal <5,7 <100 <140
(PERKENI, 2015)

Tabel 2.2 Kadar Glukos Darah Sewaktu dan Kadar Glukosa Darah
Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM         
14

Belum pasti
Parameter Bukan DM DM
DM
kadar glukosa darah plasma vena < 100 100 – 199 ≥ 200
sewaktu mg/Dl darah kapiler < 90 90 – 199 ≥ 200
kadar glukosa darah plasma vena < 100 100 – 125 ≥ 126
puasa mg/dL darah kapiler < 90 90 – 99 ≥ 100
(PERKENI, 2015)

d. Penatalaksanaan

Upaya penanggulangan DM telah dilakukan. Perkumpulan

Endokrinologi Indonesia (PERKENI) dalam Konsensus Pengelolan

dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia tahun 2015 telah menetapkan

4 prinsip utama penatalaksanaan DM yaitu:

1) Edukasi

Edukasi merngenai pengertian DM, promosi perilaku hidup

sehat, pemantauan glukosa darah mandiri, serta tanda dan gejala

hipoglikemia beserta cara mengatasinya perlu dipahami oleh klien.

2) Terapi Nutrisi Medis (TNM)

TNM merupakan aspek penting dari penatalaksanaan DM

secara menyeluruh yang membutuhkan, yang membutuhkan

keterlibatan multidisiplin (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan,

klien, serta keluarga klien). Prinsip pengaturan diet pada

penyandang DM adalah menu seimbang sesuai kebutuhan kalori

dan zat gizi masing-masing klien, serta perlu ditekankan

pentingnya keteraturan jadwal, jenis dan jumlah makan.


15

Kebutuhan kalori dilakukan dengan memperhitungkan kalori

basal. Kebutuhan kalori ini besarnya 25 (perempuan) 30 (laki-

laki)/KgBB ideal, ditambah atau dikurangi tergantung dari

beberapa faktor seperti jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan,

dll. Perhitungan berat badan ideal (BBI) dilakukan dengan rumus

Broca yang dimodifikasi, yaitu :

a) BBI = 90% x ( tinggi badan dalam cm – 100) x 1kg

b) Bagi pria dengan tinggi badan < 150 cm, rumus dimodifikasi

menjadi : BBI = ( tinggi badan dalam cm – 100) x 1 kg

c) BB normal : BBI ± 10%, kurus : < BBI – 10% gemuk > BBI

+10%

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :

a) Karbohidrat :45 – 65% total asupan energi (karbohidrat non-

olahan berserat tinggi dibagi dalam 3x makan/hari)

b) Lemak : 20 – 25% kebutuhan kalori (batasi lemak jenuh dan

lemak trans, seperti daging berlemak dan whole milk,

konsumsi kolesterol < 200 mg/hari)

c) Protein : 10 – 20% total asupan energi (seafood, daging tanpa

lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-

kacangan, tahu dan tempe)

d) Natrium : < 3 g atau 1 sdt garam dapur (pada hipertensi,

natrium dibatasi 2,4 g)


16

e) Serat ± 25 g/hari (kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta

karbohidrat tinggi serat)

f) Pemanis alternatif : tetap perlu diperhitungkan kandungan

kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

3) Aktivitas Fisik

Kegiatan jasmani yang dianjurkan adalah intensitas sedang

(50-70% denyut nadi maksimal) minimal 150 menit/ minggu atau

aerobik 75 menit/minggu. Aktivitas dibagi dalam 3 hari/minggu

dan tidak ada 2 hari berturutan tanpa aktifitas fisik. Jika tidak ada

kontraindikasi, klien DMT2 diedukasi melakukan latihan resistensi

sekurangnya 2x/minggu. Untuk penyandang DM dengan penyakit

kardiovaskular. Latihan jasmani dimulai dengan intensitas rendah

dan durasi singkat lalu secara perlahan ditingkatkan. Aktivitas fisik

sehari-hari juga dapat dilakukan, misalnya berjalan kaki ke tempat

kerja, menggunakan tangga (tidak menggunakan elevator).

4) Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis diterapkan bersama-sama dengan

pengaturan diet dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi

farmakologis terdiri dari obat oral dan suntikan (Priantono &

Sulistianingsih, 2014).

e. Komplikasi
17

Komplikasi yang berkaitan dengan diabetes diklasifikasikan

sebagai komplikasi akut dan kronik (Smeltzer, 2016).

1) Komplikasi akut terjadi akibat intoleransi glukosa yang

berlangsung dalam jangka waktu pendek dan mencakup berikut :

a) Hipoglikemia

b) DKA

c) HHNS

2) Komplikasi kronik biasanya terjadi 10-15 tahun setelah awitan

diabetes melitus komplikasinya mencakup berikut:

a) Penyakit makrovaskular (pembuluh darah besar):

memperngaruhi sirkulasi koroner, pembuluh darah perifer, dan

pembuluh darah otak.

b) Penyakit mikrovaskular (pembuluh darah kecil): memengaruhi

mata (retinopati) dan ginjal (nefropati).

c) Penyakit neuropatik : memengaruhi saraf sensorik motorik dan

otonom serta berperan memunculkan sejumlah masalah, seperti

impotensi dan ulkus kaki (Smeltzer, 2016).

f. Pencegahan

Dengan mengetahui berbagai faktor resiko terkait terjadinya

komplikasi kronik diabetes melitus secara umum maupun faktor resiko

khusus komplikasi kronik diabetes melitus yang tertentu seperti


18

mikroalbuminuria untuk nefropati ataupun deformitas kaki untuk

penyakit pembuluh darah perifer, kemudian dapat segera dilkukan

berbagai usaha umum untuk pencegahan kemungkinan terjadinya

komplikasi kronik diabetes melitus, diantaranya

1) Pengendalian konsentrasi glukosa

2) Tekanan darah

3) Pengendalian lipid

4) Faktor lain; pola hidup sehat dan perencanaan makan (Waspaji,

2014b).

2. Konsep Dasar Kaki diabetes

a. Definisi

Kaki diabetes didefinisikan sebagai adanya infeksi, ulserasi dan

atau perusakan derajat penyakit arteri perifer (PAD) di ekstremitas

bawah pada klien dengan diabetes (Tentolouris, 2010).

Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang

paling ditakuti. Sering kaki diabetes berakhir dengan kecacatan dan

kematian (Waspaji, 2014a)

b. Etiologi

Beberapa faktor yang menyebabkan ulkus kaki diabetes antara

lain faktor neuropati, biomekanika kaki yang abnormal, penyakit arteri


19

perifer, dan penyembuhan luka yang buruk (Priantono &

Sulistianingsih, 2014)

c. Klasifikasi dan derajat ulkus kaki diabetes

Tabel 2.3 Klasifikasi Kaki Diabetes Berdasarkan Sistem Wagner

Tingkat Lesi
Pre atau post tidak terdapat lesi terbuka, mungkin hanya deformitas
0
dan selulitis.
1 Ulkus diabetik superfisialis (partial atau full thicness).
Ulkus meluas mengenai ligament, tendon, kapsul sendi atau otot
2 dalam tanpa abses atau osteomilitis.
3 Ulkus dalam dengan abses, osteomielitis atau infeksi sendi.
4 Gangren setempat pada bagian depan kaki atau tumit.
5 Gangren luas meliputi seluruh kaki.
(Tentolouris, 2010)

Table 2.4 Klasifikasi Kaki Diabetes The University Of Texas

Grade
Stage
0 I II III
pre-atau post ulkus ulkus dalam ulkus meluas
A tanpa superfisial (hingga ketendon hingga ke tulang
kerusakan kulit atau kapsul) atau sedi
B Infeksi Infeksi Infeksi Infeksi
C Iskemia Iskemia Iskemia Iskemia
infeksi dan infeksi dan infeksi dan infeksi dan
D
iskemia iskemia iskemia iskemia
20

(Tentolouris, 2010)

d. Patofisiologi

Faktor yang mempengaruhi terjadinya ulkus pada kaki diabetes

antara lain faktor neuropati, biomekanika kaki yang abnormal,

penyakit arteri perifer, penyembuhan luka yang buruk.

Neuropati sensorik perifer berperan dalam timbulnya cedera pada

kaki. Komplikasi ini menyebabkan gangguan pada mekanisme

proteksi kaki yang normal, sehingga klien dapat mengalami cedera

kaki tanpa disadari. Neuropati otonom menyebabkan terjadinya

anhidrosis dan gangguan perfusi kaki. Akibatnya kulit menjadi kering

dan dapat terbentuk fisura.

Biomekanika kaki yang abnormal disebabkan oleh beberapa faktor

yang berhubungan dengan neuropati, baik secara langsung maupun

tidak langsung. Gangguan propriosepsi menyebabkan distribusi berat

badan yang abnormal. Hal ini dapat berperan dalam terjadinya callus

atau ulserasi pada kaki. Perubahan struktural pada kaki dapat terjadi

akibat adanya komplikasi neuropati sensorik dan motorik.

Pada klien DM angka kejadian aterosklerosis lebih tinggi

dibandingkan populasi umum. Gangguan pembuluh darah perifer

menyebabkan gangguan oksigenasi jaringan sehingga menghambat

proses penyembuhan luka.


21

Infeksi memegang peranan penting dalam terjadinya kaki diabetes.

Peranan infeksi sejajar dengan neuropati dan angiopati. Pada kaki

diabetes, infeksi terjadi dan melibatkan banyak spesies bakteri yang

akan mempersulit penatalaksanaan. Kemungkinan timbulnya infeksi

pada kaki diabetes semakin meningkat akibat adanya penyakit arteri

perifer dan gangguan penyembuhan luka seperti yang sudah dijelaskan

sebelumnya (Priantono & Sulistianingsih, 2014).

Waspaji (2014) mengatakan terjadinya masalah kaki diawali

adanya hiperglikemia pada penyandang DM yang menyebabkan

kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati, baik

neuropati sensorik maupun motorik dan autonomik akan

mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang

kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada

telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus.

Adanya kerentanan terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah

merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang kurang

juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes.

(Waspaji, 2014a)

e. Penatalaksanaan ulkus kaki diabetes

Penatalaksanaan ulkus kaki diabetes menurut Priantono &

Sulistianingsih (2014) secara histolik harus meliputi 6 kontrol, yaitu :


22

1) Kontrol Mekanik

Kontrol mekanik meliputi mengistirahatkan kaki klien,

menghindari tekanan pada daerah luka, serta menggunakan bantal

pada kaki saat berbaring untuk mencegah lecet pada luka dan

menggunakan kasur dekubitus bila perlu. Intervensi pada faktor-

faktor resiko juga perlu dilakukan, seperti penggunaan alas kaki

ortotik, mananjemen callus, dan perawatan kuku.

2) Kontrol Metabolik

Kontrol metabolik bertujuan untuk mengatasi infeksi dan

mendukung penyembuhan luka, pengaturan glukosa darah klien

secara adekuat, serta pengendalian faktor komorbiditas hipertensi,

dislipidemia, gangguan funsi ginjal, gangguan fungsi hati,

gangguan elektrolit, anemia, infeksi penyerta, serta

hipoalbumenia). Kontrol metabolik dapat dicapai melalui terapi

gizi medis maupun terapi farmakologis.

3) Kontrol Vaskular

Kontrol vaskular meliputi evaluasi status vaskuler kaki,

pemeriksaan ABI, tekanan oksigen transkutan, tekanan ibu jari

kaki (toe pressure), dan angiopati. Gangguan vaskular yang

ditemukan dapat menghambat penyembuhan luka sehingga perlu

ditata laksana secara adekuat

4) Kontrol Luka
23

Jaringan nekrotik dan pus yang ada harus dievakuasi secara

adekuat dengan nekrotomi atau debridemen. Luka sebaiknya

ditutup dengan pembalut yang basah atau lembab. Apabila

diperlukan, tindakan amputasi harus dipertimbangkan. Klinisi yang

menangani kaki diabetes harus bekerja sama dengan spesialis

bedah untuk menentukan apakah tindakan pembedahan diperlukan

atau tidak.

Melakukan nekrotomi atau debridemen bertujuan untuk

membuang jaringan yang nekrotik, drainase pus, mengurangi

tekanan pada luka, mengurangi bengkak, membuat lingkungan

menjadi aerob, mempermudah swab, dan membuat luka yang

tadinya kronik menjadi akut.

5) Kontrol Infeksi

Pemberian antibiotik harus dimulai secara empiris sebelum

didapatkan hasil kultur resistensi. Pada luka yang superfisial dan

tidak mencapai subkutan, dapat diberikan antibiotik empiris yang

efektif terhadap kuman gram negatif atau golongan metrodidazol

bila terdapat kecurigaan ke arah infeksi bakteri anaerob.

6) Kontrol Edukasi

Edukasi yang baik menekankan pada upaya pencegahan dan

deteksi dini pada kaki yang normal atau sudah ada gangguan

neuropati/neuroiskemi namun belum ada luka. Pada kaki yang


24

sudah terluka, edukasi ditekankan pada upaya-upaya pencegahan

sekunder tersier.terapi yang optimal untuk ulkus kaki dan amputasi

adalah pencegahan melalui identifikasi klien dengan resiko tinggi,

edukasi klien, dan usaha mencegah ulserasi. Klien dengan risiko

tinggi harus diidentifikasi saat pemeriksaan kaki rutin pada klien

DM. Edukasi klien sebaiknya menekankan pada:

a) Pemilihan alas kaki yang cermat.

b) Pemeriksaan kaki harian untuk mendeteksi tanda alas kaki

yang tidak tepat atau trauma minor.

c) Menjaga kebersihan dan keelembapan kaki.

d) Mencegah penatalaksanaan yang tidak tepat dan menghindari

prilaku yang berisiko tinggi.

e) Berkonsultasi pada tenaga kesehatan apabila terjadi kelainan.

(Priantono & Sulistianingsih, 2014).

3. Konsep Dasar Citra Tubuh

a. Definisi

Citra tubuh adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya baik secara

sadar/tidak sadar. Persepsi dan perasaan tentang ukuran dan bentuk,

fungsi, penampilan, serta potensi tubuh saat ini dan masa lalu. Jika

individu menerima dan menyukai dirinya, merasa aman dan bebas dari
25

rasa cemas disebut self esteem meningkat (Kusumawati & Hartono,

2012).

Citra tubuh adalah kumpulan sikap individu baik yang disadari

maupun tidak terhadap tubuhnya, termasuk persepsi masa lalu atau

sekarang mengenai ukuran, fungsi, keterbatasan, makna, dan objek

yang kontak secara terus-menerus (anting, make up, pakaian, kursi

roda, dan sebagainya) baik masa lalu maupun sekarang. Citra tubuh

merupakan hal pokok dalam konsep diri. Citra tubuh harus realistis

karena semakin seseorang dapat menerima dan menyukai tubuhnya ia

akan lebih bebas dan merasa aman dari kecemasan sehingga harga

dirinya akan meningkat. Sikap individu terhadap tubuhnya

mencerminkan aspek penting dalam dirinya misalnya perasaan

menarik atau tidak, gemuk atau tidak, dan sebagainya (Yusuf,

Fitryasari, & Nihayati, 2015).

Gangguan citra tubuh adalah perubahan persepsi tentang fisik

individu (PPNI, 2016). Gangguan ini biasanya melibatkan distorsi dan

persepsi negatif tentang penampilan fisik mereka (Sutejo, 2017a).

b. Etiologi

Gangguan citra tubuh disebabkan oleh beberapa hal, yaitu

kerusakan atau kehilangan bagian tubuh; perubahan ukuran, bentuk,

dan penampilan tubuh; serta tindakan pembedahan. Selain itu,


26

gangguan citra tubuh juga dapat disebabkan oleh penyakit (Sutejo,

2017a)

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi citra tubuh

Faktor yang berpengaruh terhadap citra tubuh menurut

Kusumawati & Hartono (2012) diantaranya:

a) Fokus individu terhadap fisik yang menonjol.

b) Bentuk tubuh, TB, dan BB.

c) Organ seksual/jenis kelamin.

d) Stabilitas psikologi

Faktor lain yang berpengaruh terhadap citra tubuh adalah

sosiokultural, jenis kelamin, status hubungan, agama, dan kondisi

fisik. Stresor yang dapat menyebabkan perubahan/terjadinya gangguan

citra tubuh adalah stroke, amputasi, buta, tua, hamil, masektomi, DM,

obesitas, perubahan fisik pada remaja (Kusumawati & Hartono, 2012).

d. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala citra tubuh menurut PPNI (2016) dibagi

menjadi:

1) Tanda Dan Gejala Mayor

a) Subjektif

(1) Tidak mau mengungkapkan kecacatan/ kehilangan bagian

tubuh
27

(2) Perasaan negatif tentang tubuh

b) Objektif

(3) Kehilangan bagian tubuh fungsi dan /atau struktur tubuh

berubah

(4) Fungsi dan/atau struktur tubuh berubah

(5) Menghindari melihat dan/atau menyentuh tubuh

(6) Menyembunyikan bagian tubuh

2) Tanda Dan Gejala Minor

a) Subjektif

(1) Pandangan pada tubuh berubah (mis. Penampila, struktur,

fungsi)

(2) Mengungkapkan perubahan gaya hidup

(3) Merasa pada reaksi orang lain

(4) Mengungkapkan perasaan tentang perubahan tubuh (mis.

Penampilan, struktur, fungsi)

(5) Fokus pada perubahan/kehilangan

b) Objektif

(1) Fokus berlebihan pada perubahan tubuh

(2) Kemampuan tubuh beradaptasi dengan lingkungan berubah

(3) Hubungan sosial berubah

(4) Respon nonverbal pada perubahan dan persepsi tubuh


28

(5) Fokus pada penampilan dan kekuatan masa lalu (PPNI,

2016).

4. Konsep Dasar Mekanisme Koping

a. Definisi

Mekanisme koping adalah mekanisme yang digunakan individu

untuk menghadapi perubahan yang diterima, apabila mekanisme

koping berhasil, maka orang tersebut akan dapat beradaptasi terhadap

perubahan yang terjadi (Nursalam, 2007).

Koping adalah proses psikologis yang aktif dan dinamis biasanya

berupaya untuk memperbaiki sumber stres dan mempertahankan rasa

kesejahteraan psikologis (Braine & Wray, 2016).

Koping adalah cara berpikir dan bereaksi yang ditujukan untuk

mengatasi stresor (Tamher & Noorkasiani, 2009).

Koping adalah kemapuan untuk menggali, mengelola pengalaman,

tuntutan, serta stres (Johnson, 2013).

Koping adalah proses dimana seseorang mencoba untuk mengatur

perbedaan yang diterima antara keinginan (demands) dan pendapatan

(resources) yang dinilai dalam suatu keadaan yang penuh tekanan.

Selain digunakan untuk memperbaiki atau menguasai masalah koping

juga dapat membantu sesesorang untuk mengubah persepsinya atas

ketidaksesuaian, menolerir atau menerima bahaya, juga melepaskan


29

diri atau menghindari situasi stres. Stres diatasi dengan kognitif dan

behavioral transactions melalui lingkungan (Sutejo, 2017b).

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping

Berdasarkan penelitian oleh Arianto (2014) tentang faktor-faktor

yang berhubungan dengan strategi koping, dari hasil penelitian

tersebut didapatkan hasil faktor-faktor yang mempengaruhi strategi

koping diantaranya, umur, kepribadian individu, kecakapan

responden, dukungan sosial, dan strategi koping (Arianto, 2013).

c. Strategi mekanisme koping

Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Nasir dan Muthith, 2011),

dalam melakukan mekanisme koping, ada dua strategi yang bisa

dilakukan.

1) problem focused coping

problem focused coping adalah usaha mengatasi stres dengan

cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan

lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan.

Koping ini ditujukan dengan mengurangi demands dari situasi

yang penuh dengan stres atau memperluas sumber untuk

mengatasinya. Seseorang cenderung menggunakan metode ini


30

apabila mereka percaya bahawa sumber atau demands dari

situasinya dapat diubah. Strategi yang dipakai dalam problem

focused coping antara lain sebagai berikut.

a) Confrontative coping : yaitu usaha untuk mengubah keadaan

yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat

kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan resiko.

b) Seeking social support : usaha untuk mendapatkan

kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain.

c) Planful problem solving : usaha untuk mengubah keadaan

yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap,

dan analitis.

2)  Emotional Focused Coping

Emotional Focused Coping adalah usaha mengatasi stres

dengan cara mengatur respons emosional dalam rangka

menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh

suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan. Koping

ini ditujukan untuk mengontrol respons emosional terhadap situasi

stres. Seseorang dapat mengatur respons emosionalnya melalui

pendekatan perilaku dan kognitif. Strategi yang digunakan dalam

emosional focused coping antara lain sebagai berikut.

a) Self-Control : usaha untuk mengatur perasaan ketika

menghadapi situasi yang menekan .


31

Distancing : usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan,

seperti menghindari dari permasalahan seakan tidak terjadi

apa-apa atau menciptakan pandangan–pandangan yang positif,

seperti menganggap masalah sebagai lelucon.

b) Positive reappraisal : usaha untuk menyadari tanggung jawab

diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan

mnecoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi

lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila masalah menjadi

karena pikiran dan tindakannya sendiri. Namun strategi ini

menjadi tidak baik bila individu tidak seharusnya bertanggung

jawab atas maasalah tersebut.

c) Accepting responsibility: usaha untuk menyadari tanggung

jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan

mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi

lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila masalah terjadi karena

pikiran dan tindakannya sendiri. Namun straegi ini menjadi

tidak baik bila individu tidak seharusnya bertanggung jawab

atas masalah tersebut.

d) Escapelavoidance : usaha untuk mengatasi situasi menekan

dengan lari dari situsai tersebut atau menghindari perilaku

merokok, minum alkohol, dan menggunakan obat-obatan.


32

Individu menggunakan problem-focused coping jika masalah

yang mereka hadapi dapat dikontrol. Sebaliknya, individu

cenderung menggunakan emotion focused coping dalam

menghadapi masalah, jika masalah mereka sulit untuk dikontrol

(Sutejo, 2017b).

e. Respon koping

Respon koping terbagi menjadi dua diantaranya Braine (2016):

1) Adaptif

Koping yang adaptif bersifat positif mengarah kepada

keseimbangan dinamis dalam hal ini berhubungan dengan stres.

tanggapan koping adaptif sebagian besar membantu dan umumnya

tidak menyebabkan masalah jangka panjang.

2) Maladaptif

Perilaku maladaptif koping biasanya gagal untuk menstabilkan

situasi yang seharusnya bisa memecahkan masalah, hal ini bisa

mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan individu (Braine &

Wray, 2016).

f. Adapatasi Terhadap Stres

1) Input

Sistem adaptasi mempunyai input yang berasal dari internal

individu. Roy mengidentifikasi input sebagai suatu stimulus.


33

Sejalan dengan adanya stimulus, tingkat adaptasi individu

direspons sebagai suatu input dalam sistem adaptasi. Tingkat

adaptasi tersebut tergantung dari stimulus yang di dapat

berdasarkan kemampuan individu.

2) Proses

a) Roy menggunakan istilah mekanisme koping untuk

menjelaskan proses kontrol dari individu sebagai suatu sistem

adaptasi. Roy menekankan ilmu keperawatan yang unik untuk

mengontrol mekanisme koping. Mekanisme tersebut

dinamakan regulator dan kognator.

b) Subsistem regulator mempunyai sistem komponen input.

Proses internal, dan output. Stimulus input berasal dari dalam

atau luar individu. Perantara sistem regulator berupa kimiawi,

saraf, atau endokrin. Refleks otonomi sebagai respon neural

berasal dari batang otak dan korda spinalis, diartikan sebagai

suatu perilaku output dari sistem regulasi. Organ target

(endoterin ) dan jaringan dibawah kontrol endokrin juga

memproduksi perilaku output regulator, yaitu terjadinya

peningkatan Andreono Cortico Tytoid Hormone (ACTH)

kemudian didikuti peningkatan kadar kortisol darah. Banyak

proses fisologis yang dapat diartikan sebagai perilaku

subsistem regulator. Misalnya, regulator tentang respirasi.


34

c) Dalam mempertahankan integritas, kognator dan regulator

bekerja secara bersamaan. Sebagai suatu adaptasi, tingkat

adaptasi seseorang dipengaruhi oleh perkembangan individu

dan penggunaan mekanisme koping. Penggunaan mekanisme

koping yang maksimal akan berdampak baik terhadap tingkat

adaptasi individu dan meningkatkan tingkat rangsangan

sehingga individu dapat merepson secara positif.

3) Efektor

Sistem adaptasi proses internal yang terjadi pada indvidu

didefinisikan Roy sebagai sistem efektor. Model adaptasi tersebut

meliputi fisiologis, konsep diri, fungsi peran, ketergantungan.

Mekanimse regulator dan kognator bekerja pada model adaptasi.

Perilaku yang berhubungan dengan metode adaptasi merupakan

manifestasi dari tingkat adaptasi individu dan mengakibatkan

digunakannya mekanisme koping.

a) Fisiologis

(1) Oksigenasi, menggambarkan pola penggunaan oksigen

yang berhubungan dengan respirasi dan sirkulasi.

(2) Eliminasi, menggambarkan pola eliminasi


35

(3) Rasa, menggambarkan fungsi sensrori perseptual yang

berhubungan dengan panca indra, penglihatan, penciuman,

perabaan, pengecapan, dan pendengaran

b) konsep diri (psikis)

konsep diri mengidentifikasi pola nilai, kepercayaan, dan

emosi yang berhubungan dengan ide diri kita sendiri.

Perhatian ditujukan pada kenyataan keadaan diri sendiri

tentang fiisk, individual, dan moral etik.

c) fungsi peran (sosial)

fungsi peran mengidentifikasikasi tentang pola interaksi

sosial seseorang yang berhubungan dengan orang lain akibat

dari peran ganda yang dijalankannya.

d) Ketergantungan

Ketergantungan mengidentifikasi pola nilai-nilai manusia,

kehangatan, cinta, dan memiliki. Proses tersebut terjadi

melalui hubungan interpersonal terhadap individu maupun

kelompok (Nursalam, 2008).

4) Output

perilaku seseorang berhubungan dengan metode adaptasi.

Koping yang tidak efektif berdampak terhadap respons sakit. Jika


36

klien masuk pada zona maladaptif maka klien mempunyai

masalah adaptasi.

5. Hubungan Citra Tubuh Dengan Mekanisme Koping

Kaki diabetes didefinisikan sebagai adanya infeksi, ulserasi dan atau

perusakan derajat penyakit arteri perifer (PAD) di ekstremitas bawah pada

klien dengan diabetes (Tentolouris, 2010), dan merupakan salah satu

komplikasi kronik DM yang paling ditakuti. Karena sering kaki diabetes

berakhir dengan kecacatan dan kematian (Waspaji, 2014a). kaki diabetes

dapat mengakibatkan perasaan malu dan tidak berharga bagi sebagian

penderitanya, yang pada akhirnya akan mempengaruhi hubungan dengan

orang lain khususnya mempengaruhi citra tubuhnya (Nurhalimah, 2016).

Gangguan ini biasanya melibatkan distorsi dan persepsi negatif tentang

penampilan fisik mereka (Sutejo, 2017a). Penderita kaki diabetes,

biasanya akan menolak bercermin, menyentuh atau melihat bagian tubuh

tertentu yang strukturnya telah berubah akibat penyakit (Yusuf et al.,

2015). Untuk itu perlu suatu usaha langsung dalam manajemen stres

(mekanisme koping) (Yusuf et al., 2015).

Beberapa hal yang harus diamati dalam model stres adaptasi

diantaranya adalah sumber koping, dan mekanisme koping yang

digunakan (Yusuf et al., 2015). Mekanisme koping adalah mekanisme

yang digunakan individu untuk menghadapi perubahan yang diterima


37

(Nursalam, 2007). Tanggapan koping adaptif sebagian besar membantu

dan umumnya tidak menyebabkan masalah jangka panjang (Braine &

Wray, 2016). Penggunaan mekanisme koping yang maksimal akan

berdampak baik terhadap tingkat adaptasi individu dan meningkatkan

tingkat rangsangan sehingga individu dapat merespon stres secara positif

(Nursalam, 2008).

B. Kerangka Teori
38

Diabetes Melitus Tipe 2

komplikasi

Makrovaskular Mikrovaskular Neuropati

Kaki diabetes Infark miokard stroke

Tanda dan gejala


Gangguan citra tubuh
Kehilangan bagian tubuh dan
fungsi/ struktur tubuh berubah
Menghindari melihat / Faktor-faktor yang dapat
menyentuh tubuh mempengaruhi citra tubuh
Menyembunyikan bagian tubuh Fokus individu terhadap fisik yang
Perasaan negatif terhadap tubuh menonjol.
Fokus berlebihan pada Bentuk tubuh, TB, dan BB.
perubahan tubuh Organ seksual/jenis kelamin
Stabilitas psikolog
Sosiokultural
jenis kelamin
status hubungan
Respon koping kondisis fisk.
Strategi koping Adaptif
Strategi pemecahan masalah maladaptif Mekanisme koping
Strategi fokus pada emosi

Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme koping


Umur
Kepribadian individu
Dukungan sosial
Strategi koping

Skema 2.5 Kerangka Teori Hubungan Citra Tubuh Dengan Mekanisme


Koping Pada Klien Diabetes Melitus Dengan Gangren di
RSUD.Waluyo Jati Kraksaan. Sumber : (PPNI, 2016,
Kusumawati & Hartono, 2012, Arianto, 2013, Tamher &
Noorkasiani, 2009, Braine & Wray, 2016).

BAB III
39

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel independen Variabel dependen

Citra tubuh Mekanisme koping

Variabel perancu

Usia
Jenis kelamin
Pendidikan
Status Sosial Ekonomi
Dukungan sosial

Keterangan : : varibel yang akan diteliti

: : variabel yang tidak akan di teliti

Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Hubungan Citra Tubuh dengan

Mekanisme Koping pada Pasien Diabetes Mellitus dengan

Gangren di RSUD. Waluyo Jati Kraksaan.

B. Hipotesis Penelitian
40

Hipotesis merupakan prediksi-prediksi yang dibuat peneliti tentang

hubungan antar variabel. Hipotesis ini biasanya berupa perkiraan numeric atas

populasi yang dinilai berdasarkan data sampel penelitian. Hipotesis nol dan

hipotesis alternatif. Hipotesis nol membuat suatu prediksi yang menyatakan

tidak ada satupun hubungan atau signifikan antara kelompok dalam variabel

penelitian. Hipotesis alternatif merupakan prediksi atas hasil yang diharapkan

yang menyatakan adanya hubungan atau signifikan antara kelompok variabel

(Creswell, 2010).

Dari penelitian ini hasil hipotesisnya adalah ada Hubungan antara

Citra Tubuh dengan Mekanisme Koping Pada Klien Diabetes Melitus dengan

Gangren di RSUD. Waluyo Jati Kraksaan.

Ha: Ada Hubungan antara Citra Tubuh dengan Mekanisme Koping pada

Klien Diabetes Melitus dengan Gangren di RSUD. Waluyo Jati

Kraksaan.

H0: Tidak ada Hubungan antara Citra Tubuh dengan Mekanisme Koping pada

Klien Diabetes Melitus dengan Gangren di RSUD. Waluyo Jati

Kraksaan.

BAB IV
41

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korasional yang bertujuan

untuk mendeskripsikan hubungan antara variabel-variabel penelitian.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cross Sectional,

dimana desain tersebut merupakan suatu penelitian observasi analitik yang

menekankan waktu observasi data variabel independen dan variabel dependen

dilakukan pada satu waktu yang bersamaan. Pada penelitian ini diobservasi

menyangkut bagaimana citra tubuh seseorang, dengan mekanisme koping

yang digunakan (Nursalam, 2014).

B. Populasi, Sampel, dan Sampling

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang memenuhi

kriteria yang ditetapkan (Nursalam, 2014). Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh Klien DM dengan Gangren di RSUD. Waluyo Jati

Kraksaan, yaitu sebanyak 138 klien Diabetes Melitus dengan Gangren.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah populasi yang dapat dipergunakan

sebagai subjek (Nursalam, 2014). Sampel yang diambil dari responden

Diabetes Melitus dengan Gangren yang dirawat jalan di RSUD. Waluyo

Jati Kraksaan. Berdasarkan rumus yang dapat dipergunakan untuk


42

menentukan besar sampel dalam populasi yang memenuhi kriteria inklusi

dan eksklusi, untuk dijadikan responden dalam penelitian ini adalah

sebanyak 102 responden.

N
n=
1 + N (d)2
Keterangan :

n = Besar sampel

N = Besar populasi

d = Tingkat signifikansi ( 0,05 ) (Nursalam, 2014)

Perhitungan

n= N

1 + N (d)2

n= 138

1 + 138 ( 0,05 )2

n= 138

1 +138 ( 0,0025 )

n= 138

1+0,345

n = 138

1,345

n = 102 + 10%

n = 112 responden
43

Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria umum dari suatu populasi yang

memenuhi target kriteria dan akan diambil sebagai sampel penelitian

(Nursalam, 2014).

a. Klien DM dengan gangren yang dirawat jalan di RSUD. Waluyo Jati

Kraksaan.

b. Klien DM dengan gangren yang bersedia untuk dijadikan responden

di RSUD. Waluyo Jati Kraksaan.

Kriteria Eksklusi

Kriteria ekslusi adalah menghilangkan/mengeluarkan subjek yang

memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab (Nursalam,

2014).

a. Klien yang mengalami hal tak terduga/sakit dipertengahan penelitian.

3. Sampling

Sampling penelitian adalah teknik menyeleksi populasi untuk dapat

mewakili populasi yang ada (Nursalam, 2014). Ada dua jenis teknik

pengambilan sampling yang digunakan dalam penelitian yaitu, sampel

acak atau Probability Sampling dan sampel tidak acak atau Non

Probabilty Sampling (Darmawan, 2013). Tekhnik pengambilan sampel

dilakukan secara Probability Sampling, yaitu dengan cara simple random


44

sampling yang mana jenis probabilitas yang paling sederhana. Untuk

mencapai sampling ini, setiap elemen diseleksi secara acak (Nursalam,

2014).

C. Variabel Penelitian

Variabel dikarakteristikkan sebagai derajat, jumlah, perbedaan, konsep

yang bersifat konkrit, dan secara langsung dapat diukur (Nursalam, 2014).

Dalam penelitian ini menggunakan dua jenis variabel yaitu variabel bebas (

Independent ) dan variabel terikat ( Dependent ) :

1. Variabel Bebas (Independent Variable)

Variabel yang memengaruhi atau nilainya menentukan variabel lain.

Veriabel bebas biasanya dimanipulasi, diamati, dan diukur untuk

diketahui hubungannya atau pengaruhnya terhadap variabel yang lain

(Nursalam, 2014). Variabel independen dalam penelitian ini adalah citra

tubuh.

2. Variabel Terikat (Dependent Variable)

Variabel yang dipengaruhi nilainya ditentukan oleh variabel lain, atau

faktor yang diamati dan di ukur untuk menentukan ada tidaknya

hubungan atau pengaruh dari variabel bebas (Nursalam, 2014). Variabel

dependen dalam penelitian ini adalah mekanisme koping.

D. Definisi Operasional
45

Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel dari suatu

penelitian atau apa yang akan diukur oleh variabel yang bersangkutan

(Notoatmodjo, 2012).

Tabel 4.1 Hubungan Citra Tubuh dengan Mekanisme Koping pada Klien
Diabetes Melitus dengan Gangren di RSUD. Waluyo Jati
Kraksaan.
Variabel Definisi Parameter/ indikator Alat Skor Skala
operasional ukur ukur
Variabel sikap atau 1. Perasaan negatif K 1. positif = < 36 N
independen cara tentang tubuh U 2. negatif = 37-92 O
citra tubuh pandang 2. Kehilangan bagian E M
klien tentang tubuh, fungsi atau S I
tubuhnya, struktur tubuh I N
mengenai berubah O A
struktur 3. Menghindari melihat N L
tubuh yang dan menyentuh tubuh E
telah 4. Menyembunyikan R
mengalami tubuh
perubahan. 5. Fokus pada
perubahan /
kehilangan
6. Hubungan sosial
berubah
7. Fokus pada
penampilan dan
kekuatan masa lalu.
Variabel Usaha yang 1. Confrontive coping K 1. Adaptif 61-90 N
dependen dilakukan 2. Distancing U 2. Maladaptif < 60 O
mekanisme oleh klien 3. Self controlling E M
koping untuk 4. Seeking social S I
mengatasi/ support I N
mengurangi 5. Accepting O A
stresor responsibility N L
akibat 6. Escape avoidance E
perubahan 7. Planful problem R
yang solving
diterima. 8. positive reapprasial

E. Tempat Penelitan
46

Menjelaskan tempat atau lokasi tersebut dilakukan. Lokasi penelitian ini

sekaligus membatasi ruang lingkup penelitian tersebut (Notoatmodjo, 2012).

Dalam hal ini peneliti akan melakukan penelitian di RSUD. Waluyo Jati

Kraksaan.

F. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan selama 1 bulan. Yang akan di mulai pada 28

April 2018 sampai 28 Mei 2018.

G. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk

pengumpulan data. Instrumen penelitian berupa: kuesioner, formulir

observasi, formulir-formulir lain berkaitan dengan pencatatan data dan

sebagainya (Notoatmodjo, 2012). Pada penelitian ini peneliti menggunakan

instrumen yaitu berupa kuesioner yang berisikan beberapa pertanyaan dan

pernyataan yang harus dijawab oleh responden, dengan tujuan agar peneliti

memperoleh data yang sesuai dengan tuntutan penelitian.

Meskipun alat ukur yang dipakai adalah alat ukur yang telah

dikembangkan oleh Moeen, Muazzam, & Zubair (2013) dan Lazarus &

Folkman (1985), namun tetap diperlukan pengujian, untuk melihat apakah alat

ukur tersebut dapat dipakai pada subjek yang berbeda, dan selain itu juga

karena adanya sedikit modifikasi pada kedua alat ukur tersebut. Uji alat ukur
47

ini dimaksudkan untuk memperoleh nilai validitas dan reabilitas dari alat ukur

yang digunakan.

Kuesioner adalah suatu cara pengumpulan data atau suatu penelitian

mengenai suatu masalah yang umumnya banyak menyangkut kepentingan

umum (orang banyak) (Notoatmodjo, 2012). Kuesioner yang digunakan

adalah kuesioner tertutup.

1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-

benar mengukur atau diukur, demikian pula kuisioner sebagai alat ukur

harus mengukur apa yang diukur. Untuk mengetahui apakah kuisioner

yang kita susun tersebut mampu mengukur apa yang hendak kita ukur,

maka perlu diuji dengan uji korelasi antara scor (nilai) tiap-tiap item

(pertanyaan) dengan scor total kuesioner tersebut. Apabila semua

pertanyaan itu mempunyai korelasi yang bermakna dan kuisioner tersebut

mempunyai validitas konstruk, berarti semua item pertanyaan yang ada

didalam kuesioner itu mengukur konsep yang kita ukur (Notoatmodjo,

2012). Dibawah ini merupakan rumus pearson product moment:

n ( Σ XY )−( Σ X ) .(Σ Y )
rhitung = 2 2 2
√[ n. Σ X −( Σ X ) ] . [ n. ΣY −( ΣY )2 ]

Keterangan :
rhitung : Koefisien Korelasi ∑Xi : Jumlah Skor Item
∑Yi : Jumlah Skor Total (item) n : Jumlah Responden
48

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat

pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti

menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau tetap

asas (ajeg) bila dilakukan dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama,

dengan menggunakan ukur yang sama. Demikian juga dengan kuisioner

sebagai alat ukur untuk gejala-gejala sosial harus mempunyai reliabilitas

yang tinggi, untuk itu sebelum digunakan untuk penelitian harus di tes

atau diuji coba sekurang-kurangnya dua kali. Uji coba tersebut kemudian

diuji dengan menggunakan rumus korelasi product moment, perlu dicatat

bahwa perhitungan reliabilitas harus dilakukan hanya pada pertanyaan

yang sudah memiliki validitas. Dengan demikian harus menghitung

validitas terlebih dahulu sebelum menghitung reliabilitas (Nursalam,

2014). Adapun uji reliabilitas dilakukan setelah mengukur validitas, dalam

penelitian ini menggunakan rumus sperman brown.

Rumus Sperman Brown :

2. r b
r 11 =
1+r b

Keterangan :

r11 : Koefesien reabilitas internal seluruh item.

rb : Korelasi Product Moment antara belahan.


49

Dengan digunakan rumus tersebut, untuk alat ukur citra tubuh diperoleh

nilai cronbach alpha 0,957 dan untuk alat ukur mekanisme koping diperoleh

nilai cronbach alpha 0,960.

H. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan

proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu

penelitian (Nursalam, 2014). Langkah yang dilakukan dalam penelitian

adalah:

1. mengurus surat izin penelitian kepada dekan fakultas Universitas Nurul

Jadid.

2. Mengurus surat ijin penelitian kepada Badan Kesatuan Bangsa Dan Politik

Kabupaten Probolinggo.

3. Mengurus surat ijin penelitian kepada direktur RSUD. Waluyo Jati

Kraksaan.

4. Menjelaskan kepada calon responden terkait penelitian dan melakukan

informed consent.

5. Memberikan lembar kueosioner kepada responden yang bersangkutan.

6. Responden diwajibkan mengisi seluruh pertanyaan yang telah dicantumkan

di kuesioner.

7. Setelah responden mengisi kuesioner, maka kuesioner diberikan dan

dikumpulkan kepada peneliti.


50

8. Melakukan analisa data

a. Peneliti dan dibantu oleh enumerator mendatangi calon responden.

Peneliti kemudian memperkenalkan diri serta menjelaskan tujuan

penelitian kepada calon responden dan menjelaskan kepada responden

bahwa penelitian ini tidak menimbulkan resiko bagi individu yang

menjadi responden. Kerahasiaan catatan mengenai data responden

dijaga dengan cara tidak menuliskan nama responden pada kuesioner,

serta data-data yang diperoleh dari responden hanya akan digunakan

untuk kepentingan penelitian.

b. Setelah memberi penjelasan, peneliti meminta kesediaan klien untuk

menjadi responden. Bila responden setuju maka peneliti meminta

kesediaannya untuk menandatangani surat persetujuan yang telah

disediakan.

c. Setelah responden mendatangani surat persetujuan, peneliti akan

bertanya kepada responden apakah responden mampu untuk mengisi

kuesioner sendiri, apabila klien mampu untuk mengisi kuesioner sendiri

maka selama pengisian kuesioner, peneliti akan mendampingi

responden agar bila ada pertanyaan dan pernyataan yang tidak jelas

dapat langsung dinyatakan kepada peneliti dengan tidak bermaksud

mengarahkan jawaban responden.


51

d. Apabila responden tidak mampu untuk mengisi kuesioner sendiri, maka

peneliti akan melakukan cara wawancara terpimpin yaitu peneliti yang

bertanya dan responden menjawab. Tanpa bermaksud mengarahkan

jawaban responden.

e. Kemudian kuesioner yang telah diisi akan dikumpulkan dan diperiksa

kembali terhadap kelengkapan jawaban. Apabila terdapat jawaban yang

belum lengkap, peneliti akan meminta kepada responden untuk

melengkapi pada saat itu juga

f. Setelah seluruh data terkumpul dan penelitian selesai dilakukan,

selanjutnya peneliti melaporkan kembali pada bidang penelitian dan

pengembangan untuk mendapatkan surat keterangan telah selesai

melakukan penelitian dari direktur RSUD. Waluyo Jati Kraksaan.

9. Langkah terakhir menyusun laporan hasil penelitian.

I. Analisa Data Penelitian

1. Pengelolahan Data

Setelah semua data terkumpul, maka dilakukan pengengolahan data

yaitu dengan cara :

a. Editing

Editing merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan

isian formulir (Notoatmodjo, 2012). Tahapan ini dilakukan saat

pengumpulan data kuesioner dari responden untuk diperiksa, mungkin


52

ada jawaban yang ganda atau belum dijawab, jika ada sampaikan

kepada responden untuk diisi atau diperbaiki jawabannya pada

kuesioner tersebut.

b. Coding

Jawaban dari masing-masing responden di ganti kedalam bentuk

kode. Pada penelitian ini dilakukan setelah semua data dikumpulkan

dan dimasukkan kedalam rekapan data kemudian peneliti memberi

kode (Notoatmodjo, 2012).

0    : jika tidak pernah dilakukan

1 : jika kadang-kadang dilakukan

2 : jika agak sering dilakukan

3 : jika sering dilakukan

4 : jika selalu dilakukan

c. Scoring

Scoring adalah pemberian skor pada setiap ketegori yang ada

dalam setiap variabel (Notoatmodjo, 2012).

Scoring citra tubuh:

1) Positif = < 36
2) Negatif = 37-92

Scoring mekanisme koping:

1) Adaptif = 61-90
53

2) Maladaptif = < 60

d. Tabulating

Tabulating juga disebut penyusunan data. Penyusunan data ini

menjadi sangat penting karena akan mempermudah dalam analisis

data statistik (Ketut, 2016). Tabulating dalam penelitian ini berupa

berbentuk tabel.

2. Analisa Data

Untuk menguji signifikan antara kedua variabel, maka dapat diuji

dengan statistik. Analisa data ini menggunakan Bivariat karena

mempunyai dua variabel dengan skala nominal dan nominal,

menggunakan uji statistic Coefficient Contigency dengan menggunakan

program SPSS.

Tabel 4.2 Pengelompokaan Analisa Data Berdasarkan Uji Statistik.


NO Variabel Independen Variabel Dependen Analisa Data
Mekanisme Koping
1. Citra Tubuh (nominal) Coefficient Contigency
(nominal)

J. Etika Penelitian

Masalah etika pada penelitian yang menggunakan subjek manusia menjadi

isu sentral yang berkembang saat ini. Pada penelitian ilmu keperawatan,

karena hampir 90% subjek yang dipergunakan adalah manusia. Secara umum

prinsip etika dalam penelitian dapat dibedakan menjadi tiga bagian:


54

1. Prinsip manfaat

a. Bebas dari penderitaan

Penelitian harus dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan

kepada subjek, khususnya jika menggunakan tindakan khusus.

b. Bebas dari eksploitasi

Partisipasi subjek dalam penelitian, harus dihindarkan dari

keadaan yang tidak menguntungkan. Subjek harus diyakinkan bahwa

partisipasinya dalam penelitian atau informasi yang telah diberikan,

tidak akan dipergunakan dalam hal-hal yang dapat merugikan subjek

dalam bentuk apapun.

c. Risiko

Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan risiko dan keuntungan

yang akan berakibat kepada subjek pada setiap tindakan.

2. Prinsip menghargai hak asasi manusia

a. Hak untuk ikut/tidak menjadi responden

Subjek harus diperlalukan secara manusiawi. Subjek mempunyai

hak memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subjek ataupun

tidak.

b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan.


55

1) Informed consent

Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang

tujuan penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk

bebas berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Pada

informed consent juga perlu dicantumkan bahwa data yang

diperoleh hanya akan dipergunakan untuk pengembangan ilmu.

3. Prinsip keadilan

a. Hal untuk mendapatkan pengobatan yang adil

Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama dan

sesudah keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya deskriminasi

apabila ternyata mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari

penelitian.

b. Hal untuk dijaga kerahasiannya

Subjek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan

harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama dan rahasia

(Nursalam, 2014).
56

BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Waluyo

Jati Kraksaan pada tanggal 28 april- 29 mei 2018. RSUD Waluyo Jati

Kraksaan telah lama berdiri melayani masyarakat sekitar dalam

memberikan pelayanan di bidang kesehatan.

RSUD Waluyo Jati Kraksaan yaitu satu dari sekian Rumah Sakit milik

Pemkab Probolinggo yang berupa RSU dan diresmikan pada tanggal 06

januari 1982 yang berlokasi di desa Kandang Jati Kulon kecamatan

Kraksaan dengan luas areal tanah 35.000 m2, berlokasi di Jl. dr. Soetomo

No. 1 Kraksaan kabupaten Probolinggo. Seiring perkembangan zaman,

pada tahun 2002 RSUD Waluyo Jati telah menjadi Rumah Sakit kelas tipe

C Non Pendidikan dan pada tahun 2002 telah terakreditasi 5 program

pelayanan. Pada saat ini RSUD Waluyo Jati telah lulus tingkat lanjut 12

pelayanan, salah satunya pelayanan rawat jalan.

Pelayanan rawat jalan adalah pelayanan medis kepada seorang pasien

untuk tujuan observasi diagnosis, pengobatan, rehabilitasi, dan pelayanan


57

kesehatan lainnya, tanpa mengharuskan pasien tersebut dirawat inap.

Hampir semua instalasi rawat jalan di RSUD Waluyo Jati di buka 6 hari

dalam seminggu senin s/d sabtu pukul 08.00-13.00 WIB.

2. Data Umum

a. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

Karakteristik responden berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel

5.1

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia


Umur Responden Frekuensi Persentase
45-64 tahun 103 92,0%
> 65 tahun 9 8,0%
Total 112 100%
(Sumber: data kuesioner 2018)

Berdasarkan tabel 5.1 diatas, dapat diketahui dari 112 responden,

usia 45-64 tahun sebanyak 92%, usia > 65 tahun sebanyak 8%.

b. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat

pada tabel 5.2

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Jenis Kelamin Frekuensi Persentase
Laki-laki 32 28,6%
Perempuan 80 71,4%
Total 112 100%
(Sumber: data kuesioner 2018)

Berdasarkan tabel 5.2 diatas, dapat diketahui dari 112 responden

penelitian klien DM dengan gangren paling banyak adalah perempuan

sebanyak 71,4%.
58

3. Hasil Analisis Univariat

a. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Citra Tubuh Klien DM dengan

Gangren

Hasil analisa citra tubuh klien diabetes melitus dengan gangren di

RSUD Waluyo Jati Kraksaan menunjukkan nilai tertinggi 50 dan

terendah 26. Hasil uji normalitas menunjukkan nilai significancy

kolmogorov-smirnov sebesar 0,374 yang berarti bahwa distribusi data

normal, sehingga penentuan kategori citra diri positif atau negatif

ditentukan oleh nilai mean yakni 35,63 dibulatkan menjadi 36.

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Citra Tubuh Klien DM


dengan Gangren
Citra Tubuh Frekuensi Persentase
Positif 68 60,7%
Negatif 44 39,3%
Total 112 100%
(Sumber: data kuesioner 2018)

Berdasarkan table 5.3 di atas dapat dilihat bahwa dari jumlah

sampel sebanyak 112 klien DM dengan gangren yang menjalani

perawatan luka di RSUD. Waluyo Jati Kraksaan yaitu sebesar 68

(60,7%) responden penelitian memiliki citra tubuh positif dan 44

(39,3%) responden penelitian memiliki citra tubuh negatif. Hal ini

menunjukkan bahwa sebagian besar dari klien diabetes melitus dengan

gangren yang menjalani perawatan luka DM di RSUD. Waluyo Jati

Kraksaan memiliki citra tubuh yang positif.


59

b. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Mekanisme Koping Klien DM

dengan Gangren

Hasil analisa mekanisme koping pada pasien diabetes melitus

dengan gangren di RSUD Waluyo Jati Kraksaan menunjukkan nilai

tertinggi 74 dan terendah 36. Hasil uji normalitas menunjukkan nilai

significancy kolmogorov-smirnov sebesar 0,352 yang berarti bahwa

distribusi data normal, sehingga penentuan kategori mekanisme

koping adaptif atau maladaptif ditentukkan oleh nilai mean yakni

59,92 dibulatkan menjadi 60.

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Mekanisme Koping  Klien


DM dengan Gangren

Mekanisme Koping Frekuensi Persentase


Adaptif 70 62,5%
Maladaptif 42 37,5%
Total 112 100%
(Sumber: data kuesioner 2018)

Berdasarkan table 5.5 di atas dapat dilihat bahwa dari jumlah

sampel sebanyak 112 klien DM dengan gangren yang menjalani

perawatan luka di RSUD. Waluyo Jati Kraksaan yaitu sebesar 70

(62,5%) responden penelitian menggunakan mekanisme koping

adaptif dan 42 (37,5%) responden penelitian menggunakan mekanisme

koping maladaptif. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari

klien diabetes melitus dengan gangren yang menjalani perawatan luka


60

DM di RSUD. Waluyo Jati Kraksaan menggunakan mekanisme

koping yang adaptif.

4. Hasil Analisis Bivariat

a. Hubungan Citra Tubuh dengan Mekanisme Koping pada Klien

Diabetes Melitus dengan Gangren

Tabel 5.6 tabulasi silang Hubungan Citra Tubuh dengan Mekanisme

Koping pada Klien Diabetes Melitus dengan Gangren.

Mekanisme Koping Value Approx


Citra (Coefficients) Sig
Tubuh Adaptif Maladaptif Total
F % F % F %
Positif 65 58 3 2,7 68 60,7
Negatif 5 4,5 39 34,8 44 39,3 0,724 0,000
Total 70 62,5 42 37,5 112 100
(Sumber: data kuesioner 2018)

Berdasarkan hasil analisis tabel diatas, didapatkan hasil bahwa

sebagian besar klien diabetes melitus dengan gangren memiliki citra

tubuh positif yaitu sebanyak 65 orang (58%). Pengujian hipotesis yaitu

menggunakan uji koefisien kontingensi untuk mengetahui hubungan

citra tubuh dengan mekanisme koping klien diabetes melitus dengan

gangren yang menjalani perawatan luka DM di RSUD Waluyo Jati

Kraksaan diperoleh nilai Approximate significance sebesar 0,000

<0,05. Hal tersebut menunjukkan bahwa H0 ditolak dan Ha diterima

yang berarti ada hubungan yang bermakna secara statistik antara citra

tubuh dengan mekanisme koping. Besarnya nilai Value (Coeffisient)


61

adalah 0,724 hal tersebut menunjukkan hubungan yang positif antara

citra tubuh dengan mekanisme koping.

B. Pembahasan

1. Analisa Citra Tubuh Klien Diabetes Melitus dengan Gangren di

RSUD Waluyo Jati Kraksaan.

Hasil penelitian di RSUD Waluyo Jati Kraksaan mengenai variabel

citra tubuh berdasarkan tabel 5.3 diatas dapat dilihat bahwa 112 klien

diabetes melitus dengan gangren yaitu sebanyak 68 (60,7%) responden

penelitian memiliki citra tubuh positif dan 44 (39,3%) responden

penelitian memiliki citra tubuh negatif. Hal ini menunjukkan bahwa

sebagian besar dari klien diabetes melitus dengan gangren yang menjalani

perawatan luka DM di RSUD Waluyo Jati Kraksaan memiliki citra tubuh

yang positif, akan tetapi ada beberapa responden yang memiliki citra

tubuh yang negatif.

Luka gangren dapat mengakibatkan perasaan malu dan tidak berharga

bagi sebagian penderitanya, yang pada akhirnya akan mempengaruhi

hubungan dengan orang lain khususnya mempengaruhi citra tubuhnya

(Nurhalimah, 2016). Citra tubuh membentuk sikap seseorang terhadap

tubuhnya baik secara sadar/tidak sadar. Persepsi dan perasaan tentang

ukuran dan bentuk, fungsi, penampilan, serta potensi tubuh saat ini dan

masa lalu (Kusumawati & Hartono, 2012).


62

Hasil analisa penelitian menunjukkan bahwa klien diabetes melitus

dengan gangren di RSUD Waluyo Jati Kraksaan yang memiliki citra

tubuh positif sebanyak 68 (60,7%) responden. Menurut asumsi peneliti

citra tubuh positif dari sikap pasien tersebut terlihat ketika pasien

menjalani perawatan lukanya, datang didampingi oleh keluarga dengan

respon yang positif atau terbuka. Bentuk dari emosi pasien tersebut antara

lain respon terhadap diri sendiri yang baik, memiliki keyakinan yang kuat

dalam diri pasien untuk sembuh, dapat menunjukkan ekspresi wajah yang

positif (tersenyum, dapat diajak berkomunikasi dengan baik atau

kooperatif).

Hasil analisa penelitian menunjukkan bahwa pasien diabetes melitus

dengan gangren di RSUD Waluyo Jati Kraksaan yang memiliki citra

tubuh yang negatif sebanyak 44 (39,3%) responden, ini sesuai dengan

faktor yang mempengaruhi citra tubuh yaitu sosiokultural, perubahan fisik

yaitu pertumbuhan kognitif dan perkembangan, persepsi individu tentang

tubuhnya (Kusumawati & Hartono, 2012). Contoh dari bentuk

pertumbuhan kognitif dan perkembangan antara lain karena perubahan

penyembuhan luka tidak sesuai dengan waktunya. Bentuk dari persepsi

individu tentang tubuhnya antara lain seperti klien merasa tidak berguna

semenjak mengidap penyakit luka gangren hingga mempunyai pikiran


63

bahwa luka yang klien alami sembuhnya lama dan akan membuatnya

menjadi tidak bisa melakukan perannya dengan baik.

Gangguan citra tubuh merupakan perubahan persepsi tentang fisik

individu (PPNI, 2016). Gangguan ini biasanya melibatkan distorsi dan

persepsi negatif tentang penampilan fisik mereka (Sutejo, 2017). Hal ini

ditemukan peneliti pada sebagian klien yang mengalami luka gangren

seperti mengalami perubahan pada bagian yang sakit, tidak mau

menyentuh bahkan melihat bagian tubuh yang telah berubah strukturnya,

aktivitas sosial berkurang, dan menutupi lukanya.

2. Analisa Mekanisme Koping Klien Diabetes Melitus dengan Gangren

di RSUD Waluyo Jati Kraksaan.

Hasil penelitian di RSUD Waluyo Jati Kraksaan mengenai variabel

mekanisme koping berdasarkan tabel 5.4 diatas dapat dilihat bahwa 112

klien diabetes melitus dengan gangren yaitu sebanyak 70 (62,5%)

responden penelitian menggunakan mekanisme koping adaptif dan 42

(37,5%) responden penelitian menggunakan mekanisme koping

maladaptif. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari klien diabetes

melitus dengan gangren yang menjalani perawatan luka di RSUD Waluyo

Jati Kraksaan menggunakan mekanisme koping yang adaptif, namun ada

beberapa yang masih menggunakan mekanisme koping yang maladaptif.


64

Hasil analisa penelitian menunjukkan bahwa klien diabetes melitus

dengan gangren di RSUD Waluyo Jati Kraksaan yang menggunakan

mekanisme koping adaptif sebanyak 70 (62,5%) responden. Hal ini sesuai

dengan sifat dari mekanisme koping yaitu adaptif dan maladaptif. Koping

yang adaptif bersifat positif mengarah kepada keseimbangan dinamis,

tanggapan koping adaptif sebagian besar membantu dan umumnya tidak

menyebabkan masalah jangka panjang. Perilaku maladaptif koping

biasanya gagal untuk menstabilkan situasi yang seharusnya bisa

memecahkan masalah. Hal ini bisa mempengaruhi kesehatan dan

kesejahteraan individu, membuat proses penerimaannya terganggu dan

membuat masalah tidak segera teratasi (Braine & Wray, 2016). Sehingga

dapat memicu lamanya perawatan luka karena dari dalam diri klien sendiri

masih kurangnya penerimaan dalam menghadapi masalah yang terjadi.

Hasil analisa penelitian menunjukkan bahwa klien diabetes melitus

dengan gangren di RSUD Waluyo Jati Kraksaan yang menggunakan

mekanisme koping maladaptif sebanyak 42 (37,5%) responden. Hal ini

sesuai dengan fungsi peran (sosial) yang di berikan. Seringkali konsep diri

(psikis) kepercayaan dan emosi yang berhubungan dengan emosi kita

sendiri tidaklah cukup, perlu bagi klien kehangatan, cinta, dan memiliki

melalui hubungan interpersonal terhadap individu maupun kelompok

(keluarga, teman,tetangga dan rekan kerja) (Nursalam, 2008). Hubungan


65

yang baik dengan keluarga dan orang lain seperti berdiskusi dalam

menyelesaikan masalahnya dan tetangga yang menengok ketika sedang

sakit.

Menurut asumsi peneliti mekanisme koping yang adaptif akan

mengarahkan klien kepada keseimbangan dinamis yang berhubungan

dengan stres, untuk mencapai koping yang adaptif perlu bagi kita ummat

manusia memberikan dukungan sosial karena strategi dan keyakinan dari

individu sendiri tidaklah cukup.

3. Analisa Hubungan Citra Tubuh Dengan Mekanisme Koping pada

Klien Diabetes Melitus dengan Gangren di RSUD Waluyo Jati

Kraksaan.

Berdasarkan dari hasil analisa bivariat citra tubuh dengan mekanisme

koping pada klien diabetes melitus dengan gangren diperoleh hasil ρ value

= 0,000 (ρ lebih kecil dari alpha yaitu 0,05), maka H0 ditolak. Hal ini

menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara citra tubuh dengan

mekanisme koping pada klien diabetes melitus dengan gangren di RSUD

Waluyo Jati Kraksaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden penelitian yang

memiliki citra tubuh positif dan mekanisme koping adaptif sebanyak 58%,

sedangkan responden yang memiliki citra diri negatif dan mekanisme

koping maladaptif sebanyak 2,7%. Dari data tersebut dapat disimpulkan


66

bahwa kebanyakan klien diabetes melitus dengan gangren memiliki citra

tubuh positif terhadap mekanisme koping adaptif.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh

Mashudin (2010) tentang hubungan antara citra tubuh dengan koping

pasien kusta di IRJ Poliklinik Kusta RSUD Tugurejo Semarang dengan

hasil penelitian menggunakan uji chi square. didapatkan nilai signifikasi

0,002 < 0,05 (alpha), yang menunjukkan ada hubungan antara citra tubuh

dengan mekanisme koping. Responden yang mengalami citra tubuh positif

dan menggunakan mekanisme koping adaptif sebanyak 36,7%, responden

yang mengalami citra tubuh negatif dan menggunakan koping maladaptif

sebanyak 34,7% (Mashudin, 2010).

Hasil dari penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Vonala & Ernawati (2016) tentang hubungan konsep diri (citra diri

dan harga diri) dengan mekanisme koping pada penderita pasca stroke di

wilayah kerja Puskesmas Kedungwuni I Kabupaten Pekalongan dengan

hasil penelitian nilai signifikasi sebesar 0,001 < 0,05 (alpha) yang

menunjukkan bahwa ada hubungan antara konsep diri dengan mekanisme

koping (Vonala & Ernawati, 2016).

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat

hubungan yang erat antara citra tubuh dengan mekanisme koping pada

klien diabetes melitus dengan gangren di RSUD Waluyo Jati Kraksaan.

Hal ini dapat dilihat dari tabel silang yang menunjukkan citra tubuh yang
67

positif pada klien diabetes melitus dengan gangren tercipta ketika mereka

menggunakan mekanisme koping yang adaptif, begitu juga sebaliknya.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Vonala & Ernawati

(2016) yang menyatakan bahwa semakin banyak harga diri positif diikuti

dengan semakin banyak mekanisme koping adaptif , begitu juga

sebaliknya semakin sedikit harga diri positif diikuti menurunnya

mekanisme koping adaptif (Vonala & Ernawati, 2016).

Dukungan kelompok (keluarga, teman, tetangga, rekan kerja) dapat

membantu klien menerima perubahan dalam dirinya, sehingga mengarah

kepada keseimbangan dinamis dalam berhubungan dengan stres. Hal ini

didasarkan pada kepercayaan, interaksi sosial, kehangatan, cinta, memiliki

dan penerimaan dari orang terdekat merupakan faktor utama dalam proses

penerimaan dari seseorang serta penyesuaian terhadap perubahan citra

tubuh yang dialami (Nursalam,2008).

Menurut asumsi peneliti klien diabetes melitus dengan gangren di

RSUD Waluyo Jati Kraksaan dalam penelitian ini yang lebih dominan

menggunakan mekanisme koping dalam kategori adaptif sehingga citra

tubuhnya positif. Penggunaan mekanisme koping yang maksimal akan

berdampak baik terhadap tingkat adaptasi individu dan meningkatkan

tingkat rangsangan sehingga individu dapat merepson secara positif

(Nursalam, 2008).
68

C. Keterbatasan Penelitian

Adapun keterbatasan atau hambatan peneliti dalam penyusunan karya tulis

ilmiah ini diantranya:

1. Kualitas Data

Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner yang berisi pertanyaan

tertutup sehingga mempunyai keterbatasan dalam mendapatkan data.

Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner sangatlah subjektif,

karena kebenaran data tergantung kejujuran, keterusterangan dan harapan

responden, terutama yang berkaitan dengan dirinya sendiri.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian terbatas sehingga hasil penelitian yang didapatkan

kurang sempurna.

D. Implikasi Keperawatan

Temuan dalam praktek ini meneliti bebarapa implikasi bagi lahan praktek,

pendidikan, dan penelitian keperawatan.

1. Lahan praktek keperawatan

Penelitian ini memberikan gambaran mendalam mengenai hubungan

citra tubuh dengan mekanisme koping pada klien diabetes melitus dengan

gangren. Dari hasil penelitian didapatkan citra tubuh positif perlu

mekanisme koping yang adaptif. Hal ini bermanfaat untuk dukungan

sosial yang diberikan, karena seringkali strategi individual tidak cukup

dan perlu bagi klien untuk mendapatkan bantuan dan dukungan sosial dari
69

orang lain yang berada dalam lingkaran keluarga, teman, tetangga, dan

rekan kerja.

Hasil penelitian ini menggambarkan akan adanya kebutuhan akan

dukungan sosial. Temuan ini memberikan masukan kepada perawat pada

khususnya untuk selalu memberikan dukungan sosial bukan hanya

tindakan medis yang dilakukan. Klien DM dengan gangren perlu

dukungan untuk menerima perubahan yang sedang dialaminya,

penggunaan mekanisme koping yang maksimal akan berdampak baik

terhadap tingkat adaptasi individu dan meningkatkan tingkat rangsangan

sehingga individu dapat merepson peubahan secara positif.

2. Pendidikan keperawatan

Penelitian ini juga memiliki implikasi bagi pendidikan keperawatan

untuk lebih menggali seluruh aspek yang di butuhkan bagi klien, bukan

hanya dari aspek fisik, tetapi juga seluruh aspek kehidupan klien, perlu

dipertegas kembali konsep histolik dalam pemberian asuhan keperawatan.

3. Pengembangan ilmu keperawatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pengembangan ilmu

keperawatan dalam melakukan penelitian lanjutan yaitu tentang hubungan

citra tubuh dengan mekanisme koping pada klien diabetes melitus dengan

gangren.
70

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Distribusi Citra Tubuh dalam katergori positif sebanyak 68 orang

(60,7%).

2. Distribusi Mekanisme Koping dalam kategori adaptif sebanyak 70 orang

(62,5%).

3. Ada hubungan yang cukup tinggi dalam penelitian hubungan citra tubuh

dengan mekanisme koping pada klien diabets melitus dengan gangren

yang menunjukkan hasil Approximate significance sebesar 0,000 < 0,05.

B. Saran

1. Bagi Komunitas

Keluarga dan masyarakat disarankan untuk lebih meningkatkan

dukungan berupa dukungan informasional, emosional, instrumental dan


71

penghargaan kepada klien DM dengan gangren, sehingga dapat

menggunakan koping secara konstruktif.

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk

penelitian selanjutnya yang terkait dengan citra tubuh serta mekanisme

koping pada klien DM dengan gangren. Peneliti menyarankan kepada

peneliti lain untuk mengeksplore lebih mendalam mengenai faktor-faktor

lainnya yang mempengaruhi citra tubuh serta mekanisme koping pada

klien DM dengan gangren dengan metode kualitatif.

3. Bagi Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan hendaknya meningkatkan penyuluhan kepada klien

DM dengan gangren dan keluarga tentang manfaat pentingnya

mempertahankan citra tubuh, serta pentingnya dukungan dari keluarga

bagi klien DM dengan gangren dalam mempertahankan citra tubuh dalam

proses penyembuhan.

Anda mungkin juga menyukai